Jalan Tol Dalam Kota :
Pelayanan Publik atau Kepentingan Bisnis ?
Oleh : Muslimin B. Putra
Pemerintah kembali akan merencanakan pembuatan jalan tol dalam kota di
dalam wilayah kota Jakarta. Direncanakan ada enam ruas jalan tol yang akan
dibangun dengan menggunakan sumber dana APBN sebesar Rp 23 trilyun. Masing-
masing keenam ruas jalan tol tersebut adalah : ruas Kemayoran-Kampung
Melayu, Rawa Buaya-Sunter, Sunter-Pulogebang, Kampung Melayu-Tanah Abang,
Tanah Abang-Ulujami, dan Pasar Minggu-Casablanca.
Menteri Negara PU, Joko Kirmanto saat ini telah membentuk tim untuk
membahas secara intensif rencana prestisius tersebut. Sekitar dua atau tiga
bulan ke depan, tim teresbut akan menyelesaikan kajiannya. Rencana itupun
telah dipaparkan pemerintah di depan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam
rapat dengar pendapat umum pada selasa (19/09/06).
Hendrianto, Dirjen Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum memandang
kebijakan pembangunan jalan tol tersebut didasarkan pada orientasi
mendukung pusat pertumbuhan ekonomi jangka panjang, selains ebagai pengurai
kemacetan yang menghubungkan antar kawasan Jakarta dengan kawasan lainnya.
Enam ruas tol tersebut juga sebagai salah satu pengembangan jalur utama
Pulau Jawa (main trunk) yang menghubungkan Barat-Timur (Merak, Jakarta,
Cikampek, Cirebon, Semarang Solo, Surabaya hingga Banyuwangi). Selain itu,
ruas tol tersebut juga mendukung pengembangan jalur sekunder dan pendukung
pulau Jawa (secondary trunk/feeder) yang meliputi Ciawi-Sukabumi-Bandung
dan Cileunyi-Sumedang-Dawuan serta jalan-jalan tol daerah perkotaan di
Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Medan, Palembang, Bali, Riau, Manado dan
Makassar.
Namun masalahnya adalah bahwa keenam ruas tol tersebut diluar master
plan sehingga memicu spekulasi motif pembangunannya yakni untuk kepentingan
bisnis semata. Sementara pembangunan jalan sebagai infrasturktur publik
diadakan untuk pelayanan publik dibidang transportasi darat. Pembangunan
diluar master plan perencanaan makro pembangunan akan berpotensi membawa
dampak negatif seperti perusakan lingkungan tata kota.
Pro-Kontra
Meski belum final, rencana tersebut telah menuai pro-kontra.
Setidaknya ada beberapa alasan yang kontra dengan pembangunan: pertama,
jalan tol tersebut akan membuat simpul-simpul kemacetan baru; kedua, jalan
tol tersebut berpotensi mengurangi ruang publik Jakarta; dan ketiga,
pembangunan tersebut lebih berorientasi bisnis ketimbang untuk pelayanan
publik.
Bagi kalangan yang pro pembangunan jalan tol seperti dari kalangan
swasta, pembangunan tersebut merupakan peluang bisnis yang harus didukung.
Sebagai business animal, pihak swasta akan senantiasa memprioritaskan
kepentingan bisnis ketimbang pelayanan publik dalam setiap aktifitasnya.
Karena esensinya, keberadaan swasta adalah profit oriented yakni
maksimalisasi keuntungan dan minimalisasi kerugian.
Kebijakan pembangunan jalan tol tersebut memiliki implikasi pemberian
peluang besar bagi kendaraan pribadi agar lebih banyak berkeliaran di jalan-
jalan kota Jakarta. Implikasi tersebut kontraproduktif dengan kebjakan
pemerintah daerah DKI Jakarta yang menggalakkan moda transportasi massal
seperti proyek busway, pembangunan jalur monorel, pembangunan jalur rel
kereta Manggarai-Bandara dan transportasi air melalui sungai Ciliwung.
Tentunya pembangunan moda transportasi massal untuk mengurangi keberadaan
kendaraan pribadi menyesaki jalan-jalan kota Jakarta yang rawan macet pada
semua sudut kota.
Saat ini kebijakan pemerintah DKI Jakarta sedang menggalakkan moda
transportasi makro yakni transportasi berbasis jalan raya, berbasis rel dan
berbasis air. Berbasis jalan raya, saat ini telah digunakan jalur busway
koridor I sampai III, sedang koridor IV sampai VII sedang dalam pengerjaan.
Rencananya koridor tersebut akan dibangun sampai 15 koridor busway.
Meski pada awalnya, keberadaan busway sarat kritik tapi perlahan
armada tersebut semakin diminati masyarakat. Dengan kondisi full AC, bebas
pengamen, pedagang asongan, serta kecepatan sampai tujuan membuat armada
tersebut dinilai lebih dari armada bus kota lainnya. Keberadaan proyek
busway merupakan moda transportasi revolusioner dan mampu merubah pandangan
buruk tentang profil transportasi kota Jakarta. Keberadaannya telah mampu
menjadi sarana transportasi alternatif masyarakat Jakarta dan sekitarnya
dan tidak tertutup kemungkinan kedepan akan menjadi sarana transportasi
utama bila semua titik di Jabodetabek telah terlayani.
Secara umum kelebihan armada proyek busway karena memiliki kondisi
fisik lebih bagus karena masih baru, pengemudi dipilih secara profesional
melalui serangkaian tes kompetensi, penghasilan yang layak dan tidak
menggunakan sistem setoran sehingga tidak perlu berebut penumpang demi
mengejar setoran yang seringkali memicu ketidakamanan dan ketidaknyamanan.
Seyogyanya perusahaan sejenis yang beroperasi di wilayah Jabodetabek
menggunakan standar tersebut agar mampu bersaing dengan bus
transjakarta/busway.
Sedang dari segi kelemahan, perlintasan busway sering rawan terjadi
kecelakaan. Petugas setiap perlintasan perlu ditempatkan sehingga antara
pengguna jalan dengan busway dapat saling beriringan tanpa memasuki
lintasan busway yang dibuat khusus. Petugas perlintasan bisa direkrut dari
dinas perhubungan, polisi lalu lintas bahkan Dinas Trantib. Kesadaran
pengendara sangat dibutuhkan agar terhindar dari kecelakaan.
Kelemahan lainnya adalah kelebihan penumpang pada setiap armada yang
memicu ketidaknyamanan sehingga antara busway dengan bus kota lainnya
nyaris sama. Kelebihan penumpang dapat mengundang kejahatan seperti aksi
pencopetan yang kerap terjadi di angkutan kota pada umumnya. Untuk itu
penambahan armada tidak dapat dihindari agar penumpang busway mendapatkan
kenyamanan dan keamanan.
Namun kekahwatiran konsumen bus transjakarta masih ada, terutama
berkaitan dengan pemakaian BBG (bahan bakar gas) pada beberapa buah bus
tersebut. Karena relatif baru, BBG yang hemat dan ramah lingkungan maish
harus disosialisasikan yang lebih massif agar masyarakat terhindar dari
pandangan buruk tentang BBG sebagaimana yang pernah terjadi pada kasus
taksi Kosti dan kasus-kasus yang sama lainnya. Untuk keamanan pemakaian
BBG, diperlukan perawatan secara rutin dan teratur dan harus dikontrol oleh
tim independen secara berkesinambungan. Hasil kontrol tim independen
seyogyanya dipublikasikan secara luas agar pengguna memiliki akses
informasi yang berkorelasi pada aspek keselamatan dan keamanan yang menjadi
standar pelayanan transportasi publik.
Agar moda transportasi massal tetap diminati, khususnya busway yang
sudah berjalan, faktor kondisi fisik bus harus terjaga: mulai dari mesin,
rem, dan ban. Armada busway harus rutin mengikuti uji mekanis seperti tes
akurasi roda, rem, penerangan lampu dan beban sumbu. Sebab apabila busway
mogok dijalan akan mengakibatkan terganggunya moda transportasi kota karena
jalur busway dibuat secara khusus sehingga antara satu bus dengan bus
lainnya saling terpengaruh. Untuk itu dibutuhkan balai pengujian kendaraan
yang terakreditasi, independen dan profesional. Balai tersebut secara
kelembagaan bisa disediakan oleh negara atau swasta.
Data yang ada, pertumbuhan kendaraan bermotor setiap tahun mencapai
9,8 persen per tahun, sedang pertambahan jalan hanya maksimal satu persen
setiap tahunnya di Jakarta. Data tersebut menandakan terjadinya pertumbuhan
yang tidak seimbang sehingga mendatangkan kemacetan dalam ruas-ruas jalan
protokol hingga berdampak ke gang-gang sempit.
Meski cenderung kontraproduktif antara program moda transportasi makro
DKI dengan pembangunan enam ruas jalan tol baru, tampaknya pemerintah DKI
dibawah Sutiyoso tetap mendukung rencana pemerintah pusat tersebut. Bahkan
Sutiyoso menantang pihak-pihak yang kontra agar berdiskusi dengan dirinya
selaku pemimpin tertinggi di wilayah DKI Jakarta.
Pelayanan Memuaskan
Bila pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota untuk kepentingan
pelayanan publik, ada empat syarat yang harus ada yakni : faktor
keselamatan, keamanan, kenyamanan dan pelayanan yang memuaskan. Faktor
keselamatan menyangkut penyediaan instrastruktur yang standar agar pengguna
jalan dapat menggunakan jalan dengan baik. Faktor keamanan berkorelasi pada
tingkat keamanan fisik pengguna jalan dari ancaman kejahatan dan ancaman
dari alami seperti bencana alam. Faktor kenyamanan mengacu pada
infrastruktur fisik jalan yang standar sehingga pengguna jalan merasa
nyaman berkendara di jalan tol. Sedang faktor pelayanan yang memuaskan
berasosiasi pada tersedianya mekanisme yang dapat menyediakan wadah bagi
pengguna jalan dalam mengadukan masalahnya yang berhubungan dengan
pemakaian jalan tol dan prosedur pemantauan tindak lanjut pengaduan
tersebut.
Pembangunan ruas baru jalan tol dalam kota seyogyanya disertai
prosedur mekanisme pengaduan. Selama ini, faktor ketidaknyamanan dan
ketidakamanan seringkali terabaikan, sementara pengaduan konsumen (pengguna
jalan) nyaris tidak disediakan mekanisme yang mengatur. Kalaupun ada, tidak
ada mekanisme bagi konsumen dalam memantau kasus pengaduannya alias
akuntabilitas pengaduannya masih rendah. Akibatnya, konsumen menggunakan
egosentrisme masing-masing dalam menggunakan jalan tol sehingga memicu
ketidakamanan di jalan yang berpotensi mengganggu kenyamanan pengguna jalan
lainnya.
Sementara itu, ada faktor klasik dalam setiap pembangunan jalan tol
adalah pembebasan lahan. Konflik terjadi karena pemerintah masih
menggunakan pola ganti rugi sehingga yang dirugikan akan melakukan
resistensi. Berbeda bila polanya diganti menjadi pola ganti untung sehingga
semua pihak diuntungkan dari proyek, maka resistensi dari masyakarat
diperkirakan akan kecil. Kesuksesan pola ganti untung yang diterapkan di
Malaysia dapat menjadi pengalaman yang bagus.
Apalagi bila masyarakat sekitar yang terkena proyek dan dampak proyek
dilibatkan dalam pelaksanaan proyek agar lebih partisipatif. Bukankah
partisipasi masyarakat penting dalam proses pembangunan?
Penulis, Anggota Tim Loby MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik)