BAB 1 PENDAHULUAN
Seorang ahli ginekologi Amerika, James Marion Sims untuk pertama kali menciptakan istilah “vaginismus” pada t ahun ahun 1862, pada saat dirinya melakukan pemeriksaan VT (Vaginal Tousse) pada seorang wanita di sebuah klinik bersalin. Dia menjelaskan bahwa pada saat jari telunjuknya dimasukkan ke dalam vagina untuk melakukan VT, terjadi kontraksi otot-otot vagina yang berlebihan sehingga terjadi penolakan dengan adanya sensasi yang sangat nyeri dan menyakitkan (Crowley al ,
et
2006). Pada tahun 1834, P.C Huguier juga mendefinisikan sindrom
disfungsi vagina ini sebagai kondisi dimana terjadi kontraksi involunter dari otot dinding vagina (Suryadjaja, 2013). Vaginismus merupakan istilah yang menggambarkan kesulitan penetrasi vagina (Reissing
et al ,
2004).
Vaginismus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penyempitan otot involunter dari sepertiga bagian luar vagina yang menganggu penetrasi penis. Diagnosis tidak dibuat ketika disfungsi ini disebabkan oleh faktor organik atau bila gejala gangguan mental axis I lain (Kapplan, 2000). Berdasarkan DMS IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), kontraksi otot vagina involunter secara terus-menerus yang mengganggu coitus dan menyebabkan kesulitan interpersonal untuk melanjutkan coitus sehingga menyebabkan distress (DMS, 2000). Vaginismus dianggap merupakan salah satu masalah disfungsi psikoseksual pada wanita yang sering terjadi. Namun, prevalensi secara umum masih belum diketahui (Carey, 1990). Diperkirakan angka kejadian dari populasi klinik bervariasi dari 5%-17% (Hawton, 1990). Vaginismus tidak hanya merupakan masalah sebagian wanita saja, tetapi sudah merupakan disfungsi psikoseksual yang sering dijumpai di seluruh dunia. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh CETAD (Sexual Education Treatment and Research Association), angka kejadian vaginismus di Turki sebanyak 10%. Jadi, 1 dari 10 wanita akan mengalami vaginismus atau tidak dapat berhubungan intim secara maksimal karena mengalami sakit
yang luar biasa saat penetrasi (Berman, 2000). Di Inggris angka kejadian vaginismus sebanyak 25% (Goldmeier, 1997). Sebuah penelitian klinis di Iran menemukan bahwa angka kejadian vaginismus di negara tersebut sebanyak 4% (Mehrabi, 1999). Dr.
Laura
Breman,
seorang
ahli
ginekologi
Amerika
mengungkapkan bahwa vaginismus mungkin akibat dari nyeri genital yang cukup lama setelah berhubungan intim atau terjadi disfungsi pada otot dasar panggul. Selain itu, mungkin terjadi trauma masa lalu dimana saat melakukan hubungan intim terjadi kenangan yang menyakitkan atau takut kehilangan kontrol (cbnnews, 2010). Ada juga faktor fisik yang mungkin menjadi penyebab terjadinya vaginismus dengan gejala utama nyeri, antara lain infeksi saluran genital, vestibulitis, penurunan kadar estrogen pasca menopause dan trauma pasca operasi genital (Basson, 2005). Cairan pelumas yang kurang saat penetrasi bisa mejadi salah satu penyebab nyeri (Crowley, 2006). Sebuah teori mengenai penyebab vaginismus menduga bahwa seorang wanita yang mengalami vaginismus mungkin dengan sadar mengingkari dirinya dan pasangannya untuk melakukan hubungan intim Adanya trauma psikoseksual seperti pengalaman seksual yang traumatik, misalnya wanita yang mengalami perkosaan baik pada masa anak-anak, remaja maupun dewasa bisa menjadi pemicu terjadinya vaginismus (Reissing
et al ,
1999). Adanya sikap negatif atau pemikiran-pemikiran
negatif seperti takut hamil, kecemasan dan kekerasan seksual bisa juga menyebabkan vaginismus (Tugrul, 1997). Selain itu, informasi yang tidak memadai mengenai masalah seksual baik dalam keluarga atau budaya setempat yang mengatakan bahwa hubungan seksual tabu ternyata juga menjadi pemicu terjadinya vaginismus (Crowley, 2006). Peran agama ternyata juga berpengaruh, bila terjadi kekolotan beragama dimana pendidikan agama yang konservatif akan memandang rasa curiga pada kegiatan seksual. Sehingga akan menanamkan rasa khawatir dan takut saat melakukan hubungan intim (Nurtikasari, 2001).
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1
Vaginismus
2.1.1 Definisi Vaginismus adalah konstriksi involunter dari otot sepertiga luar vagina yang mengganggu masuknya penis dan intercourse. (Sadock, 2008)
2.1.2 Faktor Predisposisi
Memiliki pengalaman koitus yang menyakitkan
Kondisi negative masa kanak-kanak yang menganggap seks sebagai sesuatu yang kotor, penuh dosa dan memalukan
Trauma seksual pada awal masa kanak-kanak
Trauma pada saat pertama kali pemeriksaan pelvis
Fobia kehamilan
Fobia penyakit kelamin (Townsend, 1998)
2.1.3 Etiologi Dari faktor fisik :
Infeksi traktus genitalis (candidiasis, Ca Cervix oleh HPV, Vestibulitis).
Penyakit sistem vaskular (atherosklerosis).
Penyakit yang mempengaruhi sistem saraf (diabetes, multiple sclerosis, cedera saraf tulang belakang).
Penurunan kadar testosteron.
Penurunan kadar estrogen setelah menopause, melahirkan dan sedang menyusui.
Obat-obatan: antihipertensi, antidepresan jenis SSRI (prozac dan zoloft).
Konsumsi alkohol yang berlebihan.
Dari faktor psikologis:
Trauma psikoseksual (pemerkosaan).
Informasi seksual yang tidak adekuat.
Religius : menganggap taboo.
2.1.4 Diagnosa Diagnosa vaginismus di tentukan berdasarkan ada tidaknya gejalagejala di bawah ini: 1. Sulitnya penetrasi pada saat hubungan seksual. Rasa sesak dan nyeri pada saat penetrasi merupakan salah satu tanda adanya vaginismus. 2. Adanya rasa nyeri seksual terus menerus yang terjadi setelah problem pelvis, persoalan medis, atau bedah. 3. Nyeri seksual setelah melahirkan. Rasa
nyeri
seksual
dan
sesak
saat
penetrasi
setelah
melahirkan (setelah semuanya sembuh) juga menjadi salah satu pertanda vaginismus sekunder. 4. Nyeri seksual terus menerus dan rasa sesak saat penetrasi tanpa adanya penyebab fisik yang terlihat. 5. Vaginismus dering terjadi selama aktifitas seksual berlangsung dan dokter tidak dapat menemukan penyebab pasti kesulitan dalam hubungan seksual tersebut. 6. Penolakan hubungan seksual akibat rasa nyeri atau gagalnya penetrasi.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan untuk mendiagnosa vaginismus adalah
dengan menggunakan surface electromyography
(sEMG) or needle electromyography. Dari penelitian terhadap sEMG dan needle EMG dapat menunujukan kekuatan otot-otot pelvic floor dan tonus otot pelvis serta vagina dalam diagnosa vaginismus. Dari penelitian menunjukkan bahwa kekuatan otot vagina dan pelvic floor pada wanita dengan vaginismus lebih besar dibanding wanita normal.
Tidak ada pemeriksaan medis pasti yang dapat digunakan untuk diagnosa vaginismus, karena itu mungkin diperlukan beberapa kali kunjungan ke dokter atau spesialis untuk menegakan diagnosa. Keberhasilan dalam mendiagnosa suatu vaginismus ditentukan oleh riwayat pasien, deskripsi masalah, pemeriksaan gynecology dan proses untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi lain.
2.1.5 Diagnosis banding Dyspaureni biasanya di tandai dengan adanya nyeri superficial, sedangkan vaginismus biasanya di tandai dengan nyeri yang lebih dalam.
2.1.6
DAFTAR PUSTAKA
Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A., 2008, Kaplan & Sadock’s Concise Textbook of Clinical Psychiatry, Third Edition, Lippincott Williams & Wilkins. Townsend, Mary C., 1998, Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperwatan Psikiatri: Pedoman untuk Pembuatan Rencan Keperwatan, Edisi 3 http://www.vaginismus.com/vaginismus-diagnosis) wellya, https://psikologiabnormal.wikispaces.com/vaginismus
Nurtikasari,
Tessa Crowley, dkk., 2006, Recommendation for the management of vaginismus : BASHH Special Interest Group for Sexual Dysfunction, International Journal of STD & AIDS, 17, pg 15)