Geliat Dunia Penerbitan Buku Berbasis Komunitas Di Yogyakarta Oleh Listiyono Santoso (Staf Pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga) The research is aimed for mapping the existence of books publishing company in Yogyakarta which is born as an alternative publishing company due to its motive of the ideals to spread out its creative ideas and to provide the books need of the society in response. The alternative publishing company is precisely building within a condition of capital shortage and lack of resources comparing to the established publishers such as Gramedia, Obor Foundation, Mizan, etc. The existence of the alternative publishers in Yogyakarta is not only affected to the increasing passion of reading within the society, but also influenced into the improvement of books publishers in Indonesia as the fact of the rare books publishing in this country. The research will explain the roles of the books publishers as the research object that are to make the books world as a creative industry of ideals distribution and to earn profit from this industry as a new field of vacancy to the society. Many strategies have been located by the alternative publishers to develop a creative industry of the books world as a representation of its management ability to catch the market business opportunity as the promising ones. The method of the study is the descriptive research to discover the publishers’ strategies of managing its publishing company. The descriptive research will use observation and in-depth interview to publisher management to reveal their diverse adaption strategies of developing the publishing company as a promising vacancy. Keywords : Indie publishers, creative industry, book, adaption strategy, community PENGANTAR Sejak beberapa dekade dunia penerbitan buku di Indonesia mengalami situasi yang memprihatinkan. Selain minimnya jumlah judul buku yang terbit, perhatian negara terhadap dunia perbukuan memang masih sangat rendah. Geliat penerbitan buku di Indonesai baru muncul paruh tahun 1990an seiring dengan munculnya berbagai penerbit alternatif di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Hadirnya penerbit alternatif ini cukup
menggairahkan
dunia
penerbitan
buku
di
Indonesia.
Beberapa
data
menyebutnya, bahwa sebelum tahun 90an, tiap tahun buku yang terbit di Indonesia tidak lebih dari 5000 judul buku, bayangkan dengan Malaysia yang pada tahun 1990 saja sudah mampu menerbitkan sekitar 15.000 judul buku. Menariknya, paruh tahun 1995 di Yogyakarta mulai bermunculan penerbitpenerbit indie atau alternatif. Kehadiran penerbit di Yogyakarta tersebut diakui atau 1
tidak mulai menggerakkan dinamika dunia perbukuan secara nasional. Selain meningkatkan jumlah buku yang terbit yakni rata-rata pertahun 15.000 buku, juga memberikan dampak positif bagi meningkatnya gairah membaca di kalangan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari kian banyaknya buku yang mendapat respon positif masyarakat, serta maraknya berbagai kegiatan yang berkaitan dengan dunia perbukuan, seperti kegiatan bedah buku, resensi buku, serta talkshow perbukuan nasional. Geliat dunia perbukuan di Indonesia juga menandai lahirnya sejumlah penulis yang fenomenal yang bukunya mendapat respon luar biasa oleh masyarakat, seperti Pramudya Ananta Toer, Ayu Utami, Andrea Hirata, Habiburahman el Shiraji, dan sebagainya. Kehadiran penulis-penulis dengan buku-buku best seller itu juga menginspirasi masyarakat untuk menjadikan dunia menulis dan dengan sendirinya dunia perbukuan menjadi alternatif profesi dan pekerjaan yang menguntungkan. GELIAT INDUSTRI PENERBITAN INDIE DI YOGYAKARTA Dunia penerbitan merupakan dunia kreativitas ide dan bisnis. Ketika ide diberikan ruangnya, maka bisnis akan mulai digerakkan. Keberadaan lembaga penerbitan ini akhirnya telah menjadi industri kreatif yang tidak saja menguntungkan, melainkan juga mencerdaskan. Terciptanya ekologi perbukuan di Indonesai yang kondusif antara masyarakat pembaca, lembaga penerbitan, dan toko buku telah memberikan peluang potensial perihal bisnis perbukuan ini. Menariknya, kreativitas dari dunia perbukuan ini juga melahirkan berbagai kreativitas lainnya seperti lahirnya sejumlah desain cover buku yang unik dan khas, industri fashion berupa kaos yang menggunakan cover buku sebagai daya tariknya, dan sebagainya. Sebuah lembaga penerbitan alternatif di Yogyakarta dalam waktu satu bulan memiliki omzet hampir Rp 500 juta rupiah dan karyawan sejumlah 15an orang. Sebuah bisnis yang cukup menjanjikan ditengah minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Pola pengembangan penerbit alternatif di Yogyakarta menarik untuk dicermati. Bermula dari idealisme untuk melakukan diseminasi wacana; entah terkait dengan problema politik, agama hingga ideologi, para pegiat penerbit indie berupaya mengumpulkan naskah-naskah yang berserakan tersebut menjadi sebuah buku dan dicetak dengan jumlah minimal sekitar 200-500 eksemplar. Perpaduan dari idealisme disertai dengan keberpihakan wacana ternyata menguntungkan para penerbit indie 2
tersebut dalam mencari pasar bagi buku-bukunya. Sejumlahg penerbit memiliki komunitas, karena mereka memang bermula dari komunitas diskusi, komunitas penulis di media massa, komunitas pesantren serta aktivis pergerakan yang sekitar tahun 1990an menggerakan dinamikan intelektualitas di Yogyakarta. Keberadaan komunitas membantu mereka dalam soal penyebarluasan ide-ide transformatifnya melalui buku. Judul-judul buku yang dibuat secara provokatif disertai dengan perpaduan cover buku yang ’nakal’ memberikan nilai tambah bagi buku. Tidak heran jika kemudian, akhir tahun 1999an dan awal tahun 2000 merupakan tahun keemasan bagi perbukuan di Yogyakarta yang cenderung menerbitkan buku apa saja yang beriringan dengan kehausan intelektualitas saat itu. Turunnya rezim Orde Baru memberikan peluang lebih besar bagi lahirnya sejumlah penulis, sejumlah penerbit, sekaligus juga sejumlah buku-buku yang isinya melakukan kritik atas kekuasaan, kritik atas nalar agama, bahkan juga buku-buku yang terkait dengan nafas perlawanan. Tidak heran jika pada saat itu, dominasi penerbitan buku dalam banyak hal terlihat bersifat revolusioner, kritis dan berani. Pemain dalam industri perbukuan di Yogyakarta era 90an pun muncul dengan wajah baru. Mereka hanya bermodalkan spirit intelektualitas yang memang era 1990-an cukup mengalami euforia serta jaringan yang luas, juga
karena begitu mudahnya
proses penerbitan buku. Selain tanpa seleksi yang ketat, pemain-pemain baru dalam industri penerbitan buku ini juga memiliki keberanian untuk menerbitkan buku-buku yang dianggal ‘nakal’ dan provokatif.
Justru
karena
tema-tema
yang
dianggap
cenderung provokatif itu memberikan berkah bagi penerbit Jogyakarta. Buku-buku yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit alternatif ini pun ternyata cukup mendapat respon pasar yang baik. Pada akhir era 1990an dan awal 2000an, dunia penerbitan dan perbukuan di Yogyakarta mengalami peningkatan yang luar biasa. Puluhan penerbitan baru bermunculan, menandai era baru dunia penerbitan indie di Yogyakarta. Bermula dari sejumlah kecil aktivis mahasiswa, yang sejak awal melakukan tranfsormasi wacana melalui penulisan di media massa, mereka mencoba membangun komunitas-komunitas yang menggerakkan dunia penerbitan buku di Yogyakarta. Kota ini sedikit menggeser peta kuantitatif ‘raja-raja penerbitan’ buku di Indonesia, seperti Gramedia, Erlangga, 3
Intan Pariwara, dan sebagainya, meskipun secara kualitatif membutuhkan penelahaan yang mendalam. Jumlah penerbitan yang kemudian mencapai ratusan penerbit, meskipun pada tahun 2010an ini yang mampu bertahan tinggal puluhan, dalam kenyataannya merupakan sekumpulan produsen buku dengan berbabagi identifikasi, dari yang memiliki badan hukum dan struktur pengelolaan yang jelas hingga penerbit yang disebut dengan penerbit ‘gelap’. Tidak ayal lagi, lahirlah sejumlah pencitraan terhadap gaya penerbitan di Yogyakarta yang sering disebut sebagai barisan penerbit ‘koboy’ begitu mudah dilekatkan terhadap mereka secara seragam. Istilah penerbit ‘koboy’ diberikan karena melihat sejumlah kenekatan lembaga penerbitan Jogja mengawali karis dalam industri perbukuan. Tanpa modal cukup, terjadang megadaikan BPKP sepeda motor untuk dapat menerbit 1 atau 2 buku, kemudian dipasarkan secara direct selling, tapi lambat laun ternyata eksistensi mereka cukup menggerakkan bisnis perbukuan ini. Masifnya industri perbukuan di Yogyakarta ternyata memang sesuai dengan watak Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Selain banyak faktor yang dapat menggerakkan
masyarakat
untuk
mencintai
buku,
komitmen
kepala
daerah
membangun infrastruktur bagi terbentuknya masyarakat mencintai buku juga cukup baik. Tidak heran jika di kota Yogyakarta kemudian lahir sejumlah penulis, toko buku, agen-agen penjualan hingga distributor buku yang setali tiga uang pergerakannya dengan bisnis penerbitan buku. Yang menarik lagi adalah munculnya sejumlah media massa yang membuka kolom khusus untuk perbukuan dan perensi buku melakukan sosialisasi buku terbitannya. Fakta ini cukup menggerakan dinamika perbukuan buku di Indonesia pada umumnya, dan Yogyakarta pada khususnya. Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, sejumlah pihak mencatat lahirnya sejumlah penerbitan buku. Majalah Balairung mencatat sejak 1998 jumlah mencapai 114 penerbit, koran Minggu Pagi mencatat sekitar 150an penerbit., sementara IKAPI Yogyakarta menyebutkan sekitar 100 penerbit buku terlahir, menyusul euforia industri perbukuan di Kota pendidikan ini. Jumlah ini termasuk penerbitan yang didirikan oleh sebuah penerbitan induk, karena kepentingan untuk menerbitkan buku dengan tema berbeda, termasuk tema populer, memaksa sejumlah penerbit memiliki ‘kaki-kaki’ 4
menopangnya, baik yang masuk IKAPI maupun yang non IKAPI. Misalnya, Arr Ruzz Media memiliki Primashopie, Saujana, dsb. Atau Galang Press yang memiliki ‘anakanak’ penerbitan seperti Pustaka Anggrek, Pustaka Marwa), Media Presindo dengan Narasi, cakrawala, Pustaka Yustisia, Delphi, Milestone. Begitu juga dengan Pustaka Pelajar dengan Mitra Pustaka, Mitra Bocah Muslim), dan berbagai penerbitan lainnya. Berbagai keunikan dan ‘kenekatan’ penerbit Yogyakarta juga bisa dilacak dari begitu masifnya mereka memburu naskah-naskah asing, menerjemahkannya secara bebas dan menerbitkannya. Tidak butuh waktu lama. Mereka sudah menerbitkan edisi bahasa indonesia dari sejumlah buku-buku asing. Bahkan bisa jadi satu buku diterbitkan oleh dua atau tiga penerbitan dengan judul berbeda, cover berbeda, tapi isinya sama. Begitu juga dengan naskah-naskah lokal, karya skripsi, tesis maupun disertasi diburu untuk diterbitkan sepanjang dianggap memiliki nilai jual. Home Industri Perbukuan Sebagaimana disebutkan dalam bab sebelumnya, era akhir tahun 90an dan awal tahun 2000an, penerbit indie mulai bergeliat. Seiring dengan kegairahan mahasiswa Yogyakarta dan aktivitas kampus, maupun alumninya dalam menggerakan dinamikan intelektualitas di Indonesia. Runtuhnya rezim Orde Baru memberikan ruang baru bagi kegairahan dunia intelektualitas di Yogyakarta. Tampaknya idealisme kaum muda Yogyakarta bersambut dengan ruang pendidikan yang kondusif bagi tumbuh suburnya dinamika intelektualitas aktivis kampus dan kelompok studi untuk bergiat menulis, entah di media massa maupun menulis buku. Sejumlah penerbitan kemudian bermunculan juga bermuara dari semangat intelektual muda ini. Dari yang semula hanya mencoba keberuntungan dengan menerbitkan karya-karya teman-temannya, dosen yang populer, juga karyanya sendiri, ternyata justru menjadikan kegiatan itu sebagai sebuah home industri. Dari sejumlah wawancara, ditemukan fakta bahwa penerbit Jogja sesungguhnya gemar menolong lingkungan terdekat mereka. Rumah-rumah penerbitan didirikan oleh beberapa orang yang saling berteman dalam lingkup persahabatan pribadi, organisasi atau kampus. Naskah-naskah asing diterjemahkan oleh kawan-kawan penerbit ini, bahkan mereka tidak segan menerbitkan karya kawan mereka sendiri, sekaligus memobilisir sejumlah orang yang mereka kenal untuk memasarkan buku. 5
Penerbitan di Jogja yang dalam pemahaman mereka adalah kerja kreatif yang dilakukan antara lain karena berdasar etos kedekatan komunal yang kental. Atas dasar rasa suka pada buku, para penerbit di Jogja memasuki jagat penerbitan yang sebenarnya memerlukan kemampuan manajerial, finansial, dan sebagainya. Yang nampak paling menonjol dan paling khas dari geliat dunia penerbitan buku di Jogja adalah spirit gerakan, yakni gerakan mengakrabkan masyarakat dengan buku, gerakan mencerdaskan masyarakat dengan buku. Tidak jarang jika untuk kepentingan tersebut selalu saja muncul event-event Pameran Buku, Parade Buku, atau juga Jogja Membaca. Penerbit alternatif di Yogyakarta sebagaian besar memang berangkat dari orangorang yang ‘nekat’ dan ‘berani’. Hampir sebagai besar penerbit Jogja adalah penerbitan yang berakar dari tradisi keluarga yang disatukan dengan pertalian darah. Modal
awal
penerbit berkisar antara 5-10 juta rupiah. Modal tersebut juga didapatkan dari ‘urunan’ bersama, terkadang juga dengan menggadaikan barang-barang mereka seperti sepeda motor atau komputer. Sebagai home industry, semangat gotong royong begitu kelihatan dominan. Seorang pemilik penerbitan bisa merangkap sebagai karyawan, lay outer, pemburu naskah sekaligus distribusi buku. Tidak jarang sebuah penerbitan hanya memiliki 3-4 karyawan, yang merangkap tugas beraneka macam. Kondisi ini bertahan cukup lama, sampai penerbit alternatif ini dapat mengembangkan usahanya secara profesional. Selain memiliki kantor sendiri, percetakan sendiri, hingga jumlah karyawan yang lebih banyak dengan pembagian tugas sesuai dengan keahliannya. Namun demikian, karena berangkat dari home industry berbagai kelemahan yang dimiliki oleh penerbit-penerbit ini akhirnya bermunculan. Sebagai contohnya, dalam pengembangan usahanya, sebagian besar penerbit ini lebih mempercayakan pengembangan anak usaha mereka ke orang-orang yang masih memiliki hubungan saudara dengan mereka. Tidak hanya membuka usaha yang sama, tetapi juga membuka saluran usaha yang mendukung usaha utama, seperti percetakan, agen distribusi hingga toko buku. Tidak salah jika seringkali ditemukan kendala administratif, karena pola-pola kerja yang mereka gunakan masih tradisional (Jurnal Balairung, 2001).
6
Penerbit-penerbit alternatif di Yogyakarta ini awalnya memang dikenal berani dalam memulai bisnis industri perbukuannya. Pola tradisional yang digunakan, karena karakter home industry di satu sisi memang sangat membantu persebaran distribusi buku-bukunya. Di sisi lain, pola ini melahirkan kelonggaran dan ketidakdisiplinan manajemen usaha, karena tidak menghargai profesionalitas. Beberapa hal yang mudah ditemukan adalah; 1) royalti kepada penulis jarang dibayarkan atau dibayarkat terlambat, 2) jarang mengurus ijin hak cipta (copyright) kepada penulis asing yang karyanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, 3) penerjemahan buku yang asalasalan, serta 4) banyak naskah buku yang ternyata isinya tidak sesuai dengan judul dalam buku. Kecenderungan yang demikian pernah begitu dominan dalam perwatakan penerbit yang masih menggunakan pola tradisional. Seiring dengan perjalanan waktu, penerbit alternatif sudah mulai mengenal pola manajemen modern dalam mengelola usaha penerbitannya. Beberapa penerbit mulai tahun 2006 mengembangkan bisnis penerbitannya dengan cara yang lebih baik. Hal ini bisa dilihat dari pola administrasi yang tertata rapi hingga kantor penerbitan yang jelas dan layak disebut sebagai sebuah kantor. Namun demikian yang tetap tidak berubah dalam penerbitan buku di Yogyakarta adalah perwatakannya sebagai penerbit milik komunalisme, meski didirikan oleh satu dua orang. Pola kekeluargaan tetap dijaga, karena dianggap sebagai modal sosial yang positif dalam upaya mengembangkan usahanya. Pola kekeluargaan itu terlihat dalam soal rekrutmen karyawan dan perburuan naskah yang masih mengandalkan teman lama sebagai penulis. Mengapa demikian? Karena penulis yang berasal dari pertemanan begitu mudah ditemukan di Yogyakarta, serta dianggap tidak ‘rewel’ dalam soal penerbitan buku karyanya. Inilah yang memberikan daya dorong bagi kebangkitan penerbitan di Yogyakarta. Basis Komunitas sebagai Modal Sosial Salah satu keunggulan dan kemampuan bertahan dari penerbit Indie di Yogyakarta adalah keberadaan komunitas sebagai modal sosial. Komunitas ini menjadi cikal bakal keberanian kegiatan penerbitan berani mendirikan penerbitan buku. Komunitas adalah kelompok tertentu dalam masyarakat yang membentuk group yang 7
sama dengan berbagai kepentingan yang sama dari anggota-anggotanya. Komunitas selalu berangkat dari pola interaksi yang sama dan identifikasi kesamaan identitasnya. Dalam konteks penerbitan buku, komunitas di sini lebih dimaknai sebagai kumpulan orang yang memiliki isu sama dalam wacana, serta biasanya ditandai dengan kesamaan pola gerakan dan berangkat dari karakter sosial yang bersifat homogen. Dalam banyak hal, komunitas ini lebih dekat dengan sebuah ‘aliansi’ bersama, baik dalam organisasi maupun kesamaan ideologi. Berawal dari kesamaan kepentingan tersebut, serta dilalui dengan diskusi-diskusi kritis, beberapa orang dalam komunitas yang cenderung bernyali membuat gebrakan dengan menerbitkan buku-buku yang dikonsumsi oleh komunitas ini. Tidak heran jika banyak penerbit alternatif di Yogyakarta menjadikan komunitas sebagai modal sosial dalam membangun jaringan, baik soal pewacanaan maupun distribusi buku-bukunya. Komunitas merupakan pasar terbaik dalam distribusi buku, apalagi mereka dianggap memiliki kebutuhan yang sama soal transformasi wacana yang digeluti dan disukai oleh anggota dalam komunitas ini. Itulah sebabnya, dalam menerbitkan buku, setiap penerbit alternatif biasanya tidak pernah lepas dari kepentingan ideologis dari komunitasnya, kecuali dalam pengembangan
usaha
kemudian
mereka
membuat
anak-anak
penerbitan. Penerbit indie di Yogya kental aroma ideologisasinya. Artinya, penerbit alternatif (pada awal berdirinya) sangat menonjol menerbitkan buku-buku yang sarat dengan kepentingan ideologis komunitas dimana pemiliknya menjadi bagian dari komunitas tersebut. Jangan heran jika LKiS akan kental dengan nuansa pesantrennya, Ar Ruzz dengan nuansa ke-NU-annya, INSIST Press dengan nuasan kritis sosialnya, Mitra Pustaka dengan buku-buku keagamaannya, dan masih banyak sejumlah penerbit yang berawal dari isu-isu yang disukai oleh komunitas mereka dan sekaligus menjadi pasar menjanjikan dalam distribusi buku. Komunitas-komunitas inilah yang mentradisikan penulisan buku, sekaligus yang memprovokasi lahirnya sebuah buku. Komunitas ini membidani sebuah buku untuk terbit dan tersosialisasi ke publik. Aktivitas komunitas ini memang sangat menentukan bagi tumbuh suburnya penerbitan buku di Yogyakarta. Sejumlah penerbit, selain
8
memang menjadi komunitasnya sebagai penggerak ide, juga terkadang menjadi agen yang mendistribusikan ke daerah lain, yang masih dalam jaringannya. Usaha penerbitan buku yang mengandalkan komunitas tidaklah tanpa kendala. Hal ini karena sejak lama dikenal, aktivitas di Yogyakarta dan jaringannya memang gandrung dengan ide-ide baru dan kritis, tapi mereka ‘pelit’ dalam membeli buku. Itulah sebabnya, jika hanya mengandalkan komunitas, lambat laun penerbit akan mengalami kematian. Karenanya, beberapa penulis dengan tetap mengandalkan komunitas yang sudah terbentuk, mulai membuka usaha penerbitannya untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas. Sebagaimana dijelaskan di atas, setiap penerbit kemudian membuat anak penerbit yang memang sengaja didirikan untuk menjangkau pasar yang berbeda dengan penerbit induknya. Setiap kaki-kaki penerbitan tersebut didirikan tergantung dengan sasaran komunitas masing-masing. Tidak heran jika ada satu penerbit yang bisa memiliki banyak kaki, karena mencoba membidik komunitas yang berbeda pula (lihat tabel 2). Trik ini cukup efektif. Terbukti mampu menutup ongkos produksi dari penerbit induk yang sejak awal didirikan untuk kepentingan ideologisasi. Para pegiat penerbitan tampaknya sadar betul bahwa ideologisasi buku sesuai dengan kepentingan komunitas masing-masing ternyata tidak dapat bertahan lama, dan pasti mengalami kejenuhan. Kreativitas pegiat penerbitan itu kemudian mampu menutup celah minimnya pasar dari penerbitan buku oleh penerbit induk. SIMPULAN Keberadaan penerbit buku indie di Yogyakarta memang menarik untuk dicermati. Selain kehadirannya cukup mampu menghadirkan bentuk baru dalam bisnis penerbitan buku di Indonesia, juga ditengarai mendorong dinamika dunia penerbitan buku secara nasional. Dianggap sebagai penerbit indie, karena penerbit alternatif ini tidak ditopang oleh kekuatan modal, dan berawal dari keberanian dan kenekatan sejumlah orang dalam mendirikan lembaga penerbitan. Keberadaan lembaga penerbitan alternatif telahberkembang menjadi salah satu bentuk industri kreatif mutakhir. Keberanian mendobrak perancangan buku yang standar melalui cover, judul buku hingga desain layouternya cukup memberikan daya artistik yang hendak dibentuk oleh tampilan sebuah buku. Bagi penerbit Yogya, buku 9
bukanlah sekedar sebuah bisnis bidang ekonomi, melainkan sebuah produk budaya, produk berselera seni yang cukup tinggi. Tidak heran jika perancangan buku dibuat dengan begitu memikat, terutama dalam desain sampul dan pemilihan judul yang provokatif. Sampul yang jika dibentangkan secara lebih besar dapat menjadi sebuah poster yang menarik untuk dipajang. Penerbit alternatif di Yogyakarta dalam banyak hal lahir karena kedekatan sesama kawan dan kesamaan cara pandang terhadap sebuah isu yang sedang berkembang. Tidak jarang jika beberapa penerbitan lahir kemudian yang ditopang oleh penerbit sebelumnya, karena unsur pertemanan yang begitu kental. Justru karena unsur kedekatan, baik soal ideologi, sosiologis maupun psikologis, memberikan peluang bagi penerbit alternatif bermunculan. Memanfaatkan jaringan dalam komunitas, penerbit alternatif hidup dan menghidupi penerbitannya. Komunitas dianggap sebagai pasar potensial dan memiliki kedekatan secara emosional dengan penerbit, sekaligus dengan tema buku yang diterbitkan. DAFTAR PUSTAKA Adhe, 2007, Declare, Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007), Yogyakarta: Komunitas Penerbit Jogja Fauzan, 2003, Mengubur Peradaban: Pelarangan Buku di Indonesia, Yogyakarta: LkiS Harahap, Mula (ed.), 2000, Menjadi Penerbit, Jakarta: IKAPI Jakarta Koskow, 2009, Merupa Buku, Yogyakarta, LKiS Lukmantoro, Triyono, ,”Indie Label, Perlawanan Komunitas Lokal, dalam Kompas, 10 Februari 2007 Majalah Balairung, edisi 34/XVI/2001 Majalah Matabaca, Vol. 1/No. 10/2003 Majalah Matabaca, Vol. 2/No. 12/2003 Majalah Matabaca, Vol. 1/No. 9/2004 Mansoor, Sofia, 1999, Pengantar Penerbitan, Bandung: Penerbit ITB Prihantoro, Agung, 2006, Meracik Buku Menjadi Besty Seller, Bandung: Nuansa Santoso, Revianto B (dkk), 2006, Menjadi Jogja, Yogyakarta: Dewan Kebudayaan Kota Yogya dan Pusat Studi Kebudayaan UGM Tinarbuko, Sumbo,” Desain Grafis Sampul Buku, dalam Kompas, 29 September 2002 Wirodono, Sunardian, “Salah Satu Keajaiban Dunia: Perkembangan Penerbitan Buku Yogya:, dalam Minggu Pagi, No. 18/Th. 58/Minggu V Juli 2005
10