BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Anestesiologi
ialah
ilmu
kedokteran
yang
pada
awalnya
berprofesi
menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Definisi
anestesiologi
berkembang terus
sesuai
dengan
perkembangan ilmu kedokteran. kedokteran. 1 Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes (1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih le bih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan. 2 Anestesi terdiri dari dua jenis, yaitu anestesi umum dan anestesi regional. Anestesi umum adalah suatu tindakan meniadakan rasa nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan risiko yang tidak diinginkan dari pasien. Anestesi regional adalah suatu tindakan meniadakan rasa nyeri baik secara sentral maupun regional yang bersifat reversible. reversible. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus-pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.3 Rongga mulut setiap harinya dibasahi oleh 1000 hingga 1500 ml saliva. saliva. Kesehatan lapisan mukosa mukosa mulut dan faring serta fungsi penguyahan, deglutisi (proses pencernaan makanan sejak masuk ke rongga mulut hingga mencapai esophagus), esophagus), bergantung pada cukupnya aliran saliva. saliva. Saliva Saliva berasal dari 3 pasang glandula saliva saliva mayor, yaitu glandula parotis, parotis, glandula sublingualis sublingualis dan
glandula submandibularis submandibularis dan sejumlah glandula saliva sali va minor pada mukosa mukosa dan submukosa submukosa bibir, palatum palatum dan lidah (Gordon W. Pedersen).
4
Glandula parotis parotis terletak pada bagian samping, di atas musculus masseter. Ductus parotis, parotis, misalnya ductus stensen, stensen, dengan panjang 5 sampai 6 cm, bermula dari
aspek
anterior glandula, glandula,
melintasi
masseter , menembus
musculus
buccinators buccinators dan memasuki rongga mulut pada regio molar pertama atau molar kedua rahang atas (Gordon W. Pedersen). 4 Glandula submandibularis submandibularis terletak di bawah
corpus mandibula mandibula dan
menempati segitiga yang dibentuk oleh venter posterior dan anterior musculi digastrici. digastrici. Ductus-nya Ductus-nya keluar dari perluasan glandula submandibularis submandibularis yang melintasi batas posterior batas posterior dari musculus mylohyoideus mylohyoideus dan memasuki rongga atau ruang sublingual ruang sublingual . Ductus Wharton dengan panjang kurang lebih 6 cm, melintas di bagian anterior dan berakhir dalam lubang saluran di dasar mulut, tepat di samping frenulum samping frenulum lingualis lingualis (Gordon W. Pedersen). 4 Glandula sublingualis sublingualis menempati rongga sublingual bagian anterior dan karena itu hampir memenuhi dasar mulut. Aliran dari sublingualis sublingualis memasuki rongga mulut melalui sejumlah muara yang terdapat sepanjang plica sepanjang plica sublingualis, sublingualis , yaitu suatu lingir mukosa anteroposterior di dasar mulut yang menunjukkan alur dari ductus submandibularis, submandibularis , atau melalui ductus utama (yaitu ductus Bartholin) Bartholin) yang berhubungan dengan ductus submandibularis submandibularis ( Gordon W. Pedersen).
4
Glandula saliva minor terletak dalam jumlah besar pada submukosa submukosa atau mukosa mukosa bibir, permukaan lidah bagian bawah, bagian posterior palatum durum dan mukosa bukal (Gordon bukal (Gordon W. Pedersen). 4 Dalam keadaan normal glandula saliva saliva ini terus menerus mengeluarkan saliva saliva melalui saluran yang bermuara di dalam rongga mulut sesuai dengan kebutuhan. Bilamana karena suatu sebab, terjadi hambatan maupun penyumbatan baik sebagian maupun total, maka akan terjadi bendungan atau stagnasi saliva yang merupakan retensi saliva saliva dan pada suatu saat akan berubah menjadi kista . 4
glandula submandibularis submandibularis dan sejumlah glandula saliva sali va minor pada mukosa mukosa dan submukosa submukosa bibir, palatum palatum dan lidah (Gordon W. Pedersen).
4
Glandula parotis parotis terletak pada bagian samping, di atas musculus masseter. Ductus parotis, parotis, misalnya ductus stensen, stensen, dengan panjang 5 sampai 6 cm, bermula dari
aspek
anterior glandula, glandula,
melintasi
masseter , menembus
musculus
buccinators buccinators dan memasuki rongga mulut pada regio molar pertama atau molar kedua rahang atas (Gordon W. Pedersen). 4 Glandula submandibularis submandibularis terletak di bawah
corpus mandibula mandibula dan
menempati segitiga yang dibentuk oleh venter posterior dan anterior musculi digastrici. digastrici. Ductus-nya Ductus-nya keluar dari perluasan glandula submandibularis submandibularis yang melintasi batas posterior batas posterior dari musculus mylohyoideus mylohyoideus dan memasuki rongga atau ruang sublingual ruang sublingual . Ductus Wharton dengan panjang kurang lebih 6 cm, melintas di bagian anterior dan berakhir dalam lubang saluran di dasar mulut, tepat di samping frenulum samping frenulum lingualis lingualis (Gordon W. Pedersen). 4 Glandula sublingualis sublingualis menempati rongga sublingual bagian anterior dan karena itu hampir memenuhi dasar mulut. Aliran dari sublingualis sublingualis memasuki rongga mulut melalui sejumlah muara yang terdapat sepanjang plica sepanjang plica sublingualis, sublingualis , yaitu suatu lingir mukosa anteroposterior di dasar mulut yang menunjukkan alur dari ductus submandibularis, submandibularis , atau melalui ductus utama (yaitu ductus Bartholin) Bartholin) yang berhubungan dengan ductus submandibularis submandibularis ( Gordon W. Pedersen).
4
Glandula saliva minor terletak dalam jumlah besar pada submukosa submukosa atau mukosa mukosa bibir, permukaan lidah bagian bawah, bagian posterior palatum durum dan mukosa bukal (Gordon bukal (Gordon W. Pedersen). 4 Dalam keadaan normal glandula saliva saliva ini terus menerus mengeluarkan saliva saliva melalui saluran yang bermuara di dalam rongga mulut sesuai dengan kebutuhan. Bilamana karena suatu sebab, terjadi hambatan maupun penyumbatan baik sebagian maupun total, maka akan terjadi bendungan atau stagnasi saliva yang merupakan retensi saliva saliva dan pada suatu saat akan berubah menjadi kista . 4
Mengingat kista ini terjadinya karena retensi saliva saliva di dalam saluran saliva yang abnormal , maka kista jenis ini digolongkan sebagai kista retensi. retensi. Bila terjadi pada ductus glandula ductus glandula saliva saliva mayor , kista ini disebut ranula. Ranula ranula. Ranula dapat terjadi pada semua umur dan lebih sering terjadi pada w anita daripada pria (drg. Iskandar Atmadja). 4 Ranula Ranula jarang sekali terjadi. Dalam salah satu penelitian terhadap 1303 kista pada glandula saliva, saliva, hanya ada 42 ranula yang terjadi. Perbandingan laki-laki dan perempuan dalam hal terjadinya ranula ranula adalah 1:1,3. Umumnya yang sering terkena pada dekade kedua dan ketiga kehidupan, dengan rentang usia 3-61 tahun (Ryan L Van De Graaff). 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Anestesi Umum 2.1.1 Definisi Anestesi Anestesi Umum
Anestesi umum suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kesadaran secara reversible yang disebabkan oleh obat anestesi, disertai oleh hilangnya sensasi nyeri diseluruh tubuh. Trias anestesi umum yaitu hilangnya kesadaran (sedatif), analgesia dan penekanan refleks (supresi refleks).5 2.1.2 Tujuan Anestesi
Anestesi memiliki tujuan-tujuan yaitu sebagai hipnotik atau sedasi (hilangnya kesadaran), analgesik (hilangnya respon terhadap nyeri, dan relaksasi otot.6 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum 6 1. Faktor Respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam paru-paru (alveolus), dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu, kemudian zat anestesi akan berdifusi melalui membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat difusi zat anestesi sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan parsial dalam arteri pulmonalis. Hal yang dapat mempengaruhi hal diatas yaitu konsentrasi zat anestesi yang dihirup atau diinhalasi, makin tinggi konsentrasinya maka makin cepat naik tekanan parsial zat anestesi dalam alveolus, serta
makin
tinggi
ventilasi
alveolus
maka
makin
cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi. 2. Faktor Sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan vena, faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu perubahan tekanan parsial zat anestesi yang
jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesi diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena. Selain itu aliran darah juga mempengaruhi yaitu aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesi makin banyak zat anestesi yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat anestesi yang adekuat. 3. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan jaringan. Aliran darah terdapat empat kelompok jaringan yaitu, jaringan yang kaya pembuluh darah (otak, jantung, hepar, ginjal), organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesi ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Kelompok intermediet (otot skelet dan kulit), jaringan sedikit pembuluh darah, dan relatif tidak ada aliran darah (ligamen dan tendon). 4.
Faktor Zat Anestesi
Bermacam-macam zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC ( Minimal Alveolar Concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesi dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya respon terhadap rangsangan rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, maka makin tinggi potensi zat anestesi tersebut. 2.1.4 Stadium Anestesi Umum
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu 6 a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).
Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini. b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea da n hiperapnea, tonus otot rangka meningkat, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian. c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu: Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun). Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi. Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun). d. Stadium lV
Stadium
IV
(paralisis
medula
oblongata)
dimulai
dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
2.1.5 Tahapan Tindakan Anestesi Umum
1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan kepada pasien agar dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. 6 a.
Penilaian Pra bedah6 Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokkan dengan gelang identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan dioperasi.
Anamnesis Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya sangat penting untuk mengetahui apakah ada hal- hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, muntah-muntah, nyeri otot, gatalgatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang anestesi berikutnya dengan baik. Peneliti
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, begitu juga dengan suksinilkolin yang menimbulkan apnea berkepanjangan jangan diulang. Kebiasaan
merokok
sebaiknya
dihentikan
1-2
hari
sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alkohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
Pemeriksaan Fisik Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf, respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal, hepatobilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik dan endokrin, otot rangka, integument. Pada
anestesi
Mallampati
juga
yang
diperlukan digunakan
pemeriksaan untuk
skor
memprediksi
kemudahan intubasi. Hal ini dilakukan dengan melihat anatomi cavum oral, terutama didasari terlihatnya dasar uvula, arkus di depan dan belakang tonsil, dan palatum mole. Skoring dilakukan saat pasien duduk dan pandangan ke depan. Skor Mallampati yang tinggi (III atau IV) berhubungan dengan intubasi yang lebih sulit sebanding juga dengan insiden yang lebih tinggi untuk terjadi apneu. Skoring Mallampati
Kelas I
: Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
Kelas II : Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula Kelas III :
Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
Kelas IV : Hanya terlihat palatum durum7
Gambar 1. Klasifikasi Mallampati
Pemeriksaan Laboratorium Uji laboratorium hendakanya atas indiksi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang dicurigai, banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (hemoglobin (Hb), leukosit, masa perdarahan, masa pembekuan) dan urinalisis. Usia pasien diatas usia 50 tahun ada anjuran EKG dan foto thoraks.
Kebugaran untuk Anestesi Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito, penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA): Kelas I :
Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II :
Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Termasuk juga semua pasien yang berusia >80 tahun.
Kelas III :
Pasien
dengan
penyakit
sistemik
berat
sehingga aktivitas rutin terbatas. Kelas IV :
Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat
melakukan
aktivitas
rutin
dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat Kelas V :
Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan, hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.6
b.
Premedikasi Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anestesi (selama 1-2 jam) dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan
dan
bangun
dari
anestesia,
yaitu
diantaranya
meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mualmuntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.7 Obat-obat yang diberikan untuk meredakan kecemasan yaitu midazolam dan diazepam, untuk meredakan rasa sakit yaitu petidin, morphin, dan fentanil, untuk mengurangi sekresi air ludah yaitu sulfas atropin, sedangkan untuk mengurangi
mual muntah yaitu ondansentron, dan antagonis reseptor H2 histamin yaitu ranitidin.6 Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :6 Obat Antikolinergik
Obat-obat
ini
menekan
atau
menghambat
aktivitas
kolinergik atau parasimpatis. Tujuan utamanya dalam premedikasi yaitu mengurangi saliva (saluran cerna dan saluran nafas), mencegah spasme laring dan bronkus, mencegah bradikardi, mengurangi motilitas usus, dan melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas. Obat golongan ini merupakan preparat alkaloid belladona yang turunannya adalah sulfas atropin dan skopolamin. 1. Mekanisme Kerja Menghambat mekanisme kerja asetilkolin pada organ yang di inervasi oleh serabut saraf otonom para simpatis
atau
serabut
saraf
yang
mempunyai
neurotransmiter asetil kolin. Manfaat sulfas atropin lebih dominan pada otot jantung, usus dan bronkus, sedangkan skopolamin lebih dominan pada iris, korpus siliaris dan kelenjar. 2. Efek samping Sulfas atropin tidak menimbulkan depresi susunan saraf pusat sedangkan skopolamin mempunyai efek depresi sehingga menimbulkan rasa ngantuk, euforia dan rasa lelah. Pada sistem respirasi dapat menghambat sekresi kelenjar dan menyebabkan mukosa jalan nafas kering sehingga menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan bronkhioli. Selain itu mempunyai efek samping seperti menghambat aktivitas vagus pada jantung, sehingga
denyut jantung meningkat, pada hipotensi, pemberian obat golongan ini akan meningkatkan tekanan darah. 3. Cara pemberian dan dosis Intramuskuler dengan dosis 0,01 mg/kg BB, diberikan selama
30-4
menit
sebelum
induksi,
sedangkan
intravena diberikan diberikan dengan dosis 0,005 mg/kg BB, diberikan 5-10 menit sebelum induksI. Obat sedatif
Obat golongan ini berfungsi sebagai anti cemas dan menimbulkan
rasa
ngantuk.
Tujuan
pemberian
obat
golongan ini adalah untuk memberikan suasana nyaman bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga
pasien
menjadi
tidak
peduli
dengan
lingkungannya. Obat golongan sedatif yang sering digunakan yaitu : 1.
Derivat Fenotiazin (Prometazin) Obat ini menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada formasio retikularis dan hipotalamus menekan pusat muntah dan mengatur suhu tubuh. Terhadap respirasi akan menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan menghambat sekresi kelenjar. Selain itu menyebabkan vasodilatasi sehingga memperbaiki perfusi jaringan.
2.
Derivat
Benzodiazepin
(diazepam,
midazolam,
klordiazepoksid, nitrazepam dan oksazepam) Obat ini mempunyai efek sedasi dan anti cemas yang bekerja pada sistem limbik dan menimbulkan amnesia anterograd. Selain itu berfungsi sebagai anti kejang yang bekerja pada kornu anterior medula spinalis dan hubungan saraf otot. Pada dosis kecil bersifat sedatif, sedangkan dosis tinggi dapat sebagai hipnotik.
Pada dosis kecil, pengaruhnya kecil sekali pada kontraksi maupun denyut jantung, akan tetapi pada dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan oleh efek dilatasi pembuluh darah. Dalam praktik anestesi, obat ini digunakan sebagai premedikasi secara IM dengan dosis 0,2 mg/kgBB atau peroral dengan dosis 5-10 mg, serta untuk induksi pemberian IV dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB, pemberian sedasi pada analgesi regional yang diberikan secara IV. Selain itu obat ini digunakan untuk menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin. Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena besar
untuk
intramuskular
mencegah kurang
flebitis.
disenangi
Pemberian oleh
karena
menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan. 3.
Derivat Butirofenon (Dehidrobenperidol) Obat ini digunakan untuk premedikasi yaitu diberikan secara IM dengan dosis 0,1 mg/kgBB, sebagai sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional, antihipertensi, anti muntah, dan suplemen anestesi. Terhadap saraf pusat, kegunaannya yaitu sebagai sedatif atau trankuilizer. Disamping itu mempunyai kegunaan khusus yaitu sebagai anti muntah yang bekerja pada pusat muntah di ”chemoreceptor trigger zone”. Efek samping yang dapat terjadi yaitu timbulnya rangsangan ekstrapiramidal sehingga menimbulkan gerakan tak terkendali (parkinsonsm) yang bisa diatasi dengan pemberian obat antiparkinson. Terhadap respirasi dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat dilatasi pembuluh darah rongga hidung dan pembuluh darah paru. Selain itu dapat menimbulkan
vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga sering digunakan sebagai anti syok. 4.
Derivat Barbiturat (Fenobarbital dan Sekobarbital) Digunakan sebagai sedasi dan penenang prabedah, terutama
pada
menimbulkan
anak-anak.
depresi
ringan
pada
dosis
lazim,
pada
respirasi
dan
sirkulasi. 5.
Antihistamin Obat sering digunakan sebagai premedikasi adalah derivat defenhidramin. Kegunaannya yaitu sebagai sedatif, antimuntah ringan dan antipiretik, sedangkan efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan.
Obat analgetik narkotik atau opioid
Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid dibedakan menjadi 3 kelompok : 1.
Alkaloid opium (natural) yaitu morfin dan kodein
2.
Derivat semisintetik yaitu diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon, hidrokodon dan oksikodon.
3.
Derivat sintetik yaitu Fenilpiperidine
misalnya
petidin,
fentanil,
sulfentanil dan alfentanil Benzmorfans
yaitu
pentasozin,
fenazosin
dan
siklasozin Morfinans yaitu lavorvanol Propionanilides misalnya petadon Tramadol
Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat premedikasi yaitu petidin dan morfin, sedangkan fentanil digunakan sebagai suplemen anestesi. Sebagai
analgetik, obat ini bekerja pada talamus dan substansia gelatinosa medula spinalis. Terhadap respirasi, obat ini dapat mnyebabkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini semakin berat pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan seksama dalam penggunaannya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan dengan nalorpin atau nalokson, sedangkan terhadap bronkus, petidin dapat mnyebabkan dilatasi bronkus. 2.2
Induksi Anestesi 7
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga dimungkinkan untuk memulai tindakan anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan cara intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal, setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan
selesai,
sebelum
memulai
induksi
anestesi
selakyaknya dipersiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik. 2.3
Rumatan Anestesi
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hai-hal yang dipantau adalah fungsi vital pernapasan, tekanan darah, nadi, dan kedalaman anestesi, misalnya adanya gerakan, batuk, mengedan, perubahan pola napas, takikardia, hipertensi, keringat, air mata, midriasis. Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali tergantung jenis, lama, dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan memperhitungkan kebutuhan puasa, rumatan, perdarahan, evaporasi, dll. Jenis cairan vang diberikan dapat berupa kristaloid (ringer laktat, NaCl, dekstrosa 5%), koloid (plasma expander, albumin 5%) atau tranfusi darah bila perdarahan terjadi lebih dari 20%.
Selama pasien dalam anestesi dilakukan pemantauan frekuensi nadi dan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi terjadi bila anestesi kurang dalam. Hal ini disebabkan karena terjadi sekresi adrenalin. Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu melalui meningkatan konsentrasi halotan atau suntikan barbiturat. Penurunan tekanan darah dan nadi halus sebagai tanda syok dapat disebabkan karena kehilangan banyak darah. Hal ini diatasi dengan pemberian cairan pengganti plasma atau darah. Penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi dapat disebabkan karena anestesi terlalu dalam atau terlalu ringan serta kehilangan banyak darah atau cairan. Peningkatan tekanan darah dan tekanan nadi serta penurunan frekuensi nadi disebabkan transfusi yang berlebihan diatasi dengan penghentian transfusi. 2.4 Anestesi Umum Intravena
Anestesia intravena adalah teknik anestesia dimana obat-obat anestesia diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. 7 Indikasi Anestesi Intravena :
1. Obat induksi anestesi umum 2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat 3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat 4. Obat tambahan anestesi regional 5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi) Beberapa variasi anestesia intravena :7 1. Anestesia intravena klasik
Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif, contoh: diazepam, midazolam atau dehidrobenzperidol. Komponen trias anestesi yang dipenuhi dengan teknik ini adalah hipnotik dan anestesia. Indikasi :
Pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan operasi yang optimal dan berlangsung singkat, dengan perkecualian operasi didaerah jalan nafas dan intraokuler. Kontraindikasi: a. Pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik, misalnya: penderita diabetes melitus, hipertensi, tirotoksikosis dan paeokromo sitoma b. Pasien yang menderita hipertensi intrakranial c. Pasien penderita glaukoma d. Operasi intraokuler 2. Anestesi intravena total
Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anestesia yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Indikasi : Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan operasi optimal Kontraindikasi : Tidak ada kontra indikasi absolut. Pemilihan obat disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien.
3. Anestesia neuroleptik
Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat secara intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya adalah sedasi atau hipnotik
ringan
dan
analgesia
ringan.
Kombinasi
lazim
adalah
dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak terdapat fentanil dapat digantikan dengan petidin atau morfin. Indikasi: a. Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi, bronkoskopi, esofaguskopi, rektos-kopi b. Sebagai suplemen tindakan anestesi lokal Kontraindikasi :
a. Penderita parkinson, karena pada pemberian dehidrobenzperidol akan menyebabkan peningkatan gejala parkinson b. Penderita penyakit paru obstruktif c. Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif. 5,6
2.5 Jenis Obat Anestesi Intravena 1. Propofol (2,6 – diisopropylphenol)
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak-anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W. a. Mekanisme kerja Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid ).3 b. Farmakokinetik Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif. Kelarutan lemak yang tinggi dari propofol menyebabkan onset kerjanya yang cepat yang hampir sama cepatnya dengan thiopental tersadar setelah pemberian dosis tunggal juga cepat akibat paruh waktu distribusinya yang sangat cepat (2-8 menit). Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi (rata-rata 30-45 detik) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20 ml mengandung propofol 10 mg/ml. Propofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot. 5 c. Farmakodinamik i. Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi
tidak
sehebat
thiopental.
Dapat
menurunkan
tekanan
intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%. 5 ii. Pada sistem kardiovaskuler Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan propofol mempunyai
efek
mengurangi
pembebasan
katekolamin
dan
menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. 6 iii. Pada sistem pernafasan Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut.6 d. Dosis dan penggunaan 1. Induksi : 1 sampai 2,5 mg/kg intravena 2. Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan intravena infus 3. Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100-150 µg/kg/min intravena (titrate to effect ). 4. Turunkan dosis pada orangtua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain. 5. Dapat
dilarutkan
dengan
dextrosa
5%
untuk
mendapatkan
konsentrasi yang minimal 0,2%. 6. Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
e. Efek Samping Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara intravena melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati-hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik (thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol. 7
2. Ketamine
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate general anesthesia”.6 Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.7 a. Mekanisme kerja Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik,
sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. 6 b. Farmakokinetik 1. Absorbsi
Pemberian
ketamin
dapat
dilakukan
secara
intravena
atau
intramuskular dengan puncak level plasma dalam 10-15 menit setelah injeksi intramuskuler.6 2. Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30-60 detik setelah pemberian secara intravena dengan dosis induksi, dan akan kembali
sadar
setelah
15-20
menit.
Jika
diberikan
secara
intramuskular maka efek baru akan muncul setelah 15 menit. 3. Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa metabolit yang masih aktif. 6 c. Ekskresi Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal. d. Farmakodinamik i. Susunan saraf pusat Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial.
3
Konsentrasi plasma yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien dapat terbangun jika konsentrasi plasma dibawah 0,5µg/ml. Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan :
3
1. Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat 2. Mengurangi pembebasan presinaps glutamat 3. Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa: 1. Mimpi buruk 2. Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan) 3. Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi 4. Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan 5. 20%-30% terjadi pada orang dewasa 6. Dewasa > anak-anak 7. Perempuan > laki-laki ii. Mata Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.
iii. Sistem kardiovaskuler Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. iv. Sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi.
dapat
menimbulkan
dilatasi
bronkus
karena
sifat
simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma. e. Dosis dan pemberian Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak-anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara intravena atau intramuskular. Dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB intravena atau 5-10 mg/kgbb intramuskular, untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/kgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10-15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai. Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesik adalah 0,2-0,8 mg/kg intravena atau 2-4 mg/kg intramuskular atau 5-10 µg/kg/min intravena drip infus. f. Efek samping Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah, halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat
meningkatkan
tekanan
intrakranial.
Pada
mata
dapat
menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
g. Kontraindikasi Mengingat efek farmakodinamiknya yang relatif kompleks seperti yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal
saja.
Pada
pasien
yang
menderita
penyakit
sistemik
penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang
meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat-obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner dan lain-lain.7 3. Thiopental
Berupa bubuk berwarna putih kekuningan, bersifat higroskopos, rasanya pahit, berbau seperti bawang putih. Thiopental dikemas dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. sebelum digunakan dilarutkan dalam akuabides sampai kepekatan 2,5 % (1 ml = 25 mg). 9 Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kgBB dan disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri dan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau hal ini terjadi dianjurkan memberikan suntikan infiltrasi lidokain. 7 a. Mekanisme Kerja Barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinaptik kompleks dari saraf dan pusat regulasi, yang terletak di batang otak yang mengontrol beberapa fungsi vital, termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf daripada akson. Barbiturat menekan transmisi
neurotransmiter
eksitator
(seperti
asetilkolin)
dan
meningkatkan transmisi neurotransmiter inhibitor (seperti asam γaminobutirik (GABA).7
4. Opioid7
Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik. Biasanya digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri. Kelompok obat ini
dalam dosis yang tinggi dapat mengurangi kecemasan dan menyebabkan penurunan kesadaran. Efek yang dihasilkan dari pemakaian obat golongan opioid adalah analgesia, sedasi, dan depresi respirasi. Efek ini juga berhubungan erat dengan besarnya dosis, yang berarti semakin banyak konsentrasi obat yang diberikan, semakin besar pula efek yang didapatkan. Namun dosis harus tetap di batasi sesuai kebutuhan untuk tetap menjaga pasien tidak mengalami efek yang berlebihan. Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anestesi adalah obat golongan opioid tidak secara langsung memberikan efek depresi pada fungsi jantung. Dengan demikian, obat golongan opioid sangat berguna untuk anestesi pada pasien dengan kelainan jantung Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah, kekakuan dinding dada, seizure dan supresi dari motilitas gastrointestinal. Pada pasien dengan hipovolemia, narkotik dapat memberikan manfaat dengan menimbulkan efek vasodilatasi (pada penggunaan morfin). Narkotik juga dapat menyebabkan bradikardi melalui stimulasi vagal secara langsung. Pada pasien yang normal, bradikardi ini tidak berefek menurunkan tekanan darah karena terjadi peningkatan stroke volume dari jantung. Mekanisme kerja dari opioid adalah interaksi dengan reseptor opioid dalam otak dan medula spinalis. Beberapa tipe reseptor yang berbeda sudah dapat diidentifikasi. Reseptor Mu melayani efek analgesia, depresi respirasi, euphoria dan ketergantungan fisik. Reseptor Kappa melayani efek analgesia pada level medula spinalis, sedasi dan miosis. Reseptor yang lain bertanggung jawab untuk efek minor dan efek negatif dari opioid. Contoh dari kelompok obat ini adalah morfin, meperidine (demerol), fentanyl (efek 1000 kali lebih kuat dari petidin), sufentanil, alfentanil dan remifentanil. Kesemuanya ini berbeda dalam potensi, durasi kerja. 2.6 Anestesi pada Anak 8 2.6.1 Pernafasan
Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding orang dewasa. Pada neonatus dan bayi antara 30 - 40 x semenit. Tipe pernafasan pada neonatus dan bayi adalah pernafasan abdominal dan pernapasan nasal, sehingga gangguan pada kedua bagian ini memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan. Paru-paru lebih mudah rusak karena tekanan ventilasi yang berlebihan, sehingga menyebabkan
pneumotoraks,
atau
pneumomediastinum.
Laju
metabolisme yang tinggi menyebabkan cadangan oksigen yang jauh lebih kecil, sehingga kurangnya kadar oksigen yang tersedia pada udara inspirasi, dapat menyebabkan terjadinya bahaya hipoksia yang lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa. Neonatus tampaknya lebih dapat bertahan terbadap gangguan hipoksia daripada anak yang besar dan orang dewasa, tetapi hal ini bukan alasan untuk mengabaikan hipoksia pada neonatus. Ada 5 perbedaan mendasar anatomi dari airway pada anak-anak dan dewasa. 1. Pada anak-anak, kepala lebih besar, dan lidah juga lebih besar 2. Laring yang letaknya lebih anterior 3. Epiglotis yang lebih panjang 4. Leher dan trache yang lebih pendek daripada dewasa 5. Cartilago tiroid yang terletak berdekatan dengan airway Variable
Anak-anak
Dewasa
Frekuensi pernafasan
30-50
12-16
Tidal Volume ml/kg
6-8
7
D ead ead space ml/kg
2-2.5
2.2
Alveo Alveolar lar ve ventilat ntilation ion
100-150
60
FRC
27-30
30
Konsumsi Oksigen
6-8
3
Tabel 1. Perbedaan fisiologi pernafasan pada anak dan dewasa
2.6.2 Kardiosirkulasi
Frekuensi nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120 x/per menit. Hipoksia menimbulkan bradikardia, karena parasimpatis yang lebih dominan. Kadar hemoglobin pada neonatus tinggi (16-20 gr%), tetapi kemudian menurun sampai usia 6 bulan (10-12 gr%), karena pergantian dari HbF (fetal) menjadi HbA (adult). Jumlah darah bayi secara absoluts sedikit, walaupun untuk perhitungan mengandung 90 miligram berat badan. Karena itu perdarahan dapat menimbulkan gangguan sistem kardiosirkulasi. Dan juga duktus arteriosus dan foramina pada septa interatrium dan interventrikel belum menutup selama beberapa hari setelah lahir. Umur
Heart Rate
Tekanan Sistolik
Tekanan Diastolik
Preterm 1000g
130-150
45
25
Baru lahir
110-150
60-75
27
6 bulan
80-150
95
45
2 tahun
85-125
95
50
4 tahun
75-115
98
57
≥8 tahun
60-110
112
60
Tabel 2. Perbedaan heart rate, dan tekanan darah pada pediatrik berdasarkan umur
Bayi bersifat poikilotennik, karena luas permukaan tubuhnya relatif lebih luas dibanding orang dewasa. Hal ini dapat menimbulkan bahaya hipotermia pada lingkungan yang dingin, dan hipertermia pada lingkungan yang panas. Disamping itu pusat pengaturan suhu di hipotalamus belum berkembang dengan baik.
2.6.3 Cairan Tubuh
Bayi lahir cukup bulan mengandung relatif banyak air yaitu dari berat badan 75%, setelah berusia 1 tahun turun menjadi 65% dan setelah dewasa menjadi 55-60%. Cairan ekstrasel neonatus adalah 40% dari berat badan, sedangkan pada dewasa ialah 20%. Pada Tabel 4. dapat dilihat perbedaan EBV ( Estimated Blood Volume) Volume ) pada pediatric berdasarkan umur.
Umur
EBV
Premature
90-100cc/kg
Baru lahir
80-90 cc/kg
3 bulan-1 tahun
70-80 cc/kg
>1tahun
70 cc/kg
Dewasa
55-60 cc/kg
Tabel 3. Estimate Blood Volume Berdasarkan Umur
2.7 Penerapan Anestesi Pada Pediatri
8
2.7.1 Tahap Pra Bedah
Kunjungan pra-anestesia dilakukan sekurang-kurangnya dalam waktu 24 jam sebelum tindakan anestesia. Perkenalan dengan orang tua penderita sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesia yang akan dilakukan. Pada kunjungan tersebut kita mengadakan penilaian tentang keadaan. umum, keadaan fisik dan mental penderita. 2.7.2 Premedikasi Pada Anak
Anak-anak dan orang tuanya sering merasa cemas saat-saat pre operasi. Kecemasan saat pre-operasi dapat bervariasi dengan berbagai macam cara. Sesuai dengan umurnya, bentuk-bentuk kecemasan ini dapat berupa verbal atau tingkah laku. Menangis, agitasi, retensi urin, nafas dalam, tak mau bicara, pernafasan dalam, merupakan bentuk dari anak yang cemas. Kecemasan ini dapat mencapai puncaknya saat induksi anestesi. Ada berbagai cara untuk menekan kecemasan preoperatif ini. Tujuan dan definisi dari premedikasi ini bervariasi pada tiap tenaga medis, dan pasien dan orangtuanya memiliki persepsi sendiri terhadap arti premedikasi.19,7 Bagi tenaga medis, premedikasi berfungsi untuk pendekatan psikologis memberikan penjelasan pada pasien dan keluarganya, tentang apa yang akan dilakukan sebelum dan sesudah operasi beserta yang akan terjadi kemudian. Dan juga untuk memisahkan sang pasien dari orangtuanya dengan tenang pada saat
akan dilakukan operasi, dan juga penggunaan obat-obatan analgesi dan hipnotik yang bertujuan untuk membuat amnesia ataupun mengurangi nyeri post operasi. Tujuan lainnnya dapat berupa menekan biaya obat yang akan digunakan, anti emesis, memudahkan saat induksi, dan halhal lain yang tak diinginkan. 2.7.3 Indikasi, Keuntungan dan Kerugian pada Premedikasi
Pasien anak-anak yang memerlukan premedikasi dan sedasi untuk membuat mereka menjadi kooperatif, adalah yang termasuk di bawah ini: Anak-anak yang memiliki riwayat operasi sebelumnya sehingga
menjadi terlalu takut akan ketidaknyamanan akan perawatan di rumah sakit dan operasi berikutnya. Anak-anak di bawah usia sekolah yang tidak dapat dipisahkan dari
orang tuanya secara mudah, dimana ahli anestesi merasa kehadiran orang tuanya pada saat induksi tidak akan menguntungkan. Anak-anak yang terbatas komunikasinya yang disebabkan karena
keterbelakangan mental (misalnya autisme) dan orang tua berperan sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan sang anak saat induksi Keadaan-keadaan dimana induksi harus dilakukan tanpa ada usaha
perlawanan dari ataupun sikap tidak kooperatif, atau menangis dari sang anak. Remaja yang menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi. Remaja
sering merasa ketakutan akan kehilangan penampilan tubuhnya, kematian. Tidak ada kesepakatan yang pasti akan keuntungan dari premedikasi pada anak-anak. Terutama pada bayi. Namun seorang anak yang kooperatif dan tersedasi, dapat mengurangi level kecemasan pada orang tuanya sendiri yang mungkin dapat berpengaruh terhadap persiapan pre-operasi atau bahkan terhadap sikap anaknya sendiri. Anak-anak dan orang tuanya mendapatkan keuntungan yang berbeda dari premedikasi:
amnesia, analgesia, mengurangi cemas (baik terhadap pasien sendiri ataupun orang tuanya), dan sikap kooperatif. Para pekerja medis, baik ahli anestesiologi dan perawat pre-operasi, mengetahui keuntungan dan resiko dari pengurangan cemas preoperasi. Keamanan obat, onset obat, reaksi disforik, mual, muntah harus di pertimbangkan sebelum melakukan premedikasi. Premedikasi ideal untuk anak-anak adalah dengan administrasi yang baik, onset dan panjang durasi yang dapat diramalkan, dan komplikasi yang minimal. Seringkali tujuan dari premedikasi adalah menciptakan seorang pasien anak-anak yang tenang, kooperatif, dan mudah dipisahkan dari orang tuanya dan menuruti instruksi dari sang ahli anestesi. Namun kebutuhan dan metode dari premedikasi akan berbeda berdasarkan kebutuhan pasien, orang tua pasien, prosedur bedah, dan juga temperamen sang ahli anestesi. Meskipun premedikasi merupakan hal yang penting dalam menurunkan kecemasan, namun bukan berarti premedikasi adalah satusatunya komponen. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki pikiran yang bercampur aduk tentang premedikasi, dan permintaan mereka mungkin bahwa mereka ingin ditangani oleh pekerja medis yang telah mereka kenal. Pada kasus ini, tidak diperlukan obat-obatan sedatif atau pengurang rasa cemas, sehingga tidak ada efek samping atau
pun
komplikasi-komplikasi
yang
akan
dihadapi
atau
dikhawatirkan. Bedah emergency, lambung yang penuh, trauma kepala dan trauma abdomen
merupakan
kelemahan,
atau
batasan
dari
indikasi
premedikasi. Pada anak normal dan sehat, resiko tentu saja minimal, dan bila komplikasi terjadi, biasanya karena over dosis atau suatu proses patologi yang tak diketahui. 2.7.4 Anak-anak yang cenderung mengalami komplikasi
Ada beberapa kelompok anak-anak yang memiliki kecenderungan lebih untuk mengalami komplikasi, dan perhatian lebih tentu harus diberikan sebelum premedikasi dilakukan. Riwayat spesifik seperti obstruksi saluran pernafasan atas, aspirasi, control refleks yang buruk, batuk dan muntah yang tak terkoordinasi, harus diperhatikan sebelum pemberian premedikasi. Riwayat apnea, obstruksi, merupakan kontraindikasi yang absolut. Anak-anak yang memiliki kelainan seperti di bawah ini harus diperlakukan secara berhati-hati dalam pemberian premedikasi: 1. Hipertropi Adenoid Seorang anak dengan hipertropi adenoid memiliki resiko lebih besar untuk mengalami obstruksi jalan nafas dari tingkat sedang sampai parah. Komplikasi yang sama juga dapat dialami oleh anak-anak yang memiliki hipertropi tonsil. 2. Macroglossia Fungsional Baik
karena
sindrom
hipomandibularisme
hipertropi
relatif,
lidah
obstruksi
jalan
ataupun
syndrome
nafas
merupakan
komplikasi potensial pada pasien-pasien ini. 3. Pasien dengan Kelainan Neurologi Respon dari anak yang mengalami kelainan neurologi berbeda-beda. Dapat terjadi aspirasi, diskoordinasi menelan, batuk, yang membuat kelompok anak-anak yang memiliki kelainan ini sulit diramalkan sewaktu diberikan sedasi, bahkan dengan dosis yang telah dikurangi. 4. Distrofi muscular Pasien pada kelompok ini, bila mereka menggunakan kursi roda, dokter harus lebih berhati-hati, terutama terhadap efek depresi respiratorik. 5. Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg tidak memerlukan sedasi pre operasi, karena mereka dapat dipisahkan dengan mudah dari orang tuanya dengan tingkat kecemasan yang rendah, onset, durasi,
efek samping obat-obatan terhadap anak-anak ini tak dapat diramalkan.
2.7.5 Cara Pemberian Obat
Banyak cara pemberian obat dalam premedikasi. Oral dan rektal merupakan cara yang sering dipilih. Meskipn begitu, bukan berarti kedua cara di atas merupakan cara yang paling aman, dimana tidak dapat diramalkan karena fluktuasi dari bioavalabilitas dan substansi “ first past effect ”. 1.
Cara Oral
Biasanya merupakan cara yang paling dapat diterima. Hal-hal yang perlu diperhatikan berupa jumlah obat, onset, durasi, tingkah laku selama penyembuhan, interaksi dengan obat lain dan efek samping. Kadang kala anak membuang kembali obat yang telah ditelan. Biasanya ini terjadi karena kurang kooperatifnya anak ataupun kurang lembutnya sikap sang premedikator.
Midazolam
Obat makan yang sering digunakan. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5 mg/kgBB sampai 20 mg/kgBB. Dosis ini hamper selalu efektif dan mempunyai batas aman yang luas. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10 menit setelah pemberian. Midazolam oral dan diazepam-droperidol sampai trimeprazine, dan mendapatkan hasil yang lebih baik pada pre-operatif dan post-operatif pada midazolam dalam menghilangkan kecemasan dan menimbulkan efek sedasi.
Fentanyl
Telah banyak berhasil digunakan. Memiliki efikasi yang sama dengan obat oral cair meperidine, diazepam dan atropine.
Namun efek samping yang tak dapat diramalkan berupa depresi pernafasan, pruritus dan mual muntah merupakan kerugian sehingga tidak diterima secara universal.
Ketamin
Bentuk oral merupakan alternatif yang popular. Gutstein dan koleganya membandingkan efek placebo dari 3 sampai 6 mg/kgBB dari ketamin oral. Ketamin tidak berefek terhadap depresi pernafasan, dan takikardi. Ketamin juga dapat diberikan bersamaan dengan permen pada dosis 5-6mg/kgBB tanpa hambatan.
Barbiturat
Telah
digunakan
selama
bertahun-tahun
sebagai
obat
premedikasi. Memiliki onset of action yang lambat, dan durasi yang lama. Pentobarbital 3 mg/kgBB sampai 30 mg/kgBB memiliki onset satu jam dan durasi samapai 6 jam.18 Kerugiannya adalah efek sedasi yang panjang dan tidak cocok untuk
pembedahan
yang
singkat
atau
emergensi
yang
memerlukan persiapan yang cepat. 2.
Cara Nasal
Premedikasi Intranasal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tetes dan inhalasi. Dosis yang tepat tentu diperlukan dan onset yang berulang dapat dicapai jika cara nasal digunakan. Namun, pasien biasanya akan merasakan rasa yang tidak nyaman, meskipun hanya sebentar. Sewaktu midazolam 100µg/kgBB intranasal dibandingkan dengan 10µg/kgBB afentanyil intranasal, efek sedasi yang didapatkan sama, namun tidak ditemukan rasa hidung terbakar pada anak-anak yang menerima alfentanil, dimana 70% dari anak-anak yang mengunakan midazolam merasakan rasa hidung terbakar. 3.
Cara Rektal
Cara ini kadangkala bergantung pada ahli anestesi sendiri. Telah dilaporkan bahwa cara rektal merupakan cara yang popular di Eropa, sedangkan di Negara-negara lain tidak. 19 Cara rektal telah dibandingkan dengan midazolam oral bahwa keduanya sama efektif,5 namun cara rektal lebih di toleransi. Pada anak dewasa, cara rektal tidak begitu dianjurkan karena alasan estetika dan volume yang dibutuhkan untuk menghantarkan dosis yang adekuat.
4.
Cara Intramuskular dan Subkutan
Cara ini tidak begitu dianjurkan mengingat anak-anak sangat takut denga jarum dan bahkan dapat membuat rasa ketakutan yang berlebih pada tindakan tindakan selanjutnya. Keuntungan cara ini adalah tidak dibutuhkannya sikap kooperatif dari pasien dan tanpa harus mengkhawatirkan pasien tersebut memuntahkan kembali obat yang telah diberi secara oral. 5.
Cara Sublingual
Meskipun cara ini memiliki keuntungan, yaitu onset yang lebih cepat, namun tidak begitu popular karena sulit memberikannya pada anak yang tidak kooperatif
Nama Obat
Agen
Cara
Dosis
Pemberian
Benzodiazepin
Onset
Efek
(menit)
Midazolam
Oral
0,3-
15-30
Depresi system
Diazepam
Nasal
0,7mg/kgBB
5-10
pernafasan,
0,1-
eksitasi
0,2mg/kgBB
postoperative eksitasi
Dissosiatif
Ketamin
Oral
3-8mg/kgBB
10-15
Eksitasi
IM
2-5mg/kgBB
2-5
Meningkatkan TD, tekanan intra cranial
meningkat Opioids
Barbiturat
Morfin
IM
0,1-0,2
15-30
Depresi system
Meperidin
IM
mg/kgBB
15-30
pernafasan
Fentanil
Oral
0,5-1
5-15
Depresi system
mg/kgBB
pernafasan
10-15
Depresi sitem
µg/kgBB
pernafasan
Pentobarbital
Oral
3mg/kgBB
60
Eksitasi
Tiopental
Rectal
30mg/kgBB
5-10
postoperative yang memanjang Depresi system pernafasan, Eksitasi postoperative yang memanjang
Antikolinergik
Atropin
Oral
20µg/kgBB
15-30
Flushing
Scopolamin
IM
20µg/kgBB
5-15
Mulut kering
IV
10-
30
Rasa gembira
IM
20µg/kgBB
15-30
halusinasi
20µg/kgBB H2 Antagonis
Cimetidine
Oral
7,5mg/kgBB
60
Ranitidine
Oral
2 mg/kgBB
60
Tabel 4. Nama obat-obat premedikasi, dosis, cara pemberian dan efeknya
2.7.6 Puasa
Merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasien anak. Dulu pentingnya puasa tidak begitu diapresiasi dengan baik. Namun setelah ada laporan bahwa regurgitasi dan refluks gaster yang sering terjadi pada anak yang tidak dipuasakan, akhinya puasa menjadi suatu persiapan pre operasi yang mulai banyak digunakan. Tipe makanan
Rekomendasi lama puasa
Cairan
Minimum 2 jam
Pasien sehat
Minimum 4 jam
Pasien sakit
Penganganan tersendiri (pasang NGT,
Operasi emergensi
dll)
Susu
Minimum 4 jam
ASI
Minimum 6 jam
T
Susu non ASI
aPadat Operasi elektif
1 hari sebelum operasi Penanganan tersendiri
BOperasi emergensi Tabel 5. Rekomendasi waktu puasa pada tahap pra-bedah
Lamanya puasa yang dibutuhkan tergantung dari banyak faktor, seperti jenis operasi, waktu makan terakhir sampa terjadinya cidera (pada operasi emergensi), tipe makanan dan pengobatan yang diberikan pada pasien sebelum operasi. 2.7.7 Induksi Pada Pediatri
Cara induksi pada pasien pediatri tergantung pada umur, status fisik, dan tipe operasi yang akan dilakukan. Ahli anestesi tentu memiliki cara dalam menginduksi pasien pediatri, namun juga harus memiliki rencana kedua jika rencana pertama gagal dilakukan yang mungkin disebabkan oleh situasi klinik tertentu. Namun, apapun jenis situasi klinik yang dialami, tujuan dari induksi adalah sama, yaitu:
Memisahkan sang pasien dari orangtuanya sebisa mungkin
Pasien bersikap kooperatif saat dilakukan induksi
Induksi yang berjalan mulus tanpa komplikasi apapun
Pencapaian dan pemantauan sistem respirasi, kardiovaskular, dan cairan yang stabil selama induksi
Tercapainya efek hipnotik, sedatif dan relaksasi
1. Persiapan induksi
Ahli anestesi harus memiliki informasi yang adekuat dari pasien yang akan diinduksi, minimal umur dan berat badan pasien, jenis
pembedahan, apakah emergensi atau elektif, status fisik dan mental (kooperatif/tidak) pasien. Dari informasi ini, tentu dapat dipersiapkan keperluan-keperluan seperti pipa ETT, pemanjangan anestesi, manajemen nyeri post operatif, ventilasi, dan perawatan intensif yang memadai. Jika halhal ini telah terpenuhi, tentu intubasi akah berjalan dengan lancar dan dengan komplikasi yang minimal. Persiapan-persiapan yang harus dilakukan tersebut meliputi 19:
Persiapan kamar operasi
Rencana untuk mendapatkan sikap kooperatif dari pasien
Penggunaan klinik dari agen-agen induksi
Obat adjuvant untuk induksi anestesi
Monitoring pasien
Rencana-rencana tambahan dalam menghadapi berbagai macam situasi klinik yang tak terduga.
2. Persiapan Kamar Operasi
Persiapan kamar operasi merupakan hal yang esensial dan tergantung pada ukuran tubuh dan status fisik pasien, metode induksi, dan rencana airway manajemen. Mesin anestesi harus diperiksa terlebih dahulu dan ventilator diatur sesuai tubuh pasien, ukuran face mask yang sesuai, dan juga oral airway. Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan baik, dan ukuran blade yang sesuai harus dipersiapkan. Obat obatan, trachea tube, stylet yang sesuai juga merupakan hal yang esensial dalam persiapan. Peralatan untuk resusitasi, obat-obat emergensi juga harus dipersiapkan. Karena permukaan tubuh anak lebih besar daripada dewasa, yang cenderung untuk terjadinya hipotermi, suhu di ruangan operasi tentu harus disesuaikan juga, dan alat pemanas dapat disediakan untuk dapat menjaga suhu pasien. 3. Keberadaan Orang Tua Pasien
Salah satu tujuan dari anestesi pediatri adalah menyediakan tahap pre-operatif sebaik dan semulus mungkin. Keberadaan orang tua di sisi pasien, merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kecemasan pada pasien, selain dengan menggunakan obat-obatan. Anak yang berusia lebih dari 4 tahun dengan orang tua yang memiliki tingkat kecemasan lebih rendah mendapatkan keuntungan untuk mengurangi kecemasan pada sang pasien sendiri. Namun jika orang tua pasien memiliki kecemasan yang berlebih tentu hal ini tak akan membantu, atau bahkan menjadi lebih sulit. Jika pasien telah tersedatif, keberadaan orang tua tak lagi diperlukan, dimana hal ini tidak akan berpengaruh terhadap kecemasan pasien. Keberadaan orang tua saat induksi sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut, instruksi yang diberikan, pasien dan sang ahli anestesi sendiri.
4. Penggunaan klinik dari agen-agen induksi
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang membantu. Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang sekecil mungkin. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau secara intravena. A. Induksi Inhalasi Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada yang takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N20 dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan mulamula rendah 1 vol % kemudian dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur. Sungkup muka mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah tidur baru dirapatkan ke muka penderita. B. Induksi intravena. Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada mereka yang sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya
dengan tiopenton (pentotal) 2~4 mg/kg pada neonatus dan 4-7 mg/kg pada anak. Induksi dapat juga dengan ketamin (ketalar) 12mg/kg.LV. Kadang-kadang ketalar diberikan secara intra muskular.17 Banyak ahli anestesi pediatri, yang terampil dalam menangani vena yang kecil, lebih suka induksi intravena (tiopenton 3-5 mg/kg). Yang lain lebih suka menggunakan induksi inhalasi disertai dengan campuran kaya oksigen disertai atau tan pa nitrogen oksida. Entluran efektif tetapi kurang kuat dan harus menggunakan kadar yang lebih tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih sering dipakai dibeberapa tempat, tetapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga seringkali tidak disediakan. Banyak ahli anestesi pediatri, yang terampil dalam menangani vena yang kecil, lebih suka induksi intra vena (tiopenton 3-5 mg/kg). Yang lain lebih suka menggunakan induksi inhalasi disertai dengan campuran kaya oksigen disertai atau tanpa nitrogen oksida. Entluran efektif tetapi kurang kuat dan harus menggunakan kadar yang lebih tinggi. Siklopropan 50% dalam oksigen masih sering dipakai dibeberapa tempat, tetapi dapat menimbulkan ledakan, sehingga seringkali tidak disedia kan.17 5. Intubasi.
Anestesi sebelum intubasi tidak penting bagi anak-anak dengan berat badan kurang dari 5 kg dan dapat berbahaya. Risiko stridor meningkat karena pembengkakan mukosa pada saluran pernapasan kecil akibat ititasi laring oleh pipa, peralatan atau uap. Pipa tak bertutup yang cukup kecil untuk pengeluaran gas dapat dipakai. Suatu bungkus tenggorokan akan menghentikan cairan melalui pipa yang masuk ke paru-paru. Bayi kecil yang berat badannya kurang dari 5 kg tidak dapat mempertahankan pemapasan spontan dengan pipa trakea yang sempit, sehingga hams diberikan ventilasi. Para ahli anestesi harus memutuskan antara penggunaan masker anestesi dan intubasi. Penggunaan intubasi dapat dicapai dengan
atau tanpa bantuan relaksan otot. Pada anak yang kecil, atau jika terdapat
kelainan
saluran
pemapasan,
paling
aman
untuk
memperdalam anestesi sampai pipa dapat disisipkan sementara pernapasan spontan berlangsung. Jika terdapat keraguan tentang kemampuan saluran pernapasan untuk dilalui pipa, seorang ahli anestesi dapat memberikan ventilasi pada paru menggunakan kantong, dan masker sebelum membuat penderita menjadi lumpuh dengan relaksan otot. Laringoskopi pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal kepala. Kepala bayi terutama neonatus oksiputnya menonjol. Dengan adanya perbedaan anatomis padajalan nafas bagian atas, lebih mudah menggunakan laringoskop dengan bilah lurus pada bayi. Blade laringkoskop yang lebib kecil digunakan untuk anak, jenisnya tergantung pada pilihan ahli anestesi dan adanya gangguan saluran pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip bahwa pipa yang dapat dibengkokkan tidak digunakan di bawah nomor 7, dan dua nomor lebih rendah harus disiapkan bila diperlukan. Daerah aliran udara paling sempit pada anak kecil adalah di bawah pita suara. Intubasi dalam keadaan sadar dikerjakan pada keadaan gawat atau diperkirakan akan menjumpai kesulitan. Hati-hati terhadap hipertensi dan meningginya tekanan intrakranial yang mungkin dapat menyebabkan perdarahan dalam otak akibat laringoskopi dan intubasi. Lebih digemari intubasi sesudah tidur dengan atau tanpa pelumpuh otot. Kalau tidak menggunakan pelumpuh otot, bayi atau anak ditidurkan sampai dalam lalu diberikan analgesia topikal kemudian intubasi dikerjakan. Dengan pelumpuh otot digunakan suksinil-kolin dosis 2 mg/kgBB secara intravena setelah bayi/anak tidur. Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa cuff. Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada
kasus-kasus laparotomi atau jika ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea .sama dengan besarnya jari kelingking atau besarnya lubang hidung. Bayi prematur menggunakan pipa bergaris tengah 2.0-3.0 mm, bayi cukup bulan 2.5-3.0 mm. Sampai 6 bulan 4.0 mm dan sam pail tahun 4.5 mm. Untuk usia diatas 1 tahun digunakan minus sebagai berikut: Garis tengah bagian dalam pipa trakea ialah : umur dalam tahun /4+ 4. 5 mm. Pilihlah pipa trakea yang paling besar yang dapat masuk dengan sedikit longgar dan pada tekanan inspirasi 20-25 em H20 terjadi sedikit kebocoran. Dianjurkan menggunakan pipa mulut faring untuk fiksasi pipa trakea supaya tidak terlipat. Intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi. Peralatan dengan ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-Jackson Rees harus digunakan. Neonatus harus dijaga agar tetap hangat, karena daerah permukaan kulit yang luas dibandingkan massa tubuhnya, perkembangan system pengaturan suhu yang belum berkembang dan lemaknya masih merupakan penyekat tubuh yang buruk. Suhu ruang bedah sekurang-kurangnya 22°C (75°F), selimut, dan kasur hangat digunakan. 2.7.8 Tahap Intra Bedah
A. Pemeliharaan anestesia. Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas kendali. Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pacta bayi hanya untuk tindakan ringan yang tidak lama. Gas anestetika yang umum digunakan adalah N20 dic;ampur dengan 02 perbandingan (0-65%) dan (35-100%). Walapun N20 mempunyai sifat analgesia kuat, tetapi sifat anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering dicampur dengan halotan, enfluran atau isofluran. Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun atau pacta berat diatas 10 kg .Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg
atau per dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi sangat sensitif, karena itu haus diencerkan dan diberikan secara sedikit demi sedikit. 1. Infus
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan banyaknya cairan yang hilang. Untuk bedah kecil, ringan sebentar dengan perdarahan yang sangat minimal tidak diperlukan terapi cairan. Apalagi segera setelah pembedahan diperbolehkan mmum. Walaupun demikian diperlukan jalur vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan pasca waktu anestesia atau kalau diperlukan infus segera dapat diberikan. Biasanya dipasang semprit berisi NaCI fisiologis dengan jarum sayap. Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan yang hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan (translokasi), adanya perdarahan dan oleh sebab-sebab lain misalnya adanya cairan lambung, cairan fistula dan lain-lainnya. Besamya cairan yang hilang akibat trauma bedah/anestesia yang harus diganti menurut Lockhart Cairan yang seharusnya masuk, karena puasa harus diganti. Misalnya puasa 6 jam harus diganti 25% dari kebutuhan dasar 2-4 jam. Cara menggantinya sebagai berikut:
Pada jam I diberikan 50% nya
Pada jam II diberikan 25% nya
Pada jam III diberikan 25% nya
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti dengan cairan kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5% dalam Ringer-Laktat. 2. Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan:
Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum dan sesudah kena darah dengan bantuan
kolorimeter. Jumlahkan keduanya kemudian tambahkan 25% untuk darah yang sulit dihitung misalnya yang menempel di tangan pembedah, yang melengket di kain penutup dan lain-lain.
Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada neonatus harus diganti dengan darah.
2.7.9 Tahap Pasca Bedah A. Pengakhiran anestesia.
Setelah
pembedahan
selesai,
obat
anestetika
dihentikan
pemberiannya. Berikan zat asam murni 5-15 menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut dari lendir kalau perlu. Kalau menggunakan pelumpuh otot, netralkan dengan prostigmin (0,04 mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg). Depresi nafas oleh narkotikaanalgetika netralkan dengan naloksin 0,2-0,4mg secara titrasi. Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar, anggota badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat.
Ekstubasi
dalam
keadaan
anestesia
ringan,
akan
menyebab kan batuk-batuk, spasme laring atau bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam digemari karena kurang traumatis. Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan umumnya baik dan diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan pasca intubasi B. Perawatan di Ruang Pulih.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room) atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dan lain-lain.
Pemeriksaan
tekanan
darah,
frekuensi
nadi,
dan
frekuensi
pernapasan dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Pulse
oximetry
dimonitor
hingga
pasien
sadar
kembali.
Pemeriksaan suhu juga dilakukan. Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum harus mendapat oksigen 30-40% selama pemulihan karena dapat terjadi hipoksemia sementara. Pasien yang memiliki risiko tinggi hipoksia adalah pasien yang mempunyai kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi di daerah abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis atau dengan riwayat retensi CO 2 sebelumnya. Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian intruksi pascaoperasi. Seluruh tindakan anestesi dicatat dalam lembaran khusus berisi tindakan yang dilakukan, obat yang diberikan, status fisis pasien sebelum, selama, dan setelah anestesi dilakukan sesuai urutan waktu. C. Komplikasi
Semua pasien, terutama yang di intubasi, lebih memiliki resiko untuk mengalami komplikasi pada anestesi pediatri. Mual dan munatah adalah hal yang paling sering terjadi, teruta ma pada pasien berumur 2 tahun ke atas. Terjadi karena pipa ETT dipasang terlalu erat, sehingga mukosa trachea menjadi bengkak. Laringospasme adalah salah satu komplikasi yang mungkin terjadi. Biasanya terjadi pada anestesi stadium II. Jika terjadi, suksinilkolin dapat digunakan, bersama dengan atropine untuk mencegah brakikardi. 2.2
Ranula4
A. Definisi
Ranula adalah bentuk kista akibat obstruksi glandula saliva mayor yang terdapat pada dasar mulut. Dan akan berakibat pembengkakan di bawah lidah yang berwarna kebiru-biruan (drg. Sugito, MH). Ranula merupakan
fenomena
retensi
duktus
pada
glandula
sublingualis (yang kadang-kadang menunjukkan adanya lapisan epitel), dengan gambaran khas pada dasar mulut. Mukosa di atasnya terlihat tipis, meregang dan hampir transparan. Pembesaran yang disebabkan oleh cairan ini kadang menyebabkan terangkatnya lidah khususnya pada anak-anak (Gordon W. Pedersen). Ranula berasal dari kata latin : Rana, yang berarti katak. Dinamakan ranula, karena ranula tersebut menonjol mirip perut katak. Bila kista tersebut menjadi sangat besar pada dasar mulut, suara penderita dapat menjadi “croacking” seperti suara katak (Aswin Rahardja). Istilah ranula digunakan untuk menggambarkan mucocele yang timbul pada dasar mulut. Biasanya unilateral dan menyebabkan pembengkakan biru translusens yang mirip dengan perut katak (Mervyn Shear).
B. Klasifikasi Ranula
Ranula diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu : 1. Ranula superficial atau simple ranula Merupakan kista retensi yang sesungguhnya. Besarnya terbatas pada dataran oral musculus mylohyoideus (Aswin Rahardja). Tampak sebagai suatu pembengkakan lunak, dapat ditekan, timbul dari dasar mulut. Kista ini dindingnya dilapisi epitel dan terjadi karena obstruksi ductus glandula saliva (Robert P. Langlais & Craig S. Miller).
Gambar Simple Ranula
2. Ranula dissecting atau plunging ranula atau ranula profunda Merupakan pseudokista, terjadinya karena ekstravasasi (kebocoran) saliva pada jaringan, pada sepanjang otot dan lapisan fasia dasar mulut dan leher. Ekstravasasi (kebocoran) tersebut disebabkan karena trauma yang kecil, dimana tidak pernah diingat oleh penderita (Aswin Rahardja). Kista ini menerobos di bawah musculus mylohyoideus dan menimbulkan pembengkakan submental . Kista jenis ini dindingnya tidak dilapisi epitel (Robert P. Langlais & Craig S. Miller).
Gambar Plunging ranula
C. Etiologi dan Patofisiologi Ranula
Ranula telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Banyak teori yang diajukan untuk mengetahui asalnya. Hippocrates dan Celcius mengatakan bahwa kista berasal dari proses inflamasi yang sederhana. Pare mensugestikan
berasal dari glandula pituitary yang menurun dari otak ke lidah. Ada juga yang mensugestikan bahwa kista tersebut berasal dari degenerasi myxomatous glandula saliva. Teori yang terakhir mengatakan bahwa kista terjadi karena Obstruksi ductus saliva dengan pembentukan kista atau
ekstravasasi
(kebocoran) saliva pada jaringan yang disebabkan karena trauma. Obstruksi ductus tersebut dapat disebabkan karena
calculus atau infeksi (Aswin
Rahardja). Pada tahun 1973 Roediger dan rekannya dapat membuktikan bahwa terjadinya ranula oleh adanya penyumbatan ductus glandula saliva sehingga terjadi penekanan sepanjang dinding saluran. Bila ada daerah yang lemah akan pecah dan terjadi lagunar (bulatan-bulatan kecil), yang merupakan retensi saliva yang lambat laun menjadi kista ekstravasasi (kebocoran) pada ductus glandula sublingualis atau submandibularis, yang kadang-kadang dapat ramifikasi (percabangan) secara difus ke leher (Mervyn shear). Menurut Robert P. Langlais & Craig S. Miller, Ranula terbentuk sebagai akibat terhalangnya ductus saliva yang normal melalui
ductus
ekskretorius mayor yang membesar atau terputus dari glandula sublingualis (ductus Bartholin) atau glandula submandibularis (ductus Wharton), sehingga melalui rupture ini saliva keluar menempati jarigan disekitar ductus tersebut. Walau terjadinya ranula yang ditulis dalam literature hingga saat ini masih simpang siur, namun diperkirakan karena : 1. Adanya penyumbatan sebagian atau total sehingga terjadi retensi saliva sublingualis atau submandibularis 2. Karena suatu trauma 3. Adanya peradangan atau myxomatous degenerasi ductus glandula sublingualis (drg. Iskandar Atmadja).
D. Gambaran Klinis Ranula
Tanda dan Gambaran Klinis ranula adalah sebagai berikut :
Adanya benjolan simple pada dasar mulut, mendorong lidah ke atas.
Gambar Ranula besar yang mengangkat lidah
Umumnya unilateral , jarang bilateral .
Benjolan berdinding tipis transparan, berwarna biru kemerah-merahan.
Benjolan tumbuh lambat, gambaran seperti perut katak.
Gambar Ranula seperti mata katak
Pembengkakan selain intra oral d apat juga extra oral .
Tidak ada rasa sakit kecuali meradang atau infeksi.
Bila benjolan membesar dapat mengganggu bicara, makan maupun menelan.
Benjolan oleh karena suatu sebab dapat pecah sendiri, cairan keluar, mengempes kemudian timbul atau kambuh kembali.
Pada simple ranula benjolan terletak superficial sedangkan plunging ranula benjolan terletak lebih dalam, bisa menyebar ke dasar otot mylohyoid , daerah submandibular , ke leher bahkan ke mediastinum (drg. Iskandar Atmadja).
E. Diagnosis Ranula
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis ranula: 1. Melakukan anamnesa lengkap dan cermat
Secara visual
Bimanual palpasi intra dan extra oral
Punksi dan aspirasi
2. Melakukan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologis dengan kontras media, tanpa kontras media tidak berguna
Pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan biopsi (drg. Iskandar Atmadja)
Simple Ranula gambaran kliniknya relatif lebih khas sehingga diagnosa mudah ditegakkan. Tampak sebagai suatu tonjolan berdinding tipis, licin, kebiruan dan transparan. Pada palpasi terasa lunak dan fluktuasi. Kista ini terletak dibawah lidah, pada bagian depan mulut (Aswin Rahardja). Plunging ranula lebih sulit menegakkan diagnosanya, karena gambarannya mirip dengan banyak struktur kistik atau pembengkakan glandula yang lain pada leher. Tidak ada tes
diagnostik khusus untuk
membedakan lesi-lesi tersebut. Maka diagnosa plunging ranula hanya tergantung pada adanya hubungan anatomi kista dengan glandula saliva dan gambaran histopatologis dinding kista sesudah eksisi (Quick & Lowell, 1977). Gambaran histopatologis simple ranula yaitu dinding kista dilapisi epitel, sedangkan plunging ranula dinding kista tanpa dilapisi epitel (Aswin Rahardja).
F. Differential D iagnosis Ranula
1. Differential Diagnosis Ranula superficial atau simple ranula a. Batu kelenjar liur (Sialolith) Pembentukan batu terjadi karena pengerasan kompleks kalsium di dalam glandula saliva yang dapat menyumbat
ductus saliva
sehingga menyebabkan pembengkakan di dasar mulut. Penyumbatan aliran saliva oleh batu akan mengakibatkan pembengkakan dasar mulut yang keras, nyeri dan sakit (Robert P. Langlais & Craig S. Miller). Gejala klinis yang khas adalah rasa sakit yang hebat pada saat makan, menelan dan disertai adanya pembengkakan glandula saliva dan sangat peka jika di palpasi. (Dona Sari Nasution).
Gambar Sialolith
b. Kista Dermoid Terjadi akibat pembengkakan jaringan lunak yang berasal dari degenerasi kistik dari epitel yang terjebak selama perkembangan embrionik . Kista dermoid dapat dijumpai di mana saja di kulit, tetapi mempuyai kecenderungan timbul di dasar mulut. Secara klasik tampak seperti kubah, tidak sakit, muncul di dasar mulut. Mukosa di atasnya merah muda, lidah sedikit terangkat dan palpasi memberi konsistensi seperti adonan. Pasien mengeluh sukar makan dan bicara (Robert P. Langlais & Craig S. Miller).
Gambar Kista dermoid
c. Hemangioma Hemangioma adalah tumor jinak vaskuler yang sering terjadi pada
rongga
mulut.
Etiologinya
diduga
berhubungan
dengan
abnormalitas proliferasi dari sel-sel endotelium (Steven Brett Sloan). Gambaran Hemangioma menyerupai
kista
ranula yang
menunjukkan adanya pembuluh darah (Gordon W. Pedersen).
Gambar Hemangioma
2. Differential Diagnosis Ranula dissecting atau plunging ranula atau ranula profunda a. Laryngocele Laryngocele adalah penonjolan selaput lendir laring (kotak suara). Terjadi karena tekanan intralaringeal meningkat. Laryngocele yang menonjol ke arah luar ( Laryngocele eksterna) menyebabkan benjolan di leher. Penderita juga bisa mengalami disfagia (gangguan menelan), batuk atau merasakan adanya sesuatu di tenggorokannya. Pada CT scan, Laryngocele tampak licin dan berbentuk seperti telur. (Raden Fahmi).
Gambar Laryngocele
b. Sialadenitis Terjadi karena peradangan dari glandula saliva dengan gambaran klinis :
Malnutrition
Mulut terasa kering
Rasa sakit pada mulut atau wajah, terutama ketika makan
Kulit kemerahan di samping wajah atau leher
Pembengkakan pada wajah terutama di depan telinga, di bawah rahang, atau di bawah lidah. (damayanti,dkk)
Gambar Sialadenitis
c. Abses leher Abses leher merupakan kumpulan nanah dari infeksi di ruang antara struktur leher. Terjadi karena infeksi bakteri atau virus dikepala atau leher. Gejala yang ditimbulkan yaitu : a. Demam b. Merah, bengkak tenggorokan, sakit, kadang-kadang hanya satu sisi. c. Tonjolan di bagian belakang tenggorokan
d. Nyeri leher e. Sakit telinga f.
Tubuh sakit
g. Panas dingin h. Kesulitan menelan, berbicara atau bernapas (Anonim, http://www.chp.edu)
Gambar Abses leher
d. Kista Kelenjar Paratiroid atau Tiroid Kista ini berisi cairan bening atau darah dan biasanya bermanifestasi sebagai massa leher tanpa gejala. Epitel kista ini berbentuk kubus atau kolumnar (Sachin Wani & Ziyun Hao).
Gambar Kista Tiroid
H. Penatalaksanaan Ranula
Dalam kasus ranula, ahli bedah mulut dapat merekomendasikan marsupialisasi atau eksisi, dimana ranula di incisi untuk membuat outlet pada kista retensi kelenjar liur sehingga cairan dapat dikeluarkan (S. E. Smith). Berikut
ini
penjelasan
tentang
prosedur
marsupialisasi serta
komplikasi yang ditimbulkan. 1. Tehnik Operasi : a. Menjelang operasi
Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan operasi yang akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan tandatangan persetujuan dan permohonan dari penderita untuk dilakukan operasi. ( Informed consent ).
Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi.
Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.
Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau Clindamycin kombinasi dengan Garamycin, dosis menyesuaikan untuk profilaksis.
b. Tahapan operasi
Dilakukan dalam kamar operasi, penderita dalam narkose umum dengan intubasi nasotrakheal kontralateral dari lesi, atau kalau kesulitan bisa orotrakeal yang diletakkan pada sudut mulut serta fiksasi-nya kesisi kontralateral , sehingga lapangan operasi bisa bebas.
Posisi penderita telentang sedikit “head-up” (20-25 0 ) dan kepala menoleh kearah kontralateral, ekstensi (perubahan posisi
kepala
setelah didesinfeksi).
Desinfeksi intraoral dengan Hibicet setelah dipasang tampon steril di orofaring.
Desinfeksi 70% 1:1000
lapangan
operasi
luar
dengan
Hibitane-alkohol
Mulut dibuka dengan menggunakan spreader (alat pembuka) mulut, untuk memudahkan mengeluarkan lidah maka bisa dipasang teugel (alat penyangga) untuk pada lidah dengan benang sutera 0/1.
Lakukan eksisi bentuk elips pada mukosa dasar mulut dan pilih yang
paling sedikit vaskularisasi-nya, kemudian rawat perdarahan
yang terjadi, lakukan sondase atau palpasi, sebab kadang ada sialolithiasis, atau sebab lain sehingga menimbulkan sumbatan pada saluran kelenjar liur sublingual . Tepi eksisi dijahit dengan Dexon 0/3 agar tidak menutup lagi.
Apabila masih teraba kista maka bisa dilakukan memecahkan septa yang ada sehingga isinya bisa ter-drainase. Pada kista yang cukup besar setelah dievaluasi tidak ada kista lagi maka bisa dipasang tampon pita sampai keujungnya dipertahankan sampai 5 hari sebagai tuntunan epitelialisasi pada permukaan kista tadi dan tidak obliterasi lagi.
Apabila didapat sebagian ranula dibawah musculus mylohyoid , maka memerlukan pendekatan yang lebih bagus dari ekstra oral . Dan yang perlu diperhatikan adalah nervus hipoglossus, nervus lingualis. Evaluasi ulang untuk perdarahan yang terjadi.
Lapangan operasi dicuci dengan kasa- PZ steril, luka operasi yang diluar ditutup dengan kasa steril dan di hipafiks (perekat).
Tampon orofaring diambil, sebelum ekstubasi. (Anonim, http://bedahunmuh.wordpress.com)
2. Komplikasi operasi yang dapat terjadi, yaitu : a. Perdarahan b. Kerusakan nervus hipoglosus atau nervus lingualis c. Infeksi d. Fistel orokutan pada operasi yang pendekatannya intra dan extra oral e. Residif
Residif ketika kelenjar saliva yang terlibat tidak terpotong mecapai 50%. Angka ini menurun jika kelenjar saliva tersebut dipotong. (Ryan L Van De Graaff; Anonim, http://bedahunmuh.wordpress.com) Pada pasien langka yang tidak dapat mentoleransi pembedahan, terapi radiasi adalah terapi alternatif. (Ryan L Van De Graaff).
2.2 Co. Morbid 9
Co. morbid pada kasus ini adalah pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar hemoglobin adalah 11,2 g/dL. Dari hasil pemeriksaan darah tersebut menunjukkan bahwa pasien mengalami anemia ringan. Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut okesigen ke jaringan. Penyebab anemia pada dewasa terbagi menjadi dua, yakni :
1. Kehilangan sel darah merah a.
Perdarahan Perdarahan dapat diakibatkan berbagai penyebab
diantaranya
adalah trauma, ulkus, keganasan, hemoroid, perdarahan pervaginam, dan lain-lain. b.
Hemolisis yang berlebihan Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal sebagai
hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel darah merah itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah (kelainan ekstrinsik). Sel darah merah mengalami kelainan pada keadaan :
-
Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan,
contohnya adalah pada penderita penyakit sel sabit (sickle cell anemia) -
Gangguan sintesis globin, contohnya pada penderita thalasemia
-
Kelainan membrane sel darah merah, contohnya pada sferositosis
herediter dan eliptositosis -
Difisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase
(G6PD) dan defisiensi piruvat kinase 2. Kekurangan zat gizi seperti Fe, asam folat, dan vitamin B12 Kriteria anemia menurut WHO adalah : 1. Laki-laki dewasa
: Hb < 13 g/dl
2. Wanita dewasa tidak hamil
: Hb < 12 g/dl
3. Wanita hamil
: Hb < 11 g/dl
4. Anak umur 6-14 tahun
: Hb < 12 g/dl
5. Anak umur 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 g/dl Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah : 1. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-batas normal 2. Ringan
: Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
3. Sedang
: Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
4. Berat
: Hb < 6 g/dl
Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin akan berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan, jantung harus memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi, murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan anemia.Peran anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup untuk
memenuhi
kebutuhan
metabolisme,
selama
prosedur
bedah
berlangsung. Oksigenasi
jaringan
yang
adekuat
tidak
tergantung
pada
kadar
haemoglobin normal saja. Perdarahan intraoperative utamanya digantikan dengan cairan bebas eritrosit seperti cairan kristaloid atau koloid (Ringer Laktat,
Dextran,
Hydroxyethyl
Starch,
gelatine).
Selama
keadaan
normovolemia tercapai, keadaan anemia dilusi dan penurunan kadar oksigen arterial (CaO2) akan terkompensasi tanpa timbulnya risiko hipoksia jaringan, melalui peningkatan cardiac output. Pada keadaan hemodilusi yang ekstrim (ketika sudah melewati DO2 crit), jumlah oksigen yang sudah dihantarkan ke jaringan menjadi tidak sesuai dengan permintaan oksigen dari jaringan, sebagai konsekuensinya, VO2 mulai turun. Penurunan VO2 harus diinterpretasikan sebagai tanda indirek dari manifestasi hipoksia jaringan. Tanpa penanganan, keadaan DO2 crit akan menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari 3 jam. Apabila
didapatkan
perdarahan
masif,
dapat
dilakukan
transfusi
perioperatif. Transfusi sel darah merah perioperatif jarang diindikasikan pada pasien dengan Hb > 10 g/dl, namun hampir selalu diindikasikan pada pasien dengan Hb < 6 g/dl.Pada pasien dengan risiko kardiovaskular, konsentrasi Hb perioperatif harus dijaga antara 8 – 10 g/dl. Setiap keputusan transfusi harus berdasarkan: 1. Konsentrasi Hb aktual 2. Adanya komorbiditas penyakit kardiopulmonar 3. Penampakan keadaan anemia secara fisik 4. Dinamika perdarahan
Penanganan preoperatif yang perlu diperhatikan pada pasien dengan anemia adalah : 1. Dari anamnesis perlu digali adanya riwayat perdarahan atau penyakit yang menyebabkan anemia atau yang dapat memperburuk keadaan saat operasi. 2. Penyakit yang akan di operasi apakah berkaitan dengan anemia atau dapat memperburuk anemia sehingga perlu dipersiapkan transfusi darah pre atau post operasi. 3. Keadaan klinis pasien. 4. Kadar Hb pasien.
5. Adanya perdarahan Monitoring perioperatif yang perlu diperhatikan pada pasien anemia: 1. Monitoring kardiovaskular 2. Monitoring respirasi 3. Monitoring blokade neuromuskuler dan sistem saraf Stimulasi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah cukup baik saat operasi, dan apakah tonus otot kembali normal setelah selesai anestesia. 4. Monitoring suhu Monitoring suhu penting dilakukan untuk operasi lama atau pada bayi dan anak kecil. 5. Monitoring ginjal Produksi urine normal minimal 0,5 – 1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distensi vesica urinaria.
BAB III LAPORAN KASUS 1.1
3.2
Identitas Pasien Nama
:
An. Enggeneta Danyau
Umur
:
3 Tahun
Alamat
:
sarmi/Kotaraja dalam
BB
:
10 Kg
TB
:
85 cm
Jenis Kelamin
:
Perempuan
Agama
:
Kristen Protestan
Pekerjaan
:
-
Suku Bangsa
:
Sarmi
Ruangan
:
UGD Transit
Tanggal masuk rumah Sakit
:
07 November 2017
Tanggal operasi
:
09 November 2017
Nomor Rekam Medik
:
43 33 81
Anamnesa Keluhan Utama :
Benjolan didasar mulut Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien diantar oleh kedua orang tuanya ke Poli Gigi & Mulut di RSUD Dok 2 dengan keluhan terdapat benjolan didasar mulut kanan dan kiri sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan tampak mendorong lidah pasien keatas, tidak mudah berdarah dan nyeri termasuk saat pasien makan dan minum. Demam (-), bengkak pada leher (-). Awalnya muncul berupa benjolan kecil didasar mulut sebelah kanan, benjolan nampak bening dan berisi air, yang lama
kelamaan semakin membesar hingga memenuhi dasar mulut kanan dan kiri, disertai leher yang bengkak. Bengkak pada leher sejak 1 hari sejak dilakukan penedotan cairan pada benjolan dibulan oktober. Keluar cairan berwarna kuning tua, kental dan lengket. Saat ini tampak lehr pasien sudah tidak bengkak namun benjolan didasar mulut masih ada. 1. Riwayat Penyakit Dahulu
-
Riwayat hipertensi
: Disangkal
-
Riwayat diabetes melitus
: Disangkal
-
Riwayat Penyakit kardiovaskular
: Disangkal
-
Riwayat Penyakit Pernapasan
: Disangkal
(Asma, TBC) -
Riwayat operasi sebelumnya
: Disangkal
-
Riwayat Anestesi
: Disangkal
2. Riwayat Penyakit Keluarga - Riwayat diabetes mellitus
: Disangkal
- Riwayat asma
: Disangkal
- Riwayat jantung
: Disangkal
- Riwyata hipertensi
: Disangkal
3. Riwayat Alergi
3.3
- Riwayat alergi makanan
: Disangkal
- Riwayat alergi minuman
: Disangkal
- Riwayat alergi obat
: Disangkal
Pemeriksaan Fisik Tanda Vital :
Keadaan Umum
: Tampak Sakit Ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda-tanda vital
Nadi
: 86 x/m
Respirasi
: 24 x/m
: 37,0 0C
Suhu badan
Status Generalis a. Kepala -
Mata
: Conjungtiva Anemis (-/-) ; Sklera Ikterik (-/-) Sekret (-/-), pupil isokor 3 mm dextra = sinistra
-
Mulut
b. Leher
: Oral Candidiasis (-) ; Malampati kelas I : Pembesaran
KGB
(-/-),
peningkatan
vena
jugularis (-)
c. Toraks - Paru
Inspeksi
:
Datar, simetris, ikut gerak napas, Retraksi interkostalis (-)
Palpasi
: Vocal fremitus (Dextra = Sinistra) ;
Perkusi
:
Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
:
Suara napas Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-) ; Wheezing (-/-)
- J antung Inspeksi
: Iktus Cordis tidak terlihat
Palpasi
:
Iktus Cordis tidak teraba
Perkusi
: Pekak Batas jantung kanan di SIC 4 linea parasternalis dextra Batas jantung kiri di SIC 5 linea midclavicula sinistra Pinggang jantung di SIC 2 linea parasternalis sinistra
Auskultasi
:
BJ I=II reguler, murmur (-), S3 gallop (-)
- Abdomen Inspeksi
:
Datar, Jejas (-)
Palpasi
:
Supel, Nyeri tekan regio abdomen (-) Hepar/Lien : (tidak teraba membesar)
Perkusi
:
Tympani
Auskultasi
:
Bising usus (+)
- Ekstremitas :
Akral hangat, capillary refill time <3 detik Edema : (-)
Status Lokalis :
Ekstra Oral
: Bibir kering (-), leher bengkak (-)
Intra Oral
: tampak massa ukuran diameter 3 cm, didasar mulut kanan dan kiri, warna kebiruan, permukaan licin, konsistensi lunak, nyeri (-), tampak massa mendorong lidah keatas.
1) Status Anestesi Pre Operasi B1
B2
Airway : bebas, leher bergerak bebas, malampati score: I Breathing: thorax simetris, ikut gerak napas, RR:24 x/m, palpasi: Vocal Fremitus D=S, perkusi: sonor, suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing /-, Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time < 3 detik, BJ: I-II murni regular, murmur (-) gallop (-) Nadi : 86 x/m
B3
Kesadaran Compos Mentis, GCS: (E 4V5M6), riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-), Pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+
B4
Tidak terpasang, produksi urin (+)warna kuning jernih. Ureum: - , Kreatinin: Status Lokalis :
B5
Simetris, Supel, Cembung, Bu (+); Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Besar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT: - ; AST: - ; BAB : (+) lancar, konsistensi padat GDS : -
B6
Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-), deformitas (-)
Diagnosa Kerja
Plungging Ranula Planning
Cek Lab (Hb, Leukosit, Trombosit, apTT-PTT, Ur-Cre, SGOT-SGPT, GDS, HbsAg) Rontgen Thorax PA CT-Scan mandibula Konsul bagian Anak dan Anestesi PRO Eksisi dengan GA 3.4
Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium tanggal 17 Oktober 2017 Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Hb
9,9 g/d
RBC
5,18x106/uL
3,69 – 5,46 x 10 6/uL
HCT
31,9 %
35,0 – 5 0,0%
MCV
61,6 fl
80,0 – 9 7,0 fl
MCH
19,1 pg
26,5 – 3 3,5 pg
MCHC
31,0 g/dL
31,5 – 3 5,0g/dL
WBC
14,63x103/uL
3,5 – 1 0,0X10 3/uL
PLT
355x103/uL
150 – 5 00x10 3/uL
PTT
10,9”
11,8”
aPTT
30,6”
27,6”
Golongan darah
O
L : 12,3 – 16,6 g/dl P : 11,0 – 1 4,7g/dl
Prognosis
a. Quo ad Vitam
:
Bonam
b. Quo ad Fungtionam
:
Bonam
c. Quo ad Sanationam
:
Bonam
Konsultasi Terkait Jawaban Konsul dr. Diah Widyanti, Sp.An.KIC (01 November 2017)
Infomed consent
Puasa mulai dari jam 24.00 WIT Jam 06.00 : Pasang infus D5 ½ NS 13 tpm makro Pemberian antibiotik ceftriaxone 100mg (iv)
3.6
PENENTUAN PS ASA
Phisican Status American Society of Anesthesiology 2 yaitu seorang pasien dengan penyakit ringan sampai sedang atau dalam kondisi spesial pada pediatri. DAFTAR MASALAH Problem List
B1
Actual Airway: Bebas Breathing: napas dikontrol, thoraks simetris, perkusi: sonor, suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
B2
Perfusi hangat, kering, merah, Capilary Refill Time < 2 detik, BJ I-II murni, regular, konjungtiva anemis (-/-).
B3
Pasien tidak sadar dibawah pengaruh obat anestesi
Potensial
Hipoksia
Spasme laring
Hipovolemik, Overload, Bradikardia, hipotensi, perdarahan
Hipoksia
Hiperkarbia
B4
Produksi urine dipantau melalui kateter atau pampers
Oliguria
B5
Abdomen datar, supel, peristaltik usus (+), hepar/lien tidak teraba, BAB (+), mual (), muntah (-).
Risiko refluks gastroesofageal
B6
Edema (-)
Planning
Penggunaan tampon, ETT, O2 nasal atau masker sesuai saturasi O2, chin lift, suction bila perlu. Resusitasi tepat, Monitoring vital sign, SA dan efedrin kalau perlu, penggunaan pehacain (efek vasokonstriksi epinefrin)
Pemberian O 2 nasal atau masker sesuai saturasi O2
Ventilasi
Rehidrasi, observasi produksi urin Pemberian Ranitidin dan Ondansentron Posisikan pasien dengan tepat
3.5 Durante Operasi A. Status Anestesi Informed consent, surat ijin operasi puasa 9 jam pre operasi pasang infus D5 ½ NS 13 tpm makro pemberian Antibiotik ceftriaxone 100 mg (iv) PS ASA : II Hari/Tanggal : Kamis,09-November-2017 Ahli Anestesiologi : dr. DW, Sp. An,KIC Ahli Bedah : drg. MP, Sp.BM Diagnosa Pra Bedah : Submandibular Plunging Ranula Diagnosa Pasca Bedah : Submandibular Plunging Ranula Keadaan Pra Bedah Keadaaan Umum Makan Terakhir BB TTV
B1
B2
B3 B4 B5 B6 Medikasi pra bedah Jenis Pembedahan Lama Operasi Jenis Anestesi Anestesi dengan
: Tampak Sakit Sedang : 9 jam yang lalu : 10 kg : N: 127 x/m; T : 36,7 0C : airway bebas, malampati score : I, retraksi (-), gerak dada simetris, suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, RR : 22 x/m : Perfusi : hangat, kering, merah. Capillary Refill Time < 3 detik, BJ : I-II regular, konjungtiva anemis -/-, nadi :127 x/m. : Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6 , refleks cahaya +/+, refleks kornea +/+ : Terpasang DC (-), produksi (+) kuning jernih : Perut datar, mual (-), muntah (-), bising usus (+), nyeri tekan (-) : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-) :: Eksisi : 10.04 – 1 2.54 WIT : General Anestesi : sevofluran + O2 + Recofol
Teknik Anestesi
Pernafasan Posisi Infus Penyulit Pembedahan TTV Pada Akhir Pembedahan Premedikasi
Medikasi
: pasien tidur terlentang, induksi i.v, ekstensi kepala, intubasi apnoe degan ett 4,5, mengembangkan cuff, fiksasi, anesthesia (+) : dengan Ventilator : terlentang : Tangan kiri, IV line abocath 24 G, Cairan D5 ½ NS :: N:125x/m; RR : 20x/m : - Sedakum : 25 mg - Ventanil : 25 mg - Recofol : 30 mg :
- Paracetamol 100 mg
- Recofol 30 mg
- dexametason 5 mg
- Recofol 20 mg
- Fentanil 25 mg
- Ondancentron 2 mg
- Recofol 40 mg
- Ranitidin 25 mg
- Recofol 30 mg
- Antrain 250 mg
- Recofol 30 mg Nama Pasien
: An. E.D
Umur
: 10 tahun
Nomor DM
: 43 33 81
Nama Ahli Bedah
: drg. MP,Sp.BM
Nama Asisten
: Zr. Bata
Nama Ahli Anastesi
: dr. D. S, Sp.An KIC
Nama Perawat Anastesi
: zr. Asti
Jenis Anastesi
: General Anestesi
Diagnosis Pre Operatif
: S. Plunging Ranula
Diagnosis Post Operatif
: Sesuai
Jaringan yang di Eksisi/Insisi
: Eksisi Plunging Ranula
: Kamis, 09 November 2017/2 jam 50 menit
Tanggal Operasi / Jam mulai
(10.04 – 1 2.54) Laporan Operasi:
1. SIO diisi 2. Skin test ceftriaxone (+) 3. Profilaksis antiobiotik dengan Ceftriaxone 200 mg (iv) 4. Antiseptik daerah intraoral, fasial, colli dengan betadin 5. Pasanng duk steril 6. Gambar desain insisi submandibula 0,5 cm dari margin submandibula dengan
metylen blue 7. Insisi kulit dengan pisau, luka dibuka lapis demi lapis sampai mencapai lesi
didataran muskulus myoloid 8. Membebaskan massa kistik dari jaringan sekitar, pada setengah ukuran lesi, lesi
pecah keluar cairan musin jernih kekuningan, kental dan lengket. 9. Kapsul lesi dikeluarkan 10. Perdarahan 20 cc, perservasi duktus submandibula dan arteri vena lingualis 11. Luka dicuci, jahit lapis demi lapis dengan benang vycril 4,0, kulit dengan Nylon 5,0 12. Dressing dengan tulle, luka ditutup dengan verban 13. Operasi selesai
B. Diagram Observasi
Nadi 140 120 100 80 60
Nadi
40 20 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 3 4 5 0 1 : : : : : : : 9 9 9 9 9 0 0 1 1
0 2 : 0 1
0 3 : 0 1
0 4 : 0 1
0 5 : 0 1
0 0 : 1 1
0 1 : 1 1
Gambar. Diagram Observasi Nadi
0 2 : 1 1
0 3 : 1 1
0 4 : 1 1
0 5 : 1 1
0 0 : 2 1
0 1 : 2 1
0 2 : 2 1
0 3 : 2 1
0 4 : 2 1
0 5 : 2 1
0 0 : 3 1
3.6 Pre-Operative
Cairan yang dibutuhkan
1.
Aktual
PRE OPERASI
PRE OPERASI
Maintenance = Holiday segar
Input : D5 ½ NS 300 cc
BB: 10 kg 10 x 100 = 1000
Output : Urine : -
1.000 cc / 24 jam = 41 cc / jam 2.
Replacement
Pengganti puasa 9 jam : 9 jam x kebutuhan cairan/jam= 9 x 74 cc = 369 cc 3.
Perdarahan = tidak ada DURANTE OPERASI
DURANTE OPERASI
Kebutuhan cairan selama operasi 3 jam 1. Maintenance
Input :
10 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 10 – 20 cc/jam
RL 400 cc
Untuk 3 jam = 3 x 10 – 2 0 cc/jam = 30 – 60 cc
Output :
Tidak terpasang DC,
2. Replacement
Suction : -
Perdarahan ± 20 cc EBV = 65 cc x BB = 65 cc x 10 kg = 650 cc EBL = 20 CC/650X100% = 3%, dapat diganti
Total Perdarahan = 20 cc
Kasa = 4 x 5cc
dengan cairan kristaloid 2 - 4 x jumlah perdarahan = 40 - 80 cc
= 20 cc
3. kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi sedang
= (2 cc x 10 kg x 3 j am) + (6 cc x 10 kg x 3 ja m) = 60 cc – 1 80 cc Total kebutuhan cairan durante operasi :
= (30 - 60 cc) + (40 - 80 cc) + (60 cc -180 cc) = 130 cc – 320 cc
POST OPERASI
POST OPERASI
Maintenance = holiday segar
BB 10 kg
Input :
10 x 100 = 1.000 cc
1.000 cc/24 jam = 41 cc/jam 3 tpm makro
RR RL 3 tpm makro
INSTRUKSI POST OPERASI
- IVFD D5 ½ NS 300 CC/ 24 jam - Inj. Ceftriaxone 100 mg/12 jam - Inj. Antrain 250 mg/ 8 jam (diencerkan) - Inj. Ranitidin 12,5 mg/12 jam - Bila pasien sudah sadar, minum sedikit-sedikit pukul 16.00 wit, bila tidak muntah makan pukul 17.00 wit - Monitor vital sign dan perdarahan PROGNOSIS
Vitam
:
dubia ad bonam
Functionam
:
dubia ad bonam
Sanationam
:
dubia ad bonam
FOLLOW UP POST OPERASI Jumat, 10 Noveber 2017 S : Nyeri di daerah bekas operasi O : Keadaan Umum = Tampak sakit sedang, Kesadaran = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm. Nadi = 88x/m Respirasi = 20 x/m Suhu Badan = 36,5 oC B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 20 x/ .
Planning - IVFD D5 ½ NS
300 CC/ 24 jam - Inj.
Ceftriaxone
100 mg/12 jam - Inj. Antrain 250 mg/
8
jam
(diencerkan) - Inj. Ranitidin 12,5
B2
:
Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time <3 detik, Nadi 88x/m, regular, kuat angkat, isi penuh. BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3
:
pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm,riwayat pingsan ( -), riwayat kejang (-).
B4
:
DC (-), B K (+) , w rna kuning jernih.
B5
:
Abdomen datar, distance, nyeri tekan (+), timpani, BU (+) meningkat
B6
:
Fraktur (-), edema (-), motorik aktif
A : S. Plunging Ranula
mg/12 jam
Sabtu, 11 November 2017 S
: Nyeri di daerah bekas operasi ( ↓)
O : Keadaan Umum Kesadaran Nadi Respirasi Suhu Badan B1 :
= Tampak sakit sedang, = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm. = 92 x/m = 22 x/m = 36,6 oC Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 20 x/ .
B2
:
Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time <3 detik, Nadi 92x/m, regular, kuat angkat, isi penuh. BJ: I-II murni regular, murmur (-), galop (-).
B3
:
pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm,riwayat pingsan ( -), riwayat kejang (-).
B4
:
DC (-), B K (+) , w rna kuning jernih.
B5
:
Abdomen datar, distance, nyeri tekan (+), timpani, BU (+) meningkat
B6
:
Fraktur (-), edema (-), motorik aktif
A : S. Plunging Ranula
Planning - IVFD D5 ½ NS
300 CC/ 24 jam - Inj.
Ceftriaxone
100 mg/12 jam - Inj. Antrain 250 mg/
8
jam
(diencerkan) - Inj. Ranitidin 12,5 mg/12 jam
BAB IV PEMBAHASAN
Pasien seorang anak perempuan umur 3 tahun, datang dengan keluhan terdapat benjolan didasar mulut kanan dan kiri sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan tampak mendorong lidah pasien keatas, tidak mudah berdarah dan nyeri termasuk saat pasien makan dan minum. Demam (-), bengkak pada leher (-). Awalnya muncul berupa benjolan kecil didasar mulut sebelah kanan, benjolan nampak bening dan berisi air, yang lama kelamaan semakin membesar hingga memenuhi dasar mulut kanan dan kiri, disertai leher yang bengkak. Bengkak pada leher sejak 1 hari sejak dilakukan penedotan cairan pada benjolan dibulan oktober. Keluar cairan berwarna kuning tua, kental dan lengket. Saat ini tampak leher pasien sudah tidak bengkak namun benjolan didasar mulut masih ada. Pada anemnesa tersebut diatas sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa Ranula adalah bentuk kista akibat obstruksi glandula saliva mayor yang merupakan sebuah fenomena retensi ductus pada galndula sublingualis yang terdapat pada dasar mulut sehingga mengakibatkan terjadinya pembengkakan dibawah lidah yang berwarna kebiru-biruan. Dari pemeriksaan fisik pada pasien, didapatkan pada sublingual tampak massa dengan diameter 3 cm didasar mulut kanan dan kiri, warna kebiruan, permukaan licin, konsistensi lunak, nyeri (-), tampak massa mendorong lidah keatas. Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan radiologis dan CT-Scan Mandibula dinyatakan dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 9,9 g/dl, MCV:61,6 fl, MCH:19,1 pg dan WBC:14,63x10 3 /uL. Maka dapat dikatakan pasien anemia ringan. Berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien tergolong PS ASA II sesuai dengan klasifikasipenilaian status fisik menurut The American Society of Anesthesiologist. Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sednag baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain (anemia ringan).
Jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi(anestesi umum) karena jenis ini sesuai dengan pemberdahan yang luas, berlangsung lama dan operasi tertentu yang memerlukan pengandalian pernafasan. Jenis pembedahan pada pasien tergolong dalam operasi sedang memiliki pembedahan didaerah eksisi pada submandibula dengan panjang ±0,5 cm namun membutuhkan waktu yang panjang (3 jam), dan dalam pelaksanaanya pasien harus diposisikan supine yang memerlukan pengendalian pernafasan. Pre OP cairan yang masuk pada pasien D5 ½ NS 300 cc dan tidak terpasang kateter . Premedikasi dilakukan sebelum induksi anestesi dinatranya meredahkan
kecemasan
dan
ketakutan,
memperlancar
induksi
anetesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestesi, mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan. Pasien diberikan sedacum 2,5 mg, ventanil 25 mg, petidin 25 mg sebagai premedikasi. Midazolam merupakan golongan benzodiazepine memiliki efek yang berguna untuk pre medikasi meredamkan ansietas, sedasi dan amnesia. Amnesia yang ditimbulkan akan mengurangi memori buruk yang dialami pasien akibat suatu tindakan. Benzodiazepin dapat menimbulkan depresi pernafasan yang berat. Midazolam larut air, sering dapakai dan lebih disukai daripada diazepam intravena.
Efek
samping
yaitu
hipotensi,
perubahan
denyut
jantung,
bronkospasme, depresi saluran nafas (terutama pada pemberian dosis tinggi atau pada injeksi cepat). Dosis injeksi secara perlahan 200 mcg-300mcg/KgBB, pada pasien ini midazolam (sedacum) yangdiberikan 2,5 mg. Pasien tampak tersedasi beberapa detik setelah pemberian intravena sedacum. Saat pemberian sedacum perlu pengawasan yang ketat terhadap pernafasan, mengingat efek samping pemberian obat ini adalah depresi pernafasan. Selain dengan sedacum, pasien ini dilakukan pre medikasi dengan petidin dengan dosis 25 mg dan Ventanil 25 mg. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa petidin merupakan analgesik opioid, dimana indikasi petidin sebagai analgesik perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan juga takikardi. Dosis yang besar menimbulkan depresi napas dan hipotensi.
Selain dengan sedacum, pasien ini dilakukan pre medikasi dengan petidin dengan dosis 50 mg dan fentanil 50 mg. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa petidin merupakan analgesik opioid, dimana indikasi petidin sebagai analgesik perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan juga takikardi. Dosis yang besar menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Premedikasi dilanjutkan dengan induksi. Induksi anestesi pada pasien ini adalah dengan pemberian propofol 180 mg. Propofol merupakan anestetik intravena golongan non barbiturat yang efektif dengan onset cepat dan durasi yang singkat.Pemulihan kesadaran yang lebih cepat dengan efek minimal terhadap susunan saraf pusat merupakan salah satu keuntungan penggunaan propofol dibandingkan obat anestesi intravena lainnya. Propofol merupakan anestetik intravena dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Dosis bolus untuk induksi 2-2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Induksi dengan propofol selalu berhubungan dengan menurunnya tekanan darah arteri khususnya pada pasien yang berusia tua, akan tetapi penurunan tekanan darah ini tidak begitu signifikan pada pasien yang berusia muda dan sehat. Penyebab pasti mekanisme penurunan tekanan darah ini belum diketahui. Banyak penelitian menyatakan hal ini terjadi dikarenakan penurunan tekanan perifer pembuluh darah yang dapat dicegah dengan pemberian loading cairan yang efektif, tetapi dikatakan juga penurunan tekanan darah ini tidak dapat diperkecil dengan pemberian cairan preload sebelum pembiusan. Beberapa penelitian menyatakan efek penurunan tekanan darah ini berhubungan dengan inhibisi dari simpatetik nervus sistem dan kerusakan mekanisme baroreflex dan juga ada dilaporkan dikarenakan berkurangnya kadar norepinephrine di plasma setelah pemberian propofol.
Hipotensi bila berlangsung lama dan tidak diterapi akan menyebabkan hipoksia jaringan dan organ. Bila keadaan ini berlanjut terus akan mengakibatkan keadaan syok hingga kematian. Sejauh ini banyak cara dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi setelah pemberian propofol, misalnya dengan pemberian preloading cairan baik itu kristaloid ataupun koloid dan juga pemberian suatu vasopressor seperti efedrin, dopamin, dan metaraminol. Pemberian simpatomimetik untuk mencegah dan mengatasi hipotensi dengan meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah serta kontraktilitas jantung mempunyai keuntungan berupa biaya yang lebih murah akan tetapi mempunyai kelemahan dengan dapat terjadinya takikardi dan meningkatkan resiko untuk terjadinya
arritmia. Preloading dengan cairan untuk mencegah hipotensi dengan maksud meningkatkan venous return dan tekanan pengisian kembali atrium kanan serta ventrikel kiri untuk mempengaruhi cardiac output bisa saja dilakukan, akan tetapi mempunyai banyak kelemahan yaitu akan memakan waktu selama pemberian cairan tersebut, biaya, resiko hemodilusi, overload cairan,dan reaksi anafilaktik. Preloading cairan juga dilakukan pada pasien ini pada saat pre operatif yaitu dengan pemberian Ringer Laktat 250 cc. Setelah induksi dan dimasukkan muscle relaxant dan diberi bantuan nafas dengan ventilasi mekanik. Pasien dipastikan sudah berada dalam kondisi tidak sadar dan stabil untuk dilakukan intubasi ETT kemudian dilakukan ventilasi dengan oksigenasi, dilakukan intubasi ETT nomor 4,5, Cuff dikembangkan, lalu cek suara nafas pada semua lapang paru dan lambung dengan stetoskop, dipastikan suara nafas dan dada mengembang ETT difiksasi agar tidak lepas dan disambungkan dengan secara simetris kemudian pasien diposisikan ke dalam posisi pronasi. Ventilator, Maintenance dengan inhalasi oksigen 2-3 lpm, dan sevofluran MAC 1,5-2%. Monitor tanda-tanda vital pasien , saturasi oksigen, tanda-tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri). Rumatan anestesi pada pasien ini dipilih rumatan inhalasi menggunakan sevofluran 2-4 vol% dan O2 dikombinasikan dengan propofol dan fentanyl . Rumatan anestesia ini mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Digunakan sovoflurane karena memiliki efek anestesi yang lebih cepat pulih sadar dibandingkan agen volatile yang lain. Walaupun dapat menyebabkan hipotensi, tetapi efeknya tidak sekuat jika digunakan Halotan atau enfluran. B1 Aktual
: Airway bebas, terpasang O2 nasal 2-3 lpm. thorax simetris, ikut gerak napas, RR: 22 x/m, SpO2 100%, suara napas vesikuler+/+, ronkhi-/-, wheezing -/-, malapati score: I Sumbatan jalan nafas, Hipoksia
Potensial
:
Planning
:
B2 Aktual
:
Bebaskan jalan nafas chin lift/jaw trush Oksigenasi
Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
Time < 2 detik, TD : 120/84 mmHg, N : 82x/menit, BJ: I-II murni regular, konjungtiva anemis -/Syok hipovolemik, perdarahan Potensial
:
Planning
:
B3 Aktual
Posisi syok, pemberian oksigen, resusitasi cairan, observasi tensi dan nadi, transfusi darah
:
Potensial
:
Planning
:
B4 Aktual
Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E 4V5M6), pupil bulat isokor, Ø DS 3mm, fraktur femur Penurunan kesadaran, ↑T TIK, ↑ nyeri. Observasi GCS,TTIK dan observasi nyeri
: Terpasang DC
Potensial
:
Planning
: Rehidrasi, monitoring produksi urin, balance cairan.
B5 Aktual
:
Potensial
:
Planning
:
Oliguria, AKI
Supel, palpasi : nyeri tekan (-), perkusi: tympani, BU (+) normal Mual, muntah Pemberian ondancentron, ranitidin
B6 Aktual
:
Akral hangat (+), edema (+), fraktur (+)
Potensial
:
Infeksi, sepsis
Planning
:
Rawat luka, pemberian antibiotik, operasi
Pasien ini diberikan pula obat-obatan seperti dexamethason, ranitidin, ondansentron saat durante operatif. Pemberian dexamethason adalah sebagai
antiinflamasi dan anti edema yang kuat dengan tujuan mengatasi edema laring pasca intubasi, dosis 0,2 mg/kg dan pada kasus ini diberikan 5 mg. Pemberian ranitidin dan ondansentron adalah untuk mencegah mualmuntah akibat anestesi umum terutama pada penggunaan opioid, bedah intraabdomen dan hipotensi. Dosis ondansentron adalah 0,05-0,1 mg/kg secara intravena, pada pasien ini diberikan dosis 4 mg. Ranitidin diberikan untuk mengurangi sekresi asam lambung yang berlebihan dan pada pasien ini diberikan 50 mg. Selama perioperatif cairan kristaloid yang dierikan pada pasien adalah Ringer Laktat yang merupakan larutan isotonik natrium klorida, kalium klorida, kalsium klorida dan natrium laktat yang komposisinya serupa dengan cairan ekstraseluler, mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskuler sehingga bermanfaat untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit.
Cairan yang dibutuhkan
4.
Aktual
PRE OPERASI
PRE OPERASI
Maintenance = Holiday segar
Input : D5 ½ NS 300 cc
BB: 10 kg 10 x 100 = 1000
Output : Urine : -
1.000 cc / 24 jam = 41 cc / jam = 13 tpm makro 5.
Replacement
Pengganti puasa 9 jam : 9 jam x kebutuhan cairan/jam= 9 x 74 cc = 369 cc 6.
Perdarahan = tidak ada DURANTE OPERASI
DURANTE OPERASI
Kebutuhan cairan selama operasi 3 jam 2. Maintenance
Input :
10 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 10 – 20 cc/jam
RL 400 cc
Untuk 3 jam = 3 x 10 – 2 0 cc/jam = 30 – 60 cc
Output :
Tidak terpasang DC,
2. Replacement
Suction : -
Perdarahan ± 20 cc EBV = 65 cc x BB = 65 cc x 10 kg = 650 cc EBL = 20 CC/650X100% = 3%, dapat diganti
Total Perdarahan = 10 cc
Kasa = 4 x 5cc
dengan cairan kristaloid 2 - 4 x jumlah perdarahan = 40 - 80 cc
= 20 cc
3. kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi sedang
= (2 cc x 10 kg x 3 jam) + ( 6 cc x 10 kg x 3 jam) = 60 cc – 1 80 cc Total kebutuhan cairan durante operasi :
= (30 - 60 cc) + (40 - 80 cc) + (60 cc -120 cc) = 130 cc – 320 cc
POST OPERASI
POST OPERASI
09 November 2017 jam 13.00 s/d besok pagi Input :
09.00 (20 jam)
D5 ½ NS 300 CC/24 jam
Maintenance = holiday segar
BB 10 kg
10 x 100 = 1.000 cc
1.000 cc/24 jam
15 tpm makro
Terapi cairan perioperarif pada pasien ini adalah sebagai berikut :
Kebutuhan Cairan perjam
Kebutuhan cairan pasien dihitung menggunakan rumus Holiday segar, didapatkan 41 cc/jam. Pasien puasa selama 9 jam sehingga kebutuhan rumatan pasien harus dipenuhi sebelum operasi ialah : Pre Operatif
Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa selama 9 jam adalah 369 cc. Selama pre operatif tidak didapatkan perdarahan. Kebutuhan cairan tidak terpenuhi dimana sejak pasien mulai puasa dan habis setelah di OK 300 cc, yang belum terpenuhi 69 cc. Durante Operasi :
kebutuha cairan maintenance pada durante operasi selama 3 jam adalah 30 – 60 cc. Estimate Blood Volume ( EBV ) pasien ini adalah : 65 cc x BB = 65 x 10 = 650 cc Didapatkan perdarahan pada 4 buah kassa, sehingga perdarahan total ± 20 cc Peradarahan yang terjadi selama operasi sebanyak 20 cc sehingga EBV pasien ini adalah 20/650x100% = 3%. Pada pasien ini perdarahan yang terjadi digantikan dengan cairan kritaloid sebanyak 2 – 4 x dari julah perdarahan yaitu : (2 x 20 cc = 40 cc ) – (4 x 20 cc = 80 cc) Kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi sedang : (2 cc x 10 kg x3 jam = 60 cc) + (6 cc x 10 kg x 3 jam = 180 cc) Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi adalah kebutuhan cairan maintenance + Replacement + (kebutuhan dasar operasi + kebutuhan operasi sedang) = (30 cc – 60 cc) + (40 cc – 80 cc) + (60 cc – 180 cc) = 130 cc - 320 cc. Pada saat operasi cairan yang masuk adalah Ringer Laktat 400 cc, sehingga kebutuhan cairan durante operasi terpenuhi.
Post Operatif
Pada pemberian cairan post operasi diberikan kebutuhan cairan pasien dihitung menggunakan rumus Holiday segar 1000 cc/24 jam, saat operasi 09.00 wit s/d 13.00 wit. Jadi perhitungan jam 14.00 wit s/d 09.00 wit (20 jam), sehingga kebutuhan cairan pasien diruangan menjadi ± 1000 cc habis dalam 20 jam Pasca operasi pasien dievaluasi di ruang RR, untuk dinilai kesadaran pasien. Bila keadaan pasien mulai membaik pasien dapat dikembalikan ke ruangan perawatan. Bila keadaan umum pasien mulai stabil tidak ada keluhan mual muntah, pasien dapat dianjurkan untuk minum sedikit-sedikit dan pada jam 17.00 WIT pasien disarankan untuk makan. Untuk penilaian kesadaran pasien post operasi dengan anestesi umum dapat dinilai menggunakan Skor Aldrette: Yang dinilai
Nilai
Pergerakan
Gerak bertujuan Gerak tak bertujuan Diam
2 1 0
Teratur, batuk, menangis Depresi Perlu dibantu
2 1 0
Merah muda Pucat Sianosis
2 1 0
Berubah sekitar 20 % Berubah 20 % – 30 % Berubah lebuh dari 30%
2 1 0
Benar benar sadar Bereaksi Tidak bereaksi
2 1 0
Pernapasan
Warna
Tekanan Darah
Kesadaran
Pasca operasi pasien dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan baik. Hingga kondisi pasien stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang
berarti. Penentuan kapan pasien dapat dipindahkan keruangan digunakan skor Aldrette. Pada pasien An. E.D 3 th didapatkan pasien dapat mengangkat keempat ekstremitas (skor 2), dapat bernapas dalam dan batuk (skor 2), kesadaran Compos Mentis, saturasi 100%, warna kulit merah muda (skor 2). Skor Aldrette 8, pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan. Terapi post operasi pada pasien ini adalah IVFD D5 ½ NS 300 cc/24 jam, inj. Ceftriaxone 100 mg/ 12 jam, Inj. Antrain 250 mg/ 8 jam (diencerkan), inj. Ranitidin 12,5 mg/ 12 jam, monitor vital sign dan perdarahan.
BAB V PENUTUP 5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
anemnesis,
pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosis Submandibular Plungging Ranula . Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS AS II dimana seoorang pasien dengan penyakit ringan sampai sedang atau dalam kondisi spesial pada pediatri. Dilakukan pembedahan Eksisi Plungging Ranula dan jenis anestesi yang digunakan adalah General Anestesi(anestesi umum), karena jenis ini sesuai dengan pemberdahan yang luas, berlangsung lama dan operasi tertentu yang memerlukan pengandalian pernafasan. Jenis pembedahan pada pasien tergolong dalam operasi sedang memiliki pembedahan didaerah eksisi pada submandibula dengan panjang ±0,5 cm namun membutuhkan waktu yang panjang (3 jam), dan dalam pelaksanaanya pasien
harus
diposisikan
supine
yang
memerlukan
pengendalian
pernafasan. Selama dilakukan tindakan pembedahan tidak didapatkan penyulit selama pembedahan. Terapi cairan pre operasi mengunakan rumus holiday segar, pada pasien ini belum terpenuhi diruangan perawatan 1000 cc/24 jam sedangkan terapi cairan durante operasi terpenuhi. Pemberian cairan post operasi pada pasien ini diruangan perawatan menggunakan rumus holiday segar yang habis dalam 20 jam, yaitu 1000 cc/20 jam 5.2
1 5 tpm makro.
Saran
Penatalaksanaan anestesi perlu diperlukan dengan baik mulai dari persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutam menyangkut resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi kestabilan hemodinamik perioperatiive. Diperlukan pemberian cairan pre operatif yang cukup sesuai dengan kebutuhan pasien untuk mengganti kebutuhan cairan selama puasa.