1. PENGARUH EDUKASI TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT SWAMEDIKASI PENGUNJUNG DI DUA APOTEK KECAMATAN CIMANGGIS, DEPOK 2. HUBUNGAN PENGETAHUAN ORANG TUA TERHADAP TINDAKAN SWAMEDIKASI SELESMA PADA ANAK DI KELURAHAN GROBOGAN PURWODADI 3. PROFIL PENGGUNAAN OBAT BATUK PILEK BEBAS PADA PASIEN ANAK DI BAWAH UMUR 6 THN 4. PERILAKU IBU PADA SWAMEDIKASI PENGOBATAN GEJALA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS PADA ANAK 5. PATTERNS AND PRACTICE OF SELFMEDICATION AMONG CHILDREN PRESENTING WITH ACUTE RESPIRATORY TRACT INFECTION OR DIARRHEA 6. EVALUATION OF NONPRESCRIBED ANTIBIOTIC USE
AMONG CHILDREN WITH UPPER RESPIRATORY TRACT INFECTION 7. SURVEY OF NONPRESCRIBED USE OF ANTIBIOTICS IN RESPIRATORY TRACT INFECTIONS AND ROLE OF COMMUNITY PHARMACISTS TO ENLIGHTEN THE SOCIETY OF 8. EVALUATION PARENTAL PERCEPTION ABOUT SELF-MEDICATION SELF-MEDICATION AND OTHER MEDICINE USE PRACTICES IN CHILDREN 9. SELF-MEDICATION PATTERN AMONG CHILDREN ATTENDING A TERTIARY HOSPITAL IN SOUTH INDIA : A CROSS-SECTIONAL STUDY 10. DRUG USE AND SELFMEDICATION AMONG CHILDREN WITH RESPIRATORY ILLNESS OR DIARRHEA IN A RURAL DISTRICT IN VIETNAM : A QUALITATIVE STUDY
JUDUL : PENGARUH EDUKASI TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT SWAMEDIKASI PENGUNJUNG DI DUA APOTEK KECAMATAN CIMANGGIS, DEPOK PENELITI : Dian Hermawati TAHUN : 2012 - Skripsi Prodi Farmasi FMIPA UI LATAR BELAKANG :
- Hasil Susenas pada tahun 2009 mencatat bahwa 66% orang sakit di Indonesia melakukan swamedikasi untuk mengatasi penyakitnya. - Pelaksanaan swamedikasi didasari oleh pemikiran bahwa pengobatan sendiri cukup untuk mengobati masalah kesehatan, semakin mahalnya biaya pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki untuk berobat, atau kurangnya akses ke fasilitasfasilitas kesehatan.
- Dalam prakteknya, kesalahan penggunaan obat dalam swamedikasi ternyata masih terjadi, terutama karena ketidaktepatan obat dan dosis obat. - Pengetahuan masyarakat tentang swamedikasi masih terbatas. Kesadaran untuk membaca label pada kemasan obat pun masih rendah. Keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang obat dan penggunaannya merupakan penyebab terjadinya kesalahan pengobatan dalam swamedikasi. - Apotek memiliki standar pelayanan yang mencakup adanya pemberian edukasi kesehatan kepada pasiennya, antara lain melalui penyebaran media, seperti leaflet. - Maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh edukasi melalui media leaflet terhadap tingkat pengetahuan dan rasionalitas pengunaan obat swamedikasi. METODE
Merupakan penelitian praeksperimental dengan desain studi one group pre-test/post-test. Penelitian dilakukan melalui pengukuran terhadap satu kelompok responden, kemudian responden diberi intervensi berupa edukasi melalui media leaflet, dan diukur kembali setelahnya. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara bebas terpimpin berdasarkan kuesioner yang telah valid dan reliabel. Pengambilan
sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. Jumlah sampel minimum yang diambil dihitung menggunakan rumus berikut
Kriteria Inklusi Kriteria - Pengunjung Eksklusi pernah - Pengunjung menggunakan adalah seorang obat mahasiswa konvensional dari bidang oral untuk kesehatan dan swamedikasi tenaga enam penyakit kesehatan, ringan, yaitu seperti dokter, demam, batuk, perawat, flu, nyeri, apoteker, diare, atau asisten gastritis dalam apoteker, atau tiga bulan sarjana terakhir kesehatan sebelum masyarakat dilakukan pre(SKM). test. - Pengunjung - Pengunjung tidak bersedia menggunakan bekerja sama obat dalam konvensional penelitian. oral untuk - Pengunjung swamedikasi
dapat membaca. - Pengunjung bertempat tinggal di wilayah Depok.
penyakit demam, batuk, flu, nyeri, diare, atau gastritis dalam satu bulan terakhir setelah pemberian edukasi. - Pengunjung tidak dapat dihubungi kembali setelah satu bulan pemberian edukasi.
Kerangka Konsep
Kuesioner
Terdiri dari empat bagian, yaitu pendahuluan, pengetahuan swamedikasi, rasionalitas swamedikasi, dan data demografi responden. Uji Validitas Kuesioner
dan
Reliabilitas
Uji validitas dilakukan menggunakan korelasi Pearson, yaitu dengan cara mengkorelasikan nilai setiap pertanyaan dengan nilai total pertanyaan. Jika seluruh butir
pertanyaan mempunyai nilai p < α, maka kuesioner dinyatakan valid.
tersebut
dapat
Uji reliabilitas dilakukan dengan
menghitung nilai Cronbach’s Alpha. Jika nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari 0,600, maka kuesioner dapat dinyatakan reliabel. Leaflet
- pengertian swamedikasi. - penjelasan mengenai tanda golongan obat dari obat-obat yang dapat digunakan untuk swamedikasi. - jenis-jenis penyakit ringan yang dapat diobati dengan swamedikasi, beserta pilihan obat yang dapat digunakan secara umum, keterangan mengenai dosis, batas waktu penggunaan obat, dan hal yang perlu diketahui terkait cara penggunaan obat-obat tersebut. Penyakit yang dicantumkan dibatasi pada enam jenis penyakit ringan, yaitu demam, batuk, flu, nyeri, diare, dan gastritis. - Informasi mengenai hal-hal yang penting untuk diperhatikan pada penggunaan obat dalam swamedikasi. Analisis Data
Analisis univariat dengan statistik deskriptif digunakan untuk
mendapatkan gambaran distribusi frekuensi karakteristik sosiodemografi, tingkat pengetahuan tentang swamedikasi, rasionalitas penggunaan obat, serta distribusi jawaban responden r esponden untuk pertanyaan pada kuesioner bagian kedua dan ketiga. Analisis bivariat Uji Wilcoxon dilakukan untuk menganalisis pengaruh dari pemberian edukasi terhadap tingkat pengetahuan responden tentang swamedikasi. Penarikan kesimpulan dilakukan melalui uji hipotesis dua sisi (perbedaan bermakna bermakna jika nilai p < alpha) dan uji hipotesis satu sisi untuk sisi atas (peningkatan bermakna jika nilai ½ p < alpha). Uji McNemar digunakan untuk menganalisis pengaruh dari pemberian edukasi terhadap rasionalitas penggunaan obat swamedikasi oleh responden. Penarikan kesimpulan dilakukan sebagaimana pada Uji Wilcoxon. Uji kai kuadrat dimaksudkan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel juga untuk menyeleksi variabel faktor sosiodemografi yang akan dimasukkan dalam analisis multivariat. Dilakukan uji kai kuadrat dan uji mutlalk fisher. (A pabila diperoleh nilai p < α, baik dari uji kai kuadrat ataupun uji mutlak Fisher, maka dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kedua variabel yang
diuji). Variabel faktor sosiodemografi yang memiliki nilai p
< α kemudian dimasukkan dalam analisis multivariat bersama dengan variabel lain yang memiliki nilai p < 0.25. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara banyak variabel bebas dengan suatu variabel terikat. Dilakukan dengan uji regresi guna mengetahui ada tidaknya pengaruh dari variabel faktor sosiodemografi terhadap perubahan yang terjadi pada tingkat pengetahuan atau rasionalitas penggunaan obat.
Karakteristik Sosiodemografi Karakteristik responden inklusi saat post-test tidak jauh berbeda dengan
karakteristik keseluruhan responden saat pre-test. Pengguna OTC untuk keenam penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki. Pengunjung laki-laki lebih banyak bersedia diwawancara. Dominasi laki-laki juga ditunjukkan pada penelitian terdahulu. Perempuan cenderung lebih berhati-hati dalam melakukan pengobatan dan lebih memilih berkonsultasi terlebih dahulu kepada dokter. Usia 29-39 tahun sebagai kategori usia prima ideal bekerja menjadi yang paling mendominasi. Disela-sela aktivitas kerjanya, obat bebas lebih dipilih sebagai pengobatan untuk mengatasi penyakit ringan karena mudah diperoleh. Responden didominasi dari tingkat pendidikan terakhir SMA dan sederajat. Sebagaimana pada penelitian sebelumnya, prevalensi swamedikasi lebih tinggi dilakukan oleh orang-orang dengan tingkat pendidikan yang baik. Kebanyakan tingkat pendidikan ini menggunakan obat bebas untuk mengatasi penyakit ringan yang diperoleh tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Responden didominasi dari karyawan dan lainnya. Para pekerja seringkali dihadapkan dengan stress dan memicu munculnya penyakit dan mengatasinya dengan menggunakan obat bebas untuk mengatasinya sehingga tidak mengganggu pekerjaan mereka. Pembelian obat oleh responden paling banyak dilakukan di Warung karena keterjangkauannya yang mudah. Perolehan informasi obat banyak diperoleh dari iklan baik media cetak
maupun elektronik. Media ini berkesan dan mudah ditangkap sehingga dapat memengaruhi pola penggunaan obat. Tingkat Pengetahuan tentang Swamedikasi
Responden
Hasil penilaian kuesioner pre-test menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan swamedikasi dalam kategori sedang (51,55%). Sebagian besar responden tidak menjawab pertanyaan mengenai pengertian swamedikasi dan tanda golongan obat pada kemasan obat. Pengetahuan mengenai pemilihan obat, kegunaan obat, informasi pada kemasan obat, dan penyimpanan obat dinilai cukup baik. Lama penggunaan, dosis, dan aturan minum obat masih dinilai kurang baik. Sebagaimana yang ditunjukkan pada penelitian lain, hal ini disebabkan adanya anggapan beberapa responden bahwa obat-obat OTC tidak memiliki aturan khusus sehingga aman untuk diminum. Peningkatan hasil post-test pada tingkat pengetahuan dinilai baik sebagaimana diperlihatkan pada tabel berikut :
swamedikasi dan tanda golongan obat, karena informasi yang diakui sebagai hal asing ini menarik untuk diketahui. Durasi penggunaan obat menjadi pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan salah. Kebanyakan responden mendasari jawaban pada pengalaman pribadi dan menyamakan semua jenis obat OTC dengan durasi maksimal 3 hari. Nyeri dan flu menjadi penyakit yang sering dikeluhkan oleh responden baik pada pre-test maupun post-test. Obat subkelas batuk pilek dan subkelas analgetik (non-opiat) menjadi obat yang paling sering digunakan. Sebagaimana pada penelitian lain, secara berurutan, keluhan demam, sakit kepala, dan keluhan saluran napas menjadi penyakit yang umum dikeluhkan dalam swamedikasi. Rasionalitas Penggunaan Obat dalam Swamedikasi Berdasarkan hasil pre-test 73,2% responden dinilai rasional dalam penggunaan obat untuk swamedikasi. Tidak rasionalnya penggunaan obat banyak disebabkan karena adanya efek samping yang mengganggu responden (10,31%), ketidaktepatan dosis (8,25%), dan adanya polifarmasi (7,22%). Peningkatan rasionalitas penggunaan obat terlihat pada hasil post-test dengan peningkatan sebanyak 13,4%. Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan Responden
Peningkatan jawaban benar paling banyak dihasilkan pada pengertian
Diketahui bahwa edukasi melalui media leaflet menyebabkan terjadinya peningkatan yang bermakna secara statistik pada tingkat pengetahuan responden tentang swamedikasi. Hal ini dibuktikan dengan nilai p pada uji hipotesis satu sisi dan nilai p ½ pada uji hipotesis satu sisi atas yang menunjukkan nilai kurang dari alpha. Pada penelitian ini, leaflet sebagai salah satu bentuk media pendidikan kesehatan yang sederhana, ternyata cukup efektif untuk meningkatkan pengetahuan responden tentang swamedikasi. Faktor lain yang perlu dipertimbangkan pada hasil ini yaitu adanya peningkatan kesadaran responden menerima post-test akibat telah diberi pre-test . Pertanyaan saat pre-test mungkin masih diingat responden, sehingga dapat dijawab dengan lebih baik saat post-test . Sebagaimana pada penelitian sebelumnya, media leaflet menjadi media yang efektif dalam memperbaiki tindakan swamedikasi dan meningkatkan kepatuhan pemberian zink dalam swamedikasi diare akut pada balita. Namun, hasil yang berbeda ditunjukkan saat dilakukan oleh peneliti yang sama pada daerah lain. Terdapat faktor lain seperti pengaruh orang lain dan lingkungan sekitar yang dapat berpengaruh terhadap perilaku seseorang. Pemberian edukasi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan responden sehingga selanjutnya dapat berpengaruh terhadap perilaku penggunaan obatnnya.
Pengaruh Edukasi Terhadap Rasionalitas Penggunaan Obat oleh Responden Dihasilkan perbedaan yang bermakna pada rasionalitas penggunaan obat antara sebelum dan sesudah pemberian edukasi. Rasionalitas penggunaan obat oleh responden mengalami peningkatan sesudah pemberian edukasi. Dengan demikian, edukasi melalui media leaflet menyebabkan terjadinya peningkatan yang bermakna. Tingkat pengetahuan seseorang termasuk ke dalam salah satu faktor intern. Suatu pemberian edukasi diharapkan dapat memberikan tingkat pengetahuan yang lebih baik pada responden, sehingga ke depannya dapat berpengaruh pula terhadap perilaku penggunaan obatnya. Selain pengaruh dari tingkat pengetahuan, terdapat faktor lain yang juga berpengaruh terhadap perilaku seseorang, seperti adanya faktor pengaruh dari orang lain dan lingkungan sekitar. Pengaruh Faktor-faktor Sosiodemografi terhadap Perubahan Tingkat Pengetahuan Responden Diketahui bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, dan pekerjaan terhadap perubahan tingkat pengetahuan responden. Penelitian di Italia tanpa pemberian intervensi menyebutkan bahwa pengetahuan seseorang tentang informasi terkait obat OTC dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sosiodemografi,
seperti jenis kemalin dan usia. Sehingga tidak dapat diketahui apakah jenis kelamin, umur, dan tingkat pendidikan sebenarnya berpengaruh terhadap perubahan pengetahuan akibat pemberian suatu bentuk edukasi. Pengaruh Faktor-faktor Sosiodemografi Terhadap Perubahan Rasionalitas Penggunaan Obat oleh Responden Dalam penelitian ini didapati bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna secara statistik dari faktor-faktor sosiodemografi terhadap perubahan rasionalitas penggunaan obat oleh responden. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa faktor sosiodemografi seperti jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dapat berpengaruh terhadap tindakan dan rasionalitas swamedikasi. Kondisi masyarakat dan lingkungan dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian yang diperoleh. Apabila penelitian dilakukan di wilayah berbeda dengan jumlah responden yang lebih banyak, kemungkinan akan dapat diperoleh hasil yang berbeda pula dari hasil yang diperoleh saat ini. KESIMPULAN
1. Gambaran tingkat pengetahuan tentang swamedikasi - Berdasarkan hasil pre-test, 12,37% tingkat pengetahuan tergolong baik, 51,55% tingkat pengetahuan tergolong sedang, dan
-
2.
-
-
3.
36,08% tingkat pengetahuan tergolong buruk. Berdasarkan hasil post-test, 74,23% tingkat pengetahuan tergolong baik dan 25,77% tingkat pengetahuan tergolong sedang. Gambaran rasionalitas penggunaan obat dalam swamedikasi Berdasarkan hasil pre-test, 73,20% penggunaan obat rasional dan 26,80% penggunaan obat tidak rasional. Berdasarkan hasil post-test, 86,60% penggunaan obat rasional dan 13,40% penggunaan obat tidak rasional. Edukasi dapat meningkatkan tingkat pengetahuan (p = 0,000) dan rasionalitas penggunaan obat (p = 0,015) dalam swamedikasi, dengan mempertimbangkan kemungkinan ada faktor lain yang juga dapat mempengaruhi hasil tersebut.
SARAN :
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah responden yang lebih banyak, dari lokasi penelitian yang lebih luas, dan dalam jangka waktu yang lebih lama. Pelaksanaan pre-test dan post-test juga sebaiknya dilakukan dengan metode yang sama.
2. Leaflet sebagai media edukasi tentang swamedikasi perlu dikembangkan dan disempurnakan lagi, sehingga dapat memberikan informasi secara lebih efektif kepada masyarakat dan tujuan pemberian edukasi tercapai. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui metode edukasi lain yang lebih tepat digunakan dalam usaha peningkatan pengetahuan dan rasionalitas penggunaan obat, terutama dalam hal swamedikasi.
Judul
: HUBUNGAN PENGETAHUAN ORANG TUA TERHADAP TINDAKAN SWAMEDIKASI SELESMA PADA
ANAK KELURAHAN GROBOGAN PURWODADI
DI
Peneliti : Mellia Maheswari – 2012
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta
–
Latar Belakang : Swamedikasi banyak dilakukan oleh masyarakat untuk meredakan / menyembuhkan penyakit ringan. Beberapa hal yang menyebabkan dilakukannya swamedikasi yaitu perkembangan teknologi informasi dan kemudahan akses informasi kesehatan, penyakit dinilai ringan, biaya lebih murah, dan obat mudah didapat. Dalam prakteknya, swamedikasi dapat menjadi sumber kesalahan pengobatan karena keterbatasan pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya. Prevalensi tertinggi orang sakit menurut kelompok umur dialami pada anak di bawah umur 5 tahun. Anak dan balita mudah terserang selesma saat pergantian musim. Virus juga berkembang di kelembaban rendah sehingga membuat saluran hidung kering dan lebih rentan terhadap infeksi. Hasil survei peneliti di Puskesmas Grobogan, dari 20 orang tua yang disurvey 12 orang diantaranya menyatakan pernah melakukan swamedikasi untuk mengatasi selesma anak mereka. Maka dari itu, dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar hubungan
pengetahuan orang tua terhadap tindakan swamedikasi selesma pada anak di Kelurahan Grobogan Purwodadi. Metode Penelitian :
Merupakan jenis penelitian cross dengan pendekatan sectional deskriptif. Terdiri dari variabel bebas (independent ) dan variabel terikat (dependent ). Variabel bebasnya adalah tingkat pengetahuan orang tua tentang selesma sedangkan variabel terikatnya adalah tindakan swamedikasi selesma pada anak oleh orang tua. Alat penelitian menggunakan kuisioner. Kuisioner terdiri dari 4 bagian, meliputi data identitas responden, gambaran penetalaksanaan selesma, pengetahuan responden terhadap selesma serta tindakan swamedikasi responden pada selesma. Terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan realibilitas pada kuisioner tentang pengetahuan dan tindakan swamedikasi selesma. Pertanyaan dinyatakan valid dengan nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel dengan taraf signifikasi 5%. Pengujian realibilitas dlakukan dengan mencobakan instrumen sekali waktu dan dianalisis menggunakan SPSS 17. Populasi dari penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak usia 212 tahun di Kelurahan Grobogan. Kriteria inklusinya adalah orang tua yang mempunyai anak usia 2 – 12 tahun yang bertempat tinggal di Kelurahan Grobogan, pernah
melakukan tindakan swamedikasi terhadap selesma 3 bulan terakhir dan bersedia menjadi subyek penelitian. Sedangkan kriteria ekslusinya adalah tenaga kesehatan dan subyek tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Metode sampling yang digunakan dengan teknik purposive sampling . Data dianalisis dengan analisis deskriptif menggunakan tabel frekuensi dari variabel yang diteliti. - Analisis Pengetahuan Untuk mengetahui skor pengetahuan diperoleh melalui penjumlahan skor jawaban benar dari 16 item pertanyaan yang dijawab oleh responden dibagi 16 dikalikan 100. Skor minimal 0 dan skor maksimal adalah 100, jawaban salah nilai 0 dan benar nilai 1. Skor pengetahuan dimasukkan dalam 3 kategori yaitu kategori kurang (skor <60), kategori sedang (skor 60-75), dan kategori tinggi (skor 76-100). - Analisis Tindakan Swamedikasi Pernyataan tindakan swamedikasi terdiri dari favorabel dan unfavorabel. Penilaian diperoleh melalui penjumlahan skor dari 10 item pernyataan kemudian skor dikategorikan menjadi baik (jumlah skor <27) dan kurang (jumlah skor 27-40). - Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua Terhadap Tindakan Swamedikasi Selesma Digunakan uji chi-square menggunakan program SPSS 17.0 for windows dengan tingkat
kesalahan 5%. Sedangkan untuk mengetahui kontribusi pengetahuan dengan tindakan swamedikasi selesma digunakan analisis regresi linier. Hasil dan Pembahasan :
Demografi Responden
Gejala selesma dapat dikurangi dengan terapi non farmakologi dan farmakologi. Terapi non farmakologi yang dilakukan seperti memberikan vitamin C, madu, buah-buahan, sop/bubur hangat, makanan/minuman hangat.
Gambaran Penatalaksanaan Selesma
untuk terapi juga dapat menyebabkan ketidaktepatan dalam pemilihan obat. Terdapat perlakuan penambahan obat demam pada saat selesma karena demam belum dapat turun dengan pemberian penurun panas yang telah terkandung dalam kombinasi obat selesma. Gejala selesma yang tidak teratasi dapat direkomendasikan dengan peningkatan dosis obat hingga dosis maksimum, juga dapat dirujuk ke dokter atau tempat pelayanan kesehatan lain (Berardi, 2004). Dalam melakukan pengobatan sendiri, masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan dan obat dari rumah sakit, puskesmas, dan poskesdes atau membeli obat sendiri di apotek atau toko obat berizin (Depkes RI, 2008). Pengetahuan Responden
Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan sendiri (swamedikasi) harus mengikuti prinsip penggunaan obat secara umum, yaitu penggunaan obat secara aman dan rasional. Ketepatan pemilihan obat didasarkan atas munculnya gejala selesma. Ketidaktepatan pengobatan di atas disebabkan karena terkombinasinya antara obat satu dengan obat lainnya. Selain itu kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kandungan obat dan penggunaannya, banyaknya promosi obat yang berlebihan, serta kurangnya informasi tentang obat
Pengetahuan responden dalam hal ini meliputi pengertian, gejala, pengobatan dan pencegahan selesma.
Tingkat pengetahuan orang tua dengan kategori baik, dapat diartikan
bahwa orang tua mampu mengetahui, memahami, dan mengevaluasi mengenai pengertian, tanda, gejala, penyebab, pengobatan, pencegahan selesma, yang ditunjukkan dengan kemampuan responden menjawab dengan skor 76-100% jawaban benar. Tindakan Swamedikasi Responden Tindakan swamedikasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah tindakan yang dilakukan orang tua untuk mengatasi gejala yang muncul pada anak berdasarkan pengetahuan dan presepsinya sendiri tanpa bantuan atau suruhan atau bantuan ahli medik atau obat.
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Orang Tua terhadap Tindakan Swamedikasi Selesma pada Anak
Dari tabel tersebut, terlihat suatu kecenderungan bahwa semakin baik pengetahuan tentang selesma maka, semakin tepat untuk melakukan tindakan swamedikasi selesma. Signifikasi hubungan dilakukan dengan pengujian hipotesis menggunakan uji chi square dengan tingkat kesalahan 5%. Hasil pengujian hipotesis uji chi square dengan tingkat kesalahan 5%, didapatkan nilai p = 0,01 maka Ha diterima dan Ho ditolak, artinya terdapat hubungan tingkat pengetahuan orang tua terhadap tindakan swamedikasi selesma pada anak di Kelurahan Grobogan Purwodadi. Uji regresi linier dilakukan untuk mengetahui besarnya kontribusi dari hubungan antara variabel terikat (tindakan) dengan variabel bebas (pengetahuan). Dari hasil pengujian diperoleh nilai R 0,093 dan koefisien determinasi (R square) 0,009 yang artinya tindakan dipengaruhi sebesar 9% oleh pengetahuan. tingkat pengetahuan orang tua mengenai selesma memberikan sumbangan sebesar 9,0% terhadap tindakan swamedikasi yang dilakukan anaknya, sisanya dipengaruhi oleh variabel lain selain variabel bebas yang diteliti seperti pengalaman, tingkat pendidikan, dan informasi dari pihak lain. Kesimpulan
- Pengetahuan orang tua tentang selesma termasuk dalam kategori
baik yaitu sebanyak 68 responden (68,0%) - Tindakan swamedikasi selesma termasuk dalam kategori baik yaitu 88 responden (88,0%) - Terdapat hubungan antara pengetahuan orang tua terhadap tindakan swamedikasi selesma pada anak di Kelurahan Grobogan - Sebesar 9% tindakan dipengaruhi oleh pengetahuan. Saran
- Hendaknya masyarakat meningkatkan pemanfataan peran apoteker untuk membantu perolehan informasi tentang pemilihan obat agar tepat dan sesuai dengan penyakitnya. - Tenaga kesehatan diharapkan memberikan informasi, bimbingan, dan pengarahan tindakan swamedikasi sehingga masyarakat tepat dalam memilih obat. - Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor yang mempengaruhi tindakan swamedikasi pada masyarakat, ketepatan pemilihan obat dalam swamedikasi serta memperbanyak objek penelitian sehingga dihasilkan tingkat kemaknaan yang lebih tinggi.
JUDUL
: PROFIL PENGGUNAAN OBAT BATUK PILEK BEBAS PADA PASIEN ANAK DI BAWAH UMUR 6 THN
PENELITI : Soepardi Soedibyo, Arie Yulianto, Wardhana
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Dr. Cipto Mangun Kusumo, Jakarta Sari Pediatri, Vol. 14, No. 6, April 2013 American Latar Belakang : Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan untuk tidak menggunakan obat batuk pilek yang dijual bebas pada anak usia di bawah
6 tahun oleh karena belum sepenuhnya teruji efektivitasnya pada anak, bahkan terdapat risiko efek samping berbahaya. Metode : Penelitian deskriptif (survei) dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner pada semua orang tua pasien yang membawa anak sakit berumur di bawah 6 tahun di Puskesmas kelurahan Pegangsaan dalam periode 17 Oktober 2011 sampai 04 November 2011. Isi kuesioner meliputi identitas pasien, penyakit batuk pilek yang dialami oleh anak, tindakan orang tua di rumah, dan penggunaan obat batuk pilek yang dijual bebas. Pemilihan sampel dilakukan secara konsekutif dan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular. Hasil :
- Sebagian besar responden adalah perempuan dengan tingkat pendidikan umumnya rendah dan menengah. - Rentang usia anak terbanyak adalah 2-6 tahun - Gambaran penggunaan obat dilakukan dengan menilai penyakit batuk pilek anak, tindakan saat anak batuk pilek, penggunaan obat batuk pilek. - Penyakit batuk pilek anak : 89,6% mengalami episode sakit 1-3 kali dalam 3 bulan terakhir. Gejala terbanyak adalah batuk berdahak (47,2%), hidung berair/tersumbat (47,2%), demam (34,9%), batuk kering
(30,2%), dan gejala batuk malam hari, tetapi mereda pada siang hari 11,3%. - Tindakan saat anak batuk pilek : orang tua memberi obat batuk pilek yang dijual bebas ( 82,1%), memberi obat gosok (55,7%), memberi air minum hangat (28,3%), suplemen vitamin (14,2%), dan memberi jamu tradisional (5,7%). 17,9 % orang tua yang langsung membawa anak ke dokter dan terdapat 2,8% orang tua yang memberikan sendiri antibiotik. - Penggunaan obat batuk pilek : 44,8% orang tua akan memberikan obat batuk pilek bila anak sakit dan belum mengalami perbaikan lebih dari 3 hari. 31,1% orang tua baru memberikan obat batuk pilek bila anak sakit batuk pilek disertai demam. Alasan terbanyak pemberian obat batuk pilek adalah supaya anak cepat sembuh (47,2%). 42,5% orang tua menganggap pemberian obat batuk pilek sebagai pengobatan sementara sebelum mambawa anak ke dokter. 90,8% orangtua mengikuti instruksi aturan pakai dalam kemasan obat. Lama pemberian obat terbanyak selama 1-3 hari (63,2%). 31% orangtua mengetahui efek samping obat batuk pilek yang digunakan. Efek samping
terbanyak yang diketahui adalah gejala mengantuk (81,5%). 97,7% orang tua akan langsung membawa anak ke dokter jika anak belum juga sembuh dengan obat batuk pilek. Komposisi obat batuk pilek yang terbanyak digunakan adalah klorfeniramin maleat (58,8%), parasetamol (56,5%), gliceryl guaicolate (50,6%), pseudoefedrin (28,2%), dextromethorphan (22,4%) dan bromhexine (9,4%). 43,7% orang tua memilih merek obat batuk bersumber dari tenaga medis baik dokter, bidan, maupun perawat. - 82,1% orang tua masih memberikan obat batuk pilek pada anaknya. Hal tersebut bertentangan dengan rekomendasi dari FDA dan AAP. - Penggunaan Klorfeniramin maleat dan dyphenhydramine terbukti mengurangi gejala bersin dan memperbaiki aliran mukosiliar, namun belum terbukti penggunaannya pada anak. Pada orang dewasa, penggunaan ekspektoran dapat mengurangi frekuensi batuk, tetapi belum terbukti efektifitasnya pada anak. Saat ini, mukolitik sebagai obat batuk anak cukup banyak dipakai. Mukolitik diberikan pada anak dengan kesadaran dan refleks batuk yang baik sehingga anak mampu mengeluarkan mukus tersebut. Suatu penelitian
penggunaan mukolitik pada anak dibawah 1 tahun, ditunjukkan adanya risiko berbahaya yaitu kongesti bronkial paradoksikal. - Pada penelitian ini, parasetamol digunakan dalam kombinasi terhadap obat batuk pilek lain. Hanya 10,6% antipiretik yang digunakan secara tunggal untuk menurunkan gejala demam, sisanya antipiretik digunakan dalam kombinasi dengan jenis obat lain. Hal tersebut tentu berlebihan karena tidak semua anak dengan batuk pilek mengalami gejala demam, dalam survei kuesioner yang dilakukan hanya 34,9% gejala demam yang dialami oleh anak. Kesimpulan
Sebanyak 82,1% orang tua memberikan obat batuk pilek OTC bila anaknya sakit batuk pilek. Komposisi kombinasi obat OTC yang banyak digunakan adalah klorfeniramin maleat (58,8%), parasetamol (56,5%), gliceryl guaicolate (50,6%), pseudoefedrin (28,2%), dextromethorphan (22,4%) dan bromhexine (9,4%). Pemberian obat OTC yang mengandung antitusif, antihistamin, dekongestan, dan ekspektoran belum terbukti efektivitasnya pada anak, dan efek samping mengantuk yang terbanyak dirasakan. Saran
Badan pengawasan obat dan makanan (BPOM) perlu menetapkan
secara lebih rinci standar komposisi obat – obat batuk pilek yang dijual bebas, mengacu pada rekomendasi AAP dan FDA. Dextromethorphan dan phenylpropanolamine sebaiknya tidak diberikan untuk anak usia dibawah 6 tahun. Hati-hati pemberian obat OTC yang mengandung pseudoefedrin dan antihistamin pada anak usia dibawah 1 tahun. Hati-hati penggunaan mukolitik untuk anak usia dibawah 1 tahun. Edukasi kepada masyarakat untuk melakukan penanganan sementara batuk pilek dengan hidrasi. Edukasi kepada orang tua pasien tentang penggunaan obat batuk pilek OTC dan risiko efek samping yang dapat timbul
Judul : PERILAKU IBU PADA SWAMEDIKASI PENGOBATAN GEJALA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS PADA ANAK Peneliti : Ani Anggraini, Ida Lisni, dan Ayu Sartika
Prosiding Rakernas dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Apoteker Indonesia 2016 e-ISSN : 2541-0474 Latar Belakang : Obat-obat ISPA termasuk salah satu obat yang sering digunakan dalam swamedikasi. Perilaku swamedikasi sesuai yang dianjurkan pemerintah harus didasarkan pada ketepatan golongan, ketepatan obat, ketepatan dosis serta
lama obat yang terbatas. WHO 2012 menyebutkan penggunaan obat di masyarakat secara rasional didasarkan pada aspek klinik, kebutuhan setiap individu, kecukupan periode waktu, serta harga yang cukup terjangkau. Hal tersebut fokus kepada 4 aspek penting dalam pengobatan rasional yakni ketepatan obat, ketepatan dosis, ketepatan lama pengobatan dan ketepatan biaya. Anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang rentan terhadap berbagai penyakit, hal ini dikarenakan pada usia tersebut anak mulai berinteraksi dengan lingkungan dan daya tahan tubuh (imunitas) anak juga masih rendah sehingga dapat meningkatkan resiko untuk terserang berbagai penyakit khususnya penyakit infeksi baik itu dari virus, bakteri ataupun jamur. Selama bertahun-tahun infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) merupakan masalah kesehatan anak penyumbang terbesar penyebab kematian balita di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah menilai gambaran perilaku swamedikasi pengobatan Gejala Infeksi Saluran Pernapasan Atas pada Anak. Metode : Penelitian dilakukan dengan observasi dan bersifat deskriptif (kuantitatif). Bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki yaitu tentang perilaku pencarian pengobatan yang dilakukan oleh Ibu terhadap Gejala
Infeksi Saluran Pernapasan Atas pada anaknya. Meliputi Kriteria Pasien, Analisa Data dan Pengambilan Kesimpulan dan Saran. Hasil :
Pembahasan :
Penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejalagejala yang ringan. Dalam perjalanan
penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Gejala Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) termasuk kedalam gejala berdasarkan tingkat keparahan penyakit ISPA ringan yaitu batuk, pilek (keluar ingus dari hidung), serak (bersuara parau pada waktu menangis atau berbicara), dan demam (panas). Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk penanganan pertama yaitu beri kompres hangat atau memberi minyak yang hangat, banyak minum air putih, beri makanan bergizi, rumah dengan ventilasi cukup, banyak istirahat, segera bawa ke sarana pelayanan kesehatan apabila anak menunjukkan gejala - gejala ISPA lebih parah. Jika anak demam, Ibu bisa menyeka atau mengkompres tubuhnya dengan air hangat, atau memandikan dengan air hangat. Atau dengan membaluri tubuh anak dengan balsam, minyak kayu putih atau telon. Hal ini untuk mebuatnya lebih nyaman. Sehingga anak dapat beristirahat dengan nyaman. Pastikan juga anak banyak minum, sehingga lendir di saluran napas tidak kental dan mudah dikeluarkan. Memberikan makanan bergizi dapat meningkatkan imunitas pada anak. Sebaiknya anak tinggal pada rumah yang memiliki ventilasi yang cukup sehingga asupan udarapun cukup. Jika gejala tak kunjung berkurang segera bawa anak ke sarana pelayanan kesehatan terdekat.
Salah satu faktor yang dapat menimbulkan resiko ISPA adalah kebiasaan merokok. Secara umum, efek pencemaran udara salah satunya asap rokok terhadap saluran pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan. Akibatnya akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan. Menurut Depkes RI (2009) kejadian penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali per tahun, yang berarti seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun. Berdasarkan Kesimpulan : Penelitian ketika anak ibu lebih memilih terserang gejala ISPA, melakukan swamedikasi dan melakukan pengobatan ke sarana pelayanan kesehatan setelah gejala ISPA tidak kunjung sembuh.
Judul : PATTERNS AND PRACTICE OF SELFMEDICATION AMONG CHILDREN PRESENTING WITH ACUTE RESPIRATORY TRACT INFECTION OR DIARRHEA Peneliti : Shashi Kant Dhir, Amit Jain, Meenal Batta, Gaganpreet Singh Latar Belakang : Praktek pemberian obat tanpa resep dari tenaga medis yang terkualifikasi dapat mengarah pada efek samping yang berbahaya termasuk kematian. Praktek ini lebih
berbahaya pada anak-anak di mana penentuan dosis dilakukan berdasarkan berat badan anak. Dosis terapi yang tidak optimal dapat menyebabkan efek terapi yang tidak optimal dan dapat menyebabkan resistensi pada antibiotik. Irasionalitas penggunaan obat dalam praktek swamedikasi diketahui merupakan permasalahan umum di negara-negara di Asia Tenggara. Peningkatan insiden swamedikasi juga terjadi pada anak. Namun masih terbatas ketersediaan data pravalensi swamedikasi yang diterbitkan, penyebab pemberian, dan tempat pengadaan obat swamedikasi oleh orang tua untuk anak-anak di daerah ini. Studi ini bertujuan untuk memperoleh dan mengevaluasi data berdasarkan pola dan penerapan swamedikasi anak-anak oleh orang tuanya di india bagian utara. Metode : desain penelitian cross sectional. Bertempat di Departemen rawat jalan pediatrik di pelayanan kesehatan tersier rumah sakit di India Utara. Subjek merupakan orang tua bersama anaknya yang mengunjungi Departemen rawat jalan dengan diagnosis infeksi saluran napas akut ataupun diare dan bersedia untuk terlibat dalam penelitian ini dengan mengisi informed consent. Diagnosis ini diambil dari slip resep dari dokter yang memeriksa pasien. Subjek yang dilibatkan 500 partisipan. Penelitian hanya dilakukan pada subjek yang pernah melakukan swamedikasi. Kriteria ekslusinya yaitu subjek yang menolak untuk berpartisispasi,
subjek yang tidak melengkapi kuisioner, dan orang tua yang berprofesi sebagai dokter. Metode pengumpulan data menggunakan kuisioner yang berisi tiga bagian, meliputi data sosio-demografi, praktek swamedikasi, dan pola swamedikasi. Data sosio-demografi menggunakan modified Kuppuswami Socioeconomic Status Scale. Evaluasi praktek swamedikasi dilakukan dengan menanyakan kepada partisipan tentang riwayat, frekuensi dan obat yang umumnya digunakan untuk swamedikasi, sumber untuk membeli obat untuk swamedikasi. Evaluasi pola swamedikasi diperoleh dari jawaban sumber informasi obat yang digunakan, alasan melakukan swamedikasi, dan kapan harus bertemu dengan dokter. Hasil : 500 subjek diperoleh selama periode penelitian 3 bulan. Sejumlah 486 partisipan memenuhi kriteria inklusi.
Data Sosiodemografi
Praktek Swamedikasi Pola Swamedikasi
Pembahasan :
Hampir 2/3 partisipan melakukan swamedikasi pada anaknya. Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa kebanyakan Ibu melakukan swamedikasi untuk anaknya. Lebih dari setengah dari anak laki-laki diberikan swamedikasi. Sedangkan 8 dari 10 anak perempuan diberikan swamedikasi. Hal ini dimungkinkan karena kelaziman bias gender yang potensial di negara ini dan penurunan kecenderungan orang tua untuk membawa anak perempuannya ke pelayanan kesehatan. Sumber informasi obat yang paling umum ditemukan yaitu dari peresepan obat seperti gejala yang sama dialami sebelumnya. Pada
penelitian yang lain menunjukkan bahwa sumber informasi tersebut umumnya hanya diperoleh oleh 2 dari 5 orang. Perbedaan dimungkinkan karena adanya perbedaan status sosioekonomi, komunitas kualifikasi pendidikan, dan kemudahan ketersediaan obat dari toko obat. Penelitian di Italia menunjukkan bahwa sumber informasi paling banyak diperoleh dari konsultasi dengan pediatrik. Perbedaan ini dimungkinkan karena adanya perbedaan kesadaran dan ketersediaan serta pemanfaatan layanan kesehatan. Keterbatasan waktu dan kemudahan pemberiaan juga menjadi faktor untuk orang tua melakukan swamedikasi untuk anaknya. Frekuensi pemberian swamedikasi kebanyakan tergolong jarang. Obat yang umum digunakan NSAIDs juga antibiotik dan obat batuk pilek. Kebanyakan obat diperoleh dari obat sisa pengobatan sebelumnya juga dari dibeli dari toko obat. Penelitian yang lain menghasilkan fakta yang sebaliknya. Hal ini dimungkinkan karena kesadaran dan komunitas pendidikan orang tua. Waktu untuk membawa anak menemui dokter setelah swamedikasi antara tiga hingga hari dilakukan oleh hampir dari setengah partisipan. Hal ini menunjukkan pola yang positif karena faktanya orang tua perhatian terhadap kesehatan anaknya dan tidak menunda berkonsultasi dengan dokter. Kesimpulan :
- Terdapat prevalensi yang tinggi swamedikasi pada anak pada sebagian negara ini. - Terdapat kebutuhan komunitas organisasi dari program pendidikan dan kampanye kepedulian untuk mencerahkan masyarakat tentang bahaya swamedikasi dan membuat masyarakat sadar akan pentingnya berkonsultasi dengan praktisi kesehatan yang terdaftar, meskipun penyakit tidak parah sebagimana yang mereka sangka. - Ke depan diharapkan ada kebijakan pemerintah yang tegas dalam perannya dan regulasi penjualan obat tanpa resep.
Judul : EVALUATION OF NONPRESCRIBED ANTIBIOTIC USE AMONG CHILDREN WITH UPPER RESPIRATORY TRACT INFECTION Peneliti : Ahmed Abdullah Elberrya, Amna Shaikha, Jumana AlMarzoukia, Rotaila Fadul Department of Clinical Pharmacy, Faculty of Pharmacy, King Abdulaziz University, Jeddah, Saudi Arabia Department of Pharmacology, Faculty of Medicine, Beni-Suef University, Beni-Suef , Egypt Latar belakang : Infeksi saluran napas atas menjadi penyakit akut yang umum dialami berdasarkan evaluasi pada rawat jalan pediatrik dari mulai flu pada umumnya hingga penyembuhan penyakit seperti epiglotitis. Antibiotik umumnya tidak dibutuhkan untuk penyakit yang banyak disebabkan oleh virus ini. Seringkali orangtua berharap pengobatan antibiotik saat berobat ke dokter dan dokter seringkali mempertimbangkannya. Di Amerika, antibiotik menjadi obat yang paling diresepkan untuk anak-anak dan hampir ¾ pasien rawat jalan mendapat antibiotik untuk mengobati infeksi saluran napas akut. Kelanjutan efektifitas antibiotik terancam dengan adanya resistensi antibiotik yang banyak disebabkan oleh penggunaannya yang berlebih. Telah diperkirakan, lebih dari 50% antibiotik di dunia ini digunakan tanpa resep. Situasi di negara
berkembang menjadi perhatian khusus karena penggunaannya tanpa arahan tenaga medis banyak disertai dengan regulasi yang tidak teratur dalam distribusi dan penjualan obat resep. Karena data penggunaan antibiotik non resep yang masih sedikit, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penggunaan antibiotik non resep oleh Ibu untuk anak-anaknya yang memiliki infeksi saluran napas atas dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi terkait penyalahgunaan antibiotik. Metode : penelitian deskriptif kulitatif dengan desain cross sectional. Partisipan adalah Ibu yang memiliki anak usia 1 bulan hingga 9 tahun. Pengumpulan data dengan kuisioner yang terlebih dahulu diujikan pada sejumlah kecil populasi. Beberapa kuisioner disebarkan dengan berbasis web kepada paramahasiswa di King Abdulaziz University, Jeddah, Saudi Arabia untuk diisi oleh paraibu mereka dan kuisioner yang lain disebarkan di rumah sakit negeri dan swasta untuk diisi oleh paraibu. Kuisioner mencakup karakteristik demografik ibu, pengetahuan dan sikap ibu terkait penggunaan antibiotik untuk mengobati ISPA, dan informasi umum tentang anakanak dan penggunaan antibiotik. Hasil & Pembahasan : Dari 209 ibu yang mengikuti penelitian, 199 (95,2%) ibu melengkapi kuisioner (80 dari RS Negeri, 70 dari RS Swasta, dan 49 dari web).
Dari hasil tersebut tampak bahwa ibu yang mencari pelayanan kesehatan dan memilih menggunakan antibiotik yang diresepkan lebih banyak daripada ibu yang mengandalkan pengobatan sendiri dan menggunakan antibiotik non resep. Hal ini dimungkinkan terkait dengan mayoritas ibu yang menjadi partisipan merupakan lulusan perguruan tinggi yang terpelajar. Tingkat pendidikan ibu berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan tentang penggunaan antibiotik dan etiologi ISPA, sebagaimana pada penelitian sebelumnya.
Dari tabel tersebut tampak faktor demografik usia ibu dan jumlah anak yang dimiliki ibu tidak banyak berhubungan dengan variabel penelitian. Dan Ibu dengan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang baik tentang penggunaan antibiotik, etiologi ISPA, dan penggunaan antibiotik pada ISPA. Hanya sedikit anak dari ibu yang lebih berpendidikan yang mengalami sakit lebih dari 6 kali dalam setahun. Ibu yang bekerja memiliki pengetahuan yang lebih pada penggunaan antibiotik dan etiologi ISPA daripada ibu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 50% Ibu mengetahui untuk apa antibiotik digunakan. Anak dari ibu yang bekerja lebih jarang mengalami sakit daripada anak dari ibu rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang bekerja memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang pengetahuan penggunaan antibiotik dan penyebab ISPA daripada ibu rumah tangga, hal ini terkait dengan tingkat pendidikan Ibu. Hal ini sesuai dengan penelitain di Hongkong. Di sisi yang lain, penelitian lain mengungkapkan bahwa Ibu lebih memilih menggunakan antibiotik non resep atau memaksa dokter mereka untuk memberikan antibiotik untuk anaknya, hal ini juga dikemukakan pada penelitian di Amerika. Pada penelitian di Amerika, 78% dokter anak percaya bahwa edukasi orang tua mengenai indikasi yang tepat untuk pengoatan antibiotik merupakan faktor penting untuk mendorong peresepan yang sesuai. Tingginnya persentase Ibu yang lebih memilih mendatangi pelayanan kesehatan mungkin terkait dengan
kekhawatirannya akan efek samping antibiotik dan kemungkinan efek antibiotik dalam menurunkan kekebalan alami. Penelitian di Riyadh menunjukkan kemungkinan kemampuan menurunkan imunitas menjadi efek samping yang paling diketahui paraibu. Kesimpulan : penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada pasien ISPA anak di Jeddah merupakan masalah kesehatan dan hal ini mungkin didukung oleh rendahnya pengetahuan dan ketersediaannya yang mudah diperoleh tanpa resep di toko obat. Pendidikan mengenai konsekwensi penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan terjalinnya komunikasi antara dokter dan orang tua. Farmasis memiliki tanggung jawab yang penting untuk tidak menyerahkan antibiotik tanpa resep dan mencegah penggunaan antibiotik sebagai obat dalam swamedikasi. Pendekatan multidisiplin ilmu dan profesi untuk penggunaan antibiotik yang rasional, penyerahan antibiotik sebagai obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep, serta edukasi para ibu khususnya mengenai penggunaan antibiotik yang sesuai, dapat menghentikan penggunaan yang tidak tepat dan resistensi antibiotik.
Judul
:
SURVEY OF NONPRESCRIBED USE OF ANTIBIOTICS IN RESPIRATORY TRACT INFECTIONS AND ROLE OF COMMUNITY PHARMACISTS TO ENLIGHTEN THE SOCIETY
Pengarang : Zehra Ashraf, Ranaa Amjad, Esha Idrees, Tuba Babar, Shanza Sultan and Sualiha Shafaq
Jinnah University for Women, Karachi, Pakistan-2016 Latar Belakang : Infeksi saluran napas merupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus dan umum dialami banyak orang. Meningkatnya penggunaan antibiotik untuk pengobatan infeksi virus seperti flu, batuk, dan infeksi saluran napas atas menjadi perhatian para peneliti. Dilaporkan bahwa 70% antibiotik diperoleh tanpa resep di Apotekapotek. Sebagaimana di Pakistan, praktek ini menjadi berbahaya karena dilakukan tanpa berkonsultasi ke dokter dan rendahya pengetahuan efek samping antibiotik. Praktek ini telah menjadi hal yang biasa dilakukan masyarakat Pakistan. Toko obat tidak mematuhi aturan pemerintah dalam regulasi obat dan hanya mempertimbangkan keuntungan penjualan obat. Penyebab dilakukannya swamedikasi antibiotik ini yaitu biaya berobat dan konsultasi berulang kepada praktisi tenaga medis, juga adanya pengobatan yang tidak sesuai dengan kepuasan pasien. Penelitian penelitian yang lain di dunia juga menunjukkan irrasionalitas penggunaan antibiotik pada pengobatan infeksi saluran napas. Irrasionalitasnya meningkat disertai dengan tanpa berkonsultasi baik kepada dokter maupun apoteker. Kebanyakan orang tua juga meminta diresepkan antibiotik untuk penyakit ISPA anaknya kepada dokternya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi penggunaan antibiotik tanpa resep oleh pasien. Metode : survei dilakukan di kota Karachi-Pakistan. Melibatkan 100 responden yang meliputi 31%
kalangan profesional, 40% non profesional dan ibu rumah tangga, serta 29% pelajar. Data dikumpulkan dengan pemberian kuisioner dengan model pertanyaan piihan ganda (MCQ), diantaranya : a. Penyakit apa yang umum untuk dilakukan swamedikasi oleh Anda? b. Apa yang Anda lakukan jika Anda atau keluarga mengalami penyakit yang sama (mual, diare, demam, flu, dan batuk) seperti sebelumnya saat berobat ke dokter? c. Berapa lama Anda minum antibiotik tanpa resep? d. Pada gejala seperti apa Anda minum antibiotik tanpa resep? e. Menurut Anda, apa pengobatan lini pertamanya? Hasil : Penelitian ini menunjukkan bahwa swamedikasi umum dilakukan pada penyakit infeksi saluran napas yang umumnya disebabkan oleh virus. Hal ini menunjukkan keumuman swamedikasi dilakukan di negara maju dan berkembang. 16% pelajar, 18% profesional, dan 40% nonprofesional lebih memilih swamedikasi termasuk menggunakan antibiotik. Sedangkan 13% pelajar dan 13% profesional tidak menggunakan antibiotik tanpa resep dokter. Antibiotik yang umumnya digunakan yaitu :
Penelitian ini menunjukkan keumuman penggunaan antibiotik tanpa resep digunakan untuk penyakit infeksi saluran napas, termasuk flu dan batuk, dan diare. Orang-orang berpikir bahwa swamedikasi tidak selalu berbahaya, termasuk antibiotik. 9% pelajar melakukan pengobatan sendiri di Rumah beralasan tidak memiliki banyak waktu dan 7% membeli obat ke toko obat. 12% profesional melakukan swamedikasi berdasarkan pengalaman sebelumnya, 3% dari toko obat dan 4% melakukan pengobatan sendiri di Rumah. Pada kalangan non profesional, 30% menggunakan antibiotik di rumah, 5% memperolehnya dari toko obat, dan 15% menggunakan swamedikasi sesuai pengalaman sebelumnya. Durasi swamedikasi antibiotik dihasilkan persentase sebagai berikut :
Alasan melakukan swamedikasi dihasilkan persentase sebagai berikut:
Alasan yang umum dikemukakan mengapa tidak berkonsultasi kepada dokter adalah karena sangat mahalnya berobat kepada dokter yang terkualifikasi, ketidaksediaan meluangkan banyak waktu untuk berobat, dan tes pengujian penyakit yang tidak perlu yang disarankan oleh dokter. Sayangnya, di Pakistan tidak tersedia farmasis yang terkualifikasi. Hal ini menjadi peran utama farmasi komunitas untuk mendidik masyarakat dengan cara yang berbeda baik dengan pemanfaatan media cetak maupun elektronik, seminar, pelatihan dan
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat umum. Farmasis komunitas sebagai profesional kesehatan dapat memberikan konsultasi kepada pasien saat penyerahan obat.
Judul
:
EVALUATION OF PARENTAL PERCEPTION ABOUT SELFMEDICATION AND OTHER MEDICINE USE PRACTICES IN CHILDREN
Peneliti : Dr. Smita Sontakke, Dr. Ayudha Magdum, Dr. Kavita
Jaiswal, Dr. Chaitali Bajait, Dr. Sonali Pimpalkhute, Dr. Ganesh Dakhale (Associate Professor in Pharmacology, Govt. Medical College, Nagpur, M.S. 440003.); Article Accepted on 21/11/2015 Latar Belakang : Secara umum, penggunaan obat pada anak-anak menjadi perhatian khusus karena anak-anak merupakan kelompok yang rentan dalam pertimbangan penggunaan obat. Diketahui bahwa respon pertama pada sebagian besar keluarga jika anaknya sakit adalah menggunakan obat-obat tanpa resep. Praktek swamedikasi saat diterapkan pada anak-anak menjadi perhatian tersendiri. Berbagai studi dilakukan dengan mengevaluasi pola swamedikasi pada anak dan melaporkan tingkat swamedikasi yang lebih tinggi yang seringkali tidak tepat dan orang tua memiliki pengetahuan yang kurang tentang swamedikasi. Swamedikasi memiliki keuntungan seperti kenyamanan, menghemat waktu dan biaya, serta menurunkan biaya kesehatan pemerintah jika dipraktekkan dengan tepat untuk penyakit-penyakit ringan. Tidak banyak diketahui tentang bagaimana pengetahuan dan sikap orang tua tentang obat secara umum yang memengaruhi penggunaan obat pada anak-anak. Oleh karena itu, studi ini dilakukan dengan mengevaluasi pola swamedikasi orang tua pada anak untuk menilai pengetahuan dan sikap orang tua tentang praktek swamedikasi pada
anak dan mencari tahu faktor yang memengaruhi swamedikasi. Metode : Penelitian dilakukan secara prospektif dengan desain penelitian cross sectional menggunakan questionnaire. 170 orang tua yang sedang mengunjungi Pediatric OPD di tertiary care teaching hospital dengan anaknya dilibatkan dalam studi ini. Partisipan diberi arahan tentang penelitian dan informed consent yang berisi kesediaan berpartisipasi. Mereka diwawancarai dengan tatap muka secara langsung dan informasi yang diperoleh dimasukkan dalam semistructured questionnaire untuk diperoleh informasi detail tentang karakteristik demografi (jenis kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan, penghasilan tahunan, dan jumlah anak.), informasi penggunaan obat pada anak dengan tanpa kon\nsultasi ke dokter, seperti swamedikasi (praktek swamedikasi, obat yang digunakan dalam swamedikasi, gejala untuk dilakukan swamedikasi, persepsi tentang swamedikasi, faktor yang memengaruhi swamedikasi, pengetahuan tentang dosis, efek samping dan peringatan tentang obat untuk swamedikasi), serta pengetahuan tentang praktek penggunaan obat yang umum digunakan pada anak.
Questionnaire terlebih dahulu diujikan pada 5 partisipan orang tua yang sedang menunggu untuk konsultasi dengan dokter.
Uji Chi square digunakan untuk mencari hubungan antara pendidikan orang tua, pendapatan tahunan, jenis kelamin dan usia anak dengan swamedikasi. Nilai P kurang dari 0,05 menunjukkan nilai yang signifikan. Graph pad prism software version 5.01 digunakan untuk menganalisis data. Hasil dan Pembahasan : Karakteristik Sosiodemografi dari Populasi Studi
Pengetahuan dan Praktek Responden tentang Aspek-Aspek Swamedikasi pada Anak
Sikap Responden tentang AspekAspek Swamedikasi pada Anak
-
- Penanganan masalah kesehatan pada anak, 79,41% dilakukan oleh seorang ibu. Bukan berarti seorang ayah tidak peduli dengan kesehatan anaknya namun dimungkinkan karena kebanyakan responden memiliki latar belakang sosio ekonomi yang rendah sehingga seorang ayah tidak menyitakan penghasilannya dengan menghabiskan waktu untuk membawa anaknya ke pelayanan kesehatan. - 58,82% orang tua mengaku menggunakan obat untuk anaknya tanpa berkonsultasi ke dokter. Dan selanjutnya dilakukan wawancara lebih lanjut tentang
-
-
-
swamedikasi. Studi yang lain tentang swamedikasi orang tua pada anak melaporkan angka variasi yang tinggi dari 43 hingga 95,7%. Tingginya variasi ini dikarenakan beberapa alasan yaitu perbedaan metode yang digunakan untuk mengumpulkan informasi, ketersediaan pelayanan kesehatan gratis untuk anak di rumah sakit umum pada beberapa negara, perhatian orang tua terhadap keamanan obat yang digunakan dengan swamedikasi dan tingginya biaya pelayanan kesehatan. Swamedikasi yang dilakukan orang tua secara signifikan lebih dilakukan pada anak usia di bawah 5 tahun. Hal ini mungkin dikarenakan orang tua lebih perhatian melakukan swamedikasi pada anak yang lebih kecil karena kerentanannya terhadap efek samping obat. Penghasilan yang rendah menjadi faktor lain yang memengaruhi swamedikasi. Hal ini dimungkinkan karena dapat menghemat keuangan untuk konsultasi ke dokter. Tidak ditemukan hubungan antara pendidikan orang tua dan swamedikasi. Mayoritas responden tidak mengetahui tentang dosis, frekuensi dosis, durasi pengobatan, efek samping dan peringatan obat yang digunakan anak. Ketidaktahuan orang tua tersebut juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di USA
-
-
-
-
dan UK. Studi di UK menyatakan bahwa orang tua yang tidak mengetahui efek samping obat OTC dikarenakan mereka percaya bahwa obat OTC itu tidak kuat dan tidak berbahaya untuk anaknya. Hal ini merupakan perkara yang perlu menjadi perhatian besar karena kerentanan anak terhadap efek samping obat jika digunakan secara tidak benar. Kesadaran yang rendah akan pentingnya pemahaman yang menyeluruh tentang obat dapat menjadi masalah yang serius apalagi dalam penggunaan antibiotik yang dapat berkembang menjadi resistensi obat antibiotik. Kebanyakan responden juga tidak mengetahui tentang obat generik dan obat bermerek. Padahal dengan pengetahuan ini, orang tua dapat memilih menggunakan obat generik atau obat bermerek yang lebih murah untuk pengobatan swamedikasi anaknya. Rendahnya pengetahuan mengenai jumlah 1 sendok teh juga menjadi persoalan karena kebanyakan obat anak dalam formula cair. Hal ini dapat menghasilkan kurangnya atau berlebihnya dosis yang keduanya dikaitkan dengan konsekwensi efek samping. Angka yang tinggi juga terjadi pada kesalahpahaman bahwa obat yang lebih baru dan mahal lebih baik daripada obat lama dan yang lebih murah, serta vitamin, tonik, dan suplemen nutrisi lain itu penting untuk anak-anak. Penting
untuk meluruskan pemahaman ini karena dapat menjadikan orang tua menghabiskan keuangannya untuk pengobatan anaknya yang tidak diperlukan. - Mayoritas orang tua juga menyatakan bahwa obat apapun dapat dicampur dengan makanan sebelum diberikan kepada anak padahal kebanyakan ketersediaan obat dapat menurun karena adanya makanan. Mereka juga menyatakan bahwa semua obat dapat dipecah menjadi dua bagian jika harus diberikan setengah tablet, padahal beberapa bentuk sediaan khusus obat seperti enteric-coated, sustained-release, dan delayed release tidak disintegrasi di lambung. Sehingga memecah obat tersebut dapat menghasilkan absorpsi yang rendah dan menjadikan efek yang berkurang. Dalam hal ini, pasien membutuhkan pengetahuan penggunaan obat yang sesuai dari farmasis. - Gejala yang paling umum untuk orang tua melakukan swamedikasi anaknya adalah demam, batuk, pilek, dan diare. Obat yang umumnya digunakan yaitu analgetik, antipiretik, obat penyakit saluran napas, dan obat diare. Responden tidak ada yang menyebutkan penggunaan antibiotik. Hal ini dimungkinkan karena para orang tua tidak mengetahui kategori obat yang mereka gunakan. - Faktor yang paling umum memengaruhi penggunaan obat
pada swamedikasi adalah munculnya keluhan yang sama, padahal keluhan yang sama tidak selalu mengindikasikan penyakit yang sama pula. - Farmasis menjadi faktor lain yang memengaruhi penggunaan obat swamedikasi. Banyak masalah penggunaan obat yang tidak tepat dapat diatasi jika farmasis menjalankan perannya. - Ketersediaan obat tanpa resep yang mudah, tidak dibutuhkannnya dokter untuk penyakit ringan, tidak tersedianya obat di rumah sakit pemerintah dan penghematan biaya adalah alasan yang banyak untuk dilakukan swamedikasi. Karena sebagian besar responden berlatarbelakang sosial ekonomi rendah, mereka lebih memilih anaknya dibawa ke rumah sakit pemerintah daripada berswamedikasi. Namun karena ketersediaan obat di rumah sakit tidak selalu ada, orang-orang cenderung langsung mendapatkannya dari toko obat. - Semua responden menyatakan berkonsultasi ke dokter jika gejala yang dialami anaknya tidak kunjung sembuh dengan swamedikasi. Kesimpulan & Saran : Kurangnya pengetahuan penting tentang obat untuk swamedikasi dan pengetahuan yang tidak tepat tentang praktek pengguunaan obat-obat umum yang beragam menjadi masalah yang serius saat digunakan untuk anak-
anak. Target intervensi pada perbaikan pengetahuan tentang masalah ini perlu diatasi pada skala yang luas. Karena farmasis merupakan salah satu faktor kunci yang memengaruhi swamedikasi, mereka dapat menjalankan peran utamanya dalam memperbaiki pengetahuan orang tua tentang obat untuk swamedikasi. Judul : SELF-MEDICATION PATTERN AMONG CHILDREN ATTENDING A TERTIARY HOSPITAL IN SOUTH INDIA : A CROSS-SECTIONAL STUDY Peneliti : Sridevi A Naaraayan, I. Rathinabalan, V. Seetha
International Journal of Contemporary Pediatrics Naaraayan SA et al. Int J Contemp Pediatr. 2016 Nov;3(4):1267-1271 Latar belakang : WHO mengakui bahwa swamedikasi merupakan bagian dari upaya merawat diri, termasuk bagi anak-anak. Meskipun obat OTC keberadaannya diperlukan dan diterima efikasi dan keamanannya untuk swamedikasi, penggunaan yang tidak tepat karena kurangnya pengetahuan efek samping dan interaksinya dapat menimbulkan implikasi yang serius, khususnya pada usia yang rentan pada anak. Permasalahan utama swamedikasi antibiotik adalah bahaya resistensi. Faktor yang berpengaruh dilakukannya swamedikasi di manapun berada
yaitu faktor ekonomi, politik, budaya, ketersediaan obat, publikasi yang tidak bertanggung jawab, akses pelayanan kesehatan, pendidikan orang tua, dan status sosio-ekonomi. Dari berbagai penelitian, prevalensi swamedikasi mulai dari 25% hingga 75%. Publikasi mengenai swamedikasi pada anak masih sedikit di India. Data mengenai penyakit yang mengharuskan swamedikasi, obat yang umum digunakan, jumlah obat yang digunakan, sumber perolehan obat, dan alasan berswamedikasi masih sedikit. Tujuan penelitian ini untuk menilai prevalensi dan mengarakterisasi swamedikasi dan hubungan antara karakteristik demografi terhadap swamedikasi pada anak-anak. Metode : Penelitian deskriptif ini dilakukan di Departemen rawat jalan di Institute of child health and hospital for children, Egmore, Chennai, India. Melibatkan anakanak berusia 1 bulan hingga 12 tahun. Berdasarkan penelitian prevalensi sebelumnya oleh National Institute of Nutrition, Hyderabad, India dengan alpha error of 1% dan allowed error 15%, maka jumlah sampel yang direncanakan adalah 685.
Setelah menyepetujui dan mengisi informed verbal consent, kuisioner diberikan kepada pengasuh anak tersebut dan merekam respon mereka. Dilakukan pendataan pada responden meliputi nama, usia, jenis kelamin, hubungan pengasuh dengan anak, alamat (desa/kota), jarak
terdekat fasilitas kesehatan negeri maupun swasta yang dibuka 24 jam, serta status sosio-ekonomi dengan Modified Kuppuswamy scale. Pengasuh yang menyatakan melakukan swamedikasi pada satu bulan terakhir ditanyakan lebih lanjut dan dicatat mengenai penyakit terkait obat yang dibeli, obat yang digunakan, durasi pengobatan, sumber perolehan obat, alasan tidak berkonsultasi ke dokter dan efek samping jika memang dialami. Data demografi dan variabel klinik ditampilkan dalam nilai frekuensi dan persentasenya. Prevalensi swamedikasi ditampilkan dengan nilai kepercayaan 95%. Hubungan antara faktor demografi dan variabel hasil dianalisis menggunakan uji Pearson chi-square dan nilai p kurang dari 0,05 dikatakan signifikan. Hasil :
Diperoleh 754 partisipan dalam penelitian ini. Rata-rata anak berusia
3,86 tahun. Perbandingan anak lakilaki dan anak perempuan adalah 1,52:1. 84% bertempat tinggal di perkotaan. Anak-anak yang memiliki akses pelayanan kesehatan swasta 24 jam dalam jarak 2 km sebanyak 70%. Sejumlah 212 anak-anak dari kalangan sosio-ekonomi tinggi. Dari 754 anak yang dilibatkan dalam penelitian ini, 239 diberikan swamedikasi pada satu bulan terakhir. Hal ini berarti prevalensi swamedikasinya adalah 32% (95% confidence interval 28% - 35%). Penyakit yang umum diredakan dengan swamedikasi yaitu demam (77%) dan selanjutnya yaitu pada penyakit batuk pilek (60%). Parasetamol digunakan sebagai obat tunggal dengan presentase 37% dan digunakan dengan kombinasi dengan presentase 33%. Obat tunggal diberikan pada 62% anak-anak. Rata-rata obat yang digunakan setiap pasien sebanyak 1,5. Rata-rata durasi swamedikasi dilakukan selama 2,5 hari.
Penggunaan obat yang diperoleh dari resep sebelumnya dilakukan pada 44% anak. 35% anak-anak diberikan obat dari apotek. Pencarian obat dilakukan oleh Ibu pada 17% anak, oleh ayah pada 3% anak, oleh kakek pada 2% anak, oleh tetangga pada 2% anak, dan oleh perawat pada 0,4%. Kebanyakan alasan dilakukan swamedikasi ini didasarkan pada pengalaman sebelumya mengenai efektifitas obat tersebut (45%). Selain itu, didasarkan pada persepsi bahwa penyakit tersebut terlalu ringan sehingga tidak perlu dikonsultasikan dengan dokter (28%). 20% beralasan keterbatasan waktu dan 17% dikarenakan keterbatasan keuangan. Hanya 2 pasien yang melaporkan kejadian efek samping obat kepada apotek. Yaitu pasien anak laki-laki berusia 2,5 tahun yang mengalami ruam setelah meminum parasetamol dan obat batuk pilek serta pasien anak perempuan berusia 11 tahun yang merasa lemah dan pusing setelah meminum parasetamol, antibiotic, dan obat batuk pilek. Analisis hubungan antara status demografik terhadap swamedikasi ditunjukkan pada karakteristik umur. Prevalensi swamedikasi meningkat dengan peningkatan umur. Pembahasan : Nilai prevalensi swamedikasi sebanyak 32% sama halnya dengan nilai 37% yang dihasilkan pada penelitian oleh NIN, Hyderabad, India. Penelitian di Jerman menunjukkan nilai prevalensi
25% dengan jumlah sampel 17.450 anak. Beberapa penelitian menunjukkan nilai prevalensi 5070%. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa swamedikasi umum dilakukan oleh kalangan terdidik dan mampu. Fakta bahwa penelitian ini dilakukan oleh keluarga dari kalangan sosioekonomi rendah terbukti dengan rendahnnya rate of selfmedication pada subjek penelitian ini. Ke depan, swamedikasi dapat dipertimbangkan sebagai indikator tidak langsung dari kualitas pelayanan kesehatan dan karenanya pada penelitian ini, prevalensi swamedikasi tergolong rendah karena akses pelayanan kesehatan yang lebih baik. Demam, flu dan batuk menjadi gejala yang paling umum untuk ditangani sebagaimana hasil pada penelitian-penelitian yang lain. Penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa obat yang paling umum digunakan adalah paracetamol, obat flu, dan antibiotik. Oleh para pengasuh, paracetamol digunakan untuk menurunkan demam anak telah diijinkan. Penggunaan antibiotik sebagai swamedikasi dilarang ketat karena dapat mengarahkan pada resistensi antibiotik. Pada penggunaan obat flu, meskipun telah diterima sebagai obat OTC, namun penggunaannya pada anak-anak menghasilkan beberapa komplikasi termasuk kematian dan karena itu FDA mengijinkn penggunaannya untuk anak usia lebih dari 2 tahun. cochrane review
menyatakan bahwa kejadian untuk efektifitas obat flu itu lemah. Oleh karena itu, penggunaannya harus dibatasi, meskipun tidak ada hukuman. Penggunaan obat swamedikasi dengan lebih dari satu obat termasuk jumlah yang besar pada anak-anak. Tidak banyak penelitian yang membuktikan penggunaan polifarmasi ataupun tidak polifarmasi. Sebagaimana pada penelitian yang lain, rata-rata durasi dilakukannya swamedikasi yaitu 2,5 hari. Peresepan sebelumnya menjadi sumber perolehan obat yang paling umum dilakukan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pernyataan farmasis dan Ibu merupakan sumber informasi yang umum digunakan untuk menggunakan obat swamedikasi. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya tingkat pendidikan Ibu yang dibuktikan dengan rendahnya kelas sosio-ekonomi. Ke depannya, penggunaan resep sebelumnya tersebut dapat memberikan pengertian keamanan yang keliru bahwa pengobatan tersebut dibenarkan medis. Di sisi lain, terdapat kurangnya penilaian klinis oleh profesional medis yang terkualifikasi yang menghasilkan diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat. Meskipun obat OTC dibolehkan untuk dijual di Apotek, kenyataannya di beberapa Apotek, obat diserahkan oleh orang-rang yang tidak terkualifikasi. Oleh karena itu, kedua praktek tersebut
membawa risiko yang signifikan untuk anak-anak. Senada dengan penelitian sebelumnya, alasan umum dilakukannya swamedikasi yaitu efektifitas obat yang sebelumnya pernah digunakan juga karena adanya persepsi bahwa penyakit yang dirasakan tidak perlu untuk dikonsultasikan kepada dokter. Terbatasnya waktu dan keuangan menjadi alasan yang tidak banyak dinyatakan. 2 pasien melaporkan kejadian efek samping. Faktor demografik yang secara signifikan mempengaruhi dilakukannya swamedikasi yaitu faktor usia. Anak dengan usia lebih tua lebih umum dilakukan swamedikasi. Hal ini menggambarkan perspektif bahwa faktor yang mendasari swamedikasi adalah kebiasaan daripada kebutuhan. WHO telah menyeujui dilakukannya swamedikasi dan peran-peran farmasis dalam swamedikasi. International Pharmaceutical Federation and the World SelfMedication Industry mendorong pertanggung jawaban swamedikasi dilakukan oleh apoteker dan perusahan obat non resep yang menjamin informasi yang dibutuhkan pasien sehingga aplikasi swamedikasi tidak mengancam kesehatan masyarakat. Kesimpulan : Prevalensi swamedikasi pada anak-anak yang mengunjungi outpatient department of institute of child health, Egmore
adalah 32%. Demam, batuk dan flu umum diredakan dengan swamedikasi dan obat yang umumnya digunakan yaitu paracetamol, obat flu dan batuk, dan antibiotik. Umumnya menggunakan obat dari resep sebelumnya alasan yang paling banyak yaitu didasarkan pada efektifitas dari obat sebelumnya. Swamedikasi ini lebih umum dilakukan pada anak-anak dengan usia yang lebih tua.
Judul : DRUG USE AND SELFMEDICATION AMONG CHILDREN WITH RESPIRATORY ILLNESS OR DIARRHEA IN A RURAL DISTRICT IN VIETNAM : A QUALITATIVE STUDY
Peneliti : Thi Hoan Le, ellinor Ottosson, Thi Kim chuc nguyen, Bao giang Kim, Peter Allebeck - 2011
Department of Public Health sciences, Karolinska institute, stockholm, sweden; Department of environmental Health, Hanoi Medical University, Hanoi, Vietnam; Department of Medicine, gothenburg University, gothenburg, sweden; Department of Family Medicine, Hanoi Medical University, Hanoi, Vietnam; Department of Health education, Hanoi Medical University, Hanoi, Vietnam Latar belakang : Swamedikasi umum dilakukan di banyak negara. Beberapa penelitian menunjukkan swamedikasi yang tidak tepat pada antibiotik untuk flu atau infeksi saluran napas atas. Diketahui bahwa ketidaktepatan swamedikasi ini dapat berkontribusi pada resistensi antibiotik. Di Vietnam, meskipun biaya akses kesehatan khususnya untuk anak-anak telah diringankan, swamedikasi masih menjadi pilihan utama. Mengingat anak-anak menjadi kelompok yang penting dalam kebutuhan pengobatan yang tepat dan resistensi antibiotik harus dicegah, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua tehadap penggunaan obat untuk penyakit infeksi saluran napas dan diare pada anak usia di bawah 5 tahun, serta mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi swamedikasi. Metode : Penelitian dilakukan di Bavi, distrik pedesaan di Provinsi Ha Tay Vietnam yang kebanyakan penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Pelayanan kesehatan, termasuk obat digratiskan untuk balita. Meskipun terdapat apotek-apotek dengan pegawai yang terkualifikasi, obat sering diberikan tanpa resep oleh pegawai yang tidak terkualifikasi. Menggunakan metode convenience sampling. Informan dalam Forum Group Discussion (FGDs) diseleksi dari sekelompok Ibu-ibu yang memiliki anak balita di 4 komunitas di distrik Bavi. Rata-rata Ibu berusia 27 tahun. Partisipan diambil dari rumah tangga ekonomi rendah dan ekonomi tinggi. Setelah para ibu menyetujui untuk menjadi partisipan dalam penelitian, dilakukan wawancara secara mendalam oleh para pekerja kesehatan baik laki-laki maupun perempuan, di rumah sakit distrik, stasiun kesehatan komunitas, toko obat swasta, dan rumah sakit. Mereka semua telah bekerja selama sekitar 10 tahun di distrik tersebut. Data dikumpulkan dengan cara indepth interviews (IDIs) dan focusgroup discussions (FGDs) untuk diperoleh informasi mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku penggunaan obat serta alasan
swamedikasi orang tua pada anak balitanya yang mengalami penyakit pernapasan dan diare. IDI dilakukan oleh 2 penjual obat dan 2 praktisi kesehatan baik di sektor pemerintah maupun swasta. Jumlah informan dalam ke empat FGD mulai dari 6 hingga 9 orang dengan total 28 orang. 2 kelompok terdiri dari Ibuibu ekonomi tinggi dan 2 kelompok lainnya terdiri dari Ibu-ibu ekonomi rendah. Diskusi dilakukan di ruang perkumpulan umum desa atau di rumah salah satu partisipan. Para peneliti dan 2 asisten penelitian bertindak sebagai fasilitator dan notulen di FGD dan IDI. FGD dan IDI berlangsung selama 1,5 jam diikuti dengan pedoman wawancara semi struktural yang berfokus pada sikap dan perilaku Ibu terkait penggunaan obat dan swamedikasi. Prosedur pengumpulan data disetujui oleh komite etik penelitian Hanoi Medical University and Umea University, Sweden. Hasil dan Pembahasan :
Dua tema utama yang diangkat dalam FGD dan IDI adalah miskonsepsi dan penyalahgunaan obat dan faktor yang memengaruhi swamedikasi. Miskonsepsi Obat
dan
Penyalahgunaan
FGD dengan paraibu balita dan IDI dengan penyedia layanan kesehatan memberikan informasi yang sama pada sikap dan perilaku pemberian obat kepada anak dengan penyakit
saluran napas dan diare. Antibiotik diberikan secara berulang selama periode yang singkat. Berdasarkan perhitungan paraibu, antibiotik sering digunakan meski untuk penyakit ringan. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa antibiotik sebagai obat yang dianggap mujarab di Vietnam. Penyalahgunaan obat dan antibiotik dilaporkan terjadi di Vienam dan negara lain baik pada pasien berpendapatan rendah maupun tinggi. Dosis dan durasi pengobatan menjadi dikhawatirkan karena penggunaannya yang secara bebas terkadang dilakukan selama 23 hari. Beberapa menurunkan atau menaikkan dosis dengan semaunya. Hal ini menjadi peringatan besar terhadap peningkatan kemungkinan resistensi antibiotik. Diketahui bahwa Ibu memiliki persepsi bahwa obat yang kuat seringkali berupa obat bermerek dan mahal dan tidak tersedia di Pelayanan Kesehatan Umum sehingga mereka memperolehnya di Toko-toko obat. Dalam hal ini Ibu lebih memilih obat mahal di Toko-toko obat daripada di Fasilitas pemerintah yang digratiskan. Penggunaan kombinasi antibiotik dan kortikosteroid dilaporkan pada kasus penyakit saluran napas. Hal ini mungkin terkait dengan pemikiran obat yang kuat dapat lebih cepat menyembuhkan. Kesalahpahaman mengenai kortikosteroid ini menjadi penjelasan sering digunakannya kortikosteroid di Vietnam. Persepsi obat yang disebut kuat, sebagaimana
antibiotik, dapat mengarah pada penggunaan kombinasi beberapa obat. Praktek ini dapat meningkatkan efek samping sebagaimana yang telah dilaporkan di Vietnam. Miskonsepsi dan penyalahgunaan obat menjadi peringatan besar akan kebutuhan edukasi kesehatan dan meningkatkan pengetahuan pengobatan penyakit yang umum diderita baik dilakukan kepada paraibu maupun komunitas lain secara umum. Faktor yang Swamedikasi
Memengaruhi
Beberapa alasan paraibu lebih memilih swamedikasi untuk anaknya diantaranya persepsi terhadap penyakit yang ringan dan sama seperti sakit sebelumnnya, waktu dan kesempatan yang lebih singkat dan mudah diperolehnya obat, permasalahan sikap dan perilaku staf medis yang buruk dan pemberian resepnya sesuai pedoman pengobatan tidak sesuai dengan persepsi ibu mengenai obat untuk anaknya, kekurangan dan penyimpanan obat yang tidak layak di fasilitas kesehatan komunitas, serta rendahnya kontrol obat resep seperti kemudahan penyerahan antibiotik tanpa resep di toko-toko obat. Dapat dilihat, kebijakan obat gratis di pelayanan kesehatan untuk anak di vietnam belum terimplementasi sepenuhnya yang dibuktikan dengan kecenderungan pembelian obat sendiri di Toko obat meskipun mahal. Permasalahan sikap perilaku
penyedia layanan kesehatan dapat menjadi penghalang keberlangsungan komunikasi staf medis dengan pasien, sehingga pada penelitian di area ini, perbaikan hubungan tersebut menjadi dibutuhkan. Adanya kemudahan penyediaan obat poten, termasuk antibiotik dapat mengarah pada meningkatnya penggunaan obat yang tidak tepat. Dibutuhkan perencanaan yang lebih baik yang mempertemukan kebutuhan masyarakat dan kontrol yang lebih baik terhadap penjualan obat resep di pasaran. Ketidaksesuian antara apa yang dianjurkan di fasilitas kesehatan pemerintah dengan apa yang disediakan di pasaran swasta mengindikasikan dibutuhkannya kolaborasi yang lebih baik antara sektor pemerintah dan sektor swasta. Kesimpulan :
Terdapat miskonsepsi dan penyalahgunaan yang serius terkait obat untuk balita dengan penyakit saluran pernapasan dan diare. Dibutuhkan program yang komprehensif untuk memperbaiki penggunaan obat yang rasional. Pengetahuan paraibu dan perilaku pelayan kesehatan berperan penting dalam swamedikasi. Pelayanan kesehatan harus lebih mudah dijangkau dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat serta perlu adanya peingkatan perbaikan kolaborasi antara penyedia layanan kesehatan pemerintah dengan swasta.
nformasi Tentang Infeksi Saluran Pernafasan
I.
Pengertian Infeksi Saluran Pernapasan
Infeksi saluran pernapasan adalah infeksi yang mengenai bagian manapun saluran pernapasan, mulai dari hidung, telinga tengah, faring (tenggorokan)), kotak suara (laring), bronchi, bronkhioli dan paru. Jenis penyakit yang termasuk dalam infeksi saluran pernapasan bagian atas antara lain : o o o
Batuk pilek Sakit telinga (otitis media) Radang tenggorokan (faringitis)
Sedangkan jenis penyakit yang termasuk infeksi saluran pernapasan bagian bawah antara lain : Bronchitis Bronkhiolitis o Pneumonia o Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan yang dapat berlangsung sampai dengan 14 hari. o
II.
1. Penyebab ISPA : Virus Bakteri Riketsia 2. Penggolongan ISPA, ISPA dapat dibedakan menjadi : ISPA non-pneumonia : dikenal masyarakat dengan istilah batuk-pilek. Pneumonia : apabila batuk pilek disertai gejala lain, seperti kesukaran bernapas, peningkatan frekuensi napas (napas cepat).
3. Hal yang perlu diperhatikan setelah diketahui jenis ISPA yang diderita adalah : Tindakan pengobatan sendiri hanya dapat dilakukan pada ISPA non pneumonia yaitu pada keadaan batuk-pilek ringan. Jika dalam waktu 4 hari penderita tidak sembuh, atau timbul gejala pneumonia, utamanya pada anak balita, segera konsultasikan ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
III.
PILEK o
o
Pilek adalah suatu gejala adanya cairan encer atau kental dari hidung yang disebut ingus. Penyebab pilek : Reaksi alergi adalah :
Reaksi yang terjadi antara allergen seperti debu, bulu binatang peliharaan, dan lain-lain dengan zat pertahanan tubuh yang menyebabkan terlepasnya beberapa zat mediator yang bersifat vasodilator. Akibatnya terjadi pembengkakan selaput lendir hidung yang nampak sebagai hidung tersumbat, meningkatnya sekresi lendir/meler, mata berair dan bersin-bersin.
Infeksi Pilek juga merupakan suatu gejala infeksi virus atau bakteri, missal : influenza
Penanggulangan : c. Terapi non-obat :Pilek akibat alergi dapat dicegah dengan menghindari allergen. d. Terapi obat : Obat pilek hanya digunakan pada pilek yang tidak dapat diatasi dengan terapi non obat. Obat pilek biasanya mengandung antihistamin dan dekongestan hidung, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Antihistamin adalah suatu kelompok obat yang dapat berkompetisi melawan zat yang dilepas pada saat terjadi reaksi alergi. Obat yang merupakan antihistamin antara lain : klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, doksilamin. Dekongestan adalah obat yang mempunyai efek mengurangi hidung tersumbat. Obat yang merupakan dekongestan antara lain : fenilpropanolamin, fenilefrin, efedrin, pseudoefedrin. Batuk Batuk adalah suatu refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan o benda asing dari saluran nafas. Penyebab batuk o Penyakit infeksi : bakteri atau virus, misalnya : tuberkulosa, influenza Bukan infeksi, misalnya debu, asma, alergi, makanan yang merangsang tenggorokan, batuk pada perokok Batuk dapat dibedakan menjadi : o a. Batuk berdahak, yaitu batuk yang terjadi karena adanya dahak pada tenggorokan. Batuk jenis ini lebih sering terjadi o
IV.
pada saluran napas yang peka terhadap paparan debu, lembab berlebih dan sebagainya b. Batuk tak berdahak (batuk kering), terjadi apabila tidak ada sekresi saluran napas, iritasi pada tenggorokan sehingga timbul rasa sakit Penanggulangan : o d. Terapi non-obat :Pada umumnya batuk berdahak maupun tidak berdahak dapat dikurangi dengan cara sebagai berikut : Sering minum air putih, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurangi iritasi atau rasa gatal. Hindari paparan debu, minuman atau makanan yang merangsang tenggorokan dan udara malam yang dingin. e. Terapi obat ; Obat batuk, seperti halnya obat pilek dan flu/influenza, merupakan o obat simptomatik, yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mengatasi keadaan ringan dan hanya merupakan tindakan terhadap gejala penyakit. Pengobatan simptomatik atau pengobatan terhadap gejala penyakit tersebut dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan quality of life penderita, sehingga yang bersangkutan tetap dapat melakukan aktifitas. Apabila batuk berlangsung lebih dari tiga hari atau setelah o pengobatan dengan obat batuk tidak ada perbaikan, atau batuk menjadi lebih berat, dahak bercampur darah atau berwarna hijau/kuning, sesak napas maka penderita diharuskan konsultasi dengan dokter. Terapi obat batuk dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu o ekspektoran (pengencer dahak) misalnya gliseril guaikolat, ammonium klorida, bromheksin dan succus liquiritiae dan antitusif (penekan batuk) misalnya dekstrometorfan dan difenhidramin. Kedua kelompok obat ini dapat diperoleh tanpa resep dokter. Flu atau influenza Flu atau influenza adalah infeksi virus dengan gejala atau keluhan o sebagai berikut : demam/sumang, nyeri kepala, nyeri di otot.
V.
pilek, hidung tersumbat atau berair, batuk, rasa kering di tenggorokan kadang-kadang disertai diare. Penanggulangan : o b. Terapi non-obatFlu umumnya dapat sembuh sendiri oleh daya tahan tubuh. Beberapa tindakan yang dianjurkan untuk meringankan gejala flu adalah seperti untuk keadaan batuk dan pilek dengan ditambah : Beristirahat 2 – 3 hari, mengurangi kegiatan fisik berlebihan. Meningkatkan gizi makanan. Makanan dengan kalori dan protein yang tinggi akan menambah daya tahan tubuh.
Makan buah-buahan segar yang banyak mengandung vitamin. c. Terapi obat : Obat flu yang dapat diperoleh tanpa resep dokter merupakan o kombinasi dari beberapa zat berkhasiat sebagai berikut : antipiretik/analgetik, antihistamin, ekspektoran, antitusif, dekongestan. Beberapa hal yang memerlukan perhatian khusus pada penggunaan o obat flu antara lain : Pada umumnya komponen-komponen yang terkandung dalam o kombinasi obat flu relatif aman untuk dikonsumsi/digunakan sepanjang sesuai aturan pakai. o
o
o
o
o
Obat flu hanya meringankan keluhan dan gejala saja dan tidak dapat menyembuhkan. Umumnya obat flu dengan berbagai merek mengandung kombinasi yang sama, sehingga tidak dianjurkan menggunakan obat flu dengan berbagai merek pada saat yang sama. Fenilpropanolamin, fenilefrin, efedrin dan pseudoefedrin merupakan nasal dekongestan yang harus digunakan secara hatihati pada penderita atau yang mempunyai potensi tekanan darah tinggi maupun usia lanjut. Dextrometorfan HBr merupakan antitusif yang harus digunakan secara hati-hati pada penderita asma. Klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat merupakan antihistamin yang pada umumnya dapat menyebabkan rasa kantuk, sehingga tidak diperbolehkan untuk mengemudikan kendaraan bermotor atau menjalankan mesin. Hal ini harus dicantumkan dalam butir peringatan-perhatian pada brosur atau kemasan terkecil.
Nomor Respon
NAP
Lembar Kuesioner PERILAKU SWAMEDIKASI GEJALA INFEKSI SALURAN NAPAS ATAS PADA BALITA DI KABUPATEN TEGAL
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Di bawah ini, saya : Nama :
Tujuan :
Kuesioner ini dirancang untuk mengidentifikasi “Perilaku Swamedikasi Gejala Infeksi Saluran Napas Atas pada Balita di Kabupaten Tegal”. Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah dengan cermat dan teliti setiap item pertanyaan. 2. Beri tanda cek list (√) pada kotak pertanyaan yang menu rut Bapak/Ibu paling sesuai/benar. 3. Isilah titik – titik yang tersedia dengan jawaban yang benar. 4. Jika salah mengisi jawaban, coret jawaban tersebut dan beri tanda cek list (√) pada jawaban yang dianggap benar.
bersedia terlibat sebagai responden dalam penelitian Sdri. Najmah Mumtazah, mahasiswi Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul penelitian “Perilaku Swamedikasi Gejala Infeksi Saluran Napas Atas pada Balita di Kabupaten Tegal”. Peneliti sudah menjelaskan manfaat, kerugian, dan konsekuensi yang akan saya terima serta menjamin kerahasiaan identitas saya.
Tegal, Ttd.
Mei 2017
A. PENDAHULUAN No.
e. Lainnya (____________
Pernyataan
Ya
Tidak B. DEMOGRAFI
Dalam 3 bulan terakhir, apakah anak balita 1.
Bapak/Ibu pernah mengalami gejala infeksi
Nama
saluran napas atas (demam, flu, dan
______________________________________ ________________
batuk)? 2.
Jenis Kelamin :
Apakah Bapak/Ibu memberikan obat tanpa resep dokter kepada anak balita tersebut? a. Membeli di Apotek
3.
Bagaimana Bapak/Ibu mendapatkan obat tersebut?
:
b. Membeli di Toko obat c.
Menggunakan
Usia
:
Alamat
:
Laki-laki / Perempuan Tahun
______________________________________ ___________ _____ sisa obat
sebelumnya
______________________________________ ___________ d. Lainnya (_________________) _____ a. Pengalaman pribadi/keluarga Pendidikan b. Iklan TV / radio / majalah / Terakhir :
4.
Dari mana Bapak/Ibu memperoleh informasi obat tersebut?
internet
Tidak Sekolah c. Dokter / apoteker / perawat / SD / sederajat tenaga kesehatan lain. SMP / sederajat d. Saran orang lain : Pekerjaan
SMA / sederajat Diploma/S1/S2/S3
hijau atau biru pada kemasannya adalah obat-obat
Petani
PNS
Wiraswasta
TNI/POLRI
Guru
Lainnya
yang boleh dibeli tanpa resep dokter. (tanda dan golongan) Setiap demam, batuk dan pilek ringan maupun berat 3.
Penghasilan perbulan :
V
balita h arus segera d ibawa ke dokter. (analisis ortu perlu memeriksakan ke dokter atau tidak) Pengobatan sendiri untuk anak terutama balita lebih
Kurang dari Rp 1.487.000,00 4.
Lebih dari Rp 1.487.000,00
V
beresiko daripada untuk orang dewasa. (analisis ortu perlu memeriksakan ke dokter atau tidak)
Jenis Kelamin Balita : L/P
5.
: _______________ Tahun
Usia Balita
Berat Badan Balita : _______________ kg
Obat pasti diperlukan setiap batuk dan pilek ringan
V
maupun berat pada balita. (perlu obat atau tidak) Obat-obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter
6.
V
selalu memiliki dosis minum 3x sehari. (Aturan pakai)
C. PENGETAHUAN
SWAMEDIKASI
DAN
GEJALA
7.
INFEKSI SALURAN NAPAS ATAS No.
Pernyataan
Benar
Swamedikasi adalah suatu cara mengobati penyakit V 1.
atau
gejala
penyakit
dengan
menggunakan
Obat-obat yang memiliki tanda lingkaran warna V
yang
diminum
3
kali
sehari,
maka
V
meminumnya setiap 8 jam. (Aturan pakai)
Penentuan Salah 8.Tidak tahu dosis obat untuk anak balita disesuaikan V dengan usia atau berat badannya. (Aturan pakai) 9.
obat/herbal tanpa resep dokter. (pengertian) 2
Obat
10.
1 sendok makan = 15 ml dan 1 sendok teh = 5 ml.
V
(Aturan pakai) Obat yang dijual bebas sudah memiliki efek
V
samping yang ringan termasuk untuk pasien balita.
berdahak. (klasifikasi batuk)
(ketepatan pasien). 11.
Diantara gejala infeksi saluran napas atas adalah
V
demam, batuk, pilek. (gejala) Apa penyebab demam, batuk, pilek yang paling a. bakteri
12.
sering ? (ceklis pada salah satu pilihan jawaban b. virus v yang paling benar) (penyebab)
13.
c. jamur
Gejala infeksi saluran napas atas (batuk dan fllu) V dapat menular melalui udara. (penularan)
20.
21.
22.
23.
Kecepatan pernapasan balita menjadi indikator V 14.
keparahan infeksi saluran napas, seperti pneumonia.
16.
17.
Semua obat batuk di pasaran pasti aman untuk
V
semua anak balita (usia 0-4 tahun). (keamanan obat) Obat
tetes
hidung
oksimetazolin
tidak
boleh V
digunakan pada anak balita. (keamanan obat) Obat antibiotik boleh dibeli tanpa resep dokter.
V
(pengetahuan antibiotik) antibiotik
dapat
menyembuhkan
semua
V
24. penyebab demam, batuk, pilek (bakteri, virus, jamur). (ketepatan penggunaan)
Suhu tubuh normal adalah 370C. (nilai normal)
V
Parasetamol adalah obat untuk mengobati demam. V
25.
Antibiotik harus diminum rutin dan sampai habis. V (ketepatan penggunaan)
(ketepatan obat) Kenaikan
suhu
38
C
pada
balita
dapat V
menimbulkan kejang. (keparahan demam)
D. PERILAKU
18. parasetamol dapat menyebabkan gangguan fungsi hati dan ginjal. (dosis) Batuk terbagi dua yaitu batuk berdahak dan tidak V
SWAMEDIKASI
GEJALA
INFEKSI
SALURAN NAPAS ATAS
Dosis berlebihan pada obat penurun demam yaitu V
19.
V
jenis obat batuk yang sama. (ketepatan indikasi)
Obat
(akibat keparahan infeksi saluran napas) 15.
Batuk berdahak dan batuk kering diobati dengan
No. 1.
Pertanyaan
Ya
Bertanya kepada apoteker / petugas penjaga V toko obat mengenai keluhan dan obat yang
Tidak
2.
akan dipakai. (menanyakan kepada apoteker
pemberian
mengenai keluhan dan obat yang sesuai)
terhadap jadwal pemberian obat)
Mengetahui nama zat aktif obat yang dibeli. V
Misal : obat yang diminum 3 kali sehari,
(pengetahuan nama zat aktif obat yang
maka obat diberikan setiap 8 jam.
digunakan) 3.
Menanyakan
7. kepada
kesehatan/petugas
toko
8.
Mengamati ada tidaknya efek samping obat V pada balita selama pengobatan. (pemantauan
obat. (perhatian terhadap penampilan awal
terhadap ada tidaknya efek samping obat) 9.
Memperhatikan
informasi
terhadap
obat sebelum digunakan, baik dari obat yang
makanan. (Perhatian terhadap informasi
baru dibeli maupun obat yang telah lama
kontraindikasi obat) 10.
obat
Mengamati
lain,
kontraindikasi V
Memperhatikan kemasan dan keadaan fisik V
disimpan. (perhatian terhadap penampilan
ada
herbal,
tidaknya
maupun
kontraindikasi V
fisik obat saat akan digunakan)
terhadap
Memperhatikan dosis dan takaran dosis V
makanan, selama pengobatan. (pemantauan
yang
terhadap
tepat
untuk
balita
sebelum
diminumkan. (perhatian terhadap dosis dan
Memperhatikan ketepatan waktu atau jam
obat
lain,
ada
herbal,
tidaknya
maupun
kejadian
kontraindikasi obat)
penakarannya saat akan digunakan) 6.
Memperhatikan informasi efek samping V
: penampilan bentuk, warna, dan aroma
fisik obat)
5.
(perhatian
samping obat)
obat
mengenai penampilan awal fisik obat. Misal
4.
selanjutnya.
obat. (Perhatian terhadap informasi efek
apoteker/petugas V
penjaga
obat
11. V
Menanyakan
kepada
apoteker/petugas V
kesehatan lama penggunaan obat. (Perhatian
terhadap informasi lama penggunaan obat) 12.
Memperhatikan informasi cara penyimpanan V obat
13.
yang
tepat.
(Perhatian
19.
terhadap
merangsang tenggorokan (seperti makanan berminyak dan minuman dingin) dan udara
Memperhatikan ketepatan cara penyimpanan V
malam. (terapi non farmakologi)
yang
tepat.
(perhatian
terhadap
20.
madu V
farmakologi)
terhadap
informasi
tanggal
21.
antibiotik
membeli
baik
farmakologi)
yang V
sendiri
tanpa
22.
resep.
setiap
23. penggunaan
obat V
2
kali
dosis
24.
seharusnya
karena sebelumnya lupa diminumkan obat.
Menghindari anak balita dari paparan asap V rokok. (terapi non farmakologi)
antibiotik. (penggunaan antibiotik) Menggunakan
Merubah pemberian makan normal selama balita sakit. (terapi non farmakologi)
(penggunaan antibiotik) Menghabiskan
Memperbanyak pemberian ASI jika masih V dalam masa pemberian ASI. (terapi non
Menggunakan
maupun
18.
atau
Membaca informasi tanggal kadaluarsa obat. V
diperoleh dari sisa antibiotik sebelumnya
17.
kecap manis
dicampur dengan air jeruk nipis. (terapi non
kedaluarsa obat)
16.
Meminumkan
ketepatan cara penyimpanan obat)
(perhatian
15.
Menghindari anak balita dari makanan yang V
informasi cara penyimpanan obat)
obat
14.
farmakologi)
V
Mengompres balita dengan air hangat saat V demam. (terapi non farmakologi)
25.
Jika gejala demam, batuk, flu menetap lebih V
(tindakan saat lupa minum obat)
dari 3 hari belum sembuh, segera membawa
Memberikan cairan (air dan sari buah) lebih V
anak balita ke dokter. (swamedikasi tidak
banyak
kunjung sembuh)
dari
biasanya.
(terapi
non
V
g. Tidak ada efek samping E. RASIONALITAS SWAMEDIKASI GEJALA INFEKSI
5. Apakah anak balita Bapak/Ibu juga memiliki penyakit lain saat meminum obat tersebut?
SALURAN NAPAS ATAS
1. Obat apa yang Bapak/Ibu gunakan tanpa resep untuk mengobati gejala infeksi saluran pernapasan atas (batuk, pilek, demam) untuk balita dalam tiga bulan terakhir?
a. Ya. Yaitu : __________________________ b. Tidak 6. Selain obat tersebut, apakah anak balita Bapak/Ibu sedang
_______________________________________ __________
meminum obat lain / herbal / jamu ?
____________________
a. Ya. Yaitu obat : _______________ untuk mengobati
2. Apa
kegunaan
obat
tersebut?
_______________________________________ ______ 3. Bagaimana Bapak/Ibu meminumkan obat tersebut? Dosis :
___________________
tablet/sendok
________________ kali sehari Lama penggunaan : ____________ hari 4. Selama penggunaan obat tersebut, apakah terdapat gejala-
_____________
dengan
jarak
minum
____________ menit / jam. Apakah dirasa obat tersebut mempengaruhi balita? -
Ya
-
Tidak
b. Tidak 7. Pernahkah Bapak/Ibu memberikan dua obat atau lebih yang
gejala efek samping berikut ? (Lingkari pada pilihan huruf)
memiliki khasiat sama bersamaan selama swamedikasi?
a. Alergi (gatal-gatal, ruam)
a. Ya.
b. Sesak napas c. Muntah d. Diare e. Mengantuk f.
Lainnnya : __________________________
obat
Yaitu
:____________,_____________,______________ b. Tidak
obat
Lembar Kuesioner PERILAKU SWAMEDIKASI GEJALA INFEKSI SALURAN NAPAS ATAS PADA BALITA DI KABUPATEN TEGAL
LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
Di bawah ini, saya : Nama :
Tujuan :
Kuesioner ini dirancang untuk mengidentifikasi “Perilaku Swamedikasi Gejala Infeksi Saluran Napas Atas pada Balita di Kabupaten Tegal”. Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah dengan cermat dan teliti setiap item pertanyaan. 5. Beri tanda cek list (√) pada kotak pertanyaan yang menu rut Bapak/Ibu paling sesuai/benar. 6. Isilah titik – titik yang tersedia dengan jawaban yang benar. 7. Jika salah mengisi jawaban, coret jawaban tersebut dan beri
tanda cek list (√) pada jawaban yang dianggap benar.
bersedia terlibat sebagai responden dalam penelitian Sdri. Najmah Mumtazah, mahasiswi Program Studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul penelitian “Perilaku Swamedikasi Gejala Infeksi Saluran Napas Atas pada Balita di Kabupaten Tegal”. Peneliti sudah menjelaskan manfaat, kerugian, dan konsekuensi yang akan saya terima serta menjamin kerahasiaan identitas saya.
Tegal, Ttd.
Mei 2017
A. PENDAHULUAN No.
Pernyataan
Ya
Tidak
Dalam 3 bulan terakhir, apakah anak balita Bapak/Ibu 1.
pernah mengalami gejala infeksi saluran napas atas (demam, flu, dan batuk)?
2.
Apakah Bapak/Ibu memberikan obat tanpa resep dokter kepada anak balita tersebut?
B. DEMOGRAFI
:
Nama
Jenis Kelamin :
Usia
:
Alamat
:
______________________________________________________ Laki-laki / Perempuan Tahun ______________________________________________________ ______________________________________________________
Pendidikan Terakhir :
Tidak Sekolah
SMA / sederajat
SD / sederajat
Diploma/S1/S2/S3
SMP / sederajat Pekerjaan
:
Petani
PNS
Wiraswasta
TNI/POLRI
Guru
Lainnya
Penghasilan perbulan :
Kurang dari Rp 1.487.000,00 Lebih dari Rp 1.487.000,00 Jenis Kelamin Balita : L/P Usia Balita
: _______________ Tahun
Berat Badan Balita : _______________ kg
C. PENGETAHUAN Pertanyaan
1.
Ceklis
Bagaimana Ibu/Bapak mengetahui anak balita mengalami gejala ISPA? a. Demam b. Batuk c. Pilek d. Tidak bisa menelan e. Dll (____________________________________________)
2.
Obat-obat apa saja yang
diberikan untuk menyembuhkan gejala ISPA
balita? a. Antibiotik
(amoksisilin,
klotrimoksazol,
cefuroxime,
ceftriaxone, dll) b. Antipiretik (parasetamol, ibuprofen, dll) c. Antihistamin (difenhidramin, klorfeniramin maleat, dll) d. Dekongestan
(fenilpropanolamin,
fenilefrin,
efedrin,
ammonium
klorida,
pseudoefedrin,dll) e. Ekspektoran
(gliseril
guaikolat,
bromheksin,dll) f.
Antitusif (Dekstrometorfan, dll)
g. Lainnya (________________________________________) 3.
Bagaimana Ibu/Bapak mengupayakan kesembuhan balita yang mengalami gejala ISPA selain dengan pengobatan? a. Memberikan cairan (air dan sari buah) lebih banyak dari biasanya. b. Meminumkan ramuan tradisional seperti kecap manis atau madu dicampur air jeruk nipis. c. Menghindari makanan berminyak dan minuman dingin. d. Menghindari balita dari udara malam dan asap rokok. e. Mengompres balita dengan air hangat saat demam. f.
Dll (____________________________________________)
D. PERILAKU Pertanyaan
Ceklis
1.
Bagaimana upaya awal Ibu/Bapak dalam mengatasi gejala ISPA balita? a. Berobat ke dokter b. Membeli obat tanpa resep ke Apotek c. Membeli obat tanpa resep ke Toko obat d. Melakukan perawatan sendiri di Rumah tanpa obat e. Dll (____________________________________________)
E. RASIONALITAS SWAMEDIKASI GEJALA INFEKSI SALURAN NAPAS ATAS
1. Obat apa yang Bapak/Ibu gunakan tanpa resep untuk mengobati gejala infeksi saluran pernapasan atas (batuk, pilek, demam) untuk balita dalam tiga bulan terakhir? _____________________________________________________________________ 2. Apa kegunaan obat tersebut? _____________________________________________ 3. Bagaimana Bapak/Ibu meminumkan obat tersebut? Dosis : ___________________ tablet/sendok ________________ kali sehari Lama penggunaan : ____________ hari 4. Selama penggunaan obat tersebut, apakah terdapat gejala-gejala efek samping berikut ? (Lingkari pada pilihan huruf) a. Alergi (gatal-gatal, ruam) b. Sesak napas c. Muntah d. Diare e. Mengantuk f. Lainnnya : __________________________ g. Tidak ada efek samping 5. Apakah anak balita Bapak/Ibu juga memiliki penyakit lain saat meminum obat tersebut? a. Ya. Yaitu : __________________________ b. Tidak 6. Selain obat tersebut, apakah anak balita Bapak/Ibu sedang meminum obat lain / herbal / jamu ?