Bab ini akan dibahas bagaimana cara psikologi sosial membantu kita untuk untuk mema memaham hamii berbaga berbagaii peristi peristiwa wa dan proses proses dalam dalam sistem hukum, sistem kesehatan, dan organisasi.
Penerapan Psikologi Sosial pada Aspek Interpersonal dari
Sistem Hukum Stud Studii ps psiko ikolo logi gi yang yang berk berkait aitan an denga dengan n pers persoa oala lan n huku hukum, m, yait yaitu u Psikologi Forensik (forensic psychology) mempelajari efek dari berbagai faktor psikologis terhadap proses hukum (Davis, 1989). Beberapa akibat dari kekhil kekhilafan afan manus manusia ia yang yang memp mempeng engaru aruhi hi berbag berbagai ai aspek aspek dalam dalam bida bidang ng huku hukum m adal adalah ah peni penila laia ian n yang yang bias bias,, kete keterg rgan antu tung ngan an pada pada stereotip, ingatan yang keliru, dan keputusan yang salah atau tidak adil.
Sebelum Pengadilan Dimulai: Efek dari Prosedur Kepolisian
dan Liputan Media Sebel Sebelum um sebuah sebuah kasus kasus krimi kriminal nal menca mencapai pai ruang ruang sidang sidang,, ada dua fakt faktor or utam utama a
yang yang berp berpen enga garu ruh h
terh terhad adap ap kesa kesaks ksia ian n
yang yang akan akan
ditampilkan dan terhadap sikap para juri sebelum pengadilan dimulai. Kedua faktor tersebut adalah: (1) bagaimana polisi berurusan dengan para saksi saksi dan tersang tersangka, ka, serta serta (2) (2) bagaim bagaimana ana inform informasi asi menge mengenai nai kasus tersebut ditampilkan oleh media. Penelitian Psikologi Sosial menunjukkan bahwa orang akan mematuhi hukum dan menerima keputusan pengadilan selama mereka percaya bahwa hukum dan prosedurnya “adil” (fair and just) (Tyler dkk., 1997). Namun, ketika orang memiliki alasan percaya bahwa sistem yang ada tidak tidak adil, adil, maka maka perilak perilaku u taat hukum dan keper kepercay cayaan aan pada pada sis sistem tem hukum pun menurun.
Efek dari Prosedur Kepolisian
Kebanyakan orang setuju bahwa peran yang tepat bagi polisi dalam mengi menginve nvesti stigasi gasi sebuah sebuah kejaha kejahatan tan adalah adalah untuk untuk menca mencari ri kebena kebenaran ran sebagai seorang penyidik, dan bukan berupaya membuktikan seseorang bersalah sebagai seorang musuh. Upaya untuk membuktikan sesorang bersalah umumnya melibatkan cara cara bagaim bagaimana ana saksi saksi mata mata atau atau tersang tersangka ka diintr diintroga ogasi. si. Kebany Kebanyakan akan introgasi berlangsung dalam atmosfer yang mengintimidasi bagi orang yang yang diajuka diajukan n pertan pertanyaan yaan,, berlang berlangsung sungnya nya proses proses sosial sosial diranc dirancang ang untu untuk k
mengh nghasil asilka kan n
resp spon ons s
menur nurut
dan dan
bahk bahkan an
kepa kepattuhan uhan
(Gudjonsson & Clark, 1986; Schooler & Loftus, 1986). Kece Kecende nderu rung ngan an alami alami untu untuk k
menc mencer erita itaka kan n
sebu sebuah ah kisah kisah yang yang
bermakna dikombinasikan dengan proses-proses pengaruh sosial, dan tiga faktor spesifik akan mendorong respons menurut dan kepatuhan. Para tersangka dan saksi mata biasanya memiliki: 1. semacam semacam ketidakpa ketidakpastian stian tentang tentang jawaban jawaban yang “benar” “benar” 2. tingkat keperca kepercayaan yaan tertentu tertentu terhadap terhadap petugas petugas yang yang mengajukan mengajukan pertanyaan 3. ekspe ekspektas ktasii bahwa bahwa ia diwaji diwajibkan bkan untuk untuk menge mengetah tahui ui jawaban jawaban yang seharusnya.
Interog Interogasi asi (dan (dan Terap Terapi) i) Sebag Sebagai ai Alat Alat Memu Memulih lihkan kan
Ingatan Di
luar
per persoal soala an
ber berhubu hubung ngan an
yait aitu
palsu alsu,,
menge ngenai nai
ada ada
pertanyaan
“ing “ingat atan an
yang ang
umum puli pulih” h”
yang ang
juga
(recovered
memories). memories). Humphreys (1998) menyatakan bahwa banyak dari ingatan yang pulih tersebut keliru, dan menegaskan bahwa meskipun banyak tulisan yang terpercaya tentang pulihnya ingatan mengenai pemaksaan seks seksual ual yang yang dila dilakuk kukan an oleh oleh kera keraba batt dekat dekat dan dan keja kejahat hatan an lain lainny nya, a, seperti pelecehan seksual yang dilakukan oleh makhluk dari planet lain, oleh oleh orang orang asing asing di kehidu kehidupan pan sebelu sebelumn mnya, ya, dan oleh oleh anggota anggota sekte sekte penyembah setan, juga cerita mengenai pengalaman di dalam rahim ibu sebelum dilahirkan.
Ingatan yang berhubungan dengan berita atas suatu peristiwa dapat memburuk sejalan dengan waktu, makan ingatan akan pelecehan seksual dan pengalaman personal lainnya bisa salah juga. Ditemukan bahwa ingatan-ingatan yang keliru dapat dengan mudah tersusun melalui
berbagai
pengalaman
seperti
melihat
foto,
mendengar
perkataan orang lain dan bahkan melamun (Henkel, Franklin & Jihnson, 2000). Pengalaman-pengalaman personal tersebut disusun dalam benak seseorang menjadi sebuah cerita yang bermakna, dan hasilnya adalah sebuah keyakinan kuat bahwa sesuatu benar-benar telah menjadi meskipun tidak demikian adanya.
Ingatan yang terpendam (repressed memory) – ketika ingatan tentang sebuah kejadian traumatis benar-benar terlupakan. Ketika ingatan tersebut pulih kembali melalui serangkaian terapi atau hipnotis, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah ingatan tersebut merupakan bukti valid yang relevan dengan suatu tuntutan kejahatan (Brown, 1997) atau apakah ingatan tersebut merupakan ingatan yang keliru yang merupakan ancaman bagi tersangka yang sebenarnya tidak bersalah (Loftus, 1998).
Efek Media
Berita yang muncul di radio, televisi, dan surat kabar sangat menitikberatkan pada unsure dramatis (pembunuhan, penyerangan, pemerkosaan,
pembakaran,
perampokan,
dll).
Hal
ini
terutama
dikarenakan publik menganggap cerita semacam itu lebih menarik daripada cerita mengenai orang-orang baik yang melakukan perbuatan baik pula (Pooley, 1997). Hasilnya adalah kita terlalu melebih-lebihkan frekuensi kegiatan criminal dan merendahkan frekuensi tingkah laku prososial. Informasi negative memiliki dampak yang lebih besar daripada informasi positif.
Kesaksian Saksi Mata: Berbagai Permasalahan dan Solusinya
Setiap orang yang menyaksikan suatu tindak kriminal atau sesuatu yang berkaitan hal tersebut barangkali akan diminta untuk memberikan kesaksian dan informasi krusial dalam sebuah investigasi atau persidangan.
Ketika Saksi Mata Keliru Ada banyak contoh dramatis dimana para saksi mata, termasuk
juga
korban
tindak
kriminal
itu
sendiri,
melakukan
kesalahan
pengidentifikasian tersangka, yang kemudian dinyatakan bersalah dan dihukum dalam penjara (Loftus, 1992a). Bahkan para saksi mata yang paling jujur, cerdas, dan berniat baik sekalipun tidak luput dari kemungkinan melakukan kesalahan. Cukup menyedihkan, ternyata ketidakakuratan saksi mata merupakan satusatunya faktor paling penting yang menyebabkan kekeliruan keputusan pengadilan terhadap terdakwa yang tidak bersalah. Fakta yang lebih positif
adalah
kini
kita
menyadari alasan
terjadinya
kekeliruan-
kekeliruan tersebut sehingga dapat menghindari setidaknya beberapa diantaranya. Kendala utama dalam akurasi adalah adanya rentang waktu antara ketika peristiwa tersebut disaksikan dan ketika kesaksian diambil sepanjang interval waktu tersebut, saksi mata hampir selalu dipaparkan pada
berbagai
INFORMASI
PASCAPERISTIWA
yang
kerap
kali
menyesatkan, misalnya dari pertanyaan-pertanyaan polisi, tayangan berita , dan berbagai pernyataan yang dibuat oleh orang lain
Meningkatkan Akurasi Saksi Mata Di luar berbagai kemungkinan kesalahan yang ada, sebaiknya kita
tidak begitu saja menyimpulkan bahwa saksi mata selalu salah, bahkan seringkali mereka luar biasa akurat (Youle & Cutshall, 1986). Target utama dalam upaya perbaikan ini adalah prosedur LINEUP polisi dimana para saksi mata mengevaluasi beberapa individu (yang
terdiri dari tersangka dan beberapa orang bukan tersangka) dan mencoba mengidentifikasi siapa diantara mereka yang bersalah. Wells dan Luus (1990) menyatakan bahwa lineup merupakan analog dari prosedur eksperimen psikologi sosial. Petugas yang berwenang dalam proses lineup adalah SANG PENELITI, para saksi mata adalah partisipan riset , tersangka adalah stimulus primer, identifikasi positif dari saksi mata merupakan data perilaku, dan keberadaan orang-orang bukan tersangka berikut susunan lineup merupakan desain riset-nya. Dan, polisi yang bertindak sebagai investigator sering kali sudah punya hipotesis tentang kesalahan tersangka. Terakhir, kesaksian
baik
dalam
hukum,
(probability),
data
karena
tidak
temuan harus ada
eksperimental dinyatakan
satu
prosedur
maupun
dalam pun
dalam
probabilitas yang
dapat
memberikan kepastian yang absolut.
Pemeran Utama dalam Persidangan: Dampak dari Pengacara, Hakim, Juri, dan Terdakwa
PENGACARA:
PERSETERUAN
ANTARA
PENUNTUT
DAN
PEMBELA Sebuah fase penting dalam prosedur persidangan yang dijalani sesaat sebelum proses peradilan dimulai adalah penyeleksian juri melalui prosedur VOIR DIRE, dimana pengacara dari kedua belah pihak dalat "melihat dan berbicara" dengan para calon juri untuk menentukan siapa yang diterima dan siapa yang tidak. Tujuan resminya adalah untuk memilih warga yang paling kompeten serta mampu bersikap tidak memihak
dalam
menjalankan
tugasnya
nanti,
namun
pada
kenyataannya kedua wakil hukum yang saling kontradiktif ini berupaya sedapat mungkin untuk memilih juri yang diyakini dapat membantu mereka memangkan kasus atau membahayakan posisi lawan. Abramson (1994) menyatakan bahwa pemilihan juri sebenarnya mirip dengan permainan dimana kedua belah pihak berusaha sebaik mungkin dengan berbagai cara untuk memasukkan juri yang cenderung bias. Selama
persidangan,
pengacara
tidak
diperbolehkan
untuk
mengajukan pertanyaan yang menjurus (leading questions) yaitu pertanyaan yang memang dirancang untuk mendapatkan jawaban tertentu ketika bertanya kepada para saksi yang mereka tunjuk sendiri. Baik penuntut maupun pembela keduanya sama-sama mempunyai kesempatan
terakhir
untuk
mempengaruhi
suara
juri
melalui
argumentasi penutup. Pada sidang-sidang pidana mati (yang melibatkan tuntutan atas pembunuhan tingkat pertama), juri tidak hanya memberi keputusan bersalah atau tidak bersalah dalam Fase I persidangan, melainkan juga merekomendasikan hakim apakah terdakwa harus menjalani hukuman penjara atau hukuman mati .
HAKIM: MENEGAKKAN ATURAN DAN MEMINIMALKAN BIAS. Idealnya, seorang hakim haruslah sepenuhnya objektif dan adil,
namun mereka juga manusia yang tak luput dari kesalahan dan sikap bias. Para juri diinstuksikan untuk mendasari keputusan mereka sematamata pada bukti faktual, namun kadang kala bukti pun dipertanyakan dan kemudian diperintahkan untuk dianulir oleh hakim. Para juri cenderung mengabaikan perintah hakim kecuali jika juri yakin bahwa hakim punya alasan yang bagus untuk meminta mereka mengabaikan bukti tersebut (Kassin & Sommers, 1977).
Umumnya,
juri
memang
selektif
dalam
mematuhi
instruksi
penerimaan atau pengabaian barang bukti, dan beberapa juri bahkan melakukan seleksi secara lebih ketat dibandingkan yang lainnya. Sebagai contoh, mengabaikan bukti yang tidak reliabel namun diperoleh secara sah adalah hal yang sering dilakukan oleh juri dengan kebutuhan kognisi yang tinggi, yaitu mereka yang. Cenderung menyenangi aktivitas kognitif yang sulit seperti mempelajari sesuatu yang baru atau menyusun puzzle. Individu seperti ini tampak lebih peduli pada akurasi daripada kesempurnaan legalitas. Teorinya, hakim maupun juri tidak seharusnya membuat keputusan final tentang bersalah atau tidak bersalah sampai pada akhir persidangan, namun hampir semua orang mengalami kesulitan atau bahkan merasa mustahil untuk menunda penilaian hingga akhir persidangan. Bahkan hakim
pun dapat
membentuk opini pribadinya
dan sering kali
berspekulasi dengan para koleganya tentang bagaimana kira-kira keputusan yang akan diambil oleh para juri
EFEK KARAKTERISTIK TERDAKWA DAN JURI Determinan-determinan yang paling penting adalah komunikasi
nonverbal,
atribusi, pembentukan kesan dan
manajemen
kesan,
prasangka, serta ketertarikan interpersonal. Hal-hal seperti kesan pertama,
stereotip,
dan
ketertarikan
hal-hal
tersebut
memang
berpengaruh terhadap hasil keputusan yang diperoleh dalam situasi persidangan nyata maupun dalam persidangan simulasi. Ketika O.J Simpson dituduh melakukan pembunuhan terhadap mantan istri dan kekasihnya, dia menghadapi persidangan kriminal dimana sebagian besar juri yang merupakan warga kulit hitam dari daerah pinggiran kota Los Angeles menyatakan bahwa dia tidak bersalah. Beberapa waktu kemudian, disuatu persidangan sipil yang menuntut pertanggungjawaban atas “kematian yang tidak semestinya”, sebagian besar juri warga kulit putih yang berasal dari Santa Monica menyatakan bahwa dia bersalah. Terdakwa yang sama, bukti yang
sama, beda juri, dan beda keputusan. Mengapa begitu? Goleman (1994a) menyatakan bahwa sebenarnya sebagian besar sidang sudah selesei saat juri telah dipilih. Dalam kasus O.J. Simpson, sebelum satupun
sidang dimulai,
dan
sebelum
ada
satupun bukti
yang
ditampilkan di depan publik, survei telah secara konsisten membuktikan bahwa kebanyakan warga afro amerika mempercayai bahwa terdakwa tidak bersalah. Sebaliknya kebanyakan warga kulit putih percaya bahwa terdakwa memang bersalah. Warga kulit putih menekankan perlunya hukuman yang seberat-beratnya bagi terdakwa yang telah mereka putuskan bertanggung jawab atas pembunuhan terhadap dua individu yang
tidak
bersalah.
mempertanyakan
Sementara
keabsahan
itu,
bukti-bukti
warga
kulit
hitam
dan,terutama,
lebih
rehabilitasi
nama baik terdakwa. Perbedaan rasial ini terus berlanjut sebelum sidang pertama dibuka, selama sidang pertama berlangsung, dan setelah sidang kedua usai.
Karekteristik Juri Sebagai Peramal dari Keputusan Juri Berbagai macam sikap, belief, dan disposisi kepribadian juri terbukti terkait dengan keputusan yang mereka buat.
KARAKTERISTIK JURI Leniency Bias (Asumsi
KEPUTUSAN JURI bahwa Cenderung untuk
terdakwa juga menjadi korban)
memberikan
keputusan
tidak bersalah
(MacCoun & Kerr, 1988)
Otoritarianisme
(Kecenderungan Lebih
cenderung
untuk menggenggam belief dan memberikan sikap otoritarian)
dan
untuk
untuk
keputusan
bersalah
bereaksi
terhadap
segala tuduhan sebagai sesuatu yang
serius
dan
layak
diberi
hukuman
Kompleksitas
Atribusional (Lebih Cenderung
menghendaki kompleks
penjelasan
dari
pada
untuk
yang memberikan yang dan
sederhana)
tidak
keputusan
bersalah
mempertimbangkan
faktor-
faktor eksternal sebagai penyebab perilaku terdakwa
Epistemic
Understanding Cenderung
untuk
memahami
(Kemampuan untuk membedakan bahwa fakta berbeda dari opini dan apakah suatu tuntutan masuk akal bahwa
sebuah
tuntunan
atau tidak dan apakah benar atau mencerminkan teori yang harus tidak)
didukung bukti-bukti
Tidak setuju pada hukuman mati
Lebih
cenderung
memberikan bersalah
dan
untuk
keputusan cenderung
tidak untuk
tidak menerima kegilaan/sakit jiwa sebagai alasan pembelaan
Sikap negatif terhadap psikiatri
Cenderung untuk tidak menerima kesaksian tentang kondisi mental
terdakwa Penganut paham “entity” (Mereka Lebih
cenderung
yang percaya bahwa trait adalah mempercayai faktor yang tetap dan tidak bisa yang berubah)
untuk
berbagai
petunjuk
mengindikasikan
karakter,
seperti pakaian terdakwa
Penerapan Psikologi Sosial pada Tingkah Laku yang Terkait dengan Kesehatan Sebagian besar orang masih berpikir bahwa penyakit disebabkan oleh hal-hal seperti kelemahan bawaan, tingkah laku asusila, udara yang buruk, ataupun karena ilmu sihir. Meskipun pada awalnya ide tentang bakteri dan virus yang ‘tidak terlihat’ ditolak oleh para dokter dan masyarakat umum, orang-orang kini telah mengerti peranan mikroba. Hasilnya, para peneliti yang tertarik terhadap Psikologi Kesehatan memfokuskan perhatian mereka kepada proses-proses psikologis yang mempengaruhi perkembangan, pencegahan, dan pengobatan penyakitpenyakit fisik.
MEMAHAMI
DAN
MENGEVALUASI
INFORMASI
TENTANG
KESEHATAN Jika
berita-berita
pengetahuan
kita,
utama
maka
dimedia
kita
akan
adalah
sumber
terus-menerus
hidup
utama dalam
ketakutan terhadap AIDS, penyakit lyme, penyakit sapi gila, bakteri pada daging dan virus dari monyet-monyet Afrika yang mengubah isi perut seseorang menjadi sesuatu yang berbentuk seperti spaghetti. Namun secara teratur kita juga menerima berita-berita positif yang mengindikasikan mencegah
bahwa
ilmu
kesehatan
atau menyembuhkan
hampir
berhasil
kanker, diabetes,
dalam
dan penyakit-
penyakit yang ditakuti lainnya. Sejumlah wacana diatur agar memenuhi dua fungsi yaitu memberikan
informasi
tentang
sebuah
wabah
baru
dan
juga
memberikan informasi tentang bagaimana kita harus menghadapinya. Seperti halnya ketika kita melebih-lebihkan besar angka kejahatan, kita juga melebih-lebihkan ancaman dari penyakit-penyakit yang jarang muncul
serta
berharap
secara
berlebihan
terhadap
pengobatan instan yang didasarkan pada metode heuristik.
janji-janji
MENOLAK VERSUS MENERIMA INFORMASI TENTANG KESEHATAN Dalam merespons serangan informasi tentang kesehatan yang bertubi-tubi dari TV, koran-koran, majalah, internet, dan petugas medis, orang-orang cenderung hanya menerima sebagian saja. Kalaupun mereka menerima informasi-informasi itu secara sepenuhnya bukan berarti tingkah laku mereka juga berubah sejalan dengan informasi yang mereka terima. Salah satu penyebabnya adalah faktor afektif yang terkandung dalam pesan-pesan kesehatan. Sering kali pesan itu dibuat begitu menakutkan karena tujuannya adalah agar si penerima pesan melakukan apa yang dianjurkan. Salah satu cara yang paling sering digunakan untuk mengatasi kecemasan yang terkait dengan isu-isu kesehatan adalah minum minuman beralkohol, dimana salah satu akibatnya adalah keadaan yang disebut
alcohol
myopia.
Karena
pesan-pesan
negatif
bisa
saja
membangkitkan perasaan takut dan penghindaran, maka pesan-pesan tentang kesehatan dapat dibingkai secara positif dengan menyatakan bahwa perubahan tingkah laku dapat membawa keuntungan. Bingkai positif ini adalah strategi yang paling efektif dalam memotivasi berbagai tingkah laku preventif. Sedangkan pesan-pesan dengan bingkai negatif yang menekankan pada kerugian alkibat kegagalan dalam bertindak, lebih tepat untuk memotivasi tingkah laku pendeteksian penyakit.
Dampak Emosional dan Fisiologis dari stres. Stress didefinisikan sebagai peristiwa fisik atau psikologis apa pun yang dipersepsikan sebagai ancaman potensial terhadap kesehatan fisik Coping
atau mengacu
menghadapi
pada
cara
ancaman-ancaman
emosional.
seseorang dan
untuk
konsekuensi
ancaman-ancaman tersebut.
Penyakit-penyakit fisik sebagai akibat dari stres
mengatasi emosional
atau dari
Berbagai macam stres akan menimbulkan penyakit. Selain itu, ketakutan terhadap penyakit, penyakit itu sendiri, serta prosedurprosedur medis untuk mengobati dan mendiagnosis penyakit adalah sumber-sumber
tambahan
dari
stres.
Perbedaan jenis kelamin dan ras dari mereka yang memberikan pelayanan kesehatan dapat menjadi suatu masalah dalam mengevaluasi dokter gigi, orang-orang cenderung memandang dokter gigi laki-laki lebih kompeten daripada dokter gigi perempuan, dan yang menjadi pilihan pertama adalah dokter gigi laki-laki berkulit putih. Dari hal tersebut tampak bahwa prasangka dan stereotip mempengaruhi pilihan terhadap seorang praktisi atau reaksi terhadap praktisi tertentu ketika individu tidak punya kemungkinan untuk memilih. Apapun sumbernya, seiring dengan meningkatnya jumlah dan kepelikan dari peristiwa-peristiwa negatif, efek kumulatif stres akan meningkatkan resiko timbulnya penyakit fisik. Perasaan-perasaan yang menyenangkan ternyata mempunyai efek yang berlawanan terhadap fungsi-fungsi fisik, yaitu kondisi emosi yang positif berkaitan dengan kondisi tubuh yang sehat.
Baum
mengemukakan bahwa
masing-masing
efek
yang
langsung dan tidak langsung dari stres dapat meningkatkan resiko timbulnya penyakit. Efek tidak langsung muncul ketika emosi-emosi negatif sebagai akibat dari stres mengganggu tingkah laku yang terkait dengan
kesehatan,
seperti
melaksanakan
program
makan
yang
seimbang atau memeriksakan diri ke dokter secara teratur. Sedangkan efek fisik langsung dari stres ternyata lebih mengejutkan yaitu memperlambat proses penyembuhan luka, berdampak negatif terhadap sistem
endokrin,
dan
mengganggu
fungsi
sistem
kekebalan.
Perbedaan Individual Dalam Kaitannya dengan Efek dari Stres Masing-masing
dari
kita
berada
dalam
sebuah
kontinum
kecenderungan yang terbentang antara titik yang paling mudah
menerima efek negatif dari stres yang disebut disease prone personality sampai dengan titik yang paling tahan terhadap stres self healing personality. Seorang yang berada diujung titik disease prone akan merespons stres dengan emosi negatif yang intens dan pola-pola tingkah laku yang tidak sehat, dan sebagai akibatnya adalah timbulnya penyakit dan rentang
kehidupan
yang
lebih
singkat.
Dalam diri individu terdapat kcenderungan umum untuk bersikap antusias pada kehidupan, mempunyai emosi yang stabil, waspada, responsif terhadap orang lain, penuh semangat, ingin tahu, merasa bahagian
dan
percaya
diri
dan
merasa
berguna.
Mengatasi stres
• Meningkatkan kebugaran Berada dalam kondisi fisik yang sehat yang diindikasikan oleh kekuatan dan daya tahan. Hasil dari menjadi sehaat adalah timbulnya perasaan bahwa diri kita sehat dan perasaan akan self-efficacy bersamaan dengan persepsi bahwa kita mampu mengatasi stres.
• Strategi coping : emosi positif dan pengendalian kontrol. Compa dan teman-temannya mengemukakan bahwa coping terhadap stres adalah suatu proses yang terdiri dari dua tingkat.
Tingkat pertama, adalah coping yang berpusat pada emosi yaitu usaha untuk mengurangi respons-respons emosional negatif yang muncul akibat dari suatu ancaman dan untuk meningkatkan afek-afek positif.
Pada tingkat kedua, coping yang berpusat pada masalah yang melibatkan usaha untuk mengatasi ancaman itu sendiri dan untuk memperoleh
kontrol
terhadap
situasi.
Cara yang lebih baik adalah dengan mencoba merasakan perasaan-
perasaan yang positif menyenangkan, dan dengan berpikir optimis atas peristiwa-peristiwa
yang
buruk.
PENTINGNYA DUKUNGAN SOSIAL. Dukungan sosial (social support) adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain, hal yang bermanfaat tatkala kita mengalami stres, dan sesuatu yang sangat efektif yang digunakan
untuk
mengatasi
stres.
Meskipun
seseorang
yang
menghadapi stres sangat membutuhkan dukungan, upaya yang kikuk untuk memberikan rasa nyaman justru dapat membuat situasi menjadi semakin buruk. Individu dengan gaya kelekatan aman adalah yang paling baik dalam mencari dukungan sosial, dan mereka cenderung menerima dukungan sosial yang lebih besar dibandingkan mereka yang mempunyai gaya kelekatan yang lain. Mengapa dukungan sosial mempunyai efek seperti itu? Bahwa hanya dengan
bersama-sama
ditambah
teman-teman
orang
lain
kecemasan
dan keluarga
dapat
berkurang,
mungkin dapat
membantu
memecahkan masalah. Ketika kita mengalami stres, menceritakan kepada orang lain tentang masalah kita tidak hanya akan mengirangi perasaan negatif, tetapi juga akan mengurangi timbulnya masalah kesehatan.
Penerapan Psikologi Sosial pada Dunia Kerja : Kepuasan Kerja, Perilaku Menolong, dan Kepemimpinan Bukan suatu hal yang mengejutkan jika prinsip dan penemuan dibidang psikologi sosil telah sering diterapkan untuk memahami apa yang terjadi dalam dunia kerja terutama dengan tujuan untuk membuat dunia kerja menjadi lebih produktif dan memuaskan. Para psikologi sosial terhadap pemahaman mengenai empat topik penting, yaitu: kepuasan kerja (sikap para pekerja terhadap pekerja mereka), perilaku
kemasyarakatan dalam berorganisasi, tingkah laku prososial (misalnya menolong), dan kepemimpinan.
Kepuasan Kerja : Sikap terhadap pekerjaan Sikap mengenai pekerjaan seseorang biasanya mengacu pada istilah kepuasan kerja, sementara sikap terhadap suatu perusahaan disebut komitmen organisasi.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN KERJA. Faktor apa saja yang turut berperan pada kepuasan kerja? Dua faktor utama yang penting adalah : faktor organisasi yang berkaitan dengan praktik perusahaan dan faktor personal yang berhubungan dengan trait dari para karyawan.
Faktor
organisasi ,
yang
mempengaruhi
kepuasan
kerja
mencakup sejumlah kejutan, orang-orang melaporkan bahwa mereka mempunyai kepuasan kerja yang tinggi jika sistem imbalan dalam perusahaan tempat mereka bekerja dirasakan cukup adil. Faktor personal, aspek senioritas dan status sangatlah penting. Semakin lama seseorang bekerja dalam bidang pekerjaannya dan semakin tinggi statusnya, semakin besar pula kepuasan yang dirasakan. Trait-trait personal terkait erat dengan kepuasan kerja, misalnya dari penelitian diketahui bahwa perbedaan dalam (core self-evaluation) penilaian dasar individu terhadap dirinya sendiri dan seberapa besar ia menghargai dirinya tersebut, dapat memiliki peran penting. Core self-evaluation
melibatkan empat faktor dasar, yaitu : self-esteem, perasaan self-efficacy secara umum, locus of control, dan kestabilan emosi.
EFEK KEPUASAN KERJA TERHADAP KINERJA TUGAS :
Mengapa korelasi ini tidak bisa lebih kuat lagi? Salah satu yang terpenting adalah banyak pekerjaan yang kurang memberi kebebasan untuk melakukan variasi dalam pelaksanaannya. Namun mereka juga tidak dapat melebihi syarat minimum ini karena mereka hanya dapat menunggu barang datang untuk dikerjakan. Alasan lainnya adalah kemungkinan bahwa sikap positif terhadap pekerjaan atau terhadap teman kerja atau terhadap keseluruhan organisasi telah banyak terefleksikan dalam tingkah laku diluar kinerja. Dengan kata lain, individu yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaan mereka mungkin akan mengekspresikan sikapnya melalui tindakan yang konsisten dengan sikap dan pandangan mereka, namun tidak
secara
langsung
atau
tidak
serta
merta
terkait
dengan
pelaksanaan tugas.
Perilaku Kemasyarakatan dalam Organisasi : Perilaku Prososial di Tempat Kerja Perilaku prososial, perilaku menolong yang jelas menguntungkan orang
lain
namun tidak jelas
keuntungannya
bagi orang yang
memberikan pertolongan.
BENTUK-BENTUK PERILAKU PROSOSIAL DI TEMPAT KERJA. Kebanyakan peneliti menyebut perilaku itu sebagai perilaku kemasyarakatan organisasional. Perilaku prososial yang terjadi didalam organisasi baik yang diberi atau tidak diberi imbalan oleh perusahaan. Fakta bahwa perilaku seperti ini tidak otomatis diberi imbalan adalah hal yang penting, karena itu berarti bahwa terkadang, setidaknya, OCB terjadi tanpa disertai harapan individu untuk mendapat imbalan.
OCB
:
FAKTOR-FAKTOR
YANG
BERPERAN
DALAM
KEMUNCULANNYA. Faktor apa saja yang mendorong seseorang melakukan OCB?
Salah satunya yang tidak terlalu mengejutkan adalah faktor kepuasan kerja, makin tinggi kepuasan kerja pegawai semakin besar kecenderungan mereka untuk melakukan OCB, khususnya tindakan yang menunjukkan loyalitas terhadap organisasi. Faktor lain yang memperngaruhi OCB adalah persepsi pegawai terhadap keluasan pekerjaan mereka, perilaku mana yang memang merupakan bagian dari tugas, dan mana yang sukarela saja. Makin luas pegawai mendefinisikan perkerjaan mereka semakin cenderung mereka melakukan OCB. Menariknya hasil penelitian mengindikasikan bahwa pegawai tidak selalu melakukan OCB tanpa berharap mendapat imbalan. Sebaliknya,
berbagai
bukti
menunjukkan
bahwa
untuk
membuat
keputusan tentang promosi dan kenaikan gaji, para manajer sering kali menggunakan penilaian mereka terhadap tingkat kesediaan para bawahannya untuk melakukan OCB. Kesimpulannya,
kecenderungan
manusia
untuk
melakukan
perilaku prososial ditempat kerja juga dipengaruhi oleh beragam faktor. Sepanjang OCB dianggap masih berguna, OCB akan terus terjadi dalam organisasi dan sebaliknya.
Kepemimpinan: Pola dari Pengaruh di dalam Pengaruh Dalam beberapa hal, kepemimpinan mirip dengan daya tarik: mudah dikenali tapi sulit didefinisikan. Namun para psikolog secara umum menggunakan istilah ini untuk menjelaskan sebuah proses di mana seorang anggota kelompok (sang pemimpin) mempengaruhi anggota kelompok yang lain dalam upaya pencapaian tujuan bersama kelompok (Vecchio, 1997; Yukl, 1998).
SIAPA YANG MENJADI PEMIMPIN? BENARKAH TRAIT SUNGGUHSUNGGUH BERPENGARUH
Observasi
terhadap
terdahulu memformulasikan
fenomena
ini
membuat
para
peneliti
teori kepemimpinan yang disebut teori
orang besar (the real person theory) , cara pandang yang mengatakan bahwa para pemimpin besar memang memiliki beberapa trait tertentu yang membedakan mereka dari kebanyakan orang,yaitu trait yang dimiliki oleh seluruh pemimpin besar tak peduli kapan dan dimana mereka hidup. Trait khusus apa yang dimiliki para pemimpin? Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pemimpin memiliki trait berikut dalam derajat yang lebih tinggi dari kebanyakan orang, yaitu dorongan (drive) hasrat untuk mencapai sesuatu, dibarengi dengan energy yang besar dan resolusi; kepercayaan diri; kreativitas; dan motivasi kepemimpinan —syarat untuk memegang kembali dan memiliki otoritas terhadap yang lainnya. Secara spesifik, temuan-temuan terbaru (misalnya, Watson & Clark, 1997). Secara spesifik, temuan-temuan terbaru (misalnya, Judge & Bono, 2000) menyatakan bahwa beberapa dari Lima Besar dimensi kepribadian (Big Five dimensions of personality) berperan penting dalam kepemimpinan (misalnya, Barrick & Mount, 1991). Singkatnya, kelima dimensi ini tampak mewakili aspek aspek-aspek paling dasar dari kepribadian dimensi yang sangat bervariasi pada manusia, dan yang sering kali tampak dengan jelas dalam perilaku seseorang. Kelima dimensi itu adalah (akan dijelaskan kutub atas dari masing-masing dimensi): ekstraversi—kecenderungan pada sifat-sifat ramah, asertif, dan aktif; agreeableness—kecenderungan pada sifat-sifat baik hati, lembut, mempercayai, dan dapat dipercaya; ketekunan (conscientiousness)—teratur, dapat diandalkan, dan berorientasi pada kesuksesan; keterbukaan pada pengalaman baru—kecenderungan pada
sifat kreatif, imajinatif, perseptif, dan memikirkan orang lain; serta penyesuaian atau stabilitas emosional—kecenderungan pada sifat tenang, tidak tertekan, dan tidak moody. (kelima dimensi ini, pada kutub bawah, sering dijelaskan sebagai neurotisme; melibatkan sifatsifat yang bertentangan dengan yang di atas, yaitu kecenderungan untuk menjadi cemas, mudah takut atau khawatir, tertekan, moody ).
BAGAIMANA
PEMIMPIN
MENJALANKAN
KEPEMIMPINANNYA:
PERBANDINGAN GAYA DAN PENDEKATAN Pada semua pemimpin mungkin saja Trait mereka sama tapi mereka sangat berbeda dalam gaya atau pendekatan kepemimpinan (misalnya, George, 1995; Peterson, 1997). Terdapat begitu banyak variasi gaya kepemimpinan mengingat ada begitu banyak pemimpin, berbagai
penelitian
tentang
perilaku
atau
gaya
kepemimpinan
menyatakan bahwa kebanyakan pemimpin dapat ditempatkan dalam sejumlah kecil dimensi sehubungan dengan keseluruhan pendekatan kepemimpinan mereka. Pada awal studi ditemukan dua dimensi. Dimensi pertama disebut
memprakarsai
struktur
(initiating
structure)
(atau
berorientasi pada produksi). Pemimpin yang mempunyai kadar tinggi dalam dimensi ini sangat peduli pada upaya penyelesaian suatu tugas. Sebaliknya, pemimpin yang memiliki kadar rendah dalam dimensi ini melakukan hal-hal tersebut dalam porsi yang lebih sedikit. Dimensi yang kedua adalah kepedulian (consideration) (atau berorientasi pada manusia). Pemimpin yang memiliki kadar tinggi dalam dimensi ini memfokuskan diri pada usaha memmpertahankan pada hubungan baik dengan para bawahannya serta bagaimana membuat dirinya tetap disukai oleh mereka. Sedangkan pemimpin yang memiliki
kadar rendah dalam dimensi ini cenderung tidak terlalu mempedulikan seberapa baik hubungan mereka dengan bawahan. Keduanya sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kepedulian yang tinggi (sangat peduli pada manusia) dapat meningkatkan moral kelompok, tapi karena pemimpin seperti itu cenderung tidak suka member tahu bawahannya apa yang harus dilakukan atau member umpan balik negative atas hasil kerja mereka, efisiensi sering kali berkurang. Sebaliknya para pemimpin yang memiliki kadar tinggi dalam dimensi memprakarsai struktur bisa menghasilkan efisiensi kerja yang lebih tinggi meskipun para bawahannya mungkin menyimpulkan bahwa sang atasan tidak terlalu mempedulikan nasib mereka.
Ada
dua
dimensi
kepemimpinan
lain
yang
belum
terungkap dalam penelitian yang sama, yaitu seberapa jauuh pemimpin
membuat
seluruh
keputusannya
sendiri
atau
apakah
memperbolehkan partisipasi dari anggota-anggota kelompok (dimensi otokratik-partisipatif ) seberapa jauh pemimpin berusaha menjalankan tugasnya dengan cara memberikan
pengarahan langsung dalam
aktivitas kelompok ( dimensi permisif-terarah).
PEMIMPIN
TRANSFORMASIONAL
(KARISMATIK):
PEMIMPIN
YANG MENGUBAH DUNIA—ATAU SETIDAKNYA ORGANISASI MEREKA. Jenis pemimpin ini memang memiliki dampak yang demikian kuat pada jutaan manusia dan dengan dampak tersebut mereka mampu mengubah masyarakat. Pemimpin yang memiliki kapasitas seperti ini disebut pemimpin transformasional (transformational leader) (atau karakteristik) (House & Howell, 1992; Kohl, Steers, & Terborg, 1995).
Walau belum ada kesepakatan penuh, tetapi para peneliti setuju bahwa pemimpin tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut (misalnya, Bass, 1985; Judge & Bono, 2000): (1) pengaruh sosok ideal—mereka berperan sebagai panutan yang karismatik bagi para pengikutnya (misalnya, mereka memperlihatkan karisma dalam diri mereka); (2) stimulasi intelektual—mereka menstimulasi kreativitas dikalangan para pengikutnya dengan mempertanyakan berbagai asumsi dan status quo; (3) motivasi inspirasional—mereka menyatakan visi yang jelas dan memberikan inspirasi kepada para pengikutnya; serta (4) kepedulian individual—mereka menaruh perhatian dan mendukung kebutuhan individual para pengikutnya. Para pemimpin transformasional acap kali memiliki dampak yang sangat
kuat
memanfaatkan
pada
pengikutnya,
kemampuan
mereka
mereka
bisa
yang
luar
begitu biasa
karena untuk
meningkatkan motivasi dan komitmen para pengikut mereka. Berbagai hasil penelitian mengindikasikan beberapa faktor bagaimana cara mereka melakukan ini: Pertama, pemimpin ini menyatakan dengan jelas visi masa depan yang dapat—dan harus—dipenuhi oleh organisasi atau kelompok (Howell & Frost, 1989). Kedua, pemimpin karismatik tidak sekedar menyatakan visi : mereka
juga
menawarkan
jalan
untuk
mencapainya.
Mereka
menjabarkan dengan jelas kepada para pengikut mereka, apa saja yang harus dilakukan untuk mencapai visi tersebut. Penting juga untuk disadari bahwa orang cenderung tidak terlalu termotivasi untuk bekerja meraih visi yang tampaknya kelewat sulit untuk dicapai. Ketiga, pemimpin karismatik melakukan pembingkaian (framing) (Conger, 1991). Mereka mendefinisikan tujuan kelompok sedemikian rupa sehingga member makna dan maksud lebih pada tujuan dan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya.
Perilaku lain yang ditunjukan oleh pemimpin karismatik adalah self-confidence yang tinggi, gaya komunikasi yang memukau, serta kepribadian yang mempesona (House, Spangler, & Woycke, 1991).