2
FENOMENA BODY SHAMING TERHADAP PEREMPUAN
Oleh:
Shofi Atur Rodhiyah
Abstrak
Essay ini membahas tentang fenomena yag kerap dialami peremuan dalam kehidupannya. Baik disadari maupun tidak merupakan fenomena kekerasan secara verbal. Fenomena tersebut adalah body shaming. Body shaming adalah bentuk ucapan yang mengarah pada mengejek maupun menghina seseorang melalui objektifikasi kekurangan tubuh. Objektifikasi tubuh timbul karena adanya standar ideal yang muncul di masyarakat. Standar ideal merupakan proyek kapitalis dalam ekonomi global untuk menjadikan perempuan sebagai objek dalam mengkonsumsi produk kecantikan. Masyarakat juga merupakan subjek kapitalis untuk mempengaruhi perempuan dalam pengikutan satandar ideal kecantikan melalui body shaming. Penelitian ini menggunakan 25 responden. Data yang didapat menunjukkan bahwa sebanyak 19 responden menunjukkan respon negatif akibat body shaming. Sedangkan 6 responden memberikan respon positif dengan menerima body shaming dalam kehidupannya. Banyaknya responden yang memberikan respon negatif, dikarenakan objektifikasi kecantikan sehingga menurunnya kepercayaan diri pada perempuan. ketika kepercayaan diri menurun, wanita akan memaksa tubuhnya untuk mengikuti standar ideal kecantikan. Maka, perempuan akan lebih terfokus berusaha mengikuti standar ideal sehingga mengabaikan perannya dalam ranah sosial sebagai masyarakat sosial.
Kata Kunci: Body shaming, Perempuan,Feminisme, Kapitalis, Tubuh
PENDAHULUAN
Dunia perempuan saat ini sedang ramai diperbicangkan. Beberapa aspek dalam diri perempuan menarik untuk diteliti terutama dalam aspek kehidupan sosial. Perempuan itu sendiri adalah pribadi sosial, yaitu pribadi-psikofisik yang memerlukan antar-relasi jasmaniah dan psikis dengan manusia lain. Dalam artian bahwa perempuan ingin dicintai, ingin dihargai dan diakui, ingin dihitung dan mendapatkan status dalam kelompoknya[1]. Hakikat perempuan yang ingin memiliki peran dalam relasi sosial, mengantarkan perempuan menyamakan dirinya dengan keadaan lingkungannya.
Perempuan sebagai pribadi sosial juga tidak lepas dari interaksi dengan masyarakat. Dalam teori interaksionalisme simbolik menurut Herbert Blumer bahwa manusia bertindak berdasarkan pemaknaanna sendiri. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain dan makna tersebut sempurna ketika interaksi sosial berlangsung.[2] Dalam interaksi sosial akan timbul sikap saling memperhatikan dalam kehidupan pribadi setiap individu. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri jika dalam realita kehidupan sosial perempuan, ditemukan fenomena yang mengantarkan perempuan pada penerimaan komentar dari masyarakat tentang keadaan dirinya.
Era milenial adalah era ketika pengangkatan hak-hak wanita dan penghapusan kekerasan pada wanita gencar disuarakan. Persamaan dan keadilan adalah tembok utama yang dibangun untuk melindungi perempuan. Namun, dalam realitas masih tersisa fenomena kekerasan pada perempuan dalam kegiatan keseharian baik disadari maupun tidak. Fenomena body shaming kerap dialami mayoritas perempuan dalam kegiatan sosial mereka sehari-hari. Body shaming menurut kamus Oxford adalah suatu tindakan atau praktik menghinakan seseorang dengan membuat komentar mengejek atau mengkritik bentuk atau ukuran tubuh.[3] Tindakan body shaming dikategorikan sebagai bullying secara verbal. Komentar-komentar pedas tersebut sering dialami oleh perempuan seiring perkembangan tubuhnya ketika beranjak dewasa karena pada masa pubertas, perempuan akan mengalami perubahan bentuk tubuh sebab peningkatan hormon kewanitaannya. Beberapa objek yang menjadi objek komentar seseorang terhadap perempuan diantaranya tentang berat badan, tinggi badan, warna kulit, dan bentuk salah satu anggota tubuh, dll. Komentar tersebut muncul disebabkan adanya standar ideal pada perempuan yang dianut dalam masyarakat.
Standar ideal pada perempuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat merupakan isu feminisme yang berkembang seiring dengan perubahan zaman berupa pergeseran dalam teori. Michele Barrett menyebut pergeseran itu sebagai pembalikan budaya (Cultural turn) dalam teori feminis, yakni sebuah perubahan penekanan dari benda-benda beralih ke kata-kata. Jika sebelumnya teori feminisme disibukkan oleh hal ihwal benda-benda seperti pekerjaan rumah tangga, ketidaksetaraan di pasar kerja, atau kekerasan oleh laki-laki. Kini, teori lebih menitikberatkan perhatiannya pada kata-kata dengan isu-isu representasi dan subjektivitas. [4] Sehingga isu kekerasan secara verbal perlu mendapat perhatian lebih dalam isu feminisme.
Perkembangan dunia teknologi pada media massa dan media sosial dengan munculnya iklan-iklan kecantikan dan fashion yang menggambarkan perempuan-perempuan cantik dengan bentuk tubuh dan ukurannya, menciptakan stigma standar ideal tubuh dalam perempuan. Sistem kapitalis adalah aktor utama dalam penekanan tubuh ideal melalui produk kecantikan. Bentuk tubuh yang ditampilkan inilah yang sebagian besar menjadi patokan masyarakat dalam memandang perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan terjebak pada citra tubuh yang telah ditentukan oleh media dan masyarakat sosial sendiri. Sehingga ketika perempuan memiliki bentuk tubuh berbeda dengan citra tubuh ideal, maka akan menimbulkan komentar-komentar yang secara langsung maupun tidak langsung kepada perempuan sehingga dapat mempengaruhi baik secara fisik maupun psikis perempuan. Dalam hal ini berdasarkan pendapat Blumer dengan teori interaksionisme simbolik, segala macam perlakuan orang lain akan menimbulkan interpretasi makna pada individu. Begitu pula ketika individu mendapatkan kritik tentang citra tubuhnya, ia akan menginterpretasikan komentar ataupun kritik tersebut pada dirinya.
Fenomena Body shaming akan menimbulkan respon yang mempengaruhi kehidupan perempuan. Jika diteliti maka akan menimbulkan berbagai respon yang berbeda sesuai gejolak hati yang dirasakan oleh perempuan. Hal ini tentunya akan mempengaruh psikis perempuan. Harter (1989) melalui penelitiannya menyatakan bahwa penampilan fisik secara konsisten berkorelasi tinggi dengan rasa percaya diri secara umum, yang kemudian diikuti oleh penerimaan sosial teman sebayanya.[5] Respon ini juga pada kejadian selanjutnya akan mengantarkan perempuan pada tindakan yang mempengaruhi kehidupannya.
ISI DAN PEMBAHASAN
Penelitian tentang fenomena body shaming ini mengambil sampel perempuan yang memiliki rentang usia antara 19-22 tahun yang berstatus mahasiswa. Metode pengumpulan data yang digunakan berupa metode kuisioner dan wawancara. Melalui metode kuisioner diperoleh sampel sebanyak 20 perempuan dan 5 sampel diperoleh memalui metode wawancara. Semua perempuan dalam sampel mengatakan pernah mengalami fenomena body shaming dalam kesehariannya bahkan sebanyak 6 orang melalui metode kuisioner dan 2 orang melalui metode wawancara mengatakan sering mengalami body shaming dalam keseharinnya. Objek body shaming pun beragam seperti tentang berat badan, warna kulit, tinggi badan, dan bentuk pipi. Adapun pelaku body shaming sendiri merupakan orang-orang terdekat perempuan sendiri seperti orang tua, saudara, teman, dan orang-orang disekitar lingkungannya. Namun ada pula pelaku body shaming berasal dari orang-orang tak dikenal yang secara spontan melakukan body shaming dihadapan publik.
Body shaming dapat dikatakan sebagai bentuk bullying secara verbal yang sangat mudah ditemukan bahkan sebagian orang cenderung tidak menyadari adanya fenomena body shaming dalam keseharianya. Hal ini disebabkan karena fenomena body shaming sendiri telah merajalela dalam masyarakat bahkan menjadi hal yang biasa. Sebab lelucon menjadi alasan yang paling terlihat dalam fenomena body shaming pada perempuan. Namun manusia menurut teori interaksionisme simbolik versi Blumer memiliki khas bahwa manusia saling menerjemahkan, mendefenisikan tindakannya, bukan hanya reaksi dari tindakan seseorang terhadap orang lain. Tanggapan seseorang, tidak dibuat secara langsung atas tindakan itu, tetapi didasarkan atas "makna" yang diberikan. Dalam artian bahwa dalam proses komunikasi individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberi makna dan memberi tindakan dalam konteks sosial. [6]
Lelucon yang dilontarkan seseorang terhadap perempuan dengan mengangkat komentar tentang bentuk tubuh perempuan tersebut menimbulkan respon berbeda pada diri perempuan sendiri. Sebagian memberikan respon positif dengan menerima dan acuh terhadap body shaming tersebut. Sedangkan mayoritas responden memberikan respon negatif dengan sikap terkejut, marah, kesal, sakit hati, risih bahkan frustasi. Respon ini merupakan hasil dari pemaknaan perempuan terhadap lelucon tersebut. Beberapa perempuan memaknai lelucon tersebut sebagai bentuk penghinaan, bentuk ejekan, dan merendahkan diri. Namun hanya 6 responden mengatakan bahwa body shaming adalah bentuk perhatian orang-orang dilingkungannya terhadap dirinya. Sehingga mereka dapat menerima body shaming tersebut terhadap dirinya. Data tersebut menunjukan bahwa dampak negatif dari body shaming lebih dominan daripada dampak positifnya.
Perempuan selaku responden dalam penelitian ini pada tahap selanjutnya akan mengalami gejolak dalam dirinya. Mereka merasa tertekan, tidak percaya diri, frustasi bahkan membenci dirinya. Perempuan merasakan psikisnya mulai terganggu dan mulai mencari cara untuk menjawab bagaiman mengatasi fenomena body shaming yang menimpa dirinya. Selanjutnya responden memakasakan tubuhnya melakukan hal tak biasa untuk menghindari body shaming terulang kembali pada dirinya. Responden mulai berusaha merubah dirinya untuk mendapatkan tubuh ideal yang telah diobjektifikasikan oleh masyarakat dan lingkungannya.
Tubuh adalah simbol sebagaimana dikatakan oleh Mary Douglas. Mary membagi tubuh menjadi dua, yaitu the self (individual body) dan the society (the body politics). Pengalaman fisik dari tubuh selalu dimodifikasi oleh kategori-kategori sosial yang sudah diketahui yang terdiri dari pandangan tertentu dari masyarakat. Dari pendapat ini terdapat tubuh yang diperuntukkan bagi publik, dan tubuh dibentuk berdasarkan kategori yang telah ada dan nantinya akan mendapatkan pandangan atau penilaian dari masyarakat. [7] Penilaian masyarakat mengantarkan perempuan merubah tubuhnya menjadi citra tubuh yang diidealkan dalam lingkungannya.
Kemudian, fenomena lainnya adalah responden yang berbadan gemuk mulai melakukan diet ketat membatasi tubuhnya mengkonsumsi makanan yang memiliki kalori tinggi. Hal tersebut karena tubuh ideal menurut lingkungannya adalah berbadan kurus, langsing, dan berkulit cerah. Pemaksaan perempuan terhadap tubuhnya menimbulkan tekanan yang dapat menciptakan kecenderungan berbahaya terhadap gejala eating disorder. Disebabkan karena perempuan lebih mementingkan good look (penampilan menarik) dibanding good works (pekerjaan baik) karena good look dipandang sebagai kehormatan moral baginya. [8] dari Fenomena tersebut dapat dilihat bahwa, perempuan akan menyibukkan dirinya terhadap penampilan dan meningkatkan budaya konsumtif terhadap produk kecantikan. Perempuan menjadi objek kapitalis dalam pemasaran produk kecantikan. Dikarenakan perempuan yang menjadi korban body shaming terobsesi dalam penampilan menarik yang dibjektifikasikan masyarakat terhadap dirinya.
Perempuan berbadan kurus dalam kehidupannya tidak menjamin ia terbebas dari fenomena body shaming. Beberapa responden berbadan kurus mengatakan body shaming sangat sering didapatkan karena tubuhnya terlalu kurus tidak sepadan dengan tinggi badan. Dikatakan bahwa perempuan berbadan kurus tidak mencerminkan keindahan karena tidak mencerminkan tubuh seksi. Komentar pedas teman dan lingkungannya mengantarkan perempuan berbadan kurus merubah pola makan dengan mengkonsumsi makanan yang berlemak untuk mendapatkan tubuh yang berisi. Namun usaha mereka nihil dimana tubuh mereka tidak mengalami peningkatan. Sehingga pada proses selanjutnya perempuan berbadan kurus mencoba mengkonsumsi obat penggemuk badan. Obat penggemuk badan banyak tersebar dipasaran dengan berbagai macam bahan yang belum bisa dipastikan kemanannya dikonsumsi oleh perempuan. Mereka berada pada tahap frustasi dimana usaha mereka tidak membuahkan hasil yang menyebabkan mereka lebih cenderung tidak percaya diri.
Perempuan-perempuan Indonesia adalah perempuan yang hidup pada iklim daerah tropis dengan ciri khas kulit eksotis. Kulit perempuan Indonesia lebih cenderung berwarna sawo matang. Beberapa responden mengatakan bahwa kulit wajah mereka pada awalnya berwarna sawo matang. Aktivitas yang padat dengan paparan sinar matahari, menyebabkan kulit mereka bertambah gelap. Hal ini tentu mendapat perhatian dari orang-orang disekitar mereka yang selalu berkomentar tentang warna kulit mereka. Mereka cenderung tidak percya diri dengan warna kulit mereka dan mulai mencoba produk-produk estetika yang menawarkan kulit putih bersih dan cerah. Bahan utama dalam produk-produk terebut tentu tidak lepas dari bahan kimia.
Produk estetika kecantikan kulit menjadi pasar yang sangat menjanjikan pada era milenial saat ini. Setiap daerah perkotaan berdiri rumah kecantikan yang menawarkan berbagai produk dan treathment perawatan tubuh. Perempuan adalah objek utama dalam produk kecantikan. Karena perempuan cenderung menyukai keindahan, terutama keindahan tubuh. Setiap produk kecantikan menampilkan iklan dengan perempuan tinggi, putih dan langsing sebagai model untuk mencerminkan perempuan ideal. Hal ini adalah gaya pemasaran kapitalis global saat ini. Iklan yang bersifat persuasif digunakan untuk menarik pelanggan dengan menampilkan perempuan-perempuan yang cantik dan ideal menurut mereka untuk mempengaruhi masyarakat maupun perempuan sendiri untuk terjebak pada citra tubuh ideal kaum kapitalis. Perempuan adalah korban sesungguhnya dalam citra tubuh ideal.
Perempuan mendapat tekanan bertubi-tubi dalam fenomena body shaming ini. Psikis perempuan ditempa dengan komentar pedas yang menyakitkan dan tubuh perempuan dipaksa untuk menjadi cantik dengan standar ideal yang telah diobjektfikasikan. Perempuan tidak dapat menikmati tubuhnya seperti yang dia inginkan ketika tubuh gendutnya harus diberi batasan asupan untuk mendapatkan citra tubuh ideal. Kulit khas perempuan Indonesia perlahan dipoles untuk mendapatkan kulit cerah putih yang menjadi idaman masyarakat dan perempuan sendiri. Perempuan cenderung tidak percaya diri dengan bentuk dan warna tubuhnya dengan ejekan bahkan penghinaan teman, keluarga maupun orang lain yang dilontrakan terhadap dirinya dihadapan dirinya maupun dihadapan publik.
Feminisme adalah tempat bernaung para perempuan untuk menyuarakan hak dan menghapus segala kekerasan dan penindasan terhadap dirinya. Namun, dalam aliran feminisme marxisme penindasan kaum perempuan berakar pada relasi sosial kapitalis. [9] Penciptaan citra tubuh dalam iklan merupakan proyek kapitalis dalam perdagangan global. Perempuan adalah objek yang sangat disukai sistem kapitalis untuk mengembangkan ekonomi kapitalisme. Sehingga untuk mencapai tujuan kapitalisme global, citra perempuan yang diperankan dalam iklan-iklan adalah citra tubuh ideal untuk mencerminkan sosok perempuan. Citra tubuh yang ditampilkan memberikan isyarat bahwa perempuan adalah penyuka keindahan dan kecantikan saja. Perempuan jarang ditampilkan dengan citra perempuan pekerja keras, percaya diri, aktif dan mandiri.
Citra tubuh adalah kepercayaan perempuan terhadap tubuhnya. Alat utama dalam pembebasan perempuan dari citra tubuh yang diobjektifikasikan terhadap dirinya sebenarnya ada pada perempuan itu sendiri. Perempuan perlu mencari ulang identitas dirinya untuk mendapatkan kebahagiaan kepemilikan tubuhnya. Perempuan perlu mencintai dirinya dengan membanjiri diri mereka sendiri dengan kasih sayang, seperti yang mereka berikan kepada orang-orang yang mereka sayangi bahkan yang tidak begitu mereka sayangi. Salah satu metode yag bisa digunakan adalah teknik pikiran tubuh untuk membuka diri sendiri dan orang lain; untuk membiarkan batin kita menemukan kekuatan tersembunyi dan untuk mengenali kebaikan dan nilai berharga perempuan, menimba kekuatan pikiran dan hati yang paling dalam.[10] Dengan mencintai dirinya perempuan akan memiliki pertahanan kokoh dalam memperoleh kebahagiaan dalam kehidupannya.
PENUTUP
Proses interaksi sosial mengantarkan wanita mengalami gejala-gejala dalam kehidupannya. Proses tersebut seharusnya menciptakan kesejahteraan dalam bermasyarakat ternyata terkadang mengiring perempuan merasakan kekerasan dalam dirinya terkhusus kekerasan verbal berupa komentar terhadap tubuh atau body shaming. Perempuan dalam berbagai aspek kehidupan tidak jarang menjadi objek pembicaraan.
Dalam berkomunikasi timbullah bahasa. Bahasa adalah bentuk dari seni. Seseorang dapat menikmati keindahan bahasa atau sama sekali tidak terkesan oleh bahasa tersebut. Body shaming adalah bentuk komunikasi verbal yang dapat dikatakan menggunakan bahasa yang menyakitkan walaupun dilontarkan dalam maksud candaan. Respon seseorang terhadap komunikasi tentulah sesuai pemaknaan dirinya terhadap bahasa komunikasi tersebut. Pemaknaan yang dipercaya perempuan adalah bahasa body shaming sangat mengganggu dirinya dan menyakitkan hati perempuan tersebut.
Kesakitan yang dirasakan, menimbulkan persepsi oleh perempuan untuk merubah dirinya menjadi seperti yang diobjektifikasikan kepadanya. Perubahan ini didasarkan pada hilangnya kepercyaan diri perempuan terhadap keunikan tubuhnya. Kehidupan perempuan tahap selanjutnya akan dirasakan kesakitan bertubi-tubi melalui psikis dan fisiknya karena tekanan dan pemaksaan pada tubuhya untuk menonjolkan citra tubuh semu dalam dirinya. Citra tubuh ideal sesungguhnya hanya permainan kapitalis untuk melambungkan ekonomi globalnya dengan menarik konsumen melalui citra tubuh ideal tersebut. Perempuan era milenial seharusnya tidak lagi bekerja keras untuk menyiksa tubuhnya untuk memiliki keindahan semu menurut masyarakat. Keindahan sesungguhnya adalah keindahan pribadi dan intelektual perempuan dalam menjalankan perannya sebagai manusia sosial.
Kesadaran masyarkat akan kebahagiaan perempuan juga menjadi faktor utama pembebasan perempuan terhadap kekerasan body shaming. Karena perempuan perlu dicintai karena pribadi mereka sendiri, bukan karena mereka sama dengan kelompok sosialnya. Dalam teori personality menurut Adler, manusia mempunyai kemampuan memilih, memerintah, dan mempengaruhi kehidupan diri sendiri. [11] Satu-satunya cara agar perempuan bisa sepenuhnya menjadi diri sendri adalah dengan memberi diri mereka kelembutan dan perlindungan. Sehingga untuk memperoleh kepercayaan diri yang tinggi bagi perempuan adalah mendukung dan menghargai perempuan bukan memberikan kritikan bentuk tubuh di hadapan publik. Masyarakat tidak seharusnya membrikan penilaian dan kritikan terhadap perempuan melalui body shaming. Masyarakat harus berhenti menjadi hakim terhadap kehidupan perempuan untuk mendorong perempuan mencintai dirinya sendiri.
Kecantikan adalah kebahagiaan. Perempuan berhak bahagia untuk memancarkan kecantikannya. Perempuan pemilik tubuh dan berhak bahagia atas kepemilikan tubuh tersebut. Definisi kecantikan tidak dapat selalu dikaitkan dengan kecantikan yang tertampak, karena kecantikan yang sesungguhnya ketika perempuan memberikan kontribusi kepada masyarakat sosial melalui intelektual dan kemampuannya dalam menjalankan peran dalam ranah privat maupun publik. Sehingga perempuan untuk bisa menjadi cantik tidak hanya melalui bentuk tubuh namun perempuan juga bisa cantik dengan kekuatan dan kepercayaan diri dalam dirinya.
[1] Kartini Kartono, Psikologi Wanita 1 Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, (Bandung: Mandar Maju, 2006), h. 9s
[2] Dadi Ahmadi, Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar, Volume 9 No. 2 Desember 2008, h. 310
[3] https://en.oxforddictionaries.com/definition/body_shaming, diakses pada tanggal 28 Januari 2018
[4] Stevi Jackson, Teori Sosial Feminis, dalam buku Teori-Teori Feminis Kontemporer,(Yogyakarta: Jalasutra, 2009) h. 21-22
[5] Greytha Vialini, Pemaknaan Tubuh Ideal (Studi Deskriptif Tentang Pemaknaan tubuh Ideal bagi Komunitas XL'SO), Program Studi Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, 2013/2014, h. 3
[6] Dadi Ahmadi, Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar, Volume 9 No. 2 Desember 2008, h. 310
[7] Dwi Ratna Aprilia, Iklan dan Budaya Populer: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan (Analisis Semiotika Iklan Cetak), program studi Ilmu Komunikasi FISIP UAJY, 2002, volume 1 No 2 Juni 2002, h. 51
[8] Fiona Carsen, Feminisme dan Tubuh, dalam buku Feminisme dan Postfeminisme, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 150
[9] Stevi Jackson, Teori Sosial Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009) h. 23
[10] Alice D. Domar dan Henry Dreher, Wanita Belajarlah Mencintai Dirimu, (Bandung: Qanita, 2002), h. 90
[11] Ratna W. Darmaatmaja, Psychology Wanita dalam Pengembangan, (Jakarta: Pelangi, 1985), h. 13