TUGAS HUKUM PERBANKAN DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN
PRINSIP KEPERCAYAAN, KEHATI-HATIAN DALAM HUKUM PERDATA BANK DENGAN NASABAH PENYIMPAN DAN PEMINJAM DANA DOSEN : Dr. I MADE SARJANA, SH.,MH
(DIAJUKAN SEBAGAI TUGAS HARIAN)
Oleh: SATUGUS SUSANTO, SE., SH. NIM : 1292461019 SEMESTER : III
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
HUKUM PERBANKAN DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN
PRINSIP KEPERCAYAAN, KEHATI-HATIAN DALAM HUKUM PERDATA BANK DENGAN NASABAH PENYIMPAN DAN PEMINJAM DANA
Pasal 2 UU No 7 tahun 1992 menetapkan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Untuk mempertegas makna asas demokrasi ekonomi ini penjelasan umum dan penjelasan Pasal 2 berbunyi : yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar 1945. Demokrasi ekonomi ini tersimpul dlam Pasal 33 UUD 1945, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluragaan. Menurut Rochmat Soemitro ( 1991 : 185 ) pembangunan di bidang ekonomi yang didasarkan pada demokrasi ekonomi menentukan masyarakat harus memegang peran aktif dalam kegiatan pembangunan, memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha. (Asas Perbankan) Dalam hukum perbankan dikenal beberapa prinsip perbankan, yaitu prinsip kepercayaan ( fiduciary relation principle ), prinsip kehati-hatian ( prudential principle ), prinsip kerahasiaan ( secrecy principle), dan prinsip mengenal nasabah ( know how costumer principle ) 1. Prinsip Kepercayaan ( fiduciary relation principle ) Prinsip kepercayaan adalah suatu asas yang melandasi hubungan antara bank dan nasabah bank. Bank berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan, sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur dalam Pasal 29 ayat (4) UU No 10 Tahun 1998. 2). Prinsip Kehatihatian ( prudential principle ) Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU No 10 tahun 1998. 3) Prinsip Kerahasiaan ( secrecy principle) Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 A UU No 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 40 bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa pengecualian. Kewajiban merahasiakan itu dikecualikan untuk dalam hal-hal untuk kepentingan pajak, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada badan Urusan Piutang dan Lelang / Panitia Urusan
Piutang Negara (UPLN/PUPN), untuk kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi antar bank. 4). Prinsip Mengenal Nasabah ( know how costumer principle ) Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. Prinsip mengenal nasabah nasabah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.3/1 0/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal nasabah. Tujuan yang hendak dicapai dalam penerapan prinsip mengenal nasabah adalah meningkatkan peran lembaga keuangan dengan berbagai kebijakan dalam menunjang praktik lembaga keuangan, menghindari berbagai kemungkinan lembaga keuangan dijadikan ajang tindak kejahatan dan aktivitas illegal yang dilakukan nasabah, dan melindungi nama baik dan reputasi lembaga keuangan. Status Kerahasiaan Nasabah Debitur Permasalahan lain yang perlu dibahas lebih lanjut berkenaan dengan ketentuan rahasia bank menurut UUP/1998 adalah bagaimana status kerahasian keterangan mengenai Nasabah Debitur. Apakah secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa karena Pasal 40 UUP/1998 hanya mewajibkan Bank dan Pihak Terafiliasi menjaga kerahasiaan Nasabah Penyimpan dan Simpanannya, dan ditegaskan dalam Penjelasannya bahwa keterangan mengenai Nasabah selain dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan bukan keterangan yang wajib dirahasiakan, menyebabkan keterangan mengenai Nasabah Debitur menjadi terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun? Bila diperhatikan pengaturan mengenai rahasia bank di berbagai negara, maka terdapat penggolongan pengaturan sebagai berikut: Yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban publik, sebagaimana banyak dianut oleh negara yang menggunakan sistem hukum kodifikasi. Yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan perdata, dalam arti rahasia bank sebagai kewajiban yang timbul dari hubungan kontraktual, sebagaimana banyak dianut oleh sebagian besar negara yang menggunakan sistem Common Law. Yang memasukkan sebagian pengaturan rahasia bank sebagai ketentuan pidana, namun di sebagian lain sebagai ketentuan perdata (kombinasi/campuran), sebagaimana dianut oleh negara Amerika Serikat. Menurut penggolongan tersebut, UUP/1992 dapat digolongkan yang memasukkan rahasia bank sebagai ketentuan pidana. Hal ini dapat dilihat dalam keterangan Sutan Remy Sjahdeini sebagai berikut: “… ketentuan atau kewajiban rahasia bank…, di Indonesia ditentukan sebagai ketentuan pidana oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.”
Dibandingkan dengan ketentuan UUP/1992, dalam UUP/1998 sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) jo. Pasal 47 UUP/1998, hanya memasukkan kewajiban menjaga keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya sebagai rahasia bank yang bersifat publik. Sedangkan keterangan mengenai Nasabah Debitur, secara letterlijk dikecualikan sebagai rahasia bank yang bersifat publik. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan Pasal 40 ayat (1) paragraf ke-2 UUP/1998 yang berbunyi sebagai berikut: “Keterangan mengenai Nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan Bank.” Ketentuan ini berbeda dengan obyek rahasia bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UUP/1992 yang tidak membedakan apakah nasabah tersebut sebagai Nasabah Penyimpan atau Nasabah Debitur. Segala keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah merupakan rahasia bank. Meskipun keterangan mengenai Nasabah Debitur tidak diatur secara tegas dalam UUP/1998 sebagai rahasia bank, sebagaimana ketentuan rahasia bank menurut UUP/1992, namun perubahan ini hanya merupakan satu bentuk apa yang dikenal dalam ilmu hukum pidana sebagai depenalisasi. Depenalisasi di sini mempunyai pengertian bahwa perbuatan yang semula diancam dengan pidana, ancaman pidananya dihilangkan, akan tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum perdata atau hukum administrasi. Artinya bahwa pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur yang dalam UUP/1992 ditentukan sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, dengan UUP/1998 ini dihilangkan ancaman pidananya, akan tetapi tidak menghilangkan sama sekali kemungkinan untuk dituntut secara perdata maupun administratif. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa tidak masuknya lagi keterangan mengenai Nasabah Debitur menjadi keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank dan Pihak Terafiliasi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 40 UUP/1998, bukan menghilangkan sifat wajib dirahasiakannya keterangan tersebut, namun hanya mengalihkan kewajiban tersebut yang tadinya merupakan kewajiban yang bersifat pidana (termasuk ketentuan yang bersifat publik) menjadi kewajiban yang bersifat perdata. Mengenai hal tersebut adalah bahwa kewajiban merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Debitur merupakan kewajiban yang bersifat perdata, serta pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dapat dituntut secara perdata adalah: Pertama, hubungan antara bank dengan nasabah debitur merupakan fiduciary relation dan confidential relation, sehingga kepercayaan serta kerahasiaan hubungan keduanya merupakan moral obligation (kepatutan). Sejalan dengan hal tersebut dapat dikutip pernyataan M. Sholehuddin dalam bukunya yang berjudul ‘Tindak Pidana Perbankan’ sebagai berikut: “Keharusan bagi bank untuk memegang teguh rahasia bank adalah implementasi dari hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya yang dilandasi oleh asas kerahasiaan (konfidensialitas). Oleh karenanya, maka hubungan antara bank dengan nasabah, baik nasabah penyimpan dana maupun nasabah debitur adalah hubungan kerahasiaan (confidential relation).”
Khususnya di bidang kredit, dapat ditambahkan pula di sini pendapat Sutan Remy Sjahdeini yang menyatakan bahwa: “Bank hanya bersedia memberikan kredit kepada nasabah debitur atas dasar kepercayaan bahwa nasabah debitur mampu dan mau membayar kembali kredit tersebut, maka juga hubungan antara bank dan nasabah debitur, yaitu hubungan perjanjian kredit, bukanlah sekedar hubungan kontraktual biasa antara kreditur dan debitur tetapi juga hubungan kepercayaan (fiduciary relation).”Kedua , hubungan hukum antara Bank dengan Nasabah Debitur adalah berdasarkan perjanjian yang diadakan antara Bank dengan Nasabah Debitur. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 butir 18 UUP/1998 sebagai berikut: “Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bers angkutan.” Berdasarkan prinsip hubungan kerahasiaan, hubungan kontraktual antara Bank dengan Nasabah Debitur mengandung syarat yang tersirat (implied term) bahwa Bank dianggap mempunyai kewajiban untuk merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Debitur. Dalam hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa: “persetujuan tidak hanya mengik at untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.” Ketiga, adanya kemungkinan Bank digugat melakukan perbuatan melanggar hukum oleh Nasabah Debitur, bilamana dengan pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur dipandang oleh Nasabah Debitur merugikan dirinya. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yang secara tegas mengatur: “tiap perbuatan melanggar hukum ya ng membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Di samping dapat digugat melakukan perbuatan melanggar hukum, Bank juga dimungkinkan diancam pidana dengan menggunakan delik lain, yakni pengungkapan keterangan mengenai nasabah Debitur dapat dipersangkakan sebagai kejahatan rahasia jabatan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 322 KUHP, yang lengkapnya berbunyi: Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu. Dari dasar-dasar dan alasan sebagaimana dibahas di muka, maka keterangan mengenai Nasabah Debitur juga merupakan keterangan yang harus dirahasiakan, dimana kewajibannya timbul dari hubungan kontraktual antara Bank dengan Nasabah Debitur. Dengan demikian karena sifat kerahasiaan keterangan mengenai Nasabah Debitur lahir dari perjanjian (implied term, Pasal 1339 KUHPerdata), pengungkapannya haruslah memenuhi kualifikasi-kualifikasi tertentu pula yang disepakati antara Nasabah
Debitur dan bank. Sedangkan alasan lain yang memperkuat bahwa keterangan mengenai Nasabah Debitur merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan adalah tidak adanya ketentuan UUP/1998 yang secara tegas mewajibkan Bank untuk memberikan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada siapapun dan untuk kepentingan apapun. Dengan demikian keterangan mengenai Nasabah Debitur bukanlah keterangan yang terbuka bagi siapa saja dan untuk kepentingan apapun, sehingga terdapat syarat dan kondisi yang membatasi bank untuk memberikan keterangan mengenai Nasabah Debitur dan Pinjamannya. Persoalannya kini adalah syarat dan kondisi apa yang membolehkan pengungkapan tersebut? Untuk membahas pertanyaan tersebut, karena sejalan dengan pemikiran sistem hukum Common Law, di mana kewajiban merahasiakan timbul sebagai implied term dari perjanjian (kewajiban yang bersifat perdata), maka tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan penggunaan kerangka berpikir sistem hukum Common Law dalam hal pengungkapan keterangan mengenai Nasabah Debitur ini. Dalam yurisprudensi Inggris, terdapat satu kasus klasik yang dipakai sebagai standar kualifikasi bagi pengungkapan keterangan mengenai nasabah, bahkan yurisprudensi ini pun pada akhirnya menjadi standar pula bagi hampir semua Negara Persemakmuran (Commonwealth), yakni putusan perkara Tournier v. National Provincial and Union Bank of England, 1924 (yang dikenal juga dengan sebutan Tournier’s Case). Dari putusan Tournier’s Case dapat diklasifikasikan bahwa Bank berhak untuk mengungkapkan keterangan mengenai nasabahnya bilamana memenuhi salah satu dari empat syarat/kondisi sebagai berikut: Where disclosure is under compulsion by law. Where there is a duty to the public to disclose. Where the interest of the bank require disclosure. Where the disclosure is made with the express or implied consent of the customer. Penjelasan dari keempat syarat/kondisi tersebut, beserta contohnya adalah: Pertama, bilamana pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum, misalnya dalam hal Bank dimintai bukti dalam pemeriksaan pengadilan, atau untuk kepentingan penyidikan. Dalam hal penyidikan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Bank dapat mengungkapkan keterangan mengenai Nasabah Debitur kepada penyidik sebagai berikut: Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang, yakni di antaranya: (i) Pejabat PNS tertentu di lingkungan Direktorat jenderal Pajak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan (Pasal 44 (1) UU No. 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan); (ii) Pejabat PNS tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Kepabeanan (Pasal 112 (1) UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan); (iii) Pej abat PNS tertentu di lingkungan Bapepam untuk melakukan penyidikan tidak pidana di bidang Pasar Modal (Pasal 101 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal). Kedua, bilamana bank berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat/publik, misalnya dalam hal dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mana Bank mengungkapkan keterangan mengenai
Nasabah Debitur tertentu dan pinjamannya untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai adanya dugaan terjadinya penyelewengan kredit oleh Bank terhadap Nasabah Debitur tertentu. Ketiga, bilamana pengungkapan dikehendaki demi kepentingan Bank (Where the interest of the bank require disclosure), misalnya Bank demi kepentingan sendiri dapat mengungkapkan kepada pengadilan dalam pemeriksaan sengketa antara bank dengan seorang penjamin (guarantor) Nasabah Debitur. Keempat , bilamana nasabah memberikan persetujuannya (Where the disclosure is made with the express or implied consent of the customer), misalnya dalam hal Nasabah memberikan referensi-referensi bank kepada pihak lain, atau Nasabah memberikan kewenangan kepada bank untuk mengungkapkan urusanurusannya dalam rangka membantu akuntannya.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, IBI, Jakarta, 1993. Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH, Hak Tanggungan Asas dan Permasalahan Yang Dihadapi Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 1, YPHB, Jakarta, 1997.