Salah satu bagian dari al-Quran adalah qira’at, aspek qir a’ a’at tidak dapat dilepaskan dari al-Quran karena ia merupakan bagian tak terpisahkan. Keduanya merupakan hakikat dengan makna tunggal. Qira>'at 'at disampaikan dan diajarkan oleh nabi Muhammad Saw kepada para s}ah}a@a bat-nya @ sesuai dengan wahyu yang diterima oleh beliau melalui malaikat Jibri@l as., selanjutnya s}ah} ah}a@a bat @ mengajarkannya kepada para ta> bi'i@n dan para ta> bi'i@n mengajarkannya pula kepada ta> bi' al-ta>bi'i@n, n, dan demikian seterusnya hingga sampai kepada generasi saat ini.1 Hasanuddin menjelaskan di dalam buku Anatomi al-Qur’an, bahwa perbeda an qira’at dalam qiraah sab’ah terjadi dalam 107 surat dari 114 urat u rat al-Qur’an. Perbedaan itu juga hanya menyangkut lafal-lafal tertentu, dari ayat-ayat tertentu. Sementara dalam 7 surat lainnya tidak terdapat perbedaan qira’ah, yaitu dalam surat al-Adiyat, al-Tin, alInsyirah, al-Kautsar, al-Ma’un, al-Fiil, dan an-Nashr.2 Melihat esensi qira’ at yang secara umum menyebar dalam berbagai surat al-Quran seperti disebutkan di atas, tentu perlu kajian khusus dalam memahami perbedaan perbedaan tersebut. Salah satu kajian tersebut berkaitan dengan implikasinya terhadap sebuah penafsiran. Hal ini tidak dapat dielakkan dan sudah seharusnya qira’at men jadi salah satu pertimbangan utama bagi setiap Mufassir sebelum menafsirkan al-Quran. Keterkaitan erat qira’at dan lughawi (bahasa) dalam hal ini bahasa Arab menjadikannya memiliki peranan yang urgen. Perbedaan qira’at terhadap suatu ayat besar kemungkinan
akan memberikan pemahaman yang berbeda. Walaupun dimaklumi juga bahwa terdapat qira’at yang tidak sampai menimbulkan implikasi terhadap suatu hukum tertentu. Dalam uraian singkat ini akan menyajikan sekilas keterkaitan antara qira’ at dan
tafsir. Pembahasannya akan menampikan ketarkaitan di antara keduanya berupa implikasi qira’at dalam penafsiran al-Quran. Implikasi tersebut nampak secara jelas dalam ayat-ayat ahkam, yang akan menghasilkan perbedaan hukum dalam istimbatnya karena terdapat perbedaan qira’at qira’at. Uraiannya lebih lanjut dapat dilihat pada pembahasan dibawah.
Beberapa ulama mencoba merangkum bentuk perbedaan cara melafalkan al-Quran sesuai qira’at dalam korelasinya dengan pemahamannya. Berikut beber apa sisi keterkaitannya:3 1. Perbedaan dalam i’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat. Misalnya pada firman Allah:
:
Artinya: “ (yaitu) (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir .” (Q.S. Al- Nisa’ Nisa’ [4]: 37) 1 Hasanuddin
AF, Perbedaan Qira'at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum al-Qur'an (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 6. 2 Hasanuddin AF, Perbedaan Qira'at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum al-Qur'an , h. 160-161. 3 Rosihon Anwar, Samudera Al-Quran (Bandung: CV Pustaka Setia: 2001), h. 125-127 2
Kata “” yang berarti kikir di sini dapat dibaca fathah dan pada huruf ba’-nya sehingga dibaca “ ”. Dapat pula dibaca dhammah pada ba’-nya sehingga menjadi “ ”. 2. Perbedaan i’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya. Misalnya
pada firman Allah:
:
Artinya: “ Ya Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami .” .” (Q.S. Saba’ [34]: 19) Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ ” karena statusnya fi”il amar , maka boleh juga dibaca “ ” yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh. 3. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan i’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah. Misalnya pada firman Allah:
:
Artinya: “ dan dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali .” .” (Q.S. al-Baqarah [2]: 259) ” artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan Kata “ huruf Zai diganti diganti dengan huruf ra’ sehingga sehingga berubah bunyi menjadi “ ” yang berarti (kami hidupkan kembali).4 4. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah. Misalnya pada firman Allah:
:
Artinya: “ Dan Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkankan .” .” (Q.S. al-Qari’ah [110]: 5) ” sehingga kata itu yang ata “ ” dengan “ Qira’at menggunakan k ata mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba. 5. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada firman Allah:
:
Artinya: “ Dan Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya .” .” (Q.S. al-Qaf [50]: 19) Menurut suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi “ ”. Ia mendahulukan kata “al-maut” dan mengakhirkan kata “al-Haq”. Sehingga maknanya berubah menjadi: “dan datanglah sekarat yang benar - -benar enar dengan kematian”. b 6. Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf. Misalnya pada firman Allah:
: Artinya: “ Surga-surga Surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya .” (Q.S. alBaqarah [2]: 25) K ata ata “ ” pada ayat ini dibuang. Dan pada ayat serupa yang tanpa “ ” justru ditambah. 4 Lihat
juga Al-Zarqani, Manahil Al- Urfan fii’ Ulum al -Quran -Quran , (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h.
158 3
Pengaruh qira’at dalam sebuah penafsiran dapat dilihat dengan dua perspektif. Perspektif pertama berupa pengaruh perbedaan qira’at dalam memproduksi hukum (istinbath al-hukm), sehingga kriterianya sederhana, yakni ada perbedaan qira’at yang
berpengaruh terhadap istinbath al-hukm dan ada yang tidak berpengaruh. Perspektif itu bisa dikembangkan lagi dengan menganalisis antara qira qir a’at yang shahih dan qira’at yang syadz dalam istinbat hukumnya. Perspektif kedua yaitu berusaha melihat implikasi perbedaa qira’at qira’at penafsiran al-Quran secara menyeluruh. Perspektif ini dilakukan dengan beberapa kriteria, k riteria, Pertama; kategori k ategori yang berkaitan dengan deng an makna ayat, kedua; kedu a; kategori yang berkaitan dengan kaidah ushul fiqh seperti umum, ithlaq, dan ijmal, ketiga; kategori yang berkaitan dengan gaya (uslub) al-Quran. Uraian lebih lanjut dari dua perspektif di atas seperti dikemukakan di bawah ini: Dalam hal istinbat hukum, qiraat dapat membantu menetapkan hukum secara lebih jeli dan cermat. Perbedaan qiraat al-Qur ’an yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, adakalanya mempengaruhi makna dari lafaz tersebut dan adakalanya tidak. a. Perbedaan qira’at yang berpengaruh terhadap istin bat Hukum5
Qira’at shahihah (Mutawatir dan Masyhur) bisa dijadikan sebagai tafsir dan penjelas penjelas serta dasar penetapan hukum. Mislanya qira’at qi ra’at kata ( ) dalam
surat al-Baqarah ayat 43:
:
Artinya: “ Mereka Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri .” (Q.S. al-Baqarah [2]:
222) Ayat di atas berisi larangan bagi seorang suami untuk melakukan hubungan seksual dengan istrinya yang sedang haid. Para ulama sepakat mengenai pelarangan tersebut; juga sepakat bahwa yang diperbolehkan pada masa seperti itu hanyalah istimta’ saja, tanpa bersetubuh. Hal yang diperdebatkan adalah batas waktu larangan tersebut berlaku? Disinilah perbedaan qira’at ikut mempengaruhi
penarikan suatu hukum. Berikut perbedaan bacaan beberapa iman pada kata ( ) yang menjadi implikasi dalam istinbat hukum: Hasanuddin AF, Perbedaan Qira'at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum al-Qur'an (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 202-205. 5
4
1) Ashim (riwayat Hafsh), Ibnu Katsir, Naf i’, i’, Abu Amr, Ibnu Amir membaca ( ); 2) Ashim (riwayat Syu’bah), Hamzah, al-Kisa’i membaca ( ) Perbedaan syakl tersebut melahirkan pengertian hukum yang berbeda. Qira’at pertama ( ), janganlah kamu bersetubuh dengan mereka sampai mereka suci - berhenti mengeluarkan darah haid. Qira’at kedua ( ), janganlah kamu bersetubuh dengan mereka sampai mereka bersuci - berhenti mengeluarkan darah haid dan mandi besar. Qira’ah pertama beserta makna penafsiran hukumnya dipegangi oleh Imam Abu Hanifah, batas larangan menyetubuhi adalah sampai sang istri telah selesai masa haidnya. Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’i lebih condong untuk
membatasi larangan bersetubuh hingga sang istri telah selesai haid dan telah bersuci (mandi besar), seperti yang terkandung dalam qira’ah yang kedua beserta makna penafsirannya. Selain qira’at shahih, qira’at syadz juga dianggap oleh sebagian ulama dapat
mempengaruhi dalam istinbat hukum.6 Misalanya dalam ayat berikut:
:
Artinya: “ Allah Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah- sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (Q.S. al-Maidah [5]: 89)
Ayat di atas antara lain menjelaskan tentang apabila seseorang bersumpah, lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia diwajibkan membayar kafarat (denda). Salah satu alternatif denda tersebut adalah dengan berpuasa tiga hari. Semua ulama sepakat mengenai hal ini, tapi berbeda pendapat mengenai teknis pelaksanaannya: apakah tiga hari puasa tersebut dilakukan berturut-turut atau tidak harus demikian? Imam Syafi’I dan Imam Malik berpendapat bahwa pelaksanaan puasa selama tiga
hari sebagai kafarat sumpah, tidak disyariatkan untuk dilakukan secara berturutturut, sehingga boleh dilakukan secara berturut-turut atau terpisah. Ini berdasar pada zhahir ayat yang berbunyi berbuny i ( ). Hasanuddin AF, Perbedaan Qira'at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum al-Qur'an (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 223-225. 6
5
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pelaksanaan puasa tiga hari itu harus berturut-turut. Jika dilakukan secara terpisah, maka kafarat itu dihukumi tidak sah. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad didasarkan pada qira’ah Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud yang membaca ( ). Menurut mereka berdua, meskipun qira’ah
tersebut tidak diriwayatkan secara mutawatir, namun menempati status ahad, bahkan masyhur, yang dapat dap at dijadikan sebagai hujjah. b. Perbedaan qira’at yang tidak yang tidak berpengaruh terhadap istinbat Hukum7
:
Artinya: “ Hai Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. ” (Q.S. al-
Jumu’ah [62]: 9)
Ayat di atas menjelaskan, bahwa apabila khatib telah naik mimbar, dan muadzdzin telah mengumandangkan suara azan pada hari Jum’at, maka kaum
muslim wajib memenuhi panggilan tersebut serta meninggalkan segala aktivitas atau kegiatan lainnya. Perbedaan qira’ah terjadi dalam membaca kalimat “ ” (seperti yang dibaca oleh para Imam Qira’ah Sab’ah) dan cara membaca dengan ( ) (seperti yang terbaca dalam qira’ah syadzdzah oleh Umar bin Khaththab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas’ud). Kedua qira’ah tersebut sama -sama bermakna bersegera pergi melakukan shalat Jum’ah.
Seperti dikemukakan di atas, bahwa perspektif ini dilakukan dengan beberapa kriteria, Pertama; kategori yang berkaitan dengan makna ayat, kedua; kategori yang berkaitan dengan kaidah ushul fiqh seperti umum, ithlaq, dan ijmal, ketiga; kategori yang berkaitan dengan gaya (uslub) al-Quran. Kategori yang berkaitan dengan makna ayat terdiri dari atas: a. Perbedaan Qira’at yang Berfungsi Memperjelas Makna Ayat Teknisnya, ada perbedaan-perbedaan dalam cara membaca satu kalimat tertentu, akan tetapi semua perbedaan tersebut t ersebut bermuara pada pada satu makna yang jami’ tanpa ada kontradiktif, sehingga keadaan ini berfaedah semakin memperjelas makna ayat (mimma yazidu al-ma’na wudhuhan wa bayanan ). Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada surat al-Fatihah ayat 4 ( ). Ada perbedaan qira’at dalam ayat ini, Imam Ashim, Al-Kisa’i, Al- Kisa’i, Ya’qub, dan Khalaf ( ), dengan alif mad, sepuluh Imam selainnya ( ), tanpa alif mad.8
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira'at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum al-Qur'an (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), h. 220-222. 8 Lihat juga untuk Qira’at Sab’ah dalam Ahsin Sakho, Manba’ al -Barakah (Jakarta: IIQ Press, 2010), h. -Barakah (Jakarta: 26 7
6
b.
Makna dua qira’ah tersebut adalah, bacaan ( ) terambil dari kata ( ) yang menunjukkan ( ), adapun bacaan ( ) terambil dari ). Dua qira’at ini kata ( ) yang menunjukkan ( mengandung makna bahwa Allah-lah yang menjadi satu-satunya pemilik segala sesuatu di hari akhir nanti, sehingga tiada yang memiliki hak tasharruf dan hukum apa saja kecuali Allah ( ); dan Allah satu-satunya raja yang berkuasa memerintah dan memberikan larangan, sehingga raja-raja yang pernah ada di dunia menjadi remeh dan hina ( ). Perbedaan Qira’at yang Berfungsi Meluaskan Makna Ayat
Salah satu contoh kategori ini ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 10 di bawah ini:
:
Ada dua qira’ah yang berbeda dalam membaca ( ). Qira’at kelompok pertama terdiri atas Imam Abu Ja’far, Nafi’, Abu Amr, Ibnu Katsir, Ibnu Amir, dan Ya’qub dengan ( ). Qira’ah kelompok dua terdiri atas Imam Ashim, Hamzah, Kisa’i, dan Hamzah dengan ( ).9 -tasydid, maka maknanya adalah: “Mereka Pada qira’ah yang pertama, yang ber -tasydid, (para munafik) berhak mendapatkan siksa yang pedih karena pendustaan mereka atas Rasul Saw .” .” Sedangkan qira’at yang takhfif, maknanya adalah “Mereka (para munafik) berhak mendapatkan siksa yang pedih karena tampilan luar mereka yang (seakan-akan) islam dan beriman, tapi kufur dalam hati, maka mereka menjadi .” pembohong (kaadzibun) (kaadzibun) terhadap kata-kata mereka sendiri :
Hasil pembacaan terhadap perbedaan qira’at di atas adalah: para munafik akan
disisksa dengan siksaan yang pedih karena kebohongan ( ) dan pendustaan mereka ( ). Kedua qira’ah di atas berbeda dalam makna, tapi justru melengkapi keterangan keadaan mereka: kebohongan dan pendustaan mereka. Abu Muhammad Makiy bin A bi Thalib Thalib memberikan memberikan komentar: komentar: “Dua qira’ah qira’ah yang yang saling berjalin satu sama lain di atas kembali pada satu makna, karena siapa yang mendustakan risalah nabi Muhammad dan kehujjahan nubuwahnya, maka dia adalah pembohong ( ) yang berbohong kepada Allah, dan siapa yang berbohong kepada Allah dan menentang apa yang Ia turunkan, dia adalah pendusta ( ) atas apa yang Allah turunkan. Ibnu Taymiyah juga ikut menjelaskan: mereka (para munafik) itu berbohong dengan kata-kata mereka sendiri: ( ) dan mendustai Rasulullah di dalam batin mereka, walaupun secara zhahir, mereka membenarkannya.10 c. Perbedaan Qira’at yang berfungsi menghilangkan kemusykilan makna ayat (raf’ isykal mutawahhim di ma’na al -ayah) -ayah) Jumlah pola ini di dalam al-Qur’an ada pada 6 tempat. Salah satunya adalah
apa yang ada di dalam surat Thaha ayat 97: 9
Lihat juga untuk Qira’at Sab’ah dalam Ahsin Sakho, Manba’ al -Barakah (Jakarta: IIQ Press, 2010), h. -Barakah (Jakarta:
42 10 Lihat
Qira’at wa Atsaruha fi at -Tafsir disertasi Mummad Umar bin Salim, Al- Qira’at -Tafsir wa al-Ahkam (Saudi Arabia: Jami’ah Umm al -Qura, 1412-1413 H), h. 374
7
:
Ada empat cara membaca dalam kalimat ( ), yaitu Pertama; Abu Ja’far ( ), Kedua; dua perawi Abu Ja’far ( ( ), Ketiga; Ibnu Jammaz ( ), dan Keempat; Imam Sepuluh lainnya ( ). Untuk qira’ah yang (1) dan (3), maknanya adalah membakar dengan api; dan makna bacaan yang (4) mengandung makna tikrar, sehingga maknanya adalah dibakar berkali-kali ( ). Berbeda nda membakar dengan qira’at yang ra’ -nya didhammah (2), maknanya adalah “A nda besi, lalu ketika anda mendinginkannya, me ndinginkannya, (besi itu) meleleh dan rontok” ( ). Maka ayat tersebut bermakna demikian, ( ). Di dalam ayat ini, dengan qira’at jumhur (imam qira’ah), ada kemusykilan atau keganjilan: bagaimana sapi ( ) yang terbuat dari emas itu dibakar, lalu (dikatakan) ditebar di lautan? Sesuatu yang ditebar mestinya adalah berbentuk debu atau seperti pasir, sedangkan ketika emas yang dibakar, ia meleleh, menjadi benda cair. Bagaiman bisa disebut ditebar? Untuk menyelesaikan kemusykilan ini, maka kesemua qira’at di atas dapat
digabung untuk mendapatkan pemahaman bahwa nabi Musa as. mengancam sapi emas (Musa Samiri) itu akan dibakar dengan api yang ultra panas, lalu dibekukan sebegitu rupa sampai meleleh dan rontok menjadi serpihan kecil, lantas dilenyapkan dalam lautan. Jadi, tidak hanya dibakar saja, tapi juga ada proses dibekukan dengan tingkat beku yang ultra ekstrim sampai rontoklah komposisi sapi emas tersebut. Solusi yang lain datang dari Abu Hayyan berpendapat berpen dapat bahwa di dalam mushaf Ubay dan Abdullah bin Mas’ud tertulis: ( ). Dengan qira’at ini, yang memiliki tambahan ( ) maka ( ), sapi emas tadi dijadikan hewan yang berdaging terlebih dahulu oleh Allah, memiliki darah serta ruh. Nah, dalam keadaan inilah, sapi tersebut kemudian dibakar dengan api. Maka tidak lagi musykil jika debu hasil pembakaran sapi s api yang biologis tadi ditebar sebagai s ebagai abu ke lautan. Kemudian, ada juga kategori yang berkaitan dengan kaidah ushul fiqh: umum, ithlaq, ijmal. Dan juga kategori yang berkaitan dengan gaya (uslub) al-Quran. Kategori uslub al-Quran dalam kaitannya dengan implikasi perbedan qira’at memiliki sub pembahasan yang lebih beragam. Di antaranya: qira’at yang berhubungan denga n bina’ fa’il atau bina’ maf’ul, qira’at yang berhubungan dengan iltifat , qira’at yang a, atau berhubungan berhubungan dengan dengan isti’naf isti’naf , qira’at yang berhubungan dengan shighat fi’il fa> ’al ’al a tafa>’ala ’ ala , q ira’at yang berhubungan dengan ifadat at-taktsir, q ira’at ira’at yang berhubungan berhubungan dengan kalam khabar dan kalam insya’, dan qira’at yang berhubungan dengan keragaman lahjah (ta’addud al -lughah) -lughah) .11
11
Ilmu Qira’at dan Tafsir, dalam http://gudangsemesta.blogspot.co.id/2012/05/pengailmu -qiraat-
tafsir.html 8
Di antara contoh dari kategori yang berkaitan dengan gaya (uslub) al-Quran di atas adalah, misalnya qira’at yang berhubungan dengan bina’ fa’il atau bina’ maf’ul dalam tiga ayat berikut:
: :
:
Hafsh membaca membacanya dengan ( ), mabni fa’il dalam tiga ayat di atas, sedangkan sepuluh imam lainnya membaca ( ), mabni maf’ul. Dalam qira’at, mabni maf’ul ini mengisyaratkan bahwa yang ingin ditekankan adalah wuqu’ al -fi’l, yakni peristiwa pewahyuannya.12 Contoh lainnya dalam kategori ini ialah qira’at yang berhubungan dengan iltifat dalam surat al-Baqarah ayat 74.
:
Pada kata ( ), Imam Ibnu Katsir membacanya dengan ( ), sedangkan Imam Sepuluh lainnya membaca ( ). Ini adalah contoh iltifat dari khithab menjadi ghaib. Kedua qira’ah ini masih berada dalam satu makna. Hal yang menarik adalah iltifat yang terjadi dalam qira’ah Ibnu Katsir. Struktur pembicaraan
ayat di atas awalnya adalah mukhathab, akan tetapi di ungkapan yang terakhir berubah menjadi ghaib ( ). Iltifat ini memiliki sebuah hikmah. Ada semacam nuansa makna, bahwa Allah benci dengan yang diajak bicara, sehingga mengubahnya menjadi seakan-akan tidak ada atau ghaib. Karena biasanya, diajaknya seseorang berbicara dan ber-muwajjahah adalah tanda bahwa kehadirannya kehadiran nya diterima oleh yang mengajak bicara, dan yang mengajak bicara juga suka kepadanya. Nuansa muwajjahah inilah yang dipotong oleh Allah dalam narasi ayat di atas.13
12 Lihat
Qira’at wa Atsaruha fi at -Tafsir desertasi Mummad Umar bin Salim, Al- Qira’at -Tafsir wa al-Ahkam (Saudi Arabia: Jami’ah Umm al-Qura, 1412-1413 H), h. 730-731 13 Lihat disertasi Mummad Umar bin Salim, Al- Qira’at Qira’at wa Atsaruha fi at -Tafsir -Tafsir wa al-Ahkam , h. 730-731
9
Demikianlah sekilas uraian keterkaitan antara qira’at dalam implikasinya dalam penafsiran. Uraian ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya pemahaman qira’at bagi seseorang yang akan menafsirkan al-Quran, baik itu pemahaman qira’at sab’ah, qira’at asyarah, maupun qira’at arba’ asyarah. Penguasaan terhadap bidang ilmu ini tentu akan
menambah wawasan seorang mufassir dalam memahami al-Quran. Oleh karena itu, perbedaan qira’at sesungguhnya sesungguhnya bukan menjadi wahan perdebatan yang tidak memiliki
titik temu. Melainkan justru dapat memperkaya wawasan dalam memahami tuntunan dan hukum-hukum yang termuat di dalam al-Quran. Al-Zarqani dalam Manahil al-Urfan menyebutkan beberapa manfaat atas keberagaman qira’at, di antaranya:14
1. 2. 3. 4. 5. 6.
14
Menjelaskan kepastian suatu hukum, Memadukan antara dua hukum yang berbeda melalui melalui pemaduan du qira’at yang ada, Mengindikasikan adanya dua hukum syara’, tetapi dalam kondisi yang berbeda,
Menolak kesalahpahaman, Menjelaskan makna suatu lafzh, yang oleh sebagian sulit dimengerti maknanya, Menampakkan suatu kenyakinan, dimana sebagian orang sering tersesat.
Al-Zarqani, Manahil Al- Urfan fii’ Ulum al -Quran -Quran , (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 155-159 10
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zarqani, Manahil Al- Urfan fii’ Ulum al -Quran -Quran , Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 Hasanuddin AF, Perbedaan Qira'at dan Pengaruhnya terhadap Istinbath Hukum al- Qur'an , Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995
Ilmu Qira’at dan Tafsir, dalam
http://gudangsemesta.blogspot.co.id/2012/05/pengailmu-qiraat-tafsir.html.. http://gudangsemesta.blogspot.co.id/2012/05/pengailmu-qiraat-tafsir.html Qira’at Sab’ah dalam Ahsin Sakho, Manba’ al -Barakah -Barakah , Jakarta: IIQ Press, 2010.
Rosihon Anwar, Samudera Al-Quran, Bandung: CV Pustaka Setia: 2001 Umar, Mummad. Disertasi: Al- Qira’at Qira’at wa Atsaruha fi at -Tafsir -Tafsir wa al-Ahkam , Saudi Arabia: Jami’ah Umm al-Qura, 1412-1413 H
11