MATA KULIAH HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA
HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA DI AMERIKA SERIKAT DAN PERBANDINGANNYA DENGAN INDONESIA
TENGKU MUHAMAD DERIZAL
1306380393
HIMAMUL A’LA
1306402772
JOURDAN PHILLIP D. S.
1306410061
MADE WAHYU ARTHALUHUR
1306450172
DHIMAS NUGROHO P.
1306450600
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM SARJANA REGULER DEPOK 2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur tak lupa kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas rahmat dan karunia-Nya, makalah yang berjudul “Hukum Acara Persaingan Usaha di Amerika Serikat dan Perbandingannya dengan Indonesia” ini dapat disusun dan diselesaikan oleh tim penulis yang mana makalah ini merupakan tugas kelompok yang diberikan oleh tim pengajar Hukum Persaingan Usaha pada pembelajaran Semester Pendek tahun 2015 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Tim Penulis menyadari bahwa betapa pentingnya bagi kami untuk memahami Hukum Acara Persaingan Usaha di Amerika Serikat secara keseluruhan sehingga kami dapat membandingkannya dengan Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia yang mana hal tersebut dapat digunakan sebagai bahan untuk kemajuan hukum di Indonesia. Kami juga mengharapkan makalah ini dapat berguna bagi kami sendiri (Tim Penulis) dan juga civitas academica lainnya untuk memahami Hukum Acara Persaingan Usaha yang ada di Amerika Serikat sehingga setelah memahaminya, diharapkan bisa menambah wawasan mengenai Hukum Persaingan Usaha. Akhir kata, Tim Penulis mengucapkan terimakasih dan maaf sebesarbesarnya apabila terdapat kata-kata didalam makalah yang kurang berkenan atau terdapat kesalahan dalam penulisan. Tim Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna dan terdapat kekurangan dalam penulisannya. Tim penulis berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat berupa Ilmu Pengetahuan bagi pembacanya.
Depok, 1 Agustus 2015
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................... i Daftar Isi ............................................................................................................... ii Bab I Pendahulan ............................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2 1.3 Tujuan .............................................................................................................. 3 Bab II Pembahasan .............................................................................................. 4 2.1 Sejarah Hukum Acara Persaingan Usaha di Amerika Serikat.......................... 4 2.2 Hukum Acara Persaingan Usaha di Amerika Serikat....................................... 9 2.2.1 Hukum ............................................................................................... 9 2.2.2 Lembaga Hukum ............................................................................. 11 2.2.3 Prosedur Beracara Umum ............................................................... 12 2.2.4 Prosedur Beracara Khusus .............................................................. 14 2.3 Perbandingan Hukum Acara Persaingan Usaha di Amerika Serikat dengan di Indonesia .................................................................................................... 17 2.3.1 Dasar Hukum .................................................................................. 17 2.3.2 Lembaga Hukum ............................................................................. 18 2.3.3 Prosedur Beracara ........................................................................... 19 Bab III Penutup .................................................................................................. 22 3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 22 Daftar Pustaka .................................................................................................... 24
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pasar yang bebas dan terbuka adalah dasar dari ekonomi yang hidup. Persaingan agresif antara penjual di pasar terbuka memberikan konsumen – baik individu dan para pengusaha - manfaat harga yang lebih rendah, produk yang lebih tinggi kualitas serta layanannya, lebih banyak pilihan, dan inovasi yang lebih besar. Penggerak dari pasar yang bebas adalah persaingan. Saat persaingan bekerja, maka ekonomi pasar bekerja juga. Banyak penjual, berlomba-lomba untuk menggaet pelanggan, harus menghasilkan barang dan jasa dengan kualitas yang cukup, dan pada harga yang dapat diterima, atau terusir dari pasar. Bahwa kebutuhan memaksa mereka untuk menjadi seefisien mungkin, untuk membeli apa yang disebut input tenaga kerja dan bahan material- di harga yang terendah, dan menggunakannya sedemikian rupa untuk mencapai total biaya produksi yang seminimal mungkin. Akan tetapi, terkadang persaingan itu gagal, untuk salah satu dari tiga alasan: baik pemerintah, sebagai suatu kebijakan, memilih untuk menekan itu, misalnya, dengan merebut bagi dirinya kekuasaan untuk mencetak uang; atau persaingan memadamkan dirinya sendiri, menciptakan kebutuhan untuk regulasi dari pemerintah, seperti misalnya di bagian industri listrik; atau para pengusaha di pasar menumbangkan persaingan dan dengan demikian mencegah kekuatan pasar beroperasi secara bebas. Disaat persaingan gagal, maka pemerintah memiliki dua pilihan. Hal ini bisa melindungi konsumen dari penyalahgunaan pasar dengan langsung mengatur perusahaan dengan kekuatan monopoli atau mengembalikan kekuatan persaingan melalui penegakan hukum persaingan usaha yang mencegah pesaing dari bersekongkol untuk menentukan harga tertentu atau perusahaan tertentu dari mendominasi pasar. Preseden awal pada tindakan pemerintah untuk melestarikan pasar yang 1
kompetitif dapat ditemukan dalam perlakuan awal Inggris terhadap praktek yang monopolistik. Pemerintahan James I pertama kali melihat statuta, lalu peradilan, tantangan kepada hibah monopoli dari kerajaan, yang dilihat sebagai hal yang tidak sesuai dengan Konstitusi Inggris. Pada saat yang sama, antipati pengadilan untuk pembatasan privat menebabkan praktek perdagangan tidak berkembang dengan pesat. Berbagai larangan dalam Common Law yang menyebabkan pembatasan perdagangan datang melewati lautan ke “Dunia Baru” dibawa oleh para pemukim dari Inggris. Tapi itu tidak sampai setelah Perang Saudara, orang-orang Amerika merasa benarbenar cemas tentang kurangnya alat yang efektif untuk membatasi penyalahgunaan monopoli. Pada saat usaha di Amerika mendapatkan kebesaran, kekuatan, dan dalam beberapa kasus, dominasi pasar pada paruh terakhir abad kesembilan belas, oposisi terhadap monopoli membuat momentum untuk dikembangkan sebagai isu politik baik di tingkat federal dan tingkat negara. Perusahaan minyak “Standard Oil” yang besar, diikuti oleh gula, wiski, dan kombinasi lainnya, mengambil bentuk “trust” – mengumpulkan kekuatan voting dari para pemegang saham di tangan seorang “managing trustee”. Upaya untuk mengendalikan kepentingan-kepentingan yang kuat tersebut dikenal sebagai "antitrust law”.
1.2 Rumusan Masalah Dewasa ini, ekonomi merupakan permasalahan utama dan pertama bagi pemerintah di berbagai belahan dunia oleh karena itu dibutuhkan suatu regulasi untuk mencegah adanya monopoli dan kartel yaitu dalam bentuk hukum persaingan usaha. Untuk menegakkan hukum materil ini maka dibutuhkan hukum formil yaitu hukum acara persaingan usaha. Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap sukses sebagai promotor dari pasar bebas dan kompetisi yang terbuka pastilah memiliki regulasi yang baik. Maka dari itu , kami ingin memahami bagaimana hukum acara persaingan usaha di Amerika Serikat dan perbadingannya dengan di Indonesia. Berikut merupakan inti permasalahan yang akan kami bahas : 2
A. Bagaimana Sejarah dan Hukum Acara Persaingan Usaha di Amerika Serikat? B. Bagaimana Hukum Acara Persaingan Usaha di Amerika Serikat? C. Bagaimana Perbandingannya dengan di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan Berdasarkan Rumusan Masalah, tujuan pembuatan makalah ini tentunya adalah: 1. Memahami sejarah dan hukum acara persaingan usaha di Amerika Serikat secara keseluruhan. 2. Mengetahui perbedaan dan persamaan hukum acara persaingan usaha di Amerika Serikat dengan di Indonesia.
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Hukum Acara Persaingan Usaha Di Amerika Serikat Kebijakan mengenai hukum persaingan usaha bukanlah hal yang baru diakui oleh negara-negara di dunia. Di Amerika serikat sudah lama sekali berlaku undangundang yang melarang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sebelum berlakunya undang-undang itu, yaitu sebelum adanya Sherman Act pada tahun 1890, putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat telah memberikan putusan-putusan mengenai larangan praktik-praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berdasarkan common law. Bahkan satu tahun ke belakang, yaitu sejak tahun 1889, Kanada sudah mengundangkan Canada Combines Act, yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Larangan mengenai praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diatur dalam berbagai undang-undang yang disebut Antitrust Law. Di Amerika Serikat, selain Sherman Act, dikenal pula Clayton Act, Robinson-Patman Act, dan Federal Trade Commission Act. Sherman Act diundangkan sehubungan dengan meluasnya kartelisasi (cartelization) dan monopolisasi (monopolization) dalam ekonomi Amerika Serikat. Pasal 1 dari undang-undang itu melarang dilakukannya pembuatan perjanjianperjanjian (contract), penggabungan (combination) dalam bentuk trust atau bentuk lainnya, atau melakukan persekongkolan (conspiracy) yang bertujuan menghambat kegiatan usaha para pesaingnya, yaitu tindakan yang lazim disebut sebagai restraint of trade.1 Dengan adanya Sherman Act, pemerintah memperoleh kekuasaan atas industri swasta dari undang-undang antitrust, kumpulan peraturan yang ditujukan untuk mengekang kekuasaan monopoli. Dengan adanya Sherman Act, kekuasaan pasar dari 1
Robert H. Bork dan Ward S. Bowman, “The Crisis in Antitrust,” Columbia Law Review, Vol. 65, No. 3 (Maret, 1965), hlm. 375
4
berbagai konglomerasi swasta yang besar dan kuat, yang di masa itu dipandang sangat dominan dalam perekonomian dapat dikontrol dari perilaku-perilaku diskrminatif yang merugikan konsumen akibat kekuatan monopolisitik atau oligopolistik yang mereka peroleh dari posisi dominan di pasar. Sebagaimana didefinisikan oleh Mahkamah Agung AS, undang-undang Antitrust adalah “suatu perjanjian komprehensif yang bebas dan tidak terganggu sebagai prinsip utama perdagangan.2 Seperti dikemukakan oleh Eleanor M. Fox dan Lawrence A. Sullivan yang mengutip pendapat hakim dalam kasus United States v. Topco Associates, yang menyatakan bahwa Antitrust Law di Amerika Serikat adalah Magna Carta bagi sistem free enterprise : 3 Antitrust Law in general, and the Sherman Act in particular are the Magna Carta of
free enterprise. They are as important to the preservation
economic freedom and
our free-enterprise system as the Bill of
protection of our fundamental
personal freedoms. And the
of
Rights to freedom
guaranteed each and every business, no matter
how small, is the
freedom to
compete- to assert with vigor, imagination,
devotion, and ingenuity whatever
economic muscle it can muster. Implicit in such freedom is the notion that it cannot be foreclosed
with respect to one
sector of
certain pivate citizens or groups believe that such
the economy because foreclosure
might
promote greater competition in a more important sector of the economy Pada tahun 1914 kongres mengundangkan Clayton Act untuk memperkuat Sherman Act dan khususnya ditujukan kepada praktik-praktik yang bersifat ofensif (offensive practices) termasuk diskriminasi harga. Section 2 dari undang-undang ini melarang penjual melakukan diskriminasi harga terhadap para pembeli yang membeli barang-barang yang sama kualitasnya apabila perbuatan itu mengakibatkan secara 2
John Wright, The Ethics of Economic Rationalism, (Sydney: University of New South Wales Press, 2003), hlm. 123-124. 3 Dennis W. Carlton, “A General Analysis of Exclusionary Conduct and Refusal to Deal – Why Aspen and Kodak are Misguided,” Working Paper, National Bureau of Economic Research, hlm. 2
5
berarti berkurangnya persaingan atau dapat menimbulkan praktik monopoli. Tujuan dari Section 2 ini adalah untuk melindungi para pengusaha kecil terhadap penetapan harga yang rendah yang dilakukan oleh mereka yang memiliki posisi dominan yang bertujuan untuk menyingkirkan para pengusaha kecil. Kebutuhan untuk mengatur larangan mengenai praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berkaitan erat dengan atau seringpula dikatakan berazaskan konsepsi mengenai ekonomi pasar bebas (free market economy) yang diperkenalkan oleh Adam Smith lewat bukunya ,”The Wealth Of Nation”. Konsepsi mengenai ekonomi pasar bebas tadi dilahirkan oleh Smith sebagai resistensinya terhadap kondisi perekonomian di Inggris yang lebih mengedepankan customary economy ketimbang market economy. Pada waktu itu pasar dikendalikan oleh rajaraja, ratu-ratu, dan anggota parlemen, serta bangsawan-bangsawan yang mendapatkan hak istimewa berdasarkan garis keturunan maupun tradisi. Hal tersebut berdampak pada maraknya praktik monopoli yang memiliki ekses terhadap diskriminasidiskriminasi di bidang ekonomi, terutama yang amat dirasakan oleh pedagang kecil dan menengah. Teori ekonomi pasar bebas atau sering pula disebut sebagai laissez faire yang dikembangkan saat itu antara lain beranggapan bahwa hukum tidak boleh mencampuri kebebasan berusaha sekalipun apabila mereka bersama-sama menaikkan harga-harga. Menurut teori tersebut, sepanjang perjanjian di antara mereka dibuat secara sukarela tanpa tekanan, pasar akan dengan sendirinya mampu memperbaiki distorsi yang terjadi.4 Teori ekonomi pasar bebas yang diperkenalkan oleh Adam Smith tadi berkaitan erat dengan kondisi pasar yang kompetitif atau biasa dikenal sebagai pasar persaingan sempurna. Dalam pasar persaingan sempurna, terdapat banyak perusahaan yang beroperasi untuk menjual barang dengan karakteristik yang serupa. Kemampuan mereka untuk mengatur harga pasar hampir tidak ada karena mekanisme penawaran 4
Liyang Hou, “Refusal to Deal within EU Competition Law,” hlm. 2, http://ssrn.com/abstract= 1623784
6
(supply) dan permintaan (demand) sendirilah yang akan menentukan harga terbaik yang bisa dicapai oleh pasar (price equilibrium), dalam artian ketika mereka menaikkan harga maka kemungkinan mereka akan kehilangan sejumlah pembeli yang mencari perusahaan atau penjual yang menjual dengan harga lebih murah. Selain itu, karakteristik lain dari kondisi pasar yang bersaing secara sempurna adalah informasi dengan luas tersedia kepada penjual maupun pembeli, mudah masuk dan keluar dari pasar, eksternalitas di luar pasar yang dapat berujung menganggu kinerja pasar terbatas, infrastruktur di dalam pasar layak, dan kontrak yang dibuat antara penjual dan pembeli dapat dengan mudah dilaksanakan (contracts can be enforced easily). Ketika karakteristik-karakteristik ini terpenuhi, maka sebuah pasar akan bekerja secara efisien dan akan tercapai maksimalisasi keuntungan baik dari sisi penjual maupun pembeli (total welfare).5 Antitesis dari pasar persaingan sempurna adalah pasar monopolistik. Inti perbedaan antara suatu perusahaan kompetitif dan suatu monopoli adalah kemampuan suatu monopoli untuk mempengaruhi harga pasar dari biaya yang dijualnya. Suatu perusahaan di dalam pasar persaingan sempurna terhitung relatif kecil terhadap pasar di mana perusahaan tersebut beroperasi, sehingga harus menerima harga sebagaimana diberikan oleh kondisi-kondisi pasar. Sebaliknya, karena suatu monopoli adalah produsen satu-satunya di pasarnya, monopoli dapat mengubah harga barangnya dengan menyesuaikan jumlah barang yang ditawarkan pada pasar. Maka, perusahaan di pasar persaingan sempurna sering disebut sebagai penerima harga (price taker), karena menerima harga pasar sebagaimana adanya, sedangkan perusahaan monopoli disebut pembuat harga (price maker), karena membuat standar harga barang yang dijualnya menurut standarnya sendiri.6 Kemampuan perusahaan monopoli sebagai pembuat harga tadi seringkali disalahgunakan untuk membuat pembeli membeli dengan harga yang teramat tinggi. 5
Ibid. Knud Hansen et al., Undang-Undang No. 5 Tahun 1999: Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: GTZ, 2002), hlm. 289 6
7
Perusahaan monopoli juga sangat mungkin untuk melakukan diskriminasidiskriminasi harga terhadap pembeli. Ada pula kemungkinan monopoli di pasar tadi dilahirkan dari dilakukannya perjanjian-perjanjian tertentu antara beberapa pelaku usaha yang bertujuan mematikan persaingan (anticompetitive arrangements) seperti misalnya membentuk pembentukan kartel yang bersama-sama sepakat menentukan harga (price-fixing cartels). Tentunya pihak yang paling dirugikan dari perilakuperilaku tadi adalah pembeli yang harus membayar harga yang terkadang tidak masuk akal.7 Berlandaskan dari kebutuhan untuk mereduksi ekses negatif yang mungkin timbul dari perusahaan monopoli, tujuan yang hendak dicapai dengan dibuatnya berbagai undang-undang mengenai larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju yang telah sangat berkembang masyarakat korporasinya seperti Amerika Serikat dan Jepang, adalah untuk menjaga kelangsungan persaingan (competition). Persaingan perlu dijaga eksistensinya demi tercapainya efisiensi, baik bagi masyarakat konsumen maupun bagi setiap perusahaan. Persaingan akan mendorong setiap perusahaan untuk melakukan kegiatan usahanya dengan sefisien mungkin agar dapat menjual barang-barang dan atau jasajasanya dengan semurah-murahnya dalam rangka bersaing dengan perusahaanperusahaan lain yang menjadi pesaingnya di pasar, maka keadaan itu akan memungkinkan setiap konsumen membeli barang yang paling murah yang ditawarkan di pasar yang bersangkutan. Dengan terciptanya efisiensi bagi setiap perusahaan, pada gilirannya efisiensi tersebut akan menciptakan pula efisiensi bagi masyarakat konsumen. Terdapat banyak interpretasi yang kurang lebih bermaksud sama tentang tujuan dari hukum persaingan usaha. Sebagai contoh adalah yang diberikan oleh
7
Ibid., hlm. 291
8
Gellhorn dan Kovacic sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh Antitrust Law Amerika Serikat, yaitu :8 The antitrust law seek to control the exercise of profit economic power by preventing
monopoly, punishing cartels, and otherwise protecting competition.
Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-undang Antimonopoli Jepang, yaitu UU No. 54 Tahun 1947 sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir diubah dengan UU No. 421 Tahun 1991, tujuan dari diadakannya undang-undang itu adalah untuk : 9 This law … aims to promote free and fair competition to stimulate the initiative of
entrepreneurs, to encourage business avtivities of enterprise, to
heighten the
level of employment and national income, and thereby to promote the
democratic
and
assure the interest of the
wholesome development of national economy as well as to general consumer.
2.2. Hukum Acara Persaingan Usaha di Amerika Serikat
2.2.1 Hukum Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan mengenai sejarah singkat hukum acara persaingan usaha di Amerika Serikat, dimulai dengan disusunnya Sherman Act sebagai aturan hukum yang menjadi dasar terselenggaranya persaingan usaha yang sehat. Dalam perkembangan selanjutnya terbentuklah Antitrust Law yang merupakan suatu rangkaian peraturan perundang-undangan tambahan sekaligus penguat bagi Sherman Act yang ketika itu sedang guncang menghadapi fenomena pengelompokan industri-industri berbentuk trust yang cenderung mengakibatkan pemusatan kekuatan ekonomi dan menutup celah persaingan.
8
Hou, “Refusal to Deal within EU…,” hlm. 1 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), “Roundtable on Refusals to Deal”, hlm. 193, www.oecd.org/dataoecd/44/35/43644518.pdf 9
9
Pada bagian ini akan dibahas lebih lanjut mengenai implementasi dari hukumhukum acara persaingan usaha yang berlaku di Amerika Serikat seperti yang telah tersebut di atas. Mengenai aturan hukumnya secara garis besar terdapat tiga aturan hukum besar yang menjadi pedoman bagi penegakan hukum acara persaingan usaha di Amerika Serikat, yaitu Sherman Act, Clayton Act, dan Federal Trade Commission Act. Sherman Act mengatur mengenai masalah monopoli, percobaan monopoli, perjanjian kontrak yang tidak tidak masuk akal, serta price fixing. 10Per se unlawful restraints include direct price-fixing or bid-rigging between competitors as well as the division of customners or markets. Dalam undang-undang ini dikatakan Act bersifat per se, artinya dalam praktek di pengadilan tidak mengenal adanya pembenaran dari pelaku usaha terlapor. Dalam praktek Sherman Act menyangkut segi hukum perdata maupun pidana dengan sanksi denda yang bisa mencapai seratus juta dollar bagi perusahaan, satu juta dollar bagi perseorangan, hingga pidana sepuluh tahun penjara. Clayton Act mengatur mengenai masalah-masalah spesifik yang belum diatur oleh Sherman Act sebelumnya, seperti masalah merger perusahaan hingga pelanggara direksi perusahaan yang bermain dengan perusahaan pesaing. Selain itu Clayton Act juga melarang berbagai bentuk diskriminasi harga, pelayanan, monopoli, dll. Dalam Clayton Act juga diatur mengenai kewenangan pelaku usaha untuk menuntu ganti rugi kepada pelaku usaha lain yang dianggap telah melanggar Sherman Act maupun Clayton Act dan kewenangan pelaku usaha untuk memohon dikeluarkannya pernyataan pengadilan yang berisi larangan atas praktek anti persaingan untuk jangka waktu ke depan. Federal Trade Commission Act berdasarkan isinya mengatur mengenai caracara yang tidak sehat dalam persaingan. Menurut Mahkamah Agung pelanggaran atas Sherman Act sama saja melanggar ketentuan FTC, meskipun FTC tidak secara teknis 10
John H. Shenefield, Irwin M. Stelzer, The Antitrust Laws A Primer Fourth Edition, The AEI Press, Washington D.C., 2001, hlm. 17
10
menegakkan Sherman Act. Artinya apa yang diatur dalam FTC ini juga sudah diatur dalam Sherman Act sebelumnya.
2.2.2 Lembaga Hukum Selanjutnya akan dibahas mengenai lembaga yang menegakkan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat. Secara umum ada dua lembaga yang samasama aktif dalam proses penegakan hukum, yaitu United States Department of Justice dan Federal Trade Commision. Kedua lembaga di atas bekerja dalam sektor-sektor yang berbeda, misalnya FTC yang hanya memfokuskan kerjanya di sektor ekonomi seperti pelayanan jasa, pangan, energi, dan elektronik. Sebelum melakukan penyelidikan kedua lembaga biasanya akan melakukan koordinasi dahulu guna menghindari bentrok wewenang antara keduanya. DOJ sendiri hanya fokus di sektor seperti telekomunikasi, transportasi, bank, dll. Selain itu, hanya DOJ yang bisa menjatuhkan sanksi pidana. Federal Trade Commision merupakan lembaga yang berbentuk komisi independen dan terbebas dari campur tangan pemerintah.
11
FTC bertugas untuk
menjaga pasar yang kompetitif untuk konsumen dan pelaku usaha. FTC dalam prakteknya terbagi lagi menjadi beberapa biro yang masing-masing memiliki spesialisasi tersendiri, yaitu biro perlindungan konsumen, biro persaingan, dan biro ekonomi. Meskipun setiap biro memegang spesialisasi yang berbeda-beda satu sama lainnya, namun ketiga biro tersebut tetap bekerjasama khususnya dalam aktivitas advokasi FTC. Selain kedua lembaga di atas juga ada lembaga lain yang dapat menegakkan hukum persaingan usaha, yaitu negara bagian dan pihak swasta. Negara bagian dalam hal ini tentu saja menangani masalah persaingan usaha yang masuk ke dalam wilayahnya, seperti masalah konsumen dan pelaku usaha lokal. Yang menjadi subjek
11
Dr. Andi Fahmi Lubis, SE, ME, dkk., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks, GTZ Gmbh, 2009, hlm. 319
11
berperkara termasuk penduduk lokal di negara bagian bersangkutan atau negara bagian itu sendiri. Pihak swasta juga bisa ikut serta dalam menegakkan hukum apabila dalam lapangan
menemukan
kecenderungan
atau
tindakan-tindakan
yang
dinilai
bertentangan dengan hukum persaingan usaha yang ada, yaitu terbatas pada Sherman Act dan Clayton Act. Seperti yang telah disinggung di atas pihak swasta bahkan bisa memohon pernyataan dari pengadilan yang menyatakan telah terjadinya praktek anti persaingan oleh pelaku usaha lain. Dari berbagai lembaga hukum di atas bisa disimpulkan bahwa lembaga penegak hukum persaingan usaha Amerika Serikat terbagi menjadi dua, yaitu lembaga hukum publik dan lembaga hukum privat. 12US public enforcement is comparatively decentralized. Artinya untuk lembaga hukum publiknya cenderung terdesentralisasi.
2.2.3 Prosedur Beracara Umum Dalam memulai penyelidikan setiap baik DOJ maupun FTC memiliki kekuatan yang sama. Sebelum mengajukan tuntutan. Ketika akan memutuskan apakah akan menuntut atau tidak, kedua lembaga dapat terlebih dahulu memanggil dan meminta penjelasan kepada pelaku usaha mengenai perkara dimana penjelasan tersebut dapat dibantah oleh lembaga. Dalam kesempatan ini pihak pelaku usaha dan kuasa hukumnya juga dapat memberikan penjelasan yang paling meringankannya. Pertemuan ini merupakan tahap pertama antara lembaga penegak hukum dengan pihak pelaku usaha, selanjutnya masih ada pertemuan lain yang biasanya dihadiri oleh pejabat tinggi dari lembaga penegak hukum bersangkutan. Dalam pertemuan kedua ini seakan-akan masing-masing pihak sudah siap untuk berperkara dalam pengadilan, sehingga masing-masing melengkapi diri dengan berkas-berkas yang kuat. Apabila kedua pertemuan masih gagal mencapai hasil, maka lembaga penegak hukum akan melakukan penuntutan.
12
Keith N. Hylton, Antitrust Law and Economics, Edward Elgar, Cheltenham, hlm. 5
12
Tahapan selanjutnya adalah tahap penuntutan, kedua lembaga hukum memiliki pilihan untuk menerapkan aturan pidana Sherman Act sesuai dengan sistem per se. Tidak jarang mereka juga menerapkan aturan pidana diluar apa yang terkandung dalam Sherman Act. Lembaga penegak hukum selanjutnya berusaha mencari berbagai informasi yang bersumber dari beberapa bekas pegawai dari perusahaan terlapor atau konsumen-konsumen dari pelaku usaha bersangkutan. Bahkan tidak jarang lembaga penegak hukum mendapat informasi dari pelaku usaha lain yang ternyata sama-sama melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan oleh pelaku usaha terlapor, hal ini mengingat pelaku usaha yang mau bekerja sama itu menginginkan keringanan yang akan diberikan oleh penegak hukum. Jika pada akhirnya dirasa perkara mengandung unsur pidana yang berat, lembaga penegak hukum bisa melibatkan lembaga penegakan hukum diluar persaingan usaha lain, seperti FBI atau lembaga lainnya yang memiliki keahlian dalam bidang penyelidikan dan penyidikan, serta dapat dimulainya proses penangkapan. Keyakinan penyidik menentukan besar kecilnya denda yang akan dikenakan serta berapa lama pidana penjara yang harus dijatuhkan pada pihak tertentu yang dianggap paling bersalah dalam perkara. Tahapan selanjutnya adalah persidangan ke Pengadilan Negeri, di mana lembaga penegak hukum berusaha meyakinkan hakim dan juri. Dalam pelaksanaan sidang seperti biasanya di mana diahadirkan sederet saksi, saksi ahli, dokumendokumen penting, dan pelaku usaha yang didampingi kuasa hukumnya. 13Because of the Speedy Trial Act, the division’s criminal prosecutions are somewhat more accelerated, but even there the investigative phase may last more than a year. Dalam sidang dianut asas Speedy Trial atau peradilan singkat sehingga meskipun perkaranya pidana, harus tetap diselesaikan dengan cepat, meskipun proses penyidikan yang ditempuh sebelumnya jauh lebih lama.
13
John H. Shenefield, Irwin M. Stelzer, The Antitrust Laws A Primer Fourth Edition, The AEI Press, Washington D.C., 2001, hlm. 28
13
Secara garis besar baik lembaga penegak hukum maupun pengadilan memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan hukum persaingan usaha. Dalam proses persidangan pengadilan berpedoman pada aturan hukum persaingan usaha yang ada, sejarah pembentukan undang-undang, dan putusan yang pernah diputus pengadilan sebelumnya sesuai dengan asas preseden. Proses perkembangan hukum persaingan usaha sangat penting bagi dunia investasi
dan rencana pembangunan ke depan.
Pelaku usaha dengan bantuan kuasa hukumnya dapat mencermati berbagai prospek usaha yang ada beserta hukum yang mengaturnya. Kembali ke proses persidangan apabila pelaku usaha tidak ingin terlibat dalam proses persidangan yang dianggapnya berbelit, maka mereka bisa memenuhi tuntutan lembaga penegak hukum. Contohnya pelaku usaha bisa saja menghapuskan beberapa unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian yang telah mereka buat apabila unsur tersebut dinilai tidak sesuai dengan aturan hukum persaingan usaha oleh lembaga penegak hukum. Perilaku pelaku usaha lainnya seperti membayar sejumlah uang denda yang ditetapkan sebagai akibat pelanggaran atas aturan hukum persaingan usaha dalam kegiatannya. Upaya penyelesaian diluar pengadilan dalam perkara yang memuat unsur pidana cenderung lebih sulit meskipun ada sistem plea bargain yang dianut. Ujung-ujungnya pelaku usaha dan pihak-pihak yang terlibat tetap akan dijatuhi tuntutan denda yang tidak kecil atau bahkan pidana penjara yang tidak sebentar.
2.2.4 Prosedur Beracara Khusus Diatas telah disinggung mengenai dua macam lembaga penegak hukum acara persaingan usaha Amerika Serikat lainnya yaitu negara bagian dan pihak swasta, berikut akan dibahas lebih lanjut. Untuk setiap negara bagian di Amerika Serikat pada umumnya dalam penegakan hukum persaingan usaha dipimpin oleh jaksa agung beserta staff yang terdiri dari sederet pengacara. Sebagian besar negara bagian memiliki institusi tersendiri yang khusus mengatur sanksi pidana dalam penegakan
14
hukum persaingan usaha, sedangkan pidana penjara justru jarang diberlakukan. Di sisi lain sanksi denda merupakan yang paling lazim dijatuhkan. Kasus persaingan usaha di negara bagian bisa diadili di negara bagian itu sendiri atau juga bisa dilimpahkan ke Pengadilan Negeri mengingat skala perkara yang lebih besar. 14A state can also institute federal class-action suits, and under a special provision of federal law, the state may file suit as parents-patriae-literally, as father of the country-to recover damages for injuries to state residents. Ketika mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri negara bagian akan berusaha memulihkan kerugian yang dideritanya dan juga memungkinkan dibentuknya tuntutan class action. Tidak jarang jaksa agung dari berbagai negara bagian saling bekerja sama satu sama lain membentuk suatu perkumpulan penegak hukum persaingan usaha dalam rangka pembahasan mengenai suatu masalah yang berskala besar. Ini juga bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum persaingan usaha di daerah tertentu antar negara-negara bagian. Adapun aturan hukum persaingan usaha negara bagian tidak jarang serupa dengan aturan hukum persaingan usaha nasional. Namun demikian meskipun isi dari aturan hukum negara bagian tersebut mirip dengan aturan hukum nasionalnya, dalam prioritas pelaksanaannya berbeda dengan apa yang terdapat dalam aturan hukum nasionalnya. Hal ini menyebabkan implementasi aturannya di lapangan pun ikut berbeda, mengingat skala perkara yang ditangani negara bagian umumnya juga lebih kecil dibandingkan yang ditangani secara nasional. Dalam perkembangan selanjutnya, baik lembaga penegak hukum persaingan usaha umum dan lembaga penegak hukum persaingan usaha negara bagian bisa saja saling bekerja sama di suatu kesempatan, tetapi pada kesempatan lain tidak jarang keduanya justru bertentangan dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara keduanya.
14
John H. Shenefield, Irwin M. Stelzer, The Antitrust Laws A Primer Fourth Edition, The AEI Press, Washington D.C., 2001, hlm. 109
15
Selanjutnya akan dibahas mengenai pihak swasta selaku lembaga penegak hukum persaingan usaha khusus. Menurut bagian keempat Clayton Act di sana diberikan hak bagi setiap pihak swasta untuk dapat ikut serta dalam menegakkan hukum persaingan usaha melalui cara-cara yang diatur lebih lanjut.
15
A successful
plaintiff is entitled to treble damages. Salah satu upaya tersebut adalah mengajukan tuntuan ganti rugi tiga kali lipat kepada lawannya. Meskipun demikian upaya pengajuan tuntutan ganti rugi tiga kali lipat itu masih mengandung kontroversi, terutama mengenai efektivitas ganti ruginya dan keseragaman pemberlakuannya. Hal ini menuntut pemerintah untuk lebih ketat menegakkan hukum sehingga pihak swasta tidak perlu repot mengajukan tuntutannya sendiri. Di sisi lain banyak yang beranggapan bahwa hal ini bisa membantu pekerjaan penegak hukum umum, terutama dalam daerah-daerah terpencil yang jauh dari pusat dan jenis usaha yang kecil. Mengenai tuntutan ganti rugi tiga kali lipat berbagai pihak beranggapan upaya hukum seperti ini bisa menumbuhkan kesewenang-wenangan dalam menuntut. Seringkali tuntutan ganti rugi tiga kali lipat itu sebenarnya tidak sebanding dengan kerugian sebenarnya yang diderita pelaku usaha pelapor, dan lebih memilih jalan itu ketimbang mereka harus memilih jalur meja hijau yang mereka anggap nantinya kurang memberikan ganti rugi yang memuaskan. Menanggapi hal ini pemerintah melalui hukum nasional membatasi pengajuan tuntutan ganti rugi tiga kali lipat dengan cara memperketat syarat dan prasayarat bagi pihak yang merasa dirugikan dan memang dirasa sangat perlu untuk mengajukan tuntutan ganti rugi demikian. Contohnya adalah harus ada akibat atau kerugian nyata yang diderita oleh pelapor. Namun demikian dalam hal tuntutan gantu rugi demikian yang dilakukan secara class action, di mana kedudukan pihak terlapor akan semakin tersudut adalah suatu kondisi yang wajar, sebab perkaranya menyangkut kepentingan banyak orang. 15
John H. Shenefield, Irwin M. Stelzer, The Antitrust Laws A Primer Fourth Edition, The AEI Press, Washington D.C., 2001, hlm. 111
16
2.3 Perbandingan Hukum Acara Persaingan Usaha di Amerika Serikat dengan di Indonesia
2.3.1 Dasar Hukum Jika di Amerika Serikat dasar hukum yang menjadi pedoman dalam penegakan hukum persaingan usaha adalah didasarkan pada Sherman Act, Clayton Act, dan Federal Trade Commission Act, di Indonesia selain berdasarkan pada UU No 5 Tahun 1999 dan SK No 05/KPPU/KEP/IX/2000 tentang tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap UU No 5 Tahun 1999, yang kemudian diubah menjadi menjadi Peraturan Komisi No 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU (Perkom 1/2006).16Meskipun dalam prosedurnya dinyatakan adanya penyelidikan oleh KPPU, tidak dijelaskan apakah penyelidikan tersebut mengikuti ketentuan dalam KUHAP atau tidak sehingga dapat dikatakan prosedur penanganan di KPPU hanya mengacu kepada kedua peraturan tersebut saja.Hukum acara persaingan usaha di Indonesia juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No.3/2005 dalam hal terjadi keberatan terhadap putusan KPPU. Jika membandingkan kedua sumber hukum tersebut, sebenarnya seperti membandingkan antara dua sistem hukum, yaitu common law dan civil law.Ditinjau dari bentuknya, Sherman Act, Clayton Act, dan Federal Trade Commission Act merupakan suatu statute yang dibuat oleh lembaga legislatif Amerika Serikat.Hal ini sama dengan UU No 5 tahun 1999, mengingat undang – undang merupakan produk legislatif juga.Namun ketiga statute tersebut bukanlah merupakan suatu acuan yang mutlak terhadap berbagai kasus persaingan usaha.Hal ini disebabkan Amerika Serikat adalah negara federal, sehingga tiap negara bagian juga dapat memiliki hukumnya sendiri asalkan tidak bertentangan dengan hukum negara.Sehingga tiap – tiap negara bagian dapat memiliki hukum persaingan usahanya sendiri dengan karakteristik yang
16
Dr. Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, KPPU : Jakarta, hlm. 325
17
berbeda – beda namun tetap isinya harus berdasarkan hukum negara, yang dalam hal ini adalah ketiga statute tersebut. Sedangkan adanya Peraturan Mahkamah Agung no 3 tahun 2005 sebagai prosedur apabila terdapat keberatan sebenarnya adalah tuntutan dari sistem hukum kita yang menuntut adanya suatu peraturan perundang – undangan.Di Amerika Serikat ketentuan – ketentuan seperti itu yang mengenai prosedur – prosedur beracara tidak dibuat kedalam bentuk peraturan perundang – undangan, melainkan hanya dibuat sebagai suatu standard operating procedures atau SOP saja.
2.3.2 Lembaga Hukum Seperti dipaparkan sebelumnya, di Amerika Serikat terdapat lembaga lembaga hukum yang berwenang dalam penegakkan hukum persaingan usaha, yaitu United States Department of Justice (DOJ) divisi antitrust dan Federal Trade Commision (FTC), negara bagian masing masing, dan pihak swasta yang menemukan indikasi – indikasi antipersaingan maupun mengalaminya sendiri.DOJ sendiri merupakan suatu departemen kehakiman, atau bisa juga dikatakan sebagai kementrian kehakimannya Amerika Serikat.Sedangkan FTC adalah suatu lembaga independen yang bebas dari tanggung jawab pemerintahan Amerika Serikat.Baik DOJ maupun FTC masing – masing memiliki sektor kerja yang berbeda – beda seperti yang dibahas sebelumnya.Di dalam FTC terdapat biro – biro khusus yang membagi tugas dari setiap anggota komisi FTC tersebut.FTC dalam hal ini bertanggung jawab terhadap kongres.17 Jika dilihat dari karakteristik kelembagaannya, FTC memiliki kemiripan dengan KPPU di Indonesia.Keduanya sama – sama bertanggung jawab terhadap legislatif (FTC terhadap kongres dan KPPU terhadap DPR) dan sama – sama merupakan lembaga quasi – peradilan, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan atau fungsi campuran, misalnya memiliki fungsi legislatif dan administratif ataupun
17
Ibid hlm 318
18
campuran fungsi lainnya.Perbedaannya adalah FTC memiliki beberapa biro – biro didalamnya sedangkan KPPU tidak. Adanya negara bagian ini menyebabkan timbulnya hukum persaingan usaha yang memiliki karakteristik berbeda pada tiap negara bagian.Berbeda dengan di Indonesia yang bukan negara federal sehingga penegakan hukum persaingan usaha adalah hanya mengacu pada UU no. 5 tahun 1999 dan peraturan – peraturan yang diterbitkan oleh KPPU. Mengenai pihak – pihak swasta, sama seperti di Amerika Serikat, di Indonesia pihak – pihak swasta tersebut juga dapat membantu dalam penanganan kasus – kasus persaingan usaha dengan melaporkan apabila mengetahui adanya indikasi – indikasi praktek antipersaingan di masyarakat.18
2.3.3 Prosedur Beracara Mengenai prosedur beracara, di Amerika Serikat, mula – mula harus ditentukan terlebih dahulu jenis kasus tersebut adalah kasus apa.Penanganan perkara baik melalui FTC ataupun melalui Department of Justice seperti sudah dijelaskan pada bab sebelumnya adalah tergantung kepada jenis kasus antipersaingan tersebut.Apabila terdapat kasus yang berkaitan dengan pelayanan jasa, pangan, energi, dan elektronik, maka ini merupakan lahan bagi FTC.Sedangkan apabila kasusnya menyangkut hal hal yang sifatnya public atau menyangkut orang banyak maka DOJ yang berwenang akan kasus tersebut.Sedangkan di Indonesia semua kasus antipersaingan adalah wewenang dari KPPU terlebih dahulu, baru kemudian apabila terdapat keberatan wewenang beralih ke pengadilan negeri.Kembali pada prosedur di Amerika, tiap negara bagian memiliki prosedur beracaranya sendiri yang memiliki karakteristik masing – masing.Namun perkara pada negara bagian tersebut dapat dilimpahkan ke pengadilan federal.Tiap – tiap negara bagian ini juga dapat bersama – sama menangani suatu kasus. Hal ini terlihat seperti suatu class action.
18
Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU No 5 tahun 1999
19
Selanjutnya setelah mengetahui kasusnya, prosedur selanjutnya di Amerika Serikat baik FTC maupun DOJ dapat memanggil meminta penjelasan kepada pelaku usaha mengenai perkara tersebut. Dalam kesempatan ini pihak pelaku usaha dan kuasa hukumnya juga dapat memberikan penjelasan yang paling meringankannya.Ini mirip seperti pemeriksaan pendahuluan pada prosedur di melalui KPPU yang diatur dalam pasal 39 UU no 5 tahun 1999. Tahap selanjutnya pada prosedur di Amerika Serikat adalah pertemuan lanjutan seperti pada pertemuan pertama, namun pada tahap ini masing – masing pihak sudah dilengkapi dengan berbagai berkas – berkas sehingga terlihat seperti sedang dalam pengadilan, pada tahap ini masing – masing pihak seperti bermusyawarah untuk menemukan solusi untuk perkara ini. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka akan berlanjut ke tahap penuntutan yang dilakukan oleh kedua lembaga tersebut.Proses ini pada prosedur oleh KPPU mirip dengan tahap pemeriksaan lanjutan dimana KPPU melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha.hanya saja tahap pemeriksaan lanjutan ini tidak menghasilkan putusan, berbeda dengan tahap kedua pada prosedur di Amerika Serikat yang sepertinya bisa selesai pada tahap kedua itu.Jadi dalam hal ini baik FTC – DOJ mauapun KPPU sebenarnya memiliki fungsi untuk dapat menyelesaikan sendiri perkara tanpa bantuan lembaga yudikatif, terlepas dari adanya keberatan yang mungkin diajukan oleh pelaku usaha.Yang perlu diingat adalah pada putusan KPPU perlu dimintakan fiat eksekusi atau dimintakan penetapan eksekusinya ke Pengadilan Negeri agar dapat berkekuatan hukum tetap19.Sedangkan pada FTC maupun DOJ sampai saat ini dibeberapa literatur yang kami gunakan, kami tidak menemukan adanya ketentuan fiat ekskusi tersebut. Tahapan selanjutnya pada prosedur di Amerika Serikat adalah tahapan penuntutan oleh FTC mauapun DOJ.Pada tahap ini perlu digaris bawahi perbedaan hak menuntut yang dimiliki oleh kedua lembaga tesebut.FTC hanya bisa melakukan penuntutan yang bersifat perdata, yang sanksinya bersifat administratif sedangkan 19
Dr. Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, KPPU : Jakarta, hlm. 331
20
DOJ dapat menuntut secara pidana maupn secara administratif.Perbedaannya antara menuntut secara pidana dan administratif ada pada jenis hukumannya dimana secara pidana maka hukumannya kurungan, sedangkan secara administrative akan membayar denda sesuai dengan yang ditentukan.Sedangkan pada prosedur di Indonesia tahap selanjutnya apabila keberatan dengan putusan KPPU adalah dengan mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri, yang selanjutnya apabila keberatan lagi maka dapat diajukan ke MA.Apabila pelaku usaha tersebut tidak menerima putusan namun tidak juga mengajukan keberatan, maka KPPU dapat meminta bantuan penyidik untuk menyelidiki hal tersebut, ataupun peyidik tersebut nantinya juga dapat melakukan penuntutan.Kewenangan KPPU untuk meminta bantuan lembaga lain inipun juga dimiliki oleh FTC maupun DOJ.FTC maupun DOJ dapat meminta bantuan FBI atau penyidik terkait apabila terdapat kasus dengan skala yang besar. Tahapan selanjutnya adalah tahapan pengadilan.Di Amerika Serikat tahapan pengadilan mengenai masalah antipersaingan adalah sama sistemnya dengan pengadilan pada umumnya, namun disini pengadilannya bersifat cepat (speedy trial).Begitu pula dengan pengadilan di Indonesia, yang sedikit berbeda pada pengadilan pada umumnya, yang diatur dalam Peraturan MA nomor 3 tahun 2005.
21
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Di Amerika serikat sudah lama sekali berlaku undang-undang yang melarang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sebelum berlakunya Sherman Act pada tahun 1890, putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat telah memberikan putusan-putusan mengenai larangan praktik-praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berdasarkan common law. Larangan mengenai praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Amerika diatur dalam berbagai undang-undang yang disebut Antitrust Law. Di Amerika Serikat, selain Sherman Act, dikenal pula Clayton Act, Robinson-Patman Act, dan Federal Trade Commission Act. Lembaga yang menegakkan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat. Secara umum ada dua lembaga yang sama-sama aktif dalam proses penegakan hukum, yaitu United States Department of Justice (DOJ) dan Federal Trade Commision (FTC). Kedua lembaga di atas bekerja dalam sektor-sektor yang berbeda. Selain kedua lembaga di atas juga ada lembaga lain yang dapat menegakkan hukum persaingan usaha, yaitu negara bagian dan pihak swasta. Hukum acara persaingan usaha di Amerika mengatur dalam memulai penyelidikan setiap baik DOJ (Department of Justice) maupun FTC (Federal Trade Commision) memiliki kekuatan yang sama. Dimana sebelum mengajukan tuntutan. Ketika akan memutuskan apakah akan menuntut atau tidak, kedua lembaga dapat terlebih dahulu memanggil dan meminta penjelasan kepada pelaku usaha mengenai perkara dimana penjelasan tersebut dapat dibantah oleh lembaga. Selanjutnya dalam pertemuan kedua yang biasanya dihadiri oleh pejabat tinggi dari lembaga penegak hukum bersangkutan. Dalam pertemuan kedua ini masingmasing pihak masing-masing melengkapi diri dengan berkas-berkas yang kuat.
22
Apabila kedua pertemuan masih gagal mencapai hasil, maka lembaga penegak hukum akan melakukan penuntutan. Jika di Amerika Serikat dasar hukum yang menjadi pedoman dalam penegakan hukum persaingan usaha adalah didasarkan pada Sherman Act, Clayton Act, dan Federal Trade Commission Act, di Indonesia selain berdasarkan pada UU No 5 Tahun 1999 dan Peraturan Komisi No 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU (Perkom 1/2006. Hukum acara persaingan usaha di Indonesia juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No.3/2005 dalam hal terjadi keberatan terhadap putusan KPPU. Prosedur beracara, di Amerika Serikat, ditentukan terlebih dahulu jenis kasus tersebut adalah kasus apa. Penanganan perkara baik melalui FTC ataupun melalui DOJ. Sedangkan di Indonesia semua kasus antipersaingan adalah wewenang dari KPPU (Komisi Pengawas persaingan Usaha) terlebih dahulu, baru kemudian apabila terdapat keberatan wewenang beralih ke Pengadilan Negeri.
23
DAFTAR PUSTAKA Dennis W. Carlton, “A General Analysis of Exclusionary Conduct and Refusal to Deal – Why Aspen and Kodak are Misguided,” Working Paper, National Bureau of Economic Research. Dr. Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, KPPU : Jakarta, 2009. John H. Shenefield, Irwin M. Stelzer, The Antitrust Laws A Primer Fourth Edition, The AEI Press, Washington D.C., 2001 John Wright, The Ethics of Economic Rationalism, (Sydney: University of New South Wales Press, 2003 Keith N. Hylton, Antitrust Law and Economics, Edward Elgar, Cheltenham Knud Hansen et al., Undang-Undang No. 5 Tahun 1999: Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: GTZ, 2002 Liyang Hou, “Refusal to Deal within EU Competition Law,” hlm. 2, http://ssrn.com/abstract= 1623784 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), “Roundtable
on
Refusals
to
Deal”,
hlm.
193,
www.oecd.org/dataoecd/44/35/43644518.pdf Robert H. Bork dan Ward S. Bowman, “The Crisis in Antitrust,” Columbia Law Review, Vol. 65, No. 3, 1965. Undang-undang No 5 tahun 1999 Tentang “Hukum Persaingan Usaha”.
24