BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diabetes Melitus (DM) adalah salah satu penyakit endokrin yang paling banyak diderita penduduk di seluruh dunia. Menurut ADA, diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemi sebagai akibat defek sekresi insulin, kerja insulin, ataupun keduanya. WHO (World (World Health Organization) Organization) mendefinisikan diabetes mellitus sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein, sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebakan oleh gangguan atau defisiensi fungsi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas (DM Tipe 1) atau disebabkan kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (DM Tipe 2).
1,2,3
Diabetes mellitus secara global adalah salah satu dari penyebab terbanyak penyakit tidak menular. Dilaporkan terdapat sebanyak 366 juta penderita diabetes pada tahun 2011 dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlahnya akan meningkat menjadi 552 juta penderita. DM merupakan penyebab kematian 4,6 juta pada tahun 2011 dan menempati peringkat keempat dari lima penyakit yang menyebabkan kematian pada negara dengan pendapatan tinggi. Terdapat bukti berarti bahwa DM merupakan sebuah epidemic pada negara berkembang. Terhitung sekitar 400 orang setiap hari, 17 orang setiap jam, dan 3 orang setiap 10 menit menderita diabetes.
4,5
Menurut IDF, Indonesia menempati peringkat 10 negara yang memiliki penderita diabetes terbanyak, yaitu 7,3 juta penderita dan diperkirakan di tahun 2030 naik satu peringkat melejit menjadi 11,8 juta penderita. Jumlah ini masih diluar dari penderita DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis karena ada beberapa gejala tidak terdeteksi pada fase awal penyakit.
5
1
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal apabila pengobatannya tidak tepat. Penatalaksanaan DM yang tidak tepat menyebabkan glukosa darah pasien menjadi sulit terkontrol sehingga dapat meningkatkan biaya terapi pasien dan menimbulkan munculnya berbagai komplikasi seperti neuropati diabetik, nefropati diabetik, stroke, 6,7
kebutaan, dan ulkus diabetik yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien DM.
Salah satu faktor yang berperan dalam kegagalan pengontrolan glukosa darah pasien DM adalah ketidakpatuhan
pasien
terhadap pengobatan.
Kepatuhan
pengobatan adalah kesesuaian diri pasien terhadap anjuran atas medikasi yang telah diresepkan yang terkait dengan waktu, dosis, dan frekuensi.Ketidakpatuhan terhadap pengobatan DM saat ini masih menjadi masalah yang cukup penting dalam pengelolaan DM. Beberapa studi melaporkan bahwa tingkat kepatuhan kep atuhan penderita DM tipe 1 berkisar antara 70-83% sedangkan DM tipe 2 sekitar 64-78%. Tingkat kepatuhan pasien DM tipe 2 lebih rendah dibandingkan DM tipe 1 dapat disebabkan oleh regimen terapi yang umumnya lebih bersifat kompleks dan polifarmasi, serta efek samping obat yang timbul selama pengobatan. Suatu penelitian menyatakan bahwa kepatuhan pasien DM tipe 2 yang diterapi dengan sulfonylurea sekali sehari adalah 94% sedangkan dengan regimen sulfonylurea dua atau tiga kali sehari adalah 57%. Selain factor yang berhubungan dengan medikasi, keberhasilan penatalaksanaan penderita DM harus dipertimbangkan pada kelainan dasar, disamping faktor-faktor lain, seperti pengendalian berat badan, pengaturan asupan makanan dan faktor-faktor penyerta
lain,
mengenai
perjalanan
penyakit,
pencegahan,
penyulit,
dan
penatalaksanaan DM. Selain itu, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah serta depresi yang dialami psaien juga dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah dan tingkat morbiditas yang tinggi pada pasien DM.
6,8,9
Sangat sulit menilai tingkat kepatuhan penderita dalam mengikuti anjuran dokter untuk dapat mengendalikan kadar glukosa darah, baik menyangkut jadwal minum obat dan dosis, maupun pola hidup (pola makan, olah raga, dan lain-lain). Ada beberapa parameter laboratorium yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kepatuhan penderita, salah satunya adalah hemoglobin A1c ( HbA1c ), yaitu glukosa 2
yang terikat pada N- terminal valin hemoglobin rantai ß, yang terjadi melalui reaksi non enzimatik. Pengukuran HbA1c sebagai indikator kepatuhan pasien DM adalah paling baik dibandingan menggunakan menggun akan pengukuran glukosa dalam darah d arah maupun urin karena HbA1c yang terbentuk merupakan hasil dari reaksi kimia antara glukosa yang ada di dalam darah dengan hemoglobin sehingga HbA1c dapat bersinergi dalam tubuh selama masa hidup sel darah merah. Dengan demikian, HbA1c dapat menggambarkan konsentrasi glukosa darah rata-rata selama periode 8-12 minggu sebelumnya.
1, 2 ,10
Kadar HbA1c lebih dari 6.5% menunjukkan kepatuhan pasien DM dalam mengontrol glukosa darah adalah kurang baik sehingga dapat meningkatkan resiko timbulnya
komplikasi
diabetik,
baik
komplikasi
mikrovaskular
maupun
makrovaskular. Selain HbA1c, tingkat kepatuhan pada pasien DM tipe 2 juga dapaat diukur dengan menggunakan kuisioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS-8). Kuesioner MMAS-8 adalah alat penilaian dari WHO yang sudah divalidasi dan sering digunakan untuk menilai kepatuhan pengobatan pasien dengan penyakit kronik, seperti diabetes mellitus. MMAS-8 berisi delapan pertanyaan tentang penggunaan obat dengan jawaban ya dan tidak. Nilai MMAS-8 yang tinggi menunjukkan tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan rendah.
8, 11
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
Yang
dipaparkan
tersebut,
dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut : a.
Bagaimana hubungan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah obat, regimen dosis obat, efek samping obat, durasi penyakit DM, diet, dan olahraga berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan minum obat pasien DM tipe 2 ditinjai dari kadar HbA1c dan nilai MMAS-8?
b.
Bagaimana korelasi nilai HbA1c dengan kepatuhan minum obat menggunakan skor MMAS-8 terhadap pasien DM tipe 2?
3
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Menganalisis hubungan antara kepatuhan minum obat pasien pasien diabetes
mellitus tipe 2 yang ditinjau dari kadar HbA1c dan nilai MMAS-8 1.3.2
Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran karakteristik umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah obat, regimen dosis obat, efek samping obat, durasi penyakit DM, pada pasien DM tipe 2 di Poli Endokrin Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. b. Mengevaluasi faktor-faktor yang memmpengaruhi tingkat kepatuhan minum obat psien DM tipe 2 di Poli Endokrin Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah obat, regimen, dosis obat, efek samping obat, durasi penyakit DM, pola diet, dan olahraga c. Mengevaluasi korelasi tingkat kepatuhan minum obat pasien DM tipe 2 di Poli Endokris RS Wahidin Sudirohusodo berdasarkan nilai HbA1c dengan skor MMAS-8.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Sebagai masukan bagi rumah sakit dalam program penyuluhan dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, kepatuhan, dan kontrol glukosa darah pada penderita DM tipe 2. b. Sebagai masukan bagi para dokter untuk lebih meningkatkan peran dokter di rumah sakit dalam meningkatkan kepatuhan minum obat dan kontrol kadar glukosa darah pada penderita DM tipe 2 c. Meningkatkan pengetahuan pasien DM tipe 2 khususnya tentang terapinya sehingga dapat meningkatkan kepatuhannya dalam minum obat
4
d. Menambah pemahaman peneliti terhadap permasalahan yang dialami pasien berkenaan dengan penyakit dan kepatuhan pasien DM tipe 2 dalam meminum obat sehingga dapat meningkatkan rasa percaya diri dalam memberikan edukasi pada waktu berikutnya
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus
2.1.1
Definisi Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata (retinopati), ginjal (nefropati), saraf (neuropati), jantung, dan pembuluh darah. World Health Organization Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu penyakit kronis yang disebabkan oleh ganguan pankreas dalam memproduksi insulin atau kondisi dimana badan tidak dapat menggunakan insulin yang dihasilkan oleh pankreas secara effisien. Kedua keadaan ini akhirnya akan menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemi). Sumber
lain
mengatakan
10, 13
bahwa
diabetes
melitus
adalah
gangguan
metabolisme secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemi pua sa dan postprandial, arterosklerotik, penyakit vaskular mikroangiopati dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemi biasanya sudah bertahun tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes.
14
6
2.1.2
Epidemiologi Diabetes mellitus secara global adalah salah satu dari penyebab terbanyak
penyakit tidak menular. Dilaporkan terdapat sebanyak 366 juta penderita diabetes pada tahun 2011 dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlahnya akan meningkat menjadi 552 juta penderita. DM merupakan penyebab kematian 4,6 juta pada tahun 2011 dan menempati peringkat keempat dari lima penyakit yang menyebabkan kematian pada negara dengan pendapatan tinggi. Terdapat bukti berarti bahwa DM merupakan sebuah epidemic pada negara berkembang. Terhitung sekitar 400 orang setiap hari, 17 orang setiap jam, dan 3 orang setiap 10 menit menderita diabetes.
4,5
Menurut IDF, Indonesia menempati peringkat 10 negara yang memiliki penderita diabetes terbanyak, yaitu 7,3 juta penderita dan diperkirakan di tahun 2030 naik satu peringkat melejit menjadi 11,8 juta penderita. Jumlah ini masih diluar dari penderita DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis karena ada beberapa gejala tidak terdeteksi pada fase awal penyakit. Di Indonesia saat ini penyakit DM belum menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas SDM, terutama akibat penyulit menahun yang ditimbulkannya.
5
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar 1,5 – 2,3 % pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1 %. Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di Indonesia membuktikan adanya kenaikan prevalensi dari tahun ketahun. Berdasarkan pola pertambahan penduduk , diperkirakan pada p ada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia diatas d iatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4 % akan didapatkan 7 juta pasien DM, suatu jumlah yang sangat besar untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis / subspesialis / endokrinologis.
13, 15
7
2.1.3
Etiologi Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe II, penyakitnya mempunyai
pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes melitus tipe II pada kembar monozigot hampir 100%. Resiko berkembangnya DM tipe II pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe II, rasio rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe II.
2.1.4
14
Klasifikasi Menurut American Menurut American Diabetes Association (ADA), terdapat 4 klasifikasi
diabetes mellitus, yaitu :
2
a. Diabetes Mellitus Tipe 1 Diabetes mellitus tipe I disebut juga dengan istilah diabetes tergantung insulin atau diabetes yang muncul sejak kanak-kanakatau remaja juvenile (juvenile diabetes). diabetes). Kasus DM tipe I berkisar antara 5-10% dari seluruh populasi penderita diabetes. Lebih dari 95% penderita DM tipe I berkembang menjadi penyakit diabetes sebelum umur 25 tahun.
2
Diabetes jenis ini dikarekteristikkan oleh defisiensi produksi insulin absolut akibat destruksi sel β pancreas sehingga membutuhkan membutuhkan pemberian insulin eksogen setiap harinya. Destruksi sel β pancreas dapat disebabkan karena reaksi autoimun seperti autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin, antibody terhadap dekarboksilase asam glutamate, dan autoantibodi terhadap fosfatase tirosi 1A-2 dan 1A-2β. 1A-2β.
2, 16
b. Diabetes Mellitus Tipe 2 Diabetes Mellitus tipe 2 juga dikenal dengan istilah diabetes yang tidak tergantung insulin atau diabetes yang muncul setalh dewasa (adult (adult onset). Penderita DM tipe 2 mencapai sekitar 90% dari seluruh populasi penderita diabetes. Diabetes 8
jenis ini dikarakterisasi oleh resistensi insulin dan berkurangnya sensitivitas insulin sehingga mengakbatkan peningkatan lipolysis dan produksi asam lemak, peningkatan produksi glukosa hati, dan d an penurunan ambilan glukosa oleh otot skeletal. Timbulnya DM tipe 2 dikaitkan dengan pola gaya hidup yang buruk, seperti kurangnya olahraga, obesitas, dan diet tinggi lemak dan rendah serat.
2, 16
c. Diabetes Mellitus Gestasional Diabetes mellitus gestasional adalah hiperglikemia yang timbul selama masa kehamilan. Hiperglikemia timbul akibat intoleransi glukosa dan biasanya berlangsung hanya sementara. Sekitar 7% wanita hamil diketahui menderita diabetes mellitus gestasional dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua
2
d. Diabetes Mellitus Tipe Lain Diabetes yang disebabkan oleh-oleh factor-faktor lain terjadi pada sekitar 12% dari semua kasus diabetes. Penyebab-penyebab lain yang dapat menimbulkan diabetes mellitus jenis ini diantaranya, yaitu defek gentik fungsi sel β, defek genetic kerja insulin, penyakit eksokrin pancreas seperti cystic fibrosis, dan obat atau zat kimia yang dapat menginduksi diabetes, seperti glukokortikoid.
2.1.5
2
Patofisiologi Karbohidrat terdapat dalam berbagai bentuk, termasuk gula sederhana atau
monosakarida, dan unit-unit kimia yang kompleks, seperti
disakarida dan
polisakarida. Karbohidrat yang sudah ditelan dicerna menjadi monosakarida dan diabsorpsi, terutama dalam duodenum dan jejunum proksimal. Sesudah diabsorpsi, kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara waktu dan akhirnya akan kembali lagi ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar bergantung pada hati yang (1) (1 ) mengekstraksi glukosa, (2) menyintesis glikogen dan (3) melakukan glikogenolisis. Dalam jumlah yang lebih sedikit, jaringan perifer otot dan adiposa juga mempergunakan ekstrak glukosa sebagai sumber energi sehingga jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah.
14
9
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang digunakan oleh jaringan jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologis beberapa hormon yaitu (1) glukagon yang disertai sel-sel alfa pulau langerhans, (2) epinefrin yang disekresi oleh medula adrenal dan jaringan kromafin lain, (3) glukokortikoid yang disekresi oleh korteks adrenal, dan (4) growth hormon hormon yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Glukagon, epinefrin, glukokortikoid, dan growth dan growth hormon, hormon , membentuk suatu pelayanan mekanisme regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemi akibat pengaruh insulin.
14
Diabetes Melitus tipe II ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi sekresi intrasellular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT G LUT 4 glukosa dan meningkatkan men ingkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan DM tipe II terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi pengabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat menggangu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien DM tipe II mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatan akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe II. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.
14
10
2.1.6
Diagnosis
a. Gejala klinis Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien- pasien dengan defisiensi defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbulnya glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
3, 10, 14
Pada pasien DM tipe II munkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemi oral mungkin diperlukan terapi
insulin
untuk
menormalkan
kadar
glukosanya.
Pasien
ini
biasanya
memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen.
14
b. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar gula darah. Dalam menentukan diagnosa DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosa, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan d engan cara c ara enzimatik dengan den gan bahan darah plasma vena. Untuk 11
memastikan diagnosa DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian, sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa d iperiksa glukosa darah kapiler. Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda-tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring DM bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik DM akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringan positif, 3, 10, 15
untuk memastikan diagnostik definitive.
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko resiko tinggi untuk DM, yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan bayi > 4000 gr, riwayat DM pada kehamilan dan dislipidemia.
Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan dengan pemeriksan glukosa darah sewaktu,
dan
kadar glukosa darah
puasa. Kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Cara pemeriksaan TTGO, adalah:
3, 10
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa. 2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu ban yak. 3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam. 4. Periksa glukosa darah puasa. 5. Berikan glukosa 75 gr yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam 5 menit. 6. Periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaaan TTGO diperlukan untuk memastikan 12
diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang lain atau TTGO yang abnormal. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis (mg/dl).
15
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan: 1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L) 2. Glukosa plasma puasa >126 mg/dl (7,0 mmol/L) 3. Glukosa
plasma
dari
sampel
yang
diambil
2
jam
kemudian
mengkonsumsi 75gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl ). ).
2.1.7
sesudah 3,10,15
Penatalaksanaan
2.1.7.1 Nonfarmakologi 2.1.7.1 Nonfarmakologi Penatalaksanaan nonfarmakologi diartikan sebagai penatalaksanaan tanpa obat yang meliputi, :
16
13
a. Pengaturan diet Fokus utama penatalaksanaan DM adalah diet seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Prinsip pengaturan pola makan pada penderita diabetes hamper sama dengan anjuran makan utnk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan klaori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penderita diabetes yang perlu ditekankan adalah pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Penerapan pengaturan diet yang baik pada penderita DM tipe 2 dapat membantu mengontrol glukosa darah sehingga dapat menurunkan kadar HbA1c, yang akhirnya dapat menurunkan resiko progresivitas berbagai komplikasi yang mungkin dapat timbul akibat penyakit DM. Dari hasil penelitian pada tahun 2004 menyatakan bahwa penatalaksaan diet pada penderita DM tipe 2 dapat menurnkan kadar HbA1c setelah 8 minggu program diet dilaksanakan (p=0,001).
1
b. Olahraga Olahraga dapat meningkatkan sensitivitas insulin, membantu mengontrol glukosa
darah,
memnurunkan
factor
resiko
kardiovaskular,
dan
membantu
menurunkan atau mempertahankan berat badan. Pberdasarkan penelitian juga didapatkan bahwa pelaksanaan olahraga pada penderita DM tipe 2 dapat menurunkan kadar HbA1c setelah 8 minggu program olahraga dilaksanakan (p=0,001).
1
2.1.7.2 Farmakologi a. Insulin Insulin memnurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi ambilan glukosa di periger dan menghambat produksi glukosa hepatic. Terapi insulin merupakan terapi pilihan untuk penderita DM tipe 1 karena pada DM tipe 1 terjadi defisiensi produksi insulin absolut akibat destruksi sel β pancreas sehingga membutuhkan pemberian insulin eksogen. Pemberian insulin juga diperlukan untuk beberapa keadaan lain, yaitu penderita DM tipe 2 yang glukosa darahnya tidak dapat dikendalikan dengandiet dan anti diabetic oral, DM dengan berat badan yang menurun cepat, DM dengan ketoasidosis dan hyperosmolar non ketotk, DM dengan 14
kehamilan, kontraindikasi atau alergi dengan antidiabetik oral, gangguan fungsi hati atau ginjal yang berat, dan stress berat, seperti infeksi sistemik, operasi besar.
17
Rata-rata kebutuhan insulin pada DM tipe 1 yaitu 0,5-0,6 unit/kg, sedangkan pada DM tipe 2, rata-rata sebesar 0,7-2,5 unit/kg. efek samping yang umum ditimbulkan, yaitu hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Terapi hipoglikemia dapat diatasi dengan pemberian glukosa (1015 gr) yang diberikan secara oral untuk terapi pada pasien yangs adar, pemberian dekstrosa IV untuk pasien yangkehilangan kesadaran, atau glucagon 1 gt secara intramuscular untuk pasien yang tidak sadar ketikan pemberian secara IV tidak dapat dilakukan. Sediaan insulin untuk terapi DM terdapat dalam berbagai jenis, yang berbeda dalam hal onset dan durasinya.
16
b. Sulfonylurea Sulfonilurea digunakan sebagai salah satu terapi pada DM tipe 2 karena dapat menstimulasi sekresi insulin. Mekanisme sekresi insulim terjadi karena sulfonylurea dapat berikatan dengan subunit SUR 1 pada kanal kalium yang sensitive ATP (k2+
ATP) di sel β pancreas sehingga kanal Ca yang sensitig tegangan terbuka dan terjadi ind=fluks kalsium. Peningkatan kalsium intraseluler menstimulasi eksositosis pelepasan granul insulin dan meningkatkan sekresi insulin. Sulfonylurea
dapat
menurunkan
kadar
18
HbA1c hingga
0,8-2,0%
dan
menurunkan kadar lukosa puasa 60-70 mg/dL (3,3-3,9 mmol/L). Obat yang termasuk dalam golongan ini yaitu glibenklamid, gliklazid, glipizid, glikuidon, dan glimepiride. Efek samping obat golongan ini yang sering terjadi yaitu hipoglikemia dan peningkatan berat badan.
16
c. Biguanid Biguanid adalah obat antidiabetes oral yang tidak memliki efek stimulasi sekresi insulin sehingga tidak memiliki efek hipoglikemia. Obat yang termasuk dalam golongan ini, yaitu metformin. Metformin berperan meningkatkan sensitivitas insulin dengan cara meningkatkan ambilan glukosa di jaringa nperifer. Selain itu, metformin juga menurunkanproduksi glukosa hati degan menurunkan glikogenolisis dan gluconeogenesis. Metformin juga dapat menurunkan absorpsi glukosa di usus. 15
Metformin menurunkan kadar HbA1c sekitar 1,5-2,0% dan kadar glukosa puasa 60-80 mg/dL. Selain itu metformin juga meningkatkan kadar HDL dan menurunkan kadar trigliserida dan LDL. Efek samping yang sering timbul pada penggunaan pada penggunaan metformin, yaitu laktat asidosis, rasa logam dan ganguan saluran pencernaan, seperti mual, diare, kembung, dan kram abdominal. d. Tiazolidindion Tiazolidindion adalah obat antidiabetes oral golongan activator sintetik peroksisom proliferator activator reseptor-γ reseptor-γ ( PPAR-γ). PPAR-γ). GOlongan tiazolidindion berperan meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin dengan cara berikatan dengan PPAR-γ PPAR-γ di otot skelet, jaringan lemak, dan hati sehingga dapat menurunkan kadar asam lemak bebas dan menghambat priduksi glukosa hati serta meningkatkan transport glukosa kedalam sel sehingga ambilan glukosa kedalam sel meningkat.
16
Pengunaan tiazolidindion menurunkan HbA1c sekitar 0,5-1,5% dan kadar glukosa darah puasa 25-50 mg/dL (1,4-2,8 mmol/L). obat-obat yang termasuk golongan tiazolidindion meliputi Rosiglitazon dan Pioglitazon. Efek sampng yang sering timbul akibat pengguaan obat ini yaitu peningkatan berat badan dan peningkatan kadar transaminase.
16
e. Αlpha (α) glucosidase inhibitor glucosidase inhibitor Golongan
inhibitor
α-glukosidase α-glukosidase
bekerja
menghambat
enzim
alfa
glukosidase yang terdapat di usus halus. Enzim-enzim Enzim-enzim α-glukosidase α-glukosidase seperti maltase, isomaltase, glukomaltase, dan sukrase berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida di usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes. Selain S elain itu senyawa inhibitor α-glukosidase α-glukosidase juga menghambat enzim α amylase pancreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida dalam dalam lumen usus halus. Pengguanaan inhibitor α-glukosidase α-glukosidase dapat menurunkan kadar HbA1c sekitar 0,3-1,0% dan kadar glukosa darah puasa 40-50 mg/dL (1,9-2,2 mmol/L). Obat-obat Obat-obat yang termasuk dalam golonga n α-glukosidase α-glukosidase meliputi acarbose
16
dan miglitol. Inhibitor Inhibitor α-glukosidase umumnya menimbulkn efek samping berupa flatulensi, mual, diare.
16
2.2 HbA1c (Hemoglobin Terglikasi/Glikohemoglobin/Hemoglobin terglikosilasi/ Hb Glikat/Ghb)
2.2.1
Biokomiawi dan metabolism Hemoglobin pada
manusia terdiri dari HbA1, HbA2, HbF( fetus)
Hemoglobin A (HbA)terdiri atas 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin total. Molekul glukosa berikatan dengan HbA1 yang merupakan bagian dari hemoglobin A. Proses pengikatan ini disebut
glikosilasi atau
hemoglobin terglikosilasi
atau
hemoglobin A. Dalam proses ini terdapat ikatan antara glukosa dan hemoglobin. Pada penyandang DM, glikolisasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 120 hari terakhir, bila kadar glukosa darah berada dalam kisaran normal selama 120 hari terakhir, maka hasil hemoglobin A1c akan menunjukkan nilai normal.
Hasil pemeriksaan hemoglobin A1c merupakan
pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada pad a semua tipe penyandang pen yandang DM. Pemeriksaan ini bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan kendali glikemik.
19
Pembentukan HbA1c terjadi dengan lambat yaitu selama 120 hari, yang merupakan rentang hidup sel darah merah. HbA1 terdiri atas tiga molekul, HbA1a, HbA1b dan HbA1c sebesar 70 %, HbA1c dalam bentuk 70% terglikosilasi (mengabsorbsi glukosa). glukosa). Jumlah hemoglobin yang terglikolisasi terglikolisasi bergantung bergantung pada jumlah glukosa yang tersedia. Jika kadar glukosa darah meningkat selama waktu yang lama, sel darah merah akan tersaturasi dengan glukosa menghasilkan glikohemoglobin.
20
Kadar HbA1c merupakan kontrol glukosa jangka panjang, menggambarkan kondisi 8-12 minggu sebelumnya, karena paruh waktu eritrosit 120 hari karena mencerminkan keadaan glikemik selama 2-3 bulan maka pemeriksaan HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan.
19,20
Peningkatan kadar HbA1c >8% 17
mengindikasikan DM yang tidak terkendali dan beresiko tinggi untuk menjadikan komplikasi jangka panjang seperti nefropati, retinopati, atau kardiopati, Penurunan 1% dari HbA1c akan menurunkan komplikasi sebesar 35% .
19
Berdasarkan rekomendasi ADA, digunakan batas cut-off point kadar HbA1c ≥ 6,5 % ( American American Diabetes Diabe tes Associstion) dalam mendiagnosis diabetes. Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap awal penanganan, pemeriksaan pengendalian.
2.2.2
selanjutnya
merupakan
pemantauan
terhadap
keberhasilan
20
Metode Pemeriksaan Sampel: darah vena dengan antikoagulan (EDTA, heparin, oksalat) Pengambilan sampel untuk pemeriksaan HbA1c pada penderita DM bias
dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel pemeriksaan glukosa. Metoda pemeriksaan yang dipakai ; 1. HPLC( High Performance Liquid Chromatography) 2. Imuno Turbidimetri ( Men Kes RI, 2004) Ada beberapa kondisi dimana pemeriksaan kadar HbA1c terganggu dan tidak akurat, misalnya :
akan sangat
20
a. Specimen ikterik (kadar bilirubin>5.0mg/dl), Warna kekuningan pada serum akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh yang menandakan terjadinya gangguan fungsi dari hepar( Widmann, 2004) b. Specimen hemolisis Pada destruksi Eritrosit , membran sel pecah sehingga Hb keluar dari sel, hemolisis menunjukkan menunjukkan
destruksi eritrosit eritrosit yang terlalu cepat , baik kelainan
intrinsik maupun proses ektrinsik terhadap eritrosit dan serum berwarna merah atau kemerahan
18
c. Penurunan sel darah merah (Anemia, talasemia, kehilangan darah jangka panjang) akan menurunkan kadar HbA1c palsu
Anemia didefenisikan didefenisikan sebagai berkurangnya berkurangnya kadar Hb darah,
penurunan kadar Hb biasanya disertai penurunan Eritrosit dan Hematokrit. Definisi anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin < 12 g/dL untuk wanita dan <14 g/dL untuk pria.
2.3 Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk
terapi apapun yang ditentukan, baik diet,
latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter.
8
Faktor – faktor yang mendukung kepatuhan pasien menurut Feuer Stein diantaranya :
8
1. Pendidikan . Pendidikan adalah suatu kegiatan, usaha manusia meningkatkan kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan penyempurnaan kehidupan manusia dengan jalan membina dan mengembangkan potensi kepribadiannya, yang berupa rohni (cipta, rasa, karsa) dan jasmani. Domain pendidikan dapat diukur dari a. Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan (knowledge). (knowledge). b. Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude). c. Praktek atau tindakan sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan. 2. Akomodasi : Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri harus dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan.
19
3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial . Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman – teman – teman sangat penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan terhadap program pengobatan. 4. Perubahan model terapi . Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut. 5. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien . Suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi diagnose Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kepatuhan pasien yaitu :
8
1. Buat intruksi tertulis yang mudah diinterprestasikan . 2. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal lain. 3. Jika seseorang memberi daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat maka akan ada keunggulan yaitu mengingat hal yang pertama ditulis. 4.
Intruksi – Intruksi – intruksi intruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dalam hal yang perlu ditekankan . Kepatuhan seseorang sangat berhubungan dengan :
8
1. Interaksi kompleks antara dukungan keluarga dan pengalaman. 2. Interaksi perilaku dengan kepercayaan kesehatan seseorang. 3. Kepercayaan yang ada sebelumnya. Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku yang tidak mentaati peraturan ke perilaku
yang mentaati peraturan. Faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan adalah sebagai berikut :
8
1. Faktor - faktor predisposisi (Prodisposing Factors) yaitu faktor - faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan,nilai tradisi. Seorang ibu mau 20
membawa anaknya ke posyandu, karena tahu bahwa disana akan dilakukan penimbangan anak untuk mengetahui pertumbuhannya serta akan memperoleh imunisasi untuk mencegah penyakit. Tanpa adanya pengetahuan ini, ibu tersebut mungkin tidak akan membawa anaknya ke posyandu 2. Faktor - faktor pemungkin (Enabling Factors) adalah faktor - faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau
tindakan. Yang dimaksud
dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, rumah sakit, makanan bergizi. Sebuah keluarga yang sudah tahu masalah kesehatan mengupayakan keluarganya untuk menggunakan air bersih, makan bergizi dan sebagainya. Tetapi apabila keluarga tersebut tidak mampu mengadakan fasilitas itu semua, maka dengan terpaksa menggunaka air kali, makan seadanya. 3. Faktor - faktor penguat (Reinforcing Factors) adalah faktor yang mendorong atau atau memperkuat terjadinya perilaku. Kadang – Kadang – kadang kadang meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya . Perlu adanya contoh – contoh – contoh perilaku sehat dari para tokoh masyarakat. Metode pengukuran tingkat kepatuhan dapat diukur melalui metode, yaitu : a. Metode langsung Pengukuran kepatuhan melalui metode langsung dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti mengukur konsentrasi obat ayau metabolit obat di dalam darah atau urin, mengukur atau mendeteksi petanda biologi di dalam. Metode ini umumnya mahal, memberatkan tenaga kesehatan, dan rentan terhadap penolakan pasien. b. Metode tidak langsung Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan dengan bertanya kepada pasien tentang penggunaan obat, menggunakan kuesioner, menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat, dan menghitung tingkat pengambilan kembali resep obat.
21
Tingkat kepatuhan pada pasien menggunakan metode tidak langsung dapat diukur dengan menggunakan kuisioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)-8. Kuesioner MMAS-8 adalah alat penilaian dari WHO yang sudah divalidasi dan sering digunakan untuk menilai kepatuhan pengobatan pasien dengan penyakit kronik, seperti diabetes mellitus. MMAS-8 berisi delapan pertanyaan tentang penggunaan obat dengan jawaban ya dan tidak. Nilai MMAS-8 yang tinggi menunjukkan tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan rendah.
8, 11
DM merupakan penyakit kronik, seumur hidup dan mempunyai resiko komplikasi yang tinggi , sehingga menuntut kepatuhan penderita yang tinggi dalam menjalani pengobatan yang komperehensif dan jangka panjang agar target pengendalian glikemik dapat tercapai. Pada kenyataannya sangat sulit menilai tingkat kepatuhan penderita secara pasti, terutama pada pasien rawat jalan , karena kita tidak tahu pasti yang dilakukan penderita menyangkut cara minum obat dan dosisnya, pola makan dan aktivitas fisiknya, serta pola hidup yang lain, yang dapat mempengaruhi pengendalian kadar glukosa darah penderita. 8,11
22
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka, kepatuhan minum obat sangat diperlukan dalam keberhasilan pengobatan pasien diabetes mellitus tipe 2. Tingkat kepatuhan dan keberhasilan pengobatan dapat dievaluasi dengan pengukuran kadar HbA1c dan hasil MMAS-8. Factor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap minum obat adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, jumbah obat, efek samping obat, durasi DM, diet dan olahraga.
` Pasien DM Terapi Antidiabetes oral Mengontrol glukosa darah
Perlu kepatuhan terhadap pengobatan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya komplikasi diabetik
Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan Jumlah Obat Efek samping obat Durasi DM Diet Olahraga
Evaluasi Tidak Patuh
Patuh
Nilai HbA1c * dan MMAS-8 rendah
Nilai HbA1c * dan MMAS-8 tin i
*spesimen yang digunakan untuk pengukuran kadar HbA1c tidak ikterik, tidak hemolysis, & subjek tidak menderita anemia
Bagan 3.1 Kerangka Teori
23
3.2 Kerangka Konsep
3.2.1
Variabel Independen Variabel independen atau tidak terikat atau bebas dari penelitian ini adalah
adalah : 1. Umur penderita 2. jenis kelamin penderita 3. Pendidikan pekerjaan penderita 4. Jumlah obat 5. Regimen dosis obat 6. Efek samping obat 7. Durasi DM 8. Diet 9. Olahraga. 3.2.2
Variabel Dependen Variabel dependen atau terikat ialah parameter tingkat kepatuhan, yaitu kadar
HbA1c dan skor MMAS-8 Umur Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan p Jumlah Obat Regimen dosis obat Efek samping obat Durasi DM Diet Olahraga Penggunaan obat atau tanaman herbal
HbA1c
MMAS-8
Keterangan : Variabel Independen Variabel Dependen Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti
Bagan 3.2 Kerangka Konsep 24
3.3 Definisi Operasional Variabel
1. Umur penderita Definisi : yaitu lama hidup subjek dihitung mylai dari tanggal lahir sampai saat dilakukan penelitian Skala : ordinal Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom umur pada kuesioner yang disediakan Kategori :
a. 40-59 tahun b. ≥60 tahun
2. Jenis kelamin penderita Definisi : yaitu identitas gender subjek Skala : nominal Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom jenis kelamin pada kuesioner yang disediakan Kategori :
a. Laki-laki b. Perempuan
3. Pendidikan penderita Definisi : yaitu tingkat pendidikan formal yang pernah dicapai oleh pasien berdasarkan pengakuannya Skala : nominal Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom pendidikan pada kuesioner yang disediakan Kategori :
a. Rendah : tidak sekolah-SMP b. Menengah : SMA c. Tinggi : Perguruan Tinggi
4. Pekerjaan penderita Definisi : status pekerjaan pasien sekarang Skala : nominal 25
Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom pekerjaan pada kuesioner yang disediakan Kategori :
a. bekerja b. tidak bekerja
5. Jumlah obat yang dikonsumsi Definisi : jumlah obat anti diabetes yang harus diminum oleh pasien untuk jangka waktu yang lama (lebih dari 2 bulan) Skala : ordinal Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom jumlah obat pada kuesioner yang disediakan Kategori :
a. Jika pasien mendapat 1 jenis obat (tunggal) b. Jika pasien mendapat >1 jenis obat (kombinasi)
6. Regimen dosis obat Definisi : jumlah seluruh regimen dosis obat yang harus diminum oleh pasien untuk jangka waktu yang lama (lebih dari 2 bulan) Skala : ordinal Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom regimen dosis obat pada kuesioner yang disediakan Kategori :
a. 1 regimen b. 2 regimen c. > 2 regimen
7. Efek samping obat yang dikonsumsi Definisi : efek samping yang timbul setelah pasien menggunakan obat-obat antidiabetes oral Skala : nominal Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom efek samping obat pada kuesioner yang disediakan 26
Kategori :
a. Mengalami efek samping ADO b. Tidak mengalami efek samping ADO
8. Durasi DM Definisi : lama responden menderita DM tipe 2 yang dihitung dari waktu pertama kali dokter mendiagnosis DM tipe 2 Skala : ordinal Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom durasi DM pada kuesioner yang disediakan Kategori :
a. < 1 tahun b. 1 – 1 – 5 5 tahun c. > 5 tahun
9. Diet Definisi : kegiatan mengatur dan melaksanakan pola makanan yang dianjurkan bagi penderita DM tipe 2, minimal melaksanakan pembatasan asupan gula dan karbohidrat Skala : nominal Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom diet DM pada kuesioner yang disediakan Kategori :
a. melakukan b. tidak melakukan
10. Olahraga Definisi : kegitan fisik berupa jalan kaki, bersepeda, senam, atau bentuk aktifitas sejenis yang dilakukan oleh responden sebanyak 3-4 kali dalam seminggu selama 30 menit Skala : nominal Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom olahraga pada kuesioner yang disediakan Kategori :
a. melakukan b. tidak melakukan 27
11. Kadar HbA1c Definisi : nilai pemeriksaan HbA1c pasien DM tipe 2 berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium dengan satuan % Skala : nominal dan rasio Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kolom kadar pada kuesioner yang disediakan disediakan Kategori :
a. terkontrol : bila pemeriksaan < 6,5% b. tidak terkontrol : bila pemeriksaan ≥ 6.5% 6.5%
12. Skor MMAS-8 Definisi : skor kepatuhan pasien DM tipe 2 yang dihitung berdasarkan 8 pertanyaan dari kuesioner MMAS-8 Skala : ordinal dan rasio Alat Ukur : kuesioner Cara ukur : Subjek mengisi kuesioner MMAS-8 yang disediakan Kategori :
a. Patuh : bila skor MMAS-8 adalah 0-2 b. Tidak patuh : bila skor MMAS-8 > 2
3.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan kadar HbA1c terhadap pasien diabetes mellitus tipe 2
28
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitan analitik observasional dengan desain cross sectional untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan minum obat penderita diabetes mellitus tipe 2 terhadap kadar HbA1c pada pasien rawat jalan poli endokrin di RSUP Wahidin Sudirohusodo. Jenis penelitian dipilih karena keuntungannya pada waktu penelitian yang relative lebih singkat dengan biaya yang lebih kecil, sehinga sesuai dengan waktu yang tersedia. Selain itu, hubungan sebab-akibat pada variable independen dan dependen pada penelitian ini tidak bersifat timbal balik. Pada penelitian ini data pada semua variable, baik variable dependen maupun independen diambil pada saat yang bersamaan menggunakan kuesioner.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dari tanggal 2-13 Desember 2013, bertempat di Poli Endokrin RSUP Wahidin Sudirohusodo, Makassar, Sulawesi Selatan.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1
Populasi Populasi target pada penelitian ini adalah penderita DM tipe 2 RSUP Wahidin
Sudirohusodo. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang berobat jalan pada Poli Endokrin RSUP Wahidin Sudirohusodo pada periode 2-13 Desember 2013. 4.3.2
Sampel Sampel pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang berobat jalan pada
Poli Endokrin RSUP Wahidin Sudirohusodo pada periode 2-13 Desember 2013. Teknik pengambilan sampel yang digunakan digunakan adalah consecutive sampling .
29
Rumus untuk besar sampel jenis penelitian cross-sectional : 2
n = Z . p. (1-p) 2
d Keterangan:
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan Z = nilai baku distribusi normal (1,96) P = proporsi variable dependen dan independen pada penelitian sebelumnya q = 1-p (proporsi penderita DM tipe 2 yang patuh namun tidak mengalami perubahan kadar HbA1c) d = derajat akurasi atau presisi absolut. 2
n = 1.96 . 0.5. 0.2 2
0.1 = 38,4
≈ 39
Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel minimal yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 39 sampel, dengan nilai d = 0,1 (10%) dan p = 0,2 ( ada data dari penelitian sebelumnya, maksimal p= 0,5).
4.4 Kriteria Sampel
4.4.1
Kriteria Inklusi a. Pasien DM tipe 2 yang menggunakan obat antidiabetes oral dalam waktu minimal dua bulan sebelumnya atau lebih. b. Pasien DM tipe 2 yang berobat jalan di poli Endokrin RSUP Wahidin Sudirohusodo c. Pasien berumur lebih dari 40 tahun d. Pasien bersedia menjadi responden dalam penelitian e. Pasien dapat membaca dan menulis
30
4.4.2
Kriteria Eksklusi a. Pasien wanita hamil b. Pasien DM tipe 2 dengan penyakit kronik lain, seperti hipertensi atau penyakit ginjal c. Pasien DM tipe 2 yang menggunakan insulin
4.5 Jenis Data dan Instrumen Penelitian
4.5.1
Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung
dari pasien dengan diagnosis DM tipe 2 di Poli Endokrin RSUP Wahidin Sudirohusodo yang mengisi kuesioner penelitian. 4.5.2
Instrumen Penelitian Alat pengumpulan data dan instrument penelitian yang digunakan adalah
kuesioner MMAS-8 ( Morisky Morisky Medication Adherence Scale-8) yang berisi 8 pertanyaan untuk mengukur tingkat kepatuhan subhek dalam menggunak an obat.
23
4.6 Manajemen Penelitian
Pengumpulan data dilakukan setelah meminta perizinan dari pihak pemerintah dan RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar. Kemudian mengambil data dari kuesioner MMAS-8 yang telah diisi oleh pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.
4.7 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dilakukan setelah pengumpulan data dari kuesioner, dan dimasukkan ke dalam table data. Untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari variable independen dan dependen digunakan analisis univariat, sedangkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan dua variable digunakan analisis bivariate.
31
Untuk melihat distribusi frekuensi dari variable pada penelitian ini digunakan mean dan standar deviasai untuk variable numeric sedangkan untuk variable kategorik digunakan modus dan proporsi Metode statistik yang digunakan untuk melihat kemaknaan dan hubungan 2
antara variable kategorik table 2x2 adalah Chi Square (X ) Syarat uji Chi Square adalah : a. Setiap sel yang mempunyai nilai expected (harapan) sebesar 1 b. Sel-sel dengan frekuensi kurang dari 5 maksimal 2 0% dari jumlah sel c. Besar sampel sebaiknya > 4 0 Jika syarat uji Chi Square tidak terpenuhi maka uji alternative yang digunakan adalah uji Fisher. Untuk interpreatsi hasil menggunakan derajat kemaknaan α (P alpha) sebesar 10% dengan catatan jika p < 0,1 (p value ≤ p al pha) pha) maka H0 di tolak (ada hubungan antara variable bebas dengan terikat) sedangkan bila p> 0,1 maka H0 diterima (tidak ada hubungan antara variable bebas denga nterikat). Sedangkan untuk mengetahui besarnya factor resiko makan digunakan analisis Prevalence analisis Prevalence Odds Ratio (POR) Untuk menghitung POR, data untuk tiap variable dependen dan independen dimasukkan di dalam tabel, dan diolah menggunakan rumus berikut:
Faktor Risiko
Penyakit (+)
Penyakit (-)
Jumlah
Faktor Risiko (+)
A
B
a+b
Faktor Risiko (-)
C
D
c+d
Jumlah
a+c
b+d
a+b+c+d (N)
POR =
a/b
= ad
c/d
bc
32
Interpretasi Prevalence Interpretasi Prevalence Odds Ratio (POR) adalah sebagai berikut : a. Bila POR = 1, variable yang diduga factor resiko tersebut tidak berpengaruh dalam terjadinya efek (tidak ada hubungan) b. Bila POR > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1 berarti exposure merupakan factor resiko terjadinya efek c. Bila POR < 1, dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1 berarti exposure yang diteliti dapat mengurangi terjadinya efek (factor pencegah)
4.8 Etika Penelitian
Hal-hal terkait etika dengan penelitian dalam penelitian ini adalah : 1. Sebelum melakukan penelitian maka peneliti akan meminta izin pada beberapa instansi terkait, antara lain sub BALITBANGDA Daerah Tk.1 Sulsel, Kepala RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar 2. Berusaha menjaga kerahasiaan identitas pasien yang terdapat pada rekam medik, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan.
33
4.9 Alur Penelitian
Rumusan Masalah
Identifikasi variable dependen (tergantung) dan variable independent (bebas)
Penentuan subjek penelitian (populasi dan sampel
Kriteria Eksklusi
Kriteria Eksklusi
Pengumpulan data (pengisian kuesioner)
Pengolahan dan analisis data
Hasil Penelitian
Kesimpulan
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Acik, Y., Hulya, Y.B., Canan, G., Ozge, A., & Nevin I. (2004). Effectiveness of a Diabetes Education and Control Intervention Program on Blood Glucose Conttrol for Patient with Type 2 Diabetes in Turkish Community. Community. Southeast Asian J Trop Med Public Health; 34(4), 1012. 2. American Diabetes Association (ADA). (2013) Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Mellitus. Diabetes Care Journal, 36(1), 67-74 3. World Health Organization (WHO). Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva.(1999). Definition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications. Complications. Report of a WHO Consultation Part 1 : Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Mellitus. Geneva : WHO 4. United Kingdom. (2010). Key Statistics on Diabetes in the UK [online]. Dari http://www.diabetes.org.uk/Documents/Reports/Diabetes_in_the_UK_2010.pdf. [13 November [13 November 2013] 5. Sicree, R., Shaw, J., Zimmet, P. (2012). The Global Burden : Diabetes and th
Impaired Glucose Tolerance. Tolerance. IDF Diabetes Atlas 4 edition. Baker IDI Heart and Diabetes Institute International Diabetes Federation. 6. Kocurek, B. (2009). Promoting Medication Adherence in Older Adults and the Rest of Us. Diabetes Us. Diabetes Spectrum Journal: 22(2), 80-84. 7. Salas, M., Dyfrig, H., Alvaro, Z., Kawitha, V., & Maximilian, L. (2009). Costs of Medication Nonadherence in Patients with Diabetes Mellitus : a Systemic Review and Critical Analysis of the Literature. Value in Helath; 12(6), 915-920 8. United States. Centers for Disease Disease Control and Prevention. (2013). Medication (2013). Medication Adherence Adherence
[online].
CDC’s
Noon
Conference. Conference.
Source:
http://www.cdc.gov/primarycare/materials/medication/docs/medicationadherence-01ccd.pdf . [13 November 2013] 9. Delamater, A.M. (2006). Improving (2006). Improving Patient Adherence. Clinical Diabetes Journal; 24(2), 771-7. 35
10. World Health Organization (WHO).(2011). Use of Glycated Haemoglobin (HbA1c) in the Diagnosis of Diabetes Mellitus. Geneva: WHO 1-9. 11. Coppel, K.,et al. (2008). Medication (2008). Medication Adherence amongst People with Less than Ideal Glycaemic Control-the Lifestyle Over and above Drugs in Diabetes (LOADD study). Diabetes Research and Clinical Practice; 79,572. 12. Setyani. (2007). Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap tentang Diabetes Mellitus dengan Kepatuhan dalam Melaksanakan Diet pada Pasien Diabetes Mellitus di BRSD RSU RAA Soewondo Kabupaten Pati [skripsi]. Jawa Tengah : Universitas Diponegoro. 13. Selamet, S., Reno G., Sidartawan, S. (2007). Diabetes Melitus di Indonesia, Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus, Farmakoterapi pada Pengendalian DM tipe II . In: Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, ed.
Buku Ajar Ilmu Ilmu Penyakit Dalam. Dalam. Edisi IV. IV.
Jakarta, Indonesia: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI, 1852-1863. 14. Schteingart, D. (2006). Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus. In: Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, ed. Patofisiologi: Konsep Konsep Klinis Dan Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 12591272. 15. Shahab, A. (2008). Diagnosis dan penatalaksanaan DM. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus di Indonesia : Perkeni. 16. Dipiro, J.T., Well, B.G., Scwinghhammer, T.L., & Dipiro, C.V. (2009). th
Pharmacotherapy Handbook 7 Edition. USA: McGraw-Hill, 210-226. 17. Perkeni.(2006). Konsensus Perkeni.(2006). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellits Tipe 2 di Indonesia. Jakarta : PB Perkeni. 18. Proks, P., Frank, R., Nick, G., Fiona, G., & Frances A. (2002). Sulfonyurea Stimulation of Insulin Secretion. Diabetes; 51(3), S369-371
19. The National Diabetes Information Clearing House. (2012). The A1C Test and Diabetes [online]. The National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney 36
Diseases,
National
Institute
of
Health.
Dari:
http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/A1CTest/
20. Sikaris, K. (2009). The Correlation of Haemoglobin A1C to Blood Glucose. J Diabetes Sci Techonology; 3(3): 429-438 21. McMillin, J.M. Blood Glucose. In Walker, HK., Hall, WD., Hurst, JW., ed. rd
Clinical Methods: the History, Physical, and Laboratory Examinations 3 Edition. Boston: Butterworths 22. Morisky, D.E., & DiMatteo, M.R. (2011) The Morisky 8-item Self-Report Measure of Medication-taking Behaviour (MMAS-8). Journal of Clinical Epidemiology;64:262-3
37