BAB 1 PENDAHULUAN Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus masuk kedalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah , semen, dan sekret vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV awalnya dikenal dengan nama Lymphadenopathy associated virus (LAV) merupakan golongan retrovirus dengan materi genetik ribonucleic acid (RNA) yang dapat diubah menjadi deoxyribonucleic acid (DNA) untuk diintegrasikan ke dalam sel pejamu dan di program membentuk gen virus. Virus ini cenderung menyerang sel jenis tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen permukaan CD4, terutama Limfosit T yang memegang peranan penting dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal sampai pada gejalagejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Setelah diawali dengan infeksi akut,maka dapat terjadi infeksi kronik asimptomatik selama beberapa tahun disertai replikasi virus secara lambat. Kemudian, setelah terjadi penurunan sistem imun yang berat, maka terjadi berbagai infeksi oportunistik dan dapat dikatakan pasien telah masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi pertama, bahkan bisa lebih lama lagi. Transmisi vertikal merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada bayi dan anakanak di Amerika Serikat. Transmisi HIV dari ibu kepada janin dapat terjadi intrauterin (510%), saat persalinan (10-20%) dan pasca persalinan (5-20%). Kelainan yang dapat terjadi pada janin adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus spontan. Tingkat infeksi HIV pada perempuan hamil di negara-negara Asia diperkirakan belum melebihi 3-4%, tetapi epideminya berpotensi untuk menjadi lebih besar. Penelitian prevalensi HIV pada ibu hamil di daerah miskin di Jakarta pada tahun 1999-2001 oleh Kharbiati mendapatkan angka prevalensi sebesar 2,86%.
1
BAB II HIV PADA KEHAMILAN 2.1.
Definisi Virus penyebab adalah HIV merupakan virus yang secara progresif menghancurkan
sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS. Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan terhadap infeksi ataupun mudah terkena tumor/kanker. Pada awalnya penularan HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui penularan secara
horisontal
yaitu
melalui
cairan
tubuh
saat
terjadi
kontak
seksual
(heteroseksual/homoseksual) atau transfusi darah. Setelah itu, mulai terjadi penularan secara vertikal yaitu dari ibu yang positif HIV/AIDS ke bayi. Pada tahun 2010, sekitar 390.000 anak-anak di bawah 15 tahun terinfeksi HIV. Sekitar 95% anak/bayi/neonatus yang positif HIV/AIDS tertular dari ibunya.1,3,4 Salah satu intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya yaitu melalui program PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission of HIV). PMTCT ini sangat penting karena penularan HIV pada anak sebagian besar (90%) terjadi secara vertikal, dan hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril. 1,2 2.2.
Epidemiologi
Di banyak negara berkembang, HIV merupakan penyebab utama kematian perempuan usia reproduksi. Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 57.000 ibu hamil terinfeksi HIV di regional Asia Tenggara. Negara dengan high-burden penularan infeksi HIV dari ibu ke anak seperti India, Thailand, Myanmar dan Indonesia menunjukan estimasi insidens HIV diantara ibu hamil cenderung tetap selama lima tahun terakhir. Jumlah anak kurang dari 15 tahun yang terinfeksi HIV sebesar 87.000 dengan estimasi infeksi HIV baru sebesar 48.000. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.2 Di Indonesia, infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah ada di Indonesia sejak kasus pertama ditemukan tahun 1987. Sampai saat ini kasus HIV-AIDS telah dilaporkan oleh 341 dari 497 kabupaten/kota di 33 provinsi. Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV/AIDS 2
yang berkembang paling cepat (UNAIDS, 2008) dan merupakan negara dengan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi, karena terdapat beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu dan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum 15-49 tahun terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat (2,4%).4 2.3.
Etiologi
Virus HIV adalah retrovirus yang dulu disebut LAV (Lymphadenopathy Associated Virus) HTLV III (Human T cell Lymphotropic Virus III) HIV tipe I dan II. LAV yang ditemukan oleh Montagnier dkk. pada tahun 1983 di Perancis, sedangkan HTLV-III ditemukan oleh Gallo di Amerika Serikat pada tahun berikutnya. Virus yang sama ini ternyata banyak ditemukan di Afrika Tengah.1 Secara morfologik, virus ini berbentuk bulat, terdiri dari bagian inti (core) yang berbentuk silindris dan selubung (envelope) yang berstruktur lipid bilayer yang membungkus bagian core, dimana didalam core ini terdapat RNA virus ini. Karena informasi genetik virus ini berupa RNA, maka virus ini harus mentransfer informasi genetiknya yang berupa RNA menjadi DNA sebelum diterjemahkan menjadi protein-protein. Dan untuk tujuan ini HIV memerlukan enzim reverse transkriptase.5 HIV merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS. Pada awalnya penularan HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui penularan secara horisontal yaitu melalui cairan tubuh saat terjadi kontak seksual (heteroseksual/homoseksual) atau transfusi darah. Setelah itu, mulai terjadi penularan secara vertikal yaitu dari ibu yang positif HIV/AIDS ke bayi. 1,6,7 Salah satu intervensi untuk mencegah penularan dari ibu penderita HIV/AIDS kepada bayinya yaitu melalui program PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission of HIV). PMTCT ini sangat penting karena penularan HIV pada anak sebagian besar (90%) terjadi secara vertikal dan hanya sebagian kecil (10%) sisanya melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik yang tidak steril.
3
Gambar 1. Viruz HIV-1 dan HIV-2 2.4.
Penularan Prenatal
Penularan perinatal merupakan penularan dari ibu ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) kepada janin pada masa perinatal. Angka penularan pada masa kehamilan berkisar sekitar 5 – 10%, saat persalinan sekitar 10 – 20% dan saat menyusui sekitar 30 - 45% bila disusui sampai 2 tahun. Penularan pada masa menyusui terjadi pada minggu – minggu pertama menyusui, terutama bila ibu baru terinfeksi saat menyusui.8 Bila ibu ODHA tidak menyusui bayinya, maka kemungkinan bayinya terinfeksi HIV sekitar 15 – 30%, bila menyusui sampai 6 bulan kemungkinan terinfeksi 25 – 35%, dan bila masa menyusui diperpanjang sampai 18 – 24 bulan maka resiko terinfeksi meningkat menjadi 30 – 45 %. Pada kebanyakan wanita yang terinfeksi HIV, penularan tidak dapat melalui plasenta. Umumnya darah ibu tidak bercampur dengan darah bayi, sehingga tidak semua bayi yang dikandung ibu dengan HIV positif tertular HIV saat dalam kandungan. Plasenta bahkan melindungi janin dari HIV, namun perlindungan ini dapat rusak bila ada infeksi virus, bakteri ataupun parasit pada plasenta atau pada keadaan dimana daya tahan ibu sangat rendah. Pada proses persalinan, terjadi kontak antara darah ibu, maupun lendir ibu dan bayi, sehingga virus HIV dapat masuk ke dalam tubuh bayi. Semakin lama proses persalinan berlangsung, kontak antara bayi dengan cairan tubuh ibu semakin lama, resiko penularan semakin tinggi. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mengandung HIV dalam konsentrasi yang lebih rendah dari yang ditemukan dalam darahnya, sehingga ibu dengan infeksi HIV dianjurkan tidak menyusui bayinya dan diganti dengan susu pengganti ASI. Frekuensi penularan melalui asi dari ibu ke bayi mencapai sekitar 15% dari populasi.8 4
Gambar 2. Penularan HIV Ibu ke Bayi
2.5.
Faktor Resiko Penularan
Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan HIV ke bayinya, yaitu: A. Faktor Ibu 1. Jumlah virus (viral load) Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/ml. 2. Jumlah sel CD4 Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar. 3. Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
4. Penyakit infeksi selama hamil Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi saluran reproduksi lainnya, malaria dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi. 5
5. Gangguan pada payudara Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.2 B. Faktor Bayi 1. Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik. 2. Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar. 3. Adanya luka di mulut bayi Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.2 C. Faktor Obstetrik Perinatal HIV Guidelines Working Group di Amerika Serikat mengajukan rekomendasi penatalaksanaan obstetrik untuk mengurangi transmisi HIV vertikal. Rekomendasi yang dianjurkan adalah: 2 Tabel 1. Cara persalinan berdasarkan status HIV- AIDS ibu hamil. No. Cara Persalinan 1. Wanita hamil yang terinfeksi HIV- Wanita
Rekomendasi hamil yang terinfeksi
HIV-AIDS
AIDS yang datang:
dilakukan :
Kehamilan ≥ 36 minggu
Konseling tentang seksio sesarea untuk mengurangi resiko transmisi dan resiko
Belum dapat ARV Sedang
menunggu
hasil
pemeriksaan kadar HIV dan CD4 yang diperkirakan ada sebelum persalinan.
komplikasi pascaoperasi, anestesi dan resiko operasi lain padanya. Jika
diputuskan
seksio
sesarea,
seksio
direncanakan pada minggu ke-38. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin IV yang dimulai 3 jam sebelumnya dan bayi mendapat zidovudin sirup selama 6 minggu. Keputusan akan meneruskan antiretrovirus setelah melahirkan atau tidak, tergantung 6
pada hasil pemeriksaan kadar virus dan CD4. Wanita hamil yang terinfeksi HIV- Regimen ARV yang digunakan tetap AIDS yang datang:
diteruskan.
Pada kehamilan awal Sedang
mendapat
Konseling bahwa kadar HIV-nya mungkin kombinasi
tidak turun sampai kurang dari 1000 kopi/mL sebelum persalinan, sehingga dianjurkan
antiretrovirus Kadar HIV tetap di atas 1000
untuk melakukan seksio sesarea.
kopi/mL pada minggu ke 36 Demikian juga dengan resiko komplikasi seksio
kehamilan
yang
meningkat,
seperti
infeksi
pascaoperasi, anestesi dan operasi. Jika
diputuskan
seksio
sesarea,
seksio
direncanakan pada minggu ke-38 kehamilan. Selama seksio, wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS mendapat zidovudin intravena yang dimulai minimal 3 jam sebelumnya. antiretrovirus lain tetap diteruskan sebelum dan sesudah persalinan. Bayi mendapat Wanita hamil yang terinfeksi HIV-
zidovudin sirup selama 6 minggu. Wanita hamil yang terinfeksi HIV-AIDS
AIDS yang:
diberikan:
Sedang
mendapat
kombinasi Konseling bahwa kemungkinan transmisi jika
antiretrovirus
kadar HIV tidak terdeteksi mungkin kurang
Kadar HIV tidak terdeteksi pada
dari 2 %, bahkan pada persalinan pervaginam. Pemilihan
minggu ke 36 kehamilan.
cara
persalinan
harus
mempertimbangkan keuntungan dan resiko komplikasi seksio. Wanita hamil yang terinfeksi HIV- Zidovudin IV segera diberikan. AIDS yang: Sudah
Jika kemajuan persalinan cepat, wanita hamil direncanakan
seksio
sesarea elektif Namun
datang
yang terinfeksi HIV-AIDS ditawarkan untuk menjalani persalinan pervaginam.
pada
awal Jika dilatasi serviks minimal dan diduga
persalinan atau setelah ketuban
persalinan akan berlangsung lama, dapat
pecah.
dipilih antara zidovudine intravena dan melakukan seksio sesarea atau memberikan 7
pitosin untuk mempercepat persalinan. Jika diputuskan untuk menjalani persalinan pervaginam,
elektrode
kepala,
monitor
invasife dan alat bantu lain sebaiknya dihindari.
Bayi
sebaiknya
mendapat
zidovudin sirup selama 6 minggu. Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah: 1. Jenis Persalinan Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar dari pada persalinan melalui bedah sesar (sectio caesaria). 2. Lama Persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. 3. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam. 4. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.2 Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi jika terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV dapat menembus plasenta sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui.2 Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu yaitu:5,9,10 1. Antepartum: a. Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah CD4+, defisiensi vitamin A, coreseptor mutasi dari HIV, malnutrisi, sedang dalam terapi pelepasan ketergantungan obat, perokok, korionik villus sampling (CVS), amniosintesis,berat badan ibu.5 b. Beratnya keadaan infeksi pada ibu merupakan faktor resiko utama terjadinya penularan perinatal. Berdasarkan hasil studi ternyata angka penularan vertikal lebih 8
tinggi pada ibu terinfeksi HIV dengan gejala yang sangat berat dibanding ibu terinfeksi HIV tanpa gejala. Beratnya keadaan penyakit ibu ditentukan dengan menggunakan kriteria klinis dan jumlah partikel virus yang terdapat dalam plasma, serta keadaan imunitas ibu. Ibu dengan gejala klinis penyakit AIDS yang sangat jelas (dengan gejala berbagai penyakit oportunistik), jumlah muatan virus di dalam tubuh >1000/mL, dan jumlah limfosit <200-350/mL dianggap menderita penyakit AIDS sangat berat dan harus mendapat pengobatan antiretrovirus.5,9,10 c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi.5,9,10 d. Ibu yang mempunyai kebiasaan yang tidak baik mempunyai risiko tinggi untuk menularkan infeksi HIV-1 kepada bayinya. Berdasarkan hasil penelitian, para ibu yang merokok mempunyai risiko untuk menularkan HIV-1. Penularan vertikal juga sering terjadi pada ibu pengguna obat terlarang. Demikian juga, ibu yang melakukan hubungan seksual tanpa alat pelindung, terutama dengan pasangan yang bergantiganti, juga mempunyai risiko tinggi dalam penularan vertikal.9,10 2. Intrapartum: a. Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal ,proses persalinan, pecah ketuban kasep, persalinan prematur, penggunaan fetalscalp electrode, penyakit ulkus genitalia aktif, laserasi vagina,korioamnionitis, dan episiotomi. b. Proses persalinan bayi juga menentukan terjadinya risiko penularan vertikal. Bayi yang lahir per vaginam dengan tindakan invasif seperti tindakan forsep, vakum, penggunaan elektrode pada kepala janin dan episiotomi, mempunyai risiko lebih tinggi untuk tertular HIV-1.5 c. Ibu yang menderita penyakit infeksi lain pada genitalia juga mempunyai risiko tinggi untuk menularkan HIV-1 kepada bayinya. Misalnya, ibu yang menderita penyakit sifilis atau penyakit genitalia ulseratif yang lain (seperti Herpes Simplex, infeksi Cytomegalovirus (CMV), infeksi bakteri pada genitalia), juga mempunyai risiko penularan vertikal lebih tinggi.10 3. Post partum melalui menyusui: a. Telah diketahui air susu ibu degan infeksi HIV mengandung proviral HIV dan virus bebas lainnya, sebagai faktor pertahanan seperti antibody terhadap HIV dan glikoprotein yang menghambat ikatan HIV dengan CD4+. Kebanyakan kasus 9
penularan terjadi pada wanita yang diketahui negatif terhadap HIV akan tetapi penularan terjadi saat pemberian air susu ibu. Sebetulnya pada ibu dengan infeksi HIV, pemberian air susu ibu beresiko kecil untuk terjadi penularan oleh karena terdapatnya antibodi terhadap HIV, bagaimanapun juga di Negara berkembang, makanan formula menjadikan bayi memiliki resiko tinggi terkena infeksi yang lain, air susu ibu merupakan pilihan terbaik. Pemilihan pemberian makanan pada bayi dengan 2 strategi sebagai pencegahan penularan dari ibu kebayinya postnatal, dengan pemberian zidovudine sebagai profilaksis selama 38 minggu. Ternyata didapatkan pemberian air susu ibu dengan zidovudine sebagai profilaksis tidak efektif seperti pemberian susu formula, akan tetapi bermakna dalam menurunkan angka kematian pada 7 bulan pertama kehidupan, disimpulkan bahwa penularan postnatal dari infeksi virus HIV-1 lewat pemberian air susu ibu dapat diturunkan dengan intervensi pemberian ARV saat perinatal .5 b. Bayi yang diberikan ASI mempunyai risiko lebih tinggi daripada bayi yang diberi susu formula atau makanan campuran (mixed feeding). Risiko akan lebih tinggi lagi bila payudara ibu terinfeksi atau lecet (mastitis yang tampak secara klinis ataupun subklinis). Di negara berkembang penularan melalui air susu ibu (ASI) cukup memegang peranan penting. Sebagian besar masalah payudara dapat dicegah dengan teknik menyusui yang baik. 10 4. Kehamilan dan cara melahirkan. a. Resiko penularan terjadi pada kondisi korioamnionitis dan penyakit menular seksual. Hal ini berhubungan dengan gangguan pertahanan pada plasenta dan kecenderungan lahir prematur, serta dapat meningkatkan viral load pada organ genital. Disamping itu pemilihan cara melahirkan, lamanya persalinan,kapan pecahnya ketuban, dan saat proses kelahiran berjalan seorang bayi dapat terpapar darah ibu. Inflamasi pada daerah serviks dan uretritis dapat meningkatkan deteksi sel yang terinfeksi HIV-A.8 b. Beberapa studi telah mempelajari penularan secara vertikal dari ibu kebayinya, penularan melalui plasenta juga telah dipublikasikan. Terdapat beberapa faktor dari ibu, diantaranya, viral load, antibody neutralizing, atau aktifitas sel T sitotoksik, peranan plasenta melalui ekpresi FasL atau faktor tumor nekrosis berhubungan dengan kejadian apoptosis menginduksi ligand atau ekspresi Apo2L dan faktor plasenta seperti korioamnionitis, aktifitas supresi HIV, atau faktor fetus seperti antibodi neutralizing atau HIV sel T spesifik sitotoksik.8 10
2.6. Penatalaksanaan 1. Penanganan ante partum a. Konseling Pada konseling, ibu hamil diajak berkomunikasi dua arah dengan memberikan informasi mengenai HIV dan hubungannya dengan kehamilan, tanpa mengarahkan, dimana kemudian ibu hamil ini dapat mengambil keputusan mengenai kehamilannya dan persalinannya. Pada kehamilan trimester pertama, konseling perlu dilakukan dengan intensif untuk memutuskan apakah kehamilan akan diteruskan atau tidak.9 b. Pemberian obat anti virus Tujuan
utama
pemberian
antiretrovirus
pada
kehamilan
adalah
menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV. Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit.9 2. Penanganan intra partum Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan dan berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per vaginam dan perabdominam (bedah sesar atau seksio sesarea). Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.2 a. Persalinan pervaginam Wanita hamil yang direncanakan persalinan pervaginam, diushakan selaput amnionnya utuh selama mungkin. Pengambilan sampel darah janin harus dihindari. Jika sebelumnya telah diberikan obat HAART, maka obat ini harus dilajutkan sampai partus. Jika direncanakan pemberian infuse zidovudin, harus diberikan pada saat persalinan dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Dosis zidovudin adalah: dosis inisial 2 mg/kgBB dalam 1 jam dan dilanjutkan 1mg/kgBB/jam sampai partus. Tablet nevirapin dosis tunggal 200mg harus diberikan di awal persalinan. Tali pusat harus diklem secepat mungkin dan bayi harus dimandikan segera. Seksio sesaria emergensi biasanya dilakukan karena alasan obstetrik, menghindari partus lama, dan ketuban pecah lama.1 Kelahiran pervaginam dapat dipertimbangkan dengan syarat: 11
1. Selama kehamilan penderita menjalani perawatan prenatal 2. Viral load <1000 kopi/ml pada minggu ke-36 kehamilan 3. Penderita menjalani pengobatan HIV selama kehamilan. b. Seksio Sesaria Pada saat direncanakan seksio sesaria secara elektif, harus diberikan antibiotik profilaksis. Infuse zidovudin harus dimulai 4 jam sebelum seksio sesaria dan dilanjutkan sampai tali pusat diklem. Sampel darah ibu diambil saat itu dan diperiksa viral load-nya. Tali pusat harus diklem secepatnya pada saat seksio sesaria dan bayi harus dimandikan segera.1 Kelahiran secara seksio sesarea direkomendasikan dengan syarat: 1. Wanita hamil penderita HIV dengan viral load >1000 kopi/ml atau viral load tidak diketahui pada minggu ke-36 kehamilan 2. Penderita yang tidak menjalani pengobatan HIV selama kehamilan 3. Penderita yang tidak menjalani perawatan prenatal sebelum usia kehamilan 36 minggu 4. Belum terjadi ruptur membran (pecah ketuban). Diskusi mengenai pilihan seksio sesarea harus dimulai secepat mungkin pada wanita hamil dengan infeksi HIV untuk memberikan kesempatan adekuat pada penderita untuk mempertimbangkan pilihan dan rencana untuk prosedur. Tabel 2. Pilihan persalinan Persalinan pervaginam Syarat :
Pemberian ARV mulai pada ≤ 14
minggu (ART > 6 bulan); atau VL < 1000 kopi/µL
Persalinan perabdomen Syarat :
Ada indikasi obstetrik; dan VL > 1000 kopi/µL atau Pemberian ARV dimulai pada usia kehamilan ≥ 36 minggu
3. Penanganan pasca persalinan Terdapat 50-75% dari bayi yang terinfeksi HIV yang disusui ibu HIV/AIDS tertular HIV pada 6 bulan pertama kehidupan. ASI eksklusif memiliki resiko transmisi HIV yang rendah daripada ASI yang dikombinasikan dengan cairan atau makanan lainnya (ASI campuran). Ibu yang menderita HIV/AIDS sangat dianjurkan untuk memberikan ASI Ekslusif hingga 6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ASI sekaligus makanan tambahan hingga usia 12 bulan. Bila ibu yang menderita HIV/AIDS memutuskan untuk tidak memberikan ASI ekslusif, dapat mengganti dengan makanan tambahan bila kriteria AFASS terpenuhi. Adapun kriteria AFASS dari WHO yaitu: Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe= aman penggunaannya. Salah satu alternatif untuk menghindari penularan HIV yaitu dengan menghangatkan ASI > 66 0C untuk membunuh virus HIV. Adapun bayi yang telah dinyatakan terinfeksi HIV positif maka harus diberikan ASI ekslusif selama 6 bulan diteruskan dengan pemberian ASI 12
campuran hingga usia 24 bulan. Ibu pengidap HIV harus di sarankan mencegah kehamilan berikutnya dengan alat kontrasepsi.9 4. ART pada kehamilan Antiretrovirus direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV-AIDS yang sedang hamil untuk mengurangi resiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa resiko transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan hingga 20% ( dari 25% menjadi 8%) dengan terapi antiretrovirus. 1,3 Tujuan
utama
pemberian
antiretrovirus
pada
kehamilan
adalah
menekan
perkembangan virus, memperbaiki fungsi imunologis, memperbaiki kualitas hidup, mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit yang menyertai HIV.13 Pada kehamilan, keuntungan pemberian antiretrovirus ini harus dibandingkan dengan potensi toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka lama. Akan tetapi, efek penelitian mengenai toksisitas, teratogenesis, dan efek samping jangka lama antiretrovirus pada wanita hamil masih sedikit. Efek samping tersebut diduga akan meningkat pada pemberian kombinasi antiretrovirus, seperti efek teratogenesis kombinasi antiretrovirus dan antagonis folat yang dilaporkan Jungmann, dkk. Namun penelitian terakhir oleh Toumala, dkk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan monoterapi, terapi kombinasi antiretrovirus tidak meningkatkan resiko prematuritas, berat badan lahir rendah atau kematian janin intrauterine. Kategori Food and Drug Administration (FDA) tentang ART dapat dilihat pada table 2. 6,7 A. Monoterapi Zidovudine Obat antiretrovirus yang pertama kali diteliti untuk mengurangi resiko transmisi perinatal adalah zidovudin (ZDV). Pada Pediatric Virology Committee of the AIDS Clinical Trials Group (PACTG) 076, zidovudin yang diberikan peroral mulai minggu ke-14 kehamilan, dilanjutkan zidovudin intravena pada saat intrapartum untuk ibu, diikuti dengan zidovudin sirup yang diberikan pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai 6 minggu.1,7 Regimen pemberian Zidovudine berdasarkan PACTG 076 Antepartum : Zidovudine oral dari kehamilan 14-34 minggu 5x100mg/hari Intrapartum : Zidovudine intravena, dosis awal 2mg/kgBB/jam, dilanjutkan infus 1mg/kgBB sampai 1 hari setelah melahirkan Postpartum : Zidovudine sirup, 2 mg/kgBB, dimulai 8-12 jam 13
postpartum dan diteruskan sampai 6 minggu Pada penelitian ini bayi tidak mendapat air susu ibu. Cara ini ternyata efektif menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada kelompok kontrol menjadi 8,3%. Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan PACTG 185 yang menambahkan imunoglobulin spesifik HIV intravena yang diberikan tiap bulan pada ibu mulai minggu ke 20-30 hingga persalinan, kemudian dilanjutkan pemberian pada bayi dalam 12 jam pertama. Namun ternyata hiperimunoglobulin tidak memberikan efek protektif tambahan seperti yang diharapkan. Kesulitannya, protokol PACTG 076 ini cukup rumit, membutuhkan kepatuhan yang baik dan memerlukan biaya yang besar. Penelitian retrospektif oleh Wade, dkk di New York menunjukkan kepatuhan orang dengan HIV-AIDS mengikuti protokol ini seringkali tidak komplit. Transmisi yang terjadi 6,1% jika terapi dimulai antepartum, 10,0% jika dimulai intrapartum dan 5,9% jika hanya diberikan pada bayi dalam 12 jam pertama. Jika zidovudin baru diberikan setelah usia 48 jam, kejadian transmisi menjadi lebih tinggi 18,4%.1 Beberapa penelitian mencoba menggunakan zidovudin dalam jangka waktu yang lebih singkat dengan regimen yang lebih sederhana dan murah. Makin lama penggunaan antiretrovirus, makin besar kemungkinan penurunan resiko transmisi HIV. Joao, dkk mengungkapkan pada bayi yang tidak tertular HIV, rata-rata lama penggunaan antiretrovirus pada ibunya 16,63 minggu dibandingkan dengan lama penggunaan antiretrovirus ibu 6,28 minggu pada kelompok bayi yang tertular HIV. 1 Selain monoterapi dengan zidovudin, regimen lain yang sudah diteliti ialah monoterapi dengan nevirapin dan terapi kombinasi zidovudin dan lamivudin. Lallement, dkk juga sedang meneliti kombinasi zidovudin dan nevirapin. 1 Saat ini di Indonesia beberapa antiretrovirus tersebut sudah tersedia dalam bentuk generik dengan harga yang lebih murah antara lain zidovudin, lamivudin, nevirapin dan stavudin.1 B. Nevirapin Dapat diberikan dosis tunggal 200 mg bagi ibu pada saat melahirkan disertai pemberian nevirapin 2 mg/kgBB dosis tunggal bagi bayi pada usia 2 atau 3 hari. Selain karena harga obat generiknya yang cukup murah, seringkali wanita hamil terinfeksi HIVAIDS baru dating pada saat melahirkan.1 Tabel 3. Kategori FDA antiretrovirus untuk digunakan pada kehamilan1,7 14
Nucleoside and nucleotide analogue reverse transcriptase inhibitors Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Abacavir (ABC) C Didanosine (ddI) B Emtricitabine (FTC) B Lamivudine (3TC) C Stavudine (d4T) C Tenofovir DF (TDF) B Zidovudine (ZDV) C Nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Delavirdine (DLV) C Efavirenz (EFV) D Etravirine (ETR) B Nevirapine (NVP) B Rilpivirine (RPV) B Protease inhibitors Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Atazanavir (ATV) B Darunavir (DRV) C Fosamprenavir (f-APV) C Indinavir (IDV) C Lopinavir/ritonavir (LPV/r) C Nelfinavir (NFV) B Ritonavir (RTV) B Saquinavir (SQV) B Tipranavir (TPV) C Fusion inhibitor Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Enfuvirtide (T-20) B Cellular chemokine receptor (CCR5) antagonist Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Maraviroc (MVC) B Integrase inhibitor Antiretroviral therapy FDA pregnancy category Raltegravir (RAL) C Elvitegravir (EVG) B Dolutegravir (DTG) B Keterangan : Kategori B : Tidak terdapat resiko untuk janin pada penelitian pada hewan, namun belum terdapat penelitian pada wanita hamil; atau penelitian pada hewan menunjukkan efek samping yang tidak sesuai dengan penelitian kontrol pada wanita hamil trisemester pertama (dan tidak beresiko pada trisemester berikutnya).
15
Kategori C : Pada penelitian hewan ditemukan efek samping pada janin (teratogenik atau embrisiodal atau lainnya) dan belum terdapat penelitian kontrol pada wanita hamil atau belum terdapat penelitian efek samping obat pada hewan ataupun wanita hamil. Obat kategori ini hanya diberikan jika keuntungannya melebihi resiko potensial pada janin. Kategori D : Terdapat bukti positif resiko efek samping pada janin manusia, namun keuntungan pada wanita hamil dapat diterima dibandingkan resikonya terutama untuk penyelamatan jiwa. Berdasarkan pedoman PMTCT WHO 2010, pemberian ARV dimulai pada semua wanita hamil dengan jumlah CD4 < 350 sel/mm3 atau stadium klinis 3 dan 4. Tabel 4. Syarat Pemberian ART menurut PMTCT 2010 Stadium Klinik WHO 1 2 3 4
Tidak Tersedia Tes CD4 Tidak diobati Tidak diobati Diobati Diobati
Tersedia Tes CD4 Diobati jika jumlah sel CD4 <200/mm3 Diobati
jika
jumlah
sel
CD4
<
350/mm3 Diobati tanpa memandang jumlah sel CD4
Pemberian ARV berdasarkan pedoman WHO 2010 yaitu: AZT+3TC+NVP/EFV atau TDF+3TC+NVP/EFV. Terdapat 2 opsi yang ditawarkan WHO untuk tindakan profilaksis:3,12,13 1. Profilaksis Opsi A a. Ibu i.
Antepartum : AZT saat 14 minggu kehamilan
ii.
Intrapartum : AZT/3TC + NVP 2 kali sehari
iii.
Postpartum : AZT/3TC + NVP x 7 hari
b. Bayi i.
Bila diberikan ASI: NVP hingga 1 minggu lepas ASI
ii.
Tanpa pemberian ASI: AZT atau NVP x 6 minggu
2. Profilaksis Opsi B a. Ibu:Triple ARV mulai 14 minggu hingga 1 minggu lepas ASI 16
b. Bayi:VP/AZT setiap hari sejak lahir hingga umur 4-6 minggu tanpa memandang pemberian ASI atau tidak. Menurut WHO tahun 2012, pemberian ARV mencakup dua options, yang keduanya harus mulai lebih awal pada kehamilan, pada usia kehamilan 14 minggu atau segera mungkin setelah ibu hamil.11 a. Opsi A, yaitu dua kali sehari pemberian AZT (zidovudin) untuk ibu dan untuk bayi dengan pemberian salah satu dari AZT atau NVP selama enam minggu setelah lahir jika bayi tidak menyusui. Jika bayi sedang menyusui, NVP harian profilaksis bayi harus dilanjutkan selama satu minggu setelah berakhirnya periode menyusui. b. Opsi B, yaitu pemberian ketiga jenis obat profilaksis untuk ibu yang dipakai selama kehamilan dan selama menyusui serta untuk bayi pemberian NVP sekali sehari atau AZT dua kali sehari selama empat sampai enam minggu setelah lahir.11 Tabel 5. Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis NO 1
Situasi klinis ODHA dengan indikasi Terapi ARV dan kemungkinan hamil atau sedang hamil
2
ODHA sedang menggunakan Terapi ARV dan kemudian hamil
3 4 5
ODHA hamil dengan jumlah CD4 >350/mm3 atau dalam stadium klinis 1. ODHA hamil dengan jumlah CD4 < 350/mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3 atau 4 ODHA hamil dengan Tuberkulosis aktif
Rekomendasi pengobatan (paduan untuk ibu) AZT + 3TC + NVP atau TDF + 3TC(atau FTC) + NVP Hindari EFV pada trimester pertama AZT + 3TC + EVF* atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV* Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau golongan PI jika sedang menggunakan EFV pada trimester I) Lanjutkan dengan ARV yang sama selama dan sesudah persalinan ARV mulai pada minggu ke 14 kehamilan Paduan sesuai dengan butir 1 Segera Mulai Terapi ARV OAT yang sesuai tetap diberikan 17
Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai trimester II dan III: AZT (TDF) + 3TC + EFV Ibu hamil dalam masa persalinan dan Tawarkan tes dalam masa tidak diketahui status HIV persalinan; atau tes setelah persalinan. Jika hasil tes reaktif maka dapat diberikan paduan pada butir 1 ODHA datang pada masa persalinan Paduan pada butir 1 dan belum mendapat Terapi ARV
6
7
Keterangan : *: Efavirenz tidak boleh diberikan pada ODHA hamil trimester pertama
Terapi ARV pada bayi Pemberian ARV berdasarkan pedoman WHO 2010, terdapat 2 opsi yang ditawarkan WHO untuk tindakan profilaksis: Profilaksis Opsi A
Bayi Bila diberikan ASI: NVP hingga 1 minggu lepas ASI Tanpa pemberian ASI: AZT atau NVP x 6 minggu Profilaksis Opsi B
Bayi: NVP/AZT setiap hari sejak lahir hingga umur 4-6 minggu tanpa memandang pemberian ASI atau tidak. Dosis obat : AZT 4 mg/kgBB- setiap 12 jam NVP 2 mg/kgBB (dosis tunggal)
Vaksinasi bayi Setiap anak, termasuk yang terlahir dari ibu yang HIV-positif, seharusnya diberi vaksinasi baku seperti anak lain. Vaksinasi ini boleh termasuk vaksin BCG yang dapat diberi pada anak beberapa hari setelah lahir. Namun, bila ditunda, sebaiknya vaksinasi BCG tidak diberikan pada anak yang menunjukkan gejala AIDS, misalnya kurang bertumbuh, atau sering terkena infeksi.
5. Pemberian Terapi Antiretrovirus (ARV) Berdasarkan WHO 2013 5.1 Kapan memulai pemberian ARV 18
Pemberian pengobatan secara dini dikaitkan dengan manfaat pencegahan klinis HIV, keadaan ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi kejadian infeksi HIV pada tingkat masyarakat. Pada pedoman WHO 2013 merekomendasikan bahwa program HIV nasional yaitu memberikan ART bagi semua orang dengan diagnosis HIV konfirmasi dengan jumlah CD4 ≤ 500 sel/mm3, Pedoman ini memberikan prioritas untuk memulai ART bagi mereka dengan penyakit HIV berat atau jumlah ≤ CD4 350 cells/mm3. Hal ini juga dianjurkan untuk memulai ART pada orang dengan penyakit TB aktif dan koinfeksi HBV dengan penyakit hati yang berat, semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV, semua anak dengan usia lima tahun hidup dengan HIV dan semua orang dengan HIV dalam hubungan serodiskordan, tanpa memandang jumlah CD4.14 5.2 Pemberian ARV Pada Ibu Hamil & Menyusui Rekomendasi Terbaru 1.
Semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai triple ARV yang harus dipertahankan selaa terdapat risiko penularan dari ibu ke anak. Wanita yang memenuhi kriteria diatas dan mendapatkan pengobatan ARV harus dilanjutkan seumur hidup.14
2.
Untuk alasan program dan operasional, semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV harus memulai ARV sebagai pengobatan seumur hidup. 14
3.
Di beberapa negara, pada wanita yang tidak memenuhi syarat untuk pemberian ARV disarankan untuk menghentikan rejimen ARV selama risiko penularan dari ibu ke anak risiko telah berhenti.14
Tabel 6. Rekomendasi Awal Pemberian ART Pada Remaja, Orang Dewasa, Ibu Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.14
19
Tabel 7. Pilihan Pemberian Terapi ARV
20
Latar Belakang Obat ARV yang digunakan untuk wanita hamil dan menyusui dengan HIV bertujuan untuk menjaga kesehatan ibu dan mencegah anak terinfeksi. Manfaat lainnya untuk mencegah penularan HIV secara seksual. Pedoman WHO PMTCT 2010 merekomendasikan penggunaan ARV seumur hidup untuk perempuan yang memenuhi syarat dalam pengobatan (berdasarkan kriteria kelayakan 2010, yaitu jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3 atau berdasarkan WHO stadium klinis penyakit 3 atau 4 ) dan pemberian ARV profilaksis untuk PMTCT bagi wanita dengan HIV yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pengobatan. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dua rejimen profilaksis yang direkomendasikan adalah “Opsi A”, yaitu AZT untuk ibu selama kehamilan, dan dosis tunggal NVP ditambah AZT dan 3TC untuk ibu saat melahirkan dan dilanjutkan selama seminggu postpartum, dan "Opsi B" yaitu (triple obat ARV) bagi ibu selama kehamilan dan selama menyusui. Profilaksis direkomendasikan untuk dimulai sedini mungkin, yaitu pada usia kehamilan 14 minggu, dan pilihan penggunaan profilaksis dilakukan selama empat sampai enam minggu 21
peripartum, yaitu diberikan obat NVP atau AZT untuk bayi, terlepas dari apakah ibu sedang menyusui.14 Pada tahun 2011, di Malawi dilaksanakan program pendekatan terbaru untuk terapi ARV, yaitu pemberian terapi ARV seumur hidup bagi semua ibu hamil dan menyusui dengan HIV tanpa melihat jumlah CD4 atau status klinis, program tersebut dimasukkan dalam "Opsi B+". Pedoman 2013 merekomendasikan terapi ARV (triple ARV) untuk semua ibu hamil dan menyusui dengan HIV selama periode risiko penularan dari ibu ke bayi dan terapi ARV digunakan seumur hidup. Opsi A tidak lagi dianjurkan.14 Lini Pertama Pemberian ART Untuk Ibu Hamil dan Menyusui dan Obat ARV Pada Bayi Rekomendasi Terbaru 1. Dosis tetap kombinasi dari TDF + 3TC (atau FTC) + EFV yang direkomendasikan sebagai lini pertama ART pada wanita hamil dan menyusui adalah diberikan sekali sehari, termasuk wanita hamil pada trimester pertama kehamilan dan wanita usia reproduksi. Rekomendasi ini berlaku untuk pengobatan seumur hidup dan pemberian ART untuk PMTCT dan kemudian dihentikan.14 2. Bayi dari ibu yang mendapatkan ART dan sedang menyusui harus mendapatkan terapi profilaksis dengan NVP harian selama enam minggu. Jika bayi menerima makanan pengganti, mereka harus diberikan terapi profilaksis harian selama empat sampai enam minggu dengan NVP harian (atau AZT dua kali sehari). Profilaksis pada bayi harus dimulai pada saat lahir atau ketika didapatkan HIV saat postpartum.14
Tabel 8. Pemberian Lini Pertama ART untuk Remaja, Dewasa, Ibu Hamil dan Menyusui dan Anak-anak.14 22
Tabel 10.3 Dosis Rekomendasi Pemberian Obat Antiretroviral.15
Latar Belakang 23
Berdasarkan pedoman WHO tahun 2010 pada PMTCT direkomendasikan bahwa terdapat empat pilihan rejimen yang berbeda untuk wanita hamil dan menyusui dengan HIV, yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC) ditambah NVP atau EFV. Pemberian obat NVP dikhawatirkan karena dapat memberikan efek toksik pada wanita hamil, maka rejimen yang dianjurkan adalah triple ARV pada PMTCT yaitu : AZT + 3TC atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV sebagai rejimen NNRTI. Rejimen alternatif adalah AZT + 3TC ditambah LPV/r atau ABC.14 Berdasarkan pedoman WHO 2010 direkomendasikan bahwa pemberian profilaksis yaitu NVP (atau AZT) selama empat sampai enam minggu sebagai post exposure profilaksis diberikan kepada semua bayi baru lahir dari ibu yang menerima rejimen triple ARV bertujuan untuk keperluan pengobatan dan pencegahan. Pemberian profilaksis NVP harian pada bayi baru lahir dan selama menyusui direkomendasikan jika ibu tidak menerima pengobatan triple ARV.14 Alasan & Bukti Pendukung Rejimen lini pertama yang ideal untuk wanita hamil dan menyusui dengan HIV yaitu tersedia sebagai kombinasi dosis tetap, aman bagi wanita hamil dan menyusui dan pada bayi mereka. Rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV tersedia sebagai kombinasi dosis tetap sekali sehari dan merupakan rekomendasi rejimen lini pertama untuk orang dewasa karena mudah terjangkau. Keselamatan pada bayi merupakan isu penting untuk wanita hamil dan menyusui dan pada bayi mereka serta wanita yang akan hamil. Meskipun data menyebutkan bahwa pemberian EFV dan TDF digunakan terbatas pada ibu hamil, lebih banyak data telah tersedia sejak tahun 2010 dan memberikan peningkatan jaminan untuk merekomendasikan TDF + 3TC (atau FTC) + EFV sebagai lini pertama rejimen ARV untuk wanita hamil dan menyusui.14 Tabel 9. Dosis Rekomendasi Pemberian Profilaksis Pada Bayi Baru lahir : NVP.14 Infant age Daily dosing Birtha to 6 weeksb 1. Birthweight 2000-2499 g 2. Birthweight ≥ 2500 g > 6 weeks to 6 monthsc > 6 months to 9 months > 9 months until breastfeeding ends
10 mg once daily 15 mg once daily 20 mg once daily 30 mg once daily 40 mg once daily
a infants weighing <2000 g should receive mg/kg dosing; the suggested starting dose is 2 mg/kg once daily. b recommended for 6 weeks, but 4 weeks may be considered in setting with replacement feeding. c dosing beyond 6 weeks of age in special situations in which prolonged dosing of to 12 weeks should be considered (such as the mother
24
had limited ART and not being likely to be virally suppressed;the infants is identified as HIV exposed after birth and is breastfeeding. This is based on the dosing required to sustain exposure among infants of>100ng/ml with the least dose change
Tabel 10. Dosis Rekomendasi Profilaksis Pada Bayi Baru Lahir.14
Tidak ada data baru menginformasikan perubahan dalam rekomendasi pada profilaksis pada bayi. Untuk bayi menyusui, dianjurkan pemberian NVP selama enam minggu, karena bayi menerima makanan pengganti empat sampai enam minggu, pemberian NVP atau AZT tetap direkomendasikan. Jika terjadi efek toksisitas dari NVP pada bayi maka harus dilakukan penghentian obat, obat tersebut dapat digantikan dengan 3TC. Beberapa studi telah aman digunakan profilaksis bayi selama menyusui dengan 3TC.14 Aturan pengobatan Alternatif: toksisitas, intoleransi atau kurangnya ketersediaan rejimen yang direkomendasikan. 14 AZT direkomendasikan sebagai NRTI alternatif bagi wanita yang tidak hamil dan yang tidak bisa menerima TDF. Mengingat bahwa AZT bersifat aman pada wanita hamil dan menyusui. Untuk wanita yang tidak hamil dan yang tidak bisa menggunakan EFV, yang direkomendasikan adalah NNRTI alternatif, yaitu NVP. Namun, karena ART (triple ARV) sekarang dianjurkan untuk wanita hamil dan menyusui tidak memandang jumlah CD4, kekhawatiran pemberian NVP tetap tinggi pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang tinggi. 14
25
Meskipun pedoman 2010 menyatakan bahwa manfaat dari NVP sangat berisiko untuk wanita dengan jumlah CD4 250-350 sel/mm3. Data keamanan pada perempuan dengan jumlah CD4 ≥ 350 sel/mm3 sangat terbatas, dan telah ditemukan efek toksik pada hepar yang mengancam nyawa ketika NVP digunakan setelah terpapar infeksi HIV dengan jumlah CD4 yang tinggi. Namun, tinjauan sistematis baru-baru ini menyebutkan bahwa risiko toksisitas nevirapin pada wanita hamil menunjukkan frekuensi efek samping yang tidak lebih tinggi dari populasi dewasa umumnya.14 Tabel 11. Perbedaan Pemberian ARV Profilaksis Pada Ibu dan Bayi Berdasarkan Skenario Klinik.14
26
Tabel 12. Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui Menurut WHO 2013. 14
Tabel 13. Algoritma Rekomendasi untuk Wanita Hamil dan Menyusui Menurut WHO 2013. 14
27
14. Algoritma Rekomendasi 2013 Penatalaksanaan HIV pada Remaja dan Dewasa.14
28
2.7.
Diagnosis Pada Anak
29
Pada bayi pemeriksaan serologis standar seperti IgG anti-HIV dan Western Blot tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sebelum usia 18 bulan. Hal ini disebabkan masih dapat ditemukannya IgG anti-HIV ibu yang melewati plasenta di darah bayi, bahkan sampai usia 24 bulan. Sedangkan IgA dan IgM anti-HIV tidak dapat melewati plasenta, sehingga dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis bila ditemukan pada bayi. Akan tetapi, sensitivitas kedua pemeriksaan ini masih rendah. 4 Pada bayi di bawah usia 18 bulan, pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain kultur HIV, teknik PCR (Polymerase chain Reaction) untuk mendeteksi DNA atau RNA HIV dan deteksi antigen p24.2 Infeksi HIV ditegakkan bila dua sample dari dua kali pemeriksaan yang berbeda dengan kultur, DNA HIV atau RNA HIV menunjukkan hasil positif. Disebut tidak terinfeksi bila dua macam sampel tes yang berbeda menunjukkan hasil negatif. 2,4 Pada bayi usia 18 bulan keatas, infeksi HIV ditegakkan jika pemeriksaan antibodi menetap atau bayi meninggal akibat penyakit terkait HIV. Disebut tidak terinfeksi bila dua kali pemeriksaan antibodi menunjukkan negatif. Pemeriksaan antibodi ini kemudian dilanjutkan dengan konfirmasi pemeriksaan Western Blot.2 Di Indonesia untuk mendefinisikan kasus HIV pada anak dipakai kriteria WHO/UNAIDS:5 · Anak berumur 18 bulan atau kurang : Ditemukan 2 gejala mayor yang berkaitan dan 2 gejala minor dengan ibu yang HIV positif. Gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV. · Anak berumur diatas 18 bulan : Menunjukkan tes HIV yang positif dan sekurang-kurangnya didapatkan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor dibawah ini dengan ibu HIV positif dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV. Gejala mayor : 1. Berat badan menurun atau gagal tumbuh 2. Diare terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan 3. Demam terus menerus atau berulang dalam waktu lebih dari 1 bulan 4. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah atau menetap
Gejala minor : 30
1. Limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali 2. Kandidiasis oral atau tenggorokan 3. Infeksi bakteri dan/atau virus yang berulang (misalnya otitis media akut, faringitis 4. Batuk kronis 5. Dermatitis yang luas 6. Ensefalitis. Manifestasi lain yang mungkin timbul tetapi tidak termasuk dalam kriteria diagnosis, antara lain masalah persarafan, keterlambatan perkembangan, pembesaran kelenjar parotis pada kedua sisi, abses berulang, meningitis dan herpes simplex yang berulang dan persisten.
BAB 3 KESIMPULAN
31
HIV/AIDS adalah suatu sindrom defisiensi imun yang ditandai oleh adanya infeksi oportunistik dan atau keganasan yang tidak disebabkan oleh defisiensi imun primer atau sekunder atau infeksi kongenital melainkan oleh human immunodeficiency virus. Penyebab dari virus ini adalah dari retrovirus golongan retroviridae, genus lenti virus. Terdiri dari HIV1 dan HIV-2. HIV dapat menular dari ibu ke bayi, namun kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah) ibunya, namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui jalan lahir. Intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui menyusui. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis adalah yang dapt menemukan virus atau partikelnya dalam tubuh seorang bayi. Meskipun beberapa tes dapat mendeteksi HIV di tubuh bayi pada usia dini, tes tersebut (seperti tes PCR) belum secara luas tersedia di Indonesia. Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan serologi HIV. Pemeriksaan antibodi HIV paling banyak menggunakan metoda ELISA/EIA (enzyme linked immunoadsorbent assay). Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan memakai metoda Western Blot. ELISA yang sangat sensitif dan Western Blot yang sangat spesifik mutlak dilakukan untuk menentukan apakah seseorang positif AIDS. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa PMTCT (programmes of the Prevention of Mother to Child Transmission), dapat menurunkan penularan vertikal HIV, juga menghubungkan wanita dengan infeksi HIV, anak, serta keluarganya, untuk memperoleh pengobatan, perawatan, serta dukungan.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Setiawan IM. Tatalaksana Pencegahan Penularan Vertikal dari Ibu Terinfeksi HIV ke Bayi yang Dilahirkan. Maj Kedokt Indon, Vol : 59, No: 10. 2009. P:489-94 2. Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan. Laporan Perkembangan Situasi HIV & AIDS di Indonesia Triwulan 2 Tahun 2011. 2011. Jakarta: Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan. 3. World Health Organization. Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Woman and Preventing HIV Infections in Infant 2010 Version. 2010. Austria: Department of HIV/AIDS WHO. 4. AVERT. Preventing Mother to Child Transmision of HIV (PMTCT). [online] 2011. [cited 3 Jan 2014]. Avalaible from: http://www.avert.org/motherchild.htm. 5. Gondo HK. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. 2009. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. 6. Romadona N.F. Penyakit HIV/AIDS pada Anak. [online] 2010. [cited 2 Jan 2014]. Available
from:
http://repository.upi.edu/operator/upload/pro_2011_iecs_nur_aids_pada_anakx.pdf. 7. Altfeld M. And Walker B.D. Acute HIV-1 Infection. In : HIV Medicine. Paris: Flying; 2007. P. 34-7. 8. Preiser W and Korsman S. HIV Testing. In : HIV Medicine. Paris: Flying; 2007. P. 41-51. 9. Catie, Women’s Health. HIV and Pregnancy : General Information. [cited 2 Jan 2014]; Available from: www.catie.ca. 10. USAIDS. Prevention of Mother to Child Transmision (PMTCT) of HIV. [online] 2011. [cited 2 Jan 2014]. Avalaible from: http://www.usaid.org. 11. Esiru G. The New National Guidelines (2010) for PMTCT and Infant Feeding in The Context of HIV. [online] 2011. [cited 29 Disember 2013]. Avalaible from: http://www.aidsmap.com/New-WHO-guidelines-on-PMTCT-and-infantfeeding/page/1436978/ 12. Family Health International. Preventing Mother to Child Transmission of HIV, A Strategic Framework. Arlington, University of North Carolina. 2004. p. 1-10. 13. Medik DBPP. Pedoman Diagnosis Laboratorium Bayi dan Anak Usia Kurang dari 18 Bulan Terpapar HIV. In: Indonesia KR, editor. Jakarta,2009. p. 1-10. 14. World Health Organization. Consolidated guidelines on the use of antiretroviral drugs for treating and preventing HIV infection. Departement of HIV/AIDS, WHO. 2013. Avalaible from: http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/arv2013/download/en/
33