DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
BAB II II. Anatomi Genitalia Interna……………...………………………2 II.1 Uterus …………………………...………………………………2 II.3 Tuba Falopi ………………………………………………...…..5 II.4 Ovarium……………………………………………………….5
BAB III III.1 Definisi Endometriosis......……………………………………7 III.2 Lokasi Endometriosis……………………………………….. 7 III.3 Etiopatofisiologi …………………………………………….. 8 III.4 Klasifikasi Endometriosis …………………………………. 12 III.5 Patologi ………………………………………………………14 III.6 Gambaran Klinik ……………………………………………14 III.7 Diagnosis ……………………………………………………. 16
BAB IV KESIMPULAN ……………………………………………. 27 DAFTAR PISATAKA ………………………………………28 1
BAB I PENDAHULUAN Endometriosis pertama kali ditemukan di pertengahan abad ke 19.(1) Hingga sekarang insiden endometriosis sulit untuk dihitung, sebab sebagian besar wanita dengan penyakit ini seringkali tanpa gejala, dan modalitas pencitraan masih memiliki sensitivitas rendah untuk diagnosis.(6) Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka kejadian yang meningkat. 5-15 % dapat ditemukan di antara semua operasi pelvik. Yang menarik perhatian ialah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang tidak kawin pada umur muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara siklis yang terus menerus tanpa diselingi kehamilan, memegang peranan terjadinya endometriosis.(4) Wanita dengan endometriosis tidak menunjukkan gejala, subfertile, atau menderita berbagai tingkat nyeri panggul. Peneliti telah melaporkan kejadian tahunan pembedahan endometriosis didiagnosa menjadi 1,6 kasus per 1.000 perempuan berusia antara 15 dan 49 tahun. Pada wanita tanpa gejala, prevalensi endometriosis berkisar 2 - 22 %, namun karena kaitannya dengan infertilitas dan nyeri pelvis, endometriosis terutama lebih menonjol pada sub-populasi perempuan dengan keluhan ini. Pada wanita subur, prevalensi telah dilaporkan antara 20 - 50 %, dan pada mereka dengan nyeri panggul 40 - 50 %.(1)
2
BAB II ANATOMI GENITALIA INTERNA
II. 1
Uterus(2) Uterus terletak dalam rongga panggul di antara kandung kemih dan rektum. Hampir
seluruh dinding posterior uterus ditutupi oleh serosa, yaitu, peritoneum visceral. Bagian bawah peritoneum ini membentuk batas anterior dari kantung-recto-uterus cul de sac atau kavum Douglas. Hanya dinding depan bagian atas rahim yang tertutup. Peritoneum di daerah ini terlihat lebih maju ke kandung kemih untuk membentuk kantong vesicouterine. Bagian bawah dari dinding rahim anterior bersatu ke dinding posterior kandung kemih oleh lapisan longgar jaringan ikat. Ini adalah ruang vesicouterine. Saat melahirkan sesar, peritoneum dari kantong vesicouterine di insisi dan dapat masuk ke dalam ruang vesicouterine. Rahim digambarkan berbentuk seperti buah pir. Terdiri dari dua bagian utama, bagian atas berbentuk segitiga atau korpus, dan yang lebih rendah bagian silinder leher rahim, yang terhubung ke dalam vagina. Saluran tuba, juga disebut saluran telur, muncul dari kornu uterus pada persimpangan margin superior dan lateral. Fundus adalah segmen atas cembung antara titik penyisipan saluran tuba.
3
Sebagian besar dari tubuh rahim, kecuali leher rahim, terdiri dari otot. Permukaan bagian dalam dinding anterior dan posterior terletak hampir di kontak, dan rongga antara dinding membentuk celah. Uterus dewasa pada wanita nulipara panjangnya 6 - 8 cm dibandingkan dengan pada wanita multipara 9 - 10 cm. Pada wanita yang tidak hamil, beratnya rata-rata 50 sampai 70 g, sedangkan pada wanita hamil itu rata-rata 80 g atau lebih (Langlois, 1970). Pada wanita nulipara, fundus dan serviks memiliki panjang yang sama, tetapi pada wanita multipara, leher rahim hanya sedikit lebih panjang sepertiga dari total panjang. Dinding rahim sangat tebal dan terdiri dari 3 lapisan: serosa, otot, dan mukosa. Lapisan serosa (perimetrium) hanya meliputi peritoneal. Lapisan ini tipis dan melekat erat diatas fundus dan sebagian besar korpus, kemudian menebal di bagian posterior dan menjadi terpisah dari otot oleh parametrium tersebut. Lapisan otot (miometrium) sangat tebal dan berlanjut ke vagina. Lapisan ini juga meluas ke ovarium dan ke dalam ligamen kardinal di leher rahim, dan ke ligamen uterosakral. Dua lapisan utama dari lapisan otot dapat dibedakan: (1) lapisan luar, yang lemah dan terdiri dari serat longitudinal, dan (2) lapisan dalam yang lebih kuat, serat-serat yang saling terjalin dan berjalan dalam berbagai arah. Lapisan mukosa (endometrium) yang lembut dan kenyal, yang terdiri dari jaringan yang menyerupai jaringan ikat embrio. Permukaan ini terdiri dari satu lapisan epitel bersilia kolumnar. Jaringan ini agak rumit dan rapuh dan mengandung banyak kelenjar tubular yang terbuka ke dalam rongga rahim. 4
Kehamilan merangsang pertumbuhan uterus yang luar biasa karena hipertrofi dari serat otot. Berat uterine meningkat dari 70 g menjadi sekitar 1100 g pada panjang. Total volume rata-rata sekitar 5 L.
II. 2
Tuba Falopii Tuba berfungsi untuk menyalurkan ovum ke rahim. Setiap tabung memiliki panjang
7-14 cm dan dapat dibagi menjadi 3 bagian: istmus, ampula, dan infundibulum. Istmus ini adalah bagian sempit dan langsung berada disebelah rahim. Memiliki program intramural agak panjang, dan membuka ke dalam rahim, ostium rahim, adalah sekitar 1 mm. Setelah ampula, bagian yang lebih luas dan lebih berliku-liku, berakhir dengan dilatasi saluran yaitu infundibulum. Tepi infundibulum ialah fimbriae yang melekat pada ovarium. Berbentuk corong dan langsung mengarah ke rongga peritoneal, meskipun mungkin aka melekat erat pada permukaan ovarium selama ovulasi.
II. 3
Ovarium Ovarium bervariasi dalam ukuran baik antara ovarium yang satu dengan lainnya,
maupun antara perempuan. Pada saat memasuki usia subur, ukurannya panjang 2,5 - 5 cm, lebar 1,5 - 3 cm, dan tebal 0,6 - 1,5 cm. Posisinya juga bervariasi, tetapi biasanya terletak pada bagian atas rongga panggul. Fossa ovarium Waldeyeri berada diantara arteri iliaka eksterna dan interna. Ovarium ini melekat pada ligamentum pada mesovarium tersebut. Ligamentum uteroovarium memanjang dari bagian lateral dan posterior dari rahim, tepat di bawah penyisipan tuba, dengan kutub uterus ovarium. Biasanya, ini adalah beberapa sentimeter panjang dan 3 sampai 4 mm. Hal ini ditutupi oleh peritoneum dan terdiri dari serat otot dan jaringan ikat. Ligamentum infundibulopelvic atau suspensori ovarium membentang dari tuba ke dinding perut dan didalamnya berjalan pembuluh darah ovarium dan saraf. Ovarium terdiri dari korteks dan medula. Pada wanita muda, bagian terluar dari korteks halus, memiliki permukaan putih kusam, dan disebut tunika albuginea. Pada permukaannya, ada satu lapisan epitel kubus, epitel germina Waldeyeri. Korteks mengandung oosit dan folikel berkembang. Medula adalah bagian tengah, yang terdiri dari jaringan ikat longgar. Ada sejumlah besar arteri dan vena di medula dan sejumlah kecil serat otot polos. Ovarium dipasok dengan kedua saraf simpatis dan parasimpatis. Saraf simpatis berasal terutama dari pleksus ovarium yang berjalan bersama dengan arteri ovarium. Lainnya berasal dari pleksus yang mengelilingi ovarium cabang dari arteri rahim. Ovarium ini kaya 5
disertakan dengan serat saraf non myelin, yang sebagian besar berjalan bersama pembuluh darah.
6
BAB III ENDOMETRIOSIS
III. 1 Definisi Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Kelainan ini merupakan kelainan jinak yang paling sering ditemukan dalam bidang ginekologi dimana kelenjar dan stroma endometrium berada di luar lokasi normal. Endometriosis adalah penyakit yang terkait dengan hormonal, karena itu penyakit ini sering ditemukan pada wanita usia reproduksi. Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar – kelenjar dan
stroma, terdapat di dalam miometrium maupun di luar uterus. Jaringan endometrium yang terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis dan yang terdapat di luar uterus dinamakan endometriosis. (1,6)
III. 2 Lokasi Endometriosis Endometriosis mungkin berkembang di dalam panggul dan pada permukaan peritoneal extrapelvic. Umumnya, endometriosis ditemukan di daerah pelvis. Dapat juga ditemukan di daerah peritoneum, ovarium, anterior dan posterior cul-de-sac, ligamen uterosakral, septum ureter, dan rektovaginal. Walaupun jarang, bisa juga ditemukan di kandung kemih, perikardium, bekas luka bedah, dan pleura. Satu tinjauan patologis mengungkapkan bahwa endometriosis telah diidentifikasi pada semua organ kecuali limpa (Markham, 1989). Sebagai contoh, wanita dengan endometriosis saluran kemih dapat menjelaskan gejala iritasi dan hematuria; jika terdapat di rectosigmoid dapat terjadi perdarahan dubur secara siklik, dan lesi pada pleura telah dihubungkan dengan pneumotoraks menstruasi atau hemoptysis.(1)
7
Berek’s and Novak’s Gynecologi
III. 3 Etiopatofisiologi Ada berbagai macam teori yang dikemukakan sebagai penyebab atau etiologi timbulnya endometriosis. Antara lain : 1.
Teori Retrograde menstruation (1,2,3) Teori endometriosis paling awal dan paling banyak penganutnya ialah teori menstrual retrograde yang diusulkan oleh Sampson pada pertengahan tahun 1920. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa endometriosis disebabkan oleh implantasi sel endometrium oleh regurgitasi darah haid (menstruasi retrograde) melalui tuba yang selanjutnya akan menyebar ke dalam rongga peritoneum. Temuan klinis dan data eksperimen mendukung hipotesis Sampson ini. Teori ini telah mendapat dukungan dari Halme (1984) dengan ditemukannya darah dan sel atau jaringan endometrium yang masih hidup di pelvis perempuan. Sel – sel endometrium yang masih hidup ini yang kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.
8
Menstruasi retrograde terjadi pada 70% - 90% dari perempuan dan mungkin lebih umum pada wanita dengan endometriosis dibanding mereka yang tanpa penyakit. Kehadiran sel endometrium dicairan peritoneal, menunjukkan menstruasi retrograd, telah dilaporkan pada 59% - 79% dari perempuan selama menstruasi. Wanita dengan interval pendek antara haid dan lebih lama mens adalah lebih mungkin untuk memiliki menstruasi retrograde dan berada pada risiko tinggi untuk endometriosis.
2.
Teori Metaplasia selom (2,3) Teori lain dikemukakan oleh Robert Meyer, yang disebut teori metaplasia selom. Transformasi (metaplasia) epitel selom ke dalam jaringan endometrium diusulkan sebagai salah satu mekanisme terbentuknya endometriosis. Tetapi, teori ini belum didukung oleh data baik klinis atau eksperimen yang kuat. Sebuah penelitian menyatakan, ovarium dan cikal bakal endometrium yaitu saluran mullerian, keduanya berasal dari epitel selom. Karena rangsangan pada sel epitel tersebut maka akan terjadi transformasi metaplastik dan terjadi perkembangan endometriosis ovarium. Telah dilakukan sebuah studi evaluasi yang melibatkan induksi genetik endometriosis pada tikus menunjukkan bahwa lesi endometriosis ovarium mungkin timbul secara langsung dari permukaan epitel ovarium melalui proses metaplastik diferensiasi yang disebabkan oleh aktivasi dari alel K-ras onkogenik.
3.
Teori induksi (2,3) Teori induksi ini, pada prinsipnya merupakan perpanjangan dari teori metaplasia selom. Teori ini mengusulkan bahwa beberapa faktor hormon atau biologis dapat menginduksi diferensiasi sel-sel terdiferensiasi menjadi jaringan endometriosis. Zat-zat ini mungkin eksogen atau dikeluarkan langsung dari endometrium. Dalam studi in vitro telah menunjukkan potensi epitel permukaan ovarium, dalam menanggapi estrogen, untuk mengalami transformasi yang selanjutnya membentuk lesi endometriotik. Teori ini telah didukung oleh percobaan pada kelinci tetapi belum dibuktikan pada wanita dan primata.
4.
Teori penyebaran limfogen dan hematogen(2,3) Bukti juga mendukung konsep endometriosis yang berasal dari penyebaran limfatik atau vaskular menyimpang dari jaringan endometrium. Temuan endometriosis 9
di lokasi yang tidak biasa, seperti perineum atau pangkal paha, memperkuat teori ini. Wilayah retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik berlimpah. Selain itu, kecenderungan adenokarsinoma endometrium untuk menyebarkan melalui jalur limfatik menunjukkan kemudahan di mana endometrium dapat diangkut oleh rute ini.
Faktor resiko timbulnya endometriosis antara lain : 1. Faktor genetik (1,3,4) Ada bukti dari pola warisan keluarga untuk endometriosis. Meskipun tidak ada pola Mendelian yang jelas pada kasus ini, oleh para ahli telah disimpulkan bahwa ini adalah pola / warisan poligenik multifaktorial (1,3) Seorang wanita yang memiliki saudara dengan penyakit ini, mengalami peningkatan resiko sebesar enam kali lipat, dan putri seorang wanita dengan endometriosis memiliki risiko sepuluh kali lipat dari endometriosis dibandingkan dengan populasi umum.(4) Penelitian lebih lanjut telah mengungkapkan bahwa wanita yang saudara perempuannya menderita endometriosis, lebih cenderung memiliki endometriosis berat (61%) daripada wanita yang saudaranya tidak menderita penyakit ini (24%). Selain itu, Stefansson dan rekan-rekannya (2002), dalam analisis mereka dari studi berbasis populasi besar di Islandia, menunjukkan koefisien kekerabatan yang lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan wanita yang bertindak sebagai kontrol. Dalam studi ini, rasio resiko adalah 5.2 % untuk saudari kandung dan 1,56% untuk sepupu. Studi juga menunjukkan keterkaitan endometriosis pada kembar monozigotik. (1) 2. Mutasi genetik(1,3) Tingkat resiko dalam keluarga seperti yang telah dicatat di atas menunjukkan warisan gen poligenik. Dua pendekatan untuk mengidentifikasi gen yang terlibat dengan endometriosis termasuk analisis keterkaitan pasangan kakak-adik dan analisis highthroughput dalam suatu pola ekspresi gen menggunakan teknologi microarray. Penelitian terbesar sampai saat ini, memeriksa lebih dari 1.000 keluarga pasangan kakak beradik yang terkena, telah mengidentifikasi pada kromosom 10q26 yang menunjukkan keterkaitan yang signifikan dalam pengaruhnya dalam hubungan kakak-beradik dengan endometriosis. Penelitian ini juga mengungkapkan hubungan yang lebih kecil pada kromosom 20p13. Dua kandidat gen di dalam atau dekat dengan lokus telah diidentifikasi. Satu gen tersebut EMX2, faktor transkripsi yang diperlukan untuk 10
membentuk saluran reproduksi. Telah terbukti bahwa gen ini berada di dalam endometrium wanita dengan endometriosis. Gen kedua adalah PTEN, gen penekan tumor terlibat dalam transformasi ganas endometriosis ovarium (Bischoff, 2000). Studi saat ini dilakukan untuk lebih menentukan peran gen ini pada endometriosis. Teknologi microarray telah digunakan untuk menganalisis perbedaan dalam ekspresi gen pada endometrium eutopic dari wanita tanpa endometriosis dibandingkan dengan wanita endometriosis. Para peneliti menemukan bahwa beberapa gen diferensial diatur dalam endometrium eutopic pada wanita dengan endometriosis. Ini termasuk orang-orang yang mengkode interleukin 15, glycodelin, Dickkopf-1, E semaphorin, aromatase, reseptor progesteron, dan berbagai faktor angiogenik. Meskipun beberapa dari gen ini sebelumnya telah ditunjukkan untuk memainkan peran dalam endometriosis, yang lain belum terlibat sampai saat ini, dan peran mereka masih harus dijelaskan. Beberapa gen lainnya telah diidentifikasi, melalui mutasi genetik, polimorfisme, atau ekspresi gen diferensial, untuk dihubungkan dengan endometriosis. Meskipun penyelidikan telah menunjukkan polimorfisme gen ini terjadi dengan frekuensi yang lebih besar pada wanita menderita endometriosis, peran mereka dalam hal menyebabkan penyakit belum ditentukan.(1) 3. Defek anatomi(1) Obstruksi saluran reproduksi dapat mempengaruhi perkembangan endometriosis, kemungkinan melalui eksaserbasi menstruasi retrograd. Dengan demikian, endometriosis telah diidentifikasi pada wanita dengan kelainan uterus, selaput dara imperforata, dan septum vagina transversal. Karena itu, laparoskopi diagnostik untuk mengidentifikasi dan mengobati endometriosis disarankan pada saat operasi korektif untuk kelainan anatomis tersebut. Perbaikan cacat anatomi tersebut diperkirakan untuk mengurangi risiko perkembangan endometriosis.
4. Faktor imunologi dan inflamasi Meskipun menstruasi retrograd tampaknya menjadi peristiwa yang umum pada wanita, tetapi tidak semua perempuan yang mengalami menstruasi retrograde menderita endometriosis. Telah dihipotesiskan bahwa penyakit ini dapat berkembang sebagai akibat dari berkurang kekebalan sel – sel endometrium di rongga panggul. Endometriosis dapat disebabkan oleh penurunan sel-sel endometrium dari cairan peritoneum yang dihasilkan dari aktivitas sel pembunuh alami (NK) atau penurunan aktivitas makrofag. Apakah 11
aktivitas sel NK lebih rendah pada pasien yang memiliki endometriosis dibanding mereka yang tanpa endometriosis adalah kontroversial. Beberapa laporan menunjukkan penurunan aktivitas NK sedangkan yang lain telah menemukan tidak ada peningkatan aktivitas NK, bahkan pada wanita dengan penyakit sedang sampai berat. Ada juga variabilitas yang besar dalam aktivitas sel NK antara individu-individu yang normal yang mungkin terkait untuk variabel seperti merokok, penggunaan narkoba, dan olahraga. Sebaliknya, endometriosis juga dapat dianggap sebagai kondisi toleransi imunologi, sebagai lawan endometrium ektopik, yang pada dasarnya adalah jaringan itu sendiri. Hal ini dapat dipertanyakan mengapa sel-sel endometrium layak hidup dalam cairan peritoneal menjadi target bagi sel NK atau makrofag. Selain itu, tidak ada bukti in vitro bahwa makrofag cairan peritoneum sebenarnya serangan dan melakukan fagositosis peritoneal layak cairan endometrium sel. Tidak ada bukti klinis, bagaimanapun, bahwa prevalensi endometriosis meningkat pada pasien imunosupresi.
III. 4 Klasifikasi Endometriosis(1,) Pada tahun 1997, untuk menyamakan antara penemuan klinis dengan penemuan secara pembedahan, maka American Society for Reproductive Medicine (ASRM) merevisi sistem klasifikasi endometriosis. Pembagian ini berdasarkan permukaan, ukuran, dan kedalaman implantasi ovarium dan peritoneum. Dalam sistem ini, endometriosis dibagi menjadi 4 stadium yaitu : stadium I (minimal), stadium II (ringan), stadium III (sedang), dan stadium IV (berat).
12
13
III. 5 Patologi (5) Lokasi yang paling sering ialah pada ovarium, dan biasanya terdapat pada kedua ovarium. Pada ovarium terdapat kista – kista biru kecil sampai kista besar (kadang hingga sebesar tinju) berisi darah tua menyerupai coklat (kista coklat atau endometrioma). Darah tua dapat keluar sedikit – sedikit karena luka pada dinding kista, dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan dinding uterus, sigmoid, dan dinding pelvis. Kista coklat kadang – kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan akut abdomen. Tuba pada endometriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum sakrouterina, pada kavum douglasi, dan pada permukaan uterus bagian belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiruan, juga pada permukaan sigmoid atau rectum. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat – alat di sekitar kavum douglasi. III. 6 Gambaran Klinik(1,3,4,5) Gejala gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah : 1. Nyeri (1) Nyeri panggul kronis adalah gejala paling umum yang terkait dengan endometriosis. Pada wanita yang terkena, keluhan dapat sangat bervariasi, dapat siklik atau kronis (Mathias, 1996). Sekitar 40 - 60 % wanita dengan nyeri panggul kronis ditemukan memiliki endometriosis pada saat laparoskopi. Penyebab nyeri ini tidak jelas, tetapi sitokin pro inflamasi dan prostaglandin dirilis oleh endometriosis ke dalam cairan peritoneal mungkin menjadi salah satu sumber (Giudice, 2004). Selain itu, ada juga bukti yang menunjukkan rasa sakit dari endometriosis berkorelasi dengan kedalaman invasi dan lokasi nyeri dan dapat menunjukkan lokasi lesi. Fokus sakit kronis dapat bervariasi antara wanita yang satu dengan wanita lainnya. Jika septum rektovaginal atau ligamen uterosakral terlibat dengan penyakit, rasa sakit dapat menyebar ke rektum atau punggung bawah, atau nyeri menjalar menuruni kaki.
2. Dismenorhea Umumnya pada wanita dengan endometriosis menderita sakit yang siklis. Biasanya, dismenore terkait endometriosis mendahului mens dari 24 hingga 48 jam dan kurang responsif terhadap obat anti-inflammatory drugs (NSAIDs) dan kontrasepsi oral kombinasi (COCs). Nyeri ini dianggap lebih parah dibandingkan dengan dismenore 14
primer, dan menunjukkan korelasi positif antara keparahan dismenore dan risiko endometriosis. Selain itu, infiltrasi endometriosis yang dalam, yaitu penyakit yang meluas >5 mm di bawah permukaan peritoneal, juga tampaknya memiliki korelasi positif terhadap tingkat keparahan dysmenorrhea. (1) Sebab dari dismenorea ini tidak diketahui, tetapi mungkin ada hubungannya dengan vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid. Nyeri tidak selalu didapatkan pada endometriosis walaupun kelainan sudah luas, sebaliknya kelainan ringan dapat menimbulkan gejala nyeri yang hebat. 3. Dispareunia(1) Dispareunia karena endometriosis paling sering berkaitan dengan septum rektovaginal atau penyakit ligamen uterosakral. Selama coitus, ketegangan pada ligamen uterosakral mungkin menjadi
pemicu nyeri. Meskipun beberapa wanita dengan endometriosis
mungkin menceritakan adanya dispareunia sejak coitarche, dispareunia karena endometriosis tersebut dicurigai jika sakit berkembang setelah bertahun-tahun bebas rasa sakit. 4. Disuria(1,3) Gejala ini jarang dikeluhkan oleh wanita penderita endometriosis. Keluhannya yaitu sakit ketika berkemih, frekuensi kencing siklik, dan tidak dapat menahan untuk berkemih dapat ditemukan pada wanita penyakit ini. Endometriosis bisa dicurigai jika gejala-gejala ini bersamaan dengan kultur urin negative. 5. Dischezia(1,4) Nyeri buang air besar juga jarang dikeluhkan dibanding manifestasi lain dari nyeri panggul dan biasanya berhubungan dengan terjadinya implan endometriotik pada rectosigmoid. Gejala mungkin kronis atau siklik, dan mungkin berhubungan dengan sembelit, diare, atau hematochezia siklik. Defekasi yang sukar dan sakit terutama pada waktu haid, disebabkan oleh karena adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid. Kadang – kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut. 6. Infertilitas(1,3,5) Kejadian endometriosis pada wanita dengan subfertility adalah 20 - 30 %. Selain itu, dari penelitian, meskipun ada variabilitas yang luas, pasien dengan infertilitas 15
tampaknya memiliki insiden lebih besar dari endometriosis dibandingkan kontrol yang subur. Selanjutnya, Matorras dan rekan (2001) mencatat peningkatan prevalensi keparahan endometriosis pada wanita dengan infertilitas. Hal ini mungkin akibat dari adhesi yang disebabkan oleh endometriosis dan mengganggu mekanisme penjemputan dan transportasi oosit normal oleh tuba falopi. Selain penurunan mekanisme ovulasi dan pembuahan, kelainan yang lebih ringan juga tampak terlibat dalam patogenesis infertilitas pada wanita dengan endometriosis. Kelainan tersebut termasuk gangguan fungsi ovarium dan kekebalan tubuh. III. 7 Diagnosis (1) Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi dan imaging. 1. Anamnesis Berdasarkan gejala yang dialami pasien seperti yang tertulis diatas. 2. Pemeriksaan visual Untuk sebagian besar, endometriosis adalah penyakit yang terbatas pada panggul. Dengan demikian, sering tidak ada kelainan pada pemeriksaan visual. Beberapa pengecualian termasuk endometriosis dalam bekas luka episiotomi atau bekas luka bedah, paling sering dalam sayatan operasi seperti pada gambar di bawah ini.
16
3. Pemeriksaan Speculum dan Bimanual Pemeriksaan vagina dan serviks dengan pemeriksaan spekulum sering menunjukkan tanda-tanda endometriosis. Kadang-kadang, tampak lesi kebiruan atau merah yang dapat dilihat pada leher rahim atau fornix posterior vagina. Lesi ini kenyal dan mudah berdarah jika terjadi kontak. Satu studi baru menemukan bahwa pemeriksaan spekulum dapat menampilkan lesi endometriosis pada 14 persen pasien yang didiagnosis dengan endometriosis. Palpasi organ panggul sering menunjukkan kelainan anatomi yang berkaitan dengan endometriosis. Meskipun palpasi organ panggul dapat membantu dalam diagnosis, sensitivitas dan spesifisitas kelembutan panggul dalam mendeteksi endometriosis menampilkan variasi yang berbeda, berkisar antara 36-90 %.
4. Pemeriksaan laboratorium Untuk menyingkirkan penyebab lain dari nyeri panggul, penyelidikan laboratorium sering dilakukan. Awalnya, pemeriksaan darah lengkap, kultur urine, kultur sekret vagina, dan cairan serviks dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi atau infeksi menular seksual yang dapat menyebabkan penyakit radang panggul. 17
Yang meningkat di sini adalah kadar CA-125 sebagai penanda adanya endometriosis. Namun CA-125 memiliki sensitivitas yang tinggi dan spesifisitas yang rendah. CA-125 juga meningkat dalam berbagai keadaan seperti penyakit pelvis lainnya (neoplasma ovarium, leiomioma uteri, dan PID), karena itu spesifisitasnya dalam menegakkan diagnosis endometriosis hanyalah sedikit.
5. Imaging Diagnostic Sonography Pemeriksaan transabdominal dan Transvaginal (TVS) yang lebih sensitive, merupakan pendekatan sonografi yang telah digunakan secara ekstensif dalam diagnosis endometriosis. TVS adalah salah satu andalan dalam mengevaluasi gejala yang berhubungan dengan endometriosis dan akurat dalam mendeteksi endometrioma.
Magnetic Resonance Imaging Magnetic Resonance Imaging telah semakin digunakan sebagai metode untuk diagnosis endometriosis. Tampak gambaran nodul kecil dapat diakui sebagai lesi hyperintense.
18
Endometrioma akan muncul sebagai massa hyperintense. Sebuah cincin hypointense sering terlihat di sekitar endometrioma, yang ditingkatkan setelah pemberian kontras.
6. Diagnostik Laparoskopi Diagnostik laparoskopi adalah metode utama yang digunakan untuk mendiagnosa endometriosis. Organ panggul dan peritoneum pelvis adalah lokasi khas untuk endometriosis. Munculnya lesi oleh laparoskopi bervariasi dan warna mungkin termasuk merah (merah, merah-pink), putih (putih atau kuning-coklat), dan hitam (hitam atau hitam-biru).
19
III. 8
Diagnosis Banding
Gejala-gejala dari endometriosis bersifat non-spesifik dan mungkin memiliki kesamaan dengan penyakit yang lain. Karena endometriosis adalah diagnosis bedah, diagnosis beberapa lainnya dapat dianggap sebelum eksplorasi bedah.
20
21
III. 9
Penanganan(1,3,5,6)
1. Expectant Management(5,6) Pada pasien tanpa gejala, mereka dengan rasa tidak nyaman ringan, atau wanita infertil dengan endometriosis minimal atau ringan, manajemen hamil mungkin sesuai. Meskipun endometriosis umumnya diyakini menjadi penyakit progresif, tidak ada bukti menunjukkan bahwa mengobati pasien tanpa gejala akan mencegah atau memperbaiki timbulnya gejala nanti. Banyak laporan telah menemukan manajemen hamil wanita infertil dengan endometriosis minimal atau ringan dapat berhasil seperti terapi medis atau bedah. Menurut Meigs, kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala – gejala endometriosis akan berkurang, bahkan menghilang pada waktu dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang – sarang endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan 22
sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Selain itu, tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid karena dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul. Pada kehamilan dapat ditemukan reaksi desidual jaringan endometriosis. Apabila kehamilannya berakhir, reaksi desidual menghilang disertai dengan regresi sarang endometriosis dan membaiknya keadaan. Pengaruh baik dari kehamilan inilah yang menjadi dasar pengobatan endometriosis dengan hormone yang dinamakan kehamilan semu (pseudopregnancy).
2. Medikamentosa Penanganan medikamentosa pada endometriosis dapat digunakan untuk terapi simptomatik maupun terapi penyebabnya. Seperti pemberian analgetik untuk mengurangi gejala yang dialami pasien, dan pemberian obat – obatan hormonal. 3. Pembedahan(1,3,5) Pada sebagian besar wanita dengan endometriosis, yang diinginkan adalah menjaga fungsi reproduksi. Oleh karena itu, pendekatan paling tidak invasif, paling murah, dan efektif harus digunakan. Tujuan operasi adalah untuk mengeluarkan semua lesi endometriotik yang terlihat, merilis perlengketan, kista indung telur, endometriosis rektovaginal, dan untuk mengembalikan anatomi normal. Pada wanita dengan keluhan infertilitas yang memiliki penyakit berat atau adhesi atau yang berumur lebih tua, terapi bedah konservatif adalah pilihan. Pembedahan ini berusaha untuk mengeluarkan atau menghancurkan semua jaringan endometriosis, menghapus semua adhesi, dan mengembalikan anatomi panggul pada kondisi terbaik. Pembedahan konservatif dengan pendekatan laparoskopi lebih dianjurkan, karena pasien dapat dirawat dengan jangka waktu yang lebih singkat, morbiditas berkurang, dan mungkin biaya yang dikeluarkan lebih sedikit.
a. Pengangkatan Lesi dan Adhesiolisis.
Metode utama untuk diagnosis endometriosis adalah laparoskopi, sehingga pengobatan bedah endometriosis pada saat diagnosa adalah pilihan yang menarik. Ada banyak penelitian tentang pengangkatan lesi endometriosis, baik melalui eksisi atau ablasi. Sayangnya, banyak dari studi ini tidak terkendali atau bersifat retrospektif. 23
Namun, uji coba terkontrol secara acak membandingkan ablasi tunggal laparoskopi lesi endometriotik dan laparoskopi ablasi saraf rahim dengan bantuan laparoskopi diagnostik yang dilakukan menunjukkan gejala yang signifikan pada 63% perempuan dalam kelompok ablasi, dibandingkan dengan 23% pada kelompok manajemen hamil. Sayangnya, kekambuhan setelah dilakukan prosedur eksisi bedah ini masih tinggi. Jones (2001) menunjukkan kekambuhan pada 74% pasien setelah mengikuti operasi 73 bulan. Waktu rata-rata untuk kekambuhan adalah 20 bulan. Sebuah uji coba terkontrol secara acak membandingkan ablasi dengan eksisi lesi endometriosis pada wanita dengan endometriosis stadium I atau II mengungkapkan pengurangan tingkat nyeri dalam waktu 6 bulan (Wright, 2005). Untuk endometriosis yang sangat infiltratif, beberapa penulis menganjurkan eksisi bedah radikal, meskipun percobaan yang dirancang dengan baik masih kurang (Chapron, 2004). Adhesiolysis efektif mengobati gejala nyeri pada wanita endometriosis dengan mengembalikan anatomi normal. Sayangnya, kebanyakan penelitian masih belum dirancang dengan baik. Akibatnya, hubungan antara adhesi dan nyeri panggul tidak jelas (Hammoud, 2004). Misalnya, salah satu uji coba terkontrol secara acak menunjukkan tidak ada rasa sakit secara keseluruhan dari adhesiolysis dibandingkan dengan manajemen hamil (Peters, 1992). Namun, dalam studi ini, seorang wanita dengan endometriosis berat dan perlengketan, nyerinya akan berkurang seteah dilakukan adhesiolisis.
b. Presakral Neurectomy
Bagi beberapa wanita, transeksi saraf presacral yang berada dalam segitiga interiliac dapat menghilangkan nyeri panggul kronis. Hasil dari uji coba terkontrol secara acak baru-baru ini mengungkapkan rasa sakit secara signifikan akan lebih berkurang pada 12 bulan pasca operasi pada wanita yang diterapi dengan neurectomy presacral (PSN) dan eksisi endometriosis dibandingkan dengan eksisi endometriosis saja (86 % vs 57 %). Namun, semua wanita yang mengalami nyeri akan menunjukkan penurunan nyeri panggul yang signifikan setelah dilakukan PSN dibandingkan dengan prosedur yang lebih konservatif, tetapi hanya pada mereka dengan nyeri pada garis tengah tubuh (Wilson, 2000). Neurectomy dapat dilakukan secara laparoskopi, namun secara teknis masih merupakan tantangan. Untuk alasan ini, PSN masih digunakan secara terbatas
24
dan tidak direkomendasikan secara rutin untuk pengelolaan nyeri terkait endometriosis.
c. Laparotomi dan Laparoskopi
Semua prosedur bedah yang telah disebut di atas dapat dilakukan dengan pendekatan laparotomi atau laparoskopi. Laparoscopy operatif telah digunakan untuk pengobatan endometrioma ovarium selama lebih dari 20 tahun, dan bukti-bukti yang kuat mendukung laparoscopy dibanding laparotomi dalam mengelola massa ovarium jinak.(Mais, 1995; Reich, 1986; Yuen, 1997). Sayangnya, sejumlah besar endometrioma masih ditangani dengan prosedur laparotomi, dengan 50 persen dari dokter yang disurvei di Inggris masih menangani endometrioma dengan cara ini (Jones, 2002). Walaupun pengobatan laparoskopi endometrioma mengandung resiko 5% untuk dikonversi ke laparotomi, tapi karena keberhasilan dan morbiditas pasca operasi yang rendah, laparoskopi harus menjadi prosedur utama pilihan (Canis, 2003). Berbagai studi juga menunjukkan efektivitas dan tingkat morbiditas yang rendah pada eksisi laparoskopi implan endometriotik, dan neurectomy presacral laparoskopi tampaknya seefektif laparotomi (Nezhat, 1992a; redwine, 1991). Selain itu, adhesiolysis harus dilakukan dengan laparoskopi, dan laparoskopi menyebabkan kurang pembentukan adhesi dari laparotomi (Gutt, 2004).
d. Pendekatan Histerektomi dan Ooforektomi
Histerektomi dengan ooforektomi bilateral adalah terapi definitif dan paling efektif untuk wanita dengan endometriosis yang tidak ingin mempertahankan fungsi reproduksi mereka. Wanita yang tidak menjalani ooforektomi bilateral selama histerektomi untuk endometriosis memiliki risiko enam kali lipat lebih besar dari nyeri panggul kronis berulang (CPP) dan risiko delapan kali lipat lebih besar membutuhkan operasi tambahan dibandingkan dengan wanita yang menjalani ooforektomi bilateral bersamaan (Namnoum, 1995). Untuk alasan ini, histerektomi sendiri tidak memiliki peran dalam pengobatan CPP sekunder untuk endometriosis. Terlepas dari efektivitasnya dalam pengobatan endometriosis, histerektomi dengan ooforektomi bilateral mempunyai keterbatasan termasuk risiko bedah, kekambuhan sakit, dan efek hipoestrogenism. Perempuan
yang menjalani
histerektomi ooforektomi dan bilateral untuk CPP, 10% memiliki gejala berulang dan 3,7% memerlukan operasi panggul tambahan. Oleh karena itu, konferensi konsensus 25
rekomendasi dari sebuah panel ahli ginekolog di Amerika Serikat menyatakan bahwa histerektomi dengan ooforektomi bilateral harus disediakan bagi wanita dengan endometriosis simtomatis yang telah melahirkan anak dan mengenali resiko hypoestrogenism dini, termasuk osteoporosis dan menurunnya libido.
26
BAB IV KESIMPULAN Endometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Kelainan ini merupakan kelainan jinak yang paling sering ditemukan dalam bidang ginekologi dimana kelenjar dan stroma endometrium berada di luar lokasi normal. Lokasi tersering dari kelainan ini terdapat pada ovarium, peritoneum, anterior dan posterior ruang kavum Douglasi. Ada berbagai macam teori yang dikemukakan sebagai penyebab atau etiologi timbulnya endometriosis, antara lain teori Retrograde menstruation, yang merupakan teori yang paling diterima oleh banyak pihak. Ada juga teori metaplasia selom, teori induksi, dan teori penyebaran limfogen dan hematogen. Gejala gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah nyeri
panggul,
dismenorhea, dispareunia, disuria, dischezia, dan infertilitas. Untuk menegakkan diagnosis endometriosis, baku emasnya adalah laparoskopi, dapat dilihat munculnya lesi bervariasi dan warna mungkin termasuk merah (merah, merah-pink), putih (putih atau kuning-coklat), dan hitam (hitam atau hitam-biru). Penanganan efektif pada endometriosis adalah dengan medikamentosa dan pembedahan. Dimana dari segi medikamentosa dapat kita berikan OAINS untuk mengobati nyeri yang dialami pasien dan memberikan terapi hormonal yang bias berpengaruh pada jaringan endometrium. Dengan pembedahan dapat dilakukan adhesiolisis dan bahkan histerektomi.
27
DAFTAR PUSTAKA 1. Carr,Bruce. William's Gynecology; Benign General Gynecology : Endometriosis. 22nd Edition. McGraw-Hill Companies. Dallas. 2008 2. Cunningham, G. Leveno, K. Bloom, S. Hauth, J. Rouse, D. Spong, C. William’s Obstetry : Maternal Anatomy. 23rd Edition. McGraw-Hill Companies. Dallas. 2010 3. D’Hooghe, T. Hill, J. Berek & Novak’s Gynecology; Reproductive Endocrinology : Endometriosis. 14th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Baltimore. 2007. 4. Curtis, M. Overholt, S. Hopkins, M. Glass’ Office Gynecology : Endometriosis. 6th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Baltimore. 2006. 5. Muse, K. Sarajari, S. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology. 10th Edition. McGraw-Hill Companies. Dallas. 2007 6. Prabowo, R.P. Ilmu Kandungan : Endmetriosis. Edisi 2. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2008.
28