GAGASAN TAPAK EKOLOGIS (ECOLOGYCAL FOOT PRINT) UNTUK PERTIMBANGAN STRATEGI
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PENGEMBANGAN KOTA
Oleh
Farizal, ST
MAHASISWA PASCASARJANA MAGISTER TEKNIK ARSITEKTUR
PROGRAM STUDI PERANCANGAN KOTA
UNIVERSITAS TRISAKTI
152.111.006
e-mail
[email protected]
ABSTRAKSI
Banyak definisi dan teori mengenai kota berkelanjutan, Inti dari sebagian
besar teori kota berkelanjutan, terletak pada perimbangan antara besaran
tapak ekologis (ecological footprint), yakni dampak ekologis yang
ditimbulkan oleh konsumsi, produksi dan aktivitas kota, dengan daya dukung
(bio-capacity) yakni kemampuan kota dalam mendukung kehidupan yang
dicerminkan oleh sumber daya alam kota tersebut. Kota berkelanjutan
menghendaki tapak ekologis yang minimum dengan daya dukung yang maksimum.
Tapak ekologis hampir sepenuhnya tergantung kepada manusia dalam hal ini
masyarakat kota, sedangkan daya dukung kota sudah diberikan oleh Tuhan
berupa berbagai jenis sumber daya, walaupun manusia bisa memodifikasinya
untuk memperbesar daya dukung ini, namun penambahannya tidak terlalu
signifikan. Di sinilah stakeholder perkotaan seperti masyarakat dan
pemerintah kota berperan. Bagaimana memperkecil tapak ekologis di tengah
dinamika perkembangan kota serta keterbatasan daya dukung kota, melalui
kewenangan yang ada pada mereka antara lain dengan mengelola dan
mengaturnya menggunakan berbagai instrument.
Dalam konteks kekinian, kerusakan lingkungan pada berbagai skala tetap
berlangsung bahkan pada taraf yang semakin intensif. Mencermati situasi
tersebut, untuk mengelaborasi secara singkat beberapa hal mendasar yang
terkait dengan implementasi pembangunan berkelanjutan, terutama dalam
konteks pembangunan wilayah. Penerimaan gagasan tapak ekologis akan
berimplikasi pada perubahan paradigma pembangunan, pendekatan perencanaan,
serta metode analisis dalam pembangunan wilayah.
Kata Kunci : Tapak Ekologis, Pembangunan Berkelanjutan, Gagasan Ruang, Kota
Berkelanjutan
1 PENDAHULUAN
Dalam dua dasawarsa terakhir, Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa
lingkungan hidup mengalami kerusakan yang semakin parah. Bencana banjir,
longsor, dan kekeringan terjadi di berbagai daerah dengan intensitas yang
cukup tinggi. Dalam tahun 2008, terjadi 197 kejadian banjir, 65 kejadian
longsor, dan 22 kejadian banjir dan longsor (KLH, 2008). Konversi lahan
hutan menjadi perkebunan, pertanian, permukiman, wisata dan pertambangan,
yang dilakukan tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan,
berpengaruh secara signifikan terhadap kerusakan lingkungan tersebut.
Dalam konteks daya dukung lahan, ketersediaan lahan di beberapa pulau besar
mengalami overshoot, yakni terlampauinya ketersediaan lahan oleh kebutuhan.
Kajian daya dukung lingkungan di beberapa provinsi di Sumatera (KLH, 2008),
mengindikasikan bahwa empat provinsi telah berstatus terlampaui. Hal ini
juga terjadi di Pulau Jawa. Ini adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan kemampuan lahan (land capability). Lahan yang berada pada area rawan
longsor, seharusnya tidak dibuka untuk pertanian tanaman pangan – tanpa
intervensi teknologi secara tepat - atau pemanfaatan lain yang tidak
sesuai. Sebaliknya, beberapa daerah lereng curam di Jawa dan Sumatera
diubah fungsinya sebagai lahan pertanian. Akibatnya, terjadi kerusakan
lahan yang sangat sulit untuk direhabilitasi, apalagi dengan hilangnya
lapisan tanah subur
akibat longsor.
Kerusakan hutan dan lahan mengakibatkan dampak lebih luas berupa perubahan
iklim dan krisis pangan. Banjir dan longsor merusak lahan pertanian dan
menurunkan hasil panen yang merupakan sumber pangan masyarakat. Dilihat
dari aspek ekonomi, peningkatan pendapatan sesaat yang dihasilkan dari
pemanfaatan ruang yang tidak mengindahkan kondisi ekologis, justru
berdampak pada penurunan pendapatan di kemudian hari, karena produksi tidak
berkelanjutan setelah area pemanfaatan mengalami kerusakan Hal lainnya,
tekanan terhadap ketersediaan air. Peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan
pembangunan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan air. Pada saat yang
sama, peningkatan kegiatan seperti industri dan pertambangan juga berdampak
pada kualitas air. Lebih jauh, kualitas air dipengaruhi oleh kuantitasnya,
karena menentukan kemampuan purifikasi air dalam menerima beban limbah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan air adalah pemanfaatan
ruang, terutama pada daerah tangkapan air.
Dari cerita diatas maka konsep maupun asas kota berkelanjutan adalah suatu
keniskalaan, sesuatu yang hanya ada dalam dunia pikiran atau imajinasi.
Dalam pikiran tersebut keduanya mempunyai sifat dan kedudukan berbeda.
Konsep adalah suatu rekonstruksi yang boleh jadi peniskalaan suatu realita
atau fenomena, bisa juga suatu imajinasi murni yang dibangun oleh dan dalam
pikiran guna memberi gambaran menyeluruh tentang suatu wujud atau proses.
Konsep ini yang kemudian digunakan kembali oleh akal untuk memahami,
menerangkan atau bahkan melakukan suatu tindak terhadap realita atau
fenomena tersebut. Konsep kota yang berkelanjutan adalah konstruksi dalam
pikiran yang didasarkan pada suatu keyakinan tentang wujud dan proses yang
terjadi dalam kota. Keyakinan yang dianut inilah yang dimaksud sebagai asas
yang memang menjadi dasar dan panduan segala tindak.
1. MENGAPA KOTA
Berkelanjutan merupakan asas yang dianut dalam hampir segala tindak dan
upaya manusia, sehingga kita menjumpai istilah ekonomi berkelanjutan,
bisnis berkelanjutan, pertanian berkelanjutan, permukiman berkelanjutan dan
juga arsitektur berkelanjutan.
Begitu meluasnya penggunaan istilah berkelanjutan sampai akhirnya
terlepas dari asasnya sendiri diantara hiruk pikuk penggunaan istilah
berkelanjutan, kota berkelanjutan adalah diantara konsep yang secara taat
asas diterapkan diberbagai penjuru dunia. Mengapa, karena kota merupakan
ruang tempat terkonsentrasinya kehidupan manusia. Saat ini setengah
penduduk dunia tinggal di kota dan akan terus meningkat sampai mungkin
sekitar 70-80 %. Di negara industri maju konsentrasi penduduk kota ini
telah mencapai tingkat kejenuhannya dan telah mencapai sekitar 70 sampai 90
%. Sedang di negara sedang berkembang penduduk kota baru sekitar 20 - 30 %
dan dengan cepatnya menuju kondisi 50 % untuk kemudian akan menyamai
penduduk kota di negara maju. Ada upaya untuk menahan pertumbuhan kota
seperti yang dilakukan di RRC pada zaman Mao Zedong atau de urbanisasi yang
dilaksanakan dengan kejam oleh rezim Pol Pot di Kamboja, tetapi kesemuanya
tidak dapat menghentikan proses "mengkota".
Kota merupakan wujud nyata perkembangan dan kemajuan, ciri-ciri
perkembangan dan kemajuan bangsa dapat dilihat dari kondisi kotanya. Kota
adalah pusat komunikasi, pusat percaturan politik, pusat kekuasaan dan
adminisitrasi. Dari kota pula terjadi pengembangan nilai baru dan
kebudayaan baru. Banyak produk budaya yang mandeg tiba-tiba muncul kembali
berkembang karena dorongan kota. Kota kemudian juga diakui sebagai mesin
pembangkit pertumbuhan ekonomi, penentu pola konsumsi dan produksi. Kota
menawarkan aneka lapangan kerja dan bahkan perkembangan pertanian banyak
ditentukan oleh kota. Di sisi lain, meski kota menjadi agen pembaruan dan
perkembangan, tetapi juga dapat menjadi agen kapital global yang agresif
dan eksploitatif. Harus diakui bahwa kota adalah penyebab terjadinya
eksploitasi sumberdaya alam. Kota adalah konsumen air bersih yang besar
yang dapat menyebabkan terganggunya alokasi air bagi pertanian. Kota yang
terus melebar mengkonsumsi tanah pertanian yang produktif. Rusaknya
lingkungan oleh misalnya galian pasir dan batu karena permintaan kota. Kota
juga menjadi penghasil limbah dan produsen pencemaran yang terbesar di
setiap negara. Begitulah, akhirnya kota menjadi perhatian dunia untuk dapat
didorong fungsi dan peranan posisitfnya dan dikendalikan akibat negatifnya.
Karena itu kota mendapatkan konsep dan menerapkan asas pembangunan
berkelanjutan.
Kota merupakan wujud budaya kompleks, bersegi banyak dan berdimensi jamak.
Oleh karena itu dapat kita pahami apabila tidak ada kesatuan pandangan
tentang konsep dan asas kota berkelanjutan.
2. ARTI KOTA UNTUK INDONESIA
Sekiranya kita akan mengembangkan dan menerapkan asas kota berkelanjutan di
Indonesia, persoalan yang kita hadapi adalah apa arti kota itu sendiri
masih harus disepakati. Setiap hari orang menggunakan istilah kota tetapi
apa arti istilah itu bagi orang Indonesia, sesungguhnya tidak sederhana.
Istilah kota itu bisa diartikan city, town, municipal atau urban. Kerancuan
semacam ini tidak pernah dicoba dijelaskan, bahkan dibakukan dengan undang-
undang sehingga untuk municipal digunakan istilah Kota. Memang ada upaya
untuk menggunakan istilah perkotaan untuk istilah urban, misalnya seperti
yang dapat kita jumpai dalam statistik. Dalam berbagai peraturan juga
digunakan istilah kawasan perkotaan untuk menandai urban area, tetapi urban
culture biasanya diterjemahkan dengan istilah kebudayaan kota dan urban
economic menjadi ekonomi kota. Bukan kebudayaan perkotaan dan ekonomi
perkotaan. Kerancuan ini nampaknya tidak pernah dipersoalkan, mungkin
karena dianggap sudah merupakan hal yang bisa dipahami oleh semua orang
yang berbahasa Indonesia. Sekiranya ada istilah kota dalam suatu peraturan
perundangan atau kebijakan, kita bisa menafsirkan sendiri apakah istilah
"kota" yang digunakan tersebut berarti municipal atau urban city, town,
karena ada kemungkinan perumusnya sendiri tidak menyadari apa bedanya.
Dalam tulisan ini digunakan istilah perkotaan untuk urban, dan kota ( k
kecil) untuk city atau town dan Kota (K besar) untuk municipal. Urban
adalah suatu sifat, bahkan secara khusus ditujukan untuk menandai sifat-
sifat sosio-kultural karena itu mungkin lebih tepat apabila untuk urban
tersebut digunakan istilah kekotaan. Tetapi karena istilah perkotaan telah
meluas dan secara formal digunakan dalam peraturan perundangan, apa
boleh buat disini kita gunakan istilah perkotaan tersebut. Istilah kota (k
kecil) dimengerti sebagai suatu entitas atau satuan pemukiman yang
mempunyai sifat perkotaan sedangkan Kota (K besar) merupakan satuan wilayah
administrasi
Bagaimana ciri-ciri-ciri satuan pemukiman agar dapat dianggap telah
mempunyai sifat kekotaan tidaklah mudah Secara fisik kita bisa menandai
keberadaan kota dari jumlah dan kualitas konstruksi bangunan gedung dan
prasarananya. Juga dari angka-angka statistik pemukiman tersebut dapat
diindikasikan kehadiran kota, tetapi kesemuanya belum tentu bisa menandai
sifat kekotaan tata nilai dan perilaku masyarakatnya. Badan pusat statistic
(Indonesia) menggolongkan suatu wilayah desa atau kelurahan sebagai wilayah
perkotaan apabila kepadatan penduduknya mencapai 500 orang/km2 atau lebih,
kurang dari 25 % penduduknya hidup dari pertanian dan sekurang-kurangnya
mempunyai delapan fasilitas pelayanan umum seperti pasar, sekolah, pusat
kesehatan dan sebagainya. Berdasarkan definisi inilah suatu satuan wilayah
desa dinyatakan tergolong kawasan perkotaan dan penduduknya disebut sebagai
penduduk perkotaan. Tentu saja dimensi sosio kultural perkotaan tidak dapat
dikenali dengan penggolongan ini. Ini membuat analisis perkembangan
perkotaan yang hanya didasarkan pertumbuhan penduduk bisa jadi bersifat
semu. Banyak kota yang meski jumlah dan kepadatan penduduknya memenuhi
kriteria sebagai perkotaan (urban) tetapi karakteristik
kehidupan dan pengelolaannya belum dapat
digolongkan perkotaan.
3. Daya Dukung Lingkungan dan Kajian Tapak Ekologis Untuk Kota
Berkelanjutan
Upaya menyelesaikan permasalahan lingkungan sebagaimana diuraikan di atas,
pendekatan praktis yang mengangkat konsep daya dukung lingkungan hidup ke
dalam perencanan pembangunan sangatlah penting. Konsep tersebut mengarahkan
pengukuran kemampuan lingkungan dalam mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain, khususnya dalam mendukung kegiatan pembangunan, agar
tidak berdampak terhadap penurunan fungsi lingkungan itu sendiri, baik
dalam bentuk kerusakan maupun pencemaran.
Implementasi konsep daya dukung lingkungan hidup untuk pembangunan
berkelanjutan, kajian telapak ekologis merupakan salah satu bentuk
penerapan yang baik. Dimana, dilakukan pengukuran terhadap tingkat
ketersediaan dan kebutuhan produk hayati, baik yang potensial maupun
aktual, yang sangat diperlukan dalam menentukan tingkat pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan hidup termasuk pemanfaatan ruang- yang optimal.
Kajian telapak ekologis juga menjadi masukan penting untuk mengukur
kemampuan hayati (biocapacity) suatu daerah dibandingkan daerah lain dalam
pemenuhan kebutuhan penduduk setempat maupun penduduk daerah lain, sehingga
menjadi acuan yang baik dalam perencanaan pembangunan wilayah, dan antar
wilayah.
1. PEMAHAMAN KERANGKA KOSEPTUAL TAPAK EKOLOGIS (ECOLOGYCAL FOOT PRINT)
UNTUK STRATEGI KEBERLANJUTAN PENGEMBANGAN KOTA
Pertama kali dipublikasikan oleh William Reese secara ilmiah pada tahun
1992. Namun, konsep dan perhitungannya sudah dikembangkan oleh Mathis
Wackernagel yang berada dibawah bimbingan William Reese sendiri ketika
menyelesaikan thesis Pasca Sarjananya di University of British Columbia
Vancouver Kanada pada medio 1990-1996. Jejak Ekologis Kota merupakan
analisis nilai kebutuhan manusia di dalam ekosistem kota. Analisis ini
membandingkan kebutuhan manusia dengan kemampuan biosfer alam
dalammereproduksi sumber daya kota. Nilai tersebut merepresentasikan jumlah
lahan produktif biologis yang diperlukan untuk mereproduksi sumber daya
yang dikonsumsi manusia danmenyerap limbah melalui teknologi yang berlaku.
Dengan penilaian ini, maka dapat diperkirakan berapa banyak sumber daya
kota yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan manusia. Sebagaigambaran,
jejak ekologis bumi mencapai nilai 1,4 pada tahun 2006. Dengan kata lain,
manusia menggunakan 1,4 kali lebih cepat jasa ekologi yang dapat perbaharui
bumi. Pada akhir survey, Jejak Ekologis dapat dikategorikan dalam penilaian
Karbon, Pangan,Perumahan, dan Barang-Jasa serta jumlah total Jejak Ekologis
yang diperlukan untuk mempertahankan populasi suatu wilayah pada suatu
tingkat konsumsi. Pendekatan ini juga dapatditerapkan dalam berbagai
kegiatan seperti aktivitas produksi atau konsumsi energi
kendaraan.Perhitungan sumber daya ini mirip dengan analisis siklus hidup,
dimana konsumsi energi, biomassa, material bangunan, air, dan sumber daya
lain yang dikonversi menjadi ukuran luas yang kemudian disebut "Global
Hectare" (gha).
Kota yang secara ekologis dikatakan kota yang sehat. Artinya adanya
keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian
lingkungan. Pengertian yang lebih luas ialah adanya hubungan timbal balik
antara kehidupan kota dengan lingkungannya. Secara mendasar kota bisa
dipandang fungsinya seperti suatu ekosistem. Ekosistem kota memiliki
keterkaitan sistem yang erat dengan ekosistem alami.
Kota Ekologis di beberapa kota diwujudkan dalam bentuk program-program yang
bertujuan untuk mencapai 'kota hijau'. Program kota hijau merupakan program
yang menyatakan perlunya kualitas hidup yang lebih baik serta kehidupan
yang harmonis dengan lingkungannya bagi masyarakat kota. Program-program
kota hijau diantaranya tidak hanya terbatas untuk mengupayakan penghijauan
saja akan tetapi lebih luas untuk mengupayakan konversi energi yang dapat
diperbaharui, membangun transportasi yang berkelanjutan, memperluas proses
daur ulang, memberdayakan masyarakat, mendukung usaha kecil dan kerjasama
sebagai tanggung jawab sosial, memugar tempat tinggal liar, memperluas
partisipasi dalam perencanaan untuk keberlanjutan, menciptakan seni dan
perayaan yang bersifat komunal.
Dalam pengembangan kota, masalah keberlanjutan (sustainability issues)
merambah di semua bidang kehidupan manusia, tak terkecuali pada
"pembangunan segitiga" yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi kota. Tuntutan
bahwa perkembangan pada sebuah kota mulai 2 dasawarsa terakhir ini harus
aspiratif terhadap kebutuhan dan eksistensi masa depan, dijawab dengan
beberapa kata kunci seperti efisiensi, intensifikasi, konservasi,
revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota
(sustainable urban redevelopment movement). Saat ini diperkirakan separuh
populasi penduduk dunia telah tinggal di kota-kota. Pembangunan
berkelanjutan didasarkan pada 2 konsep yang saling terkait yaitu konsep
kebutuhan (the concept of needs) dan konsep keterbatasan (the concept of
limit). Kota-kota adalah area penting bagi berbagai aktifitas manusia dan
mereka ini adalah konsumen terbesar dari sumber-sumber alam yang ada.
Kondisi ini akan semakin parah lagi jika perencanaan dan pengelolaan kota
tidak mempertimbangkan aspek-aspek ruang kota yang dapat menghemat energi
dan efisiensi. Terbukti banyak kota-kota di negara berkembang yang belum
mempertimbangkan aspek-aspek ini dalam perencanaan dan pengelolaannya.
Paradigma pembangunan tata ruang kota berkelanjutan dengan ide utama
seperti perwujudan kota kompak terlihat semakin menjadi kebutuhan tak
terpisahkan dalam pembangunan kota-kota di dunia. Hal ini bisa dilihat dari
pemanfaatan ide ini yang tidak saja diterapkan di negara maju, tetapi telah
pula merambah negara-negara berkembang. Namun begitu, apakah model kota ini
akan menjadi solusi yang baik bagi masa depan tata ruang kota, tampaknya
juga memerlukan pembuktian lebih jauh, meskipun ada indikasi awal bahwa
penerapan kebijakan ini relevan bagi kota-kota yang telah mencoba
menerapkannya. Hal ini disebabkan penerapan model kota kompak ini masih
sangat terbatas (model availability) dan memerlukan waktu yang cukup
panjang (long term observation). Maka perlu kehati-hatian untuk
mendiskusikan implikasi hasilnya. Oleh karena itu, dengan mengetahui
terlebih dahulu mengenai pengertian kota kompak, konsep kota kompak,
kelebihan dan kelemahannya, serta penera pannya di negara maju dan
berkembang sehingga dapat digunakan sebagai pelajaran bagi perencanaan kota
kompak di Indonesia.
Saat ini dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota
yang berkelanjutan, Kota Kompak (compact city) tampaknya telah menjadi isu
paling penting. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan
antara bentuk kota dan keberlanjutan, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota
dapat berimplikasi pada masa depan. Keberlanjutan pembangunan secara
langsung berintegrasi dengan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Diagram
berikut menunjukkan bagaimana integrasi dari nilai lingkungan, nilai
ekonomi, dan nilai social menghasilkan kehidupan yang sejahtera bagi
manusia. Dalam aplikasi pembangunan berkelanjutan, 3 elemen tersebut harus
berjalan simultan. Ketimpangan pembangunan akan terjadi apabila
perkembangan aspek yang satu lebih tinggi dari aspek yang lain.
1. IMPLEMENTASI PERHITUNGAN TAPAK EKOLOGIS
Kajian telapak ekologis telah diterapkan di Indonesia oleh beberapa
institusi, diantaranya yang baru saja selesai dilakukan oleh Kementerian
Pekerjaan Umum, yaitu pada setiap provinsi di pulau Sumatera, Sulawesi,
Bali, Nusa Tenggara, Papua, dan kepulauan Maluku. Tulisan ini tidak dalam
kapasitas untuk menganalisis dan menilai hasil penghitungan yang telah
dilakukan. Tetapi berdasarkan metode dan proses penghitungannya, selayaknya
hasil penghitungan tersebut menjadi masukan bagi perencanaan pembangunan,
baik kewilayahan (regional) maupun sektoral.
Sangat disadari bahwa dalam penghitungan telapak ekologis banyak asumsi
yang digunakan, antara lain dalam mengkonversi berbagai jenis produksi
hayati, dan dalam memaknai berbagai jenis konsumsi. Selain itu,
penghitungan telapak ekologis juga sangat tergantung pada ketersediaan dan
akurasi data. Oleh karena itu, pemahaman terhadap setiap tahap dan komponen
penghitungan sangatlah penting dalam pemaknaan hasil akhir penghitungan.
Terlepas dari tujuan global penghitungan telapak ekologis, yaitu untuk
pembandingan pola dan tingkat produksi dan konsumsi antar negara, komponen
penghitungan telapak ekologis cukup menunjukkan bahwa banyak aspek
pembangunan yang seharusnya bisa mengacu kepada angka yang diperoleh dari
setiap tahap penghitungan, tidak hanya dari angka hasil akhir. Perbandingan
kapasitas hayati antar masing-masing jenis penggunaan lahan pada suatu
wilayah; perbandingan antara kapasitas hayati (biocapacity) dan telapak
ekologis (ecological footprint) untuk masing-masing jenis kapasitas hayati
dan telapak ekologis pada suatu wilayah perbandingan kapasitas hayati dan
telapak ekologis antar wilayah serta ketergantungan produksi hayati suatu
wilayah dengan wilayah lain; merupakan contoh komponen penghitungan yang
selayaknya
diperhatikan dalam perencanaan pembangunan.
Hal lain, memahami bahwa kajian telapak ekologis didasarkan pada
penghitungan data statistik, akan sangat bermanfaat apabila kajian ini
dipadukan dengan analisis berdasarkan data spasial. Informasi spasial dan
statistik akan saling melengkapi serta menjadi acuan yang lebih baik dalam
perencanaan pembangunan wilayah. Selain itu, mengantisipasi berbagai dampak
lingkungan yang mengindikasikan ketidakberlanjutan, komponen lingkungan
hidup lain kiranya dapat diperhatikan pula dalam perencanaan pembangunan,
seperti daya dukung air, kemampuan lahan (land capability), dan kerentanan
ekosistem.
2. PEMBAHASAN : WACANA MENGENAI KONSEP RUANG KOTA EKOLOGI
Sumbangan pemikiran terhadap konsep kota yang ekologis memberikan
pengertian yang luas. Pemahaman yang sinonim dengan konsep kota yang
berkelanjutan, melahirkan istilah kota ekologis serta istilah lain yang
dikenal dengan kota hijau dan kota organik. Selanjutnya menurut Hill (1992)
bahwa kota seharusnya didorong untuk mendukung kebutuhan manusia secara
organik dan pemenuhan diri secara terus menerus sampai mencapai tingkatan
yang tertinggi, dimana lingkungan yang dibangun mendukung dan menegaskan
secara positif mengenai pembangunan manusia dan pembangunan yang berwawasan
lingkungan.
Melibatkan alam dalam membangun kota, seperti yang diusulkan Ebenezer
Howard (1898) menjadi landmark dalam perencanaan kota, kemudian konsep
tersebut dikenal dengan konsep kota taman. Howard dengan konsepnya tersebut
memandang bahwa kota dengan skala yang besar tidak akan memberikan tempat
yang cocok untuk tinggal, dimana ia mengindikasikan kota yang besar sebagai
bentuk rencana yang tidak ideal, lingkungan yang tidak sehat sehingga kota
tersebut akan mati. Kota taman yang dimaksudkan Howard, memiliki batasan-
batasan dimana ia menyarankan jumlah penduduk sebanyak 32.000 jiwa dalam
lahan seluas kurang lebih 405 ha (4.050.000 m²) dan lahan tersebut
dilingkupi oleh lingkungan hijau yang luas.
Sementara Pattrick Geddes (1915) percaya bahwa perencanaan kota didasarkan
pada pengetahuan tentang alam dan sumber daya suatu wilayah. Misalnya
secara khusus ia memandang kawasan lembah sungai sebagai unit alami untuk
menguji berbagai aktivitas yang berbeda terkait dengan kota. Dan juga
Geddes sudah meramalkan adanya pengaruh yang penting tentang perkembangan
kota yang terdesak oleh teknologi dan mode transportasi. Ramalan tersebut
ada benarnya, seperti halnya yang terjadi saat ini. Lebih lanjut menurutnya
bahwa dengan adanya perembetan kota tersebut maka menyebabkan penggunaan
sumber daya dan enegi menjadi tidak teratur dan menjauhkan diri manusia
dari alam. Dengan demikian hal ini akan sangat penting untuk membawa
kembali alam ke dalam kota.
Berbeda dengan Howard yang kurang menerima kota dengan skala besar karena
dianggap tidak ideal, maka Alexander (1967, 1969) berpendapat bahwa kota
besar bisa ditentukan melalui pusat-pusat kota yang saling berhubungan dan
mendukung kota serta pertumbuhannya berdasarkan perkembangan organik pada
tingkat distrik dalam suatu kota.
Sejalan dengan pendapat Howard dan Geddes, Lewis Mumford (1961)
menggabungkan konsep tersebut dengan menyertakan elemen ikatan sosial untuk
menciptakan hubungan yang langsung antara kawasan ekologis dengan wilayah
perkembangan kota. Usulan Mumford melibatkan konsep baru tentang kota
taman, pembangunan kota yang desentralistik, dan lokasi yang terletak di
kawasan lembah sungai (Hill, 1992). Lebih detail mengenai konsep kota
ekologis, Ian McHarg(1969) menunjukkan tema 'desain dengan alam', sama
halnya dengan Geddes, ia mendukung adanya pengujian terhadap kondisi alam
suatu kawasan sebelum mengajukan pembangunan suatu kota. Hal yang berbeda
dengan Howard, Mumford dan Alexander adalah bahwa McHarg memiliki perhatian
yang kecil pada interaksi manusia, perkembangan distrik, hirarki wilayah
dan prinsip umum tentang bentuk kota, dimana lingkungan alami dirubah
berdasarkan produk rencana yang disiapkan yaitu berupa blueprint.
Implikasi dari pendekatan-pendekatan yang disampaikan Howard, Geddes,
Mumford dan McHarg, adalah menghindari pembangunan kawasan yang tidak
terbangun. Secara khusus, hal ini menekankan pada kebutuhan terhadap
rencana pengembangan kota dan kota-kota baru yang memperhatikan kondisi
ekologis lokal serta bertujuan untuk meminimalkan dampak yang merugikan
dari pengembangan kota. Selanjutnya juga memastikan pengembangan kota yang
dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal.
Sinergi dengan pendekatan-pendekatan tersebut dimana substansinya secara
jelas menerangkan konsep kota alami untuk menuju kota yang berwawasan
lingkungan (ekologis). Konsep-konsep tersebut tercermin dalam perumusan
visi tentang kota ekologis dimana hal tersebut digambarkan dengan beberapa
visi yang mendukung eksistensi dan tujuan kota ekologis. Visi tentang kota
ekologis yang dimaksud adalah menciptakan kota yang selaras, serasi dengan
alam dan lingkungannya. Dimana pandangan-pandangan yang berkembang sesuai
dengan visi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
Perencanaan perumahan yang diadaptasikan dengan alam dan
mempertimbangkan faktor-faktor biologis
Keseimbangan ruang-ruang kota dan desa tanpa saling bertentangan
Perencanaan area bangunan dan perumahan yang selaras dengan iklim
Upaya desentralisasi terhadap sistem penyediaan energi yang selaras
dengan sistem kehidupan
Pertanian yang tersebar mengikuti kontur alami dari lahan
Pola jalan-jalan yang menyesuaikan dengan kondisi lahan
Perlindungan suatu lahan untuk memelihara evolusi alami
Sungai penyangga yang menjaga kemampuan alami untuk recovery dan self-
regulation
Perlindungan permukaan lahan melalui rencana transportasi yang cocok
Desain yang menyatu dengan sejarah dan karakteristik lokal
Variasi desain yang fleksibel menyatu dengan pengalaman penghuni
Komunitas yang koopratif dan hubungan yang baik
Desain yang memelihara lansekap alami
Zoning dan gaya bangunan yang beradaptasi dengan iklim
Preservasi pusat kota
Desain ruang untuk pedestrian/jalan yang tidak menutup secara total dari
permukaan lahan
Ruang-ruang mix-used untuk tempat tinggal, bekerja dan kegiatan lainnya
Menciptakan ruang kehidupan untuk manusia, binatang dan tumbuhan
Kota sebagai ekosistem dari elemen-elemen yang menyatu
Kota merupakan gambaran kehidupan
Dengan demikian secara praktis kota ekologis merupakan kota yang mengurangi
beban dan tekanan lingkungan, meningkatkan kondisi tempat tinggal dan
membantu mencapai pembangunan berkelanjutan termasuk peningkatan kota yang
komprehensif. Kota ekologis melibatkan perencanaan dan manajemen lahan dan
sumberdaya serta implementasi peningkatan lingkungan secara terukur.
Bersama-sama dengan gagasan waktu, gagasan mengenai ruang selalu muncul
dalam kehidupan manusia. Setiap praktek kehidupan manusia yang selalu
terkait dengan ruang. Oleh sebab itu, selama berabad-abad para filsuf pun
mencoba untuk mencari dan menemukan hakekat ruang. Bahkan, hingga saat ini,
perdebatan mengenai hakekat dan definisi ruang nampaknya belum akan
berakhir. Perdebatan mengenai definisi ruang senantiasa bergerak di antara
dua titik ekstrem yang berseberangan, yaitu ruang ideal (ideal space) dan
ruang yang dirasakan (perceived space).
Ruang ideal juga dikenal sebagai ruang geometris. Atau, sesuai dengan nama
pencetusnya – Euclid, ahli matematika Yunani – sering juga disebut sebagai
ruang Euclidian. Mengingat latar belakang keilmuannya, tidak mengherankan
apabila Euclid memahami ruang sebagai sebuah bentuk tiga dimensi yang
bersifat seragam dan statis (Cavallaro, 2004). Gagasan ruang versi Euclid
ini dipertegas oleh Isaac Newton yang memperkenalkan istilah ruang absolut,
yaitu "wadah kosong yang terbebas dari fenomena di dalamnya, selalu tetap,
dan tidak bisa digerakkan". Berbeda dengan ruang ideal, gagasan perceived
space lebih melihat ruang sebagai sesuatu yang abstrak. Philpot (2003)
mendefinisikannya dengan pernyataan "suatu cara ketika lokasi dibayangkan
dan diberi makna". Dengan demikian, ruang menjadi bersifat cair dan dinamis
tergantung secara subyektif pada sense manusia yang berupaya memahaminya.
Batas-batas atau ukuran ruang pun tergantung pada konteks kepentingan
manusia.
Mengacu pada dua gagasan di atas, tampaknya sangat sulit bagi kita untuk
menerima gagasan ruang ideal guna diterapkan dalam prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan. Salah satu alasan utamanya adalah karena gagasan
tersebut menempatkan ruang semata-mata sebagai sebuah latar belakang pasif.
Dalam perannya yang pasif tersebut, timbul pemisahan antara ruang dan obyek
di dalamnya. Jelas hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip ekologis
yang menekankan pentingnya keterkaitan dalam suatu totalitas sistim
kehidupan.
Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan bahwa implementasi ideologi dan
etika pembangunan berkelanjutan perlu diperkuat oleh penerimaan yang luas
akan gagasan perceived space. Berdasarkan gagasan perceived space ini,
ruang menjelma menjadi sebuah dimensi yang senantiasa akan berpihak dan
berkontribusi bagi terbentuknya pola, struktur, dan dinamika kehidupan
melalui proses-proses alamiah, sosial, kultural, politik, dan psikologis
yang berlangsung di dalamnya. Atau dengan kata lain, ruang adalah arena
interpretasi manusia akan keterkaitan antara diri dan lingkungannya guna
menghasilkan pengetahuan dan tindakan. Epistemologis positivisme yang
sangat menekankan pada ketepatan absolut, parameter, dan ukuran ruang
(Smith, 2005) menjadi tidak relevan lagi. Sehingga, pada tataran inilah
gagasan ruang memiliki titik referensi yang sama dengan paradigma ekologis-
holistik, yaitu menekankan pada pendekatan sistim dan mekanisme Ecological
Foot Print.
Apabila mengacu pada cerita diatas, maka dalam konteks pembangunan kota di
Indonesia saat ini, penerapan kajian ecological foot print masih sangat
jauh untuk dilakukan. Sebagai Salah satu contohnya adalah pengembangan
kawasan yang saat ini menjadi issue strategis nasional yakni Pembangunan
Kawasan Sport Center Hambalang. Pembangunan kawasan Hambalang secara
ekologi dan penataan ruang, tidak memiliki kelayakan secara geologis,
karena berada pada kawasan rawan bencana (pergerakan tanah) dan kawasan
cekungan resapan air. Apabila dilakukan pembangunan pada kawasan tersebut
maka akan berdampak kepada, kurangnya suplly air pada wilayah hilir
(Jakarta) dan apabila di kembangkan bangunan tinggi akan terjadi amblesan
bangunan akibat pergerakan tanah yang sangat ektrim.
Berangkat dari contoh kecil diatas maka, penerapan Ecological Foot Print
merupakan sebuah agenda penting dalam pelaksanaan pembangunan perkotaan
khususnya di Indonesia.
3. CATATAN PENUTUP : STRATEGI PENERAPAN ECOLOGYCAL FOOT PRINT DALAM
PENGEMBANGAN WILAYAH PERKOTAAN
Menurut persepktif ekologis, ruang (dunia) adalah sebuah sistim yang saling
terkoneksi, dialogis, majemuk, dan modifikatif. Dengan demikian, setiap
bagian dunia sampai pada skala terkecil akan dilihat sebagai sebuah sistim
yang terbuka sehingga akan siap mengantisipasi perubahan zaman. Atau,
dengan kata lain, perspektif ekologis memandang arah perkembangan dunia
tidak semata-mata bergerak ke satu arah. Skenario masa depan dunia akan
berjalan tak terduga dan penuh kemungkinan sehingga diperlukan perubahan
mind set untuk menerima adanya "beberapa masa depan dunia". Dengan
demikian, kompetensi dan strategi pembangunan harus diuji agar mampu
menghadapi apapun model masa depan yang mungkin terjadi. Patut diduga bahwa
berbagai pendekatan perencanaan pembangunan kota yang terpecah-pecah secara
sektoral tidak akan mampu merumuskan kompleksitas perkembangan dunia
tersebut. Karena, bagaimana pun juga, model-model masa depan hanya dibangun
dan dianalisis melalui pemahaman akan perilaku lingkungan sebagai sebuah
totalitas.
Berkaitan dengan itu, agar dapat keluar dari berbagai persoalan pembangunan
masa kini, nampaknya tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali memberanikan
diri untuk "menantang" paradigma lama. Paradigma 'profitabilitas' harus
segera digantikan oleh paradigm 'keberlanjutan'. Demikian juga dengan
paradigma 'pertumbuhan' yang harus segera dialihkan ke paradigma
'keseimbangan'. Sementara itu, paradigma 'efisiensi lingkungan' harus
lebih dikedepankan dari pada paradigma 'efisiensi teknis'. Dan terakhir,
paradigma 'mendominasi alam' harus segera digeser ke paradigma 'harmonisasi
dengan alam'. Guna mendukung pergeseran paradigma di atas, syarat penting
yang harus dipenuhi adalah penguatan internalisasi dan institusionalisasi
perspektif ekologis kepada segenap stakeholder pembangunan wilayah. Proses
penguatan tersebut bukan saja membutuhkan pengetahuan (knowledge), tetapi
lebih dari pada itu juga membutuhkan kearifan (wisdom). Hal ini sangat
penting karena hanya kearifan-lah yang mampu mengatasi keterbatasan dan
juga keangkuhan manusia dalam membuka tabir rahasia alam.
Melalui perubahan paradigma di atas, sistim ekonomi sesungguhnya hanyalah
satu aspek dari keseluruhan tatanan ekologis dan sosial. Dinamika ekonomi
akan sangat tergantung pada dinamika ekologis dan sosial yang
melingkupinya. Dengan demikian, dominasi paradigm ekonomi terhadap dimensi
ekologis dan sosial menjadi kehilangan relevansinya. Sebaliknya, berbagai
landasan konseptual ekonomi yang sarat dengan model-model kuantitatif harus
segera diperluas bahkan dirombak hingga mencakup sistim nilai yang
berkembang di masyarakat. Berbagai kasus menunjukkan bahwa sistim nilai
tersebutlah yang memberikan landasan bagi terbentuknya persepsi, selera,
ide, dan wawasan yang kemudian menyediakan alternatif bagi masyarakat untuk
berinovasi dan beradaptasi dengan berbagai perubahan. Dan dalam konteks
itulah sistim ekonomi akan berevolusi.
Konsekuensi selanjutnya dari pergeseran paradigma di atas adalah perlunya
merubah pola perencanaan pembangunan wilayah dari pendekatan "diskrit" ke
pendekatan "kontinum". Selama ini pola perencanaan diskrit yang terwujud
dalam sekat-sekat wilayah administrasi atau satuan pulau justru menimbulkan
suasana kontra produktif karena setiap wilayah hanya berorientasi pada
upaya penonjolan diri. Lebih jauh lagi, euforia kekuasan pada masing-masing
wilayah semakin mengikis prinsip-prinsip ekologis yang mengutamakan
kerjasama. Batas-batas administrasi seolah-olah menjadi 'pagar beton' yang
memungkinkan penghuni di dalamnya berperilaku tanpa merasa perlu
berkomunikasi dengan tetangganya atau merasa khawatir menggangu lingkungan
sekitarnya. Tak ada proses dialog, tak ada pembagian peran, dan tak ada
proses integralisasi.
Sebaliknya, melalui pendekatan kontinum setiap wilayah atau satuan pulau
akan dipandang sebagai bagian integral dari totalitas ekologis. Dengan
demikian, kategorisasi spasial seperti pusat-pinggiran, kota-desa, maju-
terbelakang, dan sebagainya tidak selayaknya lagi diposisikan secara
berlawanan. Hal yang membuat posisi mereka berbeda semata-mata adalah
derajat kehadiran faktor-faktor pembentuk karakter wilayah. Cara pandang
ini secara implisit menunjukkan bahwa semua wilayah, bagaimanapun
karakternya, berada pada sistim yang sama. Tak ada sekat yang membatasi
mereka. Tak ada lagi istilah 'wilayah penyangga' dan 'wilayah disangga'. Di
bawah paradigma ekologis-holistik dengan srategi penerapan ecological foot
print, pembagian peran serta hubungan yang saling menguntungkan akan
berjalan melalui sebuah sistim terbuka yang memungkinkan terjadinya aliran
energi dan materi. Bila aliran meningkat sistim akan bergerak menuju bentuk
keseimbangan baru. Pertumbuhan pada satu tempat, bisa jadi akan diimbangi
oleh penyusutan pada tempat lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. WCED, 1987, Our Common Future, Oxford University Press, New York
2. World Resources Institute, 1996, WORLD RESOURCES 1996-1997
3. Serageldin, Ismail ect ,1995, TheBusiness of Sustainable Cities, ESD
Proceeding, The World Bank
4. Badshah, Akhtar A., 1996, OUR URBAN FUTURE: New Pradigm for Equity and
5. Sustanibility, Zed Books London Newman, Peter and Kenworthy, Jeffrey
1999, Sustainability and Cities,Island Press
6. Tjuk Kuswartojo 2005, Perumahan dan Pemukiman Indonesia, Penerbit ITB
Bandung
RIWAYAT PENULIS
Farizal, Lulus Sarjana Strata Satu (Sı) Jurusan Perencana Wilayah dan Kota,
Pada Institut Teknologi Indonesia, Tahun 2000. Saat ini Menjadi Mahasiswa
Pasca Sarjana Magister Arsitektur, Peminatan Perancangan Kota (Urban
Design), Universitas Trisakti dan bekerja di Konsultan Perencanaan.
-----------------------
1
EKOLOGI PEMBANGUNAN
SEJARAH DAN TEORI PERANCANGAN KOTA