R.L. Stine Tukar Tubuh Switched (Fearstreet # 31)
Hilang ingatan itu memang ngeri!! Sumber: Ebukulawas Convert & Re Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku – PP Assalam Cepu
Bagian satu PERTUKARAN BAB 1
Namaku Nicole Darwin dan aku orang yang selalu sial. Setidaknya itulah yang kurasakan belakangan ini. Bahkan cuaca musim semi yang indah ini—bunga-bunga tulip merah dan kuning yang melambai-lambai diembus angin sepoi-sepoi yang hangat, wangi rumput yang baru dipotong—tidak mampu membuatku riang. Hidupku bagaikan di dasar sumur yang gelap dan dalam. Kuku jari tanganku patah waktu aku berpakaian sebelum berangkat sekolah tadi pagi, dan air mataku bercucuran. Seperti itulah kacaunya hidupku. hidupk u. Kuku-kukuku panjang dan indah. Kadang-kadang kuwarnai merah muda, kadangkadang ungu. Beberapa teman sekolahku suka menggangguku mengenai kukukuku itu. Tapi menurutku kuku-kuku itu cantik. Entahlah. Aku suka sekali bentuk kuku-kuku itu. Kurasa aku sendiri cukup enak dipandang. Aku memang tidak cantik luar biasa. Tapi sebaliknya aku juga tidak buruk-buruk amat. Lumayanlah. Rambutku lurus, berwarna cokelat, kubiarkan tumbuh panjang melewati bahu. Dan kulitku halus, putih susu. Semua orang bilang yang paling menarik pada diriku adalah mataku. Berwarna
cokelat muda dan sangat hidup. Pacarku, David, bilang bahwa mataku mengandung misteri. Katanya, dia tidak bisa menebak apa yang sedang kupikirkan walaupun dia sudah menatap mataku lekat-lekat mencoba menembus alam pikiranku. Dalam hal itu David benar. Dia tidak pernah bisa mengira-ngira apa yang ada dalam pikiranku. Dia anak baik, tapi terlalu banyak memikirkan dirinya sendiri. Lagi pula, bagaimana dia bisa tahu apa yang kupikirkan? Aku selalu punya pikiran aneh-aneh. Aku tidak tahu apakah semua orang memang punya pikiran aneh-aneh semacam itu. Mom bilang aku bisa kelihatan cantik kalau aku lebih sering tersenyum. Katanya kebiasaanku cemberut menjatuhkan seluruh penampilan wajahku. Menurut Mom, rambutku sebaiknya dipotong pendek. "Memangnya kenapa sih kau perlu rambut banyak-banyak?" tanyanya sambil geleng-geleng. Rambut Mom sendiri memang dipotong pendek sekali, hampir tidak lebih panjang dari potongan rambut laki-laki, "bayangkan berapa lama waktu yang kauhabiskan untuk mengurus rambut itu." Mom memang tukang menasihati. Kadang-kadang sampai menjengkelkan. Dia akan tahu kalau aku sedang suntuk, sedang sebal. Tapi itu tidak membuatnya berhenti memberi nasihat. Apa dia betul-betul mengira aku ingin seperti dia? Dia dan Dad benar-benar sangat membosankan. Kasihan melihat mereka berdua di meja makan setiap malam, berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa dibicarakan. Kalau aku sudah kawin nanti, kuharap aku dan suamiku tidak cuma membicarakan cuaca panas di luar atau pembasmi semak-semak merek apa yang mau dibeli. Menyebalkan! Orangtuaku terlalu banyak mencampuri urusanku. Dan bukan cuma aku sendiri yang berpendapat begitu. Teman-temanku di Shadyside High berpendapat sama. Mereka mendapatkan jauh lebih banyak kebebasan dari orangtua mereka. Mereka boleh bawa mobil malam-malam ke tempat teman-teman mereka atau jalan-jalan keliling kota. Mereka tidak harus memberitahu orangtua mereka ke mana mereka pergi dan jam berapa pulang, tidak seperti aku. Padahal aku sudah di kelas terakhir, sudah boleh dianggap dewasa. Aku tidak tahu kenapa aku harus telepon ke rumah kalau aku pergi lebih dari dua jam atau kalau aku mau pulang lebih lambat daripada yang kukatakan sebelu mnya. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Mereka harus belajar memberikan lebih banyak kebebasan padaku. Aku bisa cerita tidak habis-habisnya tentang Mom dan Dad. Tapi bukan cuma mereka yang membuatku merasa kacau belakangan ini.
cokelat muda dan sangat hidup. Pacarku, David, bilang bahwa mataku mengandung misteri. Katanya, dia tidak bisa menebak apa yang sedang kupikirkan walaupun dia sudah menatap mataku lekat-lekat mencoba menembus alam pikiranku. Dalam hal itu David benar. Dia tidak pernah bisa mengira-ngira apa yang ada dalam pikiranku. Dia anak baik, tapi terlalu banyak memikirkan dirinya sendiri. Lagi pula, bagaimana dia bisa tahu apa yang kupikirkan? Aku selalu punya pikiran aneh-aneh. Aku tidak tahu apakah semua orang memang punya pikiran aneh-aneh semacam itu. Mom bilang aku bisa kelihatan cantik kalau aku lebih sering tersenyum. Katanya kebiasaanku cemberut menjatuhkan seluruh penampilan wajahku. Menurut Mom, rambutku sebaiknya dipotong pendek. "Memangnya kenapa sih kau perlu rambut banyak-banyak?" tanyanya sambil geleng-geleng. Rambut Mom sendiri memang dipotong pendek sekali, hampir tidak lebih panjang dari potongan rambut laki-laki, "bayangkan berapa lama waktu yang kauhabiskan untuk mengurus rambut itu." Mom memang tukang menasihati. Kadang-kadang sampai menjengkelkan. Dia akan tahu kalau aku sedang suntuk, sedang sebal. Tapi itu tidak membuatnya berhenti memberi nasihat. Apa dia betul-betul mengira aku ingin seperti dia? Dia dan Dad benar-benar sangat membosankan. Kasihan melihat mereka berdua di meja makan setiap malam, berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa dibicarakan. Kalau aku sudah kawin nanti, kuharap aku dan suamiku tidak cuma membicarakan cuaca panas di luar atau pembasmi semak-semak merek apa yang mau dibeli. Menyebalkan! Orangtuaku terlalu banyak mencampuri urusanku. Dan bukan cuma aku sendiri yang berpendapat begitu. Teman-temanku di Shadyside High berpendapat sama. Mereka mendapatkan jauh lebih banyak kebebasan dari orangtua mereka. Mereka boleh bawa mobil malam-malam ke tempat teman-teman mereka atau jalan-jalan keliling kota. Mereka tidak harus memberitahu orangtua mereka ke mana mereka pergi dan jam berapa pulang, tidak seperti aku. Padahal aku sudah di kelas terakhir, sudah boleh dianggap dewasa. Aku tidak tahu kenapa aku harus telepon ke rumah kalau aku pergi lebih dari dua jam atau kalau aku mau pulang lebih lambat daripada yang kukatakan sebelu mnya. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Mereka harus belajar memberikan lebih banyak kebebasan padaku. Aku bisa cerita tidak habis-habisnya tentang Mom dan Dad. Tapi bukan cuma mereka yang membuatku merasa kacau belakangan ini.
Aku punya banyak masalah di sekolah. Aku tidak tahu apakah itu tanda-tanda penyakit musim semi atau apa. Aku harus mengumpulkan laporan biologi. Tapi tidak kukerjakan. Mr. Frost terlalu membesar-besarkan urusan itu. Ia membuatku merasa seperti penjahat. Seperti pembunuh. Ia memanggilku seusai sekolah untuk "bercakap-cakap berdua saja" selama sejam. Itu istilah yang dipakainya. Dia dan aku sudah beberapa kali "bercakap-cakap". Tapi bagaimana bisa disebut bercakap-bercakap kalau yang terjadi adalah satu pihak menyudutkan yang lain. "Mestinya kau buat laporan biologimu, Nicole." Begitu cara Mr. Frost membuka "percakapan". Di belakangnya kusebut dia Frosty, si Beku. Karena dia bulat dan besar, seperti orang-orangan salju. "Mestinya kau buat laporan biologimu, Nicole." "Saya tahu," sahutku, menahan kuap. Ia melambaikan tangan gemuknya, mengusir lalat yang terbang berputar-putar mengitari wajahnya. Lalat pertama musim semi ini, pikirku. "Kenapa tak kaukerjakan?" desaknya. Ia bicara dengan suara lembut, yang akan semakin lembut kalau dia semakin marah. Aku mengangkat bahu "Tidak tahu." Aku memang tidak tahu. Aku sudah berniat mengerjakannya. Aku bahkan sudah melakukan sebagian besar penelitiannya. Tapi entah kenapa akhirnya aku tidak menulis laporannya. "Pasti ada sebabnya, Nicole," kata Frosty, suaranya semakin lembut. Aku menengok ke luar jendela. Anak-anak anggota tim bisbol sedang melakukan pemanasan sebelum latihan. Awan terkuak dan matahari menyembul. Cahaya nya masuk ke ruangan. "Saya tak punya alasan," aku mengaku. Kami "bercakap-cakap" sambil berdiri. Dia bersandar ke papan tulis di belakang mejanya. Aku berdiri di seberang meja, kedua tanganku terlipat. Aku memakai kaus hitam dan jins hitam. Hitam-hitam, cocok dengan suasana hatiku. Tadi malam aku sudah berpikir mau mengecat kukuku dengan warna hitam. Tapi karena ngobrol sejam lewat telepon dengan sahabatku, Lucy Kramer, aku jadi lupa. "Sekarang apa yang harus kita lakukan mengenai hal ini?" tanya Mr. Frost lembut. "Aku tak ingin memberi angka merah untukmu, Nicole. Itu akan membuatmu tak lulus." Kata-kata itu membangunkanku Tidak mungkin aku tidak lulus tahun ini. Aku sudah bosan di sini.
"Uh... barangkali saya boleh mendapatkan tambahan waktu," usulku. "Takkan makan waktu lama untuk menulis laporannya, Mr. Frost. Saya sudah menyelesaikan penelitiannya. Sungguh." Aku baru sadar kalau aku menarik-narik sejumput rambut cokelat di depan pelipisku. Kusapu rambut itu ke belakang. Frosty mengatupkan bibirnya rapat-rapat dan memandangku sambil berpikir. Tangannya mengelus-elus dua atau tiga lapis dagunya. "Saya sudah menyelesaikan penelitiannya," ulangku. "Tolong beri saya waktu sedikit lagi. Saya berjanji laporan itu akan bagus." Ia membiarkanku gelisah beberapa saat lagi. Lalu ia berkata, "Kalau kau bisa menyerahkannya Senin, masih akan kuterima." "Tapi sekarang sudah Jumat!" "Aku tahu, Nicole. Pakai akhir pekanmu untuk menyelesaikan laporan itu. Kalau kuberi waktu terlalu banyak, tak adil untuk teman- teman sekelasmu. Kerjakan dengan baik. Aku percaya kau bisa menyelesaikannya." Ia membuka buku catatan di mejanya dan mulai membalik-balik halamannya. Kuanggap itu berarti "percakapan" kami sudah selesai. "Terima kasih," gumamku, lalu aku keluar dari kelas. Aku benar-benar marah. Bukannya pada Frosty, tapi pada diriku sendiri. Maksudku, bukan salah dia bahwa aku tidak menyelesaikan pekerjaan rumahku. Nicole, mengapa kau selalu membuat sulit dirimu sendiri? Aku tidak tahu jawaban atas pertanyaanku sendiri itu. Aku harus bekerja dua puluh jam sehari untuk menyelesaikan laporan itu, pikirku. Artinya aku harus memberitahu David bahwa aku tidak bisa pergi ke klab dansa dengannya malam Minggu nanti. Menyedihkan sekali. Belakangan ini David agak aneh. Beberapa kali dia membatalkan janji. Dan pikirannya seolah melayang-layang entah ke mana. Tidak seperti David yang biasa, biasanya dia santai. Karena David sedang aneh begitu, sebetulnya aku ingin sekali pergi dengannya malam Minggu ini. Mungkin aku bisa mengorek apa yang sedang mengganggu pikirannya. Tapi sekarang tidak mungkin aku pergi malam Minggu—dan harus menyelesaikan laporanku. Tanpa kuduga, ternyata David menungguku di luar lab sains. "Ngapain kau di sini?" sapaku. "Menunggumu," sahutnya. David termasuk orang yang bicara secukupnya. Ia jarang mengucapkan satu kalimat penuh. Dipikirnya cara itu membuatnya lucu dan menarik. Aku juga berpikir begitu. Kuangkat wajahku untuk menciumnya. Dia sangat tinggi, hampir tiga puluh senti
lebih tinggi daripadaku. Ia menjauhkan wajahnya. Kutatap dia. Kucoba membaca ekspresi wajahnya. Dia memiliki mata besar berwarna cokelat, seperti mata anak anjing yang lucu. Matanya menghindari tatapanku. Kenapa sih dia? pikirku. Kuputuskan untuk langsung saja mengatakan padanya bahwa rencana malam Minggu nanti terpaksa batal. Tapi ia menduluiku. "Aku... tak bisa pergi malam Minggu besok," katanya. Matanya masih menatap ke aula kosong. "Kok? Kenapa?" desakku tanpa bisa menyembunyikan rasa terkejutku. Ia ragu-ragu. Kami berjalan berdampingan ke lokerku. Tapi kemudian ia berhenti. Memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Tak bisa," gumamnya. "David, ada apa?" tanyaku, berusaha agar suaraku tidak meninggi. "Kenapa kau tak bisa pergi malam Minggu?" Ia mengangkat bahu. "Ada urusan lain," sahutnya. Wajahnya berubah. Sekarang ia terlihat canggung. "Begini, Nicole..." Kutunggu dia meneruskan kata-katanya, tapi tidak ada lanjutannya. Rasa kuatir menusuk dadaku. Mendadak seluruh tubuhku terasa dingin. "Kau... kau mau putus denganku?" tanyaku. Kata-kata itu terdengar aneh. Seperti bukan kata-kataku. Tadinya aku sangat mengharapkan David. Hidupku sedang kacau. Sangat kacau. Aku membutuhkan David. Aku membutuhkannya untuk bisa tetap bertahan. Aku sangat tertekan. Aku sedang tidak membutuhkan tambahan berita buruk. "Bagaimana?" desakku. Ia mengangguk. Mata besar cokelat itu menatapku. "Ya. Rasanya begitu." "Tapi—kenapa?" Suaraku meninggi. Aku tidak bisa pura-pura tenang. Guncangannya terlalu hebat. "Tak tahan," jawabnya. Khas jawaban pendek David. Apa maksudnya? Kucengkeram lengannya. "Aku tak mengerti," jawabku. "Katakan padaku, David. Kenapa kau mau putus denganku. Aku betul-betul tak mengerti." "Aku tak tahan," katanya. Kulihat kuku-kukuku menusuk kulit lengannya. Ia menarik lengannya dari cengkeramanku. Ia mundur selangkah. "David...!" jeritku. "Begini saja, kau nanti kutelepon," katanya. Ia melangkah mundur. "Oke? Nanti kutelepon. Sori, sori, Nicole."
Ia berbalik dan pergi meninggalkanku dengan langkah-langkah lebar. Tanpa menoleh. Aku berdiri memandanginya sampai ia lenyap di kelokan. Beberapa saat kemudian kudengar pintu depan gedung sekolah ditutup. Aku baru sadar bahwa aku gemetaran. Aku berjalan ke lokerku dan mencoba membuka kunci kombinasinya. Tapi tanganku gemetaran dan mataku kabur oleh genangan air mata. Aku tidak bisa melihat angka-angka di kunci kombinasi. Kenapa dia tidak menjelaskan? "Aku tak tahan." Apa maksud kata-katanya itu? Setelah beberapa kali mencoba, aku berhasil membuka lokerku. Kulihat kalender di dalamnya. Aku ingin tahu apakah hari ini Jumat tanggal tiga belas. Ternyata tidak. Hari ini tanggal dua belas. Sama saja. Tetap hari sialku. Sambil menghela napas aku membungkuk memasukkan buku dan catatan ke tasku. Aku tidak melihat lagi buku-buku apa saja yang kumasukkan. Aku tak perduli. Aku ingin cepat-cepat keluar dari gedung sekolah ini. Kalau tidak, aku akan sesak napas di dalam sini. Pasti. Kubanting pintu lokerku, kusampirkan ranselku ke bahu, lalu cepat-cepat aku pergi. Dua orang guru muncul dari kelokan, bicara sambil tertawa-tawa. Tawa mereka terhenti ketika mereka melihatku. Mungkin mereka melihat ekspresi sedih di wajahku. "Nicole... kau baik-baik saja?" salah seorang dari mereka menyapaku. "Ya. Tidak apa-apa!" seruku. Kubuka pintu depan dan aku melangkah ke luar. Udara terasa segar dan wangi. Pohon dogwood di halaman depan sekolah sedang berkembang, bunganya yang putih bermekaran. Kualihkan pandanganku ke jalan. Sebuah bus kota Shadyside berwarna merah putih muncul dari tikungan. Dua anak SMP meluncur di trotoar dengan Rollerblades. Tak terlihat seorang pun yang kukenal. Semua temanku sudah pulang, atau sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Mom mungkin sudah bingung kenapa aku belum pulang, pikirku pahit. Serasa terngiang suaranya di telingaku, "Nicole, kalau kau tahu harus tinggal setelah jam sekolah, kenapa tak menelepon ke rumah?" Aku tidak punya kehidupan. Sama sekali tidak punya kehidupan! Aku mulai menuruni tangga ketika kulihat Lucy berjalan ke arahku. Ia melambai padaku. Cepat-cepat kuhampiri dia. Lucy dan aku bersahabat amat sangat akrab sejak TK. Rambut Lucy lurus pirang, dipotong lebih pendek daripada rambutku, dan
biasanya diikatnya menjadi buntut kuda. Matanya hijau, hidungnya k ecil agak mendongak, dan senyumnya manis sekali. Rasanya kalian akan setuju kalau kukatakan dia lebih tepat disebut lucu daripada cantik. Aku berlari menghampirinya dan memeluknya. Serta-merta emosiku meledak. "Lucy... ini hari jelek, hari sialku!" Air mata hangat mengalir di pipiku. Lucy sangat penuh pengertian. Dan cerdas. Dan dia sangat mengenal diriku. Tidak pernah ada rahasia di antara kami. Kami tidak pernah merahasiakan sesuatu dari yang lain. Rasanya senang punya teman yang bisa dipercaya sepenuhnya. "Hidupku—hancur berantakan hari ini," kataku. "Semua. Seluruhnya. Aku... rasanya aku tak punya kendali atas hidupku sendiri. Sangat... menyedihkan." "Sama, aku juga," bisik Lucy. "Parah. Aku juga, Nicole. Aku juga." Kulepas pelukanku dan aku mundur selangkah. Kuhapus air mata di pipiku dengan kedua tanganku dan kupandang dia dengan heran. "Kau juga?" senggukku. "Kau juga mengalami hari buruk?" Ia mengangguk. Lalu matanya berbinar bagai nyala api hijau. "Tapi aku punya ide," bisiknya. "Aku tahu apa yang bisa kita lakukan." "Ide?" ulangku sambil menatapnya. "Ide apa, Lucy?" Matanya berbinar lagi. Wajahnya bersinar cerah. "Ayo bertukar tubuh," katanya.
BAB 2
AKU ikut Lucy ke Fear Street. Hatiku tergelitik oleh perasaan aneh seakan ada aliran listrik berputar-putar dalam tubuhku. Apakah dia serius? Benarkah yang dikatakannya? Apakah kami memang akan bertukar tubuh? Tanah menjadi agak gelap, lalu terang lagi, ketika gumpalan-gumpalan awan melintas bergantian menutupi matahari di langit. Cahaya yang berubah-ubah itu membuat semuanya seperti bukan kenyataan. Kuceritakan pada Lucy apa saja yang terjadi hari ini. Mengenai kekacauan hidupku. Mengenai David dan Mr. Frost dan laporan biologi. Mengenai orangtuaku yang membelenggu hidupku tanpa memberiku kesempatan bernapas. Ia mengangguk mengerti. Tanpa perlu menimpali. Ia memakai rok pendek hitam di atas celana ketat kuning. Kaus kuning kutung
memperlihatkan lengan ramping yang pucat sisa musim dingin. Sepatu kami berkeresak menginjak dedaunan. Matahari meredup dan pohon-pohon tua Fear Street jadi gelap. Lalu terang kembali, seperti ada orang memainkan tombol brightness pesawat televisi. Aku bergidik ketika kami berhenti sebentar memandang rumah tua Simon Fear. Aku sudah sering mendengar kisah-kisah seram mengenai rumah tua yang terbakar itu, dan mengenai jalan ini. "Kenapa tak mereka robohkan saja rumah itu?" komentar Lucy sambil memicingkan matanya mengurangi ketajaman cahaya matahari yang sekarang menyorot terang. "Merusak pemandangan saja!" "Mungkin mereka takut," timpalku lirih. Kualihkan pandanganku ke seberang jalan, ke tanah pekuburan tua yang dipenuhi batu-batu nisan tua yang mencuat dari tanah bagaikan gigi yang tu mbuh tidak teratur. Di balik tanah pekuburan terhampar hutan Fear Street. Pohon-pohon maple dan birch tua menjulurkan daun-daun musim seminya yang segar, memayungi jalanan, bagaikan lusinan tangan raksasa. Aku mengikuti Lucy ke hutan. Cabang-cabang pepohonan tua melengkung membentuk atap tinggi di atas kepala kami, hanya menyisakan sedikit celah untuk sinar matahari menembus ke bawah membuat suasana hutan itu kelabu dan kebiruan, gelap seperti malam. "Ke mana kita?" tanyaku menahan napas. Lucy kelihatannya sudah hafal jalan itu. Ia menyisihkan semak-semak berduri yang menghalangi jalan dengan kakinya, berjalan setengah membungkuk, mengikuti jalur yang tak terlihat. "Lucy—tunggu!" panggilku, mengitari genangan air. "Hei—Lucy! Tunggu!" Aku menyusulnya di dekat sebatang pohon tumbang yang sudah berlumut. Ia memandang ke bawah, kuikuti tatapannya. Ribuan serangga putih kecil bertebaran di lumut hijau. "Ih," gumamku. "Jijik." Lucy mengangguk. Ia mengusap dahi dengan punggung tangannya. Sebetulnya hari itu tidak terlalu panas, tapi kami berdua berkeringat. "Ke mana kita?" kuulangi pertanyaanku tadi. Lucy menunjuk ke depan. "Di sana. Kalau tak salah." "Apa yang di sana?" tanyaku. "Kenapa kau misterius sekali?" Ia nyengir. "Ini memang tempat misterius." Digandengnya tanganku. Tanganku dingin. Tangannya terasa panas dan lembap. "Sudah, jangan tanya-tanya, ikuti saja aku." Ia menarikku melangkahi pohon tumbang berlumut itu. Kubayangkan ribuan serangga kecil putih itu mengerubuti tubuhku. Aku bergidik.
"Memangnya kita benar-benar mau bertukar tubuh?" tanyaku. Ia memicingkan matanya memandangku. Hidungnya yang lucu itu membuat wajahnya seperti anak umur dua belas, bukannya tujuh belas. "Kau ingin melakukannya, kan?" tanyanya perlahan. Aku mengangguk, teringat orangtuaku, pekerjaan rumahku, David... hidupku yang berantakan. Ya, aku ingin kabur. Kabur dari diriku sendiri. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya dari diriku sendiri. Ya. Ya. Ya, aku ingin bertukar tempat dengan Lucy. Aku ingin bertukar kehidupan— setidaknya untuk sementara. Hidup Lucy tidak mudah. Orangtuanya sering bertengkar bagaikan para penghuni kebun binatang. Mereka tenggelam dalam masalah mereka sendiri, hampir tidak punya waktu untuk memperhatikan Lucy. Tapi itu yang kuinginkan, pikirku. Aku akan sangat menyukai kebebasan seperti itu. Ya. Ya. Mari bertukar, pikirku. Hidup Lucy memang tidak mudah. Tapi masih lebih baik dari hidupku. Dan dia punya Kent. Kent Borden sangat tampan. Pintar. Lucu. Walaupun Lucy sahabat karibku, aku sering berkhayal membayangkan bagaimana rasanya berkencan dengan Kent. Sekarang aku akan tahu, pikirku. Lucy dan aku akan bertukar tubuh. Dan aku akan tahu rasanya bersama Kent. Pikiran aneh. Suasana semakin gelap kelabu, udara terasa semakin berat, semakin dalam kami masuk ke hutan. Daun-daun kering gemeresik terinjak sepatu-sepatu kami. "Rasanya di situ tempatnya," kata Lucy, berhenti melangkah untuk mencabut duri dari rambutnya. "Oh! Tajam!" Dilemparkannya duri itu ke tanah. Seekor burung memekik panjang dan nyaring di atas kepala kami. Pekikan sedih yang membuatku berhenti melangkah. "Seperti jeritan manusia," kataku. "Seperti orang menangis." Suara itu terdengar lagi. Aku ragu-ragu, menggigil mendengar pekikan tajam dan sedih itu. Wajah Lucy jadi serius. "Jangan jadi pengecut," tegurnya. "Jangan malah jadi takut. Kau kan ingin melakukannya. Kau tahu kau ingin." Kutatap dia, aku agak terkejut melihat tiba-tiba dia jadi serius seperti itu. "Tidak, aku tak takut," kataku perlahan. "Ayo, aku ikut kau." Burung tadi memekik-mekik di atas sementara kami meneruskan perjalanan menembus semak-semak. Persis di balik semak-semak melintang sebidang tembok
batu. Tembok yang terbuat dari batu abu-abu itu kira-kira tiga puluh senti lebih tinggi daripada kepala kami. "Kakekku yang menceritakan padaku tentang tembok ini," kata Lucy. "Sebelum meninggal, Kakek memberitahuku di mana tembok ini berada, menceritakan padaku kenapa tembok ini dibuat dan bagaimana tembok ini sampai mempunyai kesaktian luar biasa." Aku menahan napas, menatap ke depan, ke tembok itu. Garis-garis retakan terlihat pada permukaannya bagaikan garis-garis jalan pada peta. Semen perekat batu batunya sudah retak-retak dan rontok. "Tembok ini pasti sudah tua, ya?" kataku. Ia mengangguk, menatap lurus-lurus ke tembok itu. "Tak ada yang tahu persis berapa umurnya." "Siapa yang membuatnya?" tanyaku sambil menepuk nyamuk yang menggigit lenganku. "Tak ada yang tahu juga, kata kakekku, tembok ini disebut Tembok Pertukaran. Lebih dari seratus tahun lalu, orang-orang jahat datang ke hutan ini dan menggunakan tembok ini untuk menukar tubuh. Bertukar tubuh dengan orang lain secara paksa." Aku ternganga. "Maksudmu mereka memaksa orang lain untuk bertukar tubuh dengan mereka?" Lucy mengangguk. "Itulah cara mereka melepaskan diri dari hukuman perbuatan jahat mereka." Kutatap tembok itu. "Wow," gumamku. Aku menoleh ke Lucy. "Dari mana kakekmu tahu tentang tembok ini?" "Dari si tua penjaga kuburan Fear Street," sahut Lucy. "Penjaga itu tinggal di pondok di hutan di belakang pekuburan. Dia tahu semua cerita tua dan legenda— sebagian besar kisah seram—tentang hutan ini. Dia tak pernah menceritakannya pada orang lain, sampai suatu hari bertahun-tahun lalu. Hari itu dia menceritakan pada kakekku rahasia Tembok Pertukaran ini." Lucy mengusap batu-batu tembok dengan tangannya. Ketika ia menyentuh tembok, langit menjadi lebih gelap. Suasana sekeliling kami kelabu tua. Seakan dengan menyentuh tembok itu Lucy membuat dunia jadi lebih gelap. Tapi rasanya itu cuma pikiran anehku. Kuangkat tanganku untuk meraba tembok itu, tapi kutarik kembali sebelum menyentuhnya. Lucy mencibir. "Itu cuma batu dan semen, Nicole. Takkan menggigitmu." "B-bagaimana cara kerjanya?" aku tergagap-gagap. Dadaku tiba-tiba berdegup kencang. Aku baru sadar sebenarnya aku takut. "Kakek sudah menceritakan semuanya. Mudah saja," kata Lucy. "Kita naiki
tembok itu dari arah sini. Kita berpegangan tangan. Lalu kita melompat ke seberang sana. Waktu kita mendarat di seberang tembok..." "Waktu mendarat kita sudah bertukar tubuh?" selaku. Lucy mengangguk. "Waktu mendarat kita sudah bertukar tubuh. Kau akan berada di tubuhku dan aku di tubuhmu. Bila orang melihatku, aku akan terlihat seperti kau dan semua orang akan mengira aku adalah kau." Kutatap dia sambil mencerna kata-katanya, lalu kuangkat mataku menatap tembok kelabu itu. "Kau benar-benar mau melakukan ini?" tanyaku. "Ayolah, kita coba saja," katanya. Digandengnya lagi tanganku. Kali ini tangan kami sama-sama dingin dan lembap. Ia mengeratkan genggamannya. "Ini mudah saja, Nicole. Satu lompatan sederhana. Kita coba saja. Harus kita coba." Ia mengangkat tangannya ke atas tembok. "Dorong aku ke atas," perintahnya. Kubantu dia naik ke atas tembok. Sampai di atas dia perlu waktu sejenak untuk menyeimbangkan badannya. "Atasnya tak rata," katanya. Ia merendahkan tubuhnya, berlutut. "Temboknya sempit dan retak-retak. Hati-hati, Nicole. Jangan sampai jatuh." Ia mengulurkan kedua tangannya, membantu menarikku ke atas tembok. Aku ragu-ragu. Di belakang terdengar lengkingan sedih burung tadi, tinggi di atas pepohonan. Apakah itu lengkingan peringatan? Apakah burung itu ingin memperingatkanku agar tidak meneruskan maksudku? Burung apa yang suaranya seperti anak perempuan menangis sedih itu? "Ayo, Nicole," desak Lucy sambil menggerak-gerakkan tangannya tidak sabar. "Cepat. Susah menyeimbangkan badan lama-lama di atas sini. Lututku sudah sakit kena ujung batu." Kuabaikan lengkingan burung itu dan kupegang tangan Lucy. Ia menarikku ke atas. Lututku lecet tergeser pinggiran tembok. Tapi aku berhasil naik ke sebelah sahabatku. Kami istirahat sejenak sambil berlutut, mengembalikan napas. Lalu kami bersama-sama, perlahan-lahan, dengan hati-hati, bangkit berdiri menghadap ke seberang. Entah mengapa, aku membayangkan akan melihat pemandangan yang berbeda di seberang sana. Jenis pohon yang berbeda. Langit yang berbeda. Sebuah rumah. Atau yang lainnya. Tanda-tanda bahwa semua di seberang tembok akan berubah. Tapi ternyata apa yang kulihat di seberang tembok sama saja dengan yang di seberang sini. Hutan gelap. Lututku mulai gemetar ketika kupegang tangan Lucy.
Bisakah aku melakukan ini? tanyaku pada diri sendiri. Bisakah aku benar-benar melakukan ini? Satu lompatan sederhana, aku mengingatkan diriku sendiri. Cuma itu saja. Satu lompatan sederhana. Dan hidupku akan berubah. Lucy dan aku saling memandang. Kulihat ketakutan di matanya yang hijau. Aku yakin dia pun melihat ketakutan di mataku. Seolah-olah kami sudah saling bertukar rasa takut sebelum melompat berbarengan dari atas tembok. Sepertinya pertukarannya sudah mulai. Dadaku berdegup kencang sampai aku susah bernapas. Keringat dingin mengaliri pipiku. Kugenggam tangan Lucy. Kugenggam erat-erat. Aku melihat ke bawah tembok. Tidak terlalu tinggi. Rumput tebal di bawah tembok. "Siap?" tanya Lucy pelan. "Siap," jawabku tanpa ragu-ragu. Kueratkan genggamanku. Aku menarik napas panjang. Dan kami melompat.
BAB 3
KEDUA kakiku menumbuk tanah dengan keras. Rasa sakit terasa sampai ke mata kaki, dan aku jatuh berlutut. Rasa sakit merambat naik dengan cepat melalui tungkai, ke dada, sampai ke kepala. Seluruh hutan seakan berubah warna menjadi merah tua. Sambil terengah-engah, aku menggeleng untuk mengusir rasa sakit, lalu bangkit berdiri. Berhasilkah? Betulkah lompatan tadi menukar tubuh kami? Aku menoleh ke Lucy—tapi dia tidak ada. "Lucy?" Aku menatap diriku sendiri. Mulutnya—mulutku ternganga ketika ia membalas menatapku. Aku menunduk meneliti diriku sendiri. Aku mengenakan pakaian Lucy—kaus
kuning kutung, rok hitam pendek di atas celana ketat kuning. "Oh, wow!" gumamku. Kuraba wajahku. Kupegang-pegang hidungku. Hidung kecil si Lucy. Kuusap kepalaku, buntut kudaku. Rambut Lucy. Bukan rambutku. Aku Lucy, pikirku. Aku Nicole di dalam tubuh Lucy. Kami mulai terkekeh-kekeh. Saling memandang dengan terbelalak, tidak percaya pada penglihatan kami. Berpandangan dan terkekeh-kekeh. Tidak ada yang bicara. Lalu kami mulai tertawa. Memiringkan kepala ke belakang dan terbahak-bahak ke arah langit. Aku merasa pusing. Aku merasa sinting. Aku merasa tak terkendali. Air mata kegembiraan menggenang di mataku. Melalui genangan air mata aku menatap diriku. Menatap Lucy di tubuhku. Rasanya tidak seperti melihat melalui cermin. Aku baru menyadari aku belum pernah betul-betul melihat diriku sebelum ini. Belum pernah sebelumnya aku bisa melihat lesung pipiku bila aku tertawa. Tidak kusadari sebelumnya mulutku agak miring. Belum pernah kulihat bagaimana rambutku yang panjang berombak berkilauan jatuh ke punggung melewati bahuku. Bagaimana rambut itu melambai setiap kali kugerakkan kepalaku. Aneh, rasanya aneh sekali. Aku berada di luar diriku. Aku berada di luar tubuhku memandang diriku. Sekarang aku Lucy, memandang Nicole. Kulihat Nicole menyentuh pipi, kukunya panjang-panjang dicat merah. Kami masih tertawa-tawa dengan air mata mengalir di pipi kami. Dan tiba-tiba kami berpelukan, saling mendekap erat-erat. Tertawa-tawa sambil berdekapan. Tertawa dan menangis bersamaan. Kami mulai berputar-putar. Sambil berpegangan tangan dengan riang kami menari berputar-putar. Berputar-putar semakin cepat. Nicole dan Lucy. Lucy dan Nicole. Nicole jadi Lucy, Lucy jadi Nicole. Berpusar-pusar bersama. Bersama, bukan sendiri-sendiri. Berkitar-kitar dalam lingkaran kami sendiri. Berputar dan tertawa. Senang sekali. Dan berhenti mendadak seperti lompatan yang memulai semua ini tadi. Dan kami jatuh terduduk di atas rumput hangat, terengah- engah. Dan saling memandang dengan wajah serius. Rasa pusing hilang dan kami mulai menyadari apa yang telah kami lakukan. Kami telah melompat lebih dari sekadar dua meter. Kami telah melompat ke kehidupan baru. Bertukar kehidupan.
Lucy mulai menyanyi. "Dum dum-dum-dum-dum-dum-dum-dum." Kukenali lagu tema The Twilight Zone. Aku tertawa. "Benar," kataku. "Kita melangkah ke Twilight Zone!" "Kita tak boleh cerita pada siapa pun," kata Lucy, suaranya berbisik. "Jangan cerita pada siapa-siapa, Nicole." "Panggil aku Lucy," kataku. "Aku jadi kau sekarang. Panggil aku dengan namamu." Ia ragu-ragu. "Aku masih merasa diriku Lucy," katanya. "Walaupun aku kelihatan seperti Nicole sekarang." "Kau benar," kataku. "Kita jangan cerita pada siapa pun. Lagipula takkan ada yang mau percaya. Kita jalani hidup masing-masing beberapa lama..." "Dan kalau kita sudah bosan," potong Lucy, "kita bisa kembali ke sini. Dan kita bertukar lagi." "Ya," aku setuju tanpa berpikir panjang. Lalu rasa bersalah menerpaku. "Kenapa?" tanya Lucy. Pasti dia melihat perubahan wajahku. "Aku takkan ingin bertukar balik," kataku. "Hidupku sangat kacau. Rasanya— rasanya kau yang rugi dengan pertukaran ini, Lucy. "Nicole, jangan pikirkan itu," sahutnya. "Menurutku..." "Tapi orangtuaku parah betul!" seruku. "Mereka seperti anjing penjaga. Selalu mengawasi, selalu menungguku melakukan kesalahan. Dan... dan David..." . "Kenapa David?" tanya Lucy pelan "Aku sudah bilang, dia putus denganku," sahutku. "Jadi kau tak punya pacar." Ia tersenyum dan mengusap rambutnya yang cokelat panjang ke belakang dengan tangan berkuku merah mengilat. "Mungkin aku akan mencoba merebutnya kembali," katanya. "Dan sekarang aku punya Kent," aku meneruskan, masih dipenuhi rasa bersalah. "Kent cowok hebat. Bagaimana perasaanmu, Lucy? Bagaimana perasaanmu kalau aku pergi dengan Kent?" Ia mengangkat bahu. "Nicole, ide ini datangnya dariku, ingat? Aku tahu persis apa jadinya." Kubuka mulutku untuk menjawab, tapi tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Langit di atas pucuk-pucuk pepohonan bertambah gelap. Matahari sore mulai merendah. Angin hangat membuat dedaunan berdesir dan berbisik-bisik di sekeliling kami. "Pulang yuk," ajak Lucy. "Ibuku pasti akan menunggumu di depan pintu," kuperingatkan dia. "Kau harus siap-siap punya alasan bagus." "Gampang, aku kasih tahu saja kalau aku telat pulang karena habis melompat dari tembok dan bertukar tubuh," kata Lucy sambil nyengir. Lesung pipiku ikut tersenyum. Ia menggerakkan kepala melambaikan rambut cokelatku sambil
tertawa. Kami sama-sama tertawa. Aku masih agak pusing seperti orang mabuk. Kuregangkan lenganku ke atas kepala. Aku berjalan beberapa langkah di rumput dengan tubuh baruku. Rasanya canggung. Gerakan tungkainya terasa berbeda. Kakinya lebih kecil. Perlu usaha untuk berdiri tegak, untuk mencegah kepala tertunduk. Seharusnya melangkah itu merupakan gerakan wajar, pikirku. Tapi aku belum terbiasa dengan tubuh ini. Beberapa langkah lagi. Aku menengok ke tembok tadi. Di bawah cahaya yang mulai suram tembok itu hanya terlihat sebagai bayangan kelabu. Bagaikan awan gelap di atas rumput. Kalau tidak kupicingkan mataku, aku takkan bisa melihatnya. Seakan-akan tembok itu tidak ada. Lucy dan aku tidak banyak bicara dalam perjalanan dari hutan ke jalan. Rasanya kami masing-masing sibuk berpikir sendiri, berpikir tentang hidup baru kami, membiasakan diri dengan tubuh baru. Beberapa menit kemudian kami keluar ke Fear Street. Rumah tua Fear menjulang bagaikan makhluk gelap di latar belakang langit kelabu. Kulihat dua kucing dek il berlarian di sela-sela barisan batu nisan di kuburan. Kami berjalan tanpa bicara. Kira-kira satu blok dari rumahku kami berpisah. "Daah!" seruku. "Daah," sahutnya. Ia melambai padaku, lalu berlari-lari kecil menyeberang jalan. Aku berdiri menatapnya. Rasanya aneh melihat diriku berlari menjauh. Kuperhatikan Lucy sampai hilang di balik pepohonan. Lalu aku berbalik dan berjalan ke arah rumah Lucy di Canyon Drive. Bisakah aku mengelabui orangtua Lucy? pikirku. Bisakah aku membuat Mr. dan Mrs. Kramer mengiraku sebagai anak mereka? Dan bagaimana dengan teman-teman Lucy, bisakah mereka kukelabui? Bisakah aku mengelabui Kent? Bisakah aku mengelabui teman-temanku sendiri? Begitu banyak pertanyaan di benakku sementara aku berdiri bimbang di depan rumah Lucy, memandang rumah kayu bercat putih itu. Ingat, Nicole—kuingatkan diriku sendiri— jangan menyindir. Lucy tidak pernah bicara menyindir. Kau yang suka menyindir. Lucy manis dan serius. Aku menarik napas dalam-dalam lalu melangkah ke rumah. Pintu depan setengah terbuka. Aku membuka pintu kasa lalu melangkah masuk. "Hai! Aku sudah pulang!" aku berseru. "Maaf aku terlambat!" Tak ada jawaban. Mobil ada di depan rumah. Mr. dan Mrs. Kramer pasti ada di rumah. "Di mana kalian?" panggilku. Aku menuju ke ruang keluarga. Tapi terhenti di ambang pintu dengan teriakan tertahan.
Kukedipkan mataku beberapa kali, tapi pemandangan mengerikan itu tak juga pergi. Kugenggam pinggiran pintu dengan kedua tanganku, mataku terbelalak ketakutan menatap genangan darah dan tubuh-tubuh yang tersayat-sayat di lantai. Lalu aku menjerit sekuat tenaga.
BAB 4
KAKIKU gemetaran tak terkendali, aku jatuh berlutut. Seluruh tubuhku gemetar. Rasa mual hampir membuatku muntah. Kedua orangtua Lucy tergeletak tewas di atas karpet ruang keluarga. Tertelentang. Tubuh mereka tersayat-sayat. Pakaian mereka robek-robek dan bersimbah darah. Mata mereka membelalak ngeri ke arah langit-langit. Dan darah... Genangan... Gelap dan menyebar... di bawah tubuh mereka yang tersayat-sayat, bagai rakit berwarna merah anggur. Bagai lubang gelap dan dalam di tengah karpet putih. Mr. dan Mrs. Kramer. Orangtua Lucy. Terbunuh. Tewas di lantai ruang keluarga. "Lucy. Lucy. Lucy." Aku tidak tahu berapa kali kuulang-ulang menyebut namanya. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berada di ambang pintu ruang keluarga itu, duduk berlutut, seluruh tubuh gemetaran, mata berkedip-kedip memandang kengerian itu. Menatap tubuh tersayat-sayat kedua orangtua Lucy. Memanggil-manggil nama sahabatku seperti orang membaca mantra. "Lucy. Lucy. Lucy." Aku tidak tahu apakah aku baru satu atau dua menit di sana, atau sudah satu jam. "Lucy. Lucy. Lucy." Gelombang warna merah mengalir di depan mataku. Gelombang panas darah merah menerpaku, membutakanku, mencekikku. "Lucy. Lucy. Lucy." Kuusap mataku, kucoba mengusir pemandangan seram itu. Dengan susah payah aku bangkit. Dengan susah payah aku berjalan ke pintu depan.
"Lucy harus kuberitahu," gumamku keras-keras. Aku tidak bisa berpikir. Adegan ngeri itu masih menguasaiku, dan darah itu, merah sekali. "Lucy harus kuberitahu." Aku terhuyung-huyung keluar dari pintu depan. Tubuh baruku masih terasa canggung. Untuk melangkah pun perlu konsentrasi. Lucy dan aku harus bertukar lagi kalau begini. Kami harus kembali ke tembok kelabu itu dan saling bertukar kembali. Kasihan Lucy. Ia ingin merasakan kehidupan baru. Tapi sekarang... Setiap kali kukedipkan mataku genangan gelap di karpet putih, kulihat tatapan kosong mata Mr. dan Mrs. Kramer. Kulihat pakaian mereka yang robek-robek... robek-robek... Aku tidak ingat bagaimana aku sampai di rumahku. Buntut kudaku sudah lepas berantakan, tapi tak kuhiraukan. Celana ketat kuningku sobek terkait sesuatu entah di mana. Matahari sudah rendah di balik rumah, hawa terasa sejuk. Tapi aku bersimbah keringat. Pasti aku lari dari rumah Lucy tadi. Paling tidak enam blok. Aku tidak ingat telah lari. Tapi napasku terengah-engah kecapekan, dadaku naik-turun, ketika aku menyeberang jalan di depan rumahku. Masuk ke halaman depan. Rumputnya baru dipotong. Daun-daun rumput yang basah menempel di sepatuku ketika aku lari menyeberangi halaman. Sampai di teras depan. "Lucy! Lucy!" Suaraku melengking kehabisan napas. Aku berhenti di depan pintu. Berhenti untuk mengembalikan napas. Dan berpikir. Bagaimana cara memberitahunya tentang apa yang kulihat di ruang keluarga rumahnya? Bagaimana cara memberitahunya? Bagaimana?
BAB 5
DIA harus kuajak bicara berdua saja, pikirku. Orangtuaku akan mengira aku Lucy. Mereka akan heran mengapa aku menerobos masuk pada jam makan malam begini. Mereka akan heran mengapa rambutku awut-awutan dan pakaianku robek. Mereka akan heran mengapa aku kebingungan dan terengah-engah kecapekan. Akan banyak pertanyaan, pertanyaan, dan pertanyaan. Lucy harus kuajak ke luar. Lalu... baru kuceritakan bahwa ada kecelakaan. Ya, kecelakaan, itu yang akan kukatakan. Aku takkan menceritakan seluruhnya sekaligus. Aku harus pelan-pelan dan hatihati. Aku tidak bisa menyemburkan begitu saja bahwa kedua orangtuanya telah terbunuh di ruang keluarga rumah mereka. Aku takkan menceritakan padanya tentang darah... darah... darah... Kubekap mulutku, kutahan agar tidak muntah. Tapi aku tak bisa menahannya lebih lama. Pemandangan seram tadi terlalu mencekam. Aku membungkuk di depan rumah. Aku muntah-muntah sampai pinggangku terasa sakit. Perutku berkali-kali seperti akan melompat keluar dari mulutku, sementara seluruh tubuhku berusaha mengusir bayangan menyeramkan yang kulihat tadi. Kakiku gemetar, aku menarik napas berkali-kali, mengerang lemah, menunggu perutku berhenti bergolak. Ketika akhirnya aku merasa agak nyaman, aku berjalan ke pintu depan. Kuputar kenobnya. Terkunci. Aku baru mau berteriak memanggil, "Lucy!" Tapi sempat kuhentikan, aku ingat dia sekarang Nicole. Kubunyikan bel. Kudengar bunyinya satu kali, dua kali, tiga kali di dalam rumahku. Tak ada sahutan. Aku keluar dari teras dan berjalan memutar ke belakang. Pintu dapur juga terkunci. Walaupun saat itu waktu makan malam, dapur lengang dan gelap. Kuketuk keras-keras pintu dapur. "Ada yang di rumah? Nicole—kau di rumah?" teriakku. Sunyi. Kutempelkan dahiku ke kaca pintu dapur untuk mengintai ke dalam. Tak ada orang di rumah. Ke mana mereka? Apakah mereka makan malam di luar? "Lucy, di mana kau?" bisikku. "Lucy, kau harus tahu apa yang terjadi. Aku harus memberitahumu, Lucy. Aku harus cerita, pada siapa pun."
Aku sudah tak mampu menahannya sendirian. Aku tak bisa menanggung pemandangan seram itu tanpa meledak. Tanpa jadi gila. Aku melangkah pergi dari pintu dapur, kedua tanganku kututupkan ke wajahku. Aku sudah siap merasakan kuku-kuku jariku menusuk wajahku. Tapi tentu saja aku tidak punya kuku panjang. Yang kumiliki kuku Lucy yang pendek bekas digigit-gigit. Terbayang lagi Mr. dan Mrs. Kramer terbaring di karpet ruang keluarga. Aku mual lagi. Aku tahu tak ada apa-apa lagi di perutku yang bisa kumuntahkan. Otakku berputar-putar kacau. Siapa yang bisa kuberitahu? Siapa? Polisi Shadyside? Mana bisa aku memberitahu polisi sebelum memberitahu Lucy? Bagaimana aku bisa menceritakannya pada mereka sebelum kami bertukar tubuh kembali? Tidak, pikirku. Akan sangat membingungkan. Akan sangat membingungkan dan menyakitkan bagi kami semua. Aku takkan lapor polisi sebelum menceritakannya pada Lucy, pikirku. Lalu wajah Kent terlintas di benakku. Kent. Dia cerdas dan baik. Pintar dan penuh pengertian. Kent akan mendengarkan ceritaku. Dan akan percaya. Kent pasti akan membantuku. Aku menelan ludah keras-keras, mencoba menenangkan napasku, menghentikan gemetar kakiku. Kusibakkan ke belakang rambut pirang yang jatuh ke wajahku. Ya. Kent. Rumah Kent cuma dua blok dari sini. Aku berlari-lari kecil ke jalan, menengok sebentar ke rumahku, gelap dan sepi. Dua cowok melintas cepat dengan sepeda mereka ketika aku sampai di jalan. Aku tidak melihat mereka sampai mereka hampir menubrukku. "Awas!" kudengar salah satu dari mereka berseru. Kulihat mereka membanting setang untuk menghindariku. "Kenapa sih kau?" cowok yang satu lagi berteriak sambil menengok ke belakang. Kalau saja dia tahu, pikirku sedih. Aku merasa terlalu kacau, terlalu bingung, untuk berlari. Jantungku berdebumdebum dalam dadaku bagaikan selusin kupu-kupu. Kakiku terasa berat, seakan berat tubuhku satu ton. Aku berjalan melewati taman bunga tetangga. Tanah lembek menempel lengket di sepatuku. Aku hampir jatuh tersandung skate- board yang ditinggalkan entah oleh siapa di halaman depan rumah mereka. Dua blok ke rumah Kent rasanya seperti berkilo-kilo meter. Akhirnya aku sampai di depan rumah bata persegi bertingkat dua beratap genteng merah itu. Di belakangku, di jalan, sebuah mobil lewat perlahan. Cahaya lampunya menyapu tubuhku. Pasti rupaku tidak keruan. Seperti orang gila.
Masa bodo, pikirku. Kalau saja aku ada dalam tubuhku sendiri! Tapi apakah itu akan membuatku lebih nyaman? Mungkin juga tidak. Aku tidak ingat berjalan menyeberangi halaman depan rumah Kent, tiba-tiba aku sudah di depan pintu, mengetuk keras-keras dengan tinjuku sambil berteriak memanggil-manggil nama Kent sekeras-kerasnya Mudah-mudahan dia di rumah, doaku. Harus ada orang di rumah. Harus ada orang yang bisa mendengar ceritaku yang mengerikan. Harus ada yang bisa membantuku. Lampu teras berkilat menyala, menyebarkan kerucut cahaya kuning di teras. Ketika aku masih berkedip-kedip silau, pintu depan terbuka. Kent menjulurkan kepalanya ke luar, wajahnya terlihat pucat di bawah cahaya lampu teras, mata birunya terbuka lebar keheranan. "Tolong—tolong aku," kataku terbata-bata. Matanya menelitiku, menatap mataku. "Ada apa?" tanyanya. Aku melihat melewatinya, ke dalam rumah. "Orangtuamu ada di rumah?" Ia menggeleng. "Tidak. Mereka sedang ke Waynesbridge. Kenapa?" Air mataku terasa menggenang di pelupuk mata, dadaku terasa naik-turun menahan isak. Nicole, jangan menangis! perintahku pada diriku sendiri. Harus kauceritakan apa yang kaulihat. Jangan menangis. Jangan menangis sekarang. Simpan air matamu untuk nanti. Kau akan punya banyak waktu untuk menangis nanti setelah Lucy tahu apa yang terjadi dan kau telah kembali ke tubuhmu sendiri. "Ada apa?" tanya Kent. "Kau kelihatan berantakan sekali!" "Boleh aku masuk?" Suaraku bergetar. Setitik air mata menggelinding di pipi kananku. Ia melangkah mundur membuka jalan dan aku masuk rumah. Kupegang erat-erat punggung kursi yang terbuat dari kulit lembut, untuk menahan tubuhku agar tidak jatuh. Ia mengikutiku ke dalam. Wajah tampannya terlihat prihatin. Rambutnya berwarna jerami, tebal bergelombang. Matanya biru-kelabu, serius. Tubuhnya tinggi da n atletis. Aku selalu mengaguminya karena dia tenang penuh percaya diri. Rasanya tidak pernah aku melihatnya gugup atau marah-marah. Sekarang dia menatapku dengan mata agak terpicing, menunggu penjelasanku. Aku memandang berkeliling, tidak tahu dari mana harus mulai. Kulihat meja makan disiapkan untuk satu orang. Samar-samar tercium bau saus tomat. "Duduklah. Dan ceritakan padaku apa yang terjadi. Aku sedang menghangatkan
piza di oven," kata Kent. "Kau sudah makan?" Dan semuanya meluncur begitu saja dari mulutku bagaikan banjir kata-kata. Aku mulai dari awal—ketika aku bertemu Lucy sepulang sekolah—dan kuceritakan semuanya padanya. "Lucy mengajakku ke Fear Street," kataku. "Kakeknya pernah menceritakan padanya tentang Tembok Pertukaran. Kami bertukar tubuh, Kent. Kami sama-sama ingin melakukannya, dan kami lakukan." Mulutnya ternganga. Ia mengangkat tangan memberi tanda menyuruhku berhenti. Tapi aku tidak bisa berhenti. Aku takkan berhenti sebelum menceritakan seluruhnya. "Kami bertukar tubuh," ulangku. "Aku tahu itu susah dipercaya. Tapi kau harus percaya. Kau harus percaya. Aku tahu aku kelihatan seperti Lucy, tapi sebetulnya aku Nicole." "Dengar, Nicole..." Tapi aku tak membiarkannya bicara. "Lucy pergi ke rumahku, dan aku pergi ke rumahnya," kuteruskan ceritaku cepatcepat, tak pernah aku bicara secepat ini sebelumnya. "Tapi ketika aku sampai di rumahnya... ketika aku sampai di rumahnya..." "Ada apa?" tanya Kent tidak sabar. "Apa yang terjadi?" "Oh, Kent!" jeritku. Kubiarkan air mataku mengalir tak tertahan. "Oh, Kent, sangat mengerikan! Kedua orangtuanya! Mereka berdua terbunuh. Disayat-sayat. Kutemukan mayat mereka di lantai ruang keluarga. Aku lari. Aku harus mencari Lucy. Aku harus memberitahunya. Tapi dia tak ada di rumah. Dia tak ada di rumahku. Dia belum tahu, Kent. Dia belum tahu. Aku... aku..." Isak yang sedari tadi kutahan-tahan melompat keluar dari tenggorokanku. Bahuku terguncang-guncang sementara aku mulai menangis sejadi-jadinya. Kurasakan tangan Kent di bahuku, lembut, mencoba menenangkan diriku. Ia merangkulku, wajahnya sangat dekat ke wajahku, ia berbisik di telingaku. "Sudah, sudah, Nicole. Tenang." Dengan susah payah kucoba menghentikan tangisku. Dia begitu baik, begitu penuh perhatian. Aku tahu dia akan bersikap seperti itu. Dia memang anak baik. "Nicole, akan kubantu kau," katanya perlahan. "Jangan cemas. Aku akan menolongmu." Dibimbingnya aku ke sofa dan dibantunya aku duduk. Lalu ia meletakkan tangannya di bahuku dan bicara lembut padaku sampai aku berhenti menangis. "Terima kasih, Kent," gumamku sambil menghapus pipiku yang basah air mata. "Terima kasih." "Kuambilkan minum dulu, ya?" katanya. "Jangan pergi ke mana-mana, oke? Di sini saja dulu."
"Oke," sahutku. Kuucapkan terima kasih sekali lagi padanya. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Sebentar," kata Kent. Ia pergi melalui ruang makan ke dapur. Beberapa saat kemudian kudengar suaranya dari dapur. Bicara dengan siapa dia? pikirku. Aku bangkit berdiri dan mengendap-endap ke ruang makan dengan kaki masih gemetaran. Dari ruang makan kudengar suara Kent dengan jelas. Dia sedang bicara di telepon. "Betul, Pak," katanya. "Dia ada di sini sekarang. Cepatlah ke sini. Jangan sampai dia lari."
BAB 6
KUBEKAP mulutku untuk menahan seruanku. Ruangan itu serasa meliuk-liuk di depan mataku. Lantainya miring ke sana kemari, dan aku cepat-cepat memegang meja makan agar tidak terjatuh. Aku merasa dikhianati. Aku bingung dan merasa dikhianati. Kenapa Kent menelepon polisi? Dia tidak percaya ceritaku? Apakah dikiranya aku yang membunuh Mr. dan Mrs. Kramer? Kudengar ia menaruh gagang telepon. Lalu kudengar ia berjalan ke tempat cuci piring. Kudengar air mengalir dari keran. Ia mengambilkan minum untukku, seperti yang dijanjikannya. Aku bimbang, masih memegangi pinggiran meja makan, masih menunggu ruangan ini berhenti meliuk-liuk. Apa yang harus kulakukan? Tak mungkin aku diam saja di sini menunggu polisi datang, pikirku. Tidak dengan tubuh Lucy ini. Rasanya, kecuali aku kembali ke tubuhku sendiri, takkan ada orang yang mau percaya ceritaku. Kent baru saja pura-pura percaya ceritaku. Pasti Kent mengira aku Lucy. Dia memanggilku Nicole cuma untuk menenangkanku agar ia bisa pergi ke dapur dan menelepon polisi dari sana. Kudengar dia menutup keran. Kudengar dia membuka pintu kulkas. Kudengar
bunyi "plop" es batu jatuh ke gelas. Aku mundur selangkah. Lalu selangkah lagi. Kembali ke ruang duduk. Aku harus pergi, pikirku. Aku takkan diam menunggu di sini. Kent sudah mengkhianatiku. Entah mengapa. "Hei, Nicole—bagaimana keadaanmu?" panggilnya dari dapur. Suaranya yang riang membuatku merinding. Selama ini kukira dia anak hebat. Pintar dan peduli. Sekarang aku benci padanya. Benci karena dia membohongiku, karena mencoba menipuku. Benci karena dia tidak mau jadi temanku. Aku berbalik dan mulai berlari. Ruangan masih meliuk-liuk, lantainya bergerak naik-turun, seakan-akan berusaha menahanku di situ. Tapi kupaksa diriku lari lurus ke depan. Menuju ke pintu depan. "Nicole—tunggu! Hei—Nicole!" kudengar di belakang Kent berteriak memanggilku dari ruang makan. Kutubruk pintu kasa dengan pundakku dan aku menghambur ke luar. Kulompati saja tiga anak tangga dari teras ke halaman depan, dan aku terus berlari. "Hei, Nicole—berhenti! Kembali!" Apakah dia akan mengejarku? Aku lari menyeberang jalan, ke halaman rumah orang. Membungkuk rendah di balik pagar semak-semak. Terus berlari. Tak kuhiraukan jantungk u yang berdetak keras, tak kuhiraukan kilatan merah bayangan genangan darah yang melintas setiap kali kukedipkan mataku. Aku lari tiga atau empat meter lagi sebelum aku berani menengok ke belakang. Tak ada Kent. Tidak. Dia tidak mencoba mengejarku. "Kenapa sih kau ini, Kent?" tanyaku keras-keras, di sela napasku yang terengahengah. "Ada apa sih kau? Kenapa kaulakukan ini padaku? Lucy kan pacarmu, masa kau lupa? Kenapa kautelepon polisi untuk menangkap pacarmu?" Kutaruh sebelah telapak tanganku di samping telinga, mencoba mendengar bunyi sirene mobil polisi. Tapi tak kudengar apa-apa. Agak di sebelah sana, dua anak kecil sedang bertengkar. "Tidak!" "Ya!" "Tidak!" Mendengar suara mereka yang bening membuat napasku tertahan di tenggorokan. Tiba-tiba aku ingin jadi anak kecil lagi. Aku tidak ingin lagi jadi Lucy. Aku tidak ingin berumur tujuh belas. Aku tidak ingin tahu ada dua tubuh tergeletak tersayatsayat di lantai ruang keluarga rumah Lucy. Aku berjalan terus menyusuri halaman depan dari satu rumah ke rumah lain,
menyeberangi jalan dengan sangat hati-hati, kalau- kalau ada mobil polisi. Kalaukalau ada yang membuntutiku. Kalau-kalau ada suara atau gerakan aneh. Lucy, aku harus mencarimu, pikirku. Lucy, aku punya berita buruk untukmu. Tanpa sadar, aku sampai kembali di rumahku. Di halaman depan aku sembunyi di balik batang pohon sassafras. Pohon itu teman lamaku. Entah berapa ratus jam kuhabiskan membaca di bawah bayangannya atau bermain-main di sekitarnya sek itarnya dengan teman-temanku. Dari balik pohon kuintai suasana rumahku. Masih tetap gelap dan sepi. Lucy, di mana kau? Lucy, aku harus bicara denganmu. Kugaruk lututku. Aku baru sadar celanaku sudah robek-robek. Kuusap rambutku. Terasa kusut dan basah. Pasti rupaku menyeramkan. Kudengar suara-suara. Tetangga sebelah keluar dari rumah mereka. Kurapatkan tubuhku ke batang pohon, mencoba menyembunyikan diriku. Aku tidak bisa menunggu saja di sini, pikirku. Aku tidak bisa berdiri saja di sini menatap rumah kosong. Otakku berputar dan berdenging bagaikan angin puyuh. Kutekan dahiku dengan kedua belah telapak tanganku, menyuruh otakku untuk tenang. Kuputuskan aku akan kembali ke rumah Lucy. Mobil tetangga dinyalakan. Suaranya membuatku terlompat kaget. Kutekan tubuhku lebih rapat ke teman lamaku si pohon. Kutunggu sampai mereka berlalu. Lampu depan mobil mereka menyapu halaman depan rumahku, sampai ke batang pohon tempatku sembunyi. Apakah mereka melihatku? pikirku. Mereka tidak berhenti. Kuperhatikan mobil itu meluncur pergi. Kembali ke rumah Lucy, kataku pada diri sendiri. Ganti baju bersih. Dan rapikan rambut. Agar aku tampak lebih rapi. Aku melangkah cepat melewati ruang keluarga. Aku takkan menengok pemandangan yang ada di sana. Aku tak butuh melihat tubuh Mr. dan Mrs. Kramer lagi. Aku bisa melihat mereka setiap kali kupejamkan mata. Aku akan membersihkan diri. Itu akan membuatku agak lebih nyaman. Dan kemudian aku akan menelepon rumahku. Aku akan menelepon dan terus menelepon rumahku sampai aku bisa bicara dengan Lucy. Aku takkan menceritakan berita sedih itu lewat telepon. Tidak pantas. Aku takkan melakukan hal tak pantas seperti itu pada sahabatku yang malang. Aku akan menyuruhnya menemuiku di hutan Fear Street. Akan kukatakan padanya bahwa kami perlu saling bertukar balik secepatnya. Lalu setelah kami saling bertukar tubuh kembali, baru akan kuceritakan k uceritakan apa yang terjadi. Dan aku akan membantunya. Aku akan ada di sampingnya.
Seperti dia selalu ada di sampingku untuk membantuku bila aku memerlukannya. Punya rencana membuatku agak tenang. Jantungku masih gedebak-gedebuk. Tapi angin puyuh dalam kepalaku sudah tidak sekencang tadi. Dan tanah tidak lagi meliuk-liuk ketika aku berjalan. Ketika aku berbelok di sudut jalan Canyon Drive, kudengar lengking sirene. Lamat-lamat dari jauh. Aku berhenti dan mendengarkan. Apakah mereka ke arah sini? Apakah mereka mencariku? Bunyi sirene itu semakin sayup. Digantikan bunyi lembut gemeresik dedaunan. Aku lari ke rumah Lucy. Masuk dari pintu belakang agar tidak perlu lewat ruang keluarga. Kuhidupkan lampu dapur dan kuperhatikan sekelilingku. Dapur rapi, bersih berkilat. Tak terlihat tanda-tanda telah terjadi pembunuhan di ruang sebelah. Aku bergidik dan berjalan ke kamar Lucy di ujung koridor lantai bawah. Koridor itu gelap. Aku meraba-raba sepanjang dinding tapi tak bisa menemukan sakelar lampu. Tiba-tiba aku menabrak sesuatu yang keras di dinding. Baru beberapa detik kemudian aku sadar aku menabrak keranjang cucian. Sambil mengusap-usap lutut aku melewati keranjang cucian itu lalu membuka pintu kamar Lucy. Kutunggu beberapa saat sa mpai mataku terbiasa dengan cahaya lemah dari jendela. Lalu kuhidupkan lampu tidur di samping tempat tidur. Cahayanya yang kuning pucat menyinari tempat tidur. Mataku menyapu melewati tempat tidur. Ke lemari pakaian. Aku ingat aku datang ke sini untuk ganti pakaian. Aku berjalan mengelilingi tempat tidur ke lemari. Lemari Lucy. Pakaian Lucy. Pintu gesernya macet. Seperti meleset dari relnya. Kugunakan kedua tanganku untuk menggesernya terbuka. "Oh!" jeritku ketika aku melihat ke dalam lemari. Kosong. Tidak ada pakaian. Hanya ada dua kotak karton besar di lantai lemari. Kok lemari ini bisa kosong? Di mana pakaian-pakaian Lucy? Apa yang terjadi di sini? Aku berbalik, berjalan ke meja rias di dinding, kubuka semua lacinya. Kosong. Semua kosong. Untuk apa Lucy membawa pergi semua pakaiannya? Berulang kali pertanyaan itu muncul di benakku. Sebelum aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, terlihat olehku pisau berlumuran darah di atas meja. Dan semua pertanyaan serta pikiran terbang dari benakku.
Bagian Dua Si Pembunuh BAB 7
MATA pisau itu memantulkan cahaya lampu. Noda merah tua mengalir dari mata pisau ke permukaan meja. Bekas aliran darah yang sekarang sudah mengering. Kutatapi pisau itu sampai pandanganku berkunang-kunang. Ini hanya bayangan khayalku, pikirku. Aku bukan sedang menatap pisau berlumuran darah di atas meja Lucy. Tidak. Tidak. Kukedip-kedipkan mataku untuk mengusir bayangan itu. Tapi pisau itu tetap ada di sana. Pisau itu nyata. Benar-benar pisau. Sebilah pisau dapur. Sebilah pisau bergagang hitam. Aku menarik napas panjang sekali, lalu sekali lagi. Kemudian melangkah mendekati meja. Pisau itu berdiri tegak. Ujungnya tertancap ke permukaan meja. Ketika aku semakin dekat, kulihat gagangnya juga berbercak darah. Pisaunya besar, pikirku. Pisau besar, berbercak darah. Kenapa ada di sini? Kenapa tertancap di meja di kamar Lucy? Sambil menekan keras-keras kedua sisi wajahku, aku mendekat selangkah lagi. Pisau itu tertancap menembus sehelai kertas. Sehelai kertas tulis bergaris-garis. Sebuah sidik jempol tertera di bagian bawah kertas. Sidik jempol itu berwarna merah tua. Cap jempol dari darah. Setelah kupaksakan memfokuskan pandanganku, kulihat tulisan di kertas itu. Tulisan tangan dengan tinta biru. Tiga baris tulisan di sebelah atas bagian kertas yang tertembus mata pisau. Sambil memicingkan mata agar bisa melihat lebih jelas di bawah cahaya lemah,
aku agak membungkuk, dan membaca tulisan tangan itu: AKU TERPAKSA MEMBUNUH MEREKA AKU SUDAH TIDAK TAHAN LAGI LUCY K Kerongkonganku terasa tersumbat, aku susah bernapas. "Tidak!" jeritku sambil melangkah mundur. "Tidak! Tidak mungkin!" Aku mundur sampai ke tempat tidur. Lalu kujatuhkan tubuhku ke atas seprai tempat tidur dan kututup wajahku dengan kedua tangan. Kupejamkan mataku rapat-rapat, tapi tulisan itu masih terbayang dalam benakku. Pengakuan tertulis. Pengakuan Lucy. Ia telah membunuh kedua orangtuanya. Menikam mereka. Menyayat-nyayat mereka. Lalu menancapkan pisaunya ke meja. Lalu... Lalu... Ia membawa seluruh pakaiannya? Kabur sambil membawa semua pakaiannya? Tidak. Tidak masuk akal. Kubuka mataku. Kuangkat pandanganku. Kulihat sepintas bayanganku di cermin meja rias. Sepintas pandangan itu membuatku sadar dampak sepenuhnya dari kejadian mengerikan ini. Sepintas pandangan yang hanya sedetik itu membuat segalanya terang benderang. Lucy telah membunuh kedua orangtuanya. Lalu menuliskan pengakuannya. Dan meninggalkan pisau yang dipakainya untuk melakukan pembunuhan di kamarnya agar ditemukan orang. Kemudian ia bertukar tubuh denganku! Dan sekarang di sinilah aku. Lucy. Aku adalah Lucy. Aku pembunuh itu! Dan Lucy kabur menjadi Nicole. Lucy membebaskan diri dengan menjadi diriku. Dan aku yang menjadi si pembunuh. Oh, kejam sekali! Aku baru sadar. Kejam sekali, Lucy! Bagaimana kau bisa membuat rencana kejam seperti itu? Kejahatan sempurna. Pelarian sempurna. Kau sekarang jadi Nicole. Dan takkan ada orang percaya bahwa aku bukan Lucy. Kalau kuceritakan apa yang terjadi, tak seorang pun akan mempercayaiku. Karena akulah Lucy si pembunuh. Pantas Lucy begitu bersemangat untuk bertukar tubuh denganku, mau mengambil alih hidupku yang kacau. Dia tahu persis apa yang dilakukannya. Dia sengaja
membuat agar aku yang akan menanggung perbuatannya. Perbuatan melakukan dua pembunuhan mengerikan. Dia sendiri bebas dari tanggung jawab. Bebas. Kata itu terngiang di telingaku. Bebas. Bagaimana caraku membebaskan diri? Aku terdorong ingin merenggut kertas itu, merobek-robek surat pengakuan itu. Mencabut pisau itu dan menyembunyikannya. Lalu pikiran lain muncul: Kuambil pisau itu, kubawa mencari Lucy. Akan kuancam dia dengan pisau itu. Kupaksa bertukar tubuh. Akan kupaksa dia menyerahkan tubuh Nicole kembali padaku. Kalau dia menolak, pikirku, akan kubunuh dia! Akan kubunuh! Tidak. Tidak. Tidak. Aku tahu aku takkan mampu membunuh siapa pun. Dan aku takkan tega membunuh Lucy, walaupun dia telah melakukan ini padaku. Lalu apa yang bisa kulakukan? Harus kucari dulu dia, pikirku. Aku harus bicara dengannya. Aku harus... Pikiran-pikiranku yang simpang siur terputus oleh bunyi keras. Karena terkejut, aku sampai terlompat dari tempat tidur. Gedoran. Berulang-ulang. Tiga ketukan. Ada orang mengetuk pintu depan? Kupadamkan lampu tidur sehingga ruangan menjadi gelap. Lalu aku berjalan melewati meja, melewati pisau, melewati surat pengakuan. Aku merayap ke ruang keluarga dan membuka tirainya sedikit. Aku mengintai ke teras. Dan kulihat dua lelaki berwajah angker berjas kelabu. Dua detektif polisi.
BAB 8
"TAK mungkin!" bisikku. Tak mungkin aku berdiam diri saja dan membiarkan mereka menangkapku.
Mereka tidak memakai seragam, tapi aku tahu mereka polisi. Aku tahu mereka mencariku. Melihat kedua detektif itu membuatku melupakan rasa takutku. Gelombang rasa marah membanjiriku, menyapu rasa takutku. Pelan-pelan aku kembali menutup tirai dan menjauhi jendela. "Tak bisa," bisikku lagi. Aku akan mencari Lucy. Aku tak mau menyerah begitu saja padanya. Aku takkan berdiri diam di sini di samping pisau penuh darah dan surat pengakuan dosa serta berkata, "Aku di sini, Pak Polisi. Silakan tangkap aku." Kudengar ketukan tak sabar di pintu. Aku berbalik dan cepat-cepat berjalan di sepanjang koridor, kali ini tanpa menabrak keranjang cucian. Dadaku berdegup-degup tapi otakku jernih, waspada terhadap setiap suara, setiap gerakan, setiap bayangan. Aku masuk ke dapur. Lampunya masih menyala, tidak kupadamkan tadi. Aku membungkuk rendah agar tak terlihat dari jendela. Sambil merunduk rendahrendah, aku membuka pintu. Pintu kasa berderik ketika kudorong. Apakah polisi-polisi itu mendengarnya? Apakah mereka akan pergi ke belakang rumah? Aku menyelinap ke luar dengan hati-hati, tanpa menimbulkan suara, lalu kututup pintu kasa itu. Sekilas kulihat jalur masuk, tapi tak ada siapa pun terlihat. Kupasang telingaku untuk mendengarkan langkah atau suara orang. Sunyi. Aku pergi dari sini! kataku dalam hati. Setelah menarik napas panjang, aku mulai berlari-lari kecil menyeberangi halaman belakang. Bulan separo muncul di atas pucuk pepohonan. Udara terasa panas dan gerah. Sepatu ketsku berdenyit-denyit menginjak rumput yang basah oleh embun. Aku sudah berada di tengah halaman belakang, sudah melewati kebun sayur, hampir sampai ke ayunan tua yang sudah berkarat, ketika kudengar suara seorang lelaki berteriak di belakangku. "Hei—berhenti!" Aku menjerit kecil dan menengok ke belakang. Kedua polisi itu ada di samping rumah. Yang satu menunjuk ke arahku. Yang lain melambaikan tangan di atas kepalanya seperti memberi tanda. "Berhenti! Jangan lari!" "Berhenti!" Suara mereka lebih terdengar terkejut daripada marah. Tidak kupedulikan teriakan-teriakan mereka. Kurundukkan kepalaku,
kubungkukkan badanku ke depan, dan aku lari secepat-cepatnya. Melewati ayunan. Lewat di antara dua batang pohon maple yang tadinya pernah dipasangi tempat tidur gantung. Melewati tumpukan balok kayu bakar. "Berhenti! Hei—berhenti!" Aku menoleh ke belakang, kulihat mereka mengejarku, berlari cepat, lengan mereka terayun-ayun di samping tubuh mereka. "Berhenti...!" Kucoba berlari lebih cepat. Tapi pagar kayu tinggi menghalang di depanku. Pagar kayu tinggi yang dipasang keluarga Kramer di halaman belakang rumah mereka. Pagar yang Lucy dan aku dulu membantu mengecatnya dengan warna putih. Pagar yang dulu kami pakai berjam-jam main lempar-lemparan bola tenis. Pagar itu menghalang tinggi di depanku bagaikan dinding penjara. Dan aku tahu aku terperangkap.
BAB 9
KUULURKAN kedua lenganku ke atas, kupegang pinggiran pagar sebelah atas. Loncat. Pikiran gilaku membayangkan aku bisa melompati pagar itu. Tapi tinggi pagar itu hampir dua setengah meter, bagian atasnya di luar jangkauan tanganku. Aku bisa mendengar kedua polisi itu berseru-seru di belakangku. Aku bisa mendengar bunyi sepatu mereka. Sambil mengerang keras aku mencoba sekali lagi meloncat setinggi mungkin. Tanganku meraih ke atas sejauh-jauhnya. Tidak. Tidak bisa. "Berhenti! Jangan bergerak!" perintah suara di belakangku. Tapi kalian takkan mengerti! pikirku. Aku bukan Lucy. Aku cuma kelihatan seperti Lucy. Pagar memantulkan cahaya redup bulan separo. Aku menarik napas dalam, bersiap-siap memutar tubuh menghadapi mereka dan mengatakan siapa aku
sebenarnya. Tapi lalu aku ingat papan-papan rahasia. Pintu kecil yang dibuat ayah Lucy untuk kami. Menurut kami itu gagasan hebat. Papan-papannya bisa didorong, dan kami bisa menyelinap melalui lubangnya yang sempit seperti anak anjing. Apakah pintu itu masih ada di sana? Lucy dan aku sudah lama tidak menggunakannya, sejak kami berumur enam atau tujuh tahun. "Berhenti! Kami takkan menyakitimu!" "Kami ingin membantumu!" Bohong. Suara-suara itu menyentakkanku dari lamunanku. Aku menghambur ke pagar. Papan yang mana? Sudah terlalu lama. Aku sudah tak ingat. Kurendahkan pundakku dan kudorong. Bukan. Bukan yang ini. Aku menjerit ketakutan. Jerit binatang yang terperangkap. Kucoba lagi. Kudorong sekuat tenaga dengan seluruh berat tubuhku ke papan papan di kananku. Kudengar suara berderik. Lalu dua papan sedikit demi sedikit terdorong. Aku menyelinap melewati lubangnya yang sempit. Hampir jatuh. Dan terus berlari. Melalui gang sempit dan gelap. Melewati deretan tong sampah. Ke halaman belakang rumah orang. Kudengar seruan kaget kedua polisi tadi. Lalu bunyi sepatu mereka berlari di gang sempit. Mereka bisa melewati lubang pagar yang sempit itu. Mereka masih dekat di belakangku. Kusadari aku tidak bisa lari lebih cepat daripada mereka. Aku tidak mampu berlari lebih jauh lagi. Napasku terengah-engah. Kutebarkan pandanganku ke sekeliling halaman belakang rumah itu. Tempat sembunyi, pikirku. Pasti ada tempat sembu nyi. Mataku tertumbuk pada gudang kecil di dekat rumah. Bukan, bukan gudang. Rumah kecil dengan atap miring. Rumah anjing? Rumahrumahan anak kecil? Sepatu ketsku tergelincir di rumput basah ketika aku meluncur ke rumah kecil itu. Kudengar kedua pengejarku sudah dekat di belakang halaman. Aku terjun ke rumah kecil itu. Merangkak masuk. Di dalam aku meringkuk seperti bola. Kupejamkan mata erat-erat. Kubenamkan kepala ke lenganku. Seperti anak kecil berpura-pura dirinya tidak terlihat. Kalau aku tidak bisa melihatmu, kau tidak bisa melihatku. Kubenamkan kepalaku, kutahan napasku. Dan berdoa mudah-mudahan mereka tidak melihatku masuk ke tempat sembunyi ini. Di sela-sela debar jantungku, kucoba mendengarkan. Mendengarkan langkah kaki
mereka, seruan-seruan mereka. Mendengarkan mereka lari melewatiku ke halaman rumah sebelah dan sebelahnya lagi. Mendengarkan mereka mengaku kalah kehilangan diriku. Menghentikan pencarian. Jantungku hampir berhenti ketika kudengar salah seorang dari mereka berseru, "Di sana!"
BAB 10
KUBEKAP mulutku agar tidak bersuara. Aku bergeming. Aku masih meringkuk seperti bola, kepalaku terbenam dalam-dalam di kedua lenganku, mataku terpejam rapat-rapat. Tidak, kalian tidak melihatku, pikirku, berdoa. Kalian tak bisa melihatku. Aku tak kelihatan. "Di mana? Di mana dia?" suara orang itu terengah-engah. Kudengar ia mulai batuk-batuk. "Halaman sebelah," sahut temannya. "Rasanya kulihat dia lari memutari garasi itu." "Kau lewat depan. Aku dari belakang." Batuk-batuk lagi. Lalu sepi. Ya. Ya. Aku ingin bersorak, melompat keluar dari rumah kecil itu dan meloncat-loncat kegirangan. Tapi aku tetap diam meringkuk, bergeming, menahan diri. Aku tidak tahu berapa lama aku meringkuk seperti itu. Mungkin beberapa detik, mungkin sejam. Aku tetap meringkuk sampai tubuhku berhenti gemetar. Sampai kepalaku tidak berdenyut-denyut lagi. Sampai kilatan-kilatan warna merah di depan mataku berubah hitam. Aku tidak bergerak sampai kesunyian terasa menekan. Dan waktu aku merangkak keluar dari rumah kecil itu, meregangkan otot-ototku yang kaku, mengangkat tanganku tinggi-tinggi di atas kepala, aku sudah punya rencana.
Mobilku menunggu di tempat parkir murid di belakang sekolah. Mobil Civic kecilku yang merah. Satu-satunya mobil di tempat parkir sempit beraspal itu. Aku melupakan mobil itu waktu pulang sekolah tadi. Karena begitu semangatnya mau ikut Lucy ke hutan untuk bertukar tubuh, aku betul-betul lupa membawa mobil ke sekolah tadi pagi. Apakah kejadiannya baru sore tadi? pikirku. Rasanya sudah berhari-hari yang lalu. Ini hari paling panjang dalam hidupku, pikirku. Dan paling sedih. Mataku meneliti seluruh tempat parkir itu. Entah mengapa aku merasa seperti penjahat. Mencuri mobilku sendiri. Biasanya kusimpan kunci mobilku di saku jins. Tapi aku sekarang memakai pakaian Lucy. Untung aku menyimpan kunci serep di dalam kotak magnetis kecil yang kutaruh di bawah spatbor. Kubuka pintu mobil dan aku duduk di belakang setir. Kulirik kaca spion. Aku mengira akan melihat kedua polisi tadi meloncat keluar dari balik gedung sekolah. Tapi tak seorang pun di sana. Tanganku gemetaran ketika memasukkan kunci kontak dan menghidupkan mesin. Derum mesin terasa menenteramkan hati. Aku duduk sejenak, mendengarkan mesin mobil, mengusap-usap setir. "Lucy, akan kucari kau," kataku sendiri. "Akan kutemukan kau, Lucy. Kau takkan bisa lari dariku." Aku merasa sedikit lebih enak, sedikit lebih tenang, sedikit lebih percaya diri. Kunyalakan lampu mobil, lalu mundur keluar dari tempat parkir. Beberapa detik kemudian aku sudah lewat samping gedung sekolah dan keluar ke jalan. Lampu sorot di depan gedung sekolah menyinari tiang bendera yang berdiri kesepian. Sepintas kulihat spanduk merah-putih, bertuliskan GO, TIGERS! di atas pintu masuk. Aku akan keliling kota sampai kutemukan Lucy, janjiku pada diri sendiri. Akan kudatangi semua tempat anak-anak berkumpul. Aku akan pergi ke semua tempat yang pernah didatanginya. Aku takkan menyerah. Akan kucari dia. Akan kuminta kembali tubuhku. Dan akan kupaksa dia menceritakan mengapa dia begitu licik menipuku. "Lucy, kukira kau temanku," aku bergumam sendiri. "Kenapa kau begitu membenciku? Bagaimana kau bisa membenciku begitu rupa sampai ingin membuatku bertanggung jawab atas pembunuhan kedua orangtuamu?" Sambil mengemudi ke rumahku, aku mencoba mengingat-ingat. Mencoba mengingat-ingat apakah pernah ada ucapanku atau perbuatanku yang membuat Lucy begitu membenciku.
Rasanya tidak ada. Sama sekali tidak ada. Kami selalu dekat. Selalu jujur satu sama lain. Kalau salah satu sedang marah pada yang lain, selalu kami katakan. Tak pernah kami simpan dalam hati. Rumah-rumah dan halaman-halaman berlalu bagaikan bayangan kelabu. Kupegang setir erat-erat dengan dua tangan. Terasa kuat dan nyata. Kugenggam erat-erat seperti aku sedang berpegangan ke dunia nyata. Aku merasa kalau kulepas setir ini, aku akan tergelincir keluar dari mobil ke dunia maya yang gelap gulita dan akan hilang selama-lamanya. Kupadamkan lampu mobil ketika aku sampai di depan rumahku. Kalau Lucy ada di rumah, aku tak ingin ia tahu kedatanganku. Aku ingin mengejutkannya. Tapi tak kulihat ada mobil di rumah. Lampu teras menyala, begitu juga lampu sorot yang menyinari halaman depan. Orangtuaku selalu menghidupkan lampu itu kalau mereka pergi. "Di mana kau?" gumamku keras-keras sambil memandang jendela-jendela gelap. "Di mana kau malam-malam begini? Lucy, aku mau minta tubuhku kembali." Aku berpikir jangan-jangan Lucy sudah berhasil mengelabui orangtuaku. Apakah mereka mengira dia Nicole? Mengira bahwa Nicole yang berada bersama mereka? Bahwa tidak ada yang berubah? Kunyalakan lampunya dan mobil kujalankan lagi. Aku takkan duduk menunggu di sini, menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang aku tak tahu jawabannya, pikirku. Aku akan mencari terus sampai kutemukan Lucy. Kujalankan mobilku melewati jalan-jalan di kota, setirnya kugenggam erat-erat. Ke mana pun aku pergi, wajah Lucy membayang di kaca depan. Akan kucari kau. Akan kucari kau. Akan kucari kau. Kata-kata itu terngiangngiang bagai mantra di benakku. Kucoba di rumah teman-teman, tapi dia tidak ada. Aku kembali lagi ke rumahku. Sampai tiga kali. Masih tetap gelap. Kucoba ke Alma's Coffee Shop, kedai kecil yang sering didatanginya. Tak ada tanda-tanda dia di sana. Setiap kali gagal menemukannya, aku agak semakin tenang, agak semakin marah, agak semakin besar tekadku untuk menemukannya. Ketika akhirnya kutemukan dia, aku sudah siap. Ia sedang duduk di kursi di bagian belakang Pete's Pizza, di mall di Division Street, tempat favorit anak-anak Shadyside High. Kulihat dia dari pintu kaca. Aku berhenti dan memandangnya. Memandang tubuhku yang sedang duduk di sana bersama dua anak perempuan lain. Lucy dengan tubuhku, ngobrol dan tertawa-tawa, seakan-akan tidak pernah terjadi peristiwa mengerikan. Kukenali Margie Bendell dan Hannah Franks duduk di depan Lucy. Mereka sedang bercanda, tarik-tarikan sepotong piza, potongan terakhir di baki. Lucy
membeset lapisan keju yang paling atas dan melemparkannya ke Margie. Benar-benar mengesalkan! pikirku sambil bersandar ke pintu kaca dan mengawasi mereka bertiga, memandang Lucy yang menyandang tubuhku. Lucy tertawa. Lucy bersenang-senang. Sementara aku hidup dalam mimpi buruk. Sementara aku hidup dalam mimpi buruk yang diciptakannya. Kurasakan kemarahan membanjiri tubuhku, sampai aku merasa seperti akan meledak berkeping-keping. Kupegang pintu restoran, kudorong terbuka, dan aku menghambur masuk. Seorang pramusaji perempuan menengok terkejut ketika tertabrak dari belakang olehku. Aku tak peduli. Aku terus berjalan. "Maaf ya," serunya menyindir. Tak kudengarkan. Mataku hanya ke Lucy. Lucy di tubuhku. Lucy tertawa-tawa dengan Margie dan Hannah, Lucy merobek sepotong piza dan memasukkannya ke mulut. Aku berjalan cepat melewati meja yang ditempati beberapa anak dari sekolahku. Salah seorang memanggil, "Hai!" tapi tak kutanggapi. Margie dan Hannah duduk berhadapan. Margie menoleh ketika aku sampai di meja mereka. "Nicole! Hai!" serunya kaget. Bagaimana dia tahu aku Nicole? tanyaku dalam hati. Dengan cepat aku tahu jawaban atas pertanyaanku sendiri. Lucy yang memberitahu. Lucy memberitaku mereka bahwa kami saling bertukar tubuh. Margie dan Hannah tahu. Lucy melanggar janji lagi. Mencurangiku lagi. Tapi kenapa? aku bingung. Kenapa Lucy cerita pada mereka? Lucy yang melakukan pembunuhan. Kenapa dia justru cerita pada mereka bahwa dia sebetulnya bukan Nicole? Kenapa dia justru cerita bahwa dia sembunyi di dalam tubuhku? "Nicole—ada apa?" tanya Hannah, mengibaskan rambut kepangnya ke belakang pundak. Ia tersenyum padaku. Tapi senyum itu memudar ketika ia melihat rupaku. "Nicole—kau baik-baik saja?" tanya Margie. "Tidak. Tidak. Aku sedang kacau," kataku. "Aku—aku perlu bicara dengan Lucy." Mereka bengong. "Tapi Lucy tak ada di sini!" kata Margie. Aku menoleh ke tempat Lucy duduk. Dia sudah tidak ada.
BAB 11
"KE MANA—ke mana dia pergi?" tanyaku tergagap-gagap. Hannah memelintir-melintir kertas bungkus sedotan dengan jari-jarinya. Ia memandang Margie, lalu memicingkan matanya ke arahku. "Lucy? Dia tak ada di sini, Nicole." "Aku lihat dia," sahutku tajam. Margie menepuk tempat duduk di sampingnya. "Duduk sini, Nicole. Kau baik-baik saja?" "Lucy ada di sini tadi," aku ngotot, tak kuhiraukan ajakan Margie. "Aku lihat dia waktu aku masuk. Kalian bertiga... kalian berebut potongan piza terakhir." Kutengok baki piza. Kosong kecuali remah-remah. "Tidak," kata Margie tenang. "Cuma aku dan Hannah." "Kaubiarkan dia lari!" jeritku. "Nicole—tenang. Ayo duduk sini," desak Margie. Aku sadar Margie dan Hannah memang berkomplot. Lucy sudah menceritakan pada mereka bahwa kami saling bertukar tubuh. Sekarang mereka melindunginya. Mereka mengalihkan perhatianku agar Lucy bisa menyelinap pergi. Tapi mengapa mereka membantunya? pikirku keheranan. Mereka kan temantemanku juga. Kusilangkan kedua lenganku keras-keras di dadaku, untuk meneguhkan diriku, untuk mencegah agar aku tidak meledak berkeping-keping. "Aku tahu kalian bicara dengan Lucy!" teriakku marah. "Kalau kalian tidak bicara dengan Lucy, dari mana kalian tahu aku Nicole?" Mereka bengong menatapku. Mulut Hannah sampai ternganga. Mereka tidak bisa menjawab. Kebohongan mereka tertangkap basah. "Nicole...," kata Margie. Ia melangkah keluar dari tempat duduknya dan mencoba memegangku. Tapi aku lebih cepat. Aku berbalik dan lari ke pintu. "Aku tahu dia ada di sini. Akan kucari dia!" teriakku. Kudengar Margie memanggilku. Tapi aku membungkuk menyelinap melewati beberapa anak bertubuh kekar dengan kaus ketat dan jins yang baru masuk ke restoran—dan kabur keluar melalui pintu. Lucy ada di sini, dan pasti belum jauh, pikirku. Aku menyeberangi koridor ke toko CD di depan restoran. Aku baru sadar malam
sudah mulai larut. Beberapa toko sudah mulai tutup. Lampu-lampu mall mulai diredupkan. Penjaga-penjaga toko mengunci toko mereka. Mall sudah hampir sepi. Beberapa orang berjalan keluar ke tempat parkir. Aku menengok ke sana kemari, mencoba menerka ke arah mana Lucy pergi. Pasti dia naik mobil ke sini. Kecuali kalau dia datang dengan Margie dan Hannah. Waktu melihatku masuk ke restoran piza, pasti dia menyelinap keluar ke tempat parkir. Aku berjalan cepat menuju pintu keluar. Sambil berjalan mataku melihat ke kirikanan ke toko-toko yang masih buka, kalau-kalau dia ada di salah satu toko itu. "Hoa!" Jantungku berhenti satu detak ketika aku melihat ke Clothes Closet, salah satu toko favorit Lucy. Rasanya kulihat dia di bagian belakang toko, memegang baju berwarna pink, berbicara dengan penjaga toko. Aku masuk ke toko itu dan berlari sepanjang gang, melambai dan memanggilmanggilnya. Setengah jalan ke belakang kulihat jelas wajah gadis itu. Ternyata bukan Lucy. Mereka menoleh ke arahku, kaget. "Ada yang bisa dibantu?" tanya si penjaga toko. "Tidak, tidak, terima kasih," sahutku terengah-engah. "Aku—aku sedang mencari seseorang." Aku berbalik dan cepat-cepat keluar toko. Musik mall dimatikan ketika aku kembali ke koridor utama. Kesunyian terasa aneh. Kudengar bayi menangis. Dan seruan-seruan. Dan roda kereta belanjaan. Tanpa musik latar belakang, suara-suara itu terdengar agak menyeramkan. Terlalu keras. Tidak normal. Aku keluar dari pintu keluar pertama yang kutemui. Tempat parkir yang luas sudah hampir kosong. Seorang wanita berbaju dan bercelana pendek biru sedang memasukkan kantong-kantong belanjaan ke bagasi mobil yang sudah penyok. Dua anak kecil berjingkrak-jingkrak di kursi belakang mobil. Beberapa mobil antre keluar dari tempat parkir masuk ke Division Street. Lampulampu mobil yang terang benderang bergantian menyapu diriku membuatku harus melindungi mataku dengan telapak tangan sambil berjalan cepat mencari-cari Lucy. Percuma. Sudah terlambat. Dia sudah tidak ada. Dengan kesal kudorong kereta belanjaan yang menghalangi jalanku. Kereta itu menggelinding berisik dan baru berhenti setelah menabrak patok. Aku berbalik dan melihat mobilku dua baris dari tempatku. "Hei..!" teriakku kaget ketika kulihat Lucy—dalam tubuhku—menungguku di samping mobilku.
BAB 12
"LUCY—hai!" seruku. "Aku di sini!" Sepatuku terdengar keras menapak aspal sementara aku berlari mendekatinya. "Lucy—kau di sini! Aku—aku sudah mencarimu ke mana-mana!" Mungkin sekarang semuanya bisa kami bereskan, pikirku. Mungkin Lucy akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan dari jauh sudah terlihat betapa dia tegang. Kedua lengannya tergantung kaku di samping badan, tangannya terkepal. "Nicole!" panggilnya. Bukan suaranya. Bukan suara Lucy. Aku melangkah ke sampingnya, tersengal-sengal. "Nicole—kita harus bicara." Bukan suaranya. Bukan wajahnya. Wajah Margie. Margie memegangku, menggenggam bahuku dengan kedua belah tangannya. Ia menengok dan memanggil ke arah mobil yang beberapa baris dari tempat kami. "Dia di sini, Hannah. Hannah—Nicole sudah kupegang!" Kukedipkan mataku beberapa kali, mengusir bayangan Margie. Agar digantikan bayangan Lucy. Tapi itu memang Margie. Bukan Lucy. Mataku pun ikut menipuku. "Dia di sini!" Margie berseru pada Hannah. Kulihat Hannah turun dari mobil itu dan berjalan ke arah kami. "Tidak!" jeritku. Apa yang mereka kerjakan di sini? Kenapa mereka membuntutiku? "Aku—aku harus mencari Lucy," kataku terbata-bata. "Aku tahu dia sudah cerita pada kalian. Aku tahu dia cerita pada kalian bahwa kami berdua bertukar tubuh." Margie menaruh sebelah tangan ke pundakku. "Tenang, Nicole," katanya lembut, seperti bicara pada anak kecil. "Kami cuma ingin bicara denganmu. Kami cuma..." "Tidak!” aku menjerit. Rasa marah menyerbu diriku. "Tidak!" Mereka berusaha menghalangiku, menahanku di sini, membantu Lucy lari. Kudorong Margie sekuat tenaga. Ia menjerit kaget dan terhuyung-huyung ke belakang, jatuh terduduk. Aku berbalik, kulihat Hannah lari mendekati. "Tunggu! Tunggu!" ia berseru. Tapi aku tidak menunggu. Kubuka pintu mobilku dan aku masuk. Margie sudah
berdiri lagi. Ia memegangi pintu mobil yang sudah kubanting menutup. "Nicole...!" Ia menggedor-gedor jendela mobil dengan kepalan kedua tangannya. "Nicole—tunggu!" Kutemukan kunci mobil masih tertancap di kontak starter. Kebiasaan burukku. Tapi kali ini aku senang kunci ada di situ. Kuhidupkan mesin mobil. Margie masih menggebuk-gebuk jendela. Lalu ia memegang handel pintu. Kutekan kunci pintu dari dalam. Kumasukkan persneling mundur. Dari kaca spion kulihat Hannah menghalang di belakang mobil. Wow! pikirku. Mereka memang betul-betul ingin menghalangiku mencari Lucy. Hannah melambai-lambaikan kedua tangannya agar aku tidak mundur menabraknya. Kulihat dia dari kaca spion. Rambutnya berkibar-kibar di sekeliling wajahnya. Matanya membelalak ketakutan. Kenapa Hannah dan Margie begitu ketakutan? Mengapa mereka mati-matian berusaha menahanku di sini? Apakah Lucy mengancam mereka? Apakah Lucy mengancam akan membunuh mereka juga kalau mereka tidak membantunya melarikan diri? Margie memukul-mukul jendelaku. Hannah melambai-lambaikan tangan di belakang mobil, menghalangi jalanku. Sambil menjerit marah, kumasukkan persneling ke depan dan kutancap gas. Civic kecil itu menggerung keras menghantam tanggul pembatas. Kepalaku tersentak ke belakang sementara mobilku melompat naik ke pembatas baris tempat parkir. Margie masih berusaha memegang handel. Lepas. Terhuyung-huyung. Aku menyeberang ke baris sebelah. Mobilku meluncur ke depan. Masih kudengar kedua gadis itu memanggil-manggilku sementara aku meluncur cepat meninggalkan mereka. Aku menjalankan mobilku tanpa arah, mencoba menenangkan diri, mencoba berpikir jernih. Tapi pikiranku berputar-putar tanpa arah, seperti mobil kecilku. Begitu banyak pertanyaan memenuhi kepalaku. Begitu banyak pertanyaan yang tak kuketahui jawabannya. Tapi Kent bisa membantuku. Kata-kata itu melintas di otakku yang kusut. Kent bisa membantuku. Pikiran itu menyapu jauh-jauh semua pertanyaan. Kuputar arah mobilku, kuinjak gas lebih dalam, menuju ke rumah Kent. Aku ingat Lucy telah membawa semua pakaiannya. Itu berarti dia punya rencana pergi ke suatu tempat. Mungkin tempat yang jauh dari Shadyside.
Aku tahu dia takkan meninggalkan Shadyside tanpa memberitahu Kent. Lucy dan Kent sangat dekat. Aku tahu dia tidak pernah menyembunyikan apa pun dari Kent. Kent tidak bilang apa-apa padaku waktu aku ke rumahnya tadi. Tapi kali ini, aku bertekad akan membuatnya bicara. Aku akan membuatnya menceritakan seluruhnya. Aku akan memaksanya memberitahu ke mana Lucy pergi. Kuingat-ingat waktu aku ke rumahnya beberapa jam lalu. Dia melihatku tampak seperti Lucy. Tapi dia langsung percaya waktu kukatakan aku sebenarnya Nicole. Dan sekarang, kalau kupikir-pikir, Kent sama sekali tidak tampak terkejut. Artinya dia tahu Lucy dan aku telah bertukar tubuh. Artinya dia telah bicara dengan Lucy sore atau senja tadi. Sebelum Lucy membunuh kedua orangtuanya? Atau sesudahnya? Akan kupaksa dia menceritakannya, aku bertekad. Kuhentikan mobil di pinggir jalan di depan rumah Kent. Kupandangi halaman depan yang rapi, melandai ke rumah bata merah yang kukenal baik itu. Lampu menyala di lantai bawah. Lampu teras juga menyala. Aku keluar mobil dan kututup pintunya pelan-pelan agar tidak berbunyi. Aku ingin mengagetkan Kent, membuatnya gugup. Mengejutkannya sedikit, cukup untuk membuatnya mengatakan yang sebenarnya. Aku berjalan ke arah rumah, menyelinap di bawah kegelapan bayang-bayang, menghindari tempat yang diterangi cahaya lampu dari teras. Ketika aku berjalan di samping rumah, tiba-tiba jangkrik-jangkrik mulai bersahut-sahutan seakan ingin memberitahukan kedatanganku pada Kent. Suara jangkrik semakin keras, seakan memekakkan telingaku. Aku bisa mendengar semua suara, jauh lebih jelas daripada biasanya. Gesekan sepatuku. Embusan angin di antara dedaunan. Ketika aku merayap ke pintu belakang, jangkrik-jangkrik berhenti mengerik, sama tiba-tibanya seperti waktu mulai tadi. Kuintai ke dalam melalui jendela dapur. Satu-satunya sumber cahaya datang dari lampu redup di atas kompor. Kuputar kenopnya dan kudorong pintu dapur. Pintu itu terbuka dengan mudah. Kudorong lebar-lebar, lalu aku menyelinap masuk. Lantai berlapis linoleum berdecit di bawah injakan kakiku. Aku berhenti. Kupasang telingaku baik-baik. Terdengar suara musik dari bagian depan rumah. Suara keras musik rock. Bagus, pikirku. Mungkin itu berarti Kent hanya sendirian di rumah. Dia takkan menyetel musik sekeras itu di lantai bawah kalau orangtuanya di rumah. Mataku menyapu ruang dapur. Berhenti di tempat pisau di atas meja formika. Kuseberangi dapur, kuperhatikan pisau-pisau yang ada di tempat pisau itu, lalu kucabut sebilah pisau dapur bermata panjang. Akan kutakut-takuti dia dengan pisau ini, pikirku.
Akan kuacungkan pisau ini tinggi-tinggi. Akan kudesak dia ke sudut. Akan kupaksa dia bicara. Akan kubuat dia percaya bahwa aku akan menggunakan pisau ini kalau dia tidak mau bicara tentang Lucy. Kalau dia tidak mau menceritakan semua yang diketahuinya. Pisau itu terasa berat. Kurang enak rasanya memegangnya. Kugeser pegangan tanganku. Aku sering mengejek Lucy tentang tangannya yang kecil. Aku selalu bilang dia akan punya tangan bayi sepanjang hidup nya. Sekarang aku berharap aku punya tanganku sendiri. Tanganku yang besar berjari jari panjang lebih kuat daripada tangannya. Tangan asliku akan lebih mantap memegang pisau dapur ini. Aku menarik napas dalam, lalu bergerak perlahan ke bagian depan rumah. Sambil berpikir keras bagaimana aku akan memainkan peran yang kurencanakan tadi. Kuputuskan aku akan bertingkah gila-gilaan. Aku akan pura-pura tidak waras. Aku akan mengacungkan pisau ini tinggi-tinggi. Aku akan menjerit keras-keras. Akan akan membuatnya memberitahuku ke mana Lucy pergi. Setelah Kent menceritakan apa yang perlu kuketahui, aku akan minta maaf. Aku akan minta bantuannya. Akan kukatakan padanya bahwa aku tidak sabar ingin mendapatkan tubuhku kembali. Ia akan mengerti. Ia akan membantuku. Aku tahu. Musik terdengar semakin keras sementara aku berjalan sepanjang gang di dalam rumah. Kuacungkan pisau tinggi-tinggi sambil melangkah ke ruang depan. "Kent? Ini aku. Nicole. Aku perlu bicara..." Kuturunkan pisau ketika kulihat pemandangan mengerikan di lantai ruang depan. Tubuh Kent terbaring tertelentang di lantai, kaki dan tangannya terbentang lebar. Lehernya terpotong. Genangan darah merah mengalir dari lehernya. Kepalanya ditegakkan beberapa jengkal dari tubuhnya, disandarkan ke kursi. Mulutnya sudah kaku, terbuka lebar membentuk huruf O. Mata birunya menatapku tanpa sinar kehidupan.
BAB 13
RUANGAN mulai berputar-putar. Aku jatuh terduduk ke lantai. Kupejamkan mataku. Ketika kubuka lagi mataku beberapa saat kemudian, mata biru Kent masih menatapku. Sementara aku memandang ketakutan, salah satu kelopak matanya melorot, sampai tertutup, sehingga seperti sedang mengedipkan sebelah mata. Aku menelan ludah keras-keras, mendorong turun rasa mualku. Kupejamkan mataku. Kukedipkan berkali-kali. Berharap, berdoa, agar waktu kubuka lagi, kepala itu akan lenyap dari pandangan. Akan kembali ke tubuh Kent. Sambil tersedu, aku bangkit berdiri. "Kent...," gumamku. Kepalanya terpenggal. Bekas potongan di lehernya tidak rata. Tubuhnya terbaring tenang di lantai seakan sedang tidur sebentar. Kepalanya menatap dingin ke arah tubuhnya sendiri. Mula-mula Mr. dan Mrs. Kramer. Sekarang Kent. Lucy yang membunuh mereka semua? Tidak masuk akal. Sama sekali tidak masuk akal. Tanpa kusadari aku sudah berdiri tegak. Aku berbalik dari tubuh Kent yang tanpa kepala. Aku melihat ke jendela. "Oh!" jeritku ketika kulihat dua wajah di kaca jendela. Dua wajah serius polisi berpakaian kelabu. Mereka menatapku. Menatap mayat tanpa kepala di lantai yang berlumuran darah. Menatap pisau dapur yang masih kupegang erat- erat.
BAB 14
DUA wajah itu lenyap dari jendela. Kubiarkan pisau terlepas jatuh dari tanganku. Berdenting di lantai, mendarat di samping tangan Kent yang terulur. Kusadari mereka melihatku. Mereka melihatku berdiri di dekat tubuh Kent sambil memegang pisau. Sementara aku berjalan mundur dari ruang depan dengan tubuh gemetaran,
kudengar pintu depan dibuka orang. "Jangan bergerak!" seru salah seorang dari mereka. "Nicole. Diam di situ.” Mereka tahu namaku. Mereka tahu ini aku. Bukan Lucy. "Tapi Lucy yang membunuh mereka semua!" aku ingin berteriak. "Bukan aku yang kalian cari! Tapi Lucy!" Tapi aku terlalu ketakutan sehingga tak sepotong suara pun keluar dari mulutku. "Jangan bergerak," si polisi mengulangi perintahnya. Aku berbalik dan menghambur ke pintu belakang. Aku sampai di dapur persis saat polisi yang satu lagi masuk lewat pintu dapur. "Nicole—jangan lari," katanya lembut. Kedua tangannya tergantung di samping tubuh. Apakah dia bawa pistol? Apakah dia sedang akan mencabut pistolnya? "Nicole—di mana kau?" suara temannya terdengar dari depan. "Tidak!" jeritku, berputar keluar dari dapur. Ke gang belakang yang sempit. Menuruni tangga ke ruang bawah tanah, melompati anak tangga dua-dua sekaligus. Aku mengenal rumah ini. Aku sering diundang ke pesta-pesta Kent. Aku tahu aku bisa lari. Kalau aku cukup cepat. Sepatu mereka terdengar berat di anak tangga kayu. Tapi aku sudah menyeberangi ruang bawah tanah. Melewati gang sempit menuju ke ruang perapian. Kudengar bunyi gedubrakan di belakangku. Salah seorang dari mereka menyumpah-nyumpah. Pasti kakinya tersandung atau menabrak sesuatu, pikirku. Sambil terengah-engah, aku masuk ke ruang penyimpanan batu bara. Lantainya masih dipenuhi debu hitam dari zaman batu bara disimpan di sini untuk bahan bakar perapian. Naik lewat peluncur batu bara, sepatuku terpeleset-peleset. Aku tahu pintu kayu di atas tidak pernah dikunci. Dengan entakan keras, kudorong pintu dengan dua tangan. Udara malam yang sejuk menerpa diriku. Aku merayap ke luar. Lututku tergores kusen pintu. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang naik-turun merayapi kakiku, aku menghirup napas dalam dan memandang ke sekeliling halaman belakang yang gelap. Sempatkah aku lari ke mobilku di pinggir jalan di depan rumah? Mungkin tidak. Mereka akan menangkapku sebelum aku bisa masuk mobil dan menghidupkannya. Aku berbalik dan mulai berlari. Aku berlari cepat menyeberangi halaman belakang. Memanjat pagar belakang. Lari. Lari melewati halaman-halaman belakang rumah yang gelap. Sambil membungkuk rendah-rendah. Menyembunyikan tubuhku sedapat mungkin.
Sesosok tubuh yang gemetar ketakutan berlari-lari di kegelapan. Tapi ke mana aku bisa pergi? Di mana aku bisa sembunyi? Aku bersandar ke dinding itu dan mencoba mengatur napas. Tak seorang pun mengejarku. Aku yakin akan hal itu. Pasti akan kudengar suaranya di hutan yang sunyi ini. Aku tadi berlari terus ke Fear Street. Lari tanpa menengok ke kiri-kanan. Dunia bagaikan bayangan samar bergerak ke belakang. Melewati halaman-halaman belakang dan gang-gang kecil dan gelap, menyeberangi jalan-jalan yang sudah sepi, melewati rumah-rumah yang kukenal baik tapi sekarang terlihat asing dan memusuhiku. Seluruh dunia seakan memusuhiku sekarang. Bahkan lebih buruk daripada itu. Mengancamku. Jadi aku tidak ragu-ragu ketika sampai di hutan Fear Street. Kulupakan semua cerita dan legenda seram tentang jalan dan hutan ini yang kudengar sejak aku masih kecil. Kisah-kisah itu tidak membuatku takut lagi sekarang. Apa lagi yang lebih menakutkan daripada hidupku sendiri? Aku menerobos jalinan pepohonan dan semak-semak. Mendengarkan. Mendengarkan baik-baik sambil berlari, kalau-kalau ada orang mengejarku. Kedua orang berwajah kecut yang ingin menangkap dan membawaku kembali— menangkapku atas pembunuhan yang dilakukan hanya oleh tubuhku. Tubuhku. Dan temanku Lucy. Sahabatku. Kutemukan juga dinding itu. Dinding Pertukaran. Dinding batu jelek yang menjadi awal semua kesulitanku. Ketika dinding itu sudah menjulang tinggi di depanku, seluruh kekuatanku terasa habis. Aku tahu tidak bisa lari lebih jauh. Aku duduk, tersengal-sengal, di depan dinding itu. Bersandar ke situ. Memejamkan mata. Menunggu sampai napasku teratur kembali. Sampai denyut nadiku berhenti mengentak-entak. Menunggu... dan berpikir. Tentang Lucy. Sahabat karibku. Mencoba mengerti semua ini. Membayangkan dia di kamarnya malam-malam, merencanakan semua ini. Menyusun rencana untuk membunuh ibu dan ayahnya. Serta Kent. Mencari cara membebaskan diri dari tanggung jawab pembunuhan keji itu. Mengapa, Lucy? Aku tahu dia memang punya masalah dengan kedua orangtuanya. Aku tahu dia menganggap kedua orangtuanya terlalu keras. Aku tahu Mr. dan Mrs. Kramer tidak ingin Lucy terlalu serius dengan Kent. Mereka sebetulnya menyukai Kent. Tapi mereka berpikir Lucy dan Kent menjadi terlalu serius dalam waktu yang terlampau
cepat. Karena itu Lucy sering melawan dan bertengkar dengan kedua orangtuanya. Tapi anak mana yang tidak pernah melawan atau bertengkar dengan orangtuanya? Itu sudah pekerjaan sehari-hari orangtua dan anak SMU. Sudah merupakan bagian hidup normal. Bukan bagian yang menyenangkan, tapi sudah umum. Jadi mengapa? Mengapa dia membunuh orangtuanya? Dan mengapa dia juga membunuh Kent? Kent, yang sangat menyayanginya, lebih dari siapa pun di dunia. Kent, yang selalu baik dan penuh pengertian. Dan menyenangkan. Kent. Kent. Kusebut namanya dalam hati berulang kali. Kubayangkan dia masih hidup. Aku tidak ingin membayangkannya dalam keadaan seperti yang kulihat malam ini di ruang depan rumahnya. Aku tidak ingin membayangkan tubuhnya yang terkapar, dan di seberang ruangan, kepalanya dengan mulut terbuka lebar dan mata berkedip sebelah. Aku ingin melihatnya berjalan di ruangan itu dengan tubuhnya yang atletis, langkahnya yang atletis, senyumnya yang penuh percaya diri, mata birunya yang bersinar-sinar. Aku ingin melihat rambut pirangnya melambai-lambai tertiup angin seperti waktu kami bertiga bermain lempar-lemparan Frisbee ketika piknik di Shadyside Park. Aku ingin mendengar suaranya. Mendengar tawanya yang riang. Takkan pernah lagi, kataku dalam hati, menahan sedu-sedan. Kusandarkan kepalaku ke dinding batu yang dingin, membayangkan Kent hidup dan gembira. Membayangkan Lucy. Di tubuhnya sendiri. Bukan di tubuhku. Bukan di tubuh yang dicurinya dariku untuk melakukan kejahatan sadis. Kenapa, Lucy? Aku selalu baik padanya. Bahkan waktu dia sedang jahat padaku. Bahkan waktu dia merasa lebih hebat dariku karena punya pacar sedang aku tidak. Tidak pernah kuhiraukan sifatnya yang seperti itu. Tidak pernah kuhiraukan sifatnya yang kadang-kadang angkuh dan dingin. Karena aku sahabatnya. Karena aku ingin selalu dekat dengannya bila ia membutuhkanku. Dan waktu Lucy mengalami kecelakaan mobil, aku di rumah sakit setiap hari. Aku satu-satunya temannya yang datang setiap hari, tanpa melewatkan sehari pun. Satusatunya temannya yang tidak pernah kehilangan harapan. Bahkan ketika para dokter sudah tidak punya harapan, aku tetap teguh. Aku tahu Lucy akan melewati masa kritisnya. Aku tidak pernah kehilangan harapan, tidak pernah kehilangan keyakinanku. Dan betul juga, dia melewati masa kritisnya. Lucy sembuh, dan aku di sana waktu kami semua tahu dia akan sembuh.
Aku ada di sana. Aku selalu di dekatmu, Lucy. Tapi di mana kau sekarang? Di mana kau dengan tubuhku? Di tengah kerancuan pikiranku, aku berusaha memecahkan misteri peristiwa yang menimpaku di hari terpanjang selama hidupku ini. Kupejamkan mataku. Aku lelah, kehabisan tenaga. Aku belum makan apa-apa sejak makan siang tadi. Perutku keroncongan, tapi aku tidak lapar. Kuperhatikan pakaianku. Pakaian Lucy. Celana ketatnya robek dan kotor. Rok pendeknya kusut. Tanganku meraba tas pinggang. Dompetku. Dompetku ada di tas pinggang. Sambil menggeleng, aku mengambil dompet itu. Ini dompetku atau dompet Lucy? Kuangkat dompet itu, kuperhatikan di bawah seberkas cahaya bulan yang menembus di celah-celah pepohonan. Dompetku. Kubuka. Aku tidak tahu mengapa. Apa yang ingin kutemukan? Kutepuk nyamuk yang menggigit lenganku. Dompet itu jatuh ke tanah. Ketika aku membungkuk mengambilnya, muncul sebuah ide. Ide orang putus asa. Ide gila. Tapi kalau berhasil... Kurogoh dompet itu. Sulit melihat dengan jelas. Dan tanganku gemetaran gugup. Beberapa detik kemudian kutemukan yang kucari. Foto lama Lucy. Kumasukkan lagi barang-barang yang lain ke dompet, kututup ritsletingnya, dan kumasukkan lagi dompet itu ke tas pinggang. Lalu kuangkat foto itu ke depan wajahku untuk menelitinya di bawah cahaya redup. Foto itu memang lucu. Lucy benci foto itu. Rambut pirangnya ditarik kencang dan diikat erat ke belakang. Tapi segumpal rambut lepas dari ikatan dan mencuat di samping jidatnya. Lampu kamera memantul dari mata Lucy, membuatnya terlihat seperti berkilaukilau. Tapi senyumnya miring. Dan ada noda kecil di dagunya. Lucy sangat membenci foto itu, tak ada teman yang diberi foto itu. Tapi dia memberiku satu—dengan syarat harus kusimpan dan tidak boleh kuperlihatkan pada siapa pun. Sekarang, sambil meneliti foto itu, aku bangkit berdiri. Kulupakan otot-ototku yang nyeri dan kuhela tubuhku naik ke atas dinding. "Uh!" aku berusaha menjaga keseimbanganku. Bagian atas dinding sangat sempit dan tidak rata. Ini harus berhasil! pikirku. Rencana gilaku. Ide sintingku. Memegangi foto Lucy. Dan melompat ke balik dinding.
Mungkin—siapa tahu—keajaiban itu bisa terjadi dengan menggunakan selembar foto. Dan tubuh kami akan saling tertukar kembali. Dan aku akan jadi Nicole lagi. Mungkin... mungkin... Mudah-mudahan berhasil! doaku. Kupegang foto Lucy erat-erat dengan tangan kanan. Kuulurkan tangan itu ke samping seakan-akan aku berpegangan tangan lagi dengan Lucy. Lalu aku melompat turun.
BAB 15
AKU mendarat dengan kedua belah kakiku di tanah lembek. Aku langsung tahu tidak berhasil. Foto Lucy masih terpegang erat di tanganku. Tangan Lucy. Tangan Lucy yang bulat kecil. Itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa rencanaku gagal. Tapi kuteliti juga diriku, berharap aku telah berubah menjadi diriku sendiri lagi. Tapi tidak. Aku masih memakai sepatu Lucy, celana ketatnya, yang sekarang sudah kotor dan robek, juga rok pendeknya. Kucengkeram rambutku. Masih rambut Lucy, lebih pendek dan lebih halus daripada rambutku. Lucy. Lucy. Lucy. Harus ada Lucy betulan di sini agar aku bisa mendapatkan kembali tubuhku. Tapi bagaimana caraku bisa menemukannya? Ke mana dia kabur? Aku menguap. Lelah. Tiba-tiba terasa betapa lelah diriku. Setiap otot di tubuhku terasa sakit. Kepalaku berdenyut-denyut. Bahkan untuk membuka mata saja perlu usaha keras. Sambil menguap lagi, aku menurunkan tubuhku ke tanah lembap. Aku bersandar ke dinding dan memejamkan mata. Dinding batu yang dingin terasa menekan punggung dan belakang kepalaku. Sambil menghela napas aku merebahkan diri. Dan aku tertidur lelap tanpa mimpi. Kuangkat kepalaku, kupicingkan mata, silau terkena cahaya matahari pagi. Seekor kelinci cokelat memandangku penuh curiga. Hidungnya kembang-kempis, telinganya tegak ke langit.
Sambil mengerang aku duduk. Kelinci itu secepat kilat berbalik dan lenyap tanpa suara ke tengah rumput tebal. Perlu beberapa saat sebelum aku ingat di mana aku berada. Kuusap lenganku untuk menyingkirkan tanah dan sehelai daun basah. Punggungku kaku karena tidur di tanah. Tenggorokanku terasa kering. Aku ingin menggosok gigi, menghilangkan rasa masam di mulutku. Waktu aku bangkit berdiri, belasan pikiran muncul sekaligus di kepalaku. Tidur telah menjernihkan otakku. Tapi kini pertanyaan- pertanyaan menakutkan kembali menghantui. Mom dan Dad pasti kebingungan, pikirku. Mereka pasti bingung dan panik memikirkan di mana aku berada. Tapi kemudian aku ingat bahwa aku Lucy, bukan Nicole. Apakah Lucy pulang ke rumahku? Kalau ya, mungkin orangtuaku tidak mencemaskanku. Mereka akan berangkat kerja pagi ini, mengira Nicole anak mereka aman-aman saja. Kusapu rambut yang jatuh ke wajahku. Seekor kumbang besar hitam bermalam di rambutku tadi malam. Kumbang itu jatuh ke tanganku. Kulemparkan ke tanah. Rupaku berantakan, pasti. Aku harus mandi. Aku harus ganti pakaian bersih. Kutengok jam tanganku. Pukul tujuh lewat sedikit. Kedua orangtuaku berangkat kerja pukul setengah delapan tepat. Setelah itu akan mudah menyelinap masuk ke rumah dan berganti pakaian bersih. Pakaianku akan agak kebesaran di tubuh Lucy yang kecil. Tapi aku dan dia pernah saling tukar beberapa barang, termasuk pakaian, sebelum ini. Kuregangkan tubuhku, mencoba menghilangkan rasa pegal-pegal. Lalu aku berjalan menembus hutan menuju ke jalan. Pagi itu cuaca panas agak berkabut. Udara terasa berat tanpa angin. Embun pagi membasahi sepatuku sementara aku berjalan di rerumputan. Aku tidak berjalan di jalan, tapi menyelinap merunduk-runduk melalui halamanhalaman depan rumah orang dan gang-gang kecil. Segulung koran pagi di depan sebuah rumah membuatku berhenti. Kutengok ke rumah itu. Tak tanda-tanda gerakan orang di dalam. Kuambil koran itu. Apakah pembunuhan yang dilakukan Lucy akan muncul di halaman depan? Apakah berita itu menceritakan bahwa polisi sedang mengejarku? Mataku menyapu halaman depan koran. Tidak ada. Tidak ada berita itu di halaman depan. Kubuka halaman dalam koran itu. Dua lembar iklan berwarna-warni jatuh ke tanah. Kucari-cari di halaman berikutnya. Lalu halaman berikutnya lagi. Aku heran. Kulipat koran itu dan kuletakkan lagi di tempatnya. Aku menengok lagi ke arah rumah. Tak ada orang memperhatikanku dari jendela.
Aku cepat-cepat berlalu sambil berpikir keras. Mengapa ketiga pembunuhan itu tidak diberitakan di koran? Apakah polisi sengaja menyembunyikan berita itu sampai mereka berhasil menangkapku. Mungkinkah belum ada orang lain yang menemukan mayat Mr. dan Mrs. Kramer? Mungkin juga, pikirku. Tapi kedua polisi itu telah melihat mayat Kent. Dan mereka melihatku berdiri di dekat mayat Kent dengan pisau dapur di tanganku. Jadi kenapa berita pembunuhan Kent juga tidak ada di koran? Pasti ada alasan mengapa polisi menyembunyikan berita itu. Mereka menunggu sampai berhasil menangkapku. Lalu mereka akan memberitakan seluruhnya sekaligus. Masuk akal. Sama masuk akalnya dengan semua yang terjadi padaku sejak kemarin. Kulihat mobil orangtuaku mundur keluar dari jalur masuk ketika aku berbelok di tikungan. Aku merunduk sembunyi di balik batang pohon maple besar dan melihat mereka pergi. Ayahku tidak memakai jas birunya yang biasa. Ia terlihat tidak rapi. Wajah Mom tampak cemas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Urusan itu nanti saja. Ingin sekali aku memanggil mereka, lari mendekati mereka. Berteriak, "Ini aku, Mom dan Dad! Ini aku! Aku tahu aku tak kelihatan seperti aku. Tapi ini aku!" Aku ingin memeluk mereka erat-erat. Dan bercerita pada mereka mengenai apa yang terjadi. Bercerita pada mereka tentang kesadisan yang kulihat. Bercerita pada mereka tentang pembunuhan yang dilakukan Lucy dengan menggunakan tubuhku. Tapi aku tahu mereka takkan percaya padaku. Kedua orangtuaku orang-orang yang praktis dan memakai akal sehat. Mereka cerdas, tapi tidak punya imajinasi. Mereka takkan percaya aku adalah Nicole anak mereka. Melihat mereka berlalu membuatku semakin putus asa dan takut. Aku menyelinap masuk rumah melalui pintu dapur. Aku heran mereka membiarkan pintu dapur tak terkunci. Lalu aku pergi ke lantai atas. Aku mandi lama-lama. Kucuci rambutku dengan sampo tiga kali. Rasanya ingin aku berada di bawah pancuran air hangat itu selama-lamanya. Begitu hangat dan menyegarkan. Tangisku hampir meledak ketika aku masuk ke kamarku. Kamarku terlihat cantik dan rapi. Tempat tidurnya rapi. Barang-barang di atas mejaku sudah diatur rapi. Ini rumahku, pikirku menahan sedu-sedan. Di sini tempatku. Tapi apakah aku akan bisa tinggal di rumahku lagi? Kupakai jins belel dan kaus putih. Kusikat rambutku—rambut Lucy—ke belakang dan kuikat jadi buntut kuda. Kuhabiskan banyak waktu di depan cermin memandangi wajah Lucy.
Kenapa aku mau saja diajak bertukar tubuh dengan Lucy? Apakah aku begitu tidak bahagianya? Amat sangat tidak bahagia? Ketika menatap cermin itu, dua wajah lain terbayang di benakku. Margie dan Hannah. Margie dan Hannah tahu ke mana Lucy pergi. Mereka pasti tahu. Mereka begitu bersemangat menghalangiku mengejar Lucy, begitu bersemangat mencegahku menemukan Lucy. Pasti Lucy sudah menceritakan semuanya pada mereka. Aku berdiri dan melangkah menjauhi cermin. "Aku mau ke sekolah," kataku keras-keras. "Akan kucari Margie atau Hannah. "Akan kupaksa mereka bercerita." Kutengok jam di meja kecil di samping tempat tidurku. Pukul delapan lewat sedikit. Sekolah mulai pukul 08.20. Masih ada cukup waktu untuk ke sekolah dan mencari mereka. Aku tidak ingin pergi dari rumahku. Aku tidak ingin pergi dari kamarku. Tapi aku tidak punya pilihan. Kubawa semua uang yang kusimpan di laci atas—lima dolaran dan satu dolaran, jumlahnya kira-kira empat puluh dolar—lalu kumasukkan ke saku jinsku. Di dapur kuambil sepotong Pop Tart rasa ceri dari kulkas dan kumakan dingin-dingin. Lalu kuteguk jus jeruk langsung dari kartonnya. Kuambil satu Pop Tart lagi untuk di jalan. Lalu aku keluar rumah, tak lupa kututup pintu dapur rapat-rapat. Margie dan Hannah. Hannah dan Margie. Wajah-wajah mereka melayang-layang di depanku sementara aku bergegas ke sekolah. Margie ada di kelasku. Hannah? Aku tidak tahu. Kalau tidak salah kelasnya di lantai dua di dekat ruang musik. Berjalan cepat, dengan jantung berdetak keras, aku membelok di tikungan Park Drive. Tembok depan gedung sekolah sudah terlihat. Sebagian besar anak sudah di dalam. Tapi beberapa anak yang datang agak terlambat tampak bergegas masuk melalui pintu depan. Aku berlari-lari kecil ke pintu masuk. Belum sampai di sana kuhentikan langkahku ketika kulihat dua sosok tubuh berpakaian kelabu di kiri-kanan pintu. Kedua polisi berpakaian kelabu itu. Meneliti semua orang. Menunggu diriku. Apakah mereka sudah melihatku?
BAB 16
AKU cepat-cepat berputar. Melangkah kembali ke jalan. Bukan lari. Tapi melangkah lebar-lebar. Bus North Shadyside berhenti di depan sekolah. Aku cepat-cepat menghampiri bus itu, bermaksud meloncat masuk. Tapi bus itu penuh anak-anak sekolah yang baru sampai. Mereka antre keluar satu per satu, menghalangiku. Apakah kedua polisi itu mengejarku? Aku tidak berani menengok ke belakang. Cepat, cepat! kataku dalam hati menyuruh anak-anak itu cepat-cepat melompat turun dari bus. Untunglah tak seorang pun teman yang mengenalku ada di bus itu. Akhirnya aku naik ke bus. Pintunya menutup di belakangku. Sopir bus memutar kemudi dan bus menggelinding menjauhi trotoar. Aku mengintai ke belakang melalui pintu kaca. Kedua polisi itu masih di tempat mereka berjaga-jaga di samping pintu sekolah. Mereka tidak melihatku. Kupalingkan kepalaku kembali ke depan, melihat ke sopir bus, seorang tua berwajah merah dan bermata biru, yang melirikku dengan curiga. "Bukannya kau seharusnya sekolah?" tanyanya, melambatkan bus di lampu merah. "Saya—saya sakit," aku berdusta. "Saya..." Aku baru sadar tidak punya uang kecil. Hanya uang yang kujejalkan ke saku jins tadi. "Stop!" teriakku. "Berhenti!" Si sopir bus mengerutkan kening, tapi mau juga menghentikan bus di tepi jalan. "Saya—lebih baik saya turun di sini," kataku terbata-bata. Ia membuka pintu. Aku melompat turun ke jalan. "Maaf!" seruku. Tapi ia telah menutup pintu bus. Bus itu bergemuruh pergi. Lalu aku memandang berkeliling. Aku berada satu blok dari gedung sekolah. Cukup jauh untuk lepas dari mata kedua polisi tadi. Tapi bagaimana sekarang? Aku masih tetap perlu bicara dengan Margie atau Hannah. Aku tidak bisa menghabiskan seluruh hidupku dengan terus-menerus lari dari kedua polisi itu, pikirku dalam hati dengan sedih. Aku harus menemukan Lucy. Dengan cepat! Aku berjalan perlahan-lahan kembali ke gedung sekolah sambil berpikir keras. Aku tidak tahu apakah ada polisi juga di pintu belakang. Sambil berjalan sepanjang pagar tanaman yang tinggi, aku pergi ke belakang gedung seko lah. "Hei—sedang apa kau di sini?"
Aku menjerit kaget. Ketika menoleh ke samping kulihat seorang ibu membawa slang penyiram tanaman. "Sedang apa kau di halaman rumahku?" "Maaf," jawabku. "Saya mau ke sekolah." "Ini bukan jalan pintas!" katanya ketus. Aku cepat-cepat menerobos sela-sela tanaman pagar keluar ke jalan. Kulihat pintu belakang juga dijaga. Dua polisi lain berjaga-jaga di pintu seberang tempat parkir murid. Aku lari menyeberang jalan dan merapat ke dinding tinggi sepanjang stadion sepak bola. Aku istirahat sebentar di sana mengatur napasku. Kudengar bel pertama berbunyi. Anak-anak sudah ada di dalam semua sekarang, kecuali seorang anak lelaki yang ngebut mendayung sepedanya ke tempat penyimpanan sepeda. Sambil tetap berlindung di bayangan dinding pagar, aku maju beberapa langkah ke belakang sekolah. Aku bisa melihat kedua polisi itu dengan jelas. Mereka menggeleng-geleng, bicara dengan kening berkerut. Menyerah. Pasti mereka berniat menangkapku waktu aku muncul di sekolah. Tapi sekarang mereka kecewa dan menyerah. Aku benar. Kuperhatikan mereka melangkah pergi dari pintu belakang sekolah. Mereka pergi ke depan, mungkin bergabung dengan kedua teman mereka. Kutunggu beberapa saat sampai aku yakin mereka tidak kembali. Lalu aku berlari secepat-cepatnya ke gedung sekolah. Aku punya rencana. Rencana untuk menemui Margie. Kubuka pintu belakang dan aku merunduk masuk. Aku berdiam beberapa detik sampai mataku terbiasa dengan cahaya redup di koridor. Sepi. Semua orang sudah masuk ke kelas. Bel kedua berbunyi ketika aku merayap ke ruang olahraga, di balik tikungan koridor di sebelah kanan. Kubuka pintunya dan cepat- cepat aku masuk. Tak seorang pun ada di sana. Ruang olahraga sudah seperti oven panasnya pagi pagi begini. Ketika menoleh ke bangku di atas, kulihat salah satu ujung spanduk GO, TIGERS lepas dari pakunya. Ujung spanduknya jatuh menyentuh deretan bangku paling atas. Sepatu ketsku berdecit di lantai ketika aku berlari ke tempat ganti pakaian untuk wanita. Jam pelajaran keempat Margie olahraga. Sama seperti aku. Aku bermaksud sembunyi di ruang ganti sampai saat itu. Lalu akan kutarik Margie ke samping dan kuajak bicara berdua saja. Akan kupaksa dia mengatakan di mana Lucy. Kubuka pintu ruang ganti dan melangkah masuk. Ruang ganti terasa lebih sejuk dibanding ruang olahraga. Terdengar bunyi tik-tak tetesan air di kamar mandi. Di mana aku bisa sembunyi?
Aku cepat-cepat melangkah melewati bangku-bangku kayu dan lemari-lemari gelap. Seseorang telah meninggalkan sepatu olahraga hitam di lantai, membuatku tersandung. Di dinding belakang ada lemari peralatan. Pintunya agak terbuka. Kubuka lebarlebar dan kuintip ke dalamnya. Kosong. Ketika aku memandang ke bawah kulihat seekor tikus mati di lantai. Tapi setelah aku memicingkan mata melihatnya baik-baik, ternyata hanya setumpuk debu. Kudengar suara-suara. Di belakangku di pintu ruang ganti. Cepat-cepat aku masuk ke lemari dan menutup pintunya dari dalam. Aku melangkah mundur di dalam kegelapan sampai punggungku merapat ke dinding belakang lemari. Udara terasa pengap dan bau. Kubiarkan pintunya agak terbuka sedikit. Sekarang kudengar lebih jelas suara-suara. Suara anak-anak perempuan yang kukenal, kaki-kaki melangkah, loker-loker dibuka. Mereka sedang ganti baju. Mata pelajaran pertama mereka hari ini olahraga. Aku harus menunggu lama, pikirku sambil menghela napas tanpa bersuara. Tapi tidak akan sia-sia kalau aku berhasil menemui Margie dan memaksanya menceritakan padaku tentang Lucy. Pelan-pelan kuturunkan tubuhku, aku duduk di lantai lemari. Tanganku menyentuh tumpukan debu tadi. Kusapu jauh-jauh. Aku tahu takkan ada orang yang membuka pintu lemari dan menemukanku disini. Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk masuk ke lemari ini. Pintu-pintu loker berdentam tertutup. Ruang ganti semakin sunyi ketika cewekcewek itu keluar ke ruang olahraga. Kudengar gedebak-gedebuk bola basket. Miss Hawkins meniup peluitnya. Kusandarkan punggungku ke dinding, kupejamkan mata, dan kubiarkan diriku perlahan-lahan ditelan kegelapan. Hawa di dalam lemari mulai terasa panas dan lembap. Tapi aku tidak berani keluar. Selalu saja ada cewek keluar-masuk ruang ganti begitu mata pelajaran dimulai. Aku masih sanggup menunggu sampai mata pelajaran keempat, kuyakinkan diriku sendiri. Dan saat-saat menunggu itu bisa kugunakan untuk berpikir. Berpikir tentang Lucy, mengapa dia sampai hati membunuh tiga orang yang paling disayanginya. Mengapa dia sampai membenciku begitu rupa. Mengapa dia menjebakku untuk menanggung semua perbuatannya. Jam demi jam berlalu. Cewek-cewek ganti pakaian dan main basket, lalu ganti pakaian lagi dan kembali ke kelas mereka. Tapi aku masih belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku itu. Sepertinya jawabannya jauh di luar jangkauan akalku, di balik dinding kabut tebal. Dan semua usahaku sia-sia saja untuk menyingkirkan kabut tebal itu.
Ketika bel jam pelajaran keempat akhirnya berdering, kutepis semua pikiran yang membingungkan itu, dan aku bangkit berdiri. Kudengarkan baik-baik suara cewekcewek yang masuk ke ruang ganti, suara yang sudah sangat kukenal. Kudengar Margie bercanda dengan dua cewek lain. Sangat dekat. Begitu dekat sehingga kalau mau aku bisa membuka pintu lemari, mengulurkan tanganku, dan merenggutnya. Tapi aku menunggu. Margie selalu lambat berganti baju, selalu paling belakangan meninggalkan ruang ganti. Kuharap hari ini pun dia akan berlambat-lambat seperti biasa. Aku ingin bicara dengannya tanpa selusin cewek lain memperhatikan kami. Kedua telapak tanganku menekan ke pintu lemari, aku bersiap-siap melenting ke luar. Kudengarkan baik-baik. Aku harus menangkapnya sebelum dia keluar ke ruang olahraga. Jantungku mulai berdegup kencang. Suara-suara seakan bercampur menjadi satu di telingaku. Kucoba menutup telingaku dari semua suara itu kecuali suara Margie. Sebuah jeritan melengking membuatku terlonjak kaget. Kudengar beberapa jerit ketakutan lagi. Suara gerakan kaki. Teriakan-teriakan. Suara langkah orang-orang berlarian. Ada apa? Apa penyebab keributan itu? Aku membuka pintu lemari lalu melompat ke luar. Kulihat sekelompok cewek berpakaian olahraga. Ekspresi mereka tegang ketakutan. Mereka ternganga menatap seorang cewek di lantai. Seorang cewek tergeletak di lantai ruang ganti. "Margie?" teriakku. Ya. Itu memang Margie.
BAB 17
AKU mendesak ke tengah cewek-cewek itu. Tak seorang pun memperhatikanku. Mereka semua menatap ke Margie. Margie mengangkat tubuhnya sedikit untuk memegang betis kirinya. Wajahnya meringis kesakitan. "Auw, aduh!" jeritnya. "Kakiku kram, sakit sekali!"
"Alasan, padahal kau cuma tak mau main," kata seorang cewek bercanda. "Kau tak mau keringatan karena ada acara foto sekelas hari ini." Semua orang tertawa. Tertawa tegang. "Kau benar-benar bikin aku takut, menjerit seperti itu tadi," kata anak lain. "Aku sendiri ketakutan," Margie mengerang, mengurut betisnya. "Tapi sudah lumayan sekarang." Aku mundur selangkah. Lalu selangkah lagi. Belum ada yang tahu aku ada di situ. Mereka semua sibuk memperhatikan Margie. Dua cewek membantunya berdiri. Margie berjingkat-jingkat ke bangku kayu, lalu duduk. Aku menyelinap masuk lagi ke lemari. Kudengar peluit Miss Hawkins dari ruang olahraga. "Sudah, sana," kata Margie. "Aku sudah tak apa-apa. Nanti aku nyusul." Nasibku baik, pikirku. Memang sudah waktunya ak u bernasib baik. Kutunggu sampai yang lain pergi semua. Lalu cepat-cepat aku keluar. "Hai, Margie." Margie yang sedang membungkuk mengusap-usap betisnya, tersentak. "Nicole...!" Wajahnya terlihat terkejut. "Kau di sini?" Aku bergerak ke depannya, siap-siap menghalanginya kalau dia berniat lari. Aku berdiri bertolak pinggang. "Di mana Lucy?" tanyaku. Suaraku serak tersendat. "Hah?" Margie pura-pura tidak mendengar pertanyaanku. "Aku harus cari Lucy," kataku sambil mengertakkan gigi. "Aku tak main-main, Margie. Kau tahu Lucy ada di mana, dan aku ingin tahu. Aku harus cari dia untuk bertukar tubuh kembali." Margie bangkit berdiri. Meringis kesakitan. Kelihatannya kram di kakinya masih belum hilang. "Nicole—duduk dulu," katanya pelan. Tangannya melambai ke bangku. Aku tidak bisa membaca arti ekspresi wajahnya. Takut? Atau sedang berpikir? Mencari jalan bagaimana menghalangiku menemukan Lucy? "Aku tak ingin duduk," kataku dingin. "Aku ingin mencari Lucy. Sekarang juga. Aku ingin keluar dari tubuhnya ini, Margie. Dan kau harus menolongku." Margie menggigit bibir bawahnya. Matanya yang gelap bertumbukan dengan mataku. Kulihat ia menelitiku, ingin tahu seberapa seriusnya aku. Aku sangat memerlukan bantuannya. Aku sudah hampir putus asa, marah, takut, panik, semua bercampur jadi satu. Mendadak saja tanpa kusadari, kata-kata keluar dari mulutku. "Margie, dia mengajakku ke hutan," kataku, sambil memegang lengan Margie. "Dia membawaku ke Tembok Pertukaran. Kami saling bertukar tubuh. Dia sudah cerita semuanya padamu, kan? Dia cerita?" Margie tidak menjawab. Dia masih terus menatapku. Kulihat dia sedang berpikir
keras. "Tapi dia tak cerita tentang pembunuhan-pembunuhan itu," aku meneruskan, masih memegangi lengan Margie. "Dia tak cerita dia membunuh kedua orangtuanya dan Kent. Itulah sebabnya kenapa aku harus mendapatkan tubuhku kembali. Kau mengerti? Kau mengerti sekarang kenapa kau harus menolongku?" Kulihat Margie menelan ludah, tenggorokannya bergerak-gerak. Dia melepaskan lengannya dari peganganku. "Tembok Pertukaran?" gumamnya. "Akan kubawa kau ke sana," kataku. "Akan kuperlihatkan padamu. Akan kubawa kau ke tempat kami bertukar tubuh. Tapi sesudah itu..." Matanya menyipit. "Nicole, kalau aku setuju pergi denganmu, maukah kau berjanji sesuatu padaku?" tanyanya lembut dan pelan-pelan, seperti sedang bicara pada anak kecil. "Janji?" tanyaku curiga. Aku tidak percaya padanya. Dia sudah satu kali membantu Lucy kabur. "Janji apa?" Ia mengusap-usap betisnya. "Kalau aku pergi denganmu ke Tembok Pertukaran, maukah kau kembali ke sini denganku? Maukah kau kembali ke sini, dan menunggu di sini sampai aku memanggil orangtuamu ke sini?" "Tidak!" buru-buru aku menjawab. "Aku tak bisa menemui orangtuaku sampai kudapatkan tubuhku kembali. Aku harus tahu di mana Lucy berada! Kau tak bisa menyembunyikannya dariku lagi!" Mulutnya ternganga. Tapi dia tidak menjawab. "Kau tahu di mana Lucy?" jeritku, habis kesabaranku. "Tahu?" "Y-ya," dia mengaku. "Tapi, Nicole..." Pintu ruang ganti terbuka. Kudengar suara-suara. Langkah-langkah kaki. Sambil menjerit pendek aku menyelinap masuk lagi ke lemari. Aku bermaksud menarik pintu hanya sampai hampir tertutup dan meninggalkan sedikit celah. Tapi aku menariknya terlalu keras dan pintu tertutup dengan suara klik. Suara-suara di luar lemari tidak terdengar jelas. Aku tidak bisa mendengar katakata yang diucapkan. Mungkin seseorang datang untuk melihat bahwa Margie tidak kurang suatu apa. Saatnya sangat tidak menguntungkanku, pikirku pahit, mencoba menenangkan jantungku yang berdebar. Margie baru saja mulai mengaku bahwa dia tahu di mana Lucy berada. Dia sudah hampir memberitahuku di mana aku bisa menemui Lucy. Kutekankan telingaku ke pintu lemari, kudengarkan baik-baik. Apakah Margie memberitahu cewek yang baru datang itu tentang aku? Apakah dia menyuruh cewek itu memanggil Miss Hawkins? Apakah dia merencanakan untuk mengurungku di dalam lemari ini dan memanggil orangtuaku? Jangan. Tolong jangan lakukan itu! aku berdoa dalam hati. Tolong, Margie, jangan khianati aku seperti yang dilakukan Lucy. Kutekankan telingaku lebih rapat ke pintu lemari, kucoba mendengarkan apa yang
mereka bicarakan. Tapi ruangan sudah sunyi sekarang. Apakah cewek itu sudah pergi? Aku membuka pintu lemari, mendorong pelan-pelan, mengintap ke luar. "Tidak!" Aku menjerit parau ketika melihat Margie. Tergeletak di lantai lagi.
BAB 18
KALI ini bukan karena kakinya kram. Kulihat genangan darah yang masih mengalir melebar di sekitar tubuhnya. Kulihat kepalanya pecah terhantam. Tulang tengkoraknya retak. Pipinya hancur. Satu mata remuk tertutup. Kulihat besi bulat untuk tolak peluru di lantai di sampingnya. Berlumur darah. Dan aku tahu Lucy sudah beraksi lagi. Lucy menyelinap ke ruang ganti dan membunuh Margie. Menghancurkan kepalanya dengan besi tolak peluru. Meremukkannya. Meremukkannya lalu pergi. Seluruh tubuhku bergidik dan gemetar tak terkendali. Dengan susah payah kualihkan pandanganku dari pemandangan mengerikan itu. Lucy, tega-teganya kau? Pertanyaan itu tergores di benakku. Bagaimana bisa kau melakukan pembunuhan berdarah dingin seperti ini? Peluit Miss Hawkins melengking di luar menyentakkan diriku. Kuangkat mataku melihat ke pintu ruang ganti. Orang akan mulai masuk ke sini. Orang akan melihatku. Orang akan menemukan diriku berdiri di dekat tubuh Margie yang remuk. Aku berbalik, melawan rasa panikku. Ruang ganti itu punya dua pintu. Yang satu menuju ke ruang olahraga. Yang lain keluar ke gang. Aku tidak punya pilihan. Aku berbalik dan cepat-cepat keluar ke gang. Di depan pintu aku berhenti, melihat ke kanan-kiri. Tak ada siapa-siapa di sana.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu mulai berlari. Aku harus keluar dari gedung ini tanpa terlihat siapa pun. Aku lari secepat mungkin. Hampir-hampir terbang. Aku berdoa tak ada orang datang dari belokan dan mengenaliku. Tolong, tolong—biarkan aku pergi! Beberapa detik kemudian aku menghambur keluar dari pintu belakang dan lari menyeberangi tempat parkir murid. Aku tidak menghentikan lariku sampai aku berada dua blok dari gedung sekolah. Lalu aku terjatuh kecapekan di tengah rumput tinggi di sebidang tanah kosong. Rusukku terasa sakit, puncak kepalaku berdenyut-denyut, aku duduk dengan mulut ternganga, terengah-engah seperti anjing, keringat mengalir di pipiku. Lucy mengikutiku. Ia mengikutiku ke mana pun aku pergi. Kesadaran itu muncul di otakku. Seluruh tubuhku terasa dingin bagai diguyur air es. Kenapa tidak kusadari itu sebelumnya? Aku pergi ke tempat Kent. Dan dia membunuh Kent. Aku pergi menemui Margie. Dan dia membunuh Margie. Tanpa sadar, aku melonjak berdiri. Kulingkarkan kedua tanganku di depan mulut dan aku berteriak, "Lucy—di mana kau?" suaraku serak. Tak ada yang menjawabku. "Lucy—kau bisa melihatku? Kau lihat aku?" teriakku. "Aku tahu kau ada di sini! Di mana kau, Lucy?" Tak ada jawaban. Aku duduk lagi di rumput. Kepalaku pusing. Aku sangat takut dan kesepian. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku berjalan tanpa arah seharian itu. Aku bahkan tidak ingat ke mana saja aku pergi atau apa saja yang kupikirkan. Apakah siang tadi atau malam ini aku sudah makan? Aku tak ingat. Saat hari gelap kutemukan diriku di tembok kelabu di hutan Fear Street. Aku tidak tahu mengapa aku selalu kembali ke sini. Mungkin aku berharap Lucy akan muncul di sini juga. Tentu saja itu tidak terjadi. Aku bersandar ke tembok, dan sekali lagi jatuh tertidur lelap tanpa mimpi. Waktu fajar menyingsing aku terbangun dengan seraut wajah di benakku. Wajah bundar menyenangkan, wajah kepucatan dikelilingi rambut keriting kelabu. Wajah nenek Lucy. Aku duduk dan meregangkan tubuhku. Seluruh tubuhku terasa kaku karena tidur di tanah keras. Pakaianku terasa lembap karena embun pagi.
Pelan-pelan aku bangkit. Matahari rendah di atas pucuk pepohonan, bersinar terang, bulat, merah, besar sekali. Udara masih terasa sejuk. Senyum di wajah nenek Lucy masih terbayang di mataku. Bila Lucy sedang bertengkar dengan orangtuanya—dan itu sering terjadi—dia selalu pergi ke rumah neneknya, Nenek Carla. Lucy sangat dekat dengan neneknya. Apakah Lucy sudah puas mengikutiku? pikirku. Setelah dia membunuh empat orang, apakah akhirnya dia memutuskan untuk kabur jauh-jauh? Aku ingat dia telah membawa seluruh pakaiannya dari lemari di kamarnya. Berarti dia bermaksud pergi ke suatu tempat. Dan tanah pertanian Nenek Carla rasanya tempat yang paling masuk akal untuk ditujunya. Tentu saja kalau Lucy pergi ke sana, Nenek Carla akan melihat tubuhku dan mengira aku yang datang. Tapi ia takkan terlalu heran dengan kunjunganku. Beberapa kali, waktu libur tahunan, Lucy dan aku berlibur di sana. Nenek Carla sudah seperti nenekku juga. Sambil berjalan keluar dari hutan, aku berusaha mengingat-ingat nama kota kecil tempat tanah pertanian Nenek Carla. Conklin. Nama itu tercetus dalam benakku. Ya. Conklin. Kurogoh saku jinsku, kukeluarkan uang yang kuambil dari rumah kemarin. Seluruh tabunganku. Aku menghitung uang itu sambil berjalan. Ya. Lebih dari cukup untuk membeli sarapan dan karcis bus ke Conklin. Di sudut jalan aku belok ke Mill Road. Kulihat Alma's, kedai kopi kecil di seberang jalan. Aku akan membersihkan diriku di kamar kecilnya. Lalu sarapan. Dan langsung ke stasiun bus. Aku menyeberang jalan. Harapanku timbul kembali. Aku punya perasaan kuat. Aku punya perasaan tak lama lagi akan menemukan Lucy. ***
Bus ke Conklin baru berangkat pukul dua siang. Lalu sopirnya harus berhenti mengganti ban yang kempes beberapa kilometer di utara Waynesbridge. Sementara bus berguncang-guncang di jalan luar kota yang sempit dari satu kota pertanian kecil ke kota pertanian kecil lain, aku mulai gugup dan semakin gugup. Apa yang harus kukatakan pada Nenek Carla? Tentu saja aku harus berpura-pura jadi Lucy. Dia takkan mengerti kalau kuceritakan pertukaran tubuh kami. Dan dia begitu renta, aku tidak ingin membuatnya terguncang hebat.
Maka aku akan pura-pura jadi Lucy. Dan aku akan tanya apakah Nicole datang ke sana. Lalu setelah itu? tanyaku pada diri sendiri. Apa yang akan dilakukan Lucy ketika tahu aku berhasil mengejarnya? Apakah dia akan lari lagi? Ataukah dia akan mencoba membunuhku juga? Sahabat karibku... Sambil menatap kehijauan tanah-tanah pertanian yang terhampar sambungmenyambung sampai ke kaki langit, aku berpikir tentang Lucy, sahabat karibku. Sahabat karibku. Sahabat karibku. Kata-kata itu kuulang berkali-kali dalam hati sampai kehilangan arti. Tanah pertanian Nenek Carla terletak tidak sampai setengah kilometer dari halte bus Conklin. Kuperhatikan bus menggelinding pergi, lalu aku mulai berjalan di bahu jalan yang ditumbuhi rumput hijau tebal. Bunga-bunga liar tumbuh di bidang tanah di sebelah kiriku. Rumput-rumput tinggi melambai-lambai tertiup angin sepoi-sepoi. Sekelompok agas beterbangan naik bagaikan asap keperakan di depanku. Tanpa bersuara, agas-agas itu—ribuan jumlahnya—terbang berpusar-pusar, bagaikan angin puting beliung. Aku melangkah ke badan jalan untuk menghindari mereka. Beberapa saat kemudian gudang Nenek Carla terlihat. Dulunya gudang itu dicat putih. Aku ingat bagaimana gudang itu berkilauan di bawah sinar matahari ketika aku da n Lucy berlari masuk ke sana untuk bermain mendaki tumpukan jerami. Tapi sekarang catnya sudah pudar dan mengelupas, warna papannya yang gelap mengintai dari celah-celah lapisan cat. Di belakang gudang terletak rumah pertanian tua itu. Putih, bertingkat dua, rumah itu terasa besar sekali ketika aku dan Lucy masih kecil. Tapi sekarang terlihat kecil, kuno, dengan beranda belakangnya yang terbuka dan jendela-jendelanya yang tertutup rapat. "Lucy, ada di situkah kau?" gumamku ketika aku melangkahi pagar rendah dan berjalan menembus rerumputan tinggi menuju halaman belakang rumah. "Lucy, aku datang. Aku tahu kau akan kutemukan di sini." Aku melangkah ke beranda belakang, lantai papan tua berderik-derik terinjak sepatu kets-ku. Aku menuju ke dapur. Dan mengetuk pintunya keras-keras.
Bagian Tiga Berkumpul Lagi BAB 19
"OH, ya ampun! Halo!" Nenek Carla menjerit terkejut. Senyum merekah di wajahnya yang bundar. Ia membuka pinta kasa dapur. "Apa kabar, Nek?" seruku, memeluknya erat-erat. Tubuh kecilnya terasa tipis, seakan mudah patah. Kulepaskan pelukanku dan aku melangkah mundur untuk memandangnya. Matanya yang kelabu kebiruan masih cemerlang seperti dulu. Tapi sinar wajahnya telah meredup. Dia lebih kurus dan semakin mirip burung. Ia mengingatkanku akan burung-burung flamingo yang pernah kulihat di suatu musim panas di Florida. Seperti burung flamingo yang warna pink-nya sudah memudar menjadi putih tepung. "Senang sekali aku melihatmu," katanya, sambil tersenyum. "Aku—aku betul-betul kaget." Ia menaruh sebelah tangan di bagian dada daster biru mudanya. Ia mengajakku masuk dan berjalan menduluiku ke meja dapur di dekat dinding. Langkah-langkahnya lambat, satu per satu. Mungkin rematiknya sangat mengganggu. Rumah itu bau ayam panggang. Kulihat sepanci besar sup sedang mendidih di atas kompor. Membuatku teringat belum makan apa-apa sejak sarapan tadi pagi. Aku menoleh, melihat Nenek Carla berdiri memegang sandaran kursi menatapku. Ia menggaruk rambutnya yang keriting. "Coba kuingat-ingat... Kapan terakhir kali kau ke sini? Dua musim panas yang lalu? Ya, kalau tak salah." "Rasanya benar, Nek," kataku ragu. Aku memandang melewatinya ke bagian depan rumah. "Apakah Nicole ada di sini?" tanyaku langsung. "Apa?" Ia mengecilkan matanya memandangku. "Apakah Nicole ada di sini?" kuulangi pertanyaanku. "Kata Nicole, mungkin dia mau ke sini mengunjungi Nenek. Jadi saya pikir..." Aku sama sekali tidak bisa membaca ekspresi wajah Nenek Carla. Bibir bawahnya bergerak-gerak. Dan ia memandang padaku sambil berpikir. Apakah Lucy muncul ke sini dengan tubuhku? pikirku sambil balik memandang wanita tua itu. Apakah Lucy telah memperingatkannya supaya tidak memberitahuku bahwa dia ada di sini? "Sini, duduklah," kata Nenek Carla, menarik kursi untukku. "Kapan kau berangkat
dari Shadyside? Tadi pagi?" "Jam dua lewat sedikit," sahutku. Ia melihat ke jam dinding di atas bak cuci piring. "Sudah hampir jam setengah enam sekarang. Kau pasti kelaparan." "Aku—aku memang agak lapar," sahutku. "Duduklah," katanya lagi. "Untung aku masak sup sepanci. Biasanya aku tak masak banyak-banyak karena cuma sendirian. Tapi hari ini..." Kau masak sup sepanci besar karena Lucy ada di sini, batinku. "Ayo, duduklah," desaknya. Dengan patuh aku berjalan ke meja dapur dan duduk di kursi kayu bersandaran tinggi. Aku menoleh ketika mendengar ia melangkah pergi dari dapur. "Nenek belum menjawab pertanyaanku," seruku. "Apakah Nicole ada di sini?" "Sebentar lagi aku kembali," katanya. "Nanti kita bicara." Caranya mengatakan itu membuatku curiga. Sebersit rasa takut mengganjal di perutku. Diam-diam aku berdiri dari kursi. Aku merayap ke gang, mengikutinya, sambil menempelkan punggung rapat-rapat ke dinding. Aku cuma beberapa meter dari ruang duduk ketika kudengar ia bicara di telepon. Menelepon polisi.
BAB 20
AKU kembali ke dapur. Yang pertama kali terpikir olehku adalah lari. Lari jauh jauh dari sini, dari tanah pertanian ini. Tapi aku berhenti, berdiri mematung di gang. Aku sudah lari sampai sejauh ini. Dan aku sudah lari terlalu lama. Aku tak bisa terus-terusan lari. Aku harus mendapatkan kembali tubuhku. Aku harus mendapatkan kembali kehidupanku. Aku masuk ke ruang duduk tepat saat Nenek Carla menaruh pesawat telepon. Ia menoleh, kaget. "Oh...!" Aku menyerbunya dengan marah, kedua tanganku terkepal. "Kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar.
Ia menatapku tanpa bicara. Kulihat rasa takut di matanya. "Kenapa?" kuulangi pertanyaanku. Tubuhku mulai bergetar menahan marah. Aku mulai kehilangan kendali. "Tenang saja. Aku telepon minta bantuan," jawabnya. Ia mencoba mundur menjauhiku, tapi kuikuti. Saat itu dia terlihat lebih kecil dan lebih lemah lagi, makin kelihatan seperti burung. "Aku—aku percaya pada Nenek!" jeritku. "Aku selalu percaya pada Nenek. Kenapa Nenek telepon mereka? Kenapa Nenek tak mau membantuku?" Mata birunya menatapku. "Ayo duduk, kita bicara, ya?" ajaknya. Duduk dan menunggu polisi menangkapku? Dan menahanku untuk pembunuhan yang tidak kulakukan? Ajakannya yang lemah lembut justru membuatku makin marah. "Aku ke sini mau cari Nicole," kataku pada wanita tua itu sambil mengertakkan gigi. "Nicole di sini, kan? Ya atau tidak?" Nenek Carla tidak menyahut. Ia menggigit bibir bawahnya. Bibirnya suda h pucat tak berwarna, sepucat wajahnya. Matanya melirik ke jendela ruang duduk. Aku tahu ia menunggu datangnya mobil polisi. Kuulurkan tanganku, kusambar kedua lengannya. "Katakan saja di mana Nicole," pintaku. "Tolong—katakan di mana dia, lalu aku akan pergi. Aku janj i akan pergi dan takkan kembali ke sini." Pasti aku mencengkeram lengannya terlalu keras. Nenek Carla meringis kesakitan. Kulonggarkan cengkeramanku, tapi tidak kulepaskan sama sekali. Aku merasa, kalau kulepaskan cengkeramanku, ia akan menyelinap hilang. Lenyap begitu saja. Meninggalkanku sendirian menghadapi po lisi. "Aku tak tahu di mana dia," sahut Nenek Carla, matanya masih tetap melirik jendela. "Kenapa Nenek tidak terus terang saja?" jeritku. Rasanya kudengar bunyi ban mobil di kerikil. Kulepas lengan kurus lemah itu. Kuputar tubuhku. Aku tidak punya pilihan. Aku harus lari. Nenek Lucy takkan menolongku— walaupun ia mengira aku Lucy. "Tunggu! Kembali!" serunya memanggilku ketika aku lari ke belakang. "Tunggu!" Tidak kuhiraukan panggilannya. Kudorong pintu dapur, lalu aku meloncat ke luar, ke halaman. Angin lembut meniup tanaman jagung di ladang di belakang gudang. Aku menoleh ke kiri, lalu ke kanan, mencari tempat sembunyi. Aku tahu tidak bisa lari jauh. Aku terlalu capek. Aku terlalu lelah. Tidak sanggup lagi lari jauh-jauh. Mataku terhenti di sumur batu tua di kanan gudang. Airnya sudah tercemar. Sumur itu sudah bertahun-tahun tidak dipergunakan. Bisakah aku sembunyi di dalamnya? Bergantungan di celah-celah dinding
batunya? Atau dengan merentangkan kedua tanganku menekan dindingnya keras-keras? Tidak. Aku tak berani. Bagaimana kalau aku jatuh? Tercebur ke air kotor? Aku akan terbenam sebelum sempat tertolong. Bisakah aku sembunyi di ladang jagung? Mungkin untuk beberapa saat. Tapi tanaman jagung itu tidak setinggi aku. Aku harus membungkuk dan merangkak. Dengan mudah polisi akan menemukanku. Ladang terbuka tidak bisa lama-lama menyembunyikanku. Kudengar pintu mobil ditutup. Di samping rumah. Bunyi itu memaksaku bergerak. Aku lari menembus rerumputan tinggi ke gudang. Aku tidak punya pilihan. Mereka akan menggeledah gudang. Tapi banyak tempat sembunyi di dalam. Aku bisa membenamkan diriku di tumpukan jerami. Atau masuk ke lemari peralatan di belakang tempat penyimpanan traktor. Kudengar sekali lagi pintu mobil ditutup. Bunyi itu seakan menyengatku, menegangkan otot kakiku, membuat jantungku berdegup kencang. Dengan lari secepat mungkin aku masuk ke gudang. Kakiku tergelincir jerami yang berserakan di lantai gudang. Aku berhenti sebentar, membiasakan mataku dengan kegelapan di dalam gudang. Hawa terasa sejuk. Aku menarik napas dalam-dalam. Sekali lagi. Udara terasa manis. Banyak kenangan melintas di depan mataku, dipicu oleh bau gudang yang sangat kukenal ini. Begitu banyak hari-hari menyenangkan, begitu banyak saat-saat menyenangkan. Kutahan isak tangisku. Aku tahu tak ada waktu untuk bernostalgia. Cahaya kelabu menerobos masuk dari jendela kotor di atasku. Di bawah cahaya remang-remang itu kulihat ikatan-ikatan jerami ditumpuk-tumpuk tinggi di dinding gudang. Aku bisa sembunyi di balik tumpukan jerami itu, pikirku. Tapi pasti itu tempat pertama yang akan mereka periksa. Aku maju lagi beberapa langkah lebih dalam. Aku berhenti ketika terdengar bunyi gemeresik. Bunyi gesekan jerami kering. Langkah kaki? Bukan. Mungkin tikus gudang, pikirku. Mataku mencari-cari tempat sembunyi. Kulihat traktor tua Nenek Carla yang sudah berkarat di sudut. Aku bisa menyelinap di belakang traktor, pikirku, meringkuk di balik ban belakangnya yang besar. Tapi dengan mudah mereka akan menemukanku di sana. Tumpukan jerami tetap tempat paling baik, pikirku. Setidaknya saat ini. Jerami itu akan menyembunyikanku untuk sementara. Dan aku bisa mengintai polisi yang
sedang mencariku dari baliknya. Jerami kering di lantai gemeresik terinjak sepatuku ketika aku berjalan ke tumpukan jerami itu. Aku menyelinap ke balik tumpukan yang paling tinggi. Dan membentur seseorang yang sedang sembunyi di sana. "Oh!" tanpa bisa kutahan aku memekik kaget. Lalu kukenali siapa dia. "Lucy!" jeritku. "Kau di sini!"
BAB 21
IA ternganga menatapku. Kami berpegangan. Tadinya aku sangat marah padanya. Tapi heran, sekarang aku senang melihatnya. Perburuan telah berakhir, pikirku. Tak perlu lagi aku lari. Di bawah cahaya kelabu dari jendela di atas, kuperhatikan dia. Kuteliti wajahku. Tubuhku. Ia memakai baju lengan panjang biru tua dan celana pendek putih. Pakaianku. Rambut cokelatnya terurai melewati bahunya. Kulingkarkan lenganku ke pinggangnya dan kupeluk dia erat-erat. Kulepas pelukanku ketika dia tidak bereaksi, tidak membalas memelukku. "Kau di sini," kataku lagi. "Akhirnya kutemukan kau." Ia menyipitkan matanya—mataku—memandangku. Dia masih belum mengucapkan apa-apa. Aku masih dibanjiri emosi. Lusinan emosi sekaligus. Aku marah, lega, senang, dan bingung— campur aduk. "Lucy—kenapa?" akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku. "Kenapa kaulakukan semua itu? Kenapa mereka... kaubunuh? Dan kenapa kau lari dariku?" Ia menunduk. "Tak bisa kujelaskan," bisiknya. "Kau harus menjelaskannya!" jeritku. Dari balik tumpukan jerami aku mengintai pintu gudang. Tidak ada tanda-tanda polisi masuk ke gudang. Belum. "Kau harus menjelaskannya, Lucy!" kuulangi dengan suara bergetar. "Dan kita harus bertukar tubuh."
Ia menjawab dengan bergumam. Aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya. Ia masih mengelak dari tatapanku. "Aku mau kaukembalikan tubuhku," desakku. "Aku mau kita bertukar tubuh lagi— sekarang! Kau dengar?" Akhirnya ia mengangkat wajah, menatapku dengan pandangan sedih dan dingin. "Kita tak bisa saling mengembalikan tubuh," katanya pelan. "Hah? Kenapa tak bisa?" tanyaku marah. "Aku bukan Lucy," sahutnya. "Lucy bertukar tubuh denganku siang tadi. Namaku Nancy."
BAB 22
"KAU bohong," kataku, rasa marahku menjadi-jadi. "Kau bohong, Lucy." Ia menggeleng. Air mata menggenangi matanya yang gelap. "Aku tak percaya," kataku lagi. "Silakan menangis terus kalau kau mau. Aku tak bodoh. Kaukira aku sebodoh itu mau percaya padamu?" Dagunya bergerak-gerak. Butiran air mata besar-besar mengalir turun di pipinya. Dia tidak berusaha menghapusnya. "Tapi itu benar," bisiknya. "Terserah kau mau percaya atau tidak. Aku bahkan tak tahu namamu." "Namaku Nicole," sahutku sambil mengertakkan gigi. "Tapi aku ada di tubuh Lucy. Dan kau ada di tubuhku—Lucy." Berulang-ulang kusebut nama itu dengan marah, kesal, jengkel. "Lucy, Lucy, Lucy!" "Stop!" pintanya. "Berhenti!" Ia menutupi kedua telinganya dan memejamkan mata. "Lucy, Lucy, Lucy!" Aku ingin merenggutnya, dan mengguncangnya, mengguncangnya keras-keras. Mengguncangnya sampai dia mengaku sebagai Lucy. "Aku bukan Lucy!" katanya lagi. "Aku Nancy. Lucy memaksaku bertukar tubuh. Dia memaksaku. Lalu dia—dia mengambil tubuhku dan lari." Lebih banyak lagi air mata mengalir turun di wajahnya. Seluruh tubuhnya mulai bergetar.
Aku mundur selangkah sambil memperhatikannya. Aku mulai percaya. "Kau—kau benar-benar bukan Lucy?" tanyaku agak tergagap. Ia menggeleng. Butiran air mata jatuh ke jerami di lantai gudang. "Dia memaksaku bertukar tubuh. Sekarang apa yang harus k ulakukan?" Kudengar bunyi jerami terinjak. Injakan berat. Aku menengok, kulihat sesosok bayangan masuk gudang. Polisi. "Kita harus sembunyi," bisikku. Anehnya Nancy malah tersenyum. Matanya yang hitam bersinar. "Ada polisi," bisikku. "Kita harus sembunyi." Senyumnya melebar. Ia menggeleng. "Nicole, kau betul-betul goblok!" katanya. "Kau gampang ditipu!" "Lucy!" jeritku. Ia mengangguk dengan senyum kemenangan. Dia telah menipuku. Tak ada orang bernama Nancy. Dia Lucy. Aku telah menemukannya. Dengan marah kuulurkan tanganku untuk merenggutnya. Tapi dia mengelak ke samping. Lalu mulai lari. "Hei…!" panggilku berbisik. Kulupakan polisi. Kukejar Lucy. Aku takkan membiarkannya lepas lagi. Di bawah cahaya kelabu kulihat ia lari ke luar gudang. Kupercepat lariku. Aku hanya sepuluh atau dua puluh langkah di belakangnya. Dia lari ke arah sumur tua, sepatu ketsnya gedebak-gedebuk menapak tanah, rambut cokelatnya berkibaran di belakangnya. Jangkrik-jangkrik mengerik di sana-sini. Kudengar anjing melolong sedih di kejauhan. Seakan-akan seluruh tanah pertanian mendadak hidup. Seolah-olah seluruh makhluk dan tumbuhan di sekitarku menyuarakan kehebohan mereka. Kusipitkan mataku di dalam gelap, pandanganku tidak lepas dari Lucy. Dia lari sekuat tenaga, hanya beberapa meter dari sumur tua kini. Apa yang akan dilakukannya? pikirku. Apakah dia mau sembunyi di sana? Aku mencoba lari lebih cepat lagi untuk mengejarnya. Tapi kudengar langkah-langkah kaki di belakangku. Kudengar erangan. Napas berat. Lalu kurasakan tangan-tangan kuat menyergap kakiku. "Ohhhh!" teriakku kaget ketika ditubruk dan diseret jatuh ke tanah. "Lepaskan aku!" jeritku. "Aku tak bisa membiarkannya lepas lagi!" Tapi kedua tangan kuat itu tidak membiarkanku bangkit. Aku menyepak-nyepakkan kakiku, mengayun-ayunkan tanganku dengan panik.
Tapi aku tak bisa melepaskan diri. Dengan menjerit marah aku berbalik menengok orang yang menangkapku. Ketika kulihat wajahnya, aku tersentak, ternganga ketakutan. "Kent!" suaraku serak. "Kent—tidak! Tak mungkin kau! Kau sudah mati! Kau sudah mati!" Ia menyipitkan mata menatapku dingin. "Nicole, aku datang menjemputmu," katanya.
BAB 23
IA melepaskanku dan bangkit berdiri. Lalu mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Tangannya hangat. Napasnya memburu. "Kent—kau sudah mati," gumamku. "Aku lihat sendiri. Kepalamu..." Kata-kata selanjutnya tersangkut di tenggorokanku. "Aku baik-baik saja," sahutnya pelan. "Tidak," aku ngotot. "Aku ke rumahmu. Aku lihat kau. Aku lihat darah. Aku di sana." Ia menaruh tangan di bahuku yang gemetar. "Ssstttt," bisiknya. "Tarik napas dalam-dalam, Nicole. Tenangkan dirimu. Aku menyusulmu ke sini. Aku datang untuk menolongmu." Kuikuti kata-katanya. Tapi aku tahu aku membutuhkan lebih dari sekadar napas dalam-dalam untuk menenangkan diriku. Aku sangat bingung, sangat takut. Aku punya banyak pertanyaan. Bagaimana dia menemukanku? Kenapa dia datang ke sini? Siapa yang kulihat tergeletak mati di lantai rumah Kent? "Kent...," kataku. Tapi dia menaruh telunjuknya di bibirku. "Sssttt. Sudah, tak apa-apa," katanya. "Sudah tak apa-apa, Nicole." "Jadi kau tahu!" seruku. "Kau tahu aku dan Lucy bertukar tubuh?" Ia mengangguk. "Ya, aku tahu semua itu," sahutnya. Dia merangkul pundakku. Lengannya terasa berat dan kokoh. Terasa nyata.
Dia bukan hantu, pikirku, aku menatapnya, meneliti wajahnya yang tenang. Dia benar-benar ada di sini. Dia masih hidup. "Ayo kita masuk rumah," ajaknya, menuntunku melewati rerumputan tebal. "Ayo kita duduk di dalam. Aku ingin membantumu, Nicole. Itu sebabnya aku menyusulmu ke sini." "T-tapi Lucy...," gagapku. Karena terkejut melihat Kent tadi, aku sampai melupakan Lucy. Kuputar tubuhku ke arah sumur tua. Kulihat kepala Lucy muncul dari dalam sumur. Kulihat dua tangan pucat berpegangan pada dinding batu kelabu di bibir sumur. "Tolong!" teriak Lucy. "Nicole—cepat! Aku mau jatuh. Aku akan tercebur ke sumur!" "Lucy...!" teriakku. Aku mulai berlari mendekatinya. Tapi Kent merangkul pinggangku dan menarikku. "Cepat!" teriak Lucy. "Cepat, Nicole! Aku—aku tak bisa pegangan lagi! Aku jatuh!" Kepalanya lenyap di balik dinding sumur. Kulihat satu tangan pucat tergelincir dari pegangannya di bibir sumur. Aku harus menolongnya. Tapi Kent mengencangkan rangkulannya di pinggangku. "Kent—kenapa kau ini?" jeritku. "Lepaskan aku! Lepaskan!" "Biar saja dia tenggelam," bisiknya ke telingaku.
BAB 24
"KAU sudah gila?" teriakku. Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan diri. "Nicole—cepat!" panggil Lucy, suaranya yang melengking ketakutan bergema di lubang sumur tua. "Cepat, aku tak bisa pegangan lagi!" "Biarkan dia tenggelam," kata Kent lagi dengan nada dingin tanpa emosi. "Tapi dia temanku!" jeritku. "Dan dia di tubuhku! Dia akan membawa tubuhku tenggelam!" Dengan sentakan panik kulonggarkan rangkulan Kent. Lalu dengan sekuat tenaga
kusodokkan kedua sikuku ke belakang. Kudengar Kent berseru kaget ketika sikuku menyodok perutnya. Ia mengerang kesakitan, rangkulannya terlepas. Aku lari tersandung-sandung, jatuh berlutut. Melompat berdiri lagi. "Lucy—aku datang! Tahan sebentar! Tahan!" seruku. Aku lari menyeberang rerumputan, tanganku terulur ke depan seakan sedang meraihnya. "Tahan dulu! Tahan!" teriakku. Dengan jantung berdegup kencang aku sampai di sumur. Kupegang tangannya. Ya. Pegang. Kena. Dan tangan itu menggelincir dari peganganku. Kuku merah panjang-panjang mencakar telapak tanganku ketika tangan itu menggelincir dari peganganku. Tangan itu lenyap dari pandangan. Aku menangkap udara hangat. Hanya udara. Kudengar jeritan seram Lucy dari dalam sumur. Makin lama makin dalam. Jeritannya menggema. Lalu suara tercebur.
BAB 25
"LUCY! Lucy!" Aku bahkan tidak sadar meneriakkan namanya. Aku membungkuk di bibir sumur, menengok ke dalam sumur, jauh, jauh, ke dalam kegelapan. "Lucy! Lucy!" Sumur itu sangat dalam, sangat gelap. Aku tidak bisa melihatnya. Tapi bisa kudengar cebar-ceburnya panik, kudengar teriakan-teriakan ketakutannya. Aku bisa membayangkan dia mengayun-ayunkan tangan dan kakinya berusaha agar tidak tenggelam. Aku bisa membayangkan wajahnya tegang ketakutan megap-megap menghirup udara. Airnya pasti dingin dan kotor sekali. Aku bisa membayangkan tangannya menggapai dinding batu mencari pegangan.
Tergelincir lagi. Terlepas lagi. Menggapai dan tergelincir. Memegang dan terlepas. "Lucy! Lucy!" Kudengar ia meronta-ronta, kudengar cebar-cebur air, sementara ia berusaha agar tidak tenggelam. "Tolong aku! Nicole!" Suaranya terdengar bergema bagai dari dalam gua. Jauh. Jauh sekali. Hanya sekali itu dia berteriak memanggil. "Lucy—aku di sini! Lucy—berenang terus! Lucy—jangan menyerah!" Sambil membungkuk di bibir sumur, menatap ke dasar sumur, aku berteriak. Tapi suaranya tidak terdengar lagi. Dan bunyi cebar-cebur berhenti beberapa saat kemudian. Dan aku masih menatap ke dasar sumur, merasakan dinginnya batu dinding sumur di pinggangku, membungkuk lebih dalam, mendengarkan, mendengarkan. Mendengarkan kesunyian yang mencekam. Mendengarkan tenggelamnya. Tenggelam membawa tubuhku. Sahabat karibku. Tenggelam di dasar sumur tua dengan membawa tubuhku. Aku terisak sementara tangan-tangan kuat memegang bahuku. Kent menarikku menjauh dari sumur. "Kent—dia—dia...," isakku. Ia memegangku erat-erat. Menarikku. "Aku tahu," bisiknya. "Nicole, aku tahu." "Aku gagal menolongnya," isakku, seluruh tubuhku mulai gemetaran. "Aku tak berhasil menolongnya, Kent. Aku tak melakukan apa-apa untuknya. Sama sekali." "Aku tahu," katanya. "Aku tahu." Ia memelukku erat-erat dan membimbingku menuju ke rumah. Kami sedang menyeberangi halaman ketika Lucy melangkah keluar dari belakang semak-semak tinggi. Rambutnya jatuh ke bahu, basah dan lengket berlumpur. Pakaiannya basah kuyup, celana pendek tenis putihnya penuh lumpur. Mulutku ternganga. Kucoba memanggil namanya, tapi suaraku tak mau keluar. Lututku gemetar, kakiku lemas, dan aku hampir jatuh ke tanah. Tapi Kent memegangiku erat-erat, seakan-akan ia sendiri berpegangan agar tidak jatuh. Dengan pelan-pelan dan hati-hati Lucy melangkah menghampiri kami. Kedua tangannya menyibakkan rambut basah dari wajahnya. Di bibirnya yang pucat tersungging senyum paling aneh. Senyum puas. Senyum kemenangan. "Lucy...!" akhirnya aku bisa bersuara. "Lucy—bagaimana kau bisa keluar?" Aku ingin lari mendekat, memeluknya, menjerit gembira. Tapi senyumnya yang dingin membuatku terhenti. "Kau—kau bisa keluar! Kau di sini!" seruku.
Matanya menatapku. Tanpa bicara sepatah kata pun. Tubuhku tak apa-apa, pikirku. Pikiran memalukan, aku tahu. Harusnya keselamatan temanku yang kupikirkan. Tapi dengan memandangnya—memandang tubuhku—mau tak mau aku memikirkan tubuhku. Mau tak mau aku memikirkan tubuhku. Aku berpikir, Masih ada kesempatan aku dan Lucy saling bertukar tubuh kembali. Masih ada kesempatan aku mendapatkan kembali tubuhku dari Lucy. Ia bergerak cepat. Terasa olehku tangan Kent lepas dari bahuku ketika Lucy menubruk maju. Kent berteriak terkejut ketika Lucy menangkap kepalanya dengan dua tangan. "Kita bertukar, Kent," kata Lucy, suaranya tegang. "Kita bertukar, oke?" Kent mencoba mundur. Tapi Lucy terlampau kuat baginya. Sambil memegang erat-erat kepala Kent, Lucy memuntirnya keras-keras, merenggutnya lepas dari bahunya dengan satu tarikan kuat.
BAB 26
TERDENGAR bunyi seperti barang robek ketika Lucy merenggut lepas kepala Kent. Mata Lucy bersinar-sinar, senyumnya melebar di wajahnya, diacungkannya kepala Kent tinggi-tinggi. Aku menjerit panjang dan seram, tidak percaya pada penglihatanku sendiri. Kupejamkan mataku. Aku tidak sanggup melihat kepala tak bernyawa itu, membeku selamanya dengan mata melotot ketakutan. Aku tidak sanggup memandang senyum sadis Lucy. "Ayo bertukar!" jeritan nyaring Lucy melengking di malam gelap bagaikan sirene. "Ayo bertukar! Ayo—ayo bertukar!" Mataku tetap kupejamkan. Aku tidak ingin membukanya lagi. "Ayo bertukar!" jerit Lucy. "Ayo, Nicole! Kau bertukar kepala dengan Kent—lalu aku bertukar denganmu!" Tawanya yang bernada tinggi membuat seluruh tubuhku gemetaran.
Beberapa saat kemudian kudengar bunyi pintu mobil ditutup. Kubuka mataku, kulihat dua lelaki keluar dari mobil hitam dan lari menyeberangi rerumputan tinggi. Dua lelaki berjas kelabu. Polisi Shadyside. Mereka lari ke sampingku. Masing-masing menangkap sebelah lenganku. Pegangan mereka kencang tapi tidak menyakitkan. Jantungku berdebur tak keruan. Napasku tertahan di kerongkongan. Aku tak mampu bicara, tak mampu menjeritkan rasa takutku. Kucari Lucy dan Kent dengan mataku. Tapi mereka telah lenyap. Terdengar satu mobil lagi mendatangi rumah Nenek Carla. Aku menoleh. Mobil itu penuh orang. Keempat pintunya terbuka berbarengan. Kulihat orangtuaku keluar dari mobil dan melihat ke arahku. Lalu kulihat orangtua Lucy. Tidak mati? Mr. dan Mrs. Kramer—tidak mati? Lalu Kent keluar dari kursi belakang. Mereka segera merubungiku, semua bicara bersama-sama. Kedua lelaki berjas kelabu itu melangkah mundur ketika Mom memelukku, merangkulku erat-erat, menangis, bahunya terguncang- guncang. Terasa olehku air mata ibuku yang hangat mengaliri wajahku. "Nicole, Nicole," bisiknya menyebut-nyebut namaku, menekankan pipinya ke pipiku. Setelah ia melepaskanku, ganti ayahku yang memelukku. Kedua lelaki berjas kelabu itu berdiri tegang di sampingku. Sambil berkedip-kedip membuang air mata, aku mencoba mengusir kebingungan di benakku. Kupandang Mr. dan Mrs. Kramer serta Kent. Tidak mati. Tidak dibunuh. Mereka masih hidup. Lalu kulihat Nenek Carla di tengah mereka. "Kami minta maaf," Mom berkata padanya. "Kami betul-betul minta maaf Nicole datang mengganggu ke sini. Kami kira Nicole sudah sembuh. Kami kira Nicole sudah melewati saat-saat itu." Melewati saat-saat itu? Apa maksud Mom? "Keadaan Nicole sudah membaik setahun belakangan ini," kata Mom pada Nenek Carla. "Tak ada lagi mimpi-mimpi aneh. Tak ada halusinasi. Tak ada masalah jati diri." Kugoyangkan kepalaku berkali-kali, kucoba menjernihkan otakku. Aku ingin bisa mengerti apa yang dikatakan Mom, tapi sulit sekali. Aku menoleh ke samping, kulihat Dad bicara pada Kent. "Kent, terima kasih telah
memberitahu kami tentang Nicole," kata Dad. "Dan kau baik sekali mau menyusulnya ke sini. Kami sudah minta tolong dua dokter ini dari rumah sakit untuk mencari Nicole." Dad menunjuk kedua lelaki berjas kelabu itu. "Tapi kami takkan menemukan Nicole tanpa bantuanmu." Dari rumah sakit? Mereka bukan polisi? Kent menggumamkan sesuatu, matanya memandang ke tanah. Aku tidak mendengar apa yang dikatakannya. Mereka semua bicara berbarengan. Sulit sekali mengikuti pembicaraan mereka. Kulihat Nenek Carla menggeleng-geleng. "Kasihan, Lucy sudah meninggal tiga tahun lalu," katanya sedih. "Kecelakaan mobil yang mengerikan...," suaranya mengambang. Lalu dia menghela napas. "Nicole mulai mendapat halusinasi segera setelah Lucy meninggal," Mom menjelaskan padanya. "Dia mulai melihat kematian-kematian mengerikan. Semua hanya ada di benaknya. Tapi semua itu seakan nyata baginya." "Ck, ck, ck." Nenek Carla menggeleng-geleng sedih. Ibuku meneruskan, "Setelah Lucy meninggal, Nicole mulai suka bicara sendiri, seakan-akan bicara dengan Lucy. Dan kadang-kadang... kadang-kadang..." Kata-kata Mom tertahan di kerongkongan. Ia menelan-nelan ludah, melonggarkan kerongkongannya yang tersumbat. "Bahkan kadang- kadang Nicole bersikap seolah-olah dia Lucy," katanya pada Nenek Carla. "Dia belum bisa menerima kenyataan bahwa Lucy telah tiga tahun meninggal," tambah Ayah dengan sedih. "Kalian akan bisa mendapatkan bantuan yang diperlukannya," sahut Nenek Carla lembut. "Dia akan kembali seperti biasa. Aku yakin." Mereka terus berbicara. Suara-suara mereka saling bercampur. Bagiku hanya merupakan bunyi. Aku tidak begitu peduli apa yang mereka percakapkan. Aku senang sekarang. Aku senang melihat mereka. Senang dan lega karena aku tidak perlu lari lagi. Senang melihat mereka semua masih hidup dan tidak kurang suatu apa. Senang sekali sehingga aku tidak melawan ketika kedua lelaki berjas kelabu itu membawaku ke mobil mereka.