ALWATZIKHOEBILLAH Jurnal Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora ISSN:-
Penerbit Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas Penaggung Jawab Drs. H. Jamiat Akadol, M.Si, MH Mitra Bistari Dr. Anton Athoillah (UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Dr. Rulli Nasrullah (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Dr. Aswandi (Universitas Tanjung Pura) Ketua Dewan Redaksi Dr. Hj. Eni Dewi Kurniawati, M.Pd Dewan Redaksi Rusiadi, S.Pd.I, M.Ag Drs. H. Mujahidin, M.Si Adnan Mahdi, S.Ag, M.S.I. Oscar Hutagaluh, S.Pd, MM, M.Si Sekretaris Redaksi Suriadi, S.Pd.I, M.Ag Desain Grafis Iman Ferisendy Distribusi dan Tata Usaha Sulastri, S.Pd.I, M.E.I Zulkan, SE Pardini Alamat Redaksi: Jl. Raya Sejangkung, Kawasan Pendidikan Sebayan, Sambas – Kalimantan Barat Telp: .................... Fax: ..................... Email: .......................
ALWATZIKHOEBILLAH Jurnal Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora ISSN:DAFTAR ISI PENGANTAR KETUA DEWAN REDAKSI Rusiadi Epistemologi dalam Studi Islam, hlm. 1 – 15 Deni Irawan Kekerasan Atas Nama Agama dan Terorisme, hlm. 16 – 33 Ahmad Zailani Konsep Pendidikan Islam; Penelitian Kata Tarbiyat dan Ta’lim dalam al-Qur’an, hlm. 34 – 49 Zulkifli Penelitian Sejarah Pendidikan Islam: Peluang dan Pengantar Metodologi, hlm. 50 – 66 Suriadi Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam (Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam), hlm. 67 – 86 Khozin Muatan Pendidikan Multikultural dalam Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam (Analisis Bahan Ajar Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di SD Muhammadiyah Kota Malang), hlm. 87 – 106 Kamil Pluralisme dan Pendidikan di Indonesia: Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama, hlm. 107 – 124 Eni Dewi Kurniawati Pengembangan Bahan Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Pendekatan Tematis di SMA Negeri 2 Sambas, hlm. 125 – 144 Munadi Tinjauan Hukum Islam terhadap Prinsip Bagi Hasil dalam Perbankan, hlm. 145 – 156 Jamiat Akadol Reformasi Birokrasi Menuju Terwujudnya Good Governance (Telaah Sosiologis Sistem Hukum Kepegawaian di Indonesia), hlm. 157 – 176
EFISTEMOLOGI DALAM STUDI ISLAM Rusiadi *
ABSTRAK Pendekatan epistemologi merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk mengkaji Islam dan ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran dengan menggunakan akal dan menggunakan wahyu. Epistemologi secara umum bercorak rasionalisme yang dicari pembenarannya dalam al-Qur’an. Tetapi, epistemologi di era modern problemproblem yang dijumpai dalam tulisan sangat banyak, sehingga menimbulkan berbagai macam persepsi terhadap studi Islam itu sendiri. Dalam pemikiran epistemologi studi Islam terdapat beberapa model pemikiran, yang masing-masing bercorak dan objek kajian tersendiri. Di antara model pemikiran yang ada tersebut adalah model pemikiran epistemologi studi Islam bayani, kemudian model pemikiran epistemologi studi Islam burhani, model pemikiran epistemologi irfani.
KATA KUNCI: Epistemologi, Studi Islam
*
Dosen Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas HP. 081345475205, E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Menurut pemakaian istilah umum, epistemologi dapat diartikan sebagai mempelajari asal usul, atau sumber atau struktur, metode dan validitas (sahnya) pengetahuan. Model berpikir rasional berpendapat bahwa menemukan kebenaran dan sekaligus menjadi tolak ukur dengan menggunakan akal secara logis. Maka, benar atau tidaknya sesuatu dapat diukur dengan rasionalitas akal. Dengan demikian dapat disebut obyek kajian epistemologi rasional adalah halhal yang bersifat abstrak dan logis. Upaya rekonstruksi filsafat Islam perlu mendapatkan perhatian lebih. Namun sekedar wacana saja sangatlah tidak cukup, perlu upaya yang lebih real dan kongkrit yang harus terus dilakukan, agar kehadiran dan perkembangan filsafat Islam semakin terasa. Setidaknya ada 2 upaya yang perlu dilakukan yaitu membangun tradisi ilmiah Islam dan mengkonstruksi kembali bangunan epistemologi keilmuan dalam Islam, yang terakhir banyak terjadi kesimpang siuran dan ketidakjelasan yang dapat ditemukan dalam satu bidang ini. Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab menentukan corak pemikir dan pernyataan kebenaran yang hasilkan. Bangunnan dasar epistemologi berbeda dar satu peradaban dengan yang lain. Per-bedaan titik tekan dalam epistemologi memang sangat besar pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Oleh karena itu, perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas. PEMBAHASAN Biasanya, epistemologi diterjemahkan sebagai teori tentang ilmu, memahami ilmu (nadzariyyatul ‘ilm, fahmul ‘ilm). Setiap peradaban memiliki paham
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 tersendiri tentang ilmu, demikian pula Islam. Bagi seorang Muslim, epistemologi bukan hanya sekedar teori. Epistemologi Islam adalah bagian dari aqidah. Ini sudah dibahas oleh para ulama pada masa dahulu. Dalam buku ‘Al-‘Aqaid anNasafiyah’ misalnya, adalah di antara buku akidah yang menjadi pegangan bagi ahlus-sunnah wal-jamaah, (Andi Hamzah 2002: 35), Buku itu sudah membicarakan apa yang hari ini disebut sebagai epistemologi. ‘Haqaaiq al-asy’ya tsabitatun wal-‘ilmu bihaa mutahaqqiqun khilafan li ash-shufastaiyyah’. (Hakikat sesuatu itu adalah tsabit (tetap). Dan pengetahuan kita tentang hakikat tadi adalah benar, berbeda dengan para sophist. Epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar serta pondasi, alat, tolak ukur, keabsahan, validitas, , kebenaran ilmu, makrifat, serta pengetahuan manusia. Pengetahuan adalah semua yang diketahui. Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu juga merupakan hal yang sangat abstrak dalam kehidupan sehari-hari. Dan sulit dijadikan permasalahan ilmiah. Dalam dunia pemikiran epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya, bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban satu dengan yang lain. Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran secara utuh. Pandangan dunia manusia akan terpengaruh bahkan dibentuk dari konsepsinya tentang epistemologi. Oleh karena itu, perlu pengembangan empirisme dalam satu kesatuan dimensi yang bermuatan spritualitas dan moralitas. Sehingga diharapkan epistemologi Islam akan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 2 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
lahir dan memberi jawaban atas kegelisahan umat dewasa ini. Prinsip Epistemelogi Islam Allah berfirman:
Artinya: Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.(QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5). Ayat tersebut yang merupakan ayat pertama turun terdapat kalimat perintah yang tegas di awal pembicaraan. Iqra," [bacalah]. Pada perintah tersebut, mulailah ajaran Islam yang merupakan ajaran penerus para nabi terdahulu. Dalam pada itu pula, kelima ayat ini dijadikan oleh sebagian ilmuwan sebagai ayat perinsip epistemologi (teori-teori pengetahuan) dalam Islam. Prinsip Pertama, Iqra`Berasal dari kata qara`a yang artinya menghimpun. Ia juga bermakna menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak tertulis. Dalam ayat tersebut tidak disebutkan objek yang diperintahkan untuk dibaca. Yang diperintahkan hanyalah membaca dengan nama Tuhanmu. Hal ini dapat diartikan bahwa yang harus di baca dalam pencarian ilmu adalah segala sesuatu, yang disertai satu syarat, yaitu dengan
nama Tuhan yang telah menciptakan. Dalam pandangan al-Qur’an, ilmu (bacaan), adalah keistimewaan yang menjadikan manusia unggal di antara makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menganugerahkan kemapuan untuk menjadikhalifah di muka bumi ini. Allah berfirman:
Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya. Kemudian Dia mengemukakan kepada para malaikat seraya berkata, sebutkanlah kepadaku nama-nama benda-benda itu jika kamu memang orangorang yang benar.’ Mereka menjawab, ‘Maha Suci Engkau tiada pengetahuan kecuali yang telah engkau ajarkan. Sesuguhnya engkau maha mengetahui Maha Bijaksana. (QS. AlBaqarah [2]: 31-32). Pada ayat tersebut, Adam, sebagai bapak manusia diberikan pengetahuan, semuanya. Artinya, manusia sebagai anak cucu Adam juga memiliki potensi untuk mengetahui semuanya tersebut. Prinsip Kedua, dengan nama Tuhanmu yang menciptakan adalah satu prinsip dasar dalam aqidah umat Islam dan menjadi dasar pokok dalam epistemologi Islam. Bahwa dalam setiap pembacaan, penelitian, pendalaman, atau apa pun istlahnya, yang disyaratkan adalah dengan nama Tuhan. Hal ini bahkan ditegaskan pada ayat berikutnya, iqra, wa, rabbuka al-akram (bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 3 -
IAIS Sambas Pengulangan ini tentu bukan tanpa ada maksud. Allah benar-benar mengingkan manusia untuk menelaah suatu objek atas nama-Nya, yang menciptakan sekaligus Yang Maha Pemurah. Hal ini juga menunjukkan bahwa tanpa penggulangan, kecakapan membaca, menelaah, meneliti, dan lainnya tidak akan bisa dicapai. Ayat ini pula dapat disimpulkan bahwa bismi rabbika dan wa rabbuka al-alakram harus dijadikan sebagai titik tolak atau motivasi utama dalam pembacaan dan penelaahan. Demikian dengan tujuan akhir juga harus di pangkalkan pada Allah, Sang Pencipta dan Sang Pemurah. Artinya pula bahwa ilmu yang dipelajari harus didasari atas tauhid yang kuat. Dengan demikian, ilmu yang dikaji harus bernilai rabbani, tidak bebas nilai seperti tuduhan, sementara ilmuwan. Hal ini juga berarti, mambaca karena Allah, berarti membaca untuk kemaslahatan makhluk-Nya, karena Ia tidak butuh sesuatu dan karena makhluk-Nya lah Ia menciptakan alam semesta ini. Dengan kata lain, ilmu yang dituntut dengan nama Allah adalah ilmu yang bermanfaat untuk makhlukmakhluk-Nya. Prinsip Ketiga, Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa "Allah mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya. Hal ini mengisyaratkan bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu yaitu: Allah mengajarkan dengan pena, mengajar dengan pena dapat diartikan sebagai pengajaran yang biasa yaitu pengajaran terhadap apa yang sudah umum diketahui oleh manusia lainnya. Pengajaran apa yang tidak diketahui oleh manusia. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengajaran tanpa usaha manusia itu sendiri. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang diberikan Allah tanpa "pena."Ilmu yang kedua ini seringkali disebut oleh sebagian ilmuwan Islam dengan ilmu hudhuri,
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 yaitu perolehan yang didapat manusia, bukan yang dicapai oleh manusia. Kata mâ lam ya’lam juga diartikan sebagai hal-hal yang tidak terlihat oleh indera kasar, yaitu hal-hal non materi (ghaib), (Hamdani Ihsan, 2007: 56). Dengan demikian, objek ilmu pengetahuan dalam epistemologi Islam adalah hal-hal yang nampak (bisa) dipelajari dengan pena, dan hal-hal yang tidak tampak. Karena hal itulah, sebagian ilmuwan Islam merumuskan beberapa tingkatan alam yang bisa (mungkin) dipelajari oleh manusia. Dalam hal ini, alQur`an juga menyebutkan sarana dan tata cara dalam memperoleh ilmu tersebut, sebagaimana yang di firmankannya dalam al-Qur’an:
Artinya: Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai dengan petunjuk ilahi untuk memperoleh pengetahuan. (Q.S. Al-Nahl [16]: 78). Kata "al-af`idah" (hati) bias diartikan dengan akal atau hati. Artinya, pengetahuan dalam epistemologi Islam bisa diperoleh tidak hanya dengan mata dan hati saja, seperti yang didalihkan oleh kaum empirisme. Ilmu dalam Islam bisa diperoleh melalui akal serta hati. Dan apa yang dihasilkan dari akal dan hati juga mempunyai nilai yang tidak kalah dengan hasil penelitian empiris. Dengan demikian, kelima ayat tersebut telah memberikan dasar kuat bagi epistemoligi Islam. Bahwa ilmu dalam
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 4 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Islam sanagtlah luas. Ia harus dikaji dengan ujung dan pangkal karena dan untuk Allah. Ia juga tidak terbatas pada hal-hal yang empiris saja. Karena pengetahuan yang lahir hanyalah sedikit yang melalaikan manusia. Allah berfirman:
Artinya: "...Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia. Sedangkan tentang akhirat, mereka lalai." (QS. Al-Rûm [30]: 6-7). Model Pemikiran Epistemologi Studi Islam Dalam kajian epistemologi barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman probadi. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya, dengan teoti pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tida model sistem berfikir dalam Islam, yakni bayani, burhani, dahn irfani, yang masingmasing mempunyai pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan. Metode berfikir dalam paradigma ahkamy yang terdapat dalam ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan ilmu kalam oleh al-Jabari disebut dalil al-Bayani. Sedangkan metode dalam filsafat Islam yang membahas tentang paradigma falsafi disebut
dengan istilah dalil al-Burhani. Dan metode berikir yang membahas paradigma wijdany dalam ilmu tasawuf Jabari disebut dalil al-Bayani. Sedangkan metode dalam filsafat Islam yang membahas paradigma falsafi disebut dengan istilah dalil al-Burhani. Dan metode berfikir yang membahas paradigma wijdany dalam ilmu tasawuf disebut al-‘irfani. Produk pikir yang diperoleh oleh masing-masing metode berpikir juga berbeda. Jika dalil al-Bayani menghasilkan al-I’lm alTauqify, maka dalil al-Burhani menghasilkan al-I’lm al-Husuli dan dalil ‘irfani menghasilkan al-Ilm al-Hudury, (Muslim A. Kadir, 2003: 25). 1. Model berfikir Bayani Secara bahasa, bayani bermakna sebagai penjelasan, pernyataan, ketetapan. (Ahmad warson, 1984: 136). Sedangkana secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan epistemologi, maka pengertian adalah studi filosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempati tingkat sekunder dan bertugas untuk menjelaskan teks yang ada. Ditinjau dari perspektif sejarah, bayani sebetulnya sudah dimulai sejak masa awal Islam. Namun, hanya saja pada masa awal ini yang disebut dengan bayani belum merupakan sebuah upaya ilmiah dalam arti identifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teksteksnya, tetapi baru sekedar upaya penyebaran tradisi bayani saja. Dalam tradisi keilmuan Islam, corak bayani sangat dominan. Dengan segala karakteristiknya corak bayani bukanlah sebuah corak sempurna. Satu di antara kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yagn bersifat kontektual. Padahala, jika ingin mengembangkan pola berfikir bayani, mau tidak mau
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 5 -
IAIS Sambas harus menghubungkan dengan pola fikir irfani dan burhani. Jika masing-masing tetap kokoh pada pendiriannya dan tidak mau mmebuka diri, berdialog, dan tidak mau membuka diri, berdialog, dan saling melengkapi satu sama lain, sulit rasanya studi Islam dan pengembangan ilmu-ilmu keIslaman mampu menjawab tantangan kontemporer yang terus berkembang tiada henti. Dalam tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara akal menempati posisi sekunder. Tugas akal dalam konteks epistemologi bayani adalah menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara bagaimana implementasi ajaran teks tersebut dalam kehidupan konkret berada di luar kalkulasi epistemologi. (Ngainun Naim, 2009: 78-79). Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokan secara umum menjadi dua, yakni: a. Teks nash (al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) b. Teks non nash berupa karya para ulama Obyek kajian yang umum dengan pendekatan bayani adalah: a. Gramatika dan sastra (nahwu dan balagah) b. Hukum dan teori hukum (fiqh dan ushul fiqh) c. Filologi d. Teologi, dan e. Dalam beberapa kasus di bidang ilmuilmu Al-Qur’an dan Hadist. (Khoruddin Nasution, 2009: 43). Corak berfikir yang diterapkan dalam epistemologi bayani ini cenderung dedukatif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content). Sejak dari awal, pola pikir bayani lebih mendahulukan qiyas dan bukam mantiq lewat silogisme dan premis-premis logika. Epistemologi tekstual-lughawiyah lebih diutamakan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dari pada epistemologi kontekstual-bath tsiyah maupun spritualitas-irfaniyyahbatiniyyah. Di samping itu, nalar epistemologi bayani selalu mencurigai akal, pikiran, karena dianggap akan menjau-hi kebenaran tekstual. Sampai-sampai muncul kesimpulan bahwa wilayah kerja akal pikiran perlu untuk di batasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat. Sistem epistemologi bayani ini menghasilkan suatu pakem kombinatif untuk menafsirkan wacana dan menentukan syarat-syarat produksi wacana. Konsep dasar sistem ini menggabungkan metode fiqih seperti yang dikembangkan oleh asy-Syafi’i, dengan metode retorika seperti yang dikembangkan oleh al-Jahiz. Sistem ini berpusat pada hubungan antara ungkapan dan makna. Hasil akhirnya adalah sebuah teori pengetahuan yang dalam setiap levelnya bersiat bayani. Dalam logika internalnya, teori pengetahuan (epistemologi) ditentukan dengan konsep bayani yang merusak gaya bahasa puitik, ungkapan oral, pemahaman, komunikasi, dan penangkapan secara penuh. Hal yang sama juga terdapat dalam ranah materi pengetahuan, yang terutama disusun dari al-Qur’an dan hadits, tata bahasa, fiqih, serta prosa dan puisi Arab. Begitu juga dengan ranah ideologi, karena kekuaran otoritatif yang menentukan, yaitu dogma Islam, ada di belakang ranah ini. Oleh karena itu, sejak awal ada batasan atau larangan tertentu untuk menyamakan pengetahuan deng-an keimanan kepada Tuhan. Sistem ini juga diterapkan dalam ranah epistemo-logi, ddimana manusia dipahami sebagai makhluk yang diberkati kapasitas bayan dengan dua tipe “nalar”; pertama dalam bentuk bakat, dan yang lain adalah hasil pembelajaran.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 6 -
IAIS Sambas Al-Jabiri menjelaskan bahwa sistem bayani dibangun oleh dua prinsip dasar. Pertama, prinsip diskontinyuitas atau keterpisahan, dan kedua, prinsip kontigensi atau kemungkinan. Prinsip-prinsip tersebut termanifestasi dalam teori substansi individu yang mempertahankan bahwa hubungan substansi sebuah individu (tubuh, tindakan, sensasi dan apapun yang terbentuk di dalamnya) didasarkan atas hubungan dan asosiasi yang kebetulan saja, tapi tidak mempengaruhi dan berinteraksi. Teori ini sesungguhnya menafikan teori kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam. (Ngainun Naim, 2009: 80-81). 2. Model berfikir Burhani Kata burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan yang berarti argumentasi yang kuat dan jelas. Sedangkan kata yang memiliki makna sama dengan alburhan dalam bahasa Inggris adalah demonstration, arti dari kata tersebut adalah berfikir sesuai dengan alur tertentu atau penalaran yang dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, pengetahuan demonstratif merupakan pengetahuan yang integratif, sistematik, dan sistematis. Ciri daripada pengetahuan demonstratif ada tiga. Pertama, pokok bahasannya jelas dan pasti. Kedua, universal dan tidak partikular. Ketiga, memiliki peristilahan teknis tertentu. Menurut Abid al-Jabiri, burhan dalam logika adalah aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau dedukasi. sedangkan dalam pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi, (Ngainun Naim, 2009: 82). Istilah burhani juga dipakai dalam pengertian yang cukup beragam. Beberapa di antaranya; (1) cara atau jenis argumentasi; (2) argumen itu sendiri; (3) bukti yang terlihat dari suatu argumen yang meyakinkan.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Dalam bahasa lain, metode burhani atau demonstratif merupakan sebentuk interfensi rasional, yaitu panggilan premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Metode burhani atau demonstratif ini berasal dari filosof terkenal Yunani, yaitu Aristetoles. Apa yang dimaksudkan oleh Aristetoles dengan metode demonstratif ini adalah silogisme ilmiah, yaitu silogisme yang apabila seseorang memilikinya, maka orang tersebut akan memiliki pengetahuan. Menurut Aristetoles, silogisme merupakan seperangkat metode berfikir yang dengan silogisme tersebut, seseorang dapat menyimpulkan pengetahuan baru yang diperolehnya dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya. Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau metode penalaran rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari suatu pernyataan atau teori ilmiah dan filosofis dengan memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah. Tidak semua silogisme dapat disebut sebagai burhani atau demonstratif. Sebuah silogisme baru dikatakan sebagai demonstratif apabila premispremisnya di dasarkan bukan pada opini, melainkan didasarkan pada kebenaran yang telah teruji atau didasarkan pada kebenaran utama. Ditinjau dari perspektif metodologi, burhani menggunakan logika (al-maqayis) sebagai metodelogis, (Nginun Naim, 2009: 84-85). Sementara dalam pandangan filosof alFarabi, metode al-burhaniyah (demonstrasi) merupakan metodelogi yang super canggih dibandingkan dengan metodelogi-metodologi lainnya, seperti metoddologi dialektika (jadaliyah), dan metodologi retorika (khatabbiyah). Jika metode retorika dan dialektika dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum, hal ini tidak berlaku bagi metode burhani. Burhani hanya mampu dikonsumsi oleh orang-orang tertentu.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 7 -
IAIS Sambas Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut al-‘Ilm al-Husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan hanya melalui premis-premis logika. Metode burhani ini biasa digunakan dan dijumpai dalam filsafat paripatetik yang secara eksklusif mengandalkan dedukasi rasional dengan menggunakan silogisme yang terdiri dari premis-premis dan konklusi. Metode ini dikembangkan oleh al-Kindi, alFarabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Berbeda dengan epistemologi bayani, epistemologi burhani menempatkan akal dalam otoritas kebenaran. Jika, dalam epistemologi bayani setiap proses pemikiran pasti berangkat dari teks menuju makna namun, pada epistemologi burhani justru sebaliknya, yaitu makna lebih dulu lahir dari kata-kata, (Ngainun Naim, 2009: 86-87). Maksud epistemologi burhani adalah untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan dan akal tanpa dasar teks wahyu suci, yang memunculkan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris; alam, sosial, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di laboratorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat sosial maupun alam. Corak berfikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian emperis, (Khoruddin Nasution, 2009: 45). 3. Model berfikir Irfani ‘Irfan dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan dengan al-‘ilm. Di kalangan sufi, kata ‘irfan dipergunakan untuk menunjukan jenis pengetahuan yang tertinggi, dihadirkan ke dalam qalb dengan cara kasyf atau ilham. Di kalangan kaum sufi sendiri, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 langsung tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan. Dalam konteks pemaknaan terhadap ma’rifah, klasifikasi pengetahuan yang dilakukan oleh Dzu al-Nun al-Mishri menempatkan ma’rifah sebagai satu diantara jenis pengetahuan khusus di kalangan sufi. Pengetahuan khusus di dalam pandangan Dzu al-Nun, yang disebut dengan pengetahuan hakiki. Dzu alNun membagi pengetahuan kepada tiga jenis yakni; (1) pengetahuan orang awam yang menatakan bahwa Tuhan itu Esa dengan perentaraan ucapan syahadat (2) pengetahuan ulama yang menyatakan bahwa Tuhan itu Esa menurut logika akal, dan (3) pengetahuan para sufi yang menyatakan bahwa Tuhan itu Esa dengan perantaraan hati nurani. Pengetahuan jenis pertama dan kedua baru pada tahap ilmu, sedangkan pengetahuan ketiga merupakan pengetahuan hakiki, yaitu ma’rifat. (Ngainun Naim, 2009: 89). Irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ilham). Dari irfani muncul illuminasi. Prosedur penelitian irfaniah berdasarkan literatur tasawuf, secara garis besar langkahlangkah penelitian irfaniah sebagai berukut: a. Takhliyah: pada tahap ini, peneliti mengkosongkan (tajarrud), perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatian pada (tawjih). b. Tahliyah: pada tahap ini, peneliti memperbanyak amal sholeh dan melazimkan hubungan dengan alKhaliq lewat ritus-ritus tertentu. c. Tahliyah: pada tahap ini, peneliti menemukan jawaban batiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya. Paradigma irfaniyah juga mengenal teknik-teknik yang khusus. Ada tiga teknik penelitian irfaniyah:
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 8 -
IAIS Sambas a.
Riyadah: rangkaian latihan dan ritus dengan penahapan dan prosedut tertentu. b. Tariqah: di sini diartikan sebagai kehidupan jama’ah yang mengikuti aliran tasawuf yang sama. c. Ijazah: dalam penelitian irfaniah, ke hadiran guru sangat penting. Guru membimbing murid dari tahap yang satu ke tahap yang lain. Pada tahap tertentu, guru memberikan wewen a n g (i j a z a h ) k e p a d a m u r i d . (Khorarudin Nasution, 2009: 4546). Epistemologi ‘irfani diharapkan menjembatani sekaligus menghindari kekakuan (rigiditas) dalam berfikir keagamaan yang menggunakan teks sebagai sumber utamanya. Dengan peran dan fungsinya, epistemologi ‘irfani dalam pemikiran Islam menjadi mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam. Memang, perpaduan antara “teks” dengan “akal” ternyata tidak selamanya berjalan baik dan sesuai dengan harapan. Dalam kondisi ini, perpaduan ini ternyata juga membawa dampak yang kurang produktif, baik berupa ketegangan, konflik, dan bahkan dalam batas-batas tertentu dalam bentuk kekerasan. Berbeda dengan kedua epistemologi sebelumnya, sumber epistemologi ‘irfani adalah intuisi. Karana menggunakan intuisi ini, maka status keabsahannya acapkali digugat, baik oleh tradisi bayani maupun burhani. Epistemologi mempertanyakan keabsahannya karena tidak mengeindahkan pedoman-pedoman yang diberika teks. Sementara itu epistemologi burhani mempertanyakan keabsahannya karena dianggap tidak mengikuti aturan dan analisa logika. Sumber terpokok epistemologi ‘irfani adalah pengalaman (eksperince). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya. Ketika manusia
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan, dalam lubuk hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui adanya Dzat Yang Maha Suci dan Maha segalanya. Untuk mengetahui Dzat Yang Maha tersebut, manusia tidak perlu menunggu turunannya teks. Validitas kebenaran ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung oleh intuisi dan al-dhauq. Sekat-sekat formalitas lahiriah yang diciptakan tradisi bayani maupun burhani, baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit, golongan, kultur, merenggangkan hubungan interpersonal antar umat manusia, hendak dipinggirkan oleh tradisi berfikir orisinal ‘irfani. Ditinjau dari sisi metode, ‘irfani yang dikembangkan terutama oleh kalangan sufi menggunakan metode pengetahuan iluminasi (kasyf). Kasyf adalah uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman yang tersingkap bagi seseorang, seakan ia melihat dengan mata telanjang. Selain itu pula, kasyf juga diartikan sebagai penyingkapan atau wahyu. Ia merupakan jenis pengalaman langsung yang lewat pengalaman tersebut, pengalaman tentang hakiki diungkapkan pada hati sang hamba dan pecinta. (Ngainun Naim, 2009: 90-93). Sumber-sumber Pengetahuan Dalam Epistemologi Studi Islam Dikalangan para ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah al-Qur’an dan asSunnah, serta penalaran dan akal pemikiran adalah alat untuk memahami alQuran dan as-Sunnah. Ketentuan itu sesuai dengan agama Islam sebagai wahyu dari Allah Swt. Yang penjabarannya dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Didalam al-Quran surat an-nisa ayat 59 kita dianjurkan untuk mentaati AlQuran dan Rasul-Nya serta ulil amri (pemimpin). Dimana ketentuan-ketetuan Allah terdapat dalam al-Qur’an dan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 9 -
IAIS Sambas ketentuan Rosulullah Swt yang terdapat dalam hadits yang mengandung konskwensi ketaatan kepada Allah dan Rasul nya. Sedangkan ketaatan kepada ulil amri atau pemimpin sifatnya kondisionalnya atau tidak mutlak karena betapa hebatnya ulil amri, ia hanyalah manusia biasa yang memiliki kekurangan dan tidak dapat di kultuskan. Jika ketentuan dari ulil amri sesuai dengan ketentuan Allah maka patut dipatuhi dan jika ketentuan yang dibuat oleh ulil amri tidak sesuai dengan ketentuan Allah maka tidak wajib dipatuhi. al-Qur’an al-Qur’an adalah kitab terakhir dari Allah, sumber asasi manusia yang pertama dan utama, yang berisi petunjuk illahi untuk manusia untuk membahagiakan mereka di akhirat. Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Quran diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar yang keberadaannya sangat di butuhkan manusia. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya: “Dan sesungguhnya al-Quran ini benarbenar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,iadibawa turun lewat Ar-ruh AlAmin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang berserah diri( kepada Allah).”(Q.S. An-Nahl 102). Sebagai sumber pengetahuan alQur’an sebagai mutiara pengetahuan yang tak terhingga jumlahnya,yang pada dasarnya mengandung beberapa pokok pikiran antara lain: 1) Aqidah 2) Syariah,ibadah, dan muamalah 3) Ahklak 4) Kisah-kisah lampau 5) Berita-berita yang akan datang 6) pengetahuan-pengetahuan illahi lainnya. As-sunnah Kedudukan As sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain berdasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 hadits juga berdasarkan pada pendapat kesepakatan para sahabat. Sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, as-Sunnah memiliki fungsi yang intinya sejalan dengan al-Qur’an. Keberadaan as-Sunnah tidak dapat dilepaskna dari adanya sebagian ayat alQur’an: a. Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian b. Bersifat umum(menyeluruh) yang menghendaki pengecualian. c. Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan . d. Isyarat al-Qur’an yang mengandung makna lebih dari satu (mustarak) yang menghendaki penerapan makna yang secara khusus yang tidak dijumpai keterangannya di dalam al-Qur’an yang selanjutnya diserahkan pada hadits Nabi. Selain itu, ada pula yang dijelaskan dalama al-Qur’an tetapi datang untuk memberikan keterangan sehingga masalah tersebut menjadi kuat. Dalam kaitan ini, maka hadits berfungsi merinci petunjuk dan isyarat alQur’an yang bersifat global, sebagai pengecualian terrhadap isyarat al-Qur’an yang bersifat umum, sebagai pembatas ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, dan sebagai pemberi informasi terhadap sesuatu yang tidak dijumpai didalam alQur’an. Dengan posisi yang demikian itu, maka pemahaman al-Qur’an dan pemahaman ajaran Islam lainnya yang seutuhnya tidak dapat dilakukan tanpa mengikut sertakan Nabi Muhammad Saw. Kriteria Kebenaran Dalam Epistemologi Studi Islam Pandangan Islam akan ukuran kebenaran merujuk pada landasan keimanan dan keyakinan terhadap keadilan yang bersumber pada al-Qur’an sebagaimana yang diutarakan oleh Fazrur Rahman bahwa semangat dasar dari Al-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 10 -
IAIS Sambas Quran adalah semangat moral, ide-ide, keadilan sosial dan ekonomi. Hukum moral adalah abadi, dan merupakan perintah Tuhan. Manusia tak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral, menyerahkan diri kepadanya. Pernyataan ini dinamakan Islam dan implementasi dalam kehidupan disebut ibadah atau pengabdian kepada Allah, tetapi hukum moral dan nilai-nilai spritual, untuk bisa dilaksanakan haruslah diketahui. Dalam kajian epidtemologis Islam di jumpai beberapa teori tentang kebenaran: 1. Teori Korespondensi Menurut teori ini sesuatu posisi atau pengertian itu benar adalah apabila terdapat suatu fakta kesesuaian, yang beralasan dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual, maka kebenaran adalah sesuai dengan fakta dan sesuatu yang selaras dengan situasi akal yang diberinya interpretasi. 2. Teori Konsistensi Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan suatu yang lain yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan-putusan yang baik dengan putusan yang lainnya dan di akui benar terlebih dahulu, jadi sesuatu itu benar, berhubungan itu saling berhubungan dengaan kebenaran sebelumnya. 3. Teori Prakmatis Teori ini mengemukakan benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau semata-mata tergantung pada faedah atau tidaknya suatu ucapan, dalil atau terori tersebut bagi manusia untuk berfaedah dalam kehidupannya. Hakikat Ilmu Pengetahuan Istilah al-Qur’an untuk ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm, ma’arifat, hikmat, basiirat, ra’ay, dhann, yaqeen, tadhkirat,
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 shu’ur, lubb, naba’, burhan, dirayat, haqq, dan tasawwur. Istilah untuk kekurangan ilmu pengetahuan adalah: jahl, raib, shakk, dhann, dan ghalabat al dhann. Tingkatan ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm al yaqeen, ‘ayn al yaqeen, dan haqq al yaqeen. Pengetahuan dihubungkan dengan iman, ‘aql, qalb, and taqwah. al Qur’an menegaskan dasar pengetahuan yang nyata, hujjiyat al burhan. Tempat ilmu pengetahuan adalah akal dan kalbu. Pengetahuan Allah adalah tidak terbatas, sedangkan pengetahuan manusia sangat terbatas. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda-beda. Pengetahuan merupakan milik umum yang tidak bisa disembunyikan atau di monopoli. Manusia, malaikat, jin dan makhluk hidup lainnya mempunyai jumlah pengetahuan yang bervariasi. Pengetahuan bisa menjadi abadi, contohnya ilmu yang diwahyukan. Jenis-jenis lain pengetahuan bersifat relatif, nisbiyat al haqiqat. Hakikat yang mungkin dari ilmu pengetahuan muncul dari keterbatasan pengamatan manusia dan interpretasi dari fenomena fisik. Peran dan Fungsi Pengetahuan Dalam Islam (Kajian Aksiologi) Pengetauan berasal dari bahasa Arab ‘ilm yang merupakan lawan kata dari jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Pengetahuan itu sendiri dari dua jenis yaitu: a. Pengetahuan biasa b. Pengetahuan ilmiah Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya manusia, seperti pikiran, perasaan, pengalaman, panca indera, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan objek, cara dan kegunaannya. Dalam bahasa Inggris, jenis pengetahuan ini disebut knowladge. Pengetahuan ilmiah juga merupakan keseluruhan untuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesu-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 11 -
IAIS Sambas atu, tetapi dengan memperhatikan objek yang ditelaah, cara yang digunakan, dan kegunaan pengetahuan tersebut. Dengan kata lain bahwa, pengetahuan ilmiah memperhatikan objek ontologis, landasan aksiologis dari pengetahuan itu sendiri. Jenis pengetahuan ini dalam bahasa inggris disebut science. Dan ilmu yang dimaksud disini adalah pengetahuan kedua. Menurut Nur Cholis Majid, ilmu adlah pelaksanaan perintah Tuhan untuk memperhatikan dan memahami alam raya ciptaannya, sebagai menifestasi atau penyingkapan tabir dan rahasiaNya. Argumen ini dijelaskan Ibnu dalam makalahnya”Fashl al-Maqaal wa Takriir ma Bain al-Hikmah wa Syaria’ah mim al ittishal” antara iman dan ilmu tidak dapat dipisahkan karena iman tidak saja mendorong bahka menghasilkan ilmu. Peran dan fungsi dalam Islam ini dapat kita lihat dari lima ayat pertama surah Al-Alaq. Pada ayat tersebut terdapat kata iqra’ yang diulang sebanyak dua kali. Kata tersebut menurut Al-Baquni, selain artinya membaca dalam arti biasa, juga berarti menelaan, mengobservasi, membandingkan, mengukur, mendiskripsikann, menganalisa, mendeskripsikan secara induktif. Secara rinci dapat digambarkan empat fungsi ilmu pengetahuan: 1. Fungsi deskriptif yaitu menggambarkan, melukiskan, dan memaparkan, atau masalah sehingga mudah dipelajari. 2. Fungsi pengembangan yaitu melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil penemuan yang baru. 3. Fungsi prediksi yaitu mengamalkan kejadian-kejadian yagn besar memungkinkan terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu usaha menghadapi.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 4. Fungsi kontrol yaitu berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki. Demikian pentingnya ilmu ini hingga Islam memandang bahwa orang menuntut ilmu sama dengan berjuang di jalan Allah. Islam menempuh cara demikian, karena dengan ilmu pengetahuan seseorang dapat meningkatkan kualitas dirinya, ibdahnya, dan kualitas imannya. SIMPULAN Epistemologsi merupakan satu diantara cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas mengenai batasan, dasar, dan pondasi, alat tolak ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia. Dalam dunia pemikiran epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkan yang berdasarkan prinsip-prinsip (teoriteori ilmu pengetahuan) dalam Islam, oleh karena itu perlu pengembangan empirisme tetapi ia juga harus dikaji dengan ujung dan pangkal karena dan untuk Allah dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas yang bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah-Nya. Sehingga diharapkan epistemologis Islam akan lahir dan memberi jawaban atas kegelisahan umat dewasa ini. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori pengetahuannya (epistemologis), yaitu ada tiga model sistem berfikir dalam Islam, yakni bayani, burhani, dan irfani. a. Model berfikir Islam Bayani bersumber pada teks, baik nash, maupun non-nash. b. Model berfikir Islam burhani bersumber pada akal dan emperikal. c. Model berfikir Islam irfani, bersumber pada kasf.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 12 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Setiap epistemologis, termasuk didalamnya irfani, memiliki kelebihan dan kelemahan. Tidak ada di antara ketiga epistemologi keilmuan Islam tersebut yang sempurna. Eksistensi ketiganya justru saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, hal yang bijak bukanlah menafikan eksistensi peran masing-masing, tetapi bagaimana masing-masign epistemologis tersebut menjalankan pe-.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 13 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan Metedologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pres. Abdullah, Amin. 1996. Studi Agama Normativitas dan Historitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Abdul Munir Mulkhan. 1993. Paradigma Intelektual Muslim. Yokyakarta: Sipress. Ahmad Syafi’i Ma’arif. 1989. Posisi sentral Al-Qur’an dalam studi Islam Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Ahmad, Amrullah. 1991. Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Aziz, Abd, Filsafat. 2009. Pendidikan Islam,Yogyakarta. Teras. Departemen Agama RI. 1993. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Gema Risalah Press. Fazlurrahman. 1985, Islam Dan Intelektual. Bandung: Pustaka.
Modernitas;
Tantangan
Transformasi
George R. Knight. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta, Gama Media. Harun Nasution. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang. Ashraf, Ali, 1996. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. Junaedi, Mahfud. 2010. Ilmu Pendidikan Islam: Filsafat dan Pengembangan. Semarang: RaSAIL Media Group. Kadir, Muslim A. 2003. Ilmu Islam Terapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Progresif. Mulkhan,. Abdul Munir. 2002. Nalar Spritual Pendidikan ; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana. Muchtar, Aflatun. 2008. Arah Baru Studi Islam di Indonesia Teori dan Metodologi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 14 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Mujamil Qomar. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam, Jakarta, Penerbit Erlangga. Naim, Ngainun. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: TERAS. Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIATAZZAFA. Syukur, Suparman. 2007. Epistermologi Islam Skolastik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Surya, Muhammad, 2000. Integrasi Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional dalam Tauhi Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan. Bandung: Nuansa. Syafi’i Ma’arif,. Ahmad. 1991, Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf, 1979. Crisis Muslim Education, Jeddah: King Abdul Aziz University. Shihab. Quraish. 1999. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan. Wan Daud., Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung: Mizan. Ziaudin Sardar. 1992. Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim. terj, Rahmani Astuti, Bandung: Mizan.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 15 -
KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA DAN TERORISME Deni Irawan *
ABSTRAK Agama dianggap bermuka dua yang boleh ditafsirkan oleh orang dengan berbagai macam penafsiran, sehingga berakibat salah penafsiran dan menjadikan agama sebagai sebuah tameng pembenaran pada tindakan yang dilakukannya. Munculnya tindakan-tindakan pengeboman, pembantai dan lain sebagainya yang bernuansa kekerasan, selalu diidentikkan dengan adanya kekerasan yang disebabkan agama. Terorisme sebagai gerakan yang membawa ambisi kebenaran, menggunakan pelbagai kendaraan yang salah satunya adalah kendaraan agama, politik dan ekonomi. Apapun kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba hegemonik, anarkis, brutal dan radikal. Bertitik tolak dari pemaparan di atas, maka penulis akan mencoba menelaah lebih jauh faktor agama dalam kontek keislaman khususnya karena mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam dan Islam sendiri sering muncul dalam perkembangan isu-isu terorisme belakangan ini, terutama aksi terorisme yang terjadi di Indonesia sering dilakukan dengan dan atas nama agama Islam. Perlu ditelaah di sini ialah apakah aksi terorisme diterima sebagai doktrin agama atau merupakan alat dari orang yang beragama. Apakah benar bahwa aksi terorisme itu harus selalu dikaitkan atas nama agama? Untuk itu dalam pembahasan ini, penulis akan coba melihat seluk-beluk serta menganalisis terorisme atas nama agama serta keterkaitan antara aksi terorisme dengan Islam. Selain itu, penulis juga akan mencoba untuk mencari solusi penyelesaian yang terbaik untuk tindakan aksi teror hanya karena atas nama agama sekaligus mencari upaya pencegahan tindak terorisme di Indonesia.
KATA KUNCI: Kekerasan Agama, Teorisme
*
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas HP.081256164050 E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Beberapa tahun belakangan ini termasuk juga Di Indonesia, isu radikalisme agama sangat menguat dan mengguncangkan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Peristiwa bom Bali menewaskan ratusan nyawa, ledakan bom hotel JW Marriot, Jakarta dan tempat lainnya. kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara, memperjuangakan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan dalam masyarakat bahwa bangsa ini dalam masyarakat bahwa bangsa ini adalah pluralis. Setiap muncul kekerasan yang mengatasnamakan agama selalu muncul pertanyaan klasik, mengapa agama seperti yang sering terjadi di Indonesia, mudah terlibat dalam aksi kekerasan? Dari pertanyaan itu, kemudian dapat dengan mudah mengulangulang ungkapan kekerasan agama. Kendati secara sosiologis ungkapan tersebut lazim digunakan. Secara teologis bisa dikatakan merupakan ungkapan yang mengandung resiko, karena sama halnya dengan mengatakan bahwa agama membenarkan kekerasan. Agama sering diposisikan sebagai aturan yang disepakati bersama. Bisa juga dikatakan bahwa agama adalah unsur terpenting kehidupan manusia yang sepakat untuk dihormati dan ditaati. Agama sebagai norma berkehidupan secara otomatis telah memberikan suasana tertib sosial dan rasa harmoni, sehingga manusia merasakan juga manfaatnya dalam beragama. Manusia, juga mengakui, bahwa agama telah memberikankontribusi besar terhadap ketenangan hidup di tengah keragaman suku, ras dan etnik. Maka dengan beragama akan muncul garansi ketertiban sosial, modal keteraturan sosial dengan kadar yang berbeda-beda. Namun sebaliknya, agama terkadang dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan yang tidak sesuai dengan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 kaidah dan aturan serta norma yang berlaku di masyarakat. PEMBAHASAN Kekerasan Atas Nama Agama Banyak teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa kekerasan atas nama agama ini tumbuh subur di Indonesia, baik teori ekonomi (kemiskinan), psikologi (marginalisasi), pendidikan (keterbelakangan), politik (pemerintah yang KKN), sosial (globalisasi), maupun budaya (sekuler). Atas dasar ini, kekerasan atas nama agama bukanlah isu tunggal melainkan sebagai isu plural dan global. Ia tidak saja berkembang di Indonesia, tetapi juga berkembang di dunia luas. Kekerasan atas nama agama yang melahirkan gerakan sosial teroris ini, kini bukan dianggap sebagai hal baru khususnya di mata masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya. Kekerasan atas nama agama beberapa tahun terakhir mewarnai berbagai sisi kehidupan masyarakat di Tanah Air. Dengan motif jihad, para pelaku menebar teror. Banyak yang sudah tertangkap serta dipenjara. Akan tetapi kegiatan teror mengatasnamakan agama tidak berhenti. Di Indonesia kekerasan yang terjadi atas nama agama sangat banyak. Menurut Adianto P. Simamora (2009) mengutip pernyataan Wahid Institue melaporkan adanya peningkatan kekerasan agama di negara ini. Tercatat ada 232 kasus berkenanan dengan kekerasan agama di 2009, sedangkan di 2008 dilaporkan ada 197 kasus. Selain itu, Kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia selama tahun 2011 yang paling tinggi adalah pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48%, kemudian tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 17 -
IAIS Sambas 20 %, pembiaran kekerasan 11 kasus (11%), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4%). Berdasarkan data ini dapat dipahami bahwa selama tahun 2011, telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia dan apabila tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat 18% menjadi 92 kasus. ( Sindhunata: 2003, 13-21). Dalam bukunya yang berjudul Kekerasan Agmaa Tanpa Agama Thomas Santoso (2002: 1) mengatakan bahwa menurut pendapat para ahli biologi, fisiologi, dan psikologi, manusia melakukan kekerasan karena kecenderungan bawaan (innate) atau sebagai konsekuensi dari kelainan genetik atau fisiologis. Kelompok pertama (ahli biologi) meneliti hubungan kekerasan dengan keadaan biologis manusia, namun mereka gagal memperlihatkan faktor-faktor biologis sebagai penyebab kekerasan. Juga belum ada bukti ilmiah yang menyimpulkan bahwa manusia dari pembawaannya memang suka kekerasan. Kekerasan agama selama berabadabad merupakan kejahatan terburuk yang telah mengisi peradaban manusia. Sesuatu yang paradoks, karena agama mengajarkan nilai-nilai luhur, tetapi agama juga bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan di muka bumi. Ada yang berpendapat bahwa sumber utama konflik dan kekerasan dunia adalah agama. Semua agama di dunia ini tentu tidak ada yang pernah untuk mengajarkan aksi kekerasan, tindakan terorisme karena setiap agama pasti mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Menurut cendekiawan muslim Azumardi Azra kekerasan atas nama agama hanya
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dilakukan sekelompok kecil. Masyarakat muslim Indonesia itu cinta damai. Pemahaman keagamaannya juga mengajarkan kedamaian. Kekerasan hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang akar-akar literal dan dalam melihat kemungkaran, bagi mereka tidak cukup dengan amar maruf tapi nahi munkar. Menghentikan kekerasan atas nama agama butuh waktu lama dan tanggung jawab bersama. Seperti perjuangan warga kulit hitam diakui di AS. Warga kulit hitam di AS telah mendapat kan tempat terhormat. Jika kini seorang pria kulit hitam berada di Gedung Putih, itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Melabelkan agama sebagai satu diantara varian potensial pemicu kekerasan, dalam banyak aspek tidaklah rasionaal, karenaa tidak satupun agama secara normatif mengajarkan perilaku kekerasan itu, baik kekerasan terhadap sesama pemeluk agama maupun antar pemeluk agama. Pesan-pesan ideal dari masing-masing ajaran agama tersebut pada hakikatnya lebih menekankan sikap damai, kasih sayang, toleransi, solider, egaliter, dan keadilan. Namun demikian, fakta sosiologis selalu menunjukan praktik yang sebaliknya, yaitu adanya perilaku keagamaan maupun keberagamaan yang timpang. Ketimpangan tersebut, tidak menutup kemungkinan berakar dari faktor cara pemahaman agama yang sangat literalis dan skripturalis. Sebuah pemahaman keagamaan yang memicu munculnya kelompok-kelompok konservatisme, puritanisme, dan radikalisme, yang oleh kalangan islamist disejajarkan dengan gerakan fundamentalisme Kristen awal abad 20-an. Jika melihat kejadian kekerasan atas nama agama atau kekerasan antar pemeluk agama dalam konteks keindonesiaan, terjadi pada gejalagejala kekerasan yang terdapat di Purwokerto awal November 1995, Akhir Nopember 1995 dan April 1997 di
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 18 -
IAIS Sambas Pekalongan, Tasikmalaya, September 1996, Situbondo, Oktober 1996, Rengas Dengklok, Januari 1997, Sampang dan Bangkalan Mei 1997, Medan, April 1996, Tanah Abang, Agustus 1997, Mataram, September 1997, Flores dan Subang, Agustus 1997, Konflik antara FPI versus Ahmadiyah, FKBP versus FPI sekitar tahun 2010. Penyebab terjadinya ekerasan tersebut atas nama agama dan pelaku teror setiap orang mengenal kata agama meskipun tidak semua orang mempercayai agama. Menurut Eka Hendry (2009: 63) kata agama diartikan dengan kata damai (aslama), keteraturan (agama sansekerta), keselamatan (aslama), serta ketundukan (Inqiyad). Kelompok masyarakat yang percaya terhadap keberadaan agama menempatkan agama sebagai referensi utama aktivitas kehidupan. Bahkan bagi salah satu kelompok menempatkan tidak hanya sebatas referensi kehidupan manusia yang mempunyai dampak dikemudian hari, bahkan agama sudah menjadi tradisi yang mewarnai kehidupan sehari-hari. Tradisi yang berbasis agama termasuk tradisi yang berakar pada dua pondasi kokoh, yaitu perilaku manusia yang telah disepakati bersama dan memberdayakan; teks agama otentik yang telah terinterpretasi dalam kehidupan sehari-hari. Perlu disadari bahwa faktor kekerasan agama tidak hanya dipicu faktor eksternal seperti kepentingan politik, ekonomi dan sosial. Fakkehidtor internal juga dapat memberikan kontribusi yang besar. Masalah interpretasi atau penafsiran merupakan satu di anta ra masalah utama yang bisa mendorong umat beragama melakukan tindak kekerasan atas nama agama dan tindakkan terorisme. Agama terkesan merupakan sumber dari kekerasan akan tetapi pemahaman yang tekstualis terhadap kitab suci. Kitab Suci agamalah
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 yang bisa menjadi variabel yang paling signifikan dalam mendorong timbulnya perilaku kekerasan agama. Di samping mendorong perilaku kekerasan agama, tekstualisme dan Islamisme juga berkorelasi positif dengan perilaku kekerasan umum dan kekerasan negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa agama merupakan sumber identitas yang kuat dalam diri seseorang. Agama profetik seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Persaingan antar agama yang memicu konflik sangat muah terjadi apabila satu di antara kelompok merasa identitasnya terancam. Seperti contoh yang dapat dilihat pada kejadian konflik Ambon dan Poso. Di Indonesia pada saat ini kita sedang berhadapan dengan gerakan Islam fundamentalis yang berusaha untuk mendirikan negara Islam. Sudah terbukti bahwa itu merupakan salah satu sumber terbesar kekerasan agama yang terjadi di negara kita. Bukan hanya gereja atau kelompok agama lain yang dianggap sebagai musuh melainkan juga kelompok Islam lainnya yang tidak setuju dengan ide negara Islam tersebut. Akibatnya negara kita mengalami penderitaan yang sangat dalam. Muncul kecurigaan antara pemeluk agama dan memicu terbentuknya semangat separatis. Dalam realitas negara kita sekarang ini, terorisme adalah bentuk paling nyata dari kekerasan politik-agama di Indonesia. Dalam konteks teologis, terorisme bisa mengambil bentuknya dari agama sebagai landasan dan alat untuk mendapatkan kekuasaan, sebagai tujuan dari teror tersebut. Memang hampir setiap aksi terorisme yang dilakukan pasti selalu dikaitkan atas nama agama. Kita sebagai masyarakat yang hidup di Indonesia tentu bertanya, mengapa hal demikian bisa terjadi? Apa alasan atau faktorfaktor yang menyebabkan mereka selalu
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 19 -
IAIS Sambas menggunakan nama agama dalam melakukan setiap aksi teror mereka? Apa yang telah diajarkan oleh agama tersebut sehingga para pengikutnya melakukan aksi terorisme? Padahal setiap agama mengajarkan kita untuk mengadakan pedamaian di dunia. Ataukan memang orangnya yang menafsirkan yang salah terhadap konteks ajaran terhadap agama tersebut. Penting kirannya penulis ungkap beberapa faktor yang menyebabkan para pelaku teror melakukan kekerasan (terorisme) atas nama agama, yaitu sebagai berikut : 1. Kurangnya atau tidak menghayati serta memahami keseluruhan esensi dari pendidikan agama yang diperoleh. 2. Kurangnya pengawasan serta perhatian dari orang tua atau keluarganya serta kerabat baiknya dalam mengendalikan cara pergaulannya di dalam lingkungan sehingga ia mudah dihasut. 3. Lingkungan pergaulan, dimanapun itu, yang tidak kondusif serta berpotensi menumbuhkan pola pikir sempit atau skeptis bahkan radikal terhadap agama yang ia anut. Sebagai contoh akhir-akhir ini banyak orangorang Indonesia yang pergi ke Timur Tengah atau Afganistan bahkan beberapa negara lainnya seperti Filipina yang di mana pada awalnya tujuan mereka pergi ke sana adalah untuk studi namun kemudian setelah pulang kembali ke Indonesia mereka berubah menjadi teroris diakibatkan oleh pengaruh lingkungan serta ajaran selama mereka berada disana dari orang-orang berpola pikir yang sempit serta radikal. Contoh lainnya ialah di mana tersangka teroris seperti Imam Samudera dan Amrozi yang memang sejak muda sudah dilatih dan tinggal di lingkungan militan teroris di Afganistan sehingga
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 wajar jika begitu pulang ke Indonesia mereka sudah menjadi teroris. 4. Ketidakpuasan ekonomi dan hal-hal yang bersifat material yang dia peroleh dalam hidup, sehingga untuk melampiaskan kekesalan dan ketidakpuasannya dia melakukan aski teror dengan dalih atas nama agama karena mungkin saja hal itu justru akan mengobati ketidakpuasannya dalam bidang ekonomi tersebut. 5. Adanya dokma dan doktrin agama dalam memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan kekerasan. 6. Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila para pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang mayoritas, untuk mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap kekerasan akan terbuka lebar. 7. Agama bisa digunakan secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material lainnya. Itulah gambaran beberapa faktor yang menyebabkan orang melakukan tindakan aksi kekerasan atas nama agama di Indonesia ini. Pemaknaan Kata Terorisme dan Teror Terorisme dapat dipandang dari berbagai sudut ilmu, baik dari Sosiologi, kriminologi, politik, psikiatri, hubungan internasional dan hukum, oleh karena itu sulit merumuskan suatu definisi yang mampu mencakup seluruh aspek dan dimensi berbagai disiplin ilmu tersebut. Di sini ditampilkan beberapa pendapat mengenai pengertian terorisme sebagai sebuah acuan dalam pembahasan ini.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 20 -
IAIS Sambas 1. Menurut Konvensi PBB tahun 1937, Terorisme adalah segala bentuk tindakan kejahatan yang ditunjukkan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas. 2. US Department of Defense tahun 1990, terorisme adalah perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau idiologi. Berikut ini akan di paparkan definisi terorisme dari beberapa tokoh: a. Menurut Muhammad Mustofa, terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang ditujukan pada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan kematian, ketakutan, ketidakpastian dan keputusasaan massal. b. Menurut James M. Poland, terrorism is the premeditated, deliberate, systematic murder, mayhem and threatening of the innocent to create fear and intimidation, in order to gain a political or tactical advantage, usually to influence audience. c. Menurut FBI, terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemenelemennya untuk mencapai tujuantujuan sosial atau politik . Terorisme seperti ditegaskan dalam Convention of the Organization of the Islamic Conference on Combating International Terroism (1999) sebagaimana dikutip Muladi merupakan tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan, terlepas dari motif atau niat
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individual atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan meeka, atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan, dan hak merekan atau mengeksploitasi lingkungan atau fasili-tas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya atau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas Internasional, atau mengancam stabilitas, intergritas teritorial, kesatuan politis atau kedaulatan negara-negara merdeka . Terorisme merupakan kejahatan Internasional yang terorganisir (transnasional organized crime). Oleh karena itu dalam penanggulangannya membutuhkan kerjasama Internasional. Menurut Konvensi Palermo, 2000, suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai transnasional organized crime, apabila memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Dilakukan lebih dari satu negara; 2. Dilakukan di satu negara, tetapi persiapan, perencanaan dan pengendaliannya mengambil tempat di negara lain; 3. Dilakukan di satu negara, tetapi melibatkan suatu kelompok kejahatan terorganisasi yang memiliki jaringan kegiatan di banyak negara; atau 4. Dilakukan di satu negara, tetapi secara substansial efeknya mengimbas sampai ke negara lain. Selain itu, karakteristik terorisme dapat dilihat dibawah ini: 1). Karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi, rekrutmen, pendanaan dan hubngan Internasional. Karakteristik Operasi yang meliputi :perencanaan, waktu, taktik dan kolusi. 2). Karakteristik Perilaku yang meliputi :motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan menumbuhkan dan keinginan menyerah hidup-hidup.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 21 -
IAIS Sambas 3). Karakteristik Sumber daya yang meliputi: latihan/ kemampuan, terhadapa pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi. Perbedaan dalam pendefinisian istilah ‘terorisme’ terjadi dikarenakan banyak hal yang diantaranya ialah: a. “One person’s terrorist is another person’s freedom fighter.” Ungkapan ini merupakan pribahasa yang terkenal yang diungkapkan guna menunjukan akan samarnya pengertian teroris. Menurut ungkapan ini, dapat dimungkinkan seseorang berdasarkan pandangan sebagian orang ia dianggap sebagai teroris, akan tetapi menurut pandangan sebagian lainnya ia adalah seorang pejuang yang menghendaki kemerdekaan. Hal inilah yang menjadikan pendefinisian istilah terorisme hingga saat ini masih menjadi problem, dan PBB berencana untuk menggelar konfrensi Internasional dengan harapan terhadap negara-negara dunia dapat mencapai kesepakatan dalam mengartikan dan mendefinisikan terorisme. b. Adanya pribadi-pribadi tertentu yang pada masa tertentu disebutsebut sebagai seorang teroris, namun di masa lainnya ia digolongkan sebagai seseorang negarawan dan politisi. Seperti halnya Manakhym Begin yang pada tahun 1977-1983 ia adalah perdana menteri Israel, padahal sebelumnya ia dikenal sebagai teroris karena memiliki ide untuk mengusir penjajahan Inggeris dari tanah Palestin. c. Para sosiolog politik menyakini, dikarenakan terdapat perbedaan luas antara ideologi dan tujuan-tujuan politik, maka tidak mungkin untuk mencapai definisi yang disepakati secara global mengenai istilah teroris.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 d. Terorisme tidak memiliki ragam dan wajah yang satu, dimana gerakan ini identik dengan bentuk yang baragam dimana kebanyakan masing-masing darinya tidak banyak memiliki persamaan kriteria. Mungkin saja kriteria tertentu sesuai dengan satu bentuk terorisme, namun tidak sesuai dengan bentuk lainnya. saat ini selama 30 tahun belakangan ini terorisme berkembang pesat sehingga memeiliki banyak ragam dan bentuk, dan betapa banyak model terorisme saat ini yang jauh berbeda dengan model terorisme masa lalu, bahkan dengan model terorisme lainnya yang ada saat ini sekalipun. Adapun mengenai kaitan antara dua istilah ‘teror’ dan ‘terorisme’, diantara kedua istilah ini juga terdapat beberapa perbedaan yang sebagian darinya diakibatkan dari ketidakjelasan definisi terorisme. Sebagian orang menyakini bahwa tidak ada perbedaan antara dua istilah tersebut. Ketika mengartikan kedua istilah itu, mereka mengatakan, Teror dan terorisme dalam dunia perpolitikan ditujukan kepada praktik pemerintah atau kelompok tertentu dimana untuk menjaga kekuasaan atau berperang dengan negara, mereka menempuh cara tertentu yang dapat menciptakan rasa takut. Meski demikian tidak dapat dipungkiri bahwa kedua ini mempunyai arti yang berbeda. Beberapa penulis berusaha untuk menjelaskan titik perbedaan antara istilah teror dan terorisme. Sebagian dari mereka menganggap aksi teror terjadi hanya dalam konteks historis, seperti yang terjadi di Rusia pada masa Stalin, sedangan terorisme adalah bentuk teror yang telah terorganisir. Sebagian lainnya menyakini bahwa teror adalah bentuk pemikiran, sedangkan terorisme adalah aksi atau tindakan sosial yang terorganisir. Sebagian besar memiliki pandangan bahwa teror bisa
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 22 -
IAIS Sambas saja terjadi tanpa adanya terorisme, namun teror adalah unsur asli bagi terorisme. Selain itu, kata-kata ‘isme’ yang ditambahkan pada kata-kata ‘teror’ juga mengandung arti yang beragam. Isme terkadang mengungkapkan akan kriteria yang sistematis dalam satu hal tertentu dan terkadang menunjukkan akan bentuk ideologi, teori atau falsafah politis, dan terkadang pula menunjukan pada taraf praktis yang merefleksikan sebuah tradisi, tindakan atau fenomena tertentu. Dalam pengartian dua istilah ini, juga terdapat perbedaan lainnya, dimana perbedaan telah ada sejak akhir abad 18, sejak itu beberapa kajian dalam berbagai format telah dilakukan terkait masalah ini. Berdasarkan fenomena di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dan definisi ‘terorisme’ dalam tatanan Internasional adalah, tindakan menciptakan rasa takut dan panik dengan cara yang ilegal dan tidak dapat diprediksi (tak terduga) dengan tujuan mempengaruhi kekuasaan politik. Tentunya definisi ini belum dapat menjadi barometer yang mampu memilah dan mengindetifikasi secara pasti aksi terorisme antara aksi terorganisir yang ada. Perkara inilah yang hingga saat ini menjadi problema dalam permasalahan terorisme. Taktik yang digunakan oleh tindakan terorisme : 1. Bom. Taktik yang sering digunakan oleh kelompok teroris adalah pengeboman. Dalam dekade terakhir ini tercatat 67 % dari aksi teror yang dilaksanakan berhubungan dengan bom. 2. Pembajakan. Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompok teroris selama periode 1960-1970. Pembajakan terhadap kendaraan digunakan dalam membawa bahan makanan adalah taktik yang digunakan oleh kelompok Tupamaros di
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
3.
4.
5.
6.
Uruguay untuk mendapatkan kesan Robinhood dan menghancurkan propoganda dari pemerintah. Tetapi jenis pembajakan yang lebih populer saat ini adalah pembajakan pesawat terbang komersil. Pembunuhan. Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih digunakan hingga saat ini. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan yang dilaksanakan, sasaran dari pembunuhan ini biasanya adalah pejabat pemerintah, pengusaha, politisi dan aparat keamanan. Dalam 10 tahun terakhir tercatat 246 kasus pembunuhan oleh teroris di seluruh dunia. Penghadangan. Penghadangan yang telah dipersiapkan jarang sekali gagal. Hal ini juga berlaku bagi operasi yang dilaksanakan oleh kelompk terorisme. Aksi ini biasanya direncanakan secara seksama, dilaksanakan latihan pendahuluan dan gladi serta dilaksanakan secara tepat. Dalam bentuk operasi ini waktu dan medan berpihak kepada kelompok teroris. Penculikan. Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam kasus kelompok geleliya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih ditujukan untuk menculik personil. Penculikan biasanya akan diikuti oleh tuntutan tebusan berupa uang, atau tuntutan politik lainnya. Penyanderaan. Perbedaan anta-ra penculikan dan penyanderaan dalam dunia terorisme sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali memiliki pengertian yang sama. Penculik biasanya menahan korbannya di tempat yang tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa materi dan uang, sedangkan penyanderaan berhadapan langsung dengan aparat dengan menahan sandera di tempat
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 23 -
IAIS Sambas umum. Tuntutan penyanderaan biasa nya lebih dari sekedar materi. Biasanya tuntutan politik lebih sering dilemparkan teroris pada kasus penyanderaan ini. Terorisme dewasa ini dikategorikan sebagai transnasional organized crime dan sekaligus hostes humanis generis, oleh karena itu, masyarakat Internasional pun telah mulai bereaksi dengan menyelenggarakan berbagai konferensi dengan hasil berbagai konvensi yang berkaitan dengan terorisme. Terorisme berasal dari istilah teror yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perbuatan kejam atau sewenang-wenang, sementara arti kata terorisme adalah tindakan teror. Terorisme yang dimaknai sebagai pembuatan kejam dan sewenang-wenang memberikan makna yang lebih luas dari pada sebatas peristiwa pengeboman atau ancaman bom. Bahkan korupsi pun dapat disebut sebagai sebuah terorisme karena begitu kejam dan sewenangwenang perbuatan itu mengakibatkan jutaan masyarakat mengalami derita yang tak seharusnya dialaminya. Munculnya terorisme adalah karena negara yang tidak mampu memberikan perlindungan terhadap seluruh warganya, dalam artian bukan hanya yang mayoritas namun yang juga minoritas, baik sebagai sebuah kelompok identitas atau masing-masing individu pada khususnya. Masyarakat selalu disuguhi tentang makna terorisme yang selalu dilekatkan pada ancama bom atau peristiwa pengeboman bahkan ketika hal itu tidak terbukti dilakukannya, apalagi dengan simbol-simbol yang dekat sekali dengan Islam, sehingga tak jarang stigma Islam sebagai teroris, khususnya islam garis keras, lalu bagaimana dengan misalkan Israel yang bahkan begitu nyata melakukan bombardir terhadap Palestina
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 yang dari sudut pandang manapun sulit untuk dibenarkan. Tidak ada istilah yang serumit terorisme. Istilah tersebut bukan sekedar istilah biasa, melainkan wacana baru yang ramai diperbincangkan khalayak dunia dan mempunyai impilikasi besar bagi tatanan politik global. Terorisme bukan sekadar diskursus, akan tetapi sebuah gerakan global yang hinggap di mana pun dan kapan pun. Terorisme kian mencuat ke permukaan, tatkala gedung pencakar langit, World Trade Center (WTC) dan gedung Pentagon, New York, hancur-lebur diserang sebuah kelompok, yang sampai detik ini masih misterius. Jaringan internasional al-Qaedah sering disebut-disebut sebagai aktor di balik aksi penyerangan tersebut. Pada titik ini, terorisme kian dipertanyakan dan dipersoalkan. Apa sih sebenarnya terorisme itu? Benarkah terorisme teridentifikasi sebagai penyebab utama di balik penyerangan tersebut? Terorisme dalam bahasa Arab disebut al-irhab. Istilah tersebut digunakan al-Qur’an untuk melawan “musuh Tuhan” (QS.8:60),. Karenanya, kalau kita mencermati gerakan Islam Politik, pandangan funddamentalistik dan gerakan raddikalistk seringkali digunaklan melawan“musuh Tuhan”. Bagi mereka, barat disebut sebagai salah satu simbol musuh Tuhan. Secara teoritis, Teror atau Terorisme tidak selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak puncak kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Kekerasan adalah suatu tindakan yang ditunjukan kepada orang lain dengan maksud melukai, menyakiti dan membuat menderita baik secara fisik, maupun psikis. Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak Pidana Teror-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 24 -
IAIS Sambas isme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut. Oleh karena itu, menurut Brian Jenkinss terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Oleh karena tidak mudahnya untuk membuat suatu pengertian tentang terorisme yang dapat diterima secara umum oleh semua pihka, maka pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengeertian etimologis itu dapat dinterpretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut. Secara umum sesuai definisi terorisme yang dikemukakan para tokoh dan lembaga di atas, maka terlihat bahwa pengertiannya diserahkan pada pendapat masing pihak. Namun, pendapat para tokoh dan lembaga mengenai definisi terorisme di atas kurang lebih sudah mencakup keseluruhan aspek maksud dan inti yang sama. Oleh karena itu penggunaan definisi istilah terorisme juga diserahkan kepada masing-masing pihak atau individu. Terlepas dari banyaknya pengaruh kepentingan politik dalam pendefinisian terorisme, ada hal lain yang mempengaruhi sulitnya memberikan definisi yang objektif. Kesulitannya terletak dalam menentukan secara kualitatif bagaimana suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai terorisme. Teror yang merupakan kata dasar dari terorismebersifat sangat subjektif. Artinya, setiap orang memiliki batas ambang ketakutan nya sendiri, dan secara subjektif menentukan apakah suatu peristiwa merupakan teror atau hanya peristiwa biasa.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Tindakan Terorisme Memiliki Tujuan Jangka Panjang Dan Pendek Tujuan jangka pendek 1. Memperoleh pengakuan dari lokal, nasional maupun dunia internasional atas perjuangan-nya. 2. Memicu reaksi pemerintah, over reaksi dan tindakan represif yang dapat mengakibatkan keresahan di masyarakat. 3. Menunjukan ketidak mampuan pemerintah dalam melindungi dan mengamankan warganya. 4. Memperoleh uang ataupun perlengkapan. 5. Mengganggu atau menghancurkan sarana komunikasi maupun transportasi. 6. Mencegah ataupun menghambat keputusan dari badan eksekutif atau legislatif. 7. Menimbulkan mogok kerja 8. Mencegah mengalirnya investasi dari pihak asing atau program bantuan dari luar negeri. 9. Mempengaruhi jalannya pemi-lihan umum Beberapa kelompok teroris menggunakan aksi-aksi teror yang bertujuan jangka pendek tersebut untuk melemahkan pihak pemerintah untuk mencapai tujuan jangka panjang mereka. Tujuan Jangka Panjang 1. Menimbulkan perubahan dramatis dalam pemerintahan seperti revolusi, perang saudara atau perang antar negara. 2. Menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pihak teroris selama perang gereliya. 3. Mempengaruhi kebijaksanaan pembantu keputusan baik dalam lingkup lokal, nasional atau Internasional. 4. Memperoleh pengakuan politis sebagai badan hukum untuk mewakili suatu suku bangsa atau kelompok nasional.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 25 -
IAIS Sambas Islam dan Terorisme Stigmatisasi Islam sebagai agama teroris makin dahsyat. Ini terkait erat dengan maraknya gerakan Islam Politik yang menunjukkan pandangan fundamentalistik. Fenomenanya, pasca runtuhnya menara kembar WTC, respon sebagian besar gerakan Islam politik bukan malah simpati terhadap korban kemanusiaan, melainkan makin memperbesar resistensi terhadap barat. Yang mengemuka adalah semangat antibarat. Apapun yang datang dari barat senantiasa dikecam dan ditolak. Terorisme adalah public enemy yang membutuhkan keseriusan bersama dalam menanganinya, tanpa pamrih pada kepentingan politik yang parsial dan sekedar politik kekuasaan, tetapi pamrih pada politik kebangsaan serta kerakyatan. Islam dan teroris merupakan dua kata yang berlawanan dan tidak bisa disamakan. Islam merupakan agama monoteis yang menuntut kepatuhan total kepada Tuhan. Islam adalah sebuah kata dari bahasa Arab yang terdiri atas tiga konsonan, S-L-M, yang berarti kedamaian (salam), kebaikan, dan keselamatan. Dengan kata lain, Islam memberi seseorang kedamaian jiwa dan kebaikan hidup serta keselamatan dari balasan Tuhan dalam kehidupan sesudah mati. Sedangkan terorisme, meski memiliki banyak definisi, merupakan tindakan kekerasan terencana dan bermotivasi politik yang dilakukan terhadap orang-orang tak bersenjata atau penduduk sipil. Dua istilah ini (Islam dan terorisme) sangat jauh berbeda karena Islam sangat menghargai nyawa manusia. Islam juga menganggap kehidupan sebagai semangat Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia. Dalam Alquran disebutkan bahwa siapa saja yang mencoba bahkan menghilangkan nyawa seseorang, maka Allah menganggap dia
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 telah menghilangkan nyawa seluruh umat manusia (Surat 5 ayat 32). Tetapi, kita terhenyak ketika terjadi tragedi 11 September di AS. Mengapa aksi teroris seperti itu terjadi dan dilakukan orangorang yang mengaku dirinya sebagai muslim sejati dan memiliki semangat besar untuk menyebarkan ajaran Islam. Dengan kata lain Islam tidak mengenal kata teroris, semua itu hanya sebuah rekayasa yang bertujuan untuk mempecah belah agama Allah yakni agama Islam yang cinta akan kedamaian, tidak mengenal kekerasan atau tindakan biadab seperti yang mereka lakukan. Kejadian Tindakan Terorisme di Indonesia Secara umum pola tindakan teroris di Indonesia dilakukan dengan suatu gerakan yang cepat, teratur, sistematis, terencana, dan luas. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa para teroris yang saat ini masih berkeliaran di Indonesia mempunyai hubungan jaringan ke luar negeri. Apalagi sewaktu Nurdin M Top masih hidup yang di mana selaku pemimpin Al-Qaeda di Indonesia, dia memiliki jaringan yang sangat luas dan besar ke luar negeri melebihi teman-teman rekrutannya di Indonesia sehingga berpotensi membentuk suatu organisasi teroris Internasional. Sejarah mencatat bahwa kejadian terorisme di Indonesia dimulai pada tahun 1981 s.d 2012. Pada tahun 1981 telah terjadi pembajakan terhadap Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan pada Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut dibajak oleh 5 orang teroris
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 26 -
IAIS Sambas yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjata senapan mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad; 1 kru pesawat tewas; 1 tentara komando tewas; 3 teroris tewas. Pada tahun 1985 telah terjadi pengeboman Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa terorisme bermotif "jihad" kedua yang menimpa Indonesia. Tahun 2000 telah terjadi pemboman pada Kedubes Filipina, tepatnya pada tanggal 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat.Sekitar 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday. Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa. Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan. Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam Natal di beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak. Pada tahun 2001 terjadi lagi pemboman Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001 di Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur, 5 orang tewas. Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta. 6 orang cedera. Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di kantor MLC Life cabang Makassar tidak meledak. Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 di halaman Australian Inter-national School (AIS), Pejaten, Jakarta. Pada tahun 2002 terjadi pemboman pada saat Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya lukaluka. Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa. Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayorotas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado, Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa. Bom restoran McDonald's, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald's Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka. Pada tahun 2003, Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan meledak di lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa. Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii area publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan. Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka. Tahun 2004, Bom Palopo, 10 Januari 2004 yang menewaskan empat orang. (BBC). Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya lukaluka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004. Tahun 2005, Dua
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 27 -
IAIS Sambas Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005. Bom Tentena, 28 Mei 2005. 22 orang tewas. Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat. Tidak ada korban jiwa. Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA's Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran. Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang. Tahun 2009 terjadi pemboman di Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB. Pada tahun 2010, Penembakan warga sipil di Aceh Januari 2010. Perampokan bank CIMB Niaga September 2010. Tahun 2011. Bom Cirebon, 15 April 2011. Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon saat Salat Jumat yang menewaskan pelaku dan melukai 25 orang lainnya.Bom Gading Serpong, 22 April 2011. Rencana bom yang menargetkan Gereja Christ Cathederal Serpong, Tangerang Selatan, Banten dan diletakkan di jalur pipa gas, namun berhasil digagalkan pihak Kepolisian RI. Bom Solo, 25 September 2011. Ledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, Jawa Tengah usai kebangkitan dan jemaat keluar dari gereja. Satu orang pelaku bom bunuh diri tewas dan 28 lainnya terluka. Tahun 2012 terjadi Bom Solo, 19 Agustus 2012. Granat meledak di Pospam Gladak, Solo, Jawa Tengah. Ledakan ini mengakibatkan kerusakan kursi di Pospam Gladak.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Demikian serentetan kejadian peristiwa mengerikan yang dianggap semua itu adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok terorisme. Tindakan tersebut masih menjaddi sebuah fenomena yang sampai sekarang akan selalu menjadi sorotan pihak berwajib. Seakan tindakan yang dilakukan bermotif agama, yaitu kekerasan yang di atas namakan pada sebuah agama. Adalagi yang menindikasikan bahwa tindakan tersebut adalah sebuah rasa yang dilampiaskan karena kekecewaan terhadap negara, balas dendam, pemberontakan, pembantai, dan banyak lagi peristiwaperistiwa yang seolah-olah dimainkan oleh seorang dalang yang bernama propokator. Merekan memobilisasi konflik yang terjadi di Indonesia. Sebab efek gerakan terorisme ini bagi masyarakat secara umum tidaklah sederhana. Dari hasil pembacaan secara psikologis gerakan terorisme agama telah menyebabkan rasa tidak aman dan sikap ketakutan secara masal bagi bangsa Indonesia. Sedangkan secara politis gerakan terorisme agama ini juga telah merugikan upaya-upaya diplomasi secara internasional, secara ekonomis terorisme dituding telah menggagalkan langkah-langkah perdagangan secara internasional, sementara itu, cost dan resistensi sosial yang harus ditanggung dari gerakan terorisme ini sangatlah tinggi, belum lagi ketika gerakan terorisme ini telah mengancam eksistensi empat (4) pilar suatu bangsa, yaitu Pancasila, UUD ’45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Bentuk Terorisme Kejadian-kejadian dan aksi-aksi terorisme yang tengah menimpa manusia, khususnya di Indonesia ini sangatlah banyak dan beraneka ragam sesuai dengan kondisi dan keadaan yang diharapkan oleh para pelakunya guna meraih sasaran dan target mereka.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 28 -
IAIS Sambas Secara singkat, bentuk-bentuk aksi terorisme dapat dibagi ke dalam 3 macam golongan: 1. Terorisme Fisik. Yaitu peristiwaperistiwa atau bentuk terorisme yang sekarang menjadi puncak sorotan manusia seperti pelededakan, bom bunuh diri, pembajakan, dan seterusnya. Berbagai kejadian pahit dari terorisme fisik ini telah telah tercatat dalam sejarah. Seperti di Indonesia seperti Bom Bali 1, Bom Bali 2, Bom Kedutaan Australia di Jakarta, Bom Marriot 1, Bom Marriot 2 dll. 2. Terorisme Psikologis (Kejiwaan). Yaitu suatu bentuk-bentuk terorisme yang berupa suatu ancaman psikoogis terhadap suatu subjek atau objek tertentu, seperti misalkan berupa teror ancaman bom melalui media tertentu seperti telepon, pesan singkat, surat, email, artikel blog, website dll, yang bertujuan untuk menimbulkan kepanikan. Seperti seperti yang terjadi pada teror gereja pada malam natal, teror gedung kedutaan AS dll. 3. Terorisme Ideologi (pemikiran atau pemahaman). Terorisme jenis ini jauh lebih berbahaya dari terorisme fisik dan psikologi. Sebab seluruh bentuk terorisme fisik yang terjadi bersumber dari dorongan ideologi para pelakunya, baik itu dari kalangan orang-orang tidak beragama yang merupakan sumber terorisme di muka bumi ini, atau dari kalangan kaum beragama yang telah menyimpang pemikirannya dari jalan ajaran mereka, khususnya dalam hal ini kaum Muslimin yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Bentuk-bentuk terorisme ini pada dasarnya sangat saling berkaitan, dimana apabila seseorang atau suatu komunitas bahkan masyarakat telah terjangkiti suatu paham yang salah atau yang berupa terorisme ideologi maka dia akan condong untuk segera
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 melakukan tindakan terorisme fisik maupun psikologi, yang berupa bom bunuh diri, pembajakan, teror dll, yang merupakan manifestasi dari terorisme ideologi. Secara singkat, penyebab yang paling utama hingga menyebabkan orang melakukan tindakan kekerasan atas nama agama adalah karena orang tersebut memikiki pandangan yang sangat sempit mengenai agama tersebut atau dengan kata lain dia hanya melihat agama itu sebatas bentuknya saja tanpa memahami substansi yang sesungguhnya, sehingga kekerasan yang dia lakukan dipandang sebagai tindakan yang benar dalam agamanya menurut pandangannya. Semua komponen masyarakat baik kekuarga, tokoh masyarakat pemuka agama, dan pemerintah Indonesia perlu saling bekerja sama dan berkoordinasi secara baik, teratur, dan sistematis dalam pemberantasan segala bentuk kekerasan yang terjadi yang dalam hal ini dilakukan atas nama agama pada khususnya. Upaya-upaya pencegahan yang telah diutarakan di atas, akan benar-benar terlaksana dengan baik dan benar jika pemerintah dan seluruh komponen saling menaruh kepercayaan yang baik dan tinggi. Hidup di kehidupan yang plural, buka bearti kita bebas untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama agama, tetapi seharusnya kita lebih banyak menumbuhkan semangat toleransi antar umat beragama. Dengan semakin banyaknya aksi kekerasan atas nama agama di Indonesia ini, membuat kita sebagai masyarakat Indonesia harus mampu memahami dan mempelajari bentuk dan substansi agama secara lebih mendalam dan benar agar kita semua mampu menggunakkan akal, jiwa, hati, nalar, dan rasio kita dalam menerapkan nilai-nilai kebaikan dari ajaran agama tersebut dengan benar dalam kehidupan nyata dan bukannya
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 29 -
IAIS Sambas melakukan tindakan kekerasan yang dilandaskan agama tersebut. Indonesia memiliki potensi terorisme yang sangat besar dan langkah antisipasi yang ekstra cermat. Kebijakankebijakan pemerintah yang kadang tidak dipahami oleh orang tertentu cukupvdijadikan alasan untuk melakukan teror. Berikut ini adalah potensi-potensi terorisme tersebut: a. Terorisme yang dilakukan oleh negara lain di daerah perbatasa Indonesia. Beberapa kali negara lain melakukan pelanggaran masuk ke wilayah Indonesia dengan menggunakan alat-alat perang sebenarnya adalah bentuk terorisme. Lebih berbahaya lagi seandainya negara di tetangga sebelah melakukan terorisme dengan memanfaatkan warga Indonesia yang tinggal di perbatasan dan kuang diperhatikan oleh negera. Nasioalisme yang kurang dan tuntutan kebutuhan ekonomi bisa dengan mudah orang diatur untuk melakukan teror. b. Terorisme yang dilakukan oleh warga negara yang tidak puas atas kebijakan negara. Misalnya bentukbentuk teror di Papua yang dilakukan oleh OPM. Tuntutan merdeka mereka ditarbelakangi keinginan untuk dapat mengelola wilayah sendiri tanpa campur tangan pemerintah. perhatian pemerintah yang dianggap kurang menjadi alasan bahwa kemerdekaan harus mereka capai demi kesejahteraan masyarakat. Terorisme jenis ini juga berbahaya, dan secara khusus teror dilakukan kepada aparat keamanan. c. Terorisme yang dilakukan oleh organisasi dengan dogma dan ideologi tertentu. Pemikiran sempit dan pendek bahwa ideologi dan dogma yang berbeda perlu ditumpas menjadi latar belakang terorisme. Bom bunuh diri, atau aksi kekerasan yang terjadi
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 di Jakarta sudah membuktikan bahwa ideologi dapat dipertentangkan secara brutal. Pelaku terorisme ini biasanya menjadikan orang asing dan pemeluk agama lain sebagai sasaran. Solusi Terhadap Tindakan Terorisme Masih adanya ancaman terorisme di Indonesia juga disebabkan oleh belum adanya payung hukum yang kuat bagi kegiatan intelijen untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme. Kendala lain dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme adalah belum adanya pembinaan yang menjamin dapat mengubah pemikiran radikal menjadi moderat. Sementara itu masih lemahnya sistem pengawasan terhadap peredaran berbagai bahan pembuat bom, menyebabkan para teroris masih leluasa dalam melakukan perakitan bom yang jika tidak terdeteksi dapat menimbulkan kekacauan di berbagai tempat. Berikut adalah arah kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka mencegah dan menaggulangi kejahatan terorisme pada tahun 2005-2009 yakni: 1. Penguatan koordinasi dan kerja sama di antara lembaga Pemerintah; 2. Peningkatan kapasitas lembaga pemerintah dalam mencegah dan penanggulangan terorisme, terutama satuan kewilayahan; 3. Pemantapan operasional penanggulangan terorisme dan penguatan upaya deteksi secara dini potensi aksi terorisme. 4. Penguatan peran aktif masyarakat dan pegintensifan dialog dengan kelompok masyarakat yang radikal, 5. Pemerintah dan DPR perlu meng-kaji ulang UU tindak pidana teroris No. 15 Pasal 45 Tahun 2003 tentang kriminalisasi atau perluasan objek hukum dan perbaikan mekanisme hukum. 6. Mendorong pemerintah, media masa, ormas, LSM, dan tokoh masyarakat
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 30 -
IAIS Sambas untuk menginformasikan peristiwa radikalisme agama secara proporsional dan arif dengan mempertimbangkan dampak sosiologis dan psikologis masyarakat. 7. Mengoptimalkan peran konseling yang melibatkan institusi pesantren dan mantan teroris yang telah sadar untuk meminimalisir kemungkinankemungkinan berkembangnya gerakkan kekerasan atas nama agama. 8. Mengintensifkan kajian-kajian dan sosialisasi tentang radikalisme, multikulturalisme, terorisme di semua lapisan masyarakat. 9. Mengatasi akar-akar permasalahan yang dapat menumbuhkan tindak kekerasan dan kekerasan atas nama agama, baik berupa persoalan ekonomi, budaya, politik, social maupun psikologis. 10. Penyediaan pendidikaan yang dapat dijangkau oleh semua orang adalah faktor penting dalam memerangi pendidikan. Pergerakan aktor terorisme sepertinya menggunakan jalur pendidikan non formal untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya dan menanamkan ideologi terorisme. Untuk itu pendidikan haruslah dapat diterima oleh semua penduduk di Indonesia tentunya dalam menyelipkan pendidikan untuk melawan terorisme. 11. Tokoh Agama selanjutnya tokoh agama haruslah bertanggung jawab atas umat yang mereka pimpin. Karena sebagaimana yang telah terjadi para aktor terorisme seringkali memasukan ajarannya melalui menyamarkan ajaran agama. Karena sebagaimana pun ajaran agama tidak mungkin mengajarkan cara-cara membunuh seseorang, memusuhi kelompok tertentu, dan berbuat bodoh membunuh diri. Oleh karena itu, hal tersebutlah para tokoh-tokoh agama seharusnya mampu untuk bertindak
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 lebih nyata dan lebih cepat daripada para tokoh-tokoh terorisme, sehingga masyarakat tidak dipengaruhi dan menerima terorisme sebagai hal yang benar dan heroik. 12. Jangan sampai tokoh-tokoh agama yang ada di masyarakat malah mendukung tindak aksi para terorisme, atau sampai menyebarkan pemikiran untuk memusuhi kelompok tertentu. Tokoh agama yang telah lebih banyak belajar agama seharusnya lebih mampu untuk menciptakan rasa damai dihati masyarakat. 13. Peran para ulama, tokoh adat, pemilik modal, kaum cendikiawan, dan lain sebagainya adalah sangat penting karena dengan bantuannya para pelaku terorisme akan lebih mudah untuk ditemukan, ditangkap dan diberikan hukuman yang stimpal. 14. Para Orang Tua dan Keluarga peran keluarga tidak kalah pentingnya dalam melindungi negara ini dari serangan para terorime. Para keluarga harus melindungi keluarganya masing-masing agar tidak dipengaruhi oleh aktor terorisme. Dalam mencegah dan menanggulangi terorisme, pemerintah tetap berpedoman pada prinsipnya yang telah diambil sebelumnya, yakni melakukan secara preventif dan represif yang didukung oleh upaya pemantapan kerangka hukum sebagai dasar tindakan proaktif dalam menanani aktivitas, terutama dalam mengungkap terorisme. Peningkatan kerja sama intelijen, baik dalam negeri maupun dengan intelijen asing, melalui tukar-menukar informasi dan bantuan-bantuan lainnya, terus ditingkatkan. Untuk mempersempit ruang gerak pelaku kegiatan terorisme, Pemerintah akan terus mendorong instansi berwenang untuk meningkatkan penertiban serta pengawasan terhadap lalu lintas orang dan barang di bandara, pelabuhan laut, dan wilayah
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 31 -
IAIS Sambas perbatasan, termasuk lalu lintas aliran dana, baik domestik maupun antar negara. Penertiban dan pengawasan juga akan dilakukan terhadap tata niaga dan penggunaan bahan peledak, bahan kimia, senjata api dan amunisi di lingkungan TNI, Polisi, dan instansi pemerintah juga melakukan pengkajian mendalam bekerja sama dengan akademisi, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Peningkatan kemampuan berbagai satuan anti teror dan intelijen dalam menggunakan sumber-sumber primer agar dapat membentuk aparat anti teror yang profesional dan terpadu dari TNI, Polri, dan BIN. Selanjutnya, kerja sama internasional sangat perlu untuk ditingkatkan karena terorisme merupakan permasalahan lintas batas yang memiliki jaringan dan jalur yang tidak hanya ada di Indonesia. SIMPULAN Pluralisme sebagai sikap yang mengakui dan menghargai keadaan yang plural secara etnis, kebudayaan, dan agama. Ketiga hal tersebut sangat di perlukan untuk menciptakan sekaligus memelihara kerukunan antar umat beragama. Karena itu sikap ini harus di tumbuhkan pada diri generasi muda bangsa kita. Pluralisme di Indonesia akhir-akhir ini di guncang dan di uji oleh berbagai kerusuhan dan kekerasan yang melibatkan sentiment keagamaan. Munculnya banyak kerusuhan dan kekerasan di Negara kita adalah di sebabkan ketidakberdayaan serta gagalnya sistem pendidikan khsusnya pendidikan agama. Kegagalan pendidikan agama selama ini disebabkan disebabkan empat faktor diantaranya: pertama, penekanan pada proses transfer ilmu
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 agama ke-timbang proses nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka atau sebagai pe-lengkaap yang di pandang sebelah mata; ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman, seperti cinta kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai, dan toleransi, dan keempat, ku-rangknya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain. Pendidikan agama akan dapat memenuhi fungsinya dan sekaligus dapat memenuhi fungsinya sekaaligus dapat memberikan sumbangan untuk menumbuhkan sikap saling menghargai pluralisme dan pluralitas apabila: Pertama, mampu melakukan transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, mampu menjadikan pendidikan agama sebagai suaut program pendidikan yang dirasa kan penting dalam sistem pendidikan nasional; ketiga, mampu menanamkan nilai moral yang mendukung kerukunan antar umat beragama seperti, nilai-nilai sebagaimana tersebut di atas; dan keempat, memberikan perhatian yang memadai untuk mempelajari agama lain.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 32 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Adianto P. Simamora, Cases of religious violence up: Report, dalam The Jakarta Post, Edisi: 21 Agustus 2009. http://artikel.jw.lt/jihad/bentuk. Diakses tanggal 31 Oktober 2014. http://balitbang.kemhan.go.id/, Diakses tanggal 31 Oktober 2014. Husaini, Adian. 2001. Jihad Osama Versus Amerika, Jakarta, Gema Insani Pers. Indriyanto Seno Adji, 2001. “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates. Lihat Harian. KOMPAS.edisi 8 Oktober 2005. Lihat pula: Bom Kedubes Indonesia, Paris 2004. Makalah Seminar Terorisme Suatu Tantangan bagi POLRI, oleh Tim Perumus Seminar, Lemdiklat POLRI Sekolah Lanjutan Perwira. Manullang, A.C. 2001. Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim. Jakarta: Panta Rhei. Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia. The Habibie Center, Jakarta. Mustofa. Muhammad. 2002. Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III. Sindhunata dalam Charles Kimball, 2003 Kala Agama Jadi Bencana Pengantar. Sindhunata terjemahan Nurhadi dari When Religion Becomes Evil. Bandung: Mizan. Thomas Santoso. 2002. Kekerasan Agama Tanpa Agama. Jakarta: Pustaka Utan Kayu. Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Diakses tanggal 20 Oktober 2014. Wilkinson, Paul. 2005. Terrorism and the Liberal State, London: The Macmillan Press Ltd., 1977, seperti dikutip oleh F. Budi Hardiman dalam F. Budi Hardiman dkk., Terorisme, Definisi, Aksi dan Regulasi. Jakarta: Imparsial. Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 33 -
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM Penelitian Kata Tarbiyat dan Ta’lim dalam al-Qur’an Ahmad Zailani AW*
ABSTRAK Tarbiyat dan ta’lim adalah dua istilah yang sangat akrab di telinga para ahli pendidikan terutama pendidikan Islam, karena ke dua istilah tersebut merupakan dua kosa kata yang sering dihubungakan dengan pengertian pendidikan Islam. Namun, sebenarnya dua istilah tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan, baik dari segi asal katanya, maupun cakupan makna yang ada di dalamnya. Tarbiyat lebih bisa diartikan dengan sistem pendidikan Islam, karena mencakup bahasan waktu, materi dan pelaku pendidikan, sedangkan ta’lim merupakan sub-sistem dari tarbiyat yang bisa diartikan sebagai pendidikan dalam arti sempit yakni pengajaran, bahkan lebih sempit dari itu diartikan dengan metode pengajaran atau bahan ajar.
KATA KUNCI: Konsep Pendidikan Islam, Tarbiyat dan Ta’lim dalam al-Qur’an
*Dosen
Fakultas Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Bandung Telp. (022) 7314901 HP. 082117186786, E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Umumnya konsep pendidikan Islam yang mengacu pada makna dan asal kata pendidikan dalam hubungannya dengan ajaran Islam. Dari konteks ini, dapat di runut hakikat pendidikan Islam serta bisa menggambarkan tentang pendidikan Islam menurut pengertian umum. Acuan ini didasarkan pada sejumlah istilah yang umum di kenal dan di gunakan para pakar pendidikan Islam dalam mengartikan pendidikan Islam. Istilah yang sering di gunakan dalam mengungkap arti pendidikan Islam tersebut antara lain: al-Tarbiyat, al-Ta’lim, al-Tadris, alTahdzib, dan al-Ta’dib. Melihat variasi istilah di dalam mengartikan pendidikan Islam, akan terlihat adanya perbedaan penafsiran, yang selanjutnya memberikan peluang munculnya perbedaan dalam memberi arti pendidikan Islam. Perbedaan yang muncul tersebut bukan dalam tataran sumber atau prinsip, tetapi lebih pada pendefinisian pendidikan Islam yang berimplikasi dalam tataran praktisnya. Pendidikan Islam bersumber dari Allah dan didasarkan pada prinsip ajaran-Nya yakni al-Qur’an yang kemudian di jabarkan oleh Rasululah SAW yang disebut al-Hadits. MAKNA KATA TARBIYAT Penelitian ini disusun untuk menjabarkan arti dari kata tarbiyat dan ta’lim yang terdapat dalam al-Qur’an, dengan maksud untuk mendapatkan pengertian dan maksud yang jelas dalam penggunaan kata tarbiyat dan ta’lim sehingga pemahaman lebih komprehensif. Penelitian ini disusun dengan pendekatan tahlili dalam ilmu tafsir. Pendekatan tahlili dalam tafsir adalah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat al-Qur’an dengan mengikuti tertib susunan atau urutan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 surat dan ayat al-Qur’an dan akan disertai analisisnya (Suma, 2001: 110). Tarbiyat dalam Al-Qur’an Secara etimologi, tarbiyat adalah kalimat mashdar, yang secara umum dapat dikembalikan kepada tiga kata kerja yang berbeda, yaitu: 1. رﺑﺎ – ﯾﺮﺑﻮ – رﺑﻮاyang berarti namayanmu yaitu berkembang; 2. رﺑﻲ – ﯾﺮﺑﻰyang berarti nasya-a, yaitu tumbuh; 3. رب – ﯾﺮب – ربyang memiliki arti: memperbaiki, mengurus, menjaga, memimpin, memelihara, dan mendidik. (Hamzah, 1996: 6). Secara etimologis, kata tarbiyat adalah mashdar dari رﺑﻰ – ﯾﺮﺑﻰ – ﺗﺮﺑﯿﺔ dan termasuk fi’il tsulatsi mazid dengan penambahan satu huruf dengan wazan ﻓﻌﻞ- ﯾﻔﻌﻞ- ﺗﻔﻌﯿﻞyaitu dengan adanya tasydid pada ‘ain fiil-nya dan bermakna ta’diyyah, yaitu fi’il yang asalnya tidak mempunyai maf’ul menjadi memiliki maf’ul dan yang asalnya hanya punya satu maf’ul bisa menjadi dua maf’ul. Dalam leksikologi al-Qur’an, tidak ditemukan secara langsung kata tarbiyat, tetapi kata yang ditemukan merupakan derivasi dari kata tarbiyat. Adapun derivasi kata tarbiyat tersebut yaitu rabb, rabbayani, nurabbi, ribbiyun, rabbaniy. Derivasi kata tarbiyat terdapat di beberapa surat, seperti dalam tabel di bawah ini. Tabel 1 اﻟﺴﻮر
اﻟﻜﻠﻤﺎت
اﻟﺮﻗﻢ
2 : اﻟﻔﺎﺗﺤﺔ
رب
1
24 : اﻹﺳﺮاء
رﺑﯿﺎﻧﻲ
2
18 : اﻟﺸﻌﺮاء
ﻧﺮب
3
79 : آل ﻋﻤﺮان
رﺑﺎﻧﯿﻦ
4
66 & 47 : اﻟﻤﺎﺋﺪة
رﺑﺎﻧﯿﻮن
5
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 35 -
IAIS Sambas 146 : آل ﻋﻤﺮان
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 رﺑﯿﻮن
6
Sumber: Fathu al-Rahman, tt: 170-171 Rabb Allah telah berfirman di dalam QS. Al-Fatihah, 2:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam Kata rabb dengan derivasi kata tarbiyat memiliki arti yang banyak. Ahli bahasa berbeda di dalam mengartikan kalimat rabb ini, di antaranya: 1. Al-Bastani (Muhaimin, 1993: 128) mengartikan kata rabb dengan tuan, Pemilik, memperbaiki, mengumpulkan, perawatan, tambah, dan juga memperindah. 2. Al-Qurthubi (2000: 136-139) memberi arti rabb dengan pemilik, tuan, Yang Maha Pengatur, Yang Maha Memperbaiki, Maha Menambah, dan Yang Maha Menunaikan. 3. Al-Shabuni (1996: 19) mengartikan kata rabb dengan pemilik, pengatur, yang disembah, tuan yang ditaati. 4. Al-Jauhari (dalam al-Attas, 1988: 66) mengartikan kata rabb dengan memberi makan, memelihara, dan mengasuh. 5. Al-Razi (tt: 151) mengartikan kata rabb dengan makna pertumbuhan dan pengembangan. Rabbayanii Kata rabbayani yang merupakan derivasi dari tarbiyah, terdapat dalam QS. al-Isra; 24, yaitu:
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Nurabbi Kata nurabbi yang merupakan derivasi dari kata tarbiyah, terdapat di dalam QS. al-Syu’ara; 18, yaitu:
Fir'aun menjawab: Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu itu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama-sama kami beberapa tahun dari umurmu. Rabbaniyyiina Kata rabbaniyyiina merupakan derivasi dari kata tarbiyah, terdapat di dalam QS. Ali Imran; 79, yaitu:
... ...tetapi (Dia berkata): Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Rabbaniyyuna Kata rabbaniyyuuna merupakan derivasi dari kata tarbiyah, terdapat di dalam QS. al-Maidah; 44, yaitu:
...
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku,
...
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 36 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
...yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabinabi yang menyerah diri pada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendetapendeta mereka, disebabkan mereka itu diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadap nya. Allah, dan mereka menjadi saksi terhadapnya... Dalam surat al-Maidah ayat 63 Allah berfirman:
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguh nya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. Ribbiyyuna Kata rabbaniyyiina merupakan derivasi dari kalimat tarbiyah, terdapat di dalam QS. Ali Imran ayat 146:
... Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa, mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang telah menimpa mereka di jalan Allah... Apabila kata tarbiyat itu identik dengan arti pada fi’il madli yaitu rabba, maka hal itu akan dijumpai dalam QS. alIsra ayat 24. Namun, bila kalimat tarbiyat diidentikkan dengan makna pada fi’il
mudlari yaitu nurabbi, maka hal tersebut akan dijumpai pada QS. al-Syu’ara ayat 18. Dua ayat ini yang menjadi fokus penelitian ini. Tarbiyat dengan Makna Rabba Allah telah berfirman di dalam QS. Al-Isra ayat 24:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihi lah mereka keduanya, sebagaimana merekaa berdua telah mendidik aku sewaktu kecil. Istilah-istilah penting dari ayat tersebut di atas adalah sebagai berikut: ﺧﻔﺾ: Menurunkan, merendahkan, pelan, mati, atau tinggal, berjalan pelan-pelan, ber tawadhu (Munawwir, 1997: 354).
ﺟﻨﺢ: Mengenai atau menimpa, kerendahan arti, hubungan harmonis, perlindungan, ketabahan (Munawwir, 1997: 450). : Kerendahan, kehinaan, menuruti, tawadhu. (Munawwir, 1997: 459). Pada ayat sebelumnya, yakni al-Isra ayat 23, Allah SWT menjelaskan terhadap beberapa petunjuk-Nya tentang adab manusia terhadap Allah dan sopan santun terhadap orangtua. Dalam al Isra; 24, kelanjutan atay 24 menjelaskan mengenai sopan santun seorang anak terhadap orangtuanya. Dalam ayat 24 ini, Allah SWT memerintahkan pada umat Islam agar bersikap rendah hati dan penuh kasih sayang kepada kedua orangtuanya. Maksud rendah hati adalah menanti apa yang telah diperintahkan sepanjang
اﻟﺬل
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 37 -
IAIS Sambas perintah tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama. Taat anak kepada kedua orangtua merupakan tanda kasih sayang dan hormatnya kepada kedua orangtuanya merupakan tanda kasih sayang dan hormatnya kepada mereka, terutama di saat keduanya sangat memerlukan pertolongan anaknya. Pada akhir ayat, Allah telah memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mendo’akan kedua ibu bapak mereka, agar diberikan limpahan kasih sayang Allah sebagai imbalan kasih sayang keduanya dalam mendidik anak mereka ketika masih kanak-kanak. Dalam ayat di atas, Allah SWT menyebutkan waktu yang khusus yaitu dengan kalimat shaghiran, (saat masih kanak-kanak). Kalimat ini merupakan isyarat tentang pemberian pendidikan yang menyejukkan, menenangkan, dan disertai kasih sayang yang sempurna. Hal ini tiada lain, karena orang tua dituntut untuk menyayangi anaknya. Anak kecil sangat menuntut kasih sayang dari orang tua, bahkan ketika anak telah sampai pada usia dewasa. Dengan demikian maka yang dimaksud tarbiyat yang merupakan derivasi dari kata rabbayani pada ayat di atas memiliki pengertian upaya membesarkan atau mendewasakan seorang anak (alTanwir, jilid 8, tt.: 211). Al-Baidhawi (Jilid III, tt.: 415) menjelaskan kama rabbayani shaghira dengan makna seperti mereka yang mencurahkan kasih sayang, mendidik dan menunjukan aku ketika aku masih kecil. Dengan demikian, berati al-Baidhawi mengartikan tarbiyat dengan mencurahkan kasih sayang mendidik dan menunjukannya. Adapun al-Samarqandhi (Jilid III, tt.: 3) menafsirkan kalimat kama rabbayani shaghira dengan sebagaimana mereka telah mengobati aku, saat aku masih kecil. Dengan demikian, al Samarqandi
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 mengartikan tarbiyat itu dengan mengobati. Tarbiyat dengan Makna Nurabbi Allah SWT telah berfirman di dalam QS. al-Syu’ara ayat 18:
Fir'aun menjawab: Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, pada waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Istilah penting dalam ayat di atas adalah: وﻟﯿﺪا: Tidak lama setelah dilahirkan. (Al-Lusi, Jilid XIV, tt.: 179). ﻧﺮﺑﻚ: Mengasuh kamu Ayat tersebut di atas berbicara meenai perjalanan Nabi Musa dan Nabi Harun yang diutus Allah untuk menyelamat Bani Israil dari cengkraman Fir’aun. Keduanya berangkar kepada Fir’aun untuk melaksanakan tugas yang diemban. Namun merekan tidak diizinkan masuk ke istana Fir’aun selama satu tahun. Sampai di suatu hari pengawal kerajaan melapor kepada Fir’aun dan berkata bahwa di luar sana beredar berita bahwa ada orang yang mengaku utusan Allah semesta Alam. Kemudian raja Fir’aun menyuruh mereka masuk, niscaya dia akan mentertawakan mereka. Lalu para pengawal mengizinkan Nabi Musa dan Harun masuk ke istana Raja Fir’aun. Dihadapan Fir’aun, mereka berdua mengemukakan risalah kerasulannya. Raja Fir’aun mengetahui bahwa salah seorang dari kedua orang tersebut adalah Musa, kemudian dia (Fir’aun) berkata seperti dalam ayat tersebut di atas. Para mufassir berbeda dalam menafsirkan kata nurobbika pada ayat
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 38 -
IAIS Sambas tersebut. Di antara para mufassir yang memberikan komentar adalah: 1. Al-Syaukani (Jilid V, tt.: 303) berpendapat bahwa maksud kalimat tersebut adalah aku telah mengasuh dan menempatkan kamu di tempat ku ini. 2. Al-Samarqandiy (Jilid III, tt.: 259) mengemukakan bahwa makna dari kalimat tersebut adalah bukankah ketika masih kecil dulu aku telah mendidikmu. 3. Al-Zamakhsyari (Jilid IV, tt.: 499) mengatakan bahwa maksud dari kalimat tersebut adalah mendidik dan membesarkan hingga dewasa; 4. Ibnu ’Asyur (Jilid X, tt.: 146) telah mengatakan bahwa maksud kalimat tersebut adalah pertemuan terusmenerus dengan berbagai fasilitas yang diberikan, penuh perhatian dan tidak disia-siakan. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa tarbiyah adalah mengurus, mengatur, mencukupi segala kebutuhan anak. Dari penafsiran dua ayat di atas dapat ditarik simpulan bahwa tarbiyat adalah segala upaya membesarkan, mencurahkan kasih sayang, mendidik, menempatkan, pertemuan yang terusmenerus, memberikan fasilitas, penuh perhatian,, dan tidak mensia-siakan. Ibnu al-Mandzur menjelaskan arti tarbiyat yaitu baiknya pemeliharaan dan pengurusan hingga melewati masa kanak-kanak baik ia anaknya ataupun bukan. Lebih lanjut ia menambahkan bahwa kalimat tarbiyat ini juga bisa berarti memberi makan atau mengurus (al-Mandzur, Juz V, tt.: 96). Secara terminologi, al-Maraghi (Juz I, tt.: 27) membagi kegiatan al-Tarbiyat dengan dua macam kegiatan. Pertama, tarbiyat khalqiyat, yakni penciptaan, pembinaan, pengembangan jasmani Peserta didik supaya dijadikan sarana bagi pengembangan jiwanya. Kedua, tarbiyat diniyat tahdzibiyat yakni pembinaan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu Ilahi. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, maka ruang lingkup tarbiyat ini sangat luas, dan mencakup segala kebutuhan manusia, baik aspek jasmani atau ruhani dalam kehidupan dunia maupun urusan di akhirat, serta kebutuhan akan kontinuitas maupun kelestarian diri sendiri, sesama, alam lingkungan dan hubungannya dengan Allah SWT. Ta’lim dalam Al-Qur’an Kata ta’lim merupakan bentuk mashdar dari kata allama yang asalnya kata ’alima, kemudian dimasukkan ke dalam fi’il tsulatsi mazid dengan ditambah satu huruf dan wazannya adalah ﻓﻌﻞ– ﯾﻔﻌﻞ– ﺗﻔﻌﯿﻞyaitu dengan adanya tasydid pada ’ain fiil dengan makna ta’diyyah, yaitu fi’il yang asalnya tidak mempunyai maf’ul menjadi memiliki maf’ul dan yang hanya punya satu maf’ul bisa memiliki dua maf’ul. Penggunaan kata ’alima diantara orang-orang Arab, memiliki arti yang berbeda-beda, di antaranya: ’aroftuhu atau mengetahui, mengenal), sya’ara (mengetahui, merasa), khabarahu (memberikan kabar kepadanya). (al-Mandzur, Juz IX, tt.: 371). Al-munawwir menyatakan bahwa arti makna kata” ’allama al-ilma”, dengan pengertian mengajar. Begitu pun dengan kata” allamahu” artinya adalah mendidik. (Ahmad Warson Munawwir, 1997: 106). Adapun kata ”a’lama” yang masdar Nya i’lam, berati memberitahu. AlZubaidi me-nemukan bahwa kata ta’lim dan al-i’lam adalah satu makna, yaitu pemberitahuan. (Dedeng Rosidin, 2003: 64). Penggunaan kata “Allama” dalam al-Qur’an yang derivasinya memben-tuk kata ta’lim cukup banyak, baik dalam bentuk fi’il madli maupun mudlari, baik
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 39 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
yang menggunakan mabni ma’lum maupun yang menggunakan mabil majhul. Ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata ’allama dan derivasinya adalah sebagaimana dalam tabel di bawah ini: Tabel 2 اﻟﺴﻮر
اﻟﻜﻠﻤﺎت
al-Baqarah: 31, 251, 282 al-Rahman: 2 al-‘Alaq: 4-5 Yusuf: 37 an-Najm: 5 an-Nisa: 113 Thaha: 71, asy-Syu’ara: 49 ﻋﻠﻤﺖ al-Maidah: 4, ‘allamtu 110 ﻋﻠﻤﺖ al-Baqarah: 32 ‘allamta Yusuf: 101 Yusuf: 68, ﻋﻠﻤﻨﺎ al-Kahfi: 66, ‘allamna al-Anbiya: 80, Yasin: 69 Yusuf: 6 ali Imran: 48 an-Nahl: 103 ﯾﻌﻠﻢ al-Baqarah: yu’allimu 129 al-Baqarah: 151, 282 ﯾﻌﻠﻤﺎن al-Baqarah: yu’allimaani 102 ﯾﻌﻠﻤﻮن al-Baqarah: yu’allmuuna 102 ﺗﻌﻠﻤﻮن Ali Imran: 79 Al-Hujurat: 16 tu’allimuuna ﻧﻌﻠﻢ Yusuf: 21 nu’allimu ﺗﻌﻠﻢ Kahfi: 66 tu’allimu al-Maidah: 4 ﻋﻠﻤﺖ Kahfi: 66 ‘ullimta ﻋﻠﻤﺘﻢ al-An’am: 91 ‘ullimtum
اﻟﺮﻗﻢ
ﻋﻠﻤﻨﺎ 13 ‘ullimnaa Sumber: Fathu al-Rahman, t.th: 131). an-Naml: 16
Derivasi kata ta’lim di dalam alQur’an adalah sebagai berikut: 1. Berasal dari kata ‘allama (fi’il madli), yakni dalam QS. al-Baqarah : 31 :
... 1
Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya epada para malaikat... Al-Baqarah: 251:
2 3
4
5
6 7 8 9 10 11
251. Mereka (tentara Thalut) mengalah kan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam) perperangan itu). Daud membunuh jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggal Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang di kehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak akan menolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini, tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. Al-Baqarah: 282
12
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 40 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
...
... dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku... (QS. alMaidah, 4)
… 282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah [179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskan-Nya. Dan hendaklah seseorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar, dan jangan lah penulis enggan mennuliskan sebagai mana Allah meongajarkannya... 2. Berasal dari kata ‘allamtu, yakni di dalam QS. al-Maidah: 4, 110.
... Mereka menanyakan kepadamu: Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada-mu.(QS. alMaidah, 4). Al-Maidah : 110
...
3. Berasal dari kata ’allamta QS. al-Baqarah :32 :
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha bijaksana [35]."Sebenarnya terjemahan Hakim dengan Mahan Bijaksanan kurang tepat, karena arti Hakim ialah: yang mempunyai hikmah. Hikmah artinya penciptaan dan penggunaan sesuatu sesuai dengan siat, guna, dan faedahnya. Disisi lain diartinkan dengan Maha Bijaksana karena dianggap arti tersebut hampir mendekati arti Hakim. 4. Berasal dari kata ’allamna Terdapat pada QS. Yusuf 68:
... ...dan sesungguhnya dia yang mempunyai pengetahuan, karena kami telah mengajarkan kepadanya, namun kebanyakan manusia tidak mengetahui. QS. al-Anbiya : 80 :
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 41 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). 5. Berasal dari kata yu’allimu (dalam fi’il mudlari), yakni pada QS. Yusuf 6 :
... ...sebagaimana dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. QS. Ali Imaran: 48 :
tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam [840], sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang. Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik, Karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan Hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab QS. al-Baqarah: 129:
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. ssesungguhnya engkaulah yang Maha Kuasa Lagi Maha bijaksana. QS. Al-Baqarah: 151 :
Dan Allah akan mengajarkan kepadanya Al Kitab197, hikmah, Taurat dan Injil. QS. an-Nahl: 103:
Dan Sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)”. Padahal bahasa orang yang mereka
Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan meng-ajarkan kepadamu Al Kitab dan AlHikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 42 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
QS. al-Baqarah: 282 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah [179] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaknya seseorang penulis diantar kamu menuliskan dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkan, mereka hendaknya ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan di tulis itu) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia menguranginya sedikit pun dari pada uhtangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya yang mengimlakkannya dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, agar jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkan. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila Mereka dipanggil; dan janganlah kamu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat pada tidak (menimbulkan keraguanmu. (tulis
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 43 -
IAIS Sambas lah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalahmu itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulis-kannya, dan persaksikanlah apa-bila kamu menjual besi; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka ssesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. 6. Berasal dari kata Yu’allimaani dan Yu’allimuuna Terdapat dalam QS. Al-Baqarah :102 :
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-sayitanpada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengajarkan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir). Hanya saja syaitansyaitanlah yang kafir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengerjakan (sesuatu) kepadanya seorang pun sebelum mengatakan: ‘’sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatlah mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. 7. Berasal dari kata Tu’allimuuna Terdapat dalam QS. Ali Imran :79 :
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 44 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (Dia berkata) “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani [208], karena kamu selalu Mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Rabbani ialah orang yang Sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.
Dan orang Mesir yang membelinya Berkata kepada isterinya [748]: “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak." dan demikian pulalah kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar kami ajarkan kepadanya ta'bir mimpi. dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.
QS. Al-Hujurat : 16:
Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang Agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?" 8. Berasal dari kata Nu’allimu Terdapat dalm QS.Yusuf : 21, yaitu :
9. Berasal dari kata ’ullimta (mabni majhu), yakni dalam QS. al-An’am : 91 :
Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada Manusia”. Katakanlah: “ Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 45 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya padahal Telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", Kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. 10. Berasal dari kata ’ullimna, yakni dalam QS. an-Naml : 16 :
Dan Sulaiman Telah mewarisi Daud dan dia berkata: "Hai manusia, kami Telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata". 11. Berasal dari kata ’ullimta (mabni majhu), yakni dalam QS. al-Kahfi : 66 :
Musa Berkata kepada Khidhr: "Bolehkah Aku mengikutimu supaya kamu megajarkan kepadaku ilmu yang benar diantara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu? Cukup banyak kalimat yang merupakan deviasi kalimat ta’lim untuk dibahas, namun dalam makalah ini yang menjadi focus bahasan adalah kalimat ‘allama dari QS. al-‘Alaq ayat 4-5, yang akan memberikan gambaran secara spesifik dalam menjelaskan masalah pendidikan.
Dalam QS.Al-Alaq: 4-5 Allah SWT berfirman :
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Al-Alusi menafsirkan ayat di atas bahwa” Allah SWT, mengajarkan segala urusan (masalah), kepada Rasul-Nya melalui perentara qalam atau pun melalui perantaraan yang lainnya. Mengajarkan sesuatu baik yang bersifat umum, ataupun yang khusus dan terperinci yang nampak dan tersembunyi, dan tidak mungkin untuk kebaikan. Dengan kata lain Allah mengajarkan kepada Rasulullah saw berbagai pengetahuan, baik yang dapat dicapai oleh akal ataupun yang tidak dapat dicapai akal. Penafsiran di atas mengindikasi kan bahwa, pengertian ta’lim adalah proses transformasi pengetahuan dari satu pihak kepada pihak yang lain, baik pengetahuan itu yang bersifat riil maupun yang abstrak. Lain lagi dengan pendapatnya AlBaidlawi, dimana beliau mengemukakan bahwa dua ayat tersebut di atas mengisyaratkan pada dua tahap pola pembelajaran yang sumber memperoleh ilmunya dengan akal melalui berfikir. Sedang kan yang kedua mengisyaratkan pada tahap pembelajaran Diana satu ilmu diperoleh melalui pendengaran. Qalam bagaikan tali ikat yang mengikat ilmu, yang bisa menyebabkan seseorang tertawa ataupun menangis. Dengan perintahnya, maka sujudlah seluruh makhluk dan dengan goresannya, maka terperiaralah ilmu, sekalipun
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 46 -
IAIS Sambas siang malamsilih berganti dan berlalu. (Al-Razi, t.th: 108). Menurut Ibnu ’Asyur, bahwa makna yang terkandung pada dua ayat tersebut di atas berbicara mengenai pengajaran khusus dengan qalam dan pengajaran yang bersifat umum. Isyarat dari kedua ayat di atas memberikan pengertian bahwa untuk belajar formal atau dengan cara menganalisa tulisan. (Al-Razi, t.th: 108). Selanjutnya Ibnu’ Asyur Menemukan 3 metode pembelajaran, yakni: 1. Mengambil dari orang lain, baik melalui rujukan (muro’jaah), maupun analisis (muthala’ah). Baik untuk rujukan ataupun analisis, maka medianya adalah menulis dan membaca buku atau kitab. Karena dengan menulis itu, siapa pun akan dapat mengumpulkan pendapat para ahli terdahulu, kemudian kemudian digunakan untuk menganalisis alam permasalahan yang baru; 2. Pengajaran; 3. Melalui perenungan atau berpikir mengenai ciptaan Allah. Al-Asfahani mengemukakan kata a’lamtuhu dan ’allamtuhu pada asalkannya satu makna, hanya saja al’ilam di peruntukan bagi pemberitahuan yang dilakukan dengan berulang-ulang dan sering sehingga berbekas pada diri muta’allim (peserta didik). Dan dimaksudkan dengan ta’lim berarti untuk mempersepsikan makna dalam pikiran. (Dedeng Rosidin, 2003: 65). Dari uraian tersebut di atas, apa yang dikemukan oleh al-Asfahani dapat memberikan pemahaman yang cukup jelas mengenai pengertian kalimat ta’lim. Dan dari uraian-uraian yang telah dikemukan, maka dapat diambil satu kesimpulan bahwa secara bahasa kalimat ta’lim memeliki pengertian mengabarkan, memberitahukan, mengajarkan, mendidik dengan cara yang berulangulang kemudian di persepsikan makna-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 nya sehingga membekas pada diri muta’allim. Namun demikian pada tahapan selanjutnya, kalimat ta’lim ini diarti kan dengan pengertian pengajaran, karena memiliki spesifikasi khusus Diana dalam terjadi transformasi pengetahuan. Proses transformasi pengetahuan sebagaimana diisyaratkan dalam QS. alAlaq ini terbagi dalam beberapa proses atau tahapan, yakni: 1. Pada tahap awal, pelajaran yang harus disampaikan adalah hal-hal yang bersifat indrawi; Setelah anak didik mengetahui halhal yang bersifat indrawi, pembelajaran harusnya ditingkatkan pada masalah-masalah bersifat abstrak dan spiritual; 2. Setelah anak didik mampu menguasai dua hal tersebut, maka langkah berikut adalah proses pembelajaran yang berujung pada kemampuan menuliskan gagasan. Sebab, apa yang dipahami, baik yang baik yang kasat mata atau yang tak kasat mata, ia kurang begitu berkaitan kalau tidak dituangkan dalam bentuk tulisan yang akan menjadi khazanah keilmuan; 3. Setelah tiga tahapann terlewati, maka tahap akhir adalah pembelajaran yang berhubungan upayaupaya yang akan meningkatkan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan secara langsung dari Allah. (Nuwadjah Ahmad, 2010: 200-201). Perbedaan Tarbiyat dan Ta’lim Istilah tarbiyat dan ta’lim adalah dua istilah dalam ilmu pendidikan Islam yang diartikan dengan pendidikan Islam. Kedua istilah ini, sebetulnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan sekalipun perbedaan tersebut berasal dari perbedaan pemahaman dari para ahli pendidikan.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 47 -
IAIS Sambas Secara khusus, Sa’ad Ismail Ali mengemukakan perbedaan mendasar antara tarbiyat dan ta’lim. Adapun Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: Ali, 2007: 21). 1. Upaya yang dilakukan seseorang untuk mempengaruhi pihak lain, sehingga terjadi perubahan, baik Perubahan itu sengaja ataupun tidak di sengaja, baik kepada manusia maupun kepada yang lainnya. Dengan demikian, maka tarbiyat maka itu tidak terbatas, sebagai mana makna ta’lim, dimana dalam makna tarbiyat pendidikan tidak dibatasi tempat dan waktunya. Dalam tariyat waktu pembelajaran dimulai dari sejak lahir sampai dengan mati, dan yang menjadi gurunya adalah orang tua. 2. Adapun ta’lim, maka ia merupakan pengertian pendidikan yang bersifat khusus, dalam arti bahwa mata pelajaran, seperti madrasah, pesantren, maupun universitas. Pendidik-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 kan dalam arti ta’lim menghendaki adanya para pengajar yang memiliki kompetensi khusus yang disebut dengan mua’llim. 3. Demikian juga dalam pengertian ta’lim ini, pendidikan yang diselenggarakan waktu terbatas sehingga ketika datang tahun pelajaran baru, maka materi yang diajarkannya juga baru. Dari penjelasan-penjelasan yang telah dikemukan di atas, maka dapatlah diambil sebuah simpulan utama bah-wa kalimat atau kata tarbiyah memiliki pengertian yang lebih umum dari kata ta’lim. Tarbiyah dapat diartikan sebagai sistem pendidikan karena wilayah yang menjadi bahasanya mencakup semua aspek dalam pendidikan, sedang ta’lim merupakan sub-sistem dari tarbiyat, yang dapat diartikan dengan metode pengajaran atau bahan ajar.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 48 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Nuwadjah. 2010. Tafsir Ayat-ayat Pendidikan ‘Hati yang Selamat Hingga Kisah Luqman’. Bandung: Marja. Ali, Ismail Sa’id. 2007. Ushul al-Tarbiyat al-Islamiyat. Kairo: Darr al Salam. Al-rahman, Fathu, t.th. li al-Thalibi ayat al-Qur’an. Bandung: Dahlan. Al-Razi. t.th. Tafsir al-Razzi (maktabah Syamilah). Jilid 17. Rosihin, Dedeng. 2003. Akar-akar Pendidikan dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Bandung: Pustakan Umat.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 49 -
PENELITIAN SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM: PELUANG DAN PENGANTAR METODOLOGI Zulkifli *
ABSTRAK Berdasarkan penelusuran di lapangan ditemukan fakta bahwa, hasil penelitian mahasiswa (berupa skripsi) Jurusan Tarbiyah dan para dosen IAIN Pontianak sangat sedikit yang mengangkat tema sejarah Pendidikan Islam atau yang menggunakan metode sejarah. Tema-tema penelitian mahasiswa sebagian besar mengangkat hal-hal yang sudah sering diteliti sehingga terkesan ruang lingkup penelitian mereka mengalami kejenuhan. Padahal di sisi lain, obyek kajian atau penelitian sejarah pendidikan Islam atau yang menggunakan metode sejarah menyediakan ruang yang sangat luas untuk diteliti. Di samping itu, penelitian sejarah juga memberikan makna yang cukup berarti, khususnya bagi pendidikan karakter bangsa. Asumsi awal penyebab hal ini adalah ketidaktahuan mahasiswa tentang metode sejarah, kurang memahami peta bidang garapan penelitian ketarbiyahan dan rendahnya minat di bidang sejarah. Tulisan ini ingin memberikan jawaban atas dua asumsi awal di atas. Secara umum tulisan ini berupaya menjelaskan tentang peta bidang garapan penelitian sejarah pendidikan Islam dan bagaimana metode penelitian sejarah, khususnya dalam mengkaji pendidikan Islam. Sedangkan untuk asumsi ketiga, tulisan ini tidak dalam kapasitasnya memberikan jawaban.
KATA KUNCI: Penelitian Sejarah, Sejarah Pendidikan Islam, Metode Sejarah.
*Dosen
Institut Agama Islam Negeri Pontianak Telp. 0561-740601 E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Ditengah-tengah arus globalisasi kita menddapatkan bahwa agama mendapatkan kenyataan bahwa agama tetap menjadi perbincangan dan menjadi sebuah hal yang menarik pula. Ternyata kenyataan ini membuktikan bahwa tesis umum tentang nasib agama yang bakal menempati posisi suborniat (bawah) dalam hubungannya dengan kemajuan sains dan teknologi. Sebenarnya, tidak relevan. Bahkan mungkin malah benar. Dalam tahapan perkembangan ilmu sosial kemasyarakatan tertentu pula, dan mungkin pandangan streopikal tentang posisi bawah agama dalam hubungannya dengan kemajuan sains dan teknologi bisa saja merupakan sebuah fenomena yang sesat. Bisa saja dikarena kan “hukum besi natur manusia” yang tak terpisahkan dengan elemen-elemen spiritual. Kenyataan di atas, selalu dibarengi dengan munculnya arus balik yang bersifat keagamaan. Beberapa tahun yang lalu orang asing datang ke Indonesia, kita tentu masih merasa bangga yang plural secara etnik antar umat agama. Kerukunan antar etnik dan antar agama. Kerukunan antar etnik dan agama dibarengi dengan adanya kebangkitan agama-agama terutama, kebangkitan Islam yang ditandai oleh syi’ar yang semarak. Tetapi kerukunan yang kita banggakan itu dikejutkan dan sekaligus diuji begitu banyak konflik yang terjadi terutama sejak tahun 1996 sampai sekarang. Eskalasi pertentangan yang dilapisi baju isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), menciptakan konflik kekerasan yang lebih sampai pada menyebabkan konflik kekerasan, menegangkan, dan meresahkan.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Dalam suasana seperti ini, agama sering kali menjadi tujuan singgung paling sensitive dan ekslusif di dalam pergaulan pluralitas masyarakat. (M. Atho Mudzhar dkk, 2004: 14). Masingmasing pihak saling mengklaim bahwa dirinya yang paling benar, sedangkan pihak lain adalah salah (trut claim). Persepsi bahwa perbedaan adalah merupakan sebuah hal yang buruk, suatu hal yang menakutkan, sudah begitu rupa mendarah daging dalam jiwa umat beragama. Menurut I Made Titib, konflik terjadian karena emosi keagamaan yang berlebihan, disebabkan pemahaman terhadap ajaran agama yang sempit serta dangkal. Hal-hal ini mengakibatkan pula timbulnya sentiment keagmaan yang berkadar tinggi. (I Made Titib, 2004: 51). Sehingga terjadi pemaksaan keinginan antara lainnya, dan masingmasing ingin sekali mendapatkan lebih dari apa yang semestinya didapatkan. Dalam upaya memberikan alternative pencegahan terjadinya konflik di masa yang akan datang maka, satu di antara pendekatan yang bias dilakukan yaitu melalui jalur pendidikan agama. Pendidikan agama bukan semata-mata sebagai sarana untuk menanamkan aqidah, nilai, norma, serta ritual keagamaan. Disamping itu pula, pendidikan agama juga ditentukan untuk pelestarikan tradisi, dan praktek-praktek agama. Hal ini penting selain dari tujuan pendidikkan agama. Selain itu pula, pendidikan agama memberikan pemahaman sikap atau etika terhadap berlainan agama dan keyakinan atau yang disebut dengan pluralisme agama. Pluralisme merupakan pengakuan atas perbedaan, serta keperbedaan itu.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 51 -
IAIS Sambas Sesungguhnya sunnatullah adalah sesuatu yang nyata serta tidak bisa di pungkiri. Penolakan terhadap pluralisme yang sunnatullah itu, menimbulkan ketegangan dan bahkan konflik. Karena meniadakan sesuatu yang nyata, serta merupakan pengingkaran terhadap kehendak Allah. Pluralisme bertujuan tidak sebatas menghendaki atas keperbedaan itu, melainkan juga rasa penghormatan atas kenyataan perbedaan yang ada. Untuk itu, sudah seharusnya diakui dengan jujur bahwa, masyarakat Indonesia memang berbeda-beda dan karenanya segala perbedaan itu untuk di hormati. Kalau sikap seperti ini bisa di lakukan, maka tidak mungkin ada ketegangan yang berujung pada konflik. Pluralisme menjadi terancam dan persatuan bangsa menjadi terkoyak. Terlepas dari berbagai analisis apakah akar konflik sosial itu terletak pada wilayah politik, sosial, budaya, ataukah agama. Tidak salah jika wilayah pendidikan agama mulai menjadi persoalan banyak orang. Ketidakberdayaan sistem pendidikan agama wajar digugat. Hal ini dikarenakan pluralisme tidak dihargai oleh banyak orang di Indonesia, Apa yang salah dengan sistem pendidikan agama. Apakah pendidikan agama selama ini sia-sia tanpa berpengaruh terladan kepada anak didik. Pendidikan agama semacam ini, apakah mampu dalam menumbuhkan sikap menghargai terhadap pluralisme. Melalui pendidikan agama tentunya nilai-nilai apa yang perlu ditumbuhkan kepada anak didik agar ia menghargai agama, serta nilai-nilai apa yang perlu dikembangkan kepada anak didik agar ia mengahargai pluralisme. PEMBAHASAN Pluralisme versus Ekslusivisme Sebelum pertanyaan tersebut di atas dijawab, ada baiknya pembicaraan tentang arti pluaralisme dan pluralitas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dimulai terlebih dahulu. “Pluralisme dan Pluralitas” adalah dua kata yang sering dipakai secaa bergantian tanpa adanya penjelasa, apakah dua kata ini mempunyai arti yang sama atau berbeda. Ada kalanya pluralisme dan pluralitas mempunyai arti yang sama, yaitu keadaan yang bersifat jamak, dan banyak. (William Collins & Graham Brash, 1983: 872). Pluralisme dan pluralitas dalam tulisan ini harus dibedakan untuk menghindari kerancuan arti. Pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta banyak. Pluralisme bukan pula sekedar pengakuan bahwa keadaan atau fakta kenyataan. Pluralisme adalah suatu sikap menghargai, menghormati, memelihara, serta berusaha megembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak. (Machasin dkk, 2005: 218). Pluralisme disini dapat pula berarti kebijakan atau politik yang pemeliharaan kelompok-kelompok yang berbeda-beda dengan asal etnik, pola, budaya, agama, dan seterusnya. Pluralisme menurut pandangan Djohan Effendi, tidak hanya cukup dimaknai sebagai kenyataan adanya keperbagaian suku-suku, agama, ras, antar golongan bahasa, tingkat pendapatan atau ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Namun juga maknai dengan komunikasi, interaksi, dan dialog. (Djohan Effendi, 2001: 14). Menurut Alwi Shihab, pluralisme tidak semata menunjukan pada sebuah kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. (Alwi Shihab, 2001: 14). Dengan demikian, pluralisme tidak semata-mata hanya keperbagaian sukusuku, agama, ras, antar golongan, bahasa, tingkat ekonomi, pendidikan, dan lainlainnya. Tetapi bagaimana hubungan antar etnik, dan antar hubugan lainnya
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 52 -
IAIS Sambas itu sendiri dibangun dengan lainnya dibangun dengan penuh keterbukaan, tolransi, saling menghormati, dan saling menghartai. Pluralisme menurut pendapat Anslem Kyongsuk Min adalah suatu realitas nyata, sebuah fakta yang sudah berlangsung sejak lama. Sedangkan pluralitas menurut Raimundo Pannikar adalah keberagaman yang tidak saling menyapa dan saling berhubungan yang merpakan lawan dari kata keseragaman dan bersifat monolitik. (Djohan Effendi, 2001: 14). Pluralitas etnik, kultural keagmaan dan lain-lain dimana pun di dunia ini, adalah karena pluralitas itu hukum alam. Mengingkari pluralitas berarti mengingkari hukum alam. Yang menjadi sikap kita terhadap pluralitas itu. Apakah kita menghargai, menghormati, dan mengembangkan pluralitas itu. Apakah masing-masing kita toleran terhadap sesama dan apakah kita hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan orang lain, bahkan kelompok lain yang berbeda etnik, kultur, agama, dan sebagainya. Apakah masingmasing kita harus saling membenci atau memusuhi orang lain atau kelompok yang berbeda etnik, kultur, agama, dengan kita. Etnik atau ras seseorang bukan ditentukan oleh pilihannya, akan tetapi dditentukan keturunannya. Apakah adil, atau bermoral jika kita membenci seseorang karena etniknya yang bukan pilihannya itu, berbeda denga etnik kita. Satu diantara pedoman untuk memperlakukan bertingkah laku, dan bersikap terhadap orang lain berbuat serupa kepada kita. Perlakuan yang baik bagi diri kita adalah baik pula bagi orang lain. Perlakuan yang buruk bagi diri kita adalah bagi orang lain. Apakah kita dibenci dan dimusuhi oleh orang lain karena etnik kita, meskipun di antara kelompok etnik kita
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 ada yang berbuat tidak benar, perlakuan orang itu adalah buruk dan tidak bermoral. Karena itu, apabila seseorang atau sekelompok orang kita benci dan kita musuhi karena etnik orang itu ada yang berbuat tidak benar, perlakuan kita itu adalah buruk dan tidak adil masih tetap terjadi dimana-mana di dunia ini. Perbuatan yang tidak benar dan tidak adil itu masih tetap terjadi di mana-mana di dunia ini. Kebencian terhadap etnik tertentu seperti di Serbia, di Kosvo, dan belahan dunia termasuk di Indonesia adalah sikap tidak bermoral pluralitik etnik. Agama yang dianut oleh seseorang pada umumnya, bukan ditentukan oleh pilihannya. Agama saya adalah Islam. Saya menganut Islam karena pilihan, karena saya keturunan, dan karena orangtua saya mengantu Islam, sanaksaudara, keluarga, tetangga, dan masyarakat di lingkungan saya dilahirkan, sekaligus dibesarkan oleh penganut Islam. Sejak kecil saya dididik secara Islam. Waktu baru lahir suara azan diperdengarkan, shalat, dan membaca Al-Qur’an. Saya tidak menyesal menganut Islam. Sebaliknya, saya bangga menganut Islam. Apa yang terjadi pada diri saya, atau apa yang saya alami tentu juga terjadi atau dialami oleh banyak orang Muslim. Andaikata saya dilahirkan di Israel dan kedua orang tua saya adalah Yahudi hampir pasti saya akan menjadi seorang Yahudi; seandainya saya dilahirkan di Spanyol dan kedua orang tua saya adalah Kristen, hampir pasti saya akan jadi seorang Kristen. Andaikata saya dilahirkan di India dan kedua orangtua saya beragama Hindu, maka saya akan jadi seorang Hindu; tetapi saya dilahirkan di Indonesia, persisnya di Semata Biangsu, Sambas, Kalimantan Barat. Kedua orangtua saya adalah Muslim, dan saya tentu adalah seorang Muslim.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 53 -
IAIS Sambas Saya dilahirkan di tempat orang-orang Sunni, tentu saja saya seorang Sunni. Sejak kecil Islam yang saya pahami adalah Islam yang mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang membawa keselamatan. Orang yang tidak menganut Islam pasti akan masuk neraka. Dengan demikian, saya memegang sikap eks-kluvisme. Semenjak akhir 2008-an mungkin karena mempelajari agama-agama lain dan tasawuf, saya mulai meninggalkan sikap ekskluvisme dan beralih pada sikap pluralisme. Saya berdoa kepada Tuhan semoga saya selalu ditunjukan jalan yang lurus dan benar di mata Tuhan. Ada beberapa sebab yang mengakibatkan sikap eks-klusivisme pada seseorang. Salah satu sebab itu adalah sikap agama bersifat dogmatis, yang diterimanya sejak kecil serta diajarkan bahwa agama yang dianutnya itu adalah satu-satunya agama yang benar, nantinya membawa keselamatan. Sebab lain, adalah suasana hidup dalam masyarakat yang terdiri dari satu kelompok agama. Sebab kedua adalah Orang yang hidup dalam masyarakat seperti itu tidak akan pernah bergaul dengan orang lain dari kelompok agama lain pula. Sebab ketiga adalah tidak orang yang tidak pernah mengenal atau memperelajari agama lain. Sebaliknya, jika pluralis dapat lebih muda muncul dalam agama yang tidak dogmatis dan tidak terlembaga, yang mengajarkan banyak jalan menuju yang absolut. Sebab lain, yang kiranya dapat menimbulkan sikap pluralisme adalah suasana hidup dalam bergaul dengan kelompok agama yang berbeda-beda. Sikap pluralisme dapat pula muncul karena pengetahuan serta pemahaman yang bena mengenai agama-agam lain. Seminar atau diskusi yang kita hadiri dipandang sebagai dialog antar agama adalah orang-orang beragama, atau antar umat beragama. Pelakupelaku dialog antar iman adalah orang-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 orang yang beriman karena itu, dialog ini adalah dialog antara orang-orang beriman atau dialog antar umat beriman. Mari kita renungkan siapa sebenarnya pelaku-pelaku dialog. Jika masing-masing peseta dialog ini adalah seorang eksklusif, tentu peserta lain yang tidak beriman dan akan masuk neraka. Maka dari sudut pandang peserta yang memandang dirinya, sebagai orang beriman, dialog yang dilakukan itu bukan dialog antar orangorang beriman dan orang kafir. Dapat juga dikatakan bahwa, dialog itu adalah dialog antar orang-orang kafir, karena masing-masing orang atau kelompok agama memandang lawan dialog mereka sebagai orang kafir. Dialog itu dapat disebut sebagai dialog antara orang-orang beriman jika, semua peserta adalah kaum pluralis, dan memandang bahwa semua lawan dialog mereka adalah orang-orang beriman. Program dialog antar umar beragama yang selama ini dimotori dan diprakarsai oleh pemerintah diikut sertakannya guru agama dalam proses dialog antar umat beragama. Barangkali mereka beranggapan bahwa, tidak terlalu rendah atau tidak kelasnya untuk diajak duduk bersama-sama berdialog mendiskusikan persoalan pluralitas. Agama dianggap tidak punya terlalu banyak umat, kemudian dianggap tidak mempunyai peran yang sangat strategis dalam mensosialisasikan ide-ide baru. Dialog antar umar beragama secara terbatas hanya melibatkan tokoh-tokoh elit yang berorganisasi keagamaan bersifat fungsional yang berwenang dalam lembaga-lembaga keagamaan yang terdiri atas Tokoh-tokoh masyarakat terpandang. Dari tokoh elit agama, dari kalangan ulama, bhikhu, pendeta, pastor sampai pada tokoh pemuda, wanita intelektual dan begitu seterusnya. Namun jarang sekali forum-forum dialog ini
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 54 -
IAIS Sambas melibatkan guru-guru agama. Guru agama sebagai ujung tombak pendidikan. Sampai tokoh pemuda, agama, dari TK sampai perguruan tinggi, nyaris tidak tersenuth oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan seperti isu pluralisme dan dialog antar umat beragama selama hampir 35 tahun terakhir. (M. Amin Abdullah, 2005: 242). Dengan demikian, dalam mindset (pemikiran) mereka, pada umumnya masih terpanggil untuk mengajarkan agama dengan materi, cara dan metode yang sama dengan asumsi dasar, keyakinan, dan pra anggapan mereka bahwa anak didik, masyarakat dan umat di luar pagar sekolah seolah-olah hidup dalam komunitas yang homogen, dan bukannya heterogen, secara keagamaan. Berbeda dari anggapan umum tersebut, penulis tidak sepakat jika guru agama hanya dipandang dengan sebelah mata dalam forum dialog antar umat beragama. Mereka sesungguhnya adalah barisan terdepan dan ujung tombak yang masih cukup berwibawa untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang kondusif untuk mencegah melebar dan meluasnya konflik dan kerusuhan antar umat beragama sejak bangku sekolah. Jika saja mereka memperoleh akses, input informasi yang cukup akurat dan tepat tentang pelik serta kompleksnya kehidupan beragama dalam era pluralitas dan memberikan alternasialternasi pemecahan yang menyejukan, lebih-lebih jika mereka mampu mengemas ulang pesan-pesan serta nilainilai agama yang mereka peluk di era pluralitas, maka anak didik dari sejak dini sudah dapat diantarkan untuk dapat memahami (bukan berarti menegasikan perbedaan, serta menolaknya), menghargai, dan menghormati kepercayaan dan agama yang dianut atau diperluk orang lain bukan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 menbenci dan memusuhinya. Seorang eksklusifis cenderung berusaha untuk untuk memonopoli kebenaran, cenderung tertutup tidak mau mendengarkan serta memahami orang lain, dan cenderung bersikap otoriter. Sikap monopoli kebenaran pada, gilirannya membuat seseorang eksklusif merasa dirinya mempunyai hak yang istimewa untuk menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang sesat, mana aliran yang benar dan mana aliran yang sesat, mana yang disebut dengan agama dan mana yang tidak disebut agama, dan mungkin siapa yang akan masuk surga, dan siapa pula yang akan masuk neraka. Sikap kelompok orang-orang Muslim tertentu di Indonesia belum lama ini yang memandang Syi’ah sebagai aliran yang sesat, oleh sebab itu tidak berhak hidup di Indonesia dikarenkan salah satu contoh empiris sikap monopoli kebenaran. Sikap pemerintah pada maa orde baru terhadap konfusianisme atau agama Konghucu bahwa konfusianisme merupakan bukan agama adalah contoh lain sikap monopoli kebenarab apa yang disebut agama. Sikap seling mencurigai, saling, membenci dan saling memusuhi antar umart beragama di Indonesia, meskipun lebih banyak ditimbulkan oleh faktor politik, tidak terlepas dari sikap ekskulifisme yang bersifat teologis. Isu kafir-mengkafirkan antar kelompok pengikut agama, tuduhan tidak selamat jika menganut agama di luar ia anut, saling murtad-memurtadkan, kebenaran orang lain sebagai ancaman masih sering ditemukan di dalam praktekpraktek pendidikan agama maupun secara terang-terangan maupun halus. Jelas sekali sedikit atau banyak bahwa sikap ini menyuruh melukai, menyakiti, menyinggung, dan membangkitkan emosi kelompok penganut agama lain. Dan ungkapan-ungkapan tersebut dapat
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 55 -
IAIS Sambas mengganggu hubungan antar umat beragama dan memeluk agama di manfaatkan untuk atau mungkin juga kepentingan politik, maka akibat dari sikap saling mencurigai, saling menbenci, dan saling memusuhi. Hal ini semakin memperburuk kehidupan sosial dan politik suatu bangsa. Inilah yang terjadi sekarang di Indonesia. Saya akan memberikan beberapa contoh sikap saling mencurigai beragama di Indonesia. Isu Kristenisasi yang berlabel bantuan kemanusian di daerah-daerah tertentu, atau isu Negara Islam adalah contoh di antara masalah yang harus diselesaikan dengan cara dialog secara jujur. Tanpa dialog maka isu-isu tersebut akan tetap menjadi bom waktu pada setiap saat bisa meledak dan menghancurkan bangaunan ke Indonesia. Maraknya konflik dan pertikaian yang terjadi dengan mengatas namakan agama, kerusuhan, terorisme, dan perusakan tempat-tempat ibadah adalah merupakan beberapa contoh dari sikap keberagamana yang masih saling mencurigai antar agama yang satu denga lainnya. Kontak-kontak historis masa lalu antar umat Kristen dan umat Islam yang diwarnai dengan pengalaman pahit dan memilukan serta meninggalkan luka yang sulit untuk dihilangkan. Pengalaman Perang Salib antar umat Islam dan Kristen; pengusiran umat Islam oleh Spanyol dari penguasa-penguasa Kristen; ekspansi daerah kekuasaan Islam di Semenanjung Balkan Eropa, oleh Turki Usmani; penjajahan Belanda oleh Kristen terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam perang saudara antar umat Islam dan peran Kristen di Filipina Selatan, dan Kristen di Bosnia; semua itu adalah pengalaman yang buruk, meninggalkan luka dalam bagi umat Islam dan Kristen. Orang-orang Muslim sering mendapatkan kesan bahwa orang Kristen
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 selalu hidup dengan aman dan rasa tenteram di Negara mayoritas penduduknya adalah orang-orang Muslim. Indonesia adalah satu diantara contoh Negara yang mayoritas penduduk Muslim, yang sangat toleran kepada orang-orang Kristen, sehingga orang-orang Kristen dapat hidup tenang dan tenteram. Orang-orang Muslim sering mendapat kesan bahwa orangorang Muslim selalu hidup tertindas dan tersiksa oleh orang Kristen terutama, di Negara yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Kristen. Satu diantara bukti yang sering disebukan adalah penindasan orang-orang Muslim di Filipina Selatan yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Kristen. Demikian orang-orang Kristen, di mata orang-orang Kristen, orangorang Muslim mempunyai citra buruk karena sikap mereka yang tidak toleran kepada orang-orang yang mendukung citra itu di Indonesia adalah kesulitan yang dialami oleh orang-orang Kristen untuk mendirikan tempat ibadah di daerah-daerah tertentu dan pembakaran atau perusakan gereja yang dilakukan oleh orang Muslim di Situbondo dan Tasikmalaya, pemboman gereja di Solo, dan Makasar. Orang-orang Muslim sering menuduh orang Kristen tidak toleran terhadap orang-orang Muslim, dan sebaliknya orang-orang Kriseten menuduh bahwa orang Islam tidak toleran terhadap orang-orang Kristen. Hubungan antara komunitas keagamaan ini lebih banyak di dominasi oleh sikapsikap saling mencurigai, dan saling membenci, dan saling memusuhi. Secara jujur harus kita akui bahwa di antara orang-orang Kristen di dunia ini pasti ada yang tidak toleran terhadap orang-orang Muslim dan begitu pula di antar orang-orang Muslim pasti ada yang tidak toleran terhada orang-orang Kristen. Tetapi secara jujur harus kita akui bahwa, banyak orang Kristen yang
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 56 -
IAIS Sambas toleran dan bersahabat dengan orang Muslim dan banyak pula orang Muslim toleran dan bersahabat dengan orangorang Kristen. Pendidikan dan Transformasi dalam Masyrakat Dalam rangka persoalan yang dikemukakan di atas adalah merupakan suatu hal yang wajar jika orang kemudian menoleh ke bidang-bidang lain sebagai langkah diverifikasi untuk menemukan kiat-kiat perundanng-undangan yang dimaksud. Penilaian singkat mengenai kiat-kiat legal ini bukan untuk mengatakan persoalan pluralisme keagamaan secara otomatis akan terselesaikan jika, kita mempunyai seperangkat undangundang yang mengatur kehidupan masyarakat agama yang beragam itu. Akan tetapi, hal itu hendaknya dilihat sebagai prasyarat menimal untuk menuju kearah yang lebih bersifat penyadaran dan permanen yang memilikinya. Untuk itu, bidang pendidikan apalagi pendidikan agama dianggap sebagai infrastuktur yang memungkinkan. Pertama-tama karena pendidikan agama sering kali dipandang sebagai instrumen perubahan, khususnya yang berkaitan dengan nilai dan sikap mental. Pendidikan agama masih dinilai sebagai infrastruktur paling memungkinkan untuk proses transformsi nilai. Kesadaran akan pentingnya kemerdekaan yang akan tumbuh di kalangan elit Nasional pada dasawarsa 1920-an muncul antara lain berkat pendidikan. di samping itu, dalam konteks Indonesia pendidikan dalam pengertian sekolah, mempunyai dasar-dasar ideologis yang kuat untuk mencapai Indonesia yang dicita-citakan. Dengan itu, yang dimaksud adalah point-point penting yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 sesuatu yang oleh banyak pihak sering dianggap lebih bermakna dari tubuhnya sendiri. Poin penting dalam hal ini
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 adalah salah satu tujuan utama berdirinya republik yang telah dirumuskan dengan kata-kata “mencerdaskan kehidupan bangsa”. (Risalah BPUPKI, 1995: 420), tujuan seperti ini jelas menunjukkan betapa pentinganya mengenai soal pendidikan, persoalan yang harus dibedakan dengan sekedar pengajaran. Karena penekanan ideologis seperti ini, Indonesia pada awal kemerdekaan membuka pintu lebar-lebar atas dunia pendidikan. Meskipun dihadapkan pada kendala finansial dan fisikal yang luar biasa besarnya, pemerintah melepaskan dunia pendidikan dari stuktur sosial yang membelengu. Kalau pada masa kolonial, hanya kalangan dengan stuktur kelas sosial ekonomi tertentu sajalah yang dapat menikmati pendidikan, maka pada masa kemerdekaan khusunya setelah berlalunya masa revolusi. Dunia pendidikan dilepaskan berbagai hambatan kelas tadi. Pendidikan menjadi lebih egaliter. Pendidikan telah memberikan sumbangan luar biasa besarnya dalam proses transformasi dalam masyarakat Indonesia dalam perjalanannya selama dasawarsa lebih, dari tradisional ke modern, dari agraris ke industrialis. Bahkan ke gerbang warga bangsa yang mempunyai kesadaran hightech. Inilah proses panjang yang oleh Karl Deutsch atau Daniel Lerner disebut mobilisasi sosial. (Karl Deutsch, 2005: 267). Dalam konteks komunitas Islam, tidak terlalu berlebihan jika beberapa waktu lalu Nurcholish Madjid melihat kenyataan ini sebagai ledakan intelektual. (Karl Deutsch, 2005: 268). Point penting yang dapat diambil dari pernyataan tersebut di atas adalah demikian kuatnya hubungan antara pendidikan dan transformasi masyarakat Indonesia, paling tidak dari sudut perspektif meningkatnya kalangan terdidik metropolitan. Kalau pada masa awal
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 57 -
IAIS Sambas kemerdekaan hanya kalangan tertentu yang dapat dinisabkan pada golongan seperti itu. Demikian hubungan pendidikan transformasi dalam masyarakat, tidak akan pernah lepas dengan penghargaan atas realitas keagamaan yang pluralis. Saya khawatir, jawaban atas pertanyaan seperti ini tidak clear benar, baik bersifaf afirmatif atau negatif. Kesulitan untuk memberi jawaban yang pasti terletak pada watak atau sikap recurren problematika yang berkaitan dengan soal pluralisme keagamaan. Fenomena pluralisme keagamaan pada suatu kesempatan menunjukan tahapan-tahapan menggembirakan. Pada kesempatan lain, justru muncul adalah antagonism teologis dan politis yang berkepanjangan. Dalam kaitannya dengan hal itu, hampir-hampir pendidikan tidak menunjukan dirinya sebagai faktor yang ikut menentukan baik buruk nya perkembangan kehidupan pluralisme keagamaan. Dengan kata lain bahwa, baik buruknya perkembangan kehidupan pluralisme keagamaan diditentukn oleh hal-hal di luar dunia pendidikan, dalam hal ini justru nampak, khususnya pada masa Orde Baru adalah faktor politik. Sejauh mana Negara mampu berperan sebagai buffer zone untuk menciptakan kenyamanan dalam beragama di satu pihak dan menghindari konflik keagamaan di pihak lain. Dalam konteks inilah bisa dipahami mengapa sampai betapa waktu yang lalu pemerintah masih bisa membanggakan keharmonisa keagamaan masyarakat Indonesia pada dunia luar. Sementara itu, dewasa ini masyarakat meratapi sesungghnya betapa rapuh dasar-dasar kehormonisa dalam kehidupan keagamaan kita. Atas dasar itu kita dapat mengajukan pertanyaa mengapa keterkaitan antara pendidikan dengan harga penghargaan atau pluralisme agama tidak sekuat keterkaitan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 pendidikan dengan trnasformasi antara pendidikan dengan transformasi dalam masyarakat?. Jawaban pintas dari pertanyaan di atas adalah bahwa pendidikan telah direduksi menjadi sekedar pengajaran. Di sini yang lebih menonjol adalah halhal yang bersifat kognitif, pengusahaan terhadap subyek akademik, bukan pengembangan watak anak didik tentang bagaimana sikap terhadap realitas lingkungan yang secara keagamaan bersifat pluralistic. (M. Dawam Raharjo, 1997: 125). Karenanya, meskipun banyak lembaga pendidikan keagamaan untuk mengajarkan pendidikan keagamaan mengajarkan ilmu agama, hal itu hanya pada pemahaman kognitif saja. Dalam konteks itulah, anak didik mengetahui misalnya mengenai konsep ketuhanan mengenai masing-masing agama, akan tetapi, mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di luar disiplin akademik tadi. Padahal kehidupan mereka lebih banyak dibentuk dan dipengaruhi oleh pemahaman keagamaan mereka sendiri secara teologis dan akademik tidak begitu relevan dengan penciptaan kesadaran anak didik tentang pluralisme keagamaan. Bahkan tidak jarang dunia pendidikan justru menyumbang persoalan yang dapat memperuncing kerukunan kehidupan antar uamt beragama. Dalam hal ini, yang amat menonjol adalah soal wajib tidaknya pendidikan agama diberikan disekola; oleh siapa dan berapa lama. Pada masa sebelum Orde Baru kehadiran pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri maupun swasta bersifat sukarela. Hal ini terjadi disebabkan kejengkelan terhadap ateisme, komunisme di satu pihak, dan keinginan publik agar nilai-nilai agama juga disosialisasikan sejak dini melalui lembaga-lembaga pendidikan. Sejak awal Orde Baru pendidikan agama
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 58 -
IAIS Sambas menjadi mata pelajaran yang wajib diberikan. Meskipun demikian, peraturan itu tidak cukup compulsive, seakan-akan tidak mempunyai konsekuensi-konsekuensi hukum yang tegas, sehingga pendidikan agama benar-benar menjadi mata pelajaran yang diberikan di sekolah seringkali karena pertimbanganpertimbangan teologis atau politis ter tentu, lembaga-lembaga pendidikan swasta merasa tidak begitu compulsive untuk memberikan pendidikan agama kepada anak didik sesuai dengan agama yang dianutnya. Inilah kemungkinan yang ikut memicu ketegangaa hubungan antar umat beragama. Baru pada tahun 1989 dan tahun 2003 pemerintah menggulirkan undangundang tentang sisten pendidikan nasional. Di satu sisi secara eksplisit diakui peran pengajran agama pada semua jenjang pendidikan. Diteraskan pula kualifikasi guru agama yang diajarkan dan dianut oleh siswa dalam mengikuti pelajaran tertentu. Kendatipun pengaturan legal seperti telah disahkan tetap saja protes dan penolakan dari kalangan agama tertentu bermunculan. Sesuatu yang menunjukan watak ekslusif, particular, dan primordialisme pemeluk agama. Ini semua menunjukan bahwa di bidang pendidikan agama toleransi masyarakat beragama tidak cukup tebal. Padahal dalam stuktur yang tidak terlalu ketat, masyarakat. Indonesia yang heterogen diikat oleh sebuah world view yang dijadikan kesempatan bersama yaitu sila” Ketuhana Yang Maha Esa”. Dalam rumusan yang bisa memberikan konsekuensi legal. Kementerian Agama sejak Alamsyah Ratu Perwira Negara, menggulirkan Tri Kerukunan Intern, kerukunan umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan umat beragama denga pemerintah. (Masykuri Abdillah, 2000: 340).
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Dalam situasi di mana Negara kuat, langkah-langkah di atas telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam hal kerukunan antar umat beragama. Pada periode ini terutama masa Orde Baru, konflik berhadap keagamaan tidak muncul di permukaan dalam keagamaan bentuk vulgar. Jangankan kerusuhan keagamaan bentuk fisik perdebatan panjgan yang bersifat polemis dan apolegetik pun tidak tampak begitu kewenangan pererintah Orde Baru tertancap dalam. Fenomena inilah yang akan melahirkan penilaian begitu harmonisnya hubungan antar umat beragama di Indonesia. Sesuatu yang ingin ditonjolkan di dunia Nasional. Meskipun ddemikian menyadarkan terhadap keharmonian kehidupan antar umat beragama pada posisi kuatnya Negara, yang merupakan hal tanpa resiko. Barangkali karena inilah dicari sejumlah faktor komplementer yang bersifat non Negara, di pandanng dapat memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi pengembangan kehidupan kerukunan antar umat beragama. Dalam konteks Maluku misalnya hukum ada pada gandong disebut-sebut sebagai salah satu faktor dominan. (Hamadi B. Husein, 2007: 151-153). Walau demikian, dalam pandangan sejumlah orang, situasi dimana posisi Negara kita yang sebenarnya berkembng adalah pluralisme keagamaan yang bersifat negatif. Artinya di hadapan orang dengan latar belakang agama yang berbeda, seseorang tidak boleh memperlihatkan semangat keagamaannya sendiri. Inilah, yang sering dikeluh kan oleh banyak orang pada dasawarsa 1980-an sampai 1990-an tampak dalam berbagai materi pelajaran di sekolahsekolah dasar dan menengah. Dalam knteks ini yang mucul adalah apa yang disebut Kontowijoyo dengan “toleransi negatif”.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 59 -
IAIS Sambas Demikianlah, maka ketika stuktur yang menyangga kewenangan dan legitimasi pemerintah Orde Baru rontok, tidak ada lagi wilayah maka ketika struktur yang menyangga kewenangan dan legitimasi pemerintah Orde Baru rontok, tidak ada lagi wilayah penyangga (buffer zone) yang selama tiga deswarsa lebih menahan antargonisme antar umat beragama untuk muncul dalam bentuknya yang amat vulgar. Sentimen primordialisme keagamaan yang tidak terkendali yang ada pada sebagian masyarakat, telah memberi kontribusi yng cukup bagi lahirnya sejumlah konflik, termasuk di Jawa Timur, Maluku dan Kalimantan Tengah. (Thoha Hamim, 2007: 151-153). Bahwa apa saja yang secara pasti menyebabkan beberapa wilayah bergejolak setelah pemerintah Orde Baru lumpuh merupakan sesuatu yang dapat diperdebatkan. Akan tetapi, opini publik yang membawa-bawa agama sebagai salah satu faktor menunjukan betapa rentannya kesadaran masyarakat terhadap realitas pluralisme keagamaan. Pendidikan Agama: Kelemahan dan Usulan Pemecahannya Masyarakat majemuk memang yang rawan. Konflik dalam masyarat dapat berlangsung terus menerus di setiap tempat dan waktu. Konflik bersumber atas perbedaan-perbedaan, dan setiap perbedaan itu pasti dalam mempertahankan eksistensinya. Apabila setiap pihak ingin mempertahankan eksistensinya berarti ikut memperjuangkan kepentingan agar tetap eksisi dan diakui keberadaannya. Hal inilah apabila setiap pihak ingin yang menimbulkan kerawanan, kerusuhan, dan kekerasan. Munculnya banyak kerusuhan dan kekerasan di Indonesia beberapa tahun terakhir yang melibatkan sentiment keagamaan patut mengundang atau mendatangkan gugutan terhadap ke-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 tidakberdayaan pendidikan agama. Apa yang salah dengan sistem pendidikan agama di Indonesia selama ini?. Untuk menjawab pertanyaan ini, tersebut kita perlu membedakan “pendidikan dan pengajaran”. Pendidikan diartikan lebih dari sekedar pengajaran. Pengajaran dapat dikatakan sebagai proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai-nilai kepada anak didik serta pembentukan keperibadian nya dengan segala aspek yang cukupan nya. Pengajaran akan lebih berorientasi pada pembentukan “tukang-tukang” atau spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisnya yang sempit. Oleh karena itu, perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis. Azyumardi Azra pemikir Muslim, seorang pemikir Muslim Indonesia dewasa ini, menegaskan bahwa perbedaan antara pendidikan dan pengaajaran terletak pada penekanan terhadap pembentukan kesadaran dan keperibadian anak didik, di samping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses semacam ini suatu bangsa atau Negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan nilai kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasi mudanya sehingga mereka benar-benar siap dalam menyonsong kehidupan di masa yang akan datang. (Azyumardi Azra, 1999: 4). Dengan demikian, pendidikan mengandung arti pembimbinga dan pengajaran sekaligus pendidikan mengandung keduanya hanya yang terakhir. Maka pendidikan dapat pula diartikan sebagai proses pertimbangan manusia seutuhnya: kalbu dan akalnya, rohani, dan jasmaninya, akhlak, serta keterampilannya. Pendidikan dan totalitasnya dalam arti ini meliputi semua jenis-jenis pendidikan formal, in-forma, dan non formal.(Harry R.Case dan Richard O. Nichoff, 1976).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 60 -
IAIS Sambas Kegagalan sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini tampaknya terletak pada kenyataannya lebih mementingkan output daripada proses. Kalaupun ada proses tidak lebih dari pengajaran. Pendidikan yang berlangsung di negeri ini lebih menekankan proses trnsfer ilmu dan keahlian; dan proses ini pun jauh dari pencapaian yang memadai. Pendidikan di Indonesia selama ini lebih mementingkan proses peninkatan dan keterampilaan, serta kurang memperhatikan, proses peningkatan kualitas kalbu, rohani, dan akhlak. Akibatnya adalah akhlak bahwa kerusuhan akhlak anak didik tidak dapat dihindari. Peristiwa-peristiwa kriminal dan amoral di tanah air kita meningkat, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Kegagalan sistem pendidikan semacam ini terletak pada kegagalan sistem pedidikaan humanora, yang meliputi agama, filsafat, bahasa, dan sastra, seni, dan lainnya. Wilayah humaniora memang termasuk dalam ruang lingkup sistem pendidikan kita, akan tetapi wilayah ini hanya sebagai pelengkap hal ini dikarenakan tidak menjamin masa depan anak didik secara materil. Humaniora telah menjadi bidang yang ditempatkan pada “kelas kedua” oleh masyarakat kita yang memang telah di jangkiti penyakit konsumerisme yang berorientasi pada kehidupan serba materialitas. Padahal dalam hal ini pendidikan humanoira lebih menekankan proses pembinaan kalbu, rohani, dan akhlak ketimbang pembinaan akal, jasmani, dan keterampilan yang berada dalam ruang lingkup non-humaniora. Pendidikan agama sebagai bagian terpenting dalam pendidikan humaniora tidak lebih sekedar pelengkap kurikulum, atau meminjam ungkapan Soejatmoko, satu diantara cendekiawan Indonesia
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dengan reputasi Internasional, hiasan kurikulum belaka. Inilah salah satu kekeliruan sistem pendidikan kita, yang dipengaruhi oleh sistem pendidikan Barat yang sekuler. Ketidakberdayaan sistem pendidikan Indonesia, sebagai dari sistem pendidikan nasional kita secara keseluruhannya tampaknya disebabkan penekanan pendidikan agama selama ini pada proses transfer ilmu agama kepada anak didik, bukan pada proses transformasi nilai-nilai luhur keagamaan kepada anak didik untk membimbingnya agar menjadi manusia yang berkeperibadian kuat dan berakhlak mulia. Proses yang lebih banyak berlangsung dalam pendidikan agama selama ini adalah pengajaran agama. Apa yang disampaikan pengajar adalah pengajar agama, bukan guru agama. Apa yang disampaikan guru adalah untuk didengar, dihayati, dan diamalkan. Apabila pendidikan agama diharapkan dapat memenuhi fungsinya, maka pendidikan agama harus mampu melakukan proses transformasi nilainilai keagamaan kepada anak didik. Setiap pendidik agama harus bertindak sebagai guru yang sekaligus harus mampu berperan sebagai teladan yang baik bagi anak didiknya agar tugasnya sebagai teladan yang baik bagi anak didiknya, dan juga tugasnya sebagai seorang pendidik bisa berhasil dengan baik. Pendidikan agama mempunyai tempat yang sangat strategis dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhannya, karena pendidikan agama pada intinya berujung pada pendidikan akhlak. Patut kita menyimak apa yang diungkapkan oleh Soejatmoko tentang tugas khusus pendidikan pendidikan agama dalam usaha pembangunan bangsa. Ia mengakui bahwa sudah menjadi tugas semua pendidikan adalah membina manusia susila, yang
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 61 -
IAIS Sambas berakhlak mulia. Tetapi, pendidikan agama alam suatu perubahan sosial mempunyai tusas khusus dalam arti membina anak didik untuk berkelakuan yang benar dalam situasi yang tidak menentu patokan-patokan moralnya. Karena perubahan atau kehancuran stuktur-stuktur sosial lama, dan timbul keadaan-keadaan baru, maka lebih dulu kita memerlukan manusia yang mempunyai keberanian hidup, yang bersedia dan mampu berdiri di atas kaki sendiri dalam mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan dan tidak menggantungkan nasibnyan pada pemerintah. Atau birokrasi-birokrasi besar. Imanlah yang dapat memberikan kepada manusia keberanian untuk hidup. Iman juga dapat memberikan kepada manusia kemampuan moral untuk menolak peluangpeluang yang gampang tapi tidak becus, meskipun kelihatan aman dan diambil banyak orang dan mengambil jalan lurus betapa pun sulitnya jalan itu. Sebenarnya dalam sistem pendidikan agama di Indonesia memang tradisi demikian telah lama berlangsung. (Soedjatmoko, 1984: 272). Dalam sistem pendidikan di pesantren di Indonesia, sikap keberanian untuk hidup dan tetap mengambil jalan yang lurus masih tetap terpuruk. Tetapi dalam sistem pendidikan lain di luar pesantren, sikap seperti ini kurang mendapat perhatian. Pendidikan agama dalam memenuhi fungsinya untuk membina keperibadian yang kuat dan akhlak luhur anak didik harus bisa menghubungkan nilai-nilai normatif yang bersifat abstrak yang diterima anak didik dengan kenyataan sosial yang ada. Dengan para anak didik akan ter dorong untuk bersikap kritis serta kreatif dalam menghadapi kenyataankenyataan sosial tadi. Jika pendidikan agama dapat memenuhi fungsi ini, maka pendidikan agama dapat memberikan suat sumbangan dan pemupukan sikap
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 toleransi antar agama serta peningkatan kerjasama antar agama dalam menghadapi masalah sosial di Indonesia. Pendidikan agama dapat memenuhi fungsinya, apabila ia mampu menggerakan para anak didik untuk belajar mengamalkan ajaran-ajaran agama yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan agama selama ini hanya menekankan hafalan kaidahkaidah keagamaan dalam bentuk yang abstrak-stril kurang mempunyai relevansi dengan usaha mengelola perubahan sosial melaui berbagai usaha pembangunan dan untuk membina anak didik dalam menghadapi masa peralihan secara positif dengan manusia susila. (Soedjatmoko, 1984: 272). Disamping itu pula pendidikan agama semata-mata menekankan pada keselamatan individu dan kelompoknya sendiri, menjadikan anak didiknya kurang begitu peka terhadap nasib, dan penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama pemeluk agam lain. Hal tersebut bisa saja terjadi karena adanya keyakinan yang telah tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau aqidah agak sulit membayangkan bakal apa yang dapat diberikan dan diperoleh anak didik tentang bagaimana, secara sosial serta sekaligus secara agama mereka dapat mengatasi pluralitas keagamaan dalam kehidupan nyata di tengah kehidupan masyarakat. Jika standar point-point masingmasing pengikut agama seperti terurai di atas. Praktek di lapanga, memperlihatkan bahwa pendidikan dan pembelajaran agama pada umumnya, sehingga saat ini masih lebih menekankan pada sisi keselamatan indivdu dan kelompok sendiri, tanpa mengabaikan keselamatan yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan kelompoknya sendiri. Pendidikan agama tidak dapat dan tidak boleh berjalan sendiri, namun harus berjalan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 62 -
IAIS Sambas bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan nonagama, baik di sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah keagamaan. Ada dua alasan yang mendasari prinsip ini. Pertama, alasan fundamental bahwa setiap program pendidikan selama program itu pantas disebut program pendidikan pada akhirnya bertujuan membentuk manusai susila, dan manusia-manusia yang berakhlak baik. Kedua, alasan prakmatis adalah bahwa kemapuan untuk menilai terhadap kenyataan sosial secara normatif bahwa, kemampuan untuk memikiirkan caracara yang dapat ditempuh dalam upaya memperbaiki suatu keadaan, akan lebih cepat dan lebih mudah dibina apabila ada suatu atau semacam interaksi antar program-program pendidikan agama non agama. Apabila kerja sama atau singkronisasi semacam ini tidak di usahakan dikhwatirkan pendidikan agama, terutama di sekolah-sekolah umum akan menjadi “hiasan kurikulum” semata. Artinya; dalam hal ini kehadiran dalam kurikulum hanyalah untuk memuaskan keinginan kelompok kaum agama saja, dan tidak untuk membantu membina suatu generasi yang lebih mampu daripada generasi kita dalam mengelola perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat kita. Kelemahan lain sistem dari sistem pendidikan agama di Indonesia selama ini tampaknya terketak kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral misalnya kasih sayang, cinta, tolong- me nolong, toleransi, tenggang rasa, serta menghormati perbedaan pendapat dan kepercayaan keagamaan, serta sikap lain yang mampu menciptakan dan mendukung hubungan harmonis antara sesama manusia, meskipun berbeda etnik, agama dan kebudayaan. Tanpa mengabaikan nilai-nilai teologis, seperti iman, tauhid, dan jihad, nilai-nilai moral dapat menciptakan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 hubugnan harmonis ini perlu di tekankan melalui penddidikan agama seperti ini akan lebih mudah untuk ditanamkan kepada anak diddik jika, mereka mengenal para anak didik lain. baikn itu dari agama, etnik, dan budaya yang berbeda, Agar para anak didik dari berbagai latar belakang itu dapat saling mengenal dan pada gilirannya saling menghargai, bersahabat bahkan bisa bekerja sama, maka perlu dlakukan usahausaha ke arah itu, misalnya saling berkunjung antar sekolah, berkemah, serta melaksanakan kegiatan dalam berolahraga. Sikap menghargai agama-agama terhadap agama-agama lain atau para penganut agama lain mungkin dapat ditumbuhkan kepada anak didik melalui pelajaran perbandingan agama, yang di berikan kepada mereka baik di sekolah umum maupun di sekolah berbasis agama. Mata pelajaran ini, sebaiknya di berikan di sekolah lanjutan tingkat atas (SMA/SMK/MA), dan di perguruan tinggi baik itu negeri maupun swasta. Pada tahun 1980-an, pernah muncul usulan agar pemerintah memasukan mata pelajaran ini dalam kurikulum di sekolah menengah tingkat atas. Namun usulan tersebut di protes oleh orangorang Muslim karena pelajaran ini dianggap dapat merusak dan melemahkan iman anak didik. Protes tersebut tentu beralasan. Keadaan ini memang berbeda dengan dunia barat. Pada umumnya para orangtua tidak merasa keberatan jika anak-anak mereka mempelajari agama orang lain. (Haedar Nashir, 1997: 25). Mata pelajaran perbandingan agama yang sering disebut dengan sejarah agama-agama, ilmu agama-agama, studi agama-agama atau femenologi agama. Dalam pendidikan di Indonesia, saya kira di Negara lain juga harus diberikan setelah para anak didik mempunyai pengetahuan yang sesuai dan memadai
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 63 -
IAIS Sambas tentang agama mereka sendiri. Itulah alasan mengapa mata pelajaran ini diberikan kepada para anak didik di sekeloh mengengah atas setelah mereka mempelajari agama mereka sendiri di sekolah tingkat dasr (SD), dan tingkat menengah (SMP). Salah satu aspek yang perlu menjadi penenkanan dalam mengajarkan perbandingan agama adalah pendekatan yang digunakan. Agama-agama lain dapat di pahami dengan benar oleh para anak didik dan juga oleh guru-guru. Apabila pendekatan yang digunakan dalam mempelajari agama-agama itu adalah pendekatan simantik, seperti pendekatan femenologis, dan penddekatan dialogis, bukan melalui pendekatan apologetic, dan polemis yang memojokan agama lain. Pendekatan apologetic maupun polemis harus dihindari karena model dua pendekatan semacam ini tidak memberikan pemahaman yang benar tentang agama-agama lain tetapi justru akan menimbulkan kesalah pahaman tentang agama-agama yang diperlajari itu. Pemahaman yang benar tentang agama-agama lain dapat menumbuhkan sikap menghargai agama-agama tersebut. Sebaliknya, pada satu pihak kesalahpahaman tentang agama-agama lain dapat menimbulkan sikap benci dan memusuhi agama-agama lain itu dan pada para penganutnya karena serba negatif tentang agama-agama itu; dan pada pihak lain, kesalah pahaman itu dapat pula menimbulkan kemarahan dan protes dari para penganut agama yang mempelajari itu karena agama mereka agama direndahkan dan dijelekjelekan. Sistem pendidika agama yang menggajarkan perbandingan agama dengan apologetic dan polemis, biasanya didorong oleh sikap teologis yang ekslusif dan primordial, jelas tidak relevan dengan penciptaan kesadaran
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 para anak didik untuk bersikap dan menghargai pluralisme keagamaan. Bahkan sistem pendidikan agama semacam itu, sedikit atau banyak justru turut menyumangkan sikap-sikap kebencian dan permusuhan antar agama. Para anak didik dalam mempelajari agama-agama lain harus diperhatikan oleh seseorang guru agama agar iman dan identitas mereka sendiri dan pada gilirannya mereka dapat menghargai agama-agama itu oleh para penganutnya dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama mereka sendiri dan menjaga identitas keagamaan mereka. Guru dalam pendidikan adalah kunci keberhasilan dalam pembelajaran dan menanamkan nilai luhur kepada anak didik atau dengan kata lain guru sebagai luhur kepada anak didik, atau dengan kata lain guru sebagai fasilitator yang menjembatani kurikulum dan anak didiknya. Guru adalah yang bisa ditiru dan digugu, yang mengandung arti guru harus mampu memberi teladan. Tugas sebetulnya tidak hanya sebagai penyalur ilmu dan pengatahuan tetapi juga mampu menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan di lingkungan sekolah. Guru hendaknya jangan tentang agama dengan gaya yang kadang-kadang cenderung mengindoktrinnisasi, melainkan guru harus dapat memberi pelajaran agama dengan asas semangat religulitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan proses pendidikan agama juga terletak pada siswa. Mereka kadangkadang diberi pemahaman yang tidak jelas. Seringkali pemahaman akan nilai akhlak yang baik tanpa menghubungkan dengan kehidupan keseharian di mana mereka berada. Dan pendidikan agama selama ini lebih menekankan pada tugas, dan peran individu dalam komunitas ketimbang nilai-nilai pendidikan yang dapat memanusiakan manusia.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 64 -
IAIS Sambas Artinya sikap manusia mempunyai tugas dalam komunitas untuk memperdayakan orang lain agar dapat bertahan hidup hidup, seperti menolong orang lain untuk menjaga dirinya sendiri. Inilah tantangan bagi guru agama. Pendidikan agama tidak pernah di hubungkan dengan pengetahuan lainnya. Justru sebaliknya pelajaran agama akan di pertentangkan dengan ilmu lain. Untuk itu, ilmu lain dianggap musuh dari pelajaran agama, atau sebaliknya pelajaran lainnya seperti pelajaran lainnya tidak pernah membicarakan dengan melibatkan nilai-nilai agama di dalam. SIMPULAN Pluralisme sebagai sikap yang mengakui dan menghargai keadaan yang plural secara etnis, kebudayaan dan keagamaan yang sangat di perlukan untuk menciptakan dan memelihara kerukunan. Ketidakberdayaan serta kegagalan sistem pendidikan khususnya pendidikan agama. Kegagalan pendidikan agama selama ini di sebabkan paling terdapat empat faktor: pertama, penekanan pada proses transfer ilmu agama ketimbang proses nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulium”belaka atau bisa dikatakan sebagai pelengkap saja, di pandang sebelah mata; ketiga, kurang
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 nya penekanan pada penanaman seperti cinta kasih sayang, persahabatan suka damai, dan toleransi, dan keempat, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain, antar umat bergama. Karena itu, sikap ini harus ditumbuhkan pada diri generasi muda bangsan kita. Pluarlisme kita di Indonesia akhir-akhir ini di guncang dan diuji oleh berbagai kerusuhan dan kekerasan yang melibatkan sentimen keagamaan. Munculnya banyak kerusuhan dan kekerasan itu di Negara kita, pendidikan agama akan dapat memenuhi fungsinya sekaligus dapat bermanfaat serta memberikan sumbangan untuk menumbuhkan sikap yang menghargai pluralisme dan pluralitas, apabila: Pertama, mampu melakukan transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, mampu menjadikan pendidikan agama sebagai suatu program pendidikan yang dirasakan penting dalam sistem pendidikan nasional kita; ketiga, mampu menanamkan nilai moral yang mendukung kerukunan antar agama, seperti nilainilai yang disebut di atas; dan keempat, meberikan perhatian yang memadai untuk mempelajari agama lain.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 65 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Dudung. 2000, Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Basri MS.. 2006, Metodologi Penelitian Sejarah (Pendekatan, Teori dan Praktik). Jakarta: Restu Agung. Daliman, A, 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Dienaputra, Reiza D.2007, Sejarah Lisan Konsep dan Metode. Bandung: Minor Books. Furchan, Arif & Maimun, Agus. 2005, Studi Tokoh Metode Penelitian Mengenai Tokoh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gottschalk, Louis. 1985, Mengerti Sejarah. terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UIPress. Hamid, Abd. Rahman & Madjid, Muhammad Saleh. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Kartodirdjo, Sartono. 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Pustaka Gramedia Utama. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. edisi ke-2, Yogyakarta: Tiara Wacana. -------. 2008, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana. Muchsin,Misri A.. 2002, Filsafat Sejarah dalam Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press. Nata, Abuddin (ed.). 2001, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembagalembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo. Thomson, Paul. 2012, Suara dari Masa Silam Teori dan Metode Sejarah Lisan. Yogyakarta: Ombak. Winerburg, Sam. 2006, Berpikir Historis Memetakan Masa Depan Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Zulkifli. 2009, Sejarah Perkembangan BAWARI (Badan Wakaf Al-Raudhatul Islamiyah) (1936-2009). Pontianak: STAIN Pontianak. (Tidak diterbitkan).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 66 -
AKTUALISASI KONSEP DASAR PENDIDIKAN ISLAM (Pemikiran Filsafat Pendidikan Islam) Suriadi*
ABSTRAK Studi aktualisasi konsep dasar Pendidikan adalah upaya telaah pemikiran mengenai persoalan konsep dasar pendidikan Islam yang menyangkut makna dasar maupun dasar filosofis pendidikan Islam yang merupakan bagian penting dalam bangunan ilmu kependidikan Islam, apalagi dalam kehidupan dewasa ini. Makna dasar pendidikan Islam sekaligus pemikiran aktualisasi konsepnya dapat dilihat dari pengertian, tujuan dan fungsi pendidikan Islam. Dasar Filosofis pendidikan Islam sekaligus pemikiran aktualisasi konsepnya dapat dilihat dari landasan dasar, prinsip dasar dan dasar filosofis pendidikan Islam. Pendidikan Islam harus dibina dan dikembangkan berdasarkan landasan filsafat pendidikan Islam yang harus dibangun secara terarah. Sehingga akan dapat memberikan kontribusi dan peranannya dalam rangka keunggulan dan keberhasilan pendidikan Islam.
KATA KUNCI: Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam, Filsafat Pendidikan Islam
*Dosen
Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas HP.081352107548 E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Pernyataan “Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan” cukup menarik untuk dicermati. Islam sebagai wahyu Allah yang merupakan pedoman hidup untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat, baru dapat dipahami, diyakini, dihayati dan diamalkan setelah melalui pendidikan. Nabi Muhammad sendiri diutus sebagai pendidik umat manusia. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam sarat dengan konsepkonsep pendidikan, sehingga bukan pekerjaan mengada-ada bila Islam diangkat sebagai alternatif paradigma ilmu pendidikan. Menurut Achmadi, Islam sebagai alternatif paradigma pendidikan, disamping pendidikan sebagai ilmu humaniora yang termasuk ilmu normatif, juga masalah pendidikan sekarang di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, para ahli lebih cenderung menerapkan teori-teori atau filsafat pendidikan Barat yang pada umumnya bersifat sekuler, yang belum tentu sesuai dengan kebanyakan masyarakat Indonesia yang bersifat religius. Apalagi didasari bahwa Islam yang sarat dengan nilai-nilai ternyata sangat memungkinkan dijadikan sudut pandang dalam menganalisa menganalisa persolaanpersoalan yang berkaitan dengan gejalagejala pendidikan. (Achmadi, 1992: vii). Dalam kerangka inilah kedudukan Islam dapat menjadi paradigma ilmu pendidikan. Berangkat dari berbagai pemikiran dan kenyataan inilah serta mencermati berbagai persoalan pokok pendidikan Islam, maka pemikiran konsep Islam merupakan upaya yang terus menerus diusahakan dalam dinamika pemikiran Islam yang sebenarnya sangat kaya akan pemikiran pendidikan, tetapi masih banyak yang belum digali dan di kembangkan. Oleh karenanya, perlu sekali perumusan konsep perlu sekali pe-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 rumusan konsep kependidikan yang mampu mendasari penyelenggaraan pendidikan Islam sekarang ini, agar penyelenggaraan pendidikan Islam lebih dinamis dan tetap bersumber pada nilai-nilai dan norma-norma Islam. Aktualisasi konsep dasar pendidikan Islam ini akan dilihat dari sudut filsafat pendidikan Islam, hal ini sesuai dengan fungsi filsafat pendidikan Islam yang dapat dipergunakan untuk menunjukan suatu pandangan tertentu mengenai pendidikan. Filsafat pendidikan Islam juga dapat dipergunakan menjadi suatu cara pandang Islam yang bercorak kefilsafatan dalam melihat dan memahami suatu obyek tertentu yang disebut pendidikan. Konsep dasar pendidikan Islam sebagai landasan dalam rangka pengembangan pendidikan Islam yang merupakan permasalahan yang amat penting untuk dicermati dan dipahami dalam rangka aktualisasi konsep dalam pengembangan aplikasi tenaga Islam. Pernyataan mengenai apa sesungguhnya konsep dasar pendidikan Islam dan bagaimana mengaktualisasikannya sering sulit untuk dijawab mengenai apa sesungguhnya konsep dasar Islam diharapkan akan nampak diketahui terutama dengan mempelajari makna dasar dan dasar filosofis pendidikan Islam. Abdul Wahid mengemukakan bahwa beberapa problem utama yang mewarnai atmosfir dunia pendidikan Islam pada umumnya, setidaknya dapat diklasifikasikan dalam lima hal, yaitu sebagai berikut: 1. Dichotomic (problem dikotomi). 2. To general knowledge (ilmu yang bersifat umum, kurang menyelesai kan masalah). 3. The lack of spirit of ingury (rendahnya semangat mengadakan penyelidikan-penelitian. 4. Memorisasi (pola pengajaran dan belajar lebih bersifat tekstual, model hafalan dari pada pemahaman).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 68 -
IAIS Sambas 5. Certificate oriented (mencari ilmu hanya lebih sebagai proses mendapat kan ijazah atau sertifikat saja. (Ismail, dkk, 2001: 278). Dengan demikian, ternyata jika kita mencermati persoalan pendidikan Islam dalam kerangka pengembangan konsep dan teorisasi, tidak hanya dilihat secara normatif, tetapi juga mesti dilihat secara filosofik dan bahkan secara empirik. Berbagai nilai normatif dalam ajaran Islam perlu sekali dipikirkan secara filosofis agar teraktualisasi pada dataran empirik yang dikembangkan dalam dinamika pendidikan Islam. Pencarian pendidikan Islam tidak menutup kemungkinan melalui kombinasi antara pandangan Islam dengan pemikiran pendidikan modern sepanjang memiliki relevansi yang kuat dalam merekonstruksi pemikiran pendidikan Islam sebagaimana dinyatakan oleh Azyumardi Azra: Pola kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam pada hakekatnya berusaha mengembangkan konsepsi pendidikan Islam secara menyeluruh dengan bertitik tolak dari sejumlah pandangan dasar Islam mengenai kependidikan sekaligus mengkombinasikan dengan pemikiran kependidikan modern (Barat). Dalam pengertian itu, maka pola kajian seperti ini secara implisit menyarankan adanya aspirasi di kalangan pemikir pendidikan Islam untuk melakukan semacam terobosan intelektual guna merekonstruksi pemikiran dan teori kependidikan Islam dalam konteks tantangan dunia kontemporer. (Azyumardi Azra, 1999: 91-92). Meskipun demikian, pertama usaha pencarian konsep pendidikan yang Islam diharapkan jangan sampai mengutamakan konsep pendidikan Barat, sebab sebab dalam berbagai hal konsep pendidikan Barat jelas berbeda dengan konsep pendidikan Islam, sebagaimana dinyatakan Mulsim A. Kadir yaitu: bagaimana pun berwibawanya ilmu pendidikan Barat, tidak mungkin dipandang
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 atau ditranfer menjadi ilmu pendidikan Islam. Adalah suatu kesalahan metodologis yang cukup mendasar, jika sebagian ilmuwan Islam berpandangan bahwa hanya dengan memberikan muatan ajaran Islam, ilmu pendidikan Barat menjadi ilmu tarbiyah. Perbedaan antara dua disiplin ilmu ini menjangkau aspek fundamentalis, mulia landasan filosofis, aspek ontologis, aspek aksiologis, dan terakhir, tetapi paling esensial yaitu sumber asumsi dan postulat serta paradigmanya. (M. Chabib Thaha, dkk., 1998: 51). Persoalan pokok pendidikan Islam meliputi dataran filosofis di samping teroritis dan praktis. Di sini sangat diperlukan filsafat pendidikan Islam yang jelas dan komprehensif dalam rangka mengembangkan teoritisasi pendidikan Islam yang tidak harus tergantung dengan filsafat pendidikan lainnya (terutama Barat) pada umumnya. Pada dataran teori pendidikan, sanat perlu konsep-konsep pendidikan Islam yang diharapkan mampu menjelaskan secara mendasar, logis, dan sistematis mengenai kerangka bangunan ilmu pendidikan Islam yang bisa diterapkan dengan mudah dalam dunia kependidikan Islam dewasa ini. Oleh, karena itu perlu sekali kejelasan kerangka operasionalnya yang lebih progresif pragmatis bagi pengembangan keberhasilan pendidikan Islam dewasa ini. Konsep dasar pendidikan Islam sebagai landasan dalam rangka pengembangan pendidikan Islam yang merupakan permasalahan yang amat penting untuk dicermati dan dipahami dalam rangka aktualisasi konsep dalam pengembangan aplikasi tenaga Islam. Aktualisasi konsep dasar pendidikan Islam ini akan terlihat dari sudut filsafat pendidikan Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi filsafat pendidikan Islam yang dapat dipergunakan untuk menunjukan suatu pandangan tertentu mengenai pendidikan. Filsafat pendidikan Islam.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 69 -
IAIS Sambas Filsafat pendidikan Islam juga dapat dipergunakan menjaddi suatu cara pandang Islam yang cocok kefilsafatan dalam melihat dan memahami suatu objek tertentu yang disebut pendidikan. PEMBAHASAN Makna Dasar Pendidikan Islam Ada tiga istilah yang dianggap memiliki arti yang dekat dan tepat dengan makna pendidikan. ketiga istilah adalah Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib, yang masing-masing memiliki karakteristik makna, di samping mempunyai kesesuai an dalam pengertian pendidikan. a. Rabba Lafadz rabba merupakan bentuk kata kerja dari masdar tarbiyah yang menurut Abdurrohman an-Nahlawi mengandung pengertian bahwa pendidikan (tarbiyah) terdiri atas empat unsur di antaranya: 1) Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh. 2) Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacama-macam. 3) Mengarahkan fitrah dan potensi ini menuju kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya. 4) Proses ini dilaksanakan secara tahap sesuai dengan irama perkembangan anak. (Abdurrohman an-Nahlawi, 1989: 32). Menurut Zakiyah Darajad, kata kerja rabb yang berarti mendidik sudah dipergunakan sejak zaman Nabi Muhammad saw. seperti di dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam bentuk kata benda, kata “rabba” ini digunakan juga untuk “Tuhan”, mungkin karena juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara dan mencipta. (Zakiah Darajad, dkk., 1996: 25-26). Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata tersebut di antaranya adalah.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
ُّ ۡ َّ َّ ُ ُ َ ۡ وَٱ ۡخ ِف َب ِ ضَلهماَجناحَٱذل َِلَمِنَٱلرۡحةََِوقلَر ۡ ۡ ٗ ۡح ُهماَكماَر َّبياِنَص ِغ َ٢٤َريا ٱر ِ
Artinya: Wahai Tuhanku sayangilah keduanya (orang tuaku) sebagaimana mereka telah mengasihiku (mendidikk) sejak kecil. (Q.S. al-Isra’: 24). Dengan demikian kata Tarbiyah mempunyai arti yang luas dan bermacam-macam penggunaannya, dan dapat diartikan menjadi makna pendidikan, pengembangan, pemeliharaan dan penciptaan yang semua ini menuju dalam rangka kesempurnaan sesuatu dengan kedudukannya. b. Allama Lafadz ‘allama merupakan bentuk kata kerja dari masdar “ta’lim” yang berarti mengajar. Kata “ta’lim” dengan kata kerja “’allama” juga sudah dipergunakan pada zaman Nabi baik di dalam al-Qur’an maupun Hadits. Kata ‘allama memberi pengertian sekedar memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti pembinaan keperibadian, karena sedikit sekali kemungkin-an ke arah pembentukan keperibadian yang disebabkan pemberitahuan. (R.H.A. Soenarjo, dkk., 1989: 428-574). Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang pengertiannya terkait dengan pendidikan Islam yang mengandung kata-kata tersebut di antranya adalah:
َّ ُ َّ ُ ٓ ۡ َوَعلمَ َءادم َٱۡل ۡسماءَ َُكها َث َّم َعرض ُه ۡم َلَع ۡ ٓ ُ َٰٓ ٓ ۡ َٰٓ ٱلم ِِنو ي َأِسسماء َ ِ َٰٓلٓاءِ َن َ ِ لئِكةَِ َفقال َأ ِ ۢنب ُ َ٣١َك ُنت ۡمَص َٰ ِدقِني Artinya: Allah telah mengajarkan kepada kamu (Adam) nama-nama semuanya. (Q.S. al-Baqarah: 31). Dari pengertian makna tersebut menggambarkan bahwa ta’lim dalam kerangka pendidikan tidak saja pada tataran wilayah intelektual, melainkan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 70 -
IAIS Sambas juga persoalan sikap moral dan perbuatan dari hasil proses belajar yang dijalaninya sesuai dengan pengetahuan dalam rangka kehidupan. c. Addaba Adapun salah satu konsep kunci utama yang merujuk kepada hakekat dari inti makna pendidikan adalah istilah Ta’dib yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap mewakili makna utama pendidikan Islam. Istilah ini menurut Naquib al-Attas sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam. Adab adalah disiplin tubuh, jiwa dan ruh, disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual ruhaniah, dan juga adab meliputi kehidupan materian dan spritual. Maka, penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan ilmu dan amal serta ada secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. pendidikan dalam kenyataannya adalah Ta’dib karena adab sebagaimana didefinisikan mencakup ilmu dan amal sekaligus. (Muhammaad Syed Naquib, 1994: 52-60). Adapun kata ta’dib dapat dilihat dalam hadist yang artinya sebagai berikut: “Muhammad ibnu Abbad telah menceritakan kepada kita, bahwa Aisyah berkata: Ibumu telah mendidiknya dan kamu telah dididik oleh ibumu. Muslim). (Imam Muslim, 1994: 464). Ketiga istilah tersebut (tarbiyah, ta’lim dan ta’dib) merupakan satu kesatuan yang terkait. Artinya, bila pendidikan dinisbatkan kata Ta’dib ia harus melalui pengajaran (ta’lim) sehingga dengannya diperoleh ilmu. Dan dari ilmu yang dimiliki terwujudlah sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan tu-juan pendidikan. Hal ini lazim dikenal sebagai contoh kognitif, afektif dan psikomotorik. Sebagaimana dikemukakan oleh Naquib al-Attas menganggap istilah ta’dib lebih tepat dari istilah
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 tarbiyah dan ta’lim. Yang dikehendaki dalam pendidikan Islam sampai pada pengakuan. Disamping itu kata ta’dib mencakup unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan, yang baik. Karenanya menganggap istilah Ta’dib lebih tepat dalam memberi makna pendidikkan Islam. (Muhammad Syed Naquib alAttas, 1994: 64). Pendidikan Islam Pengertian pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati dalam rangka melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan dengan dasar makna maupun dalam kerangka tujuan, fungsi dan prospek kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia sekarang dan yang akan datang. Maka pengertian pendidikan menurut pandangan Islam dapat dikemukakan sebagai berikut: Menurut Muhammad Munir Mursi
ﻥﻷ ﻡﻼﺳﻹﺍ ﻦﻳﺩ ﺓﺮﻄﻔﻟﺍ ﻞﻛﻭ ﻩﺮﻣﺍﻭﺍ ﻪﻴﻫﺍﻮﻧﻭ ﺍﻭﻟﺔﻴﺑﺮﺘ ﺔﻴﻣﻼﺳﻹﺍ ﺮﺗﺑﺔﻴ ﻟﺓﺮﻄﻔ ﻹﺍﻧﺴﺎﻥ
ﻪﻤﻴﻟﺎﻌﺗﻭ ﻑﺮﺘﻌﺗ ﻩﺬ ﺓﺮﻄﻔﻟﺍ
Artinya: Pendidikan Islam adalah usaha mengembangkan fitrah manusia, karena agama Islam adalah agama fitrah. Segala perintah, larangan, dan pembelajaran adalah untuk mengetahui fitrah tersebut. (Muhammad Munir Mursi, 1977: 25). Sementara itu Ahmad Tasir mengartikan bahwa pendidikan Islam merupakan bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai degan ajaran Islam. (Ahmad Tafsir, 1994: 32).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 71 -
IAIS Sambas Tujuan Pendidikan Islam Dari beberapa definisi pendidikan Islam yang dikemukakan nampak sekali persoalan usaha membimbing ke arah pembentukan kepribadian, dalam arti akhlak menjadi perhatian utama, disamping ke arah perkembangan diri serta perkembangan kehidupan manusia dalam rangka menunaikan tugas hidupnya dan sekaligus menjadikannya mampu dalam membuktikan dirinya sebagai insan yang berkualitas dari hasil proses pendidikan yang dijalaninya, berdasarkan pada nilai-nilai Islam menuju terbentuknya insan kamil. Konsep insan kamil dalam pandangan Islam, dapat di formulasikan secara garis besar sebagai manusia beriman dan bertakwa serta memiliki kemampuan yang teraktualisasikan dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya secara baik, positif, dan konstruktif. Persoalan pendidikan adalah persoalan yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia yang senantiasa harus berproses dalam perkembangan kehidupannya. Setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Maka, pendidikan seharusnya bertujuan untuk mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara total melalui latihan semangat intelek, rasional diri, perasaan, dan kepekaan rasa tubuh. Karena itu, pendidikan seharusnya memberikan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya secara spiritual, intelektual, imajinatif (seni), fisikal, ilmiah linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif. Di samping memotivasi semua aspek ke arah kebaikan dan kesempurnaan. (Ali Ashraf, 1989: 25). Dari rumusan bahwa pada akhirnya tujuan pendidikan Islam ialah membentuk manusia yang berkepribadian Muslim, yakni manusia yang bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa kepada Allah.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Menurut Ahmad D. Marimba bahwa suatu usaha tanpa tujuan tidakakan berarti apa-apa. Oleh karenanya, setiap usaha pasti ada tujuan dan begitu pula dalam pendidikan Islam sangat penting adanya tujuan pendidikan yang dilaksanakan. Ada empat fungsi tujuan dalam pendidikan Islam, yakni: 1. Tujuan berfungsi mengakhiri usaha, dalam hal ini perlu sekali antisipasi ke depan dan efisiensi dalam tujuan agar tidak terjadi penyimpangan. 2. Tujuan berfungsi mengesahkan usaha, dalam hal ini tujuan dapat menjadi pedoman sebagai arah kegiatan. 3. Tujuan dapat merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan lainnya, baik merupakan kelanjutan tujuan sebelumnya maupun bagi tujuan baru. 4. Tujuan berfungsi memberikan nilai (sifat) pada usaha itu, dalam hal ini ada tujuan yang lebih luhur, mulia dari pada usaha lainnya (bisa juga tujuan dekat, jauh atau tujuan sementara dan tujuan akhir). (Ahmad D. Marimba, 1980: 44-46). Melihat fungsi tujuan pendidikan seperti tersebut di atas, jelaslah kiranya bahwa faktor tujuan memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendidikan. Mengenai tujuan pendidikan ini, dikemukakan beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam antara lain: Menurut Athiyah al-Abrasyi bahwa, tujuan pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa semua mata pelajaran hendaknya mengandung pelajaran akhlak, setiap guru haruslah memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lainnya. Karena akhlak keagamaan merupakan akhlak yang tertinggi, serta akhlak yang mulia adalah tiang daripada pendidikan Islam. (Athiyah al-Abrasyi, 1970: 1-2). Berdasarkan pada pendapat tersebut, bahwa perumusan tujuan pendidikan Islam itu harus berorientasi pada
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 72 -
IAIS Sambas hakekat pendidikan yang meliputi beberapa aspek di antaranya sebagai berikut. Pertama, tujuan dan tugas manusia yakni manusia bukan diciptakan secara kebetulan melainkan mempunyai tujuan dan tugas hidup tertentu. Firman Allah dalam al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 191. Artinya: (Yaitu) orang-orang yang me-ngingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya bekata) Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Eengkau, maka perliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Ali-Imran: 191). Kedua, tugas dan tanggung jawab manusia, yang telah dibebankan oleh Allah, maka manusia membutuhkan beberapa sarana dan prasarana, sebagai perangkat modal kerja untuk melaksanakan amanah yang termasuk amanah itu adalah khalifah, karena khalifah itu mempunyai pengertian sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan itulah keistimewaan manusia dari makhluk lainnya. Kata Khalifah mempunyai arti mengganti dan melanjutkan, pengganti atau pemimpin. Untuk itu dibutuhkan pendidikan yang dapat membantu dan memperlancar tugas amanah yang dipikulkan oleh Allah. Oleh karena itu, manusia pasti membutuhkan pendidikan. (Masarudini Siregar, 1999: 93-95). Serta untuk beribadah kepada-Nya, penciptaan itu dibekali dengan berbagai macam fitrah yang berkecenderungan pada al-Hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam, sebatas kemampuan dan kapasitas ukuran yang ada. (Hasan Langgulung, 1986: 34). Dengan demikian, jelas sekali bahwa perumusan tujuan pendidikan Islam harus sesuai dengan hakekat kemanusiaan dan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan sifat-sifat dasar manusia yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan serta sesuai dengan tuntutan masy-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 arakat yang terus mengalami kemajuan serta sesuai dengan nilai-nilai ideal ajaran Islam bagi kehidupan manusia. Dengan demikian, dapat pula diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam dapat dilihat dari segi tujuan normatif, tujuan fungsional (kognitif, affektif dan psikomotorik) dan tujuan operasional yang kesemuanya ini dalam rangka memberikan gambaran bagi pemahaman dan efektivitas usaha dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam. Meskipun demikian, dilihat secara filosofis dengan mengklasifikasikan dan dikaitkan dengan tujuan teoritis dan praktis. Hal ini menggambarka bahwa, tujuan pendidikan Islam memberi peluang baik dilihat secara teoritis maupun praktis bagi keberhasilan pendidikan Islam. Adapun aspek filosofisnya, tujuan adalah dunia cita, yaitu suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara pada dan singkat, seperti terbentunnya kepribadian Muslim sebagai mana yang dicitakan. (Ahmad D. Marimba, 1980: 43). Fungsi Pendidikan Islam Pada hakekatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontinue dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang diemban pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulia dari kandungan sampai akhir hayat. Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan yang optimal.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 73 -
IAIS Sambas Menurut Hasan Langgulung, pendidikan dapat dilihat dari segi pandangan individu dan segi pandangan masyarakat serta memandang pendidikan sebagai suatu transaksi, yaitu proses memberi dan mengambil antar manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, tugas dan fungsi pendidikan dapat dilihat pada tiga pendekatan, sebagai berikut: 1. Pendidikan dipandang sebagai pengembangan potensi; 2. Pendidikan dipandang sebagai pewarisan budaya; 3. Pendidikan dipandang sebagai interaksi antara potensi dan budaya. (Hasan Langgulung, 1988: 57). Semua pendekatan dalam fungsi pen didikan ini tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan saling memberikan penekannan yang dapat digunakan melihat fungsi pendidikan Islam. 1. Fungsi Pengembangan Potensi Fungsi ini mencerminkan bahwa pendidikan sebagai pengembangan potensi manusia dalam kehidupannya. Manusia mempunyai sejumlah potensi dan kemampuan, sedangkan pendidikan merupakan suatu proses untuk menumbuh kan dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki dalam arti berusaha untuk menampakan dan mengembangkan (aktualisasi) berbagai potensi manusia dalam Islam juga disebut dengan fitrah sebagai potensi dasar yang akan dikembangkan bagi kehidupan manusia. Betul fitrah itu sangat beragam. Hasan Langgulung menyebutnya dengan asmaul Husma, dengan berdasarkan bahwa, proses penciptaan manusia itu secara non fisik. (Hasan Langgulung, 1988: 60). Sebagaimana Firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Hijr: 29. Artinya: Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan, maka hendaklah kamu kepadanya dengan ber-sujud. (Q.S. al-Hijr: 29).
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Dalam hal ini dinyatakan bahwa potensi manusia sebagai karunia Tuhan haruslah dikembangkan, sedangkan pengembangan potensi yang sesuai dengan petunjuk Allah merupakan ibadah. Jadi, tujuan kejadian manusia dalam rangka ibadah adalah dalam pengertian pengembangan potensi manusia sehingga menjadikan dirinya mencapat derajat kemanusian yang tinggi (‘abid). Derajat ini dicapat dengan mengaktualisasikan segala potensi yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. (Hasan Langgulung, 1988: 60). 2. Fungsi Pewarisan Budaya Pendidikan sebagai pewarisan budaya merupakan upaya pewarisan nilainilai bagi kehidupan manusia sebagaimana dinyatakan bahwa tugas pendidikan Islam selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai budaya Islam. (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 34). Juga dinyatakan bahwa sukar dibayangkan seseorang tanpa lingkungan memberikan corak pada watak dan kepribadian, sebab lingkungan inilah yang berusaha untuk mewariskan nilai-nilai budaya yang dimilikinya dengan harapan dapat memelihara kepribadian dan identitas budayanya sepanjang zaman. Peradaban dan budaya (Islam) bisa mati jika nilai-nilai itu dari generasi ke generasi tidak berfungsi dalam kehidupan. Peradaban Islam bermula dari turunnya wahyu yang kemudian disosialisasika kepada pengikutnya sehingga diikuti dan diterapkan dalam kehidupan. Dari tradisi inilah terbentuk suatu kelompok manusia yang disebut “ummah Islam” yang terkait dengan aqidah, syari’ah dan akhlak Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-sunnah sebagai prinsip pokok Islam yang senantiasa dikembangkan pemahaman dan pengalamannya dalam kehidupan umat manusia. Hal ini mencerminkan bahwa fungsi pendidikan Islam juga mewariskan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 74 -
IAIS Sambas ajaran-ajaran Islam dengan berbagai nilai peradaban ke dalam kehidupan individu dan masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang sebagai nilai yang menjadi panutan dalam kehidupan. (Hasan Langgulung, 1988: 6163). 3. Fungsi Interaksi Antara Potensi dan Budaya Manusia mempunyai potensi dasar sebagai potensi yang melengkapi manusia untuk tegaknya peradaban dan kebudayaan Islam. Dalam versi lain, tugas pendidikan adalah menegakkan bimbingan anak agar ia mejadi dewasa. Yang dimaksud dengan kedewasaaan disini adalah sebagai berikut: (1) kedewasaan psikologis (matang sosial, moral, serta emosinya, (2) kedewasaan biologis (sampai akil baligh) (3) kedewasaan sosiologi (mengenai masyarakat setempat), dan (4) kedewasaan paedagogis (tanggung jawabnya). (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 1991: 70). Hubungan dengan Islam mengenai interaksi antaran potensi dan budaya ini lebih jelas lagi manakala potensi yang di nyatakan roh Allah itu disebut dengan fitrah, seperti yang dinyatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, nabi bersabda: Dari Abu Hurairah ra. Berkata:Nabi saw. bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadiakn anak beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. (H.R. Bukhari). Adapun agama yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya itu juga adalah fitrah, sebagaimana Firman Allah dalam surat ar-Ruum ayat 30. Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu pada agama dengan selurus-lurusnya. Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Q.S. ar-Ruum: 30). Jadi, fitrah sebagai potensi yang melengkapi manusia sejak lahir dan fitrah sebagai din yang menjadikan hidup
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 tegaknya peradaban Islam. Ibarat uang yang memiliki memiliki dua sisi, satu sisi sebagai potensi dan sisi lainnya se-bagai din (agama), yang satu berkem-bang dalam setiap diri individu, sedang-kan yang lain terjadi proses peminda-han sebagai pewarisan nilai dari dari generasi ke generasi . jadi, ada yang bersifat dari luar dan ada yang dari dalam semua saling berinteraksi membentuk suatu peradaban Islam yang senantiasa tetap berada dalam kerangka kehidupan baik sebagai abdullah” maupun “khafatullah” yang merupakan tujuan kejadian dan hidup manusia. Dasar Filosofis Pendidikan Islam Landasan adalah sesuatu yang menjadi sandaran semua dasar dalam suatu bangunan, sedangkan dasar adalah fundamen yang menegakan suatu bangunan, sehingga menjadi kuat dan kokoh dalam pengembangan pendidikkan Islam. Dalam usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan yang tepat sebagai tempat berpijak yang baik dan kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai suatu usaha dalam membentuk manusia dan peradabannya harus mempunyai landasan yang kuat ke mana semua kegiatan itu dihubungkan atau disandarkan, baik sebagai sumber maupun dasar yang menjadi pedoman penerapan dan pengembangannya. Landasan itu terdiri dari al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad saw. yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al-maslahah al-mursalah, istihsan, qiyas dan sebagainya. (Zakiah Darajad, dkk., 1996: 19). Dasar dan fundamen dari suatu bangunan adalah baigan dari bangunan yang menjadi sumber kekuatn dan keteguhan yang menjadikan tetap berdiri tegaknya bangunan itu. Dengan demikian, fungsi dari suatu landasan pendidikan Islam adalah disamping tegaknya
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 75 -
IAIS Sambas suatu bangunan dalam dunia pendidikkan Islam, juga agar bangunan itu tidak akan terombang-ambing berbagai persoalan yang mempengaruhinya dan bahkan akan semakin kuat serta tegar didalam menghadapinya. Filsafat pendidikan Islam merupakan kajian filosofis mengenai pendidikkan Islam yang didasarkan pada alQur’an dan al-Hadits sebagai sumber primer dan pendapat para ahli, khususnya filosof Muslim sebagai sumber sekunder. Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa filsagat pendidikan Islam merupakan filsafat pendidikan yang berdasarkan pada ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai dengan ajaran Islam. (Abuddin Nata, 1997: 30-31). Dasar-dasar pendidikan Islam secara prinsipil diletakan pada dasar-dasar ajaran Islam dan seluruh perangkat kebudayaannya. Dasar-dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama tentu saja al-Qur’an dan sunnah. al-Qur’an misalnya memberikan prinsip penghormatan pada akal, bimbingan ilmiah, tidak menentang fitrah manusia dan memelihara kebutuhan sosial yang hal ini sangat penting bagi pendidikan. Dasar pendidikan Islam selanjutnya adalah nilai-nilai sosial kemasyarakatn yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits atas prinsip mendatangkan kemaslhatan dan menjauhkan kemudzaratan bagi manusia. Kemudian warisan pemikiran para ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan dasar penting dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam berpangkal dari ajaran Ilahiyah, maka tentu harus bersumber dari kebenaran dan kebesaran Ilahi. Bagi kita sumber kebenaran tersebut telah diperkenalkan kepada manusia melalui para nabi berupa kitab suci. Dari empat kitab suci yang pernah diturunkan sebagai petunjuk umat manusia,
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 maka sejak kehadiran Rasulullah Saw, di bumi ini satu yang harus ditegak kokohkan yakni al-Qur’an. Disamping itu, ketetapan-ketetapan Rasul juga merupakan sumber utama dalam pendidikan Islam. (Adi Sasono, 1998: 90). Pada dasarnya bangunan syari’at dan moralitas Islam itu mempunyai dua sumber pokok yakni al-Qur’an al-Karim dan sunnah Nabi. al-Qur’an adalah kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad bin Abdillah dengan bahasa Arab yang jelas dan fasih, secara kronologis diturunkan dalam rentang waktu kurang lebih 23 tahun, yang memiliki nilai-nilai ibadah. Serta sumber Islam yang kedua adalah sunnah sebagai landasan berfikir dan syari’at terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari Rasul saw. (Abdul Halim Uwies, 1989: 39-42). 1. al-Qur’an (kalamullah) al-Qur’an sebagai kalamullah yang mencakup segala aspek persoalan kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan pencipta-Nya, sesama manusia dan alam semesta yang merupakan persoaalan mendasar dalam setiap kehidupan manusia. al-Qur’an memiliki gagasan mendasar yang amat luas dalam berbagai bidang kehidupan manusia yang seharusnya dijadikan sebagai landasan dasar utama dalam pengembangan pendidikan Islam. Kedudukan al-Qur’an didalam kerangka pendidikan Islam bukan saja sebagai dasar bahkan menjadi sumber yang sangat berharga untuk terus digali, dipahami dan diambil intisarinya untuk senantiasa diaktualisasikan dalam hidup dan kehidupan manusia. 2. As-Sunnah As-Sunnah bermakna seluruh sikap, perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw, dalam menerapkan ajaran Islam serta mengembangkan kehidupan umat manusia yang benar-benar membawa pada kerahmatan bagi semua alam, dan termasuk manusia dalam mengaktuali-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 76 -
IAIS Sambas sasikan diri dan kehidupannya secara utuh dan bertanggung jawab bagi keselamatan dalam kehidupannya. Kedudukkan al-Hadits dalam kehidupan dan pemikiran Islam sangat penting, karena di samping memperkuat dan memperjelas sebagai persoalan dalam al-Qur’an, juga banyak memberikan dasar pemikiran yang lebih kongkret mengenai penerapan berbagai aktivitas yang mesti dikembangkan dalam kerangka hidup dan kehidupan umat manusia. 3. Pemikiran Islam Pemikiran Islam yakni penggunaan akal budi manusia dalam rangka memberikan makna dan aktualisasi terhadap berbagai ajaran Islam yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman yang muncul dalam kehidupan umat manusia dalam berbagai bentuk persoalan dicarikan solusinya yang diharapkan sesuai dengan ajaran Islam. 4. Sejarah Islam Sejarah (kebudayaan) Islam merupakan segala dinamika kehidupan dan hasil karya masa lampau yang pernah dan terus dikembangkan dalam kehidup an umat Islam secara terus menerus. Semua ini akan memberikan gambaran bagi pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam yang dapat dijadikan landasan sebagai sumber penting pendidikan Islam. 5. Realitas Kehidupan Realitas kehidupan sekarang ini, me rupakan kenyataan realitas yang tampak dalam kehidupan secara keseluruhan terutama berhubungan dengan manusia dengan segala dinamikanya, kenyataan alam semesta dengan segala ketersediaannya. Dengan demikian realitas ini menyangkut kehidupan manusia dan berbagai makhluk lainnya serta alam semesta ini semuanya merupakan pengembangan pendidikan Islam. Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa landasan dasar pendidikan Is-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 lam adalah sautu dasar, landasan yang menjadi sumber dibangun dan dikembangkannya pendidikan Islam, baik secara filosofis, maupun teoritis dan empiris dalam dunia pendidikan Islam. Dengan demikian dapat dinyatakan bah-wa pemikiran mengenai pendidikan Is-lam adalah al-Qur’an, al-Hadit, pemikir-an Islam, sejarah Islam dan realitas kehidupan. Prinsip Dasar Pendidikan Islam Prinsip berasal dari kata Principle yang bermakna: asal, dasar, prinsip sebagai dasar pandangan dan keyakinan, pendirian seperti berpendirian, mempunyai dasar atau prinsip yang kuat. (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1992: 447). Adapun “dasar” dapat diartikan sebagai asas, pokok atau pangkal (sesuatu pendapat, aturan, dan sebagainya). Dengan demikian prinsip merupakan dasar pendidikan Islam bermakna pandangan sesuatu yang menjadi sumber pokok sehingga menjadi konsep, nilai dan asas bangunan pendidikan Islam. Achmadi dalam bukunya “Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan” menyatakan bahwa maksud dasar pendidikan adalah pandangan yang mdndasari seluruh aktivitas pendidikan baik dalam rangka penyusunan teori, perencanaan, maaupun pelaksanaan pendidikannya. Karena kita berbicara berbicara pendidikan Islam, maka pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan adalah pandangan hidup Islam atau pandangan hidup Muslim yang pada hakekatnya merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden, universal, dan eternal. Dengan nilai-nilai itulah kedudukan pendidikan Islam baik secara normatif maupun konseptual berbeda dengan ilmu pendidikan lainnya. Adapun sumber nilai dalam Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Karenanya nilai yang terdapat dalam sumber
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 77 -
IAIS Sambas tersebut, maka dipilih dan diangkat beberapa di antaranya yang dipandang fundamental dan dapat merangkum berbagai nilai yang lain, yakni: (1) Tauhid, (2) kemanusian, (3) kesatuan umat manusia, (4) keseimbangan, (rahmatan lil alamin. (Achmadi, 1992: 55-59). Jadi kesemuanya ini saling berhubungan dan memilik implikasi dalam kerangka pengembangan pendidikan Islam. Landasan Dasar Filosofis Pendidikan Islam Upaya membangun dan mengembangkan konsep dasar dan teoritis pendidikan Islam tidak hanya dilihat secara normatif, tetapi juga secara filosofis dan emperik. Berbagai nilai yang secara normatif dalam khasanah ajaran Islam perlu dipikirkan secara filosofis agar mampu teraktualisasi dalam dataran empirik dan teoritik sehingga proses pendidikan akan terus dinamik, kreatif dan inovatif dalam menjawab berbagai tantangan kemajuan. Falsafah pendidik-kan Islam merupakan sesuatu yang menjadikan dasar pandangan, keperca-yaan dan keyakinan terhadap pendidik-kan. Jalaludin dan Usman Said menyata-kan bahwa secara garis besar yang menjadikan dasar kajian falsafah pendidikan Islam seperti yang termuat dalam kandungan wahyu Allah adalah mengenai penciptaan Allah ciptaannya (makhluk) hubungan antara ciptaan dengan pencipta serta hubungan antara sesama ciptaan-Nya dan utusan yang menyampaikan risalah pencipta (Rasul). (Jalaluddin dan Usman Said, 1994: 20). Berdasarkan pemikiran di atas dan disasarkan bahwa kehidupan manusia tidak akan pernah terlepas dari persoalan pokok mengenai ketuhanan, kemanusian dan kealaman yang satu sama lain saling berkaitan, disamping ingin mendapatkan yang lebih mendasar, da-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 sar pemikiran pendidikan Islam yang di kemukakan meliputi: a. Konsep Dasar Ketuhanan Dalam Islam Membicarakan konsep dasar ketuhanan (teologi) dalam Islam umumnya mengetengahkan mengenai keberadaan Tuhan dalam kehidupan manusia. Teologi dalam Islam disebut juga dengan ilmu tauhid dalam Islam disebut yang mengesahkan Allah Swt. Tauhid adalah dasar agama ini yang mencakup dan mempersatukan seluruh agama samawi. Tauhid merupakan konsep revolusioner yang dan inti ajaran Islam. Didalamnya terkandung pengertian bahwa hanya ada satu Tuhan penguasa alam semesta ini. Adapun arti tauhid menurut bahasa adalah mengetahui bahwa sesuatu itu satu, sedangkan menurut istilah ilmu yang dapat menetapkan akidah (tekad) keagamaan seseorang yang dikasab (di cari) dari dalil-dalil yang berdasarkan pada keyakinan. Tauhid berasal dari kata wahdah atau wahid yang berarti bahwa Tuhan itu Esa tidak ada dua-Nya, tak ada lagi suatu zat keabadian lainnya, Yang Maha Luhur, tak tersaingi, tak tertandingi, tak dapat disamai, tak terlawan. Pembahasan soal ketuhanan (teologi dalam Islam umunya dibicarakan dalam persoalan tauhid dan akidah yang sering disebut juga dengan ilmu tauhid, ilmu aqa’id, ilmu kalam, ilmu ushuluddin, ilmu syari’at, ilmu thariqat, ilmu hakekat dan ilmu ma’rifat. Secara sederhana tauhid dapat dibagi dalam tiga tingkatan yakni, pertama, tauhid Rububiyah (mengimani Allah Swt, sebagai satu-satunya Rabb). kedua, tauhid Mulkiyah (mengimani Allah sebagai satu-satunya Malik), dan ketiga tauhid Ilahiyah (mengimani Allah SWT. sebagai satu-satunya Ilah). (Yunahar Ilyas, 1993: 19).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 78 -
IAIS Sambas Meskipun demikian, secara mendasat ketuhanan dalam Islam menyangkut soal “al-Ilahiyat” pada umumnya membicarakan dzat Allah, nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah. Dzat Allah tidak dapat dijangkau akal manusia karena keterbatasan akal tersebut. Hakekat dzat Tuhan, tidak dapat di lihat dan tidak dapat diketahui karena, pikiran manusia tidak apat menjangkaunya dan manusia sama sekali tidak perangkat-perangkat untuk mengetahuinya. b. Konsep Dasar Manusia Dalam Islam Telaah kejadian dan makna manusia menurut al-Qur’an serta konsep fitrah dan insan kamil dalam Islam. Manusia adalah satu di antara jenis makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT, dan Dia (Allah) menciptakan kamu dari berbagai fase atau tahap. Sesuai dengan Firman Allah SWT: Artinya: Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian. (Q.S. Nuh: 14). Mengenai asal usul bagaimana manusia itu tercipta bisa didekati dari dua sudut pandang yakni sudut pandang produksi dan sudut pandang reproduksi. Pertama, hanya berlaku bagi proses penciptaan Adam dan Hawa yakni asalusul penciptaan manusia pertama kali. Kedua, aspek asal-usul manusia dari segi keturunan kedua pasangan manusia pertama disebut pula sebagai aspek reproduksi atau pembiakan selanjutnya. Adapun proses kejadian manusia pertama dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut: a) Pada awalnya manusia dijadikan seorang diri, sesudah itu Allah menjadikan isteri dari bahan yang sama. Kemudian Allah mengembangbiakkan keturunan sampai jumlah yang banyak.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 b) Jasad dibuat lebih dahulu, baru kemudian roh ditiupkan Allah ke dalam nya. Artinya: Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (Q.S. as-Sajadah: 7). Kejadian manusia menurut manusia pertama. Kejadian ini dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut: 1) Keturunan manusia ini dijadikan Allah dari air mani. Firman Allah Artinya: “Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani)”. (Q.S. as-Sajdah: 8). 2) Air mani yang bercampur dengan sel telur kemudian disimpan di tempat yang aman. Firman Allah Artinya: “Kemudian Kami menjadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)”. (Q.S. alMu’minun: 13). 3) Proses pertumbuhannya hingga menjadi anak manusia bertahap. al-Qur’an menerangkan dengan jelas didalam surat al-Mu’minun ayat 1214. Hal ini menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara umum dengan penciptaan Adam dan kita, penciptaan manusia secara umum terjadi melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya yaitu ibu dan bapak, sedangkan penciptaan Adama tidak ter masuk keterlibatan lainnya hanya Allah Penciptanya. c. Konsep Fitrah Sebagai Dasar Potensi Kehidupan Manusia Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir. Mengenai uraian fitrah manusia ditemukan sekali pada surat ar-Ruum ayat 30. Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) tetaplah atas fitrah manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 79 -
IAIS Sambas Allah, (itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. ar-Ruum: 30). Fitrah manusia adalah potensi laten atau kekuatan terpendam yang ada didalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir. Adapun jumlah fitrah yang ada di dalam diri manusia itu cukup banyak, namun yang dianggap penting dalam kerangka pendidikan untuk dikembangkan meliputi fitrah agama, intelek, sosial dan fitrah susila. Aktualisasi Makna Dasar Pendidikan Islam Ada tiga persoalan dalam kerangka aktualisasi makna dasar pendidikan Islam yang meliputi reorientasi pengertian pendidikan Islam, reorientasi tujuan pendidikan Islam, dan reorientasi fungsi pendidikan Islam. Ketiga persoalan ini diharapkan dapat memberikan gambaran aktualisasi dalam makna dasar pendidikan Islam dewasa ini. 1. Reorientasi Pengertian Pendidikan Islam Dalam hal perumusan pengertian pendidikan Islam selama ini nampaknya lebih bersifat normatif, kurang bersifat atau bernilai filosofis dan problematik. Hal ini tercermin dari berbagai definisi pendidikan Islam yang ditawarkan pada umumnya lebih mengarahkan kepada upaya pembentukan akhlak (moral kepribadi) utama. Hal ini memang penting tetapi juga perlu membangun aspekaspek lainnya dalam membangun manusia yang utuh dan menyeluruh. Oleh, karena itu, sekarang sangat diperlukan rekonstruksi definisi (redefinisi) pendidikan Islam yang utuh strategis bernilai normatif, filosofis, dan problematika serta implikatif dalam dunia pendidikan Islam. Perumusan ini memang harus sesuai dengan persoalan pokok pendidikan Islam ini, yang sering dipahami dalam makna yang sempit, kurang tepat
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dan kurang tepat dan kurang menyeluruh, hingga hal ini dapat membawa pa-da ketimpangan dan kepincangan jalan-nya proses pendidikan Islam dari keing-inan sebagaimana yang diharapkan. Mengenai perlunya pengertian pendidikaan Islam diartikan secara luas, ini menghindari dari keterjebakan dalam pengakuan adanya dikotomi ilmu, yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Perlunya kita mengetahui dan mengakui bahwa semua ilmu datangnya dan berasal dari Allah SWT. Pemisahan yang tidak dibenarkan dari ilmu agama dan ilmu umum menurut Einstein bahwa “agama tanpa ilmu akan lumpuh dan ilmu tanpa agama akan buta”, maka kepribadian Muslim tentu akan mengalami konflik batin jika harus memilih satu di antara dari keduanya. Maksudnya berpijak pada ilmu. Ilmu agama dan curiga berlebihan pada ilmu umum. Kemungkinan hasilnya adalah peribadi alim, bijak dan mawas dengan sistem kendali. Prima akan tetapi lemah karena tidak akrab dengan motor penggerak atau sarana IPTEK, se-bagai bekal untuk menjalankan fungsi khalifah. Sedangkan berpijak kepada ilmu pengetahuan umum bisa terbawa arus pada lingkungan yang acuh dan meremehkan ilmu agama. Kemungkinan hasilnya adalah pribadi dengan motor penggerak yang kuat, akan tetapi cendrung tanpa arah dan kendali Muslim. Padahal kedua-duanya mengajarkan keterpaduan dunia akherat sehingga ilmu-ilmu dunia merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam “agama”, yang sesuai dengan konsep ajaran Islam dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Muhaimin dan Abdul Mujib juga mengemukan bahwa, istilah pendidikan dalam konteks Islam lebih banyak menggunakan term tarbiyah, ta’lim, ta’dib, dan ar-riyadhah yang satu sama lain mempunyai makna yang berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kali-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 80 -
IAIS Sambas matnya, tetapi dalam hal tertentu mempunyai kesamaan makna. (Abdul Halim Soebahar, 2000: 34). Dengan demikian, makna pendidikkan Islam berakar dari pengertian tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang satu sama lain mempunyai hubungan dan karakteristik makna yang saling menunjang dan melengkapi. Bahwasanya syareat Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau diajarkan saja, tetapi harus dididik melalui proses pendidikan. Nabi telah mengajak orang yang beriman dan beramal serta berakhlak baik sesuai dengan ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan. Dari satu segi kita melihat, bahwa pendidikkan Islam itu lebih banyak pada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain. Di segi lainnya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi jua praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal shaleh. Oleh karena itu, Pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan amal. Karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku peribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorang dan bersama yang akhirnya membentuk kepribadian Muslim. Pendidikan Islam pada hakekatnya adalah pendidikan manusia seutuhnya akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak, dan keterampilannya, karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dalam keadaan damai maupun perang, susah maupun senang, dan menyiapkannya dalam rangka menghadapi masyarakat jauh mengenai pendidikan Islam merupakan proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai pada diri anak didik melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Hal ini nampak bahwa personofikasi citra manusia yang diharapkan diperoleh melalui pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia yang berilmu imaniyah, manusia yang beriman amaliyah, dan manusia yang beramal akhlak iyah yang kesmuanya ini berjalan dengan baik dan seimbang dalam kehidupan manusia. (Muhaimin, dan Abdul Mujib, 1993: 127). 2. Reorientasi Tujuan Pendidikan Islam Tujuan Pendidikan Islam pada hakekatnya sama dan sesuai dengan tujuan ditutunkannya agama Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk manusia muttaqin yang rentangannya berdimensi infinitum (tidak terbatas menurut jangkauan manusia), baik secara linear maupun secara algoritmik (berurutan secara logis) berada dalam garis Mukmin, Muslim, dan Mukhsin. (Yusuf alQardhawi, 1980: 39). Penentuan tujuan dalam proses pendidikan merupakan bagian sentral dan penting dalam rangka menentukan arah, isi dan langkah pendidikan yang dikembangkan. Untuk melihat dan mencermati tujuan pendidikan Islam pada umumnya tercermin dalam makna yang diberikan terhadap pendidikan Islam. Menurut Azyumardi Azra, pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan oleh Allah Swt, kepada nabi Muhammad Saw melalui proses pendidikan seperti itu individu dibentuk agar dapat mencapat derajat yang tinggi agar ia mampu menunaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi dan berhasil mengwujudkan kebahagian di dunia dan di akherat. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam diarahkan dalam rangka menjadikan manusia sebagai “abdullah dan khalifatullah” yang mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan dipermukaan bumi ini mampu
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 81 -
IAIS Sambas beribadah sebagai hamba Allah, mampu berakhlak mulia, dan mampu mengembangkan segenap potensi kehidupannya. (Azyumadi Azra, 1999: 6). Pandangan dunia (Weltanschauung atau World View) Islam bersifat humanis teosentris. Maka sifat humanisteosentris sebagai pandangan dunia dalam Islam akan menjadi konsep dasar dari pemikiran pendidikan Islam. Sifat ini terlihat pada watak dasarnya yang tak pernah terlepas dari konsep khalifah sebagai mabda’nya dan konsep “abd” sebagai maqshad al-a’dham. Artinya konsep pendidikan Islam haruslah berpijak pada konsep khalifah, baik sebagai titik awal, proses maupun produk. Sebagai titik awal, artinya dalam pendidikan, subjek didik haruslah dipandang sebagai manusia yang berfungsi sebagai khaalifatullah yang punya misi untuk memakmurkannya. Sebagai proses, artinya agar subyek didik mampu mengembang amanah Allah yang dibebankan kepadanya, yakni sebagai khalifatullah, maka ia harus diproses dalam dunia pendidikan dengan cara menanamkan nilai-nilai ke dalam dirinya. Pengertian nilai-nilai di sini bukan hanya sebatas pentransferan ilmu pengetahuan, budaya, moral, etika, dan sopan santun, namun nilai-nilai itu juga mempunyai daya motivator yang tinggi bagi subjek didik untuk bersikap kreatif dan proaktif dalam memacahkan problematika hidup dan merubah tatanan sosial yang dianggapnya tidak baik. Sedangkan sebagai produk, artinya setelah subjek didik mengalami proses pendidikan, ia diharapkan mampu untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang pernah didapat dari proses pendidikan, sehingga dalam produknya ia benar-benar menjadi khalifatullah. Kemudian konsep abd sebagai maqshad al-a’dham, artinya segala perilaku yang merupakan produk dari pendidikan itu harus bertujuan untuk mengabdi kepada Allah semata, bukan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 kepada selain-Nya. Itulah terjemahan dari sifat humanis teosentris dalam aplikasi konsep pendidikan. (Ahmad Muthohar, 2001: 200-201). 3. Reorientasi Fungsi Pendidikan Islam Keprihatinan bangsa yang tengah dilanda krisis dalam berbagai aspek kehidupan dan mulai merangkak membiak, membuat peran pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah dipertanyakan. Dengan kondisi riil yang ada seperti maraknya tawuran pelajar, merebaknya narkoba, dan beberapa perilaku yang menyimpang dari norma-norma agama dan budaya, seperti pergaulan bebas membuat peran pendidikan dipersoalkan. Seolah pendidikan di sekolahlah yang bertanggungjawab terhadap berbagai permasalahan yang menyelimuti generasi penerus bangsa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Menjadi wajar apabila permasalahan yang berat tersebut harus ditanggung oleh pendidikan, utamanya di sekolah. Persepsi masyarakat terhadap sekolah mewakili kondisi yang ada dalam masyarakat atau negara. Oleh karena itu perlu diperhatikan lingkungan formal dan non formal sekaligus. Pada gilirannya harus diciptakan lingkungan yang kondusif yang mampu mengembangkan potensinya. Fungsi pendidikan Islam dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip iman, Islam dan Ihsan atau aqidah, ibadah dan akhlak untuk menuju suatu sasaran kemuddian manusia dan budaya yang diridhai Allah setidak-tidaknya memiliki fungsi di antaranya adalah individualisasi nilai dan ajaran Islam demi terbentuknya derajat manusia muttaqin dalam bersikap, berfikir dan berperilaku. Pemikiran mengenai fungsi pendidikan Islam belum begitu terarah seca-ra jelas dan sering dibut tanpa begitu memperhatikan nilai strategisnya dan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 82 -
IAIS Sambas bahkan tidak jarang diberi makna dalam arti yang agak sempit. Oleh karena itu perlu sekali dicermati dan dilihat secara tepat serta dirumuskan dalam bentuk yang strategis dan mempunyai makna yang luas yang sesuai dengan keunggulan eksistensi pendidikan Islam. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa fungsi mendasar dari pendidikan tidak terlepas dari pemberian informasi, penanaman nilai dan pengembangan kesiapan dan peran bagi kehidupan manusia. dalam persoalan fungsi pendidikan Islam ini dinyatakan bahwa fungsi pendidikan Islam merupakan proses dan fungsi rububiyah Allah Swt sebaga pencipta, fungsi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan hingga sempurna yang meliputi tahap penciptaan, penyempurnaan, penentuan kapasitas dan pembimbingan hidup. Mengingat kedudukan dan peran manusia sebagai makhluk Allah yang istimewa dilengkapi dengan potensi fitrah, manusia diciptakan dengan tujuan untuk mengabdi pada Allah dan menjadi khalifah di bumi serta manusia diberikan beban amanah kehidupan yang harus di pertanggungjawabkannya dan manusia pasti hidup dalam suatu lingkungan, baik sosial maupun alam diharapkan dapat tertata dan terpelihara dengan baik. Maka fungsi pendidikan Islam tentunya tidak terlepas dari mengwu-judkan kedudukan dan peran manusia di atas yang tercermin dalam rangka membentuk manusia yang utuh dan masyarakat yang harmonis, bermartabat dan berbudaya dalam kehidupannya. Dengan demikian, pendidikan Islam dengan fungsinya akan mampu membangun manusia dan masyaakat (umat) yang terbaik dalam pengembangan segenap potensi kehidupan terutama tercermin dalam kesungguhan iman dan dan taqwa, keluasan dan penguasaan ilmu dan teknologi, kekayaan dan ke-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 unggulan amal dan karya, ketinggian dan kesempurnaan akhlak dan moral serta keindahan dan keagungan budaya dan peradaban yang terlahir dalam pro-ses hidup dan kehidupan secara keseluruhan baik dalam kehidupan peribadi, keluarga maupun masyarakat bangsa dan negara yang berdasarkan ajaran Islam. Analisis Aktualisasi Dasar Filosofis Pendidikan Islam Dalam membicarakan aktualisasi dasar filosofis pendidikan Islam yang merupakan bagian penting aktualisasi konsep dasar pendidikan Islam, akan diketengahkan tiga peroalan pokok yang meliputi; pertama, reorientasi landasan dasar pendidikan Islam, kedua, reorientasi prinsip dasar pendidikan Islam, dan ketiga, reorientasi dasar filosofis pendidikan Islam. 1. Reorientasi Landasan Dasar Pendidikan Islam Pendidikan Islam sekarang perlu dikembangkan dengan sumber yang menyeluruh dari al-Qur’an, al-Hadits, pemikiran Islam serta realitas kehidupan sekarang ini secara keseluruhan. Pemikiran ini menggambarkan bahwa sumber pendidikan Islam bisa berangkat dari aspek empiris kepada normatif yang dikembangkan secara bersamaan dalam pemikiran pendidikan. Hal ini penting dikembangkan agar hasil pemikiran pendidikan Islam senantiasa relevansi yang kuat dalam berbagai teori kependidikannya. Jelasnya pendidikan Islam tidak terlepas dari kajian sekaligus pengembangan unsur normativitas dan intelektualitas. Hal ini mempunyai makna bahwa pendidikan Islam berupaya mengembangkan sumber petunjuk Ilahiyah, intelektualitas dan realitas empirik sebagai sumber sekaligus dasarnya.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 83 -
IAIS Sambas 2. Reorientasi Prinsip Dasar Pendidikan Islam Membicarakan prinsip dasar pendidikan Islam sesungguhnya memiliki makna can cakupan luas, karena menyangkut beberapa aspek baik dalam bentuk pemikiran, nilai-nilai, maupun kerangka nasional bagi pendidikan Islam. Dalam hal dasar pemikiran di antaranya dikemukakan M. Arifin bahwa agama Islam yang diwahyukan kepada Muhammad Saw, mengandung implikasi pendidikan yang bertujuan menjadi rahmat bagi sekalian alam. Agama Islam mengandung suatu potensi yang mengacu duaa fenomena perkembangan yaitu pertama, potensi psikologis dan paedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi sosok peribadi yang berkualitasbaik dan mengandung derajat mulia melebihi makhluk bumi yang dinamis, kreatif, dan responsif terhadap lingkungan baik alamiyah maupun ijtima’iyah (sosial) dan kedudukan Tuhan menjadi potensial sentral perkembangannya. Untuk mengaktualisasikan potensi tersebut perlu ikhtiar pendidikan secara terarah, sistematis dan menyeluruh dengan berbagai pendekatan, serta akan sangat bermakna bila dikembangkan terus-menerus dalam kehidupan manusia. 3. Reorientasi Dasar Filosofis Pendidikan Islam Pendidikan Islam adalah pendidikkan yang berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multidimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan, manusia, dan alam secara integratif. Dengan demikian, jelas bahwa dasar filosofis pendidikan secara fundamental dapat dinyatakan berangkat dari tiga konsep utama dalam kerangka pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 a. Konsep Dasar Ketuhanan Dalam Rangka Pendidikan Islam Mencermati sekaligus mengangkat kosepsi ketuhanan dalam hubungan dengan dasar filosofis pendidikan Islam sesungguhnya merupakan persoalan pokok yang amat fundamental dan strategis dalam rangka pengembangan konsep dan aplikasi pendidikan Islam. Pandangan tentang “ketuhanan” sesungguhnya merupakan “sumber nilai” yang sangat perlu digali dengan sungguhsungguh dan mudah pendidikan Islam. Mengangkat konsep dasar ketuhanan dalam kerangka dasar filosofis pendidikan Islam. Hal ini disebabkan karena persoalan yang amat pokok dan mendasar serta dalam beberapa pemahaman filsafat pendidikaan Islam kurang mendapat perhatian dalam kerangka pengembangannya, sehingga besar kemungkinan persoalan ini menjadi tidak dan bahkan kurang teraplikasi dalam proses kependidikan Islam. Disamping itu, disebabkan pula adanya kondisi pendidikan kita sekarang ini pada kenyataan atau pada umumnya nampak terbias dari latar belakang filsafat pendidikan barat yang sering kurang integratif antara dimensi spritual agama dengan kemanusia dalam rangka menyatukan visi wawasan ilmu dan moral dalam kehidupan manusia. Persoalan di atas juga dikemukakan Isma’il SM ketika mencermati kondisi pendidikan Islam sebagai berikut: (Jusuf Amir Feisal, 1995: 96). Dapat disimpulkan bahwa kondisi pendidikan dewasa ini, secara makro telah terkontaminasi dan terintervensi konsep pendidikan Barat. Di mana paradigma pendidikan barat tersebut secara garis besar dapat dikatakan hanya baru mengutamakan pengajaran pengetahuan anisch, menitikberatkan pada segi teknik emperis, sebaliknya tidak mengakui jiwa, tidak mempuyai arah yang jelas serta jauh dari landasan spiritual.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 84 -
IAIS Sambas Dalam konteks lebih khususn lagi merupakan sebuah realitas bahwa pendidikan barat kurang mengarahkan perhatian pada masalah moral atau nilai ilahiyah kalau ada pendidikan nilai, nilai yang menjadi target adalah nilai humanistik semata, bersifat antrosent-rik (berkisar manusia). Paradigma Barat yang sekuler tersebut berakibat hilangnya nilai etik dan transendental dalam pendidikan yang akhirnya justru menimbulkan dehumanisasi, bukan humanizing of human being. Dengan demikian, dapat dipahami pentingnya membangun paradigma pen –didikan yang tetap berorientasi pada nilai-nilai etik moral dan spiritual bagi kehidupan manusia, sebab tanpa nilainilai itu dikhawatirkan manusia akan mengalami krisis moral dan kemanusiannya. Mengangkat konsep dasar ketuhanan dalam kerangka dasar ini bukanlah bermaksud mencari pemahaman hakekat tentang Tuhan dalam kerangka ontologis dan epistomologis yang dikaji dalam persoalan ini menyangkut berbagai nilai dan petunjuk ke arah kehidupan manusia, maka konsep dasar ketuhanan dalam Islam mempunyai kedudukan yang amat strategis bagi pengembangan konsep dan pemikiran kependidikan Islam adanya wujud Allah, asma-asma-Nya dan tauhid sebagai teologi Islam ini menggambarkan betapa urgennya ketuhanan sebagai sumber nilai bagi kehidupan manusia. b. Konsep Dasar Manusia Dalam Rangka Pendidikan Islam Pada hakekatnya manusia menurut Islam adalah konteks proses kependidikan Islam pada dasarnya menyangkut manusia adalah ciptaan Allah yang mulia, yang suci dan berpotensi. Kemudian tugas utamanya adalah sebagai abdullah dan khalifatullah dalam menunaikan tugasnya
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dengan baik di muka bumi ini. Dengan demikian dasar filosofis pendidikan Islam juga berdasar pada konsep manusia. Adanya konsep dasar manusia yang sangat luas dan mendasar dapat di lihat dengan memahami proses kejadian manusia, hakekat, tujuan, dan fungsi serta potensi sumber daya insani ini sama mencerminkan pengembangan kehidupan sekaligus pendidikan Islam. Pendidikan Islam pada intinya juga berdasarkan filsafat manusia yang bersumber dari kehidupan manusia sekaligus sebagai pelaku utama dalam kehidupannya. Disnilah kedudukan manusia sebagai objek sekaligus subyek dalam proses pendidikan Islam. SIMPULAN Dengan telaah melalui pembahasan dalam persoalan ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam terutama dalam kerangka konsep kefilsafatannya. Pemikiran filosofis mengenai dasar ini diharapkan mampu memberikan rangsangan sekaligus inspirasi dalam membangun dan mengembangkan konsep kefilsafatan dalam pendidikan Islam. Betapapun sederhananya sebuah karya, manakala dikembangkan dengan baik akan memberikan makna yang besar bagi kemajuan suatu keilmuan dan peradaban umat manusia.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 85 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA an-Nahlawi, Abdurrohman.1998. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terj. Drs. Herry Noer Ali. Bandung: CV Diponegoro. Achmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Aditya Media. Tafsir, Ahmad. 1994, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Marimba, Ahmad D. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: alMa’arif. Ashraf, Ali. 1998. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. al-Abrasyi, Athiyah. 1970. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Azyumardi Azra, 1999, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Muslim. Imam. 1994, Shahih Muslim. juz. II, Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah. Ismail dkk., 2001, Paradigma Pendidikan Islam. Cet. I, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyahal IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar Yogyakarta. Siregar, Marasuddin. 1999, Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun; Suatu Analisa Fenomenologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Mursi, Muhammad Munir. 1977, at-Tarbiyatul Islamiyah; Ushuliha wa Tathawwiruha fil Biladil ‘Arabiyah. Kairo: ‘Alamul Kutub. Naquib al-Attas, Muhammad Syed. 1994, Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan. A. A. Kadir, Muslim. 1998, Filsafat Ilmu dan Nilai dalam Islam, dikutip dalam bukunya M. Chabib Thaha, dkk., (Peny.) Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Soenarjo, R.H.A. dkk. 1989, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depeg RI. Semarang: Toha Putra. Darajad, Zakiah dkk. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora)
- 86 -
MUATAN PENDIDIKAN MULTIKULUTURAL DALAM BAHAN AJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Analisis Bahan Ajar Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di SD Muhammadiyah Kota Malang) Khozin * Universitas Muhammadiyah Malang Aktivis dan pemerhati pendidikan Muhammadiyah
ABSTRAK Penelitian ini mengkaji ada atau tidak muatan pendidikan multikultural dalam bahan ajar PAI (Pendidikan Agama Islam) yang di lingkungan Muhammadiyah lebih dikenal dengan ISMU (Al-Islam dan Kemuhammadiyahan). Kajian di fokuskan pada: (1) Apa saja bahan ajar yang digunakan sebagai materi pendidikan ISMU di SD Muhammadiyah? Dan, (2) Apa saja tema Pendidikan ISMU di SD Muhammadiyah kota Malang yang bermuatan pendidikan multikultural? Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mata pelajaran Pendidikan ISMU memang ada bahan ajar pokok yang menjadi pegangan guru, yaitu buku teks Pendidikan Al-Islam dan buku Teks Pendidikan Kemuhammadiyahan serta Bahan Ajar Penunjang berupa buku “Merajut Kebersamaan dalam Keragaman”. Sementara siswa hanya memegang dua buku teks yang pertama, itu pun tidak semua siswa memiliki. Sedangkan tema-tema yang mengarah ke pendidikan multikultural juga dapat ditemukan seperti adab bergaul, adab bertetangga, setia kawan dan tolong menolong.Tapi pendidikan multikultural dalam dua buku teks yang pertama agaknya belum menjadi perhatian, sementara buku yang kedua hanya bersifat pendamping. Jadi pendidikan multikultural di SD Muhammadiyah sebagaimana dalam dua buku teks yang ada, belum memperoleh perhatian yang memadai, sementara buku pendamping adalah kerja kelompok anak muda Muhammadiyah yang memiliki perhatian terhadap pendidikan multikultural.
KATA KUNCI: Pendidikan Multikultural, Bahan Ajar, Pendidikan Agama Islam
*
Dosen Universitas Muhammadiyah Malang E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Pada perguruan Muhammadiyah seperti umumnya pada lembaga pendidikan lainnya. Pendidikan Agama Islam (PAI) diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Yang sedikiti membedakan, Pendidikan Agama Islam pada perguran Muhammadiyah lazim menggunakan nomenklatur Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU) untuk pendidikan dasar dan menengah atau Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) untuk Perguruan Tinggi (Qoidah DIKDASMEN Bab IX Pasal 33; Qoidah PMT VI Pasal 27). Selain perbedaan ini, perbedaan yang mungkin lebih esensial terletak pada aspek kesejarahan dan ideologi yang menjadi spirit bagi penyelenggaraan materi ISMU atau AIK. Muhammadiyah dalam hal tersebut agaknya memandang dua bidang ini sangat strategis untuk kepentingan persyaratan. Hal ini ditujukan dengan keseriusan peryarikatan yang menganut kewenangan dan bisa mengembangkan kurikulum untuk dua bidang studi ini yang nantinya langsung berada pada pimpinan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah. Karena itu pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (ISMU) kedudukannya tidak dipandang sama dengan bidang studi yang lain. Mungkin ada pertimbangan yang khusus seperti internalisasi nilainilai Islam dalam pandangan Muhammadiyah dan memberikan pengertian tentang hakikat Muhammadiyah yang tidak saja sebagai persyarikatan tapi juga sebagai ideologi. Pendidikan al-Islam maupun Kemuhammadiyahan keduanya memiliki sejarah sendiri-sendiri. al-Islam yang merupakan pendidikan agama (baca: PAI sekarang). Lahir sebagai jawaban atas dualisme sistem pendidikan pada masa kolonial, pendidikan umum dan pendidikan keagamaan.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Pendidikan umum yang berbasis di sekolah sama sekali tidak memberikan muatan keagamaan (Islam), sedangkan pendidikan keagamaan yang berbasis di pesantren yang hanya mengajar kan agama tanpa memperhatikan pengetahuan umum. Dalam konteks inilah lahir gagasan pendidikan dari Kyai Ahmad Dahlan yang mencoba mengintegrasikan pendidikan umum dan keagamaan dalam satu sistem. Setelah integrasi ini maka mulai berkembang sistem persekolahan yang sekaligus mengajarkan pendidikan agama atau sistem pesantren yang mengajarkan pengetahuan umum. Pendidikan Kemuhammadiyahan Sejarah berbeda lagi, yakni berasal dari gagasan A.Mukti Ali yang disampaikan pada PP Muhammadiyah menjelang peringatan setengah abad dan Muktamr Muhammadiyah ke-34 di Jakarta tanggal 18-22 November 1962. Waktu itu A.Mukt Ali hanya menyinggung soal bagaimana cit-cita Muhammadiyah bisa terus maju dan berkembang serta berkesenambungan peran serta prinsipnya sebagai gerakkan pembaharuan dalam Islam. Peringatan setengah abad dan Muktamar ke-34 yang di buka Presiden Soekarno, ketika itu suasana Negara saat itu sedang hangat-hangat mengalu-alukan pahampaham paham Nasionalisme Agama Komunisme), sehingga golongan nasional, agama, dan komunis saling tarik Menairik serta adu kekuatan untuk mengembangkan pengaruhnya. (Malik Fadjar, 1990: vii). Agaknya suasana politik mempengaruhi kemunculan dua bidang studi ini, Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Jika ini alasan, logikanya tentu dua bidang studi ini agak sulit dalam memberikan ruang untuk berdialog atau pendidikan multikuturalisme untuk dimasukan dalam struktur kurikulum dan bahan ajar. Tetapi karena suasana politik sudah berubah dan kebijakan pendidikan nasional juga selalu berubah
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 88 -
IAIS Sambas maka pendidikan multikulturalisme mungkin saja akan ada dalam muatan kurikulum dan bahan ajar baik Al-Islam maupun Kemuhammadiahan. Persoalan nya adalah kalau ada muatan dalam pendidikan multikulturalisme seperti apa struktur dan materinya. Berdasarkan pendahuluan di atas bahwa pendidikan agama Islam di sekolah Kemuhammadiyahan yang nomenklaturnya Al-Islam dan Kemuhammadiyahan atau ISMU, memiliki latar belakang yang bersifat politik ideologis. Ketika era sekarang setiap lembaga pendidikan dituntut untuk mengajarkan nilai-nilai yang menjunjung tinggi toleransi dan saling memahami terhadap keragaman tertentu menjadi persoalan sendiri. Pertanyaannya yang penting diajukan adalah: (1) apa saja bahan ajar yang akan digunakan sebagai materi pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di Sekolah Dasar Kemuhammadiyahan? (2) apa saja tematema multikultural yang diperkenalkan melalui bahan ajar Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di Sekolah Dasar Muhammadiyah. Penelitian ini bertujuan untuk; (1) mengidentifikasi bahan-bahan ajar yang diduga mengandung muatan pendidikan multikultalisme di SD Muhammadiyah di Kota Malang; (2) mendeskripsikan tema-tema pendidikan multikulturalime yang terdapat dalam bahan ajar Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Penelitian ini menghasilkan temuan; (1) ada tidaknya pendidikan multikulturalisme dalam bahan ajar pendidikan AlIslam dan Kemuhammadiyahan, tarmasuk tema-tema dan serta pendekatan yang digunakan dalam pendidikan; (2) temuan ini akan menjadi bahan untuk evaluasi dalam pengambilan kebijakan pimpinan persyarikatan dalam pengembangan kurikulum dan bahan ajar Pedidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dan (3) hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian tentang
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 pendidikan multikulturalisme dalam lingkup yang lebih luas. Penelitian ini akan memadukan dua metode sekaligus, yakni analisis dokumen (document analysis), yakni dengan mengumpulkan sumber berita atau informasi terutama melalui dokumendokumen tertulis. (Widodo, 2000: 50). Pengumpulan data dilakukan dengan melacak dokumen kurikulum dengan dan akan dilakukan wawancara dengan guru ISMU jika ada hal-hal yang dipandang perlu untuk mendapatkan penjelasan dan klasifikasi. Dalam hal ini dokumen yang penting diperoleh adalah tujuan serta kompetensi yang diharapkan dalam kurikulum pendidikan AlIslam dan Kemuhammadiyahan. Analisis wacana (discourse analysis) dalam hal ini adalah melakukan pembacaan untuk menemukan makna, sekalgus analisis terhadap bahan-bahan ajar yang digunakan dalam pendidikan Islam dan Kemuhammadiyahan, khususnya yang mengandung muatan pendidikan multikulturalisme. Analisis dilakukan dengan mendeskrisikan kurikulum, bahan ajar dan tema yang digunakan dalam pendidikan al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang digunakan muatan dengan pendidikan multukulturalisme. PEMBAHASAN Para penulis Indonsia yang terpengaruh istilah asing, bahasa Inggris culture langsung diterjemahkan dengan kultur yang diberi pengertian sama dengan istilah aslinya dan diterjemahkan menjadi budaya. Seperti dalam buku yang ditulis Ainul Yaqin dan Chorul Mahfud keduanya meyaamakan culture dengan kultur kemudian diartikan dengan budaya. Tapi dalam KBBI cetakan ketiga tahun 1990 kultur sebagai kata benda (nomina) diartikan dengan kebudayaan atau cara pemeliharaan atau pembudayaan. Sedangkan kultur sebagai kata
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 89 -
IAIS Sambas sifat (adjektiva) artinya mengenai kebudayaan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka), 1990: 473-474. Sampai di sini tidak ada perbedaan antara culture dengan kultural. Penulis ingin mengutip pendapat Mahfud, yang juga mengutip dari sumber yang lain, menurut secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham). Dalam pengertian ini menurut Machfud, kata itu mengandung pengakuan terhadap martabat manusia yang hidup dalam Donunitasnya dengan kebudayaannya masingmasing yang unik. (Choirul Mahfud). Istilah mulltikultural bukan sekedar pengakuan akan adanya kultur budaya yang berjenis-jenis, tetapi pengakuan itu juga mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial dan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan “the right to culture” Dadang Kahmad, 2011: 65). Kalau ini pengertian multikultual yang dimaksud, maka ada persamaan dengan pengertian dalam KKBI di atas. Ini berarti multikultural adalah aliran atau paham yang menunjukan adanya fenomena atau bahkan sudah dianut sebagai orang atau masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan lebih dari satu kebudayaan. Kalau kebudayaan itu yang dimaksud secara sosiologis tarmasuk agama atau kepercayaan tertentu nya patut dipertanyakan tentang akan pentinnya pendidikan multikulturalime. Tidak salah jika ada sebagian yang berpendapat bahwa pendidikan multikultural Yes! Pendidian Multikulturalisme, No! Pandangan seperti ini menunjuk kan bahwa; pertama, isme dipandang sebagai suatu paham, aliran bahkan ideologi tertentu yang berbeda dengan, paham, budaya bahkan keyakinan yang dianut seseorang. Hampir di semua lapisan termasuk kalangan terpelajar
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 isme dipandang sebagai paham, aliran dan ideologi yang berasal dari luar yang bertentangan dengan paham, budaya dan keyakinan bangsa dan masyarakat yang sudah sebegitu kuat mengakar di hati bangsa Indonesia. Ini berbeda dengan pandangan, Ahmad Tafsir bahwa isme tidak selalu memiliki paham, atau ideologi seperti humanis dan pluralis. Multikulturalisme tidak memiliki sejarah serta filsafat seperti humanis dan pluralisme. Karena itu pendidikan multikulturalisme tidak bisa dimaknai seperti ini. Namun Pedidikan yang mengembangkan suatu akan kesadaran saling memahami bahwa realitas ini memang berbeda, sehingga tidak mungkin disamakan apabila disatukan. Karena itu, kesadaran akan multikulturalisme melampaui sekedar kerukunan atau toleransi. Multikulturalisme tidak bisa sekedar toleransi, tetapi jauh dari itu yakni masing-masing mengerti dan memahami kebudayaan serta agama masing-masing tanpa harus menjadi bagian budaya dan kepercayaan itu masingmasing. (Ahmad Tafsir, 1987). Kalau ini yang dimaksud tentu butuh meningkatkan keterpelajaran warga bangsa ini dan tentu saja memerlukan waktu yang panjang. Kedua, dalam beberapa kasus Bangsa lain terutama Barat yang selama ini merasa sebagai guru demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme yang sering menerapkan standar ganda. Jika menyangkut kepentingan Negara dan Bangsa Barat seolah-olah apa saja yang mereka lakukan adalah paling baik. Tidak peduli apakah ini melanggar HAM atau pertentangan dengan prinsipiprinsip atau substansi dari demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme. Sementara kalau Bangsa lain yang melakukan pelanggaran HAM atau prinsipprinsip atau substansi dari demokrasi, pluralisme, dan multikulturalisme. Jika
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 90 -
IAIS Sambas Bangsa lain yang melakukan pelanggaran HAM mereka tertarik dan bahkan menghakimi sesuai dengan selera mereka. Apa tujuan pendidikan multikultural? Mengapa pendidikan multikultural penting dilaksanakan? Serta bagaimana Pelaksanaannya?. Pertanyaan-pertanyaan ini sengaja dimunculkan dan segera dijawab pula untuk memberikan perspektif ketika penulis sampai pada obrolan multikultural yang sesungguhnya di lapangan. Pada kuliah pendidikan Multikultural, Prof. Dr. Dadang Kahmad, mengutip pendapat James. A. Banks menyebutkan bahwa, pendidikan multikultural bisa di definisikan konsep, ide, atau falsafah segagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) serta penjelasan yang mengakui dan menilai akan betapa pentingnya penjelasan yang mengakui serta menilai akan pentinya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman, sosial, identitas pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dari individu, kelompok maupun Negara. (Dadang Kahmad, 2011). Definisi ini memberikan penekanan terhadap pemahaman sehingga menjadi kesadaran yang terefleksi dalam sikap, pola hidup bahkan mengenai identitas masing-masing orang. M. Ainul Yaqin mendefinisikan pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang di aplikasikan pada semua jenis pelajaran dengan cara menggunakan perbedaanperbedaan kultural yang pada diri siswa seperti pluralitas dan keragaman etnik, budaya, bahasa, gender, kelas sosial, ras, agama, umur, dan kemampuan agar proses belajar menjadi mudah dan efektif. (M. Ainul Yaqin, 2005: 86). Definisi pendidikan multikultural juga diberikan oleh Hilda Hernandez sebagai perspektif yang mengakui realitas sosial, politik, dan ekonomi yang dialami masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultural, dan mereflek-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 sikan pentinya budaya, ras, seksualitas, dan gender, entitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-penecualian dalam proses pendidikan yang tidak perlu. (M. Ainul Yaqin, 2005: 87). Pendidikan multikultural perlu diberikan kepada peserta didik tidak terkecuali mereka yang berada di lembaga pendidikan Islam khususnya Muhammadiyah adalah berangkat dari kenyataan dari kenyataan bahwa Indonesia adalah salah satu Negara Multi etnik, bahkan yang terbesar di Dunia. Pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosial kultural maupun geografis beragam dan luas. Misalnya untuk menggambarkan bahwa, Indonesia adalah Negara multikultural dapat disebutkan jumlah pulau besar dan kecil ada sekitar 13.000. Jumlah penduduk lebih dari dua ratus juta dan terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu agama yang berkembang mulai dari Hindu, Budhan, Islam, Katolik, Kristen, dan Konghucu serta aliran kepercayaan. (M. Ainul Yaqin, 2005: 89). Keberagaman bahasa, agama budaya, bahkan potensi jika di kelola dengan baik akan memberikan manfaat. Karena kemajemukkan ini merupakan fakta yang sudah tidak dapat dihindari, maka kemajemuk kan harus dikelola dengan baik agar menjadi potensi yang dapat membawa mafaat sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa. Sebaliknya, jika kemajemukan ini tidak dapat dikelola dengan baik tertentu akan menjadi malapetaka bagi perjalanan yang menyedihkan Bangsa ini ke depan. Indonesia pernah mempunyai pengalaman yang menyedihkan dan jangan sampai terulang. Misalnya pembunuhan terhadap masa pengikut Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965. Kekerasan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998, perang saudara antara Islam-Kristen di Maluku Utara
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 91 -
IAIS Sambas 1999-2003, perang etnis antara warga Dayak dan Madura yang terjadi sejak 1931 hingga 2000, dan akhir-akhir ini adalah kekerasan yang mengatasnamakan agama di Cikuesik dan Pandegelang 2011. (Smith Alhadar, http://www. fator.com/Comte/fakta analisis/3159kekerasan-agama-pembubaran-ormas dan rekayasa konflik.html, diakses pada Kamis, 17 Februari 2011, 05: 29). Berdasarkan kenyataan ini, maka pendidikan multikultural tidak saja sangat diperlukan, tetapi merupakan suatu keharusan. Karena posisinya yang sangat strategis, maka perlu ada upaya untuk memulai memikirkan dan melaksanakan dengan pendekatan yang mungkin dilakukan. Apakah pendidikan multikultural perlu menjadi mata pelajaran tersendiri atau diintgrasikan dalam setiap bidang studi atau mata pelajaran adalah persoalan teknis yang perlu dicarikan jalan keluarnya. a. Diskursus Pendidikan Muhammadiyah Secara historis, pendidikan Muhammadiyah muncul sebagai respon terhadap dualisme pendidikan, yaitu pendidikan kolonial dan pendidikan Islam. Ketika awal abad ke-20, pernyataan Steenbrink berikut ini, menarik untuk diperhatikan. Pendidikan kolonial sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam di Indonesia yang tradisional, bukan saja dari metode, tapi lebih khusus lagi dari segi isi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola pemerintah kolonial menekankan pada aspek pengetahuan umum dan keterampilan duniawi, sedang Ian lembaga-lembaga pendidikan Islam lebih menekankan pada aspek pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama. (Karel A. Steenbrink, 1996: 24). Menyikapi sistem pendidikanyang dualistik ini, Ahmad Dahlan mencoba menjawab dengan cara memperpadukan sebagai jalan tengah dari kebut-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 han sistem yang ada. Kompromi ini diawali dengan mengidentifikasi masalah yang dihadapi umat Islam pada waktu itu dan dipandang perlu segera mendapat jawaban dalam bidang pendidikan. Amir Hamzah mencatat permasalhan umat yang perlu diintervensi melalui pendidikan, yaitu: Pertama, bahwa kemunduran umat Islam yang berpusat di pondok-pondok pesantren disebabkan umat Islam telah mengisolir diri mereka dari perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat modern. Kedua, dengan adanya sekolah-sekolah Kolonial yang sekuler, mengancam kehidupan batin para pemuda, karena dapat menjauhkan generasi muda dari agama dan kebudayaan Bangsanya. Ketiga, pemerintah Kolonial tidak saja menanamkan pengaruh politiknya untuk mengusai negeri jajahannya, tetapi juga membawa paham keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. (Amir Hamzah Wirjosukto, 1968: 120). Inilah yang dikhawatirkan Ahmad Dahlan, yakni berkembangnya paham keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Terhadap penetrasi misi Kristen ini Ahmad Dahlan kemudian meresponnya dengan beberapa bentuk amal usaha seperti yang dikembangkan pemerintah Kolonial yang juga membawa misi Kristenisasi di Indoneisa. Yakni, dengan mendirikan rumah sakit, panti asuhan, dan sekolah. Kesimpulan studi yang dilakukan Alwi Shihab menarik untuk dikutip di bawah ini. Dalam rangka menghadapi pengalaman menyakitkan berupa perlakuan yang tidak adil dan rasa takut akan kehilangan identitas keagamaan yang dibatkan oleh kebijakan kolonial Belanda, serta diperkuat kerja sama pihak kolonial dan misi Kristen. Kaum Muslim mulai menggalang usaha bersama menentang fenomena yang mengancam tersebut. Kelahiran Muhammadiyah adalah salah
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 92 -
IAIS Sambas satu perwujudan jelas perlawanan terhadap kolaborasi penguasa kolonial dan misi Kristen itu. (Alwi Shihab, 1998: 121). Sebagai hasil kompromi, maka pendidikan Muhammadiyah muncul sebagai model pendidikan Islam modern yang muatan kurikulum dan metode pendidikan yang mengadopsi serta mengembangan unsur-unsur positif dari pendidikan kolonial dan pendidikan Islam. Pendidikan model persekolahan dengan bangku dan papan tulis serta materi pelajaran yang memperhatikan kecakapan hidup peserta didik diadopsi dari sistem pendidikan kolonial. Sedangkan pengetahuan agama sebagai basis nilai yang harus diberikan kepada peserta didik merupakan unsur asli pendidikan Islam. Model inilah yang kemudian ditiru pemerintah untuk sekolah-sekolah negeri serta sekolah yang mengajarkan pengetahuan umum sekaligus pendidik kan agama Islam. Sedangkan pada Madrasah atau Perguruan yang bercorak keagamaan diberikan pengetahuan umum yang memadai. Pada perkembangan mutakhir, para praktisi pendidikan Muhammdiyah agaknya kurang memperhatikan aspek historis ini dalam merintis dan mengembangkan pendidikan Muhammadiyah baik di Taman Kanak-Kanak, Sekolah, atau Madrasah, Pondok Pesantren maupun Perguruan Tinggi. Pendidikan Muhammadiyah sekarang lebih banyak berbasis pada pandangan-pandangan naqly, dan mengesampingkan aspek historis dalam mendesain pendidikannya. Perspektif historis tetap diperlukan untuk menangkap spirit yang melatar belakangi serta gagasan brilian yang di munculkan sehingga menjadi solusi atas problem model pendidikan yang ada. Pandangan dasar ini mengenai pendidikan Muhammadiyah sebagaimana tertuang dalam dokumen revitalisasi dikemukakan dalam muqadimahnya bah-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 wa pendidikan dalam pandangan Muhammadiyah adalah menghidupkan dan membiasakan. Karena manusia serta Bangsa-bangsa yang unggul, berkemajuan, berperadaban, dan tercerahkan yang terus diperbaharui serta mengembangkan Iptek melalui penelitian dan pendidikan bagi kepentingan kemanusian. Dalam konteks sekarang kalau pendidikan Muhammadiyah ingin terus hidup (survive), bahkan diminati masarakat juga harus keluar dari modelmodel yang ada dengan menawarkan model-model baru sebagai alternatif. Beberapa contoh dapat dikemukakan, jika pendidikan Muhammadiyah yang semula terpuruk bisa bangkit kembali setelah menjual konsep baru yang berbeda dengan umumnya konsep di sekolah yang ada di sekitarnya. Ada SD Muahammadiyah 9 di Malang. Sekitar tahun 1999 siswanya tinggal sekitar 17 anak dari kelas satu sampai kelas enam. Sekarang siswanya sudah lebih dari empat ratusan. Sebuah SMP Muhammadiyah di Surabaya, enam tahun yang lalu muridnya cukup hanya dihitung dengan jari tapi sekarang muridnya sudah lebih dari 300-an dan berasal berbagai kalangan. Intinya, pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan mo del. Pendidikan merupakan upaya sadar penyiapan peluang bagi manusia untuk menguasai Ipteks berbasis wahyu tekstual (qauliyah) dan wahyu natural, (kauniyah): alam semesta), mengembangkan kemampuan pemanfaatan alam semesta serta menyerap seluruh prinsip perubahan peradaban bagi kesejahteraan seluruh umat manusia dalam bentangan masa depan sejarah. Pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan pencerahan kesadaran akan Ketuhanan (makrifat iman/tauhid), yang menghidupkan, mencerdaskan, dan membebaskan manusia dari kebodohan serta kemiskinan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 93 -
IAIS Sambas bagi kesejahteraan, kemakmuran manusia dalam kerangka kehidupan bangsa dan tata pergaulan dunia yang terus berubah dan berkembang. Kewajiban setiap Muslim dalam mengembangkan, menyebarluaskan, belajar dan mengajar Iptek bagi kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia sebagai bentuk pengabdian ibadah kepada Allah, sebagai wujud keyakinan tauhid. Satu abad lalu KH. Ahmad Dahlan merintis pembaruan pendidikan sebagai kesatuan kelembagaan berbasis kesatuan Iptek yang telah tumbuh sebagai tradisi masyarakat pembelajar berbasis makrifat spiritual dalam bentuk tablig (pendidikan luar sekolah), pesantren, madrasah, dan sekolah sebagai realisasi dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Tanfidz keputusan Muktamar satu abad Muhammadiyah (Muktamar Muhammadiyah ke-64 Yogyakarta, 20-25 Rajab 1431 H/3-8 Juli 2010). Diantara program Muhammadiyah dalam bidang pendidikan adalah mengingatkan peran dan fungsi pendidikan Muhammadiyah sebagai lembaga-lembaga pelayanan masyarakat dengan membuka dan memperluas akses dan kesempatan bagi seluruh masyarakat tanpa memandang suku, bangsa, agama, dan kelas sosial untuk memperoleh pendidikan yang bermakna bagi peribadi, keluarga, dan masyarakat. Dari program ini, maka visi yang diusung adalah” terbentuknya manusia pembelajar yang bertakwa, berakhlaq mulia, kemajuan dan unggul dalam IMTEKES sebagai perwujudan dalam dakwah amar ma’ru nahi munkar Sedangkan misinya adalah sebagai berikut:
1. Mendidik manusia memiliki Kesadaran ketuhanan (spiritual makrifat);
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 2. Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki etos tadjid, berfikir cerdas, alternatif, serta berwawasan luas. 3. Mengembangkan potensi manusia berjiwa mandiri, etos kerja keras, wirausaha, kompetitif, dan jujur. 4. Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki Kecakapan hidup, keterampilan sosial dan teknologi. informasi dan komunikasi. 5. Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, kemampuan menciptakan dan mengapresiasi karya senibudaya. 6. Membentuk kader-kader persyarikatan umat dan bangsa yang bertanggung jawab, ikhlas, peduli terhadap kemanusiaan dan lingkungan. (PP Muhammadiyah, 2010), hal. 126-137). Agar pendidikan Muhammadiyah dapat terus survive, dalam dokumen “Revitalisasi pendidikan Muhammadiyah disebutkan bahwa nilai-nilai yang patut dikembangkan; pertama, pendidikan Muhammadiyah diselenggarakan yang merujuk pada nilai-nilai bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kedua, ruhul ikhlas untuk mencari ridha Allah SWT, menjadi dasar dan inspirasi dalam ikhtiar mendirikan dan menjalankan amal usaha di bidang pendidikan. Ketiga, menerapakan prinsip kerja sama (musyarokah) dengan tetap memelihara sikap kritis, baik pada masa Hindia Belanda, Dai Nippon (Jepang), Orde Lama, Orde Baru hingga pasca Orde Baru. Keempat, selalu memelihara dan menghiduphidupkan prinsip pembaruan (tajdid), inovasi dalam menjalankan amal usaha di bidang pendidikan. Kelima, memiliki kultur untuk memihak kepada kaum yang mengalami kesengsaraan (dhufa dan mustadh’afin) dengan melakukan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 94 -
IAIS Sambas proses-proses kreatif sesuai dengan tantangan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Keenam, memperhatikan dan menjalankan prinsip keseimbangan (tawasuth atau moderat) dalam mengelola lembaga pendidikan antara akal sehat dan kesucian hati. b. Multikulturalisme sebagai Kenyataan Suatu kenyaatan yang tidak bisa diingkari bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan dengan keanekaragaman etnik, budaya, bahasa, dan agama. Wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke oleh B.J. Habibie disebut sebagai Negara Benua Nusantara atau ada juga yang menyebut Negara Maritim Nusantara. Suatu ungkapan menggambarkan betapapun luasnya wilayah negeri ini dan juga Indonesia adalah negara kepulauan. Terdapat sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Jumlah penduduknya lebih kurang dua ratus empat puluh juta dan terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. (Ainul Yaqin, 2005: 4). Selain itu, agama yang berkembang di Indonesia juga cukup banyak mulai dari Hindu, Budha, Islam, Katholik, Kristen dan Konghucu serta aliran kepercayaan. Fakta di atas belum termasuk heter ogenitas pada internal masing-masing suku, budaya, bahasa dan agama. Suku Jawa tertentu berbeda antara mereka yang tinggal di pesisir dan pedalaman, karena ini melahirkan corak budaya masyarakat pesisir dan pedalaman. Mereka yang tinggal di pesisir tampak lebih egaliter, sementara yang tinggal di pedalaman tampak lebih feodal. Dari segi bahasa kendati saling dapat memahami tapi ada kosa kata yang berbeda, yakni antara halus dan yang kasar atau tidak bisa digunakan di kalangan tertentu. Heterogenitas juga tampak di kalangan pemeluk masing-masing agama.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Di kalangan pemeluk Islam di kenal ada Islam Sunni dan Syi’ah. Di lingkungan Sunni terdapat pula bermacammacam organisasi yang dijadikan wadah untuk mengespresikan diri dan menyampaikan aspirasi kelompok mereka. Ada Muhammadiyah, NU (Nahdhatul Ulama), Persatuan Islam (Persis), alWasliyyah, al-Khairat, dan akhir-akhir ini muncul MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), Hizbut Tahrir, Ansharu at-Tauhid dan sebagainya. Bahkan, pemeluk Islam sekarang terbelah menjadi Islam moderat dan Islam garis keras. Pluralitas ini tentu belum termasuk friksi pada masing-masing kelompok keagamaan ini. Sebagai bangsa yang multietnik dan multikultural bahkan multireligius secara sadar telah diakui para pendiri negeri ini (founding father). Dalam kondisi yang sangat plural para pendiri negeri ini telah menjatuhkan pilihan yang tepat dengan memilih Pancasila sebagai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila dipilih sebagai perekat dan landasan bersama (Common platform) kehidupan kebangsaan kebangsaan dalam bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). (Asad Said Ali, 20 Mei 2011). Dalam bahasa al-Qur’an disebut sebagai kalimatun sawâ, yang berfungsi sebagai perekat bangsa yang majemuk, plural, atau heterogen. (Qs. Ali Imran/3: 64,). Tanpa kompromi seperti ini sangat tidak mungkin bangsa yang besar dapat dipersatukan dalam suatu negara untuk mewujudkan cita-cita bersama. Untuk konkretisasi ideologi yang memang abstrak itu dipilihlah burung Garuda sebagai simbolnya dengan semboyan yang digenggam pada jari-jari kaki burung itu, Bhinika Tunggal Ika. Artiya, meskipun beraneka ragam suku, budaya, bahasa, dan agama tapi satu tujuan. Semboyan ini jika dimaknai lebih ja-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 95 -
IAIS Sambas uh jelas menggambarkan bahwa bangsa ini terlahir sebagai bangsa yang majemuk, multi etnik berarti bukan pada desain kehidupan berbangsa ini, namun adanya sistem yang menjamin secara sistematis agar ideologi Pancasila dapat dihayati sehingga dapat berfungsi senyatanya sebagai perekat kehidupan dalam suatu negara. Mencermati persoalan ini, maka pendidikan mutlikultural merupakan suatu keniscayaan sebagai instrumen dalam memahami realitas kebangsaan ini serta menunjukkan bahwa adanya Pancasila sebagai perekat dalam kehidupan berbangsa. Pendidikan multikultural, dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman budaya, dan berusaha suatu keniscayaan (Anugrah Tuhan atau sunnatullah). Atau diartikan sebagai pendidikan yang peduli dan mau mengerti (difference) atau politics of recognition (politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas, tanpa membedakan gender etnik, ras, budaya, status sosial, dan agama.(Choirul Mahfud, 2006: 167176). Atau seperti yang ditulis Syafiq A. Mughni, pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang menghargai perbedaan dan senantiasa menciptakan struktur dan proses agar setiap kebudayaan bisa mengekspresikan diri nya. Abdul Munir Mulkhan, mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang didasari konsepkonsep kebermaknaan secara unik pada tiap orang dan masyarakat. Berbeda dengan pendidikan yang memasang pertumbuhan peribadi yang kritis dan kreatif. (Abdul Munir Mulkhan, 2006: 257-272). Jika multikultural sebagai suatu kenyataan sejarah serta diakui oleh para pendiri bangsa ini dan oleh karena itu pendidikan multikultural sebagai suatu keniscayaan, apakah hal ini sudah menjadi perhatian Muhammadiyah?
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Paling tidak apakah pada bahan ajar pendidikan al-Islam dan Kemuhammadiyahan dalam memberikan perhatian terhadap isu multikulturalisme ataukah belum? Seberapa besar perhatian Muhammadiyah terhadap isu multikulturalisme? Inilah yang hendak dijawab dalam penelitian bahan ajar pendidikan Kemuhammadiyahan khusunya yang diajarkan pada SD Muhammadiyah di kota Malang. Deskripsi Hasil Penelitian Berangkat dari persoalan di atas bahwa pendidikan PAI di sekolah Muhammadiyah yang nomenklaturnya adalah al-Islam dan Kemuhammadiyahan mememiliki latar belakang yang bersifat politik-ideologis. Ketika era-sekarang setiap lembaga pendidikan dituntut mengajarkan nilai-nilai yang menunjung tinggi toleransi dan saling memahami terhadap realitas keberadaan tertentu menjadi persoalan tersendiri. Pertanyaan yang penting diajukan adalah: apa saja bahan ajar yang digunakan sebagai materi pendidikan di al-Islam dan Kemuhammadiyahan? Dan apa saja tematema multikultural yang diperkenalkan sebagai bahan ajar al-Islam dan Kemuhammadiyahan di SD Muhammadiyah?. Agar lebih operasional penelitian ini dimaksudkan terutama untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan bahan ajar, materi, tema-tema yang berkenaan dengan pendidikan multi kultural dan pendekatan yang digunakan dalam bahan ajar yang dikembangkan di SD Muhammadiyah kota Malang. Dari identifikasi dan deskripsinya ini selanjut nya dilakukan telaah kritis untuk melihat ada tidaknya kesesuaian antara konsep dasar pendidikan Muhammadiyah dan standar isi serta standar kompetensi yang digariskan PP Muhammadiyah dengan bahan ajar yang dikembangkan atau dipakai di SD Muhammadiyah kota Malang. Bagian-bagian mana
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 96 -
IAIS Sambas yang kurang mendapat perhatian dalam pengembangan bahan ajar pendidikan al-Islam dan Kemuhammadiyahan tersebut. a. Pendidikan Muhammadiyah Kota Malang Malang adalah kota terbesar ke-dua di Jawa Timur setelah Surabaya. Malang dikenal memiliki konsep TRI BINA CITRA kota, yaitu Malang sebagai kota pendidikan, pariwisata, dan industri. Sebagai kota pendidikan kota ini menyediakan sarana pendidikan mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi Negeri (Universitas Brawijaya- UB, Uviversitas Negeri Malang-UM, dan Universitas Islam Negeri-UIN), dan 30-an Perguruan Swasta yang setiap tahun menyerap ribuan jumlah mahasiswa dari dalam dan luar kota Malang. Bidang pendidikan menjadi satu diantara daya tarik Kota Malang dan mungkin yang paling utama. Sebab bidang-bidang yang lain meskipun mengundang daya tarik, tetapi bidang pendidikan memaksa orang untuk Inggal dalam waktu yang relatif lama, baik karena alasan menuntut ilmu maupun bekerja pada sektor ini. Selain potensi dalam bidang pendidikan, kota ini juga memiliki potensi pariwisata dan Industri. Karena memiliki potensi wisata, maka Malang termasuk salah satu tujuan wisata yang menyenangkan. Apalagi kota Malang berdampingan dengan kota Batu dengan sebutan Batu Kota Pariwisata. Kota ini banyak dikunjungi wisata yang hendak study tour maupun sekedar rekreasi. Pada musim liburan sekolah jalan-jalan sekitar tempat wisata dapat dipastikan selalu mengalami kemacetan. Wilayah kota Malang memang tidak banyak tempat wisata, tapi tidak jauh dari kota masuk wilayah Kabupaten terdapat cukup banyak tempat wisata, misalnya Taman Sena Putra, Taman Wisata Tlogomas, Sengkaling. Ada juga
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Taman wisata alami, misalnya Emandian Songgoriti, Cuban Rondo dan Selekta. Industri kerajinan keramik yang terdapat di sekitar Dinoyo merupakan ciri lain kota ini. Semua potensi ini menjadi daya tarik tersendiri yang secara simultan turut mempercepat perubahan dan perkembangan Kota Malang. Muhammadiyah tumbuh pesat di kota Malang. Salah satu yang menjadi kekuatan Muhammadiyah di kota Malangv adalah lembaga pendidikannya mulai dari Pendidikan Dasar hingga Perguruan Tinggi. Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) adalah perguruan tinggi terbesar yang dimiliki persarikatan dengan jumlah mahasiswa lebih kurang 20 ribu yang belajar pada 10 fakultas dan sekitar 45 program studi. Sementara pada jenjang pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyah kota Malang memiliki 20 sekolah/ madrasah dengan satu satu pesantren menjadi 21. Jumlah ini belum termasuk TK dan SD Aisyiyah atau yang di bawah pengelolaan ortom khusus Aisyiyah. Jumlah anak didik yang belajar pada perguruan Muhammadiyah dari TKSLTA lebih kurang 4000 siswa. Khusus Sekolah Dasar, Muhammadiyah di kota Malang memiliki 6 SD, dengan rncian SD Muhammadiyah 1 dengan jumlah siswa 271, SD Muhammadiyah 4 dengan jumlah siswa 171, SD Muhammadiyah 5 dengan jumlah siswa 64, SD Muhammadiyah 6 dengan jumlah siswa 133, dan SD Muhammadiyah 8 dengan jumlah siswa 198, serta SD Muhammadiyah 9 dengan jumlah siswa 400. Ini berarti jumlah keseluruhan siswa SD Muhammadiyah lebih dari 1200-san siswa. Tentu merupakan potensi tersendiri kalau bisa dikelola dengan baik. Ada beberapa SD yang ditutup/dimarger dengan SD yang lain karena dianggap kurang bisa berkembang, seperti tampak pada urutan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 97 -
IAIS Sambas nomor sekolah ini yang melompatlompat, misalnya tidak ada SD 2,3 dan 7. b. Desain Pendidikan Multikultural Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah secara nasional meng – ikuti desain pendidikan majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah. Muktamar Muha-mmadiyah ke-46, menghasilkan rumusan Revitalisasi Pendidikan Muhammadiyah dengan Visi “Terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkemajuan dan unggul dalam IPTEKS sebagai wujud tadjid dakwah amar ma’ruf nahi munkar.” Sedangkan misi yang diusung adalah; (1) Mendidik manusia memiliki kesadaran ketuhanan (spiritual makrifat); (2) Membentuk manusia berkemajuan yang dimiliki etos tadjid, berfikir cerdas, alternatif dan berwawasan luas; (3) Mengembangkan potensi manusia berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wira usaha, kompetitif dan jujur; (4) Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan ihdup dan keterampilan sosial, teknologi informasi dan komunikasi; (5) Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, kemampuan menciptakan dan mengapresiasi karya seni budaya. (6) membentuk kader persyarikatan umat dan bangsa yang ikhlas, peka, duli dan bertanggung jawab terhadap kemudian dan lingkungan. Baik pada visi maupun misi yang tertuang dalam dokumen “Revitalisasi pendidikan Muhammadiyah” terdapat pernyataan yang secara implisit menjelaskan tentang pendidikan multikul tural. Sedangkan dalam Qoidah Penddidikan Dasar dan Menengah disebut kan bahwa tujuan pendidikan Muham madiyah ialah pasal 3. Tujuan tersebut adalah: Membentuk manusia Muslim yang beriman, bertaqwa, berkhlaq mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, ber-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 disiiplin, betanggung jawab, cinta tanah air, memajukan dan memperkembangkan ilmu pengetahuan serta keterampilan dan beramal menuju terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT. Pada buku Standar Isi dan Standar Kompetensi Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang diterbitkan Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah disebutkan bahwa tujuan Pendidikan ISMU pada nomor 2 (dua), yakni: Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlakul karimah yaitu, manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, kreatif, inovatif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan Budaya Islami dalam komunitas sekolah sesuai dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. (Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah, 2007: 2. Tujuan ini kalau dipahami secara cermat ada beberapa kata yang dapat dijadikan titik masuk pengembangan pendidikan multikultural yaitu: berakhlaqul karimah sebagai kata kunci yang maknanya sangat dalam dan luas. Tapi satu kata yang diusung dalam tujuan Pendidikan ISMU yang secara eksplisit berkenaan dengan pendidikan multikultural, yaitu bertoleransi (tasamuh). Tujuan Pendidikan ISMU ini kempudian dijabarkan lagi dalam prinsip-prinsip pengembangan kurikulum. Pada sup tentang prinsip-prinsip pengembangan kurikulum nomor dua.
Beragam dan Terpadu Kurikulum di kembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteris-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 98 -
IAIS Sambas tik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya, dan adat istiadat, serta status ekomomi dan gender. Kurikulum menjadi substansi meliputi komponen muatan wajib kurikulum muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dan eterkaitan serta kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi. Pada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum ini juga tampak ada mustan tentang pengembangan kurikulum seperti dalam pernyataan“kurikulum dikembangkan tanpa memandang perbedaan agama, suku, budaya, dan adat isiadat serta status sosial ekonomi dan gender”. Sedangkan pada sub tentang prinsip pelaksanaan juga pada nomor dua (2), disebutkan bahwa kurikulum dilaksanakan dengan menegakan lima pilar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah swt., (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mapu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Prinsip pelaksanaan kurikulum pada sup (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, ini juga menunjukkan bahwa dalam dokumen inti yang dikeluarkan majlis dikdasmen maupun PP Muhammadiyah sendiri menunjukkan bahwa ada komitmen untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Bagi sekolah khususnya di tingkat pendidikan dasar khsususnya SD prinsip-prinsip bisa menjadi titik masuk untuk mendesain pembelajaran yang berbasis pendidikan multikultural.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 c. Pendidikan Multikultural pada Bahan Ajar SD Dari penjelasan ini segera dikemukakan tentang apa saja baha ajar untuk pendidikan ISMU yang digunakan di Sekolah Dasar Muhammadiyah kota Malang. Apa saja bahan ajar pendidikan al-Islam dan Kemuhamma diyahan di SD Muhammadiyah kota Malang? Apa saja tema-tema yang diperkenalkan di Sekolah Dasar Muhammadiyah? Apa saja bahan ajar yang digunakan untuk Pendidikan ISMU pada SD Muhammadiyah di kota Malang. Yaitu, bahan ajar pokok atau buku teks Pendidikan ISMU yang digunakan di SD Muhammadiyah kota Malang, yaitu; (1) buku ajar Pendidikan Al-Islam untuk SD/MI Muhammadiyah untuk kelas 1 sampai kelas 6 yang diterbitkan Majlis Dis-dasmen Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dengan penulis yaitu yang berbeda-beda. Buku Pendidikan Al-Islam untuk kelas 1 misalnya ditulis oleh Drs. Isa Anshori, M.Si, Wiwik Sri Rahayu, S.Ag., Luluk Q., S.Ag dan Siswanto, S.PdI. Buku ini ditahqiq oleh Drs. H. Syamsuddin, MA salah seorang pimpinan pada majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Jawa Timur. Buku Pendidikan Al-Islam untuk kelas 2 ditulis oleh Drs. Muadz, M.Ag, Zumlatin Azfiruh Rizfah, S.Pd., Siswanto, S.Pd.I dan Luluk Q. S,Ag., dengan editor Isa Anshori dan penyelia Drs. H. Syamsuddin, MA. Buku Pendidikan Al-Islam untuk kelas 3 ditulis Muhammad Ainun Najib, M.Ag dengan penyelia Drs. H. Syamsuddin, MA. Buku Pendidikan Al-Islam untuk kelas 4 ditulis Ainun Nadlif, M.Ag dan Afifun Nidlom, S.Ag dengan penyelia KH. Mu’amal Hamidy, Lc. Buku Pendidikan Al-Islam untuk kelas 5 ditulis Ahmad Khoirul Fata, M.Ag dengan penyelia KH. Mu’amal Hamidy, Lc. Dan, buku Pendidikan Al-Islam untuk kelas 6 di-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 99 -
IAIS Sambas tulis Sulton Aziz, M.Ag dengan penyelia KH. Mu’amal Hamidy, Lc. Selain buku teks Al-Islam, ada juga buku khusus Kemuhammadiyahan; (2) Buku ajar pendidikan Kemuhammdiyahan untuk SD/MI Muhammadiyah kelas 1-6 juga diterbitkan majelis Dikdasmen pimpinan wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Buku pendidikan Kemuhammadiyahan untuk kelas 1 diberi judul Aku Cinta Muhammadiyah, buku ini ditulis M. Syaikhul Islam, S.H.I, dan Mukhlisin dengan penelaah Prof. Dr. Ahmad Jainuri, MA. Buku pendidikan Kemuhammadiyahan untuk kelas 2 juga diberi judul Aku Cinta Muhammadiyah, dan juga ditulis M. Syaikhul Islam, S.H.I, dan Mukhlisin dengan penelaah Prof. Dr. Ahmad Jainuri, MA. Buku pendidikan Kemuhammadiyahan untuk kelas 3 dengan judul Pendidikan Kemuhammadiyahan tidak seperti kelas 1 dan 2 yang judulnya dibuat lebih menarik ditulis oleh M. Syaikhul Islam, S.H.I dengan penelaah Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA. Buku Pendidikan Kemuhammadiyahan untuk kelas 4 ditulis Drs, Syueb, M.Pd.I dengan penelaah Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, MA. Buku Pendidikan Kemuhammadiyahan untuk kelas 5 ditulis oleh Abdullah Sidiq Notonegoro, S.Pd.I. dengan penelaaan Prof. Dr. Ali Mufrodi, MA, dan Buku Kemuhammdiyahan untuk kelas 6 ditulis Choirul Mahfud, S.Pd, dengan penelaan Prof. Dr. Ali Mufrodi, MA. Selain dua buku ini ada buku yang sifatnya penunjang; (3) Buku Penunjang untuk Pendidikan ISMU diberi judul “Merajut Kebersamaan dalam Keragaman”. Buku ini ditulis oleh tim yang terdiri dari 14 orang. Editor buku ini adalah Deny Mizhar dan Hasnan Bactiar dengan menghadirkan penulis untuk parawacana Dr. Moslim Abdurrahman. Selain dua buku yang sifatnya pokok untuk pendidikan ISMU dan satu buku Penunjang ini belmu ditemukan buku lain yang menjadi pegangan siswa. Kalau
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 pun beberapa guru yang menggunakan buku-buku lain sebagai pengayaan, Agaknya dicari yang sepaham keragaman atau secara ideologi tidak boleh betentangan dengan Muhammadiyah. Adakah tema yang berkenaan dengan pendidikan multikultural pada buku-buku teks baik yang pokok maupun penunjang? Termasuk apa saja tema-tema yang disugukan dalam buku teks tersebut serta seberapa dalam dan luas uraian yang berkenaan dengan tematema pendidikan multikultural? Pada buku teks pendidikan al-Islam kelas 1 ada dua tema yang agak berdekatan dengan pendidikan multikultural; yaitu bertanggung jawab dan tolong-menolong. Tema ini berpeluang untuk membawa dan menumbuhkan potensi siswa untuk memiliki kesadaran multikultural, tapi sayang uraian yang muncul di dalam buku teks ini sama sekali tidak menyainggung tentang akan pentingnya kesadaran multikultural. Tanggung jawab di sini di fokuskan terhadap diri sendiri, belum ke tanggung jawab sosial. Begitu juga dengan tema tolong-menolong hanya di fokuskan pada tolong menolong dalam internal keluarga dan di Persempit lagi antara kakak dan adik, sebagaimana dikutipan di bawah ini. Hidup Bertanggung Jawab, Aril merupakan anak yang bertanggung jawab. Aril merupakan anak yang bertanggung jawab. Dia suka bermain, namun tidak pernah menjengkelkan orang tua. Sehabis, Aril selalu merapikan permainannya kembali membersihkan tempat bermain. Aril juga suka membantu orang tua, suka belajar, dan mengejakan semua tugas sekolah serta mengaji dan sholat lima waktu dan tidak pernah ditinggalkan. Aril juga terbiasa mengurus kebutuhan sehari-hari secara sendiri. merapikan tempat tidur, mandi, serta berpakaian dan makan tidak pernah menunggu perintah oleh orang tua Aril sangat bangga kepadanya.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 100 -
IAIS Sambas Pada kutipan ini tampak bahwa ihdup secara bertanggung jawab masih seputar tanggung jawab terhadap diri sendiri, belum berdimensi sosial. penelitian ini belum sampai menelusuri apakah dalam pembelajaran tanggung jasab ini dikembangkan dengan penjelasan atau contoh-contoh konkret diperlukan penelitian yang lebih dalam. Sedangkan untuk tema tolong-menolong, uraian dalam buku teksnya sebagai berikut: Tolong Menolong Aril dan Risa bersaudara, keudanya hidup rukun, saling tolong-menolong, mulai dari pekerjaan rumah, sekolah hingga permainan. Ketika, Aril mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah, Risa membantunya. Demikian halnya ketika Risa mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolahnya maka Aril yang membantunya. Keduanya tidak pernah berebut buku, apalagi alat permainan. Keduanya, saling tolong menolong dalam hal kejelakan. Kutipan di atas juga belum tampak adanya penguatan yang mengarah pada pendidikan multikultural, meskipun peluang ke arah ini ada melalui tema tolng-menolong, yaitu yang tidak membedakan etnik, budaya, latar sosial, bahkan agama. Berbeda dengan buku teks pendidikan al-Islam kelas 1, pada buku teks Kemuhammadiyahan kelas 1 tidak ditemukan tema-tema yang bermuatan pendidikan multikultural. Buku teks pendidikan al-Islam untuk kelas 2 ada dua tema yang mestinya juga bisa diberi muatan pendidikan multikultural, yaitu Surat Al-Kafirun dan Adab dengan Tetangga. Meskipun tema ini sangat mungkin diberi muatan pendidikan multikultural, tapi materi yang ditulis dalam buku teks juga belum menyinggung tema multikultural. Kumpetensi yang diinginkan dari tema suratsurat al-Kafirun, masih terbatas pada melafalkan, menghafal, menjelaskan ar-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 ti serta membaca dan menulis, sedangkan pada tema adab bertetangga cantoh-contohnya masih dibatasi adab yang tua kepada yang muda, atau yang muda kepada yang tua dan masih dibatasi kepada sesama Muslim, belum diperkaya dengan contoh-contoh yang Bermuatan multikultural. Sedangkan pada buku teks pendidikan Kemuhammadiyahan untuk kelas 2 ada satu tema, adab kepada orang lain muatannya tidak terlalu jauh dengan buku teks pendidikan al-Islam. Pada intinya dua buku teks untuk kelas 2 ini meskipun ada tema yang sangat mungkin diberi muatan pendidikan multikultural, tapi belum terlalu diberi penguatan ke arah ini. Buku teks Pendidikan al-Islam untuk kelas 3 ada tema adab bertamu dan menghormati tamu dalam bab tentang berakhlakul karimah dalam pergaulan sehari-hari, serta tema tentang setia kawan pada bab membiasakan perilaku terpuji. Tema ini bersinggungan dengan pendidikan multikultural, meskipun uraian di dalam buku teks belum menggambarkan kompleksitas pergaulan antar etnik, budaya, dan agama. Sedangkan pada buku teks pendidikan Kemuhammadiyahan yang juga untuk kelas 3 terdapat tema adab bergaul, tapi lagi-lagi tidak singgung tentang adab bergaul antar etnik, budaya dan bahkan agama. Buku teks Pendidikan al-Islam untuk kelas 4 ada satu tema meneladani perilaku masa anak-kanak Nabi Muhammad SAW. Pada tema ini karena Nabi bergaul dengan masyarakat Arab yang juga sangat beragam nilai-nilai yang dianut, maka Nabi menjadi terbiasa bergaul dengan beraneka ragam masyarakat. Tapi belum juga muncul pembahasan yang menunjukan perspektif meultikulturalisme. Pada buku teks pendidikan Kemuhammadiyahan untuk kelas 4 ada tema tolong menolong dalam Muhammadiyah.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 101 -
IAIS Sambas Pada tema ini tampak bahwa Muhammadiyah dalam melakukan tolongmenolong tidak membeda-bedakan latar belakangnya. Siapa pun yang membutuhkan pertolongan sepanjang Muhamadiyah mampu tentu ada mekanisme, misalnya untuk mendapatkan keringanan biaya rumah sakit atau pengobatan tertentu, ada ketentuan di rumah sakit yang dimiliki Muhammadiyah. Pada buku teks Pendidikan Al-Islam untuk kelas 5 ada satu tema tentang Contoh perilaku orang beriman. Pada tema ini yang menjadi fokus buku teks masih seputar kesalehan individual berupa ketaatan dalam beribadah dan beberapa bagian menunjukan kepedulian terhadap lingkungan. Sedangkan buku teks pendidikan Kemuhammadiyahan untuk kelas 5 pada bab satu tentang amal usaha Muhammadiyah dari ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi sangat berpeluang untuk diberikan, dalam perspektif multikultural. Amal usaha bidang ibadah misalnya masjid. Perlu kita ketahui, masjid yang pengelolaannya di bawah naungan majelis tablig dan dakwah khusus Muhammadiyah. Tetapi karena masjid berfungsi untuk untuk melayani kepentingan untuk umum, maka setiap orang Islam Obleh shalat berjamaah dan mengikuti kegiatan keagamaan di mesjid. Buku teks Pendidikan al-Islam untuk kelas 6, pada bab delapan materi akhlaq terdapat tema membiasakan perilaku terpuji dengan contoh meneladani kaum Muhajirin dan Anshor. Tema ini sangat mungkin dalam memberikan uraian tentang hubungan antar agama, tapi yang dikemukakan di dalam teks masih sebatas hubungan antar kaum Muhajirin dan Anshor. Sedangkan pada buku teks pendidikan Kemuhammadiyhan untuk kelas 6 yang ditulis Choirul Machfud yang juga penulis buku pendidikan Multikultural, meskipun masih secara impi-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 sit kelihatan memberi ruang masuknya perspektif pendidikan multikultural. Salah satu bahan ajar sebagai penunjang yang digunakan adalah buku “merajut kebersamaan dala keberagaman”. Dilihat dari judulnya saja buku ini mencerminkan buku yang berperspektif multikulturalisme. Dari tema-tema yang ada misalnya “kisah pak David, menggambarkan bahwa seorang warga asing (Amerika) non Muslim bertugas sebagai dosen tamu pada perguruan tinggi Islam dan mengajar di Fakultas Agama Islam. pak David mengajar mata kuliah pemikiran Islam sesuai keahliannya mistisme dan tasawuf dalam Islam. (Denny Mizhar dan Hasnan Bahtiar, 2010: 33). Tema lain yang ditulis dalam buku ini “aku Muslim” temanku Kristiani”. Tema ini mengisahkan pertemanan anakanak yang memiliki perbedaan iman (agama) Muslim dan Kristen. Mereka satu sekolah dan rumah mereka berdekatan, meski berbeda kepercayaan mereka merasa nyaman dalam berteman. Tentu semua ini atas dukungan orang tua masing-masing. (Denny Mizhar dan Hasnan Bahtiar, 2010: 34). Memperhatikan beberapa buku teks dan buku penunjang yang menjadi pegangan guru dan siswa, maka pendidikkan ISMU pada enam SD Muhammadiyah di kota Malang dari sisi bahwa ajar dan tema-tema yang ada sudah megarah pada pendidikan yang berperspektif multikultural. Bahkan satu bahan ajar dan tema-tema yang terdapat di dalamnya sengaja di desain berperspektif multikultural. Interpretasi Temuan Penelitian Beberapa persoalan yang perlu dikritisi berkenaan dengan paparan hasil penelitian di atas; pertama, dada persalan antara tujuan pendidikan ISMU sebagaimana yang tertuan dalam standar isi dan standar kompetensi. Pada buku standar ini dan standar kompetensi
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 102 -
IAIS Sambas ISMU yang diterbitkan majelis pendidikan dasar dan menengah PP Muhammadiyah disebutkan bahwa tujuan pendiddikan ISMU pada nomor dua, yaitu: Mengwujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlakul karimah, yaitu yang manusia mempunyai pengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, kreatif, inovatif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya Islam dalam komunitas sekolah sesuai dengan al-Qur’an dan As-Sunnah. (Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah, 2007: 2). Kalimat yang perlu digaris bawahi menurut penulis adalah bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial. pernyataan dalam tujuan pendidikan ISMU ini dalam pengembangan kurikulum dan buku teks mesti menjadi perhatian yang memadai. Agaknya aspek ini belum banyak diperhatikan terutama banyak buku teks pendidikan ISMU untuk SD yang diterbitkan majelis Dikdasmen Pimpinan Wilayah Jawa Timur. Tentu, ini perlu penelaahan kembali agar di depan ada kesesuaian antara tujuan Pendidikan ISMU dengan kurikulum dan bahan ajar, lebih jauh pada strategi pembelajaran dan evaluasinya. Kedua, beberapa bagian yang berkenaan dengan prinsip prinsip ISMU juga belum mendapat perhatian di dalam buku teks. Pada sup tentang prinsip-prinsip pengembangan kurikulum nomor dua, beragama dan terpadu. Kurikulum dikembangkan dengan Memperhatikan keragaman karateristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya, dan adatistiadat serta status sosial ekonomi, dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu serta di su-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 sun dalam keterkaitan dan berkesenambungan yang bermakna dan tepat antar substansi. Pada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum tampaknya ada muatan tentang pengembangan kurikulum seperti dalam pernyataan “kurikulum dikembangkan tanpa membedakan agama, adat istiadat, suku, dan budaya, serta status sosial ekonomi, dan gender”. Memang tidak ada teks yang menggambarkan adanya diskriminasi di dalam buku teks, tetapi belum mengantisipasi keragaman yang mungkin terjadi dan berbeda antara satu kota dengan kota yang lainnya. Sebagai contoh kota Malang relatif menggambarkan adanya keragaman. Agaknya aspek ini belum men dapatkan perhatian dalam buku ini. Seperti pada prinsip pelaksanaan juga pada nomor dua (2), disebutkan bahwa kurikulum dilaksanakan dengan Meneggakan lima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah swt., (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, Melialaui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Pilar belajar menurut penulis yang perlu mendapat perhatian adalah pada huruf (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain. Tema-tema yang berkenaan dengan pluralitas, keragaman dan multikultural memang dalam buku teks dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 bisa hampir belum ditemukan, tetapi penjelasannya relatif kurang memadai bahkan cenderung menggambarkan monokultur multikultural.
SIMPULAN
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 103 -
IAIS Sambas Pendidikan ISMU SD Muhammadiyah kota Malang menggunakan buku teks dan buku penunjang. Buku teks yang digunakan para guru dan menjadi pegalngan siswa adalah buku teks pendidikan al-Islam dan pendidikan Kemuhammadiyahan. Buku ini diterbitkan oleh Maelis pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen), pimpinan wilayah Muhammadiyah. Buku-buku ini ditulis oleh penulis yang berbeda-beda kendati demikian para penulisnya tetap mengacu pada kurikulum pendidikan ISMU yang dikeluar kan majelis Dikdasmen PP Muhamadiyah. Bahkan dalam penulisan buku teks ini melibatkan para pakar al-Islam dan Kemuhammadiyahan yang dimiliki Muhammadiyah seperti Drs. Syamsuddin, MA, dan KH.Muamal Hamidy, Lc yang di kenal sebagai tokoh agama di Jawa Timur dan di kalangan Muhammadiyah khususnya. Sedangkan untuk pendidikkan Kemuhammadiyahan ada nama Prof. Dr. Ahmad Jainuri dan Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, keduanya adalah pimpinan Muhammadiyah yang dikenal secara nasional bahkan internasional. Mereka dilibatkan sebagai pentahqiq, penyelia atau penelaah buku-buku teks tersebut. Selain buku teks yang menjadi pegangan guru dan siswa, ada satu lagi buku yang khusus menjadi pegangan guru yaitu,“Merajut Kebersamaan dalam Keragaman”. Buku ini memang secara formal belum mendapat lisensi dari petinggi persyarikatan, tapi baru merupakan kerja kultural anak-anak muda Muhammadiyah yang memiliki peratian terhadap persoalan studi lintas budaya dan dan multikultural. Pada buku teks pendidikan ISMU mengenai beberapa tema memang sangat mungkin diberikan muatan pendidikan multikultural, misalnya tema ada
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 bergaul, setia kawan, tolong menolong, dan adab dalam bertetangga. Tapi dalam elaborasi, para penulisnya tampaknya belum memberikan perspektif pendidikan multikultural. Belum munculnya perspektif multikultural ini mungkin situasi sosial saat penulis belum memberikan pengaruh yang signifikan pada tim dan para penulisnya untuk memunculkan perspektif ini. Selain itu, saat penulis buku teks ini isu tentang pentignya multikultural juga hampir-hampir juga terdengar. Kendati persoalan-persoalan sosial yang muncul di masyarakat sangat kental dengan nuansa diskriminatif bahkan destruktif sebagai akibat belum munculnya kessadaran multikultural di masyrakat. Agaknya dalam waktu dekat pimpinan majelis dikdasmen pimpinan wilayah Muhammadiyah Jawa Timur perlu mempertimbangkan untuk merevisi buku teks yang beredar. Karena situasi masyarakat sudah berubah begitu cepat bahkan cenderung sangat kompleks, maka kerja merevisi buku ini sangat perlu dilakukan. Kalau tidak, yang mengkhawatirkan peserta didik di SD Muhammadiyah justru mendapatkan pembelajaran tentang kebencian terhadap kelompok lain, baik etnik, budaya, maupun agama. Allahu A’lam Bishawab.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 104 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. 2005. Pendidikan Agama Era Multikultural Multi Religius. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP). Alhadar, Smith, Kekerasan Agama, Pembubaran Ormas Dan Rekayasa Konflik,http://www.faktapos.com/content/fakta-analisa/3159-kekerasanagama-pembubaran-ormas-dan-rekayasa-konflik.html, diakses Kamis, 17 Februari 2011 05:29. Ali, Asad Said, “Memahami Pancasila”, Makalah ini disampaikan saat sosialisasi Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Harian Umum PELITA; Persatuan Umat dan Kesatuan Bangsa, Jum’at 20 Mei 2011. Antoni, Raja Juli. 2002. Living Together in Plural Societies Pengalaman Indonesia-Inggris. Yogyakarta: Pemuda Muhammadiyah, British Council dan Pustaka Pelajar. A. Mughni, Syafiq. 2006. Pendidikan Berbasis Multikultural, Prolog dalam buku Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Buku Pendidikan Al-Islam Kelas 1-6. 2007. Majlis DIKDASMEN Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Buku Pendidikan Kemuhammadiyahan Kelas 1-6. 2008, Majlis DIKDASMEN Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Hidayat, Wahyu. 2000. Malang Kota dalam Sorotan. Malang: UMM-Press. Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor: 65/Sk-Pp/Iii-A/I.B/1997 Tentang Qa'idah Pendidikan Dasar Dan Menengah Muhammadiyah Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor: 19/sk-pp/iii. B/1.a/1999 tentang: Qa’idah Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Khozin, 2005, Menggugat Pendidikan Muhammadiyah, Malang: UMM Press. Macfud, Choirul, 2006, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mizhar, Denny dan Hasnan Bachtiar, 2010, Merajut Kebersamaan dalam Keragaman. Malang: Resist dan CORDAID. Mulkhan, Abdul Munir, 2006. Pendidikan (Agama) Berbasis Budaya”, Epilog dalam buku Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 105 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Shihab, Alwi, 1998, Membendung Arus; Respon Muhammadiyah terhadap Misi Kristen di Indonesia: Bandung: Mizan. Standar Isi dan Standar Kompetensi Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. 2007, Majlis DIKDASMEN PP Muhammadiyah. Steenbrink, Karel A. 1986, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES. Tafsir, Ahmad, 1987, Konsep Pendidikan Formal dalam Muhammadiyah, Disertasi Fakultas Pascasarjana IAIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta. Truna, Dody S, 2011, Pendidikan Agama Islam Berwawasan Multikultural; Telaah Kritis atas Muatan Pendidikan Multikulturalisme dalam Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum di Indonesia. Disertasi UIN Sunan Gunung Djati. Widodo, Erna dan Mukhtar, 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Yogyakarta: Avyrouz. Wirjosukarto, Amir Hamzah, 1968, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam. Malang: Ken Mutia. Yaqin, M. Ainul, 2005, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Undesrtanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 106 -
PLURALISME DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA: Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama Kamil *
ABSTRAK Pluralisme sebagai sikap yang mengakui dan menghargai keadaan plural secara etnis, kebudayaan, dan keagamaan sangat diperlukan untuk menciptakan dan memelihara kerukunan antar umat beragama. Oleh karena itu, sikap ini harus ditumbuhkan pada diri generasi muda Bangsa. Salah satu diantara caranya melalui pendidikan agama di sekolah-sekolah, baik itu sekolah negeri maupun swasta. Karena nilai-nilai pluralism akan menjadikan anak didik memiliki pemahaman dan perilaku religius yang berjalan pararel dengan kemampuan mereka untuk dapat hidup bersama orang lain yang berbeda etnik, budaya, dan agama (to live together). Namun pluralism khususnya di Indonesia akhir-akhir ini diguncang dan diuji oleh berbagai kerusuhan dan kekerasan (konflik) yang melibatkan sentimen keagamaan. Munculnya banyak kerusuhan dan kekerasan di negara ini, untuk sebagian adalah ketidakberdayaan dan kegagalan sistem pendidikan, khususnya pendidikan agama. Kegagalan pendidikan agama selama ini, disebabkan sebagian besar dalam proses pembelajaran lebih menekankan pada aspek transfer ilmu agama dari pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik. KATA KUNCI: Pendidikan Agama, Pluralisme, Kemanusiaan
*
Dosen Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas HP.082152181927 E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Di tengah arus globalisasi ini, kita mendapatkan kenyataan bahwa agama tetap menjadi perbincangan menarik. Kenyataan ini membuktikan bahwa tesis umum tentang nasib agama bakal menempati posisi suborniat (di bawah), dalam hubungannya dengan kemajuan sains dan teknologi. Sebenarnya tidak relevan bahkan tidak benar. Dalam perkembangan sosial kemasyarakatan tertentu dan waktu tertentu barangkali pandangan tentang posisi bawah pada agama-agama dalam hubungannya dengan kemajuan sains dan teknologi. Bisa saja ini menjadi fenomena sesaat. Bisa juga karena “hukum besi natur manusia” yang tak terpisahkan dengan elemen spiritual. Kenyataan ini selalu saja dibarengi dengan munculnya arus balik yang bersifat keagamaan. Beberapa tahun yang lalu, kepada orang asing yang datang ke Indonesia. Kita masih bisa membanggakan bahwa bangsa ini sebagai bangsa yang plural secara etnik, kultural, dan keagamaan yang bisa menmenciptakan dan memelihara kerukunnan antar etnik maupun antar agama. Kerukunan antar etnik serta antar agama ini dibarengi dengan kebangkitan agama-agama, terutama kebangkitan agama Islam yang ditandai syi’ar nya semakin semarak. Akan tetapi kerukunan yang dibanggakan tersebut dikejutkan dan sekaligus diuji banyaknya konflik yang terjadi sejak tahun 1966 sampai sekarang. Eskalasi pertentangan yang dilapisi baju besi isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), akan menciptakan konflik-konflik kekerasan yang lebih menegangkan dan meresahkan. Dalam suasana seperti ini, agama serignkali menjadi titik tujuan singgung paling sensitive dan eksklusif dalam pergaulan pluralitas masyarakat (Mudzhar dkk, 2004: 14). Masing-masing pihak
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 mengklaim bahwa dirinyalah yang Paling benar, sedangkan pada pihak lain adalah salah (trut claim). Persepsi bahwa perbedaan adalah hal yang buruk suatu hal yang menakutkan, sudah mendarah daging dalam jiwa umat beragama. Menurut Titib (2004: 51), konflik terjadi karena emosi-emosi keagamaan yang sangat berlebihan hal ini disebabkan pemahaman ajaran agama yang sempit dan dangkal. Hal ini pula mengakibatkan timbulnya sentiment keagamaan berkadar tinggi, sehingga terjadi pemaksaan keinginan lainnya dan masing-masing ingin mendapatkan yang lebih dari apa yang harus didapatkan. Sebagai alternative pencegahan agar tidak terjadi konflik di masa yang akan datang maka, satu di antara pendekatan yang bisa dikemukakan melalui jalan pendidikan agama. Pendidikan agama bukan hanya sarana untuk meredakan suatu kekerasan. Pendidikan agama ini bertujuan menanamkan aqidah, nilai, norma, serta ritual keagamaan. Selain itu pula pendidikan agama ditujukan untuk pelestarian tradisi dan praktekpraktek agama. Hal penting lainnya bahwa, tujuan agama adalah untuk memahamkan serta menanamkan sikap ketika berinteraksi dengan orang lain yang berlainan agama (pluralisme agama). PLURALISME Pluralisme merupakan pengakuan atas perbedaan dan keperbedaan itu sesungguhnya Sunnatullah dan hal itu pula merupakan sesuatu yang nyata serta tidak bisa dipungkiri. Penolakan terhadap pluralisme yang Sunnatullah itu akan mengakibatkan ketegangan bahkan konflik. Hal ini, nyata-nyata merupakan pengingkaran pada Allah SWT. Pluralisme tujuannya tidak hanya sebatas menghendaki pengakuan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 108 -
IAIS Sambas atas perbedaan itu juga melainkan juga adanya penghormatan atas kenyataan yang ada perbedaan tersebut. Untuk itu, sudah seharusnya diakui dengan jujur bahwa masyarakat Indonesia memang berbeda-beda dan karena perbedaan itu mungkin akan terjadi keresahan, ketegangan yang pada akahirnya berujung pada konflik. Pluralisme menjadi terancam dan persatuan bangsa menjadi terkoyak. Terlepas dari berbagai analisis, apakah akar konlik sosial, budaya, atau agama. Tidak salah jika wilayah pendidikan agama mulai dipersoalkan banyak orang. Ketidakberdayaan terhadap sistem pendidikan agama, wajarlah untuk digugat. Ketika pluralisme tidak dihargai oleh banyak orang di Indonesia, maka apa yang salah dengan sistem pendidikan agama? Apakah pendidikan agama selama ini sia-sia tanpa pengaruh terhadap anak didik? Pendidikan agama yang semacam ini, apakah akan mampu menumbuhkan sikap menghargai pada pluralisme? Melalui apa yang mampu menumbuhkan sikap menghargai pada pluralisme? Melalui pendidikan agama, nilai apa saja yang perlu ditumbuhkan kepada anak didik agar ia menghargai pluralisme? Pluralisme vs Eksklusivisme Sebelum pertanyaan-pertanyaan di atas itu dijawab, maka pembicaraan tentang arti pluralisme dan semua persoalan yang berkaitan dengannya dimulai terlebih dahulu. Pluralisme dan pluralitas adalah dua kata yang sering dipakai secara bergantian tanpa ada penjelasan arti yang sama atau berbeda, ada kalanya pluralisme dan pluralitas mempunyai arti yang bersifat sementara, sedangkan plural berarti jamak, dan banyak. (William Collins & Graham Brash, 1983: 872). Pluralisme dan pluralitas di dalam tulisan ini harus dibedakan agar tidak
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 terjadi kerancuan definisi. Pluralisme bu –kanlah sekedar keadaan atau fakta banyak. Pluralisme bukanlah sekedar pengakuan bahwa keadaan atau fakta seperti itu yang memagn ada dalam kenyataan. Pluralisme adalah sikap menghargai, menghormati, memelihara, serta mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak itu. (Machasin dkk, 2005: 218). Pluralisme disini bisa pula berarti kebijakan atau politik yang mendukung pemeliharaan kelompok yang berbeda- beda dengan asal etnik, pola budaya, agama, dan seterusnya. Menurut Djohan Effendi bahwa pluralisme tersebut tidak hanya cukup dimaknai sebagai kenyataan adanya keperbagaian suku, agama, ras, antar golongan, bahasa, tingkat ekonomi, pendidikan dan lain-lainnya, tapi juga dimaknai komunikasi, interaksi, serta dialog. (Effendi, 2001: 14). Menurut Shihab (2001: 14), pluralisme tidak semata menunjukan pada suatu kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan secara aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Berdasarkan pendapat di atas, bahwa pluralisme semata-mata hanya keperbagian suku, agama, ras, bahasa, tingkatan ekonomi, antar golongan, pendidikan dan sebagainya. Namun demikian, bagaimana hubungan antar etnik, agama dan hubungan itu sendiri dibangun dengan penuh keterbukaan, toleransi, menghormati, serta saling menghargai. Anselm Kyongsuk Mina (Effendi, 2001: 14) menyatakan bahwa pluralisme adalah suatu realitas nyata, atau fakta yang sudah berlangsung sejak lama. Sedangkan bagi Raimundo Pannkar, pluralisme ialah keberagaman yang bersifat saling menyapa, dan juga saling berhubungan yang merupakan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 109 -
IAIS Sambas lawan dari kata keseragaman yang bersifat monolitik. Pluralitas etnik, kultural, agama, dan lain-lain dimanapun di dunia ini adalah fakta yang tidak mungkin kita dapat mengingkari, karena pluralitas itu adalah hukum alam. Mengingkari pluralitas adalah mengingkari hukum alam. Yang menjadi persoalan bukan hanya pluralitas itu sendiri, tapi yang menjadi sikap kita dalam memahami pluralitas. Apakah kita menghargai, serta saling menghormati dan mengembangkan pluralitas itu? Apakah setiap orang dapat toleran terhadap sesama, serta berdampingan secara damai, dan bersahabat dengan orang lain bahkan kelompok lain yang berbeda etnik, kultural, agama dan lainnya? Apakah masing-masing kita harus membenci atau memusuhi orang lain atau kelompok lain karena orang atau kelompok itu berbeda etnik, kultur, dan agama dengan kita? Etnik atau ras sesuatu bukanlah ditentukan oleh pilihannya, melainkan ditentukan keturunannya. Apakah adil atau bermoral apabila kita membenci seseorang karena di karenakan etniknya bukan pilihannya itu berbeda dengan etnik kita. Etniknya, yang bukan pilihannya itu, berbeda dengan etnik kita? Salah satu pedoman untuk memperlakukan bertingkah laku, bersikap pada orang lain, serta perlakuan yang baik diri kita adalah baik pula bagi orang lain. Apakah kita dibenci dan dimusuhi oleh orang lain, karena etnik kita walau di antara kelompok etnik kita ada yang berbuat tidak benar, perlakuan orang tersebut adalah buruk dan tidaklah bermoral. Karena itu, apabila seseorang atau kelompok kita benci dan kita musuhi karena etnik orang tersebut ada yang berbuat tidak benar maka, perlakuan tersebut buruk dan tidak bermoral. Perbuatan yang tidak benar dan tidak adil masih tetap terjadi dimana-mana di
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dunia ini. Kebencian terhadap etnik atau ras tertentu seperti di Serbia, di Kosvo, dan di bagian belahan dunia termasuklah di Indonesia adalah tidak bermoral dan tidak pula menghargai perbedaan pluralitas etnik. Agama yang dianut oleh seseorang pada umumnya bukan ditentukan oleh pilihannya. Agama saya adalah Islam. Saya menganut Islam karena pilihan, saya keturunan, dan karena orangtua saya menganut Islam, sanak keluarga, tetangga, dan masyarakat di lingkungan saya juga dilahirkan dan dibesarkan menganut Islam. Sejak dari kecil, saya di didik secara Islam. Waktu baru lahir suara azan dikumandangkan kemudian sholat, dan membaca al-Qur’an. Saya tidak menyesal untuk menganut Islam. Sebaliknya saya rasa bangga menganut Islam, apa yang akan terjadi pada diri saya, atau apa yang saya alami, tentu juga terjadi pada atau diamali oleh banyak orang Muslim. Andaikata jika, saya dilahirkan di Israel, kedua orang tua saya Yahudi, hampir pasti saya akan jadi seorang Yahudi pula; jika saya dilahirkan di Spanyol dan kedua orangtua saya itu adalah Kristen, hampir pasti saya ini akan jadi seorang Kristen; andaikata saya dilahirkan di India dan kedua orangtua saya itu beragama Hindu, hampir saja saya akan menjadi seorang Hindu; tetapi saya lahir di Indonesia, persisnya di Semata Biangsu, Sambas Kal-Bar, kedua orangtua saya Muslim, dan saya adalah seorang Muslim. Hick, 1997:19). Karena saya dilahirkan di tempat orang-orang Sunni, tertentu adalah seorang Sunni. Sejak kecil Islam yang saya pahami adalah Islam yang mengajarkan dan Islam satu-satunya agama yang benar dan membawa keselamatan. Orang yang tidak mengerti Islam pasti akan masuk neraka.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 110 -
IAIS Sambas Dengan demikian, saya memegang sikap eks-klusivisme. Sejak akhir 2008, mungkin juga dikarenakan memperlajari agama-agama lainnya dan tasawuf, saya akan mulai meninggalkan sikap ekskluvisme dan beralih pada sikap pluralisme. Saya berdoa kepada Tuhan semoga saya selalu ditunjukan jalan yang lurus dan benar di hadapan Tuhan. Ada beberapa sebab yang dapat mengakibatkan sikap eksklusivisme itu pada seseorang. Salah satu sebab itu adalah sikap beragama yang dogmatis yang diterimanya sejak usia kecil yang mengajarkan bahwa agama yang benar dan satu-satunya agama yang nantinya membawa keselamatan. Sebab lainnya ialah suasana hidup yang terjadi dalam masyarakat terdiri atas satu kelompok agama. Orang hidup di dalam masyarakat seperti itu tidak akan pernah bergaul dengan orang lain dari kelompok yang agama lain. Terkait dengan sebab yang kedua adalah sebab ketiga, yaitu tidak pernah mengenal atau mempelajari agama lain. Sebaliknya, sikap pluralis bisa lebih mudah muncul dalam agama yang tidak dogmatis dan tidak pula terlembaga yang mengajarkan banyak jalan menuju yang absolut. Sebab lain yang akan dapat menimbulkan sikap pluralisme adalah suasana dalam hidup bergaul dengan berbagai kelompok agama yang berbeda. Sikap pluralisme bias muncul kaena pengertahuan dan pemahaman yang sebenarnya tentang agamaagama lain. Diskusi yang kita hadiri dipandang sebagai dialog antar agama atau dialog antar iman. Pelaku dialog antar agama adalah orang-orang beragama, karena itu dialog ini ialah dialog antara orangorang beragama atau dialog antar umat beragama. Pelaku-pelaku dialog antar iman adalah orang beriman karena itu, dialog ini adalah dialog antara orangorang beriman atau dialog antar umat
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 beriman. Marilah kita renungkan siapa sebenarnya pelaku-pelaku dialog. Jika setiap peserta dialog ini adalah orang eksklusif, tentu peserta lain yang tidak seagama dengannya akan dia pandang sebagai orang kafir atau orang yang tidak beriman dan akan masuk neraka. Maka dari sudut pandang peserta, yang memandang dirinya itu sebagai orang beriman, dialog yang dilakukan itu bukan dialog antara orang-orang beriman, tetapi dialog antara orangorang beriman dan orang kafir. Dapat juga dikatakan bahwa dialog itu adalah dialog antara orang-orang kafir karena masing-masing orang atau kelompok agama memandang lawan dialognya sebagai orang kafir. Dialog itu dapat disebut dialog antar orang beriman jika semua peserta adalah kaum pluralis, yang memandang bahwa semua lawan dialog mereka adalah orang beriman. Program dialog antar umat-umat beragama yang selama ini dimotori dan diperkarsai pemerintah diikutsertakan guru agama dalam proses dialog antar umat beragama. Barang kali mereka beranggapan tidaklah terlalu penting, tidak punya daya jual, terlalu rendah untuk diajak, duduk bersama berdialog mendiskusikan persoalan pluralitas di dalam agama, dianggap tidak punya terlalu banyak umat, dianggap tidak mempunyai peran yang strategis dalam mensosialisasikan ide-ide baru. Dialog antar umat beragama secara terbatas hanyalah melibatkan tokohtokoh elit yang organisasi keagamaan, fungsionaris yang berwewenang dalam lembaga-lembaga keagamaan, tokoh masyarakat yang dinilai terpandang. Sejak dari tokoh-tokoh elit agama dari kalangan ulama, bhikhu, pendeta, pastor, sampai tokoh pemuda, wanita, intelektual dan begitu pula seterusnya. Namun jarang sekali forum dialog ini melibatkan guru agama. Guru agama ini sebagai ujung tombak pendidikan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 111 -
IAIS Sambas agama, mulai TK sampai perguruan tinggi, nyaris tidak pernah tersentuh oleh arus pergumulan pemikiran dalam diskursus pada pemikiran keagamaan seputar isu pluralism dan dialog antar umat-umat beragama selama hampir 35 tahun terakhir. (Abdullah, 2005:242). Dengan demikian, di dalam mindset (pemikiran) mereka, pada umumnya masih terpanggil untuk mengajarkan agama dengan materi, cara atau metode yang sama dengan asumsi keyakinan, dasar, dan pra-respon mereka bahwa anak didik, masyarakat dan umat di luar pagar sekolah seolah-olah hidup dalam komunitas yang homogen, dan bukan heterogen secara keagamaan. Berbeda dengan anggapan umum tersebut, penulis tidaklah sepakat jika guru agama hanya dipandang dengan sebelah mata dalam forum dialog antar umat beragama. Mereka sesungguhnya adalah barisan terdepan dan ujung tombak yang masih cukup berwibawa dalam menginternalisasikan nilai-nilai bersifat keagamaan yang kondusif guna mencegah melebar serta meluasnya konflik antar umat beragama sejak di bangku sekolah. Jika saja, mereka bisa mendapatkan akses, input informasi yang akurat dan tepat tentang pelik serta kompleksnya kehidupan dalam beragama, dan di era pluralitas dalam memberikan alternasialternasi pemecahan yang menyejukan, apalagi bila mereka mampu mengemas ulang terhadap pesan-pesan dan nilainilai agama yang mereka peluk di era pluralitas, maka anak didik dari sejak dini telah diantarkan untuk memahami (bukan menegaskan perbedaan dan menolaknya) menghargai dan sekaligus untuk menghormati kepercayaan dan agama yang dianut atau dipeluk orang lain bukan membencinya. Seorang eksklusifis cenderung berusaha untuk memonopoli kebenaran, cenderung tertutup, dan tidak mau
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 men- dengarkan dan memahami orang lain, bahkan cenderung bersikap otoriter. Sikap monopoli kebenaran pada giliran-nya membuat seseorang eksklusif merasa dirinya mempunyai hak istimewa untuk menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang sesat, mana aliran yang disebut agama dan mana yang tidak di sebut dengan agama. Dan mungkin siapa akan masuk neraka. Sikap kelompok orangorang Muslim terterntu di Indonesia belum lama ini yang memandang bahwa Syi’ah sebagai sesat, karena itu tidak berhak untuk hidup. Di Indonesia adalah salah satu contoh emperis sikap monopoli kebenaran. Sikap pemerintah pada masa Orde Baru terhadap konfusinisme (agama Konghucu), bahwa agama melainkan contoh lain sikap monopoli kebenaran hak untuk menentukan apa yang disebut sebagai agama. Sikap saling mencurigai, saling membenci dan saling memusuhi antar umat beragama di Indonesia, meskipun lebih banyak ditimbulkan oleh faktor politik, tidak terlepas dari sikap ekskluvisme yang bersifat teologis. Isu saling kafirmengkafirkan antar kelompok penganut agama di luar ia anut saling murtadmemurtadkan kebenaran orang lain sebagai ancaman masih sering ditemukan di dalam praktek pendidikan agama baik secara terang-terangan maupun secara halus. Jelas sekali sedikit atau banyak bahwa sikap ini menyuruh, melukai, menyakiti, menyinggung, dan membangkitkan emosi kelompok penganut agama lain. Ungkapan-ungkapan tersebut dapat mengganggu hubungannya antar umat beragama dan memeluk agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik maka akibat saling mencurigai, saling membenci, dan saling memusuhi. Semakin memperburuk kehidupan sosial dan politik suatu
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 112 -
IAIS Sambas bangsa. Inilah yang terjadi sekarang di Indonesia. Saya akan memberikan beberapa contoh sikap saling mencurigai beragama di Indonesia. Isu Kristenisasi yang berlabel bantuan kemanusian di daerahdaerah tertentu, atau isu Negara Islam adalah contoh di antara berbagai masalah yang harus diselesaikan dengan cara dialog maka isu-isu tersebut akan tetap menjadi bom waktu pada setiap saat meledak dan menghancurkan bangunan ke Indonesia kita. Maraknya konflik dan pertikaian yang terjadi dengan mengatas namakan agama, kerusuhan tempat ibadah merupakan dari sikap keberagaman yang masih saling mencurigai antar agama yang satu dengan yang lainnya. Kontak-kontak historis masa lalu antara umat Kristen dan umat Islam yang diwarnai oleh pengalaman pahit dan memilukan meninggalkan luka dalam sulit di hilangkan. Pengalaman perang salib antar umat Kristen dan umat Islam; pengusiran umat Islam oleh Spanyol dari penguasa-penguasa Kristen; ekspansi daerah kekuasaan Islam di Semenanjung Balkan, Eropa, oleh Turki Usmani; penjajahan Belanda yang Kristen terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam perang saudara antara umat Islam dan perang Kristen di Filipina Selatan, Kristen di Bosnia, semua itu adalah pengalaman yang meninggalkan pengalaman buruk yang meninggalkan luka dalam bagi umat Kristen dan umat Islam. Orang-orang Muslim sering sekali mendapatkan kesan bahwa orang Kristen selalu hidup dengan aman dan rasa tentram di Negara mayoritas penduduknya adalah orang-orang Muslim. Indonesia adalah salah satusatunya contoh negara yang mayoritas penduduk adalah Muslim, yang sangat toleran kepada orang-orang Kristen sehingga orang-orang Kristen dapat
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 hidup dan rasa tenang dan tenteram. Orang-orang Muslim sering mendapat kesan bahwa orang-orang Muslim selalu hidup tertindas dan tersiksa oleh orangorang Kristen di Negara yang mayoritas penduduk orang-orang Kristen. Salah satu bukti yang sering disebutkan adalah penindasan orang-orang Kristen terhadap orang-orang Muslim di Filifina Selatan yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Kristen. Demikan orang-orang Kristen, Di mata orang-orang Kristen, orang-orang Muslim mempunyai citra buruk karena sikap mereka yang tidak toleran kepada orang-orang yang mendukung citra itu di Indonesia adalah kesulitan yang dialami oleh orang-orang Kristen untuk mendirikan tempat ibadah di daerahdaerah tertentu dan pembakaran atau perusakan gereja yang dilakukan oleh orang Muslim di Situbondan dan Tasikmalaya, pemboman di Gereja Solo dan Makasar. Orang-orang Muslim sering menuduh bahwa orang-orang Kristen tidak toleran terhadap orang Muslim. Begitu orang-orang Kristen sering menuduh orang-orang Muslim tidak toleran terhadap orang Kristen. Hubungannya antara komunitas keagamaan ini lebih banyak di dominasi oleh sikap-sikap saling mencurigai dan saling membenci, dan saling memusuhi. Secara jujur harus kita akui bahwa di antara orang-orang Kristen di dunia ini pasti ada yang tidak toleran terhadap orang-orang Muslim dan begitu pula di antara orang-orang Muslim pasti adayang tidak toleran terhadap orang-orang Kristen. Tetapi secara jujur pula harus kita akui bahwa banyak orang Kristen toleran dan bersahabat dengan orangorang Musim dan banyak pula orang Muslim toleran dan bersahabat dengan orang-orang Kristen.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 113 -
IAIS Sambas Pendidikan dan Transformasi dalam Masyarakat Dalam rangka persoalan yang dikemukakan di atas adalah satu kewajaran jika orang kemudian menoleh ke bidang-bidang lain sebagai langkah diversifikasi untuk menemukan kiatkiat perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud. Penilaian singkat mengenai kiatkiat legal ini bukan untuk mengatakan bahwa persoalan pluralisme keagamaan secara otomatis akan terselesaikan jika mempunyai seperangkat undang- undang yang mengatur kehidupan masyarakat agama yang beragama itu. Akan tetapi hal itu hendaknya dilihat sebagai prasyarat menimal untuk menuju ke arah yang lebih bersifat penyadaran dan permanen yang di- milikinya. Untuk itu, bidang pendidikan apalagi pendidkan agama dianggap sebagai infrastuktur yang memungkinkan. Pertama-tama karena pendidikan agama seringkali dipandang sebagai instrument perubahan, khususnya yang berhubungan dengan nilai dan sikap mental. Pendidikan agama masih di nilai sebagai infrastuktur paling memungkinkan untuk proses transformasi nilai. Kesadaran akan pentingnya kemerdekaan yang akan tumbuh di kalangan elti nasional pada dasawarsa 1920an muncul antara berkat pendidikan. Di samping itu, dalam konteks Indonesia pendidikan dalam arti sekolah memiliki dasar-dasar ideologis yang kuat untuk mencapai Indonesia yang di cita-citakan. Dengan itu, yang dimaksud adalah poinpoin penting yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 sesuatu yang oleh banyak pihak sering dianggap lebih “bermakna” dari tubuhnya sendiri. Poin penting dalam hal ini adalah salah satu tujuan utama berdirinya republik yang telah dirumuskan dengan kata-kata ”mencerdaskan kehidupan bangsa’’. (Risalah BPUPKI, 1995: 420),
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 tujuan seperti ini jelas menunjukkan betapa pentingnya soal pendidikan, persoalan yang harus dibedakan dengan sekedar pengajaran. Karena penekanan ideologis seperti ini, Indonesia pada awal kemerdekaan membuka pintu lebar-lebar atas dunia pendidikan. Meskipun dihadapkan pada kendala finansial dan fisikal yang luar biasa besarnya, pemerintah melepaskan dunia pendidikan dari stuktur sosial yang membelengu. Kalau pada masa kolonial, hanya kalangan dengan stuktur kelas sosial ekonomi tertentu sajalah yang dapat menikmati pendidikan, maka pada masa kemerdekaan khususnya setelah berlalunya masa revolusi. Dunia pendidikan dilepaskan berbagai hambatan kelas tadi. Pendidikan menjadi lebih bersifat egaliter. Pendidikan telah memberikan sumbangan luar biasa besarnya dalam proses transformasi dalam masyarakat Indonesia dalam perjalanannya selama dasawarsa lebih dari tradisional ke modern, dari agraris ke industrialis, bahkan ke gerbang warga bangsa yang mempunyai kesadaran high-tech. Inilah proses panjang yang oleh Karl Deutsch atau Daniel Lerner disebut mobilisasi sosial. (Deutsch, 2005: 267). Dalam konteks komunitas Islam, tidak terlalu berlebihan jika beberapa waktu lalu Nurcholish Madjid melihat kenyataan ini sebagai ledakan intelektual. (Deutsch, 2005: 268). Poin penting yang dapat diambil dari pernyataan tersebut di atas adalah demikian kuatnya kaitan antara pendidikan dan transformasi masyarakat Indonesia, paling tidak dari sudut perspektif meningktnya kalangan terdidik dan budaya metropolitan. Kalau pada masa awal kemerdekaan hanya kalangan tertentu yang dapat dinisabkan pada golongan seperti itu. Demikian hubungan pendidkan dengan transformasi dalam masyarakat, tidak akan pernah lepas
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 114 -
IAIS Sambas dengan penghargaan aras realitas keagamaan yang pluralitas. Saya khawatir jawaban atas pertanyaan seperti ini tidak clear benar, baik bersifar afirmatif atau negatif. Kesulitan untuk memberi jawaban yang pasti terletak pada watak atau sikap recurren problematika yang berkaitan dengan sosial pluralisme keagamaan. Fenomena pluralisme keagamaan pada suatu kesempatan menunjukan tahapan-tahapan yang menggembirakan. Pada kesempatan, yang justru muncul adalah antagonism teologis dan politik yang berkepanjangan. Dalam hubungannya dengan hal ini hampir- hampir pendidikan tidak menunjukan dirinya sebagai faktor yang ikut dalam menentukan baik atau buruknya perkembangan kehidupan pluralisme keagamaan. Dengan kata lain, baik atau buruknya perkembangan kehidupan pluralisme keagamaan ditentukan oleh hal-hal di luar dunia pendidikan, dalam hal ini yang justru nampak, khususnya pada masa Orde Baru adalah faktor politik. Sejauh mana negara mampu berperan sebagai buffer zone untuk menciptkan kenyamanan dalam beragama di satu pihak dan menghindari konflik keagamaan di pihak lain. Dalam konteks inilah bisa dipahami mengapa sampai beberapa waktu lalu pemerintah masih bisa membanggakan keharmonisan keagamaan masyarakat Indonesia pada dunia luar. Sementara itu, dewasa ini masyarakat meratapi sesungguhnya betapa rapuh dasar-dasar keharmonisan dalam kehidupan keagamaan kita. Atas dasar itu kita dapat mengajukan pertanyaan mengapa keterkaitan antara pendidikan dengan penghargaan atas pluralisme pluralisme agama tidak sekuat keterkaitan dengan transformasi dalam masyarakat. Jawaban pintas dari pertanyaan di atas adalah bahwa pendidikan telah direduksi menjadi sekdedar pengajaran.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Di sini yang lebih menonjol adalah halhal yang bersifat kognitif, penguasaan terhadap subjek akademik, bukan pengembangan watak anak didik tentang bagaimana bersikap terhadap realitas lingkungan yang secara keagamaan bersifat pluralistik. (Raharjo, 1997:125). Meskipun banyak lembaga pendidikan keagamaan untuk mengajar kan pendidikan keagamaan mengajarkan ilmu agama, hal itu hanya pada pemahaman kognitif saja. Dalam konteks itulah, anak didik mengetahui misalnya mengenai konsep ketuhanan mengenai masing-masing agama, dan dengan seluruh keberagaman. Akan tetapi, mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap di luar dalam displin akademik tadi. Padahal kehidupan mereka lebih banyak dibentuk dan di pengaruhi oleh pemahaman-pemahaman terhadap keagamaan mereka sendiri secara teologis dan akademik tidak begitu relevan dengan penciptaan akan kesadaran anak didik mengenai pluralisme keagamaan. Bahkan tidak jarang dunia pendidikan justru menyumbang persoalan yang dapat mengakibatkan memperuncing kerukunan kehidupan antar umat beragama. Dalam hal ini, yang amat menonjol adalah soal wajib-tidaknya pendidikan agama diberikan disekolah oleh siapa dan berapa lama. Pada masa sebelum Orde Baru kehadiran pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri maupun swasta bersifat sukarela. Hal ini terjadi karena disebabkan kejengkelan terhadap ateisme, komunisme di satu pihak, dan keinginan publik agar nilainilai agama juga disosialisasikan sejak dini melalui lembaga-lembaga pendidikan. Sejak awal Orde Baru pendidikan agama menjadi mata pelajaran yang wajib diberikan. Meskipun demikian, peraturan itu tidak cukup compulsive, seakan-akan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 115 -
IAIS Sambas tidak mempunyai konsekuensi hukum yang tegas, sehingga pendidikan agama benar-benar menjadi mata pelajaran yang diberikan di sekolah seringkali karena pertimbangan-pertimbangan teologis atau politis tertentu, lembagalembaga pendidikan swasta merasa tidak begitu compulsive untuk memberikan pendidikan agama kepada anak didik sesuai dengan agama yang dianutnya. Inilah kemungkinan yang ikut memicu ketegangaan hubungan antar umat beragama. Baru pada tahun 1989 dan pada tahun 2003 pemerintahkan menggulirkan undang-undang tentang sistem pendidikan nasional. Di satu sisi secara eksplisit diakui peran pengajaran agama yang diajarkan dan dianut oleh siswa dalam mengikuti pelajaran ter tentu. Kendatipun pengaturan legal seperti ini telah di sahkan tetap saja protes dan penolakan dari kalangan agama tertentu bermunculan sesuatu yang menunjukan watak eksklusif, partikular, dan primordialisme pemeluk agama. Ini semua menunjukan bahwa di bidang pendidikan agama, toleransi masyarakat beragama tidak cukup tebal. Padahal dalam stuktur yang tidak terlalu ketat, masyarakat. Indonesia yang heterogen diikat oleh sebuah world view yang dijadikan kesepakatan bersama, yaitu sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam rumusan yang bisa memberikan konsekuensi legal mereka. Kementrian Agama, sejak Alamsyah Ratu Perwira negara, menggulirkan “Tri Kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan umat beragama dengan pihak pemerintah. (Abdillah, 2000: 340). Dalam situasi dimana Negara kuat, langkah-langkah di atas telah memberikan kontribusi yang cukup berarti dalam hal kerukunan antar umat beragama. Pada periode ini terutama masa Orde Baru, konflik terhadap keagamaan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 tidak muncul di permukaan dalam keagamaan bentuk yang vulgar. Jangankan kerusuhan keagamaan dalam bentuk fisik. Perdebatan panjang yang bersifat polemis dan apologetic pun tidak tampak begitu kewenganan Pemerintah Orde Baru tertancap dalam. Penomena inilah yang akan melahirkan penilaian begitu harmonisnya hubungan antar umat beragama di Indonesia. Sesuatu yang ingin di tonjolkan di Dunia Internasioonal. Meskipun demikian, menyadar kan keharmonian kehidupan antar umat beragama pada posisi kuatnya negara, merupakan hal yang tanpa resiko. Kemungkinan karena inilah, dicari sejumlah faktor komplementer yang bersifat “non-negara” yang dipandang dapat memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi pengembangan kehidupan kerukunan antar umat ber agama. Dalam konteks Maluku misal nya hukum ada pela gandong disebut-sebut sebagai salah satu faktor dominan. (Husein, 2007: 151-153). Walaupun demikian dalam pandangan sejumlah orang, dalam situasi di mana Negara kita yang sebenarnya berkembang adalah pluralisme keagamaan yang bersifat negative. Artinya di hadapan orang dengan latar belakang agama yang berbeda. Seseorang tidak boleh memperlihatkan semangat keagaman sendiri. Inilah, seperti sering dikeluhkan orang pada dasawarsa 1980 sampai 1990-an tampak dalam berbagai materi pelajaran di sekolah-sekolah dasar dan menengah. Dalam konteks ini yang muncul adalah apa yang disebut Kontowijoyo dengan “toleransi negative”. Demikianlah, maka ketika struktur yang menyangga kewenangan dan legi timasi pemerintah Orde Baru rontok, tidak ada lagi wilayah maka ketika struktur yang menyangga kewenangan dan legitimasi pemerintah Orde Baru rontok, tidak ada lagi wilayah penyangga
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 116 -
IAIS Sambas (buffer zone) yang selama tiga deswarsa lebih menahan antargonisme antar umat beragama untuk muncul dalam bentuk yang amat vulgar. Sentiment primordialisme keagamaan yang sama sekali tidak terkendali, pada sebagian masyarakat tealah memberi kontriusi yang cukup bagi lahirnya sejumlah konflik, termasuk di Jawa Timur, Maluku, dan Kalimantan Tengah. (Hamim, 2007: 151-153). Bahwa apa saja yang secara pasti menyebabkan beberapa wilayah bergejolak setelah pemerintah Orde Baru lumpuh merupakan sesuatu yang dapat diperdebatkan. Akan tetapi, opini publik yang membawa-bawa agama sebagai salah satu faktor menunjukan betapa rentannya kesadaran masyarakat ter hadap realitas pluralisme keagamaan. Pendidikan Agama: Kelemahan dan Usulan Pemecahannya Masyarakat majemuk memang di katakana rawan konflik. Dalam masyarakat majemuk dapat pula berlangsung terus-menerus di setiap tempat dan waktu. Konflik bersumber pada perbedaan-perbedaan, dan setiap hal itu pasti dalam mempertahankan eksistensi nya. Apabila setiap ingin mempertahankan eksistensinya berarti ikut memperjuangkan kepentingan agar tetap eksis dan diakui keberadaannya. Hal inilah apabila setiap pihak yang ingin menimbulkan kerawanan, kerusuhan, serta kekerasan. Munculnya banyak kerusuhan dan kekerasan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir yang terjadi akibat sentiment keagamaan patut mengundangkan atau mendatangkan gugatan terhadap ketidakberdayaan dalam hal ini khususnya pendidikan agama. Apa yang salah dengan sistem pendidikan di Inddonesia selama ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan “pendidikan”
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dan “pengajaran”. Pendidikan lebih dari sekadar pengajaran. Pengajaran dapat dikatakan sebagai proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai-nilai kepada anak didik dan pembentukan kepribadiannya dengan segala aspek yang dicakupannya. Pengajaran akan lebih berorientasi pada pembentukan “tukang-tukang’’ atau para spesialis yang sempit, karena itu perhatian dan minat nya lebih bersifat teknis.. Azyumardi Azra pemikir Muslim, seorang pemikir Muslim Indonesia dewasa ini menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan antara pendidika dan peajaran terletak pada penekanan terhadap pembentukan kesadaran serta keperibadian anak didik di samping transfer ilmu dan keahlian. Dengan proses seperti ini, suatu Bangsa atau Negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasi muda nya sehingga mereka betul-betul siap dalam menyongsong kehidupan di masa yang akan datang. (Azra, 1999: 4). Dengan demikian, pendidikan memiliki arti “pembimbingan” dan “pengajaran” sekaligus pendidikan mengandung keduanya hanya yang terakhir. Maka pendidikan dapat pula diartikan sebagai proses pertimbangan manusia seutuhnya; kalbu; dan akal; rohani; dan jasmani; akhlak; serta keterampilan. Pendidikan dan totalitasnya dalam arti ini meliputi semua jenis-jenis pendidikan formal maupun informal. (Harry R.Case dan Richard O. Nichoff, 1976). Kegagalan sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini tampaknya terletak pada kenyataannya lebih mementingkan output daripada proses. Kalaupun ada proses tidak lebih dari pengajaran. Pendidikan yang berlangsung di negeri ini lebih menekankan proses transfer ilmu dan keahlian; dan proses ini pun jauh dari pencapaian yang memadai.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 117 -
IAIS Sambas Pendidikan di Indonesia selama ini lebih mementingkan proses peningkatan kualitas qalbu, rohani, dan akhlak. Akibatnya adalah bahwa kerusakan akhlak anak didik tidak dapat dihindari. Peristiwa-peristiwa kriminal dan amoral di tanah air kita meningkat, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Kegagalan sistem pendidikan seperti ini terletak pada kegagalan sistem pendidikan humaniora, yang meliputi agama, filsafat, bahasa, dan sastra, seni, dan sebagainya. Wilayah humaniora memang termasuk dalam ruang lingkup sistem pendidikan kita, tetapi wilayah ini hanya sebagai “pelengkap” karena dianggap tidak menjamin masa depan anak didik secara material. Humaniora telah menjadi bidang yang ditempatkan pada “kelas dua” oleh masyarakat kita yang memang telah dijakiti penyakit konsumerisme yang berorientasi pada kehidupan serba materialitas. Padahal pendidikan humaniora lebih menekan kan proses pembinaan kalbu, rohani, dan akhlak ketimbang pembinaan akal, jasmani, dan keterampilan yang berada dalam ruang lingkup non humaniora. Pendidikan agama sebagai bagian terpenting dalam pendidikan humaniora tidak lebih sekedar pelengkap kurikulum, atau meminjam ungkapan Soejatmoko, salah seorang cendekiawan Indonesia dengan reputasi Internasional, hiasan kurikulum belaka. Inilah salah satu kekeliruan sistem pendidikan kita, yang dipengaruhi oleh sistem pendidikan Barat yang sekuler. Ketidakberdayaan sistem pendidikan di Indonesia, sebagai dari sistem pendidikan nasional kita secara keseluruhannya, tampaknya disebabkan penekanan pendidikan agama selama ini pada proses transfer ilmu agama kepada anak didik, bukan pada proses transformasi nilai-nilai luhur keagamaan kepada anak didik dalam upaya membimbingnya. Nilai-nilai luhur keagamaan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 kepada anak didik untuk membim- bimbingnya agar menjadi manusia yang berkepribadian kuat dan berakhlak mulia. Proses yang lebih banyak berlangsung dalam pendidikan agama selama ini adalah pengajaran agama, yang banyak ditemukan sekolah-sekolah adalah pengajar agama, untuk guru agama. Apa yang di sampaikan pengajar adalah untuk di pikirkan dan di pahami tetapi apa yang di sampaikan guru adalah untuk di dengar, di hayati, dan di amalkan. Apabila pendidika agama diharapkan dapat memenuhi fungsnya, maka pendidikan agama harus mampu melakukan proses transformasi nilainila keagamaan kepada anak didik. Setiap pendidik agama harus bertindak sebagai guru yang sekaligus harus mampu berperan sebagaai teladan yang baik bagi anak didiknya agar tugasnya sebagai pendidik dapat berhasi. Pendidikan agama mempunyai tempat sangat penting dan strategis dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhan karena pendidikan agama pada intinya adalah pendidikan akhlak. Patut kita menyimak apa yang diungkapkan oleh Soejatmoko tentang tugas khusus pendidikan agama usaha pembangunan bangsa. Ia mengakui bahwa sudah menjadi tugas semua pendidikan adalah membina manusia susila, yang berakhlak mulia. Tetapi, pendidikan agama alam suatu perubahan sosial mempunyai tugas khusus dalam arti membina anak didik untuk berkelakuan yang benar dalam situasi yang tidak menentu patokan-patokan moralnya. Karena perubahan atau kehancuran strukturstruktur sosial lama, dan timbulnya keadaan-keadaan baru, maka lebih dulu kita memerlukan manusia yang memiliki keberanian hidup, yang bersedia dan mampu berdiri di atas kaki sendiri, mencari nafkah sendiri dan tidak menggantungkan nasibnya kepada pemerintah atau birokrasi-birokrasi
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 118 -
IAIS Sambas besar. Imanlah yang dapat memberikan kepada manusia keberanian dan kemampuan moral untuk menolak peluangpeluang yang gampang tapi tidak becus, meskipun kelihatannya aman dan diambil banyak orang, untuk mengambil jalan lurus, betapa pun sulitnya jalan itu. Sebenarnya, dalam sistem pendidikan agama di Indonesia memang telah lama berjalan. (Soedjatmoko, 1984: 272). Dalam sistem pendidikan di Pesanren di Indonesia, sikap keberanian hidup dan tetap mengambil jalan yang lurus masih tetap terpupuk. Tetapi dalam sistem pendidikan lain di luar pesantren, sikap seperti ini kurang mendapat perhatian. Pendidikan agama dalam memenuhi fungsinya untuk membina kepribadian yang kuat dan akhlak luhur anak didik harus bisa menghubung-kan nilai-nilai normatif yang bersifat abstrak yang diterima anak didik dengan kenataan sosial yang ada. Dengan, para anak didik aka terdorong untuk bersikap kritis dan kreatif ddalam menghadapi kenyataan-kenyataan sosial tadi. Jika pendidikan agama dapat memenuhi fungsi ini, maka pendidikan agama dapat memberikan suatu sumbangan dan pemupukan sikap toleransi antar umat beragama serta penigkatan kerja sama antar umat beragama dalam menghadapi masalah sosial yang di Indonesia. Pendidikan agama dapat memenuhi fungsinya, apabila ia mampu menggerakan para anak didik untuk belajar mengamalkan ajaran-ajaran agama yang mereka terima dalam kehidupan seharihari. Pendidikan agama yang hanya menekankan hafalan kaidah-kaidah keagamaan dalam bentuk yang abstrak-stril kurang mempunyai relevansi dengan usaha dalam mengelola perubahan sosial melalui berbagai usaha pembangunan dan untuk membina anak didik dalam
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 menghadapai masa peralihan secara positif dengan manusia susila. Soedjatmoko, 1984: 272). Disamping itu pula, pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu serta kelompoknya sendiri menjadikan anak didik akan kurang begitu sensitive atau tidak begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang dialami oleh sesama yang secara kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang telah tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama lawan secara aqiqah. Agak sulit membayangkan bekal apa yang dapat diberikan dan diperoleh anak didik tentang bagaimana, secara sosial dan sekaligus secara agama mereka dapat mengatasi persoalan pluralitas keagamaan dalam kehidupan yang nyata di tengah kehidupan masyrakat, jika standar point-point masing masing pengikut agama seperti terurai di atas. Praktek di lapanga, memperlihatkan bahwa pendidikan dan pembelajaran agama pada umumnya, sehingga saat ini masih lebih menekankan pada sisi keselamatan indivdu dan kelompok sendiri, tanpa mengabaikan keselamatan yang dimiliki dan di dambakan oleh orang lain dan kelompok sendiri. Pendidikan agama tidak dapat dan tidak boleh berjalan sendiri, harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non-agama baik, di sekolah umum maupun sekolah-sekolah keagamaan. Ada dua alasan mendasari prinsip ini. Pertama, alasan fundamental bahwa setiap program pendidikan selama program itu pantas disebut program pendidikan pada akhirnya bertujuan dalam membentuk manusia susila, serta manusia-manusia berakhlak.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 119 -
IAIS Sambas Kedua, alasan prakmatis terkait dengan kemampuan untuk menilai kenyataan sosial secara normatif bahwa kemampuan untuk memikirkan cara-cara yang dapat di tempuh dalam upaya memperbaiki suatu keadaan, akan lebih cepat dan lebih mudah dibina apabila ada suatu ata semacam interaksi antara program pendidikan agama. Apabila kerja sama atau sinkronisasi semacam ini apabila tidak diusahakan dikhawatirkan bahwa pendidikan agama terutama di sekolah-sekolah umum akan menjadi “hiasan kurikulum” semata. Artinya, dalam hal ini kehadirannya dalam kurikulum hanyalah untuk menemukan keinginan kelompok kaum agama saja. Dan untuk membantu dalam membina suatu generasi yang lebih bisa atau mampu daripada generasi kita dalam perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat kita. Kelemahan lain sistem dari sistem pendidikan agama di Indonesia selama ini tampaknya terketak kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral misalnya kasih sayang, cinta, tolong-me nolong, toleransi, tenggang rasa, serta menghormati perbedaan pendapat dan kepercayaan keagamaan, serta sikap lain yang mampu menciptakan dan mendukung hubungan harmonis antara sesama manusia, meskipun berbeda etnik, agama dan kebudayaan. Tanpa mengabaikan nilai-nilai teologis, seperti iman, tauhid, dan jihad, nilai-nilai moral dapat menciptakan hubugnan harmonis ini perlu di tekankan melalui pendidikan agama seperti ini akan lebih mudah ditanam kan kepada anak didik jika mereka mengenal para anak didik lain dari agama, etnik, dan budaya yang ber-beda. Agar para anak didik dari berbagai latar belakang itu dapat saling mengenal dan pada gilirannya saling menghargai, bersahabat bahkan dapat bekerja sama, maka perlu dilakukan usaha-usaha ke arah itu,
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 misalnya saling berkunjung antar sekolah, berkemah bersama, dan melaksanakan kegiatan dalam bidang-bidang olahraga. Sikap menghargai agama-agama lain atau para penganut agama lain mungkin dapat ditumbuhkan pada peserta didik melalui pelajaran perbandingan agama, yang diberikan kepada mereka di sekolah umum maupun di sekolah agama. Mata pelajaran ini sebaiknya diberikan di sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas (SMA/SMK/MA), di Perguruan Tinggi baik Perguruan Negeri maupun Swasta. Pada awal bagian awal tahun 1980-an pernah muncul usul supaya pemerintah memasukan mata pelajaran ini ke dalam kurikulum sekolah menengah tingkat atas. Usul itu di protes oleh orang-orang Muslim karena pelajaran ini dianggap dapat merusak dan melemahkan iman para anak didik. Protes tersebut memang berbeda dengan Dunia Barat. Pada umumnya para orang tua tidak keberatan apabila anak-anak mereka mempelajari agama orang lain. (Nashir, 1997: 25). Mata pelajaran perbandingan agama yang sering disebut dengan sejarah agama-agama, ilmu agama-agama, studi agama-agama femenologi agama, dalam sistem pendidikan di Indonesia dan saya kira juga di Negara lain harus diberikan setelah para anak didik mempunyai pengetahuan yang sesuai dan memadai tentang agama mereka sendiri. Itulah alasan mengapa mata pelajaran ini diberikan kepada para anak didik di sekolah menengah atas, setelah mereka mempelajari agama mereka sendiri di sekolah tingkat dasr (SD), dan tingkat menengah (SMP). Salah satu aspek yang perlu ditekankan dalam mengajarkan perbandingan agama adalah pendekatan yang digunakan. Agama-agama lain dapat dipahami dengan benar oleh para anak didik dan juga oleh guru-guru. Apabila
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 120 -
IAIS Sambas pendekatan yang digunakan dalam memperlajari agama-agama itu adalah pendekatan simantik, seperti pendekatan femenologis, dan pendekatan dialogis, bukan melalui pendekatan apologetis dan polemis yang memojokan agama lain. Pendekatan apologetis maupun polemis harus dihindari karena pendekatan semacam ini tidak mendatangkan pemahaman yang benar tentang agamaagama lain tetapi justru akan menimbulkan kesalahpahaman tentang agamaagama yang dipelajari itu. Pemahaman yang benar tentang agama-agama lain dapat menumuhkan sikap menghargai agama-agama tersebut. Sebaliknya, pada satu pihak kesalahpahaman tentang agama-agama lain dapat menimbulkan sikap benci dan saling memusuhi agama-agama lain itu dan pada para penganutnya, karena, serba negatif tentang agama-agama itu; dan pada pihak lain, kesalah pahaman itu dapat pula menimbulkan kemarahan dan protes dari para penganut agamaaagama mereka. Agama-agama mereka direndahkan bahkan di jelek-jelekan. Sistem pendidikan agama yang mengajarkan mengenai perbandingan agama dengan apologetic dan polemis, biasanya didorong oleh sikap teologis yang ekslusif dan primordial, jelas tidak relevan dengan penciptaan kesadaran para anak didik untuk bersikap dan menghargai pluralisme keagamaan. Bahkan sisitem pendidikan agama semacam itu sedikit atau banyak justru turut menyumbangkan sikap kebencian dan permusuhan antar agama. Para anak didik dalam mempelajari agama-agama lain harus diperhatikan oleh seseorang guru agama agar iman dan identitas mereka sendiri dan pada gilirannya mereka dapat menghargai agama-agama itu oleh para penganutnya dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama-agama mereka
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 sendiri dan menjaga identitas keagamaan mereka. Guru dalam pendidikan adalah kunci keberhasilan dalam pembelajaran dan menanamkan nilai luhur kepada anak didik atau dengan kata lain guru sebagai luhur kepada anak didik, atau dengan kata lain guru sebagai fasilitator yang menjembatani kurikulum dan anak didiknya. Guru adalah yang bisa ditiru dan digugu, yang mengandung arti guru harus mampu memberi teladan. Tugas sebetulnya tidak hanya sebagai penyalur ilmu dan pengatahuan tetapi juga mampu menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, apalagi di lingkungan sekolah. Guru jangan mengajar tentang agama dengan gaya yang kadangkadang cenderung mengindoktrinisasi tetap guru dapat memberi pelajaran agama dalam semangat religuitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Kegagalan proses pendidikan terutama pendidikan agama juga terletak pada anak didik. Mereka kadang-kadang diberi pemahaman yang tidak jelas. Seringkali pemahaman tentang nilai akhlak yang baik tanpa menghubungkan dengan kehidupan keseharian meeka berada. Dan pendidikan agama selama ini lebih menekankan pada tugas dan peran individu dalam komunitas ketimbang nilai-nilai pendidikan yang dapat memanusiakan manusia. Artinya setiap individu atau manusia mempunyai tugas dalam komunitaas untuk memberdayakan orang lain agar dapat bertahan hidup seperti, menolong orang lain untuk menjaga dirinya sendiri. Inilah tantangan bagi guru agama. Pendidikan agama tidak pernah di hubungkan dengan pengetahuan lainnya. Justru sebaliknya pelajaran agama diperten-tangkan dengan ilmu lain. Untuk itu, ilmu lain dianggap musuh dari pelajaran agama, atau sebaliknya pelajaran lainnya seperti pelajaran
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 121 -
IAIS Sambas lainnya tidak pernah membicarakan dengan melibatkan nilai-nilai agama di dalam. SIMPULAN Pluralisme sebagai sikap yang mengakui dan menghargai keadaan yang plural secara etnis, kebudayaan, dan agama. Ketiga hal tersebut sangat di perlukan untuk menciptakan sekaligus memelihara kerukunan antar umat beragama. Karena itu sikap ini harus di tumbuhkan pada diri generasi muda bangsa kita. Pluralisme di Indonesia akhir-akhir ini di guncang dan di uji oleh berbagai kerusuhan dan kekerasan yang melibatkan sentiment keagamaan. Munculnya banyak kerusuhan dan kekerasan di Negara kita adalah di sebabkan ketidakberdayaan serta gagalnya sistem pendidikan khususnya pendidikan agama. Kegagalan pendidikan agama selama ini disebabkan disebabkan empat faktor diantaranya: pertama, penekanan pada proses transfer ilmu agama ketimbang proses nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka atau sebagai pelengkaap yang di pandang sebelah mata; ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman, seperti cinta kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai, dan toleransi, dan keempat, ku-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 rangknya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain. Pendidikan agama akan dapat memenuhi fungsinya dan sekaligus dapat memenuhi fungsinya sekaligus dapat memberikan sumbangan untuk menumbuhkan sikap menghargai pluralisme dan pluralitas apabila ia: Pertama, mampu melakukan transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, mampu menjadikan pendidikan agama sebagai suaut program pendidikan yang dirasa kan penting dalam sistem pendidikan nasional; ketiga, mampu menanamkan nilai moral yang mendukung kerukunan antar umat beragama seperti, nilai-nilai sebagaimana tersebut di atas; dan keempat, memberikan perhatian yang memadai untuk mempelajari agama lain.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 122 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi, 1999, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos. Azra, Azyumardi dan Saiful Umam (eds). 2000. Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, Jakarta: Balitbang Depag bekerja sama dengan PPIM-IAIN Jakarta. Amin Abdullah, M., “Pengajaran Kalam dan Teologi dalam Era Kamajemukan di Indonesia”, dalam Th. Sumartana dkk. 2005. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Interfedei. Atho Mudzhar H.M, dkk. 2004. Damai di Dunia Damai Untuk Semua: Perspektif Berbagai Agama, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Departeman Agama RI. Effendy, Bachtiar. 2005, Menumbuhkan Sikap Menghargai Pluralisme Keagamaan, (Yogyakarta: Interfedei. Hamim, Thoh, dkk, 2007. Resolusi konflik Islam Indonesia. Surabaya: LSAS dan IAIN Sunan Ampel. I Made Titib dkk, 2004, Damai di Dunia Damai Untuk Semua: Perspektif Berbagai Agama, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Departeman Agama RI, 2004. Kamil. 2011. Pluralisme Agama dan Resolusi Konflik: Kontribusi TH. Sumartana bagi Resolusi Konflik di Maluku, Jakarta: Sedaun. Machasin dkk. 2005. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfedei. Nashir, Haedar. 1997. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Raharjo, M. Dawam (eds). 1997.Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional: Menjawab Tantangan Kualitas Sumber Daya Manusia Abad 21, Jakarta: Internasa. Shihab, Alwi. 2001. Islam inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan. Sunjangi (eds). 2005. Profil Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Balitbang Depag. Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 123 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Soedjatmoko, 2004, Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LP3S.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 124 -
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DENGAN PENDEKATAN TEMATIS DI SMA NEGERI 2 SAMBAS Eni Dewi Kurniawati*
ABSTRAK Pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra dengan pendekatan tematis dengan mengangkat masalah yang terjadi di sekitar siswa sebagai tema. Hal itu sesuai dengan kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah. Tema bukanlah pokok bahasan atau tujuan pembelajaran, tetapi sebagai payung mencapai kompetensi. Penelitian ini bertujuan:1) merumuskan kebutuhan bahan ajar menurut guru dan siswa; 2) mengembangkan prototype menjadi bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan tematis di SMA; 3) mengetahui keefektifan bahan ajar yang dikembangkan; dan 4) mengetahui kelayakan bahan ajar yang dikembangkan. Metode penelitian pengembangan (Researh and Development/R&D) digunakan dalam penelitian ini untuk menghasilkan bahan ajar. Tahap penelitian mencakup: 1) pendahuluan, yakni: studi eksplorasi dan literatur: 2) pengembangan, yakni: analisis bahan ajar, desain prototype, dan pengembangan; 3) evaluasi, yakni: menguji keefektifan dan kelayakan bahan ajar tematis. Hasil yang diperoleh: 1) bahan ajar menurut guru dan siswa, 2) mengembangkan prototype menjadi bahan ajar; 3) hasil uji keefektifan dengan uji-t nonindependen menunjukkan bahan ajar tematis efaktif; dan 4) hasil kelayakan pengembangan bahan ajar tematis dinyatakan baik dengan penilaian kelayakan isi/materi 77,92%, kebahasaan 73,40%, penyajian materi 77,92%, dan grafika 70.
KATA KUNCI: Bahan Ajar, Bahasa dan Sastra, Tematik
*
Dosen Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas Telp.(0562)391553, HP.082149326930, E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas
PENDAHULUAN Pemberlakuan kurikulum dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian sekolah sesuai dinamika kehidupan, dikaitkan dengan isu-isu lokal, regional, dan global agar siswa mempunyai wawasan luas dalam memahami dan menanggapi berbagai macam situasi kehidupan. Hal tersebut dipertegas dalam kurikulum yang memberikan kebebasan kepada sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan: (1) kondisi lingkungan sekolah; (2) kemampuan peserta didik; (3) sumber belajar yang tersedia; dan (4) kekhasan daerah yang dapat melibatkan orang tua siswa dan masyarakat. Hal senada dikemukakan Semiawan (2003:571) mengatakan bahwa ”Pendidikan bersifat resiprok, artinya pengaruh pendidikan terhadap ling-kungan sekitarnya bersifat timbal balik”. Dengan demikian apa yang terjadi di sekolah tidak terlepas dari masyarakat dan berbagai kebijakan yang dikembangkan pada suprastruktur yang berlaku. Diitemukan bahwa pengajaran bahasa Indonesia telah menyimpang jauh dari misi sebe-narnya. Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk about the la-nguage) dari pada melatih menggu-nakan bahasa (using language). Dengan kata lain, yang ditekankan adalah pe-nguasaan tentang bahasa (form-focus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tatabahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia nyata (Nurhadi, 2000:23). Selanjutnya, perlu diingat bahwa pengajaran bahasa Indonesia diarahkan sebagai sarana pengembangan kemampuan berbahasa yang menjadikan siswa mandiri sepanjang hayat, kreatif, dan mampu memecahkan masalah dengan cara menggunakan kemampuan berbahasa Indonesia.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Materi keterampilan berbahasa dan pengalaman bersastra masih berorientasi pada pengetahuan bahasa, bukan pada proses pembelajaran. Hal senada dipertegas Waluyo (dalam Suara Merdeka, 19 Oktober 2002) bahwa pembelajaran bahasa Indonesia masih sering diberikan secara teoretis yang mengakibatkan performance bahasa siswa kurang. Teori-teori kebahasaaan dan kesastraan lebih ba-nyak diceramahkan guru di depan kelas. Pendidikan di Kabupaten Sambas, khusus SMA Negeri 2 Sambas masih dihadapkan pada 4 hal yang menjadi kendala dalam peningkatan mutu pendidikan, yakni: (1) keterbatasan tenaga guru dan TU; (2) belum meratanya penyebaran guru; (3) kurangnya profesionalitas guru; dan (4) berbagai fasilitas kegiatan belajar mengajar yang belum memenuhi standar, khususnya masih minimnya pengadaan buku ajar bahasa Indonesia yang relevan dengan kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah sesuai dengan tuntutan kurikulum. Pembelajaran bahasa Indonesia perlu mempertimbangkan ”keterpaduan” dengan memperlakukan bahasa sebagai suatu keutuhan, bukan kepingkepingan yang berdiri sendiri. Kegiatan membaca tidak disajikan hanya sebagai pengembangan keterampilan membaca, tetapi dikaitkan menulis, mendengar, dan berbicara. Untuk itu, diperlukan tema yang sesuai dengan kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah. Hal itu dapat dilakukan dengan mengangkat isu-isu yang terjadi disekitar siswa sebagai tema pembelajaran, agar pengajaran disajikan secara terpadu. Tema dalam KTSP bukanlah pokok bahasan/tujuan pembelajaran, tetapi sebagai payung atau media untuk mencapai kompetensi (BSNP Depdiknas, 2007: iv). Tema berfungsi sebagai pemersatu kegiatan berbahasa dan bersastra. Pemilihan te-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 127 -
IAIS Sambas ma yang tepat diharapkan akan membantu kelancaran pembelajaran agar lebih baik dan cepat dalam meningkat prestasi belajar, khususnya 4 aspek keterampilan berbahasa. Selanjutnya, dipilih 3 tema yang menjadi prioritas yakni tema: (1) kemanusiaan (trafficking); (2) lingkungan; dan (3) kesehatan (gizi buruk). Dipilihnya tema itu sesuai kebutuhan siswa, sekolah dan daerah. Karena merupakan isu lokal, regional, dan global yang hangat diberitakan berbagai media. Trafficking merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Kasus tersebut semakin mencuat diangkat dari tingkat lokal hingga menjadi isu besar yang menarik perhatian Nasional dan Internasional (global). Untuk mengatasi kasus trafficking sangat sulit karena sistem kerjanya sudah merupakan jaringan atau sindikat kejahatan Internasional. Masalah lingkungan tak kalah menarik sebagai sumber bahan ajar tematis, seperti masalah: Penambangan emas tanpa izin (PETI) atau illegal maining, illegal logging, pembakaran hutan, rumah walet, banjir, pencemaran sungai, dan kabut asap. Selanjutnya, kesehatan (gizi buruk) diangkat sebagai tema karena santernya masalah tersebut, hal itu disebabkan: (1) kemiskinan sehingga asupan gizi pada anak semakin berkurang; (2) pola asuh dan pola hidup yang tidak sehat; (3) kurangnya kesadaran menjaga lingkungan; dan (4) minimnya pengetahuan tentang gizi. Pemda Sambas talah mencanangkan Gerakan Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi), Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dan pembentukan Tim Pangan dan Gizi (TPG). Kegiatan itu dilakukan untuk mengatasi masalah pangan dan gizi. Namun usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang mengembirakan. Hal
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 itu terbukti dengan bertambahnya penderita gizi buruk dari 1304 pada tahun 2005 menjadi 1331 di tahun 2007. Ketiga tema itu menarik dan merupakan realita permasalahan yang terjadi di Sambas dan sangat berpotensi sebagai sumber menyusun pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia SMA. Tema tersebut dapat memotivasi siswa dan menumbuhkan sikap empati dan peduli terhadap lingkungan sosial yang terjadi disekitarnya. Karena siswa SMA dianggap sebagai kelompok yang masih mencari jati diri, penuh emosi, dan idealisme yang tinggi agar dapat mengkonsentrasikan diri untuk berlatih mengatasi dan mencari solusi berbagai masalah disekitarnya. Sesuai dengan paparan di atas, masalah yang dikaji yakni: (1) bagaimanakah kebutuhan bahan ajar menurut guru dan siswa?; (2) bagaimanakah mengembangan prototype menjadi bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan tematis di SMA?; (3) apakah bahan ajar yang dikembangkan efektif?; dan (4) bagaimanakah kelayakan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan tematis di SMA? Sejalan dengan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini: (1) merumuskan kebutuhan bahan ajar menurut guru dan siswa; (2) mengembangkan prototype menjadi bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan tematis di SMA; (3) mengetahui keefektifan bahan ajar yang dikembangkan; dan (4) mengetahui kelayakan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan tematis di SMA. Menjawab permasalahan di atas, diuraikan kajian teori tentang pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dan kajian teori tentang pendekatan tematis. Pengembangan bahan ajar dilakukan dengan menganalisis kurikulum yang berlaku, memetakan kompetensi
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 128 -
IAIS Sambas dasar, menyusun silabus, dan penyusunan pengembangan bahan ajar. Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Bahan yang dimaksud dapat berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis (National Center for Vocational Education Research Ltd/-National Center for Competency Based Training) (dalam Majid, 2007:174). “Bahan ajar merupakan seperangkat materi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompe-tensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran” (Depdiknas, 2008:10). Hal senada dikemukakan Salam (2007:2-3). Bahan ajar adalah seperangkat materi pelajaran yang dapat membantu tercapainya tujuan kurikulum yang disusun secara sistematis dan utuh sehingga tercipta lingkungan belajar yang menyenangkan, memudahkan siswa belajar, dan guru mengajar. Menurut Depdiknas (2008:10) tujuan penyusunan bahan ajar, yakni: (1) menyediakan bahan ajar yang seseuai dengan tuntutan kurikulum dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah; (2) membantu siswa dalam memperoleh alternatif bahan ajar; dan (3) memudahkan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Penulisan bahan ajar bermanfaat untuk: (1) membantu guru dalam proses pembelajaran; (2) memudahkan penyajian materi di kelas; (3) membimbing siswa belajar dalam waktu yang lebih banyak; (4) siswa tidak tergantung kepada guru sebagai satu-satunya sumber informasi; dan (5) dapat menumbuhkan motivasi siswa untuk
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 mengembangkan diri dalam mencerna dan memahami pelajaran. Selanjutnya apabila guru mengembangkan bahan ajar sendiri, manfaat yang dapat diperoleh: (1) diperoleh bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, sekolah dan daerah; (2) tidak perlu tergantung pada buku teks; (3) bahan ajar menjadi lebih kaya karena dikembangkan dengan berbagai referensi; (4) menambah khasanah guru dalam menulis; (5) membangun komunikasi pembelajaran efektif antara guru dan siswa; dan (6) siswa lebih percaya pada gurunya serta kegiatan belajar mengajar akan lebih menarik. Perlunya pengembangan bahan ajar, agar ketersediaan bahan ajar sesuai dengan kebutuhan siswa, tuntutan kurikulum, kateristik sasaran, dan tuntutan pemecahan masalah belajar. Pengembangan bahan ajar harus sesuai dengan tuntutan kurikulum, artinya bahan ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan KTSP yang mengacu pada standar isi dan standar kompentensi lulusan. Kemudian kateristik sasaran disesuaikan dengan lingkungan, kemampuan, minat, dan latar belakang siswa. Fungsi bahan ajar, yakni: 1) pedoman guru dalam mengarahkan semua aktivitas proses pembelajaran; 2) pedoman siswa dalam mengarahkan semua aktivitas proses pembelajaran (substansi kompetensi yang seharusnya dikuasai siswa) antara lain siswa dapat belajar: (a) tanpa harus ada guru atau teman, (b) kapan dan dimana saja, (c) dengan kecepatannya masing-masing, (d) melalui urutan yang dipilihnya sendiri, dan (e) membantu mengembangkan potensi siswa menjadi pembelajar mandiri; 3) alat evaluasi pencapaian hasil pembelajaran. Sumber belajar merupakan segala sesuatu yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran, berupa: buku teks, media cetak, media elektronika, nara sumber,
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 129 -
IAIS Sambas lingkungan alam sekitar, dan sebagainya (Depdiknas, 2006c:9-14). Selanjutnya, menurut Brown (2002:48) sumber belajar dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat memberikan kemudahan siswa dalam memperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan, dalam proses belajar mengajar. Kemudian Sadiman, Arief S. (2004) mendefinisikan ”Sumber belajar sebagai sesuatu yang dapat digu-nakan untuk belajar, yakni dapat berupa orang, benda, pesan, bahan, teknik, dan latar” (dalam Diknas, 2008:6). Ragam sumber belajar bahasa Indonesia dilihat dari sifat dan pengembangannya. Berdasarkan sifatnya, sumber belajar terdiri dari sumber insani, dan noninsani. Sumber insani, contoh: guru, sastrawan (nara sumber), tokoh masyarakat, tutor sebaya, dan lain sebagainya. Sedangkan sumber noninsani contohnya: berbagai media cetak dan media elektronik (internet). Sumber belajar dapat berupa: (1) tempat atau lingkungan alam sekitar; (2) benda, orang, buku (pengetahuan guru, siswa, media, dan sumber lain); dan (3) peristiwa atau fakta yang sedang terjadi dan hangat dibicarakan. Sumber tersebut dapat dikemas dalam bahan ajar. Sumber belajar didefinisikan berikut ini: Learning resources are defined as information, represented and strored in a variety of media and formats, that assists student learning as defened by provicial or local curricula. This includes but is not limited to, matrial in print, video, and software formats, as well as combinations of these formats intended for use by teachers and students. http: //www.abcd.gov.be.ca/irp/appskill/asl eares. htm Januari 28, 1999. (dalam Depdiknas, 2008:5). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan sumber balajar adalah
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 segala benda, nara sumber, dan tempat/ lingkungan yang mengandung informasi yang dapat digunakan siswa dan guru untuk belajar mengajar. Cakupan bahan ajar disusun meliputi: (1) judul, MP, SK, KD, indikator, dan tempat, (2) petunjuk belajar (siswa /guru), (3) tujuan yang dicapai, (4) informasi pendukung, (5) latihan-latihan, (6) petunjuk kerja, dan (7) penilaian. Ketujuh bahan tersebut disusun secara sistematis dalam penulisan bahan ajar. Bahan ajar dapat dikatakan baik bila memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) menimbulkan minat pembaca; (2) ditulis dan dirancang untuk digunakan siswa; (3) menjelaskan tujuan yang ingin dicapai; (4) disusun berdasarkan pola ’belajar yang fleksibel’; (5) strukturnya berdasarkan kompetensi akhir yang dicapai; (6) berfokus pada kesempatan siswa berlatih; (7) mengakomodasikan kesukaran belajar; (8) merangkum; (9) gaya penulisan (bahasanya) komunikatif dan semi formal; (10) dikemas dalam proses instruksional; (11) mempunyai mekanisme mengumpulkan umpan balik siswa; dan (12) mencantumkan petunjuk belajar. Selanjutnya, penyusunan bahan ajar perlu mengikuti langkah-langkah berikut: (1) merumuskan tujuan; (2) melakukan analisis standar kompetensi; (3) menentukan kompetensi dasar; (4) mendeskripsikan indikator; (5) menyusun kerangka bahan ajar; (6) menyusun skenario penulisan; (7) menulis bahan ajar; (8) uji ahli/uji lapang; (9) revisi; dan (10) digunakan dalam proses belajar mengajar. Menyusun bahan ajar dilakukan dengan menulis sendiri, mengemas kembali informasi, dan menata informasi yang telah diperoleh secara sistematis. Dengan demkian memudahkan siswa untuk memahami bahan ajar tersebut. Pengembangan bahan ajar hendaknya memperhatikan prinsif-prinsif pem-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 130 -
IAIS Sambas belajaran berikut: (1) mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak; (2) pengulangan memperkuat pemahaman (5x2 lebih baik dari 2x5); (3) umpan balik positif memberikan penguatan terhadap pemahaman siswa; (4) motivasi tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar; (5) mencapai tujuan; dan (6) mengetahui hasil yang dicapai (Depdiknas, 2008:11). Bahan ajar dikembangkan dengan prinsip: (1) disusun berdasarkan KTSP; (2) pengembangan silabus dengan menganalisis dan mengelompokkan SK, KD, indikator, dan materi pokok yang erat kaitannya ke dalam satu unit pelajaran; (3) pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan tematis, menggunakan tema-tema dalam kegiatan keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat keterampilan tersebut menggunakan ragam teks sehari-hari, media massa, dan sastra dengan tema yang sesuai kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah; (4) dikembangkan secara berkesinambungan dengan pemberian informasi yang memadai, penyajian materi ajar, dan tugas/ latihan, dan (5) implemantasi tugas/ latihan bersifat otentik, dilaksanakan secara mandiri dan kelompok agar pembelajaran lebih bermakna. Penyiapan bahan ajar merupakan hal pokok yang dilakukan sebelum berlangsungnya proses pembengajaran. Tindakan utama pembelajaran dapat diaplikasikan dalam proses pengembangan bahan ajar (Shulman, 1987:15 dalam Trianto, 2005:10). Jolly dan Bolitho (dalam Tomlinson, 1998:98) memaparkan tahap-tahap pengembangan bahan ajar, yakni: (1) identifikasi kebutuhan guru dan siswa; (2) penentuan kegiatan eksplorasi kebutuhan materi; (3) realisasi kontektual dengan mengajukan gagasan sesuai dengan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 pemilihan teks dan konteks bahan ajar; (4) realisasi pedagogis melalui tugas dan latihan; (5) produksi bahan ajar; (6) penggunaan bahan ajar oleh siswa; dan (7) evaluasi bahan ajar. Kemudian, Richards (2002:262) mengajukan rancangan pengembangan bahan ajar, meliputi: (1) pengembangan tujuan; (2) pengembangan silabus; (3) pengorganisasian bahan ajar ke dalam unit-unit pembelajaran; (4) pengembangan struktur per unit; dan (5) pengurutan unit (dalam Trianto, 2005:10). Menurut Tomlinson (1998:2) pengembangan bahan ajar adalah apa yang dilakukan penulis, guru, siswa untuk memberikan sumber masukan berbagai pengalaman yang dirancang untuk meningkatkan belajar bahasa. Pengembangan bahan ajar bahasa Indonesia berdasarkan indikator pencapaian kompetensi dasar dengan memperhatikan potensi peserta didik, bermanfaat bagi peserta didik, aktualitas, kedalaman, dan keluasan materi pelajaran, relevansi kebutuhan peserta didik, sesuai dengan tuntutan lingkungan dan alokasi waktu yang tersedia (Depdiknas, 2007a:vii). Pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia adalah kegiatan yang diawali dari penelitian untuk mendapatkan gambaran tentang kebutuhan dokumen bahan ajar bahasa dan pembelajarannya yang sesuai dengan kebutuhan siswa, sekolah dan daerah. Dilanjutkan kegiatan pengembangan bahan ajar melalui beberapa kali uji coba sehingga berterima dan objektif sesuai dengan keterampilan berbahasa dan bersastra Indonesia (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Pengembangan bahan ajar dalam penelitian ini, menggabungkan rancangan tahap-tahap yang telah dipaparkan oleh Jolly & Bolitho, Richards serta Depdiknas, yakni: (1) identifikasi kebutuhan, (2) pengembangan silabus, (3)
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 131 -
IAIS Sambas penyusunan bahan ajar, dan (evaluasi bahan ajar). Informasi dikumpulkan berdasarkan kebutuhan (kompetensi dasar, silabus, dan skenario pembelajaran) disusun ulang dengan gaya bahasa dan strategi sesuai menjadi bahan ajar, kemudian dilengkapi: (1) keterampilan/ kompetensi yang akan dicapai; (2) bimbingan belajar bagi siswa; (3) latihan; (4) tes formatif; dan (5) umpan balik. Dalam membuat ilustrasi perlu identifikasi materi, mendesain, dan editing agar berfungsi untuk mendeskripsikan, mengekspresikan dan menganaisis materi. Ilustrasi dapat berupa gambar, daftar, grafik, kartun, foto, skema, dan lain-lain. Berikut ini, beberapa pendapat yang menyarankan tentang pelaksanaan evaluasi bahan ajar, antara lain: Ellis (1997: 36-42) menyarankan pengeva-luasian bahan ajar secara retrospektif melalui semacam penelitian tindakan kelas. Ellis membedakan evaluasi bersifat prediktif (bahan ajar mana yang akan digunakan), dan evaluasi yang bersifat retrospektif (bahan ajar yang telah digunakan). Jenis evaluasi untuk melihat keefektifan bahan ajar dapat dianalisis dengan pendapat responden, evaluasi buku teks melalui eksprimen, analisis buku teks, dan ujicoba keterbacaan. Tomlinson (1998:193) mengelompokkan dua aspek dalam mengevaluasi bahan ajar, yaitu: publikasi (publication) terkait dengan aspek tampilan fisik bahan ajar secara lengkap, dan desain (design) yakni, terkait prinsip pemikiran yang mendasari penyu-sunan bahan ajar. Daftar instrumen evalusi bahan ajar yang digu-nakan Cunningsworth (1995:3-4) mencakup aspek keterkaitan kurikulum, pengor-ganisasian, kegiatan dan latihan, metodologi, keterbacaan, tataletak dan ilustrasi. Dalam Standar Penilaian Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Dep-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 diknas (2003:2) mengatakan, bahwa aspek-aspek buku pelajaran yang dinilai yakni: (1) materi, (2) penyajian, (3) bahasa dan keterbacaan, dan (4) grafika. Kemudian, dalam Pedoman Pengembangan Bahan Ajar Depdiknas (2008:29) komponen evaluasi bahan ajar mencakup: kelayakan isi, kebahasaan, sajian, dan kegrafikaan. Evaluasi bahan ajar dilakukan dengan tahap ujicoba produk/uji lapangan dilakukan sebelum bahan ajar terpublikasikan. Hal itu dilakukan untuk melihat keefektifan bahan ajar, apakah bahan ajar telah baik ataukah masih ada hal yang perlu diperbaiki (direvisi). Teknik evaluasi dilakukan dengan berbagai cara, antara lain evaluasi dengan teman sejawat, evaluasi dari para pakar, dan uji coba terbatas kepada siswa. Evaluasi bahan ajar dalam penelitian ini, dengan mengembangkan beberapa pendapat para pakar di atas dan berdasarkan Standar Penilaian Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Depdiknas (2003) serta Pedoman Pengembangan Bahan Ajar Depdiknas (2008). Komponen evaluasi bahan ajar mencakup: (1) kelayakan isi (materi pelajaran), (2) kebahasaan, (3) penyajian, dan ( 4) grafika. Ririncian lebih lanjut, berikut ini: Pertama, komponen kelayakan isi (materi) mencakup: (a) kesesuaian dengan kurikulum, SK, dan KD; (b) kesesuaian dengan kondisi siswa, sekolah, dan daerah; (c) materi harus spesifik, jelas, akurat dan sesuai dengan kebutuhan bahan ajar; (d) kesesuaian dengan nilai moral dan nilai sosial; (e) bermanfaat menambah wawasan siswa; dan (f) keseimbangan dalam penjabaran materi (pengembangan makna dan pemahaman, pemecahan masalah, peproses, latihan dan praktik, tes keterampilan maupun pemahaman). Kedua, komponen kebahasaan merupakan sarana penyampaian dan pe-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 132 -
IAIS Sambas nyajian bahan, seperti kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana. Sedangkan aspek terbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa sesuai dengan tingkatan siswa. Komponen ini, mencakup: 1) Keterbacaan, meliputi: (a) kemudahan membaca (berhubungan dengan bentuk tulisan atau tifografi, ukuran huruf, dan lebar spasi), (b) kemenarikan (berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan ide bacaan, dan penilaian keindahan gaya tulisan), dan (c) kesesuaian (berhubungan dengan kata dan kalimat, panjang pendek, frekuensi, bangun kalimat, dan susunan paragraf); 2) kejelasan informasi, yakni informasi yang disajikan tidak mengandung makna bias dan mencantumkan sumber rujukan yang digunakan; 3) kesesuaian dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan bemar; dan 4) pemanfaatan bahasa secara efektif dan efesien (jelas dan singkat). Ketiga, komponen penyajian, mencakup: (a) kejelasan tujuan pembelajaran (indikator yang dicapai); (b) urutan sajian (keteraturan urutan dalam penguraian sajian); (c) memotivasi dan menarik perhatian siswa; (d) interaksi (pemberian stimulus dan respon) untuk mengaktifkan siswa; dan (e) kelengkapan informasi (bahan, latihan, dan soal). Keempat, komponen grafika, meliputi: (a) menggunaan font: bentuk tulisan, ukuran huruf, dan jarak spasi; (b) tata letak (lay out); (c) ilustrasi, gambar, dan foto; dan (d) desain tampilan. Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bertujuan mengembangkan kemampuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Kemampuan berkomunikasi yang mendasar ialah kemampuan menangkap makna dan pesan, termasuk menafsirkan dan menilai, serta mengekspresikan diri dengan bahasa. Sehingga mempertajam kepekaan dan meningkatkan kemampuan berpikir, bernalar, dan daya kreativitas. Kon-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 teks komunikasi mengisyaratkan adanya interaksi atau kegiatan timbal balik. Dalam komunikasi bahasa lisan lebih mudah ditangkap karena ada kegiatan timbal balik antara pembicara dan mitra bicara. Sedangkan komunikasi dalam bahasa tulis, juga adanya interaksi timbal balik antara isi yang ada di dalam pikiran pembaca dengan isi bacaan. Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia menekankan pada aspek kinerja dan kemahiran berbahasa Indonesia sesuai dengan hakikat dan fungsi bahasa, yaitu komunikatif yang mencerminkan ciri khas pelajaran bahasa Indonesia. Dengan demikian, pelajaran tidak bertitik tolak pada sistem bahasa, melainkan bertitik tolak pada bagaimana menggunakan bahasa secara baik dan benar sesuai dengan sistem bahasa itu. Dengan kata lain pelajaran bahasa Indonesia haruslah lebih menekankan pada fungsi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dari pada sistem bahasa Indonesia. Artinya sistem bahasa Indonesia (kebahasaan) tidak dibahas secara terpisah, tetapi diajarkan secara terpadu dengan kompetensi yang lainnya dalam pelajaran yang sedang berlangsung. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus mencerminkan keterkaitan antaraspek keterampilan berbahasa dan bersastra (mendengarkan, berbicara, mambaca, dan menulis) dipanyungi dalam satu tema (Depdiknas, 2007:4). Pelajaran bahasa dan sastra Indoesia dalam kurikulum disesuaikan dengan kateristik kurikulum berbasis kompetensi. Trianto (2005:6) menyatakan bahwa belajar bahasa Indo-nesia agar siswa terampil berkomunikasi perlu dilatih menggunakan baha-sa untuk berkomunikasi, bukan untuk menguasai pengetahuan tentang bahasa. Aspek keterampilan berbahasa disajikan secara terpadu dengan tema.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 133 -
IAIS Sambas Siswa perlu lebih mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dan bagaimana mencapainya. Siswa harus sadar bahwa yang ia pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan demikian, siswa akan memposisikan bekal bagi dirinya untuk masa yang akan datang. Siswa akan belajar apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya tersebut, siswa memerlukan guru sebagai fasilitator, motivator, dan mediator. Selanjutnya, ditemukan bahwa pelajaran bahasa Indonesia telah menyimpang jauh dari misi sebenarnya. Guru lebih banyak berbicara tentang bahasa (talk about the language) daripada melatih menggunakan bahasa (using language). Dalam hal ini ditekankan pada penguasaan tentang bahasa (formfocus). Guru bahasa Indonesia lebih banyak berkutat dengan pengajaran tata bahasa, dibandingkan mengajarkan kemampuan berbahasa Indonesia nyata (Nurhadi, 2000:23). Perlu diingat bahwa pelajaran bahasa diarahkan sebagai sarana pengembangan kemampuan berbahasa yang menjadikan siswa mandiri sepanjang hayat, kreatif, dan mampu memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berbahasa Indone-sia. Pelajaran bahasa dan sastra Indonesia mencakup 4 aspek keterampilan, yakni: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan mendengarkan dan berbicara berkaitan dengan bahasa lisan, sedangkan keterampilan membaca dan menulis berkaitan dengan bahasa tulis. Selanjutnya, mendengar dan membaca merupakan keterampilan reseptif yaitu kegiatan memahami bahasa. Sedangkan berbicara dan menulis merupakan keterampilan produktif, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (Purwo, 1997: 22). Keterampilan berbahasa bukanlah sesuatu yang dapat diajarkan melalui uraian defenisi dan penjelasan-penje-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Keterampilan berbahasa tidak dapat dilakukan dengan meng-hapal. Kegiatan berbahasa hanya dapat diraih dengan melakukan dan latihan secara kuntinyu. Selanjutnya hal senada dipertegas Vernon A. Magnesen dalam Dryden (2003: 100) mengatakan, bahwa “Kita belajar akan mendapatkan 10% dari membaca, 20% dari mendengar, 30 dari melihat, 50% dari melihat dan mendengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari yang dikatakan dan dilakukan”. Menurut Johnson (2002:24), ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran yang ideal, yakni: (1) melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections), siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing); (2) melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work), siswa membuat hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai anggota masyarakat; (3) belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning), siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/ hasilnya yang sifatnya nyata; (4) bekerja sama (collaborating), siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi; (5) berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika dan bukti-bukti; (6) mengasuh atau
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 134 -
IAIS Sambas memelihara pribadi siswa (nurturing the individual), siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa; (7) mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”; dan (8) menggunakan penilaian otentik (using authentic assessment), siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan, pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa Inggris dengan mendesain sebuah mobil, merencanakan menu sekolah, atau membuat penyajian perihal emosi manusia. Prinsip yang mendasari guru mengajarkan bahasa Indonesia sebagai keterampilan, antara lain pengintegrasian antara bentuk dan makna, penekanan pada kemampuan berbahasa praktis, dan interaksi yang produktif antara guru dengan siswa. Prinsip pertama, menyarankan agar pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang diperoleh, berguna dalam komunikasi sehari-hari (meaningful). Dengan kata lain, agar dihindari penyajian materi (khususnya kebahasaan) yang tidak bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari, misalnya, pengetahuan tata bahasa bahasa Indonesia yang sangat linguistis. Prinsip kedua, menekankan bahwa melalui pengajaran bahasa Indonesia, siswa diharapkan mampu menangkap ide yang diungkapkan dalam bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulis, serta mampu
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Penilaian hanya sebagai sarana pembelajaran bahasa, bukan sebagai tujuan. Prinsip ketiga, mengharapkan agar di kelas bahasa tercipta masyarakat pemakai bahasa Indonesia yang produktif. Tidak ada peran guru yang dominan. Guru diharapkan sebagai ‘pemicu’ kegiatan berbahasa. Peran guru sebagai pemberi informasi penge-tahuan bahasa Indonesia agar dihin-dari. Gambaran tujuan dan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia di atas, saat ini masih jauh penerapan nya di sekolah (Depdiknas, 2004:8). Pendekatan tematis adalah strategi pengembangan materi pembelajaran yang bertitik tolak dari sebuah tema (Depdiknas, 2006c:17). Pembelajaran tematis adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa aspek keterampilan berbahasa sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa (Depdiknas, 2003:26). Tema dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bukanlah tujuan pelajaran atau pokok bahasan, tetapi sebagai payung atau media untuk mencapai kompetensi (BSNP Depdiknas, 2007:v). Tema berfungsi sebagai pemersatu kegiatan berbahasa dan bersastra melalui keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, dan butir-butir kebahasaan seperti kosakata, tatabahasa dan kesastraan. Melalui tema, berbagai kegiatan berbahasa dapat disajikan secara terpadu. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan pendekatan tematis adalah pendekatan yang menggunakan tema sebagai payung yang mengaitkan/mempersatukan kegiatan aspek keterampilan berbahasa dan bersastra. Untuk mengetahui keterkaitan antaraspek tersebut, dapat digambarkan dalam diagram (Depdiknas, 2007:iv) berikut ini:
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 135 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Mendengarkan
Berbicara
Tema
Apresiasi
Membaca Menulis
Gambar 1: Diagram Keterkaitan Tema Pendekatan tematis menyarankan agar pembelajaran bahasa diikat oleh tema-tema yang dekat dengan kehidupan siswa, yang digunakan sebagai sarana berlatih membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara. Pebelajaran tematis lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar secara aktif, sehingga memperoleh pengalaman langsung dengan berlatih menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Melalui pengalaman langsung akan mudah membantu siswa memahami konsep-konsep yang dipelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dipahami sebelumnya. Ahli psikologi Gestalt dan Piaget yang menganut teori ini, menekankan bahwa pembelajaran haruslah bermakna dan berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan siswa. Menurut Dr. Jamaliah bt. Ahmad dari IBBM (2007) menyatakan bahwa: (1) pilihan tema sesuai dengan minat, kemampuan dan pengalaman; (2) berkaitan erat dengan kehidupan seharihari; (3) mempunyai skop yang luas; (4) runtun dan kesinambungan; (5) merangkum semua komponen dan perkembangan siswa; (6) berpikir kreatif dan inovatif. Hal senada dikemukakan Meier (2002:181) mengatakan bahwa sebuah tema bisa menjadi bantuan bagi pembelajaran untuk: (1) mengikat materi subyek menjadi satu; (2) menciptakan suasana gembira; (3) menyenangkan
dan memberi semangat belajar; (4) mengilhami kreativitas setiap siswa; (5) membuat proses belajar manusiawi; (6) membantu melahirkan gagasan bagi aktivitas belajar; dan (7) memberi gagasan untuk memperbaiki lingkungan. Selanjutnya, Busching & Lunsteen, S.W. (1999:3-27) menyatakan bahwa bentuk pendekatan yang dapat diterapkan guru yakni: (1) rancangan pemilihan media pembelajaran; (2) rancangan penentuan sumber belajar; dan (3) rancangan pengembangan tema menjadi subtema adalah perangkat yang dapat digunakan untuk mencapai kesuksesan dengan pemanduan tema pembelajaran. Pemanduan tema dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menurut Routman, meliputi: set-induction, merupakan upaya membuka pelajaran dengan teknik tertentu yang memudahkan siswa menguasai konsef, prosedur pembahasan tema, dan evaluasi serta remidiasi kelas (Routman & R. Spiro, 2001:276). Berdasarkan pemaduan tema dalam pembelajaran bahasa, dapat diwujudkan dengan memadukan unsur membaca dan menulis, maka dicapai hasil kemampuan bahasa tulis, sedangkan pengintegrasian menyimak dan berbicara menghasilkan kemampuan berbahasa lisan (Lipson, Sheila W, Karen K & Charles W. Peters, 2003:252-262). Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu merancang belajar agar lebih bermakna. Bahan ajar dan pengalaman belajar harus memiliki kaitan dengan unsur konseptual agar proses pembelajaran lebih aktif dan efektif. Kaitan konseptual antarmata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan/kebulatan pengetahuan dalam kesatuan tema.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 136 -
IAIS Sambas Pembelajaran tematis memiliki karakteristik: (1) berpusat pada siswa, yakni: siswa sebagai subyek belajar sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, motivator, dan mediator yang memberikan kemudahan dan membantu siswa melakukan aktivitas belajar; (2) memberikan pengalaman langsung dan siswa dihadapkan pada hal konkret sebagai dasar untuk memahami hal-hal yang lebih abstrak; (3) pembelajaran dikembang-kan sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa; (4) pemersatu berbagai kegiatan berbahasa dan bersastra; (5) bersifat fleksibel; (6) menyajikan konsep dari berbagai aspek keterampilan berbahasa; dan (7) menggunakan prinsip belajar menyenangkan (Depdiknas, 2006a:88-89). Implementasi tematis menuntun guru kreatif dalam menyiapkan dan menyajikan bahan ajar, memilih kompetensi dari berbagai mata pelajaran dan mengaturnya agar pembelajaran menjadi lebih bermakna, menarik, menyenangkan dan utuh. Selanjutnya, siswa harus siap mengikuti kegiatan pembelajaran baik secara individual, pasangan, kelompok ataupun klasikal, dan mengikuti secara aktif kegiatan pembelajaran yang bervariasi, seperti: diskusi, penelitian sederhana, dan pemecahan masalah Kerangka berpikir dalam penelitian ini berawal dari penelitian lapangan. Berdasarkan penelitian tersebut, terkumpul beberapa informasi yakni: (1) kebutuhan guru dan siswa tentang bahan ajar, bahwa bahan ajar yang ada belum memadai, kerena:(a) belum sesuai dengan kurikulum yang berlaku; (b) tema yang digunakan tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah; dan (c) belum sepenuhnya materi dan aspek keterampilan berbahasa dan bersastra dipayungi tema, karena tema yang digunakan hanya menjadi judul bacaan semata
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dan tidak terkait dengan subbahasan; dan (2) mencuat kasus kemanusiaan (trafficking), lingkungan (pencemaran sungai), dan kesehatan (gizi buruk) yang diberitakan diberbagai media cetak dan elektronik Sambas berpotensi sebagai bahan ajar. Dalam kegiatan mendesain produk awal (prototype). Kemudian, dilaksanakan veliditas/koreksi desain oleh pekar (ex-pert judgment) yang dilanjutkan dengan revisi I. Setelah itu, dilakukan uji produk awal melalui uji coba I (awal). Uji coba bertujuan untuk mendapatkan evaluasi kualitatif awal dari desain produk yang dikembangkan dan dilanjutkan revisi produk I. Setelah direvisi, dilakukan uji coba produk II (utama) dan merevisinya kembali. Sehingga, menghasilkan produk pengembangan bahan ajar. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengembangan (Researh and Development/ R&D). Metode ini berdasarkan adaptasi dari prosedur yang dikemukakan (Sugiyono, 2007:408-427) dan Borg & Gall (1979:623-644). Tempat penelitian di kelas X SMA Negeri 2 Sambas. Prosedur penelitian ini menggunakan 3 tahap, meliputi: 1) tahapan studi pendahuluan, dilakukan untuk memperoleh tanggapan dari calon pengguna dan kajian terhadap bahan ajar yang meliputi: (a) studi literatur dan studi lapangan untuk mengidentifikasi kebutuhan bahan ajar menurut guru dan siswa, (b) analisis bahan ajar yang pernah digunakan guru, (c) deskripsi temuan kebutuhan bahan ajar bagi siswa dan guru; 2) tahap studi pengembangan, dimulai dari analisis bahan ajar dan pengembangan bahan ajar tematis, mencakup: (a) desain produk awal (prototype); (b) koreksi desain pakar (ex-pert judgment); (c) revisi desain; (d)
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 137 -
IAIS Sambas uji coba I (awal); (e) revisi produk I; (f) uji coba produk II (utama); dan (g) revisi produk II (utama); dan 3) tahap evaluasi untuk menguji keefektifan implementasi bahan ajar dan kelayakan bahan ajar baru (tematis). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan: (1) observasi, dilakukan untuk mengamati kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan bahan ajar lama dan pembelajaran yang menggunakan bahan ajar baru. Hasil observasi didiskusikan dengan guru dan pakar (ex-pert judgment), kemudian dianalisis untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada, untuk dicarikan solusinya. Selanjutnya, dilakukan proses revisi produk untuk menyempurnakan produk bahan ajar baru; (2) wawancara, untuk memperoleh data informan guru, siswa, kepala sekolah dan pakar tentang masukan dalam menyusun prototype hingga menjadi bahan ajar tematis; (3) tes kompetensi, dilakukan pretes dan postes dalam penerapan bahan ajar tematis dan tes di kelas konvensional untuk melihat perbandingan bahan ajar lama dan baru; dan (4) angket, untuk menguji kelayakan bahan ajar tematis . Teknik analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis data kualitatif kualitatif interaktif, yaitu terdiri tiga komponen yakni; (1) reduksi data, (2) display data, dan (3) simpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1992: 20). Analisis data kuantitatif menggunakan uji-t nonindependen ini digunakan untuk membandingkan pretes dan postes pada bahan ajar baru (tematis) dengan menggunakan rumus: D t 2 D 2 D N N N 1
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Keterangan: D : nilai rata-rata selisih postes dikurangi pretes 2 ∑D : kuadrat dari selisih postest dikurangi pretes D : selisih postest dikurangi pretes N : jumlah sampel Kriteria uji adalah jika nilai t yang diperoleh lebih besar daripada nilai t tabel (t-hitung > t-tabel), maka hipotesis diterima (Ho ditolak). Sebaliknya, jika t-hitung < t-tabel, maka hipotesis ditolak (Ho diterima). Selanjutnya, menguji keefektifan perbandingan bahan ajar tematis dengan bkonvensional, dilakukan teknik uji-t independent dengan menggunakan rumus berikut ini: X1 X 2 t= 2 2 s s s1 s2 2r 1 2 n1 n2 n1 n2 Keterangan: X 1 = Rata-rata sampel 1 (materi ajar lama) X 2 = Rata-rata sampel 2 (materi ajar baru) S1 = Simpangan baku sampel 1 (materi ajar lama) S 2 = Simpangan baku sampel 2 (materi ajar baru) 2 S1 = Varians sampel 1
S22 r
= Varian sampel 2 = Korelasi antara data kedua kelompok Apabila menunjukkan koefisien ttest lebih besar dari t-tabel, maka da-pat dinyatakan bahwa bahan ajar tema-tis lebih efektif dibandingkan bahan ajar konvensional. Untuk dapat menggunakan rumus tersebut, maka perlu dicari terlebih dahulu korelasi nilai keefektifan bahan ajar lama dan baru, rata-rata, simpangan baku dan varians. Dikorelasikan adalah nilai total (nilai kolom jumlah
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 138 -
IAIS Sambas pada bahan ajar tematis dan konvensional). Selanjutnya, pehitungan menggunakan SPSS sehingga dapat ditemukan nilai- nilai yang diperlukan untuk menghitung t. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagaimana dikemukakan pada penjelasan di atas bahwa penelitian ini menggunakan 3 tahap, yakni: Tahap studi pendahuluan dimulai dengan studi literatur dan studi lapangan di SMA Negeri 2 Sambas untuk mengetahui kebutuhan bahan ajar menurut guru dan siswa, yang meliputi: Kebutuhan bahan ajar menurut guru dan siswa, yang meliputi: 1) tanggapan informan guru dan siswa terhadap bahan ajar yang digunakan yakni; buku bahasa dan sastra Indonesia karangan Dr. Dawud dan kawan-kawan jilid 1 untuk SMA kelas X tahun 2004, penerbit Erlangga, buku ini merupakan bahan ajar guru (buku guru); dan 2) buku Proyeksi Prima Bahasa Indonesia karangan Dra. Sutiyarsih berupa buku kegiatan siswa (buku siswa) ditemukan: (a) tidak relevan antara buku guru dan buku siswa, karena buku guru tidak mengacu pada kurikulum dan buku siswa mengacu pada kurikulum, (b) tema yang digunakan belum sesuai dengan kebutuhan siswa, sekolah, dan daerah, (c) secara keseluruhan komponen (kelayakan isi/materi, kebahasaan, penyajian materi, dan grfika) pada buku guru sudah baik, sedangkan pada buku siswa komponen grafika kurang menarik; dan 2) kebutuhan bahan ajar menurut guru dan siswa; (a) sesuai KTSP. (b) relevan buku guru dan buku siswa, (c) isi pembelajaran sesuai tujuan berbahasa dan bersastra, (d) menggunakan tema di sekitar siswa, (e) mengaktifkan siswa, (f) materi jelas, menarik, dan mudah dipahami minat siswa, (g) siap pakai pada kondisi minimal.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Tahap studi pengembangan, dimulai dari: Analisis bahan ajar dilakukan dengan membaca isi kurikulum kelas X semerter 1 yang difokuskan pada kompetensi dasar dan 4 aspek keterampilan (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis); dan melakukan pemetaan 8 kompetensi dasar. Desain produk awal (prototype) bahan ajar tematis, meliputi: (a) rancangan silabus KTSP memiliki sturuktur sebagai berikut: standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/ bahan/alat belajar, (b) desain produksi awal bahan ajar terdiri buku guru dan buku siswa atau LKS. Rancangan buku guru memiliki struktur sebagai berikut: (a) judul pembelajaran, (b) tema pembelajaran, (c) aspek keterampilan yang dilengkapi SK, KD, indikator, tujuan pembelajaran, dan alokasi waktu, (d) pengantar, (e) uraian materi, (f) rangkuman, dan (g) tugas/latihan. Desain buku siswa/LKS terdiri dari: (a) judul pembelajaran, (b) tema pembelajaran, (c) aspek keterampilan yang dilengkapi SK, KD, indikator, tujuan pembelajaran, dan alokasi waktu; (d) rangkuman materi; (e) tugas/latihan. Format rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), meliputi: standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, media/alat/sumber belajar, penilaian hasil belajar, analisis hasil belajar dan program tindak lanjut. Koreksi desain oleh pakar (ex-pert Judgment) dengan konsultasi untuk validasi dan revisi produk yang akan diujicobakan dengan pakar untuk mendapatkan komentar, saran, dan persetujuan. Sehingga prototype menjadi produk bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia yang tematis. Saran dan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 139 -
IAIS Sambas masukan ahli digunakan untuk memperbaiki kekurangan yang terdapat dalam produk silabus, RPP, desain buku guru, desain buku siswa, dan evaluasi pembelajaran. Hal itu dilakukan untuk memperoleh kelayakan produk jika diimplementasikan dalam skala luas. Uji coba awal, pelaksanaan uji coba dibantu oleh Ibu Emi Zarianty, S. Hut. dan Bapak Serly, S.Pd.I sebagai mitra peneliti. Uji coba dilakukan pada 10 siswa sampel yang dimulai dengan pretes dan diakhiri postes dengan menerapkan 4 kompetensi dasar kemampuan berbahasa yang dimulai dari pelajaran 1 sampai pelajaran 4 yang dimulai 6 s.d. 29 Agustus 2008 (8 kali pertemuan). Selanjutnya, dilaksanakan uji coba awal kemampuan bersastra dengan 4 kompetensi dasar yang dimulai dari pelajaran 5 sampai pelajaran 8 yang dimulai 3 s.d.19 september 2008 (6 kali pertemuan). Hasil uji coba awal untuk melihat tanggapan informan (guru dan siswa) sebagai pengguna bahan ajar, seperti yang telah dikemukakan di atas. Maka desain bahan ajar yang digunakan dalam uji coba awal secara umum dapat dikatakan efektif untuk digunakan dalam uji coba utama dengan beberapa revisi untuk penyempurnaan uji coba utama. Uji coba utama dilaksanakan selama 14 kali pertemuan dimulai 8 Oktober dan berakhir 21 November 2008 yang diikuti oleh 33 siswa sampel (satu kelas). Sebelum dilaksanakan uji coba utama dilakukan pretes untuk menguji kemampuan awal siswa sebelum diadakan uji coba utama. Selanjutnya, setelah uji coba utama dilakukan postes. Pretes dan postes dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap I dilakukan setelah selesai uji coba utama kemampuan berbahasa menggunakan soal pilihan ganda berjumlah 20 butir. Tahap II dilaksanakan setelah uji coba utama kemampuan bersastra menggu-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 nakan soal pilihan ganda berjumlah 20 butir. Pretes I dilaksanakan Rabu, 8 Oktober 2008 dan postes I dilaksanakan Jumat, 31 Oktober 2008. Selanjutnya, pretes II dilaksanakan Rabu, 5 November 2008 dan postes dilaksanakan Jumat, 21 November 2008. Pelaksanaan pretes dan postes dikelas kontrol (konvensional) dilaksanakan sesuai dengan jadwal pelaksanaan di kelas uji coba utama (eksprimen). Tahap evaluasi, tahap ini dilakukan untuk menguji keefektifan dan kelayakan bahan ajar tematis. Hasil uji keefektifan nonindependen dilakukan untuk menentukan signifikansi peningkatan kemampuan berbahasa dan bersastra siswa dengan menggunakan bahan ajar tematis. Signifikansi tersebut berdasarkan hasil skor pretes dan postes. Uji kemampuan berbahasa kelas tematis, menunjukkan uji normalitas dari data pretes dan postes berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Perbandingan skor pretes dan postes kemampuan berbahasa kelas tematis. dapat dilihat dalam tabel berikut: Hasil pretes dan postes uji beda menunjukkan nilai t hitung (27,038) > ttabel (1,69), maka Ho diterima. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan skor pretes dan postes pada uji kemampuan berbahasa. Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata skor untuk pretes adalah 49.2424, sedangkan rata-rata postes 79.2424. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata skor postes lebih besar dari rata-rata skor pretes. Uji kemampuan bersastra kelas tematis, menunjukkan uji normalitas dari data pretes dan postes berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Perbandingan skor pretes dan postes kemampuan bersastra kelas tematis. Selanjutnya, hasii pretes dan postes uji beda menunjukkan nilai t hitung (26.617) > t- tabel (1,69), maka Ho dite-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 140 -
IAIS Sambas rima. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan skor pretes dan postes pada uji kemampuan bersastra. Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata skor untuk pretes adalah 49.0909, sedangkan rata-rata untuk postes 78.4848. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata skor postes lebih besar dari rata-rata skor pretes. Hasil uji keefektifan indipenden dilakukan untuk mengetahui perbandingan kelas tematis dan kelas konvensional kemampuan berbahasa. Deskripsi perbandingan skor postes kemampuan berbahasa kelas konvensional dan tematis. Uji beda menunjukkan nilai t- hitung (8,239) > t- tabel (1,69), maka Ho diterima. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan postes kelas konvensional dengan postes kelas tematis pada uji kemampuan berbahasa. Dari hasil perhitungan diperoleh ratarata skor untuk postes konvensional adalah 70.4545, sedangkan rata-rata untuk postes tematis 79.2424. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata skor postes tematis lebih besar dari rata-rata skor konvensional. Uji kemampuan bersastra kelas konvensional dan kelas tematis, deskripsi perbandingan skor postes kemampuan bersastra kelas konvensional dan tematis. Hasil uji beda menunjukkan nilai t- hitung (6.369) > t- tabel (1,69), maka Ho diterima. Oleh karena itu, dapat disim-pulkan bahwa ada perbedaan postes kelas konvensional dan tematis pada uji kemampuan bersastra. Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata skor untuk postes konvensional adalah 70,75 sedangkan rata-rata untuk postes tematis 78,48. Hal ini mengindikasikan bahwa ratarata skor postes tematis lebih besar dari rata-rata skor prostes konvensional. Kelayakan bahan ajar tematis mencakup 4 komponen: kelayakan isi/
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 materi 77,92%, kebahasaan 73,40%, penyajian materi 77,92%, dan grafika 70,8%. Berdasarkan tanggapan responden dinyatakan baik dan layak untuk digunakan rata-rata komponen 74,83%. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan: 1) kebutuhan bahan ajar menurut guru dan siswa; (a) sesuai kurikulum yang berlaku, (b) relevan buku guru dan buku siswa, (c) isi pembelajaran sesuai tujuan berbahasa dan bersastra, (d) menggunakan tema di sekitar siswa, (e) mengaktifkan siswa, (f) materi jelas, menarik, dan mudah dipahami; (g) sesuai dengan minat dan kemampuan siswa, (h) siap pakai pada kondisi minimal; 2) mengembangkan prototype menjadi bahan ajar tematis, dapat berupa: (a) buku guru dan buku siswa harus relevan; (b) struktur pembelajaran mencakup judul pembelajaran, tema, aspek keterampilan, kompetensi dasar, indikator, tujuan pembelajaran, dan alokasi waktu, pengantar, uraian materi, rangkuman, tugas/latihan, dan skor penilaian; (c) tugas bahan ajar bersifat otentik, dilaksanakan secara mandiri dan kelompok; (d) kegiatan dan tugas/latihan dalam bahan ajar dikembangkan secara tematis; (e) pemilihan teks dan tugas/latihan dengan tematis dan situasional; (f) dapat dipakai pada kondisi fasilitas di sekolah yang minimal; dan (g) isi materi dan tugas/latihan bahan ajar dapat mengembangkan keterampilan berbahasa dan bersastra, wawasan intelektual, dan apektif; 3) hasil uji keefektifan produk bahan ajar dengan (uji-t) menunjukkan bahwa bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan tematis efektif; dan 4) hasil uji kelayakan pengembangan bahan tematis berdasarkan tanggapan responden dinyatakan baik dan layak untuk digunakan rata-rata komponen
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 141 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
kelayakan isi materi, kebahasan, penyajian materi, dan grafika 74,83%. Berdasarkan simpulan tersebut dapat dikemukakan saran-saran berikut ini: (1) kepada guru bahasa Indonesia, agar dapat menggunakan bahan ajar tematis yang telah disusun ini dalam pembelajaran di SMA dan dapat melakukan pengembangan bahan ajar untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai kurikulum; (2) Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas diharapkan dapat merekomundasikan bahan ajar yang sudah disusun ini untuk dipakai di SMA yang ada di Kabupaten Sambas karena sudah diuji efektif sebagai bahan ajar dan mengacu pada kurikulum yang berlaku; (3) Pemda Sambas, diharapkan dapat menyediakan anggaran untuk mencetak bahan ajar ini agar dapat digunakan di SMA yang ada di Kabupaten Sambas; dan (4) penulis atau pengembang bahan ajar berikutnya, agar mengembangkan dan menemukan strategi baru dengan model yang bervariasi karena pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia dengan pendekatan tematis ini, merupakan sebagian kecil dari model-model pengembangan bahan ajar.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 142 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Jamaliah. 2007. Konsef Pendekatan Tematik: Power Point Seminar. Kuala Lumpur. Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007a. Petunjuk Teknis Pengembangan Silabus dan Contoh/Model; Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdiknas. ---------. 2007b. Model Penilaian Kelas Kurikulum Berbasis Kompetensi.Jakarta: Depdiknas. ---------. 2007c. Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Untuk Sekolah Menengah Atas.Jakarta: Depdiknas. Borg, Walter & Gall, Meredith Damien. 1983. Educational Research. New York: Longman. Brown, H. Douglas. 2002. Principles of Language Learning and Tearching: Fourth Edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Pearson Education Company. Busching, B.A. & Lunsteen, S.W. 1999. Curriculum Models for Integrating. Educational Leadership Journal. Cunningsworth, Alan. 1995. Choosing Your Course-Book. Oxford: Heilnemann. Depdiknas. Depdiknas. 2003. Standar Penilaian Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. --------. 2006a. KTSP SD & Madrasah Ibtidaiyah: Dilengkapi Model Silabus, Model Pembelajaran Tematik, Model Mata Pelajaran Muatan Lokal. Surakarta: Depdiknas. --------. 2006b. Kumpulan Permendiknas Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Panduan KTSP: Panduan Penusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Sekolah Menengah. Jakarta: Depdiknas Dikpendikdasmen --------. 2006c. Panduan Pengembangan Silabus Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas Dikpendikdasmen --------. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan SMA. Dryden, Gordon & Jeannette Vos. 2003. Revolusi Cara Belajar: The Learning Revolution. Bandung: Kaifa. Ellis, Rod. 1997. “The Empirical Evaluation of Language Teaching Materials”. ELT Journal Vol.51/1, hlm. 36-42. Listiyono, Agus. 1 November 2004. Potret Kelam Itu Bernama Buku Sekolah. Kompas. Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 143 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
Lipson, Marjorie Y, Sheila W, Karen K & Charles W. Peters, 2003. ”Integration and Thematic Teaching: Integration to Improve Teaching and Learning”. Language Arts. Reprinted by Permission of National Council of Teachers of English NCTE, 70. Majid, Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT Remaja Rodsakarya. Meier, Dave. 2002. The Accellerated Learning. Bandung: Kaifa. Purwo, Bambang Kaswanti. 1997. Pokok-pokok Pengajaran Bahasa dan Kurikulum 1994 Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Salam. 2007. Pengembangan Bahan Ajar. Makalah disajikan dalam Penataran Guru Bahasa Indonesia SMA di Sulawesi Selatan:Ujung Pandang. Samiawan, Conny. 2003. Pendidikan, Mutu Pendidikan dan Peranan Guru (Ed), Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Richards, J.C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Tomlinson, Brian. (ed.). 1998. Materials Development in Language Teaching. Cambridge: CUP. Tirto, Agus. 2005. Pengembangan Model Bahan Ajar: Penelitian dan Pengembangan Model Bahan Ajar Bahasa Indonesia untuk SLTP Kelas 7 sebagai Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Sinposis Disertasi Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Waluyo, Herman J. 19 Oktober 2002. Pengajaran Bahasa Masih Teoretis. Suara Merdeka, hlm.12.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 144 -
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRINSIP BAGI HASIL DALAM PERBANKAN Munadi *
ABSTRAK
Di dalam prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) secara otomatis risiko kesulitan usaha ditanggung bersama oleh pemilik dana dan pengguna dana. Prinsip bagi hasil yang diterapkan Bank Syariah mengandung beberapa prinsip penerapan yang perlu dikaji untuk menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul. Munculnya Bank Syariah dikarenakan bahwa semua bentuk riba dilarang mutlak oleh alQur’an, yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Demikian pula dalam beberapa hadis, Nabi Muhammad SAW. Mengutuk orang yang menuliskan perjanjiannya, dan orang yang menyaksikan persetujuannya. Dapat ditegaskan bahwa tidak ada tempat bagi institusi bunga dalam tatanan yang Islami. Bank syariah dalam operasionalnya berdasarkan pada prinsip profit and loss sharing (bagi untung dan bagi rugi). Bank syariah tidak membebankan bunga, melainkan mengajak partisipasi dalam bidang usaha yang didanai. Sistem ini berbeda dengan bank konvensional yang pada intinya meminjam dana dengan membayar bunga pada satu sisi neraca dan memberi pinjaman dana dengan menarik bunga pada sisi lain. Pada dasarnya konsep mudharabah dalam fikih klasik adalah model direct financing, investasi langsung antara shahib al-mal dengan mudharib. Namun karena terdapat kendala dalam perkembangannya maka dilakukan inovasi baru oleh ulama kontemporer dengan mudharabah model inderect financing, dengan melibatkan pihak ketiga sebagai perantara. Dan model baru inilah yang digunakan dalam konsep mudharabah dalam perbankan syariah saat ini.
Kata Kunci: Hukum Islam, Bagi Hasil, Perbankan.
*Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas
HP. 081345389068 E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembanan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi melalui jada financial perbankan. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang strategis dimana kegiatan utama dari masyarakat serta menyalurkan kembali pada masyarakat. Dalam perkembangannya, juga terdapat bank yang menggunakan sistem bagi hasil, atau yang lebih dikenal dengan Bank Syariah. Kemunculan bank syariah di satu sisi dalam rangka mengoptimalkan fungsi sistem perbankan, juga dikarenakan masyarakat Muslim Indoensia menginginkan suatu konsep perbankan sesuai dengan kebutuhan dan syariat Islam. Bahkan, dalam kelanjutannya semakin tingginya ketertarikkan terhadap perbankan syariah, dimana bukan semata-mata menyangkut Fiqih Muamalah, tetapi juga berkaitan dengan potensi perekonomian syariah sebagai alternatif dari sistem perekonomian. Dengan dikembangkannya perbankan yang dioperasikan berdasarkan prinsip syariah, diharapkan mobilisasi dana dan potensi ekonomi masyarakat Muslim dapat dioptimalkan, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan peran sektor perbankan secara keseluruhan. Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengarahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuh kannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokok terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasar-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 kan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing). (Peri, http://omperi. Wikidot.com/sejarah-hukum-perbanksyariah di Indoneisa, diakses pada 5 November 2011). Dalam proses penghimpunan dana maupun penyaluran dana, Bank Syariah menerapkan prinsip bagi hasil. Penerapan prinsip bagi hasil dalam pembiayaan terhadap nasabah Bank Syariah mempunyai legalitas institusional dengan di berlakukannya PP No. 72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil, dimana PP No. 72 tahun 1992 telah dicabut dan diganti dengan PP No. 30 tahun 1999. Di dalam prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) serta secara otomatis risiko kesulitan usaha ditanggung bersama oleh pemilik dana dan penggunan dana. Prinsip bagi hasil yang diterapkan bank syariah mengandung beberapa prinsip menyelesaikan permasalahan yang akan timbul. BANK SYARIAH DAN BAGI HASIL Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Di Indonesia secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. (Peri, http://omperi. Wikidot.com/sejarah-hukum-perbanksyariah di Indoneisa, diakses pada 5 November 2011). Munculnya Bank Syariah dikarenakan bahwa semua bentuk riba dilarang mutlak dalam al-Quran, yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Demikian pula dalam beberapa hadits, Nabi Muhammad Saw mengutuk orang yang menuliskan perjanjiannya, dan orang yang menyaksikan persetujuannya. Dapat ditegaskan bahwa tidak ada tempat
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 146 -
IAIS Sambas bagi institusi bunga dalam tatanan yang Islami. Penolakan atas bunga ini memunculkan pertanyaan tentang apa yang dapat menggantukan mekanisme penerapan suku bunga dalam sebuah kerangka kerja Islam, jika pembayaran dan penarikan bunga dilarang? Atau lebih detailnya, bagaimana bank-bank syariah beroperasi?. Di sinilah lalu muncul konsep bagi bagi untung dan sistem bagi rugi masuk mengantukan sistem bunga, atau yang lebih dikenal dengan sistem profit and lost sharing (bagi untung dan rugi) sebagai metode alokasi sumber daya. Prinsip bagi hasil inilah yang merupakan karakteristik umum dan landasan dasar operasional bank syariah secara keseluruhan. Secara prinsip dalam perbankan syariah yang paling banyak dipakai adalah akad yakni mudharabah (kontrak permodalan) dan musyarakah (kontrak kemitraan), sedangkan muzara'ah dan musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan. (Antonio, 2001: 90). Dalam tulisan ini, pembahasan hanya akan difokuskan pada mudharabah saja. Secara syariah, prinsip mudharabah adalah bank syariah akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung, dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib (pengelola), sedangkan penabung bertindak sebagai shahih al-mail (penyandang dana). Anrata keduanya diadakan akan mudharabah yang mengadakan keuntungan masing-masing pihak, di sisi lain pengusaha atau peminjam dana bank syariah akan bertindak sebagai shahib al-mal (penyandang dana), baik yang berasal dari penabung atau pun deposito maupun dana bank sendiri berupa modal pemegang saham. Sementara itu, pengusaha atau peminjam akan berfungsi sebagai mudharib (pengelola) karena melakukan usaha dengan cara memutar
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dan mengelola dana bank. (http://www. asysyuariah. com/syariah/ diakses pada 5 Nopember 2011). Pertanyaannya, apakah memang sudah seperti itu antara teori (dalam hal ini konsep mudharabah dalam fikih Islam) dan prakteknya (konsep mudharabah dalam Undang-undang No. 21 Tahun tentang Perbankan Syariah). Oleh karena itulah, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian berkaitan hal tersebut dengan melihat konsep mud}arabah yang ada dalam fikih Islam, kemudian ketentuan mudharabah atau bagi hasil yang ada dalam UUPS, kemudian menganalisanya. Fikih Mudharabah Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari al-dharbu fil-ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga, sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. al-Muzammil: 20, yang artinya: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah. (Muhammad Yusran Kamarullah, http: kajian islah. blogspot.com.mudharabah. html, diakses pada 5 november 2011). Mudharabah adalah suatu bentuk kontrak yang lahir sejak zaman jahiliyah atau dalam bentuk hasil dan investasi. Dalam bahasa Arab ada tiga istilah yang digunakan terhadap bentuk oragnisasi bisnis ini, yaitu qiradh, muqaradhah, mudharabah. Dari ketiga istilah ini tidak ada perbedaan yang prinsip. Menurut istilah fikih, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain agar dikembangkan, sedangkan keuntungan nya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan ketentuan yang disepakati. Imam al-Syarbini, sebagaimana dikutip oleh Kholil Syamhadi, menjelaskan, bahwa rukun mudharabah ada lima, yaitu:
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 147 -
IAIS Sambas 1. Modal Modal adalah sejumlah uang dan/ atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut: (Kholid Syamhudi, http://ustadkholid. com. diakses pada 5 Nopember 2011). a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya. b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, mala aset tersebut harus dinilai pada waktu akad. c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudhrarib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. 2. Jenis usaha Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatiakn halhal berikut: (Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSNMUI/ IV/2000). a. Kegiatan usaha adalah hak ekslusif mudharib, tanpa campur tangah penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasa. b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan. c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syari’ah Islam dalam tindakan yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktivitas itu. (Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSNMUI/ IV/2000). Jenis usaha disini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu: a. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 b. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya. c. Asal dari usaha dalam mudharabah adalah dibidang perniagaan dan yang terkait dengannya, serta tidak dilarang syariat. d. Pembatasan waktu penanaman modal. 2. Keuntungan Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi: a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak. b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan. Namun dalam mudharabah pendapatan keuntungan itu disyaratkan dengan empat syarat, yakni: (Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSNMUI/IV/ 2000). a. Keuntungan, khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama, yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. b. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. c. Keuntungan harus diketahui secara jelas. d. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik mo dal (investor) dan pengelola. Adapun dalam pembagian keuntungan perlu
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 148 -
IAIS Sambas
1.
2. 3.
4.
5.
sekali melihat hal-hal sebagai berikut antara lain: Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerrugian hanya ditanggung pemilik modal Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungannya Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan, kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakuan perhitungan akhir atas usaha tersebut.
Pelafalan transaksi Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukan kehendak mereka dalaam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespodensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. ((Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSNMUI/ IV/2000). 6. Dua pelaku transaksi. Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Padda rukun pertama ini,, keduanya diisyaratkan memiliki kompetensi (jaiz altasharruf), dalam pengertian, mereka berdua baligh, berakal, rashid (normal) dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. (Muhammad ath-Thayar, 1425: 169). Secara umum mudharabah terbagi kepada dua jenis, yaitu: (M Syafii Anotio, t..th: 173).
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 a. Mudharabah muthlaqah, yaitu dimana shahib al-mal memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menggantungkan. Meskipun begitu, pengelola tetap bertanggung jawab untk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktik kebiasaan usaha normal yang sehat (‘uruf).(http://wikipedia.org/Mudhar abah, diakses pada 5 Nopember 2011). Penerapan Mudharabah dan Bagi Hasil dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 1. Mudharabah dalam UUPS Dengan jelas UUPS mengatur jenisjenis pembiayaan dalam perbankan syariah. Yaitu dimuat dalam ketentuan umum angka 25, yang menyatakan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipeersamakan dengan itu berupa: a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bi al-tamlik; c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa selama ini perbankan syariah selalu diidentikan dengan bank bagi hasil, meski sebenarnya bagi hasil merupakan salah satu produk dari perbankan syariah sebagaimana disebut kan dalam ketentuan tersebut di atas. Meski hanya salah satu bentuk transaksi dalam pembiyaan syariah, akan tetapi transaksi dalam pembiayaan syariah, namun prinsip bagi hasil
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 149 -
IAIS Sambas diakui sebagai roh dalam pembiayaan syariah. Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahib al-mal) menyediakan seluruh modal (100%), sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Apabila dalam usahanya diperoleh keuntungan (profit) maka, keuntungan tadi kemudian dibagi antara shahib almal dan mudharib dengan prosentase nisbah atau rasio yang telah disepakati sejak awal perjanjian atau kontrak. Sedangkan apabila usaha tersebut merugi maka, kerugian tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak shahibul mal sepanjang hal itu disebabkan oleh resiko bisnis (bussiness risk) dan bukan karena kelalaian mudharib atau disebut character risk. Aplikasi dalam perbankan dengan prinsip mudharabah ini ada dua jenis, yaitu: a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa; b. Investasi khusus, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal. Dalam UUPS definisi mengenai akad mudharabah dalam pembiayaan disebut kan pada Penjelasan Pasal 19 ayat 1 C, yakni: “Yang dimaksud dengan “akad mudharabah” dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahib al-mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali, jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.”
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 2. Bagi Hasil dan Nisbah Sebagaimana penjelasan di atas, Perbankan syariah dimuat dalam ketentuan umum angka 25 dari UUPS. Pada dasarnya, istilah bagi hasil bukan hal baru mengenai kegiatan ekonomi di Indonesia. Sistem bagi hasil ini sudah dikenal sejak dahulu melalui bagi hasil pertanian yang dilakukan oleh pengggarap dan pemilik lahan. Bagi hasil sendiri dalam terminologi asing dikenal dengan profit sharing. Profit sharing menurut etimologi adalah bagi keuntungan. Dalam Kamus Besar ekonomidiartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tahunan yang didasarkan pada laba yang di peroleh pada tahun tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapat setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. Bentuk-bentuk pembagian laba yang tidak berlangsung mencakup alokasi saham-saham (penyertaan) perusahaan pada para pegawai di bayar melalui laba perusahaan dan memberikan pada para pegawai opsi untuk membeli sahamsaham sampai pada jumlah tertentu di masa yang akan datang pada tingkat harga sekarang, sehingga memungkinkan para pegawai memperoleh keuntungan baik dari pembagian deviden maupun setiap pertumbuhan dalam ni-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 150 -
IAIS Sambas lai saham yang dihasilkan dari peningkatan dalam kemampuan memperoleh laba. Pada mekanisme lembaga keuangan syariah pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk produk-produk penyertaan, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagian, atau bentuk bisni koperasi. Pihak-pihak yang terlibat dalam kepentingan bisnis tadi harus melakukan transparansi dan kemitraan secara baik dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukan rutin yang berkaitan dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan peribadi yang menjalankan proyek. Sebagaimana dikemukana di atas, bahwa nisbah keuntungan adalah salah satu rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua pihak mengenai cara pembaigan keuntungan. Adapun nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal tertentu. Penentuan besarnya nisbah ditentukan masing-masing pihak yang berkontrak, tetapi dalam prakteknya di perbankan modern, tawar-menawar nisbah antara pemilik modal (yakni investor atau deposan) dengan bank syariah hanya terjadi bagi deposan / investor dengan jumlah besar, karena mereka ini memiliki daya tawar yang relatif tinggi. Kondisi seperti ini sebagai spesial nisbah, sedangkan untuk nasabah deposan kecil tawar-menawar tidak terjadi. Bank syariah akan mencantumkan nisbah yang ditawarkan, deposan boleh setuju boleh tidak. Bila setuju maka ia akan melanjutkan menabung, sebaliknya bila
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 tidak setuju dipersilahkan mencari bank syariah lain yang menawarkan nisbah lebih menarik Oleh karena itu bisa diringkas, bahwa feature mudharabah, adalah: a. Berdasarkan prinsip berbagi hasil dan berbagi risiko 1) Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. 2)Kerugian finansial menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang telah dilakukan. b. Pemilik dana tidak diperbolehkan mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari 3. Jaminan Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak dikenal adanya jaminan. Namun, dengan tujuan agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, maka lembaga keuangan syariah dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Hal ini sbagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPS, yang menyatakan bahwa: “Penyaluran dana berdasarkan pada prinsip syariah oleh bank syariah dan unit usaha syariah mengandung resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank syariah dan unit usaha syariah. Mengingat bahwa penyaluran dana dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang diseimpan pada bank syariah unit usaha syariah, resiko yang dihadapi dapat berpengaruh pula pada keamanan dana masyarakat tersebut.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 151 -
IAIS Sambas Tinjauan Hukum Islam terhadap Konsep Mudharabah dan Bagi Hasil dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 1. Pembiayaan Mudharabah di Perbankan Syariah Konsep mudharabah dalam kitab fikih klasik adalah model yang berlaku antara dua pihak secara langsung yakni hubungan antara shahib al-mal dengan mudharib. Dan ini sesungguhnya merupakan praktik mudharabah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat serta umat muslim sesudahnya. Dalam konsep fikih klasik ini yang terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahib al-mal (sebagai surplus unit) dengan mudharib (sebagai deficit unit). Dalam model direct financing ini, peran bank sebagai lembaga perantara (intermediary) tidak ada. Mudharabah dalam konsep seperti ini memiliki ciriciri khusus, yakni bahwa biasanya hubungan antara shahib al-mal dengan mudharib merupakan hubungan personal dan langusng serta dilandasi oleh rasa saling percaya (amanah). Shahib almal hanya mau menyerahkan modalnya kepada orang yang ia kenal, baik profesionalisme maupun karakternya. Dalam perkembangannya, konsep mudharabah seperti itu tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk dapat diterapkan oleh bank. Ini dikarenakan beberapa hal, yakni: a. Sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, dimana merekan tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinannya terjadi hubungan yang langsung diperoleh; b. Banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratuan ribu shahib al-mal untuk sama-sama menjadi penyandang untuk satu proyek tertentu;
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 c. Lemahnya disiplin terhadap ajaran Islam yang menyebabkan sulitnya bank memproleh jaminan keamanan atas modal yang disalurkannya. Untuk mengatasi masalah di atas khususnya masalah pertama dan kedua, maka ulama kontemporer melakukan inovasi dengan membuat konsep baru dari mudharabah. Yaitu, mudharabah yang melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak ini diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga perantara yang mempertemukan shahib al-mal dengan mudharib. Dalam skema indirect financing, bank menerima dana dari shahib al-mal dalam bentuk dana pihak ketiga sebagai sumber dananya. Dana-dana ini dapat berbentuk tabungan atau simpanan deposito mudharabah dengan jangka waktu yang bervariasi. Selanjutnya dana-dana yang sudah terkumpul ini disalurkan kembali oleh bank ke dalam bentuk pembiayaan-pembiayaan yang menghasilkan (earning assets). Keuntungan dari penyaluran pembiayaan inilah yang akan dibagihasilkan antara bank dan pemilik dana. Adanya model indirect financing inilah yang dalam praktek operasi perbankan syariah kemudian melahirkan dua tingkatan mudharabah, yakni: a. Mudharabah tingkat pertama, yaitu perjanjian antara bank dan pemilik dana pihak ketiga untuk menempatkan atau menginbvestasikan sejumlah uangnya di bank dan untuk membagi keuntungan; b. Mudharabah tingakt kedua, perjanjian antara bank dan pengusaha untuk membiayai suatu proyek dengan proporsi keuntungan ditentukan bersama oleh para pihak dalam suatu perjanjjian sebuah proyek dimulai jika terjadi kerugian sesuai dengan kondisi proyek akan ditanggung oleh penyedia modal.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 152 -
IAIS Sambas Perjanjian itu akan adil jika antara shahib al-mal dan mudharib membagi keuntungan dan resiko kerugian secara seimbang. Dengan kata lain, jika mengikuti prisip Islam, mudharib akan mengalami resiko kerugian dalam usaha. Jika tak ada resiko dalam modal, maa tak ada keuntungan. UUPS, yang merupakan aturan main perbankan syariah di Indonesia, mengikuti konsep mudharabah dengan melibatkan pihak ketiga. Dan ternya, konsep yang dianut oleh UUPS ini sudah sesuai dengan konsep mudharabah dalam fikih Islam, karena sesuai dengan konsep yang dikembangkan oleh ulama kontemporer. Sistem Bagi Hasil dalam Perbankan Syariah Bank syariah dalam operasionalnya berdasarkan pada prinsip profit and loss sharing (bagi untung dan bagi rugi). Bank syariah tidak membebankan bunga, melainkan mengajar partisipasi dalam bidag usaha yang didanai. Paraa deposan juga sama-sama mendapat bagian dari keuntungan bank sesuai dengan rasio yang telah tetapkan sebelumnya. Dengan demikian ada kemitraan antara bank syariah dengan para deposan di satu pihak bank dan antara bank dan para nasabah investasi sebagai pengelola sumber dana para deposan dalam berbagai usaha produktif di pihak lain. Sistem ini berbeda dengan bank konvensional yang pada intinya meminjam dana dengan membayar bunga pada satu sisi neraca dan memberi pinjaman dana dengan menarik bunga pada sisi lain. Kompleksitas perbankan Islam tampak dari keragaman dan penamaan instrumen-instrumen yang digunakan, di mana ditujukan untuk memberikan fariasi dari instrumen anti bunga sebagai bentuk aplikasi dari dalil-dalil hukum Islamnya.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Perbankan Syariah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya, pembayaran dan penarikan bunga dilarang dalam semua bentuk transaksi. Islam melarang kaum Muslimin menarik atau membayar bunga (riba). Sumber utama dalam Islam adalah alQur’an dan Hadits. Kedua sumber ini menyatakan bahwa penarikan bunga adalah tindakan pemerasan dan tidak adil sehingga tidak sesuai dengan gagasan Islam tentang keadilan dan hak-hak milik. Pembayaran dan penarikan bunga sebagaimana terjadi dalam sistem perbankan konvensiona secara terang-terangan di larang dalam al-Qur’an, sehingga para investor harus diberi konpensasi dengan cara lain. Perbedaan yang mendasar antara sistem keuangan konvensional dengan Syariah terletak pada mekanisme memperoleh pendapatan, yakni bunga dan bagi hasil. Dalam fiqih, bagi hasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah. Kedua bentuk perjanjian keuangan itu dianggap daat menggantikan riba, yang mengambil bentuk bunga. Antara bunga dan bagi hasil, keduanya sama-sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana. Namun, keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Hal ini bisa dilihat dalam tabel di bawah ini. No 1
Bunga Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
2
Besarnya prosentase berdasar-kan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan Pembayaran bunga tetap seperti yang
3
Bagi Hasil Penentuan besarnya rasio atau nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Besarnya rasio bagi hasil ber-dasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 153 -
IAIS Sambas
4
5
dijanjikan tanpa per-timbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dijalankan Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
Jaminan Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharibtidak melakukan penyimpangan makan diperbolehkan adanya jaminan. Inilah ketentuan yang adan dalam UUPS, yakni dalam penjelasan pasal 37 ayat (1), bahkan menjadikannya sebagai persyaratan, dengan alasan upaya untuk menyebag resiko sehingga resiko pembiayaan tidak hanya terpusat pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu. Hal ini dikarenakan resiko utama dari produk ini adalah risiko pembiayaan (credit risk) yang terjadi jika debitur wanprestasi atau default. Para fuqaha pada dasarnya tidak setuju tentang adanya jaminan. Menurut mereka, mudharabah merupakan kerjasama saling menanggung, satu pihak modal dan pihak lain menanggung kerja, dan mereka saling mempercayai dan jika terjadi kerugian semua pihak merasakan kerugian tersebut. Shahib al-mal tidak dapat menuntut jaminan apapun untuk mengembalikan modal atau modal dengan keuntungan, mengingat hubungan antara shahib almal dengan mudharibadalah hubungan
yang bersifat kepercayaan dan mudharib adalah orang yang dipercaya, maka jaminan semacam itu tidak perlu. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat dan menjaga dana, yakni melakukan pelanggaran, kesalahan, dan kelalaian dalam perilakunya yang tidak termasuk dalam bisnis mudharabah yang disepakati, atau ia keluar dari ketentuan-ketentuan yang disepakati, mudharib harus menanggung kerugian mudharabah sebesar kelalaiannya sebagai sanksi dan tanggung jawabnya. Sungguh pun demikian, beberapa ulama mengizinkan pemilik dana meminta jaminan dari mudharib terhadap pelanggaran batas atau tindakan menyalahi ketentuan. Ini disebut jaminan dari kemungkinan penghianatan. Beberapa ulam dari mazhab Maliki juga membolehkan adanya pihak ketiga yang menyediakan jaminan bagi mudharabah. Ini disetujui Akademi Fiqih Islam OKI dengan syarat-syarat tertentu. Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia juga membolehkan adanya jaminan, melalui Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 07/DSNMUI/ IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah (Qiradh). Jaminan ini diperlukan untuk mengantisipasi perilaku mudharib dalam menggunakan dana yang diberikan oleh shahib al-mal. Jadi jaminan itu dibolehkan atas dasar character risk. Dengan kata lain mudharibkan menanggune kerugian yang disebabkan kelalaiannya atau melanggar ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak. Menurut Adiwarman A. Karim tidak diperlukannya jaminan dalam akad syirkah menurut para fuqaha adalah dalam konteks bussines risk. Sedangkan untuk character risk, mudharib pada hakikatnya menjadi wakil dari shahibul mal, sehingga wajib baginya berlaku amanah. Jika mudharib melakukan keteledoran, kelalaian, kecerobohan dalam merawat
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 154 -
IAIS Sambas dan menjaga dana, yakni melakukan pelanggaran, kesalahan dan kelewatan dalam perilakunya yang tidak termasuk dalam bisnis mudarabah yang disepakati, mudharib tersebtu harus menanggung kerugian mudharabah sebesar bagian kelalaiannya sebagai saksi dan tanggung jawabnya. Ia telah menimbulkan kerugian karena kelalaian dan perilaku zalim karena ia telah memperlakukan harta orang lain yang dipercayakan kepadanya di luar ketentuan yang disepakati. Mudharib tidak pula berhak untuk menentukan sendiri mengambil bagian keuntungan tanpa kehadiran atau sepengetahuan shihibul mal sehingga shahibul mal dirugikan. Jelas dalam ha ini konteksnya adalah character risk. Untuk menghindari adanya moral hazard dari pihak mudharib yang lalai atau menyalahi kontrak ini, maka shahibul mal diperbolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Jaminan ini akan disita oleh shahib almal jika ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan kesalahan, yakni lalai dan/ atau ingkar janji. Jadi tujuan pengenaan jaminan dalam akad mudharabah adalah untuk menghindari moral hazard mudharib, bukan untuk “mengamankan” nilai investasi jika terjadi kerugian karena faktor resiko bisnis. Tegasnya bila kerugian yang timbul disebabkan karena faktor resiko bisnis, jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahib al-mal. SIMPULAN Beradasarkan pemaparan tersebut disimpulkan bahwa, secara teoritis konsep-konsep yang ada dalam prak-tek perbankan syariah di Indonesia sudah sesuai dengan yang ada dalam konsep fiqih, baik klasik maupun kontemporer. Hal ini bida dilihat da-lam beberapa di antaranya:
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 1. Pada dasarnya konsep mudharabah dalam fikih klasik adalah model direc financing, investasi langsung antara shahib al-mal dengan mudharib. Namun, karena terdapat kendala dalam perkembangannya maka dilakukan inovasi baru oleh ulama kontemporer dengan mudharabah model inderect finacing, dengan meibatkan pihak ketiga sebagai perentara. Dan model baru inilah yang digunakan dalam konsep mudharabah dalam perbankan syariah saat ini. 2. Perbedaan yang mendasar antara sistem keuangan konvensional dengan syariah terletak pada mekanisme perolehan pendapatan, yakni bungan dan bagi hasil. Dalam fikih, bagihasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah. Kedua bentuk perjanjian keuangan itu dianggap dapat menggantukan riba, yang mengambil bentuk bunga. 3. Pada prinsipnya, para fuqaha tidak setuju, jika dalam pembiayaan mudharabah terdapat jaminan. Namun, dengan tujuan menghindari moral hazard mudharib, bukan untuk “mengamankan” nilai investasi jika terjadi kerugian karena faktor resiko bisnis, maka pengenaan jaminan dalam akad mudharabah diperbolehkan. Hal inilah yang menjadi landasan Pasal 37 ayat (1) UUPS yang mewajibkan adanya jaminan dalam mudharab. Sebagai saran, untuk lebih ke depan, bahwa bank-bank syariah yang ada di Indonesia tidak hanya menerapkan konsep-konsep tersebut saja, tetapi juga nilai-nalai Islam, yang lebih pokok adalah etika perdagangan Islam.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 155 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Anonim, “Mudharabah”, dalam http://www.asysyariah. com/syariah/kajianutama/72-kajian-utama-edisi-53/515-karakteristik-bank-syariah-kajianutama-edisi-53.html, diakses pada 5 Nopember 2011. Antonio, Muhammad Syafi'i, 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSNMUI/ IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Hafidhuddin, Didin, 2003. Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press. http://id.wikipedia.org/wiki/Mudharabah, diakses pada 5 Nopember 2011. Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, edisi II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kholid Syamhudi, “Rukun Mudharabah”, dalam http://ustadzkholid.com/fiqih/muamalahfiqih/rukun-mud}arabah/, diakses pada 5 Nopember 2011. Muhammad Yusran Kamarullah, Mudharabah, http://kajian-islah.blogsport.com/ 2009/02/mudharabah.html, diakses pada 5 Nopember 2011. Muhammad. 2002. Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Pass, Cristopher dan Bryan Lowes. 1994. Kamus Lengkap Ekonomi, Jakarta: Erlangga. Peri, “Sejarah Hukum Perbankan Syariah di Indonesia”, dalam http://omperi.wikidot.com/sejarah-hukum-perbankan-syariah-di-indonesia, diakses pada 5 Nopember 2011. Saeed, Abdullah. 2003. Bank dan Bunga, Terj. M. Ufuqul Mubin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Thayar (al), Abdullah bin Muhammad. Al-Fiqh Al-Muyassar, Beirut.: Darul Fikr. Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI. 2001. Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan.
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 156 -
REFORMASI BIROKRASI MENUJU TERWUJUDNYA GOOD GOVERNANCE (Telaah Sosiologis Sistem Hukum Kepegawaian di Indonesia) Jamiat Akadol *
ABSTRAK Peran penting birokrasi dalam mewujudkan good governance menghendaki kebijakan pembangunan birokrasi. Pembangunan birokrasi dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur Negara. Hal itu dapat mewujudkan tata pemerintahan yang baik untuk mencapai keberhasilan pembangunan. Kenyataan yang ada perilaku birokrasi sulit berubah dalam mewujudkan good governance. Tujuan penulisan ini mendeskripsikan tentang: (1) birokrasi dan permasalahannya; (2) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku birokrasi di Indonesia; (3) kebijakan reformasi birokrasi serta pengaruhnya terhadap good governance; dan (4) rekonstruksi sistem hukum kepegawaian di Indonesia. Metode kulitatif digunakan dalam penelitian ini dengan pendekatan analisis rasional berdasarkan pengamatan, pemikiran, dan pengalama nserta didukung studi literature. Analisis data sesuai dengan rumusan masalah. Hasil yang diperoleh berupa deskripsi tentang peran penting birokrasi dalam mewujudkan good governance menghendaki kebijakan pembangunan birokrasi. Pembangunan birokrasi dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan.
KATA KUNCI: Reformasi, Birokrasi, Good Governance
*Dosen
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas HP.08125607464 E-mail:
[email protected]
IAIS Sambas PENDAHULUAN Keinginan untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance) sudah cukup lama direncanakan sejalan dengan gerakan reformasi diberbagai sektor sejak runtuhnya rezim orde baru pimpinan Suharto. Aplikasi dari good governance dipahami secara berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat dipahami karena perbedaan cara pandang masing-masing. Dalam konteks pemberantasan KKN, good governance sering diartikan sebagai pemerintahan yang bersih dari praktek KKN. Good governance dinilai terwujud jika, pemerintah yang berkuasa mampu menjadikan dirinya sebagai pemerintah yang bersih dari praktek KKN. (Fakhrullah, 2009: 30). Peran pemerintah atau biro-krasi dianggap sebagai penentu utama untuk dapat terwujudnya reformasi birokrasi. Pentingnya peran pemerintah dalam mengwujudkan tata kepemerintahan yang baik, mengingat peran birokrasi di NKRI ini yang sangat strategis. Suka atau tidak, peranan signifikan birokrasi dalam proses pemerintahan dan proses sosial, telah menjadikan sebagai guru masyarakat. Akibatnya, apabila birokrasi mengalami disfungsi, maka kondisi itu menjadi bahan ajar yang merusak bagi masya-rakat (Hamdi, 2009: 7). Peran penting birokrasi dalam mewujudkan good governance menghendaki kebijakan pembangunan birokrasi. Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan terwujud tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya. (Undangundang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Nasional tahun 2005-2025, Bab IV, Arah, Tahapan dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang tahun 20052025, Poin E. Reformasi Hukum dan Birokrasi, t.t: 9). Bahkan berdasarkan Peraturan Presiden RI nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunnan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014 reformasi birokrasi ditetapkan sebagai perioritas nasional pertama dari 11 prioritas nasional. Prioritas nasional tersebut, yakni: (1) reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastuktur; (7) iklim investasi; (8) energi; (9) lingkungan hidup dan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar dan pascakonflik; dan (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi. Reformasi birokrasi di Indonesia dinilai sebagai sesuatu yang sangat mendesak untuk dilakukan. Terlebih lagi adanya kasus Gayus Tambunan, seorang pegawai negeri sipil golongan III/a yang bekerja di Kementerian Keuangan. Beliau didakwa melakukan korupsi miliyaran rupiah dan terbukti telah mencoreng pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Budiono, bahkan menodai bangsa Indonesia di mata dunia. Kasus Gayus Tambunan tersebut telah melibatkan banyak penegak hukum seperti: polisi, jaksa, hakim, pengecara, pimpinan dan anggota rumah tahanan, serta petugas imigrasi. Hal itu, menunjukan dan sekaligus membenarkan bahwa perbuatan korupsi di NKRI tercinta ini perlu diperbaiki. Kinerja birokrasi di Indoneisa mendapat pre-dikat terburuk nomor dua di Asia, setelah India dalam hal efisiensi pelayanan masyarakat dan iklim investasi Asing. (Hasil Survey birokrasi tahun 2010 oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) kepada 1.373 eks- patriat pada awal tahun 2010,
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 159 -
IAIS Sambas dalam Harian Media Indonesia, 4 juni 2010). Skala 1 terbaik dan 10 terburuk, Indonesia mendapat nilai 8,59 dan India dengan nilai 9,41, sementara itu Malaysia dengan nilai 6,97, Cina 7,93, dan Singapura 2,53. Dibandingkan dengan negara lain yang baru bangkit dari perang saudara yang sangat panjang. Negara Vietnam justru lebih bagus posisinya, yakni dengan nilai 8, 13. Reformasi birokrasi yang digulirkan Presiden SBY sampai periode pemerintahannya yang kedua hingga saat ini belum berjalan baik di mata Internasional. (Hamdi, 2009: 7). Sementara itu, indeks persepsi korupsi yang dicapai Indonesia mengalami sedikit perbaikan, yaitu dari 2,0 pada 2004 menjadi 2,6 tahun 2006 dan 2,8 tahun 2009. (Hamdi, 2009: 9). Indeks persepsi korupsi skala 1 terburuk sampai dengan 10 paling baik, berarti hanya sedikit sekali perubahan tatakelola pemerintahan, meskipun harus diakui adanya perbaikan. Namun, demikian adanya kasus Gayus Tambunan dan kasus Bank Centuri, sepertinya belum ada titik terang penyelesaiannya. Hal itu, justru mungkin menurunkan indeks persepsi korupsi menjadi terburuk bagi pemerintahan SBY. Kuncinya tergantung kepemimpinan pemerintah baik pusat maupun di daerah dalam memimpin birokrasi. (Sedarmayanti, 2009: 200-201). Namun, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam acara Forum Komunikasi Pendayagunaan Aparatur Negara Daerah (FORKOMPANDA) di Pekanbaru, Riau 1 November 2010 menegaskan bahwa kunci utama dalam meningkatkan kemampuan birokrasi pada birokrat sebagai aparat pelaksana birokrasi. Jika parabirokrat cenderung memandang tugas yang dilaksanakannya hanya merupa kan sebuah rutinitas belaka, tanpa
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 perubahan atau inovasi, maka birokrasi akan tergilas pengaruh perubahan tersebut. Bahkan, Presiden SBY dalam sambutannya pada Hari Ulang Tahun ke-39 KORPRI tahun 2010, sangat menekankan peran birokrasi yang netral serta mampu dalam meng-hadirkan kualitas pelayanan publik yang baik sehingga dapat dibanggakan satu diantara keuangan bangsa Indonesia di era kompetisi global saat ini. Harapan yang begitu besar terhadap peran birokrasi untuk mengwujudkan good governance di sisi lain, sementara prilaku birokrasi yang ternyata sulit berubah untuk mampu mewujudkan good governance di sisi lain. Meskipun telah dilakukan upaya reformasi birokrasi dengan berbagai produk peraturan perundang-undangan (hukum positif), dinilai sangat menarik untuk diamati dan didiskusikan lebih intensif. Tulisan ini melihat permasalahan reformasi birokrasi dari aspek hukum dalam perspektif soal di lingkungan masyarakat yang beraneka ragam budayanya ketika kebijakan otonomi daerah dengan prinsip otonomi seluasluasnya diterapkan di Indonesia. PERMASALAHAN BIROKRASI Potret Birokrasi Indonesia Potret Biokrasi Indonesi mengalami perubahan mendasar, banyak permasalahan belum terselesaikan. Permasalahan itu semakin meningkat kompleksitas dengan desentralisasi, demokratisasi globalisasi dan revolusi teknologi informasi. (Undang-undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025: 57). Persoalan mendasar adalah ketidakmampuan birokrasi pemerintahan untuk menjadikan masyarakat hidup lebih dalam berbagai aspek kehidupan. (Rowa, 2001: 75).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 160 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Tabel 1: Perbandingan Gaji di Negara Maju
Dampak dari keseluruhan cara kerja birokrasi pemerintahan yang muncul dewasa ini adalah semakin banyaknya gubuk derita dalam masyarakat. Hal tersebut, sebagai gambaran masih banyaknya masyarakat yang tidak memiliki tempat hunian yang layak sebagai manusia. Bahkan, masih banyak anggota masyarakat yang tidak dapat menikmati pendidikan yang memadai. Hal itu mengakibatkan kondisi ekonomi masyarakat yang serba sulit untuk mengimbangi percepatan harga barang. kesenjangan antara kelompok kaya dengan miskin. Akibatnya, semakin terbatas lpangan kerja, angka perngangguran terus meningkat, keadilan semakin sulit didapatkan oleh masya-rakat yang tidak mempunyai akses pada birokrasi. (Hyronimus Rowa,: 2001: 75). Ketidakmampuan aparatur disebabkan antara lain: sistem penggajian bagi PNS yang dinilai sangat tidak baik. Di Indonesia, rendahnya gaji PNS menjadi isue yang sangat menonjol dan selalu di kaitkan dengan berbgai isue lain, seperti: rendahnya produktivitas kerja, buruknya pelayanan publik, dan terjadinya korupsi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2009, gaji pokok PNS terendah ditetapkan sebesar Rp. 1. 040. 000,- yaitu untuk golongan I/a dengan masa kerja 0 tahun. Sementara itu, gaji pokok tertinggi untuk PNS golongan IV/e dengan masa kerja 32 tahun sebesar Rp. 3.400. 000,-. Jadi, perbandingan gaji terendah dan tertinggi adalah 1:3,26. Sekedar untuk perbandingan di bawah ini, disajikan daftar gaji terendah dan tertinggi dibeberapa negara maju.
N o
Perban dingan
Gaji
Negara Rendah
Tinggi 171.320.100
1 : 40 1 Singapura 1.282.972 4.112.245 103.591.610 1 : 25,19 2 Brunai 2.113.034 52.349.701 1 : 24,77 3 Peru 9.996.084 128.981.717 1 : 12,90 4 Spanyol 10.884.570 308.033.333 1 : 13 5 Amerika 1.800.000 1 : 3,13 6 Indonesia 575.000 Sumber: Agus Pramusinto dalam Wahyudi K dan Ambar W (Editor), 2010.
Catatan gaji terendah dan tertinggi yang dicantumkan di atas untuk PNS Indonesia berdasarkan PP Nomor 11 Tahun 2003. (Agus Pramusinto, 2010: 73). Mencermati data pada tabel di atas, jelas sekali bahwa gaji PNS di Indonesia sangat kecil dibandingkan dengan gaji PNS di negara lain. Meskipun telah ada upaya peningkatan gaji PNS sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintahan nomor 8 tahun 2009. Gaji PNS yang sangat rendah tersebut terbukti dapat mempengaruhi kinerja birokrasi. Berdasarkan pengalaman bekerja pada Pemerintah Kabupaten Sambas, hampir seluruh PNS, termasuk CPNS adalah kreditur pada Bank Pemerintah. Hanya dengan menjaminkan Surat Keputusan (SK) sebagai CPNS pada golongan tertentu, sudah dapat dipastikan dapat pinjaman sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), bahkan lebih. Kemudian yang diberikan oleh perbankan dalam memberikan pinjaman berakibat pada perilaku birokrasi yang konsumtif. Memang kebanyakan uang yang dipinjam untuk dipergunakan membangun rumah. Tapi kadang digunakan untuk membeli perabot rumah tangga, sepeda motor; bahkan mobil atau barang yang tidak produktif. Akibatnya, gaji bersih yang diterima setiap bulan semakin sedikit atau nyaris nol. Bila kondisi ini terus terjadi, maka
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 161 -
IAIS Sambas birokrat muda tersebut mulai mencaricari alasan untuk tidak masuk kerja. Masih dalam hal kesejahteraan PNS, adanya perlakuan yang tidak adil dalam memberikan tempat atau posisi PNS dalam sebuah organisasi pemerintahan, dianggap sebagai pemicu turunnya kinerja PNS. Dalam hal ini dikenal dengan tempat basah dan tempat kering. PNS yang bekerja di tempat basah mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan tambahan penghasilan dibandingkan dengan PNS yang bekerja di tempat kering. Bukan hal yang aneh bila cara penampilannya pun jauh berbeda. Dalam hal seperti ini, pangkat dan golongan. Namun, terkesan PNS yang berwibawa atau disebut pejabat. Budaya Birokrasi Budaya adalah kesatuan nilai (core value) pikiran, harapan dan yang diyakini kebenarannya serta diperlukan secara ajek sebagai suatu kebiasaan dalam kehidupan sekelompok manusia dalam suatu entity atau masyarakat tertentu. (Thoha, 2009: 322). Budaya birokrasi pada dasarnya adalah nilai-nilai, normanorma dan jiwa yang men-dasar gerak langkah dan tindak tanduk birokrasi. (Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum, 2010: 286). Budaya birokrasi yang saat ini tidak lepas dari pengaruh budaya masyarakat dan terbentuk dalam waktu yang sama atau panjang. Demikian pula halnya dengan budaya birokrasi Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang. Sebelum Belanda datang, Indonesia di perintah dari berbagai macam kerajaan yang didukung birokrasi parapriyayi (kerabat raja-raja) yang kemudian berlanjut menjadi pilar utama birokrasi kolonial (pangreh praja). Birokrasi dijadikan sebagai instrumen utama penerapan politic indirect rule dengan berbagai pengaruh, seperti: sistem politik dan pemerintah yang dianut, gaya hidup, dan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 cara mereka dididik tentu sangat membekas dalam budaya birokrasi modern Indonesia saat ini. (Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum, 2010: 286). Birokrasi pada zaman kerajaan semata-mata hanya untuk mengabdi kepada raja, terutama untuk menarik pajak, upeti, kerja keras dan lain-lain. Sedangkan birokrasi pada zaman kolonial dibentuk untuk melayani kepentingan pemrintah kolonial dengan tujuan utama membantu mengeksloitasi harta kekayaan Indonesia dibawa ke negeri penjajah. Meskipun saat ini birokrasi telah di bangun secara modern, ternyata pengaruh budaya foedal sulit untuk dihilangkan. Hal ini dapat dibuktikan dari perilaku biokrat yang menganggap upeti berupa sogok dan suap sebagai hal yang biasa untuk menggerakan biokrasi dalam memberikan pelayanan. (Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum, 2010: 287). Berbagai praktik korupsi dilakukan birokrasi saat ini karena untuk memperkaya diri dan lebih besar didorong dari berbagai tekanan politik. bahkan dalam hal ini Emmerson dalam Erwan, bahwa birokrasi hanyalah menjadi alat kepentingan partai politik atau dengan perkataan lain sebagai ladang “jarahan“ partai politik dan militer. Pada masa reformasi saat ini justru birokrasi selain dijadikan “kambing hitam” oleh partai politik, juga digunakan sebagai “ATM” oleh para oknum penegak hukum. Tidak jarang atau bahkan sering kali dikeluhkan oleh birokrasi, tekanan yang dibuatbuat oleh para penegak hukum bahwa, seseorang birokrat telah diduga melakukan korupsi yang dapat dijatuhi hukuman pidana. Selama proses penyidikan seringkali didengar, para oknum penyidik minta uang tiket ke jakarta dengan alasan tidak ada anggaran serta lainya. (Jeddawi, 2008: 287).
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 162 -
IAIS Sambas Akibat dari tekanan-tekanan sebagaimana dicontohkan di atas, sebagian PNS mengikuti saja “arus” yang berjalan. Artinya, ikut-ikutan dengan situasi atau lingkungan dengan cara juga terlibat sesuai dengan bidang tugasnya masingmasing. Tetapi ada pula PNS yang menolak untuk diberi pekerjaan, misalnya sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK), bendahara dan tugas lain yang berkaitan dengan proyek karena takut jadi “sapi perahan” pimpinan atau jadi “ATM” oknum penegak hukum bila ada atau diduga ada kasus. Selain budaya feodal dan pengaruh penjajah serta tekanan politik yang membentuk budaya birokrasi saat ini, juga tidak kalah penting untuk diangkat adalah budaya patron-klien antara birokrat dengan pimpinannya di suatu unit kerja, atau antara PNS daerah dengan PNS provinsi dan PNS pusat. Adanya budaya patron klien dalam pemerintahan dapat dicermati dari interaksi yang dilakukan antara aparat atau pejabat pemerintahan itu sendiri, ataupun interaksinya dengan warga masyarakat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hubungan patron-klien yang dilakukan secara rasional cenderung berpengaruh positif dalam birokrasi, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa budaya patronklien itu berpengaruh negatif terhadap kenerja birokrasi pemerintah. (Kausar A.S., 2009: 169). Adapun pendapat tentang budaya patronklien tersebut, jelas sangat berpengaruh terhadap pelayanan masyarakat dan perilaku yang terkait dengan penegakan hukum. Kata patron berasal dari bahasa latin patronus yang berarti bangsawan, klien berasal dari kata client yang berarti pengikut. (Kausar A.S, 2009: 169). Klien adalah seorang yang masuk dalam hubungan pertukaran tidak seimbang. Ia tidak mampu membalas sepenuhnya pemberian patron, hutang kewajiban mengikatnya dan tergantung pada pat-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 ron. Hubungan dengan patron-klien berada dengan kekerabatan, karena merupakan hasil sosialisasi yang didalamnya terkandung rasa saling percaya untuk mencapai tujuan, sedangkan hubungan patron-klien bersifat persahabatan instrumen dan relasi karena saling berkepentingan. Hubungan patron-klien dengan demikian terjadi karena faktor perasaan tidak enak dan serba salah atau sebutan lainnya yang terkesan dipaksakan. Seorang staff (klien) merasa tidak enak jika tidak memenuhi permintaan pimpinan (patron) meskipun yang diminta itu dapat berupa tindakan melawan hukum, korupsi, dan sebagainya. Nanti bapak (pemimpin), akan marah bila tidak dipenuhi permintaannya. Padahal saya jadi PNS di unit kerja ini adalah atas bantuan pimpinan. Jadi, benar sekali budaya patron-klien dapat diarahkan untuk positif oleh pimpinan (patron), tetapi bisa sebaliknya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disarikan bahwa kinerja birokrasi masih rendah, bahkan dapat dianggap sangat mengecewakan, karena bukan pelayanan kepada masyarakat yang diutamakan, melainkan pelayanan yang baik pada pimpinan. Korupsi, sogok dan sejenisnya dianggap hal biasa karena sebagai perekat hubungan antarbiokrat, staff, dengan pimpinan. Meskipun harus mengorbankan masyarakat. Gaji PNS yang rendah adalah fakta yang tidak dapat dipung-kiri, tetapi pilihan jadi PNS tadinya hanya ingin mengabdi pada negara, padahal mungkin tidak demikian adanya. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Birokrasi Indonesia Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku birokrasi di daerah dalam bekerja maupun pelayanan kepada masyaraykat. Penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 163 -
IAIS Sambas yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan diberbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut, disebabkan ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transformasi, investasi dan perdagangan. (Undang-undang nomor 25 tahun 1999). Menurut Sofian Effendi minimal ada dua faktor penyebab kinerja pemerintahan Gusdur semakin buruk: pertama, gaya kepemimpinan yang kurang sabaran dan erratic karena biasa mengadakan perubahan secara tidak terencana. (Effendi, 2009: 90). Reshuffile kabinet dilakukan bebe-rapa kali, dan intervensi Presiden sa-ngat besar dalam penunjukkan jabatan terus pada birokrasi pusat dan daerah. Kedua, merupakan akar perma-salahan pokok yang besar pengaruhnya pada kenerja pemerintah yakni: amandemen Undangundang Dasar. Amandemen se-banyak empat kali selama kurun waktu 1999 samapai 2004, telah mencipta-kan parlemen semu. (Kusuma, 2004: 32). Undang-undang Dasar hasil amandemen telah merubah secara mendasar sistem demokrasi mayo-ritas dan sistem pemerintahan negara diubah menjadi sistem presidensil. Pa-dahal masyarakat Indonesia yang majemuk memiliki sistem multipartai, berlandaskan paham kekeluargaan, dalam menciptakan keadilan sosial. (Baca Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1983). Sementara itu, Agus Hernanto hadna dalam Wahyudi K. dan Ambar W. berpendapat bahwa kebijakan desentralisasi yang ditandai dengan penetapan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dianggap sebagai sebuah bentuk desain awal yang memberi wewenang pada daerah memiliki otonomi, maka didalamnya juga berisi desain bagaimana daerah harus melakukan reformasi terhadap sistem administrasi. (Wahyudi K. dan Ambar W., 2010: 152). Konstruksi reformasi administrasi publik yang dikehendaki oleh pemerintah pusat disatu sisi terciptanya efiensi dalam membuat kebijakan untuk pelayanan publik. Disisi lain, adalah sesuai dengan kondisi daerah yang bersifat khusus sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. (Wahyudi K. dan Ambar W, 2010: 153). Kebijakan otonomi daerah terbukti mempengaruhi perilaku birokrasi di daerah. Pertama, pengaruh di bidang menajemen kepegawaian. Berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan diubah dengan undang-undang 32 tahun 2004 yang terakhir di ubah dengan undang-undang nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintah daerah. Ditegaskan bahwa seluruh proses manejemen personil daerah sejak rekruitmen hingga pensiun menjadi kewenangan daerah. Sementara ketentuan Undangundang nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Undang-undang nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok tentang pokok-pokok kepegawaian menetapkan kewengangan manajemen personil seluruh PNS Indonsesia ditangan pemerintah pusat. Hal itu terjadi perbedaan ketentuan tentang pembina PNS di daerah, dimana dalam Undangundang tentang pemerintah daerah, pembina PNS daerah adalah Sekretaris Daerah. Sedangkan, dalam Undangundang tentang kepegawaian, pembina PNS daerah adalah Kepala Daerah. Ambivalen kewenangan ini sangat berpengaruh pada praktik manajemen PNS di daerah. Ada keraguan bagi daerah untuk menjalankan kewenangan itu sepenuhnya. Apalagi tidak semua dae-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 164 -
IAIS Sambas rah memiliki kemam-puan keuangan memadai untuk menjalankan praktik kewenangan terebut secara penuh. (Wahyudi K. dan Ambar W, 2010: 161). Kedua, isue putra daerah begitu mengemuka sejalan dengan perkembangannya eforia otonomi daerah yang telah di tetapkannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Kebijakan otonomi daerah disambut dengan suka cita oleh daerah, terutama diluar pulau Jawa, karena sebelumnya, yaitu ketika menggunakan Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang sangat sentralistis itu. Jabatan kepala daerah dan pimpinan Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selalu atau hampir seluruhnya dari Jawa dan anggota ABRI yang masih aktif. Otonomi daerah dianggap sebagai peluang besar bagi putra daerah untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Meskipun isue putra daerah tidak sedahsyat di level jabatan politik, jabatan, karier birokrasipun tidak lepas dari intervensi isue putra daerah. Terdapat sejumlah indikasi partai politik yang memiliki wakil di DPRD berupaya pula memainkan peran dalam menentukan pejabat di dalam birokrasi, khususnya untuk jabatan sekda, kepala dinas dan kepala badan. (Wahyudi K dan Ambar W, 2010: 164). Tidak hanya dalam menentukan pejabat birokrasi di daerah, terdapat beberapa fakta yang terjadi dimana anggaran milik DPRD disembunyikan pada anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). (Wahyudi K dan Ambar W, 2010: 171). Bahkan saat ini baik DPR maupun DPRD secara terang-terangan menitipkan anggaran dengan sebutan “aspirasi dewan” pada kementerian dan SKPD. Sepertinya, tindakan tersebut dibiarkan saja oleh pemerintah pusat dan daerah, meskipun sudah seringkali dipertanyakan oleh masyarakat. Anggota dewan berangga-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 pan bahwa, tindakan itu benar karena mempunyai hak anggaran. (UU nomor 27 tahun 2009). Menurut Agus Dwiyanto, pembuatan APBD menjadi arena persekongkolan baru antara elit politik dan birokrasi untuk menggerogoti anggaran daerah. (Agus Dwiyanto, 2010: 179). Lebih lanjut ditegaskan bahwa ketika mekanisme perencanaan dari bawah melalui musrenbang tidak memiliki keterkaitan dengan proses deliberasi yang terjadi di DPRD. Maka “penitipan proyek” sering terjadi menjadi modus operandi dari kolusi antara politisi dengan aparatur birokrasi di daerah. Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang mekanisme hubungan antara pejabat politik dan aparatur birokrasi ikut dalam memberikan kontribusi terhadap kesulitan mengendalikan kolusi antara peja-bat birokrasi dengan anggota DPRD dan parapolitisi lainnya. (Dwiyanto, 2010: 179). Ketiga, salah satu faktor yang dinilai sangat berpengaruh terhadap perilaku birokrasi adalah faktor inkonsistensi dan kekosongan regulasi dalam kebijakan desentralisais. (Dwiyanto, 2010: 181). Faktor ini dianggap menjadi kontributor utama dari munculnya paradoks dan anomali dalam pe-ngelolaan aparatur daerah. Ketika desentralisasi dan reformasi aparatur daerah tidak berjalan seiring dan tidak ditempatkan dalam satu kerangka kebijakan nasional yang menyeluruh dan terintegrasi dengan baik. Ketidakharmonisan, konflik dan kekosongan regulasi menyediakan peluang kepada aparatur dan pemangku kepentingan di daerah untuk memiliki dan memberikan interpretasi pengaturan yang sesuai dengan kepentingan. Inkonsistensi dalam pengaturan kekepegawaian yang tidak sejalan dengan kepentingan desentralisasi yang terjadi saat ini sangat berpengaruh terhadap
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 165 -
IAIS Sambas keuangan daerah. Daerah yang diberi kewenangan dalam pengelolaan manajemen kepegawaian mulai dari rekruitmen pegawai sampai dengan pensiun. Dalam pelaksanaannya terkesan hanya berdasarkan pertimbangan subyektif, baik dalam rekruitmen maupun penempatan dalam jabatan struktural di daerah. Pertimbangan subyektif dalam penerimaan PNS cenderung mempertimbangkan domisili dan etnis serta agama calon PNS tersebut. Namun, bukan berdasarkan kompetensi yang diperlukan. Termasuk juga dalam hal menetapkan seseorang PNS untuk menduduki jabatan tertentu yang dianggap strategi di daerah. Kebijakan Refomasi Birokrasi serta Pengaruhnya terhadap Good Governance Berbicara tentang kepemerintahan yang baik atau good governance, tentunya tidak lepas dari pandangan masyarakat atas tindak tanduk pemerintah terhadap masyarakat. Good governance yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai kepemerintahan yang baik. Tatakelola pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang diharapkan oleh masyarakat terhadap pemerintahan yang berkuasa.Harapan dimaksud tentunya berkaitan dengan tugas dan fungsi pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Pemerintah diharapkan selain sebagai pelindung masyarakat dari ancaman keamanan, juga diharapkan mampu menjamin kesejahtraan masyarakat melalui kebijakan pemerintah (publik). Dipenghujung tahun 1980-an, majalah Time pada sampul muka menyatakan” sudah matikah pemerintah”?. Kemudian pada awal tahun 1990-an, jawaban yang muncul adalah kebanyakan warga Amerika menyatakan “ya”. (Ted Gaebler, 2005: 1).
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Pandangan masyarakat yang begitu sinis tentang keberadaan pemerintahan tersebut, bukti nyata bahwa masyarakat menilai tidak berfungsinya pemerintah melindungi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Masyarakat berubah begitu cepat, secepat perubahan diberbagai teknologi informasi. Sementara itu, pemerintah tetap saja tidak berubah dengan prosedur dan ketentuan yang sangat kaku. Untuk itu, perlu adanya suatu kepemerintahan yang baik. Arti good dalam good governance mengandung dua pengertian: pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilainilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan keberlanjutan dan keadilan sosial. Kedua aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. (Mustopadidjaja AR, 2001: 6). Good governance dengan demikian berorientasi pada pencapaian tujuan nasional dan pemerintahan ideal yaitu pemerintahan yang secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Good governance khususnya dalam kata good (baik), berintegritas dari pelaksanaan govenance itu apabila governance baik dalam pemerintahan, badan usaha maupun dalam organisasi masyarakat dilakukan berdasarkan prinsipprinsip akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, aturan hukum dan adanya jaminan perlakuan yang adil atau kesetaraan. (Tjokroamidjojo, 2003: 130135). OCED dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan demokrasi dan pesat efisien, penghindaran salah alokasi dana inves-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 166 -
IAIS Sambas tasi yang langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political frame works bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan. Sedangkan UNDP dalam memberikan definisi good governance yang dikaitkan dengan sinergisitas dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Jadi hubungan di antara ketiga domain tersebut berjalan saling seiring sejalan maka dikatakan bahwa telah tercipta good governance yang ideal. Berdasarkan pola pikir tersebut, UNDP selanjutnya mengajukan kriteria good governance, sebagai berikut: (Mustopadidjaja AR, 2001: 6). 1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi dibangun atas dasar kebebasan bersosialisasi dan berbicara. 2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk Hak Asasi Manusia. 3. Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mareka yang membutuhkan. 4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. 5. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam kebijakan maupun prosedur.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 6. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan mempunyaai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. 7. Effectivenees dan Efficincy. Prosesproses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. 8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintah, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan stakeholders. 9. Strategic Vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejelas dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Kesembilan kriteria good governance yang diusulkan oleh UNDP tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Komponen-komponen tersebut sebagai suatu sistem yang salah satu komponennya tidak berjalan akan mempengaruhi komponen lainnya. Partisipasi masyarakat terwujud apabila Equity atau kesempatan yang sama bagi semua orang disediakan. Clean governance merupakan bagian penting dari good governance, karena koordinasi atau patnership pemerintah organisasi masyarakat-swasta itu, juga jangan dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Tjokromidjojo, 2005: 29). Oleh karena itu, dalam mewujudkan kondisi good governance. Menurut Hoshiar Singh diperlukan suatu gerakan yang cukup revolusioner, yaitu: (Singh, 2007: 50). 1. Recruitment of professionals at the young age 2. Entry into services should be 21-24 age group 3. To kill the bug of corruption, the state is to frame rules under the benami
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 167 -
IAIS Sambas transaction (prohibitions). act for attachment or forfeiture of ill-gotten pro-perty 4. A constitusional amandement to enable the president or governor to sack a public servant in case off praven carruption. 5. Modification of our archaic-and bitter some-afficials secrets act is also need of the hour. It should cover only the minimum requirements of national security, public order and individual privacy. Lebih lanjut, dikemukakan oleh Hoshiar Singh bahwa if we have the clean politics, the administration should be transparent and fair to all the people. Populist measures ultimately bear no trust and boom-range as anti incumbency factor. For good governance, there is no place of corruption because plan is not forced from top and there is no lock of people participation. There the governance behaves like facilitator and people in government and NGOs are olso involed. Such governance gives due importance to private sectoe olso. Administrators have to improve self discilpine on theam. (Singh, 2007: 51). Sedangkan menurut UNDP sebagaimana dikutip oleh Pandji Santosa, bahwa diperlukan sepuluh langkah untuk meng-wujudkan goog governance di daerah, yaitu: 1. Understanding and appreciating the potencial of good governance for equitable development 2. Overcoming distrust among partners and gaining mutual respect 3. Concensus building on core principles of partnership, formulazing patnership, formulazing patnership and assigning specific responsibilities 4. Planing munticipal development revenue and mobilizing new resources 6. Reviewing and upgrading management tolls of governance and partnership
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 7. Setting on system to optain skills, imformations and knowldge on regular basis 8. Revision of prosedure and regulation and mid-course correction 9. Regular review of performance 10. Scalling up good governance pratice. Bagi bangsa Indonesia, gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998, yakni bersamaan dengan runtuhnya rezim orde baru pimpinan Jendral (Pur. Soeharto) merupakan sebuah langkah awla dimulainya upaya mengwujudkan good governance di Indonesia. Secara konkrit langkah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-ndang nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Bersih dan Bebas Korupsi, Solusi, dan Nepotisme serta Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan tiga produk hukum tersebut sebenarnya telah nyata langkah konkrit yang dibuat oleh rakyat Indonesia melalui wakil-wakil merekan di MPR dan DPR untuk mengwujudkan suatu kepemerintahan yang baik, bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme atau good governance. Kebijakan yang paling mendasar dalam mereformasi produk hukum sebagai upaya membangun sistem hukum Indonesia yang terkait dengan good governance adalah dilakukannya amandemen UUD 1945. Amandemen UUD 1945 dimulai dalam rapat paripurna MPR 19 Oktober 1999. Kemudian disusul dengan perubahan kedua dalam rapat paripurna MPR tanggal 18 Agustus 2000, dan perubahan ketiga dalam rapat paripurna MPR tanggal 9 November 2001 serta perubahan UUD 1945 keempat dilaksanakan dalam rapat paripurna MPR 10 Agustus 2002. Selanjutnya, berdasarkan perubahan UUD
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 168 -
IAIS Sambas 1945 tersebut. Kebijakan reformasi sebagai langkah awal untuk mewujudkan good governance di Indonesia, dilakukan berbagai perubahan peraturan perundang-undangan, anrata lain di bidang penyelengaraan pemerintahan daerah dibentuk Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan Reformasi Birokrasi di Indonesia Berbicara tentang reformasi birokrasi yang sama artinya dengan mengupayakan bagaimana melakukan restrukturisasi dan reposisi sytem serta perilaku birokrasi pemerintah menuju tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). (Thoha, 2009: 12). Sementara itu, menurut Abi Sanit, bahwa sesungguhnya arah reformasi birokrasi pemerintah secara nasional yang dirumuskan dan ditegaskan oleh SBY sejak tahun 2004. Perapan prinsip clear governance sebagai mana diyakini secara universal, merupakan kondisioning bagi pelayanan prima pemerintah melalui birokrasinya kepada masyarakat. Reformasi birokrasi adalah upaya memperbaiki perilaku birokrasi yang dianggap masyarakat sangat buruk. Reformasi birokrasi tersebut meliputi perubahan paradigma sekaligus perubahan stuktur organisasi, manajemen, kebijakan, pola pikir, dan budaya kerja PNS yang diarahkan untuk menghemat anggaran negara, memperbaiki kualitas pelayanan publik, dan mendorong mekanisme kerja pemerintah yang lebih baik, efisien, dan effektif. (Wahyudi K. dan Ambar, 2010: 15).
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Reformasi birokrasi tersebut dilakukan karena praktik KKN yang masih tinggi, kualitas pelayanan publik yang belum optimal, tingkat efisiensi, efektivitas, dan produktivitas rendah, termasuk disiplin dan etos kerja yang masih memprihatinkan. Pada saat yang sama, terjadi perubahan lingkungan strategi seperti kemajuan teknologi, komunikasi dan informasi, krisis ekonomi global dan persaingan antar negara dan sebagainya. (Wahyudi K. dan Ambar, 2010: 16). Reformasi birokrasi dilakukan berdasarkan amanat Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 20052025, Bab IV. Arah, Tahapan dan Perioritas Pebangunan Jangka Panjang tahun 2005-2025, poin E. Reformasi Hukum dan Birokrasi. Ditegaskan bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tatapemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah. Berdasarkan amanat Undang-undang tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara menetapkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/15/M.PAN/7/ 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. Menurut peraturan ini, reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek: (1) kelembagaan (organisasi), (2) ketatalaksanaan (business process), dan (3) sumber daya aparatur. Lebih lanjut, ditegaskan bahwa reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tatakelola pemerintahan yang baik. Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 169 -
IAIS Sambas negara agar lebih berdayaguna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Reformasi birokrasi dengan merupakan suatu proses pembaharuan yang pelaksanaannya secara bertahap dan berkelanjutan (terus-menerus), sehingga tidak termasuk upaya atau tindakan bersifat radikal atau revolusioner. Reformasi birokrasi pada dasarnya bertujuan untuk membentuk profil dan perilaku aparatur negara dengan: 1. Integritas tinggi, yaitu perilaku aparatur negara yang dalam berkerja senantiasa menjaga sikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas (kejujuran), kesetia, komitmen, serta menjaga keutuhan peribadi; 2. Produktivitas tinggi dan bertanggung jawab yaitu hasil optimal yang dicapai oleh aparatur negara dari serangkaian program kegiatan yang inovatif, efektif, dan efisien dalam mengelola sumber daya yang ada serta ditunjang oleh dedikasi dan etos kerja yang tinggi. 3. Kemampuan memberikan pelayanan yang prima, yaitu kepuasa yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi yang profesional, berdedikasi, dan memiliki standar nilai moral yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, utamanya dalam memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat dengan sepenuh hati dan rasa tanggung jawab. Lebih spesifik lagi, reformasi birokrasi dilakukan untuk membentuk birokrasi yang bersih, efisien, efektif, produktif, transparan, dan birokrasi yang akuntabel. Reformasi birokrasi dengan demikian adalah pekerjaan yang berat dan perlu kesungguhan melaksanakan program kerja yang telah ditetapkan. Mengingat reformasi biro-
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 krasi pada dasarnya mengubah pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) paraaparatur negara di pusat dan daerah, serta sistem manajemen pemerintahan. Dengan memperhatikan hasil reformasi birokrasi tahap periode pertama (2004-2009), dirasa perlu penajaman dan langkah konkrit melakukan reformasi birokrasi, maka pada periode kedua pemerintahan SBY (2010-2014), menetapkan reformasi birokrasi sebagai perioritas pertama dari sebelas perioritas pembangunan nasional (Perpres RI, nomor 5 tahun 2010 ). Berdasarkan Perpres RI nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN tahun 20102014, ditegaskan bahwa substansi inti dari reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan sebagai berikut: 1. Struktur: Konsolidasi Struktural dan Peningkatan Kapasitas Kementerian /Lembaga yang menangani aparatur negara yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN). 2. Otonomi daerah: Penataan otonomi daerah melalui: (a) penghentian atau pembatasan pemekaran wilayah, (b) peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan dan perimbangan daerah dan, (c) penyempurnaan pemilih kepala daerah. 3. Sumber daya manusia: penyempurnaan pengelolaan PNS meliputi sistem rekruitmen, pendidikan, penempatan, promosi dan mutasi PNS secaa terpusat. 4. Regulasi: percepatan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangundangan ditingkat pusat dan daerah hingga tercapai keselarasan arah dalam implementasi pembangunan diantaranya penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah. 5. Sinergi antara pusat dan daerah: penetapan sistem indikator kinerja uta-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 170 -
IAIS Sambas ma. Pelayanan publik yang selaras antara pusat dan daerah. 6. Penegakan hukum: peningkatan intgritas dan intgritas penetapan dan penegakan hukum oleh seluruh lembaga dan aparat hukum. 7. Data kependudukan: penetapan nomor Induk Penduduk (NIK) dan pengembangan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) dengan aplikasi pertama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sebagai langkah konkrit kebijakan reformasi birokrasi di Indonesia, ditetapkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 81 tahun 2010 tentang grand design reformasi birokrasi 2010 –2025. Grand design reformasi birokrasi adalah rancangan induk yang berisi arah kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi nasional untuk kurun waktu 2010-2025, agar reformasi birokrasi di kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan. Kemudian arah kebijakan reformasi birokrasi menurut ketentuan, yakni: 1. Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tatakelola pemerintahan yang baik, di pusat dan di daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2005-2025. 2. Kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan hukum dan aparatur dan diarahkan pada perbaikan tatakelola pemerintahan yang baik melalui pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi sebagaimana diamanatkan dalam Perpres nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN.
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 Sebagai tindak lanjut dari grand design reformasi birokrasi di atas, ditetapkan rood map reformasi birokrasi tahun 2010-014. Berdasarkan peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi birokrasi dari satu tahapan ke tahap selanjutnya selama 5 tahun. Sasaran pertahunnya harus jelas. Berikut ini ditetapkan sasaran dan kebijakan indikator keberhasilan reformasi birokrasi 2009-2014. Sasaran dan indikator keberhasilan reformasi tersebut di atas, menunjukan betapa seriusnya pemerintah Indonesia melakukan reformasi birokrasi. Keseriusan tersebut hendaknya ditindaklanjuti oleh seluruh kementerian atau lembaga negara dan pemerintahan daerah. Bagi pemerintah daerah, adanya kebijakan reformasi nasional tersebut dapat dijadikan dasar untuk membuat kebijakan reformasi birokrasi daerah yang tentunya dalam pelaksanaannya disesuiakan dengan karakteristik masing- masing daerah. Dekonstruksi Sistem Hukum Kepegawaian di Indonesia Di atas telah dijelaskan beberapa faktor penyebab rendahnya kinerja birokrasi yang berakibat pada buruknya tatakelola pemerintahan (bad governance). Kinerja yang rendah atau buruk dari birokrasi antara lain disebabkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Khususnya pereturan yang mengatur tentang aparatur negara yang saling berbenturan yakni, antara undangundang nomor. 8 tahun 1974 sebagaimana diubah dengan undang-undang nomor 43 tahun 1999 tentang pokokpokok kepegawaian. Bahkan, berdasarkan Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014. Substansi inti dari reformasi birokrasi dan tatakelola antara lain tentang perlunya
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 171 -
IAIS Sambas konsilidasi stuktural dan peningkatan kapasitas kementerian antarlemaga yang mengawasi atau aparatur negara yakni, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Sementara itu, untuk membantu merumuskan kebijakan menajemen PNS dibentuk Komisi Kepegawaian Negara. (UU nomor 43 tahun 1999). Permasalahan mendasar manajemen kepegawaian di Indonesia yakni mengenai pengaturan dan pelayanannya. Dengan demikian terkait dengan sistem hukum kepegawaian. Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks dimana stuktur, substansi sebagai elemen dasar kerangka badannya. Hal itu merupakan bentuk permanennya, tubuh institusional dari sistem tersebut, tulang keras yang kaku yang menjaga proses mengalir dalam batas-batasannya. Stuktur hukum terdiri dari parahakim, yurisdiksi pengadilan. Bagaimana dengan pengadilan yang lebih tinggi berada di atas pengadilan yang lebih rendah dan orang-orang yang terkait dengan berbagai jenis pengadilan. Sementara itu, substansi tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-intitusi itu ha-rus berprilaku. (M. Friedman, 2009: 17). Selanjutnya, kultur hukum merupakan elemen sikap dan nilai sosial, yaitu bagian yang terkait dengan kultur umum-adat kebiasaan, opini, cara bertindak dan berpikir yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dan dengan caracara-cara tertentu. (M. Fried man, 2009: 18). Stuktur dan substansi merupakan ciri-ciri kukuh yang terbentuk pelanpelan oleh kekuatan-kekuatan sosial dalam jangka panjang. Kultur hukum
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 juga bisa mempengaruhi tingkat penggunaan pengadilan, yaitu sikap mengenai apakah akan dipandang benar atau salah, berguna atau sia-sia bila kita pergi ke pengadilan. Dan pada tarap yang paling umum, sistem hukum memiliki fungsi untuk mendistribusikan dan menjaga alokasi nilai-nilai yang benar menurut masyarakat. Alokasi ini tertanam dengan pemahaman akan kebenaran, adalah apa yang umumnya disebut sebagai keadilan. (M. Friedman, 2009: 19). Dalam konteks hukum kepegawaian, maka sistem hukum dimaksud adalah keseluruhan elemen sistem hukum yang berdiri dari stuktur hukum kepegawaian, substansi hukum kepegawaian. Stuktur hukum kepegawaian adalah lembaga pembina kepegawaian seperti Badan Kepegawaian Negara, Lembaga Administrasi Negara, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi. Termasuk juga sebagai stuktur hukum kepegawaian adalah pembina PNS seperti para Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota serta Institusi atau lembaga yang dibentuk untuk membantu pembina PNS dalam memberikan pertimbangan seperti Badan Pertimbangan Jabatan dan Pangkat (BAPERJAKAT). Sementara itu, substansi hukum kepegawaian adalah seluruh ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk pembinaan PNS. Kemudian, kultur hukum kepegawaian dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai tatanilai, sikap dan cara bertindak PNS dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Tata nilai, sikap dan cara bertindak PNS tersebut sangat dipengaruhi kultur dan adat kebiasaan PNS dalam lingkungan kehidupan sehari-hari. Kultur PNS ini yang dapat berbeda antara PNS yang lainnya; antara daerah satu dengan daerah lainnya serta berbeda antara negara satu dengan negara lain. Sejalan
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 172 -
IAIS Sambas dengan hal ini Esmi Warassih mengatakan bahwa seseorang menggunakan atau tidak menggunakan hukum, dan patuh atau tidak terhadap hukum sangat tergantung pada kultur hukumnya. Jadi, jelaslah kultur hukum PNS antara satu dengan lainnya sangat berbeda. Demikian pula kultur hukum PNS di kota dengan di pedesaan pasti akan berbeda. (Warassih, 2005: 82). Sebagai sebuah sistem, maka sistem hukum itu hendaknya : 1. Sebagai sebuah sistem yang berorientasi pada tujuan (purposive behavior the system is objective oriented). 2. Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya (Holism the whole is more than the sum of all the parts). 3. Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu lingkungan (Openness the system interacts with a larger system, namely its environment). 4. Pekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang beharga (Trasformation the working of the parts creates something of value). 5. Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (Inter relatedness the various parts must fit together). 6. Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (Control mechanisme there is a unitying force that olds the system together). (Warassih, 2005: 42). Sistem hukum kepegawaian dengan demikian terdiri dari sub-sub sistem struktur, substansi dan kultur hukum yang saling berinteraksi sehingga membentuk kekuatan yang akan menopang tugas pokok dan fungsi PNS. Jika satu di antara subsistem tersebut tidak berfungsi maka, akan mempengaruhi subsistem lainnya. Misalnya, para pembina PNS tidak melaksanakan kewenangan, tugas dan fungsinya secara baik dan lancar, maka dapat dipastikan akan
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 berpengaruh buruk bagi sistem hukum kepegawaian. Seorang kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tidak melaksanakan pengawasan atas tindak tanduk stafnya dalam mengelola keuangan negara, maka dapat dipastikan akan terjadi penyimpangan atau bahkan dapat terjadi korupsi. Hal tersebut dapat merugikan keuangan negara dan pada akhirnya merugikan masyarakat. Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sistem hukum kepegawaian di Indonesia dirasakan masih terlalu banyak permasalahannya yang harus segera diperbaiki. Aspek struktur hukum yang dapat diamati ternyata banyak sekali lembaga negara dan kementerian yang menangani birokrasi (PNS), yaitu Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN), dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Lembaga Administrasi Negara (LAN), serta sebuah komisi yang di bentuk berdasarkan Undang-undang nomor 43 tahun 1999, yaitu Komisi Kepegawaian Negara. Apakah karena terlalu banyak mengurus PNS atau Birokrat sehingga kinerja PNS yang buruk, maka perlu perlu ditangani oleh banyak institusi. Pertanyaan ini perlu dicarikan jawabannya. Lebih jauh dapat diamati bahwa, aspek substansi hukum kepegawai-an, yaitu berbagai peraturan perundangundangan kepegawaian telah dibentuk. Contoh, peraturan disiplin PNS, telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1980 dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2010. Ketentuan disiplim PNS tersebut ternyata tidak membuat PNS menjadi lebih baik kinerjanya. Justru sepertinya Pembina PNS memang atau mungkin takut untuk menerapkannya karena takut nanti akan digugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Komisi ini bagaikan anomali dan paradoks yang sulit di-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 173 -
IAIS Sambas atasi, terutama oleh Pembina PNS di daerah bahkan juga di pusat. Saat ini, berubah zaman, dimana kebebasan berbicara dan bertindak dijamin dalam perundang-undangan (hukum). Pejabat Pembina PNS memang harus berhatihati dalam memberikan sanksi atau hukuman disiplin pada PNS. Hukuman disiplin dapat diberikan jika benar-benar telah memenuhi syarat dan tidak ada cara lain atau sudah dilakukan dengan cara-cara musyawarah dan mufakat terlebih dahulu. Dilain pihak kehati-hatian dalam memberikan hukuman disiplin kepada PNS terkesan hanya pilih-pilih orang (PNS). Akibatnya, seringkali dijumpai ada PNS yang tidak masuk kerja berbulan-bulan lamanya, justru pangkatnya dinaikkan. Artinya, PNS tersebut DP3–nya baik. Apabila diberikan sanksi atau hukuman disiplin, menjadi tidak sinkron dengan DP3-nya yang lebih baik menjadi dasar penilaian dinaikan pangkat dan golongan ruangannya. Dekonstruksi Sistem Hukum Kepegawaian Memperhatikan berbagai permasalahan birokrasi di atas, kiranya sudah saatnya ketentuan atau perundang-undangan bidang kepegawaian diberlakukan di Indonesia diadakan perbaikan atau didekonstruksi. Dekonstruksi dapat dikatakan sebagai sebuah istilah yang digunakan untuk menerangkan lembaran baru filsafat strategi intelektual, atau model pemahaman. (Susanto, 2010: 14). Dekonstruksi adalah pembongkaran sebuah teks untuk men-cari tahu dan menunjukan asumsi yang dipegang teks tersebut. Melakukan dekonstruksi menurut Beker adalah melakukan pembongkaran atas oposisi biner hirarkis, seperti tuturan atau tulisan, realitas penampakan, akal atau kegilaan dan lain-lain yang berfugsi menjamin kebenaran dengan cara menafikan pasangan yang lebih inferior
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 dalam masing-masing opini biner. (Susanto, 2010: 14). Dekonstruksi bila dikaitkan dengan sistem hukum kepegawaian (PNS) di Indonesia dapat dimaknai sebagai usaha untuk menata ulang sistem kepegawaian yang ada dan masih berlaku. Penataan kembali tersebut tentunya dikaitkan dengan kondisi nyata perkembangan masyarakat yang berubah, terus ingin mendapatkan pelayanan yang baik dari PNS, terus mengharapkan adanya perubahan yang cepat atau kebijakan reformasi birokrasi yang diharapkan dapat perubahan yang cepat atau kebijakan reformasi birokrasi yang diharapkan dapat mengurangi perilaku korupsi dan terciptaknya good governance yang lebih cepat dari target Pemerintah SBY pada tahun 2025. (Peraturan Presiden RI nomor 81 tahun 2010 dan Peraturan MENPAN-RB no. 20 tahun 2010). Masyarakat Indonesia dengan dilaksanakannya reformasi sejak tahun 1998 berubah begitu cepat, bahkan terkesan tidak mau diatur. Mereka berbuat semaunya saja. Jika ditindak oleh aparat maka, mereka marah, merusak, membakar dan bahkan tidak segan-segan membunuh. PNS yang notabene juga masyarakat terbawa arus reformasi tersebut. Seringkali dijumpai perilaku PNS seperti seorang preman, dimana masuk kerja semau dia, ditegur oleh pimpinannya yang diancam atau bahkan dipukul. Kondisi seperti ini menurut Charles Sampford disebut sebagai suatu kondisi asimetris, kondisi yang chaos, yaitu kondisi yang tidak perlu ditakuti, dihindari, atau dilawan dengan antipati, tetapi harus dimaknai sebagai satu kemungkinan atau peluang yang dapat dikembangkan. Langkah konkrit yang mungkin dilakukan saat ini adalah melakukan penataan berbagai peraturan perundangan yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh Kementerian Lemba-
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 174 -
IAIS Sambas ga dan Pemerintah Daerah. (Peraturan MENPAN-RB nomor 20 tahun 2010). Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberi kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya dalam rangka mengwujudkan pada prinsip otonomi seluas-luasnya, sangat memungkinkan dimasukkannya nilai-nilai atau kultur dan bahkan adat istiadat yang ada dan masih berkembang di masyarakat untuk diangkat sebagai tata nilai birokrasi, yang diatur dalam Peraturan Daerah masing-masing. Dilain pihak, perundangundangan bidang kepegawaian yang ada agar ditata ulang dengan memberi peluang dimasukkannya kemungkinnan daerah mengatur sendiri pengelolaan kepegawaian dengan peraturan daerah. (Fahmal, 2008: 166).
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014 perubahan diberbagai teknologi informasi. Sementara itu pemerintah tetap saja tidak berubah dengan prosedur dan ketentuan yang sangat kaku. Untuk itu, perlu adanya suatu kepemerintahan yang baik. Peran penting birokrasi dalam mengwujudkan good governance menghendaki kebijakan membangun birokrasi. Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan terwujud tatapemerintahan yang baik, baik di tingkat pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya.
SIMPULAN Pandangan masyarakat yang be-gitu sinis mengenai keberadaan pemerintah tersebut adalah bukti nyata bahwa, masyarakat menilai tidak berfungsinya pemerintah dalam melindungi serta memberikan pelayanan kepada masyarakat (bad governance). Masyarakat berubah begitu cepat, secepat
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 175 -
IAIS Sambas
Vol I No. 1 Juli – Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus (editor). 2010. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Fahmal, H. A. Muin. 2008. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih. Yogyakarta: Kreasi Total Media. Friedman, Lawrence M. 2009. SistemHukum: Perspektif Ilmu Sosial. Nusa Bandung: Media. Jeddawi, Murtir. 2008. Reformasi Birokrasi, Kelembagaan Dan Pembinaan PNS. Yogyakarta: Total Media. Kausar A.S. 2009. Sistem Birokrasi Pemerintahan di Daerah Dalam Bayangbayang Budaya Patron-Client. Bandung: Alumni Kumorotomo, Wahyudi dan Ambar Widaningrum (editor). 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gava Media. Mustopadidjaja AR. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta: LAN. Osborne, David dan Ted Gaebler. 2005. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Governance): Mentransformasi Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik. : Jakarta: PPM. Pramusinto, Agus dan Wahyudi Kumorotomo. 2009. Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik Yang Demokratis dan Birokrasi Yang Profesional. Yogyakarta: Gava Media. Sedarmayanti. 2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan Yang Baik). Bandung: PT Refika Aditama. Singh, Hoshiar (Editor). 2007. Coalition Government and Good Governance. JaipurIndia: Aalekh Publishers. Susanto,F. Anton. 2010. Dekonstruksi Hukum: Eksploitasi Teks dan Model Pembacaan. Yogyakarta. Genta Publishing. Tjokrowidjojo, Bintoro. 2003. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance dan Perwujudan Masyarakat Madani. Jakarta: LAN. Thoha, Miftah. 2009. Ilmu Administarsi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana. Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologi. Semarang: PT Suryandaru Utama. Widaningrum, Ambar dan Jim Park. 2011. Governance Reform in Indonesia and Korea: A Comparative Prespective. Yogyakarta: Gajahmada University Press
Jurnal Alwatzikhoebillah (Kajian Islam, Pendidikan, Ekonomi, dan Humaniora) - 176 -