UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS KELOMPOK PERKEMBANGAN TEORI HUKUM PIDANA
TEMA : KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA
DI BIDANG PEREKONOMIAN: INDONESIA DAN 2
NEGARA LAINNYA
JUDUL : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
DI INDONESIA, AMERIKA SERIKAT DAN INGGRIS
ANGGOTA KELOMPOK:
M. Furqon Wicaksono 1606845993
Nurul Fauziah Hambali 1606846245
Anisa Rahmasari 1606933900
Leonardo K. Da Silva 1606934304
Zephaniah Ben Evan Sianturi 1606934733
Fakultas Hukum
Program Magister Reguler
2016
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Masalah Hukum 2
C. Pertanyaan Penelitian 3
D. Tujuan Penelitian 3
E. Metode Penelitian 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia 10
B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Amerika Serikat 11
C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Inggris 13
BAB III PEMBAHASAN 15
A. Kasus PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) 15
1. Kasus Posisi 15
2. Analisis Kasus 17
B. Kasus ConAgra Grocery Product Company, LCC. 19
1. Kasus Posisi 19
2. Analisis Kasus 24
C. Kasus Tesco Supermarket Ltd. V Nattrass 24
1. Kasus Posisi 24
2. Analisis Kasus 25
BAB IV PENUTUP 27
A. Kesimpulan 27
B. Saran. 30
DAFTAR PUSTAKA 31
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia ketika diajak berbicara tentang kejahatan,
gambaran yang ada pada benak mereka adalah kejahatan yang bersifat
tradisional atau konvensional, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencurian,
penipuan, penganiayaan, yang korbannya bersifat perseorangan. Mereka kurang
memahami bahwa sebenarnya ada jenis kejahatan lain yang jika dilihat dari
jumlah korbannya bisa bersifat massal, demikian juga dengan kerugian yang
dialami. Itulah yang disebut dengan kejahatan korporasi. Pandangan
masyarakat yang demikian adalah tidak salah, karena melalui media massa
baik itu media cetak maupun media elektronik masyarakat lebih banyak
disuguhi tempilan kasus-kasus konvensional.
Korporasi ini di dalam melakukan kegiatannya bergerak dalam berbagai
bidang kehidupan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada satu bidang
kehidupan pun yang bukan urusan korporasi. Bahkan setiap kebutuhan kita
mulai sejak masih di dalam kandungan maupun ketika sudah meninggal dunia
tidak lepas dari cengkeraman korporasi.
Kejahatan korporasi merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan
kejahatan konvensional. Dahulu orang hanya terpatri pada pemikiran bahwa
pelaku tindak pidana atau kejahatan-kejahatan itu hanya dilakukan oleh
orang-orang yang miskin, orang-orang berpendidikan rendah, dari kalangan
masyarakat kumuh yang bertempat tinggal di pinggiran kota atau desa dan
lain-lain.
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum
pidana untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya hukum
perdata sebagai badan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal
entities atau corporation. Namun, dalam hukum pidana pengertian korporasi
tidak hanya mencakup badan hukum, seperti perseroan terbatas, yayasan,
koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang
digolongkan sebagai korporasi. Menurut hukum pidana, firma, perseroan
komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap juga termasuk korporasi.
Kongres PBB VII pada tahun 1985, membicarakan jenis kejahatan dalam
tema "Dimensi Baru Kejahatan Dalam Konteks Pembangunan". Selain itu,
melihat gejala kriminalitas yang merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan
dan pertumbuhan ekonomi di mana korporasi banyak berperan di dalamnya,
seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan
asuransi, penipuan iklan yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi
perekonomian suatu negara. Berdasarkan perkembangan dan pertumbuhan
korporasi yang berdampak negatif tersebut, kedudukan korporasi mulai
bergeser dari hanya subyek hukum perdata menjadi termasuk juga subyek hukum
pidana
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana perlu diperhatikan secara teliti. Karena korporasi dewasa ini
semakin memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya
dalam bidang perekonomian. Kegiatan bisnis ataupun dunia usaha pada umumnya
merupakan landasan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat
kompetisi. Berkembangnya perekonomian dan dunia usaha yang semakin pesat,
menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan disertai dengan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
B. Masalah Hukum
Kasus tindak pidana korporasi yang akan dibahas oleh Penulis di
antaranya tindak pidana korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari
Banjarmasin yang dilakukan oleh PT. Giri Jaladhi Wana tahun 2010,
pencemaran makanan oleh ConAgra Food Company yang menarik kembali selai
kacang dengan merk Peter Pan yang mereka produksi, karena terindikasi
bakteri Salmonella sehingga menyebabkan sekitar 300-600 orang terinfeksi
gastrointestinal tahun 2007, dan kelalaian seorang manajer toko supermarket
di Inggris. Munculnya dampak negatif ini, diakibatkan karena korporasi
terlalu mengejar keuntungan yang cukup besar dengan tidak memperhatikan
asas kehati-hatian dalam menjalankan usahanya.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang dan permasalahan hukum tersebut di
atas, maka terdapat 3 (tiga) pertanyaan penelitian hukum yang akan kami
angkat, sebagai berikut:
1. Apakah teori-teori yang digunakan di dalam penyelesaian ketiga kasus di
atas?
2. Bagaimana pembuktian pertanggungjawaban pidana bagi ketiga korporasi
tersebut?
3. Apa saja bentuk pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang, permasalahan hukum dan pertanyaan
penelitian di atas, maka tujuan penelitian makalah ini, sebagai berikut:
A. Untuk mengetahui teori-teori yang digunakan di dalam penyelesaian ketiga
kasus di atas.
B. Untuk mengetahui pembuktian pertanggungjawaban pidana bagi ketiga
korporasi tersebut.
C. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pidana yang dijatuhkan oleh Majelis
Hakim.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normative, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi
yang legistis positivistis, konsepsi yuridis memandang hukum sebagai
identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh
lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain itu konsepsi tersebut
melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, terhadap
dan terlepas dari kehidupan masyarakat, maka konsep tersebut
mengkonstruksikan hukum sebagai refleksi.[1]
2. Spesifikasi Penelitian
Penelitian lebih bersifat deskriptif, spesifikasi penelitian deskriptif
oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan
sebagai berikut:
"Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya
tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum."[2] Spesifikasi
penelitian secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran suatu
realitas yang terjadi di lapangan mengenai penerapan pertanggungjawaban
korporasi
dalam tindak pidana korporasi di beberapa negara.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia
dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
4. Sumber Data
Sumber Data Sekunder:
i. Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya memiliki
suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer terdiri dari
peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, catatan resi, lembar
negara dan risalah.[3] Bahan hukum primer yang digunakan antara lain:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
b. UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
c. Betting Gaming and Lotteries Act 1963
d. The Trades Description Act 1968
e. Model Penal Code
ii. Bahan Hukum Sekunder
Merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer, seperti pustaka di bidang ilmu hukum, artikel-
artikel ilmiah, majalah ilmiah, makalah seminar, hasil-hasil pertemuan
ilmiah dan bahan dari internet mengenai tindak pidana korporasi dan
pertanggungjawaban korporasi di beberapa negara.
5. Metode Pengumpulan Data
Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan mempelajari
buku-buku pustaka, makalah-makalah, dan peraturan perundang-undangan yang
ada kaitannya dengan pokok masalah yang menjadi obyek penelitian.
6. Metode Penyajian Data
Bahan yang diperoleh akan disajikan secara deskriptif dalam bentuk
uraian yang disusun secara sistematis, yang didahului dengan pendahuluan
yang berisi latar belakang masalah, masalah hukum, pertanyaan penelitian,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan diteruskan
dengan analisa data dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan kesimpulan.
7. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu dengan
menjabarkan dan menafsirkan data-data berdasarkan norma dan teori-teori
ilmu hukum pidana yang disusun secara logis yang relevan dengan
permasalahan yang diajukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara etimologi kata "korporasi" (Belanda : corporatie, Inggris :
corporation, Jerman: korporation) berasal dari kata "corporatio" dalam
bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan
"tio", maka corporatio sebagai kata benda berasal dari kata kerja
corporate. Corporate sendiri berasal dari kata corpus yang berarti
memberikan badan atau membadankan. Corporatio diartikan sebagai hasil dari
pekerjaan membadankan, perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang
diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia,
yang terjadi menurut alam.[4]
Menurut kamus hukum sebagaimana dikutip oleh N.H.T Siahaan, korporasi
adalah suatu perkumpulan atau organisasi, yang oleh hukum diperlakukan
seperti seorang manusia (persona), ialah sebagai pengemban hak dan
kewajiban; memiliki hak menggugat atau digugat dimuka pengadilan.[5]
Sedangkan, menurut Subekti dan Tjitrosudiro yang dimaksud dengan
korporasi (corporatie) adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum.
Dan menurut Wirjono Prodjodikoro korporasi adalah suatu perkumpulan orang,
dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang
manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota mana
juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota
sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.[6]
Terkait dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai pelaku
tindak pidana, menurut Rolling sebagaimana dikutip oleh Muladi dkk, bahwa
badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana
perbuatan terlarang yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan
hukum (korporasi) dilakukan dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan
badan hukum tersebut. Menurutnya, kriteria ini didasarkan pada delik
fungsional. Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan delik
fungsional adalah delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana
sosial ekonomi di mana dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial
atau ekonomi tertentu harus dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada
kelompok-kelompok fungsionaris tertentu.[7]
Kedudukan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan sifat
pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban
korporasi antara lain:[8]
1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya
penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana;
2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana tetapi pengurus yang harus
memikul pertanggungjawaban pidana;
3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan kororasi itu sendiri yang
harus memikul pertanggungjawaban pidana; dan
4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan
keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
Dalam usaha meminta pertanggungjawaban korporasi, telah lahir sejumlah
doktrin pertanggungjawaban, di antaranya adalah:[9]
1. Identification Doctrine. Pertanggungjawaban pidana korporasi menurut
hukum Inggris (paling tidak untuk kejahatan yang melibatkan niat) adalah
dengan the identification doctrine. Menurut doktrin ini, bila seorang
yang cukup senior dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi
melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan
niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat
diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban
secara langsung.
2. Vicarious Liability. Menurut doktrin ini, bila seorang agen atau pekerja
korporasi, bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk
menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab
pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Maka sepanjang seseorang
tersebut bertindak dalam bidang pekerjaannya dan telah melakukan suatu
kejahatan, maka perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Hal
ini akan mencegah perusahaan melindungi dirinya dari tanggung jawab
kriminal dengan melimpahkan kegiatan illegal tersebut hanya kepada
pekerjanya saja. Kejahatan semacam ini berhubungan dengan masalah yang
berkaitan dengan polusi, perlindungan terhadap konsumen, makanan, obat-
obatan, kesehatan dan keselamatan. Untuk kejahatan semacam ini, menemukan
kesalahan pada pihak pelaku tidak diperlukan. Dalam hal ini, masih sulit
untuk mendukung doktrin vicarious liability untuk seluruh kejahatan,
khususnya yang serius seperti manslaughter.
3. Strict liability. Menurut doktrin ini, seseorang sudah dapat
dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri
orang itu tidak ada mens rea. Secara singkat, strict liability diartikan
sebagai liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa
kesalahan). Menurut L. B. Curson, dokrtin strict liability ini didasarkan
pada alasan-alasan sebagai berikut:[10]
a. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting
tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.
b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran
yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial.
c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang
bersangkutan.
4. Attribution Liabilty. Kemajuan dalam penerapan doktrin identifikasi
telah melahirkan doktrin atribusi. Doktrin ini lahir setelah penanganan
kasus Meridian Global Funds Management Asia Ltd v Securities Commission
oleh The Privy Council.[11] Doktrin ini pada umumnya dibagi menjadi 2
(dua) bagian besar, yaitu:
a. Primary criteria for attribution. Bahwa suatu korporasi
bertanggungjawab ketika tindakan yang dilakukan oleh organ atau
karyawannya tersebut, dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi
korporasi atau kepentingan korporasi dan ketika tindakan tersebut
dilakukan melanggar tugas korporasi; dan
b. Secondary criteria for attribution. Bahwa suatu korporasi dapat
bertanggungjawab atas tindakan dari pembuat keputusan apabila
pengambil keputusan melakukan tindakan yang melawan hukum dan
melakukan suatu pelanggaran dalam proses pengambilan keputusan serta
melihat kedudukan mereka sebagai pengambil keputusan.[12]
Dapat dikatakan bahwa, doktrin ini mengadopsi doktrin identifikasi dan
vicarious liability. Dipenuhinya unsur-unsur dan syarat-syarat untuk
dapat membebankan pertanggungjawabannya kepada korporasi, yaitu:
a) Dilakukan oleh personil korporasi yang memiliki posisi sebagai
directing mind korporasi;
b) Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
c) Tindak pidana dilakukan pelaku atau atas perintah pemberi printah
dalam rangka tugasnya dalam korporasi;
d) Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi; dan
e) Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau
pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia
Pengakuan korporasi (recht persoon) sebagai subjek hukum dalam hukum
pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis. Terdapat 2 (dua) alasan
mengapa kondisi tersebut terjadi. Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori
fiksi (fiction theory) oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai
kesatuan-kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian
sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi-korporasi,
ataupun lembaga-lembaga tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan,
tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia.[13]
Kedua, masih dominannya asas universalitas delinguere non potest yang
berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem
hukum pidana di banyak negara. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad
ke-19, di mana kejahatan menurut hukum pidana selalu diisyaratkan dan
sesungguhnya hanya kejahatan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan
individualisasi KUHP. Dalam konteks KUHP yang hingga saat ini masih
diberlakukan di Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi
kemunculan Pasal 59 KUHP yang menyiratkan bahwa subjek tindak pidana yaitu
korporasi belum dikenal dan yang diakui sebagai subjek dalam tindak pidana
secara umum adalah orang.[14]
Adapun tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana
di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Belanda. Pada
tahap pertama dalam W.v.S. Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan
ketentuan tersebut rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KHUP. Hal ini
dipengaruhi oleh asas universitas delingquere nonpotest, yaitu sifat delik
yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.[15]
KUHP yang digunakan Indonesia hingga saat ini belum mengenal konsep
pertanggungjawaban korporasi. Pelaku, pertama-tama ialah ia yang
melaksanakan bagian-bagian dari delik, yang memenuhi semua syarat yang
dirumuskan dalam rumusan delik. Pribadi kodrati sebagai subjek hukum pidana
juga terlihat dari rumusan pasal yang selau menggunakan redaksi
"barangsiapa", "seorang", atau "orang yang melakukan kejahatan". Meskipun,
di dalam KUHP Indonesia korporasi bukanlah suatu subjek hukum pidana, namun
dalam beberapa undang-undang, korporasi telah dijadikan subjek hukum
pidana.
Dalam perkembangannya, korporasi telah menjadi subyek hukum pidana
dalam berbagai peraturan perundang-undangan, di antaranya yaitu:[16]
a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen; dan
d) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Amerika Serikat
Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi di Amerika Serikat mengacu
pada Model Penal Code, Official Draft and Explanatory Notes, yang
diterbitkan oleh The American Law Institutes, 1985. Di Amerika Serikat,
korporasi diterima sebagai subjek hukum pidana sejak tahun 1909 dalam kasus
New York Central and H.R.R v. United States. Pengadilan tidak mengalami
kesulitan dalam mendefinisikan niat dari kejahatan ini pada suatu fiksi
hukum. Pengadilan negara bagian New York menggunakan doktrin respondeat
superior/doktrin vicarious, yang menyatakan bahwa korporasi dapat dimintai
pertanggungjawaban jika salah satu pegawainya melakukan kejahatan dalam
lingkup pekerjaannya dan kejahatan tersebut dilakukan untuk keuntungan
korporasi.
Pandangan ini terus digunakan hingga hari ini. Setelah munculnya
putusan ini, dan tekanan dari para jaksa di Amerika Serikat, seluruh aturan
dalam hukum pidana yang berlaku kepada setiap orang ikut berlaku kepada
korporasi.[17] Hingga hari ini ruang lingkup dari pertanggungjawaban
korporasi di Amerika Serikat cukup besar. Korporasi dapat dihukum karena
melakukan tindak pidana umum, termasuk penipuan, pencucian uang, serta
tindakan lain yang dapat dianggap sebagai kejahatan kerah putih.[18]
Terdapat dua hukum yang berlaku di Amerika Serikat untuk hukum pidana,
yaitu pada tingkat negara bagian dan tingkat federal. Di bawah federal law,
korporasi dapat diminta pertanggungjawabannya atas tindakan ilegal yang
dilakukan oleh pegawai atau agen korporasi jika dapat dibuktikan bahwa (1)
perbuatan individu berada dalam lingkup tugasnya dan (2) perbuatan individu
bertujuan untuk memberi keuntungan bagi korporasi.[19]
Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi di Amerika
Serikat apabila terbukti melakukan tindak pidana adalah denda dan hukuman
lain yang bersifat moneter (seperti restitusi dan remediasi), hukuman non-
moneter, hukuman yang bergantung pada putusan hakim, sanksi perdata dan
administrasi, dan dalam beberapa kasus, hukuman reputasional.[20]
C. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Inggris
Di Inggris, sejak tahun 1944 telah mantap pendapat bahwa suatu
korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik sebagai pembuat atau
peserta untuk tiap delik, meskipun disyaratkan adanya mens rea dengan
menggunakan asas identifikasi. Dengan demikian, berbeda dengan di
Indonesia, pertanggungjawaban korporasi tidak terbatas hanya pada delik-
delik tertentu, meskipun tidak semua delik dapat dilakukan oleh
korporasi.[21]
Inggris termasuk negara yang banyak diikuti oleh negara-negara lain
dalam hal sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Kasus hukum terkenal
yang terjadi di Inggris berkaitan dengan penerapan sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi adalah Tesco Supermarket Ltd. V.
Nattrass, [1972] AC 153. Menurut hukum pidana Inggris, terlepas dari
tanggungjawab mereka sebagai pelaku atau sebagai peserta dalam tindak
pidana, sebuah korporasi mungkin diharuskan bertanggungjawab secara pidana.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jika suatu
pelanggaran berdasarkan undang-undang telah dilakukan oleh sebuah
korporasi, terbukti telah dilakukan oleh persekutuan atau dengan sengaja
dibiarkan terjadi oleh perusahaan atau dapat dikaitkan dengan kelalaian di
pihak direktur, manajer, sekretaris atau pejabat lain pada tingkat yang
sama dalam korporasi itu, korporasi harus dinyatakan bersalah melakukan
pelanggaran itu.[22]
Meskipun hal ini umumnya memperluas tanggungjawab yang diberlakukan
oleh undang-undang pidana terhadap pelaku pelanggaran atau pihak lain yang
turut serta, hal ini benar-benar dapat menjangkau para pelaku tindak pidana
dan mungkin juga membuat tugas penuntutan perkara pidananya menjadi lebih
mudah di mana tanggungjawab pembuktian berdasarkan prinsip yang lazim
digunakan akan sulit diterapkan.[23] Sikap menyetujui dan membiarkan
dilakukannya pelanggaran itu pada umumnya tumpang-tindih dengan tindakan
yang berupa membantu dalam melakukan pelanggaran dan menganjurkannya, akan
tetapi semua itu mungkin lebih mudah dibuktikan dengan menggunakan Betting
Gaming and Lotteries Act 1963 Section 53 dan The Trades Description Act
1968.[24]
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW)
1. Kasus Posisi
PT. Giri Jaladhi Wana (PT. GJW) selaku korporasi melakukan kerjasama
kontrak bagi tempat usaha dengan Pemerintah Kota Banjarmasin untuk
pembangunan Pasar induk Antasari berdasarkan surat perjanjian kerjasama
Nomor 664/I/548/Prog; No. 003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 antara
Walikota Banjarmasin (pihak kesatu) dengan PT. Giri Jaladhi Wana (pihak
kedua), yang diwakili oleh St. Widagdo (SW) selaku Direktur Utama dan
Bonafacius Tjiptomo Subekti (BTS) selaku Direktur.
Dalam perjanjian kerjasama Nomor 664/I/548/Prog; Nomor
003/GJW/VII/1998 tanggal 14 Juli 1998 PT. GJW berkewajiban membangun
Pasar Induk Antasari dan fasilitas penunjangnya berupa toko, kios, los,
dan lain–lain, dengan total 5.145 unit. Namun, dalam pelaksanaanya PT.
GJW membangun, menjual, dan mengelola toko, kios, los, dan lain-lain
dengan total 6.045 unit, tanpa persetujuan Pemerintah Kota Banjarmasin
dan tidak menyetorkan hasil penjualan kelebihan pembangunan pasar dengan
jumlah 900 Unit dengan harga Rp 16.691.713.166,00 (Enam Belas Milyar Enam
Ratus Sembilan Puluh Satu Juta Tujuh Ratus Tiga Belas Ribu Seratus Enam
Puluh Enam Rupiah).
Dalam perjanjian kerja dimaksud, Terdakwa, PT. GJW juga mempunyai
kewajiban kepada Pemerintah Kota Banjarmasin untuk membayar retribusi
sebesar Rp. 500.000.000,- (Lima Ratus Juta Rupiah) untuk membayar
penggantian uang sewa Rp.2.500.000.000.- (Dua Milyar Lima Ratus Juta
Rupiah) dan membayar pelunasan kredit Inpres Pasar Antasari
Rp.3.750.000.000.- (Tiga Milyar Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah).
Jumlah keseluruhan yang harus dibayar Rp.6.750.000.000.- (Enam Milyar
Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah), tetapi Terdakwa PT. GJW hanya
membayar sebesar Rp.1.000.000.000.-, (Satu Milyar Rupiah), sehingga masih
terdapat kekurangan sebesar Rp. 5.750.000.000.- (Lima Milyar Tujuh Ratus
Lima Puluh Juta Rupiah) yang seharusnya disetor ke kas Pemerintah Kota
Banjarmasin. Namun, Terdakwa, PT. GJW tidak bisa menyanggupi dengan
alasan bahwa pada tahun 2004 pembangunan Pasar Sentra Antasari belum
selesai.
Di lain pihak, PT. Bank Mandiri yang memberikan Kredit Modal Kerja
kepada PT. GJW, menyatakan melalui Konsultan Pengawas Proyek Antasari
yang diminta PT. Bank Mandiri memberikan laporan, bahwa PT. GJW telah
menyelesaikan 100% proses pembangunan Pasar Sentra Antasari pada bulan
September 2004 dan mendapatkan surplus Rp. 64.579.000.000,00 (Enam Puluh
Empat Milyar Lima Ratus Tujuh Puluh Sembilan Juta Rupiah) dari hasil
penjualan toko, kios, los, dan lain-lain.
PT. GJW juga menggunakan aset Pemerintah Kota Banjarmasin berupa tanah
dan bangunan pasar tersebut untuk jaminan mendapatkan Kredit Modal Kerja
(KMK) dari PT. Bank Mandiri sebesar Rp. 100.000.000.000,00 (Seratus
Milyar Rupiah), dengan agunan seluruh bangunan Pasar Sentra Antasari
milik Pemerintah Kota Banjarmasin. Dari hasil penjualan dan Kredit Modal
Kerja dari PT. Bank Mandiri, PT. GJW memiliki uang sebesar Rp.
164.579.000.000,00 (Seratus Enam Puluh Empat Milyar Lima Ratus Tujuh
Puluh Sembilan Juta Rupiah). Akan tetapi, PT. GJW tidak menyetorkan uang
yang menjadi hak Pemerintah Kota Banjarmasin Sebesar Rp. 5.750.000.000,00
(Lima Milyar Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah).
Serangkaian tindakan yang dilakukan oleh PT. GJW sebagaimana diuraikan
di atas, telah merugikan keuangan negara, dalam hal ini Pemerintah Kota
Banjarmasin sebesar Rp 7.332.361.516,00 (Tujuh Milyar Tiga Ratus Tiga
puluh Dua Juta Tiga Ratus Enam Puluh Satu Ribu Lima Ratus Enam Belas
Rupiah) dan Bank Mandiri sebesar Rp 199.536.064.675,00 (Seratus Sembilan
Puluh Sembilan Milyar Lima Ratus Tiga Puluh Enam Juta Enam Puluh Empat
Ribu Enam Ratus Tujuh Puluh Lima Rupiah).
2. Analisis Kasus
Pengajuan PT. GJW sebagai subyek hukum tindak pidana korupsi adalah
hal yang dimungkinkan oleh UU PTPK. Hal ini kemudian dipertimbangkan oleh
majelis hakim yang mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PTPK. PT.
GJW adalah korporasi yang berbentuk perseroan terbatas, sehingga
berstatus sebagai badan hukum. Sebagaimana diketahui, PT. GJW sebagai
korporasi dengan bentuk perseroan terbatas bertindak melalui organnya.
Khusus untuk kepengurusan perseroan terbatas, organ yang ditunjuk ialah
direksi.[25] Dalam hal ini, perbuatan-perbuatan PT. GJW diwakili oleh SW
selaku Direktur Utama dan BTS selaku Direktur.
Perbuatan PT. GJW melalui direktur utama dan direkturnya memiliki
kaitan dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Pasal 20 ayat (2) UU PTPK
untuk menyatakan kapan tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi.
Syarat pertama ialah adanya hubungan kerja. SW dan BTS adalah orang-orang
yang memiliki hubungan kerja dengan PT. GJW yaitu mengurus korporasi agar
usaha korporasi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan korporasi
sehingga mereka disebut sebagai pengurus korporasi (kedudukan
fungsional). Syarat kedua ialah perbuatan yang dilakukan oleh keduanya
masih dalam ruang lingkup usaha korporasi. Ruang lingkup PT. GJW dapat
dilihat dari anggaran dasar. PT. GJW merupakan korporasi yang bergerak di
bidang perdagangan, industri, agrobisnis, pengadaan barang, jasa,
transportasi, pembangunan, design interior.[26] Pembangunan Pasar
Antasari dan permohonan kredit kepada Bank Mandiri dalam rangka
pembangunan pasar masih berada dalam ruang lingkup usaha PT. GJW. Oleh
karena itu, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh PT. GJW melalui
direktur utama dan direkturnya telah memenuhi syarat dalam Pasal 20 ayat
(2) UU PTPK.
Terkait dengan penggunaan teori pertanggungjawaban pidana korporasi,
menurut kami dalam putusannya, Majelis Hakim menggunakan dua teori.
Vicarious liability yang menekankan adanya hubungan kerja antara PT. GJW
dengan BTS dan SW. Dan melihat kedudukan BTS dan SW sebagai directing
mind PT. GJW, konsep ini lebih mengarah kepada identification doctrine.
Adapun analisis kami terkiat doktrin pertanggngjawaban korproasi adalah
dengan menerpakan doktrin attribution liability. Dengan memenuhi unsur-
unsur dan syarat-syarat untuk dapat membebankan pertanggungjawabannya
kepada korporasi, yaitu:
a. Dilakukan oleh personil korporasi yang memiliki posisi sebagai
directing mind korporasi (SW selaku Direktur Utama);
b. Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi (tindak
pidana korupsi dilakukan dalam ruang lingkup PT. GJW);
c. Tindak pidana dilakukan pelaku atau atas perintah pemberi printah
dalam rangka tugasnya dalam korporasi (BTS selaku Direktur);
d. Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi (manfaatnya
adalah tambahan dana dalam menjalankan dan memperluas usaha PT. GJW);
dan
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau
pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.
B. ConAgra Grocery Product Company, LLC
1. Kasus Posisi
ConAgra Grocery Products Company, LLC adalah sebuah perusahaan dari
Amerika Serikat yang memproduksi dan memasarkan produk-produk makanan
untuk jasa makanan dan ritel. Produk yang ditawarkan adalah tomat,
minyak, popcorn, pudding, cokelat, selai, jeli, mentega, kacang-kacangan,
sup, saus pasta dan makanan yang diawetkan lainnya. ConAgra Grocery
Products Company, LLC sebelumnya dikenal sebagai Hunt-Wesson Inc.
Perusahaan ini didirikan pada tahun 1966 dan berbasis di Naperville,
California. ConAgra Grocery Products Company, LLC beroperasi sebagai anak
perusahaan dari ConAgra Foods, Inc.
Segala bentuk penjualan barang dan jasa tentu memiliki resiko dalam
perjalanannya. Tidak terkecuali dalam bidang makanan. ConAgra Grocery
Products Company, LLC menyadari beberapa risiko kontaminasi salmonella
dalam produk selai kacang walau telah diuji secara rutin untuk salmonella
di produk jadinya. Pada 2 Oktober dan 29 Oktober 2004, pengujian rutin
yang dilakukan oleh ConAgra Grocery Products Company, LLC pabrik di
Sylvester mengungkapkan adanya potensi salmonella dalam sampel selai
kacangnya, yang di mana dalam pengujian tersebut juga disertakan protokol
untuk mengisolasi produk yang terkontaminasi itu.
ConAgra Grocery Products Company, LLC mengambil langkah-langkah untuk
menahan kacang berpotensi terkontaminasi agar tidak dikirimkan sampai
pengujian selanjutnya. ConAgra Grocery Products Company, LLC mengikuti
protokol dalam mengambil langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan untuk
menghancurkan kontaminasi selai kacang yang terdapat di fasilitasnya
sendiri.
Salmonella adalah patogen yang dapat ditularkan dalam makanan dan
berbahaya bagi kesehatan manusia. Mengkonsumsi salmonella dalam makanan
dapat menyebabkan kondisi yang disebut salmonellosis, sebuah penyakit
usus yang sering menyebabkan diare, demam, dan kram perut.
Jika terjadi kasus yang cukup parah maka mungkin hal tersebut akan
memerlukan perawatan yang lebih dalam hal pengobatannya terutama terkait
dengan masalah dehidrasi. Infeksi salmonella kadang-kadang juga dapat
memicu kondisi serius lainnya, terutama pada anak-anak, orang tua, dan
orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah.
Menyusul insiden Oktober 2004, karyawan ConAgra Grocery Products
Company, LLC berusaha menentukan penyebab kontaminasi salmonella dalam
produknya. Identifikasi yang dilakukan oleh karyawan pada tahun 2004 dan
2005 menyimpulkan bahwa hal tersebut berasal dari pemanasan kacang
mentah, keamanan produk, keberadaan lebah dan burung dan atap bocor
memungkinkan terjadi kelembaban yang dapat menyebabkan kontaminasi
salmonella pada produk tersebut, serta aliran udara di pabrik yang dapat
memungkinkan kontaminasi selai kacang tersebut. Upaya untuk mengatasi
beberapa masalah ini sudah dilakukan atau sedang berlangsung, tetapi
tidak selesai, sampai pada saat terjadinya wabah di tahun 2007.
Antara Oktober 2004 dan Februari 2007, karyawan dituduh menjalankan
dan menganalisis tes produknya yang gagal dalam uji kontaminasi
salmonella dalam selai kacang yang diproduksi pabrik di Sylvester. Pada
bulan Februari 2007, Food and Drug Administration (FDA) dan Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) menyarankan bahwa wabah infeksi
salmonella di seluruh Amerika Serikat bisa dilacak di dalam selai kacang
yang dikirim dari Pabrik Sylvester.
CDC mengidentifikasi lebih dari 700 kasus salmonellosis terkait dengan
wabah tersebut. CDC juga memperkirakan bahwa terdapat ribuan kasus yang
dilaporkan. Setelah pengumuman dari FDA dan CDC, ConAgra Grocery Products
Company, LLC segera dan secara sukarela menghentikan produksi pabrik di
Sylvester pada tanggal 14 Februari, 2007 dan menarik kembali produk selai
kacang yang sudah dipasarkan.
Dalam lingkungan pengujian yang dilakukan setelah penarikan produk
juga mendeteksi adanya bakteri Salmonella Tennessee di sedikitnya
sembilan lokasi dari seluruh wilayah penanaman tanaman kacang milik
Sylvester. Dalam pernyataan publik menyusul penarikan kembali terhadap
produk selai kacang, pejabat perusahaan ConAgra Grocery Products Company,
LLC berpendapat bahwa kelembaban memasuki proses produksi dan sistem
sprinkler dikarenakan adanya kerusakan di Pabrik Georgia yang
memungkinkan adanya pertumbuhan aktif dari bakteri salmonella sehingga
membantu bakteri salmonella tumbuh pada kacang mentah yang ia produksi.
Pada tanggal 20 Mei 2015, Amerika Serikat mengajukan criminal
information terhadap ConAgra Grocery Products Company, LLC, anak
perusahaan dari ConAgra Foods Inc, menyatakan bahwa perusahaan yang
memproduksi selai kacang tersebut telah terkontaminasi salmonella selama
melakukan perdagangan antar negara bagian pada tahun 2006. Perusahaan
setuju untuk mengaku bersalah atas pelanggaran Pangan, Obat, dan
Kosmetik, sebagai bagian dari kesepakatan pembelaan, perusahaan mengakui
bahwa ia telah mengirim selai kacang Peter Pan terkontaminasi salmonella
dan mentega dari kacang yang ia produksi yang menyebabkan pada tahun 2006-
2007 terjadi wabah nasional salmonellosis, atau keracunan salmonella.
Dalam hasil kesepakatan pembelaan, yang disetujui oleh Kantor Jaksa
Amerika Serikat (Distrik Georgia Tengah) dan Perlindungan Konsumen Cabang
Departemen Kehakiman (selanjutnya disebut pemerintah atau Amerika
Serikat), oleh dan melalui pengacara yang bertanda tangan, dan ConAgra
Grocery Products Company, LLC (selanjutnya disebut ConAgra Grocery
Products), sebagai berikut:
a) ConAgra Grocery Product, setuju dan mengaku bersalah atas pelanggaran
dalam pertanggungjawaban yang ketat dalam undang-undang Pangan, Obat,
dan Kosmetik, yang melanggar 21 U.S.C. §§ 331 (a), 342(a), and
333(a)(l), atas pengiriman selai kacang terkontaminasi salmonella
antara 6 Oktober 2006 ke 14 Februari 2007.
b) Dalam Perjanjian pembelaan ini, bahwa badan usaha ConAgra Grocery
Products adalah pihak yang mengaku bersalah terhadap pelanggaran
tersebut, dan ia setuju bahwa ia adalah pihak yang memiliki dan
mengoperasikan Pabrik di Sylvester, Georgia, dan satu-satunya bagian
dalam struktur induk perusahaan yang menghasilkan selai kacang Peter
Pan.
c) Para pihak setuju bahwa kesepakatan pembelaan ini dibuat berdasarkan
Fed.R.Crim.P. 1 l (c) (l) (C) dan mempertimbangkan pertimbangan faktor-
faktor yang ditetapkan dalam 18 USC §§ 3553 (a) dan 3572, disepakati
kalimat sebagai berikut:
i. ConAgra Grocery Products membayar beban biaya pengadilan sebesar $
125;
ii. ConAgra Grocery Products membayar denda pidana $ 8,011,000 ke
Panitera Pengadilan Distrik Amerika;
iii. ConAgra Grocery Products membayar kehilangan aset $ 3,200,000, ke
United States Marshal Service;
iv. ConAgra Grocery Products dan pemerintah sepakat bahwa tidak akan
ada masa percobaan terhadap perusahaan ConAgra Grocery Product.
ConAgra akan diminta untuk melaporkan ulang terhadap tanggal dan
tahun dari perjanjian yang dilaksanakan dengan konfirmasi tertulis
bahwa keamanan pangan dan kualitas program yang sedang dijalankan
tetapi adanya batasan berdasarkan ketentuan undang-undang Pangan,
Obat, dan Kosmetik.[27]
Sebelumnya pada bulan April, dua mantan pejabat perusahaan Quality
Egg, Austin "Jack" DeCoster dan Peter DeCoster, dihukum tiga bulan
penjara karena sengaja dalam mengirimkan telur olah dengan tanggal
kadaluwarsa palsu yang menyebabkan wabah salmonella. Mereka dihukum
karena tuduhan pelanggaran hukum ringan dari menyajikan makanan tercemar
ke dalam perdagangan.[28]
Pada September tahun lalu, hakim federal di Georgia menghukum mantan
pemilik Peanut Corporation of America, Stewart Parnell 28 tahun
penjara,yang menurut Departemen Kehakiman adalah sanksi pidana yang
paling keras dalam kasus pencemaran pangan. Parnell telah dihukum karena
menjual makanan misbranded, memasukkan makanan tercemar ke dalam
perdagangan antarnegara, penipuan, konspirasi dan biaya lainnya yang
berhubungan, dengan sengaja membiarkan selai kacang terkontaminasi
salmonella diperjualbelikan, serta sengaja melakukan pengiriman
salmonella yang mencemari selai kacang yang dikaitkan dengan sembilan
kematian yang ada dan 714 orang selamat dari keracunan makanan.
Michael Parnell, dijatuhi hukuman 20 tahun untuk hukuman yang mirip
dengan saudaranya. Kejahatannya dilakukan karena didorong adanya
keinginan untuk mendapatkan keuntungan dan melindungi keuntungan
tersebut, meskipun ia mengetahui risikonya. Manajer Mary Wilkerson juga
menerima hukuman lima tahun, Dia dihukum karena mengganggu jalannya
proses peradilan. (U.S. v. Parnell, M.D. Ga., No. 1:13-cr-00012-WLS-TQL,
sentencing 9/21/15).[29]
2. Analisis Kasus
ConAgra Grocery Products Company, LLC selaku korporasi yang
bertanggungjawab menurut pertanggungjawaban korporasi karena melakukan
tindak pidana terhadap produk selai kacang yang telah terkontaminasi
salmonella serta sengaja melakukan pengiriman salmonella yang mencemari
selai kacang yang menyebabkan 628 orang keracunan di 47 negara bagian
akibat mengkonsumsi selai kacang Peter Pan and Great Value yang telah
terkontaminasi salmonella tersebut.
ConAgra Grocery Product Company, LLC sebagai subjek hukum, dalam
pertanggungjawabannya terhadap perbuatannya, terdapat beberapa pihak yang
turut serta melakukan kejahatan yang berkaitan dengan perbuatan yang
dilakukan korporasi yaitu ConAgra Grocery Product Company, LLC.
Dalam hal ini pertanggungjawaban ConAgra Grocery Product Company, LLC
sebagai korporasi yang bertanggungjawab secara pidana adalah berdasarkan
teori vicarious liablility, kesalahan dari anggota direksi atau organ
korporasi dan dapat dibebankan kepada korporasi tersebut. Dengan
kesalahan yang dilakukan oleh salah satu dari para pihak tersebut,
kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi.
Dalam hal ini korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang
dilakukan secara tidak disadari atau disadari, dan tidak dapat dikontrol.
Berdasarkan hal ini, tanpa adanya unsur mens rea (guilty mind) maka
mereka yang dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana.
C. Tesco Supermarket Ltd v Nattrass
1. Kasus Posisi
Tesco Supermarket menawarkan diskon pada produk bubuk cuci melalui
iklan di poster yang ditampilkan di toko-toko. Namun promo diskon ini
membuat produk tersebut laku keras. Setelah persediaan mereka habis, took-
toko mulai mengganti dengan persediaan barang yang dijual sesuai eratur
harga normal. Seorang manajer toko lalai melepaskan tanda harga diskon
sehingga menyebabkan para pelanggan dikenai harga yang lebih mahal. Tesco
didakwa telah melanggar Trade Descriptions Act 1968 untuk iklan palsu
harga cuci bubuk.
Kasus hukum ini merupakan tindak pidana korporasi yang paling dikenal.
House of Lords menerapkan doktrin identifikasi dalam memutus perkara ini.
Suatu korporasi akan bertanggung jawab atas tindak pidana jika unsur
kesalahan terdapat pada orang yang merupakan pikiran atau otak (directing
mind) dari suatu korporasi. Pihak Tesco membela diri bahwa perusahaan
telah mengambil semua tindakan pencegahan yang wajar dan semua due
diligence, dan bahwa perilaku manajer tidak bisa disamakan dengan
pertanggungjawaban untuk korporasi.[30]
Dalam perkara ini, Hakim Lord Reid menjelaskan bahwa seseorang yang
hidup memiliki pikiran yang dapat mengetahui/knowingly atau berniat atau
lalai dan ia memiliki tangan untuk melaksanakan niatnya. Korporasi tidak
memiliki semua ini. Korporasi harus bertindak melalui orang-orang yang
hidup meski tidak selalu orang yang sama. Kemudian orang yang bertindak
tidak berbicara atau bertindak untuk perusahaan yang dimaksud. Orang
tersebut merupakan perwujudan perusahaan atau dapat dikatakan dia
mendengar dan berbicara melalui karakter perusahaan itu dalam ruang
lingkup yang wajar dan pikirannya adalah pikiran perusahaan. Kesalahan
perusahaan jika pikiran itu merupakan a guilty mind.[31]
2. Analisis Kasus
Dalam perkara Tesco, perusahaan dituntut melakukan tindak pidana
berdasarkan The Trade Description Act 1968. Pembelaan pihak Tesco adalah
berdasarkan Section 24 Subsection 1 dalam undang-undang itu dengan alasan
bahwa dilakukannya pelanggaran disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian
orang lain yaitu manajer cabang toko tersebut dan perusahaan telah
berhati-hati dengan mencegah dilakukannya pelanggaran itu. Pengadilan
mengetahui bahwa perusahaan telah menyusun suatu sistem yang layak
sehingga telah menjalankan prinsip kehati-hatian yang semestinya namun
pengadilan menemukan keterangan bahwa manajer cabang bukan orang lain dan
perbuatannya merupakan perbuatan perusahaan.[32]
Pada waktu banding, House of Lords mencabut pernyataan bersalah dan
memutuskan bahwa pembelaan dapat diterima karena manajer cabang adalah
orang lain yang merupakan tangan dan bukan otak perusahaan. Manajer
cabang harus mengikuti arahan umum dari perusahaan dan menerima perintah
dari atasannya. Karenanya perbuatan tersebut merupakan kelalaian pribadi
bukan sebagai kelalaian perusahaan.[33]
Suatu pelanggaran tidak dapat dikaitkan dengan kelalaian dari semua
direktur yang ada pada suatu korporasi. Suatu kelalaian hanya dapat
dikaitkan dengan kelalaian salah seorang direktur atau beberapa pejabat
lain yang ada di perusahaan itu karena tidak ada kewajiban umum terhadap
seorang direktur untuk mengawasi rekannya sesama direktur atau kewajiban
untuk mengetahui semua rincian tentang pengoperasian perusahaannya.[34]
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kasus PT. GJW
Perkara korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin pada
2010 oleh PT. GJW selaku terdakwa sudah dinyatakan berkekuatan hukum
tetap dan mengikat di tingkat banding. Setelah Pengadilan Tinggi
Banjarmasin memutus PT. GJW terbukti bersalah melakukan tindak pidana
korupsi, PT. GJW tidak mengajukan kasasi dan menerima putusan banding.
perkara korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin pada
2010.
Dilihat dari pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dan analisis
kami terhadap kasus PT. GJW ini, maka kami mengemukakan bahwa terkait
doktrin pertanggungjawaban pidana dalam kasus ini adalah doktrin
pertanggugjawaban atribusi (attribution liability).
Akan tetapi, penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
tindak pidana korupsi masih minim dan terdapat perbedaan penerapan hukum.
Minim berarti masih sedikit jumlah putusan pengadilan yang menyatakan
korporasi bersalah melakukan indak pidana korupsi. Pada kasus PT. GJW
Penuntut Umum berhasil membuktikan PT. GJW telah melakukan tindak pidana
korupsi namun masih terdapat kegamangan pada majelis hakim dalam
menggunakan teori pertanggungjawaban pidana korporasi.
2. ConAgra Grocery Products Company, LLC
Dalam kasus ini terlihat adanya kelalaian dalam selai kacang yang
terkontaminasi bakteri salmonella hasil produksi ConAgra Grocery Products
Company, LLC. Hal tersebut terkuak ketika Pusat Pengendalian Penyakit
(Centers for Disease Control and Prevention) menemukan lebih dari 700
kasus salmonellosis atau wabah salmonella yang menjangkit banyak orang.
Selain itu dengan adanya kasus tersebut maka menghasilkan keputusan
sebagai berikut:
a) ConAgra Grocery product, setuju dan mengaku bersalah atas pelanggaran
dalam pertanggungjawaban yang ketat dalam undang-undang Pangan, Obat,
dan Kosmetik, yang melanggar 21 U.S.C. §§ 331 (a), 342(a), and
333(a)(l), atas pengiriman selai kacang terkontaminasi salmonella
antara 6 Oktober 2006 ke 14 Februari 2007.
b) ConAgra Grocery product membayar beban biaya pengadilan sebesar $ 125
c) ConAgra Grocery product membayar denda pidana $ 8,011,000 ke Panitera
Pengadilan Distrik Amerika
d) ConAgra Grocery product membayar kehilangan aset $ 3.200.000, ke
United state Marshals Service
Dalam hal ini pertanggungjawaban ConAgra Grocery Product Company, LLC
sebagai korporasi yang bertanggungjawab secara pidana adalah berdasarkan
teori vicarious liablility, kesalahan dari anggota direksi atau organ
korporasi dan dapat dibebankan kepada korporasi tersebut. Dengan
kesalahan yang dilakukan oleh salah satu para pihak tersebut, kesalahan
itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi. Dalam hal ini
korporasi bisa dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan secara
tidak disadari atau disadari, dan tidak dapat dikontrol. Berdasarkan hal
ini, tanpa adanya unsur mens rea (guilty mind) maka mereka yang
dibebankan pertanggungjawabannya secara pidana.
3. Tesco Supermarkets Ltd v Nattrass
Kasus Tesco menunjukkan bahwa prinsip identifikasi berfungsi bukan
hanya untuk menetapkan tanggung jawab tetapi juga dapat memanfaatkan
tanggung jawab atas delik undang-undang (regulatory offences) di mana
pembelaan pihak ketiga dapat diterima. Manajer cabang tidak berbuat
sebagai perusahaan maka perbuatannya adalah perbuatan yang dilakukan oleh
pihak ketiga. Perusahaan melalui para pejabatnya telah menetapkan suatu
sistem pengawasan yang sesuai dank arena itu telah menjalankan seluruh
prinsip kehati-hatian dengan semestinya.[35]
Namun penerapan prinsip identifikasi memiliki beberapa masalah
yaitu:[36]
a. Semakin besar dan semakin banyak bidang usaha perusahaan, semakin
besar kemungkinan perusahaan tersebut menghindar dari tanggungjawab.
b. Prinsip yang dianut Tesco tidak sesuai dengan regulatory offences yang
tidak memerlukan adanya mens rea tetapi untuk pembelaan adalah untuk
mengurangi tekanan dari pertanggungjawaban berdasarkan strict
liability.
c. Bahwa perusahaan hanya akan bertanggungjawab jika orang itu
diidentikkan dengan perusahaan yaitu dirinya sendiri yang secara
perseorangan atau individual bertanggungjawab karena dia memiliki mens
rea untuk melakukan tindak pidana.
d. Prinsip ini juga dilemahkan oleh keputusan The Privy Council[37]
(Meridian Global Funds Management Asia Ltd. V Securities Commision)
yang mengkaitkan apa yang diketahui oleh perusahaan untuk menentukan
tanggungjawab perusahaan atas pelanggaran karena lalai berdasarkan The
New Zealand Securities Act tahun 1998. Lalai membeberkan sesuatu di
mana fakta yang harus dibeberkan diketahui oleh tim investigasi
senior. Tim ini bukan merupakan the directing mind dari perusahaan.
A. Saran
1. Tindak pidana yang dilakukan korporasi merupakan kejahatan yang butuh
perhatian ekstra oleh pemerintah, karena korporasi juga dapat menyuap
pemerintah atau siapapun yang dianggap dapat merugikan dan
menguntungan korporasi tersebut. Sehingga akan lebih baik jika para
penegak hukum dapat memidanakan korporasi dan menjatuhkan pidana
sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan korporasi dan sesuai dengan
kerugian yang ditanggung oleh Negara.
2. Perlu adanya keseragaman pengaturan dalam hal pertanggunggjawaban
pidana korporasi seperti teori apa yang akan digunakan dalam meminta
pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini seperti di Canada yang
dalam Criminal Code-nya menggunakan teori identifikasi karena hal
tersebut akan membantu pembuktian nantinya, menyesuaikan peraturan-
undangannya dengan konvensi internasional, dalam hal ini adalah UNTOC
dan UNCAC sebagai konsekuensi dari diratifikasinya konvensi tersebut,
kerja sama antar penegak hukum, pelatihan bagi penegak hukum agar
lebih paham lagi mengenai konsep peranggunjawaban pidana korporasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Barda Nawawi Arief. 2012. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Collin P.H. 2000/2001. Dictionary of Law. London: Peter Collin Publishing.
Dwidja Prayitno. 1991. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Hukum
Pidana cet. I. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum.
Kristian. 2016. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Tujuan Teoritis
dan Perbandingan Hukum Di Berbagai Negara). Bandung: PT. Refika
Aditama.
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti. 2010. Politik Hukum Pidana
terhadap Kejahatan Korporasi. Medan: PT. Softmedia.
Mahrus Ali. 2013. Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Michael John Allen. 1999. Textbook on Criminal Law. London: Blackstone
Press.
Muladi dan Dwidja Priyatno. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Jakarta: Kencana.
N.H.T Siahaan. 2008. Hukum Lingkungan. Edisi Revisi Cetakan Kedua. Jakarta:
Pancuran Alam.
Ronny Hanitijo Soemitro. 1985. Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Soerjono Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pres.
Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Jakarta:
Grafiti Pers.
Jurnal:
ADB/OECD Anti Corruption Initiative for Asian and the Pacific.
Edward B. Diskant. 2008. Comparative Corporate Criminal Liability:Exploring
the Uniquely American Doctrine Through Comparative Criminal Procedure.
The Yale Law Journal. Vol. 118:126.
Jennifer Arlen. 2011. Corporate Criminal Liability : Theory and Evidence,
New York University Law and Economic Working Papers. Paper 273.
Jimmy Tawalujan. 2012. Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Korban
Kejahatan. Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012.
Internet:
Allens Arthur Robinson. 2008. Corporate Culture "As A Basis For The
Criminal Liability of Corporations" diakses melalui
http://198.170.85.29/Allens-Arthur-Robinson-Corporate-Culture-paper-
for-Ruggie-Feb-2008.pdf. pada tanggal 18 November 2016. pkl. 14.46
WIB.
ConAgra Plea agreement United States of America V Conagra Grocery Products
Company LLC. US Department of Justice.
https://www.justice.gov/file/440646/download. diakses Sabtu. 19
November 2016.
www.nbcnews.com/health/health-news/cracked-case-egg-executives-get-jail-
salmonella-outbreak-n340916. diakses Sabtu. 19 November 2016.
www.bna.com/food-execs-high-n57982058911/. diakses Sabtu. 19 November 2016.
-----------------------
[1] Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Metodologi Penelitian Hukum dan
Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 11.
[2] Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pres, Jakarta.,
hlm. 10.
[3] Ronny Hanitijo Soemitro. Op.Cit., hlm. 113
[4] Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Kencana, Jakarta, hlml. 23.
[5] N.H.T Siahaan, 2008, Hukum Lingkungan, Edisi Revisi Cetakan Kedua,
Pancuran Alam, Jakarta, hlm. 377.
[6] Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 14-15.
[7] Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana
terhadap Kejahatan Korporasi, PT. Softmedia, Medan, hlm. 46.
[8] Sutan Remy Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Grafiti Pers, Jakarta, hlm. 59.
[9] Jimmy Tawalujan, 2012, Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Korban
Kejahatan, Lex Crimen Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012 , hlm. 10-15.
[10] Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hal 108.
[11] Kristian, 2016, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Tujuan
Teoritis dan Perbandingan Hukum Di Berbagai Negara), PT. Refika Aditama,
Bandung, hlm. 109.
[12] Ibid., hlm. 110.
[13] Mahrus Ali, 2013, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 64-65.
[14] Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 14.
[15] Muladi dan Dwidja Prayitno, op.cit., hlm. 61.
[16] Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 281-282.
[17] Edward B. Diskant, 2008, Comparative Corporate Criminal
Liability:Exploring the Uniquely American Doctrine Through Comparative
Criminal Procedure, The Yale Law Journal, Vol. 118:126, hlm.138.
[18] Ibid., hlm.139.
[19] Allens Arthur Robinson, 2008, Corporate Culture "As A Basis For The
Criminal Liability of Corporations" diakses melalui
http://198.170.85.29/Allens-Arthur-Robinson-Corporate-Culture-paper-for-
Ruggie-Feb-2008.pdf, pada tanggal 18 November 2016, pkl. 14.46 WIB.
[20] Jennifer Arlen, 2011, Corporate Criminal Liability : Theory and
Evidence, New York University Law and Economic Working Papers, Paper 273,
hlm.5.
[21] Barda Nawawi Arief, 2012, Perbandingan Hukum Pidana, PT RajaGrafindo,
Jakarta, hlm. 36.
[22] Barda Nawawi Arief, Loc.Cit.
[23] Kristian, Op.Cit., hlm. 275.
[24] Kristian, Loc.Cit.
[25] Perseroan Terbatas memiliki tiga organ, yaitu Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), Komisaris dan Direksi. Direksi ditunjuk oleh undang-undang
sebagai organ yang berfungsi sebagai pengurus perseroan terbatas sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan terbatas tersebut. Lihat Indonesia,
Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No.106 Tahun
2007, TLN No.4756, Pasal 92 ayat (1).
[26] Putusan PN. Banjarmasin No. 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm, hlm. 2.
[27] ConAgra Plea agreement United States of America V Conagra Grocery
Products Company LLC, US Department of Justice, diakses melalui
https://www.justice.gov/file/440646/download, pada tanggal 19 November
2016.
[28] Diakses melalui www.nbcnews.com/health/health-news/cracked-case-egg-
executives-get-jail-salmonella-outbreak-n340916, pada tanggal 19 November
2016.
[29] Diakses melalui www.bna.com/food-execs-high-n57982058911/, pada
tanggal 19 November 2016
[30] ADB/OECD Anti Corruption Initiative for Asian and the Pacific, page
498-499.
[31] Michael John Allen, 1999, Textbook on Criminal Law, London, Blackstone
Press, page 216.
[32] Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 242-243.
[33] Ibid, hlm. 244.
[34] Kristian, ibid, hlm. 276
[35] Dwidja Prayitno, ibid, hlm. 244
[36] Ibid, hlm. 243-245
[37] Collin P.H., 2000/2001, Dictionary of Law, London, Peter Collin
Publishing, third edition, page 288