LAPORAN ANALISIS SEDIAAN FARMASI
PENETAPAN KADAR ALKOHOL DALAM MINUMAN BERALKOHOL (MARTINI) DENGAN METODE KROMATOGRAFI GAS (GC)
Gol T Kelompok F
Nama Kelompok : 1. Ervianti Dela Rosa (2443010136) 2. Yolanda E. Tuan (2443010059) (2443010059 ) 3. Nency Rotua (2443010177) (244301017 7) 4. Regina Sany (2443010198)
Asisten
: Henry K.S
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2012
I. Tujuan:
Menentukan validasi metode penentuan kadar etanol dalam minuman beralkohol secara Kromatografi Gas.
Mahasiswa dapat memahami cara memvalidasi metode penetapan kadar secara Kromatografi Gas.
II. Dasar Teori Kromatografi gas adalah cara pemisahan kromatografi menggunakan menggunakan gas sebagai fasa penggerak. Zat yang dipisahkan dilewatkan dalam kolom yang diisi dengan fasa tidak bergerak yang terdiri dari bahan terbagi halus yang cocok. Gas pembawa mengalir melalui kolom dengan kecepatan tetap, memisahkan zat dalam gas atau cairan, atau dalam bentuk padat pada keadaan normal. Cara ini digunakan untuk percobaan identifikasi dan kemurnian, atau untuk penetapan kadar. Kromatografi Gas ( GC) merupakan jenis kromatografi yang digunakan digunakan dalam kimia organik untuk pemisahan dan analisis. GC dapat digunakan untuk menguji kemurnian dari bahan tertentu, atau memisahkan berbagai komponen dari campuran. Dalam beberapa situasi, GC dapat membantu dalam mengidentifikasi sebuah kompleks. Dalam kromatografi gas, fase yang bergerak (atau “mobile phase”) adalah sebuah operator gas, yang biasanya gas murni seperti helium atau yang tidak reactive seperti gas nitrogen. Stationary atau fasa diam merupakan tahap mikroskopis lapisan cair atau polimer yang mendukung gas murni, di dalam bagian darisistem pipa-pipa kaca atau logam yang disebut kolom. Instrumen yang digunakan untuk melakukan kromatografi gas disebut gas chromatograph (atau “aerograph”, ”gas pemisah”). Kromatografi gas yang pada prinsipnya sama s ama dengan kromatografi kolom (serta yang
lainnya bentuk kromatografi,
seperti
HPLC,
TLC),
tapi
memiliki
beberapa
perbedaan penting. Pertama, proses memisahkan compounds dalam campuran dilakukan antara stationary fase cair dan gas fase bergerak, sedangkan pada kromatografi kolom yang seimbang adalah tahap yang solid dan bergerak adalah fase cair. (Jadi, nama lengkap prosedur adalah “kromatografi gas-cair”, gas-cair”, merujuk ke ponsel dan stationary tahapan,masingmasing.) Kedua, melalui kolom yang lolos tahap gas terletak di sebuah oven dimana temperatur gas yang dapat dikontrol, sedangkan kromatografi kolom (biasanya) tidak
memiliki kontrol seperti suhu. Ketiga, konsentrasi yang majemuk dalam fase gas adalah hanya salah satu fungsi dari tekanan uap dari gas. Kromatografi gas juga mirip dengan pecahan penyulingan, karena kedua proses memisahkan komponen dari campuran terutama berdasarkan titik didih (atau tekanan uap) perbedaan. perbedaan. Namun, pecahan penyulingan biasanya digunakan untuk memisahkan komponen campuran pada skala besar, sedangkan GC dapat digunakan pada skala yang lebih kecil (yakni microscale). Umumnya terdiri dari pencadang gas pembawa (injector), tempat penyuntikan zat, kolom terletak dalam thermostat, alat pendeteksi (detector) dan alat pencatat (rekorder) yang ditampilkan pada komputer. Susunan alat tersebut dapat dibuat seperti skema berikut:
Analisa Kromatografi Gas Senyawa gas yang dianalisis berinteraksi dengan dinding kolom, yang dilapisi
dengan fasa diam yang berbeda. Hal ini menyebabka men yebabkan n setiap senyawa elusi pada waktu yang berbeda, dikenal sebagai waktu retensi dari senyawa tersebut. Perbandingan waktu retensi adalah apa yang memberikan manfaat analitis GC (Anonim, 2010).
Campuran gas dapat dipisahkan dengan kromatografi gas. Fasa stationer dapat berupa padatan (kromatografi gas-padat) atau cairan (kromatografi gas-cair) (Takeuchi, 2009). Umumnya, untuk kromatografi gas-padat, sejumlah kecil padatan inert misalnya karbon teraktivasi, alumina teraktivasi, silika gel atau saringan molekular diisikan ke dalam tabung logam gulung yang panjang (2-10 m) dan tipis. Fasa mobil adalah gas semacam hidrogen, nitrogen atau argon dan disebut gas pembawa. Pemisahan gas bertitik didih rendah seperti oksigen, karbon monoksida dan karbon dioksida dimungkinkan dengan teknik ini (Takeuchi, 2009)
Cara Pengoperasian Gas Chromatography
Sesudah alat-alat disiapkan, kolom, alat pendeteksi, suhu dan aliran gas pembawa diatur hingga kondisi seperti yang tertera pada masing-masing monografi, suntikkan larutan zat sejumlah yang tertera tertera pada masing-masing monografi monografi atau larutan pada tempat penyuntikan penyuntikan zat menggunakan menggunakan alat penyuntik mikro. Pemisahan komponen-komponen dideteksi dan digambarkan dalam kromatografi. Letakkan kurva pada kromatogram dinyakatakn dalam waktu retensi (waktu dari penyuntikan contoh sampai puncak kurva pada kromatogram) atau volume retensi (waktu retensi x kecepatan alir gas pembawa) yang tetap untuk tiap zat pada kondisi yang tetap. Dasar ini digunakan untuk identifikasi. Dari luas daerah puncak urva atau tinggi puncak kurva, komponen zat dapat ditetapkan secara kwantitatif
Cara kalibrasi
Buat satu seri larutan . Setelah itu, suntikan dengan volume sama tiap larutan ke dalam tempat penyuntikan zat. Gambar garis kalibrasi dari kromatogram, dengan berat zat pada sumbu horizontal, dan tinggi puncak kurva atau luas daerah puncak kurva pada sumbu vertical. Buat larutan zat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Dari kromatogram yang diperoleh dengan kondisi yang sama seperti cara memperoleh garis kalibrasi, ukur luas daerah puncak kurva atau tinggi puncak kurva. Hitung jumlah zat menggunakan garis kalibrasi. Dalam cara kerja ini, semua harus dikerjakan dengan kondisi yang betul-betul tetap.
III. Sifat Bahan:
Etanol (FI IV hal 63): Etanol Mutlak mengandung tidak kurang dari 99,2% b/b, setara dengan tidak
o
kurang dari 99,5% v/v, C 2H5OH, pada suhu 15,56 C. Etanol mengandung tidak kurang dari 92,3% b/b dan tidak lebih dari 93,8%
b/b., setara dengan tidak kurang dari 94,9% v/v dan tidak lebig dari 96% v/v, o
C2H5OH, pada suhu 15,56 C. Pemerian: Cairan mudah menguap, jernih, tidak berwarna. Bau khas dan
menyebabkan rasa terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu o
rendah dan mendidih pada suhu 78 C. Mudah terbakar. Kelarutan: Bercampur dengan air dan praktis bercampur dengan semua pelarut
organik. BJ 0,81 g/ml. BM: 46,07.
n-Butanol: Pemerian: Cairan tidak berwarna, jernih, dan bau khas. Mendidh pada suhu
o
118 C.
Kelarutan: Agak sukar larut dalam air (1:160), larut dalam pelarut organik.
BM: 74,12.
IV. Alat dan Bahan: Alat:
Beaker glass.
Micropipet
Labu takar.
Membran filter
Batang pengaduk.
Batang pengaduk.
Filter holder
GC
Bahan:
Etanol Absolut
N-butanol
WFI
Minuman beralkohol (martini)
V.
Cara Kerja
Selektivitas 1. Pembuatan Larutan Standar (Etanol) → 200 ppm Pipet 0.1 ml (100 µl) µ l) etanol 95 % ↓ + kan water for injection (WFI) ad 10 ml ↓ Pipet 200 µl + kan WFI ad 10 ml ↓ Saring dengan membran filter holder ↓ Pipet 1 µl µ l kemudian inject inject
2. Pembuatan Larutan Internal Standar (N-butanol) → 200ppm Pipet 0.1 ml (100 µ l) N-butanol murni ↓ + kan water for injection (WFI) ad 10 ml ↓ Pipet 200 µl + kan WFI ad 10 ml ↓ Saring dengan membran filter holder ↓ Pipet 1 µ l kemudian inject
3. Pembuatan Campuran (Etanol dan N-butanol) Pipet 200 µl Larutan Standar Etanol ↓ Pipet 200 µ l larutan internal standar n-butanol ↓ + kan WFI ad 10 ml ↓ Saring dengan membran filter holder ↓ Pipet 1 µ l kemudian inject
4. Pembuatan Matriks Pipet 0.4 ml + WFI ad 10 ml ↓ Pipet 0.35 ml + WFI ad 10 ml ↓ Saring dengan membran filter holder ↓ Pipet 1 µl µ l kemudian inject inject
Linieritas Pipet etanol + kan WFI ad 10 ml
Pipet 100 µ l
pipet 150 µ l
pipet 200 µ l
pipet 250 µ l
pipet 300 µ l
↓ + kan Pipet 200 µl µ l N-butanol (pipet (pipet 100 µ l n-butanol murni, murni, + WFI ad 10 ml) ↓ + kan WFI ad 10 ml ↓ Saring dengan membran filter holder ↓ Pipet 1 µ l kemudian inject (replikasi (replikasi 3 kali)
Akurasi dan Presisi Pipet 100 µl µ l etanol 95 %, + kan WFI ad 10 ml ↓ Pipet 1,6 ml + kan WFI ad 10 ml ↓ Pipet 0.4 ml + kan WFI ad 10 ml ↓
Pipet 0,35 ml + 0.2 ml n-butanol (100 µl n-butanol murni + kan WFI ad 10 ml) lalu +kan WFI ad 10 ml ↓ Saring dengan membrane filter holder ↓ Pipet 1 µl kemudian inject (replikasi 2 kali)
Preparasi Sampel (15%) Pipet 0.1 ml sampel + WFI ad 10 ml ↓ Pipet 1.6 ml + WFI ad 10 ml ↓ Pipet 0.4 ml + WFI ad 10 ml ↓ Pipet 0.35 ml + n-butanol 0.2 ml (100 µl n-butanol murni + WFI ad 10 ml) ↓ + kan WFI ad 10 ml ↓ Saring dengan membran filter holder ↓ Pipet 1 µl kemudian inject (replikasi 3 kali)
Kondisi GC o
Temperature ( C)
Hold time (menit)
Heating rate o
( C/menit) Oven
45
1 50
Inlet
150
1
65
1 50
170 Detector
220
1
VI.
Hasil Pengamatan dan Perhitungan Selektivitas : untuk mengetahui keterpisahan (syaratnya : Rs ≥ 1,5) 1. Etanol
tR etanol = 0,530 2. n- butanol
tR n-butanol = 1,703 3. Campuran Etanol dan n – n – butanol butanol
Perhitungan selektifitas tR etanol = 1,017 tR n-butanol = 1,897
Rs=
Rs = 12,461
4. Matriks
tR Matriks = 0,1040 As = 3,067
Linieritas
Linearitas 1 tR etanol = 0,217 tR n-butanol = 0,740 Luas area etanol = 116,205 Luas area n-butanol = 218,402
Linearitas 3 tR etanol = 0,257 tR n-butanol = 0,757 Luas area etanol = 571,750 Luas area n-butanol = 611,130
Linearitas 5 tR etanol = 0,260 tR n-butanol = 0,737 Luas area etanol = 623,880 Luas area n-butanol = 403,382
kelompok
Luas Area
konsentrasi teoritis (x) Etanol
n-butanol
C1
100 ppm
116,205
218,402
0,532
C3
200 ppm
571,750
611,130
0,935
C5
300 ppm
623,880
403,382
1,546
a = -9.667 x 10 -3 b = 5.07 x 10 r = 0.99305
ratio (y)
-3
Penetapan Kadar Sampel
Sampel 1 tR etanol = 0,205 tR n-butanol = 0,740
Sampel 2 tR etanol = 0,280 tR n-butanol = 0,740 Luas Area Sampel
Ratio
Konsentrasi pengamatan (ppm)
etanol
n-butanol
S1
200,250
329,710
0,607
121,63
S2
1727,747
3957,307
0,436
87,90
Akurasi dan Presisi
Akurasi dan Presisi 2 tR etanol = 0,220 tR butanol = 0,740 Luas Area etanol = 285,460 Luas Area n-butanol = 2210,004
Akurasi dan presisi 3 tR etanol = 0,173 tR n-butanol = 0,693 Luas area etanol = 227,937 Luas area n-butanol = 6718,645 Luas Area
Akurasi dan Presisi
Ratio etanol
Konsentrasi pengamatan (ppm)
n-butanol
AP 1
285,460
2210,004
0,129
27,35
AP 2
227,937
6718,645
0,0339
8,593
% kadar terukur 1 =
x 100%
= 22,48 %
% kadar terukur 2 =
x 100%
= 9,77 % % recovery 1 = =
x 100 %
x 100 %
= 149,87 % % recovery 1 = =
x 100 %
x 100 %
= 65,13 % Rata-rata recovery =
= 107,55 %
Kesalahan sistematik = 100% - recovery = 100% - 107,55 % = - 7,55% Standar deviasi (SD) = 59,92 Relative standar deviasi (RSD) = 59,92 %
VII.
Pembahasan
Pemilihan metode kromatografi pada identifikasi senyawa alkohol dan penentuan konsentrasinya karena sampel alkohol merupakan senyawa yang mudah menguap dan tidak terdekomposisi akibat pemanasan.
Dalam metode validasi ini dilakukan uji selektivitas yang bertujuan untuk melihat kemampuan suatu metode analisis untuk memberi tanggapan pada detektor terhadap komponen senyawa yang ingin dianalisis. Pada uji selektivitas didapat nilai 12,461. Hasil yang didapat memenuhi syarat yang dikehendaki yaitu Rs > 1,5.
Pada uji linieritas, kita hanya melakukan 3x pada konsentrasi C1, C3, dan C5, karena terjadi kesalahan dalam melakukan pembuatan linearitas dimana, vial dibilas dengan alkohol sehingga pada saat dilakukan penginjekkan ke kolom GC, hasil yang terbaca oleh detektor adalah munculnya peak alkohol yang sangat besar. Adapun r hitung yang didapat dari 3 konsentrasi adalah 0,99305, hampir mendekati 1.
Pada uji sampel didapat kadar 22,48%, diluar kadar sebenarnya yaitu 15%. Hal ini dikarenakan hasil pemisahan antara alkohol dan n-butanol tidak baik sehingga,
mempengaruhi
hasil
regresi
linier
yang
kurang
bagus,
mengakibatkan persentase perhitungan kadar sampel tidak sesuai dengan kadar sesungguhnya. Selain itu, hasil dari akurasi dan presisi ke 2 juga tidak baik yang disebabkan karena kesalahan pemipetan pada saat membuat nbutanol sehingga peak yang dihasilkan sangat tinggi/besar.
Uji akurasi dan presisi dilakukan secara bersama-sama. Dari hasil perhitungan recovery diperoleh hasil 107,55% sedangkan rentang recovery yang baik, yaitu 98 - 102 %. Hasil RSD yang diperoleh adalah 59,92% yang berarti tidak memenuhi persyaratan RSD yang baik yaitu ≤ 2%. Hal ini menunjukkan bahwa metode ini tidak valid karena uji akurasi dan presisi tidak memenuhi persyaratan, karena recovery dan kesalahan sistematik adalah parameter akurasi sedangkan kesalahan acak (RSD) adalah parameter presisi.
Adanya kesalahan-kesalahan yang terjadi ini dapat disebabkan dari berbagai hal, antara lain:
Kekurang telitian pengambilan bahan
Kesalahan dalam pemipetan sampel
Kurang homogen dalam mencampur bahan
Wadah yang digunakan kurang bersih sehingga dapat menggangu hasil yang diperoleh misalnya adanya pengotor, atau senyawa lainnya karena GC memiliki sensitifitas yang tinggi.
Alat dan bahan yang digunakan terkontaminasi bahan yang lain misalnya alkohol
Kesalahan dalam penganceran standart atau sampel
Kesalahan dalam inject sampel ke dalam kolom sehingga peak yang dihasilkan tidak proporsional, bentuk peak loading ataupun tailing
Pemilihan suhu yang kurang tepat sehingga antar komponen tidak terpisah dengan baik, dalam hal ini adalah alkohol dan n-butanol.
VIII.
Kesimpulan Kesimpulan yang didapat adalah hasil dari metode ini tidak valid. Karena hanya uji selektivitas saja yang memenuhi persyaratan sedangkan uji linearitas, akurasi dan presisi, dan hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan walaupun selektivitas memenuhi syarat yaitu Rs > 1.5
IX.
Daftar Pustaka 1. Association of Official Analytical Chemist (AOAC), Infra Red and Ultraviolet Spectra of Some Compounds of Pharmaceutical Interest, 1975 2.
Tim penyusun. 2011. Petunjuk Praktikum Analisis Sediaan Farmasi. Surabaya: Laboratorium Instrumen Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala
3.
DepKes RI. 1979. Farmakope Indonesia IV . Jakarta : Departemen Kesehatan RI