ETIKA EKOLOGI : PERSPEKTIF TASAWUF NASR
TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Magister Agama pada Program Studi Islam dan Modernitas
OLEH : EKA JULAIHA, S.Ag NIM : 298-IM-029
PROGRAM STUDI ISLAM DAN MODERNITAS PROGRAM PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2002
Lembar Persetujuan Pembimbing
Tesis
dengan
judul:
ETIKA
EKOLOGI:
PERSPEKTIF
TASAWUF NASR yang ditulis oleh Eka Julaiha, S.Ag No. Pokok: 298-IM-029, Program Studi Islam dan Modernitas disetujui untuk dibawa kedalam ujian/penilaian Tesis
Pembimbing I
Pembimbing II
(DR. YUNASRIL ALI)
(DR. A. WAHIB MU’THI)
Tanggal: 17-7-2002
Tanggal: 17-7-2002
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI
ا
=
a
ﻑ
=
f
ﺏ
=
b
ﻕ
=
q
ﺕ
=
t
ﻙ
=
k
ﺙ
=
ts
ل
=
l
ﺝ
=
j
ﻡ
=
m
ﺡ
=
h
ﻥ
=
n
ﺥ
=
kh
ﻭ
=
w
ﺩ
=
d
ﻩ
=
h
ﺫ
=
dz
ﺀ
=
’
ﺭ
=
r
ﻱ
=
y
ﺯ
=
z
ﺱ
=
s
ﺵ
=
sy
â
=
a panjang
ﺹ
=
sh
î
=
i panjang
ﺽ
=
dl
û
=
u panjang
ﻁ
=
th
ﺍﹶﻭ
=
aw
ﻅ
=
zh
ﺍﹸ ﻭ
=
uw
ﻉ
=
‘
ﺍﹶﻱ
=
ay
ﻍ
=
gh
ﺍِﻱ
=
iy
Untuk mad dan diftong
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W. dan keluarganya, yang telah mengukir peradaban dunia dengan islam sebagai agama tauhid yang haq. Penelitian ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan studi Pascasarjana (S2) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Tesis yang berjudul ''ETIKA EKOLOGI: PERSPEKTIF TASAWUF NASR'' ini, mencoba mengelaborasi pemikiran Seyyed Hossein Nasr dalam bidang tasawuf dengan fokus kajian tentang pendekatan tasawuf terhadap alam/lingkungan. Tentunya dalam penulisan tesis ini, tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berb agi pihak, baik berbentuk spirit maupun dalam bentuk material. Un tuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik selama menjalankan studi yang penuh dengan perjuangan maupun dalam masa penulisan tesis yang sangat membutuhkan waktu, tenaga, segenap pikiran, serta kesabaran. Ucapan terima kasih perlu penulis sampaikan kepada:
iv
1. Prof.Dr.Azyumardi Azra, selaku Rektor UIN Syarif Hidyatullah Jakarta, yang terus-menerus melakukan perbaikan mutu pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah yang dipimpinnya. 2. Prof. Dr. H. Sayyid Aqil munawwar, yang tetap melaksanakan tugas beratnya sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ditengah-tengah kesibukannya sebagai Menteri Agama RI. 3. Asisten Direktur I dan II juga ketua program studi Islam dan Modernitas yang aktif membantu Program Pascasarjana, baik dalam kegiatan penin gkatan akad emis maupun lain-lainnya. 4. Dr.Yunasril Ali dan Dr. A Wahib Mu'thi, selaku pembimbing I dan pembimbing II dalam penulisan tesis ini, yang dengan sangat teliti dan sabar membimbing penulis, juga kepada Dr. Mulyadi Kartanegara, walaupun bimbingan bersama beliau tidak sampai selesai, sehubungan dengan pindah tugas ke Yokyakarta. 5. Seluruh Staf
Program Pascasarjana dan staf perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang setia membantu dan melayani penulis baik selama dalam proses studi maupun saat-saat penulisan tesis ini. 6. Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A. Ketua STAIN ''Sultan Maulana Hasanuddin Banten'' Serang, tempat penulis bertugas sejak tahun 2000, yang tak henti-
v
hentinya memberikan dukungan kepada penulis baik selama studi maupun dalam masa-masa penyelesaiannya tesis ini. 7. Ketua Jurusan Syari'ah dan sekjur,Ketua Program Studi dan Seluruh staf jurusan Syari'ah yang telah memberikan toleransi kepada penulis saat-saat penulis tidak maksimal melaksanakan tugas-tugas staf di Jurusan Syari'ah,karena kesibukan penulisan tesis. 8. Terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya khusus kepada kedua orang tua,yang tak mungkin dapat menghitung jasa-jasa beliau dan tak pernah mengeluh untuk mencurahkan segenap cinta kasihnya. 9. Terima kasih dan rasa sayang kepada adik-adikku:Toifur,Juhaeriah,Iil Rohilah, maftuhatu Rizkiah dan Anis Puad yang dengan senang hati mensuport kakaknya untuk disebut satu persatu,dari mereka penulis belajar,dari mereka saran dan kritik telah memberikan konstribusi yang tak ternilai harganya untuk proses kematangan intelektual penulis. Dengan penuh kesadaran,penulis merasakan bantuan yang tak ternilai harganya dari semuanya,tetapi tanggung jawab inetelektual terhadap isi dan pemikiran dalam tesis ini,sepenuhnya ada pada penulis.Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan tesis dapat memberika konstribusi kepada hazanah keilmuan kita dan memberikan mamfaat yang besar kepada semua.
vi
Serang,Juni 2002
Eka juliaha
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................
ii
TRANSLITERASI .....................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR................................................................................................
iv
DAFTAR ISI...............................................................................................................
vii
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Perumusan Masalah........................................................................
14
C. Tujuan Penelitian............................................................................
15
D. Metode Penelitian...........................................................................
16
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................
16
F. Sistematika Pembahasan................................................................
17
BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR A. Pendidikan dan Kegiatan Intelektual.............................................
19
B. Karya-karya dan Pemikirannya .....................................................
24
PENDEKATAN TEORI ETIKA EKOLOGI
vii
BAB IV
A. Pendekatan Tasawuf Terhadap Alam............................................
30
B. Hubungan Tuhan, Manusia, dan Alam .........................................
37
C. Kedudukan Manusia.......................................................................
46
NILAI-NILAI ETIKA LINGKUNGAN: PERSPEKTIF TASAWUF NASR A. Tauhid: Visi Keilahian Lingkungan......................................................
63
B. Sufisme: Pembebasan Manusia Modern ..............................................
75
C. Kosmologi Islam: Ajaran Tentang Keseimbangan Ekolog................
92
D. Khilafah dan Amanah Sebagai Etika Tindakan................................... 107 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan.............................................................................................. 113 B. Saran-saran............................................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 120
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kelahiran modernisme telah membangun peradaban manusia secara spektakuler
dan
memberikan keuntungan kepada kehidupan manusia, berupa
kenikmatan dan kemudahan hidup yang tidak ada bandingannya. Sains modern membantu manusia dalam memperoleh kekayaan yang melimpah ruah, memudahkan komunikasi, bahkan menguasai ruang angkasa.1 Namun kemajuan sains dan tekhnologi dengan nilai-nilai modernitas yang inheren didalamnya, disamping memberikan kemudahan bagi manusia, juga telah memberi implikasi krisis global secara serius, kompleks, dan multidimensional, yang segi-seginya menyentuh hampir setiap aspek kehidupan. Dari masalah ekonomi, politik.sains dan tekhnologi, kualitas lingkungan, sampai kepada hubungan sosial manusia. Krisis tersebut sudah meliputi krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual.2 Terjadinya bencana alam di berbagai belahan bumi (seperti:banjir, longsor, dan kebakaran hutan)adalah bukti paling nyata dari dampak krisis modernisme tersebut, yang seringkali melahirkan pertanyaan, apakah alam raya ini diciptakan 1
Sains modern dengan prinsip-prinsip dasarnya: rasionalitas, empiris, netralitas etik, dan obyektivitas telah dianggap oleh manusia modern sebagai jaminan kebenaran untuk menjawab berbagai permasalahan kehidupan. Lihat Syamsul Arifin, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: Sipress, 1996), h. 125. 2 Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, diterjemahkan oleh M. Thoyibi (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999), h. 3.
1
2
oleh Sang khalik buat manusia ataukah sebaliknya manusia menjadi bagian dari alam itu sendiri.Itulah salah satu pertanyaan penting yang kini diajukan banyak kalangan yang mulai skeptis terhadap teologi lingkungan.3 Memang secara naluriah manusia memiliki potensi kepedulian ekologis, namun pada tingkat aktualitasnya kepedulian ekologis manusia justru dikuasai oleh akal dan egonya yang seringkali kontra produktif, sehingga pertumbuhan potensi ekologi pada manusia memliki kementahan. Alam dipandang oleh manusia modern sebagai sesuatu yang mutlak, harus dimanfaatkan dan ditaklukan secara struktural demi kepentingan manusia. Dari itu pemaknaan hidup tidak lagi sebagai pengabdian untuk menata kehidupan secara harmonis, melainkan telah mengukuhkan suatu tatanan hukum yang sangat meracuni budaya yang berwawasan kemanusiaan.4 Dampak krisis juga dapat dilihat dari benyaknya statistik penderita depresi, kegelisahan psikologis, dan sebagainya. Dampak terjelas dari ekologi sekuler terhadap ekologi manusia yang kita lihat adalah adaya banjir dan polusi dimanamana, menipisnya lapisan ozon, tata lingkungan yang parsial, limbah industri, dan polusi-polusi lain yang menimbulkan beragam penyakit. Ribuan macam penyakit sekarang hadir dimana-mana sebagai implikasi dari sebuah ekosistem yang rusak dan lahir karena tidak adaya kearifan manusia menjaga lingkungan.5
3
Ekologi seperti disebutkan sebagai kehidupan yang di dalamnya terdapat keharmonisan hubungan dan kesatuan manusia dengan unsur-unsur kehidupan kosmologisnya yang harus menjadi orientasi kehidupan masa depan. Lihat Syamsul Arifin. Op. Cit., h. 17. 4 Mujiyono, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur`an (Jjakarta: Paramadina, 2001), h. 3. 5 Syamsul Arifin, Op. Cit., hh. 175-6.
3
Sementara itu, komunitas masyarakat yang belum maju sains dan tekhnologinya, yakni masyarakat pra industri, tampak lebih kuat prilaku ekologis dan kearifan lingkungannya yang disebut masyarakat berimbang (equibrian society), dibandingkan dengan komunitas masyarakat maju dimana sifat kontra ekologis dan ketidakarifan lingkungan yang disebut masyarakat berimbang (equilibrian society), dibandingkan dengan komunitas masyarakat maju dimana sifat kontra ekologis dan ketidakarifan lingkungan jauh lebih nampak. Sehingga konsekuensinya, mereka menjadi masyarakat yang kurang atau tidak berimbang (unequilibrian society). 6 Pergeseran prilaku ini karena adanya tuntutan keinginan dan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat dan sebagai akibat dari perkembangan dan populasi penduduk. Krisis ekologi juga disebabkan terjadinya perbedaan watak ilmu pengetahuan dan tekhnologi ketika terjadi perkembangan dari yang bersifat evolutif beralih kepada perkembangan yang bersifat revolutif. Perkembagan bersifat evolutif yang disebut dengan iptek tradisional cenderung masih terjalin dalam budaya yang ada, masih menjaga keharmonisan sistem perubahan, disamping masih mengarah pada manusia, sehingga persoalan etika sebagai persoalan fundmental dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih dikembangkan dalam kerangka etik kemanusiaan unversal. Keadaan ini kemudian mengalami perubahan fundamental setelah ilmu pengetahuan dan tekhnologi meniggalkan watak evolutifnya dan berubah secara revolutif .Dalam perkembangan secara revolutif. Pertimbangan etika yang mempersoalkan baik buruknya (aspek aksiologis) ilmu pengetahuan dan tekhnologi 6
Mujiono, Loc. Cit.
4
sudah mulai diabadikan bahkan selanjutnya pertimbangan etik tersebut menjadi tidak ada.7 Krisis ekologi juga bersumber dari asumsi dominasi manusia atas alam, dimana perkembangan sains dan tekhnologi dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi alam untuk kepentingan manusia. Hal ini kemudian melahirkan wujud sains dan tekhnologi yang angkuh dan berimplikasi kepada ekologi yang kacau. Secara historis –filosofis, wujud ekologi tersebut, berakar kuat pada pandangan rasionalisme dan humanisme Barat yang menempatkan manusia sebagai segala-segalanya Pengertian alam semesta sebagai sesuatu yang bersifat organik,.hidup.dan spritual, digantikan oelh pengertian bahwa dunia ini laksana sebuah mesin. Ilmu dalam perkembangan modern,didasarkan atas sesuatu metode penelitian yang baru yang dikembangan dengan sedemikian kuat oleh Francis Bacon,dengan melibatkan deskripsi matemats dan metode penalaran analitik yang disusun oleh Rene Descartes. Semangat Bacon menimbulkan perubahan yang luar bisa pada hakikat tujuan penelitian ilmiah, sejak zaman kuno tujuan ilmu adalah untuk mencari kearifan, dengan memahami tatanan dan kehidupan yan harmonis dengan alam, ilmu di cari demi keangungan Tuhan''dengan sikap dasar ilmuannya ekologis,pada abad modern, sikap tersebut berubah dari sikap ekologis-integratif kepada sikap penonjolan diri. Sejak Bacon,Tujuan Ilmua berubah menjadi pengetahuan yang digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam,sehingga tujuan pengetahuan yang digunakan untuk menguasai tujuan-tujuan yang sama sekali anti ekologis. 7
Syamsul Arifin, Op. Cit., h. 174.
5
Dalam pandangan Bacon, alam harus ''diburu dalam pengembaraannya'', “diikat dalam pelayanan'', dan dijadikan ''budak''. Alam harus ''dimasukkan ke dalam kerangkeng'' dan tujuan ilmuan adalah ''mengambil rahasia alam secara paksa''. Perubahan pandangan ini, menjadi suatu yang penting, sebagai perubahan yang revolusioner dalam perkembangan perdaban Barat lebih jauh. Pandangan Bacon kemudian disempurnakan oleh dua tokoh terkemuka abad ke tujuh yakni: Rene Descartes dan Newton. Visi Descartes tentang kepastian pengetahuan ilmiah, menyandarkan keseluruhan pendangannya tentang alam pada pemisahan fundamental antara dua alam yang mendiri dan terpisah,yaitu alam pikiran atau res cogitans, ''berada berpikir'', dan alam materi atau res extensa ''benda luas''. Bagi Descartes, alam semesta materi adalah sebuah mesin dan tidak lebih dari sekedar mesin, tidak ada tujuan, kehidupan, atau spiritualitas di dalam materi. Alam bekerja sesuai dengan materi hukum-hukum mekanik, dimana segala sesuatu dalam alam dapat diterangkan dalam pengertian tatanan dan gerak dari bagian-bagiannya. Perubahan drastis gambaran alam dari organisasi menjadi mekanik ini, mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada sikap manusia terhadap lingkungan alam. Jika pandangan dunia organik telah menyiratkan suatu tata nilai yang kondusif terhadap prilaku ekologis, maka pada pandangan ala Descartes telah memberikan persetujuan ''ilmiah'' pada manipulasi dan eksploitasi yang menjadi karakteristik kebudayaan Barat. Bahkan Descartes mempunyai pandangan yang sama dengan Bacon, bahwa tujuan ilmu
6
adalah penguasaan dan pengendalian alam, yang menugaskan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk ''mengubah kita menjadi tuan dan pemilik alam”.8 Dalam suatu pernyataan lebih jauh disebutkan bahwa ternyata agama-agama monoteisme universal juga bertanggung jawab terhadap kerusakan besar lingkungan hidup ini, seperti diungkapkan oleh Lynn White Jr., bahwa ilmu dan teknologi modern adalah berakar dalam ajaran Yahudi-Kristiani, yakni tentang penciptaan. White membebankan seluruh masalah kerusakan lingkungan hidup diakibatkan oleh ilmu dan tekhnologi yang berdasar kepada ilmu kepercayaan kristiani. Dengan ringkasan yang dibuat oleh White bahwa ''Allah merencanakan semuanya secara ekspilisit untuk kepentingan dan kuasa manusia; apa pun dalam dunia ciptaan fisik tidak mempunyai maksud lain daripada melayani keinginan manusia. Kendatipun tubuh manusia dibuat dari tanah, ia bukan bagian dari alam saja; ia dibuat menurut gambar Allah. Kekristenan adalah agama yang paling antroposentris yang pernah muncul di dunia dimana manusia sedikit banyak berbagi dalam transendasi Allah tehadap alam. Kekristenan, dalam kontras mutlak dengan agama kafir kuno dan agama-agama Asia, tak hanya menciptakan dualisme manusia dan alam, tetapi juga menegaskan bahwa telah menjadi kehendak Tuhan, manusia mengeruk (exploits) terhadap alam untuk tujuan manusia sendiri”.9 Pro dan kontra tesis White ini, disambut oleh pandangan Arnold Toynbee, yang memandang krisis lingkungan hidup disebabkan juga oleh agama-agama 8
Capra, Op. Cit., hh. 52-63.
9
Dalam “ Al-Kitab Ibrani” , Kitab yang dipakai dalam kalangan Kristen Protestan.
7
monoteis yang telah menghilangkan rasa hormat terhadap alam yang Ilahi, sehingga ketamakan manusia menjadi tak dapat ada yang menahannya. Dan menurutnya krisis itu hanya dapat diobati dengan berbalik kembali dari pandangan monoteis ke pandangan panteis yang lebih tua dan pernah juga lebih universal.10 Doktrin Kristiani tersebut teah mendorong timbulnya etika eksploitatif terhadap alam.Dari etika demikian, kemudian mendorong timbulnya sains fisika berikut sains kealaman lainnya, dan dunia modern yang sekuler. Keadaan inilah yang telah menimbulkan berbagai bentuk krisis dunia baru seperti ancaman perang, kerusakan lingkungan, kelangkangan pangan dan sumber daya alam, kehampaan spritual dan sebagainya.11 Lebih jauh, kemudian ajaran etika kristiani tersebut dikembangkan, baik oleh kepitalisme ataupun sosialis-komunis yang telah banyak menimbulkan kerusakan ekologis. Kapitalisme dengan memberikan penekanan dibidang produksi dengan tujuan meraih keuntungan ekonomi (economic benefit) setinggi-tingginya, telah melahirkan adanya eksploitasi alam secara besar-besaran dengan menekan biaya ekonomi (economic cost) yang murah. Sama halnya dalam negara sosialis komunis dengan dukungan rezim politik yang diktator, hal itu semakin mempengaruh keadaan lingkungan manusia.12
10
Syamsul Arifin. Op. Cit., h. 180. A hmad S yafi’ i Ma` ar i f, P eta Bumi In tlektua l Isla m d i In don esia (Ban dung: Mizan, 1 993 ), h . 13. 12 Mujiyono, Op. Cit., h. 5. 11
8
Etika ekologi
nonreligi diatas mengalami kewajran karena memang
berkembang di Barat, sebuah kawasan yang telah menyelesaikan hubungan agama dan dunia dengan wilayah masing-masing. Karena itu doktrin filsafat sains (Barat) menganggap realitas kosmis (alam) ini sama sekali tidak memiliki tujuannya sendiri. Al am, tak u bahn ya s ebuah mesin raks as a seca ra mekan is tis . T ak ada ''The Other '' yang mengatasi alam, sehingga berposisi netral, sebagaimana netralitas sains. Agar bertujuan, alam harus tunduk mutlak pada kemauan manusia.13 Masyarakat Barat kemudian, yang sering digolongkan the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat tekhnologi serba mekanisme dan otomat, bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, melainkan sebaliknya, kian dihinggapi rasa cemas akibat kemewahan hidup yang diraihnya. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan tekhnologi dengan tanpa disadari integritas kemanusiaanya terduksi, lalu terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas yang sangat tidak humanis.14 Sementara itu, meskipun secara ideal, agama Islam sebagai superstruktur ideologis masyarakat muslim dengan memliki nilai-nilai yang cukup intens dalam rekayasa lingkungan, namun secara faktual tampilan perilaku ekologis di permukaan mayarakat Islam tampak bervariasi dan cenderung masih bersifat potensial, sehingga belum aktual. Kajian ijtihadyah ekologis juga tampak belum mempunyai rumusan
13 14
Ibid. Lihat Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Longmen, 1975), h. 4.
9
yang memadai untuk dapat secara representatif menjawab krisis ekologis yang terjadi di dunia modern ini.15 Kekacauan yang dimunculkan oleh perdaban manusia dalam kehidupannya pada masa modern ini telah melahirkan banyak tokoh-tokoh yang bersifat kritis, terutama para sarjana yang menekuni tradisi-tradisi keagamaan dunia, dan kemudian dikenal dengan sebutan kaum tradisionalis dan neo-tradisionalis. Menurut mereka, kekacauaan kerohanian maunsia modern merupakan tanggung jawab dari peradaban Barat modern, yang telah tercerabut dari akar spritual trasendentalnya, dan telah sepenuhnya bersifat antroposentris.16 Disinilah perkembangan pemikiran tentang etika ekologi menunjukan suatu optimisme bagaimana masa depan manusia modern dapat terbingkai dengan nilainilai keagamaan, khususnya melalui perspektif tasawuf sebagai dimensi esotorik Islam, dengan upaya penelusuran kembali arti dan makna hidup yang hakiki. Dengan memberikan landasan teologis terhadap modernitas, sehingga manusia modern tidak mengalami split personality (keterpecahan jiwa) dalam menjalani kehidupannya di dunia yang dibangun menjadi sebuah peradaban manusia yang bersifat global. Oleh sebab itu, mengapa krisis ekologi dianggap sangat berkaitan erat dengan modernisme dan mengapa persoalan masa depan dikaitkan dengan persoalan ekologi yang kemudian persoalan etika dianggap sebagi wacana ekologi masa depan. Dalam
15
Ibid., h. 6.
16
Ibid.
10
pandangan ekologi manusia, Syamsul Arifin, dengan mengutip James Robertson dalam bukunya, The Sane Alternative:A Choice of Future menulis, bahwa Robertson menawarkan skenario''Sehat, Humanistik, dan Ekologis'' (SHE) dengan menekankan perlunya keseimbangan (equilibrium) dalam diri manusia secara pribadi, dengan orang lain, dan antara manusia dengan alam dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Keharmonisan ekologi, baik dalam pengertian ilmiahnya maupun dalam pengertian empirik adalah sebagai kehidupan yang didalamnya terdapat keharmonisan hubungan dan kesatuan manusia dengan kehidupan kosmilogisnya. Ini harus menjadi titik tolak dan orientasi bagi kehidupan masa depan.17 Peradaban Barat modern yang menafikan adanya hal-hal yang transenden telah menimbulkan kebangkrutan moralitas yang mengakibatkan terjadinya beberapa krisis kemanusiaan, seperti Alienasi, ketidakbermaknaan hidup, dan kebingungan spiritual. Hal inilah yang kemudian menimbulkan terjadinya kultus, kerusakan ekologi, dan merajalelanya perdagangan oba-obat bius.
Ungkapkan senada juga dinyatakan oleh Frans Magnis Suseno (budayawan) yang dikutip oleh Syamsul, bahwa sekarang ini sedang berlangsung kerusakan paling gawat di negara-negara komunis Eropa Timur dimana danau-danau dan sungai yang besar dicemari radioaktif. Dibeberapa daerah industri Jerman Timur dan Polandia angka kematian anak-anak berkisar 10 kali lebih buruk daripada Eropa Barat. Suatu
17
1994
Syamsul Arifin, “Ekologi Manusia” dalam Ulumul Qur`an, edisi khusus No. 5 & 6 vo. V.
11
gambaran Krisis Ekologi manusia yang memprihatinkan. Gambaran ini menjadi pelajaran penting bagi dunia Islam untuk tidak mengulangi kesalahan yang telah dibuat oleh negara-negara yang nota bene lebih maju ilmu pengetahuan dan tekhnologinya.18 Fritjof Capra pernah menggambarkan bahwa krisis yang sama dan bersifat multidimensi ini adalah ''krisis perseksif'', krisis yang pernah terjadi dalam fisika selama tahun 1920-an, ia muncul dari kenyataan bahwa kita berusaha menerapkan konsep-konsep dari pandangan dunia yang telah usang, pandangan mekanistis s ains cartesian dan newtonian-kepada realitas yang memang sudah tidak dapat lagi dipahami dalam tema konsep-konsep. Sekarang kita hidup dalam dunia yang saling berhubungan secara global, dimana fenomena –fenomena biologis, fisik, sosial, maupun lingkungan saling ketergantungan. Maka untuk menjelaskan dunia ini secara memadai kita memerlukan sebuah perspektif ekologis, yang tidak ditemukan dalam pandangan dunia cartesian.19 Dan yang kita perlukan adalah sebuah ''Paradigma'' pemikiran, persepsi, dan nilai yang kita miliki. Gejala awal dari perubahan ini bisa dilihat dari pergeseran konsepsi realitas mekanistis kepada konsepsi realitas bersifat holistik yang menurut Capra akan mendominasi masa depan. Untuk itulah, dalam tataran filosofis spritual, Islam dianggap mempunyai legitimasi yang kuat untuk mengembangkan etika ekologi universal. Peluang kepada
18
Ibid., h. 102.
19
Capra, Titik Balik Peradaban h. xx.
12
kesadaran itu menjadi optimis dengan melihat keadaaan ekologi yang sudah me ncap ai titik krisis sehingga akan menggugah kesadaran ekologi (ecological awareness). Untuk selanjutnya mencari solusi yang tidak didasarkan pada deduksideduksi rasionalistik, tapi lebih mendasar lagi kembali kepada pesan-pesan perenial yang terdapat dalam semua agama universal.20 Bagi umat Islam, disamping perlu kembali mengelaborasi pesan-pesan universal al-Qur'an, juga perlu membuktikan dengan penciptaan infrastruktur teknologi, ekonomi, politlik, dan ekologi dengan berdasarkan pada landasan spiritual yang telah ada. Pada persoalan inilah umat Islam menghadapi tantangan berat karena radius persoalannya telah sampai pada adanya dominasi struktural barat.21 Inilah yang diingatkan oleh Marshall Hodgson bahwa hal itu bisa dilakukan apabila kaum muslimin bisa mengenali dengan baik visi dan tradisi yang dimilikinya. Tradisi, menurut Hodgson, bukan sebagai ''seperangkat perilaku'' melainkan sebagai ''suatu dialog yang hidup dan berakar pada prefensi bersama atas peristiwa-peristiwa kreatif tertentu'' dari masa lampau. Oleh karena itu, tradisi itu ''bukan lawan dari kemajuan melainkan sarana baginya''. Maka tradisi itu sebernanya adalah aktualisasi komulatif dari visi yang bersifat kontinu.22 Dalam konteks inilah, pemikiran Seyyed Hossein Nasr selanjutnya dipanggil Nasr, mempunyai posisi penting untuk dikaji. Nasr selain memiliki basis tradisi Islam 20
Ibid. Ibid. 22 Mochtar Pabotinggi, Visi, Tradisi, dan Hegemoni Budaya Muslim (Jakarta: Yayasan Obor: 1986) h. 193. 21
13
yang kuat yaitu kultur persia dari tanah kelahirannya Iran, ia juga banyak menghabiskan masa perambahan intelektualnya di Barat, tempat tumbuh pesatnya sains dan tekhnologi. Nasr adalah tokoh yang dalam pemikiranya mengesankan dua arus pemikiran yang dikonfrotasikan antara satu dan lainnya, yaitu matefisika Barat disatu pihak dan paham matefisika Islam dipihak lain. Yang terakhir ini lebih menekankan kepada faham sufisme, meskipun Nasr sendiri tampaknya belum sampai pada tingkat seorang sufi yang dikenal didunia Islam.23 Dalam pencapaian maksudnya, Nasr selalu meramu paham sufisme yang dikuasainya dengan pengalaman dan hasil studi hasil di Barat. Nasr mulai merasakan akan kekeringan spritual pada masyarakat Barat, sehingga mensosialisasikan tasawuf pada diri mereka merupakan keniscayaan. Dalam hal ini, ada tiga alasan utama, yaitu: pertama, turut serta berbagi peran dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris Islam, baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya, maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat Barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sungguhnya bahwa aspek esoterik Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak lagi berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran Islam.24
23
Komarudin Hidayat, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme (Jakarta: Paramadina: 1998), h. 266. 24 Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999) h. 263.
14
Oleh karena itu, dalam menjawab berbagai permasalahan kemanusiaan di dalam Islam, kata kuncinya, menurut Nasr, ada dalam tasawuf yang digunakan dalam menjawab masalah yang dihadapi. Dari tela'ah tersebut ajaran ini akan dipakai menghadapi persoalan penaklukan alam, yang kini merupakan persoalan penting di Barat dan bahkan di dunia Islam. Hanya saja didunia Islam hal itu tampaknya masih belum menggugah kesadaran dan belum menarik perhatian kebanyakan cerdik cendikia Islam, walaupun masalah itu akan segera mereka hadapi sebagai masalah gawat.25 Atas pemikiran diatas inilah paradigma baru akan dicoba untuk ditampilkan sebagai alternatif dari paradigma sekuler, yang telah merambah kebanyakan pemikiran umat manusia yang menimbulkan kekerasan terhadap lingkungan.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, secara komprehensif penulis dapat membuat pokok-pokok pe rmas alahan
tentang
Etika Ekologi: Perspektif
Tasawuf Seyyed Hossein Nasr ini, ke dalam perumusan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah konsep Etika Ekologi Nasr, kaitan dengan pandangan Tauhid, sebagai landasan etik bagi hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam.
2.
Bagaimanakah pemikiran Nasr tentang konsep kosmologi Islam dan prinsip-prinsip keharmonisan hubungan manusia dan alam untuk dapat
25
Ibid., h. 232.
15
menciptakan keseimbangan Ekologi. Hal ini penting, karena persoalan Ekologi berakar pada persoalan yang bersifat filosofis dan spiritual. 3.
Bagaimanakah konsep Tasawuf Nasr teraplikasikan, sebagai jawaban terhadap krisis Ekologi dialami oleh manusia modern.
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Untuk menulusuri pemikiran Tasawuf Nasr, dalam kaitanya dengan ideidenya tentang Tauhid lingkungan. Analisis terhadap pemikiran Nasr tersebut diharap mampu menumbuhkan apresiasi kita terhadap lingkungan dan untuk mengambil pelajaran serta hikmah didalamnya. 2. Untuk mengetahui apa konsep Nasr tentang kosmologi Islam sebagai prinsipprinsip keharmonisan dan keseimbangan hubungan antara manusia alam dan selanjutnya dapat menciptakan keseimbangan Ekologi. 3. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep tasawuf Nasr mampu menjadi solusi terhadap krisis Ekologi yang dialami oleh manusia modern. D. Metode Pembahasan Dalam penelitian tesis ini, penulis bertumpu pada penelitian kepustakaan (library Research), yaitu mempelajari berbagai data dari bahan-bahan yang berkaitan dengan materi, baik berupa buku-buku, artikel-artikel, penelitian-penelitian yang berkaitan dengan materi serta sumber lainnya yang mendukung dan memperkaya data-data.
16
Dalam penyajian data-data, penulis mempergunakan metode deskriptifanalitis, yaitu presentasi data yang objektif melalui proses analisi kritis terhadap barbagi data yang telah diperoleh dari berbagai sumber. Proses analisis kritis ini dilakukan, terutama sekali berkenaan dengan pandangan Nasr yang berkaitan dengan materi yang dibahas.
E.Tinjauan Pustaka Sejauh ini ada beberapa tulisan mengenai pemikiran Nasr yang sudah terbit, baik dalam bentukbuku maupun artikel. Namun, tulisan mengenai pemikiran Nasr yang berkenaan dengan etika ekologi secara utuh dan komprohensif belum ditemukan. Azyumardi Azra dalam artikelnya ''Memperkenalkan Nasr (Jakarta 1993), yang ditulis menjelang kedatangan Nasr ke Indonesia tahun 1993, memaparkan ideide nasr yang dielaborasi dari karya-karya Nasr. Menurut Azyumardi Azra, bahwa Nasr, seperti tercermin dalam pemkirannya, kritis terhadap modernisme dan mengambil bentuk kembali kepada ''Islam Tradisional ''bahkan lebih dari itu Nasr sangat mungin pula adalah seorang ''Neo-Sufisme'' yang menerima pluralisme dan perenialisme dalam kehidupan keagamaan. Pandangan Nasr tentang sufisme b erkaitan pula dengan teorinya tentang ''rim dan axis'' Kemudian sebuah tesis yang ditulis oleh Chatib Saepullah, mahasiswa Pascasarjana (S2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memuat pemikiran Nasr tentang epistemologi. Dari hasil penelitiannya terhadap pemikiran epistemologi Nasr
17
diungkap bahwa Nasr telah melakukan evaluasi kritis tentang kegagalan ilmu pengetahuan modern yang bersifat antroposentris. Dalam kaitan ini, Nasr menawarkan suatu filsafat pengetahuan yang didasarkan atas prinsip-prinsip agama. Dengan mencoba melakukan rekonsiliasi epistemologis antara agama dan ilmu pengetahuan, dimana methode memperoleh pengetahuan tidak hanya secara empiris dan rasional, tetapi juga dengan jalan intuisi. Nasr
juga
mendukung
gagasan
kemajemukan
metodologi
dan
mendasarkannya kepada prinsip tauhid. Nasr sepakat dengan pendapat para filosof Islam yang dimulai oleh Al-Kindi dan mengalami penyempurnaan secara bertahap oleh Al-Farabi, tentang adanya tingkatan/hirarki ilmu pengetahuan. Menurutnya, objek pengetahuan adalah segala realitas dan realitas itu abadi, universal, memiliki kesatuan dan hirarkis. Realitas tertinggi adalah hakikat ilahi, kemudian realitas nama dan sifat-Nya, realitas malaikat, realitas jiwa atau alam ilahi, kemudian realitas fisik. Adanya kesatuan hirarki realitas itu melahirkan hirarki pengetahuan, yaitu pengetahuan intelektual, rasional, dan indrawi. G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan ini, penulis menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I, Pendahuluan: latar belakang masalah, perumusan masala, metode pembahsan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika pembahasan . Bab II, Biografi Seyyed Hossein Nasr: kehidupan awal dan pendidikan, aktivitas intelektual dan karya-karyanya.
18
Bab III, Pendekatan Teori Etika Ekologi: pendekatan tasawuf terhadap alam, hubungan Tuhan, manusia, dan alam, dan kedudukan manusia. Bab IV, Nilai-nilai Etika Lingkungan: perspektif tasawuf Nasr: tauhid: visi keilahian lingkungan, sufisme: pembebasan manusia modern, kosmolgi Islam: aja ran tentang keseimbangan ekologi, khilafah dan amanah sebagai etika tindakan. Bab V, Penutup: Kesimpulan dan saran-saran.
BAB II SEKILAS TENTANG BIOGRAFI SEYYED HOSSEIN NASR
A. Pendidikan dan Kegiatan Intelektual Ssyyed Hossein Nasr lahir pada tahun 199 M di Teheren, Iran. Ayahnya seorang ulama terkenal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama dalam tradisi dan lingkungan ulama Syia'ah Tradisional. Iran adalah sebagai negara tempat lahirnya para sufi,filosofi,ilmuan,dan penyair muslim terkemuka.1 Pendidikan awal Nasr dimulai di teheren, kota kelahirannya. Kemudian ayah Nasr mengirimnya belajar kepada sejumlah ulama besar Iran, termasuk kepada Ayatullah Muhammad Husin Thabathaba'i (1310 H/1892 M-1401 H/1981 M), seoarang ahli tafsir dan penulis Tafsir al-Mizân, selama 20 tahun. Setelah menamatkan pendidikan menegah di Iran, Nasr melanjutkan pendidikannya di Massachusets Institut of Technology (MIT), Amerika Serikat, dalam bidang sejarah sains, khususnya sains Islam, hingga memperoleh gelar B.Sc. (Bahelor of Science). Pendidikan selanjutnya di Harvard University dan berkonsentrasi pada bidang yang sama. Gelar Ph.D-nya diraih pada tahun 1958 dibawah bimbingan seorang orientalis terkenal, Hamilton A-R Gibb, dengan disertai tentang berbagai teori ko smologi
1
Seperti beberapa nama, Mulla Sadra dan Sabziwari dalam bidang filsafat; Jalaluddin Rumi, Hafidz dan sa`di bidang tasawuf dan syi`ar; Umar Khayam dan Al-Biruni dll. Secara lebih lengkap lihat Nasr, Science and Civilization in Islam: An Introduction to Islamic Kosmological Doctrine (Cambridge: Harvard University press, 1964), Bab: VIII & XII.
19
20
Isl am. Revisi disertasi tersebut diterbitkan menjadi buku yang berjudul Sciense and Civillzation in Islam (1968).2 Iran sebagai negeri yang menjadi latar belakang sosial dan intlektual Nasr, dapat dipandang sebagai tempat yang merepresentasikan kontinuitas perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya filsafat dan sufisme di dunia Islam hingga abadabad terakhir. Filsafat Islam, seperti yang diakui Nasr sendiri, memiliki kehidupan yang lebih lama di bagian timur ketimbang di bagian barat dunia Islam. Bahkan, di persia, filsafat Islam tetap bertahan hidup selama beberapa abad terakhir. Berbagai ajaran pemikiran Islam yang berkembang selama tiga abad mencapai puncaknya dalam periode Safawid di Persia dengan Isfahannya. T o koh terpentin g dari aja ran in i ialah Sadr al-Din Shirazi, yang dikenal sebagai Mulla Sadra (lahir di Shiraz tahun 979/171). Ia merupakan tokoh yang berpengaruh dalam kelanjutan tradisi Isl am sampai hari ini dan dianggap sebagai metafisikawan muslim terbesar.3 Selama periode Qajar, Teheran secara bertahap meningkat menjadi pusat studi filsafat Islam, banyak guru-guru yang terkenal di akhir periode Qajar dan Pahlevi itu, seperti Mirza Mahdi Asytiyani (w. 1373/1953), Sayyid Abu al-Has an Qazwini (w. 1394/1975) yang mengajar di Teheran. Setelah Perang Dunia II, Qum juga menjadi suatu pusat pengajaran filsafat Islam yang penting, dengan salah seorang tokoh utamanya 'Allamah Sayid Mohammad Hossein Thabathaba'i (w. 1402/1981)
2
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoev, Cet. Ke-4, 1999), jilid 2, h. 80-2. Nasr, Intlektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, diterjemahkan oleh Suharsono dan Djamaluddin MZ (Yogyakarta: CIIS Press, 1995), h. 77. 3
21
yang menulis Ushul-I Falsafah wa Rawish-I Ri'alism ( The Principle of Philosophy and the Method of Realism ).4 Di Iran, filsafat tetap tumbuh dan berkembang dengan mengambil bentuk baru yang disebut filsafah hikmah. Secara struktur filsafah ini merupakan kombinasi unik dari pemikiran rasional dan intuisi gnostik atau filsafat rasional dan pengalaman mistik. Ia dapat dikatakan suatu bentuk khusus filsafat skolastik yang didasarkan atas intuisi eksistensial realitas. Tampaknya secara historis, kecenderungan ini bersumber dari pandangan-pandangan metafisik Ibn 'Arabi dan Suhrawardi. Namun demikian, filsafah Islam merupakan filsafah rasional yang memiliki struktur logika yang jelas yang dipengaruhi pula oleh Ibn sina. Tokoh terkemuka dari aliran filsafah ini ialah Mir Damad, Shadr al-Din al-Shirazi, dan Mulla Hadi Subziwari. Mir Damad adalah guru dari
Shadr al-Din al-Shirazi yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra.
Selanjutnya sistem filsafah yang dikembangkan oleh Mulla Shadra merupakan sistem yang paling berpengaruh dn banyak pengikut di Iran. Karya-karyanya banyak dikaji baik di kalangan madrasah-madrasah tradisional maupun dibeberapa universitas modern.5 Selain secara geografis-historis, tradisi keagamaan syi'ah juga menjadi faktor pendukung berkembangnya pemikiran filsafah di Persia. Kalau kalangan Sunni menolak hampir seluruh filsafah setelah Ibn Rusyd, kecuali logika dan kesinambungan pengaruh filsafah dalam metode argumentasi, juga beberapa paham 4
Ibid.
5
Ibid.
22
kosmologis yang masih ada dalam formulasi teologi dan doktrin sufi tertentu, tetapi dikalangan syi'ah filsafah aliran peripatetik dan illuminasi terus diajarkan dan merupakan tradisi yang hidup sepanjang zaman di sekolah-sekolah agama Syi'ah.6 Filsafah peripatetik yang dasar-dasarnya diletakkan oleh al-Farabi adalah filsafat yang mengarah ke suatu filsafat yang berdasarkan penggunaan kemampuan logika dan bertumpu hakikatnya pada metode sylogistik. Aspek rasionalitas aliran ini mencapai puncaknya pada Ibn Rusyd, yang menjadi tokoh paham filsafat Aristoteles. Aliran peripatetik ini bertumpu kuat pada metode sylogis Aristoteles dan berupaya mencapai kebenaran dengan cara argumen berdasar nalar. Sed angkan aliran Illuminasi (Isyraqi) tokoh pentingnya adalah Suhrawardi. Aliran ini mengambil doktrin dari ajaran Plato, Persia kuno dan wahyu Islam itu sendiri, dengan memandang intuisi intlektual dan illuminasi (penerangan) sebagai metode dasar dan diturut secara bersamaan dengan penggunaan nalar. Aliran illuminasi ini menggabungkan metode penalaran dan metode intuisi intlektual.7 Selanjutnya, dalam kegiatan intlektual Nasr setelah studi di Barat, diangkat menjadi guru besar sains dan filsafat Islam pada universitas Teheran. Pada tahun 1962-1965 ia diangkat sebagai guru besar tamu di Harvard University dan dalam periode yang sama, ia juga dipercayai sebagai pemegang pertama Agha Khan Chair untuk kajian Islam yang baru saja dibentuk di Amerika University, Beirut. Setelah
6 7
Seyyed Hossein Nasr, Sains, h. 271. Ibid.
23
untuk kajian Islam yang baru saja dibentuk di Amerika University, Beirut. Setelah selesai bertugas di Harvard, kembali mengajar di Teheran yang kemudian menjadi dekan Fakultas Sastra dan Seni (1968-1972). Nasr juga pernah memangku jabatan pembantu rektor Universitas Teheran yaitu pada tahun 1970-1971. Kemudian diangkat sebagai konselor Arya Mehr University of Tecnology, Teheran sampai ia meninggalkan Iran menjelang meletusnya Revolusi Islam Iran (1979). Pada masa kekuasaan Syah Mohammad Reza Pahlevi (1919-1980), Nasr termasuk pendiri Akademi Filsafat Iran yang diangkat sebagai presiden lembaga ilmiah tersebut salama periode 1975-1976. Selain itu ia bersama Ayatullah Murtadha Mutahhari (1919-1979), Ali Syari'ati (1933-1977), dan beberapa tokoh lain, pada akhir 1965 mandirikan Husyaimah Irsyah, lembaga yang bertujuan mengembangkan ideologi Islam berdasarkan perspektif Syi’ah, yang kemudian menjadi pusat kaderisasi pemuda militan revolusioner. Menjelang ditutupnya Husyaimiah Irsyad oleh rezim Syah pada tahun 1973, Nasr dan Mutahhari keluar dari lembaga ini, yang menurutnya telah dikuasai oleh Ali Syari’ati. Nasr sangat mengecam Ali Syari’ati yang dalam pandangannya keliru menampilkan Islam sebagai agama revolusioner dengan menghilangkan aspek spiritualnya. Menjelang revolusi Iran, Nasr berada di Amerika Serikat dan memutuskan untuk tidak kembali ke Iran. Ia mengajar diberbagai universitas, seperti Temple University, Philadelphia, dan akhirnya di Goerge Washington University.8 8
Ensiklopedi Islam, Jilid 2, hh. 80-2.
24
B. Karya-karya dan Pemikirannya Nasr telah banyak menulis barbagai buku, antara lain; Three Moslems Sage (Tiga Muslim yang Bijak), Ideals and Realities in Islam (Cita-cita dan Realitas dalam Islam: 1964), An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Suatu Pengantar Ajaran Cosmologi Islam), Science and Civilization in Islam (Ilmu Pengetahuan dan Peradaban dalam Islam), Sufi Essays (Esai tantang Sufi), An Anotated Bibliography of Islamic Science (Bibliograpi Beranotasi Sains Islam), Man and Nature (Manusia dalam Alam), The Spritual Crisis of Modern Man (Krisis Spiritual Manusia Modern), Islam and the Plight of Modern Man (Islam dan Kegelisahan Manusia Modern), Islamic Sceince: An Illustrated Study (Sains Islam: Sebuah Studi Bergambar), The Transendent Theosophy of Sadr ad-Din-as-Shirazi (Teosofi Transeden Sadruddin Syirazi), Islamic Arts and Spirituality (Seni Islam dan Spiritualitas), Need For a Socred Science (Kebutuhan Terhadap Sains Kudus), Islamic Life and Thought (Kehidupan dan Pemikiran Islam), Knowledge and the Sacred (Pengetahuan dan Kekudusan), The Isalmic Philosophy of Science (Filsafat Ilmu Pengetahuan Islam), dan Traditional Islam in the Modern World (Islam Tradisional di Dunia Modern: 1987). Sebagian buku-bukunya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.9 Filsafat secara khusus mendapat tempat istimewa dalam perhatian dan pemikiran Nasr. Seperti dalam pandangan tentang filsafat:
9
Ibid.
25
Falsafah in Islam satisfied a certain need for causality among certain types of man, provided the necessary logical and rational tools for cultivation and development of many of arts and sciences, enabled muslim to encounter, and finally become a handmaid to illumination and gnosis, thus creating a bridge between the regour of logic and the acstacy of spiritual union10
Filsafat perenial manjadi salah satu tema penting dalam pemikiran tradisionalis, yang Nasr terlibat dalam wacana tersebut.bagi Nasr, perenialisme merupakan diskursus penting, dimana Islam harus ikut serta di dalamnya. Perenialisme atau filsafat perenial merupakan pemikiran kefilsafatan yang menyangkut metafisika universal dan dalam Islam merupakan terjemahan dari istilah
Arab
“al-hikmah
al-atiqah
(pengertiannya
secara
harfiah
adalah
“kebijaksanaan yang tua”). Dikalangan para filosof Islam, gagasan perenialisme sudah diperkenalkan lebih dulu oleh Ibn Maskaweh dengan karyanya berjudul alHikmah al-Khalidah (Everlasting Wisdom, kebijaksanaan abadi), di dalam karyakaryanya itu, ia telah banyak membicarakan pemikiran-pemikiran dan tulisan orangorang suci dan para filosof, termasuk orang yang berasal dari Persia Kuno, India,dan Romawi. Tradisi intlektual Islam ini, secara hostoris telah menampakkan diri dalam dua aspek, yaitu gnostik (irfan) dan filsafat hikmah, dimana dalam memandang sumber-sumber kebenaran, menurut filsafat ini sudah terdapat di dalam ajaran para nabi terdahulu. 10
Falsafah dalam Islam dapat memenuhi kebutuhan tertentu tentang hukum kausalitas bagi orang-orang tertentu. Ia memberikan perlengkapan yang penting bagi logika dan rasio untuk menumbuhkan dan mengembangkan berbagai seni dan ilmu pengetahuan. Falsafah juga berfungsi sebagai landasan perjuangan Muslim, di samping sebagai jembatan yang menghubungkan antara semangat logika dan kepuasan spiritual. Lihat Nasr, “The Meaning and Role of Philosophy in Islam”, dalam Studi Islamica, Vol. 37, Paris, 1973, h. 79.
26
Istilah perennis diduga untuk pertama kali digunakan oleh Agustinus Steuchus (1497-1548) sebagai judul karyanya De perenni Philosophia yang diterbitkan pada tahun 1540. Istilah itu kemudian dimasyhurkan oleh filosof modern, Leibnitz.11 Menurut Huxley, filsafat perenial merupakan
metafisika yang
menganggap bahwa dalam dunia wujud, kehidupan dan jiwa secara substansial terdapat realitas ketuhanan, atau etika yang menempatkan tujuan akhir manusia dalam mengetahui dasar semua wujud yang imanen maupun transenden adalah abadi dan universal.12 Inti filsafat ini menyelidiki terutama tentang Yang Esa, substansi realitas ketuhanan yang memancar ke berbagai wujud, kehidupan, jiwa. Filsafat ini juga mempunyai banyak cabang dan rantinnya yang berhubungan dengan kosmologi, antropologi, seni, dan disiplin lainnya dan memandang segala sesuatu secara religius dan menentang segala bentuk relativisasi. Bersamaan dengan itu, filsafat ini menentang konsepsi-konsepsi kebenaran parokial, yaitu melihat sesuatu panjelmaan tertentu dari suatu kebenaran sabagai kebenaran itu sendiri.13 Filsafat perenial manganggap bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoterik terdapat suatu pengetahuan dan pesan-pesan keagamaan yang sama, yang dikemas dalam berbagai bantuk simbol. Dalam agama Hindu dan Budha ada yang
Seyyed Hossein nasr, “Preface” dalam Frithjof Schuon, Islam and the Perenial Philosophy, (London: Word of Islam, Festival Publishing co. 1976), h. vii. 12 Aldous Huxley, The Perennial Philosophy (London: Fontana Books, 1959), h. 9. 13 Nasr, “Filsafat Perenial: Perspektif Alternatif untuk studi Agama”, dalam Ulumul Qur`an, Vol III, no. 3, 1992, h. 92. 11
27
disebut Sanata
Dharma, yaitu
kebijaksanaan
abadi yang harus
menjadi
kontekstualisasi agama itu dalam situasi apa pun. Sehingga agama memanifestasikan diri dalam bentuk etis dalam keluhuran hidup manusia.14 Selanjutnya, bagi kaum perenialis, tauhid dalam Islam bukan hanya milik Islam, melainkan lebih sebagai jantung agama. Islam sebagai agama, tak lain adalah penegasan kembali tauhid, dan semua agama dipandang sebagai pengulangan dalam penegasan gagasan tauhid, tetapi dalam iklim dan bahasa yang berbeda. Oleh kerena itu, dalam setiap agama gagasan tauhid akan ditemukan.15 Pemikiran Nasr tersebut berdasarkan pada kerangka dasar sufisme. Tasawuf, seperti yang dikatakan Nasr sebagai dimensi dalam dari wahyu keislaman, adalah upaya yang luhur dan sebagai upaya untuk mencapai kemurnian tauhid. Sedangkan tauhid bagi umat Islam adalah menjadi landasan etika yang paling dasar ketika pertama kali menyatakan keislamannya. Semua orang Islam yakin akan ketuhanan (tauhid) sebagaimana terungkap dalam pengertiannya yang paling universal, yang terdapat di dalam lafaz syahadat “la illaha illa Allah”,namun bagi Nasr, hanya oleh seorang sufilah konsep kesatuan itu telah mampu malaksanakan. Hanya ia yang menyaksikan Tuhan di mana-mana. Manurut Nasr, kebanyakan manusia menyakini keesaan Tuhan, namun sesungguhnya dia hidup dan berbuat seolah-olah dengan banyak Tuhan. Dengan demikian mereka sebetulnya talah terjangkit dosa politeisme 14
Budhi Munawar Rahman, “Kebijasanaan Perenial dan Kritik Terhadap Modernisme”, Kompas 22 Mei 1993. 15
Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (New York: Crossroad, 1981), h. 17.
28
atau syirik. Maka tasawuf berusaha menelanjangi syirik ini dan oleh kerenanya tasawuf mengobati jiwa dari penyakit yang parah dan tasawuf bertujuan untuk menjadikan manusia utuh kembali sebagaimana ketika ia ditaman firdaus. Dengan kata lain, tujuan tasawuf adalah pengutuhan manusia kembali dengan seluruh kedalaman dan keluasaan keberadaannya. Dengan seluruh keluasan yang tercakup dalam pribadi manusia universal. (Insan Kamil). Tujuan tasawuf untuk mencapai keadaan paling murni ini, bukan melalui peniadaan akal pikiran sebagaimana sering terjadi di dalam praktek kesalehan gerak keagamaan tertentu, namun melalui pengutuhan tiap unsur dari wujud seseorang menuju pusatnya sendiri secara benar.16 Untuk lebih khusus mengikuti pemikiran Nasr terhadap masalah-masalah modernisme diperjelas oleh metodologi pemikitannya, yaitu metode komparasi yang dipergunakan Nasr untuk dapat memahami kontradiksi-kontradiksi dalam tradisi filsafat Timur dan Barat. Menurut Nasr, filsafat yang harus dipahami dalam metode ini adalah filsafat dengan dua pengertian sebagai proses pemikiran secara terpadu dengan pengalaman spiritual dan sebagai proses pemikiran yang sama sekali terlepas dari pengalaman spiritual, karena bagi Nasr, manusia kontemporer telah kehilangan bahasa kebijaksanaannya secara seragam, manusia-manusia modern tidak lagi memiliki landasan bersama untuk memungkinkankomunikasi yang berarti, terutama sekali diantara dunia modern dan tradisi-tradisi timur.17
16
Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, h. 36-8. Seyyed Hossein Nasr, Nestapa Manusia Modern diterjemahkan oleh Anis Mahyudin (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), h. 48. 17
29
Selanjutnya, istilah “tradisi” menurut pengertian dasar yang dipergunakan oleh para “tradisionalis” merupakan term yang menyiratkan sesuatu yang sakral seperti kalam dalam Islam yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu ataupun pengungkapan dan pengembangan pekan sakral itu di dalam sejarah kemanusiaan tertentu, dalam suatu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan horizontal dengan sumber-sumber ataupun dengan mata rantai vertikal yang menghubungkan tiap denyut kehidupan tradisi yang sering diperbincangkan dengan realitas transenden metahistorikal. Oleh karena itu dalam pengertian yang mendasar, tradisi bisa berarti al-din, dalam pengertian seluas-luasnya yang mencakup seluruh aspek agama dalam percabangannya. Bisa pula disebut al-sunnah, yaitu apa yang didasarkan pada model-model sakral dan menjadi tradisi sebagaimana umumnya dipahami. Bisa juga diartikan “silsilah” yaitu rantai yang mengkaitkan setiap periode episode tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber-sumber, seperti yang digambarkan Nasr, bagai sebuah pohon dimana akar-akarnya tertanam melalui wahyu di dalam sifat ilahi dan dari pohon tradisi itu tumbuh batang dan cabangcabang sepanjang zaman. Di jantung pohon tradisi itu berdiam agama. Tradisi menyiratkan kebenaran yang langgeng dan tetap. Kebijaksanaan yang oleh prinsipprinsipnya yang langgeng terhadap berbagai situasi ruang dan waktu.18
18
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, diterjemahkan oleh Luqman harun dan Thahiruddin Lubis (Bandung: Pustaka, 1987), h. 3.
BAB III PENDEKATAN TEORI DAN ETIKA EKOLOGI
A. Pendekatan Tasawuf Terhadap Alam Descartes adalah diantara tokoh filsafat modern yang terkenal dengan pernyataannya “Cotigo ergo sum”, saya berfikir maka saya ada”. Pernyataan tersebut menyimpulkan bahwa hakekat manusia adalah pikirannya dan bahwa semua benda yang dapat kita tangkap secara jelas dan benar. Cotigo Descartes ini telah membuat pikiran menjadi lebih pasti dari pada materi dan membawa pada kesimpulan bahwa akal dan pikiran merupakan dua hal yang terpisah dan berbeda secara mendasar. Descartes menyandarkan keseluruhan pandangannya tentang alam pada pemisahan fundamental antara dua alam yang mandiri dan terpisah, yaitu alam pikiran, (res cotitaris), dan alam meteri atau res extansa, atau “benda ruang”.1 Baik pikiran maupun materi merupakan ciptaan Tuhan yang menampilkan titik referensi yang sama, yang menjadi sumber tatanan alam yang pasti dan sumber cahaya penalaran yang memungkinkan manusia mengenali tatanan alam ini. Dalam pandangan Descartes tersebut, eksistensi Tuhan masih dianggap sangat esensial dalam
filsafat
alamnya.
Tapi
pada
abad-abad
berikutnya
para
ilmuan
menghilangkan setiap referensi eksplisit kepada Tuhan dan mengembangkan teoriteori mereka sesuai dengan pemisahan Descartes terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan
1
Capra, Op. Cit., h. 61.
30
31
yang memusatkan pada rescogitans dan ilmu-ilmu alam memusatkan pada res extanse.2 Dalam pandangan Descartes, alam materi adalah sebuah mesin dan tidak lebih dari itu, tidak ada tujuan kehidupan dan spiritualitas di dalam materi. Alam bekerja sesuai dengan hukum mekanik, dan segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan dalam pengertian tatanan. Gambaran alam mekanik inilah yang telah menjadikan paradigma ilmu bersifat antroposentris3 setelah masa Descartes, dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat pada sikap manusia terhadap lingkungan alam. Pandangan tersebut dikenal dengan “pandangan sekuler”, dimana manusia menjadi pusat kemanusiaannya (antroposentris). Paradigma antroposentris tersebut masuk ke dalam seluruh struktur pemikiran modern yang berkembang sejak abad XVIII dan momentumnya paling jelas adalah abad ke-20 ini.4 Berbeda dengan pandangan sekuler, pendekatan tasawuf terhadap alam cukup memiliki kearifan terhadap lingkungan. Berdasarkan kepada pengertian yang dalam bahwa Tuhan menciptakan alam karena Dia ingin melihat “citra diri-Nya”. Alam diciptakan atas dasar citra Tuhan, sehingga puncak dari kesadaran kehidupan etik manusia dalam tercapainya kulitas ketuhanan dalam dirinya atau tercapainya citra Ilahi dalam diri seseorang.
2
Ibid., h. 62. Suatu pandangan yang hanya mengutamakan kepentingan manusia, sebagai satu-satunya pertimbangan bagi seluruh kebijakan ekologis yang dianggap relevan sebagai pertimbangan moral atau manusia sebagai “egoisme species” dalam istilah Frankena-sebagai satu-satunya “moral patieni” . Lihat Alois A. Nugroho, Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 92. 4 Ibid. 3
32
Untuk meraih kualitas citra ilahi itulah dalam Islam terdapat cara untuk mencapai kehidupan yang benar dengan menekankan keseimbangan dalam kehidupan.Islam memanifestasikan diri dalam kesatuan syari'ah (hukum tuhan) dan thariqah(jalan spiritual yang sering disebut sufisme atau tasawuf). Syari'ah sebagai dimensi eksoterik Islam,yang berurusan dengan aspek lahiriah, sedangkan thariqah me rupakan d imen si esoterik Islam, ya ng be rurusan dengan aspek ba th inia h. 5 Sufisme atau tasawuf dalam istilah qur'aninya disebut "ihsan" (berbuat kebaikan)atau kebajikan tertinggi6. Pengertian tasawuf tersebut, lebih jelas diungkapkan oleh Harun Nasution, bahwa tasawuf adalah tercapainya kedudukan akan adanya hubungan kedekatan dengan Tuhan. Kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan dapat mengambil bentuk ittihad yakni bersatu dengan Tuhan.7 Selanjutnya, untuk dapat memahami pendekatan tasawuf terhadap alam, terdapat beberapa pandangan tasawuf terhadap alam, yakni:
5
Lihat Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hh. 148-58. 6 Kautsar Azhari Noor, “menyemarakkan Dialog Agama: Perspektif Kaum Sufi” dalam Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1996) h. 62. 7
Harun Nasution: Falsafah dan mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 56.
33
a. Alam sebagai wahyu (ayat) Tuhan. Islam memandang alam bukan sebagai realitas yang independen. Akan tetapi, alam adalah sebagai ayat-ayat Tuhan, untuk memahami-Nya s ebagai Realitas Ab solut. Alam sebagai simbol bagi adanya realitas metefisika, sebagai cermin universal yang merefleksikan eksistensinya yang berada diatas dunia. Alam dikatakan sebagai bayang-bayang Tuhan. Alam semesta berasal dari yang Tak Terbatas dan Yang Mutlak, oleh kerena itu diberikannya alam sebagai kunci yang menyingkap rahasia-rahasia wujud manusia sendiri bagaimana rahasia-rahasia alam semesta. Perwujudan yang mutlak dalam bentuk simbol-simbol (rumuz) tersebut adalah suatu aspek ontologis dan merupakan wahyu mengenai tatanan kenyataan yang lebih tinggi di dalam tatanan yang lebih rendah melalui mana manusia bisa dibimbing kembali ke arah dunia yang lebih tinggi. Maka memahami simbol-simbol adalah menerima susunan bertingkat-tingkatan alam semesta dan tingkatan-tingkatan hidup yang jamak.8 b. Adanya kesatuan dan salingberhubungan alam menuju kelangggengan. Dari sudut pandang ajaran metafisik dan kosmologi (tasawuf) terdapat beberapa unsur yang langgeng didalam hubungan manusia dan alam. Pertama, adalah bahwa lingkungan kosmik bukanlah kenyataan akhir, namun memiliki ciri-ciri nisbi dan khayali. Jika seseoarang memahami apa yang dimaksud dengan yang Mutlak (mutlaq), maka dengan pernyataan yang sama seseorang memahami yang nisbi
8
Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, h. 118.
34
(muqayyad) dan akan sampai pada kesimpulan bahwa semua yang tidak mutlak sudah barang tentu nisbi.9 Kedua, aspek dunia sebagai tirai (hijab) dalam bahasa tasawuf adlah dengan sendirinya merupakan suatu unsur yang langgeng dari kosmos. Alam semesta dalam aspek kosmiknya, selalu maya dan akan terus sebagai maya. Yang Mutlak selalu mutlak dan yang nisbi selalu nisb. Di sini sifat alam yang berubah melahirkan
kenyataan
yang
langgeng
yang
bersifat
metafisika
yang
mentrasendensikannya. Membuktikan nisbinya kejadian-kejadian adalah buat mengetahui, dengan memperluas pengetahuan yang sama, tentang yang Mutlak dan Yang Langgeng.10 Proses perubahan alam ini dipandang sebagai pola-pola yang tetap, yang denga pengulangan memadukan waktu dan proses ke dalam citra kekekalan dari adanya kesatuan dan salinghubungan dalam seluruh hirarki realitas. c. Keindahan dan keselarasan alam, adalah aspek ontologi alam. Segala kejadian atau jagad raya ini disebut sebagai ''cosmos'' (Cosmos berasal dari bahasa Yunani), sedangkan dalam bahasa Arab disebut sebgai ''alam'' ('alam), satu akar kata dengan ''ilm'' (ilmu pengetahuan) dan ''alamat'' (alamiah, pertanda). Disebut demikian karena jagat raya ini adalah pertanda adanya Sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan Yang maha Esa.
9
Ibid., h. 116.
10
Ibid., h. 117.
35
Sebagai pertanda adanya Tuhan, jagad raya menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia. Salah satu pelajaran yang diambil dari pengamatan terhadap alam saemesta ialah keserasian, kearmonisan, dan ketertiban. Alam raya diciptakan sebagai haq, tidak bathil, tidak dalam keadaan kacau, melainkan tertib dan indah tanpa cacad,11 makanya disebut unsur kualitatif dan kerohanian alam yang merupakan aspek ontologi alam sendiri.12 Sebagai sesuatu yang serba baik dan serasi, alam yang juga berhikmah, penuh maksud dan tujuan, tidak sia-sia. Alam raya adalah eksistensi teleogis. Hakikat alam yang penuh hikmah, harmonis, dan baik itu mencerminkan hakikat Tuhan,Yang Maha Pencipta. Seperti yang dijelaskan oleh Isma'il al-Faruqi: Hakikat cosmos adalah teleogis, penuh maksud, memenuhi maksud Penciptanya, dan cosmos bersifat demikian adalah karena adanya rancangan. Alam tidaklah diciptakan sia-sia, atau secara main-main, Alam bukanlah hasil suatu kebetulan, suatu ketidaksengajaan. Alam diciptakan dalam kondisi sempurna. Semua yang ada begitu harmonis dan memenuhi suaut tujuan Universal. Alam ini adalah benar-benar satu ''cosmos'' (Keharmonisan) bukan suatu kekacauan.13 Penciptaan alam penuh hikmah dan mempunyai tujuan ini, disebutkan dalam firman Allah SWT.Surat al-Imran/3:190-191
ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦ.ِﺎﺏﺎﺕٍ ﻟِﺄﹸﻭﻟِﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﻟﹾﺒﺎﺭِ ﻟﹶﺂﻳﻬﺍﻟﻨﻞِ ﻭﺘِﻠﹶﺎﻑِ ﺍﻟﻠﱠﻴﺍﺧﺽِ ﻭﺍﻟﹾﺄﹶﺭﺍﺕِ ﻭﻮﻤﻠﹾﻖِ ﺍﻟﺴﺇِﻥﱠ ﻓِﻲ ﺧ
11
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1986), h. 290. Ibid., h. 239. 13 Isma`il dan Lois Lamyu, al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillas Pub. CO., 1986), h. 74. 12
36
ﺎﻨﺑﺽِ ﺭﺍﻟﹾﺄﹶﺭﺍﺕِ ﻭﻮﻤﻠﹾﻖِ ﺍﻟﺴﻭﻥﹶ ﻓِﻲ ﺧﻔﹶﻜﱠﺮﺘﻳ ﻭﻮﺑِﻬِﻢﻨﻠﹶﻰ ﺟﻋﺍ ﻭﻮﺩﻗﹸﻌﺎ ﻭﺎﻣ ﻗِﻴﻭﻥﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪﺬﹾﻛﹸﺮﻳ ِﺎﺭ ﺍﻟﻨﺬﹶﺍﺏﺎ ﻋ ﻓﹶﻘِﻨﻚﺎﻧﺤﺒﺎﻃِﻠﹰﺎ ﺳﺬﹶﺍ ﺑ ﻫﻠﹶﻘﹾﺖﺎ ﺧﻣ Sesungguhnya dalam penciptaan seluruh langit dan bumi (jagad raya) pastilah terdapatayat-ayat bagi mereka yang berakal budi.Yaitu mereka yang selalu ingat kepada Allah SWT,baik pada saat berdiri,saat duduk,maupun pada saat berada pada lambung-lambung mereka(berbaring),lagi pula pemikiran kejadian seluruh langit dan bumi ini,(seraya berkata),''ya Tuhan kami,tidaklah engkau menciptakan ini semuam secara bathil.Maha suci Engkau,maka Lindungilah kami dari azab neraka.
d. Alam saebagai mi'raj (the ladder) Bagi seorang sufi, alam merupakan tempat bagi perjalanan spritualnya ''spritual voyage''.14 Dalam hubungan manusia dengan alam semesta, manusia memandang eksistensi alam dalam tingkatan wujud uinisversal (al-wujud al-kulli). Dengan ini manusia dapat mengetahui secara pasti darimana ia datang, mengapa ia hidup dan kemana ia akan pergi. Al-Qur'an memberikan ketentuan ini dalam katakata yang agung: ''Sungguh, kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali''.15 Seperti pengajaran yang bijak dari Ibn Sina, yang menjelaskan kesempurnaan jiwa rasional, yaitu cita-cita yang harus dicapai oelh seorang sufi. Gagasan kuncinya adalah perubahan jiwa dengan menerima apa yang ada di baliknya. Dimulai sebagai 14
Mulla Shadra mengungkapkan bahwa ada empat safar yang harus dilakukan. Pertama, safar min al-khalaq ila al-Haq (safar dari lam makhluk menuju Tuhan); kedua, safar fi al-Haq ma ’a al-Haq (safar dalam Allah bersama Allah); ketiga, safar min al-Haq ila al-khalq ma`a al-Haq (safar dari Allah menuju mahkluk bersama Allah); dan keempat, safar fi al-khalq ma ’a al-Haq (safar bersama Allah dalam makhluk). Dikutip dari Hussein Shahab “Madzhab Tasawuf Perspektif Ahlul Bait” dalam Kuliah-kuliah Tasawuf (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), hh. 85-94. 15 Q.S. Al-Baqarah/2: 191
37
suatu ''akal materi'' (al-aql al-hayulani). Disini Ibn Sina ingin menggambarkan ''jalan yang harus dilintasi untuk maju dari tahap potensi murni menuju aktualita total. ''Materi'' dalam ''Akal Materi'' tidak berarti terbuat dari materi dalam pengertian modern. ''melainkan belum menjadi bentuk '' dalam pengertian Aristoteles, yakni sifat-sifat rasional dan intelektualnya yang akan dapat memberinya identitas manusia yang khas sebagaimana jiwa yang murni.16
B. Hubungan Tuhan,Manusia,dan Alam. Ajaran Islam menekankan keesaan Tuhan. Bahwa di luar segala sesuatu dan di atas segala sesuatu adalah keesaan-Nya,seperti disebutkan dalam al-Qur'an:
ﺪﺍ ﺃﹶﺣ ﻛﹸﻔﹸﻮ ﻟﹶﻪﻜﹸﻦ ﻳﻟﹶﻢ ﻭ.ﻮﻟﹶﺪ ﻳﻟﹶﻢ ﻭﻠِﺪ ﻳ ﻟﹶﻢ.ﺪﻤ ﺍﻟﺼ ﺍﻟﻠﱠﻪ.ﺪ ﺃﹶﺣ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻗﹸﻞﹾ ﻫ Katakanlah,Dialah Allah yang Maha Esa,Allah tempat bergantung segala Sesutu,Dia tidak pernah beranank dan tiada pula diperanakkan,dan tidak ada seorangpun yang menyamai-Nya.17
Kerangka teologis dari ajran Keesaan Tuhan inilah yang mendasari segala ide, pemikiran dan sikap, tindakan manusia dalam mempresepsi kehidupannya.18 Termasuk juga dasar hubungan Tuhan-manusia dan alam. Bahkan dinyatakan dalam al-Qur'an bahwa manusia mengikararkan keesaam Allah dan Kekuasaan-Nya sejak
16
Sachiko Murata, The Tao of Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti & M.S. Nasrullah (Bandung: Mizan, Cet. Ke IV 1998), h. 343. 17 Qs: Al-Ikhlâsh/112: 1-4 18 M. Tasri dan Elza Peldi Taher. “pengantar” dalam Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), h. xi-xiii.
38
sebelum penciptaanya didunia, seperti dalam ungkapan al-Qur'annya :''Alastu bi rabbikum'',
''Tidakakah
aku
ini
Tuhannmu'',
''balâ
syahidnâ,''
ya
kami
menyaksikannya ''.19 Allah SWT, selain sebagai pencipta alam semesta, juga adalah pemeliharaan dan tempat kembalinya segala sesuatu. Ini berarti bahwa hubungan Allah dengan alam semesta tidaklah terbatas hanya sebagai pemulaan segala sesuatu, tetapi akhir kembali alam semesta adalah hanya kepada-Nya.20 Maka bagi seorang muslim hidup harus dengan kesadaran bahwa dia bukan hanya berasal dari Allah, tetapi ia dipelihara setiap saat oleh-Nya dan akhirnya ia akan kembali kepada-Nya seperti halnya setiap ciptaan. Kesadaran ini yang sebetulnya menjadi kecenderungan alamiah manusia untuk meyakini apa yang disaebut Rudolf Otto sebagai nominous.21 Yakni perasaan dan keyakinan terhadap adanya Yang Maha Kuasa, yang lebih agung, yang tidak bisa dijangkau dan dikuasai oelh akal manusia. Dengan adanya kesadaran akan adanya wujud yang lebih tinggi (Ultimate Being) ini akan menjadi referensi bagi tindakan manusia,baik dalam keadaaan bahagia,sedih ataupun takut. Bahkan hal itu menjadi acuan dalam pencarian rasa aman dan damai. Dengan demikian, maka sejarah manusia hamper sepenuhnya berarti mencari dan mendekati Wujud tertinggi.
19
Q.S.: Al-A`râf/7: h. 172. Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, diterjemahkan oleh Thayyibi (bandung: Mizan, 1994), h. 30. 21 Rudlof Otto, The Idea of The Holy (Oxford: Oxford University Press, 1958), h. 5. 20
39
Bagi manusia, keinsafan akan kehadiran Wujud tertinggi (Ultimate Being) ini bukan hanya mendatangkan kebahagiaan,tetapi juga memberikan bimbingan dalam menemukan otoritas yang kepadanya manusia harus menyandarkan harapan dan citacita dalam hidupnya. Demikian pula, cinta dan dedikasinya. Dengan keinsafan seperti itu, kebesaran kekuasaan manusia yang sebenarnya semu dan nisbi menjadi karakter yang mutlak dan total yang melekat pada identitas ketuhanan.22 Maka dengan adanya kesadaran akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan, manusia mendapatkan tempat bergantung bagi segala dedikasi dan cita-cita hidupnya, di tenga-tengah kehidupan manusia yang serba Nisbi dan tak berdaya, sebab hanya Tuhanlah yang mempunyai kekuasaan yang haq. Selain itu, keinsafan akan ketuhanan itu itdak hanya berhenti pada sikap percaya dan mengakui'tetapi juga melahirkan sikap taat dan setia.taat untuk selalu menghubungkan diri dengan kekudusan tuhan. Setia untuk selalu menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Etos dari rasa kesetiaan dan ketaatan itu diantaranya terwujud dengan ritus-ritus dan upacara-upacara keagamaan,yang berfungsi sebagai sarana yang menghubungkan menusia dengan Tuhan. Oleh kerena itu, merupakan suatu kewajaran apabila fenomena peribadatan dan kepercayaan itu disebut sebagai ciri universal masyarakat manusia.23
M. Nasir Tama dan Elza peldi Taher, “Pengantar” dalam “ Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), hh. xi-xiii. 23 Betty R. Scharf, The Sociological Study of Relegion (London: Hutchinso and Co. Ltd., 1970), h.1. 22
40
Dalam pandangan tauhid terdapat tiga prinsip realitas yang mendasari hubungan tuhan-manusia-alam yang akan memberikan penjelasan holistic seluruh realitas. Pertama, dualitas yang menjelaskan bahwa realitas terdiri hanya dari dua jenis: Khalik dan makhluk. Dengan kedudukan manusia sebagai mahluk, manusia tidak mungkin menjadi pencipta, menguasai seluruh realitas secara absolute. Ia harus runduk pada apa yang menjadi ketentuan al-khalik.24 Kedua, ideasionalitas. Meskipun pada prinsip pertama terdapat dualitas dan pemisahan yang tegas antara khalik dan makhluk,sebenarnya keduanya terdapat hubungan ideasional yang memungkinkan manusia dapat memahami-Nya (al-khalik), bukan dalam pengertian meteri,tapi hasil ciptaaan tuhan di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang aksiomatik berupa hokum alam (Sunattullah). Ketiga, adalah teleologi yang menjelaskan sifat kosmos yang bertujuan, melayani tujuan Penciptanya, dan melakukan hal itu berdasarkan rancangan.25 Realitas tuhan sebagai wujud mutlak,tergambar dengan jelas dalam namanama dan sifat-sifat-Nya. Dia adalah sebagai Sumber Rahmat, Yang Maha Pengampun, Yang Maha Pemelihara, Yang Maha Tahu, Yang Maha Mendengar dan sebagainya. Nama-nama ini, di sebut dalam al-Qur'an sebagai nama-nama Allah SWT yang indah (Al-asmu'u Al-husna), ini juga bermakna bahwa dimana pun Allah SWT berada, ia mewahyukan diri-Nya kepada ummat manusia.26
24
Ismail Raji al Faruqi, Tauhid, h. 10. Ibid. 26 Nasr, menjelajah Dunia Modern, h. 35. 25
41
Tentang nama-nama dan sifat-sifat Tuhan ini, al-Qur'an sering mengacu kepada kata wajh (wajah) seperti contoh dalam ayat: "kemanapun engkau menghadap, disanalah wajah Allah."27. Karena itu, "wajah" (wajh) berarti sejumlah nama dan sifat Tuhan yang ada dalam dunia ciptaan. Dalam hal ini ada aspek ilahiah yang berada di atas dan di luar penciptaan dan yang tidak ada kaitannya dengan hukum penciptaan. Wajah Allah SWT. adalah benar-benar aspek ilahiah yang mewujud dan berkaitan dengan penciptaan dan karenanya mencakup nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang berhubungan dengan aksi kreatif serta eksistensi hukum penciptaan. Seperti dalam Al-Qur'an dinyatakan: "Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya.28” Ini mengandung makna bahwa segala sesuatu di alam ini, manusia, langit dan bumi serta isinya akan musnah. Namun nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT, yang menjadi sumber dan awal segala sesuatu tetap ada.29 Penciptaan dan kemaujudan alam adalah berdasarkan kepada kehendak bijak tuhan, tatanan kemaujudannya berdasarkan kepada kebaikan dan rahmat-Nya, oleh kerena itu, agar maujud alam dapat mencapai kesempurnaan, maka alam haruslah berkutuk satu yakni menuju kesempurnaan tuhan dan bahwa alam pada hakikatnya dari (milik) Allah dan kembali kepada-Nya.30 Pandangan dunia tauhid ini memberikan ruh, tujuan, dan makna kepada kehidupan, karena ia menempatkan menusia dijalan kesempurnaan yang itdak ada batasnya, dan didalamnya terkandung
27
Q.S. Al-Baqarah/2: 115. Q.S. Al-Qashash/28: 88. 29 Nasr, Menjelajah dunia Modern, Op. Cit., h. 37. 30 Q.S. al-Baqarah/2: 156. 28
42
komitmen dan tanggung jawab individu terhadap yang lainnya dalam menemukan makna. Alam adalah mahluk yang terlestarikan melalui santunan dan kehendak Ialhi. Makanya tatanan yang ada adalah tatanan yang terbaik dan paling sempurna.31 Hubungan tuhan dengan lingkungan ini meliputi hubungan struktural, yaitu tuhan sebagai pencipta lingkungan dan sebagai pemilliknya; serta hubungan fungsional, yaitu tuahn sebagai pemeliharaan lingkungan.32 Tuhan sebagai pencipta lingkungan mengacu kepada ayat-ayat penciptaan yang menyatakan tuhan sabagai pencipta secara kreatif, 'Badi' (Pencipta atau creator),seperti disebutkan dalam al-Qur'an:
ﻮﻫﺀٍ ﻭﻲ ﻛﹸﻞﱠ ﺷﻠﹶﻖﺧﺔﹲ ﻭﺎﺣِﺒ ﺻ ﻟﹶﻪﻜﹸﻦ ﺗﻟﹶﻢ ﻭﻟﹶﺪ ﻭﻜﹸﻮﻥﹸ ﻟﹶﻪﻰ ﻳﺽِ ﺃﹶﻧﺍﻟﹾﺄﹶﺭﺍﺕِ ﻭﻮﻤ ﺍﻟﺴﺪِﻳﻊﺑ ﻠِﻴﻢﺀٍ ﻋﻲﺑِﻜﹸﻞﱢ ﺷ Dia pencipta langit dan bumi.bagaiman dia mempunyai anak,padahal dia tidak mempunyai istri? Dia menciptakan segala sesuatu; dan dia mengatahui segala sesuatu.” 33 Disini tuhan adalah sebagai Pencipta atau khalaq. Alam semesta bukan realitas yang berdiri sendiri. Alam semesta menyandarkan eksistensinya sepenuhnya pada pemeliharaan Tuhan. Lebih dari itu, seluruh keteraturan, keselarasan, dan hukumnya berasal dari Allah SWT. Keselarasan yang mengagumkan dalam alam ciptaan adalah refleksi tauhid, perwujudan Yang Maha Esa di dunia yang serba ragam ini. 31
Syamsul arifin, Op. Cit., h. 185 Mujiyono, Op. Cit. 33 Q.S. Al-An’am/6 : 101 32
43
Hukum alam bukanlah sebagai hukum independen yang berjalan dengan sendirinya, seolah-olah dunia memiliki inpendensi ontologis. Hukum-hukum ini adalah sebagai refleksi kebijaksanaan Allah dan juga perwujudan kehendak-Nya. Allah-lah yang berkehendak bahwa matahari terbit setiap pagi di timur dan terbenam di barat. Al-Qur'an sendiri selalu mendorong manusia untuk mempelajari hukum alam dengan menerima pengetahuan yang selalu bersandar pada pengetahuan tentang Allah SWT dan harus selalu berdasar pada kesadaran bahwa dunia tidak independen total denga sendirinya,tetapi mengambil sumber keberadaannya, hukumnya, keselarasan dan transpormasinya dari sumber segala-segalanya, yaitu Allah SWT.34 Al-Qur'an memberi penjelasan bahwa manusia diberi kekuatan untuk mengatur segala sesuatu melalui kenyataan bahwa Allah SWT. mengajarkan namanama kepada Adam, memberi manusia tanggung jawab perwalian terhadap alam. Takhsir atau penaklukan alam bukan berarti perebutan dan dominasi terhadap alam secara buta serta egois, tetapi itu berarti hidup selaras dengan alam, memperhatikan kebijaksanaan Allah melalui alam dan memanfaatkan kemurahan secara bijak sesuai dengan tujuan akhir manusia, yaitu hidup sebagai seorang muslim yang baik dan kembali kepada sang pencipta. Disinilah hukum moral (etika Islam) harus menjadi kesadaran pada manusia berlaku tidak hanya terhadao masyarakat manusia, tetapi juga mencakup hewan, tumbuhan, dan lain-lain dari alam.35
34 35
Nasr, Menjelajah Dunia Modern, h. 48. Ibid.
44
Kemudian, unsur penting dari kesadaran kita tentang Tuhan adalah kesadaran etis tentang Tuhan sebagai itempat kembali. Implikasinya adalah bahwa manusia harus hidup secara etis di dunia ini, bukan karena takut pada uhkum eksternal, tetapi takut kepada Allah SWT. kecintaan kepada Allah dan pengetahuan tentang Allah berlandaskan pada ketakutan fundamental terhadap-Nya dan itulah sebabnya dikatakan ra's al-hikmah makhafat Allah (awal mula kebijaksanaan adalah ketakutan terhadap Allah). Ketakutan itu berkaitan bukan hanya terhadap keangugan Allah SWT, tetapi juga terhadap kemuliaan manusia,terhadap kenyataan bahwa kita telah diberi tanggung jawab sebagai manusia dan dianugrahi kebebasan untuk mengikuti ajaran Allah atau mengingkarinya.36 Sebagai ringkasan, ajaran Islam berdasarkan ajaran menyeluruh tentang watak ilahiah. Syahadah berisi ajaran yang utuh tentang Allah karena menghalau relativitas, kemenduaan, kemungkinan lain dari keilahian, dan berisi pengetahuan tentang Tuhan berdasarkan Keesaan-Nya.Allah adalah Esa, Absolut, Tak Terbatas, serta sumber segala kebaikan dialam semesta. Dia adalah sumber seluruhu realitas. Milik-Nyalah segala ''harta tersembunyi.'' Tak ada satu pun di alam semesta yang berjalan di muka bumi,yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Dan tak ada yang hidup tanpa ditahbiskan serta dilindungi oleh kehendak-Nya. Manusia hidup dalam sebuah lingkungan yang sangat bergantung kepada Allah dan membuka setiap kesempatan serta setiap tempat menuju transendensi yang tak lain adalah Allah SWT. Islam sangat menekankan Transendensi Allah yang berada di atas segalanya adalah Dia. 36
Ibid., h. 51.
45
Dia sangat dekat kepada manusia seperti dinyatakan dalam ayat al-Qur'an, ''Dan Kami Lebih Dekat kepadanya daripada urat lehernya''.37 Bahkan Allah SWT lebih dekat kepada lita melebihi diri kita sendiri.Disini,pada satu sisi Dia beanr-benar berada di luar dan di atas kita; pada sisi lain Dia menjadi pusat keberadab kita. Itulah sebabnya mengapa Dia mengatakan, ''Jiwa kaum beriman adalah mahkota Yang Maha Penyayang''.38 Pelajaran penting dari kesadaran tersebut tentunya senantiasa mengigat realitas kematian dan kehidupan sesudah mati.Konsekuensi tertinggi prilaku kemanusian kita dan tanggung jawab kepada Allah terhadap apa yang kita lakukan,harus senantiasa mengigat berkah utama kehidupan manusia, yang memungkinkan kita,dengan rahmat Allah SWT,memliki kebebasan bertindak dan menerima ajaran Allah SWT. Atas dasar kebebasan dan bukan berdasarkan paksaan. Tanpa realitas eskatalogi,ajaran agama lain akan kehilangan pengaruhnya, dan penekanan spiritual kehidupan manusia di dunia ini sebagai bagian dan berkah realitas kemanusiaan akan menghilang,meninggalkan kehidupan menusia tanpa arti apa-apa.39
37
Q.S. Qaaf/50: 16. Nasr, Menjelajah Dunia Modern. H. 40. 39 Ibid., h. 54. 38
46
C. Kedudukan Manusia Manusia sebagai Mahluk yang diberi kemampuan membaca (alam) telah menempatkan dia dalam kedudukannya yang lebih tinggi, yakni sebagai khalifah. Kedudukam demikian merupakan konsekuensi pemberian potensi yang inheren dalam penciptaannya, yaitu akal. Kedudukan manusia sebagi khalifah disempurnakan pula dengan kedudukannya sebagai hamba Allah ('abd Allah). Jika pada kedudukan pertama, manusia dituntut aktif untuk memelihara dan memakmurkan alam dalam bentuk pembudidayaan yang konstruktif bagi kehidupan semesta, maka pada kedudukan kedua, manusia dituntut pasrah (hanief) kepada Allah.40 Dengan demikian, kedudukan manusia yang kedua dalam kaitannya dengan kedudukan pertama akan dituntut melakukan transendensi dalam merealisasikan fungsi kekhalifahannya. Tanpa ditopang kedudukannya sebagai 'abd Allah, kekhalifahan akan barakibat pada sikap antroposentrisme mutlak. Kedudukan ini pula yang akan memberikan kesadaran etis pada diri manusia bahwa kekhalifahan yang diterimanya merupakan amanah dari Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan penunjukkan itu, maka martabat manusia menjadi sangat tinggi; ia adalah puncak ciptaan-Nya.41
40
Bahwa orientasi ilmiah manusia harus dibimbing oleh nilai ruhaniah yaitu nilai yang memancar dari rasa makna paling mendalam dengan berasakan kesadaran sebagai makhluk yang berasal dari Tuhan. Lihat Nurcholish Majid. Islam Doktrin dan Peradaban, h. 304. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dalam Pidato pengukuhan Guru Besar Dr. Nurcholish Majid dengan judul “Kekhalifahan Manusia, Hukum Keseimbangan, dan Reformasi Bumi 41 Ibid.
47
Konsep khilafah yang melekat pada manusia ini, jika dikaitkan dengan tanggungjawab ekologis manusia, niscaya akan melahirkan sistem keyakinan yang mempercayai bahwa secara oprasional pemeliharaan tuhan terhadap lingkungan adalah tidak secara langsung, melainkan diserahkan kepada sunnah limgkungan, sunnah al-bi'ah, dimana manusia menjadi bagian dari salah satu komponen dalam ekosistem.42 Kekhalifahan manusia terhadap lingkungan ini mempunyai nilai yang strategis,yakni sebagai pengelolah lingkungan.atau dapat disebut bahwa manusia memiliki peran fungsional sebagai "kepanjangan tangan" Tuhan dalam mengelola lingkungan. Manusia menjadi perwakilan Tuhan atau penerima tanggung jawab, penerima amanah Tuhan. Rumusan ini didasarkan pada landasan spiritual al-Qur'an surat al-Ahzab/33:72:
ﺎﻬ ﻣِﻨﻔﹶﻘﹾﻦﺃﹶﺷﺎ ﻭﻬﻤِﻠﹾﻨﺤ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﻦﻴﺎﻝِ ﻓﹶﺄﹶﺑﺍﻟﹾﺠِﺒﺽِ ﻭﺍﻟﹾﺄﹶﺭﺍﺕِ ﻭﻮﻤﻠﹶﻰ ﺍﻟﺴﺔﹶ ﻋﺎﻧﺎ ﺍﻟﹾﺄﹶﻣﻨﺿﺮﺎ ﻋﺇِﻧ ﻮﻻﹰﻬﺎ ﺟ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻇﹶﻠﹸﻮﻣﻪﺎﻥﹸ ﺇِﻧﺴﺎ ﺍﻟﹾﺈِﻧﻠﹶﻬﻤﺣﻭ Sungguh kami telah mengemukakan amanah kepada langit,bumi,dan gunung,maka semuannya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan menghianatinya,dan dipikullah amanah itu oleh menusia.sesungguhnya manusia amat lazimdan amat bodoh.
Term amânah dalam ayat tersebut, menurut raghid al-isfahani adalah kata benda jadian (mashdar), yang berarti mandat dan kepercayaan 43 Sedangkan dalam
42
Mujiono, Op. Cit., h. 186. Al-Raghib al-Isfahani, Mu`jam Mufradat al-Fadz al-Qur`an, Ed. Nadim Marashily, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972),. Hh. 21-2. 43
48
perspektif al-Qur'an, seperti yang dijelaskan mujiono, bahwa amanah mengandung arti memahaesakan Tuhan, tauhid, keseimbangan, 'adalah, belajar huruf jijaiyah, tahaji dan akal pemikiran, al-aqlu. Di sini pengertian akal pikiran dianggap lebih sesuai. Pengertiannya adalah manusia yang berakallah yang mampu bertauhid, berkeseimbangan dan belajar berbagai ilmu. Maka bisa dipahami jika dalam konteks ayat ini amanah berarti mandat dan kepercayaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai mahluk yang berakal. Langit, bumi, dan gunung menyatakan tidak mampu menerima mandat itu, ketika Tuhan menawarkan amanah tersebut kepadanya, disebabkan mereka tidak memiliki potensi rasional. Sedangkan manusia bersedia menerima mandat yang ditawarkan oleh Allah kepadanya. Karena manusia meyakini bahwa dirinya mampu menerima amanah tersebut karena ia merupakan makhluk rasiional yang mampu bertanggung jawab.44 Dijelaskan oleh al-Qur'an surat al-Baqarah/2ayat30:
ﺎ ﻓِﻴﻬﻔﹾﺴِﺪ ﻳﻦﺎ ﻣﻞﹸ ﻓِﻴﻬﻌﺠﻠِﻴﻔﹶﺔﹰ ﻗﹶﺎﻟﹸﻮﺍ ﺃﹶﺗﺽِ ﺧﺎﻋِﻞﹲ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭﻲ ﺟﻠﹶﺎِﺋﻜﹶﺔِ ﺇِﻧ ﻟِﻠﹾﻤﻚﺑﺇِﺫﹾ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺭﻭ ﻮﻥﹶﻠﹶﻤﻌﺎ ﻻﹶ ﺗ ﻣﻠﹶﻢﻲ ﺃﹶﻋ ﻗﹶﺎﻝﹶ ﺇِﻧ ﻟﹶﻚﺱﻘﹶﺪﻧ ﻭﺪِﻙﻤ ﺑِﺤﺢﺒﺴ ﻧﻦﺤﻧﺎﺀَ ﻭﻣ ﺍﻟﺪﻔِﻚﺴﻳﻭ Ingatlah saat tuhanmu berbincang-bincang dengan malaikat dengan perbincangan sebagai berikut:"sesungguhnya aku mau menjadikankhalifah di bumi".akankah engkau meu menjadikan perusak lingkungan dan penumpah darah ...?padahal kami selalu memuji-muji-Mu serta mensicikan-Mu".tuhan kemudian menjawab,"sungguh aku tahu yang engkau tidak tahu".
44
Ibid., h. 187.
49
Kata kunci dari pokok pikiran ayat tersebut adalah term "khalifah" (Term
“ khalifah" dalam bentuk tunggal diungkapkan dalam al-Qur'an sebanyak dua kali, yakni pada QS.Al-Baqarah/2:30 dan surat al-had/ayat 26). Kata khalifah secara etimologis merupakan bentuk kata profesional dari kata dasar khalifun yang berarti pihak yang tepat menggantikan posisi pihak yang memberi kepercayaan. Sedangkan secara terminologis kata khalifah mamiliki makna fungsional bagwa manusia sebagai mandataris, yakni pihak yang diberi tanggung jawab si pemberi mandat, Tuhan.45 Menurut Quraish Shihab, term khalifah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30 ini tidaklah berkonotasi politis. Sebab diungkapkan dalam bentuk tunggal, khalifah, dan subyeknya berupa orang pertama tunggal, ya' mutakallim; Inni (Sungguh Aku). Pengangkatan Adam sebagai khalifah dalam bentuk tunggal ini, diungkapkan Tuhan kepada adam ketika itu sendiri dalam arti tidak ada pihak lain yang terlibat dengan pengangkatan tersebut.46 Menurut Thabathaba'i,47 term khalifah dalam ayat ini, tidak berkonotasi politis individual, melainkan berkonotasi kosmologis komunal. Oleh karena itu, term khalifah yang oprasionalisasinya dilakukan Adam, sesungguhnya tidak dimasukkan Adam sebagai individu, tetapi sebagai simbol komunitas spesies manusia. Dengan kata lain, sesungguhnya term Adam sebagai penyandang mandataris dimaksudkan
lihat; Muhammad Fu`ad `Abd al-Bâqî, Mu’jam al-Musfahras li-al-Alfadz al-Qur`an, Beirut: al-Fikri. Tth), h. 156. 46 Lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an (Bandung: Mizan, 1993), hh. 156-9. 47 Thabathaba’i, Muhammad al-Husain, Tafsir al-Mizan (Persia: Dar al-Kutub al-Islamiyyah: 1342 [th. Persia]) jld. I. Hh. 116-17. 45
50
sebagai spesies manusia, bukan Adam sebagai seorang pribadi. Dengan demikian, penyandang predikat khalifah adalah seluruh spesies manusia, Adam hanyalah sebagai simbol spesies manusia.48 Berdasarkan uraian diatas maka term khalifah cenderung berkonotasi kultural ekologis. Artinya, manusia diangkat sebagai khalifah adalah mengemban misi ekologis. Sehingga kekhalifahan manusia terdapat linkungan akan mampu menciptakan lingkungan yang lestari. Sebab, kemahapengelolaan Tuhan terhadap lingkungan
adalah
bersifat
potensial,
dan
aktualisasi
tidak
lain
adalah
dipercayakan kepada manusia.ringkasnya, tuhanlah sebagai pengelolah potensial lingkungan dan manusia menjadi pengelola aktual lingkungan.inilah bentuk kerja sama tuhan dengan manusia dalam mengelola lingkungan.49 Manusia akan menjadikan mahluk yang paling sempurnah (ahsanu taqwim) apabila ia dapat mengemban amanah yang diberikan tuhan,karena kemulian dan kesempurnaannya barasal dari kehidupannya dalam kesaksian dan kesadaran terhadap Allah SWT dan dari prilaku sebagai ciptaan yang merefleksikan aspek kebijaksanaan dan kekuasaan Allah SWT di dunia. Sebab, walau seluruh makhluk memiliki kemuliaan dalam arti bahwa mereka diciptakan oleh Allah dan merefleksikan aspek kebijaksanaan Tuhan, manusia adalah satu-satunya pusat mahluk di dunia ini, dan itulah sebabnya mengapa hanya manusialah yang menjadi khalifah atau hamba Allah SWT
dalam
arti
sesungguhnya.
48
Mujiyono, Op. Cit., h. 189.
49
Ibid.
Manusia
memiliki
kekuatan
untuk
51
mendominasi seluruh ciptaan lainnya karena manusia diberi kesadaran untuk memahami sifat Allah dan menaati perintah-Nya, serta memiliki kebebasan dan kemungkinan untuk mengingkarinya.50 Berkaitan dengan kesempurnaan itu pula, tuhan "menundukkan" alam (taskhir) dan menyediakan segala isinya bagi manusia sehingga memungkinkan manusia menjalankan fungsi kekhalifahannya.51 Doktrin taskhir ini meskipun terkesan antroposentris, tetapi berkorelasi kuat dengan tauhid. Sebab ketika seseorang menyatakan diri tidak mempercayai kemutlakan apapun selain Allah Yang Maha Mutlak (Tuhan) itu sendiri, maka ia telah melakukan "devaluasi radikal" atau "sekularisasi" terhadap objek-objek kesucian selain tuhan, karena Dialah Yang Maha Suci. Dengan demikian, hanya dengan tauhid, yang secara langsung dan konsekuen mengimplikasikan taskhir, dimana manusia dapat menjalankan tugasnya dengan benar sebagai khalifah Allah di bumi.52 Selanjutnya,menurut konsep etiko teologis,bahwa secara hirarki batiniah kosmis,alam dan manusia sama-sama ciptaan Allah dam sama-sama menghamba dan berdimensi spritual,karena itu pemampaatan alam oleh menusia tidak boleh mengabaikan spiritualitasnya apalagi mereduksinya secara ekstrem. Makna taskhir tidak berarti menempatkan alam lebih rendah dari manusia,atau sebagai realitas yang terpisah dari realitas kedirian manusia.Alam dan manusia merupakan satu kesatuan 50 51
Nasr, Menjelajah Dunia Modern, h. 42. Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999) h. 222-
223. 52
Ibid.
52
kosmis yang sama-sama berada dalam spektum penciptaan. Inilah konsep tauhid yang meletakkan prisipi dasar relasional lingkungan hidup dengan pandangan dunia (world view) musllim. Seluruh aktivitas muslim termasuk yang berkenaan dengan alam harus senantiasa terdorong oleh kekuatan trasendental yang melingkar memusat untuk mencapai titik akhir (sentrum),yakni ridha Allah.Ruang aktivitas inilah, yang dalam terminologi Islam disebut sebagai penghambatan manusia pada Tuhannya. Sehingga aktivitas itu selalu berada dalam dimensi ibadah . Di sini artinya, Islam tetap merentangkan diri antara antroposentrisme dan teosentrisme tanpa mereduksi salah satunya. Berdasarkan perspektif ekologis,manusia adalah makhluk lingkungan (homo ekologis), dengan pengertiian bahwa manusia dalam melaksanakan fungsinya sebagai salah satu sub dari sistem ekologis,manusia adalah makhluk yang memiliki kecennderungan untuk selalu memahami dan beradaptasi dengan lingkungannya.53 Manusia menjadi makhluk yag diberi kemampuan berpikir,akan mempunyai implikasi prinsipil yang sangat luas bagi eksistensi dirinya.Yakni manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi, dan manusia akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci kekhalifannya itu.54 Untuk memahami keistimewaan manusia dari makhluk tuhan yang lainnya, Mujiyono secara luas memaparkan tentang potensi yang dilimiki manusia.Bahwa
53
Ibid., h. 2.
54
Nurcholish, Agama Doktrin dan Peradaban, h. 302.
53
manusia sebagai makhluk multidimensi. Realitaas multidimensional inilah yang menempatkan manusia dalam posisi paling tinggi dan paling mulia dalam hirarki hakekatnya karena dua potensi yang dimiliki manusia.Yakni karena manusia memiliki potensi biotik fisik yang spesifik dan memliki potensi ruhaniah yang berkembang secara dinamis. Seperti tertuang dalam Q.S.al-Isra'/17ayat 70:
ﻢﺎﻫﻠﹾﻨﻓﹶﻀﺎﺕِ ﻭﺒ ﺍﻟﻄﱠﻴ ﻣِﻦﻢﺎﻫﻗﹾﻨﺯﺭﺮِ ﻭﺤﺍﻟﹾﺒ ﻭﺮ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺒﻢﺎﻫﻠﹾﻨﻤﺣ ﻭﻡﻨِﻲ ﺀَﺍﺩﺎ ﺑﻨﻣ ﻛﹶﺮﻟﹶﻘﹶﺪﻭ ﻔﹾﻀِﻴﻼﹰﺎ ﺗﻠﹶﻘﹾﻨ ﺧﻦﻠﹶﻰ ﻛﹶﺜِﲑٍ ﻣِﻤﻋ Dan sesunguhnya telah kami muliakan anak-anak adam,kami sediakan (Lingkungan dengan daa dukungnya) didaratan dan lautan,Kami anugrahkan rizki yang banyak untuk mereka dan kami lebihkan mereka dengan kelebiihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.
Potensi fisik manusia memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lainnya, diantaranya adalah kelebihan postur tubuh dan fungsi organ tubuh yang sempurna; contoh fungsi tangan yang mempunyai kemampuan selaras dengan kemajuan alam pikirannya. Kemampuan bicara yang sempurna, sehingga kemampuan ini bukan saja menjadi realitas aktual dalam kehidupan manusia, tetapi telah menjadi simbol verbal keistimewaan manusia. Manusia merupakan makhluk yang mampu bertindak katau berkomunikasi melalui simbol. Simbol adalah bersifat sosial, sehingga tidak dapat dipahami secara alamiah melainkan hanya oleh komunitas pemakinya. Karena kemampuan memakai simbol tersebut,maka manusia dapat mengaktualisasikan
54
kemampuan memakai simbol tersebut, maka manusia dapat mengaktualisasikan keinginannya dalam simbol bahasa. Bahasa pun berkembang secara dinamis dengan mengikuti alam pemikiran manusia.Oleh karena itu, berkembanglah bahasa dari bahasa lisan kepada bahasa tulisan, dari yang sederhana sampai yang bersifat kompleks. Dan manusia juga mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Tingginya daya adaptasi ini menghantarkan manusia menjadi makhluk yang bebas lingkungan. Dalam pengertian, manusia merupakan makhluk yang tidak terikat dengan habitat serta profesinya secara ketat. Manusia dapat hidup dalam berbagai daerah panas, begitupun sebaliknya.manusia adalah makhluk yang tidak tergantung pada makanan tertentu dengan sifatnya sebagai makhluk omnifora. Rendahnya tingkat ketergantungan manusia pada makanan tertentu dan rendahnya kadar keterikatannya dengan habittnya memungkinkan ia menyesuaikan diri dengan habitat barunya.55 Sedangkan kaitannya dengan kelebihan manusia secara ruhaniah, dalam diri manusia terdapat tiga potensi yang bersifat ruhaniah, yaitu kemampuan rasional, kemampuan moral, dan kemampuan spritual religius. Ketiga potensi tersebut merupakan satu entitas bagi manusia, sehingga jika salah satu potensi tadi terlepas, akan berakibat hilangnya manusia dan kemanusiaan.
55
Mujiono, Op. Cit., hh. 158-64.
55
1. Kemampuan beragama. Religiusitas
merupakan
realitas dalam kehidupan
manusia, menjadi
karakteristik manusia dan tidak berkembang dalam kehidupan selain manusia. hal ini karena manusia merupakan makhluk spiritual. Dikatakan makhluk spirtual karena walaupun manusia merupakan makhluk materi, tetapi ia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan berhubungan secara ruhaniah dengan Allah SWT. Hubungan spritual manusia dengan Tuhan menjadi realitas dalam diri manusia sebagai makhluk beragama, dimana inti keberagamaannya adalah pengakuan bahwa Allah itu benarbenar ada dan dipercaya sebagai Kebenaran Mutlak.٥٦ Hal ini didasarkan pada Al-Qur'an surat al-Ruum/30:30:
ﻠﹾﻖِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺫﹶﻟِﻚﺪِﻳﻞﹶ ﻟِﺨﺒﺎ ﻻﹶ ﺗﻬﻠﹶﻴ ﻋﺎﺱ ﺍﻟﻨﺓﹶ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺍﻟﱠﺘِﻲ ﻓﹶﻄﹶﺮﻨِﻴﻔﹰﺎ ﻓِﻄﹾﺮﻳﻦِ ﺣ ﻟِﻠﺪﻚﻬﺟ ﻭﻓﹶﺄﹶﻗِﻢ ﻮﻥﹶﻠﹶﻤﻌﺎﺱِ ﻻﹶ ﻳ ﺍﻟﻨ ﺃﹶﻛﹾﺜﹶﺮﻟﹶﻜِﻦ ﻭﻢ ﺍﻟﹾﻘﹶﻴﻳﻦﺍﻟﺪ Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetapkanlah atas) firman Allah yang telah menciptakan menusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu. Munculnya keberagamaan pada manusia, seperti disimpulkan oleh R.Otto, bahwa pengalaman riligius berupa pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Suci adalah muncul dibalik rahasia yang menakjubkan, menakutkan, dan sekaligus menarik. Lebih lanjut, seperti yang diungkapkan Nurcholish,bahwa diri manusia memiliki kecenderungan naluriah kearah kebaikan dan kebenaran (hanifiah). 56
Ibid., h. 183-50.000.
56
Dorongan kesucian itu ada dalam diri manusia yang paling dalam dan paling murni, yakni hati nurani. Dorongan kesucian dan kebenaran yang mutlak adalah datang dari Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang sebenarnya. Maka kecenderungan murni manusia adalah kepada Allah SWT dan dia itu adalah asal dan tujuan yang sebenarnya. Menurut Nurcholish, kesucian manusia juga dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan perjanjian primordial antara manusia dan tuhan,yakni suatu perjanjian menusia dengan tuhan sebelum ia lahir kedunia,bahwa ia akan mengakui Tuhan sebagai pelindung dan pemelihara (Rabb) satu-satu-nya. Sesungguhnya jin dan manusia diciptakan Allah hanyalah untuk tunduk dan menyembah kepada-Nya saja. Inilah paham ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid). Bertauhid, dengan segala konsekuensinya, itulah makna hidup manusia yang hakiki. Yaitu suatu makna hidup atas dasar keinsafan bahwa manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Makna hidup yang hakiki itu melampui tujuan-tujuan duniawi (teresterial), menembus tujuan hidup ukhrawi (celesterial). Meskipun secara naluriah menusia itu suci, ia juga memiliki hawa nafsu (keinginan diri sendiri ) yang sering membuatnya melakukan kesalahan dan mudah tergoda oleh setan untuk melanggar larangan Tuhan. kisah kejatuhan adam dan istrinya ke bumi sebagai bukti akan hak tersebut.adam dan hawa yang diyakini sebagai manusia pertama, telah melupakan perjanjian primordialnya dengan Tuhan. Namun, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada adam dengan memberinya pengajaran (kalimah). Pengajaran itulah yang menjadi petunjuk bagi Adam dan
57
keturunannya untuk menempuh kehidupan dimuka bumi yang penuh godaan, agar mendapat keselamatan dan kebahagiaan.pengajaran kalimah dalam kisah adam dan istrinya itu kini disebut agama (al-din). Dengan demikian, agama pada hakikatnya tetap bersifat kemanusiaan.agama yang dituntunkan Allah melalui para Rasul-Nya yang memberikan tuntunan hidup,merupakan kelanjutan perjanjian primordial manusia. Karena itu, agama disebut juga perjanjian (mîtsâq atau 'aqd) dan intinya adalah sikap tunduk (dîn) yang benar kepada Allah serta sikap penuh pasrah (Islâm) kepada-Nya.57
2.kemampuan berfikir(rasional) Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan rasional. sehingga dengan kemampuan akalnya manusia mampu memahami realitas alam dan lingkungannya. Manusia dapat memahami hukum alam dan sunnah lingkungan. Manusia diangkat sebagai khalifah di muka bumi karena kemampuannya mendayagunakan alam secara maksimal dan bertanggung jawab. Hukum nasution menyebutkan bahwa akal dalam terminologi Islam bukanlah otak dalam pengertian anatomi,malainkan daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia.murtadha muthahhari menyatakan,akal merupakan potensi gaib yang tidak dimiliki oleh mehluk lain.akal mampu menuntun menusia kepada pemahaman diri dan alam. Akal juga mampu melawan hawa nafsu. Selanjutnya, Al-Ghozali 57
Nurcholish, Islam dan Peradaban, hh. xii-xiii.
58
menyatakan bahwa akal merupakan sifat yang membedakan manusia dari binatang. Dengan akalnya manusia mampu menerima bermacam-macam ilmu yang memerlukan pemikiran. Dengan demikian, akal merupakan daya misterius yang menjadi sumber tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan manusia, sebagai alat untuk memahami realitas konkret alam dan lingkungan sehingga kemampuan rasional yang dimiliki manusia ini dalam perspektif ekologis,mampu menjadikan niche ekologis manusia lebih strategis dan dominan dalam ekosistem.58 Rene Descartes menyatakan bahwa manusia adalah mahluk rasional. Eksistensi menusia ditentukan oleh kemampuan daya berfikirnya.dengan akal budi manusia dapat berkembang secara dinamis dan tak berhingga. Menusia memiliki kesadaran diri dan berkemauan yang dinamis, sehingga ia menjadi mahluk yang berbudaya.sebab dengan kesadaran yang rasionalnya itu,ia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehingga walaupun secara fisik kekuatan manusia dianggap lemah, dengan aktualisasi penalarannya ia mampu menguasai dan mengalahkan kekuatan mahluk lain yang lebih kuat. Dengan demikian, aktualisasi penggunaan penalaran menempatkan niche ekologisnya.akibatny,terjadilah
merjinalisasi
komponen-komponen
lain
dalam
ekosistam.inilah awal terjadinya proses disharmoni hubungan manusia dengan lingkungan,yang potensial dituding sebagai akar penyebab terjadinya kerusakan
58
Mujiono, Op. Cit, hh. 165-70.
59
lingkungan antropogenetik.oleh karena itu,pengembangan dan aktualisasi potensi rasional mutlak harus diimbangi dengan pengembangan kemampuan moral yang berwawasan lingkungan agar keseimbangan ekosistem dan optimalisasi daya dukung lingkungan tetap lestari.59
3. kemampuan moral Menempuh jalan hidup bermoral pada dasarnya bukanlah suatu keharusan yang dipaksakan dari luar diri manusia, ia merupakan fitrah manusia itu sendiri. Sehingga menempuh jalan hidup bermoral tidak lain adalah untuk memenuhi naturnya itu. Manusia,menurut kejadiaan asalnya,adalah mahluk pemilik fitrah yang suci dan baik, dan karenanya berpembawaan suci dan baik. Kesucian dan kebaikan fitri dan alami itu mambawa rasa aman dan tentram dalam dirinya. Sebaliknya, kejahatan bukan sifat fitri manusia,karena itu,kejahatan membawa kegelisahan dan konflik dalam diri manusia. Di samping fitrah tadi,manusai juga memiliki sifat lemah,karena sifat itu manusia tidak selalu tunduk kepada fitrah-nya sendiri.meskipun kejahatan sering disebabkan oleh faktor yang datang dari luar,namun ia masuk kedalam diri manusia melalui suatu kualitas yang inheren padanya,yaitu sefat lemah.maka kejahatan pun merupakan bagian dari diri manusia,dan dipandang dari sifat menyimpang dari kefitriannya.sehingga karena ketegangan antara dua kecenderungan itu membuat 59
Ibid.
60
manusia dipandang sebagai mahluk inderterminis moralis,dimana ia bebas menentukan dan memilih sendiri tindakannya,baik maupun buruk, yang kemudian manusia harus mempertanggungjawabkan penentuan dari pilihan-pilihannya itu. Adanya dua kesadaran ini,yaitu kesadaran akan kejahatan dan kebaikan,serta fungsinya sebagai locus kesadaran moral,disebutkan dalam Q.S.al-Syamsu/91:7-10:
ﻦ ﻣﺎﺏ ﺧﻗﹶﺪ ﻭ.ﺎﻛﱠﺎﻫ ﺯﻦ ﻣ ﺃﹶﻓﹾﻠﹶﺢ ﻗﹶﺪ.ﺎﺍﻫﻘﹾﻮﺗﺎ ﻭﻫﻮﺭﺎ ﻓﹸﺠﻬﻤ ﻓﹶﺄﹶﻟﹾﻬ.ﺎﺍﻫﻮﺎ ﺳﻣﻔﹾﺲٍ ﻭﻧﻭ ﺎﺎﻫﺳﺩ Dan demi pribadi manusia, serta bagaimana dia (Tuhan) menyempurnakannya. kemudian diilhamkan oleh-Nya kepada pribadi kejahatan dan kebaikan.maka sungguh kebahagiaanlah orang yang memilahara kesuciannya dan sunnguh celakalah orang yang membenamkannya (dalam kejahatan).
Potensi moral ini pada dasarnya sangat berkorelasi dengan potensi rasional, dua potensi itu bagaikan dua sisi mata uang, satu sisi dari potensi ruhaniah manusia itu adalah sisi moral dan sisi yang lain adalah sisi rasional.potensi rasional bekerja dengan otak dengan mengembangkan kekuatan penalaran logisnya. Sedangkan potensi moral bekerja dengan inti yang ada di dada dengan mengembangkan suara hati dan nurani.potensi rasional bekerja untuk memahami dimensi realitas fisik alamiah,sedangkan potensi moral bekerja untuk memahami dimensi metafisis yang bersifat spritual.Denagan denmikian,penekanan pengembangan salah satu aspek akan menmbulkan kepentingan yang seius.Pengembangan potensi penalaran dengan mengesampingkan ikatan moral alan menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi
61
yang liar dan dikuasai nafsu,Sebaliknya,penegembangan potensi penalaran dengan mengesampingkan keterkaitannya dengan pengembangan nasional akan menjadikan manusia terjebak dalam hubungan normatif yang memiliki kesadaran moral cukup tinggi, tetapi tidak mengusai ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Oleh karena itu, kedua potensi ruhaniah manusia harus dikembangkan secara simultan agar berkembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi sarat dengan muatan moral. Secara etomologis, moralitas berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Mos, kata Mos adalah jamak dari kata Mores yang berarti kebiasaan, adat istiadat. Sedangkan secara terminologis moralitas dipahami sebagai norma atau ukuran dalam menentukan baik buruknya manusia sebagai manusia,bukan sebagai peran tertentu dan terbatas. Dalam lektur Islam,moralitas lazim dikenal dengan istilah al-Akhlâk dan al-Adâb. Akhlak merupakan tolak-ukur untuk memilah prilaku manusia yang terpuji, mahmûdah dan prilaku manusia yang tercela, madzmûmah berdasarkan nilainilai religius Islam. Prilaku dapat dikategorikan terpuji jika prilaku
tersebut
selaras dengan suara hati yang berpihak pada kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab. Sebaliknya, prilaku dapat dikategorikan sebagai prilaku tercela jika bertentangan dengan suara hati. Demikian halnya, al-adâb lazim digunakan untuk mengungkapkan aspek kualitas ruhaniah.Sebaaimana terjelma dalam ungkapan rasullah SAW.Yang diriwayatkan oleh Ahmad:
ﺭﻭﺍﻩ ﺃﲪﺪ. ﺇﳕﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻷﲤﻢ ﻣﻜﺎﺭﻡ ﺍﻷﺧﻼﻕ ''Bahwasanya aku diutus, hanyalah untuk menyempurnakan Akhlak” .
62
Selanjutnya, manusia dikatakan sebagai makhluk bermoral karena manusia merupakan makhluk yang memiliki empat unsur moralitas yakni suara hati, kepribadian, kebebasan dan tanggung jawab. Empat unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dalam diri manusia, sehingga tidak adanya salah satu dari keempat unsur tersebut akan mengurangi bahkan menghilangkan hakikat manusia dan kemanusiaannya.Empat unsur itu pula yang tidak dimiliki oleh hewan atau mahkluk selain manusia.60 Al-Qur`an memperkenalkan manusia sebagai makhluk bermoral tersebut dengan menggunakan berbagai term yakni term suara hati dan nurani, qalb dan fuad, tanggung jawab, lubb dan kebebasan atau kesadaran diri, dan sadar kebebasan.
60
Ibid., hh. 172-3.
BAB IV NILAI-NILAI ETIKA LINGKUNGAN: PERSPEKTIF TASAWUF NASR
A. Tauhid:Visi Keilahian Lingkungan Konsep sentral Nasr adalah Unitas. Ia adalah paham kesatupaduan dan interrelasi dari segala yang ada, yakni dengan merenungkan kesatupaduan kosmos, seseorang dapat menuju ke arah kesatupaduan Ilahi yang dibayangkan dalam kesatupaduan alam dan lingkungan. Ide unitas ini menjadi dasar kosmologi Islam, yang pada hakikatnya adalah kesatuan dan gradasi segala sesuatu. Bahwa secara metafisik, realitas pada akhirnya adalah satu dan tidak banyak, tetapi secara kosmologis, dunia nyata hanyalah satu dari keadaan wujud yang banyak.1 Jika diibaratkan sebuah teks,alam bagaikan selembar bahan penuh lambanglambang yang harus dibaca menurut maknanya dan dur'an adalah padanan teks tersebut dalam kata-kata manusia; kalimat-kalimatnya disebut âyât (tanda-tanda). Persis seperti fenomena alam. Alam dan Qur'an keduanya meneaskan kehadiran dan pemujaan terhadap Tuhan, menegaskan tentang keilahian alam dan lingkungan. Seperti dalam firman Allah:
ﻪ ﺃﹶﻧﻚﺑﻜﹾﻒِ ﺑِﺮ ﻳﻟﹶﻢ ﺃﹶﻭﻖ ﺍﻟﹾﺤﻪ ﺃﹶﻧﻢ ﻟﹶﻬﻦﻴﺒﺘﻰ ﻳﺘ ﺣﻔﹸﺴِﻬِﻢﻓِﻲ ﺍﹶﻧﺎ ﻓِﻲ ﺍﻵﻓﹶﺎﻕِ ﻭﺎﺗِﻨ ﺀَﺍﻳﻬِﻢﺮِﻳﻨﺳ ﺪﻬِﻴﺀٍ ﺷﻲﻠﹶﻰ ﻛﹸﻞﱢ ﺷﻋ 1
Seyyed Hossein Nasr, Sains, hh. 1-5.
63
64
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda [kekuasaan]Kami disegenap ufuk dan pada diri-diri mereka sendiri sehingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah kebenaran.2
Oleh karena itu, kalau Al-Qur'an dikatakan sebagai wahyu yang diturunkan dengan lambang bahasa dan kata yang terhimpun (the recorded Qur'an), maka sesungguhnya alam ini juga merupakan wahyu atau Qur'an of creation (al-Qur'an al-tadwin) yang mempunyai nilai serta sumber saebagaimana recorded Qur'an yang diturunkan.Baik wahyu al-qur'an secara tertulis maupun al-Qur'an dalam bentuk ayat-ayat dan lambang yang terhampar dalam alam rayat ini,semua itu mencakup gagasan-gagasan ataupun pola dasar tentang semua kenyataan yang ada. Al-Qur'an sebagai wahyu yang diturunkan kepada menusia adalah suatu hal yang tudak dapat dipisahkan dengan "wahyu kosmis "yang juga sebagai " kitab tuhan". Inilah yang dalam perspektif sufistik dikatakan bahwa alam melambangkan sifat-sifat dan namanama tuhan atau dikatakan tuhan,melalui nama-nama-Nya menampakkan diri-Nya dalam alam.3 Bagi ahli-ahli hukum teks ini perspektif saja,alam hanya ada dalam pikiran mereka sebagai panggung yang dibutuhkan bagi tindakan manusia.sebaliknya, bagi seorang gnostik atau Sufi, ayat al-Qur'an disebut juga lambang, seperti juga semua alam ini adalah lambang. Bagi seorang gnostik, jika tradisi penafsiran simbolis ayat-
2
Q.S., Asy-Syûra/41: 53. Kautsar Azhari Noer, “Menyemarakkan dialog Agama “dalam Dekonstruksi Madzhab Ciputat, ed. Edi A. Effendi (Bandung: aman wacana mulia, 1999), hh. 64-6. 3
65
ayat Kitab Suci tidak ada lagi karena ayat-ayat itu diturunkan menjadi arti harfiahnya, manusia masih akan tahu kawajibannya terhadap Tuhan dan lingkungn, tapi "teks kosmis" tak akan dapat dipahami. Fenomena alam akan hilang hubungannya dengan tingkat realitas yang lebih tinggi, sebagaimana hilangnya hubungan antara mereka; semua ini hanya akan menjadi "fakta" Inilah persisnya yang tak dapat diterima oleh kapasitas intlek dan malah oleh peradaban Islam secara keseluruhan. Sebaliknya, semangat Islam menekankan kesatupaduan alam dan lingkungan, kesatupaduan itu menjadi tujuan sains kosmologi, dan ini dilukiskan dengan jalinan yang bersambungan pada arabeska (lukisan hiasan bentuk bunga atau tumbuhan) yang menyatukan kemewahan kehidupan tumbuhan denagn kristal-kristal geometris dari ayat-ayat al-Qur'an.4 Lukisan ini memberikan gambaran saling hubungan secara harmonis antara ayat-ayat kosmos yang nampak dengan ayatayat yang terkandung dalam al-Qur'an menuju dengan realitas metefisika. Memancarkan adanya keindahan alam hakiki dibalik penampakan alam dengan tatanannya yang begitu selaras. Banyaknya manifestasi kehadiran ilahi tersebut,selanjutnya dikonsepsikan dalam lima hirarki realitas(al-hadharât al-ilâhiah al-khamsah), yaitu dunia hakikat ilahi (lâhût), dunia Nama dan Sifat Ilahi atau Kecerdasan Universal, atau yang dikenal dengan Wujud Murni (lâhût), dunia yang dipahami atau dunia zat malaikat
4
Nasr, Sains dan Peradaban Islam, h. 4.
66
(jabarût), dunia psikis dan menifestasi "halus" (malakût),dan terakhir daerah dunia fana atau fisik.yang dikuasai manusia (nâsût).5 Keberadaan tertinggi realitas adalah asensi ilahi (al-Dzat), derajat yang diistilahkan sebagai hahut yakni Diri Tertinggi dan Wujud Tak Terbatas, Wujud Tak Tergapai dan merupakan prinsip yang tidak dapat disifati dan ditentukan, oleh karena itu Absolut Murni. Tuhan sebagai Wujud Tak Terbatas yang berada diatas persepsi atau imajinasi manusia yang serba nisbi. Karena apabila Tuhan itu dapat digambarkan dalam pikiran manusia, yang kemudian dianggap sebagai hakikat Tuhan, maka menjadi setarap dengan kemampuan manusia. Tuhan seperti ini menjadi mustahil. Sedangkan keadaan kedua yang disebut lâhût merupakan kecerdasan universal, dapat dipersamakan dengan prinsip kreatif atau wujud murni, yaitu prinsip antalogis dari kesuluruhan kosmos. Karena itu merupakan Yang Absolut terhadap seluruh ciptaan.6 Memperjelas hal tersebut diatas, Prinsip Pengajaran Ibn 'Arabî, begitu diapresiasi oleh Nasr dengan penjelasannya tentang tanzih (Mensucikan-Nya) dan tasybih (Menyerupakan-Nya). Konsep tersebut bertolak dari pandangan bahwa segenap wujud yang ada pada hakikatnya adalah hanya mempunyai satu realitas. Realitas Tunggal "yang benar-benar ada itu ialah Allah". Adapun alam semesta yang
5
Ibid., h. 74. Lihat juga pada Seyyed Hossein Nasr, Knowledg and the Sacred (New York: Crossroad Publishing Co., 1981), h. 129. 6 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 148.
67
serba ganda ini sebagai wadah tajalli dari nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam wujud yang serba terbatas. Nama-nama dan sifat-sifat itu sendiri identik dengan zat-Nya yang mutlak. Karena itu menurut Ibn 'Arabi, Allah itu mutlak dari segi esensinya-Nya, tetapi menampakkan diri pada alam semesta yang serba terbatas. Akan tetapi, dengan konsep ini bukan berarti Ibn 'Arabi menganggap Tuhan itu sama dengan mahluk, alam semesta dan lingkungan berarti juga Tuhan. Baginya, wujud yang hakiki adalah wujud Allah dari segi esensi-Nya, bukan dari segi sifat-sifat-Nya; sedangkan daripada-Nya adalah khayal belaka.7 Dalam pandangan Ibn 'Arabî, Tuhan sebagai esensi yang mutlak tanpa nama dan sifat, tidak mungkin dikenal, bahkan ia dapat dikatakan Tuhan kalau tidak ada yang bertuhan kepada-Nya. Dengan kata lain, menurut Ibn 'Arabi, Tuhan itu hanya dapat dikenal melalui tajalliNya pada alam empiris yang serba ganda dan serba terbatas ini, tetapi wujudnya yang hakiki tetaplah transeden, tidak dapat dikenal oleh siapa pun dan tak mungkin terjangkau oleh manusia dalam pengertian yang apapun. Ajaran ketuhanan yang dikemukakan Ibn 'Arabi ini, seakan-akan sebagai warisan dari ajaran ketuhanan Plotinus, yang mengajarkan bahwa Yang Maha Esa (The One) itu ada dimana-mana. Dalam hal ini sebenarnya terdapat perbedaan fundamental antara kedua doktrin tersebut. Perbedaan bahwa Yang Maha
Ibn Arabî yang mempunyai nama Muhyi al-din Muhammad ibn ‘Ali Al-Hatimi, lahir di Murcia (Spanyol) pada tanggal 17 Ramadhan 560 H. (29 Juli 1165 M) adalah tokoh sufi yang terkenal ajarannya dengan “Wahdatul Wujud”, bahwa segenap wujud hanya mempunyai satu realitas. Realitas tunggal yakni “yang benar-benar ada itu ialah Allah SWT.” Lihat Fushush, h. 111, 119 dikutip oleh Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi oleh Al-Jili, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 50. 7
68
esa-nya Plotinus ada dimana-mana dan menjadi sebab wujud; sedangkan Yang Maha Esanya Ibn 'Arabi ada dimana-mana sebagai Esensi, dan tidak dimana-mana sebagai Esensi Universal yang berada diatas semua "di mana" dan "bagaimana". Jadi, Plotinus melihat hubungan Tuhan dengan alam semesta dalam bentuk emanasi, sedangkan Ibnu 'Arabi melihatnya dalam bentuk tajalli.8 Perbedaan mendasar antara ajaran emanasi (faidl) dan tajalli ini adalah bahwa emanasi bersifat vertikal, dengan melalui emanasi segala sesuatu mengalir dari Yang Awal secara vertikal dan gradual, sehingga menjadikan alam semesta yang serba ganda; sedangkan tajalli bersifat horizontal, karena segenap fenomena maknawi dan empiris muncul dan berubah sebagai manifestasi dari al-Haq. Hubungan antara yang real dan fenomena disini merupakan hubungan antara potensial dan yang katual, dimana peralihan antara yang pertama dan berikutnya terjadi di luar patokan ruang dan waktu, karena tajalli Tuhan itu terjadi sebagai suatu proses abadi yang tiada henti-hentinya. Menurut pandangan Ibn 'Arabi bahwa sebab terjadinya tajalli Allâh sebagai Realitas Absolut pada aalam yang serba nisbi ini adalah karena Allah ingin melihat citra diri-Nya
dan ingin dikenal melalui alam tersebut. Untuk itu, Ia
memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam. Dengan demikian, alam fenomena merupakan perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang abadi. Tanpa adanya alam ini, nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan
8
Lihat Frederick Copleston, A. History of Philosophy (New York: An Image Book, 1985), vol. I, h. 467. Dan lihat Ibid.
69
akan senantiasa berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula, Zat Yang Mutlak itu sendiri akan tetap dalam kesendirian-Nya, tanpa dapat dikenal oleh siapapun. Di sinilah letak urgensi wujud alam sebagai wadah tajalli Ilahi, yang padanya Tuhan melihat citra diri-Nya dalam wujud yang terbatas.9 Ajaran wahdat al-wujûd Ibn 'Arabî tersebut, bertolak dari asumsi bahwa Tuhan itu adalah satu wujud mutlak, tidak terbatas, kadim dan abadi; Tuhan adalah sumber dan asas dari semua yang ada, yang pernah ada dan yang akan ada; lalu pandangan itu secara berangsur-angsur mengambil bentuk acosmism, yang memandang alam fenomena ini hanya sebagai bayang-bayang dari realitas yang ada di baliknya. Dari pengertian ini, Tuhan-dari segi esensi-Nya-tetap transeden. Yang imanem hanya-dari segi-nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Hal ini tentu berbeda dengan panteisme murni yang memandang Tuhan imanem dalam segala sesuatu dan berintegrasi dengannya, sehingga segala sesuatu bersifat Ilahi.10 Dijelaskan pula dalam ontologi dan emanasi Ibn Sina bahwa untuk membedakan wujud murni dengan eksistensi dunia, terdapat perbedaan fundamental antara wajib (wujûb), kontingensi (imkan) dan ketidakmungkinan (imtina ’). Wujud Yang Wajib adalah realitas yang harus ada dan tidak bisa tidak ada. Realiats yang tidak eksis menunjukkan kontradiksi dan itu tidak mungkin. Maka hanya ada satu realitas, yaitu Wujud Yang Wajib (wâjib al-wujûd), yaitu Tuhan. Mumtani' al-Wujud 9
Afifi, A.F., Filsafat Mistis Ibbn Arabî diterjemahkan oleh Syahrir Mawi dan Mahdi Rahman (Jjakarta: Gaya Media Pratama, 1995), hh. 13-28. 10 Ibid.
70
adalah wujud yang tidak dapat ada secara objektif, baginya haruslah terdapat kontradiksi. Semua wujud yang terlepas dari wujud yang wajib, adalah wujud-wujud yang bergantung (mumkin al-wujud); karena dianggap sebagai kuiditas, maka ia dapat eksis dan dapat pula tidak eksis.11 Perenungan oleh Wujud Yang Wajib dalam diri-Nya sendiri menurunkan Intlek Pertama; dan dari perenungan Intlek Pertama bagi Wujud Yang Wajib dan juga dirinya sendiri sebagai wujud kontingen dan sebagai yang diharuskan oleh Wujud Yang Wajib (al-wâjib bi'l hayr), berperanan untuk penurunan Intlek Kedua, Jiwa Bidang Pertama. Proses itu berlanjut terus dalam cara demikian sampai pada Intlek Kesepuluh dan Bidang Kesembilan, dan disinilah jiwanya diturunkan. Bidang Kesembilan ini adalah bidang Bulan yang sesuai dengan sembilan surga astronomi Ptolemius, yang telah dimodifikasi oleh astronom-astronom muslim.12 Di bawah tingkat kesepuluh berdiri bidang-bidang pada empat elemen, diperintah oleh Akal (Intlek) Kesepuluh, yakni "pemberi bentuk-bentuk'' ( wâhib alsuwar) bagi semua keberadaan dalam wilayah sublunar. Wilayah sublunar itu diatur dalam tatanan hirarkis, yang terdiri dari tiga kerajaan yang dipimpin oleh manusia, yang mewakili titik kembalinya pada Yang Azali. Dengan makna-makna pengetahuan, ia dapat naik melalui tingkat-tingkat manifestasi kosmik untuk mencapai persatuan dengan Intelek Aktif (al-aql al- fa'al) . Jiwanya naik dari keadaan potensial menuju aktal, yakni menjadi intellectual in actu. Dari teori emanasi tersebut 11
Seyyed Hosseinj Nasr, Intlektual Islam, Teologi, Filsafat dan Gnosis, h. 40 Lihat Juga Nasr, Islamic Cosmological Doktrines. H. 202. 12 Ibid.
71
maka alam semesta terdiri atas suatu hirarki luas yang mulai dengan sepuluh Intelek, yang memancar dari segala sesuatu dan puncaknya Wujud Yang Wajib. Di bawahnya berdiri berwujud-wujud bidang sublunar, yang terbentang dari materi prima sampai manusia, yang mulai memancarkan pendakian dan berakhir dengan kembali kepada dunia yang dapat dimengerti secara murni. Alam semesta diturunkan melalui perenungan yang kemudian kembali ke asalnya melalui pengetahuan.13 Prinsip ajaran wahdat al-wujûd Ibn Arabî, dalam tasawuf Nasr, memberikan gambaran tentang bentuk-bentuk hubungan manusia dengan lingkungannya. Bahwa karena alam ini merupakan perwujudan dari nama-nama dan sifat-sifat Tuhan, maka keteraturan yang terdapat di alam dan lingkungan ini adalah suatu bentuk kepatuhan alam atau apa yang disebut Nasr sebagai kemusliman jagat raya dimana alam begitu serba taat (Islam) pada sunnatullah.14 Pandangan Nasr kemudian, tetap mengakui realitas alam ini sebagai objektif adanya dengan hukum-hukumnya yang tetap melekat padanya. Akan tetapi, dengan tegas disebutkan bahwa dalam hakekat alam semesta ada kesatuan yang tunggal, cermin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan.15 Prinsip-prinsip
sufistik
yang
bersahaja
tentang
kesatuan
dan
kesalinghubungan alam ini, dikatakan Nasr sebagai suatu kesatuan yang bersumber
13
Ibid. Seperti yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat. Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme 15 Ibid., h. 240. 14
72
langsung dari kesatuan prinsip ketuhanan.16 Prinsip kesalinghubungan inilah yang kemudian dipandang remeh dalam dunia ilmu pengetahuan modern, dan ilmu pengetahuan modern membatasi pada prinsip kesalinghubungan antar bagian-bagian dari alam dan memisahkan tiap-tiap bagian itu dari alam, seperti dicontohkan Nasr: Secara ideal, menurut fisika Newtonian, dalam mempelajari jatuhnya tubuh kita bisa dengan hanya menjumlah kekuatan grafitasi yang berlaku atasnya dengan mengetahui massa dan jarak setiap partikel benda di dunia material. Tapi, karena hal ini tidak mungkin, kita percaya saja bahwa bumi merupakan pusat daya tarik dan melupakan semua bagian lain dari dunia material. Sebagai akibatnya, kita mampu memperoleh figure angka-angka yang tepat dengan menerapkan hukum Newton terhadap kejadian yang disederhanakan – Namun jika suatu yang sangat fundamental telah hilang dan diabaikan, yaitu kegunaan dasar bahwa jatuhnya tubuh sebenarnya berkaitan semua partikel alam semesta melalui suatu tenaga yang oleh Plato disebut eros dan oleh Ibn Sina disebut ‘isyq.17 Hilangnya aspek hubungan dalam penerapan ilmu kealaman modern inilah yang akhirnya melahirkan kerusakan alam sebegitu hebat dan mengancam kita. Dengan malapetaka yang lebih buruk, dan selanjutnya dikatakan Nasr, sejak itulah para ahli ekologi menyadari dan menentukan bahwa secara keseluruhan, alam lingkungan ini benar-benar rumit namun selaras hingga tak ada bagian yang tak berfungsi selain memiliki hubungan dengan bagian-bagian yang lain. Seperti Puisi yang dikutip Nasr, yang ditulis penyair Barat John Donee (empat abad silam): “Tak seorangpun merupakan suatu pulau, sepenuhnya diri sendiri, setiap orang adalah sekeping benua, bagian dariku; jika sepotong awan dihanyutkan
16 17
Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, h. 240. Ibid., h. 291.
73
laut, maka Eropa akan merana.18” Dengan puisinya ini, John Donee, menggambarkan kesatuan setiap jiwa dengan alam, kesatuan dirinya dengan setiap jiwa dan alam, begitu juga kesatuan setiap bagian dari alam ini. Karena jiwa dan alam menyatu begitu utuh, maka setiap orang akan merasa dirinya sebagai bagian dari setiap bagian alam ini. Ketidakharmonisan setiap bagian dari alam ini akan menjadi penderitaan bagi semuanya. Masa sesudah itu kemudian, Wordswort menggambarkan tentang kesadaran jiwa tercerahkan, dimana segala bentuk alam terpadu. Suatu kesadaran yang membawa manusia kepada Yang Tak Terbats, sebagaimana dilukiskan dalam barisbaris berikut: Keluhuran sesuatu kian dalam kian terpadu Yang tinggal di sana adalah cahaya matahari Dan laut berpusar dan udara segar Dan langit biru dan dalam jiwa manusia gerak Dan rohlah yang mendorong segala benda yang berpikir, segala objek semua pikiran Dan memutarnya bersama segala hal.19 Wordswort begitu menjiwai adanya relitas yang menyatu dari seluruh eksistensi alam ini. Alam akhirnya akan terpadu dengan Realits Absolut. Kesempurnaan alam adalah jika seluruhnya menjadi satu, sehingga setiap jiwa menjadi bagian dari setiap alam. Gambaran alam yang teratur dan harmonis menjadi obsesi puisinya bergerak menuju gambaran kesatuan seluruh realitas kepada Tuhan sebagai Realitas mutlak. 18
Ibid.
19
Ibidi., h. 242.
74
Prinsip unity (al-tauhid) dalam Islam mengandung perspektif metafisik. Menurut Nasr ilmu pengetahuan Barat harus melengkapi dan mempelajarinya. Bahwa keseluruhan lingkungan sebagai kesatuan yang kompleks yang saling berhubungan, yang mencakup adanya tingkatan-tingkatan kejiwaan dan kerohanian dari realitas dan akhirnya pembenaran mengenai Sumber segala yang ada. Bahwa objek-objek atau benda-benda mati memiliki hubungan dengan makhluk-makhluk hidup dan bahwa semua bagian-bagian dari dunia jasmani ini saling berhubungan dengan prinsipprinsip hubungan satu sama lain antara tingkatan-tingkatan wujud yang lebih rendah memperoleh hakikatnya dari tingkatan wujud yang lebih tinggi, yang karenanya tak terpisahkan. Oleh karena itu, menurut Nasr, jika bumi yang fana ini terjerumus ke dalam ketakserasian dan kekacauan, sebenarnya oleh karena sains modern selalu berusaha selama ini, untuk mempertahankannya sebagai wujud yang benar-benar fana dari realitas yang mentransendensikannya.20 Selanjutnya, dengan doktrin tauhid dalam Islam, mengutamakan integrasi atau keterpaduan. Tuhan adalah satu, dari begitulah manusia yang diciptakan menurut “gambaran-Nya”, harus terpadu dan menyatu.21 Oleh karena itu, bagi Nasr, meski dewasa ini setiap orang menyerukan perdamaian, namun kedamaian tak pernah tercapai. Karena itu, secara metafisik adalah absurd mengharapkan suatu perdamaian tetapi melupakan Tuhan yang
20 21
Ibid., h. 247. Ibid., h. 26.
75
memiliki kedamaian. Kedamaian dalam kehidupan manusia bersumber dari perdamaian dengan Tuhan dan juga dengan alam. Seperti diungkapkan Nasr: Demikianlah maka tidaklah mungkin memperbaiki kekacauan dalam bidang kealaman ini, tanpa menyingkirkan penyebabnya, yang tidak lain dengan berupaya memikirkan keterpisahan tingkat kehidupan yang fana dari tingkatan yang lebih tinggi lagi, pandangan ekologis dewasa ini telah mampu mengatasi keterpisahan dan pengkotak-kotakan bidang studi kealaman, namun belum bisa mengatasi masalah-masalah yang lebih mendasar, mencakup manusia sendiri, moleh karena manusialah yang sebenarnya mendapat gangguan akibat ketidak seimbangan ekologi dengan faktor-faktor non biologisnya. Perlawanan spiritual manusia terhadap langit telah mencemarkan bumi, dan tak ada upaya yang benar-benar berhasil dalam memperbaiki situasi yang terjadi dibumi tanpa mengakhiri perlawanan terhadap langit. Karena itu hanya cahaya langit yang tertangkap di bumi melalui kemunculan para pencari dan kehidupan kontemplatif yang terdapat dalam tradisis kemanusiaan asli yang relegius yang dapat menjaga keselarasan dan keindahan alam dan dalam kenyataan yang juga menjunjung tinggi keseimbangan kosmis.22
B. Sufisme: Pembebasan Manusia Modern Terminologi “modern” dalam pandangan Nasr tidak dimaksudkan sebagai “kontemporer” maupun “mengikuti zaman”; tidak pula diartikan sebagai sesuatu yang berhasil menaklukan dan mendominasi alam semesta. Tetapi, menurut Nasr, “modern” berarti sesuatu yang terpisah dari yang Transenden, dari prinsip-prinsip langgeng yang dalam realitas mengatur materi dan yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu dalam pengertiannya paling universal. Modern dalam pandangan Nasr di pertentangkan dengan “tradisi” (al-din); karena seperti disebutkan bahwa: “tradisi” menyiratkan
22
sesuatu
Ibid., h. 248.
yang
sakral,
mengimplikasikan
baik
keseimbangan
76
horizontal dengan sumber maupun mta rantai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan. Yakni tradisi yang diperbincangkan dengan Realitas transenden meta historikal.23 Menurut Nasr, paling tidak ada tiga dasar dari karakteristik pemikiran modern yang mesti di catat. Pertama, antromorfisme, satu bentuk pemikiran yang menyangkal setiap prinsip yang lebih tinggi daripada manusia, karena akal dan indera manusialah yang menentukan warna sains modern. Karakterisitk kedua dari modernisme yang erat kaitannya dengan antropomorfisme adalah tiadanya prinsipprinsip yang menjadi ciri dunia modern. Dalam hal ini, Nasr menegaskan bahwa baik empirisme, rasionalisme, maupun rasionalisme empirik tidak dapat bertindak sebagai prinsip-prinsip
dalam
pengertian
metafisika.
Ketiganya
yakni
empirisme,
rasionalisme atau rasionalisme empiris, hanya absah pada tingkatyan masing-masing, tapi mereka tercerai berai dari prinsip-prinsip abadi. Menurut Nasr, satu-satunya yang boleh dikatakan mempunyai prinsip-prinsip tertentu dalam pengertian metafisik adalah matematika; dengan alasan bahwa matematika merupakan satu sains platonik dengan hukum-hukumnya, karena diproses dan dihasilkan oleh pikiran manusia; dan terus memantulkan prinsip-prinsip metafisika, karena akal sendiri tidak mungkin berbuat lain kecuali menayangkan fakta bahwa ia merupakan refleksi kecerdasan Ilahi. Sedangkan karakteristik ketiga adalah tidanya kepekaan terhadap yang
23
Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, terjemah oleh Luqman Hakim (Bandung: Pustaka, 1996), cet. Ke I, h. 3.
77
sakral. Sehingga manusia modern secara praktis dapat didefiniskan sebagai jenis manusia yang telah kehilangan kepekaan ini, dan pemikirannya memperlihatkan secara mencolok tiadnya kepekaan terhadap yang sakral.24 Inilah kemudian, yang dianggap telah melahirkan Teologi Modernisme yang menjadi mainstream pemikiran paradigmatik manusia modern dan menjadi landasan tegaknya sejarah peradaban modern. Teologi modernisme yang bertolak dari deisme dan agnotisisme menjadi dasar dari mainstream modernisme tersebut. Teologi ini dikaitkan muncul bersamaan dengan renaisance sebagai antitesis dari era scholastik dengan teologi klasiknya yang membelenggu.25 Tujuan dari teologi modernisme tersebut adalah untuk membebaskan manusia dari dogmatika nilai agama yang memasung kemerdekaan dan kreatifitas manusia dalam merespon dunianya. Proses yang ditempuh dalam teologi ini adalah “proses penyadaran” manusia akan eksistensinya sebagai bagian terpentng dari lingkungan kosmosnya. Untuk mengatasi dunianya, kesadaran kosmis ditempatkan dan dikedepankan lebih dari segala-galanya. Karen dalam pandangan modernisme, agama dan ajaran moralitas lainnnya dipandang telah cukup gagal dalam membangun kesadaran kosmis. Karena itu agama, ditempatkan hanya pada level subordinat dari sistem kesadaran tersebut.26
24
Ibid., hh. 98-110. Syamsul Arifin, et. Al., OP. Cit., h. 24. 26 Ibid. 25
78
Kalaupun agama tetap diyakini, keyakinan itu tak lebih dari fenomena keberagaman primordial-tradisional, atau suatu keyakinan yang sekedar bersifat palliative, yang tidak menyembuhkan apapun dari sistem kesadaran dan masyarakatnya. Bahkan dengan menyimak keprihatinan Pitirim A. Sorokin, agama dan moralitas sebagian besar akan sekedar menjadi gaya atau mode.27 Agama pada manusia modern tidak lagi menjadi pusat kesadaran dalam seluruh gerak kehidupannya, tetapi ia hanya dijadikan sebagai komitmen nilai yang bersifat insidentil dan sesaat. Dalam suasana demikian, agama benar-benar tidak memperoleh tempat sentral dalam sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan. Dan teologi modernisme akan menjadi teologi yang justru melakukan desakralisasi atau sekulerisasi peran agama. Karenanya, nilai kebenaran tidak lagi dirujuk dari doktrin dan narasi agama, karena agama dalam sejarahnya telah dipandang sebagai biang konflik dan kemandegan kratifitas manusia dalam merespon realitas dunia kosmik. Dalam prosesnya kemudian, kebenaran mulai dicari dan realitas yang menggejala pada dunia empirik. Dan pendekatan filosofis yang digunakan adalah rasionalismepositivisme plus empirisme. Ini tidak saja terjadi pada sains alam, tetapi juga brimplikasi pada sains-sains sosial.28 Karena agama telah disisihkan, maka ontologi modernisme sama sekali tidak menyisakan sedikit pun unsur Tuhan, atau unsur kebenaran metafisik di dalamnya.
27 28
Ibid. Ibid., h. 25.
79
Bahkan, seperti yang terkenal dari ungkapan Neitzsche bahwa “Tuhan telah mati”. Dan para tokoh modernis lainnya sepakat dengan jargonnya, “deus otiosus”, Tuhan telah pensiun. Inilah gambaran dari serpihan teologi deisme dan agnotisisme. Dalam dataran epistemologis, modernisme dibangun di atas fondsi rasionalisme cartesian yang memisahkan secara diskrit antara realits fisik dan metafisik, antara jiwa dan materi, antara byang sakral dan yang duniawi, yang pada gilirannya mengajak masyarakat modern untuk melihat dan mengapresiasikan realitas dunia ini, tak ubahnya sebuah mesin raksasa tanpa unsur spiritual yang namanya Tuhan, yang seharusnya terlibat aktif menggerakkannya. Pembagian Cartesian yang dualitas ini mengukuhkan atau memancangkan tegaknya filsafat mekanistis ats alam, dimana Tuhan benar-benar tak hadir dalam regularitas kosmos. Epistemologi ini kemudian sangat memuja subyek “aku” dalam menentukan kebenaran, yakni dengan semboyannya, cogito rgo sum; “saya berpikir maka saya ada”. Inilah awal bangkitnya antroposentrisme dan humanisme di Barat, dimana manusia menjadi subyek dari segala-galanya. Masih dalam kawasan modernisme, hampir tak ada struktur pengetahuan yang menyertakan konsepsi kebenaran metafisik. Modernisme tidk ditopang oleh suatu kerangka pandangan yang utuh, yang akan memberikan penjelasan secara utuh pula tentang corak masyarakat masa depan yang diidamkan. Modernisme yang dikembangkan
atas premis-premis pemikiran rasionalisme, empirisme, dan
positivisme, sengaja melupakan dimensi yang amat mendasar, yakni tentang kemajuan manusia di masa depan yang seharusnya bersendikan spiritualitas (agama).
80
Karena itu, kehidupan modern sekarang ini tampak dengan wajah antagonistik. Satu pihak, modernisasi telah mendatangkan kemajuan spektakuler dalam bidang material. Tetapi, dipihak lain, modernisasi menghasilkan wajah kemanusiaan yang buram, seperti terlihat pada akibat-akibat kemanusiaan yang ditimbulkan.29 Beberapa akibat tersebut misalnya, manusia modern semakin tidak mengenal dan terasing dengan dirinya dan Tuhannya setelah mengalami kehidupan yang demikian mekanistik, munculnya kegelisahan dan kegersangan psikologis atau batin yang disebabkan kehidupan spiritual tercerabut dalam modernisasi; dan akibat yang paling para adalah krisis tentang makna dan tujuan hidup (mening and purpose of life). Krisis spiritualitas yang di alami manusia modern yang tergambar di atas, menurut Nasr, adalah berkar pada polusi jiwa manusia yang timbul sejak manusia Barat mengambil alih peran ketuhanan di muka bumi dengan menyingkirkan dimensi Ilahi dari kehidupannya dan menyatakan indenpendensinya dari kehidupan akhirat. Sedangkan sufisme, diakui Nasr, merupakan tradisi hidup yang kaya dengan khazanah doktrin metafisis dan kosmologis, sehingga sufisme diyakini dapat menghidupkan kembali banyak aspek kehidupan rohani Barat yang tengah dilanda krisis.30
29
Ibid. H. 27.
30
Ensiklopedia Islam, hh. 80-2
81
Sufisme ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Sufisme meniupkan semangat ke dalam seluruh struktur Islam, baik dalam manifestasi sosial maupun intelektual. Dalam pandangannya yang positif terhadap tasawuf, Nasr berpendapat bahwa sufisme dapat menjadi jawaban atas krisis spiritualitas modern, khususnya di dunia Barat dann dapat mempengaruhi Barat melalui tiga upaya: pertama, mempraktekkan sufisme secara aktif; kedua, menyajikan Islam secara lebih menarik sehingga orang dapat menemukan praktek-praktek sufisme yang benar; dan tiga, memfungsikan sufisme sebagai alat untuk kebangkitan spiritualisme. Nasr, kemudian menyatakan bahwa kehidupan di dunia ini tampaknya masih tidak memiliki horizon spiritual. Hal ini bukan karena horizon spiritual itu tidak ada, tetapi karena yang menyaksikan panorama kehidupan kontemporer ini seringkali adalah manusia yang ada pada pinggir lingkaran eksistensi yang hanya dapat menyaksikan segala sesuatu dari sudut pandangannya sendiri. Ia senantiasa tidak perduli dengan jari-jari lingkaran eksistensi dan sama sekali lupa dengan pusat lingkaran eksistensi yang dapat dicapainya melalui jari-jari tersebut.31 Seperti masalah penghancuran lingkungan oleh teknologi, krisis ekologi, dan lain-lain semacamnya, semua menurut Nasr bersumber dari penyakit amnesis atau pelupa yang diidap oleh manusia modern. Manusia modern telah lupa, siapakah ia sesungguhnya, karena hidup dipinggir lingkaran eksistensinya sendiri, ia telah memperoleh pengetahuan dunia yang secara kualitatif bersifat dangkal, walaupun
31
Seyyed Hossein Nasr, Living Sufisme (London: Mandala Books, 1980), h. 18-19. juga diterbitkan dengan judul Sufisme sseys, (New York: State University of New York Press, 1972).
82
secara kuantitatif sangat mengagumkan. Ia telah memproyeksikan citra pribadinya yang eksternal dan palsu kepada dunia. Kemudian setelah mengenal dunia dalam pengertian-pengertian eksternal tersebut ia mencoba merekonstruksikan citra pribadinya berdasarkan pengetahuan eksternal tersebut. Maka terjadilah serangkaian “kejatuhan” yang menyebabkan manusia terisolasi ke arah bawah di antara citra pribadinya yang semakin bersifat eksternal dengan dunia sekeliling dirinya, sedangkan ia semakin jauh dari pusat eksistensinya dan dari lingkaran kosmisnya.32 Dimana pun kita tidk dapat menemukan kecenderungan manusia modern untuk memecahkan problem-problemnya tanpa mempertimbangkan faktor-faktor penyebab dari problem-problem tersebut. Hal ini dikatakan Nasr nyata sekali di dalam sains-sains humanitas secara umumnya dan sains-sains yang berkepentingan dengan manusia, yaitu sans-sains yang diperkirakan dapat memberikan wawasan mengenai sifat hakiki manusia yang khas. Manusia modern yang memberontak melawan Allah, telah menciptakan sebuah sains yang tidak berdasarkan cahaya intelek, berbeda dengan yang kita saksikan di dalam sains-sains Islam tradisional. Di dalam domainnya sendiri keberhasilan sains ini sedmikian besarnya, sehingga sainssains yang lain segera mencontohnya. Hal inilah yang menimbulkan positivisme yang dangkal, menurut pengertian lama, dicampurvaurkan dengan analisa logis, akrobatik mental, atau teori ionformasi semata-mata.33
32
Sayyed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man, h. 4.
33
Ibid.
83
Dekadensi humanistik pada zaman modern ini adalah karena manusia secara mendasar telah kehilangan pengetahuan langsung mengenai diri dan keakuan yang senantiasa dimilikinya, karena ia bergantung kepada pengetahuan eksternal yang tidak langsung berhubungan
dengan dirinya, yaitu pengetahuan yang hendak
dicarinya dari luarnya. Pengetahuan ini secara literal “bersifat dangkal”, diperoleh dari pinggir lingkaran eksistensi dan tidak mengandung kesadaran mengenai interioritas, mengenai aksis dan jari-jari lingkaran eksistensi yang senantiasa menghadang manusia dan menghubungkannya seperti seberkas sinar kepada matahari ilahiah.34 Dengan pertimbangan terhadap latar belakang inilah kita harus menganalisis dan menjawab masalah-masalah yang timbul karena perbenturan antara konsep mengenai manusia yang tradisional dengan yang modern. Menurut Nasr, pencarian spiritual dan mistikal bersifat perenial. Dan ini merupakan kebutuhan yang natural dalam manusia secara kolektif. Ketika masyarakat atau suatu kolektivitas manusia berhenti mengakui kebutuhan yang nyata ini, dan ketika semakin sedikit manusia yang menyusuri jalan mistikal, pada saat itu pula masyarakat tersebut ambruk ditimpa beban berat strukturnya. Atau masyarakat itumencair akibat ketidakmampuan menyembuhkan penyakit-penyakit psyikis, karena masyarakat itu menolak memberikan kepada anggotanya makanan yang dapat mengenyangkan rohani yang lapar.35
34 35
Ibid. Nasr, Sufi sseys, h. 27.
84
Kemudian Nasr mengingatkan, bahwa sufisme haruslah dipahami sebagai sebuah dimensi tradisi Islam. Menurutnya, ini perlu ditegaskan karena tidak jarang sufisme ditarik keluar konteksnya dan disejajarkan dengan gegagabah dalam pembahasan tentang tradisi mistikal di Barat dan Timur lainnya. Pandangan Nasr tentang sufisme tersebut memberikan penjelas terhadap teorinya tentang rim dan axis. Nasr menerapkan konsep ini ke dalam sufisme dengan menyatakan hakikat (realitas) dunia ini terdiri dari dua aspek : al-zhâhir (lahir, outward) dan al-bâathin (batin, inward), ini sesuai dengan sifat Tuhan; di dalam alQur`an Ia menyebut diri-Nya sebagai al-Zhâahir dan al-Bâathin. Dalam kerangka ini, bentuk lahiriah benda-benda tidaklah ilusi belaka; mereka mempunyai hakikat pada level mereka sendiri. Tetapi, secara langsung menyatakan adanya gerakan ke arah pemisahan dan pengunduran dari “principle” yang berada di “pusat” yang dapat diidentifikasi sebagai “yang batin”. Hidup pada tataran “lahir” berarti sekedar menyukuri eksistensi, tetapi merasa puas semata-mata dengan yang “lahir” berarti menghianati watak manusia itu sendiri. Karena tujuan eksistensi manusia adalah perjalanan dari outward ke inward, dari pinggiran (periferi) lingkaran eksistensi ke pusat Transenden. Sehingga dengan cara tersebut, makhluk dapat kembali kepada asal muasalnya.36
36
Nasr, Islam and the Plight of Modern Man. Op. Cit., hh. 45-7.
85
Menurut Nasr, sufisme memberikan sarana lengkap bagi manusia untuk mencapai tujuan mulia tadi. Tuhan sendiri memungkinkan bagi manusia terjadinya perjalanan dari
“outward” ke
“inward” dengan menurunkan wahyu; dimana
wahyupun dalam Islam mempunyai dimensi “lahir” dan dimensi “bathin”. Dimensi bathin atau esoterik ini sebagian besarnya berkaitan dengan sufisme, meski dalam konteks shi’isme, esoterisme Islam juga termanifestsi dalm bentuk-bentuk lain.37 Nasr juga menyatakan bahwa dalam pandangan Islam, sufisme eksis dalam setiap wahyu atau tradisi yang ntegral, karena itu, menurutnya, dalam bahasa-bahasa Islam orang sering mengacu kepada “sufisme agama ini” “sufisme agama itu” hal ini, dalam pandangan Nasr terjdi karena tasawuf – seperti juga al-din atau al-Islam dalam pengertian universal – bersifat perenial dan sekaligus universal.38 Orang mengartikan “al-Islâm” sebagai pengertian agama dalam pengertian universal, maka jenis esoterisme (atau tasawuf) yang diperaktikkan mesti termasuk ke dalam agama tertentu atau “Islam” yang menjadi sumber esoterisme itu. Dan jjika mengartikan al-Islâm sebagai agama yang diwahyukan melalui al-Qur`an, maka tasawuf yang absah untuk dipraktekkan haruslah yang bersumber dari wahyu Qur`ani, dimana dalam hal apapun, suatu jalan esoteris yang valid tdak bisa dipisahkan dari kerangka obyektif wahyu atqau ajaran gama yang menjadi sumbernya. Karena itu, orang tidak dapat mempraktekkan esoterisme buddhis dalam konteks syari`ah Islam atau sebaliknya.
37 38
Ibid. Ibid.
86
Nasr kembali mengingatkan pentingnya keterkaitan sufisme dengan agama. Menurutnya, orang dalam situasi apapun tidak dapat mengklaim berpijak di atas ajran eksoteris agama; mempraktikkan esoterisme tanpa eksoterisme ibarat mennam pohon di awang-awang. Orang bisa melakukan perjalanan menuju Tuhan hanya sebagai bagian dari kemanusiaan sakral (ummah) – atau tubuh mistik dalam theologi kristen – yang telah dibentuk dan disucikan Tuhan melalui wahyu.39 Ajaran sufi ini pada garis besarnya meliputi dua ajaran dasar: tentang ‘Kesatuan Transenden Wujud’ (wahdah al-wujûd) dan Manusia Universal atau Manusia Sempurna (al-Insan al-kamil). Segala kejadian adalah ayat yang memuat Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan dan memperoleh wujudnya dari Wujud Tunggal sebagai satu-satunya yang ‘ada’. Manusia adalah satu-satunya makhluk di bumi ini yang berkedudukan sentral dan diciptakan dengan maksud supaya ia menunjukkan Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan dengan cara yang menyeluruh dan sadar. Menjadi seorang wali dalam Islam adalah dengan melaksanakan semua kemungkinan dari keadaan manusia menjadi Insan kamil. Karena Insan Kamil adalah cermin yang memancarkan semua Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan. Melalui Insan Kamil Tuhan merenungi diri-Nya dan segala hal yang telah Ia jelmakan ke dalam wujud.40 Manusia tradisional; mengimani Allah, memasrahkan dan melekatkan dirinya kepada Allah lewat berbagai bentuk penyembahan, kesalehan, dan kecenderungan 39
Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (London: George Allen Unwin, 1981),
40
Nasr, Tasawuf Dulu dan sekarang, h. 18.
h. 193.
87
mereka kepada jalan spiritualitas, Tetapi manusia modern tidak memiliki iman atau keprcayaan kepada Akal Tertinggi (Supreme Intellegence),41 dan juga tidak melekatkan dirinya kepada Allah lewat penyerahan diri. Ia mengikuti garis lintasan peluru yang linier yang akan mengantarkan dirinya pda pesawat yang bergerak horizontal, yang dianggap sebagai suatu kemajuan. Pesawat yang tidak pernah dilanggar oleh aspirasi spiritual yang berdimensi vertikal. Tidak ada iman, kepasrahan, kecemasan instingtif, dan kecintaan spontan terhadap Allah seperti yang bisa kita temui dalam hati manusia tradisional. Kesadaran spiritual yang berakar pada suara batin manusia telah dibungkam oleh teriakan kers suara lahirnya. Mikrokosmos jiwa manusia telah menjelma menjadi ego mikropisnya, dan sebagian besar ego ini menyebar keseluruh penjuru dunia bagai tebaran atom yang masing-masng berusaha mencapai kesatuan dalam dirinya, namun tanpa pertolongan prinsip prinsip kesatuan. Seperti pepohon yang tidk pernah membayangkan luasnya hutan, atau setitik air yang tidak pernah bergabung dengan lautan.42 Di luar capaian-capaian teknologis,mkepercayaan terhadap diri dan kemajuan manusia sepanjang sejarah tidak lagi punya daya pikat. Jikapun ada kepercayaan dalam dirinya itu tidak punya kekuatan untuk menggerakkan jiwa. Pemahaman hidup masih memerlukan kepercayan (keimanan) manusia, namun nyatanya keimanan telah ditenggelamkan oleh ego yang pada dirinya sendiri tidak mempunyai kekuatan
41
Ibid.
42
Ibid.
88
untuk meyakinkan. Dalam mentalitas manusia modern, egotelah menggantikan kedudukan jiwa sebagai kekuatan kesadaran batin, kendaraan bagi dorongan ambisiusnya, dan modus operandi bagi aspirasi-aspirasi batinnya. Keberadaan diri manusia tradisional yang paling kental muncul dari pernyataan tentang jiwanya. Sementara pada manusia kontemporer hal itu keluar dari egonya. Keduanya menunjukkan model eksistensi yang paralel, namun dalam level ekspresi yang sama sekali berbeda. Ego memandang ke dalam dirinya sendiri, sedangkan jiwa merefleksikan cahaya akal ilahiah dalam mengantisipasi pemenuhan diri dan transendesi jiwa.43 Kelekatan manusia kepada Allah telah digantikan oleh kelekatan kepada dunia bentuk dan dunia kepemilikan. Manusia modern tidak lagi berupa sebuah buku terbuka yang menanti guratan penaa ilahi, untuk menentukan tujuan dalam jiwanya. Ia mengingkari pertemuannya dengan penciptanya, dan karena itu mengingkari janji masa depan baginya dalam level realitas yang berbeda. Ia menjadi sebuah sistem tertutup, telah ditentukan – bukan oleh Allah, melainkan oleh gerakan aneh ego yang selalu berubah dan perjumpaan-perjumpaan kebetulan dengan dunia yang sukar sekali dimengerti. Intelgensinya telah direduksi menjadi hanya pencari fakta dan sekumpulan data, dan mata hatinya yang dulu pernah secara sungguh-sungguh dididik oleh manusia tradisional, kini tertutup sudah. Dewasa ini manusia modrn dikatakan Nasr, sangat pintar melupakan hakikat yang inti dari ajaran dan gagasan-gagasan yang sebenarnya memiliki arti yang 43
Ibid.
89
langgeng. Manusia modern telah melecehkan kebutuhan hakiki dunia modern. Oleh karena itu menurut Nasr, jika secara keseluruhan manusia modern tidak lagi memahami kebenaran-kebenaran agama dn hikmah yang bersifat langgeng, maka pudarnya visi intelektual semacam ini sebenarnya sebagian besar berkaitan tak berartinya lagi keberadaan sebagian umat manusia.44 Lebih jauh lagi, jiwa manusia yang pernah dianggap sebagai ruang yang subur dan terbuka bagi tumbuhnya realitas-realitas abadi, kini terperangkap dalam sekumpulan ilusi yang diabadikan oleh ego yang mengabdi pada diri sendiri, dan karenanya mereduksi jiwa pencari diri menjadi sekedar bayangan ego ketimbang refleksi Ruh Ilahi, Ilusi tersebut tak lain adalah bahwa manusia percaya dirinya mampu merealisasi dan memfungsikan keberadaannya sendiri di dunia ini tanpa dukungan dan berkat Allah. Ego menciptakan ilusi, dan ilusi memuaskan ego dalam mengabdikan lingkaran realitas palsu yang menentang kebenaran.45 Keadaan manusia modern yang pasrah menerima keadaan dirinya dan keterbatasan memandang benda-benda, yang biasa disebut sebagai “keadaan genting manusia modern yang eksistensial”,46 inilah tipe manusia yang tak mampu mempertajam daya kritisnya terhadap dirinya sendiri dan dengan demikian tak lagi kritis memandang kebenaran-kebenaran obyektif, yang secara hakiki merupakan satu-
44
Ibid., h. 255. Ibid. 46 Ibid. 45
90
satunya kemungkinan buat dijadikan timbangan dan ukuran bagi nilai manusia dan kemanusiannya.47 Disinilah Nasr, kemudian memproyeksikan Islam dengan tepat bagi dunia modern. Yakni dengan jalan, pertama, Islam seperti dikatakan Nasr, berasal dari Hakikat yang benar-benar mutlak dan berisi amanat yang datang dari langit, amanat dari Yang Tetap. Ia merupakan imbauan langsung dari Yang mutlak kepada manusia, mengajaknya berhenti mengembara dalam labirin kenisbian dan kembali kepada Yang Mutlak dan Esa. Manusia lahir, hidup dan mati selalu mencari makna, dan pencarian makna ini adalah pokok. Agama benar-benar memenuhi kebutuhan akan makna ini dan dapat memiliki arti sebagai tempat berlindung ditengah badai kepelbagaian dan ketakmenentuan manifestasi semesta dan ditengah badai ketakpastian wujud yang sesaat dan fana. Kedua, Islam menyembuhkan salah satu penyakit dunia modern, yakni sekulerisasi48 yang melampaui batas, satu proses yang tak lain merupakan penjauhan benda-benda dari makna spiritualnya. Terhadap sekulerisasi yang melampaui batas, Islam menyajikan suatu pandangan hidup yang benar-benar suci dan suatu kebebasan yang dimulai dengan kepatuhan pada kehendak Ilahi di dalam rangka merambah jalan naik menuju Yang Tak Terbatas. Dalam Islam 47
Ibid. Sekulerisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia “pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya”, juga berarti “terlpasnya dunia dari pengrtian-pengertian religius dan religius-semu, terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang suci ...”, “defatalisasi sejarah”, penemuan manusia akan kenyataan bahwa dia ditinggalkan dengan dunia di tangannya, sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atau kemalangan atas apa yang diperbuatnya ...; manusialah yang mengalihkan perhatiannya lepas dari dunia-dunia di atas sana ke arah dunia ini dan waktu kini. Selanjutnya lihat Syed Muhammad Al-Naqub Al-Attas, Islam dan Sekulerisme diterjemahkan oleh Karsidjo Djojosuwarno (Kuala Lumpur: ABIM, 1972), h. 17. 48
91
tak ada jarak antara yang suci dan yang duniawi atau kehidupan temporal; Melalui syari`ah yang mengendalikan seluruh kehidupan manusia. Setiap kegiatan manusia memperoleh dimensi transenden; ia jadi suci dan karenanya bermakna. Islam sebagaimana setiap kebenaran lain yang diwahyukan datang dari Tuhan. Oleh karenanya, dunialah yang harus di dorong supaya menyesuaikan diri dengan kebenaran ini dan bukan sebalinya. Ketiga, doktrin tauhid sendiri dalam Islam mengutamakan integrasi atau kepaduan. Sedangkan manusia modern merana akibat pengkotak-kotakan yang melampaui batas di dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan sebagaimana dalam kehidupan sosialnya. Dengan tekanan teknologi, ikatan sosial dan juga kepribadian manusia condong pencah berantakan. Maka cita Islam dan tauhid atau kesatuan tegak kuat menentang kejamakan dan pengkotak-kotakan ini, memulihkan kecendrungan sentragul manusia yang membuat jiwa dan energinya tercerai-berai dan mengajak manusia kembali kepada pusat hidupnya. Keempat, Islam memelihara keseimbangan antara keperluan badani dan kebutuhan rohani, antara keutamaan dunia dan akhirat. Kedamaian tak mungkin didapatkan dalam suatu peradaban yang menyusutkan seluruh kesejahteraan manusia sebagai melulu makhluk dunia fana. Membuat peradaban semacam itu tak mampu memberikan kepuasan ruhani akibat dari perpaduan materialisme yang melampaui batas dan pseudespiritual yang jauh lebih berbahaya. Maka pesan Islam dalam hal ini, agar manusia modern mampu memelihara keseimbangan dan memenuhi kebutuhannya tidak hanya kepada kemampuannya sebagai hewan berpikir, namun juga sebagai wujud yang lahir untuk mencapai kebakaan. Hanya menyibukkan diri dengan kebutuhan jasmani
92
membuat manusia terjerumus ke dalam perbudakan dn melahirkan problem-problem yang secara fisik sekalipun tak mungkin dipecahkan.49 Akhirnya, Islam sebagai agama terakhir bagi umat manusia, dan memandang agama dalam perwujudan universalnya, memiliki semua hal yang dibutuhkan bagi realisasi kerohanian dalam arti yang luhur; Tasawuf dikatakan Nasr, adalah merupakan pilihan untuk tujuan ini. Oleh karena tasawuf merupakan dimensi esoterik dalam Islam, maka hanya Islam yang dapat membimbing mereka dalam Istana batin kesenangan dan kedamaian yang bernama tasawuf. Dan hanya Islam yang merupakan tempat mengintai “surga Firdaus”, seperti ungkapan sufistik yang bersahaja: “Adalah bukan aku yang mennggalkan dunia, tetapi dunialah yang meninggalkan aku”. Bagi Nasr pembebasan batin dalam kenyataan, bisa berpadu dengan aktivitas lahir yang intens. Tasawuf sampai kepad perpadun kehidupan aktif dan kentemplatif selaras dengan sifat penyatuan Islam sendiri terhadap kedua bentuk kehidupan ini.50
C. Kosmologi Islam: Dasar-dasar Keseimbangan Ekologi Dalam al-Qur`an, ada lebih dari 750 ayat yang menunjukkan kepada fenomena alam raya. Hampir seluruh ayat ini memerintahkan manusia untuk mempelajari kitab (hal-hal yang berhubungan dengan) penciptaan dan merenungkan isinya. Dalam visi al-Qur`an, fenomena alam merupakan tanda-tanda Yang Mahakuasa, dan suatu pemahaman tentang alam adalah analog dengan pemahaman tanda-tanda yang bisa membawa kita meraih pengetahuan tentang Tuhan. Sehingga 49 50
Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, hh. 256-63. Ibid., h. 264.
93
memahami al-Qur`an bukanlah usaha yang bermakna, kecuali jika ia dapat membantu kita untuk memahami Sang Pencipta Yang Mahabijak di dunia ini dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.51 Kosmologi Islam sendiri tergantung dari semangat dan bentuk khas wahyu Islam, tidak hanya dalam prinsip umumnya, tetapi juga dalam formulasi dan terminologi. Terdapat benih dari kosmologi yang lengkap di dalam al-Qur`an. Tentang ini dijelaskan oleh kaum sufi, filosof, dan saintis angkatan akhir. Al-Qur`an berbicara tentang tujuh bumi dan tujuh langit, hal Tahta /Kursi (kursî) dan arasy Ilahi (arsy), mengenai gunung, gunung kosmis qaf, dan soal pohon kosmis, yang semuanya menjadi unsur penting dalam kosmolohgi Islam. Ayat-ayat al-Qur`an terpenting mengenai subyek ini, yang tafsirnya berkembang menjadi naskah dasar kosmologi Islam, adalah ayat Kursi dan ayat Nur. Yang pertama menyatakan secara agung, kebergantungan segala sesuatu kepada Allah; yang kedua menggariskan dalam satu set
lambang-lambang
penting,
mengenai
kosmologi
maupun
psikologi
spiritual.52 Ayat Kursi yang berbunyi sebagai berikut:
ِﺽﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭﻣﺍﺕِ ﻭﻮﻤﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴ ﻣ ﻟﹶﻪﻡﻮﻟﹶﺎ ﻧﺔﹲ ﻭ ﺳِﻨﺬﹸﻩﺄﹾﺧ ﻟﹶﺎ ﺗﻮﻡ ﺍﻟﹾﻘﹶﻴﻲ ﺍﻟﹾﺤﻮ ﺇِﻟﱠﺎ ﻫ ﻟﹶﺎ ﺇِﻟﹶﻪﺍﻟﻠﱠﻪ ﺤِﻴﻄﹸﻮﻥﹶﻻﹶ ﻳ ﻭﻢﻠﹾﻔﹶﻬﺎ ﺧﻣ ﻭﺪِﻳﻬِﻢ ﺃﹶﻳﻦﻴﺎ ﺑ ﻣﻠﹶﻢﻌ ﺇِﻻﱠ ﺑِﺈِﺫﹾﻧِﻪِ ﻳﻩﺪ ﻋِﻨﺸﻔﹶﻊ ﺫﹶﺍ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﻳﻦﻣ ﻮﻫﺎ ﻭﻤ ﺣِﻔﹾﻈﹸﻬﻩﺌﹸﻮﺩﻟﹶﺎ ﻳ ﻭﺽﺍﻟﹾﺄﹶﺭﺍﺕِ ﻭﻮﻤ ﺍﻟﺴﻪﺳِﻴ ﻛﹸﺮﺳِﻊﺎﺀَ ﻭﺎ ﺷ ﻋِﻠﹾﻤِﻪِ ﺇِﻟﱠﺎ ﺑِﻤﺀٍ ﻣِﻦﻲﺑِﺸ ﻈِﻴﻢ ﺍﻟﹾﻌﻠِﻲﺍﻟﹾﻌ
Sirajuddin Zar, “Menafsirkan Kembali Kosmologi Al-Qur`an” dalam Ummul Qur`an, No. 3 Vol. V, Tahun 1994, hh. 48=-51, atau lihat Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, hh. 286-91. 52 Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, h. 75. 51
94
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa`at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung”.53
Sedangkan ayat an-Nûr, praktis menciptakan satu kewajiban bagi orang alim untuk menulis komentarnya tentangnya. Karenanya, terdapat banyak komentar mengenai ayat ini. Oleh filosof dan saintis ternama seperti al-Farabi, Ibn Sina, alGhozali, dan Mulla Sadra, masing-masing menarik makna tertentu dari banyaknya tingkat penafsiran, yang disebabkan oleh ayat suci ini sendiri54
ٍ ﺔﺎﺟﺟ ﻓِﻲ ﺯﺎﺡﺒ ﺍﻟﹾﻤِﺼﺎﺡﺒﺎ ﻣِﺼﺸﻜﹶﺎﺓٍ ﻓِﻴﻬ ِﻮﺭِﻩِ ﻛﹶﻤﺜﹶﻞﹸ ﻧﺽِ ﻣﺍﻟﹾﺄﹶﺭﺍﺕِ ﻭﻮﻤ ﺍﻟﺴﻮﺭ ﻧﺍﻟﻠﱠﻪ ﻜﹶﺎﺩﺔٍ ﻳﺑِﻴﻟﹶﺎ ﹶﻏﺮﺔٍ ﻭﻗِﻴﺮﺔٍ ﻟﹶﺎ ﺷﻮﻧﺘﻳﻛﹶﺔٍ ﺯﺎﺭﺒﺓٍ ﻣﺮﺠ ﺷ ﻣِﻦﻮﻗﹶﺪ ﻳﻱﺭ ﺩﻛﹶﺐﺎ ﻛﹶﻮﻬﺔﹸ ﻛﹶﺄﹶﻧﺎﺟﺟﺍﻟﺰ ﺍﻟﻠﱠﻪﻀﺮِﺏ ﻳﺎﺀُ ﻭﺸ ﻳﻦﻮﺭِﻩِ ﻣ ﻟِﻨﺪِﻱ ﺍﻟﻠﱠﻪﻬﻮﺭٍ ﻳﻠﹶﻰ ﻧ ﻋﻮﺭ ﻧﺎﺭ ﻧﻪﺴﺴﻤ ﺗ ﻟﹶﻢﻟﹶﻮﻀِﻲﺀُ ﻭﺎ ﻳﻬﺘﻳﺯ ﻠِﻴﻢﺀٍ ﻋﻲ ﺑِﻜﹸﻞﱢ ﺷﺍﻟﻠﱠﻪﺎﺱِ ﻭﺜﹶﺎﻝﹶ ﻟِﻠﻨﺍﻟﹾﺄﹶﻣ Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti rongga dalam dinding, di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, bila kaca itu seakan-akan (bintang) yang bercahaya, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak bercahaya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah Timur dan tidak pula di Barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir bercahaya, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya-Nya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu55
53
Q.S. Al-Baqarah/2: 255. Nasr, Loc. Cit. 55 Q.S. An-Nûr/24: 35. 54
95
Ibn Sina dalam komentarnya mengenai ayat ini, menafsirkannya secara mikrokosmis, komentar ini dimuat dalam bab ketiga karya agung filsafat terakhirnya, buku pedoman dan catatan. “Di antara kemampuan jiwa, terdapat kecakapan yang dimiliki jiwa, karena ia perlu tumbuh dan menjadi sempurna, sehingga ia dapat mencapai keadaan kecerdasan dalam perbuatan. Kemampuan pertama ialah yang menyiapkan jiwa untuk menerima pengertian, sebagian menamakannya intellektus materialis; inilah seruk tersebut, Di atas ini ada kemampuan lain, yang dimiliki jiwa, jika ia telah menerima pengertian-pengertian pertama, dan siap untuk menerima yang kedua. Pengertian kedua bisa di dapat melalui refleksi atau dengan niat (yaitu yang lebih kuat). yang pertama dilambangkan oleh pohon zaitun, yang kedua oleh minyak zaitun itu sendiri. Dalam kedua hal itu, jiwa pada tingkat ini dinamakan intellectus in habitu, dan seperti kaca, Sedangkan jiwa mulia yang memilik kemampuan suci, untuk itu diungkapkan yang minyaknya hampir nyala memang berlaku. Setelah tingkat inilah, jiwa mempunyai kemampuan dan kesempurnaan; dan kesempurnaan inilah yang “melihat” kecerdasan itu sendiri dalam perbuatan, dalam intuisi yang mewakili kecerdasan tersebut di dalam pikiran, sehingga ia jels bagi pikiran. Sentuhan kecerdasan tersebut di dalam pikiran adalah bagaikan cahaya di atas cahaya. Setelah itu adalah kemampuan yang dapat melahirkan dan menemukan kecerdasan, yang sebelumnya telah diperoleh jiwa, tanpa ia harus mendapatkannya sekali lagi. Kemampuan ini, yang bagaikan dicahayai oleh dirinya sendiri, ialah seperti lampu. Kesempurnaan tadi disebutkan intellectus in habitu dan kemampuan itu intellectus in actu. Dan yang menyebabkan jiwa-jiwa melewati tingkat-tingkat ini dari intellectus in habitu ke intellectus in actu. Dan dari intelektus materialis ke intellectus in habitu ialah kecerdasan aktif, yang seperti api.56 Kosmologi dan Kosmografi Islam juga berdasarkan angelologi (ilmu tentang malaikat) yang diturunkan dari al-Qur`an. Penjelasan mengenai kosmos selalu mempertimbangkan bukan saja segi jasmani dan duniawi, tetapi juga semua manifestasi formal, jadi termasuk juga dunia malaikat. Kenyataannya angelologi, alQur`an dikembangkan pengarang muslim menjadi satu sistem yang terprinci,
56
Ibn Sina, Al-Isyarat wal Tanbihat (Kairo: Dar al-Ma`arif, 1959), hh. 364-7, dikutip oleh Nasr, dalam Sains dan Peradaban dalam Islam, h. 75.
96
meskipun filosof dan orang bijak tertentu, seperti Suhrawardi, juga mengggunakan kosmografi, yang membahas susunan langit, maupun geografi dan sejarah alam; Sebagai contoh juga, karya Abu Yahya al-Qazwini yang menakjubkan (yang disebut Pliniusnya bangsa Arab)-membahas kosmologi dan kosmografi Islam berdasarkan pada studi tentang malaikat, yang bertindak sebagai pengegrak dan pengarah dunia Alam.57 Menurut Nasr, doktrin keesaan (tauhid) adalah formulasi metafisika yang paling dalam. Oleh karena itu, jika syahadah pada prspektif teologi dan syari`i harus diartikan sebagai penegasan keesaan Allah dan sangkalan terhadap seluruh politeisme, dalam perspektif sufi rumusan tersebut menjadi dasar doktrin dan pengetahuan yang paling sempurna tentang “kesatuan wujud”, (Wahdat al-Wujûd: tiada Tuhan selain Wujud Murni,” karena tidak bisa ada dua peringkat realits, yang sama-sama independen. Pengertiannya adalah “tiada realitas, keindahan, atau kekuatan kecuali Realitas, Keindahan dan Kekuatan yang Mutlak”. Sehingga dikatakan bahwa syahadah prtama dalam kesaksian dasar Islam menjadi sumber semua metafisika Islam. Pada tingkat metafisik mengandung arti “ketiadaan” semua wujud, dan berhingga dihadapan Yang Tak Berhingga juga memadukan segala kekhususan ke dalam Yang Universal. Pada tingkatan kosmologi syahadah menyatukan kesatuan segala benda, maka Keesaan prinsip Ilahi ialah kesatuan semua manifestasi dan interelasi segala wujud. 57
Nasr, Science and Civilization in Islam (New York: New American Library, 1968), h. 97.
97
Nasr lebih lanjut menegaskan, bahwa tujuan dari semua metafisika adalah untuk sampai ke pengetahuan Keesaan Ilahi (al-tauhid) begitu pula tujuan segla sains kosmologi adalah untuk menyatakan kesatuan seluruh eksistensi. Tujuan dasar menyatukan kesatuan semua yang ada inilah yang menurut Nasr menjadi milik sains Alam.58 Dari konsepsi ini, menurut Nasr, kosmologi mampu menjadi “alat integrasi konseptual” karena bertujuan untuk mengadakan sebuah pengetahuan yang memperlihatkan kesalingterkaitan segala sesuatu dan mengadakan hubungan dengan tingkatan hirarki kosmik satu sama lain kepada hirarki kosmik yang tertinggi. Dengan demikian, ia menjadi sebuah pengetahuan yang memungkinkan terjadinya integrasi kenaekaragaman ke dalam keterpaduan.59 Kosmologi sufi bukan bertalian dengan aspek-aspek kuantitatif benda-benda sebagaimana di dalam ilmu pengetahuan modrn, tetapi dengan aspek-aspek kualitatif dan simboliknya. Ia menagkap cahaya di ats benda-benda, sehingga dengan demikian benda-benda itu menjadi subyek perenungan (tafakur) yang berniali, mudah dimengerti dan jernih, hilang kekaburan dan kegelapan yang lazim. Fungsi utama kosmologi dan ilmu pengetahuan alam sufi ini adalah untuk menunjukkan suatu prototipe alam semesta dan untuk membuktikan salinghubungan antara semua benda dan kesatuan seluruh kehidupan kosmik yang diperlihatkan demikian hidup oleh alam. Seakan-akan hanya satu yang perlu diperhatikan dalam meninjaunya.60
58
Ibid. Ibid. 60 Nasr, Tasawuf Dulu dn Sekarang, h. 47. 59
98
Dinyatakan dalam al-Qur`an, bahwa Allah adalah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang tersembunyi dan Yang Nampak. Yang awal mengandung arti bahwa seluruh realitas kosmos itu berasal dari-Nya dan Yang Akhir bermakna bahwa seluruh realitas kosmos akan kembali dan berakhir kepada-Nya. Sedangkan pandangan tentang Allah sebagai Yang Tersembunyi dan Yang Tampak akan berhubungan dengan ‘ruang’-‘ruang yang ‘sesuai’ dan ‘sakral’. Dipandang sebagai Yang Tampak, karena Allah menjadi realits yang mencakup semua dan segalanya, yang ‘meliputi’ dan merangkum kosmos. Sedangkan pandangan tentang Allah sebagai Yang tersembunyi, bahwa jika kosmos dipandang sebagai satu set lingkaran konsentris, maka manifestasi fisik dan kasarlah lingkaran yang terluar, dan Hakikat Ilahi adalah lingkaran paling dalam. Ia dapat dianggap sebagai lambang mikrokosmos, yaitu manusia, padanya hal fisik ialah yang paling dinyatakan terluar dan sifat spiritualnya ialah yang paling tersembunyi.61 Dengan pandangan kosmologi sufistik inilah Nasr kemudian mengkritik pengetahuan Barat yang telah kehilangan visi keilahiannya, telah tumpul penglihatan intellektus-nya62 dalam melihat realitas kehidupan. Karena intellektus di atas disfungsional, maka sesungguhnya pengetahuan yang dicapai oleh manusia modern akan tidak lebih dari pengetahuan yang terpecah-pecah, tidak utuh dan bukannya wawasan yang mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta sebagai suatu kesatuan yang tunggal, sebagai cermin keesaan dan kemahakuasaan Tuhan. Hal 61
Nasr, Science and Civilization in Islam. Op. Cit., 75.
62
Nasr, Religion & The Order of Nature (New York: Oxford University Press, 1996) hh. 126-
99
ini karena porsi intellektus tidak mendapat tempat yang wajar dalam pengembangan metafisika Barat kontemporer, terutama sejak berkembangnya aliran Cartesiandualism. Sejak rasionalisme yang tersistematisasikan ini berkembang, manusia lalu dilihatnya hanya memiliki tiga dimensi: psikis, fisik, dan rasio (mind) sementara dimensi spiritualnya sama sekali tidak mendapatkan tempat.63 Padahal menurut pandangan sufistik, konsepsi metafisika pada mulanya merupakan ‘ilmu yang suci’ (scientia sacra) atau ‘pengetahuan keilahian’ (Divine Knowledge), bukannya filsafat yang profan’ (profane philosophy) seperti yang berkembang di Barat. Sehingga metafisika Barat yang mestinya berintikan ‘kecintaan kepada kebijakan’ (the love of wisdom) beralih pada ‘kebencian pada kebijakan’ (the hate of widsom). Metafisika Barat berubah dari philosophia yang hanya mampu melahirkan kensepsi rohaniah yang semu.64 Menurut Nasr, walaupun kesadaran psikis diakui dapat memberikan penyadaran humanis, tetapi sesungguhnya ia tidak mampu melahirkan nilai etika dan estetika yang luhur, seperti halnya yang dilahirkan oleh penghayatan keilahian, yang terpancar dari titik pusat, lagi absolut. Keindahan dan budi yang lahir dari kesadaran psikis, bukan spiritual, hanyalah bersifat terbagi-bagi dan sementara. Keindahan dan kebaikan tidak dapat diraih tanpa seseorang membuka lebar-lebar matahatinya (the eye of the heart), atau visi intellectus-nya. Yang kemudian senantiasa mengadakan pendakian rohani ke arah titik pusat, meski dalam dimensi lainnya seseorang hidup
63 64
Komarudin Hidayat, Op. Cit, h. 269. Ibid.
100
dalam ruang dan waktu. Dengan disiplin ilmu dan teknologi yang dikuasainya, seseorang dapat memahami rahasia watak alam sehingga dapat mengelolanya, sementara matahatinya menyandarkan bahwa alam yang dikelolanya adalah sesama makhluk Tuhan yang mengisyaratkan Sang Penciptanya, Yang Rahman dan Rahim yang mencakup segalanya.65 Berbeda dengan pandanganNasr tentang realitas, ilmu pengetahuan modern memandang bahwa realitas adalah segala sesuatu yang bersifat empiris, profan, dan tak bermakna spiritual. Seperti bagan umum hal ihwal dari pola susunan tubuh alam semesta, hewan, dan manusia. Jika pandangan Nasr bertolak dari yang Ilahi dan melihat rantai eksistensi ke bawah sebagai suatu jarak yang semakin bertambah dari pusat dan diiringi penyusutan kualitas secara berangsur-angsur, pengetahuan modern yang banyak dipengaruhi oleh teori evolusi, cenderung bertolk dari benda mati dan memandang manusia sebagai mata rantai terakhir dari rantai tersebut. Dari eksistensi terendah (pelikan, benda mati) sampai kepada eksistensi yang lebih tinggi (tumbuh-tumbuhan) dibedakan oleh adanya “hidup” Meskipun perbedaan antara hidup dan mati itu ada, para ilmuan tidak membicarakan “kekuatan hidup” itu karena ia tak pernah ditemukan berwujud. Tak ada di dalam hukum, konsep ataupun rumusan fisika dan kimia modern sesuatu yang dapat menerangkan kekuatankekuatan seperti itu. Semakin dalam direnungkan, semakin jelas dijumpai adanya
65
Ibid.
101
sesuatu yang disebut “ketaksinambungan ontologik” atau disebut lompatan dalam tingkatan eksistensi. Demikian pula suatu lompatan dalam tingkatan eksistensi dijumpai pada peralihan eksistensi dari tingkatan tumbuhan ke hewan atau dari hewan ke tingkat manusia, memiliki kekuatan khas di atas kekuatan hewan yaitu kekuatan berpikir dan sekaligus sadar akan pemikirannya.66 Ilmu pengetahuan modern hampir tak pernah berurusan dengan kekuatankekuatan seperti itu. Menurutnya, “hidup” itu tak lain hanyalah bersifat fisika: suatu sifat dengan paduan-paduan khusus atom-atom tertentu. Demikian pula “kesadaran” tak lain kecuali sifat hidup. Selanjutnya, antara kesadaran dan penyadaran diri hampir tak pernah dibedakan secara fundamental. Akibatnya dalam pemikiran modern, semakin tidak pasti tentang apakah benar-benar ada perbedaan nyata antara hewan dan manusia. Ilmu pengetahuan modern tidak memiliki metode untuk menjelaskan “hidup” dan “kesadaran” sebagai kesadaran. Sesuai dengan konsepsi ilmiah tentang alam dan pandangan dunia reduksionis dan materialistik, menurut Nasr, ilmu pengetahuan modern mengabaikan dan menyangkal segala aspek metafisik, spiritual, kualitatif, dan estetis alam semesta. Seperti yang diungkapkan Eddington dan Whitehead, dengan tepat memberikan gambaran bahwa ilmu pengetahuan modern adalah sejenis pengetahuan yang dipilih secara subyektif karena ia hanya berurusan dengan aspek-spek realitas alam semsta yang mampu dipelajari oleh apa yang disebut metode ilmiah.67
66
Lihat E. F. Schumacher, A. Keluar dari Kemelut, diterjemahkan oleh Mochtar Pabotinggi (Jakarta: LP3ES, 1981), h. 18-20. 67 Nasr, Man and Nature, h. 28.
102
Sebagai bandingan, dalam ilmu pengetahuan modern telah dicapai keberhasilan yang banyak dalam menentukan apa yang dalam sejarah intlektual Barat disebut “hukum alam”. Akan tetapi, “hukum-hukum alam” dalam ilmu pengetahuan modern itu telah kehilangan signifikansi spiritual dan metafisikanya. Bahkan, “hukum alam” yang dihasilkan dalam rumusan Barat sering ditemukan ketidaksesuaiannya dan bertentangan antara “hukum-hukum alam” dengan “hukum-hukum Tuhan” yang ditemukan dalam agama. Sedangkan dalam Islam tidak pernah ada perpecahan antara “hukum-hukum alam” dengan “hukum-hukum Tuhan”. Semua hukum merefleksi dari prinsip Ilahi. Ajaran Islam memberikan justifikasi filosofis dan religius bagi kesatuan ilmu pengetahuan.68 Adanya perbedaan pandangan dan lahirnya berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan tersebut, tak lain karena adanya perbedaan tingkat fakultas yang dimiliki manusia. Fakultas-fakultas itu adalah intelek, imajinasi, rasio, dan indra.69 Intlek di sini, digunakan dalam pengertian asal, intellectus (latin) atau, dalam bahasa al-Qur`an disebut ‘aql yang berarti mengikat manusia ke asalnya (origin). Secara etimologis, intellect atau ‘aql mempunyai makna yang sama dengan agama karena agama mengikatkan manusia kepada Tuhan. Sedangkan dalam paham modern, telah mengalami reduksionis dan menjadi hanya reason semata-mata.70
68
Osman Bakar, Tantangan Sains (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999), h. 84-85. Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, loc. Cit h. 18. 70 Nasr, Knowledge and the Sacred, h. 14. Uraian lebih rinci tentang ilmu huduri dapat dilihat dalam Mehdi Ha’iri Yazdi, The Principles of Epistemelogis in Islamic Philosopy; Knowledge by Presence (New York: State University of New York Press, 1992). 69
103
Dalam hal ini yang dimaksud Nasr dengan intelek ialah mata hati (`ain alqalb, the eye of the heart) yang dipandang sebagai pusat eksistensi manusia. Ia merupakan cahaya yang terdapat di dlam jiwa manusia, ia juga sebagai sarana utama untuk memperoleh pengetahuan dan mengetahui tentang realitas tertinggi, serta dapat menembus tabir maya sehingga dapat mengetahui realitas sebagaimana adanya. Yang menjadi obyek pengetahuan intlektual adalah realitas-realitas yang tak berubah, dalam istilah Plato disebut form. Tetapi kemudian, meskipun intlek merupakan sinar dalam diri manusia, manusia sendiri berada jauh dari hakikat primordial untuk dapat memfungsikan anugrah Tuhan itu. Untuk itu, ia memerlukan wahyu agar dapat mengaktualisasikan intleknya sebagai mana seharusnya. Untuk membersih persepsi, manusia harus mendekatkan diri kepada wahyu sebagai sarana pencerahan intleknya. Jika suatu saat intlek manusia dapat berfungsi sebagaimana mestinya, secara alami, ia akan dapat melihat sesuatu dalam ketuhanan (in divine) atau ilmu hudhuri.71 Pemaparan di atas, menunjukkan bahwa antara intelek dan wahyu memiliki hubungan erat, karena wahyu disebut juga ‘intelek universal’. Dalam istilah Ibn Taimiyah, disebut al-fitrah al-munazzalah. Jika intelek manusia suci, ia akan memperoleh intuisi. Suatu bentuk isyarat langsung yang diberikan Tuhann kepada manusia. Wahyu merupakan perwujudan makrokosmik dari Intelek Universal, kalimat Allah, yang memberikan suatu kerangka kerja bagi perwujudan mikrokosmik Intelek di dalam diri manusia dan suatu hukum Tuhan yang melindungi manusia dari
71
Ibid.
104
nafsu-nafsunya sendiri dan menjadikan intelek mungkin untuk tetap sehat atau salim. Bagi Nasr, wahyu bagaikan logos sebagai tempat menyimpan pengetahuan suci. Ia bukanlah sebagai teks literal melainkan seperti manusia yang memiliki dimensidimensi seperti badan, jiwa, dan moral.72 Fakultas lain untuk memperoleh pengetahuan adalah rasio. Pengetahuan yang diperoleh rasio bersifat diskursif dan parsial. Ia merupakan aspek pasif dan refleksi intelek dalam dunia manusia. Meskipun demikian, ia dapat diintegrasikan ke dalam pengetahuan intelektual, sehingga mendapat pengetahuan yang memuaskan. Obyek pengetahuan rasional ini adalah realitas-realitas eksistensi, bukan noumena atau esensi. Dan salah satu kemampuan rasio adalah membuat sintesis dari fakta-fakta dan pengalaman-pengalaman yang dihasilkan oleh indera. Selain rasio, manusia memiliki fakultas indera yang dapat menghasilkan pengalaman dan fakta-fakta. Pengetahuan ini bersifat eksternal. Ia berada di pinggiran dan bersifat dangkal serta tidak berhubungan langsung dengan manusia.73 Di dunia Islam bentuk pengetahuan tertinggi adalah kearifan atau ma`rifah. Bahwa pengetahuan tidak saja bergantung pada diri seseorang, tetapi juga keadaan diri seseorang tergantung pada pengetahuannya. Suatu pengetahuan yang menerangi wujud keseluruhan si ilmuan berbeda dengan filsafat yang difahami terbatas sebagai pengetahuan teoritis murni, terpisah dari kesadaran spiritual dengan membatasi akal pada nalar manusia saja. Dengan demikian, perjalanan manusia dalam mencari pengetahuan berarti suatu transformasi jiwa dan menyangkut suatu fenomologi 72 73
Op. Cit., h. 18. Nasr, Nestapa Manusia Modern, Op. Cit., h. 15.
105
tersendiri. Tingkat terakhir pengetahuan ialah suatu realisasi “subyektif” dari pengetahuan “obyektif” tanpa adanya pemisahan subjek objek. Sehingga pengetahuan seorang arif akan membawanya kepada pengetahuan penyebab ontologisnya dan memandang segala sesuatu sebagai manifestasi prinsip Ilahi yang mengatasi semua determinasi.74 Hubungan esensial hierarki
kutub
subjektif dengan
kutub objektif
pengetahuan dapat digambarkan dalam suatu hubungan yang mencakup gagasan tentang korespondensi satu-satu antara kedua kutub. Setiap tingkat eksistensi kosmik memiliki eksistensi yang bersesuaian dalam diri manusia. Tidak ada sesuatu pun dalam makrokosmos yang tidak diturunkan dari metakosmos, aykni prinsip Ilahiah. Dilihat dari sudut pandang kesadaran, akal merupakan fakultas pengetahuan manusia yang tertinggi dan yang dapat dipersamakan dengan matahati (`ain al-qalb) karena dalam bahasa al-Qur`ann dan hadits-hadits Nabi, qalb secara esensial berarti tempat kedudukan pengetahuan atau alat untuk mencapai pengetahuan.
Akal
manusia, alam makrokosmik, dan wahyu al-Qur`an membentuk tiga aspek fundamental dalam gagasan komprehensif tentang wahyu dalam Islam. Ketiganya berkaitan secara integral, berkaitan dengan garis sentral dalam Islam, untuk bahwa dengan fitrah-Nya Tuhan mencipta dan memberi pengetahuan.75
74 75
Nasr, Science and Civilization in Islam, Op. Cit. H. 314. Nasr, Islamic Cosmological Doctrine, Op. Cit.
106
Disinilah perubahan struktur masyaerakat yang timpang dan perubahan sikap terhadap alam lingkungan yang bersifat eksploitatif hanya bisa dimungkinkan jika manusia sebagai subjek lebih memusatkan perhatian kepada unsur etika-praxis yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kreativitas subjektivit manusia.76 Manifestasi dari nilai-nilai kosmologi Islam tersebut, yakni pada dimensi metafisik, spiritual, kualitatif, dan estetis alam semesta akan melahirkan pengetahuan manusia secara utuh sehingga dapat menyikap tabir al-Haq. Hal itu akan berimplikasi baik terhadap spirit manusianya dan pada tataran praktis akan tercipta keseimbangan ekologi dalam lingkungan hidup manusia-manusia spiritual. Dengan termanifestsikan kepada pemaknaan yang hakiki terhadap alam dan lingkungan. Alam adalah refleksi cahaya nama dan sifat-sifat ilahhi yang rahman, rahim, dan indah. Dengan berlandaskan prinsip-prinsip metafisik, akan dapat membangun kembali keselarasan, dan karena itu meluluhkan kerakusan manusia dari sikap berkuasanya atas alam, serta mendorongnya memadukan keinginannya dalam mendayagunakan sumber-sumber alam dengann sifat tafakkur dan cinta yang kemudian mengubah manusia dari peranannya sebagai perampok bumi, menjadi khalifah Tuhan di bumi (khalîfat Allâh fi al-ardh). Menurut Nasr sejauh mengenai alam, adalah mereka yang memahami tasawuf yang mempunyai kewajiban dan tugas
76
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Cet. Ke II, h. 67.
107
menyebarluaskan. Mereka yang bertalian dengan kebenaran, mencintai alam dn merenungkan bentuk-bentuknya tanpa henti sebagai ayat-ayat Tuhan.77
D. Khalifah dan Amanah Sebagai Etika Tindakan Penciptaan manusia oleh Tuhan sebagai salah satu tema utama dalam alQur`an, diungkapkan, baik secara filosofis dengan bahasa simbolis maupun secara biologis dengan menggunakan idiom-idiom sains alam. Secara filosofis, al-Qur`an menunjukkan penciptaan, tujuan, dan arti kehidupan manusia. Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan kehendak-Nya, oleh karena itu manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, menjadi adi karya-Nya, dengan dilengkapi seluruh perangkat esensial untuk menjalankan misi istimewanya. Peringkat-peringkat itu adalah: Pertama, sebagai makhluk bermoral, manusia merupakan jembatan kosmis tempat lewat kehendak Ilahi, dalam totalitas dan etika yang tinggi menembus ruang dan waktu dan menjadikannyaa aktual. Dengan dilengkapi akal (`aql) dan kemampuan mengkonseptualisasi, manusia diberi petunjuk melalui wajhyu Tuhan dalam term-term keutamaan moral. Manusia sebagai ciptaan Tuhan tertinggi, adalah makhluk teomorfis, yang di dalamnya terdapat roh Tuhan, sehingga dikatakan malaikatpun harus bersujud di hadapannya.78
77
Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, h. 250.
Parvez Manzoor “Lingkungan dan Nilai-nilai dalam Perspektif Islam” dalam Ulumul Qur`an Edisi Khusus, No. 5 & 6 Vol. V. 1994. 78
108
Alam kemudian, menjadi tempat untuk menguji manusia. Manusia diperintahkan untuk membaca tanda-tandanya. Alam diciptakan dengan begitu teratur dan dapat dipahami oleh manusia. Dengan kemampuan pemahaman ini manusia mencapai derajat makhluk yang paling mulia. Juga jika alam tidak bisa dipahami manusia, hal itu berarti menindas dan menurunkan derajat manusia yang terpaksa merendahkan diri di hadapan alam. Ini akan menjadi seperti diungkapkan kaum sufi, tabir yang menutupi wajah Tuhan. Karenanya, keteraturan alam dan kerasionalannya untuk diteliti adalah bagian dari moralitas. Manusia dengan kesadaran etisnya, mampu menerima alam sebagai amanat dan sebagai tempat perjuangan moralnya. Disinilah terdapat pengertian bahwa seluruh dasar etika ekologi Islam terletak pada gagasan al-Qur`an tentang khilafah dan amanat. Alam yang dimiliki Tuhan diberikan kepada manusia semata-mata sebagai sebuah amanat. Hak manusia untuk menguasai alam hanyalah dengan kebajikan teomorfisnya, bukan untuk memberontak menentang Tuhan.79 Konsekuensi tertinggi dari penerimaan amanah oleh manusia adalah menyerahkan penilaian atas tingkah lakunya kepada pertimbangan ketuhanan dari setiap kegiatan manusia yang memiliki konsekuensi-konsekuensi hukum (syari`at). Maka dlam syari`at tidak ada pertentangan antara yang terinternalisasi dn hukum yang tereksternalisasi, antara niat yang tersembunyi dan tindakan-tindakan yang nyata. Syari`at adalah doktrin dan jalan (path) sekaligus. Syari`at adalah manifestasi kehendak ketuhanan dan secara bersamaan merupakan pemecahan bagi manusia yang 79
Ibid.
109
menjadi kehendak pelaksana kehendak itu. Ia eternal (berdasar pada wahyu Tuhan) dan temporal (dilakukan dalam sejarah manusia); Stabil (Qur`an dan Sunnah) dan dinamis (ijma dan ijtihad). Syari`ah sebagai bagian agama Islam yang sangat mendasar, sehingga menjadi muslim adalah menerima perintah-perintah syari’ah.80 Ungkapan Parfez Monzoor tersebut, sejalan dengan ungkapan Nasr bahwa syari`ah merupakan inti agama Islam, sehingga seseorang dapat dikatakan sebagai muslim jika ia menerima legitimasi syari`ah yang merupakan perjalanan konkrit kehendak Allah di tengah masyarakat manusia. Allah sendiri adalah pembuat undang-undang tertinggi (al-Syâri`) dan hanya hukum-Nyalah yang mengikat dan permanen dalam kehidupan manusia, dimana al-Qur`an dan Hadits Nabi merupakan sumber fundamental hukum Islam.81 Di sini dalam pengertian universal, Islam bagi Nasr, dikatakan mempunyai tiga tingkatan makna Yakni: Pertama, semua makhluk di alm ialah Muslim, yaitu “menyerah kepada kehendak Ilahi”. Sehingga diumpamakann suatu bunga tak bisa tidak selain menjadi bunga, intan mau tak mau akan berkilau karena Allah yang membuatnya demikian; semuanya harus patuh. Kedua, semua manusia yang dengan kemauannya menerima aturan wahyu yang suci adalah Muslim karena menyerahkan kemauan mereka kepad aturan tersebut. Sedangkan yang terakhir, ialah tingkat ilmu dan pengertian murni. Yaitu tingkat perenungan, gnostik (`arif). Tingkat yang dianggap sepanjang sejarah Islam sebagai tingkat tertinggi dan paling komprehensif. 80 81
Ibid. Seyyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, h. 56.
110
Seorang gnostik adalah Muslim karena seluruh dirinya diserahkann kepada Allah; ia sendiri tidak punya eksistensi individual yang lain. Ia bagaikan burung-burung danj bunga-bunga dalam penyerahan etis dirinya kepada pencipta; serupa dengan unsur kosmos lainnya, ia merefleksikan kecerdasan Ilahi pada derajatnya sendiri. Ia merefleksikan itu secara aktif sedangkan semua benda lain tadi secara pasif; partisipsinya dilakukan dengan kesadaran. Jadi ilmu dan sains dirumuskan berbeda dari keingin tahu semata dan bahkan dari spekulasi analitis. Gnostik menurut pandangan ini “satu dengan alam” ia mengenalnya “dari dalam” ia sebenarnya telah menjadi saluran rahmat bagi alam. Islam-nya dan Islam alam adalah pasangan yang melengkapi.82 Karena itu sufisme, secara tegas diungkapkan Nasr, adalah spesifik milik Islam, yang di dalamnya seseorang tidak bisa memiliki jalur thariqah sebagai methode pendakian spiritual secara spesifik bagi sufi, sebelum seseorang memasuki lingkaran syari`ah. Hubungan syari`ah sebagai aspek esoteris Islam yang sifatnya formal dan legalistis dengan aspek esoteris, sering digambarkan Nasr dengan lambang lingkaran, dengan titik pusat sebagai pautan ruji-ruji. Setiap muslim yang menjalani hukum Tuhan adalah sebuah titik pusat, dan seseorang tidak dapat menuju pusat tanpa menjalani syari`at secara kontinyu, karena sesungguhnya garis lingkar atau syari`at adalah refleksi titik pusat. 82
Nasr, Sains dan Peradaban dalam Islam, h. 4.
111
Seperti secara dialektis syari`ah dijelaskan juga oleh Parvez, merupakan metodologi sejarah dalam Islam. Dengan penerapannya, kepentingan-kepentingan sementara (temporal) dinilai oleh kepentingan-kepentingan abadi (eternal). Pilihanpilihan moral diubah menjadi pilihan-pilihan tindakan nyata. Perasaan-perasaan etispun tercermin dalam hukum yang disusun. Syari`at pada aplikasinya juga menjadi metodologi pemecahan masalah dalam Islam yang par cexcellence. Setiap pemikiran teoretis muslim, sebagai contoh dalam pencarian etika lingkungan, harus melalui kerangka obyektif syari`ah untuk menjadi bagian dari sejarah muslim, yang jika kemudian dikonsepsikan oleh negara-negara Islam dapat membuat keputusankeputusan aktual dalam masalah ekologi. Syar`ah tidak saja dbutuhkan untuk pembuatan keputusan dalam konteks Islam, tetapi realisme moralnya juga memberikan paradigma-paradigma yang sempurna untuk pembahasan teoretis tentang filsafat ekologi Islam, dimana syari`at bekerja dengan postulat-postulat universal dan memiliki sebuah metodologi yang meyakinkan dan tegas. Jawabanjawabannya akan diberikan dalam term-term strategi tindakan. Semua itu menjadikan validitasnya bersifat universal.83
83
Parvez Manzoor, Loc. Cit.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Pemikiran Nasr dalam pergaulan intelektual neo tradisionalis saat ini, memberikan kontribusi yang sangat berharga di tengah-tengah kultur dan peradabann yang sangat didominasi oleh sains modern. Gagasan orisinil Nasr untuk memberikan landasan etiss-teologis terhadap modernisme ini, banyak mengapresiasi tasawuf sebagai dasar teologi-filosofis dalam kritik tajamnya terhadap modernisme di Barat. Dalam mengembangkan ide-idenya, Nasr sebagai tokoh neo tradisionalis, terlihat mempunyai perhatian yang serius terhadap khazanah intlektual Islam klasik, meskipun ia dibesarkan dalam dunia pendidikan di Barat modern dan menunjukkan isyarat yang kuat bahwa Nasr menghayati kehidupan esoterik dengan tetap memapankan ketaatan kepada syari`ah. Tradisionalisme Nasr kelihatan utuh ketika kita telusur pemikirannya secara integral dalam upayanya mengkonsepsikan sebuah paradigma baru sains. Nasr banyak merujuk kepada keilmuan Islam klasik. Ia juga kelihatan begitu apresiatif terhadap “paradigma baru” yang dibangun oleh Thomas Kuhn. Dari pemikiran Nasr yang penulis teliti dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Konsep al-tauhid (unitas) dalam pemikiran Nasr, menjadi dasar bagi landasan pemikiran filosofi sufistiknya. Tauhid menjadi dasar bagi seluruh bangunan keilmuannya. Konsekuensi tertinggi dari penerimaan tauhid sebagai dasar 113
114
etikanya, melahirkann sistem keyakinan (tauhid) yang menghantar Nasr kepada konsep yang mapan tentang hubungan antara Tuhan, manusia dan alam. Implikasinya adalah akan tercermin secara jelas dalam prilaku etik manusia termasuk prilaku ekologisnya. Tuhan sebagai Realitas Absolut, ingin melihat citra diri-Nya, maka alam diciptakan berdasarkan citra Tuhan, dan manusia adalah pencitraan diri-Nya yang paling sempurna. Hal ini memberikan kedudukan yang tinggi bagi manusia. Namun sebagai sama-sama ciptaan, manusia dan alam mempunyai hubungan fungsional dimana keduanya sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan yang hanya mengabdi kepada Tuhan. Kedudukan
yang
sama
secara
fungsional
menjadikan
manusia
harus
memperlakukan alam secara seimbang dan bertanggung jawab. Sebagai pemelihara manusia tidak boleh bersifat eksploitatif, karena alam pun memiliki dimensi ilahiah dan mempunyai kedudukan yang sama sebagai ciptaan Tuhan. Bahwa alam adalah sama-sama ciptaan dan sama-sama hanya mengabdi kepada Tuhan serta semuanya akan menyatu bersama Tuhan sebagai tempat kembalinya segala sesuatu. Disinilah, pandangan baru tentang etika ekologi, menjadi konsep ideal dalam pemikiran Nasr. Konsep tentang keseluruhan prikehidupan di dalam keharmonisan
hubungan
dan
kesersian
manusia
dengan
unsur-unsur
kosmologinya yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip ajaran tradisional tentang alam dan menjadi asas bagi kelangsungan dan keseimbangan ekosistem. 2. Kosmologi Islam menurut Nasr, mampu untuk menjadi “alat integrasi konseptual”. Hal ini, karena konstruksi dari kosmologi Islam yang dikembangkan
115
Nasr seperti terlihat juga dalam sains-sains Islam yang dibangun oleh ilmuan Islam seperti Ibn Sina dan Al-Kindi, bertujuan untuk mengadakan sebuah pengetahuan yang memperlihatkan kesalingterkaitan segala sesuatu sah mengadakan hubungan dengan tingkat-tingkat hierarki kosmik satu sama lain dan akhirnya dengan Perinsip Tertinggi, sedangkan sains modern bersama aplikasinya, dengan pandangan yang sempit, menyingkirkan pengetahuan tentang kosmologi dari wacananya. Kosmologi kata Nasr, adalah “ilmu sakral (Seintia sacra) yang menjelaskan dunia materi dan wahyu serta doktrin metafisis dimana intlektus yang dimiliki manusia memiliki fungsi untuk dapat melihat realitas secara utuh dan memahami adanya hierarki realitas. Adanya kemampuan melihat hierarki ini, akan dapat membantu manusia untuk memahami realits secara hakiki dan akan dapat menjelaskan secara objektif tentang realitas alam itu sendiri, karena manusia yang dapat memahami hierarki realitas akan dapat menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta. Keharmonisan alam bagi Nasr hanya akan dapat dicapai jika manusia modern dapat memahami adanya hierarki seluruh eksistensi termasuk adanya hierarki ilmu pengetahuan. Pemahan adanya hierarki tersebut, menjadi sangat penting ketika kita hendak memahami lebih jauh tentang yang esensial dan hakiki mengenai manusia, baik mengenai sifat-sifatnya maupun mengenai transformasi spiritualnya dalam upaya mencari jati dirinya sebagai manusia, makhluk spiritual yang harus mampu bertransendensi kepada Tuhannya.
116
3. Kegagalan sains modern untuk melihat hakikat sesuatu, menurut Nasr karena sifatnya yang mereduksi seluruh kualitas hanya kepada kuantitas atau kepada matrial substansial, di mana pandangan dunia metafisis absen dalam sains modern. Manusia hidup dengan roti semata-mata, membunuh semua tuhan, dan menyatakan kemerdekaannya dari kekuatan surgawi. Makanya, kelemahan modernisme di Barat, dipandang Nasr sebagai kegagalan sains dalam mengkonstruksi paradigma yang dibangunnya yang hanya bersifat positivistik. Dalam hal ini, teorinya tentang rim dan axis, dengan jelas mampu menggambarkan teralienasinya manusia modern di tengah-tengah kemajuan sains dan teknologi yang diusahakannya. Maka dengan memakai pendekatan tasawuf, Nasr kemudian memunculkan pemikiran dan proyeksinya bagi manusia modern agar dapat menangkap cahaya ilahi pada langit dunia. Gnostik bagi pandangan tasawuf Nasr “satu dengan alam” ia mengenalnya “dari dalam’ dan sebenarnya telah menjadi saluran rahmat bagi alam. Konsekuensi etis dari prinsip ini manusia yang mengemban tugas sebagai
“khalifat Allâh fi al-ardh” dengan
pemahamannya secara mendasar dari dimensi metafisik, akan melahirkan pengetahuan manusia secara utuh sehingga dapat menyikap tabir al-Haq. Hal itu akan berimplikasi baik terhadap spirit manusianya dan pada tataran praktis akan tercipta keseimbangan ekologi dalam lingkungan hidup manusia-manusia spiritual. Dengan termanifestsikan kepada pemaknaan yang hakiki terhadap alam dn lingkungan. Alam adalah refleksi cahaya nama-nama dan sifat-sifat ilahi yang indah. Pengetahuan ini, juga akan dapat membangun kembali keselarasan dan
117
karena itu meluluhkan kerakusan manusia modern dari sikap berkuasanya atas alam, serta mendorongnya memadukan keinginannya dalam mendayagunakan sumber-sumber alam dengan sifat tafakkur dan cinta. Jika krisis dalam dunia Barat saat ini menjadi begitu akut, maka Nasr sangat yakin, hal itu akan dapat di atasi oleh umt Islam dengan memakai pendekatan tasawuf untuk memberikan kesadaran kepada manusia modern akan kebutuhan terhadap sesuatu yang bersifat spiritualitas Islam atau hanya bisa didapatkan dalam ilmu-ilmu ketimuran. Rujukan Nasr terhadap ilmu-ilmu ketimuran ini, memberikan penjelasan kepada kita bahwa Nasr adalah seorang tokoh perenialis dan membawa kepada pengetahuan ideal bahwa semua manusia memiliki kesadaran fitri tentang Tuhannya. Seperti yang menjadi kesadaran para perenialis bahwa tauhid bukan hanya milik Islam, melainkan jantung setiap agama.
B. Saran-saran Posisi pemikiran Nasr dalam pergumulan intlektual masa kini memberikan penegasan kembali akan kekayaan khazanah intlektual Islam klasik yang kaya dengan doktrin metafisik dan akan dapat memberikan pengertian secara memadai untuk menjadi landasan bagi kemajuan ilmu secara integral. Gagasannya yang sangat menaruh perhatian
terhadap
sufisme
ini,
meyakinkan tentang pentingnya aspek esoterik Islam tersebut dan dijadikan penolakan terhadap pengaruh dan gelombang modernisme yang telah melahirkan
118
krisis peradaban yang sangat akut. Hal itu karena sains modern yang menjadi penopang kemajuan Barat, telah kehilangan visi keilahiannya; sehingga peradaban yang dilahirkannya walaupun secara material telah memberikan begitu kemudahan dan fasilitas hidup yang spektakuler, tetapi secara spiritual ternyata kering dari nilainilai ilahiah yang sebetulnya sangat dibutuhkan oleh manusia modern. Tentu saja sufisme yang dianggap penting oleh nasr, baru akan menjawab kebutuhan manusia modern, jika a dikemas tidak bersifat apologetis terhadap peradaban Barat. Disini kita perlu mempertanyakan modernisme dalam gagasangagasan Nasr ketika modernisme begitu dikonfrontasikan dengan tradisionalisme Islam. Apakah Nasr hanya sekedar sangat idealis dan romantik. Sebab dalam gagasan Nasr tanpa tidak jelas batasannya, apa sesungguhnya ada modernisme Islam, sehingga hakekat modernisme yang dipahami Islam boleh jadi bukan seperti modernisme Barat yang dikecam oleh Nasr, Kemudian, penolakan Nasr untuk Islam dengan realitas zaman terlihat belum jelas alternatifnya, jika modrnisme dianggap salah atau tidak ada yang bisa diambil manfaatnya sama sekali. Padahal akan sulit dihindari jika kita tidak secara jelas mengidentifikasi persoalan-persoalan modrnisme yang mana telah memberikan arti kepada umat manusia dan modernisme yang telah merusak tatanan spiritual manusia; khususnya umat Islam yang kondisinya memang masih ketinggalan secara sains dan teknologi. Hal yang sangat mendasar adalah bahwa perlunya kita mengkonsepsikan tentang etika ekologi Islam untuk dapat menangkal krisis yang lebih besar pada era
119
ini. Krisis ekologi yang sudh akut sebetulnya adalah dampak dari krisis polusi jiwa manusia yang sudah sangat jauh dari nilai-nilai Ilahiah. Krisis inipun sebetulnya sudah lama menjadi kesadaran tidak saja bagi masyarakat tradisionalis yang memegang teguh nilai-nilai kehidupan yang hakiki bahkan bagi mereka yang modern yang sudah lebih dulu merasakan dampak berbagai krisis termasuk bahaya modernisme saat ini, adalah krisis ekologis. Mengkonsepsikan etika ekologi saat ini menjadi kebutuhan mendesak jika kita tidak ingin melihat kerusakan alam yang lebih hebat. Maka tugas kitalah sebagai generasi hari ini untuk dapat segera mengantisipasi berbagai permasalahan tentag kerusakan lingkungan. Baik perumusan itu bersifat teologi-filosofis, maupun perumusan yang bersifat etis-praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Abdullah, Amin. Studi Agama: Normativitas dan Historistias, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. Ke I. 1996. Abdullah, Taufiq. “Agama Sebagai Kekuatan Sosial” dalam Taufiq Abdullah (Ed.), Metodologi Pnelitian Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Afifi, A.E., Filsafat Mistis Ibnu Arabi diterjemahkan oleh Syahrir Mawi dan Mahdi Rahman, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995. Attas, Syehed Muhammad Al-Naquib al-, Islam dan Sekulerisme. Terjemahan. Bandung: Pustaka, 1981. Ali, Fachry. Agama Islam dan Pembangunan. Yogyakarta: PLP2M, 1985. Ali Hasan, Ibrahim. Al-Islam wal-Bi`ah, Al-Qhahirah: Wajâratu al-Auqâf, 1420 M/ 2000 H. Ali, Yunasiril. Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi oleh Al-Jilli, Jakarta: Paramadina. 1997. Arifin Syamsul, et.al. spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sipress, 1986. Azhari Noor, Kautsar. “Menyemarakkan Dialog Agama: Perspektif kaum Sufi” dalam Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat, Jakarta: Zaman Wacana Mulia, Cet. ke I. 1999. Baiquni, Ahmad. Al-Qur`an dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1986. Bakar, Osman, Tantangan Sains, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1999. Baqi, Muhammad Fuad al-, Abdul. Mu`jam al-Musfahras li al-Alfadz al-Qur`an, Beirut: Al-Fikri, T.th. Baqir, Haidar dan Basro, Syafiq (ed.) Ijtihad dlam Sorotan, Bandung: Mizan 1993.
120
121
Capra, Frijof. The Turning Point: Titik Balik Peradaban: Masyarakat dan Kembangkitan Kebudayaan, diterjemahkan oleh M. Thoyibi, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000. Copleston, Fredarich A. History of Philosophy, New York: An Image book, 1985, Vol Ensiklopedia Islam: Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hove. Faruqi, Ismail Raji al-, Tauhid, Bandung; penerbit Pustaka, 1982. Heddy, Suwarsoni, et. Al., Pengantar Ekolog, Jakarta: Rajwali Press, 1986. Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas, Jakarta: Paramadina, 1986 Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Islam, diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina. 1999. Huxley, Aldous. The Pereniall Philosophy, London: Fontana Books, 1959. Isfahani, Al-Raghib al-, Mu`jam Mufradat al-Fadz al-Qur`an (ed) Nadim Marashaly Beirut: Dar al-Fikri, 1972. Jacob, Teuku. Manusia Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988. Kuntoewijoyo, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana, 1987. Ma`arif, Syafi`i Ahmad, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan peradaban, Jakarta: Paramadina, 1983. -------------, dalam Edy. A. Effendy, Ed., Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999. -------------, Cita-cita Politik Islam Reformasi, Jakarta: Paramadina: 1999. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kulitatif, Edisi III, Yogyakarta: Rake Sarsin, 1998. Mujiono, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur`an, Jakarta: Paramadina, 2001. Murata, Sachiko. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan. Cet. Ke VI. 1981.
122
Nasr, Seyyed Hossein, Terj. Mahyudin, Science and Civization in Islam, Bandung: Pustaka 1988. ------------, Ideals and Realities of Islam. London: George allen & Unwin, 1975. ------------, Islamic Life and Thought, London: George allen & Unwin, 1981. ------------, Islam dan Nestapa Manusia Modern, Bandung: Pustaka, 1983. ------------, Islam dalam Cita dan Fakt,. Jakarta: Leppenas, 1981. ------------, Knowledge and the Sacred, New York: Crossroad Publishing Co., 1981. ------------, man and Nature, London: Mandala books, 1976. ------------, “ Mulla Sadra.” Dalam M.M. Sharif, A. History of Muslim Philosophy,. Wisbaden; Ottohorrassoeitz, 1968. ------------, Pengenalan Doktrin Kosmologi Islam, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1992. ------------, “ Preface.” Dalam Frithjof schoun, Islam and the perenial Philosoophy,. London: Word of Islam festifal Publishing co., 1976. ------------, Sains dan Peradaban dlam Islam, ditrejemahkan oleh Mahyudin. Bandung: Pustaka, 1986. ------------, Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Mizan, 1993. ------------, “ Suhrawardi.” Dalam M.M. Sharif. A. History of Muslim Philosophy. Wisbaden: Ottohor-rasswitz, 1986. ------------, Three Muslim Sages. New York: Karapan Books, 1976. ------------, Traditional Islam in The Modern Word, London: KPI Limited, 1987. ------------, Islam and Plight of Modern Man, London: longman, 1975. ------------, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat dan Gnosis, Yogyakarta: CIIS Press., 1995. ------------, Tasawuf: Dulu dan Sekarang, diterjemahkan oleh M Thoyibi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. ------------, Sience and Civilization in Islam, An introduction to Islamic Kosmological Doctrine. Cambridge: harvard University press, 1964.
123
------------, Relegion & The Order of Nature, New York, Oxford University Press. 1996. Nasution, Harun. Filsafat & Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Cet. ke IX. 1995. Nugraha, A. Alois. Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, Jakarta: Grasingo, 2001. Noer, Deliar. Perubahan Pembaruan dan Kesadaran Menghadapi Abad ke-21. Jakarta: Dian Rakyat, 1988. Noer, Kautsar Azhari. “Menyemarakkan Dialog Agama” dalam Dekonstruksi Madzhab Ciputat, ed. Edi A.effendi, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1999. Otto, Rudlof. The Idea of the Holy, Oxsford: University Press, 1958. Pabotinggi, Moechtar, Islam: antara Visi, tradisi, dan Hegemoni dunia Muslim, Jakarta: Paramadina, 2001. Schuon, Frithjof. Islam and the Perenial Philosophy, London: Word of Islam Festival Publishing Co., 1978. ------------, Understanding Islam, London: Mandala Books, 1976. Schumacher, E.F. keluar dari Kemelut, Jakarta: LP3ES, 1989. Scharf, betty R. The Sosiological Study of Relegion, London: faber and Faber. Shahab, Husen. “ Mazhab Tasawuf Perspektif Ahlul Bait” dalam Kuliah-kuliah Tasawuf, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002. Sihab Alwi, Islam Inklusif, Jakarta: 1986. Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1995. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998. Siuryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
124
Thabathaba`i, M.H. Islam Syi`ah, diterjmahkan oleh Johan Effendi, Jakarta: Grafitipers, 1989. Thoyibi, Teologi Industrialisasi, Surakarta: Muhammadiyah University press, 1995. Tibi, Bassam, terj. Yudian W. Asmin, Krisis peradaban Islam Modern; Sebuah Kultur Pra Industri, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
Artikel Makalah: Abdullah, Amin. Al-Ghozali “Di Muka Cermin” Immanuel Kant: Kajian Kritis Konsepsi Etika dan Agama dalam Ulumul Qur`an Arifin, Syamsul. “Agama dan Masa Depan Ekologi Manusia” dalam Ulumul Qur`an. Edisi Khusus No. 5 & 6 Vol. V. 1994. Baqir, Haidar. “Sains Islami: Suatu Alternatif” dalam Ulumul Qur`an Vol 1 AprilJuni, 1985. Kartanegara, Mulyadhi. “ Sufi Approach To Nature” , Makalah. Manzoor, Parvez, “Lingkungan dan Nilai-nilai dalam Perspektif Islam dalam Ulumul Qur`an, Vol. V. 1994. Nasr, Seyyed Hossein, “The Meaning and Role of Philosophy in Islam” dalam Studi Islamica, Vol. 37 Paris, 1973. Rahman, Budi Munawar, “Kebijakan Perenial dan Kritik Terhadap Modernisme” Kompas, 1995. Zar, Sirajuddin. “Menafsirkan Kembali Kosmologi Al-Qur`an” dalam Ulumul Qur`an, No. 3 Vol. V. 1994.
125
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Eka Julaiha, S. Ag.
Tempat tanggal lahir
: Serang, 18 Desember 1971
Alamat rumah
: Ciomas LPI Al-Halimi Padarincang Serang-Banten
Pekerjaan
: Dosen STAIN “Sultan Maulana Hasanuddin Banten” Serang
Alamat Kantor
: Jln. Jendral Sudirman No. 30 Serang Tlp. (0254) 200323
Pendidikan : -SDN Ciomas I
: 1984
-MTs1 Cisaat
: 1987
-M.A. Barugbug
: 1990
-IAIN “Sunan Gunung Djati” Serang Fak. Syari`ah : 1997 -Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pengalaman Orgtanisasi : -SMF IAIN “Sunan Gunung Djati” Serang Tahun 1994-1995 -HMI Kom. Fak. Syari`ah IAIN “Sunan Gunung Djati” Serang Tahun 1993 -KOHATI Cab. Serang Tahun 1995-1996 -KOHATI ICMI Propinsi Banten Tahun 2002- Sekarang
Karya Ilmiah : - Upaya Intra Doktrinal Reform bagi Prospektif Hukum Keluarga di Indonesia Skripsi), Etika Ekologi: Perspektif Tasawuf Nasr (Tesis), dan sejumlah Makalah serta Artikel.