TESIS
IDENTIFIKASI ELEMEN ARSITEKTUR EROPA PADA KRATON YOGYAKARTA
Oleh: Ofita Purwani NRP. 3298 202 016
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ARSITEKTUR ALUR PERANCANGAN DAN KRITIK ARSITEKTUR INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2001
ABSTRAK
IDENTIFIKASI ELEMEN ARSITEKTUR EROPA PADA KRATON YOGYAKARTA
Oleh
: Ofita Purwani
Dosen Pembimbing
: Ir. Sugeng Gunadi, MLA Ir. Sri Amiranti, MS
Kraton Yogyakarta yang didirikan pada tahun 1756 oleh Sultan Hamengku Buwana I mengalami pemugaran pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII. Pemugaran yang dilakukan tersebut dilakukan hampir pada seluruh bangunan kraton. Pada hasil pemugaran tersebut ditemui adanya elemen arsitektur Eropa. Untuk mengetahui di mana saja elemen arsitektur Eropa tersebut digunakan, dilakukan identifikasi dengan pendekatan naturalistik. Dengan melakukan identifikasi terhadap elemen-elemen arsitektur Eropa tersebut, dapat dilihat kecenderungan penggunaannya pada kraton Yogyakarta. Identifikasi dilakukan pada sampel yang terdiri dari bangunan-bangunan yang ada di pelataran-pelataran yang penting untuk ritual kraton, dengan pertimbangan untuk mendapatkan keragaman yang tinggi dan kasus ekstrim. Dari identifikasi yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa proporsi golden section digunakan pada semua bangunan, sementara bentuk dan ornamen Eropa hanya digunakan pada tempat-tempat tertentu. Kecenderungan yang didapatkan dari identifikasi tersebut menunjukkan bahwa bentuk dan ornamen Eropa ditemui pada ruang-ruang atau bangunan yang memiliki fungsi yang cukup penting tapi tidak sakral. Ruang-ruang yang sakral dan yang berfungsi untuk prajurit atau abdi dalem tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa. Dengan melakukan kajian tentang kesakralan bangunan dan kajian sejarah, didapatkan bahwa bentuk dan ornamen Eropa tersebut dipergunakan sebagai usaha untuk mempertahankan status sosial. Karena itu bentuk dan ornamen Eropa tersebut tidak digunakan pada bangunan-bangunan untuk prajurit, serta banyak digunakan pada regol yang membatasi pelataran Kedaton yang identik dengan kraton dan sultan. Tetapi penggunaan bentuk dan ornamen Eropa tersebut dibatasi oleh tingkat kesakralan ruang atau bangunan, di mana ruang-ruang yang sangat sakral dipertahankan untuk tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa.
DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Pengesahan Kata Pengantar Abstrak Daftar Isi Daftar Gambar
i ii iii iv vi ix
Daftar Tabel
xii BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN
I.1.Latar Belakang I.2. Permasalahan I.3. Batasan I.3.1. Terminologi I.3.2. Batasan Penelitian I.4. Tujuan Penelitian I.5. Kontribusi Penelitian I.6. Kegunaan Penelitian
I-1 I-3 I-3 I-3 I-4 I-5 I-5 I-5
: METODOLOGI PENELITIAN II.1. Pengambilan Sampel II.2. Pengumpulan Data II.3. Fokus Penelitian II.4. Langkah-langkah Penelitian II.5. Rancangan Penelitian
II-2 II-2 II-3 II-3 II-4
BAB III
: TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Arsitektur Daerah Istimewa Yogyakarta III.1.1. Bentuk III.1.2. Ornamen (Ragam Hias) III.2. Arsitektur Eropa III.2.1. Arsitektur Klasik III.2.2. Art Nouveau BAB IV
III-1 III-1 III-15 III-20 III-20 III-28
: IDENTIFIKASI
IV.1. Kompleks Pagelaran IV.1.1. Bangsal Pagelaran IV.1.2.Bangsal Pengapit dan Bangsal Pasewakan IV.2. Sitihinggil
IV-3 IV-3 IV-11 IV-13
IV.2.1.Gerbang Sitihinggil, Bangsal Pacikeran dan Tarub Hageng IV-13 IV.2.2. Pacahosan Gandek dan Prajurit IV-16 IV.2.3. Bangsal Sitihinggil IV-17 IV.2.4. Bale Bang dan Bale Mangangun-angun IV-22 IV.3. Pelataran Kemandhungan Utara IV-25 IV.3.1.Regol Brajanala IV-26 IV.3.2. Bangsal Pancaniti IV-27 IV.3.3. Pacahosan Pancaniti IV.4. Pelataran Sri Manganti IV.4.1. Regol Sri Manganti IV.4.2. Bangsal Sri Manganti IV.4.3. Bangsal Trajumas IV.4.4. Pacahosan IV.5. Kedaton IV.5.1. Regol Danapratapa dan Purworetno IV.5.2. Gedong Jene IV.5.3.Bangsal Kencana IV.5.4. Bangsal Prabayeksa IV.5.5. Bangsal Manis IV.5.6. Bangsal Mandalasana IV.5.7. Bangsal Kotak
IV-30 IV-31 IV-31 IV-33 IV-36 IV-37 IV-38 IV-38 IV-43 IV-47 IV-50 IV-51 IV-54 IV-55
BAB V : DISKUSI
V.1. Hipotesis I V.2. Kesakralan Bangunan pada Kraton Yogyakarta V.3. Analisis Kasus Negatif I V.4. Analisis Kasus Negatif II
V-2 V-2 V-4 V-8
V.5. Rangkuman
V-14
BAB VI
: KESIMPULAN
VI.1. Kesimpulan VI.2. Saran Daftar Pustaka Lampiran
VI-1 VI-1
DAFTAR GAMBAR Gambar I. 1 Gambar II.1 Gambar III. 1 Gambar III. 2 Gambar III. 3 Gambar III. 4 Gambar III. 5 Gambar III. 6 Gambar III. 7 Gambar III. 8 Gambar III. 9 Gambar III. 10 Gambar III. 11 Gambar III. 12 Gambar III. 13 Gambar III. 14 Gambar III. 15 Gambar III. 16 Gambar III. 17 Gambar III. 18 Gambar III. 19 Gambar III. 20 Gambar III. 21 Gambar III. 22 Gambar III. 23 Gambar III. 24 Gambar IV. 1 Gambar IV. 2 Gambar IV. 3 Gambar IV. 4 Gambar IV. 5 Gambar IV. 6 Gambar IV. 7 Gambar IV. 8 Gambar IV. 9 Gambar IV. 10 Gambar IV. 11 Gambar IV. 12 Gambar IV. 13
Peta kawasan Kraton Yogyakarta I-6 Bagan Rancangan Penelitian II-4 Panggangpe pokok III-1 Tipe-tipe panggangpe III-2 Bentuk kampung pokok III-3 Tipe-tipe bentuk kampung III-5 Limasan pokok III-6 Tipe-tipe bentuk limasan III-7 Tipe-tipe bentuk limasan III-9 Tipe-tipe bentuk joglo III-12 Bentuk tajug pokok III-13 Tipe-tipe bentuk tajug III-14 Ragam hias Jawa III-19 Order klasik Yunani III-20 Order klasik yang diciptakan oleh Romawi III-21 Daun acanthus III-21 Base kolom klasik Eropa III-22 Plinth dan scamillus III-22 Abacus III-22 Tekstur kolom klasik Eropa yang biasa ditemui III-23 Entablature III-23 Pediment III-24 Parthenon III-24 Arcade III-25 Golden section yang didapatkan dari bentuk pentagon dan bujur sangkar III-26 Fasad bangunan klasik dan proporsinya dalam golden section. III-26 Denah bangsal Pagelaran IV-6 Analisis proporsi golden section pada tampak IV-6 Analisis proporsi golden section dan identifikasi pada G1 IV-7 Analisis proporsi golden section dan identifikasi pada G2 IV-8 Analisis kolom K1 IV-8 Analisis kolom K2. IV-9 Analisis kolom K3 IV-10 Analisis kolom K4 IV-11 Denah dan tampak bangsal Pengapit IV-12 Analisis kolom K5 IV-12 Denah gerbang Sitihinggil dan bangsal Pacikeran IV-13 Tampak potongan gerbang Sitihinggil dan bangsal Pacikeran IV-14 Potongan gerbang Sitihinggil dan bangsal Pacikeran IV-14
Gambar IV. 14 Gambar IV. 15 Gambar IV. 16 Gambar IV. 17 Gambar IV. 18 Gambar IV. 19 Gambar IV. 20 Gambar IV. 21 Gambar IV. 22 Gambar IV. 23 Gambar IV. 24 Gambar IV. 25 Gambar IV. 26 Gambar IV. 27 Gambar IV. 28 Gambar IV. 29 Gambar IV. 30 Gambar IV. 31 Gambar IV. 32 Gambar IV. 33 Gambar IV. 34 Gambar IV. 35 Gambar IV. 36 Gambar IV. 37 Gambar IV. 38 Gambar IV. 39 Gambar IV. 40 Gambar IV. 41 Gambar IV. 42 Gambar IV. 43 Gambar IV. 44 Gambar IV. 45 Gambar IV. 46 Gambar IV. 47 Gambar IV. 48 Gambar IV. 49 Gambar IV. 50 Gambar IV. 51 Gambar IV. 52 Gambar IV. 53 Gambar IV. 54
Tampak pacahosan dan Tarub Hageng beserta analisis golden sectionnya IV-15 Analisis kolom K6 IV-17 Denah Sitihinggil IV-19 Analisis golden section pada tampak utara bangunan IV-20 Analisis golden section pada tampak barat bangunan IV-20 Analisis G3 dan kolom K7 IV-21 Analisis kolom K8 IV-22 Denah Bale Bang yang sama dengan denah Bale Mangangunangun IV-23 Analisis golden section pada tampak Bale Bang IV-24 Analisis pada tampak samping bangunan IV-24 Analisis pada kolom K9 IV-25 Analisis pada tampak regol Brajanala IV-26 Denah bangsal Pancaniti IV-28 Analisis golden section pada tampak bangsal Pancaniti IV-28 Analisis pada kolom K10 IV-29 Analisis pada kolom K11 IV-29 Denah pacahosan serta analisis golden section pada tampak IV-31 Denah regol Sri Manganti IV-32 Tampak regol Sri Manganti IV-32 Pacahosan yang ada di sebelah utara regol Sri Manganti IV-33 Denah bangsal Sri Manganti IV-34 Analisis golden section pada tampak Sri Manganti IV-34 Analisis pada kolom K12 IV-35 Denah bangsal Trajumas IV-36 Analisis pada tampak bangsal Trajumas IV-37 Denah dan tampak pacahosan Sri Manganti IV-38 Perspektif Purworetno IV-38 Denah regol Danapratapa dan Purworetno IV-40 Analisis golden section pada tampak bangunan IV-41 Analisis pada G6 Purworetno IV-41 Analisis pada G4 IV-41 Analisis pada G5 IV-42 Perspektif Gedong Jene IV-42 Denah dan analisis pada tampak IV-46 Analisis pada G9 IV-46 Analisis pada kolom K16 IV-48 Denah bangsal Kencana IV-48 Analisis golden section pada tampak bangsal Kencana IV-49 Analisis kolom K15 IV-50 Denah bangsal Prabayeksa IV-50 Analisis golden section pada tampak utara Prabayeksa IV-52
Gambar IV. 55 Gambar IV. 56 Gambar IV. 57 Gambar IV. 58 Gambar IV. 59 Gambar IV. 60 Gambar IV. 61 Gambar V. 1 Gambar V. 2 Gambar V. 3 Gambar V. 4 Gambar V. 5 Gambar V. 6 Gambar V. 7
Denah bangsal Manis dan analisis golden section pada tampak utara IV-52 Analisis pada G8 IV-53 Analisis pada G9 IV-54 Denah Mandalasana dan analisisnya IV-55 Analisis golden section pada bangsal kotak IV-55 Analisis pada kolom K14 IV-57 Plotting hasil identifikasi IV-57 Tingkat kesakralan kraton yang berbentuk konsentrik radial V-3 Perbandingan antara hasil identifikasi dengan tingkat kesakralan bangunan. V-5 Kategori bangunan yang ada pada kompleks kraton Yogyakarta. V-8 Bangsal Pacikeran yang ada di kanan kiri gerbang Sitihinggil V-10 Bentuk tempat jaga prajurit pada regol Brajanala V-10 Bentuk tempat jaga prajurit pada regol Sri Manganti V-10 Bentuk tempat jaga prajurit yang ada di regol Danapratapa dari utara, barat dan timur. V-11
DAFTAR TABEL Tabel V.1. Tabel hasil identifikasi dan tingkat kesakralannya
V-1
KATA PENGANTAR Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas segala rahmat dan pertolonganNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Identifikasi Elemen Arsitektur Eropa pada Kraton Yogyakarta ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Ir. Sugeng Gunadi, MLA atas segala bimbingannya selama penyusunan tesis ini. 2. Ibu Ir. Sri Amiranti, MS selaku pembimbing atas segala bimbingannya selama ini. 3. Bapak Ir. Josef Prijotomo, M.Arch, atas semua masukan dan tambahan pengetahuannya. 4. Bapak Haryo dan seluruh staf di PT. Kertagana yang telah menyediakan datadata untuk penyusunan tesis ini. 5. Bapak dan Ibu serta seluruh sanak saudara atas segala doa dan cinta yang tak terhingga. 6. Radiah yang banyak membantu serta memberi semangat, Eny atas pinjaman motornya, serta Mytha dan Lia atas perhatian dan dukungannya, serta seluruh teman-teman di Yogyakarta dan Surabaya atas segala bantuan dan dukungan selama ini. 7. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan thesis ini. Akhirnya penulis berharap agar tesis ini dapat bermanfaat. Surabaya, 15 Agustus 2001
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG Kolonialisme merupakan suatu tekanan atau dominasi dari suatu negara terhadap negara lain dalam hal sosial, politik ekonomi dan kultural1. Dominasi ini selalu berhubungan dengan eksploitasi 2. Kolonialisme dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa yang mencari dunia baru ke arah Timur, dengan dimulai oleh bangsa Portugis pada abad ke-15, dan menimbulkan penjajahan bangsa Barat terhadap bangsa Timur. Dunia Timur merupakan dunia yang asing sama sekali dengan bangsa Barat (Eropa), sehingga kegiatan kolonialisme merupakan pertemuan antara dua hal yang sangat berbeda. Pertemuan tersebut akan menimbulkan berbagai perubahan baik pada bangsa Timur maupun bangsa Barat. Kedatangan bangsa Eropa sejak tahun 1596 ke Indonesia merupakan suatu momen pertemuan dua kebudayaan yang sangat berbeda, yaitu kebudayaan Barat yang berpangkal dari individu dan kebudayaan Timur yang berpangkal dari keselarasan hubungan dengan alam. Bangsa Eropa membawa kebudayaan dan pandangannya yang berbeda dengan kebudayaan Indonesia. Bangsa Eropa khususnya Belanda tinggal dan menjajah Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu sekitar 350 tahun sejak kedatangannya pada tahun 1596 sampai dengan tahun 1945 ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Pulau Jawa merupakan pulau besar pertama yang dikuasai sepenuhnya oleh Belanda, yaitu sebelum abad ke-19. Pada tahun 1805 pulau Jawa dalam kekuasaan Belanda dengan pemerintahan H.W. Daendels yang merupakan wakil negara Perancis. Hal ini terjadi karena pada waktu itu Belanda dikuasai oleh Napoleon Bonaparte dari Perancis. Saat itu di Eropa sedang terjadi perang Napoleon. Gubernur Daendels membangun jalan Anyer – Panarukan untuk kepentingan 1
Definisi oleh Brown University. Definisi colonialism menurut Oxford English Dictionary selalu mengandung makna ‘alleged policy of exploitation of backward or weak peoples by a large power’. 2
pertahanan karena adanya ancaman militer dari Inggris yang dalam perang Napoleon tersebut bermusuhan dengan Perancis. Walaupun begitu pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut pulau Jawa dan melakukan pemerintahan di bawah T.S. Raffles. Pemerintahan Inggris ini berlangsung sampai tahun 1816 ketika perang Napoleon berakhir dan pulau Jawa dinyatakan sebagai jajahan Belanda kembali dengan diadakannya Konvensi London3. Pengambilalihan pulau Jawa terjadi kembali ketika perang dunia kedua, di mana Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942. Penjajahan Jepang hanya berlangsung selama kurang lebih tiga tahun saja yaitu pada tahun 1942 sampai tahun 1945. Penjajahan bangsa Eropa yang berlangsung kurang lebih 350 tahun tersebut tentu saja sangat memungkinkan adanya pengaruh-pengaruh yang dapat menimbulkan perubahan pada wajah arsitektur. Arsitektur setempat mengadopsi arsitektur asing untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Hal itu dapat dilihat di antaranya pada kraton Yogyakarta. Kraton Yogyakarta didirikan pada awalnya oleh Sultan Hamengku Buwono I ketika kerajaan Mataram terpecah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta, setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Kerajaan terbesar di pulau Jawa pada masa itu terpecah karena adanya permusuhan antara Paku Buwono III yang memihak Belanda, dengan saudaranya yang kemudian menjadi Hamengku Buwono I tersebut. Pecahan kerajaan Mataram ini merupakan ‘negara boneka’ dari Belanda4. Kraton Yogyakarta yang didirikan pada tahun 1756 oleh Sultan pertama kerajaan Yogyakarta tersebut kemudian dipugar dan disempurnakan pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII yaitu pada tahun 1921-1939. Pemugaran yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII tersebut banyak memberikan perubahan pada bangunan yang sudah terbangun sebelumnya. Perubahan tersebut umumnya dilakukan dengan tujuan agar bangunan berumur lebih lama. Perubahan yang terjadi menunjukkan adanya elemen-elemen arsitektur Eropa, seperti gewel, kolom-kolom yang mirip bentuk klasik korinthian serta penggunaan kaca patri dan material logam.
3 4
Koentjaraningrat, (1984),Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustaka. Ibid.
Hal ini menunjukkan adanya elemen asing pada arsitektur Kraton Yogyakarta, yaitu arsitektur Eropa tersebut.
I.2. PERMASALAHAN Arsitektur Kraton Yogyakarta mengalami perubahan dalam setting waktu tahun 1921-1939 setelah dipugar oleh Hamengku Buwana VIII. Setelah pemugaran tersebut wajah arsitektur Kraton Yogyakarta mengalami banyak perubahan, di antaranya dengan adanya elemen-elemen arsitektur Eropa yang digunakan di situ di samping arsitektur Jawa. Elemen-elemen arsitektur Eropa tersebut tidak digunakan pada seluruh bagian Kraton. Sebagian dari bangunan dalam kompleks Kraton Yogyakarta tidak mendapatkan ‘sentuhan’ elemen arsitektur Eropa tersebut. Sebagai contoh adalah Bangsal Pagelaran yang banyak memiliki elemen arsitektur Eropa sementara pada bangsal pengapit yang berada di kanan kirinya sama sekali tidak didapati adanya elemen arsitektur Eropa. Hal tersebut juga terjadi pada Sitihinggil, di mana pada tratag Witana dapat ditemui elemen arsitektur Eropa, tapi pada Bangsal Manguntur Tangkil dan Bangsal Witana elemen arsitektur Eropa sama sekali tidak dijumpai. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa penggunaan elemen-elemen arsitektur Eropa tersebut memiliki suatu kecenderungan tertentu. Permasalahan yang diambil pada penelitian ini adalah: 1. Di mana saja terdapat elemen arsitektur Eropa pada kompleks Kraton Yogyakarta? 2. Bagaimana kecenderungan penggunaan elemen arsitektur Eropa tersebut?
I.3. BATASAN I.3.1. Terminologi 1. Elemen arsitektur yang dimaksud adalah bentuk, ornamen serta proporsi. 2. Tratag
: emperan yang terletak paling tepi dalam arsitektur Jawa.
Dalam arsitektur Jawa dikenal adanya atap pamidangan, penanggap, penitih
dan peningrat. Di luar keempat atap tersebut bila ditambahkan emperan, maka disebut tratag. 3. Ornamen
: setiap detil bentuk, tekstur atau warna yang digunakan atau
ditambahkan agar menarik. 4. Base
: dasar kolom dalam arsitektur klasik.
5. Plinth
: balok penumpu di bawah base kolom.
6. Scamillus
: plinth yang menyangga dua buah kolom sekaligus.
7. Entablature
: balok yang ada di atas kolom, dan ditopang oleh kolom.
8. Gewel
: bagian dinding yang berada tepat di bawah ujung atap, yang
terdiri dari dua sisi miring. Biasanya gewel ini berbentuk segitiga, tetapi bisa berbentuk berundak atau melengkung. Bentuk gewel melengkung merupakan bentuk yang biasa dipakai di Belanda. 9. Pediment
: ujung gewel yang ada di batas atap, biasanya dihias dengan
sculpture. 10. Arch
: suatu bentuk melengkung yang membentuk bukaan.
11. Arcade
: sederetan arch yang dibentuk oleh kolom-kolom.
12. Poligon
: bentuk segibanyak.
I.3.2. Batasan Penelitian Penelitian ini akan dilakukan dengan batasan-batasan sebagai berikut: 1. Pembatasan dilakukan pada kasus yang diambil yaitu mencakup bangsal Pagelaran beserta Pengapitnya, pelataran Sitihinggil, pelataran Kemandhungan Utara, Pelataran Sri Manganti, serta pelataran Kedaton beserta regol-regolnya. Hal ini dilakukan karena kompleks-kompleks tersebut memiliki keragaman yang tinggi.
Selain
itu
kompleks
-
kompleks
tersebut
merupakan
tempat
dilaksanakannya sebagian besar dari ritual-ritual Kraton. 2. Bahasan kasus ini dibatasi pada arsitektur Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta yang diambil dari buku Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (Dakung, 1983) serta arsitektur klasik Eropa dan art nouveau yang diambil dari A History of Architecture (Kostof, 1985), Classical Architecture
(Porphyrios, 1992), Modern Architecture (Frampton, 1980) dan Dictionary of Architecture and Construction (Harris, 1975). 3. Batasan juga dilakukan pada setting waktu, yaitu setting waktu tahun 1939 setelah pemugaran yang dilakukan oleh sultan Hamengku Buwana VIII. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pemugaran yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwana VIII inilah yang banyak memberikan perubahan pada tampilan bangunan Kraton Yogyakarta. 4. Aspek yang dibahas dalam tesis ini dibatasi pada aspek fisik dengan fokus pada bentuk dan ornamen serta proporsi golden section.
I.4. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Melakukan identifikasi terhadap elemen-elemen arsitektur Eropa yang ada pada arsitektur Kraton Yogyakarta. 2. Mengetahui kecenderungan penggunaan elemen arsitektur Eropa pada arsitektur Kraton Yogyakarta serta apa yang mempengaruhinya.
I.5. KONTRIBUSI PENELITIAN Memberikan kontribusi bagi bidang pengetahuan arsitektur di Indonesia, yaitu pengetahuan tentang bagaimana pihak lokal (setempat) menyikapi adanya pihak pendatang yang akan selalu ada untuk membawa perubahan pada kasus Kraton Yogyakarta pada khususnya dan arsitektur Indonesia pada umumnya.
I.6. KEGUNAAN PENELITIAN Penelitian ini diharapkan akan dapat memperkaya pengetahuan arsitektur khususnya arsitektur kraton Yogyakarta dan arsitektur hibrid di Indonesia pada umumnya.
Gambar I.1. Peta kawasan Kraton Yogyakarta (sumber: PT. Kertagana)
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
Tesis ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan naturalistik. Dalam pandangan naturalistik, realitas adalah ganda, dan kebenaran terkait dengan konteksnya. Karena itu penelitian dengan pendekatan naturalistik tidak bertujuan untuk melakukan verifikasi terhadap teori, tetapi bertujuan untuk membentuk suatu teori yang berasal dari kasus empirik, yang bersifat unik pada kasus. Empat unsur utama dari penelitian dengan pendekatan naturalistik adalah5: 1. Pengambilan sampel purposive Ada enam tipe pengambilan sampel menurut Michael Quinn Patton yang lebih baik daripada pengambilan sampel secara acak, yaitu:
Sampel ekstrim atau kasus menyimpang untuk mendapatkan informasi ekstrimnya
Sampel kasus tipikal untuk menghindari penolakan informasi yang memang khusus.
Sampel yang memberikan keragaman maksimal untuk merekam keragaman yang unik.
Sampel pada kasus ekstrim untuk memperoleh informasi aplikasi maksimum pada kasus lain.
Sampel untuk kasus sensitif, untuk menarik perhatian pada studi tersebut.
Sampel yang memudahkan untuk menghemat uang waktu dan kegiatan penelitian itu sendiri.
2. Analisis data induktif Yang dimaksud dengan analisis data induktif menurut paradigma naturalistik adalah analisis atas data spesifik dari lapangan menjadi unit-unit dilanjutkan dengan kategorisasi.
5
Muhadjir, Noeng, (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
3. Grounded theory Dalam penelitian dengan paradigma naturalistik, teori disusun di lapangan. Teori ini bersifat open-ended dan dapat diperluas. Sampai batas-batas tertentu hasil penelitian tersebut tetap dimungkinkan untuk membuat prediksi dan membuat hipotesis, serta berperan juga untuk penelitian lanjutan. 4. Desain sementara Paradigma naturalistik menuntut desain penelitian yang bersifat sementara, yang akan berkembang sesuai dengan konteksnya tergantung pada interaksi peneliti dengan konteksnya. Semua itu sesuai dengan aksiomanya yang menyatakan bahwa realitas itu ganda.
II.1. PENGAMBILAN SAMPEL Dalam penelitian ini diambil sampel dari seluruh kompleks Kraton Yogyakarta. Sampel yang diambil adalah kompleks Pagelaran, kompleks Sitihinggil, kompleks Pancaniti, kompleks Sri Manganti dan kompleks Kedaton. Pengambilan sampel tersebut merupakan pengambilan sampel purposive dengan tujuan untuk mendapatkan keragaman yang lebih tinggi, mengingat kompleks-kompleks tersebut merupakan kompleks dengan keragaman yang paling tinggi dan merupakan kasus ekstrim dalam keseluruhan Kraton Yogyakarta karena ritual kraton banyak dilaksanakan pada kompleks-kompleks tersebut.
II.2. PENGUMPULAN DATA Karena kasus yang diambil adalah pada konteks tahun 1930-an, maka data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data-data sekunder berupa gambargambar bangunan beserta foto-foto. Data primer juga diperlukan dalam hal ini mengingat keterbatasan data gambar serta dengan mempertimbangkan bahwa arsitektur Kraton Yogyakarta hampir tidak mengalami perubahan sejak tahun 1939 tersebut. Sejarah bangunan serta perubahan-perubahan yang terjadi selama kurun
waktu tersebut dapat diketahui dari keterangan PT. Kertagana yang merupakan konsultan Kraton Yogyakarta dalam setiap pemugarannya.
II.3. FOKUS PENELITIAN Fokus pada penelitian ini adalah pada bentuk, ornamen dan proporsi. Ornamen adalah setiap detil bentuk, tekstur dan warna yang ditambahkan pada arsitektur agar menarik (Harris, 1975). Batasan lain adalah pada konteksnya, yaitu konteks tempat (Kraton Yogyakarta) dan konteks waktu (1939). Alat yang digunakan dalam identifikasi adalah tipologi arsitektur Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdapat pada buku Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (Dakung,1987), dan arsitektur klasik Eropa yang terdapat pada A History of Architecture (Kostof, 1985), Classical Architecture (Porphyrios, 1992) dan ditambah dengan definisi-definisi dari Dictionary of Architecture and Construction (Harris, 1975). Sementara proporsi golden section didapatkan dari Architectural Principles in The Age of Humanism (Wittkower, 1949) serta website http://evolutionoftruth.com/goldensection/ dan http://ionone.com/arcgolds.htm . Arsitektur art nouveau diambil dari A History of Architecture (Kostof, 1985) dan Modern Architecture (Frampton, 1980).
II.4. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan adalah: 1. Pengkajian terhadap literatur tentang tipologi arsitektur Daerah Istimewa Yogyakarta serta arsitektur klasik dan art nouveau Eropa. 2. Pengumpulan data baik berupa data sekunder yaitu data-data gambar dan sejarah bangunan dari PT Kertagana serta data primer berupa foto.
3. Identifikasi elemen arsitektur Eropa dan arsitektur Jawa dari data yang diperoleh dengan menggunakan tipologi arsitektur arsitektur Daerah Istimewa Yogyakarta dan arsitektur klasik Eropa yang didapatkan dari langkah sebelumnya. 4. Kategorisasi ruang atau bangunan yang memiliki dan yang tidak memiliki elemen arsitektur Eropa. 5. Plotting hasil kategorisasi tersebut ke dalam bentuk peta plot sehingga dapat menunjukkan kecenderungan-kecenderungan penggunaan arsitektur Eropa pada area studi. 6. Analisis terhadap kecenderungan yang ditemukan yang akan menghasilkan hipotesis. 7. Pengujian
kredibilitas
hipotesis
dengan
analisis
kasus
negatif,
yang
menghasilkan hipotesis baru. 8. Pengujian hipotesis baru dengan analisis kasus negatif hingga tidak ada lagi kasus negatif. 9. Pengambilan kesimpulan.
II.5. RANCANGAN PENELITIAN
Gambar II.1. Bagan rancangan penelitian
BAB III TINJAUAN PUSTAKA Untuk mendapatkan parameter yang diperlukan bagi identifikasi, maka dilakukan kajian tentang arsitektur Daerah Istimewa Yogyakarta dan arsitektur klasik Eropa. III.1. ARSITEKTUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA III.1.1. Bentuk
Bentuk bangunan Jawa digolongkan ke dalam lima jenis6 yang didasarkan pada bentuk atap. Jenis-jenis tersebut adalah: A. Panggangpe Panggangpe ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Bentuk pokoknya memiliki tiang sebanyak 4 atau 6 buah.
Gambar III.1. Panggangpe pokok (sumber: Dakung, 1987)
1. Panggangpe gedhang selirang Bentuk ini adalah gabungan dari dua panggangpe. Salah satunya diletakkan lebih rendah daripada yang lain. Jumlah tiang 6, 8 dan seterusnya, atapnya terdapat pada sebelah sisi dua tingkat. 2. Panggangpe empyak setangkep Bentuk empyak setangkep ini juga merupakan gabungan dari dua buah panggangpe pokok, tetapi keduanya digabungkan dengan mempertemukan dua
sisi depannya sehingga tiang depannya digunakan bersama-sama. Jumlah tiang pada bentuk ini adalah 6,8 dan seterusnya.
Gambar III.2. Tipe-tipe panggangpe (sumber: Dakung, 1987)
3. Panggangpe gedhang setangkep Bentuk ini merupakan gabungan dari dua buah panggangpe gedhang selirang di mana keduanya dipertemukan pada bagian atap yang tertinggi sehingga terbentuk bubungan. Bentuk ini mempunyai tiang sebanyak 10, 15 dan seterusnya 4. Panggangpe ceregancet Bentuk ini juga merupakan gabungan dari dua buah panggangpe gedhang selirang, tetapi keduanya digabungkan pada atap yang paling rendah sehingga
6
Dakung, Sugiyarto, (1987), Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Depdikbud.
pada pertemuan tersebut harus diberi talang air. Bentuk ini memiliki dua buah bubungan. 5. Panggangpe trajumas Panggangpe jenis ini merupakan panggangpe yang memiliki enam buah tiang. 6. Panggangpe barengan Panggangpe barengan terdiri dari beberrapa buah panggangpe yang berderet dengan arah hadap yang sama dengan ukuran yang tergantung pada jumlah panggangpe yang dirangkai. Jumlah tiang yang dipakai paling tidak adalah 20, 30, 40 dan seterusnya. Keenam jenis panggangpe tersebut merupakan modifikasi dari panggangpe pokok, dengan cara menggabungkan beberapa panggangpe pokok dengan posisi yang bervariasi,
atau menggabungkan hasil-hasil dari penggabungan tersebut
menjadi satu.
B. Kampung Bentuk kampung merupakan bentuk yang setingkat lebih sempurna daripada panggangpe. Bangunan kampung pokok terdiri dari 4, 6 atau 8 buah tiang (saka). Pada ujung bubungannya diberi dua buah tutup keong, yaitu tutup atas pada ujung yang biasanya berbentuk segitiga.
Gambar III.3. Bentuk Kampung pokok (sumber: Dakung, 1987)
1. Kampung Pacul Gowang Bentuk ini adalah bentuk gabungan dari bentuk kampung pokok dengan ditambah bagian emper yang berbentuk panggangpe. Jumlah tiangnya 6,8,12 dan seterusnya. 2. Kampung Srotong
Bentuk ini merupakan bentuk kampung pokok dengan dua buah emperan di dua sisinya dengan bentuk panggangpe. Jumlah tiangnya adalah 8,12,16 dan seterusnya. Masing-masing atap pada dua sisinya bersusun dua dengan satu bubungan dan dua tutup keong.
3. Kampung Dara Gepak Bentuk ini merupakan bentuk kampung pokok yang diberi empat emperan pada keempat sisinya dengan bentuk panggangpe. Jumlah tiangnya 16,20,24 dan seterusnya.
4. Kampung Klabang Nyander Bentuk ini merupakan bentuk kampung pokok dengan jumlah tiang sebanyak 16,24 atau lebih. 5. Kampung Lambang Teplok Bentuk ini merupakan variasi bentuk kampung di mana atap bagian atasnya terpisah dengan atap bagian bawah, tetapi keduanya dihubungkan dengan empat buah tiang utama yang terletak di tengah. Tiang yang dipakai berjumlah 16,24 dan seterusnya dengan empat buah menjadi tiang utamanya atau saka guru. 6. Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu Bentuk ini memiliki bentuk luar yang sama dengan lambang teplok, tetapi dengan konstruksi yang berbeda. 7. Kampung Gajah Njerum Bentuk ini merupakan bentuk kampung pokok yang memiliki tiga buah emperan, dua buah di depan belakang, sementara satu ada di samping. Tiang yang dipakai berjumlah 20,24 dan seterusnya.
8. Kampung Cere Gancet Bentuk ini merupakan gabungan dari dua buah kampung pacul gowang yang dihubungkan pada bagian yang tidak beremper. Di antara keduanya dengan demikian harus diberi talang. Tiang yang dipakai berjumlah 20,24 dan seterusnya. 9. Kampung Semar Pinondhong Bentuk kampung ini berbeda dengan yang lainnya. Bentuk ini hanya menggunakan tiang yang berjajar di tengah sesuai panjang bangunan. Jumlah tiang yang digunakan adalah 4, 6 dan seterusnya
Gambar III.4. Tipe-tipe bentuk kampung (sumber: Dakung, 1987)
Bentuk atap kampung merupakan pengembangan lebih lanjut dari bentuk panggangpe, dan variasi tipe kampung didapatkan dengan menambahkan emper panggangpe, menggabungkan beberapa bentuk kampung menjadi satu, serta menggunakan konstruksi bangunan yang berbeda-beda (lambang teplok, semar tinandhu, semar pinondhong). . C. Limasan Bentuk limasan merupakan perkembangan selanjutnya dari dua bentuk yang sebelumnya.
Gambar III.5. Limasan pokok (sumber: Dakung, 1987)
1. Limasan lawakan Bentuk ini merupakan bentuk limasan pokok yang diberi emperan di sekitarnya yang berbentuk panggangpe. Tiang yang dipakai berjumlah 16 , dengan atap yang bertingkat dua pada keempat sisinya. 2. Limasan gajah ngombe Bentuk ini merupakan bentuk limasan dengan tambahan emperan pada salah satu sisinya. Jumlah tiangnya adalah 6,8,10 dan seterusnya. Atap terdiri dari empat sisi dengan salah satu sisinya bersusun dua. 3. Limasan gajah njerum Bentuk ini memiliki atap pada tiga sisi dan bersusun dua. Jumlah tiang yang dipakai adalah 12,16,20 dan seterusnya. 4. Limasan apitan Bentuk ini hanya menggunakan empat buah tiang. 5. Limasan klabang nyander Limasan ini memiliki bentuk luar yang sama dengan limasan apitan, tetapi dengan konstruksi yang berbeda di mana bentuk ini menggunakan banyak pengeret (minimal empat buah). Tiang yang digunakan paling sedikit 4 tetapi bisa 24,28 dan seterusnya. 6. Limasan pacul gowang Bentuk ini merupakan bentuk limasan yang diberi satu emperan pada salah satu sisi panjangnya dengan atap bersusun dua. Sisi yang lain diberi tritisan. Bangunan ini berbentuk persegi panjang dengan jumlah tiang 12,15,18 dan seterusnya.
Gambar III.6. Tipe-tipe bentuk limasan (sumber: Dakung, 1987)
7. Limasan gajah mungkur Bentuk ini merupakan limasan di mana separuh bangunan berbentuk kampung dengan tutup keong. Bentuk ini biasanya diberi emperan pada bagian limasannya. Jumlah tiang yang digunakan adalah 8,10 dan seterusnya. 8. Limasan ceregancet Bentuk ini merupakan gabungan dari dua buah limasan pacul gowang yang dihubungkan pada emperannya. Pada titik pertemuannya diberi talang. Jumlah tiangyang digunakan adalah 20, 24 dan seterusnya. 9. Limasan apitan pengapit
Bentuk ini merupakan gabungan dari dua bentuk limasan lawakanyang dipertemukan pada bagian emperannya. Jumlah tiangyang digunakan adalah 24 atau 28. 10. Limasan lambang teplok Bentuk ini , seperti juga kampung lambang teplok, memiliki atap bagian atas yang merenggang dengan atap bagian bawahnya, renggangan ini beserta emperannya menempel langsung pada empat tiang utamanya. Jumlah tiang yang dipakai pada bentuk ini adalah 16, 24 dan seterusnya. 11. Limasan semar tinandhu Limasan ini memiliki bentuk luar sebagai limasan pokok dengan empat buah emperan di empat sisinya. Atap di tiap sisinya bersusun dua. Perbedaan limasan ini terletak pada konstruksinya, di mana atap bagian atas tidak bertumpu pada tiang utama, tetapi pada tiang yang bertopang pada balok blandar. 12. Limasan trajumas lambang gantung Limasan ini memiliki konstruksi di mana emperannya tidak menempel pada tiang utama, tetapi pada kayu yang menggantung pada ujung brunjung (atap bagian atas) yang disebut saka bentung. Tiang yang dipakai berjumlah 8 atau 10 buah. Atap terdiri dari empat sisi yang merenggang. Disebut trajumas karena bentuk ini memiliki dua ruangan yang disebut rong-rongan yang dibatasi oleh empat tiang utama yang terletak di bagian tengah bangunan.
Gambar III.7. Tipe-tipe bentuk limasan (sumber: Dakung, 1987)
13. Limasan trajumas Bentuk ini memiliki dua buah rong-rongan, jadi memiliki enam buah tiang. 14. Limasan trajumas lawakan Bentuk ini merupakan bentuk limasan trajumas yang diberi emperan di sekelilingnya. Tiang yang dipakai berjumlah 20 buah. Atapnya terdapat pada keempat sisi dan masing-masing bersusun dua, dengan satu bubungan. 15. Limasan lambangsari Bentuk ini memiliki kekhususan, di mana terdapat balok yang menyambungkan antara atap brunjung dengan atap di bawahnya (penanggap). Atapnya bersusun dua pada keempat sisinya. Tiang yang digunakan berjumlah 16 buah. 16. Limasan sinom lambang gantung rangka kutuk ngambang Bentuk ini memiliki konstruksi di mana atap emperan bergantung pada saka bentung. Bentuk ini memiliki tiga buah rong-rongan, dengan tiang sebanyak 48 sampai 60 buah.
Bentuk limasan memiliki variasi yang lebih banyak daripada bentuk panggangpe dan bentuk kampung, karena bentuk ini dapat divariasikan dengan panggangpe maupun bentuk kampung. Selain itu jumlah kolom yang digunakan dan penggunaan jenis konstruksi yang berbeda (lambang sari, lambang gantung, lambang gantung rangka kutuk ngambang, lambang teplok, semar tinandhu) juga membentuk variasi bentuk limasan. D. Joglo Bentuk bangunan yang lebih sempurna dari bentuk-bentuk sebelumnya adalah bentuk joglo. Bentuk joglo ini berukuran lebih besar dibandingkan dengan bentuk panggangpe, kampung dan limasan. Ciri umum bentuk joglo ini adalah penggunaan blandar bersusun yang disebut blandar tumpangsari, yang bersusun ke atas. Ciri lainnya adalah adanya empat sakaguru, yaitu tiang pokok yang terletak di tengah. 1. Joglo limasan lawakan / joglo lawakan Bentuk ini merupakan bentuk pokok joglo. Tiang yang dipakai sebanyak 16 buah dengan empat di antaranya adalah sakaguru. Bentuk ini biasanya menggunakan usuk payung, yaitu usuk yang yang makin melebar dari atas ke bawah, seperti payung.
2. Joglo sinom Bentuk ini memiliki emperan di sekelilingnya yang lantainya ditinggikan. Tiang yang dipakai berjumlah 36 buah dengan empat sakaguru. 3. Joglo jompongan Joglo ini memiliki perbandingan panjang antara blandar dengan pengeret 1 : 1. Atapnya bersusun dua pada keempat sisinya. 4. Joglo pangrawit Bentuk ini memakai konstruksi lambang gantung, sehingga atap brunjung renggang dengan atap penanggap. Atap penanggap menempel pada saka bentung. Di sekelilingnya diberi emperan yang atapnya juga renggang dan menempel pada saka bentung. Atapnya bersusun tiga yang saling renggang. Tiang yang digunakan sejumlah 36 buah. 5. Joglo mangkurat Bentuk ini dari luar sama dengan joglo pangrawit. Perbedaannya terletak pada ukurannya yang lebih tinggi dan lebih besar, serta sambungan antara
atap penanggap dengan penitih (emperan) yang tidak ditempelkan pada saka bentung, tetapi pada balok yang disebut lambang sari. Jumlah tiang yang dipakai adalah 44 buah dengan empat di antaranya adalah sakaguru. Atapnya bersusun tiga: brunjung, penanggap dan penitih. 6. Joglo hageng Seperti namanya, maka joglo ini memiliki ukuran yang lebih besar daripada yang lainnya. Bentuk luarnya hampir sama dengan joglo mangkurat. Di sekitar emperan yang ada di sekelilingnya, ditambahkan lagi tratag. Joglo hageng ini memiliki atap bersusun empat: brunjung, penanggap, penitih dan paningrat. Tiang yang digunakan pada bentuk joglo ini adalah 76 buah. 7. Joglo semar tinandhu Bentuk ini memiliki dua buah sakaguru dan dua buah pengeret. Biasanya dua sakaguru tersebut diganti dengan tembok sambungan dari beteng / pagar tembok, karena itu bentuk ini biasanya dipakai untuk regol. Tiang yang dipakai adalah 8 buah di pinggir dan dua buah sakaguru di tengah. Bentuk joglo memiliki variasi yang lebih sedikit daripada bentuk limasan. Variasi dalam bentuk joglo lebih banyak ditentukan oleh besar kecilnya bangunan, serta jumlah susunan atapnya. Selain itu, khusus untuk joglo semar tinandhu, variasi disebabkan oleh konstruksi yang berbeda dengan konstruksi joglo yang lainnya. Bentuk luar joglo tidak banyak berbeda antara satu tipe dengan yang lainnya, karena perbedaan antar varian hanya terletak pada ukuran bangunan, konstruksinya serta jumlah susunan atapnya.
Gambar III.8. Tipe-tipe bentuk joglo (sumber: Dakung, 1987)
E. Tajug Bentuk ini tidak digunakan untuk bangunan rumah, tetapi untuk bangunan ibadah dan pemujaan. Bentuk tajug pada dasarnya mirip dengan bentuk joglo, tetapi atapnya lancip dan runcing, dengan empat buah sakaguru dan atap pada empat sisi.
Gambar III.9. Tajug pokok
(sumber: Dakung, 1987)
1. Tajug lawakan Bentuk ini merupakan bentuk pokok tajug yang diberi emperan di sekelilingnya. Tiang yang digunakan sebanyak 16 buah. Atapnya bersusun dua. 2. Tajug lawakan lambang teplok Bentuk ini hampir sama dengan tajug lawakan, tetapi atap penanggap menempel pada tiang utama, sehingga atap brunjung dan penanggap renggang. Tiang yang digunakan adalah 16 buah dengan 4 sakaguru. 3. Tajug semar tinandhu Bentuk ini tidak memakai sakaguru, karena penopang brunjung bertopang pada balok blandar. Tiang yang digunakan berjumlah 12 buah. 4. Tajug lambang gantung Bentuk ini merupakan bentuk pokok yang diberi emper keliling di mana atap emper tersebut bertumpu pada sakabentung. Denah bangunan berbentuk bujursangkar, dengan tiang berjumlah 16 atau 36 buah, empat di antaranya adalah sakaguru. 5. Tajug semar sinonsong lambang gantung Bentuk ini hanya memiliki satu sakaguru, dengan atap emperan yang menempel pada saka bentung. Jika di sekitarnya diberi emperan lagi, maka atap penitihnya disambungkan dengan balok lambangsari.
Gambar III.10. Tipe-tipe bentuk tajug (sumber: Dakung, 1987)
6. Tajug mangkurat Bentuk ini mirip dengan tajug semar sinonsong lambang gantung, tetapi memiliki empat buah sakaguru dan berukuran lebih besar. Konstruksi sambungan atapnya sama dengan semar sinonsong lambang gantung. Jumlah tiang yang digunakan adalah 36 buah. 7. Tajug ceblokan Bentuk ini menggunakan pondasi ceblokan (ditanam dalam tanah). Atap penanggap menempel langsung pada sakaguru (lambang teplok), sementara atap penitih dan paningrat dihubungkan dengan balok lambang sari. Jumlah tiang pada bentuk ini adalah 48 buah. Atapnya bersusun empat pada keempat sisinya.
Variasi pada bentuk tajug sebagian besar karena jenis konstruksinya (semar tinandhu, lambang gantung, pondasi ceblokan, lambang teplok, semar
sinongsong). Selain itu juga ada variasi yang disebabkan oleh ukuran bangunan dan jumlah tiang. Jadi bentuk tajug ini tidak memiliki banyak variasi bentuk karena perbedaan antar variannya adalah pada ukuran dan konstruksinya. III.1.2. Ornamen (Ragam Hias) Ragam hias yang ada pada arsitektur Jawa di daerah Daerah Istimewa Yogyakarta antara lain terdiri dari7: 1.
Lung-lungan
Biasanya ragam hias ini berupa relief pada kayu yang tidak diwarnai, kecuali pada rumah bangsawan (warna dasar merah atau coklat warna lunglungan emas, warna dasar hijau tua warna lung-lungan emas, atau warna tangkai dan daun hijau – putih warna buah dan bunga merah – putih). Hiasan ini merupakan hiasan yang paling banyak ditemui pada rumah-rumah, dan biasanya ditempatkan pada balok-balok kerangka rumah, pemidangan serta tebeng pintu dan jendela. 2.
Saton
Ragam hias ini juga berupa pahatan pada kayu dan biasanya ditempatkan pada balokbalok kayu serta tebeng jendela dan pintu, dan selalu ditempatkan pada ujung dan pangkalnya. Saton biasanya terangkai dengan ragam hias lain. Ragam hias ini bila diwarnai, maka warna dasarnya berwarna hijau tua atau merah tua sementara satonnya sendiri berwarna kuning emas. Selain itu biasa juga dijumpai hiasan ini tidak diwarnai. 3.
Wajikan
Ragam hias ini berupa pahatan kayu yang dibuat terpisah dengan balok kayu yang dihias. Wajikan biasanya ditempatkan pada bagian tengah dari tiang atau pada titik persilangan balok-balok kayu pada pagar. Warnanya biasanya kontras dengan warna dasarnya. 4.
7
Nanasan
Dakung, Sugiyarto, (1987), Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Depdikbud.
Ragam hias ini biasanya terdapat pada rumah bangsawan atau istana. Warnanya biasanya menyesuaikan dengan warna bangunannya, kecuali jika warna bangunan adalah hijau tua atau merah tua, di mana nanasan diberi warna emas dan merah. Hiasan ini biasanya ditempatkan pada ujung sakabentung dan pada balok lainnya. 5.
Tlacapan
Ragam hias ini biasa ditempatkan pada ujung balok kerangka bangunan. Pada bangunan yang tidak berhias, maka hiasan ini dibiarkan tidak berwarna, sementara pada bangunan yang berhias, maka hiasan ini diwarnai emas atau hijau dan merah. Jika ada garis tepinya, maka garis tepi tersebut berwarna emas, dengan warna dasar hijau tua atau merah tua menurut warna dasar balok yang dihias. 6.
Kebenan
Ragam hias ini berbentuk pahatan kayu, yang diberi warna bila digunakan pada bangunan bangsawan, sementara untuk rumah biasa biasanya tidak diberi warna. Hiasan ditempatkan pada ujung-ujung sakabentung, dan pada setiap sudut blandar sisi luar pada rumah joglo. Karena itu hiasan ini banyak ditemui pada rumah joglo atau pada bangunan yang menggunakan lambang gantung. 7.
Patran
Ragam hias ini dipahatkan pada kayu kerangka bangunan. Biasanya dibiarkan polos, sementara jika diwarnai maka akan diberi warna hijau atau biru yang bervariasi hingga ke putih.
Hiasan ini ditempatkan pada balok kerangka bangunan. Pada
umumnya hiasan ini ditemui pada sisi tipis balok dengan posisi ujung daun di bawah. 8.
Padma
Ragam hias ini hanya digunakan pada umpak. Hiasan yang melambangkan kesucian ini berupa pahatan pada batu umpak dan tidak diberi warna atau berwarna hitam pekat. Biasanya penempatannya adalah pada tiang-tiang sakaguru, penanggap maupun penitih. 9.
Kemamang
Ragam hias ini berupa gambar atau relief yang mukanya diberi warna emas, rambut dan kumis hitam pekat, bibir dan lidah yang berwarna merah, walaupun ada juga yang polos. Hiasan ini tidak terdapat pada rumah biasa, tetapi pada bangunan istana dan ditempatkan pada pintu masuk, gerbang dan benteng. 10.
Peksi garuda
Ragam hias ini dapt berupa relief, lukisan atau pahatan plastis, baik dari logam, kayu, tembok ataupun tembikar. Bentuknya bisa naturalistis, stilisasi ataupun hanya simbolik, dan sering dipergunakan sebagai sengkalan memet. Biasanya hiasan ini diberi warna kuning emas (atau prada emas pada rumah bangsawan) dan ditempatkan pada bubungan, tebeng atau pada pintu-pintu. 11.
Naga
Ragam hias ini seperti juga peksi garuda dapat berupa relief ataupun lukisan yang terbuat dari kayu, logam, dan tembok. Hiasan ini selalu muncul dalam bentuk naga secara utuh dan lengkap. Pewarnaannya bisa natural, sunggingan ataupun polos. Bila polos biasanya menggunakan warna emas. Hiasan ini banyak ditempatkan pada pintu gerbang. 12.
Jago
Ragam hias ini terbuat dari tembikar atau seng yang tidak diberi warna dan diletakkan di atas bubungan atap. 13.
Mirong
Ragam hias ini dipahatkan pada tiang dan banyak dijumpai pada sakaguru, tiangtiang penanggap maupun penitih. Ragam hias ini selalu digunakan sepasang pada setiap tiang. Untuk tiang-tiang yang memiliki ukuran yang berbeda, maka ukuran mirongnya juga berbeda. Pewarnaannya selalu menggunakan warna emas pada garis tepinya. 14.
Gunungan
Ragam hias ini
terbuat dari seng atau tembikar yang tidak diberi warna.
Penempatannya adalah pada tengah-tengah bubungan. Bentuknya bermacam-macam, bisa sederhana sekali seperti gunungan dalam wayang kulit, ataupun stilisasi bentuk gunung. 15.
Makutha
Ragam hias ini berbentuk mahkota dengan jenis yang bermacam-macam dan terbuat dari seng atau tembikar. Pewarnaannya dibiarkan polos atau diberi warna hitam dan ditempatkan pada tengah-tengah bubungan bangunan. Hiasan ini biasanya dipakai pada rumah joglo, walaupun ada juga yang ditempatkan pada bangunan limasan dan kampung.
16.
Praba
Ragam hias ini berupa relief yang dipahatkan pada tiang-tiang bangunan utama dan selalu diberi warna baik warna emas, hijau, biru ataupun merah. Pada tiang, hiasan ini ditempatkan pada keempat sisi ujung dan pangkal tiang. Hiasan ini hanya terdapat di kraton Yogyakarta dan tidak terdapat pada sembarang bangunan. 17.
Kepetan
Ragam hias ini sederhana, berupa relief dari kayu dan ditempatkan pada tiap sudut daun pintu, patangaring, dan dinding gebyog. Biasanya hiasan ini tidak diberi warna. 18.
Panahan
Ragam hias ini berupa relief tembus dari kayu yang ditempatkan pada tebeng pintu dan jendela. Panahan ini diberi warna sesuai dengan warna kayu tebengnya. Bila kayunya tidak dicat, maka panahan tersebut juga tidak dicat. 19.
Mega mendung
Ragam hias ini berupa relief pada balok-balok kayu dan juga pada tepi tebeng dan daun pintu dan jendela . Hiasan ini ada yang dicat dan ada yang diberi warna. Pewarnaan mega mendung ini selalu gelap-terang, bahkan kadang diberi warna mengkilat yang berupa prada emas. Hiasan ini selain berdiri sendiri juga biasanya dikombinasikan dengan lunglungan. 20.
Banyu tetes
Ragam hias ini berupa relief dan tidak berupa lukisan. Penempatannya adalah pada bagian kerangka bangunan. Banyutetes ini selalu dipadukan dengan patran secara berselang-seling. Bila patran diwarnai maka banyutetes juga diwarnai, sementara bila patran tidak diwarnai maka banyutetes juga dibiarkan polos. 21.
Mustaka
Ragam hias ini merupakan hiasan pada puncak bangunan berbentuk tajug, yang dibuat dari seng yang bisa dicat dan bisa juga tidak dicat. 22.
Kaligrafi
Ragam hias berupa kaligrafi ini ada yang dipahatkan atau digambarkan secara wajar, ada juga yang distilisasikan , dirangkumkan dalam bentuk suatu hiasan serta kata jawa yang mirip dengan kata arab diwujudkan dalam bentuk ujudnya. Karena itu perwujudannya bisa dalam bentuk lukisan, relief maupun
bentuk tiga dimensi. Kaligrafi pada balok kerangka bangunan diberi warna kuning atau emas, sementara kaligrafi pada umpak tidak diberi warna.
Gambar III.11. Ragam hias Jawa (sumber: Dakung, 1987)
Jadi ragam hias dalam arsitektur Jawa : a. Sebagian besar bermotif alam yang distilisasi, dan hanya sedikit saja yang bermotif benda-benda selain alam seperti kaligrafi, panahan, mustaka, dan makutha. b. Kebanyakan ragam hias tersebut ditempatkan pada kerangka bangunan yang terbuat dari kayu. Penempatan ragam hias tersebut pada kayu kerangka bangunan adalah pada ujung-ujung dan bagian tengah-tengah balok.
III.2. ARSITEKTUR EROPA
III.2.1. Arsitektur Klasik Arsitektur Jawa diberi nama berdasarkan bentuk atapnya, sementara arsitektur Eropa diberi nama berdasarkan bentuk kolomnya dan detil-detil yang menyertai kolom tersebut. Arsitektur Eropa berasal dari arsitektur Yunani yang dikenal adanya tiga order utama, yaitu Doric, Ionic dan Corinthian serta arsitektur Romawi yang kemudian menambahkan dua order tambahan yaitu Tuscan dan Composite. Kelima order tersebut memiliki penampang kolom yang berbentuk bundar.
Gambar III.12. Order klasik Yunani (sumber: Porphyrios, 1991)
Gambar III.13. Order klasik yang diciptakan oleh Romawi (sumber: Harris, 1975)
Doric merupakan order yang paling sederhana, Ionic merupakan bentuk order yang lebih rumit daripada Doric, dengan kepala yang memiliki dua lengkungan yang saling membelakangi (volutes). Bentuk Ionic lebih ringan dan lebih feminin daripada Doric. Bentuk Corinthian merupakan yang paling rumit dari ketiga order Yunani, bentuk kolomnya lebih langsing dan kepala kolomnya berbentuk dua susun daundaun acanthus yang memiliki detil yang lebih rumit dari kedua order yang sebelumnya.
Gambar III.14. Daun acanthus (sumber: Harris, 1975)
Order Corinthian ini kemudian banyak dipakai oleh bangsa Romawi karena penampakannya yang menonjol. Order Composite dan Tuscan adalah order ciptaan bangsa Romawi yang merupakan pengembangan dari ketiga order Yunani tersebut. Order Composite merupakan gabungan dari Corinthian dan Ionic. Kepala kolomnya terdiri dari dua susun daun acanthus dengan volute Ionic. Order Tuscan merupakan modifikasi dari order Doric yang disederhanakan. Dasar kolom (base) dari tiap kolom tersebut berbeda-beda.
Gambar III.15. Base kolom klasik Eropa (sumber: Harris, 1975)
Di bawah base kolom, terdapat suatu dasar berbentuk persegi atau bujur sangkar yang disebut plinth. Jika kolom yang digunakan akan dikelompokkan
menjadi dua-dua, kadang-kadang di bawah plinth terdapat suatu balok yang menggabungkan dua plinth dan sekaligus dua kolom. Balok ini disebut scamillus8.
Gambar III.16. Plinth dan scamillus (sumber: Harris, 1975)
Pada ujung atas kolom juga terdapat balok berbentuk persegi atau bujursangkar sebagai tumpuan kolom, yang disebut abacus. Abacus ini berbentuk seperti plinth, dan terkadang diberi ornamen.
Gambar III.17. Abacus (sumber: Harris, 1975)
Semua kolom dalam lima order tersebut selalu memiliki diameter yang mengecil ke atas karena mengikuti hukum alam9, di mana beban pada bagian bawah kolom merupakan yang terbesar sehingga memerlukan diameter yang lebih besar. Hal ini berbeda dengan arsitektur Jawa yang memiliki bentuk kolom persegi dan berukuran sama pada bagian atas maupun bawahnya. Tekstur kolom klasik Eropa bermacam-macam. Tekstur yang paling banyak dipergunakan adalah tekstur garis-garis vertikal, tetapi ada juga yang polos, atau bertekstur seperti kolom terpilin10 yang berkembang pada masa Hellenistic.
8
Harris, Cyril M., (1975), Dictionary of Architecture and Construction, New York: McGraw-Hill Book Company. 9 Porphyrios, Demetri, (1991), Classical Architecture, London: McGraw Hill. 10 Kostof, Spiro, (1985), A History of Architecture, New York: Oxford University Press.
Gambar III.18. Tekstur kolom klasik Eropa yang biasa ditemui (sumber: Porphyrios, 1991)
Gambar III.19. Entablature (sumber: Harris, 1975)
Suatu order bukan hanya mengatur bentuk kolom, tetapi juga detil-detil lain yang menyertainya, seperti entablature yang merupakan balok yang berada di atas kolom, ditopang oleh kolom dan terdiri dari architrave, frieze, dan cornice. Architrave adalah bagian terbawah dari entablature, berupa balok yang membentang dari kolom ke kolom tepat di atas kepala kolom. Frieze adalah balok horisontal yang berada di antara architrave dan cornice, dan cornice adalah bagian teratas dari entablature11. Di atas cornice biasanya terdapat pediment yaitu gewel -biasanya berbentuk segitiga- yang merupakan ujung dari atap bangunan. Pediment ini biasanya dihias dengan sculpture yang ditempatkan pada bagian tengahnya atau pada ujung-ujung sudutnya dan pada titik-titik yang berada tepat di atas kolom yang menyangganya.
11
Harris, Cyril M., (1975), Dictionary of Architecture and Construction, New York: McGraw-Hill.
Gambar III.20. Pediment (sumber: Harris, 1975)
Gambar III.21. Parthenon (sumber: Kostof, 1985)
Sebagai contoh susunan kolom, gewel beserta detil-detil yang menyertainya dapat dilihat pada gambar III.21.
Gambar III.22. Arcade (sumber: Harris, 1975)
Penggunaan kolom-kolom berkembang pada masa Yunani, sementara pada masa Romawi berkembang adanya bentuk arch, yaitu suatu konstruksi berlekuk yang membentuk bukaan. Bentuk arch tersebut bermacam-macam, dari setengah lingkaran, atau semicircular, semielliptical bentuk melengkung yang meruncing di
puncaknya dan sebagainya. Arch tersebut sering dimunculkan dalam bentuk berderet-deret dan dibentuk oleh kolom-kolom yang disebut arcade12. Bentuk lain yang biasa digunakan dalam arsitektur klasik Eropa adalah bentuk poligon. Vitruvius menyatakan bahwa bentuk persegi bukan bentuk yang baik karena rapuh, tidak seperti bentuk lingkaran atau poligon13. Elemen-elemen arsitektur dalam arsitektur klasik Eropa diolah dengan menggunakan proporsi tertentu. Proporsi yang dipakai tersebut biasa disebut sebagai golden section. Golden section ini telah banyak digunakan pada bangunan-bangunan Yunani yang diyakini berasal dari harmoni musikal, serta proporsi yang biasa terdapat pada alam14. Untuk mendapatkan proporsi golden section ini dapat dilakukan dalam berbagai cara, antara lain seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar III.23. Golden section yang didapatkan dari bentuk pentagon dan bujur sangkar (sumber: http://evolutionoftruth.com/goldensection/ )
Gambar III.24. Fasad bangunan klasik dan proporsinya dalam golden section (sumber: http://ionone.com/arcgolds.htm)
Jadi dalam arsitektur klasik dapat disimpulkan ciri-ciri sebagai berikut:
12
ibid Vitruvius, Marcus Pollio, Ten Books on Architecture, pada website www.ukans.edu/history/index/europe/ancient_rome/E/Roman/texts/ 13
1. Bentuk a. bentuk kolom mengecil ke atas b. kepala kolom berbentuk sesuai dengan lima order klasik c. penampang kolom berbentuk lingkaran d. bentuk pediment, entablature, arch serta elemen lain
yang
menyertainya e. adanya bentuk poligon 2. Ornamen a. ornamen biasanya di tempatkan pada bagian tengah pediment, kepala kolom, abacus dan pada titik-titik yang berada di atas kolom. b. Tekstur yang digunakan pada kolom umumnya adalah garis-garis vertikal, polos atau bentuk terpilin. 3. Proporsi Proporsi yang digunakan adalah proporsi golden section.
Perbedaan yang ada pada arsitektur Daerah Istimewa Yogyakarta dan arsitektur klasik Eropa antara lain adalah: 1. Bentuk: a. Bentuk kolom jawa adalah persegi, sementara bentuk kolom Eropa membulat dan mengecil ke atas. b. Bentuk atap pada arsitektur DIY (jawa) terdiri dari panggangpe, kampung, limasan, joglo dan tajug, sementara bentuk atap pada arsitekutr klasik Eropa cenderung untuk memiliki gewel. 2. Ornamen: Ornamen jawa biasa ditempatkan pada ujung-ujung dan bagian tengah rangka bangunan, sementara ornamen Eropa ditempatkan pada kepala kolom, pediment serta bagian atas pediment dan entablature.
14
Wittkower, Rudolf, (1988), Architectural Principles in The Age of Humanism, London:AcademyEditions
III.2.2. Art Nouveau Art nouveau merupakan suatu gaya yang berkembang di Perancis pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, yang dipengaruhi oleh mulai digunakannya material besi pada bangunan. Ciri-ciri dari art nouveau adalah penggunaan material besi yang kaya akan bentuk dan warna, melengkung-lengkung berbentuk organik dan kurvilinear15. Material lain yang biasa digunakan adalah kaca yang dikombinasikan bersama besi membentuk bagian yang transparan. Karena itu art nouveau sering juga digolongkan dalam neo gothic16. Art nouveau memiliki tujuan yang sama dengan arsitektur modern, yaitu melepaskan diri dari masa lalu. Beda art nouveau dengan arsitektur modern adalah bahwa art nouveau banyak menggunakan elemen dekoratif, sementara arsitektur modern sebaliknya, tidak menggunakan elemen dekoratif. Gaya ini hidup dalam waktu yang sangat singkat, tapi cukup banyak memberikan pengaruh di Eropa Barat17. Art Nouveau sangat erat kaitannya dengan material besi, yang dapat dicetak dalam berbagai macam bentuk serta cukup kuat dalam konstruksi dengan dimensi yang kecil. Ciri-cirinya menunjukkan kecenderungan untuk memanfaatkan kelebihan sifat besi tersebut, sehingga menimbulkan bentuk-bentuk yang kecil, tipis, dekoratif, dan melengkung-lengkung. Jadi ciri utama dari art nouveau adalah: 1. menggunakan material besi dekoratif dengan bentuk melengkung-lengkung kurvilinear. 2. memiliki ornamen yang transparan, yang dibentuk oleh rangka dan kaca.
15
Kostof, Spiro, (1985), A History of Architecture, New York: Oxford University Press. Frampton, Kenneth, (1980), Modern Architecture, London: Thames and Hudson. 17 Ibid. 16
BAB IV IDENTIFIKASI
Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri pada tahun 1755 dengan dilaksanakannya perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua. untuk mengukuhkan berdirinya kerajaan tersebut, maka didirikan kraton pada tahun 1757 M (1682 J). Kraton Yogyakarta merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus menjadi rumah tinggal bagi sultan beserta keluarganya. Seperti kraton-kraton Jawa pada masa sebelumnya, kraton Yogyakarta ini merupakan replika dari jagad purana. Jagad Purana tersebut merupakan persepsi kosmologis dalam tradisi Hindu yang menganggap jagad tersebut berpusat pada suatu benua bundar yaitu Jambudwipa yang dikelilingi tujuh lapis daratan dan samudra. Pada benua Jambudwipa tersebut terdapat gunung Mahameru tempat para dewa bersemayam. Sebagai replika dari jagad Purana tersebut, maka kraton Yogyakarta yang memiliki luas 1,3 km2 disusun secara konsentrik dan dibagi ke dalam tujuh bagian, sesuai dengan tradisi Hindu bahwa angka tujuh merupakan angka yang sempurna. Hal ini sesuai dengan prinsip kosmologi Jawa yaitu bahwa dunia terbagi dalam 3 lapisan, yaitu dunia atas, tempat bersemayamnya para dewa dan supreme Being, dunia tengah tempat manusia, dan dunia bawah yang mewakili kekuatan-kekuatan jahat di alam. Dari susunan ini, dunia atas dan bawah terbagi dalam 3 bagian, sehingga lapisan dunia inipun menjadi 7 lapis. Lapisan I : Alun-alun Utara sampai Siti Hinggil Utara Lapisan II : Keben atau Kemandungan Utara Lapisan III : Sri Manganti Lapisan IV : Pusat Kraton (Kedaton) Lapisan V : Kemagangan Lapisan VI : Kemandungan Kidul Lapisan VII : Alun-alun Selatan sampai Sitihinggil Selatan
Pelataran Kedaton merupakan pusat dari kraton dan pelataran ini dikelilingi oleh pelataran-pelataran yang lain dalam pola konsentrik. Lapis terluar adalah alunalun utara termasuk Pagelaran dan alun-alun selatan. Lapis kedua adalah sitihinggil utara dan sitihinggil selatan. Lapis ketiga adalah Kemandhungan utara dan Kemandhungan selatan. Lapis keempat adalah pelataran Sri Manganti pada bagian utara dan pelataran Kemagangan pada bagian selatan. Lapis keempat ini merupakan lapis terakhir sebelum mencapai ke pusat (Kedaton). Dalam perkembangannya, kraton tidak mengalami perubahan fisik hingga tahun 1901 M, walaupun pada tahun 1867 banyak bangunan kraton yang rusak akibat gempa bumi. Pada tahun 1901 Sultan Hamengku Buwana VII membangun kembali Gedong Jene sebagai tempat tinggal Sultan, regol Manik Antaya dan Kedaton Wetan. Pembangunan besar-besaran kemudian dilakukan pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwana VIII (1921-1939), di mana hampir seluruh bagian kraton mengalami pemugaran. Perubahan dalam pemugaran yang dilakukan oleh Hamengku Buwana VIII tersebut umumnya dilakukan dengan tujuan agar bangunan berumur lebih lama. Pada bab ini akan dilakukan identifikasi terhadap bangunan-bangunan yang ada di kompleks Kraton Yogyakarta dengan menggunakan kriteria: 4. Bentuk klasik Eropa a. Bentuk kolom mengecil ke atas b. Kepala kolom berbentuk sesuai dengan lima order klasik c. Penampang kolom berbentuk lingkaran d. Bentuk pediment, entablature, arch serta elemen lain yang menyertainya e. Adanya bentuk poligon 5. Bentuk art nouveau a. Bentuk melengkung-lengkung kurvilinear dari besi yang tipis. b. Adanya bagian transparan yang terdiri dari besi dan kaca. 6. Ornamen klasik Eropa a. Ornamen biasanya di tempatkan pada bagian tengah pediment, kepala kolom, abacus dan pada titik-titik yang berada di atas kolom.
b. Tekstur yang digunakan pada kolom umumnya adalah garis-garis vertikal, polos atau bentuk terpilin. 7. Proporsi golden section Bangunan-bangunan yang akan diidentifikasi pada bab ini adalah bangunanbangunan utama pada area studi setelah pemugaran yang terdiri dari:
IV.1. KOMPLEKS PAGELARAN IV.1.1. Bangsal Pagelaran
Kompleks Pagelaran ini merupakan bagian kraton paling utara, dan terdiri dari Tratag Pagelaran yang merupakan tempat menunggu para tamu bila akan menghadap sultan, juga sebagai tempat bagi para abdi dalem dan hamba sultan yang akan menghadap dan menunggu perintah sultan. Bangunan ini pada awalnya merupakan bangunan dengan atap dari anyaman bambu dan kolomkolom dari batu bata merah. Tahun pendiriannya tidak diketahui dengan pasti. Pada tahun 1867 bangunan ini roboh akibat gempa bumi dan pada tahun 1934 bangunan ini dipugar dan kolom-kolomnya diganti dengan kolom dari besi cor agar lebih kuat, dan atapnya diganti dengan seng. Tratag ini berupa bangunan terbuka dengan kolom-kolom sebanyak 56 buah dari besi cetak dan 8 kolom dari beton. Di bagian utara dan selatan terdapat gapura dengan sengkalan memet. Sengkalan memet sebelah utara menunjukkan panca gana salira tunggal yang berarti tahun Jawa 1865 yaitu tahun dipugarnya bangunan ini oleh Hamengku Buwana VIII. Di atas sengkalan memet tersebut terdapat lambang kesultanan Yogyakarta, hiasan padi dan kapas serta hiasan kepala raksasa dan motif bunga. Sengkalan memet di sebelah selatan menunjukkan catur trisula kembang lata yang menunjukkan tahun 1934 yang juga menunjukkan tahun dipugarnya bangunan ini oleh Hamengku Buwana VIII, dan di atasnya terdapat lambang kesultanan Yogyakarta, untaian hasil bumi, motif kepala raksasa dan bunga. Tratag Pagelaran ini dikelilingi oleh hiasan hasil bumi. Di dalam tratag pagelaran ini terdapat tiga bangunan dalam bangunan yang disebut bangsal Rajaweda, Pangrawit dan Rajamuka yang berbentuk limasan klabang nyander.
Bangsal Rajaweda berfungsi sebagai tempat pembesar kerajaan menerima perintah dan memberikan laporan kepada sultan dengan perantara patih, dan juga menjadi tempat para pembesar merundingkan masalah-masalah kerajaan dan menerima abdi dalem kori yang memberikan laporan tentang peristiwa yang terjadi di luar istana untuk diteruskan kepada raja. Bangsal Pangrawit merupakan tempat duduk sultan ketika melantik patih dan bupati, dan sebagai tempat duduk sultan ketika menyaksikan watangan. Bangsal Rajamuka digunakan sebagai tempat menerima upeti dari daerah-daerah. Bangsal Pangrawit diapit oleh Bangsal Rajaweda dan bangsal Rajamuka. Bangsal Pangrawit beratap susun dua dan pada bagian tengahnya terdapat tonjolan ke arah utara dan selatan yang dilengkapi dengan tutup keong. Bangsal Pangrawit ini berfungsi sebagai tempat sultan melantik patih. Tratag Pagelaran diapit di ujung kanan kirinya oleh dua bangsal Pemandengan yang dipergunakan sebagai tempat bagi sultan dan para pimpinan prajurit untuk menyaksikan latihan perang para prajurit. Pada bagian kanan kiri sebelah barat dan timur Pagelaran terdapat dua buah bangsal besar, yaitu bangsal Pengapit dan bangsal Pasewakan yang berfungsi sebagai tempat bagi para senopati perang untuk menerima perintah-perintah dari sultan dan tempat menunggu giliran menyampaikan laporan kepada sultan. Bangsal pagelaran ini memiliki atap yang terbuat dari seng. Kolomkolomnya berornamen motif-motif tumbuhan, lantai berpola 8 mata bintang, dan ornamen lain yang pada umumnya memiliki motif tumbuhan. Tersebar di seluruh bagian bangunan, pada lantai, langit-langit, kolom, dan juga pada gable atap.
Pada bangsal pagelaran, terdapat ornamen yang merupakan candra
sengkala, ponco gana salira tunggal, yaitu lima lebah yang melingkar, yang memiliki arti tahun 1865 tahun Jawa. Selain itu juga ada suryosengkolo yang ada pada gerbang selatan berupa catur trisula kembang loto, yang berarti tahun 1934 Masehi. Ornamen yang ada banyak menunjukkan bintang bersudut delapan. Hal ini dilakukan karena untuk menunjukkan bahwa pembangunan kedua, yang membuat bangunan menjadi permanen adalah dilaksanakan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII. Untuk itu juga jumlah kolom yang ada di bangsal pagelaran ditambah, yang dahulunya berjumlah 60 buah kemudian empat kolom di antaranya diganti menjadi delapan buah kolom berpilar besar. Bangsal pagelaran ini merupakan sebuah bangunan limasan, yaitu salah satu bentuk arsitektur Jawa, dengan sebuah gewel besar di sisi Utaranya. Gewel di depan bangsal ini dihiasi dengan lambang Kraton dan enam buah ornamen berbentuk nanasan gaya Jawa, sementara kolom penopangnya berornamen wajikan pada bagian tengah kolom. Kolom-kolom lain yang tersebar di dalam bangsal pagelaran tersebut merupakan kolom-kolom langsing berwarna hijau dengan ornamentasi yang berwarna-warni. Kolom-kolom tersebut berbentuk mengecil ke atas, dan permukaannya bertekstur garis-garis vertikal, yang terdiri dari: a.
K1: Empat kolom beton besar berpenampang bulat dengan warna putih dan tekstur bergaris-garis vertikal dengan ornamen pada kepala dan badannya. Ornamen pada kepalanya berbentuk daun. Kolom ini dijajarkan dua-dua membentuk pintu masuk utama dengan menyangga gewel yang bergambarkan lambang Kraton Yogyakarta dan sengkalan memet.
b. K2: Kolom besi berpenampang bulat mengecil ke atas dengan ornamen pada bagian kepala dan badannya. Kolom ini merupakan yang paling banyak terdapat pada bangsal pagelaran. Ornamen pada bagian kepalanya berbentuk dua susun dedaunan, sementara ornamen pada bagian tengah badannya berbentuk bunga berwarna merah dan putih beserta kelopaknya yang berwarna hijau. c.
K3: Kolom besi berpenampang bulat dengan bagian bawah yang berpenampang segi delapan, dan bagian atasnya berpenampang bulat dengan tekstur garis-garis vertikal yang mengecil ke atas terletak pada ‘ruang dalam ruang’ yang terletak pada bagian belakang timur bangsal pagelaran. Kolom ini berornamen pada bagian bawah, badan dan kepalanya.
Bagian
bawahnya
yang
berpenampang
segi
delapan
berornamen bunga-bunga kecil yang berderet vertikal pada tiap sisi segi delapan tersebut. Di atas bagian berornamen ini terdapat bagian yang juga berpenampang segi delapan dalam ukuran yang lebih kecil, yang di
atasnya juga terdapat dua bagian yang juga berpenampang segi delapan dengan ukuran yang lebih kecil lagi, sehingga terdapat bagian yang berjenjang. Kemudian di atas bagian berpenampang segi delapan yang berjenjang tersebut terdapat ornamen bunga dan di atasnya terdapat bagian yang berpenampang bulat mengecil ke atas dengan tekstur garis-garis vertikal. Ornamen pada bagian kepalanya berbentuk dua susun dedaunan yang berwarna merah, putih, kuning dan hijau. d. K4: Kolom kayu pada bangsal Pangrawit dan Rajaweda yang terletak di bagian belakang timur bangsal pagelaran. Kolom ini memiliki umpak berbentuk bunga padma, dengan penampang persegi kecil. Kolom ini dicat hijau tua seperti kolom-kolom yang lain, dengan ornamen pada bagian bawah, badan dan ujung kolom.
Gambar IV.1. Denah Bangsal Pagelaran. (sumber: PT. Kertagana)
Tampak timur:
Gambar IV.1. Analisis proporsi golden section pada tampak (sumber: PT. Kertagana)
Penampakan luar bangsal ini menunjukkan adanya penggunaan proporsi golden section seperti terlihat pada gambar IV.1. Pada Bangsal ini terdapat dua buah gewel yaitu G1 dan G2, serta empat macam kolom, yaitu K1, K2, K3 dan K4. K1 terdapat pada kedua gewel, K2 terdapat pada area yang tidak berarsir, K3 terdapat pada daerah berarsir abu-abu dan K4 terdapat pada daerah berarsir hitam (bangsal Pangrawit).
Gambar IV.3. Analisis golden section dan identifikasi pada gewel G1 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk G1 Bentuk pediment segitiga (klasik Eropa) terpotong ornamen garuda (Jawa) Entablature disangga empat kolom berjajar dua-dua (klasik Eropa) yang bertekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) b. Ornamen Penggunaan ornamen pada bagian tengah pediment (klasik Eropa) yang berbentuk lambang kraton (Jawa) Penggunaan ornamen di atas entablature (klasik Eropa) berbentuk nanasan (Jawa).
c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Jadi gewel di bagian utara bangsal Pagelaran ini merupakan arsitektur Eropa dengan sentuhan ornamen Jawa pada bagian pediment, bagian di atas entablature dan kolomnya (akan dibahas pada bahasan tentang kolom K1).
Gambar IV.4. Analisis golden section dan identifikasi pada gewel G2 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk G2 Bentuk pediment (klasik Eropa) terpotong ornamen garuda (Jawa) Entablature disangga empat kolom yang mengelompok duadua (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen di tengah pediment (klasik Eropa) berbentuk lambang kraton (Jawa) Ornamen di atas entablature (klasik Eropa) berbentuk nanasan (Jawa) c. Proporsi Golden section Penggunaan pediment, entablature, dan kolom beton berjajar dua-dua serta tekstur kolom yang bergaris-garis vertikal biasa ditemui pada arsitektur klasik Eropa, sementara ornamen yang ada pada pediment, bagian atas entablature serta kolom (seperti yang akan dibahas dalam
bahasan K1) merupakan ornamen Jawa. Jadi bagian ini merupakan bentuk arsitektur klasik Eropa yang diberi ornamen Jawa.
Gambar IV.5. Analisis kolom K1 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K1 Bentuk mengecil ke atas (klasik Eropa) Kepala kolom berbentuk lonceng (klasik Eropa) Base klasik (klasik Eropa) Scamillus (klasik Eropa) Tekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen wajikan (Jawa) Ornamen pada bagian tengah kolom (Jawa) Ornamen daun acanthus (klasik Eropa) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Kolom jenis ini merupakan suatu kolom klasik Eropa dengan tambahan ornamen Jawa pada ujung-ujung kolom dan bagian tengah kolomnya.
Gambar IV.6. Analisis kolom K2 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K2 Bentuk mengecil ke atas (klasik Eropa) Kepala kolom berbentuk lonceng (klasik Eropa) Base klasik (klasik Eropa) Tekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen di tengah kolom (Jawa) Ornamen Corinthian pada kepala kolom (klasik Eropa) c. Proporsi Golden section pada bagian kepala dan bagian bawahnya (klasik Eropa). Kolom ini merupakan kolom klasik Eropa, dengan ornamen Jawa pada bagian tengah kolom.
Gambar IV.7. Analisis kolom K3 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K3 Bentuk mengecil ke atas (klasik Eropa) Penampang bersegi banyak (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen di tengah kolom (Jawa) Ornamen melengkung-lengkung dari besi pada kepala kolom (art nouveau) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Kolom ini merupakan kolom campuran klasik Eropa dan art nouveau, dengan sentuhan ‘Jawa’ pada penggunaan ornamen di tengah kolomnya.
Gambar IV.8. Analisis kolom K4 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K4 Kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak (Jawa) b. Ornamen Ornamen di tengah kolom (Jawa) Ornamen saton (Jawa) Ornamen praba (Jawa) Ornamen kaligrafi (Jawa) c. Proporsi Tidak menggunakan proporsi golden section Jadi kolom ini merupakan suatu kolom Jawa yang tidak memiliki elemen arsitektur Eropa. Keempat kolom yang telah dibahas memiliki bentuk yang berbeda-beda. Ketiga kolom pertama memiliki elemen arsitektur Eropa, sementara kolom keempat merupakan kolom Jawa yang tidak memiliki elemen arsitektur Eropa. kolom keempat yang merupakan kolom Jawa ini terletak pada bangsal Pangrawit yang merupakan tempat duduk sultan.
IV.1.2. Bangsal Pengapit dan Bangsal Pasewakan Bangsal Pengapit dan bangsal Pasewakan yang ada di kanan kiri bangsal Pagelaran memiliki bentuk yang sama, karena itu identifikasi hanya akan dilakukan pada salah satunya. Bangsal ini hanya memiliki satu jenis kolom, yaitu kolom K5.
Tampak Timur: Gambar IV.9. Denah dan tampak bangsal Pengapit (sumber: PT. Kertagana)
Dari tampak bangunan, terlihat adanya penggunaan golden section pada proporsi tinggi atap seperti terlihat pada gambar di atas. Golden section adalah proporsi klasik Eropa yang berkembang sejak masa Yunani.
Gambar IV.10. Analisis kolom K5 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K5 Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak (Jawa) berbentuk padma (Jawa) b. Ornamen Ornamen di tengah kolom (Jawa) berbentuk wajikan (Jawa)
Ornamen kaligrafi (Jawa) c. Proporsi Tidak menggunakan golden section Kolom ini merupakan kolom Jawa yang tidak memiliki elemen arsitektur Eropa. Keseluruhan bangsal ini merupakan bangunan Jawa yang menggunakan proporsi golden section pada tampilan luarnya. IV.2. SITIHINGGIL
IV.2.1. Gerbang Sitihinggil , Bangsal Pacikeran dan Tarub Hageng Pintu gerbang sitihinggil ini berfungsi sebagai batas antara kompleks pagelaran dan sitihinggil. Pintu gerbang Sitihinggil ini terbuat dari dinding yang tebal dan masif. Bangsal Pacikeran berjumlah dua buah di sebelah kanan kiri jalan dengan bentuk yang sama, berfungsi sebagai tempat abdi dalem bernama Singonegoro dan Martolulut yang merupakan algojo Kraton untuk melaksanakan hukuman hukuman potong jari dan potong kepala serta hukuman gantung bagi terpidana. Tahun pendiriannya tidak diketahui dengan jelas.
Gambar IV.11. Denah gerbang Sitihinggil, bangsal Pacikeran dan Pacahosan (sumber: PT. Kertagana)
Gambar IV.12. Tampak potongan gerbang Sitihinggil dan bangsal Pacikeran (sumber: PT. Kertagana)
Gambar IV.13. Potongan gerbang Sitihinggil dan bangsal Pacikeran (sumber: PT. Kertagana)
Bangsal Pacikeran ini merupakan sebuah bangsal yang kecil, dengan jenis kolom yang sama dengan kolom pada pacahosan-pacahosan yang ada di Sitihinggil, Pancaniti, Sri Manganti dan Trajumas (K6). Kolom tersebut merupakan kolom Jawa yang tidak mengandung elemen arsitektur Eropa. Walaupun begitu, tampak bangunan menunjukkan adanya penggunaan golden section pada proporsi atap dan tiangnya, serta dalam hubungannya dengan gerbang Sitihinggil. a.
Bentuk bangsal Pacikeran Atap limasan (Jawa) Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak (Jawa)
b. Ornamen Tidak ada ornamen c. Proporsi Golden section dalam hubungannya dengan gerbang Sitihinggil
Jadi bangsal Pacikeran merupakan suatu arsitektur Jawa dengan menggunakan golden section pada ukuran keseluruhannya dan dalam hubungannya dengan gerbang Sitihinggil. Tarub Hageng ini merupakan tempat persiapan sultan bila ingin menuju ke Pagelaran, dan berfungsi sebagai ruang perantara. Tahun pendiriannya tidak diketahui secara pasti, tetapi diduga pada sekitar tahun 1758 tidak jauh berbeda dengan pendirian Sitihinggil. Pada awalnya tarub ini memiliki kolom-kolom dari bata merah tetapi kemudian roboh saat terjadi gempa bumi. Pemugaran yang dilakukan oleh sultan Hamengku Buwana VIII menggantikan kolom bata dengan kolom besi cor.
Gambar IV.14. Tampak pacahosan dan Tarub Hageng dan analisis golden sectionnya (sumber: PT. Kertagana)
Tarub ini terbuka dan memiliki atap limasan yang terbuat dari lei dan disangga empat buah kolom besi yang berhias pada bagian kepala dan tengahnya. Kolom dengan tekstur garis-garis vertikal dan berbentuk mengecil ke atas itu dicat hijau dengan ornamen yang berwarna merah, putih dan kuning. Ornamen pada bagian kepalanya berbentuk dua susun dedaunan, sementara ornamen pada bagian tengahnya berbentuk bunga berwarna merah dan putih serta kelopaknya yang berwarna hijau.
Tipe kolom yang ada pada Tarub Hageng ini adalah kolom K2, seperti yang ada pada bangsal Pagelaran. Kolom K2 ini merupakan sebuah kolom Eropa dengan ornamen pada bagian tengah kolom seperti pada kolom-kolom Jawa. a.
BentukTarub Hageng Atap limasan (Jawa) Kolom besi cor berpenampang lingkaran (klasik Eropa) Bentuk kolom mengecil ke atas (klasik Eropa) Tekstur kolom garis-garis vertikal (klasik Eropa) Kepala kolom berbentuk lonceng (klasik Eropa)
b. Ornamen Ornamen di tengah kolom (Jawa) Ornamen Corinthian di kepala kolom (klasik Eropa) c. Proporsi Golden section pada kolomnya serta dalam hubungannya dengan bangsal Pacikeran dan pacahosan. Jadi Tarub Hageng merupakan suatu bentuk bangunan Jawa dengan kolom klasik Eropa.
IV.2.3. Pacahosan Gandek dan Prajurit Bangunan ini merupakan tempat kerja abdi dalem gandek dan jaksa, dan terletak di kanan kiri Tarub Hageng. Tahun pendiriannya tidak diketahui secara jelas, tetapi diduga tidak berbeda jauh dengan tahun pendirian bangunan utama Sitihinggil. Kedua bangunan ini simetris, menghadap ke selatan dan berbentuk limasan apitan yang terbuat dari lei. Kolomnya berjumlah delapan buah, tanpa ornamen, terbuat dari kayu dan berada di atas umpak batu. Pada sisi utara, timur dan baratnya terdapat dinding setinggi setengah meter. Pacahosan ini terletak di Sitihinggil bagian utara. Keduanya memiliki bentuk yang sama, karena itu identifikasi hanya akan dilakukan pada salah satunya.
Bangunan ini terbuka dan terdiri dari kolom-kolom dan dinding rendah di sisi utara, timur dan barat, serta atap. Seperti terlihat pada gambar denah dan tampak pacahosan yang terdapat pada bahasan tentang bangsal Pacikeran dan Tarub Hageng, terdapat penggunaan golden section pada proporsi antara bagian bawah bangunan (kolom) dan atapnya. Kolom yang ada di sini berjumlah 8 buah dengan bentuk yang sama (K6).
Gambar.IV.15. Analisis kolom K6 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk pacahosan Bentuk atap limasan (Jawa) Penampang kolom kayu: persegi (Jawa) Umpak batu berbentuk padma (Jawa) b. Ornamen Tidak ada ornamen c. Proporsi Golden section dalam hubungannya dengan Tarub Hageng dan gerbang Sitihinggil. Tidak ada elemen arsitektur Eropa pada kolom ini. Kolom ini terdapat pada pacahosan di Sitihinggil, pacahosan Pancaniti, serta pacahosan-pacahosan di kompleks Sri Manganti.
Bangunan ini merupakan bangunan Jawa dengan penggunaan proporsi Eropa pada tampak keseluruhan bangunan.
IV.2.4. Bangsal Sitihinggil Sitihinggil merupakan sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan. sesuai dengan namanya, maka kompleks ini merupakan daerah yang ditinggikan sehingga untuk menuju ke kompleks ini dari pagelaran kita harus melewati sebuah tangga. Bangunan utama pada kompleks ini adalah tratag Sitihinggil, bangsal Manguntur Tangkil dan bangsal Witana. Tratag Sitihinggil digunakan untuk pertemuan besar dengan patih dan pembesar kerajaan lainnya pada waktu hari-hari besar grebeg, serta sebagai tempat untuk melantik putra mahkota menjadi Adipati Anom. Bangunan utama Sitihinggil didirikan pada tahun 1758M pada masa pemerintahan sultan Hamengku Buwana I, dengan kolom-kolom terbuat dari bata merah dan lantai terbuat dari semen. Tiang-tiang tersebut roboh ketika terjadi gempa bumi pada tahun 1867. Bangunan ini kemudian dipugar oleh sultan Hamengku BuwanaVII dan diteruskan oleh Hamengku Buwana VIII, dengan mengganti kolom bata menjadi kolom dari besi cor, serta lantai semen diganti dengan lantai marmer dan sebagian lantai kembangan warna merah. Pemugaran tersebut selesai pada tahun 1926M. Tratag Sitihinggil berbentuk rumah kampung dara gepak, atap bangunannya bersusun dua, bagian atasnya berbentuk kampung dan bagian bawahnya limasan. Atap-atap tersebut terbuat dari lei dan disangga oleh 34 kolom dari besi yang dicat hijau dengan ornamen pada bagian kepala, tengah dan bawah. Ornamen tersebut berwarna merah, putih dan kuning. Pada bagian depan tratag ini terdapat sengkalan memet pandita cakra naga wani yang menunjukkan tahun Jawa 1857, yaitu tahun dipugarnya tratag ini oleh Hamengku Buwana VIII. Di gapura depan itu juga terdapat tulisan yang berbunyi: sampeyan dalem ingkang sinuhun kanjeng sultan Hamengku Buwana ingkang jumeneng kaping 8. 1857. Di balik bidang gapura tersebut terdapat sengkalan memet lain yang menunjukkan gana asta kembang lata yaitu tahun 1926 Masehi. Tratag Witana merupakan tempat bagi para tamu bila ada Pisowanan Ageng. Sultan duduk di Bangsal Manguntur Tangkil sementara pusaka-pusaka diletakkan di Bangsal Witana. Bangsal Manguntur Tangkil dan bangsal Witana ini tidak diketahui dengan pasti tahun pendiriannya, tetapi diperkirakan bersamaan dengan pendirian
Sitihinggil yaitu tahun 1758. pada saat pemugaran oleh Hamengku Buwana VIII, kedua bangunan tersebut juga dipugar. Lantai bangsal Manguntur Tangkil diganti dengan lantai marmer dan kolom-kolomnya dicat kembali dan diprada. Bangsal Witana dipugar pada tahun 1921. Bangsal Manguntur Tangkil terletak di dalam tratag Sitihinggil, dan berbentuk limasan apitan, yaitu bangunan beratap limasan dengan disangga oleh empat kolom. Atapnya terbuat dari sirap dan plafonnya berupa tumpangsari yang diukir dan diprada dengan hiasan warna merah. Motif hiasan pada tumpang sari tersebut adalah suluran. Bangsal Witana terletak di belakang bangsal Manguntur Tangkil dan berbentuk tajug lambang gantung, yaitu bangunan dengan atap tajug bersusun tiga dengan atap bagian bawah digantungkan pada atap bagian atas dengan empat saka bentung. Atapnya disangga oleh 36 kolom, empat di antaranya adalah saka guru. Plafonnya dihiasi ukiran bermotif suluran berwarna merah dan prada. Kolom-kolom bermotif tumpal yang diisi suluran pada bagian kepala dan diletakkan di atas umpak batu. Bagian tengah kolom bermotif mirong dan umpaknya bermotif padma. Lantai di mana terdapat saka guru lebih tinggi daripada lantai di sekitarnya. Pada bidang lantai yang vertikal di sisi selatan timur terdapat sengkalan memet yang berbunyi tinoto piranti ing madya witana yang menunjukkan tahun Jawa 1855, dan pada bidang lantai di sebelah selatan-barat terdapat sengkalan memet yang berbunyi linungit kembar gatraning ron yang menunjukkan tahun 1921 Masehi.
Gambar.IV.16. Denah Sitihinggil (sumber: PT. Kertagana)
K2 adalah jenis kolom yang juga ada di bangsal Pagelaran, suatu bentuk kolom Eropa dengan ornamen Jawa di tengah kolomnya yang telah dibahas sebelumnya. K2 ini terdapat pada tratag Witana, sementara kolom yang ada pada bangsal Manguntur Tangkil dan bangsal Witana adalah K8, yang merupakan kolom Jawa.
Gambar IV.17. Analisis golden section pada tampak timur bangunan (sumber: PT. Kertagana)
Gambar IV.18. Analisis golden section pada tampak barat bangunan
(sumber: PT. Kertagana)
Dua gambar tampak bangunan di atas menunjukkan adanya penggunaan golden section yang merupakan proporsi klasik Eropa pada tampak luar bangunan ini. a. Bentuk Sitihinggil Atap limasan (Jawa) Atap tajug (Jawa) Ada entablature (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen di tengah gewel (klasik Eropa) Atap tratag bagian timur dan barat disangga overstek besi melengkunglengkung (art nouveau) c. Proporsi Golden section Bangunan ini memiliki bentuk luar bangunan Jawa dengan proporsi golden section (klasik Eropa) dan kolom-kolom klasik Eropa serta overstek art nouveau pada tratagnya.
G3 & K7: Gambar IV.19. Analisis G3 dan kolom K7 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk G3 dan K7 Ada entablature (klasik Eropa) Kolom mengecil ke atas (klasik Eropa) dengan tekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) Arch (klasik Eropa)
Scamillus (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen di atas entablature (klasik Eropa) berbentuk nanasan (Jawa) Candrasengkala (Jawa) Penggunaan stained glass (art nouveau) c. Proporsi Golden section
Arch pada bagian utara Sitihinggil ini merupakan suatu bentuk arsitektur Eropa (campuran klasik dan art nouveau), dengan ornamen Jawa pada bagian atas entablature dan pada dinding melengkung pembentuk arch.
Gambar IV. 20. Analisis kolom K8 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K8 Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak batu berbentuk padma (Jawa) b. Ornamen Ornamen di tengah kolom (Jawa) Ornamen mirong (Jawa) Ornamen praba (Jawa) Ornamen kaligrafi (Jawa) c. Proporsi Tidak menggunakan golden section
Kolom ini tidak memiliki elemen arsitektur Eropa. Kolom ini terdapat pada bangsal Mangunturtangkil dan bangsal Witana. Kedua bangsal tersebut tidak memiliki bentuk dan ornamen arsitektur Eropa.
IV.2.5. Bale Bang dan Bale Mangangun-angun Bangunan lain yang ada pada kompleks Sitihinggil adalah Bale Bang dan Bale Mangangun-angun. Bale Mangangun-angun merupakan tempat penyimpanan pusaka kanjeng Kyai Sura Angun-angun yang berupa tombak. Bale Bang merupakan tempat penyimpanan gamelan Sekati untuk mengiringi Pisowanan Ageng, dan juga sebagai tempat gamelan yang dibunyikan untuk mengiringi sultan jika sedang bertahta di bangsal Manguntur Tangkil. Kedua bangunan ini tidak diketahui dengan jelas tahun pendiriannya, tetapi diduga setelah bangunan utama Sitihinggil dibangun. Bale Bang terletak di sebelah timur dan Bale Mangangun-angun terletak di sebelah barat bangunan utama Sitihinggil. Keduanya memiliki bentuk yang sama dan memiliki posisi yang simetris. Atapnya berbentuk limasan yang ditutup lei. Bangunan ini berdinding masif dengan beranda di bagian depannya yang dipagar dengan pagar kayu. Pada bagian tengah dari beranda tersebut terdapat penonjolan ke depan, yang kemudian penonjolan ini diikuti dengan penggunaan kuncung atap kampung. Ujung atap kampung ini ditutup dengan kayu dan diberi ornamen lambang Kraton, dan pada ujung bubungannya diberi ornamen berwujud gunungan. Kolom penyangga pada beranda berupa kolom besi yang dicat hijau, penampang bagian bawahnya berbentuk segi delapan, dan bagian atasnya berpenampang bulat mengecil ke atas. Kolom ini dihias pada bagian tengah dan puncaknya. Ornamen pada bagian tengahnya berupa bunga padma berwarna putih dan hijau sementara ornamen pada puncaknya berbentuk dua susun dedaunan. Dinding kedua bangunan tersebut memiliki ketebalan 44 cm. Pada kedua sisi bangunan terdapat kolom beton berwarna putih dengan tekstur bergaris-garis vertikal. Kolom tersebut menyatu dengan dinding bangunan dan membentuk pelubangan yang melengkung di bagian atasnya, dan di atasnya dilindungi dengan tritisan yang dibentuk dengan overstek dari besi yang melengkung-lengkung dekoratif. Kedua bangunan ini hanya memiliki sedikit bukaan,
yaitu satu pintu dan dua jendela pada bagian depan, dengan daun pintu dan jendelanya terbuat dari kayu yang dicat hijau tua.
Gambar IV.21. Denah Bale Bang yang sama dengan denah Bale Mangangun-angun (sumber: PT. Kertagana)
Karena kedua bangunan ini memiliki bentuk yang serupa, maka identifikasi hanya akan dilakukan pada salah satu saja.
Tampak depan: Gambar IV.22. Analisis golden section pada tampak Bale Bang (sumber: PT. Kertagana)
Dari gambar tampak di atas, terlihat adanya penggunaan golden section pada proporsi atap dan dinding bangunan.
Gambar IV.23. Analisis pada tampak samping bangunan (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk Bale Bang dan Bale Mangangun-angun Atap limasan (Jawa)
Arch di bagian samping bangunan (klasik Eropa) Ada pilaster bertekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) Ada plinth (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen berbentuk lambang kraton (Jawa) di gewel atap (klasik Eropa) Tritisan di samping bangunan disangga overstek besi yang melengkunglengkung (art nouveau) c. Proporsi Golden section pada proporsi antara tinggi dinding dan tinggi atap (klasik Eropa) Jadi kedua bangunan ini merupakan suatu bentuk arsitektur Eropa (campuran klasik dan art nouveau) dengan atap Jawa dan ornamen Jawa.
Gambar IV.24. Analisis pada kolom K9 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K9 Mengecil ke atas (klasik Eropa) Penampang lingkaran (klasik Eropa) Kepala kolom berbentuk lonceng terbalik (klasik Eropa) Tekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen di tengah kolom (Jawa) Ornamen berbentuk dua susun dedaunan (klasik Eropa)
c. Proporsi Golden section (klasik Eropa)
Kolom ini merupakan sebuah kolom klasik Eropa dengan sentuhan ornamen Jawa pada bagian tengah kolom.
IV.3. PELATARAN KEMANDHUNGAN UTARA
Antara pelataran Sitihinggil dan pelataran Kemandhungan Utara terdapat sebuah lorong yang disebut pamengkang yang berfungsi sebagai tempat para prajurit berbaris dan bersiap-siap untuk menjaga sultan saat di Sitihinggil diadakan pisowanan ageng. Pamengkang ini dibatasi oleh dinding-dinding tebal yang menjadi dinding
pembatas
pelataran
Kemandhungan Utara.
Sitihinggil
dan
dinding
pembatas
pelataran
Regol Brajanala merupakan regol yang menghubungkan
pamengkang ini dengan pelataran Kemandhungan Utara.
IV.3.1. Regol Brajanala Regol ini merupakan regol penghubung antara Sitihinggil dan kompleks Pancaniti. Pendiriannya tidak diketahui dengan pasti, tetapi diduga tidak berselang lama dengan pendirian kompleks Sitihinggil.
Gambar IV.25. Analisis pada tampak regol Brajanala (sumber: PT. Kertagana)
Regol ini berbentuk limasan dengan atap terbuat dari lei. Daun pintunya berbelah di tengah dan dibuat dari kayu bercat hijau. Pacahosan yang terletak di kiri kanannya berfungsi sebagai tempat jaga prajurit. Regol Brajanala ini terdiri dari dinding-dinding yang masif dengan ketebalan lebih dari 1 meter. Pacahosan yang ada di kanan kirinya berupa ruang persegi yang dibentuk oleh empat buah kolom yang saling membentuk pelubangan melengkung / arch yang merupakan ciri arsitektur klasik Eropa pada masa Romawi. Di atas arch tersebut terdapat suatu bentukan yang mirip dengan pediment melengkung yang terpotong dengan ornamen Jawa pada kedua ujungnya dan lambang kraton Yogyakarta pada bagian tengahnya. Kedua pacahosan tersebut merupakan suatu bentuk arsitektur Eropa dengan ornamen Jawa. Proporsi golden section banyak digunakan pada regol ini. a. Bentuk regol Brajanala Bentuk atap limasan (Jawa) Arch pada tempat jaga prajurit (klasik Eropa) Pediment pada tempat jaga prajurit (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen lambang kraton (Jawa) pada tengah-tengah pediment (klasik Eropa) Ornamen nanasan (Jawa) di kanan-kiri pediment (klasik Eropa) c. Proporsi
Golden section (klasik Eropa) Regol Brajanala merupakan suatu bentuk arsitektur Jawa dengan tempat jaga di kanan-kirinya yang berupa arsitektur klasik Eropa.
IV.3.2. Bangsal Pancaniti Bangsal ini merupakan tempat melantik bupati atau jabatan di bawahnya, serta untuk mengadili perkara. Pada waktu mengadili atau melantik, sultan bertahta di tengah-tengah bangsal yaitu duduk pada selo gilang yang terbuat dari marmer (sementara lantai lainnya terbuat dari tegel kembang). Bentuk bangsal ini adalah tajug lambang gantung. Atapnya disangga oleh 16 kolom, empat di antaranya adalah saka guru. Plafon bangsal berupa tumpang sari dengan ornamen ukir-ukiran bermotif suluran yang dicat merah dan prada. Kolom-kolomnya dicat hijau dengan ornamen kepala kolom warna merah. Ornamen pada tengah kolom bermotif mirong, umpaknya dari batu berprofil padma dan dihiasi tumpal. Atapnya dari lei dan di puncaknya terdapat mustaka. Di sekitarnya terdapat tratag beratap seng. Atap seng tersebut disangga oleh kolom-kolom hijau yang terbuat dari besi cor. Kolom-kolom tersebut berbentuk mengecil ke atas dan bertekstur garis-garis vertikal. Kepala kolom tersebut berbentuk dua susun dedaunan. Pada bagian tengah kolom terdapat ornamen berbentuk bunga padma merah dan di atasnya terdapat ornamen deretan bunga-bunga kecil yang terpilin di sekeliling kolom.
Gambar IV.26. Denah bangsal Pancaniti (sumber: PT. Kertagana)
Tampak utara :
Tampak timur: Gambar IV.27. Analisis golden section pada tampak bangsal Pancaniti (sumber: PT. Kertagana)
Bangsal Pancaniti ini terdiri dari bangunan inti dan tratagnya. Terdapat perbedaan dalam penggunaan kolom pada dua bagian tersebut. Bagian intinya menggunakan kolom K10, sementara bagian tratagnya menggunakan kolom K11.
Gambar IV.28. Analisis pada kolom K10 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K10 Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak batu (Jawa) b. Ornamen Praba (Jawa) Mirong (Jawa) Kaligrafi (Jawa) c. Proporsi Tidak ada golden section
Kolom ini merupakan kolom Jawa dan tidak memiliki elemen arsitektur Eropa.
Gambar IV.29.Analisis pada kolom K11 (sumber: PT. Kertagana)
Kolom jenis ini terdapat pada emperan Bangsal Pancaniti dan tratag bangsal Kencana. Kolom ini terbuat dari besi cor dengan bentuk yang mengecil ke atas dan terdiri dari dua bagian. Bagian bawah bertekstur halus dan bagian atasnya bertekstur garis-garis vertikal yang merupakan ciri kolom klasik Eropa. Kedua bagian tersebut dipisahkan oleh ornamen di tengah kolom berbentuk bunga besar, serta deretan bunga-bunga kecil yang terpilin mengelilingi kolom. Penggunaan ornamen pada bagian tengah kolom tidak terdapat pada arsitektur Eropa, tapi terdapat pada arsitektur Jawa. Bagian kepala kolom berbentuk Corinthian dan dasar kolom berbentuk base klasik Eropa. Kolom ini juga menggunakan golden section yang merupakan proporsi klasik Eropa yang banyak berkembang sejak masa Yunani. a. Bentuk K11 Mengecil ke atas (klasik Eropa) Kepala kolom berbentuk lonceng terbalik (klasik Eropa) Base klasik Eropa (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen Corinthian (klasik Eropa) Ornamen di tengah kolom (Jawa) Ornamen yang terpilin (klasik Eropa)
c. Proporsi Golden section (klasik Eropa)
Kolom ini merupakan kolom klasik Eropa dengan ornamen di tengah kolom (Jawa). Secara keseluruhan, bangsal Pancaniti ini terbagi dua, yaitu bagian tratag yang memilii kolom K11 (klasik Eropa) dan bagian intinya yang beratap tajug dan berkolom K10 (Jawa).
IV.3.3. Pacahosan Pancaniti Di kanan kiri bangsal Pancaniti terdapat bangunan pacahosan dengan delapan buah kolom yang sama dengan kolom yang ada di Pacahosan Sitihinggil (K6). K6 merupakan kolom Jawa tanpa elemen arsitektur Eropa. Pacahosan bangsal Pancaniti ini berfungsi sebagai tempat jaga prajurit. Pacahosan ini berbentuk limasan, tanpa ornamentasi. Kolom yang ada berjumlah delapan buah, terbuat dari kayu yang terletak di atas umpak batu berbentuk bunga padma.
Gambar IV.30. Denah pacahosan serta analisis golden section pada tampak
(sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk pacahosan Bentuk atap limasan (Jawa) Umpak batu berbentuk padma (Jawa) Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) b. Ornamen Tidak ada ornamen c. Proporsi Golden section (klasik Eropa)
Pacahosan ini merupakan bangunan Jawa dengan proporsi Eropa (golden section).
IV.4. PELATARAN SRI MANGANTI IV.4.1. Regol Sri Manganti Regol Sri Manganti menghubungkan kompleks Pancaniti dengan kompleks Sri Manganti / Trajumas sementara regol Danapratapa menghubungkan kompleks Sri Manganti dengan kompleks Bangsal Kencana. Regol Sri Manganti berbentuk limasan semar tinandhu, dan di sebelah selatannya terdapat baturana. Pada dinding baturana tersebut terdapat hiasan dari kayu berupa kepala raksasa.
Gambar IV.31. Denah regol Sri Manganti (sumber: PT. Kertagana)
Gambar IV.32. Tampak regol Sri Manganti (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk regol Bentuk limasan (Jawa) b. Ornamen Kemamang (Jawa) c. Proporsi Golden section dalam hubungannya dengan pacahosannya (klasik Eropa)
Pada bagian utara dari regol ini terdapat pacahosan seperti yang ada pada regol Brajanala. Pacahosan tersebut juga terdiri dari arch yang merupakan ciri arsitektur klasik Eropa masa Romawi. Arch tersebut ditopang oleh kolomkolom yang bertekstur garis-garis vertikal seperti tekstur klasik Eropa. Di atas arch tersebut terdapat suatu bentukan pediment berbentuk melengkung yang terpotong dengan ornamen nanasan pada ujung-ujungnya dan lambang kraton pada bagian tengahnya. Pacahosan ini merupakan suatu bentuk arsitektur Eropa dengan ornamen Jawa.
Gambar IV.33. Pacahosan yang ada di sebelah Utara Regol Sri Manganti (sumber: dokumen pribadi)
a. Bentuk pacahosan Arch (klasik Eropa) Pediment (klasik Eropa) Pilaster bertekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen lambang kraton (Jawa) pada tengah-tengah pediment (klasik Eropa) Ornamen nanasan (Jawa) di kanan-kiri pediment (klasik Eropa) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Pacahosan ini merupakan suatu bentuk arsitektur klasik Eropa dengan ornamen Jawa.
IV.4.2. Bangsal Sri Manganti Kompleks Sri Manganti terdiri dari dua bangunan utama yaitu Bangsal Sri Manganti dan Bangsal Trajumas. Pendirian kedua bangunan ini tidak diketahui dengan pasti. Bangsal Sri Manganti berbentuk joglo lambang gantung dengan atap lei yang disangga oleh 44 buah kolom, di mana 4 di antaranya adalah saka guru. Saka guru tersebut berukuran 30 x 30. Duabelas kolom yang ada di sekitar sakaguru tersebut berukuran 22 x 22 , dan kolom yang terdapat di bagian paling luar berjumlah 20 buah dengan ukuran 18 x 18 cm. Ketiga jenis kolom tersebut merupakan kolom kayu dengan umpak berbentuk bunga padma, dan badan kolom dicat hijau tua dengan ornamen pada tengah kolom berbentuk wajikan. Sementara itu terdapat delapan buah kolom besi berpenampang bulat, masing-masing empat buah kolom di bagian utara dan selatan bangsal. Lantai pada bagian saka guru ditinggikan, dan lantai tersebut dibuat dari tegel kembang. Bagian plafon bangsal ini dihiasi dengan lukisan matahari bersinar dan motif bunga padma pada sudut-sudut blandar. Bangsal ini digunakan sebagai tempat sultan menerima tamu agung. Pada waktu kraton mempunyai hajat besar, bangsal ini digunakan untuk tempat berjaga-jaga bagi para bangsawan dan kerabat kerajaan.
Gambar IV.34. Denah bangsal Sri Manganti (sumber: PT. Kertagana)
Kolom yang ada pada bangsal Sri Manganti adalah jenis kolom yang sama dengan yang ada pada bangsal Pengapit dan Trajumas (K5) yang merupakan kolom Jawa.
Gambar IV.35. Analisis golden section pada tampak Sri Manganti (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk bangsal Sri Manganti Bentuk atap joglo (Jawa) Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak batu berbentuk padma (Jawa) b. Ornamen Wajikan (Jawa) pada tengah-tengah kolom (Jawa) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Jadi bangunan ini merupakan sebuah bangunan Jawa dengan proporsi Eropa (golden section).
Persis di samping bangsal Sri Manganti terdapat selasar yang menghubungkan antara Regol Sri Manganti dengan Regol Donopratopo. Selasar ini membentang sepanjang sekitar 42 meter, dengan atap dari seng yang disangga oleh kolom-kolom besi berjumlah 22 buah. Kolom yang menyangga selasar ini adalah kolom K12.
Gambar IV.36. Analisis pada kolom K12 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K12 Bentuk mengecil ke atas (klasik Eropa) Penampang segidelapan (klasik Eropa) Kepala kolom berbentuk lonceng terbalik (klasik Eropa) Penggunaan penampang yang sangat kecil pada bagian atas kolom (art nouveau) b. Ornamen Ornamen di tengah kolom (Jawa) Ornamen wajikan (Jawa) Tekstur kolom terpilin (klasik Eropa) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa)
Jadi kolom ini merupakan sebuah kolom Eropa (campuran klasik dan art nouveau) dengan ornamen Jawa pada bagian tengah kolom dan bagian bawahnya.
Bangsal Sri Manganti merupakan suatu bentuk arsitektur Jawa dengan proporsi Eropa, sementara selasarnya merupakan suatu bentuk arsitektur Eropa dengan ornamen Jawa.
IV.4.3. Bangsal Trajumas Bangsal Trajumas terdapat di sebelah Timur bangsal Sri Manganti dan selasar. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat membunyikan gamelan sekaten sebelum dibawa ke Masjid Besar. Bangsal ini berbentuk limasan trajumas lambang gantung, yaitu beratap limasan susun dua dengan bagian atap bawah digantungkan pada bagian atap atas dengan empat buah saka bentung. Atap bangsal ini terbuat dari lei dan disangga oleh 20 kolom dengan enam di antaranya adalah saka guru. Bangunan ini tidak banyak memiliki hiasan. Hiasan yang tampak adalah motif nanasan yang diukirkan pada keempat sudut langit-langit.
Gambar IV.37.Denah bangsal Trajumas (sumber: PT. Kertagana)
Tampak utara:
Tampak timur: Gambar IV.38. Analisis pada tampak bangsal Trajumas
(sumber: PT. Kertagana)
Bangsal ini hanya memiliki satu jenis kolom. Kolom tersebut sama dengan jenis kolom yang ada pada bangsal Sri Manganti dan bangsal Pengapit Pagelaran (K5). Kolom tersebut merupakan kolom Jawa, tanpa sentuhan arsitektur Eropa. Bentuk keseluruhan bangunan ini memiliki proporsi golden section seperti terlihat pada gambar di atas. a. Bentuk bangsal Trajumas Bentuk atap limasan trajumas (Jawa) Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak batu berbentuk padma (Jawa) b. Ornamen Ornamen wajikan (Jawa) di tengah-tengah kolom (Jawa) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Bangunan ini merupakan bangunan Jawa dengan penggunaan proporsi Eropa pada bentuk keseluruhannya.
IV.4.4. Pacahosan Pacahosan ini berjumlah empat buah, dua di antaranya terletak di bagian utara dan selatan bangsal Sri Manganti dan dua lainnya di bagian utara dan bagian selatan bangsal Trajumas.
Gambar IV.39. Denah dan tampak pacahosan Sri Manganti (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk pacahosan Bentuk limasan (Jawa) Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak batu berbentuk padma (Jawa) b. Ornamen
Tidak ada ornamen c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Pacahosan ini merupakan bangunan Jawa dengan proporsi Eropa.
IV.5. KEDATON IV.5.1. Regol Danapratapa dan Purworetno
Gambar IV.40. Perspektif Purworetno (Sumber: Revianto Budi Santoso)
Regol Danapratapa merupakan penghubung antara pelataran Sri Manganti dengan pelataran Kedaton. Regol Danapratapa berbentuk limasan semar tinandhu dengan daun pintu dibuat dari kayu dan dicat hijau. Regol ini didirikan pada tahun 1763 dan diperbaiki pada tahun 1928. Ada beberapa perubahan yang dilakukan pada perbaikan tersebut, yaitu antara lain adalah: tambahan bangunan gapura pada bagian depan dan belakang, yang terbuat dari bata. Pada bangunan tambahan ini terdapat sengkalan memet yang berbunyi Kaluwihaning Yaksa Salira Aji dan Jagat Asta Wiwara Narpati yang menunjukkan tahun naik tahtanya Hamengku Buwana VIII, yaitu tahun 1851 tahun Jawa atau tahun 1921 Masehi. Purworetno adalah tempat kantor sultan dan administrasi. Bangunan ini berlantai dua yang menghadap ke selatan dengan atap limasan yang runcing, terbuat dari lei. Bangunan ini menyatu dengan regol danapratapa yang
menghubungkan Kedaton dengan kompleks Sri Manganti. Bangunan Purwaretna ini terdiri dari tiga lantai, di mana lantai ketiga adalah ruangan yang ada di bawah atap. Karena adanya ruang di bawah atap tersebut, maka atap yang terbuat dari lei tersebut diberi empat buah bukaan berupa jendela kaca pada empat sisi. Dinding luar bagian utara merupakan dinding yang sangat tebal dengan ketebalan 140 cm, dan pada dinding ini juga terdapat bukaan untuk regol Danapratapa. Pada bagian utara dari regol danapratapa tersebut terdapat empat buah kolom yang dikelompokkan menjadi dua dua menyangga sebuah gewel. Pada gewel tersebut terdapat gambar kepala raksasa pada bagian tengahnya, dua ekor ular naga pada kedua sisinya serta sebuah bola besar yang bergambarkan lambang Kraton Yogyakarta di puncaknya. Di kanan kiri gewel terdapat ornamen yang berbentuk nanasan terbalik yang dicat hijau tua. Baik kolom maupun gewel tersebut berwarna putih dengan sedikit warna hijau pada ornamennya. Kolom pada regol ini berpenampang persegi dengan ukuran 45 cm x 45 cm. Teksturnya bergaris-garis vertikal, bagian puncaknya melebar dan di puncak ini terdapat ornamen saton berwarna hijau sementara pada bagian dasarnya juga terdapat ornamen saton hijau. Di bawah kolom tersebut terdapat suatu bentuk kotak beton setinggi 1 meter yang menyatukan tiap dua kolom menjadi satu. ‘Kotak’ beton tersebut berwarna putih, dan dihias dengan ornamen wajikan berwarna hijau tua pada keempat sisinya. Pintu gerbang regol terbuat dari kayu yang dicat hijau tua. Di kanan kiri pintu tersebut terdapat empat kolom putih seperti empat kolom yang telah disebutkan sebelumnya, tetapi tanpa kotak beton yang menyatukan tiap dua kolom. Di sebelah barat dan timur regol terdapat dua buah patung raksasa dari batu alam. Di balik regol danapratapa ini terdapat emperan yang menerus ke Purwaretna dengan deretan kolom-kolom beton putihnya. Kolom yang ada di balik regol memiliki bentuk yang persis sama dengan kolom yang ada di depan regol, sementara kolom di depan Purwaretna berpenampang bulat dengan diameter 85 cm. Kolom ini dicat putih dan mengecil ke atas. Dua kolom terluar menerus ke lantai dua sementara dua kolom lainnya yang ada di tengahnya tidak menerus. Di bawah tritisan lantai satu yang disangga oleh overstek besi
yang melengkung-lengkung, terdapat bentukan melengkung-lengkung yang menyatukan antar kolom. Ketebalan dinding bangunan Purwaretna adalah 40 cm kecuali dinding luar bagian utara. Dinding tersebut merupakan dinding pemikul (bearing wall).
Gambar IV.41. Denah regol Danapratapa dan Purworetno (sumber: PT. Kertagana)
Regol Danapratapa menyatu dengan bangunan Purworetno. Kedua bangunan ini merupakan bangunan yang masif.
Tampak Selatan:
Tampak timur: Gambar IV.42. Analisis golden section pada tampak bangunan (sumber: PT. Kertagana)
Gambar IV.43. Analisis pada G6 Purworetno (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk Purworetno Bentuk atap limasan (Jawa) Arcade (klasik Eropa) Kolom mengecil ke atas (klasik Eropa) Base klasik (klasik Eropa) Tekstur kolom bergaris-garis vertikal (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen dari logam yang melengkung-lengkung (art nouveau) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Purworetno merupakan suatu bangunan Eropa (campuran klasik dan art nouveau) yang beratap limasan.
Gambar IV.44. Analisis pada G4 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk regol sebelah utara Bentuk pediment (klasik Eropa) Entablature (klasik Eropa) Kolom berjajar dua-dua (klasik Eropa) dengan tekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) Scamillus (klasik Eropa) Arch (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen di tengah pediment (klasik Eropa) Ornamen di atas entablature (klasik Eropa) berbentuk nanasan (Jawa) Ornamen wajikan dan saton (Jawa) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa)
Regol Danapratapa dari arah utara merupakan bangunan klasik Eropa dengan ornamen Jawa.
Gambar IV.45. Analisis pada G5 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk regol sebelah selatan Pediment setengah lingkaran (klasik Eropa) Kolom berjajar dua-dua (klasik Eropa) dengan tekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) Entablature (klasik Eropa) Scamillus (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen lambang kraton (Jawa) di tengah pediment (klasik Eropa) Ornamen wajikan dan saton (Jawa) c. Proporsi
Golden section (klasik Eropa) Pada regol Danapratapa juga ditemui adanya penggunaan overstek besi yang melengkung-lengkung, yang merupakan ciri arsitektur art nouveau. Jadi regol Danapratapa merupakan suatu bentuk arsitektur Eropa (campuran klasik dan art nouveau) dengan ornamen Jawa.
IV.5.2. Gedong Jene Gedong Jene adalah tempat tinggal Sultan. Gedong Jene yang membujur ke arah barat-timur dan menghadap ke arah timur ini memiliki atap genteng berbentuk limasan dengan sebuah beranda di depannya. Bangunan ini dinamakan gedong jene karena warna pintu dan jendelanya yang kuning. Warna kuning tersebut memiliki arti ‘agung’ karena itu segala hal yang berhubungan dengan sultan biasanya berwarna kuning. Pada beranda depan terdapat enam kolom kuning dengan ornamen pada kepala dan umpaknya berupa ornamen praba dan mirong yang berwarna putih. Umpak kolom tersebut dibuat dari marmer, dan begitu juga dengan lantai bangunan. Bangunan ini didirikan oleh sultan Hamengku Buwana VII pada tahun 1839 tahun Jawa atau 1909 Masehi yang ditunjukkan oleh sengkalan memet berbunyi sekar sinaut ing naga raja yang terdapat pada gewel di atas pintu depan. Bangunan dengan dua lantai dan satu basement ini sangat masif, dengan ketebalan dinding sekitar 44 cm. Kolom utama bangunan berupa kolom berwarna putih dan bertekstur garis-garis vertikal, dengan ukuran penampang 59 cm x 59 cm. Kolom-kolom yang menyangga atap emperan depan terdiri dari enam buah kolom yang terbuat dari kayu berwarna kuning muda, dengan ukuran penampang 27 cm x 27 cm. Gedong Jene ini memiliki dua lantai dan satu basement. Lantai dua hanya ada di bagian barat bangunan, dan di bagian lain diberi atap flat dengan enam buah pelubangan kaca sebagai skylight bagi ruangan di bawahnya. Pada balkon lantai dua gedong jene ini terdapat suatu bentukan ruang gazebo segi delapan yang tertutup oleh kaca dan diberi atap yang berbentuk segi delapan
juga. Bagian luar atap Gedong Jene ini dikelilingi oleh bidang persegi dari beton berwarna putih dan berpola bujur sangkar berulang dengan relief berpola lingkaran dalam tiap bujursangkarnya. Di bawah atap pada beranda depannya juga terdapat bentukan serupa tapi terbuat dari kayu yang dicat kuning dengan pola ukiran yang rumit.
Tampak depan:
Tampak belakang: Gambar IV.47. Denah Gedong Jene dan analisis pada tampak (sumber: PT. Kertagana)
Gambar IV4. Perspektif Gedong Jene (sumber: Revianto Budi Santoso18)
a. Bentuk Gedong Jene Pediment (klasik Eropa) Entablature (klasik Eropa) Atap limasan (Jawa) Gazebo segi delapan (klasik Eropa) Pilaster bertekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) di beranda b. Ornamen Ornamen lambang kraton (Jawa) di tengah pediment (klasik Eropa) Ornamen mirong (Jawa) pada kolom di beranda depan Ornamen nanasan (Jawa) di atas entablature (klasik Eropa) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Jadi Gedong Jene merupakan arsitektur klasik Eropa dengan kolom Jawa pada bagian berandanya.
Gambar IV.48. Analisis pada G9 (sumber: PT. Kertagana)
Gedong Jene pada bagian depannya menunjukkan adanya sejenis pediment dari beton berbentuk setengah lingkaran yang berornamen Jawa. Bagian ini menggunakan proporsi golden section Eropa. Pediment ini disangga oleh dua buah kolom Jawa (K16) yang dicat kuning. Bagian ini memiliki bentuk dan proporsi Eropa dengan kolom Jawa dan ornamen Jawa.
Gambar IV.49. Analisis pada kolom K16 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K16 Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak batu berbentuk padma (Jawa) b. Ornamen Ornamen mirong dan praba (Jawa) Ornamen kaligrafi pada umpak (Jawa) c. Proporsi Tidak menggunakan golden section.
Kolom K16 ini merupakan sebuah kolom Jawa . Gedong Jene merupakan bangunan Eropa dengan kolom Jawa dan ornamen Jawa pada emper depannya.
18
Santoso, Revianto Budi, (1991), Pengembangan Karaton Yogyakarta sebagai Fasilitas Pelestarian dan Pertukaran Budaya, tugas akhir di Universitas Gadjah Mada.
IV.5.3. Bangsal Kencana Bangsal Kencana merupakan bangsal yang sangat penting, berfungsi untuk menerima tamu kerajaan, melantik pangeran, tempat upacara persembahan putra-putri (sembah bekti) dan acara-acara penting lainnya serta sebagai tempat untuk menari bedaya. Bangsal Prabayeksa berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan tempat pengambilan sumpah bagi sultan baru. Dua bangsal ini merupakan bangunan utama pada kompleks Kedhaton. Bangsal Kencana ini pada awalnya bernama Bangsal Alus, yang dibangun pada tahun 1763M. pada masa sultan Hamengku Buwana VIII, bangsal ini dipugar. Perubahan yang terjadi pada saat itu adalah penambahan sekat kaca yang memisahkan antara bangsal Kencana dengan tratag Prabayeksa. Bangsal Kencana merupakan bangunan terbesar pada kompleks ini, yang berbentuk joglo mangkurat, yaitu bangunan dengan atap joglo susun tiga yang terbuat dari lei. Atapnya disangga oleh 36 buah kolom dengan empat di antaranya adalah sakaguru. Sakaguru tersebut berukuran 27 x 27 cm. Di sebelah luarnya terdapat 12 kolom berukuran 19 x 19 cm. Dan bagian paling luar disangga oleh 20 buah kolom berukuran 17 x 17 cm. Ketiga jenis kolom tersebut terbuat dari kayu, dengan umpak berbentuk bunga padma yang berornamen kaligrafi, dan kolom yang dicat hijau dan ornamen-ornamen pada bagian bawah, tengah dan puncaknya. Ornamen pada bagian bawah kolom berwujud praba yang berwarna emas. Pada bagian atas, selain berwarna emas juga terdapat sedikit warna merah. Bagian tengah kolom berornamen mirong dengan warna emas, tumpal yang diisi suluran. Di sekitarnya terdapat tratag dengan atap yang disangga oleh kolom-kolom hijau dari besi cor dengan bentuk yang mengecil ke atas. Kolom-kolom tersebut bertekstur garis-garis vertikal. Kepala kolom berbentuk dua susun dedaunan, dan pada bagian tengah kolom terdapat ornamen bunga padma merah dan di atasnya terdapat ornamen bunga-bunga kecil yang terpilin mengelilingi kolom.
Hiasan yang ada pada bangsal ini antara lain adalah hiasan motif suluran berwarna prada dan merah, patran, bunga dan daun pada blandar di langit-langit, sementara hiasan pada kolomnya bermotif mirong, tumpal yang diisi suluran. Bentuk kolom ini sama dengan bentuk kolom yang ada pada tratag Pancaniti.
Gambar IV.50. Denah bangsal Kencana (sumber: PT. Kertagana) Tampak barat:
Tampak utara:
Gambar IV.51. Analisis golden section pada tampak bangsal Kencana (sumber: PT. Kertagana)
Bangsal Kencana terbagi dua, yaitu bagian inti dan bagian tratagnya. Bagian inti bangsal memiliki kolom K15 sementara bagian tratag memiliki kolom K11 seperti yang terdapat pada tratag bangsal Pancaniti. Kolom K11 merupakan kolom Eropa dengan ornamen Jawa. a. Bentuk Bangsal Kencana Bentuk joglo (Jawa) Kolom bagian tratag adalah kolom K11 (klasik Eropa) Kolom bagian dalam adalah kolom K15 (Jawa) b. Ornamen -c. Proporsi Golden section (klasik Eropa)
Gambar IV.52. Analisis kolom K15 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk K15 Kolom kayu berpenampang persegi (Jawa) Umpak batu berbentuk padma (Jawa) b. Ornamen Ornamen mirong dan kaligrafi (Jawa) Ornamen praba (Jawa) c. Proporsi Tidak menggunakan proporsi golden section.
Kolom K15 ini merupakan kolom Jawa. Kolom ini terdapat pada bangsal Kencana. Bangsal Kencana merupakan sebuah bangunan Jawa, sementara tratagnya merupakan suatu arsitektur Jawa dengan kolom Eropa.
IV.5.4. Bangsal Prabayeksa
Gambar IV.53. Denah bangsal Prabayeksa (tanpa tratag) (sumber: PT. Kertagana)
Gambar IV.54. Analisis golden section pada tampak utara Prabayeksa (sumber: PT. Kertagana)
Bangsal Prabayeksa didirikan pada tahun 1763M bersamaan dengan bangsal Kencana. Pendiriannya selesai pada tahun 1768M. Bangsal Prabayeksa membujur dari barat ke timur, dengan arah hadap ke timur. Bangunan ini berbentuk limasan lambang gantung dengan 48 kolom yang menyangga atapnya tersusun dalam 6 deret. Kolom yang paling tengah sejumlah 8 buah berukuran paling besar, yaitu 38 x 38 cm, sementara kolom pada bagian yang lebih luar sejumlah 16 buah berukuran 27 x 27 cm, dan kolom pada bagian terluar bangunan sejumlah 24 buah berukuran 22 x 22 cm. Tubuh bangunan ini ditutup dengan dengan dinding kayu, dengan tiga buah pintu gebyag kayu pada
bagian timur, dua buah di bagian selatan, dan masing-masing satu buah pintu gebyag di sebelah utara dan barat. Bangunan ini terhubungkan dengan trajutrisno gedong jene melalui sebuah pintu di sebelah utara. Di dalam Prabayeksa ini terdapat sentong tengen, tengah dan kiwa yang berderet dari barat ke timur. Pada bagian barat bangsal terdapat tiga ruangan yang disebut kedaton kilen, gedong kepilih dan gupit mandragini yang dua di antaranya berfungsi sebagai tempat tinggal permaisuri dan satu ruang sebagai tempat tinggal abdi dalem putri yang menyediakan sesaji bagi pusaka-pusaka kraton. Lantai bangsal ini dibuat dari marmer. Hiasan tidak banyak didapati pada bangsal ini, kolom saka guru tidak dihias, polos berwarna coklat sementara bagian dinding sisi luar, pintu dan jendela dihiasi dengan ukiran motif sulur dan tumbuhan yang diprada di atas warna merah. Seperti juga Bangsal Kencono, Prabayeksa juga memiliki atap yang terbuat dari lei. a. Bentuk bangsal Prabayeksa Bentuk limasan (Jawa) Kolom kayu berpenampang persegi tipe K6 (Jawa) Umpak batu berbentuk padma (Jawa) b. Ornamen Tidak ada ornamen c. Proporsi Golden section dalam bentuk luarnya (klasik Eropa)
Bangunan ini merupakan bangunan Jawa dengan bagian luar menggunakan proporsi golden section Eropa.
IV.5.5. Bangsal Manis Bangsal Manis yang berfungsi sebagai tempat jamuan makan resmi bagi tamu-tamu ini terletak di sebelah selatan bangsal Kencana. Bangunan ini didirikan tahun 1922M pada masa pemerintahan sultan Hamengku Buwana VIII.
Bangunan ini berbentuk limasan klabang nyander dengan atap terbuat dari lei, dan merupakan bangunan terbuka dengan satu ruang tertutup di bagian selatan. Ruang tertutup tersebut berdinding bata, dengan kolom-kolom putih yang bertekstur garis-garis vertikal tanpa ornamen di puncaknya. Denah bangunan ini berbentuk segi empat dan pada bagian tepinya terdapat pagar kayu hijau tua yang diukir dan diprada dengan motif panahan. Lantai bagian tengah menonjol ke arah timur dan barat sepanjang tiga meter, dan pada bagian atas pagarnya terdapat ornamen berupa dua ekor ular naga yang mengapit kemamang. Lantai yang menonjol ini masing-masing diberi atap kampung dan disangga oleh dua kolom. Bagian ujung atap kampung tersebut ditutup dengan kayu dan diberi lambang Kraton Yogyakarta, dan pada bagian bawahnya ditutup dengan kaca. Ujung bubungannya diberi ornamen berupa gunungan. Bangsal Manis ini juga banyak sekali mempergunakan kaca patri (stained glass) baik pada eksterior maupun interior.
Gambar IV.54. Denah bangsal Manis dan analisis golden section pada tampak utara (sumber: PT. Kertagana)
.
Gambar IV.55. Analisis pada G8
Bangsal Manis terdiri dari dua bagian yang masif dan yang tidak masif. Bagian yang masif berada pada sisi selatan. Bagian ini selain menggunakan dinding masif juga menggunakan material stained glass. Pada gambar di atas terlihat adanya satu arch pintu dan dua jendela di kanan kirinya yang juga berkonstruksi arch. Ketiga pelubangan tersebut dihiasi dengan stained glass. Stained glass pada bagian pintu bergambarkan lambang kraton Yogyakarta, sementara pada kedua jendela di kanan dan kirinya bergambarkan alat-alat makan Eropa seperti gelas kristal dan botol. Pilaster yang ada pada bagian dinding ini bertekstur garis-garis vertikal seperti tekstur kolom klasik Eropa. Bagian ini merupakan suatu bentuk arsitektur Eropa dengan dinding masif, material stained glass dan pilaster-pilaster berbentuk klasik Eropa. Tidak ada bentuk dan ornamen arsitektur Jawa pada bagian ini.
Gambar IV.56. Analisis pada G9 (sumber: PT. Kertagana)
Kolom yang ada pada bangsal manis ini sama dengan yang ada pada Bangsal Pancaniti (K10) yang merupakan kolom Jawa, tetapi dengan warna yang berbeda. Bagian ini memiliki proporsi golden section. Golden section merupakan proporsi arsitektur klasik Eropa. Jadi bagian ini memiliki kolom Jawa dan ornamen Jawa, tetapi dengan material stained glass pada suatu bagian dan proporsi Eropa.
a. Bentuk bangsal Manis Kolom kayu tipe K10 (Jawa) Atap limasan (Jawa) Arch (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen di tengah-tengah gewel (klasik Eropa) Ornamen wajikan, kemamang dan naga (Jawa) Pilaster bertekstur garis-garis vertikal (klasik Eropa) Penggunaan ornamen dari stained glass (art nouveau) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Bangsal manis ini merupakan campuran antara arsitektur Jawa dan arsitektur Eropa (campuran klasik dan art nouveau).
IV.5.6. Bangsal Mandalasana
Gambar IV.57. Denah Mandalasana dan analisisnya (sumber: PT. Kertagana)
Bangsal Mandalasana merupakan tempat bermain musik saat ada jamuan makan di Bangsal Manis. Bangunan ini didirikan pada tahun 1923M.
Bangsal Mandalasana berdenah segi delapan, tidak berdinding dan hanya dipagari dengan pagar kayu yang bermotif panah. Atap bangsal ini bersusun dua, berbentuk segi delapan, dengan penggunaan stained glass pada bagian penyangga atap puncaknya. Pada kolom bagian atas juga terdapat stained glass yang menghubungkan antar kolom yang berhias wajikan pada empat bagian kolom tersebut. Stained glass ini bergambarkan biola, gitar, terompet dan harpa yang merupakan alat musik Eropa. a. Bentuk bangsal Mandalasana Segi delapan (klasik Eropa) Bentuk arch (klasik Eropa) Kolom mengecil ke atas (klasik Eropa) b. Ornamen Wajikan (Jawa) Ornamen dari stained glass (art nouveau) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa) Jadi bangunan ini merupakan bangunan Eropa (campuran klasik dan art nouveau) dengan ornamen Jawa pada kolom dan pagar kelilingnya.
IV.5.7. Bangsal Kotak Bangsal Kotak adalah tempat gamelan laras slendro dan petet saat ada jamuan makan di Bangsal Kencana dan berjumlah dua buah. Kedua bangsal ini juga menjadi tempat persiapan bagi para penari bila ada pertunjukan di Bangsal Kencana., dan bangsal kotak terdiri dua bangunan beratap limasan dan disangga delapan kolom besi dengan denah segi empat.
Gambar IV.58. Analisis golden section pada bangsal Kotak (sumber: PT. Kertagana)
Bangsal Kotak memiliki delapan buah kolom dengan bentuk yang sama (K14). Bangsal ini berjumlah dua buah, dan memiliki bentuk yang sama. Bentuk keseluruhannya memiliki proporsi golden section Eropa seperti terlihat pada gambar.
Gambar IV.59. Analisis pada kolom K14 (sumber: PT. Kertagana)
a. Bentuk bangsal Kotak Kolom mengecil ke atas (klasik Eropa) Atap limasan (Jawa) Base klasik Eropa (klasik Eropa) Penampang kolom bagian bawah adalah segi delapan (klasik Eropa) Kepala kolom berbentuk lonceng terbalik (klasik Eropa) b. Ornamen Ornamen di tengah kolom (Jawa) Ornamen corinthian (klasik Eropa) Tekstur kolom berupa garis-garis vertikal (klasik Eropa) Overstek besi melengkung-lengkung (Art nouveau) c. Proporsi Golden section (klasik Eropa)
Bangunan ini merupakan suatu bentuk arsitektur Jawa dengan kolomkolom klasik Eropa dan overstek art nouveau serta ornamen Jawa di tengah kolom.
Hasil identifikasi di atas dapat ditunjukkan dalam gambar IV.60. Karena proporsi golden section digunakan pada seluruh bangunan dalam sampel, maka proporsi ini tidak dimasukkan dalam gambar tersebut.
Gambar IV.60. Plotting hasil identifikasi
BAB V DISKUSI
Penelitian naturalistik bukan bertujuan untuk melakukan verifikasi terhadap suatu teori, tetapi bertujuan untuk membentuk suatu teori berdasarkan kenyataan empirik dengan melihat kecenderungan yang terjadi pada kasus.kecenderungan tersebut menghasilkan suatu hipotesis yang kemudian diuji dengan analisis kasus negatifuntuk merevisi hipotesis dan seterusnya hingga tidak lagi didapatkan kasus negatif. Istilah hipotesis dipergunakan dalam hal ini karena pendekatan naturalistik memandang realitas sebagai sesuatu yang ganda. Dari hasil identifikasi, dapat disusun tabel sebagai berikut:
Tabel V.1. Tabel hasil identifikasi dan tingkat kesakralannya
No . 1.
Nama ruang
Sakral/tdk sakral
Ada / tidak bentuk & ornamen Eropa
Pagelaran a. Tratag Pagelaran
Tdk sakral
Ada (klasik+art nouveau)
b. Bangsal Pangrawit
Sakral
Tidak
2.
Bangsal Pengapit
Tdk sakral
Tidak
3.
Bangsal Pacikeran
Tdk sakral
Tidak
4.
Tarub Hageng
Tdk sakral
Ada (klasik)
5.
Pacahosan
Tdk sakral
Tidak
6.
Sitihinggil a. Tratag Witono
Tdk sakral
Ada (klasik+art nouveau)
b. Bangsal Manguntur Tangkil
Sakral
Tidak
c. Bangsal Witono
Sangat Sakral
Tidak
7.
Bale Bang dan Mangangun-angun
Tdk sakral
Ada (klasik+art nouveau)
8.
Regol Brajanala
Tdk sakral
Ada (klasik)
9.
Bangsal Pancaniti
Sakral
Tidak
Tratag Pancaniti
Tdk sakral
Ada (klasik)
Pacahosan Pancaniti
Tdk sakral
Tidak
10.
Bangsal Sri Manganti
Sakral
Tidak
11.
Bangsal Trajumas
Sakral
Tidak
12.
Selasar
Tdk sakral
Ada (klasik+art nouveau)
13.
Regol Danapratapa
Tdk sakral
Ada (klasik+art nouveau)
14.
Purworetno
Tdk sakral
Ada (klasik+art nouveau)
15.
Bangsal Kencana
Sangat sakral
Tidak
16.
Tratag Bangsal Kencana
Tdk sakral
Ada (klasik)
17.
Prabayeksa
Paling sakral
Tidak
18.
Tratag Prabayeksa
Tdk sakral
Ada (klasik)
19
Bangsal Mandalasana
Tdk sakral
Ada (klasik+art nouveau)
20.
Bangsal Kotak
Tdk sakral
Ada (klasik+art nouveau)
21.
Bangsal Manis
Tdk sakral
Ada (klasik+art nouveau)
22.
Gedong Jene
Tdk sakral
Ada (klasik)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa bentuk dan ornamen art nouveau selalu ada bersama-sama dengan bentuk dan ornamen klasik. Bentuk dan ornamen art nouveau tersebut terdapat pada Tratag Pagelaran, tratag Witana, Bale Bang dan Bale Mangangun-angun, selasar Sri Manganti, regol Danapratapa, Purworetno, bangsal Mandalasana, bangsal Kotak dan bangsal Manis. Ruang / bangunan tersebut merupakan ruang/bangunan yang tidak sakral. Jadi terdapat kecenderungan tidak adanya bentuk dan ornamen art nouveau pada bagian yang sakral. Kecenderungan ini semakin terlihat jelas pada bentuk dan ornamen klasik. Karena bentuk dan ornamen art nouveau selalu muncul bersama-sama bentuk dan ornamen klasik Eropa, maka dalam diskusi ini bentuk dan ornamen art nouveau serta bentuk dan ornamen klasik disatukan dalam ‘bentuk dan ornamen Eropa’.
V.1. HIPOTESIS I Dari tabel hasil identifikasi per bangunan di atas terlihat adanya kecenderungan tidak adanya bentuk dan ornamen Eropa pada bagian-bagian yang sakral.
Jadi hipotesis pertama yang diambil adalah: bentuk dan ornamen Eropa pada kasus Kraton Yogyakarta ditemui pada bagian yang tidak sakral, sementara bagian yang sakral tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa.
V.2. KESAKRALAN BANGUNAN PADA KRATON YOGYAKARTA Kesakralan bangunan-bangunan kraton berbentuk konsentrik radial. Kraton merupakan replika dari Jagad Purana dalam tradisi Hindu yang berpusat pada benua Jambudwipa yang dikelilingi tujuh lapis daratan dan samudra dalam bentuk konsentrik linear. Pada Jambudwipa tersebut terdapat gunung Mahameru sebagai tempat para dewa bersemayam19. Pada replika jagad tersebut, pusatnya terletak pada Bangsal Prabayeksa. Bangsal Prabayeksa adalah rumah pusaka, tempat yang paling sakral yang terletak pada pelataran Kedaton, yang merupakan pelataran pusat yang paling sakral pada Kraton. Dalam tatanan ini semakin ke pusat posisi suatu bangunan, maka tingkat kesakralannya semakin tinggi.
Gambar V.1. Tingkat kesakralan kraton yang berbentuk konsentrik radial (Sumber: Revianto Budi Santoso)20
19
Behrend, Timothy Earl, (1982), Kraton and Cosmos in Traditional Java, thesis pada University of Wisconsin Madison. 20 Santoso, Revianto Budi, (1991), Pengembangan Karaton Yogyakarta sebagai Fasilitas Pelestarian dan Pertukaran Kebudayaan, Tugas akhir pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Gambar di atas menunjukkan hirarki tingkat kesakralan pada Kraton Yogyakarta. Bagian pusatnya yaitu pelataran Kedaton merupakan bagian yang paling sakral dari seluruh Kraton, kemudian diikuti oleh pelataran Sri Manganti pada bagian utara dan Kemagangan pada bagian selatan. Urutan selanjutnya dalam tingkatan kesakralan yang semakin rendah adalah pelataran kemandhungan utara (pancaniti) dan kemandhungan selatan, diikuti oleh pelataran sitihinggil utara dan sitihinggil selatan dan terakhir adalah alun-alun utara dan alun-alun selatan. Hirarki tingkat kesakralan tersebut juga berlaku pada skala yang lebih kecil. Dalam suatu bangunan seperti Sitihinggil terdapat perbedaan tingkat kesakralan antara tratag Witana, bangsal Manguntur Tangkil dan bangsal Witana. Tratag Witana yang terletak pada bagian yang paling tepi memiliki tingkat kesakralan yang paling rendah, sementara bangsal Witana yang terletak pada pusatnya memiliki tingkat kesakralan yang paling tinggi. Hal itu juga terdapat pada bangsal Pagelaran, bangsal Pancaniti, dan bangsal Kencana. Pada area dengan tingkat kesakralan tinggi tersebut, terdapat kecenderungan tidak terdapatnya bentuk dan ornamen arsitektur Eropa. Hal tersebut dapat dilihat pada Sitihinggil, di mana pada bagian tratagnya terdapat bentuk dan ornamen Eropa berupa kolom Eropa serta material stained glass, tetapi tidak ditemui pada bangsal Manguntur Tangkil dan Bangsal Witana. Pada bangsal Pagelaran, bagian yang paling sakral adalah bangsal Pangrawit, dan bagian ini pulalah yang tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa. Pada Sitihinggil, terlihat juga persamaan pola di mana bentuk dan ornamen Eropa tidak ditemui pada bangsal Manguntur Tangkil dan bangsal Witana yang sakral, tapi ditemui pada bagian tratagnya. Bangsal Pancaniti Sri Manganti, Trajumas dan bangsal Kencana juga memiliki pola yang sama. Jadi bentuk dan ornamen Eropa pada bangunan-bangunan tersebut hanya ditemui pada tratag bangunan yang merupakan bagian yang paling tidak sakral dari suatu bangunan. Kesakralan suatu bangunan atau ruang juga ditentukan oleh intensitas keberadaan sultan pada ruang tersebut serta hubungannya dengan ritual. Sebagai contoh adalah bangsal Pangrawit yang memiliki tingkat kesakralan yang lebih tinggi daripada tratag Pagelaran, karena bangsal Pangrawit merupakan tempat duduk sultan, sementara tratag Pagelaran bukan tempat untuk sultan.
V.3. ANALISIS KASUS NEGATIF I Untuk mengetahui kasus negatif dari hipotesis I perlu diperbandingkan antara plotting bentuk dan ornamen Eropa yang ada pada Kraton dengan tingkat kesakralannya seperti di bawah ini:
Gambar A
Gambar B Gambar V.2. Perbandingan antara hasil identifikasi dengan tingkat kesakralan bangunan.
Gambar A menunjukkan plotting ada tidaknya bentuk dan ornamen Eropa pada ruang atau bangunan sementara gambar B merupakan gambar yang
menunjukkan tingkat kesakralan. Arsir hitam pada gambar A menunjukkan ruang yang tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa, sementara arsir hitam pada gambar B menunjukkan ruang yang memiliki tingkat kesakralan tinggi. Pada kedua gambar tersebut terlihat bahwa pola arsir hitam pada gambar A dan gambar B hampir sama. Kesamaan tersebut ditemui pada bangsal Sitihinggil, Pancaniti, Sri Manganti, Trajumas, bangsal Kencana dan bangsal Prabayeksa. Perbedaan antara pola arsir hitam pada gambar plot A dan B merupakan kasus negatif dari hipotesis pertama, dan kasus negatif tersebut terdapat pada bangsal Pengapit dan Pasewakan di kanan kiri Pagelaran, bangsal Pacikeran serta pacahosanpacahosan yang ada di pelataran Sitihinggil, kemandhungan utara, pelataran Sri Manganti dan Trajumas. Pada bangsal-bangsal tersebut tidak ditemui bentuk dan ornamen arsitektur Eropa, walaupun bangsal-bangsal tersebut tidak termasuk ke dalam bangunan-bangunan yang sakral. Jadi hipotesis pertama tidak berlaku pada bangsal-bangsal ini. Bangunan-bangunan yang merupakan kasus negatif dari hipotesis pertama tersebut merupakan bangsal-bangsal untuk prajurit Kraton dan tidak banyak berperan untuk ritual-ritual penting, tidak seperti bangsal Pangrawit di Pagelaran, bangsal Manguntur Tangkil, bangsal Witana, bangsal Pancaniti, bangsal Sri Manganti dan Trajumas serta bangsal Kencana dan Prabayeksa yang juga tidak memiliki bentuk dan ornamen arsitektur Eropa. Sebaliknya bangsal Pagelaran, Sitihinggil, bangsal Pancaniti, bangsal Sri Manganti, bangsal Trajumas, bangsal Kencana dan bangsal Prabayeksa merupakan bangunan-bangunan yang penting untuk ritual Kraton. Pada bangsal-bangsal tersebut ditemui bentuk dan ornamen arsitektur Eropa pada bagian tratagnya, dan ruang yang terdapat di bagian pusatnya tidak memiliki bentuk dan ornamen arsitektur Eropa. Jadi pada kasus ini terdapat adanya tiga kategori bangunan, yaitu: 1. Bangunan yang memiliki bentuk dan ornamen arsitektur Eropa pada tepinya (tratag) dan bagian pusatnya tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa, yaitu bangsal Pagelaran, bangsal Sitihinggil, bangsal Pancaniti, bangsal Sri Manganti, bangsal Kencana dan bangsal Prabayeksa.
2. Bangunan yang memiliki bentuk dan ornamen Eropa, yaitu Tarub Agung, Bale Bang, Bale Mangangun-angun, regol-regol, Purworetno, Gedong Jene, Bangsal Kotak, Bangsal Mandalasana dan Bangsal Manis. 3. Bangunan yang tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa, yaitu bangsal pengapit Pagelaran, bangsal Trajumas, bangsal Pacikeran, dan pacahosanpacahosan yang ada di pelataran Sitihinggil, Kemandhungan utara, dan pelataran Sri Manganti. Di antara ketiga kategori tersebut, maka kategori pertama terdiri dari bangunan-bangunan yang sakral dan penting untuk ritual-ritual kraton. Kategori kedua terdiri dari bangunan-bangunan yang memiliki tingkat kesakralan lebih tinggi daripada kategori ketiga. Bangunan-bangunan seperti gedong Jene, Purworetno, Bale Bang dan Bale Mangangun-angun memiliki fungsi yang berkaitan dengan sultan dan ritual. Dalam kategori kedua, Gedong Jene merupakan tempat tinggal sultan, dan Purworetno merupakan kantor administrasi Kraton, Tarub Agung merupakan tempat persiapan sultan sebelum menuju ke Pagelaran sementara Bale Bang dan Bale Mangangun-angun merupakan tempat penyimpanan dan persinggahan gamelan dalam kegiatan ritual grebeg dan pisowanan ageng. Bangsal Mandalasana, bangsal Kotak dan Bangsal Manis merupakan bangunan-bangunan di pelataran Kedaton yang merupakan pusat dari Kraton, dan berfungsi sebagai tempat bermain musik, tempat penari dan tempat menjamu tamu saat diadakan kegiatan di Bangsal Kencana. Dalam kategori ketiga, bangsal Pengapit dan bangsal Pasewakan berfungsi sebagai tempat prajurit menunggu untuk memberikan laporan, bangsal Pacikeran merupakan tempat abdi dalem bernama Singanegara dan Martolulut yang merupakan algojo kraton untuk melaksanakan hukuman, pacahosan merupakan tempat para abdi dalem yang terdapat di pelataran Sitihinggil, Kemandhungan utara, dan pelataran Sri Manganti. Fungsi-fungsi tersebut tidak berhubungan dengan ritual ataupun kegiatan sultan, yang menunjukkan bahwa bangunan-bangunan tersebut memiliki tingkat kesakralan yang rendah.
Gambar V.3. Kategori bangunan yang ada pada kompleks Kraton Yogyakarta
Dari uraian di atas secara singkat dapat disimpulkan bahwa bangunanbangunan yang sangat sakral memiliki pola A, bangunan yang lebih rendah tingkat kesakralannya memiliki pola B dan bangunan yang tidak sakral memiliki pola C (hipotesis II).
V.4. ANALISIS KASUS NEGATIF II Hipotesis II menyebutkan bahwa bangunan-bangunan yang sangat sakral memiliki pola A (bagian tratag memiliki bentuk dan ornamen Eropa, sementara bagian intinya tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa), bangunan yang lebih rendah tingkat kesakralannya memiliki pola B (semuanya memiliki bentuk dan ornamen Eropa) dan bangunan yang tidak sakral memiliki pola C (tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa). Bangunan-bangunan yang sakral dalam kompleks kraton adalah bangunanbangunan yang berkaitan dengan ritual Kraton dan intensitas keberadaan sultan sebagai raja. Bangunan-bangunan tersebut adalah bangsal Prabayeksa, bangsal Kencana, bangsal Sri Manganti, bangsal Trajumas, bangsal Pancaniti, bangsal Sitihinggil dan bangsal Pagelaran. Bangsal Prabayeksa, bangsal Kencana, bangsal Pancaniti, bangsal Sitihinggil dan bangsal Pagelaran memiliki pola A, sesuai dengan hipotesis II. Lain halnya dengan bangsal Trajumas. Bangsal Trajumas yang merupakan bangsal yang penting untuk ritual ini tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis kedua yang menyatakan bahwa suatu
bangunan yang sakral dan penting untuk ritual, akan memiliki pola di mana bentuk dan ornamen Eropa terdapat pada bagian tratagnya tapi tidak ditemui pada bagian intinya. Dengan memperhatikan bentuk bangsal ini, terlihat bahwa bangsal ini berbentuk limasan lambang gantung yang bersusun dua, tanpa tratag. Karena itu tidak adanya bagian yang memiliki bentuk dan ornamen Eropa besar kemungkinan disebabkan karena tidak adanya tratag pada bangunan ini. Bangsal Sri Manganti yang ada di sebelah bangsal Trajumas berbentuk joglo lambang gantung dan juga tidak memiliki tratag, tetapi lorong atau selasar yang menghubungkan regol Sri Manganti dengan regol Danapratapa menempel pada bagian barat dari bangsal sehingga membentuk suatu tratag bagi bangsal Sri Manganti. Selasar inilah yang memiliki bentuk dan ornamen Eropa. Kasus negatif lain ditemui pada tempat jaga prajurit yang terdapat di kanankiri regol. Tempat jaga tersebut memiliki fungsi yang tidak berkaitan dengan sultan dan ritual, tetapi ternyata ada tempat jaga yang memiliki bentuk dan ornamen Eropa. Tempat jaga pada gerbang Sitihinggil berupa bangsal Pacikeran yang tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa, sementara tempat jaga pada regol Brajanala, Sri Manganti dan regol Danapratapa memiliki bentuk dan ornamen Eropa. Regol merupakan penghubung antar pelataran dalam kompleks Kraton Yogyakarta, di mana tiap pelataran memiliki tingkat kesakralan yang berbeda. Semakin ke pusat posisi pelataran tersebut, berarti tingkat kesakralannya semakin tinggi. Pada skala makro, pelataran Kedaton merupakan pelataran yang paling sakral, kemudian pada tingkatan kesakralan yang lebih rendah adalah pelataran Sri Manganti, diikuti oleh Kemandhungan utara, Sitihinggil dan pelataran dengan tingkat kesakralan paling rendah adalah pelataran Pagelaran (alun-alun utara). Kelima pelataran tersebut dipisahkan oleh empat buah pintu gerbang atau regol, yaitu: 1. Gerbang pertama yang menghubungkan antara Pagelaran dengan Sitihinggil adalah gerbang Sitihinggil. Gerbang ini berbentuk dinding masif, tidak beratap, dengan dua buah bangsal di kanan kirinya, yaitu bangsal Pacikeran. Bangsal Pacikeran tersebut tidak memiliki bentuk atau ornamen Eropa. Gerbang ini tidak berornamen.
Gambar V.4. Bangsal Pacikeran yang ada di kanan-kiri gerbang Sitihinggil (sumber: dokumen pribadi)
2. Gerbang yang menghubungkan antara Sitihinggil dengan kemandhungan utara adalah regol Brajanala. Regol ini beratap limasan Jawa, dengan dinding yang masif. Di kanan-kirinya terdapat tempat jaga prajurit yang berbentuk arch Eropa dengan pediment kecil berbentuk segitiga sama kaki yang terpotong.
Gambar V.5. Bentuk tempat jaga prajurit pada regol Brajanala (sumber: dokumen pribadi)
3. Gerbang yang menghubungkan antara kemandhungan utara dengan pelataran Sri Manganti adalah gerbang Sri Manganti. Regol ini beratap limasan dengan dinding masif dan di kanan kirinya terdapat tempat jaga prajurit dengan bentuk yang hampir sama dengan tempat jaga di regol brajanala, dengan penyangga arch bukan hanya berupa kolom-kolom tetapi juga berdinding. Kolom-kolom pada tempat jaga ini memiliki tekstur bergaris-garis vertikal, yang merupakan ciri kolom Eropa.
Gambar V.6. Bentuk tempat jaga prajurit pada regol Sri Manganti (sumber: dokumen pribadi)
4. Gerbang yang menghubungkan antara Sri Manganti dengan Kedaton adalah regol Danapratapa. Tidak seperti regol Brajanala dan regol Sri Manganti yang memiliki atap limasan, regol ini memiliki atap dengan gewel di kedua sisinya. Gewel tersebut ditopang oleh kolom-kolom bertekstur klasik Eropa yang disusun berjajar dua-dua di atas scamillus, dengan ornamen Jawa. Di kanan kirinya terdapat tempat jaga prajurit berbentuk arch Eropa dengan ukuran yang lebih besar daripada tempat jaga di regol Brajanala dan Sri Manganti. Tidak seperti tempat jaga di regol Brajanala dan regol Sri Manganti yang hanya memiliki satu pediment, tempat jaga di regol Danapratapa memiliki tiga pediment. Pediment pada bagian utara dan barat berbentuk setengah lingkaran yang terpotong oleh ornamen Jawa pada bagian utara dan barat, sementara pediment pada bagian timur berbentuk segitiga sama kaki.
Gambar V.7. Bentuk tempat jaga prajurit yang ada di regol Danapratapa dari utara, barat dan timur (sumber: dokumen pribadi)
Dari keempat regol tersebut tampak bahwa regol Danapratapa merupakan regol yang paling banyak memiliki bentuk dan ornamen Eropa, yaitu gewel, kolomkolom bertekstur klasik Eropa, scamillus, dan tempat jaga berbentuk arch. Regol Brajanala dan regol Sri Manganti masing-masing memiliki atap Jawa (limasan) dengan dinding masif dan tempat jaga berbentuk arch Eropa. Gerbang Sitihinggil hanya berupa dinding masif, sementara bangsal Pacikeran yang ada di kanan kirinya berupa arsitektur Jawa, tidak mengandung bentuk dan ornamen Eropa. Jadi dalam kasus ini semakin ke tepi posisi suatu gerbang yang juga berarti semakin tidak sakral, maka bentuk dan ornamen Eropa yang digunakan semakin sedikit. Sebaliknya,
semakin sakral suatu pelataran, maka bentuk dan ornamen Eropa yang digunakan pada regolnya semakin banyak. Semakin banyak digunakannya bentuk dan ornamen Eropa pada pelataran yang sakral menimbulkan pertanyaan tentang tujuan dari penggunaan tersebut. Pada skala bangunan, bagian bangunan yang paling sakral tidak memiliki bentuk dan ornamen Eropa, tetapi pada skala makro yang terjadi justru yang sebaliknya. Pada skala makro penggunaan bentuk dan ornamen Eropa makin banyak ditemui pada pelataran yang paling sakral. Dalam wacana pascakolonial disebutkan bahwa ada suatu kecenderungan pada suatu masyarakat yang terjajah untuk menirukan atribut-atribut dari penjajah, karena atribut-atribut tersebut bagi masyarakat terjajah menunjukkan status yang lebih tinggi. Hal ini tidak lepas dari pandangan dan sistem sosial yang diciptakan oleh penjajah yang menempatkan masyarakat terjajah sebagai warga negara kelas dua. Hal serupa juga disebutkan oleh Lombard21. Para bangsawan atau priyayi merupakan golongan masyarakat yang paling banyak terpengaruh oleh Eropa. Dan golongan ini telah kehilangan status sosial secara resmi, karena pemerintahan Belanda telah mengambil alih kekuasaan mereka. Pada tahun 1867 hak bangsawan atas tanah ditiadakan, kemudian pada tahun 1882 semua hak para bangsawan untuk memperoleh hadiah dan layanan pribadi juga ditiadakan. Selanjutnya para bupati hanya diangkat oleh pemerintahan Belanda, dan berstatus sebagai pegawai pemerintahan yang mengabdi kepada Ratu Belanda. Lombard juga menyebutkan bahwa penggunaan struktur-struktur ‘impor’ tampaknya sangat membantu kaum elite priyayi untuk mempertahankan dan melestarikan prestise dan pengaruh mereka, yang resminya telah kehilangan status sosial yang tinggi tetapi tidak kehilangan pengaruh ataupun keuntungan materi. Penggunaan struktur ‘impor’ tersebut dimungkinkan terjadi pada golongan priyayi karena tersedianya dana yang cukup untuk melakukan ‘peniruan’ tersebut.
21
Lombard, Denys, (1996), Nusa Jawa; Silang Budaya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Pada masa Hamengku Buwana VII, didirikan 17 pabrik gula di Yogyakarta. Setiap pendirian sebuah pabrik gula memberi peluang bagi Kraton untuk menerima Rp. 200.000,00. Sultan Hamengku Buwana VII menjadi kaya karenanya sehingga mampu menyekolahkan anak-anaknya ke Belanda, termasuk putra mahkotanya yang kelak akan menjadi sultan dengan gelar Hamengku Buwana VIII22. Sultan Hamengku Buwana VIII inilah yang kemudian melakukan renovasi terhadap bangunan Kraton pada masa tahun 1921-1939. Dengan latar belakang pendidikan Barat tersebut serta dengan tersedianya dana yang cukup, sangat mungkin terjadi perubahan gaya hidup ataupun standar estetika yang akan mempengaruhi arsitektur. Perubahan gaya hidup antara lain terjadi pada pembaratan busana yang terlihat dari lukisan-lukisan sultan sejak sultan Hamengku Buwana V, penggunaan kereta kuda dengan kusir yang berseragam pelayan Eropa, masuknya musik diatonis ke dalam Kraton yang kemudian diwadahi dengan bangsal Mandalasana, serta jamuan makan dengan menggunakan meja kursi di bangsal Manis23. Dalam kasus Kraton Yogyakarta, ‘struktur impor’ yang banyak dipakai antara lain adalah kolom-kolom dari besi cor dengan bentuk kepala kolom seperti kolom klasik Eropa dengan order Corinthian atau komposit yaitu terdiri dari bentuk dua susun daun acanthus. Hal itu tidak mengherankan karena kolom-kolom tersebut diimpor dari Pabrik Krupp di Jerman. Bersama-sama dengan kolom tersebut terdapat juga tiang-tiang lampu dengan gaya yang sama di halaman Kedaton serta overstek besi yang melengkung-lengkung dengan gaya art nouveau yang juga didatangkan dari Eropa. Overstek tersebut bahkan terdapat di Sitihinggil, regol Sri Manganti, regol Danapratapa, Purworetno dan bangsal Kotak. Kolom-kolom Corinthian dan Komposit terdapat hampir pada seluruh bangunan kecuali pada pacahosan, regol, bangsal mandalasana, gedong jene dan bangsal manis. Kolom-kolom tersebut dalam sejarahnya banyak digunakan pada istana-istana di Eropa karena menunjukkan
22
Moedjanto, G., (1996), Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 23 Lombard, Denys, (1996),Nusa Jawa;Silang Budaya, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
kekayaan dan kemewahan24. Selain kolom-kolom besi cor tersebut, bentuk pediment dan arch juga banyak digunakan. Karena atribut-atribut Eropa dipergunakan sebagai suatu media untuk menunjukkan status, maka atribut tersebut tidak dipakai pada bangunan-bangunan untuk prajurit atau senopati, yang tidak berhubungan dengan ritual Kraton seperti Pacahosan dan bangsal Pengapit. Hal ini berbeda dengan kasus regol, karena regol merupakan pintu gerbang menuju ke suatu pelataran maka regol tersebut merupakan sarana yang tepat untuk menunjukkan status. Karena itu penggunaan bentuk dan ornamen arsitektur Eropa semakin banyak ditemui pada regol pelataran yang sakral. Jadi hipotesis III adalah: penggunaan bentuk dan ornamen Eropa pada Kraton Yogyakarta ditujukan untuk menunjukkan status, sehingga bentuk dan ornamen Eropa tersebut ditempatkan pada bangunan-bangunan yang penting untuk ritual dan regol-regolnya. Pada bangunan-bangunan yang sakral, maka penggunaan bentuk dan ornamen Eropa hanya dilakukan pada tratagnya, jadi tingkat kesakralan ruang menjadi pembatas dari penggunaan bentuk dan ornamen Eropa tersebut.
V.5. RANGKUMAN Hipotesis III dapat menjelaskan terjadinya pola A,B dan C yang disebutkan pada hipotesis II. Hipotesis ini juga dapat menjelaskan perbedaan pada regol-regol yang menjadi penghubung antar pelataran dalam kompleks Kraton Yogyakarta. Selain itu dengan hipotesis ini kita dapat menjelaskan terjadinya penggunaan pediment besar yang disangga empat kolom Eropa pada bangsal Pagelaran. Bangsal ini merupakan bangsal terdepan dari kompleks Kraton sehingga menjadi sarana yang sangat tepat untuk menunjukkan status kepada masyarakat di luar Kraton. Tidak ada lagi kasus negatif pada hipotesis ini. Karena itu dapat disimpulkan bahwa penggunaan bentuk dan ornamen Eropa pada Kraton Yogyakarta ditujukan untuk menunjukkan dan mempertahankan status, sehingga bentuk dan ornamen tersebut ditempatkan pada bangunan-bangunan yang 24
Soekiman, Djoko, (2000), Kebudayaan Indis dan Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Yogyakarta: Penerbit Bentang.
penting untuk ritual dan regol-regolnya. Pada bangunan-bangunan yang sakral, maka penggunaan bentuk dan ornamen Eropa hanya dilakukan pada tratagnya, jadi tingkat kesakralan ruang menjadi pembatas dari penggunaan bentuk dan ornamen Eropa tersebut.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1. KESIMPULAN
1.
Sebagian bangunan kraton tidak memiliki bentuk dan ornamen arsitektur Eropa, sebagian lainnya memiliki bentuk dan ornamen Eropa, dan sebagian lagi memiliki bentuk dan ornamen Eropa pada bagian tratagnya dan arsitektur Jawa pada bagian intinya. Sementara proporsi golden section digunakan pada semua bangunan dalam sampel.
2.
Penggunaan bentuk dan ornamen arsitektur Eropa pada regol-regol menunjukkan adanya kecenderungan makin banyak digunakan pada area yang sakral. Hal ini berbeda dengan kecenderungan yang ada pada bangunan yang lainnya di mana bentuk dan ornamen Eropa tidak ditemui pada inti-inti bangunan yang sakral.
3.
Penggunaan bentuk dan ornamen Eropa pada arsitektur Kraton Yogyakarta sebagai simbol status karena itu bentuk dan ornamen arsitektur Eropa tidak ditemui pada bangunan-bangunan yang tidak berhubungan langsung dengan ritual ataupun sultan. Selain itu penggunaan bentuk dan ornamen Eropa tersebut dibatasi oleh tingkat kesakralan ruang, sehingga tidak didapati pada bangunan atau ruang-ruang yang sangat sakral.
VI.2. SARAN
Karena penelitian ini bertujuan untuk memperkaya pengetahuan arsitektur di Indonesia, maka untuk melengkapi pengetahuan tersebut perlu diteliti juga kratonkraton lain yang memiliki landasan filosofis yang sama di Jawa, seperti kraton Surakarta dan Mangkunegaran.
DAFTAR PUSTAKA _______, (1983), Keterangan Tentang Museum Sitihinggil – Pagelaran Karaton Yogyakarta, Yogyakarta: Tepas Kaprajuritan Karaton Ngayogyakarto.
_______, ___, Sejarah Bangunan-bangunan di Kraton Ngayogyakarto, Yogyakarta: PT. Kertagana, tidak dipublikasikan.
Bernad, Martina Millà, (1998), The Architecture of Colonial Presence, pada situs internet di www.emory.edu .
Dakung, Sugiyarto, (1987), Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Depdikbud.
Frampton, Kenneth, (1980), Modern Architecture, London: Thames and Hudson.
Gandhi, Leela, (1998), Postcolonial Theory, A Critical Introduction, Sydney: Allen & Unwin.
Gilbert, Bart Moore, (1997), Postcolonial Theory, Contexts, Practices, Politics, London: Verso.
Greenhalgh, Michael, (1990), What is Classicism?, London: Academy Editions.
Harris, Cyril M., (1975), Dictionary of Architecture and Construction, New York: McGraw Hill Book Company.
Koentjaraningrat, (1984), Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustaka.
Kostof, Spiro, (1985), A History of Architecture, New York: Oxford University Press.
Lombard, Denys, (1996), Nusa Jawa: Silang Budaya bagian I: Batas-batas Pembaratan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Moedjanto, G., (1994), Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Muhadjir, Noeng, (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
Nalbantoglu, Gulsum Baydar, dan Wong Chong Thai, (1997), Postcolonial Space(s), New York: Princeton Architectural Press.
Pemberton, John, (1994), On The Subject of Java, Ithaca: Cornell University Press.
Perez-Gomez, Alberto, (1991), Architecture and The Crisis of Modern Science, The Massachusetts Institute of Technology.
Piliang, Yasraf Amir, (1998), Sebuah Dunia yang Dilipat, Jakarta: Mizan.
Porphyrios, Demetri, (1992), Classical Architecture, New York: McGraw Hill Inc.
Ronald, Arya, (1997), Arsitektur Indo, Studi Kasus di Kota Padang, Medan dan Yogyakarta, makalah pada Diskusi Ilmiah Arkeologi VIII.
Santosa, Revianto Budi, (1997), Omah, The Production of Meanings in Javanese Domestic Settings, thesis pada McGill University, Montreal.
Soekiman, Djoko, (2000), Kebudayaan Indis dan Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Sumalyo, Yulianto, (1993), Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Vale, Lawrence J. , (1992), Architecture, Power and National Identity, London: Yale University Press.
Wiryomartono, A. Bagoes P. , (1995), Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Wittkower, Rudolf, (1949), Architectural Principles in The Age of Humanism, New York: Academy Editions.