EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN
Disusun oleh:
MUHAMMAD FADHAL IQBAL NPM 230110150019
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI PERIKANAN JATINANGOR
2017
SEJARAH EKONOMI PERIKANAN INDONESIA
Ilmu ekonomi sangatlah penting dalam semua bidang, bukan han ya dalam bidang social ekonomi tetapi juga pada bidang perikanan dan kelautan misalnya. Dalam bidang perikanan ekonomi sangatlah penting karena sesuai dengan pengertian perikanan sendiri yang mengandung makna dari ekonomi sendiri yaitu kegiatan ekonomi yang mencakup praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu ikatan bisnis ( UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004). Dengan demikian semua kegiatan perikanan tidak terlepas dari aktivitas ekonomi mulai dari penangkapan ikan, pengolahan ikan, hingga produksi dan konsumsi tidak terlepas dari kegiatan ekonomi. Namun, ilmu ekonomi tidak dapat kita bandingkan seberapa penting ilmu itu dalam sebuah bidang. Dalam bidang perikanan sendiri kita tidak dapat menentukan mana yang lebih penting, karena semua ilmu itu saling berkaitan satu sama lainnya. Contohnya saja jika kita membuka usaha budidaya ikan kita harus mengetahui ilmu ekonomi bagaimana cara kita berbisnis, memenuhi kebutuhan kita, tetapi disisi lain kita juga harus memperhatikan ilmu perikanannya juga misalnya parasit yang menyerang ikan. Sehingga jika kita mengetahui ilmu ilmu itu kita bisa mengolah nya dengan baik dan optimal. Jadi menurut saya ilmu ekonomi sama pentingnya dngan ilmu lainnya. Seperti yang kita ketahui Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km (Bakosurtanal, 2006). Total luas laut Indonesia sekitar 3,544 juta km2 (Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2010) atau sekitar 70% dari wilayah Indonesia. Keadaan tersebut seharusnya meletakan sektor perikanan menjadi salah satu sektor riil yang potensial di Indonesia. Potensi ekonomi sumber daya pada sektor perikanan diperkirakan mencapai US$ 82 miliar per tahun. Potensi tersebut meliputi: potensi perikanan tangkap sebesar US$ 15,1 miliar per tahun, potensi budidaya laut sebesar US$ 46,7 miliar per tahun, potensi peraian umum sebesar US$ 1,1 miliar per tahun, potensi budidaya tambak sebesar US$ 10 miliar per tahun, potensi budidaya air tawar sebesar US$ 5,2 miliar per tahun, dan potensi bioteknologi kelautan sebesar US$ 4 miliar per tahun. Selain itu, potens lainnya pun dapat dikelola, seperti sumber daya yang tidak terbaharukan, sehingga dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan Indonesia. 1. Peradaban Kuno Sejarah Ekonomi Perikanan Pada Zaman Mesolitikum Peninggalan atau bekas kebudayaan Indonesi zaman Mesolitikum, banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih dari berburu dan menangkap ikan. Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di goagoa dan di pinggir pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous Roche (di goa-goa). Sejarah Ekonomi Perikanan Pada Zaman Neolitikum Periode Neolithic (3000 – 2000 SM) penduduk asli Indonesia yang disebut sebagai Wajak hidup secara promitif dengan cara menangkap ikan dan berburu. Manusia Wajak adalah manusia modern (Homo Sapiens) yang fosilnya ditemukan di daerah Wajak, Jawa Timur. Manusia Wajak ini disebut sebagai manusia Homo Sapiens yang paling arkaik atau manusia modern paling kuno yang dalam perkembangannya melahirkan populasi aktual Selain itu, penangkapan ikan hiu juga telah dilakukan ribuan tahun silan oleh penduduk asli Indonesia terutama mereka yang berada di wilayah timur Indonesia.
Sejarah Ekonomi Perikanan Abad Ke 15 Dan 16 ( Etnis Bajo, Bajini )
Suku Bajo adalah salah satu suku laut yang dimiliki oleh Indonesia. Menurut tulisan perjalanan antropolog Perancis Francois Robert Zacot Orang Bajo: Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog, dikatakan bahwa dari legenda Bajo Sulawesi Selatan suku ini dipercaya berasal dari sebutir telur. Ada juga legenda lain yang mengatakan bahwa di tempat orang Bajo dulu tinggal, banyak burung bertelur di atas pohon sehingga semua pohon tumbang dan menyebabkan banjir. Orang Bajo lantas memakai kayu pohon tersebut untuk membuat perahu agar bebas banjir. Inilah cerita yang mendasari kenapa orang Bajo lekat dengan sebutan manusia perahu (suku laut yang senang tinggal di Soppe). Kelompok etnis yang disebut Bajini, Makassar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan kelompok pedagang asal Cina. Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Namun, terlepas dari dua legenda asal-muasalnya, suku Bajo telah terkenal sejak abad 16 sebagai sea nomads, yakni suku laut yang senang berpindah-pindah tempat. Mereka menyisiri lautan dengan rumah perahu mereka (Soppe) dan hidup di atas rumah perahu. Kegiatan seharihari seperti tidur, makan bahkan beranak-pinak mereka lakukan di atas rumah. Meski tak jarang juga mereka pergi ke daratan untuk berjualan hasi l tangkapan laut. Bahkan, mereka telah lama terlibat dalam arus perdagangan internasional dengan menjual hasil-hasil tangkapan laut mereka, misalnya ke Australia. Zacot mengatakan dalam bukunya, kehidupan setiap pelaut terutama Bajo merupakan jalinan dari berbagai keberangkatan, ketidakhadiran dan resiko. Bagi masyarakat Bajo, kehidupan sangat dinamis mulai dari pikiran yang bisa tiba-tiba berubah saat melaut, peran khusus anakanak, jadwal yang menentukan kegiatan, rute-rute laut yang harus diperhatikan sampai tempattempat bermukim baru yang mesti ditemukan. Pola nomaden inilah yang kemudian tertanam dalam psikologis dari suku Bajo, bahwa kehidupan ibaratnya angin yang berubah-ubah. Sejak abad ke 19 hingga tahun 1960 nelayan Bajau telah berlayar ke wilayah utara Australia untuk menangkap teripang tanpa adanya pengawasan daripemerintah Australia.
2. 1400an-1600an: “Age of Commerce” Abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini. Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang. Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of commerce”. Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi. Bagaimana industri perikanan periode ini? Perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting, namun keterangan Zuhdi tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.
3. 1800an-Pertengahan 1900an: Pasang – Surut Perikanan Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran ekonomi wilayah ini. Di Jawa misalnya, Houben membagi menjadi tiga periode yaitu :
1) 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan Mataram 2) periode 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah pedalaman, 3) 1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830. Untuk mendukung ekspor pemerintah membangun pelabuhan, namun pelabuhan yang tumbuh berkarakter menghisap potensi alam dan bumiputera. Keuntungan tanam paksa tidak diterima rakyat, tetapi oleh orang Eropa, pedagang China, importir dan eksportir selain pemerintah Belanda. Tanam paksa juga diperkirakan mendorong penurunan tampilan industri perkapalan. Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada awal abad ke-20 Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi. Merujuk pada data van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002. Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si Api-Api telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa dan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura. Permasalahan ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai. Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher disebut sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan. Butcher menilai nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan.
4. Awal Kemerdekaan dan Akhir Orde Lama : Pertarungan Politik Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah 1) perjuangan Konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, 2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, dan 3) perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan nasional. Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan nusantara, bagi perikanan perangkat
kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenark an beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UUPA (pasal 47 ayat 2). Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara konsep “kepemilikan bersama” dan “kepemilikan tunggal” sebagaimana di Jepang yang memperkuat konsep hak atas sumberdaya ikan dalam perundangan perikanannya, konsepsi ini menurut Saad memberikan ruang bagi pengakuan “kepemilikan tunggal”. Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang perikanan ataupun UU Perikanan No. 31/2004 Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan hasil hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari ekstraksi sumberdaya perikanan menurut Pauker mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang kabinet.
Data yang dilaporkan Krisnandhi dapat menjadi acuan perikanan era ini. Setelah mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang. 5. Orde Baru: Terabaikan dan Dualisme Ekonomi Perikanan Bagaimana perikanan di era ini? Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun (Tabel 2). Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998. Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai. Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan ditunjukkan oleh Bailey pada dua kasus penting yaitu: 1) introduksi trawl dan purse seine, 2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin tentang tragedi sumberdaya kepemilikan bersama.
Ketika nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masingmasing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983. 6. Pasca Reformasi : Harapan menjadi “Prime Mover” Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%).
Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001. Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional. 7. Sejarah Ekonomi Perikanan Pada Abad Ke 20 Pada abad ke 20, perairan Indonesia memiliki tidak kurang dari 1.500 sampai 2.000 jenis ikan, khususnya Laut Jawa mempunyai potensi; yaitu 738,320 ton/tahun untuk ikan demersal dan 624,840 ton/tahun untuk ikan pelagic. Oleh karena itu, di sepanjang pantai utara Jawa dan Madura sudah lama dikenal daerah-daerah yang mempunyai banyak ikan, dengan beraneka jenis.Di samping kekayaan ikan, aneka biotik laut dan lingkungan alam juga menjadi faktor yang turut menentukan berlangsungnya usaha penangkapan. Bahwa pantai utara Jawa dengan pantai yang landai, berlumpur, banyak muara sungai, menjadikan banyak tempat di sepanjang pantai dapat digunakan sebagai tempat pendaratan ikan. Demikian juga dengan dua angin muson yang berlangsung secara teratur dalam setiap tahunnya, menjadikan nelayan di kawasan ini sudah sejak lama meng gunakan perahu yang dilengkapi dengan berbagai macam alat tangka. Eksternalitas ialah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya tetapi menimbulkan dampak positif dan negatif bagi orang atau kelompok lain. Adapula seperti ini, keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas juga. Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects (Sudgen and williams, 1990, Mishan
1990, Zilberman and marra, 1993). Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan Maksud dari pernyataan diatas merupakan suatu fenomena bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain tidaklah berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin dalam harga-harga sehingga tidak terjadi ketidak efisienan dalam perekonomian. Adapula maksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau kelompok orang lain tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi. Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan orang lain tanpa adanya kompensasi apapun sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.
JENIS-JENIS EKSTERNALITAS : Eksternalitas Perikanan Umum Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan individu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi, seperti ini: Eksternalitas dari kegiatan produsen terhadap produsen lain. Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Contohnya pengaruh pada bidang perikanan : suatu wilayah pertanian menyemprotkan pupuk atau pembasmi hama yang menghasilkan limbah zat kimia yg masuk ke perairan seoerti ke aliran sungai, danau dan lainnya, sehingga perairan tempat produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan produsen lain yakni para pembudidaya atau penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini, kegiatan pertanian tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain pembudidaya ikan atau nelayan Contoh lain misalnya nelayan dengan kapal-kapal besar akan mampu menjaring ikan dengan jumlah yang sangat banyak, akan tetapi produsen yang lain (dalam hal ini nelayan-nelayan kecil) akan mengalami kesulitan mendapatkan ikan karena telah habis dijaring oleh nelayan besar. Eksternalitas dari kegiatan produsen terhadap konsumen. Suatu produsen dikatakan mempunyai eksternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah tangga (konsumen). Dampak atau efek samping yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi . Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit (polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyamanan konsumen atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan/produsen) yang menghasilkan limbah (waste products) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk.
Sebagai contoh, kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan daerah rekreasi pemancingan di daerah Jakarta Timur (kali Banjir Kanal Timur) akan berkurang karena adanya polusi air sungai (airnya berwarna hitam dan menyebarkan bau tak sedap, ikan pun tak bisa hidup di air limbah industri) Eksternalitas dari suatu konsumen terhadap konsumen lain. Dampak konsumen terhadap yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk Misalnya, para nelayan modern yang memiliki kapal dan alat tangkap ikan yang canggih akan menimbulkan keresahan bagi para nelayan tradisional karena nelayan yang modern akan menguasai daerah fishing ground lebih cepat. Eksternalitas dari suatu konsumen terhadap produsen. Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumah tangga (sampah) terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga mengganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air, seperti pembudidaya ikan (karamba jaring apung di sekitar sungai citarum). Eksternalitas ini timbul karena adanya aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidak efisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep ekternalitas dalam dua pengertian yang berbeda : Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain. Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya. Dari dua konsep eketernalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik/ rumit dalam ekonomi lingkungan. Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi. Eksternalitas Perikanan Tangkap a. Eksternalitas ruang Untuk meminimumkan biaya penangkapan, pelaku perikanan kebanyakan ingin menangkap ikan di sekitar wilayah yang dkat dengan pelabuhan (wilayah pantai) namun jika ini dilakukan oleh hampir sebagian besar nelayan maka akan menimbulkan crowding effect di sekitar pantai yang kemudian akan menghabiskan stok di sekitar wilayah pantai. Konsekuensi dari crowding effect ini kemudian akan membuat nelayan untuk semakin pergi menangkap jauh dari pelabuhan dan pantai untuk mengintersepsi stok ikan sebelum ditangkap oleh nelayan laiinya. b. Eksternalitas Waktu Akibat ketiadaan hak pemilikan maka setiap nelayan berusaha untuk meng ambil ikan sebanyak – banyaknya dan ini bisa dilakukan jika mereka melakukan penangkapan ikan lebih awal dari
pihak lain. Inilah yang disebut sebagai intersepsi waktu . intersepsi waktu juga bisa terjadi terhadap stok ikan itu sendiri, sebagai contohnya pada kasus perikanan udang dengan siklus hidup yang relatif pendek maka sebenarnya tidak menguntungkan untuk menangkap udang dengan ukuran yang kecil, namun jika mereka menunggu sampai mencapai ukuran besar, pihak lain akan melakukan penangkapan udang lebih dahulu, sehingga untuk menghindari hal tersebut, nelayan melakukanintersepsi waktu terhadap siklus hidup udang. c. Intersespsi mobilitas Intersepsi ini sering juga disubut sebagai intersepsi alat (gear interseption) dimana mobilitas suatu alat tangkap harus bersaing dengan mobilitas alat tangkap lain. Jika yang dihadapi adalah jenis ikan bergerombol dengan pergerakan yang relatif lebih mudah dideteksi (misalnya sardin), maka alat tangkap yang memiliki kekuatan dan kecepatan lebih justru tidak diuntungkan oleh alat yang mobilitasnya dirancang untuk menangkap ikan bergerombol. Konsekuensi dari ekternalitas ini menimbulkan terbuangknya sumberdaya ekonomi.
d. Eksternalitas informasi Memiliki informasi mengenai keberadaan ikan sangatlah bermanfaat bagi nelayan, dan salah satu cara hidup seorang nelayan adalah bagaimana memperoleh pengetahuan ini beik lewat pengalaman maupun lewat intuisinya sebagi seorang nelayan. Namun jika informasi ini diberikan pula kepada pihak lain maka setiap nelayan akan berada di lokasi yang diketahui tersebut. Dan jika ini terjadi maka keuntungan nelayan akan berkurang. Konsekuensi dari eksternalitas ini akan menimbulkan insentif bagi para pelaku perikanan (nelayan0 untuk menyembunyikan informasi tersebut. Sehingga dalam situasi common property resource, akibat eksternalitas informasi ini setiap individu berusaha untuk memperooleh yang terbaik untuk dirinya sendiri bukan untuk masyarakat luas. e. Eksternalitas antarspesies Eksternalitas ini berhubungan dengan hubungan mangsa pemangsa , dimana satu spesies bisa menjadi bahan makanan untuk spesies lainnya f. Eksternalitas stok Eksternalitas ini dimana masuknya armada baru mengurangi ketersediaan stok sehingga meningkatkan biaya penangkpan bagi yang lain. g. Eksternalitas teknologi Eksternalitas teknologi terjadi manakala teknologi penangkapan suatu alat mengubah struktur dinamika populasi dari spesies target dan by catch yang kemudian menimbulkan dampak negatif bagi alat lain. Eksternalitas teknologi ini dapat dogolongkan ke dalam dua tiper yakni eksternalitas sekuensial dan eksternalitas eccdental. Eksternalitas sekuensial terjadi ketika nelayan skala kecil dan nelayan skala besar mengeksploitasi stok ikan pada siklus hidup yang berbeda. Jadi ketika nelayan skala kecil menangkap ikan pada umur yang masih juvenil, hal ini akan menimbulkan dampak eksternalitas pada nelayan industri yang mengkap ikan pada siklus hidup ikan dewasa. Eksternalitas accidental terjadi ketika secara teknologi ada ketergantungan antara dua alat tangkap dalam menangkap ikan. Misalnya dalam perikanan udang, by catch ikan demersal yang dihasilkan dari perikanan demersal. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemikiran atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor di atas diuraikan satu persatu berikut ini.
1. Keberadaan Barang Publik 2. Sumberdaya Daya Bersama 3. Ketidaksempurnaan Pasar 4. Kegagalan Pemerintah Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa dalam berbagai bentuk : Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka. Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti mengenakan pajak impor yang tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri. Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang mempunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya. Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan pelaksanaan aturanaturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya eksternalitas. Sebagai contoh, perusahaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informasi ini belum tentu menjadi reveneu pemerintah. Sehingga akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.