2.3. Intoleransi Laktosa Susu merupakan sumber nutrien esensial terutama untuk bayi baru lahir dan anak yang sedang tumbuh dan berkembang karena mengandung komponen yang diperlukan pada diet yang sehat, antara lain karbohidrat, lemak, protein dan mineral. Laktosa adalah komponen karbohidrat dalam susu yang akan dihidrolisis di usus halus oleh enzim laktase menjadi glukosa dan galaktosa yang mudah diserap. 2.3.1. Defisiensi Intoleransi laktosa merupakan sindrom klinis (sakit perut, diare, flatus dan kembung) yang terjadi setelah mengkonsumsi 2 gram laktosa/kgBB, maksimum 50 gram, dalam 20% larutan (dosis uji toleransi standart terhadap laktosa). Jika terjadi peninggian maksimum kadar glukosa darah tidak lebih dari 20mg/dl setelah uji toleransi terhadap laktosa, maka keadaan ini disebut malabsorpsi laktosa. 2.3.2. Kejadian Scrimshaw dan Murray (1988) serta Sahi (1994) melaporkan prevalensi maldigesti laktosa secara global. Prevalensi lebih dari 50% terdapat di negara-negara Amerika Selatan, Afrika dan Asia dan mencapai hampir 100% di beberapa negara Asia. Di Amerika Serikat prevalensi intoleransi laktosa adalah 15% untuk populasi kulit putih, 53% di antara populasi Meksiko-Amerika dan 80% pada populasi kulit hitam. Di negara Eropa prevalensinya bervariasi antara 2% di Skandinavia sampai 70% di Sisilia. Prevalensi di negara Australia dan Selendia Baru adalah 6% dan 9%.
2.3.3. Etiologi Intoleransi laktosa dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu primer (genetik), sekunder dan bawaan. Disebut primer bila sindrom klinis yang timbul tanpa riwayat atau penyakit saluran cerna yang mendasari. Jika didapatkan penyakit saluran cerna maka diklasifikasikan sebagai intoleransi laktosa sekunder. Keduanya paling sering dijumpai di klinik. Intoleransi laktosa bawaan sangat jarang dijumpai dan biasanya bermanifestasi sejak lahir. Gambaran histologis mukosa saluran pencernaan biasanya normal akan tetapi aktivitas enzim laktase di brush-border sangat rendah atau tidak ada sama sekali. 2.3.4. Patogenesis Pada negara dimana populasi hipolaktasia primer cukup tinggi, seperti di negara Indonesia, maka aktivitas enzim laktase akan berkurang mulai usia 2-3 tahun. Sebaliknya di Finlandia onset kebanyakan terjadi pada masa dewasa muda. Mekanisme tinja cair yang terjadi adalah akibat karbohidrat yang tidak diabsorpsi dengan baik, sehingga terjadi beban osmotik yang meningkat, menyebabkan sekresi dengan baik, sehingga terjadi beban osmotik yang meningkat, menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit. Dilatasi usus halus yang terjadi akibat proses osmosis tersebut, akan menginduksi
percepatan waktu singgah di usus halus dan hal ini sesuai dengan derajat maldigesti. Waktu singgah yang cepat ini akan menyebabkan proses hidrolisis akan berkurang, karena berkurangnya waktu kontak antara laktosa dan enzim laktase yang tersisa. Gejala perut kembung (distensi abdomen) dan rasa sakit (cramp) yang terjadi berasal dari modifikasi keadaan usus halus dan kolon, seperti waktu singgah dan komposisi flora usus dan hal tersebut mempengaruhi derajat beratnya gejala. Gejala malabsorbsi laktosa bervariasi di antara individu. Jika laktosa dikonsumsi dalam jumlah sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lama oleh individu yang intoleransi laktosa, maka flora usus akan beradaptasi terhadap beban laktosa tersebut, sehingga gejala yang timbul akibat gas dan asam di kolon akan berkurang atau hilang.
2.3.5. Manifestasi Klinis Aktivitas enzim laktase yang mulai berkurang pada usia 2-3 tahun (pada intoleransi laktosa primer), biasanya akan memberikan gejala setelah usia lebih dari 6 tahun, dan hal ini tergantung dari kecepatan penurunan enzim laktase di usus maupun asupan laktosa pada diet. Gejala klinis intoleransi laktosa dapat berupa kembung, sakit perut dan flatus yang terjadi sekitar 1 jam setelah mengkonsumsi susu sapi atau produk susu sapi. Tinja cair disertai flatus yang berlebihan dan rasa mules dapat terjadi beberapa jam kemudian. Pada pemeriksaan fisik jarang disertai gangguan tumbuh (gagal tumbuh atau malnutrisi). Sakit perut yang tidak spesifik dan tidak terfokus biasanya tidak memberikan rasa sakit yang bermakna pada palpasi dan biasanya hanya dijumpai dalam keadaan kembung pada perut. Peningkatan bising usus (borborymi) sering terdengar pada saat palpasi ataupun auskultasi di daerah perut.
2.3.6. Diagnosis Malabsorpsi laktosa dapat didiagnosis berdasarkan kombinasi manifestasi klinis dan uji diagnostik antara lain uji toleransi laktosa, uji hidrogen napas (breath hydrogen test) dan pengukuran enzym laktase melalui biopsi usus halus. Cara lain adalah pemeriksaan pH (asam) dan reduksi tinja (>0.5%). Tetapi cara ini tidak dianjurkan untuk penelitian karena uji ini dinyatakan valid bila pengukuran dilakukan setelah laktosa dikonsumsi, waktu singgah usus harus cepat, tinja dalam keadaan segar dan pemeriksaan dilakukan sesegera mungkin, serta degradasi laktosa dalam kolon oleh bakteri tidak komplit. Pengukuran kadar laktase secara langsung dibandingkan dengan sukrase melalui biopsi jejunum jarang dilakukan karena merupakan pemeriksaan yang invasif. Hal ini sulit diterapkan terutama untuk pasien klinik. Pemeriksaan secara tidak yang sering dilakukan adalah pemeriksaan glukosa darah serial (setiap 2 jam) setelah mengkonsumsi laktosa secara oral (2 gram/kgBB, maksimum 50
gram laktosa). Jika kadar gula darah tidak meningkat lebih dari 20 mg/dl, maka diagnosis malabsorpsi laktosa dapat ditegakkan. Pemeriksaan yang sederhana dan tidak invasif adalah uji hidrogen napas. Dosis laktosa yang dibutuhkan adalah 2 gram laktosa/kgBB dan maksimum 50 gram dalam 20% larutan dalam air. Setelah puasa sejak malam hari (4jam pada bayi kecil), dilakukan uji hidrogen napas dengan cara mengukur udara ekshalasi sebelum mengkonsumsi laktosa dan pada interval 30 menit setelah konsumsi laktosa sampai total 2-3jam. Produksi hidrogen yang dieksresikan melalui udara napas merupakan hasil fermentasi laktosa yang tidak dapat dicerna oleh bakteri dalam kolon. Pada 30 menit pertama bila terjadi peningkatan <10ppm dibandingkan nilai basal dianggap normal. Sedangkan peningkatan antara 10-20 ppm dianggap bermakna bila disertai gejala. Nilai peningkatan >20 ppm dianggap malabsorpsi laktosa. Uji hidrogen napas dapat memberikan hasil yang negatif palsu bila sebelumnya mendapat antibiotik atau bakteri kolon tidak memproduksi hidrogen (sekitar 1% dari populasi).
2.3.7. Terapi Terapi malabsorpsi laktosa tergantung dari usia anak. Pada anak berusia kurang dari 5 tahun, malabsorpsi laktosa yang dibuktikan oleh uji hidrogen napas, menunjukkan kerusakan usus halus bila terjadi pasca gastroenteritis. Walaupun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari kelompok ini yang memerlukan susu formula rendah laktosa, karena penggantian epitel yang rusak tersebut sangat cepat dan tidak semua infeksi usus akan menyebabkan kerusakan mukosa. Selain itu pada bayi berusia <6 bulan sebaiknya diberikan susu formula normal setelah rehidrasi tercapai. Pada diare persisten sebaiknya upaya pemberian rendah laktosa dengan cara mencampur susu dengan sereal/susu fermentasi daripada dengan air. Pada anak yang berusia >5tahun, malabsorpsi laktosa dapat terjadi akibat kadar enzim laktase yang rendah ataupun karena mukosa usus yang rusak pasca gastroenteritis. Jika reduksi ataupun retriksi laktosa dibutuhkan maka perlu substitusi alternatif sumber nutrien untuk menghindari berkurangnya asupan energi dan protein (seperyi liveculture yoghurt) serta kebutuhan kalsium perlu diperhitungkan dalam dietnya. Suplementasi kalsium dapat berupa kalsium glukonat cair (untuk bayi dan anak) atau kalsium karbonat (untuk anak yang lebih besar). Prduk lain yang mengandung kalsium antara lain adalah ikan, sayuran dan kacang-kacangan. Terapi lain adalah substitusi enzim laktase yang berasal dari ragi yang dapat berupa preparat tetes (dengan cara menambahkan pada produk susu sapi) ataupun tablet kunyah (yang dikonsumsi sebelum mencerna makanan yang mengandung laktosa). 2.3.8. Prognosis Pada umumnya prognosis intoleransi laktosa cukup baik. Karena penyebab kelainan bawaan sangat jarang terjadi maka diagnosis alergi protein susu sapi pada bayi perlu
dipertimbangkan bila terjadi gejala intoleransi terhadap susu sapi atau produk susu sapi yang dikonsumsi. 2.3.9. Pencegahan Untuk mengurangi bertambah buruknya gejala intoleransi laktosa maka perlu dicermati untuk menghindari susu sapi atau produk susu dalam diet. Kegagalan dalam mengenali “intoleransi laktosa yang sementara” pada bayi maupun anak dapat menyebabkan keluhan diare kronik dan kembung, sehingga mengganggu masukan makanan yang adekuat. Hal ini merupakan pemicu terjadinya gangguan pertumbuhan pada bayi dan anak
2.4. Bakteri Tumbuh Lampau Pada saat lahir usus halus dalam keadaan steril, segera setelah persalinan, organisme yang tertelan melalui mulut mulai membuat kolonisasi di saluran cerna. Lambung maupun usus halus tidak mengandung bakteri dalam jumlah yang bermakna seperti halnya usus besar (kolon) yang normalnya mengandung 1010 organisme /mililiter (tabel 1). Mikroflora kolon baru akan berproliferasi di usus halus bila mekanisme klirens di usus halus terganggu, contohnya pada kondisi statis. Tabel 1.1 Flora normal usus di saluran cerna normal Usus halus proksimal <106 organisme per mililiter Bakteri aerob, dominasi flora mulut Streptococcus, Lactobacillus, Neisseria Usus halus distal >106 organisme /mililiter Sejumlah besar bakteri anaerob dan bakteri aerob fakultatif Bacteroides, Eschericia coli, Bifidobacterium Kolon <1010 organisme /mililiter Bakteri anaerob dan anaerob fakultatif Bacteroides, E.coli, Bifidobacterium, Clostridium 2.4.1. Definisi Sindrom klinis yang terjadi mempunyai sebutan bermacam-macam, diantaranya adalah stagnant loop, blind loop, contaminated small bowel, small bowel statis, dan small bowel bacterial overgrowth syndrome (sindrom bakteri tumbuh lampau di usus halus). Karakteristik sindrom ini selain kembung adalah (1) kolonisasi abnormal usus halus oleh organisme yang biasanya berada di kolon, (2) steatorrhea, dan (3) anemia. 2.4.2. Kejadian
Kondisi usus halus yang steril tergantung dari sejumlah faktor yang mengurangi kandungan jumlah kuman serta mencegah kolonisasi kuman. Faktor antibakteri ini dapat berupa sistem imun tubuh ataupun non-imun. Yang termasuk faktor non-imun adalah asam lambung, gerakan peristaltik usus, enzim pencernaan, mukus, katup ileosekal dan kandungan bakteri. Faktor imunitas tubuh terhadap bakteri usus sejak awal kehidupan diperankan oleh antibodi dengan cara mengendalikan kolonisasi bakteri dan penetrasi mukosa oleh bakteri maupun produk bakteri. Kehilangan kemampuan untuk produksi imunoglobulin (hipogamaglobulinemia) dan defisiensi sIgA sering menyebabkan kolonisasi parasit tertentu seperti Giardia lamblia. Imunoglobulin G spesifik dan IgA mempercepat eliminasi parasit usus seperti Giardia dan nematoda. Bekteri tumbuh lampau sering dijumpai pada pasien dengan anemia pernisiosa dan pasien dengan hipogamaglobulinemia disertai akhlorhidria. 2.4.3 Etiologi Beberapa faktor predisposisi terjadinya bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok yaitu (1) kelainan anatomis (dibertikula, duplikasi, striktur, stenosis, web, blind loop), (2) gangguan motilitas usus (pseudoobstruction, hilangnya fungsi migratory motor complexes/MMC menyebabkan statis akibat terganggunya fungsi peristaltik, neuropati otonom pada diabetes, penyakit vaskular kolagen pada skleroderma), (3) adanya lesi yang menyebabkan peningkatan jumlah bakteri usus halus bagian proksimal (akhlorhidria, fistula, dan hilangnya katup ileosekal) dan (4) defisiensi imun penjamu (immunodeficiency, malnutrisi dan prematuritas). Etiologi faktor risiko terjadinya bakteri tumbuh lampau sering tumpang tindih. Pada ngeara yang belum berkembang sangat sulit memisahkan apakah kondisi tersebut akibat buruknya hygiene perorangan atau akibat malnutrisi. Bayi dengan sindrom usus pendek sering disertai komplikasi bakteri tumbuh lampau, akibat multi faktor. 2.4.4. Patofisiologi Jumlah bakteri intralumen usus yang berlebihan akan menyebabkan perubahan sekresi dan produksi metabolit, enzim serta toksin intralumen yang akan merusak mukosa dan selanjutnya akan diabsorpsi. Dampak lanjut terhadap penjamu dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu efek intralumen, efek terhadap mukosa dan efek sistemik (Tabel 1.2) Tabel 11.2. bakteri intra-lumen : efek pada pennjamu Efek Intralumen Dekonjugasi garam empedu 11α-hidroksilase Deplesi garam empedu Malabsorpsi lemak Malabsorpsi vitamin B12 Fermentasi asam lemak rantai pendek
Efekn Terhadap Mukosa Hilangnya disakaridase Kerusakan enterosut Inflamasi Hilang protein Perdarahan
Efek sistemik Absorpsi toksin bakteri, antigen Inflamasi hati Pembentukan kompleks imun Vaskulitis kulit Poliarteritis
Pelepasan protease, toksin Efek patologis akan maksimal bila bakteri tumbuh lampau menempati usus halus bagian proksimal. Bakteri anaerob intralumen, terutama yang berasal dari tinja, memiliki enzim yang akan mendekonjugasi garam empedu dan mengubah asam kolat dan kenodeoksikolat menjadi asam deoksikolat dan litokolat. Hasil akhirnya adalah menurukan konsentrasi garam empedu di duodenum dan jejunum, menyebabkan trigeliserid kolesterol tidak dihidrolisis menjadi misel (campuran asam lemak dan mono serta digliserid) dan garam empedu, melainkan akan banyak terbentuk emulsi yang berbentuk kristal dan tidak larut dalam air. Akibat lebih lanjut akan terjadi maldigesti lemak dan malabsorbsi trigliserida serta vitamin yang larut dalam lemak, dan selanjutnya terjadi malabsorpsi lemak. Bakteri intralumen terutama Bacteroides dan coliform juga menggunakan B12 sehingga merupakan kompetitor dan menyebabkan malabsorpsi vitamin B12. Bakteri yang jumlahnya berlebihan tersebut akan memproduksi enzim dan metabolit yang dapat merusak mukosa usus. Sebagai akibatnya aktivitas enzim disakaridase akan berkurang akibat lesi mukosa setempat (patchy) yang menyebabkan atrofi vili dan respon inflamasi subepitel. Penelitian pada bayi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara intoleransi karbohidrat dan bakteri tumbuh lampau. Selain hal tersebut akan terjadi hilang protein (hipo-proteinemia) dan anemia akibat kehilangan darah kronik. Produk bakteri dan antigen akan diserap melalui mukosa yang rusak menyebabkan efek sistemik. Penelitian Riordan dan kawan-kawan menunjukkan bahwa bakteri tumbuh lampau di usus halus menyebabkan peningkatan permeabilitas usus pada manusia, sedangkan penelitian lain pada tikus menunjukkan bahwa terjadi peningkatan absorpsi polimer bakteri (peptidoglikan) pada keadaan bakteri tumbuh lampau di usus halus. 2.4.5 Manifestasi klinis Gejala klinis (tabel 1.3) dapat terjadi pada sepertiga pasien, dan variasi gejala dapat ringan sampai berat bahkan menjadi kronis. Gejala yang berati sesuai dengan letak bakteri tumbuh lampau pada usus halus proksimal, sedangkan makin ke distal maka manifestasi gejala makin ringan. Gejala sistemik biasanya terjadi setelah operasi pintas (bypass) usus. Selain gejala klinis pada tabel 1.3 dapat terjadi ladigesti lemak, karbohidrat dan protein, serta kehilangan protein endogen melalui usus. Sakit perut yang terjadi adalah akibat intoleransi karbohidrat sekunder. Defisiensi vitamin jarang terdeteksi secara klinis. Defisiensi vitamin B12 dapat dicegah karena terdapatnya cadangan kobalamin yang adekuat dalam tubuh. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena kehilangan besi melalui usus. Asam folat serum akan meningkat karena bakteri tersebut pun memproduksi vitamin K dan asam folat. Pneumoperitoneum dan asites dilaporkan dapat terjadi sekunder akibat bakteri tumbuh lampau. Tabel 11.3. Manifestasi Klinik bakteri tumbuh lampau di usus halus Gejala klasik Gejala Lain Diare Kronis Berat badan menurun
Steatosa Anemia Sistemik Artritis Tenosinovitis Ruam Vesikulopustular Eritema nodosum Nefritis Hepatitis Steatosis hati
Perawakan Pendek Sakit Perut Enteropati hilang protein Hipoalbuminemia Osteomalasia Rabun Senja Ataksia
2.4.6. Diagnosis Anamnesis yang cermat merupakan hal yang penting untuk menentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis keadaan yang mendasari terjadinya bakteri tumbuh lampau. Riwayat operasi daerah perut sebelumnya perlu ditanyakan karena bakteri tumbuh lampau di usus halus merupakan suatu komplikasi jangka panjang akibat perubahan motilitas atau akibat statis yang terjadi pada perubahan anatomik tersebut. Pemeriksaan barium meal dengan follow-through dapat mendeteksi adanya striktur usus, divertikel, dan perlambatan waktu singgah. Walaupun demikian hasil pemeriksaan barium meal yang normal tidak dapat mengeksekusi adanya bakteri tumbuh lampau di usus halus yang secara klinis bermakna. Adanya bakteri anaerob di cairan usus halus bagian proksimal yang bukan merupakan flora normal mulut, perut maupun usus halus proksimal dan jumlahnya lebih dari 10 koloni merupakan baku emas uji diagnostik pada bakteri tumbuh lampau. Misalnya ditemukan spesies bacteroides. Karena sangat sulit melakukan biakan bakteri anaerob, maka ditemukannya bakteri anaerob fakultatif, seperti E. Coli, lebih dari 10 koloni pada biakan tersebut dapat merupaka bukti adanya kolonisasi bakteri anaerob. Pengukuran H2 napas merupakan pemeriksaan noninvasif yang dapat digunakan pada anak ataupun bayi. Sel mamalia tidak memproduksi H2, sedangkan mikroflora kolon komensal padaa umumnya memproduksi H2. Hidrogen yang diproduksi tersebut akan diabsorpsi dan didistribusikan keseluruh tubuh dan akhirnya dikeluarkan lewat udara napas. Konsumsi karbohidrat yang tidak diserap, seperti laktulosa, akan menyebabkan peningkatan kadar H2 yang dihasilkan yang berkolerasi dengan adanya bakteri tumbuh lampau. Peningkatan bermakna kadar konjugat asam 5-aminosalisilat ursodeoksikolat monofosdat (5-ASA-UDCA monophosphat) di urin pada bakteri tumbuh lampau di usus halus merupakan pemeriksaan noninvasif yang menjanjikan dan masih dalam tahap penelitian. Tabel 11.4. Uji diagnostik bakteri tumbuh lampau di usus halus Uji Tapis Uji Diagnostik Pewarnaan Sudan untuk lemak dalam tinja Invasif Pengukuran lemak dalam tinja tampung 72 jam Aspirasi duodenum
Uji Schilling terhadap faktor intrinsik Barium meal dengan follow through
Biakan Bakteri aerob Bakteri anaerob Eksklusi enteropatogen yg telah diketahui Garam empedu dekonjugasi Asam lemak rantai pendek Noninvasif Indikanuria Asam empedu serum Uji hidrogen napas
2.4.7. Terapi Tatalaksana bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat dibagi 3 yaitu koreksi penyakit yang mendasari, pemberian antibiotik dan terapi suportif. Penyebab terjadinya bakteri tumbuh lampau di usus halus multi faktor dan sebagian besar dapat dikoreksi secara bedah. Oleh sebab itu evaluasi ke arah penyebab kasus bedah harus dilakukan dengan cermat. Gejala akut penyakit Crohn, sebagai penyakit yang mendasari, bila diberikan steroid akan memperbaiki keadaan. Pemberian cisaprid untuk gangguan motilitas pada pseudoobstruksi usus dilaporkan efektif Pemilihan jenis antibiotik berdasarkan efektivitasnya terhadap Bacteroides. Pemilihan yang utama adalah metronidazol dan dapat diberikan selama 2 sampai 4 minggu. Bila terjadi kekambuhan dapat diberikan antibiotik dengan spektrum luas, seperti trimetoprimsulfametoksazol atau gentamisin. Kloramfenikol dan linkomisin sebaiknya digunakan bila terhadap antibiotik yang lain telah resisten. Penggunaan probiotik merupakan alternatif terapi yang saat ini dilaporkan cukup efektif untuk terapi bakteri tumbuh lampau. Terapi suportif terutama untuk mencegah komplikasi metabolik dan defisit nutrien. Pemberian nutrisi dengan bahan dasar yang mudah dicerna dan rendah lemak (mengandung asam lemak rantai sedang), sangat diperlukan untuk menjaga tumbuh kembang yang normal. Pemberian suplementasi vitamin yang larut dalam lemak perlu untuk mencegah komplikasi rabun senja, osteomalasia, ataupun kelainan neurologis. 2.4.8. Prognosis Prognosis tergantung dari penyakit yang mendasari dan respon terhadap terapi.