Prosiding Seminar mi nar N asi onal M ater ter i al dan M etal tal ur gi ( SENAM M VI I I ) 20 2015
ISBN 978-602-73461-0-9
Prosiding Seminar mi nar N asi onal M ater ter i al dan M etal tal ur gi ( SENAM M VI I I ) 20 2015
ISBN 978-602-73461-0-9
5 November 2015 Eastparc Hotel Yogyakarta
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakar ta, 5 November November 2015
SUSUNAN PANITIA / DEWAN REDAKSI Penanggung Jawab
:
Prof. Ir. Jamasri, Ph.D. (Ketua Departemen Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik UGM)
Panitia Pengarah
:
1. Prof. Dr. Rochmin Suratman
(ITB)
2. Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi M.Soedarsono, M.Soedarsono , DEA (UI)
Reviewer
:
3. Prof. Dr. Ir. Sulistijono, DEA.
(ITS)
4. Alfirano, ST., Ph.D
(UNTIRTA) (UNTIRTA)
1. Prof. Ir. Jamasri, Ph.D.
(UGM)
2. Prof. M.Noer Ilman, S.T., M.Sc., Ph.D D
(UGM)
3. Ir. Heru SBR., M.Eng., Ph.D
(UGM)
4. Ir. M.Waziz Wildan, MSc., Ph.D
(UGM)
5. M.K. Herliansyah, Herlian syah, ST., MT., Ph.D
(UGM)
6. Prof. Dr. Rochmin Suratman
(ITB)
7. Dr. Aditianto Ramelan
(ITB)
8. Prof. Dr. Ir. Johny Wahyuadi M.Soedarsono, DEA (UI) (UI) 9. Prof. Dr. Ir. Bondan Tiara Sofyan, M.Si.
(UI)
10. Prof. Dr. Ir. Sulistijono, DEA.
(ITS)
11. Sungging Pintowantoro, Ph.D
(ITS)
12. Alfirano, ST., Ph.D
(UNTIRTA) (UNTIRTA)
13. Dr.Eng. A. Ali Alhamidi, ST., MT.
(UNTIRTA)
14. Prof. Dr. Kuncoro Diharjo, S.T., M.T.
(UNS)
15. Dr. Sularjoko, ST., MT.
(UNDIP)
Ketua Panitia
:
Dr. Kusmono, ST., MT.
Sekretaris
:
Dr. Eng. Priyo Tri Iswanto, ST., M.Eng
Bendahara
:
M.K. Herliansyah, ST., MT., Ph.D
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
ii
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakar ta, 5 November November 2015
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakar ta, 5 November November 2015
Koord. Pelaksana
:
Fellando Martino Nugroho
Sekretaris Pelaksana
:
Annisa Navi Syarani
Bendahara Pelaksana
:
Muhammad Aditya Permana
Kesekretariatan
:
Leonardus Herjuno
Acara
:
Nur Kholis Majid
Perlengkapan & Logistic :
Hanan Yunisar Saputra
Desain
:
Muhammad Ridwan Setyawan
Humas & Publikasi
:
Farid Ibrahim
Dokumentasi
:
Luqman Adi
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
iii
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII)
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
KATA PENGANTAR
Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM) merupakan seminar tahunan yang diadakan oleh Forum Komunikasi Material dan Metalurgi Indonesia (FKMMI). Pada tahun ini, SENAMM VIII diorganisir oleh Departemen Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada dengan mengambil tema “M ateri ateri als for Sustainable Deve Development and Environment ”. ”. Pada tahun ini, SENAMM VIII 2015 dilaksanakan bekerja sama dengan 8th Regional Conference on Mechanical and Manufacturing Engineering (RCMME) dan 1st International Conference on Mechanical and Manufacturing (ICMME) yang didukung oleh AUN/SEED-Net Program, Jepang. Prosiding ini merupakan kumpulan makalah yang dipresentasikan pada SENAMM VIII 2015. Sejumlah 57 makalah yang berasal dari berbagai institusi pendidikan maupun lembaga penelitian telah dipresentasikan pada SENAMM VIII 2015. Makalah tersebut dikelompokan menjadi lima kelompok yaitu logam, polimer, komposit, ko mposit, keramik, dan material maju. Kami atas nama Panitia SENAMM VIII 2015 menyampaikan men yampaikan terima kasih sebesarbesarnya kepada AUN/SEED-Net Program Jepang atas dukungannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para penilai/reviewer penilai/reviewer atas atas waktunya dalam menilai makalah SENAMM VIII 2015. Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh panitia SENAMM VIII, RCMME & ICMME, dan FKMMI atas segala bantuan dan kerja samanya dalam menyukseskan seminar ini.
Ketua Panitia SENAMM VIII
Dr. Kusmono
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
iv
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII)
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Daftar Isi Halaman Judul .................................... .......................................................... ............................................. ............................................. .......................................... .................... i Susunan Panitia / Dewan Redaksi Redaksi ........................................... ................................................................. ............................................ ............................ ...... ii Kata Pengantar............................................ ................................................................... ............................................. ............................................ ................................... ............. iv Daftar Isi ......................................... ............................................................... ............................................. ............................................. ............................................. ......................... v A LOGAM
HAL
2
Pengembangan Pengembangan Dredge Cutter Teeth: Mikrostruktur, Mikrostruktur, Sifat Mekanik dan Ketahanan Aus
Arif Basuki 7
Analisa Pengaruh Bentuk Benda Uji Tarik Terhadap Kekuatan Tarik UNS S20100
Rianti Dewi Sulamet-Ariobimo, Johny Johny Wahyuadi Soedarsono, Soedarsono, Yusep Mujalis, Tono Sukarnoto, Andi Rustandi, Dody Prayitno Pengaruh Peningkatan Derajat Deformasi Canai Hangat terhadap Perubahan Morfologi Struktur Paduan Cu-Zn 70/30
10
Eka Febriyanti, Dedi Priadi, Rini Riastuti Pengaruh Kecepatan Putaran Tool Terhadap Struktur Mikro, Mikro, Kekerasan dan Kekuatan Tarik Pada Sambungan Las FSW Tak Sejenis Antara AA5083 dan AA6061-T6
17
FX. A. Wahyudianto, Wahyudianto, M.N. Ilman, P.T. Iswanto, Iswanto, Kusmono Analisa Kegagalan Kabel Sling Penambat Tongkang
23
Husaini Ardy, Winda Rianti Studi Perilaku Korosi Pada Material Austenitic Stainless Steel Seri 304 dan 316 Dalam Campuran Larutan HNO3-NaCl
28
Andi Rustandi, Panji Panji Aji Wibowo, Johny Wahyuadi Wahyuadi Soedarsono, M. Akbar Akbar Barrinaya Pengaruh Variasi Resistivitas dan Kadar Air Tanah Terhadap Arus Proteksi Sistem Impressed Current Cathodic Protection (ICCP) Pada Pipa API 5L Grade B Dengan Variasi Goresan Lapis Lindung
31
Tubagus Noor Rohmannudin, Sulistijono, Arini Santoso
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 v
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Kajian Awal Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Laju Korosi Atmosferik Atmosferik Pada Baja Karbon Rendah di Bandung
37
Asep Ridwan Setiawan, Gunawan Wibisono Studi Oksidasi Baja Feritik SA213 T91 dan T22 di Udara Pada Temperatur 550 dan 650°C
43
Asep Hermawan, Husaini Husaini Ardy , Asep Ridwan Setiawan Analisis Pengaruh Siklus Pemanasan Terhadap Lapisan Oksida di Logam Induk dan Lasan Baja Feritik SA213 T91 pada Temperatur 650 dan 750°C
48
Azzahra Rahmani Ali, Husaini Husaini Ardy, Asep Ridwan Setiawan Pengendapan Tembaga dari Larutan Tembaga Sulfat dengan Metode Elektrolisis
54
Nadia Chrisayu Natasha dan Rudi Subagja Subagja Analisis Pengaruh Konsentrasi Larutan FeCl 3 dan Waktu Leaching terhadap Reduksi Logam Tembaga dari Bijih Chalcopyrite dengan Metode Metode Hydrometallurgy
59
Johny Wahyuadi Soedarsono, Soedarsono, Erwin, M. Akbar Barrinaya, Yudha Pratesa Pengaruh Reduksi Roasting Dan Konsentrasi Leaching Asam Sulfat Terhadap Recovery Recovery Nikel Dari Bijih Limonite
64
Johny Wahyuadi Soedarsono, Soedarsono, Gana Damar Damar Kusuma, Andi Rustandi, M. Akbar Barrinaya Analisa Pengaruh Komposisi Batubara terhadap Kadar Fe dan Derajat Metalisasi pada Proses Reduksi Besi Oksida dalam Pasir Besi
69
Sungging Pintowantoro, Fakhreza Abdul, Asshid Bahtiar Anhar Proses Reduksi Residu Hasil Ekstraksi Bijih Limonit Buli dengan Menambahkan Menambahkan Batubara Batubara pada Variasi Temperatur
74
Tri Partuti, Johny Wahyuadi Soedarsono Pengaruh basisitas dan % batu bara terhadap perolehan Fe hasil peleburan besi spons bijih besi Kabupaten Merangin Jambi
78
Soesaptri Oediyani, Iing Sakti, Agis Priyatna, Pri yatna, Djoko HP Analisis Pemesinan Pada Baja Perkakas SLD dengan Pengaruh GAP Terhadap Nilai MRR and Surface Roughness Pada Electrochemical Electrochemical Machining (ECM)
83
Sadiwana, Feriyantaa, Aris Widyo Nugrohoa, Tutik Sriania, Gunawan Setia Prihandanaa,
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 vi
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Analisa Waktu Pemesinan SLD Terhadap Kedalaman Lubang pada Pembuatan Pembuatan Roda Gigi Menggunakan Metode Electrochemical Machining
86
Feriyantaa, Sadiwana, Aris Widyo Nugrohoa, Tutik Sriania, Gunawan Setia Prihandanaa, Studi Ketahanan Korosi Sumuran Pada Baja Tahan Karat SUS 316L, SUS 317L, SUS 329J dAN HC-276 Dalam Larutan Asam Asetat Yang Mengandung Ion Bromida
89
Rini Riastuti, Dandi Panggih Panggih Triharto, Adam Hidana Hidana Yudo Saputro Pengaruh Shot Peening Setelah Nitriding Terhadap Fenomena Die Soldering Pada Baja 8407 Supreme Dan Dievar Untuk Pengecoran Paduan Aluminium Al-Si (Tipe ADC12)
95
Myrna Ariati Mochtar, Wahyuaji Wahyuaji Narottama Putra, Stefany Aprilya N Simanjuntak Simanjuntak Evaluasi Metode Rietveld Untuk Analisis Kuantitatif Senyawa Konsentrat Bijih Besi
101
Sri Harjanto, Heri Hidayat, Adji Kawigraha Pengaruh pH dan laju aliran fluida pada flow loop l oop system terhadap karakteristik karakteristik korosi baja karbon rendah di lingkungan asam lemah l emah
105
Budi Agung Kurniawan, Kurniawan, Rizqi Ilmal Yaqin Sintesis Pertumbuhan Pertumbuhan Kristal Aluminium Nitrida (AlN) Terhadap Massa Serbuk Aluminium dan Waktu Sputtering dengan Metode Vapor-LiquidSolid (VLS)
110
Ice Trianiza, Diah Susanti, Haryati Purwaningsih, Purwaningsih, Haniffudin Nurdiansyah Nurdiansyah Sintesis Aluminium Nitrid melalui Metode Vapor-Liquid-Solid (VLS) dengan Variasi Temperatur dan Waktu Proses
116
Mavindra Ramadhani, Ramadhani, Diah Susanti, Hariyati Purwaningsih, Purwaningsih, Haniffudin Nurdiansah Studi pengaruh campuran larutan H 2SO4-HCl dan H2SO4-HNO3 terhadap perilaku korosi baja karbon ASTM A620 dengan metode imersi dan polarisasi
121
Bambang Widyanto, Widyanto, Asep Ridwan Setiawan, Reza Reza Aghla Ardyan, Marlina Marlina Siagian
B
POLIMER Pengaruh Perlakuan Alkali dan Pengukusan Terhadap Kekuatan Serat Batang Pelepah Salak (Salacca Zalacca)
127
Seno Darmanto, Heru Santoso B.R., Ragil Widyorini dan Jamasri
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 vii
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Studi Pengaruh Perlakuan Alkali Terhadap Kekuatan Tarik Serat Daun Agel (Corypha Gebanga)
132
Hendri Hestiawan, Jamasri, Kusmono Pengaruh Acrylic Terhadap Sifat Mekanik dan Termal Bioplstik Pati/Lateks Karet Alam
136
Mardiyati, Steven, R.Suratman Pengaruh Penambahan Gliserol terhadap Struktur, Morfologi Granula dan Sifat Mekanik Plastik Pati Ganyong
140
Reyza Prasetyo, Mardiyati, Steven, R. Suratman Suratman Pengaruh Komposisi Pelarut dan Ketebalan Cat Epoksi Terhadap Daya Lekat dan Tingkat Pelepuhan (Blistering) pada Lingkungan NaCl yang Diaplikasikan pada Baja Karbon
144
Maulana Mufti Muhammad, Muhammad, Agung Purniawan Purniawan dan Hosta Ardhyananta Ardhyananta Pemanfaatan Pemanfaatan Plastik HDPE Dan LLDPE Sebagai Reduktor Pada Proses Reduksi Langsung Bijih Besi Lokal
150
Milandia Anistasia, Fadli Ulul Ulul The Effect of Variation of Surfactant Pluronic P123 to Pores Diameter in Synthesis of SBA-15 Mesoporous Material
155
Donanta Dhaneswara, Dhaneswara, Yus Prasetyo
C KOMPOSIT Karakteristik Karakteristik Antarmuka Komposit Semen Berpenguat Bambu Gombong (BRC)
160
Aditianto Ramelan, Riska Rachmantyo, Rachmantyo, M. Kurnia Bijaksana, Firmansyah Sasmita Sintesis dan Karakterisasi Membran Kitosan-Kolagen-Nano Karbonat Hydroxyapatite
165
Erizal, Basril Abbas, Dian Pribadi Pribadi Perkasa, Nofita Chairni Kajian Awal Pembuatan Biokomposit Pati Tapioka Berpenguat Serat Rami Acak
170
Hermawan Judawisastra, Lydia Virginia, Virginia, Mardiyati Karakterisasi Karakterisasi Material Komposit Untuk Rekayasa Balik Komponen Isolator Bar Sambungan Rel
176
Hermawan Judawisastra, Haroki Madani, Madani, Haryo Wibowo
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 viii
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Sifat Tarik Biokomposit Pati Singkong Berpenguat Serat Rami Searah
182
Hermawan Judawisastra, Fatma Fatma Azzahro, Mardiyati Sifat Tarik Komposit Poliester Berpenguat Serat Bambu Petung
187
Hermawan Judawisastra, Mohammad Mohammad Syahirul Rosadi Pemodelan Pengaruh Arah Serat Terhadap Kekuatan Impak Balistik Komposit E-Glass/Isophthalic Polyester
193
Rizal Panglevie, Mas Irfan P. Hidayat, Hidayat, Sulistijono dan Lukman Noerochim Manufaktur Sepatu Rem Komposit Kereta Api: Pengaruh Lama Pres Panas Terhadap Sifat Mekanik
200
Eko Surojo, Jamasri, Viktor Malau, Malau, dan Mochammad Noer Ilman Karakteristik Karakteristik Komposit Aluminium 6061 Berpenguat Al 2O3 Hasil Proses Pengecoran Pengecoran Aduk (Stir Casting)
206
Anne Zulfial, Eric Tanoto Studi Pengaruh Penambahan Pb(II) Terhadap Morfologi Dan Konduktifitas Listrik Komposit PANI/Pb
213
Sigit Tri Wicaksono*, Muhammad Khairurreza, Hosta Ardhyananta Pengaruh Temperatur Temperatur Sintering Terhadap Komposit (TiC - 25NiCr) dan [(Ti0,7Mo0,3)17C [(Ti0,7Mo0,3)17C - 25NiCr] Hasil Pemaduan Pemaduan Mekanik Menggunakan Menggunakan Metode Planetary Planetary Ball Mill
220
Ali Alhamidi, Suryana, M. Luthfi Hilman
D KERAMIK Pemanfaatan Pemanfaatan Besi Oksida Steel Slag sebagai Bahan Baku Magnet barium heksaferit
226
Aufar Ridwansyah, Ahmad Ahmad Nuruddin, Aditianto Ramelan Ramelan Ekstraksi Titanium Dioksida (TiO2) Dalam Bentuk Synthetic Rutile Dari Pasir Ilmenite (FeTiO 3) Melalui Proses Becher
231
Andinnie Juniarsih, Ir. Yuswono,Ujang Yuswono,Ujang Daud Septian Sifat Mekanis Beton Geopolimer dengan Agregat Limbah Beton Semen Portland
237
Sotya Astutiningsih, Henki W. Ashadi, Daniel A. Hartanto
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 ix
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
E
MATERIAL MAJU Ketahanan aus paduan Co-Cr-Mo F75 untuk aplikasi biomedis pada cairan tubuh simulasi
242
Alfirano, Dizzy Agni, Alfan G. Sauri, Sauri, Suryana, Anistasia Milandia Sutera Laba-Laba dan Ulat Sutera sebagai Material Scaffold untuk Aplikasi Rekayasa Jaringan Kulit
246
Untung Ari Wibowo, Hermawan Judawisastra, Regina Giovanni, Anggraini Barlian Sintesis Nanomaterial TiO 2 Doping Al dengan Metode Sol-Gel dan Penerapannya Penerapannya Sebagai Sensor Gas CO
251
Hariyati Purwaningsih, Rindang Rindang Fajarin, Malik Anjelh Baqiya, Irma Apsella Pengaruh Komposisi Lembaran Anoda LTO (Li 4Ti5O12) Terhadap Performa Sel Baterai Ion Lithium
256
Slamet Priyono, Suci Purnama Sari, Herli Ginting, Bambang Prihandoko Pengolahan Limbah Padat Pabrik Gula Sebagai Sumber Silika Sil ika Bahan Penyusun Solid Electrolyte Fast Ionic Conductor
261
Vania Mitha Pratiwi, Hariyati Purwaningsih, Heru Setyawan Pengaruh Proses Kalsinasi Secara Vakum Pada Sintesa Senyawa LIBOB sebagai Elektrolit Baterai Litium Ion
267
Titik Lestariningsih, Etty Marti Wigayati, Bambang Prihandoko Analisa Konduksi Panas Pada Functionally Graded Materials Dengan Metode Meshless
272
Mas Irfan P. Hidayat Analisa pengaruh waktu ultrasonikasi sintesis graphene dan komposisi graphene-TiO 2 terhadap unjuk kerja Dye Sensitized Solar Cell (DSSC)
278
Diah Susanti, Umar Faruk, Faruk, Hariyati Purwaningsih, Hanifuddin Hanifuddin Nurdiansyah, Rindang Fajarin, Ratna Ratna Budiawati Pengaruh waktu ultrasonikasi sintesis graphene dan susunan komposit laminat graphene-TiO2 terhadap unjuk kerja Dye Sensitized Solar Cell
285
Diah Susanti, Yunizar Natanael Natanael Pragistio, Hariyati Purwaningsih, Hanifuddin Hanifuddin Nurdiansyah, Rindang Rindang Fajarin, Ratna Budiawati Budiawati Pengaruh Waktu Pelindian dengan NaOH dan Karbonasi dengan CO 2 Pada Ekstraksi Campuran Senyawa SiO 2-Al2O3-LiOH
292
Wahyuaji Narottama Putra, Muhammad Firdaus, Sri Harjanto
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 x
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Studi Perilaku Korosi Paduan Zr-xMo dan Zr-yNb Hasil Metalurgi Serbuk untuk Aplikasi Biomaterial
298
Badrul Munir, Niken Anggraini Anggraini
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 xi
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakar ta, 5 November November
A Logam
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
1
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengembangan Dredge Cutter Teeth: Mikrostruktur, Sifat Mekanik dan Ketahanan Aus Arif Basuki Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Program Studi Teknik Material, Bandung 40132, Indonesia.
[email protected]
Abstract This research is aiming to develop dredge cutter teeth, high consumable components required for mining operation. Low alloy steel with chemical composition of 0,23%w C, 1,13%w Mn, 1,18%w Si, 0.47%w Ni, 1,07%w Cr dan 0,29%w Mo was chosen as a material for the developed dredge cutter teeth. Three heat treatment methods were applied to the as cast teeth i.e. normalizing, oil quenching, and quench-tempering. Airjet erosion tests and a full scale functional test were performed to the heat treated specimens in order to determine which heat treatment method gives the best result. Normalizing process resulted in the highest wear resistance among all the heat treatment methods. This is due to the present of ferrite, pearlite and bainite in the microstructure of normalized specimen which its surface deforms plastically during erosion and abrasion. Keywords dredge cutter teeth, heat treatment, erosion, abrasion, plastic deformation.
1. Pendahuluan Salah satu teknik pengerukan yang lazim diterapkan dalam pertambangan adalah dengan bucket wheel drive. drive. Teknik tersebut mengandalkan komponen pemotong berupa dredge cutter teeth (untuk selanjutnya disebut ). Terkait dengan kondisi operasinya, ). teeth komponen ini dituntut untuk memiliki ketahanan aus yang tinggi. Usia pengoperasian komponen tersebut sangat ditentukan oleh ketahanan aus material yang digunakan. Saat ini, material yang relatif unggul dan paling banyak digunakan untuk teeth tersebut adalah baja dengan merek dagang Creusabro 8000. 8000. Kekerasan baja tersebut sekitar 480 BHN dengan mikrostruktur yang kompleks berupa martensite, bainite, retained austenite dan micro carbide. Meskipun memiliki ketahanan aus yang unggul, namun mikrostruktur yang kompleks tersebut diperoleh dengan komposisi kimia yang sangat spesifik dan perlakuan panas yang rumit serta memerlukan pengendalian proses yang sangat ketat [1]. Penelitian ini bertujuan untuk menghasil-kan teeth jenis flared dengan material berupa baja coran yang perlakuan panasnya mudah dilakukan. Komposisi kimia baja coran juga dipilih dip ilih dengan p aduan yang mudah dipero leh di pasaran. Gambar 1 menunjukkan produk yang dihasilkan dalam penelitian ini.
Gambar 1. Produk coran komponen dredge cutter teeth yang dihasilkan. Disamping menghasilkan produk coran teeth, teeth, penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan kondisi pendinginan optimal pada perlakuan panas yang dilakukan terhadap produk coran tersebut. Kondisi pendinginan optimal tersebut ditentukan berdasarkan pada hasil pengujian keausan erosi di laboratorium lab oratorium dan hasil ha sil pengujian fungsi di lapangan ( full scale functional functiona l test ). ). 2. Metode Komponen teeth berupa baja coran dengan komposisi kimia 0,23%w C, 1,13%w Mn, 1,18%w Si, 0.47%w Ni, 1,07%w Cr dan 0,29%w Mo. Terhadap produk coran tersebut kemudian dilaku-kan perlakuan panas dengan parameter seperti yang ditunjukkan ditunjukka n pada Tabel Tab el 1.
Tabel 1. Parameter proses perlakukan panas Kode Pemanasan Pendinginan Penemperan udara bebas N 850 oC celup oli O 3jam celup air 200 oC-2jam T N: normalizing O: oil quenching T: quench-tempering
Pengujian kekerasan dan impak (CVN) pada temperatur kamar dilakukan terhadap ketiga Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 2
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
spesimen N, O dan T. Pengujian keausan dilakukan berdasarkan standar ASTM G 76 dengan Airjet Erosion Erosio n Tester TR470-Ducom TR470 -Ducom [2]. Uji aus tersebut dilakukan dengan menumbukkan partikel alumina berdiameter b erdiameter 50 m dengan sudut o 30 terhadap permukaan spesimen selama 15 menit. Laju aliran berat partikel alumina yang ditumbukkan sebesar 5 g/menit dengan kecepatan 100 m/detik. Pengujian keausan juga dilakukan pada skala operasi normal di lapangan. Konfigurasi teeth pada bucket wheel drive drive ditunjukkan pada Gambar 2. Kondisi pengerukan dilakukan terhadap tanah atas ( overburden) overburden) yang sebagian besar lapisannya berupa tanah liat ( clay). clay ). Pengujian dilakukan selama 96,5 jam operasi. Laju keausannya diukur dengan menimbang teeth sebelum dan sesudah diuji. Dalam pengujian ini selain teeth hasil penelitian ini juga diuji 2 jenis teeth produk impor sebagai pembanding. Salah satu dari teeth produk impor tersebut menggunakan menggunakan baja jenis Creusabro 8000. 8000 .
ketangguhan (energi impak) dimiliki oleh spesimen yang dihasilkan dari proses oilquenching (O). Mikrostruktur dalam spesimen O ini didominasi oleh bainite. bainite. Kombinasi optimal antara kekerasan dan ketangguhan diakibatkan oleh fasa bainite dalam spesimen hasil proses oilquenching. Gambar 3 menunjukkan potongan penam-pang spesimen setelah dilakukan pengujian aus (erosi). (erosi) . Akibat erosi oleh partikel alumina, kawah yang terbentuk pada spesimen T terlihat lebih panjang dan lebih dalam dibanding kawah yang terbentuk pada spesimen O dan N. Hal ini menun-jukkan bahwa spesimen T yang kekerasannya paling tinggi justru memiliki ketahanan aus (erosi) paling rendah. Perhitungan ketahanan aus (erosi) yang dilakukan dengan cara mengukur selisih berat spesimen sebelum dan sesudah diuji aus (erosi) menunjukkan kecenderungan yang sama, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3. Ketahanan aus (erosi) tertinggi dimiliki oleh spesimen N yang memiliki kekerasan terendah dengan mikrostruktur berupa ferrite, pearlite pearlit e dan bainite, bainite, sedangkan spesimen T dengan mikrostruktur tempered martensite, retained austenite dan carbide carbide memiliki ketahanan aus terendah meskipun kekerasannya paling tinggi. Spesimen O yang memiliki mikrostruktur bainite, martensite dan retained austenite, austenite, sebanding dengan kekerasannya memiliki ketahanan aus (erosi) diantara spesimen N dan T. Tabel 2. Mikrostruktur dan sifat mekanik teeth hasil perlakuan panas Kode
Mikrostruktur
Kekerasan & Energi impak
N
311 BHN
Gambar 2. Konfigurasi dredge cutter teeth pada bucket wheel drive dalam drive dalam pengujian a us di lapangan. lapa ngan. 3. Hasil dan Pembahasan Pe mbahasan Data dan gambar yang terdapat dalam Tabel 2 menunjukkan menunjukkan mikrostruktur, mikrostruktur, kekerasan dan hasil uji impak (CVN) dari 3 spesimen teeth yang telah mengalami perlakuan panas. Sebagaimana yang diharapkan, spesimen hasil normalizing (N) memiliki kekerasan yang paling rendah dengan mikrostruktur ferrite, pearlite pearlit e dan bainite. Kekerasan paling tinggi dimiliki oleh spesimen hasil quench-tempering (T) dengan mikrostruktur berupa tempered martensite, retained austenite dan dan carbide. carbide. Kombinasi optimal antara kekerasan dan Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
10 Joule
ferrite, pearlite, bainite
3
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
O
432 BHN
carbide memiliki ketahanan aus terendah. Hal ini selaras dengan dengan hasil penelitian penelitian dalam pustaka [4]. [ 4].
16 Joule
bainite, martensite, retained austenite T
481 BHN 9 Joule
tempered martensite, retained austenite, carbide
Gambar 4. Deformasi plastis dan retakan yang terjadi pada permukaan 3 jenis spesimen yang diuji aus (erosi). Tabel 3. Hasil uji aus spesimen di laboratorium dan uji aus komponen di lapangan Kode spesimen/ N O T komponen teeth Pengujian A. Aus ( jet erosion eros ion), ), selama 15 menit Pengurangan berat [mg] Laju erosi [mg/min]
50,3
51,7
54,5
3,35
3.45
3.63
2,30
2,70
2,45
0,024
0,028
0,025
B. Aus di lapangan, selama 96,5 96,5 jam Pengurangan berat [kg] Laju erosi [kg/jam]
Gambar 3. Penampang kawah hasil uji aus (erosi) spesimen spesimen teeth setelah dilakukan proses normalizing, oilquenching dan quench-tempering quench-tempering . Ketahanan aus (erosi), bila diurut berdasarkan mikrostrukturnya maka dapat dinyatakan bahwa fasa ferrite-pearlite ferrite- pearlite memiliki ketahanan aus tertinggi sedang fasa martensite-
Mekanisme pengikisan oleh partikel alumina terhadap permukaan spesimen hasil pengujian aus (erosi) (er osi) ditunjukkan pada Gambar Gamba r 4. Pada spesimen N pengikisan yang terjadi diawali oleh deformasi plastis, sedangkan pengikisan pada spesimen T diawali dengan terjadinya terjad inya retakan. Rendahnya kekerasan spesimen N ini dapat diartikan bahwa spesimen N memiliki kekuatan luluh ( yield ( yield strength ) yang lebih rendah
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 4
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dibanding spesimen O dan T. Dengan demikian, tumbukan partikel alumina mampu mengakibatkan mengakibatkan deformasi plastis pada permukaan spesimen N. Fasa yang keras dan getas berupa martensite dan carbide yang dimiliki oleh spesimen T menjadi penyebab terbentuknya retakan pada saat permukaan spesimen T tertumbuk oleh partikel alumina. Retakan-retakan tersebut akan terus merambat dan jika retakanretakan tersebut bertemu maka sebagian permukaan spesimen T akan terlepas sebagai wear debris. debris . Mekanisme pengikisan (erosi) melalui deformasi plastis dan retakan yang teramati dalam penelitian ini sesuai dengan mekanisme erosi yang dijelaskan dalam pustaka [4]. Mekanisme tersebut menjelaskan mengapa spesimen T yang keras justru memiliki ketahanan erosi yang tinggi.
Gambar 5. Uji aus di lapangan terhadap teeth yang dibuat dalam penelitian ini [D] dan teeth produk teeth produk impo r [I. Hasil pengujian aus di lapangan ( full ( full scale functional functiona l test ) ditunjukkan dalam Tabel 3. Dalam pengujian ini komponen teeth hasil proses normalizing memiliki laju erosi paling rendah yang berarti memiliki ketahanan aus tertinggi.
Berbeda dengan ketahanan erosi, komponen teeth hasil proses quench-tempering (T) memiliki ketahanan aus hasil uji lapangan yang lebih tinggi dibanding komponen teeth hasil proses oilquenching (O). Kemungkinan yang menjadi penyebab perbedaan ini adalah mekanisme keausan pada pengujian lapangan tidak hanya erosi melainkan juga abrasi. Penelitian tentang keausan dengan mekanisme abrasi sedang dilakukan dan akan segera dipublikasikan. dipublikasikan. Dalam pengujian lapangan juga dilakukan pengujian terhadap 2 komponen teeth produk impor dari 2 negara. Hasil pengujian terhadap 3 komponen teeth ditunjukkan pada Gambar 5. Pengujian lapangan dilakukan selama 96,5 jam dan dari pengukuran selisih panjang komponen teeth sebelum dan sesudah pengujian diperoleh ketiga komponen teeth mengalami keausan yang hampir sama sekitar 0,52 mm/jam. Dengan demikian, dapat dinyatakan ketiga komponen teeth tersebut memiliki ketahanan aus yang sama bila digunakan dalam pengerukan lapisan overburden berupa overburden berupa tanah liat ( clay). clay). Hal penting yang perlu dicatat dari penelitian ini adalah bahwa komponen ko mponen teeth yang terbaik adalah komponen hasil proses normalizing . Dari segi proses pembuatan komponen teeth dengan perlakuan panas berupa normalizing tentu sangat menguntungkan. Proses normalizing, selain mudah dilaksanakan juga tentu lebih murah dibanding proses oil-quenching dan quench-tempering. 4. Kesimpulan Dari pengecoran dan perlakuan panas komponen teeth, serta pengujian laboratorium dan lapangan diperoleh beberapa hasil dan kesimpulan sebagai berikut: Komponen dredge cutter teeth jenis flared telah berhasil dibuat dengan menggunakan baja paduan rendah dengan komposisi kimia 0,23%w C, 1,13%w M n, 1,18%w Si, 0.47%w Ni, 1,07%w Cr dan 0,29%w Mo. Ketahanan aus (erosi dan abrasi) tertinggi dimiliki oleh komponen dredge cutter teeth jenis flare hasil proses normalizing. Komponen dredge cutter teeth dengan kekerasan relatif rendah serta memiliki mikrostruktur berupa ferrite, berupa ferrite, pearlite p earlite dan bainite memiliki ketahanan aus yang tinggi akibat kemampuanya untuk berdeformasi berdefor masi plastis pada saat tererosi dan terabrasi.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 5
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Daftar Pustaka [1] ArcelorMittal, Creusabro® 8000-A high performance wear resistant steel, available at www.arcerolmittal.com , diakses Januari 2015. [2] Airjet Erosion Tester TR470, Instuction Manual, Ducom, 2011. [3] A.V. Reddy, G. Sundararajan, 1987, The Influence of Grain Size on the Erosion Rate of Metals, Metals, Metallurgical Transaction, Transaction , Vol. 18A. [4] Hwei-Yuan Teng, 2003, Erosion Behaviour of CA-15 Tempered Martensitic Steel, Materials Transactions, Vol. 44, No. 7 , The Japan Institute of Metals.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 6
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Analisa Pengaruh Bentuk Benda Uji Tarik Terhadap Kekuatan Tarik UNS S20100 Rianti Dewi Sulamet-Ariobimo Sulamet-Ariobimo1, Johny Wahyuadi Soedarsono 2, Yusep Mujalis 1, Tono Sukarnoto1, Andi Rustandi2, Dody Prayitno1 1
Jurusan Teknik Teknik Mesin Fakultas Teknologi Teknologi Industri Industri Universitas Universitas Trisakti Kampus A Jl. Kyai Kyai Tapa No. 1 Grogol, Indonesia Indonesia 2 Departmen Departmen Metalurgi dan Material Material Fakultas Teknik Universitas Universitas Indonesia Indonesia Kampus UI Depok Depok - Depok, Depok, Indonesia Indonesia
[email protected]
Abstract
Unlike hardness testing, tensile testing needs standardized tensile specimen to guarantee the testing result. The tensile specimens were standardized since the finding of Goh and Shang that specimen dimensions will affect the tensile properties. This worked discussed the effect of specimen dimension to the tensile properties of stainless steel plate. UNS S20100 plate with 1 mm of thickness are used in this worked. The specimens are JIS Z2201 No. 13-B and 5. The result shows that from the three tensile properties that were examine, elongation is the most sensitive to specimen width changing. Keywords: Tensile specimen; Tensile Properties; TWDI; Stainless Steel
1.
Pendahuluan Goh dan Shang pada penelitian mereka di tahun 1982 menemukan bahwa ternyata bentuk benda uji tarik mempengaruhi sifat tarik [1]. Ada 3 parameter yang sangat menentukan hasil penarikan sebuah pelat, yaitu ketebalan pelat, lebar benda uji tarik dan arah gaya proses canai. Walaupun demikian dalam standar pengujian Japanese Industrial Standard (JIS) [2] masih terdapat beberapa jenis benda uji tarik yang diijinkan untuk digunakan. SulametAriobimo dkk [3] dalam penelitiannya terkait pelat thin wall ductile iron iron (TWDI) mendapatkan hasil yang berbeda ketika menggunakan benda uji tarik Z2201 No. 5 dan No. 13. Hasil penelitian itu menunjukan bahwa untuk pelat TWDI perbedaan terbesar kekuatan tarik (UTS atau Rm) terbesar adalah 34%, sedangkan kekuatan luluh (Yield atau Ry) 38% dan elongasi sebesar 541% [3,4]. Pada penelitian selanjutnya, Sulamet-Ariobimo dkk menggunakan kedua bentuk benda uji tarik yang sama untuk menguji dua jenis pelat dari logam yang berbeda. Pelat yang dipilih adalah pelat baja SS400 untuk kelompok fero dan pelat aluminium AA1100 untuk mewakili logam non fero. Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk pelat baja SS400 diperoleh perbedaan yang tidak signifikan pada elongasi (5%) dan tidak ada perbedaan pada hasil kekuatan tarik maksimum dan kekuatan luluh [4,5]. Sedangkan pada aluminium terjadi perbedaan yang cukup signifikan untuk elongasi (53%), perbedaan tidak signifikan pada kekuatan tarik maksimum (5%) dan tidak terdapat perbedaan pada kekuatan luluh. Hasil-hasil penelitian ini menunjukan bahwa elongasi adalah sifat tarik
yang paling peka terhadap perubahan dimensi benda uji tarik. Paper ini membahas tentang pengaruh benda uji tarik terhadap pelat stainless steel 2. Metodologi Dua jenis benda uji tarik JIS Z 2201 No. 5 dan 13-B (Gambar 1) dibuat pada satu lembar pelat stainless steel . Ketebalan pelat adalah 1 mm. Proses pembuatan benda uji tarik dilakukan pada orientasi arah gaya proses yang sama. Masing-masing benda uji tarik dibuat sebanyak 5 buah. Selanjutnya semua benda uji tarik ditarik dengan mengikuti standar JIS Z 2241.
JIS Z 2201 No. 13(B)
JIS Z 2201 No. 5 Gambar 1. Bentuk Benda Uji Tarik
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 7
Prosiding Prosiding Se Seminar N asional asional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Sebelum dilakukan pengujian tarik, dilakukan analisa komposisi kimia dengan menggunakan spektrometri. Gambar 2. Hasil Pengujian Tarik 2. Hasil dan pembahasan Kedua jenis benda tarik yang digunakan menurut JIS Z2201 adalah benda tarik untuk pelat. Perbedaan antara keduanya terletak pada lebar dari benda uji tarik (W). Lebar benda uji tarik no. 5 dua kali benda uji no. 13(B).
Tabel 1. Komposisi Kimia Pelat Stainless Steel Komposisi Kimia - %berat C Stand ar
Peng ujian
M n
P
S
Si
C N r i
Lain nya
trac e
trac e
5, ≤ 5 0, – 15 7, 5
≤ 0, 06
≤ 0, 03
1 3, ≤ 6 5 1, – – 00 1 5, 8 5
0, 15
< 0, 02
< 0, 02
0, 6
7, 0
1 6
3, 5
Hasil pengujian spektrometri menunjukan bahwa semua komposisi kimia dari pelat yang digunakan dalam pengujian ini berada dalam s tandar dari UNS S 201000. UNS S 201000 ini setara dengan SAE201 dan SUS201. Berdasarkan kepada SUS201 maka kekuatan tarik maksimum adalah minimal 655 N/mm2, kekuatan yield minimum adalah 310 N/mm2 dan elongasi minimumnya adalah 40%. Hasil pengujian tarik adalah seperti terlihat pada Gambar 2. Baik benda uji tarik Z2201 No. 13B maupun Z2201 No. 5 memberikan hasil yang semuanya melebihi dari batas minimal. Semua kekuatan tarik maksimal berada diatas 800 N/mm2. Hal sama juga diperoleh untuk kekuatan yield dan elongasi. Semua kekuatan luluh berada diatas 500 N/mm 2 kecuali untuk sampel 1 pada bentuk benda uji No. 5, yaitu 500 N/mm 2. Semua elongasi berada diatas 45%. Hal menarik terlihat bahwa kekuatan luluh mempunyai perbedaan terbesar (96%) terhadap standar batas minimal jika dibandingkan dengan kekuatan tarik maksimum (36%) dan elongasi (30%).
Ketika hasil pengujian tarik kedua sampel dibandingkan (Gambar 2), maka terlihat bahwa perbedaan terbesar yang terjadi antara hasil penarikan kedua benda tarik tersebut ada pada elongasi, yaitu 3,69%. Perbedaan kekuatan tarik maksimum hanya 2,99% sedangkan kekuatan luluh hanya 2,12%. Perbedaan yang terjadi pada ketiga hasil tarik tidak besar, yaitu berkisar antara 0.5 sampai 1% saja.
Gambar 3. Perbandingan Perbedaan Hasil Pengujian Tarik dari Beberapa Material [3,4,5] Gambar 3 menunjukan perbandingan terhadap perbedaan hasil pegujian tarik beberapa material menggunakan kedua jenis standar benda uji yaitu: JIS Z2201 No. 13B dan JIS Z2201 No. 5. Gambar 3 menunjukan bahwa dari kekuatan tarik, kekuatan luluh dan elongasi, yang paling sensitif terhadap perubahan lebar benda uji tarik adalah elongasi. Elongasi menjadi sangat sensitif terhadap perubahan dimensi lebar benda uji tarik karena berkaitan dengan sifat mampu bentuk dari material. pertambahan panjang Sedangkan perbedaan elongasi pada stainless steel terlihat lebih kecil dibandingkan dengan material lainnya karena diasumsikan sebagai akibat banyaknya bidang slip pada stainless steel . Banyaknya bidang slip ini akan menyebabkan sifat mampu bentuk material menjadi lebih baik. Dengan mampu bentuk yang lebih baik maka perubahan dimensi tidak berpengaruh. 3.
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari tahap penelitian ini adalah perubahan dimensi lebar benda uji tarik pelat stainless steel mempengaruhi nilai tarik yang dihasilkan. Pengaruh paling besar terlihat pada elongasi. Tetapi perbedaan yang terjadi tidak signifikan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 8
Prosiding Prosiding Se Seminar N asional asional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
jika dibandingkan dengan perbedaan pada material lainnya. Hal ini diasumsikan terjadi karena stainless steel mempunyai banyak bidang slip sehingga memiliki mampu bentuk yang baik, sehingga perubahan dimensi lebar pada benda uji tarik tidak terlalu mempengaruhi nilai elongasinya. 4.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk biaya penelitian ini yang disampaikan melalui Hibah Bersaing No. 180/K3/KM/2014. Daftar Pustaka [1] Goh T N and Shang H M, J. M, J. Mech. Work. Technol 7 (1982) 23. [2] Japanese Industrial Standard, Tokyo, Japan: Japanese Standard Association. [3] Sulamet-Ariobimo R D, Soedarsono J W and Sukarnoto T: T : ‘Effects of JIS Z2201Z2201 13(B) and JIS Z2201- 5 to Tensile Properties of Thin Wall Ductile Iron’, Proc. of 6 th Nat. Conf. on Metallurgy and Material (SENAMM), Depok, Indonesia, November 2013, Universitas Indonesia, Paper C-6. [4] R.D. Sulamet-Ariobimo, J.W. Soedarsono, Y. Mujalis, T. Sukarnoto, A. Rustandi, D. Prayitno: ‘Analisa Pengaruh Bentuk Benda Uji Tarik Terhadap Kekuatan Tarik Aluminium’ Aluminium ’ Prosiding Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI) IX, Bali 2014, Universitas Tarumanagara, Paper TM 44. [5] R.D. Sulamet-Ariobimo, J.W. Soedarsono, T. Sukarnoto, A. Rustandi, Y. Mujalis, D. Prayitno: Tensile Properties Analysis Of AA1100 Aluminum And SS400 Steel Using Different JIS Tensile Standard Specimen, un-published .
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 9
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015
Pengaruh Peningkatan Derajat Deformasi Canai Hangat terhadap Perubahan Morfologi Struktur Paduan Cu-Zn 70/30 Eka Febriyanti1,2, Dedi Priadi1, Rini Riastuti1 1
Departemen Departemen Teknik Teknik Metalurgi Metalurgi dan dan Material, Material, Fakultas Teknik, Teknik, Universitas Universitas Indonesia, Indonesia, Depok, Depok, Indonesia Indonesia Balai Besar Teknolog Teknologii Kekuatan Struktur (B2TKS), (B2TKS), Badan Pengkajian Pengkajian dan Penerapan Penerapan Teknologi Teknologi Kekuatan Kekuatan Struktur Struktur (BPPT)
[email protected]
2
Abstract Thermo Mechanical Controlled Processed (TMCP) is an efficient alternative fabrication process because it has lower energy consumption, easier to control dimension, and produce better mechanical properties then conventional process. In this research TMCP is conducted to Cu-Zn 70/30 alloy in various deformation percentage at a level of 32.25%, 35.48%, 35.48%, and 38.7% in temperature 500 oC by double pass reversible method. Warm rolling is given at deformation temperature between hot and cold forming to obtain tiny grain boundary. This temperature is higher than room temperature but lower than recrystallization temperature. For Cu-Zn 70/30 alloy the range of warm rolling is between 0.4 to 0.6 Tm or between 382 oC-573oC. In this temperature range, the sample is plastic deformed and then followed by strain hardened and part of them are recrystallized. Examination result show that other than tiny grain, grain, warm rolling rolling also produces produces sub grain in Cu-Zn 70/30 alloy which has smaller size than normal grain. Deep examination by optical microscopy on morphology of micro structure indicates that dynamic recrystallization recrystallization occurred at 32.25% deformation. Dynamic recrystallization recrystallization phenomenon occurred is caused by a combinations of hot process and plastic deformation. By increasing deformation level to 38.7% this process produce tiny grain with average size about 29 μm at the edge and 33 μm in the center in equiaxe grain at GAR (Grain Aspect Ratio) of 1.2 at the edge and and 2.1 in the center center. This condition of microstructure microstructure is fully recrystallized. Keywords : warm rolled, Cu-Zn 70-30, deformation increasing, structure morphology
1.Pendahuluan Thermo Mechanical Controlled Processed (TMCP) merupakan proses perubahan bentuk suatu material dengan cara memberikan deformasi plastis yang cukup besar dan terkontrol terhadap material dengan tujuan menghasilkan butir halus pada material [1]. Secara umum proses termomekanik ini terdiri dari proses pemanasan awal (reheating ( reheating ), ), pengerjaan panas ( hot worked ), ), serta pendinginan (cooling ( cooling ). ). Salah satu metode TMCP yang sedang dikembangkan adalah pengerjaan canai hangat yang dapat memberikan efisiensi energi dan kemudahan pengontrolan dimensi yang lebih baik dibandingkan canai dingin. Apabila dibandingkan dengan canai panas, canai hangat akan menghasilkan morfologi struktur butiran yang lebih halus dengan sifat mekanis yang lebih tinggi, kualitas permukaan dan pengendalian dimensi dimensi yang lebih baik, serta elemen yang terbuang akibat proses dekarburisasi atau oksidasi yang lebih rendah [2]. Deformasi canai hangat dilakukan pada suhu kerja di antara canai panas dan canai dingin yang bertujuan untuk menghasilkan butiran yang halus. Suhu canai hangat berada pada range di atas suhu ruang, namun lebih rendah dibandingkan suhu rekristalisasi yaitu 0.4-0.6 Tm ( melting (melting temperature) temperature) [3]. Berdasarkan range suhu pengerjaan canai
Departermen Teknik Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
hangat, setelah terjadi deformasi plastis, material sebagian mengalami pengerasan regangan dan sebagian mengalami rekristalisasi. Selain menghasilkan butir yang lebih halus, proses canai hangat menyebabkan material mengalami pembentukan sub-butir (subgrain) yang berukuran micrometer maupun sub-micrometer pada butir yang berukuran lebih besar atau kasar kasar [4]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari perubahan morfologi struktur mikro pelat paduan Cu-Zn 70/30 yang melalui proses canai hangat dengan metode double pass reversible sebanyak 32.25%, 35.48%, dan 38.7%, mengamati, dan menganalisa efek dari variable proses peningkatan besar deformasi terhadap perubahan morfologi struktur. 2. Metode Penelitian Benda uji yang digunakan adalah paduan CuZn 70/30 dengan hasil komposisi yang terlihat p ada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi benda uji paduan Cu-Zn 70/30 Unsur
Cu Zn Fe Sn Al
Penelitian (wt%) 69.5 30.7 0.026 0.0062 < 0.002
Target* (wt%) 69.5-72 sisa ~ max. 0.05 ~ max. 0.03 ~ max. 0.03
10
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015
Ni ~ max. 0.2 As < 0.001 ~ max. 0.02 Pb < 0.005 ~ max. 0.05 Si < 0.005 ~ max. 0.01 Mn 0.0052 ~ max. 0.04 P < 0.003 ~ max. 0.05 Sb ~ max. 0.01 Bi ~ max. 0.04 * Target : standard PINDAD Pengujian komposisi material paduan Cu-Zn 70/30 dilakukan dengan menggunakan Optical Emission Spectroscopy (OES) Spectroscopy (OES) pada DTMM FTUI. Ukuran benda uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah pelat berdimensi 100 mm x 100 mm x 3,1 mm seperti yang ditampilkan pada Gambar 1, lalu dihubungkan dengan kawat termokopel tipe K berdiameter 2 mm. Pengukuran temperatur menggunakan data acquisition system system yang dihubungkan dengan perangkat komputer.
Gambar 2 . Diagram tahapan homogenisasi di temperatur 700oC selama 90 menit
Gambar 3. Diagram tahapan canai hangat pada temperatur 500 oC dengan metode double pass reversible Gambar 1. Contoh rangkaian pengujian canai hangat Proses deformasi canai hangat didahului dengan pemanasan sampel pada dapur karbolit dengan temperature 700 oC selama 90 menit, yang kemudian dilanjutkan proses canai pada mesin OnoRoll kapasitas 20 tonF dengan parameter deformasi canai double pass reverse, reverse, bolak-balik sebanyak 32.25%, 35.48%, dan 38.7% yang dilanjutkan dengan pendinginan udara. Penelitian ini diawali dengan pemanasan awal benda uji dari suhu ruang ke suhu 700 oC selama 30 menit lalu ditahan selama 90 menit untuk proses homogenisasi yang bertujuan untuk menghasilkan ukuran butir yang lebih seragam, kemudian dilanjutkan dengan pendinginan dalam oven ke suhu ruang seperti yang terlihat pada Gambar 2. Selanjutnya dilakukan pemanasan ke suhu 500 oC dengan waktu 15 menit dan ditahan selama 15 menit lalu dilakukan canai hangat secara double pass reversible dengan derajat deformasi 32.25%, 35.48%, dan 38.7% kemudian dilanjutkan dengan pendinginan di udara, tahapan proses ditunjukkan pada Gambar 3.
Departermen Teknik Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Proses canai hangat dilanjutkan dengan analisa morfologi struktur mikro menggunakan pengamatan metalografi. Pengamatan metalografi dilakukan untuk menganalisa perubahan morfologi struktur Cu-Zn 70/30. Perubahan morfologi struktur Cu-Zn 70/30 merupakan pengamatan perubahan bentuk dan ukuran butir, aliran deformasi material ( strain marking ), ), dan cacat-cacat mikro baik di permukaan maupun di dalam butir yang mungkin timbul dari proses canai hangat. Preparasi benda uji berdasarkan ASTM E3 – 01[5]. Persiapan benda uji sebelum pengamatan metalografi meliputi pencetakan sampel, pengamplasan, dan pemolesan sampel sampai mendapatkan permukaan yang lebih halus dan mengkilap serta bebas goresan akibat pengamplasan. Proses selanjutnya yaitu etsa yang bertujuan untuk memunculkan jejak batas butir dan morfologi struktur butir pada benda uji dengan menggunakan zat etsa ferric klorida atau 10% FeCl 3 yang terdiri atas 10 gr FeCl 3 dan 90 ml alcohol 96%. Kemudian dilakukan pengamatan struktur mikro dengan metode metalografi menggunakan mikroskop optik. Setelah dilakukan pengamatan metalografi lalu dilakukan analisa dan perhitungan ukuran butir yang mengacu kepada ASTM E 112 dengan metode Intercept Heyn[6]. Heyn[6]. Prinsip perhitungan ukuran butir dengan metode
11
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015
yaitu mengitung jumlah titik potong Intercept Heyn Heyn yaitu antara total panjang garis yang ditarik sepanjang 500 mm dengan batas butir pada foto struktur mikro dengan perbesaran tertentu. Awalnya yaitu dengan membuat 3 lingkaran yang masing-masing memiliki diameter sebesar 79,58 mm, 53,05 mm, dan 26,53 mm dimana ketiga lingkaran tersebut digabung menjadi satu dengan panjang total ketiga garis lingkaran tersebut 500 mm seperti yang terlihat pada Gambar 4.
keramik Si3 Ni4 yang berperan penting dalam mengontrol sifat mekanik dari material keramik tersebut [7]. Ukuran diameter butir dan ketebalan butiran dari perhitungan nilai Grain Aspect Ratio (GAR) pada material paduan 70/30 Cu-Zn akan berubah setelah dilakukan proses canai dan pemanasan sekaligus. Dengan mengamati besar butir dan perubahan dimensi ketebalan maka evolusi mikrostruktur dan morfologi struktur dapat diamati. Perhitungan GAR dari butir pada setiap sampel dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut : GAR=P/L (3) dimana : GAR = Grain Aspect Ratio, P = Panjang butir (mm), dan L = Lebar butir (mm) 3. Hasil dan Pembahasan Pengamatan metalografi dilakukan pada bagian tengah dan tepi benda uji hasil deformasi seperti yang ditunjukkan oleh huruf X dan Y pada Gambar 5 .
Gambar 5. Daerah benda uji untuk pengamatan metalografi, X adalah daerah tengah, Y adalah daerah tepi posisi searah canai hangat Gambar 4. Metode intercept heyn, heyn , dengan menggunakan garis berbentuk lingkaran dengan total panjang garis 500 mm, dengan foto perbesaran 100X Jumlah titik potong persatuan panjang (PL) dihitung dengan P L = P/ LT/M, dan panjang garis perpotongan (L 3) adalah : L3 = 1/PL (1) dimana : P = Jumlah titik potong batas butir dengan total panjang garis yang dalam hal ini berbentuk lingkaran, LT = Panjang Garis Total (Sesuai standar ASTM =500mm), dan M = Perbesaran Dari PL atau L 3, dapat dilihat di tabel besar butir ASTM E 112 (Standard (Standard Test Methods for Determining Average Grain Size, Size , 2003), atau dimasukkan ke dalam rumus : G = -6,6439 log (L3) – 3,2877 (2) Untuk menentukan diameter ukuran butir dilakukan dengan menyesuaikan nomor G yang didapat dalam perhitungan dengan tabel ukuran butir standar pada ASTM E112 [6]. Sedangkan untuk bentuk butir dengan bentuk memanjang menggunakan metode GAR ( Grain Aspect Ratio) Ratio) yang bertujuan untuk mengetahui peranan proses TMCP dan canai hangat terhadap besar dan dimensi butir dari masing-masi ng benda uji. Penggunaan GAR tersebut awalnya dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik material pada Departermen Teknik Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 6. Foto mikrostruktur benda uji bulk, (a) Daerah tengah (X), (b) Daerah tepi (Y). Etsa 10% FeCl 3 Paduan Cu-Zn 70/30 yang digunakan pada penelitian ini adalah pelat yang sebelumnya telah mendapat perlakuan berupa canai panas sebanyak 10 pass yang dilanjutkan dengan canai dingin sebanyak 40 pass, lalu dilanjutkan dengan anil yang bertujuan untuk 12
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015
menghasilkan mikrostruktur yang halus dari proses canai dingin. Oleh karena itu, struktur yang dihasilkan sudah cukup halus dengan ukuran butir sekitar 9-11 µm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 7. Foto mikrostruktur benda uji setelah homogenisasi 700 oC selama 90 menit. Etsa 10% FeCl3 Hasil pengukuran besar butir menunjukkan bahwa diameter butir rata-rata dari pelat yang dihomogenisasi mencapai 60 HV 71.82 μm dengan suktur mikro paduan Cu-Zn 70/30 terdiri dari butiran dengan twin berbentuk garis-garis sejajar [8-10] seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Pada Gambar 8 (A) s/d (F) menunjukkan bahwa dengan meningkatnya meningkatnya derajat deformasi dari 32.25% s/d 35.48% menghasilkan distribusi ukuran butir yaitu yaitu mencapai mencapai ± 0.4-1.7µm dengan dengan perbedaan ukuran butir berkisar antara 1 s/d 4.12 % seperti yang terlihat pada Gambar 9. Namun, pada derajat deformasi yang lebih tinggi sebesar 38.7% menghasilkan perbedaan ukuran butir antara bagian tepi dan bagian tengah yang sangat besar yaitu mencapai 11.38%.
Departermen Teknik Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
13
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015
Gambar 8 . Pengamatan struktur mikro dari mikroskop optik untuk benda uji canai hangat, deformasi aktual 32.25% (A) Bagian tepi, (B) Bagian tengah; deformasi actual 35.48% (C) Bagian tepi, (D) Bagian tengah; deformasi aktual 38.7% (E) Bagian tepi, (F) Bagian tengah. Etsa 10% FeCl 3
60
m μ
40
, r i t u 20 B n a 0 r u k U
44,9
39,9
43,12
32,35
39,5
35,48
33,47 29,53 38,7
Derajat deformasi (%)
Ukura uran Bu Butir Tepi
Ukuran ran Bu Butir Tengah
Gambar 9.Hubungan antara derajat deformasi (%) dengan ukuran butir (μm) Dari hasil pengamatan struktur mikro pada Gambar 8 menunjukkan bahwa bagian tepi lebih banyak terkena deformasi dibandingkan bagian tengah. Oleh karena itu, fenomena
Departermen Teknik Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
rekristalisasi lebih mudah terjadi di bagian tepi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya butiran halus yang terbentuk di bagian tepi dibandingkan bagian tengah. Selain itu, pada permukaan struktur mikronya juga terlihat adanya bidang twin twin yang terdeformasi (twin ( twin deformed ) dan saling berhimpit yang ditandai dengan kumpulan garis kusut, deformasi plastis yang meningkat dan ditandai dengan garis hitam, serta batas butir yang semakin kurang jelas. Kumpulan garis kusut dan garisgaris hitam tersebut semakin jelas terlihat ketika deformasi aktual mencapai 35.48% seperti yang terlihat pada Gambar 8 (C) dan (D) (garis putus-putus). Struktur mikro di derajat deformasi sebesar 32.35% dan 35.48% menunjukkan bahwa butir telah mengalami rekristalisasi sebagian yang ditandai dengan bentuk butir bulat yang tidak beraturan seperti yang terlihat pada Gambar 8 (A) s/d (D). Distribusi ukuran yang berbeda antara bagian tepi dan tengah menunjukkan mulai terjadi transformasi dan pertumbuhan butir baru. Fenomena ini disebut partially recrystallized (rekristalisasi sebagian) yang terjadi setelah pertumbuhan nuclei dari nuclei dari penggabungan sub butir[8]. Sedangkan ukuran butir terkecil terdapat pada mikrostruktur benda uji yang dilakukan canai hangat dengan derajat deformasi aktual 38.7% seperti yang terlihat pada Gambar 8 (E) s/d (F). Menurut Radovic, dkk[10] yang melakukan thermomechanical treatment pada treatment pada paduan paduan AlMg4.5Cu0.5 menunjukkan bahwa pertumbuhan mikrostruktur setelah canai dingin dan anil berhubungan erat dengan dengan derajat deformasi dan temperatur anil, peningkatan reduksi canai, dan temperatur anil yang menyebabkan terjadinya rekristalisasi yang menghasilkan struktur butir partial recrystallized recrystallized dan fully dan fully recrystallized . Setelah anil pada temperatur 250 oC terjadi recovery (pemulihan) untuk semua persen reduksi. Sedangkan setelah anil pada temperatur 350 oC terjadi partial recrystallized pada persentase reduksi 20% dan terjadi fully recrystallized pada presentase reduksi 40-60%. Ukuran butir yang terekristalisasi sangat dipengaruhi oleh reduksi canai dingin sebelum anil dan diperhalus lagi dengan reduksi canai dingin. Jadi, pada penelitian ini dengan persentase reduksi dari 32.35% dan 35.48% menghasilkan butiran bulat yang tidak beraturan yang menandakan bahwa proses rekristalisasi sebagian telah terjadi. Sedangkan pada persentase reduksi sebesar 38.7% menghasilkan butir yang lebih halus dan mengarah mengarah ke bentuk equiaxed . Hal ini menandakan bahwa struktur butiran sudah mendekati fully mendekati fully recrystallized atau terekristalisasi secara sempurna seperti yang terlihat pada Gambar Gambar 8 (E) dan (F). Untuk rekristalisasi dinamis mulai terjadi ketika derajat deformasi mencapai 32.25% yang menunjukkan adanya butiran equiaxed baru berukuran kecil mengelilingi fasa alfa seperti yang terlihat pada Gambar 8 A dan B meskipun jumlahnya masih sedikit. Hal tersebut terjadi karena rekristalisasi dinamik dapat muncul ketika temperatur lebih tinggi dan laju regangan
14
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015
rendah, namun regangan harus di bawah titik kritis sesuai dengan pernyataan Li Long Fei, dkk [11] yang melakukan canai hangat pada baja karbon rendah dari temperatur 550 oC sampai 700 oC. Dengan pemberian perlakuan canai hangat pada material Cu/Zn 70-30, butiran benda uji paduan 70Cu-30Zn yang awalnya berbentuk equiaxed, akan mengalami elongasi yang menyebabkan pengerasan regang ( strain ( strain hardening ) pada mikrostruktur material. Namun, dikarenakan pengerjaan dilakukan pada temperatur yang memungkinkan terjadinya rekristalisasi dinamis (temperatur hangat), maka pada butir yang terelongasi pada sampel (elongated ( elongated grain) grain ) akan menghasilkan nukleasi butir baru yang berukuran lebih kecil yang akhirnya bergabung membentuk butir baru yang berukuran lebih halus. halus. 0,200 , 2 / 0,100 1 d 0,000 , r i t u m b μ n a r u k U
0,00
32,25 35,48
38,7
Derajat deformasi (%) Ukuran butir tepi Ukuran butir tengah
Gambar 10. Hubungan antara derajat deformasi (%) dengan ukuran butir, d -1/2 (μm)
terlihat pada Gambar 6. Namun ketika sampel dihomogenisasi di temperatur 700 oC selama 90 menit menunjukkan nilai GAR yang sangat besar seperti yang terlihat pada Gambar 11 baik bagian tengah maupun bagian tepi masing-masing sebesar 4.67±2.63 µm dan 4.78±2.52 µm yang ditunjukkan dengan morfologi ukuran butir dengan perbandingan panjang butir dan lebar butirnya sangat besar seperti yang terlihat pada pada Gambar 7. Dengan semakin meningkatnya derajat deformasi canai hangat menghasilkan tren negatif dan mengalami penurunan nilai GAR mendekati 1 dan nilai GAR yang bervariasi seperti yang teli hat pada Gambar 11. Penurunan nilai GAR disebabkan karena dengan semakin meningkatnya derajat canai hangat sehingga proses penghalusan butir semakin bertambah hingga mencapai bentuk equiaxed . Nilai GAR terkecil sebesar 1.28±0.48 µm diperoleh pada derajat deformasi sebesar 38.7%. Hal ini dapat dilihat pada morfologi struktur butir dari hasil perlakuan tersebut yang yang berbentuk berbentuk hampir hampir equiaxed seperti seperti yang terlihat pada Gambar 8 (E) dan (F). 4. Kesimpulan 1. Rekristalisasi dinamis terjadi pada deformasi 32.25%; 2. Perubahan morfologi terjadi setelah canai hangat dengan derajat deformasi semakin besar hingga 38.7% akan memiliki ukuran butir semakin halus yaitu 29.53 μm 3. Perubahan bentuk butir pada bagian tepi dan tengah sampel menjadi butir berbentuk equiaxed dengan ukuran GAR 1.2-2.1
Daftar Pustaka Peningkatan derajat deformasi aktual hingga mencapai 38.7% menunjukkan tren positif dan berbanding lurus terhadap proses penghalusan butir yang semakin meningkat baik di bagian tepi maupun tengah seperti yang terlihat pada Gambar 10.
[1] A.Azushima, R.Kopp, A.Korkohen, D.Y.Yang,
[2]
10
o i t a R t c ) e R p A s G A ( n i a r G
5
[3]
0 0,00
32,25
35,48
38,70
Derajat deformasi (%) GAR Tepi
GAR tengah
Gambar 11 .Hubungan antara derajat deformasi (%) dengan nilai grain nilai grain aspect ratio (GAR) Morfologi butir untuk benda uji bulk baik pada bagian tengah maupun bagian tepi memiliki nilai GAR masing-masing sebesar 1.230±0.11 µm dan 1.60±0.2 µm. Keduanya menunjukkan morfologi ukuran butir yang halus seperti yang
Departermen Teknik Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
[4]
[5] [6] [7]
[8]
F.Micari, G.D.Lahoti, 2008, Severe Plastic Deformation (SPD) Process for Metals, CIRP Annals Manufact. Tech., Tech., Vol. 57, 716-735 Y. Adachi, M. Wakita, H. Beladi, P. D. D. Hodgson, Hodgson, 2007, The Formation of Ultrafine Ferrite Through Static Transformation in Low Carbon Steels, Journal Acta Materialia, Elsevier , Vol. 55, 49252934 T. Altan, Oh S., S., Gegel Gegel H., H., 2012, Metal Forming Fundamentals and Application, Application, ASM International, Metal Park, Ohio S. Dobatkin, J. Zrnik, 2008, Ultrafine-Grained Low Carbon Steels by Severe Plastic Deformation, Journal Metalurgija, Metalurgija, Vol. 47, 181-186 ASTM E3, 2003, Standard Guide for Preparation for Metallographic Specimens ASTM E112, 2003, Standard Test Methods for Determining Average Average Grain Size Zoran Kristic, Zhengbo Yu, Vladimir D.Krstic, 2007, Effect of Grain Width and Aspect Ratio on Mechanical Properties of Si 3 N 4 Ceramics, Ceramics, Journal Mater.Sci. Mater.Sci.,, Vol.42, 5431-5436 F. J. Humphreys, and M.Hatherly, 2004, Recrystallization and Related Annealing Phenomena, Pergamon Phenomena, Pergamon Press
15
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November 2015
[9]
W.Ozgowic, E.Kalinowska-Ozgowic, B.Grzgorczyk, 2010, The Microstructure and Mechanical Properties of The Alloy CuZn30 after Recrystallization Annealing, Journal of Achieve. in Mater. & Manufact. Eng. (JAMME), Vol.40, Issue 1, 15-24 [10] Radovic, L.J., et.al., et. al., “The “The Influence of Thermomechanical Treatment on Recrystallization of Al Mg4,5Cu0,5 Alloy”, Alloy” , Metallurgija Journal of Metallurgy, Review Paper AMES, pp.83-88 (2008) [11] Long Fei, Li, Yang Wang Yue, and Sun Zuqing, “ Dynamic Recrystallization of Ferrite in a Low Carbon Steel” , Journal Metal. Mater. Trans. A, Vol. 37A, pp.609-619 (2006)
Departermen Teknik Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
16
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Kecepatan Putaran Tool Terhadap Struktur Mikro, Kekerasan dan Kekuatan Tarik Pada Sambungan Las FSW Tak Sejenis Antara AA5083 dan AA6061-T6 FX. A. Wahyudianto, M.N. Ilman, P.T. Iswanto, Kusmono UGM,Teknik Mesin dan Industri Jogjakarta, Indonesia
[email protected]
Abstrak Joints between between two two different grade of aluminum alloys (AA5083 and AA6061-T6) by welding welding would would be very difficult to obtain optimal results when using conventional welding methods such as TIG / MIG welding. Therefore, solid state joining technique is highly recommended to overcome this proplems, one of which is friction stir welding (FSW). The effect of rotation speed on microstructure, micro hardness and tensile properties of dissimilar Frict ion Stir welded AA5083 and AA6061-T6 aluminium alloys were investigated. Three different rotation speeds (910, 1500 and 2280 rpm) were used to weld the dissimilar alloys. The metallographic analysis of joints showed the presence of various zones such as BM (base material), HAZ (heat affected zone), TMAZ (thermo-mechanically affected zone) and NZ (nugget zone) were observed and analyzed by mean of optical and scanning electron microscope. The results showed that increasing the rotation speed from 900 to 2280 rpm made grain coarsening in NZ and the mass distribution of the material is more evenly distributed, as well as increased hardness and tensile strength of the joint. The highest values in microhardess in NZ and tensile strength at the join were foundedat the speed of 2280 rpm and 1500 rpm which was similar to 2280 rpm, respectively. respectively . Keywords : FSW, sambungan tak sejenis, AA6061, AA5083, putaran tool .
1. Pendahuluan Paduan aluminium dewasa ini semakin luas penggunaannya dalam bidang teknik karena kombinasi dari sifatnya yang mempunyai kekuatan tinggi dan ringan disamping tahan terhadap korosi. Paduan aluminium yang banyak digunakan untuk pembuatan kapal adalah seri 5xxx (Al-Mg-Mn) (Al-M g-Mn) dan 6xxx (Al-Mg-Si) [1]. Pada kapal besar material ini digunakan pada struktur struktur seperti untuk panel-panel ruang akomodasi, geladak bangunan atas, sekat, tangki bahan bakar dan tangki air tawar. Paduan aluminium AA5083 dikenal memiliki ketahanan korosi sedangkan AA6061 lebih dikenal karena kekuatan. Dalam struktur lambung kapal, struktur/rangka yang terkena air laut terbuat dari paduan AA5083 untuk memberikan ketahanan korosi yang lebih baik sementara struktur bagian dalam/rangka yang tidak terkena air laut digunakan paduan AA6061untuk meningkatkan meningkatkan kekuatannya. Pada suatu struktur penyambungan dengan pengelasan pada dua jenis paduan berbeda ini dipastikan akan terjadi. Hal ini menimbulkan beberapa permasalahan karena keduanya memiliki sifat yang berbeda, yaitu AA5083 bersifat non heat treatabl e sementara AA6061 bersifat heat treatable. treatable. Pengelasan dengan teknik pengelasan fusi konvensional seperti tungsten gas arc welding (GTAW) dan gas dan gas metal arc welding (GMAW) (GMAW) tidak direkomendasikan untuk digunakan, karena tidak tersedianya logam pengisi (filler) (filler) yang cocok dan terjadi retak akibat perbedaan pembekuan karena Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
variasi komposisi kimia. Pemecahan dari masalah tersebut adalah dengan metode penyambungan dalam kondisi padat ( solid state) state) dan friction stir welding (FSW) (FSW) adalah salah satu teknik pengelasan yang tepat dan efektif untuk menyambungkan paduan aluminium yang berbeda [2]. FSW adalah sebuah metode pengelasan yang termasuk pengelasan gesek, yang pada prosesnya tidak memerlukan bahan penambah atau pengisi. Sambungan las pada FSW pada prinsipnya dihasilkan dari panas akibat gesekan batang silinder (tool) yang berputar dan menekan dua logam yang disambung sepanjang garis sambungan. Tool terdiri dari pin pin dan shoulder yang berfungsi untuk menghasilkan panas akibat gesekan dan sebagai pengaduk material, Gambar 1 memperlihatkan skema pengelasan FSW. Pada sambungan hasil las FSW terdapat beberapa zona yang terbentuk yaitu weld zone (WZ), zone (WZ), thermomechanically affected zone (TMAZ) and heat affected zone (HAZ) zone (HAZ) [3] . Sambungan tak sejenis las FSW pada plat paduan aluminium seri 5xxx dan 6xxx pada beberapa penelitian mengasilkan sifat mekanis dan strukturmikro pada daerah lasan yang berbeda dengan logam induknya [4] – [4] – [8]. [8]. Hasil uji kekerasan mikro, terlihat kekerasan yang terendah berada di sekitar HAZ pada sisi plat 6xxx. 6xxx. Kemudian dari hasil pengujiaan tarik, kekuatan tariknya didapatkan sekitar 62% dari kekuatan tarik base materialnya[4].
17
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
2. Prosedur Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian sambungan las tak sejenis ini ialah pelat paduan aluminium seri 5083 dan seri 6061-T6. Komposisi kimia dari kedua paduan tersebut ditunjukkan pada Tabel 1. Pelat yang yang digunakan dipotong dengan dimensi 150 x 100 mm dan tebal 3 mm, dimana pengelasan FSW dengan bentuk butt joint dilakukan pada sisi 100 mm dengan posisi AA 6061-T6 berada berada pada sisi advancing, sedangkan AA 5083 berada pada sisi retreating. Gambar 1. Skema Friction Stir Welding [9] Ghaffarpour dkk [6] melakukan penelitian dengan beberapa parameter yakni pada kecepatan putaran tool 800, 1250, 1600, 2000 dan 2500 rpm yang dipadukan dengan travel speed 25 mm/min dan 80 mm/min. Pada kecepatan putaran tool antara antara 1600 rpm dan 2000 rpm serta travel speed antara 20 mm/min dan 80 mm/min didapatkan kekutan tarik dan mulur tertinggi. Selain itu lokasi patah saat uji tarik berada di daerah HAZ sisi plat 6061-T6, dimana lokasi tersebut memiliki nilai kekerasan terendah. Variasi kecepatan putaran tool pada pada proses FSW juga menghasilkan rata-rata dimensi butir di nugget zone pada zone pada AA 5xxx dan AA 6xxx meningkat meningkat seiring penambahan kecepatan putaran pada tool dan dan pertumbuhan dimensi butir ini terjadi ketika dilakukan pendinginan dengan udara (suhu kamar) setelah pelaksanaan pengelasan terutama pada seri 6xxx [10]. Pengaruh lokasi material dan kecepatan putaran tool terhadap struktur mikro dan kekuatan tarik dari hasil sambungan, hasilnya mengindikasikan bahwa penempatan material dan kecepatan putaran tool secara signifikan mempengaruhi aliran material. Material yang ditempatkan pada sisi advancing mendapatkan porsi yang lebih besar pada zona las (nugget zone) ketika zone) ketika kecepatan putaran tool juga juga ditingkatkan[11]. Pengujian terhadap sifat-sifat sambungan las hasil pengelasan FSW seperti kekerasan, kekuatan tarik dan strukturmikro telah banyak diteliti dengan berbagai variaasi parameter pengelasan yang digunakan. Namun demikian perubahan struktur mikro pada sambungan las tak sejenis antara AA5083 dan AA6061 dengan metode FSW masih sangat jarang dipulikasikan. Oleh karena itu pada penelitian ini akan menyambungkan aluminium paduan berbeda grade antara AA5083 dan AA6061-T6 dengan metode FSW dan mengamati pengaruh veriasi kecepatan putaran tool terhadap struktur mikro daerah lasan, kekerasan dan kekuatan tarik sambungan.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Tabel 1. Komposisi kimia paduan aluminium yang digunakan (% berat). Paduan Mg Mn Cu Cr Si Fe AA5083 4.3 0.50 0.04 0.06 0.11 0.30 AA60611.20 0.15 0.20 0.04 0.6 0.75 T6
Gambar 2. Tool FSW Proses FSW ini dilakukan menggunakan mesin milling dengan variasi kecepatan kecepatan putaran tool 910 , 1500 dan 2280 rpm, kecepatan gerak pengelasannya tetap 30 mm/min dan sudut kemiringan 3 o. Pengelasan dilakukan menggunakan mesin milling dan tool yang digunakan adalah baja AISI H13 yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap thermal fatigue dengan fatigue dengan bentuk pin silinder dan perbandingan D/d sama dengan 3 [12] seperti yang terlihat pada Gambar 2. Pengamatan struktur mikro dilakukan untuk melihat zona-zona yang terbentuk dan batasan zona akibat pengelasan FSW dan karakteristik metalurgi dengan menggunakan mikroskop optik, SEM dan EDS. Zona-zona tersebut ialah logam induk, HAZ, TMAZ dan NZ. Preparasi sepesimen untuk pengamatan tersebut menggunakan prosedur metallograpic standar yang terdiri dari grinding, polishing dan etching menggunakan reagen Keller terbuat dari 5ml HNO 3 (konsentrasi 95%), 2ml HF, 3ml HCl, 190 ml H 2O. Pemeriksaan difokuskan pada penampang tegak lurus ke pusat las. Pengamatan juga dilakukan terhadap sifat mekanik hasil lasan seperti kekerasan dan kekuatan
18
Al Sisa Sisa
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
tarik. Pengujian kekerasan dilakukan dengan metode indentasi (Vickers (Vickers microhardness) microhardness) di seluruh zona lasan dan untuk pengujian tarik menggunakan mesin servopulser . Bentuk spesimen yang digunakan mengikuti standar ASTM E8, seperti pada Gambar 3. Permukaan patahan diamati dengan menggunakan mikroskop elektron (SEM).
Gambar 3. Spesimen uji tarik berdasarkan ASTM
bagian tengah dan bawah, hal ini disebabkan gesekan shoulder dengan permukaan pelat. Gambar 5 juga memperlihatkan pola pencampuran material pada daerah nugget sangat jelas terlihat, semakin tinggi putaran tool menyebabkan aliran massa kedua jenis material (AA5083 dan AA6061-T6) dapat bercampur secara sempurna. Pada sisi advancing (AA6061-T6) lebih mendominasi daerah nugget dibandingkan dengan material dari sisi retreating (AA5083) seiring meningkatnya kecepatan putaran tool dan terlihat semakin merata pencampuran antara material AA6061-T6 dan AA5083, sehingga batas daerah TMAZ baik pada sisi advancing maupun retreating semakin tersamarkan.
E8
3.
Hasil dan Pembahasan 3.1. Analisa visual permukaan lasan Profil permukaan atas lasan yang dihasilkan dari proses pengelasan dengan variasi kecepatan putaran tool ditunjukkan p ada Gambar 4. Pengaruh P engaruh putaran tool terlihat dari permukaan yang berbeda dimana rigi-rigi las (ripples) (ripples) lebih jelas terbentuk pada putaran tinggi disertai dengan akumulasi massa di bagian retreating side. side. Akhir lasan terdapat lubang pin dari tool yang digunakan, ini merupakan kekurangan dari pengelasan FSW.
Gambar 5. Struktur makro sambungan tak sejenis las FSW pada putaran tool (a) 910 rpm, (b) 1500 rpm dan (c) 2280 rpm Pengamatan struktur mikro las di daerah BM, HAZ, TMAZ dan NZ untuk las FSW dengan variasi putaran tool terlihat terlihat pada Gambar 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa struktur mikro dari AA5083 terdiri dari Al dan Al 3Mg2 sedangkan AA6061-T6 memiliki struktur mikro α - Al dan Mg2Si.
Gambar 4. Permukaan sambungan las FSW pada kecepatan putaran tool (a) 910 rpm, (b) 1500 rpm dan (c) 2280 rpm. Struktur Makro dan Mikro Foto makro penampang lintang sambungan las FSW dengan variasi putaran tool terlihat pada Gambar 5. Terlihat bahwa pola zona-zona yang terbentuk akibat proses pengelasan dapat diamati. Daerah lasan (NZ) dari ketiga variasi sambungan memiliki bentuk yang berbeda. Profil ketiga hasil las menunjukkan bentuk trapesium terbalik yang tak simetris dengan bagian ujung pada arah advancing side. side. Kesamaan dari ketiganya adalah bagian atas membentuk permukaan yang lebih luas dibanding
Gambar 6. Struktur mikro base material (a) AA5083 dan (b) AA6061-T6
3.2.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Bentuk butir pada BM AA6061-T6 terlihat lebih besar dan memanjang dengan panjang rata-rata sekitar 29 µm dan lebar rata-rata 16 µm daripada AA5083 yang memiliki panjang rata-rata sekitar 10 µm dan lebar rata-rata 8 µm. Gambar 7 memperlihatkan struktur mikro daerah HAZ dimana besar butir mengalami mengalami perubahan bentuk dan ukuran jika dibandingkan dibandingkan pada daerah base material. Hal material. Hal ini diakibatkan oleh siklus termal yang berasal dari proses pengelasan. Daerah HAZ AA6061-T6 dan AA5083, mengalami perubahan bentuk dan ukuran
19
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
butir yang sedikit membesar dibandingkan dengan daerah base material . Namun jika dibandingkan antar kecepatan putaran tool (910, 1500, dan 2280 rpm), daerah HAZ AA6061-T6 pada ketiga putaran tersebut cenderung memiliki karakteristik bentuk dan ukuran yang sama. Sedangkan daerah HAZ AA5083, bentuk dan ukuran butir sedikit membesar seiring kenaikan kecepatan putaran tool.
masukan panas serta waktu laju pendinginan seperti yang dipelihatkan Gambar 9.
Gambar 8. Struktur mikro TMAZ pada sisi advancing dan dan retreating.
Gambar 7. Struktur mikro HAZ pada sisi advancing dan dan retreating. Struktur mikro pada daerah TMAZ terlihat seperti butiran pada HAZ yang mengalami siklus termal dan deformasi plastis, namun tidak terjadi rekristalisasi. Daerah ini disebut juga daerah transisi antara logam induk dan daerah las. Gambar 8 menunjukkan perbedaan bentuk TMAZ pada variasi putaran 910 rpm, 1500 rpm dan 2280 rpm, antara TMAZ sisi advancing dengan dengan retreating. Pada tiap putaran tool , daerah TMAZ memiliki beberapa perbedaan yakni, luasan daerahnya. Semakin tinggi kecepatan putaran maka akan semakin luas daerah yang terdeformasi akibat putaran tool. tool. Sedangkan perbedaannya antara sisi advancing dan retreating adalah pada sisi advancing , pola TMAZ dengan NZ batasnya terlihat jelas, namun pada sisi retreating batas pencampurannya terlihat seperti membentuk aliran material ke arah atas bagian las. Variasi putaran tool saat melakukan proses pengelasan sangat berpengaruh terhadap struktur mikro nugget zone tersebut. Pada nugget zone terdapat butiran lembut yang merupakan akibat adanya rekristalisasi. Ukuran butir semakin bertambah seiring dengan tingginya kecepatan putaran tool. Hal ini dikarenakan bertambahnya Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Pada kecepatan putaran 2280 rpm ukuran butir bertambah secara signifikan dibanding variasi putaran tool yang lebih rendah. Besar butir pada daerah nugget yang didominasi oleh AA6061-T6 dengan kecepatan putaran tool 910 rpm memiliki ukuran rata-rata sekitar 6 µm, sedangkan pada putaran tool 1500 dan 2280 rpm memiliki ukuran rata-rata masing-masing sekitar 8 µm dan 14 µm.
Gambar 9. Struktur mikro NZ pada kecepatan putaran tool (a) 910 rpm, (b) 1500 rpm dan (c) 2280 rpm. Gambar 10 memperlihatkan karakteristik nugget zone pada sambungan tak sejenis las FSW, dimana material pada sisi advancing dan retreating tidak dapat seutuhnya menyatu atau dapat dikatakan tidak homogen. Pada kecepatan putaran tool 910 910 dan 1500 rpm memiliki karakteristik dimana batas antara
20
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
nugget zone zone AA6061-T6 dengan AA5083 terlihat jelas, sedangkan pada putaran tool 2280 rpm karakteristik batasnya tidak beraturan akibat deformasi putaran pin yang tinggi. Batas lapisan massa AA5083 dan AA6061-T6 di NZ terlihat dari hasil SEM dan EDS (Gambar 11).
zona HAZ-TMAZ. Sementara itu, grafik pada zona HAZ-base HAZ-base material sisi retreating lebih cenderung mendatar, tidak seperti sisi advancing. advancing. Ini dikarenakan perbedaan jenis material, dimana AA 6061-T6 termasuk dalam paduan aluminium heattreatable treatable sementara AA 5083 merupakan paduan non heat-treatable, yang artinya nilai kekerasannya tidak terpengaruh oleh perlakuan panas dari proses pengelasan FSW.
Gambar 10. Struktur mikro NZ pada kecepatan putaran tool (a) 910 rpm, (b) 1500 rpm dan (c) 2280 rpm
Gambar 12. Perbandingan grafik distribusi kekerasan pada putaran tool 910 rpm, 1500 rpm dan 2280 rpm sambungan tak sejenis las FSW 6061-T6 dan 5083 Pada Gambar 13 tampak bahwa kekutan tarik dan kekuatan luluh untuk semua kecepatan putaran tool lebih rendah dari kekuatan tarik dan kekuatan luluh material induk (BM). Dari data pengujian diperoleh hasil bahwa variasi kecepatan putaran tool 1500 rpm dan 2280 rpm memiliki kekutan tarik yang relatif sama, sedangkan yang terendah pada putaran 910 rpm. Kekuatan tarik dan kekuatan luluh tertinggi jika dibandingkan dengan kekuatan base material AA6061-T6 AA6061-T6 masing-masing sebesar 62,8% dan 59,79%. Sedangkan jika dibandingkan dengan kekuatan base material AA5083 , yakni , yakni sebesar 70,85% dan 71,87%.
Gambar 11. Analisa SEM dan EDS 3.3 Sifat Mekanik Las Uji kekerasan Distribusi kekerasan mikro padasambungan las FSW untuk berbagai variasi kecepatan putaran ditunjukkan pada Gambar 12. Kekerasan mikro pada setiap kecepatan putaran tool menunjukkan grafik distribusi kekerasan yang identik, yakni pada sisi advancing (AA 6061-T6) nilai kekerasan tertinggi terdapat pada zona base material , sedangkan nilai kekerasan terendah terletak pada daerah sekitar HAZ dan TMAZ. Kemudian dari zona HAZ-TMAZ sisi advancing (AA 5083) nilai kekerasan mengalami kenaikan pada nugget zone, lalu turun kembali pada Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 13. Kekuatan tarik dan kekuatan luluh sambungan las FSW dengan berbagai variasi kecepatan putaran tool.
21
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Proses pengelasan FSW menghasilkan samgbungan las yang bersifat ulet yang ditandai dengan adanya necking pada pada patahan spesimen uji. Gambar 15 menunjukkan pengelasan dengan putaran tool 2280 rpm menghasilkan necking yang paling terlihat jelas, sementara pada putaran lainnya menghasilkan necking tidak terlalu signifikan. .
[4]
[5]
[6] Gambar 15. Struktur makro hasil patahan uji tarik, (a) putaran tool 910 rpm, (b) putaran tool 1500 1500 rpm dan (c) putaran tool 2280 2280 rpm Semua daerah patahan terletak pada sisi advancing (AA 6061-T6), pada daerah di sekitar nilai kekerasan yang terendah. Patahan pada putaran 910 rpm dan 1500 rpm terletak pada daerah sekitar TMAZ yang cenderung mendekati nugget zone. zone. Pada putaran tool 2280 rpm, patahan terletak pada daerah HAZ, sesuai dengan hasil uji kekerasan mikro. Hal ini membuktikan bahwa kekutan tarik berhubungan dengan nilai kekerasan
[7]
[8]
4. Kesimpulan Pada proses FSW parameter pengelasan mempengaruhi sifat mekanis dan mikrostruktur hasil lasan. Dalam penelitian ini ketika kecepatan putaran tool semakin tinggi maka pencampuran material antara AA6061-T6 dan AA5083 pada daerah nugget zone akan semakin merata dengan ukuran butir yang semakin besar. Kekerasan di daerah lasan terbaik terjadi pada putaran tool 2280 rpm. Semua sambungan dengan berbagai variasi kecepatan putaran tool memiliki kekuatan tarik dan kekuatan luluh yang lebih rendah dari logam induknya dengan letak patahan terdapat pada daerah advancing (6061). Daftar pustaka [1] S. Ferrar is is and L. M. Volpone, “Aluminium Alloys In Third Millennium Shipbuilding : Materials ,” pp. 1– 11, 11, 2005. [2] R. S. Mishra and Z. Y. Ma, “Friction stir welding and processing,” Mater. processing,” Mater. Sci. Eng. R Reports, Reports, vol. 50, no. 1 – 2, 2, pp. 1 – 78, 78, Aug. 2005. [3] R. Palanivel, P. Koshy Mathews, I. Dinaharan, and N. Murugan, “Mechanical
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
[9]
[10]
[11]
[12]
and metallurgical properties of dissimilar friction stir welded AA5083-H111 and AA6351-T6 AA6351-T6 aluminum alloys,” Trans. Nonferrous Met. Soc. China , vol. 24, no. 1, pp. 58 – 65, 65, Jan. 2014. I. Shigematsu, Y. Kwon, K. Suzuki, T. Imai, and N. Saito, “Joining of 5083 and 6061 aluminum alloys by friction stir welding,” pp. 353 – 356, 356, 2003. H. Jamshidi Aval, S. Serajzadeh, N. a. Sakharova, a. H. Kokabi, and a. Loureiro, “A study on microstructures and residual stress distributions in dissimilar friction-stir welding of AA5086 –AA6061,” J. Mater. Sci., Sci., vol. 47, no. 14, pp. 5428 – 5428 – 5437, 5437, Apr. 2012. M. Ghaffarpour, S. Kolahgar, B. M. Dariani, and K. Dehghani, “Evaluation of Dissimilar Welds of 5083-H12 and 6061-T6 Produced by Friction Stir Welding,” Metall. Mater. Trans. A, A, vol. 44, no. 8, pp. 3697 – 3697 – 3707, 3707, Apr. 2013. V. RajKumar, M. VenkateshKannan, P. Sadeesh, N. Arivazhagan, and K. D. Ramkumar, “Studies on Effect of Tool Design and Welding Parameters on the Friction Stir Welding of Dissimilar Aluminium Alloys AA 5052 – AA 6061,” Procedia Eng., Eng., vol. 75, pp. 93 – 93 – 97, 97, 2014. M. Ilangovan, S. R. Boopathy, and V. Balasubramanian, “Microstructure and tensile properties of friction stir welded dissimilar AA6061 – AA5086 AA5086 aluminium alloy joints,” Trans. Nonferrous Met. Soc. China, China, vol. 25, no. 4, pp. 1080 – 1080 – 1090, 1090, 2015. N. T. Kumbhar, K. Bhanumurthy, M. S. Division, and B. Atomic, “Friction Stir Welding of Al 6061 Alloy,” vol. 22, no. 2, 2008. a. Gerlich, P. Su, and T. H. North, “Tool penetration during friction stir spot welding of Al and Mg alloys,” J. alloys,” J. Mater. Sci., Sci., vol. 40, no. 24, pp. 6473 – 6473 – 6481, 6481, Oct. 2005. I. Dinaharan, K. Kalaiselvan, S. J. Vijay, and P. Raja, “Effect of material location and tool rotational speed on microstructure and tensile strength of dissimilar friction stir welded aluminum alloys,” Arch. Civ. Mech. Eng., Eng., vol. 12, no. 4, pp. 446 – 446 – 454, 454, Dec. 2012. P. Sadeesh, M. Venkatesh Kannan, V. Rajkumar, P. Avinash, N. Arivazhagan, K. Devendranath Ramkumar, and S. Narayanan, “Studies on Friction Stir Welding of AA 2024 and AA 6061 Dissimilar Metals,” Procedia Metals,” Procedia Eng., Eng., vol. 75, pp. 145 – 149, 149, 2014.
22
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Analisa Kegagalan Kabel Sling Penambat Tongkang Husaini Ardy, Winda Rianti Institut Teknologi Bandung, Program Studi Teknik Material, Bandung 40132, Indonesia.
[email protected]
Abstract Failure analysis analysis of broken wire rope (1-½ in. diameter) diameter) to hold an anchor for a barge has been performed to find out the root cause of failure. The wire was severely corroded and was suspected as the root cause of failure. Residual strength analysis using JIS G3525 standard has been conducted for IWRC 6 x S (19) type of wire. Residual strength of wire rope is about 61.5 tons, and much larger than the load during failure event (8 tons). Therefore, corrosion is not the root cause of failure. Further observation of the wire in the field shows that heavy friction on part of the wire is the root cause of failure. The wire has been deformed plastically during friction with the pipe casing at the buoy marker. Friction occurred because the wire position is not parallel to pipe casing. The wire was bent at the inlet and outlet of the pipe casing, hence heavy friction occurred at these bent sides. Keywords Keywords : W i r e r o p e , f a i l u r e a n a l y s i s , J I S G 3 5 2 5 , f r i c t i o n .
1.
Pendahuluan Wire rope rope (kabel sling ) banyak sekali digunakan di industri, antara lain sebagai alat bantu pada mesin pengangkat, penguat pada konstruksi beton, dan sebagai penambat kapal. Ditinjau dari konstruksinya, kabel sling terdiri dari beberapa strand, strand, sedangkan strand sendiri terdiri dari beberapa buah kawat yang dipuntir menjadi satu elemen. Diameter kawat dalam satu strand bisa bisa sama atau berbeda tergantung kepada spesifikasinya [1,2,3,4]. Salah satu spesifikasi standar kabel sling adalah JIS 3525 yang mengatur jumlah strand dalam dalam satu kabel sling , jumlah kawat dalam satu strand , persyaratan dimensi, dan beban patah ( breaking load ) [5]. Beban patah ini dapat diperoleh dari hasil uji tarik kabel sling , tetapi standar JIS G3525 juga memberikan metoda untuk menghitung beban patah tersebut berdasarkan beban patah dari masingmasing kawat. Metoda ini dapat membantu dalam menentukan beban patah tersisa ( residual breaking load ) jika kawat-kawat dalam kabel sling mengalami korosi. Makalah ini akan menyajikan analisa kegagalan kabel sling penambat tongkang yang patah pada saat tongkang sedang bersandar di pelabuhan. Ada dua kemungkinan penyebab kegagalan yang akan dibahas, yaitu kegagalan karena korosi dan kegagalan akibat gesekan. Metoda Kabel sling yang akan diteliti merupakan potongan dari kabel sling yang ada permukaan patahnya (Gambar 1). Spelter sprocket yang memegang kabel sling juga akan diperiksa untuk mengetahui jenis produk korosinya. Metoda pemeriksaan yang dilakukan mencakup analisa fraktografi dengan foto makro, analisa permukaan penampang patah dan struktur
mikro dengan mikroskop optik, pengukuran diameter kawat dengan jangka sorong, uji tarik, serta identifikasi produk korosi dengan difraksi sinar-x dan energy dispersive spectroscope (EDS). spectroscope (EDS).
a
b Gambar 1. Potongan kabel sling (a) dan sprocketdan sprocket-nya nya (b) untuk pemeriksaan laboratorium
2.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Identifikasi Jenis Kabel Sling Jenis kabel sling ditentukan dengan mengamati penampangnya. Gambar 2 menunjukkan foto makro penampang kabel sling dan perbandingannya dengan penampang kabel menurut standar JIS 3525. Terlihat bahwa dalam
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 23
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
satu strand terdapat 19 kawat, dengan dua jenis diameter. Jumlah strand dalam dalam kabel sling ini ini adalah enam. Kabel sling ini juga mempunyai inti di tengahnya yang disebut sebagai IWRC ( International ( International Wire Rod Core). Core). Standar kabel sling ini ini menurut JIS G 3525 adalah IWRC 6 x S (19). Kabel sling dengan dengan diameter nominal 38 mm mempunyai beban patah minimum 931 kN (94,9 ton). Huruf S menyatakan bahwa kabel sling ini adalah jenis seale rope, rope, yaitu kawat berdiameter kecil dalam satu strand mengelilingi inti (core ( core)) kawat berdiameter besar,
Pengukuran diameter dilakukan terhadap 10 kawat besar dan kecil dari strand dari strand yang yang patah, dan masingmasing 10 kawat dari strand yang tidak patah. Pengecilan diameter sampai di bawah nilai standar hanya ditemukan pada kawat yang berdiameter besar, baik yang telah patah maupun yang masih bagus. Tabel 1 menunjukkan dia meter kawat yang mengalami pengecilan sampai di bawah nilai standar.
b a Gambar 2. Penampang kabel sling (a) dan perbandingannya dengan dengan penampang standar (b) 3.2 Analisa Permukaan Patah Analisa permukaan patah bertujuan untuk mengetahui modus kegagalan elemen kawat dalam kabel sling . Gambar 3 adalah foto makro permukaan patah yang menunjukkan adanya pengecilan penampang sebelum patah. Gambar 4 adalah foto mikro penampang kawat dekat permukaan patah yang memperlihatkan pengecilan penampang. Bentuk permukaan patah ini menandakan bahwa kawat patah disebabkan oleh beban berlebih (overload). (overload). Tidak ditemukan indikasi patah lelah pada permukaan patah yang diamati.
Gambar 4. Foto mikro penampang dekat permukaan patah kawat kawat Kawat berdiameter besar lebih mudah terserang korosi atau mengalami gesekan karena posisinya ada di bagian paling luar strand dan langsung berkontak dengan lingkungan yang korosif, atau gesekan dengan strand lain lain pada saat beroperasi. Gambar 5 menunjukkan kedalaman korosi pada penampang kawat berdiameter kecil. Korosi yang terjadi tidak parah. Tabel 1. Kawat yang mengalami pengecilan diameter Pengukuran (mm) No
1
2
3
Ratarata (mm)
Diameter Standar (mm)
A. Strand yang yang patah
Gambar 3. Foto makro permukaan patah kawat
3.3 Diameter Kawat Kabel sling yang dianalisa terdiri atas dua kelompok kawat, yaitu kawat berdiameter besar dengan standar ukuran 2,24 – 3.75 3.75 mm, dan diameter kecil dengan standar ukuran 1,00 – 2,24 mm.
1
2,94
3,04
2,03
2,67
2
2,20
2,80
2,85
2,62
3
2,40
2,21
2,81
2,47
B. Strand yang yang tidak patah
1
2,39
2,06
1,73
2,06
2
2,05
2,18
2,05
2,09
3
2,37
2,12
2,05
2,09
2,24 – 3,75
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 24
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
pembuat kawat adalah 108 ton, sedangkan beban kabel sling pada saat patah adalah sekitar 8 ton.
Gambar 7. Hasil EDS produk korosi Gambar 6 adalah foto makro penampang beberapa kawat yang menunjukkan perubahan bentuk dan pengecilan diameter. 3.3 Produk Korosi Produk korosi diambil dari permukaan sprocket yang terletak di dasar laut selama digunakan. Identifikasi produk korosi dilakukan dengan alat uji difraksi sinar-x dan energy dispersive spectroscope (EDS). Hasil uji dengan difraksi sinar-x menunjukkan bahwa produk korosi terdiri dari besi (Fe), karbon (C), dan silika (SiO2). Sebagian besar produk korosi adalah silika yang merupakan pasir bawaan dari dasar laut. Hasil uji komposisi produk korosi dengan EDS ditunjukkan dalam Gambar 7. Produk korosi berupa SiO2 juga dikonfirmasi oleh hasil uji EDS. Adanya chlor dalam produk korosi merupakan indikasi bahwa produk korosi tersebut bersentuhan dengan air laut.
Gambar 5. Foto mikro korosi pada penampang kawat berdiameter kecil 3.4 Perhitungan Kekuatan Sisa Kekuatan kabel sling akan berkurang akibat terjadinya pengecilan dimensi kawat yang terkorosi atau akibat gesekan. Kegagalan akan terjadi jika kekuatan sisanya lebih kecil dari beban pada saat patah. Kekuatan patah kabel sling menurut informasi
Uji tarik terhadap kawat telah dilakukan untuk mengetahui kekuatan patah masing-masing kawat. Berdasarkan ukuran kawat, maka terdapat tiga jenis diameter, yaitu kawat inti kabel sling dengan diameter 1,38-1,95 mm, kawat inti strand dengan diameter 3,45 mm, dan kawat paling luar strand dengan dengan diameter 2,06-2,49 mm. Hasil uji tarik dari kawat-kawat tersebut ditampilkan dalam Tabel 2. Gaya untuk mematahkan kawat ( breaking load ) diperoleh dari hasil perkalian kekuatan patah dan luas penampang kawat. Dari tiga jenis diameter kawat diambil rata-rata gaya untuk mematahkan kawat, sehingga dapat menghitung gaya mematahkan kawat S o (inti kabel sling ), ), S 1 (inti strand ), ), dan S 2 (kawat paling luar). Tabel 2. Kuat Tarik dan Beban Patah Kawat
No
Dia., mm
Kuat Tarik N/mm2
Beban Patah, kN
1
3,45
1.228
15
2
3,45
1.557
11
3
2,49
1.030
5
4
2,18
1.324
5
5
2,06
1.731
6
6
1,95
1.622
5
7
1,49
2.099
4
8
1,38
1.830
3
Rerata Beban Patah, kN 13
5
4
Nilai S o, S 1, dan S 2 dapat dihitung sebagai berikut. S o = 7 x 13 kN = 51 kN; S 1 = 6 x 5 kN = 30 kN; S 2 = 13 + 9 x ( 5 + 4 ) = 94 kN. kN. Nilai beban patah agregat ( aggregate) aggregate) kawat adalah F a yang dapat dihitung menggunakan rumus (1), sehingga diperoleh nilai F a = 795 kN.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 25
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Fa = So + 6 x ( S 1 + S2)
(1)
Beban patah sisa untuk kabel sling dapat dihitung dengan persamaan (2), dimana k adalah konstanta twisting loss. loss. Nilai k untuk kabel sling dengan spesifikasi IWRC 6 x S(19) adalah 24; sehingga diperoleh nilai F r = = 604 kN. Fr = = Fa x {(100 – k) / 100}
(2)
Beban patah sisa pada kawat kalau dianggap terjadi penurunan kekuatan akibat korosi adalah 604 kN (61,5 ton), atau 76% dari kekuatan aggregate. aggregate. Beban patah sisa ini (61,5 ton) jauh lebih kecil dari beban pada saat patah (8 ton). Dari penjelasan di atas jelas bahwa korosi bukanlah penyebab patahnya kabel sling penambat kapal tersebut. Kemungkinan lain yang akan dibahas adalah adanya gesekan yang mengakibatkan pengurangan dimensi kawat.
Terlihat potongan kabel sling yang masih menyatu dengan sprocket -nya. -nya. Kawat mengalami penipisan parah akibat gesekan. Informasi lebih lanjut diperoleh dari hasil diskusi dengan personil perusahaan yang bertanggung jawab terhadap pengoperasian tongkang. Gesekan memang terjadi pada saat operasi, yaitu antara kabel sling dengan dengan casing pipe di lokasi pelampung ( buoy marker ). ). Gesekan terjadi karena posisi kabel sling tidak tidak sejajar dengan casing pipe. pipe. Kabel sling mengalami mengalami tekukan pada sisi inlet dan outlet casing pipe, pipe , sehingga terjadi gesekan berlebihan pada lokasi tekukan tekukan tersebut.
3.5 Gesekan pada Kabel Sling
Gambar 9. Lokasi gesekan antara kabel sling dan casing pipe Gambar 9 menunjukkan bekas gesekan antara kabel sling kabel sling dan dan casing pipe. pipe. Gesekan tersebut tidak hanya mengurangi diameter kawat tetapi juga merusak pipe casing pada sisi inlet dan outlet . Gesekan akan menghasilkan pengurangan diameter yang sangat besar dibanding korosi dan dapat terjadi dalam waktu singkat, sedangkan kerusakan akibat korosi bergantung waktu ( time dependent ). ). Gesekan dapat dihindari dengan menempatkan buoy marker pada boat deck , dan menempatkan pipe casing pada posisi mendatar, sejajar dengan kabel sling , sehingga kabel sling tidak mengalami tekukan. 4.
Gambar 8. Penipisan diameter kawat akibat gesekan Pengaruh gesekan terhadap pengurangan beban patah kawat dilakukan dengan mencari informasi lebih jauh tentang kegagalan yang terjadi. Gambar 8 merupakan dokumentasi kabel sling sebelum dipotong dan dikirim ke laboratorium.
Kesimpulan Analisa kegagalan kabel sling penambat kapal telah dilakukan dan penyebab kegagalannya adalah gesekan pada kabel sling yang mengurangi beban patahnya akibat pengurangan diameter kawat. Korosi bukanlah penyebab kegagalan karena beban patah sisa kabel sling lebih besar daripada beban pada saat patah.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 26
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Daftar Pustaka [1] www.cimaf.com.br : Technical Manual Wire Rope, Rope, April 2013, diunduh tanggal 12 September 2015. [2] ASTM A 1007 standard, Standard Specification for Carbon Steel Wire for Wire Rope, Rope, 2005 edition. [3] ASTM A 1023 standard, Standard Specification for Stranded Carbon Steel Wire Ropes for General Purposes, Purposes, 2005 edition. [4] API RP-9B Standard, Recommended Practice on Application, Care and Use of Wire Rope for Oilfield Service, Service , 10th Ed., 1999. [5] JIS 3525 standard, Wire Rope, Rope, 2007 Edition
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 27
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
STUDI PERILAKU KOROSI PADA MATERIAL AUSTENITIC STAI NL ESS ESS STEE L SERI 304 DAN DAN 316 DALAM CAMPURAN CAMPURAN
LARUTAN HNO 3-NaCl Andi Rustandi1, Panji Aji Wibowo2, Johny Wahyuadi Soedarsono 3, M. Akbar Barrinaya4 1,2,3,4
Universitas Indonesia , Teknik Metalurgi dan Material, Depok,16424, Indonesia
[email protected] [email protected], om,
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstract This research was conducted to determine the corrosion behavior, particularly pitting corrosion of materials SS 304 and SS 316 in HNO 3 and NaCl solution mixture. The test was conducted with cyclic polarization method and electrochemical impedance spectroscopy (EIS). From the results of cyclic polarization tests, the pitting susceptibility for SS 304 was higher compared to SS 316 samples which immersed in a mixed solution containing 1.73 M HNO 3 and 1 M NaCl. Both the SS 304 and SS 316 samples showed relatively similar pitting susceptibility in a mixed solution containing 0.52 M HNO 3 and 1M NaCl. SS 316 showed better corrosion resistance compared to SS 304 in a mixed solution containing 0.17 HNO3 and 1M NaCl. Based on EIS test results, SS 316 showed higher impedance and polarization resistance compared to SS 304. Observation of the protection potential (repassivation potential) of each sample immersed in each type of HNO 3 and NaCl solution mixture, generally SS316 provides better resistance to pitting corrosion compared to SS 304, mainly due to the presence of Mo as alloying element. Keywords : Pitting : Pitting corrosion, corrosion, Cyclic Polarization, EIS, Passivation Passivation .
1.Pendahuluan Perkembangan terbaru ekstraksi nikel laterit adalah menggunakan asam nitrat sebagai reagen utama untuk menggantikan asam sulfat dalam proses High Pressure Acid Leaching (HPAL). Dalam proses HPAL, proses leaching bijih nikel dilakukan dalam suhu dan tekanan operasi tinggi pada reaktor autoclave[1]. Penggunaan titanium cladding sebagai material pada reaktor HPAL dinilai terlalu mahal sehingga diperlukan suatu alternatif material pengganti untuk lingkungan yang agresif ini [2]. Penggunaan stainless steel komersial seperti, SS304 dan SS316 untuk proses leaching secara luas digunakan di industri terutama dalam industri minyak bumi, kimia dan pemurnian logam. Dengan penggunaan material stainless steel diharapkan biaya produksi dari proses leaching bisa leaching bisa berkurang. Namun kehadiran klorida (Cl -) yang berasal dari process water dapat menurunkan hasil ekstraksi nikel dan dapat memicu timbulnya timbulnya korosi sumuran (pitting) pada material stainless material stainless steel . Sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap perilaku korosi stainless korosi stainless steel pada pada media asam nitrat yang mengandung ion Cl [3][4]. 2.Metoda Penelitian Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah material austenitic stainless steel SS304
dan SS316. Sampel material dipotong dengan ukuran akhir 1cm X 1cm, kemudian di-mounting di- mounting dengan resin. Permukaan sempel material diamplas dengan kertas amplas dengan grit dari 160-1000 untuk mendapatkan hasil yang seragam. Uji komposisi material menggunakan metode Optical Emission Spectroscopy (OES). Variasi dalam larutan uji yang digunakan adalah 1,73 M HNO 3 + 1 M NaCl; 0,52 M HNO 3 + 1 M NaCl dan 0,17 M HNO 3 + 1 M NaCl. Pengujian Elektrokimia dilakukan dengan menggunakan Metrohm Autolab Instruments Poten-tiostat/Galvanostat PGSTAT302N dengan NOVA 1.10 software. Metoda pengujian terdiri atas cyclic polarization dan electrochemical impedance spectroscopy (EIS). Pengujian cyclic polarization dilakukan pada kondisi scan scan 10mV/s. Pada pengujian EIS rentang frekuensi yang digunakan 10 kHz hingga 10 MHz, dengan amplitudo amplitudo 10 mHz [5]. Sel pengujian pengujian terdiri atas working electrode, electrode, sampel SS 304 dan SS 316, carbon counter electrode electrode dan reference electrodes Ag/AgCl ( saturated KCl). KCl). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Komposisi kimia Dari hasil pengujian OES komposisi kimia dari sampel material SS304 dan SS316 dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 28
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
komposisi sampel material SS304 dan SS316 sesuai dengan komposisi material standar untuk SS304 dan SS316. Tabel 1. Komposisi kimia.
3.2 Cyclic Polarization Gambar 1 menunjukan hasil dari pengujian cyclic polarization sampel material SS 304 dan SS316 dalam larutan campuran 1,73 M HNO 3 dan 1 M NaCl pada suhu kamar. SS304 mulai di- scan di- scan dari dari potensial 0,809V, melewati potensial korosi observasi 0,720V. Pada potensial 1,207V kenaikan secara drastis rapat arus anodik diprediksi sebagai inisiasi awal pitting. Ketika dilakukan reverse scanning, sample mengalami repasivasi pada potensial 0,954V. Pada SS316, mulai di- scan scan pada potensial 0,658V, melewati potensial korosi pada 0,537V. Potensial pitting, E p, dan potensial proteksi (repasivasi) Erp, masing-masing adalah 1,18V dan 1,08V. Gambar 2 menunjukkan bahwa cyclic polarization yang diperoleh terlihat sampel material SS304 dan SS316 tidak mengalami pitting corrosion pada corrosion pada campuran larutan 0,52 M HNO 3 dan 1 M NaCl. Perilaku korosi SS304 dan SS316 pada campuran larutan 0,17 M HNO 3 dan 1 M NaCl dapat dilihat pada Gambar 3. SS304 mulai di scan dari potensial 0,157V, dimana potensial korosinya berada pada -0,292V. Pada potensial 1.103V mulai terlihat terjadi peningkatan rapat arus anodik secara signifikan yang dianggap sebagai inisiasi pitting . Setelah dilakukan reverse scanning , spesimen mengalami repasivasi pada 0,569mV. Sedangkan pada SS316 tidak menunjukkan adanya kondisi pitting corrosion. Tingginya kandungan unsur Mo pada SS316 menyebabkan ketahanan korosi yang lebih baik dari SS304 dimana Mo berfungsi sebagai repellent agent dari ion Cl - dan membantu proses repasivassi[6].
Gambar 1. Kurva cyclic polarization pada polarization pada larutan 1,73 M HNO3 + 1 M NaCl.
Gambar 2. Kurva cyclic polarization pada polarization pada larutan 0,52 M HNO 3 + 1 M NaCl.
Gambar 3. Kurva cyclic polarization pada polarization pada larutan 0, 17 M HNO3 + 1 M NaCl. 3.3 Electrochemical Impedance Spectroscopy Spectroscopy (EIS) Hasil pengujian EIS pada SS304 pada beberapa konsentrasi larutan campuran antara HNO 3 dan NaCl dapat dilihat pada kurva Nyquist Gambar 4.
Gambar 4. Kurva Nyquist untuk SS304 pada variasi konsentrasi larutan campuran HNO 3 + NaCl. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 29
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Dari gambar tersebut terlihat bahwa nilai hambatan polarisasi SS304 tertinggi pada larutan 1,73 M HNO3 + 1 M NaCl, kemudian diikuti oleh larutan 0,52 M HNO 3 + 1 M NaCl dan 0,17 M HNO 3 + 1 M NaCl. Sedangkan untuk hasil EIS SS316 dapat pada kurva Nyquist pada Gambar 5. Pada material ini nilai hambatan polarisasi terbesar ada pada larutan 1,73 M HNO 3 + 1 M NaCl kemudian diikuti oleh larutan 0,52 M HNO 3 + 1 M NaCl dan 0,17 M HNO3 + 1 M NaCl seperti yang yang ditunjukkan pada Tabel 2. Besarnya diameter kurva yang dihasilkan juga dapat menggambarkan besarnya nilai impedansi dari tiap kurva. Nilai hambatan polarisasi yang dihasilkan dipengaruhi oleh lapisan pasif yang terbentuk pada SS304 dan SS316 pada tiap konsentrasi larutan campuran HNO 3 dan NaCl hasil ini juga sesuai jika dibandingkan dengan hasil cyclic polarization yang telah dilakukan [7].
Gambar 5. Kurva Nyquist untuk SS316 pada variasi konsentrasi larutan campuran HNO 3 + NaCl. Gambar 6 menunjukkan sirkuit ekuivalen dari pengujian EIS yang dijelaskan pada Tabel 2. Dari hasil pengujian besarnya nilai hambatan polarisasi (Rp) akan berbanding terbalik dengan nilai capacitance double layer (Cdl). (Cdl).
4.Kesimpulan Ketahanan korosi pitting (korosi sumuran) dari SS316 lebih baik dari pada SS304 seperti ditunjukkan dari hasil pengujian cyclic pengujian cyclic polarization, polarization , karena kandungan Mo pada SS316 yang lebih tinggi. Nilai impedansi dan hambatan polarisasi dari hasil pengujian EIS untuk material SS316 lebih tinggi dibandingkan SS 304 dimana lapisan pasif yang terbentuk pada permukaan SS 316 bersifat lebih protektif. Daftar Pustaka [1] Drinkard, W.F. Nickel-laterite process. process. US Patent 2010064854, March 18, 2010. [2] Banker, J.G., Hydrometallurgical J.G., Hydrometallurgical Application of Titatium Cladding Steel . [3] Drinkard, W.F., Woerner, H.J. Method of recovering metal values from ores . US Patent 8038767, Oct 18, 2011. [4] Kyle, J. H., Nickel laterite processing technologies – Where Where to next?. next?. Proceedings of the 15th ALTA Nickel/Cobalt Conference, Perth, 2010. ALTA Metallurgical Services, Melbourne. [5] Roberge, Pierre R., Handbook of Corrosion Engineering . McGraw-Hill, USA. 2000. [6] Mahato, N and M.M. Singh. Singh. Investigation of passive film properties and pitting r esistance of AISI 316 in aqueous Ethanoic Acid containing Chloride ions using Electrochemical Impedance Spectroscopy (EIS). (EIS). Portugal Elctrochimica Acta. 29(4): p. 233 -251. 2011. [7] Ningshen, S., U. Kamachi Mudali, S. Ramya, Baldev Raj. Corrosion behaviour of AISI type 304L stainless steel in nitric acid media containing oxidizing species. species . Corrosion Science. 53: p.64-70. 2011.
Gambar 6. Sirkuit ekuivalen pengujian EIS Tabel 2. Parameter pengujian EIS
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 30
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Variasi Resistivitas dan Kadar Air Tanah Terhadap Arus Proteksi Sistem I mpress mpressed Cu r r ent B B Cathodic Cathodic Protection Protection (I CCP) Pada Pipa API 5L Gr ade ade Dengan Variasi Goresan Lapis Lindung Tubagus Noor Rohmannudin, Sulistijono, Arini Santoso Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya , Jurusan Teknik Material da n Metalurgi, Surabaya, 60111, Indonesia E-mail :roma_r2001@yah oo.com, arini santoso230493 @gmail.com
Abstract Corrosion is the main cause of the failure of pipe material and it is unavoid able from underground piping system, so it cannot reach the specified lifetime. The frequent method that been used for reducing corotion in underground pipe by giving coat and ICCP installation. The environment factor become the most indicator towards ground corotion is the resistivity and soil water content. The purpose of this research are to analyze the resistivity effect and soil water content towards the requirement of ICCP current protection system at pipe material API 5L Grade B as a chatode that been add with the coating variation (full coating, without coating and square form scratch defect with 500 mm 2 wide). The 0% of water content variation (dry condition) and 25%. We use graphite as an anode and current rectifier and Cu/CuSO 4 electrode as a reference. The measurement of this current protection been held for 7 days with data retrieval everyday. From this research it show us that the increase of soil water content level make the soil resistivity reduce, because the increasing of the water level in the soil can ease the current. The soil resistivity number can be higher but it needs the low current protection, this is all due to the soil with the higher resistivity have the high resistance (too weak to deliver the electric current or isolator).Meanwhile with the high level of soil water content, the number of the current protection will be increase, this is all due to the water can easily absorb the ionisation of the electron in the soil so it can ease the current flow. Keywords: Soil Resisitivity, Soil Water Content, ICCP, API 5L Grade B
1.
Pendahuluan Pada setor minyak dan gas terdapat jaringan pipa dibawah tanah yang harus sangat diperhatikan, karena memiliki peranan yang penting dalam proses produksi maupun distribusi. Pipa onshore onshore umumnya didesain supaya dapat beroperasi 10 hingga 40 tahun. Akan tetapi, korosi merupakan penyebab utama kegagalan material sehingga kualitas material menurun akibat interaksi dengan lingkungan sekitar [1]. Kondisi lingkungan tanah yang ekstrem juga akan menambah kecenderungan terjadinya korosi. Korosi pada tanah merupakan fenomena yang kompleks dengan berbagai variabel yang terkait. Variasi sifat fisik dan karakteristik tanah yang merupakan faktor utama penyebab korosi pada struktur yang terpedam. Adanya faktor tersebut perlu adanya perlindungan terhadap korsosi. Pelapisan (coating ( coating ) menjadi salah stu solusi dalam menjaga kestabilan dan penghalang terhadap lingkungan korosif dalam mengurangi laju degradasi. Akan tetapi, sering kali saat proses pemberian coating tidak sempurna atau kerusakan coating . Sehingga perlu dilakukan usaha lain untuk mengendalikan korosi ialah dengan menggunakan proteksi katodik metode Impressed Current
Cathodic Protection (ICCP) [2]. Sistem ICCP ini digunakan untuk melindungi struktur baik yang dicoating dicoating maupun maupun tidak dicoating di coating . Sistem ini dapat melindungi secara paksa yang dapat diatur sesuai kebutuhan dengan tingkat fleksibilitas sistem ini juga cukup baik dalam mengendalikan korosi. Hal tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian ini. Pada penelitian akan dibahas karakteristik tanah pada nilai resistivitas yang berbeda dan kadar air yang berbeda terhadap kebutuhan arus proteksi yang dibutuhkan pada saat dipendam didalam tanah. 2.
Metodologi
2.1 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pipa API 5L Grade B Grade B 2. Anoda Karbon Grafit 3. Epoxy Coating 4. Cat Zinc Cat Zinc Chromate 5. Tanah 6. Filler Perekat (Lem Tembak)
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 31
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Tabel 2.2 Spesifikasi Anoda Grafit [5]
2.2 Alat Penelitian Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Alat potong material yaitu mesin potong 2. Countainer Box Plastik 3. Kaca Bening untuk Sekat 4. Multitester Digital 5. Elektroda Cu/CuSO 4 6. Kabel 7. Jack Banana 8. Jack Connector 9. Rectifier 10. Mur dan Baut 2.3 Prosedur Pnelitian 2.3.1Preparasi katoda Spesimen yang digunakan sebagai katoda adalah pipa API 5L Grade Grade B. Pipa dipotong menjadi 30 spesimen dengan dimensi panjang 100 mm dan diameter pipa 60.3 mm. Kemudian pipa tersebut diamplas guna menghilangkan produk korosi hingga bersih. Kemudian memberi lakban dengan ukuran tertentu pada permukaan spesimen sebagai tanda goresan (bagian yang tidak tertutup lapis lindung). Selanjutnya adalah pemberian lubang pada bagian ujung untuk tempat kabel yang kemudian diberi lem tembak untuk menutupnya. Langkah selanjutnya pemberian lapis lindung dengan menggunakan zinc chromate yang chromate yang dicampur dengan thinner B B sebanyak dua lapis secara merata dan epoxy filler yang ditambahkan harderner sebanyak dua lapis secara merata hingga benar benar kering. Setelah pemberian lapis lindung, langkah selanjutnya adalah memberi penutup pada kedua ujung pipa dengan dengan menggunakan karet sponge. sponge. Pemberian karet sponge sponge tersebut bertujuan agar media tanah yang digunkan tidak masuk kedalam pipa. Tabel 2.1 Komposisi Kimia API 5L Grade B[3] Elemen Carbon Mangan Phospor Sulfur Titanium
Kadar % 0.22 1.2 0.025 0.015 0.04
2.3.2 Preparasi Anoda Anoda yang digunakan adalah grafit. Dipilih grafit dikarenakan tergolong logam mulia dan memiliki laju konsumable yang rendah [4] . Anoda grafit ini dipotong dengan dimensi tebal 13 mm dan diameter 36 mm. kemudian anoda tersebut diberi lubang dibagian tengah sebagai tempat kabel, kabel tersebut dilitkan dan setelah itu ditutup menggunakan lem tembak.
Spesifikasi Kategori Model Bentuk Dimensi Masa Pakai Kompoisi Kimia Laju korosi
Keterangan Impregnated Epoxy Resin (H) M120H Tubular P = 138 mm : d = 26 mm 20 tahun 99.8% Carbon; 0.2% ash 0.1-1kg/A.Year
2.3.3 Preparasi Media Elektrolit Pada penelitian ini menggunakan media tanah. tanah yang digunakan terdapat lima jenis tanah yaitu, tanah pasir yang yang memiliki warna warna abuabu (tanah pasir kali), tanah rawa, tanah pasir yang memiliki warna hitam pekat, tanah kapur dan tanah humus, kelima jenis tanah tersebut guna untuk memberi variasi resistivitas. Sedangkan variasi kadar air yang digunakan sebesar 0% (kondisi kering) dan 25% . Langkah selanjutnya adalah menghitung nilai resistivitas dari setiap jenis tanah tersebut dengan menggunakan metode wenner. Sedangkan untuk variasi kadar air 25%, tanah dalam kodisi kering tersebut diberi tambahan air sebanyak 25% dari volume tanah yang digunakan. Setelah ditambahkan air dalam tanah, dilakukan penghitungan nilai resistivitas dengan menggunakan metode yang sama yaitu metode wenner. Pengukuran resistivitas tanah dilakukan dengan metode wenner ini memiliki empat buah pin yang ditanam pada tanah yang akan diukur dan terletak dengan jarak yang sama dalam satu garis lurus. Dua pin terluar (pin 1dan 4) digunakan untuk melewatkan arus sehingga dihubungkan dengan arus yang diseri dengan ampermeter yang merupkan elektroda arus. Dua pin yang ditanam ditengah (pin 2 dan 3) dan dihubungkan dengan voltmeter merupakan eletroda potensial untuk mengukur potensial saat dua pin terluar diberi arus. Besar arus dan potensial yang dihasilkan dicacat, kemudian dihitung dengan menggunakan rumus matematika metode wenner. ρ= 2πa (V/I)
…. (1)
Dimana, ρ= ρ= resistivitas / tahanan jenis tanah (ohmm) a= jarak antar pin (m) V= tegangan pada dua pin ditegang (volt) I= arus pada dua pin terluar (ampere)
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 32
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 2. Skema Rancangan ICCP
Gambar 1. Skema Pengukuran untuk Resistivitas Tanah Pengambilan media tanah yang berbeda dan pemberian tambahan kadar air ini dimaksudkan untuk mengetahui nilai resisitivitas tanah tersebut dengan adanya berbedaan kelembaban dan untuk mengetahui tingkat kebutuhan arus proteksi yang dibutuhkan pada lingkungan tanah tersebut. 2.3.4 Pengkondisian Spesimen Sebelum dilakukan instalsi ICCP, terlebih dahulu spesimen dikondisikan dalam media tanah yang telah dibuat dengan variasi resistivitas dan kadar air. Tujuan pengkondisian ini untuk merusak lapisan pasif yang terbentuk pada permukaan spesimen. Pengkondisian dilakukan dengan cara imersi dalam media tanah selama 8 hari. Dari 5 variasi resistivitas dan 2 variasi kadar air yang berbeda, masing-masing diletakkan kedalam 4 box container dengan memberi tanda untuk membedakan media tanah didalamnya. Selama pengkondisian awal ini, dilakukan juga pengukuran potensial awal setiap katoda untuk membandingkan besar nilai potensial sebelum dan sesudah dilakukan instalasi ICCP. 2.5 Pembuatan Rangkaian ICCP Setelah dilakukan pengkondisian awal, langkah selanjutnya adalah perangkaian ICCP. Katoda dan anoda dihubungkan melalui kabel dengan rectifier sebagai sebagai penyearah arus dan digital multitester serta avometer sebagai petunjuk potensial dan arus dalam rangkaian ICCP. Untuk instalasi ICCP, kabel pada pipa dihubungkan ke kutub negatif (-) rectifier dan kabel pada anoda grafit dihubungkan ke kutub positif (+) rectifier .
2.3.5 Pengukuran Arus Proteksi Rangkaian ICCP telah terpasang, langkah selanjutnya adalah pengukuran kebutuhan arus proteksi dengan menggunakan metode pengukuran half-cell potensial (potensial elektroda setengah sel). Beda potensial yang diukur berdasarkan perbedaan tegangan antara electroda kerja dengan referensi yang dimasukan kedalam tanah. Elektroda acuan (reference) yang yang digunakan adalah elektroda reference Cu/CuSO4. Dalam sistem ICCP ini yang menjadi fokus utama sebagai parameter adalah tingkat proteksi yang diperoleh dari potensial korosi. Sehingga arus proteksi dapat diatur sedemikian rupa supaya nilai potensial spesimen berada dalam keadaan terproteksi. Pengukuran dilakukan dengan menghubungkan kabel pada katoda dengan kutub positif (+) avometer dan menghubungkan elektroda reference dengan kutub negatif (-) avometer [6]. Pengukuran arus proteksi dilakukan selama 7 hari dengan interval setiap hari selama 7 hari [6]. Data yang diambil adalah nilai arus proteksi yang diatur dari rectifier ke katoda untuk mendapat nilai potensial yang dalam level terproteksi yaitu -850 mV. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan untuk mendapat nilai yang lebih tepat dan diambil nilai rata-rata. Dalam penelitian ini juga dilakukan pengamatan makro setiap spesimen untuk mengetahui perubahan fisik yang terjadi [7]. 3.
Analisis dan Pembahasan
3.1 Hasil Pengukuran Nilai Resistivitas Tanah Analisa awal yang dilakukan pada penelitioan kali ini adalah mengukur nilai resistivitas tanah dengan menggunakan metode wenner dengan kondisi tanah yang berbeda dan akan diberi perlakuan yang berbeda dengan memberi perbedaan kadar air. Kadar air yang diberikan adalah 0% dan 25%. Dari hasil pengujian tersebut diperoleh beberapa data untuk pengukuran nilai resistivitas yaitu nilai arus dan potensial. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut didapatkan hasil nilai resitivitas setiap jenis tanah
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 33
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dengan kadar air yang berbeda, hasil tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Nilai Resistivitas dengan Variasi Kadar Air Jenis Tanah Tanah Pasir (Warna Abuabu) Tanah Rawa Tanah Pasir (Warna Hitam Pekat) Tanah Kapur Tanah Humus
Nilai Resistivitas Resistivitas (ohm.m) (ohm.m) Kadar Air Kadar Air 0% 25% 1209.32
82.46
1744.47
92.36
2985.04
97.81
6165.39 8040.91
123.69 326.44
Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa dalam jenis tanah yang sama, semakin besar nilai kadar ait dalam tanah maka akan semakin rendah nilai resistivitasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap peningkatan tersebut terjadi komposisi udara dan air didalam tanah. Menurut Bai Wei (2013), mengatakan bahwa konduktivitas dan resistivitas secara signifikan dipengaruhi oleh kadar air [8]. Sehingga dengan adanya perubahan kadar air dalam tanah yang meningkat dapat menyebabkan turunya resistivitas, karena nilai hambatan jenis air lebih rendah dibandingkan hambat jenis udara. Hal tersebut dikarenakan air merupakan medium pengatar listrik. 3.2 Pengkondisian Awal Spesimen Pengkondisian awal dilakukan sebelum instalasi pipa dengan sistem ICCP, dilakukan dengan cara imersi spesimen dalam media tanah selama 8 hari [7]. Pengukuran ini bertujuan untuk merusak lapisan pasif yang terdapat pada permukaan spesimen dan mengetahui perbandingan nilai potensial sebelum dan sesudah instalasi ICCP. Pengukuran ini menggunakan avometer dan elektroda reference Cu/CuSO 4.
Gambar 3. Grafik Hasik Nilai Potensial Awal Dalam Media Tanah dengan Kondisi Kadar Air 0% (A = Full = Full Coating , B = Luas Goresan 500 mm 2, dan C = Tanpa Coating )
Gambar 4. Grafik Hasik Nilai Potensial Awal Dalam Media Tanah dengan Kondisi Kadar Air 25% (A = Full = Full Coating , B = Luas Goresan 500 mm2, dan C = Tanpa Coating ) 3.3 Pengukuran Arus Proteksi Setelah dilakukan pengukuran potensial awal, maka rangkaian ICCP dapat dijalankan dengan mengatur kebutuhan arus sehingga potensial kerja benda -850 mV dimana baja dapat terproteksi. Hasil pengukuran arus proteksi terhadap nilai resistivitas dan kadar air pada hari ke 7 dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut. berikut. Tabel 2. Nilai Arus Proteksi Masing-Masing Resisivitas dengan Kadar Air 0% Resistivitas
Arus Proteksi Spesimen (mA)
(ohm.m)
Full Coating
Goresan 500 mm2
Tanpa Coating
1209.32
0.00009
0.000143
0.002
1744.47
0.00011
0.0002
0.00193
2985.04
0.00007
0.00012
0.0012
6165.39
0.0001
0.0002
0.00113
8040.91
0.000103
0.0002
0.0093
5. Grafik Perbandingan Nilai Arus Proteksi Gambar 5 demgam Kadar Air 0%
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 34
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Tabel 3. Nilai Arus Proteksi Masing-Masing Resisivitas dengan Kadar Air 25% Resistivitas
Arus Proteksi Spesimen (mA)
(ohm.m)
Full Coating
Goresan 500 mm2
Tanpa Coating
82.46
0.012
0.026
0.043
92.36
0.009
0.025
0.03
97.81
0.003
0.006
0.0253
123.69
0.0021
0.0053
0.0247
326.44
0.002
0.0067
0.0257
Gambar 6. Grafik Perbandingan Nilai Arus Proteksi dengan Kadar Air 25% Berdasarkan data tersebut, arus yang dibutuhkan cenderung menurun dengan semakin tingginya nilai resistivitas tanah. Dapat pula dilihat dengan semakin besar luas goresan lapis lindung yang kontak langsung dengan lingkungan, maka akan semakin tingi arus proteksi yang dibutuhkan. Hal tersebut terjadi karena akibat adanya daerah pada permukaan logam yang terekspose lingkungan sehingga mengakibatkan terjadi reaksi oksidasi yang berlanjut dengan inisiasi korosi. Pasokan elektron yang semakin tinggi berguna untuk menghidari terjadinya korosi yang lebih parah [9]. Oleh sebab itu, arus proteksi yang diberikan harus lebih besar karena arus proteksi berbanding lurus dengan arus elektron[10}. Dari hasil pengukuran arus proteksi yang didapatkan pada hari ke tujuh, dapat dilihat bahwa dalam kadar air yang sama, semakin besar nilai resistivitas tanah maka semakin rendah kebutuhan arus yang diberikan pada pipa. Atau dengan kata lain semakin rendah nilai resistivitas tanah kebutuhan arus proteksi yang dibutuhkan akan semakin tinggi. Hal tersebut disebabkan karena saat
transfer ion bereaksi dengan korosi pada tanah sehingga mengakibatkan resistivitas tanah tinggi, sehingga akan memperlambat reaksi korosi maka arus proteksi yang dbutuhkan rendah [11]. Resitivitas tanah yang tinggi menunjukan bahwa tahanan total yang dihasilkan tinggi dengan demikian nilai tegangan dorong untuk mengatasi sel korosi juga tinggi, maka membutuhkan arus proteksi yang rendah. Atau dengan kata lain dengan nilai resistivitas tanah yang rendah akan menghasilkan tahanan sirkuit yang rendah pula, sehingga sel korosi mampu menghantarkan aliran arus korosi menjadi lebih muda, akibatnya laju korosi dipercepat sehingga membutuhkan arus proteksi yang tinggi [12]. Dan pada tanah yang bertekstur lebih halus (tanah liat yang pada umunya memiliki ukuran partikel >0.002 mm) sehingga memiliki partikel yang lebih padat dan kapasitas pori untuk difusi air atau gas lebih sedikit dibandingkan tanah yang memiliki tekstur kasar (pasir yang pada umunya memiliki ukuran partikel >2 mm). Ruang pori pada tanah mengandung air atau gas. Kapasitas pori yang semakin besar (pasir) maka akan membutuhkan arus proteksi yang lebih besar pula karena lebih bersifat korosif. Selain itu, pada tanah rawa yang pada umumnya memiliki kandungan ion klorida yang tinggi, menyebabakna resistivitas tanah yamg rendah. Karena dengan adanya ion klorida akan bersifat merusak ketika bereaksi dengan larutan anodik logam. Sedangkan pada tanah kapur, umunya mengandung magnesium magnesium dan calcium, calcium, serta pada tanah humus mengandung elemen yang hampir sama dengan tanah kapur yaitu calcium, calcium, magnesium dan magnesium dan potassium potassium.. Dimana elemen tersebut akan membentuk oksida yang tidak larut. Endapan yang tidak larut tersebut akan menghasilkan lapisan protektif pada permukaan logam sehingga mengurangi aktivitas korosi. Sehingga nilai arus proteksi yang dibutuhkan rendah. rendah. Dari gambar tersebut juga dapat dilihat dengan bertambahnya kadar air dalam tanah akan menyebabkan nilai kebutuhan arus proteksi akan semakin tinggi pula. Hal tersebut dikarenakan banyaknya air pada tanah maka akan semakin mudah ionisasi elektrolit dalam tanah sehingga memudahkan aliran arus akibat aktivitas korosi dan kadar air dalam tanah berhubungan dengan konsentrasi oksigen dalam tanah. Kadungan oksigen pada tanah secara langsung berhubungan dengan ruang pori dan kandungan air. Pada tanah yang kering, kondisi menjadi aerob dan difusi oksigen menjadi lebih cepat. Perubahan kering ke
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 35
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
bassah atau anaerob ke aerob, akan meningkatkan laju korosi daripada lingkungan tanah yang konstan. Konsentrasi oksigen meningkat dengan fluktuasi air dan udara, kapasitas pori yang besar maka akan memudahkan penetrasi air ke dalam tanah sehingga meningkatkan kelembaban tanah dan bersifat lebih korosif [11]. 4.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Pengaruh dari resistivitas tanah yang semakin besar, akan menyebabkan kebutuhan arus proteksi yang semakin kecil, Hal tersebut dikarenakan resistivitas dengan nilai yang tinggi memiliki tahanan yang tinggi pula (atau bersifat isolator) sehingga arus proteksi yang dibutuhkan kecil.
Arus Proteksi Sistem Impressed Current Cathodic Protection (ICCP) pada Pipa API 5L Grade B,” Tugas Akhir Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. (2014) [10] Departemen Perindustrian dan Perdagangan. (___). Pendidikan dan Pelatihan Inspektur Korosi. Korosi. Jakarta: Balai Besar Bahan dan Barang Teknik. [11] Prameswari, Bunga. 2008. Studi Efektifitas Lapis Galvanis terhadap KetahananKorosi Pipa Baja ASTM A53 di Dalam Tanah (Underground Pipe).Depok Pipe).Depok : Universitas Indonesia [12] Sulistijono, Diktat Korosi. 1999. Surabaya: ITS
2. Pengaruh kadar air yang semakin meningkat, maka kebutuhan arus proteksi akan semakin besar. Hal tersebut dikarenakan dengan bertambahnya jumlah kadar air dalam tanah akan mempermudah aliran arus karena air merupakan media penghantar listrik. Daftar Pustaka [1] Bardal, Einar. 2003. Corrosion and Protection. Trondheim: Norway. “ The Influence of [2] J. Wu, S. Xing, F. Yun, “The Coating Damage on The ICCP Cathodic Protection Effect,” Luoyang Ship Material Research Institute, P.R.China (2009) [3] API Specification 5L. Forty Second Edition. 2000. STD API/PETRO Spec 5L-ENGL 20000732290 0618044970. [4] Callister, William. D. Jr,. 2006. Fundamentals of Materials Science and Engineering. Seventh Edition. Edition. USA: John Wiley & Sons Inc. [5] A,W,Peabody. 2001. Control of Pipeline Corrosion. Edited by Ronald L Bianchetti. Texas: NACE International the Corrosion Society. [6] NACE SP0169-2007, Control of External Corrosion on Undergrounf or Submerged Metallic Piping Systems. Diakses tahun 2014. (Online) Available at http//www.nace.org [7] NACE TM 0169-95 “Laboratory Corrosion Testing of Metals” [8] Wei, Bai. 2013. Effect of Physical properties on Electrical Conductivity of Compacted Lateritic Soil. Jurnal terpublikasi : Laboratory of Geomechanics and Geotechnical Engineering, [9] Moch. Nurus Shobah, “ Pengaruh Goresan Lapis Lindung dan Salinitas Air Laut Terhadap Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 36
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Kajian Awal Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Laju Korosi Atmosferik Pada Baja Karbon Rendah di Bandung Asep Ridwan Setiawan, Gunawan Wibisono Institut Teknologi Teknologi Bandung, Bandung, Fakultas Fakultas Teknik Mesin Mesin dan Dirgantara, Dirgantara, Program Program Studi Teknik Material, Jl. Ganesa No.10, Bandung, Jawa Barat, 40132, Indonesia
[email protected]
Abstract In the present work, atmospheric corrosion test has been conducted on c arbon steel specimen from 2014 to 2015 period in Bandung, represent urban environment condition. The corrosion corros ion rate was measured by two methods, actual weight loss measurement and atmospheric corrosion sensor monitoring (Aircorr sensor). The environmental data in the test site (temperature, relative humidity, chloride/ SO 2 deposition rate) were collected monthly. To evaluate the effectiveness and correlation between the actual corrosion rate and corrosion sensor output, the obtained corrosion rates from both methods were compared. The result shows that the corrosion rate obtained from both methods is comparable. A minor correction has been made to the ISO 9223 dose-response function for actual atmospheric corrosion rate in Bandung. In addition, the corrosion product on the carbon steels surface was characterized by X-Ray diffraction (XRD) analysis a nd Scanning electron microscope (SEM). Lepidocrocite (γ-FeOOH) (γ-FeOOH) and goethite (α-FeOOH) (α-FeOOH) was detected as the corrosion product on the carbon steels surface. Keywords atmospheric corrosion, carbon steel, ISO 9223, dose-response function
1.Pendahuluan Korosi atmosfer pada logam merupakan reaksi kompleks yang terjadi antara logam induk, produk korosi, lapisan elektrolit, dan lingkungan udara di sekitar logam. Laju korosi atmosfer merupakan fungsi dari faktor lingkungan seperti temperatur, kelembaban relatif, dan polutan di udara (konsentrasi garam dan SO 2). Hal ini menyebabkan agresivitas lingkungan dalam menyebabkan korosi atmosfer pada tiap daerah berbeda [1]. ISO 9223 telah menyatakan suatu model matematika yang menghubungkan laju korosi sebagai fungsi dari faktor lingkungan yaitu: temperatur, kelembaban relatif, laju deposit garam, dan laju deposit SO 2. Model tersebut dapat digunakan untuk memprediksi laju korosi di lokasi pengujian yang parameter lingkungannya sudah diketahui. Model laju korosi tersebut ditentukan berdasarkan pengujian korosi atmosfer yang dilakukan pada 128 sampel di seluruh dunia [2]. Umumnya pengukuran laju korosi dilakukan dengan melakukan penimbangan massa hilang sesuai dengan dengan ISO 9226, namun namun metode ini cenderung tidak praktis dan membutuhkan waktu lama dalam menentukan laju korosi. Untuk mengatasi masalah, beberapa peneliti mulai mengembangkan sensor korosi atmosfer yang dapat melakukan pengukuran terhadap kedalaman korosi setiap waktu. Salah satu prinsip yang digunakan pada sensor korosi adalah dengan
mengukur perubahan hambatan yang terjadi pada spesimen yang terpapar korosi dan mengkorelasikannya dengan kedalaman korosi [3]. Pada penelitian ini, pengujian korosi atmosfer telah dilakukan pada spesimen baja karbon pada kurun waktu 2014-2015. Laju korosi di ukur dengan 2 metoda, yaitu pengukuran pengurangan berat spesimen dan pengukuran dengan menggunakan sensor korosi Aircorr. Faktor lingkungan seperti temperatur, kelembaban relatif, laju deposit garam, dan laju deposit SO 2 akan dipelajari kaitannya kaitannya dengan laju korosi aktual aktual pada baja karbon rendah. 2. Metode Penelitian Spesimen yang digunakan adalah pelat baja karbon rendah, AISI 1011 dengan dimensi d imensi 15 cm x 7 cm x 0,1 cm sebanyak 10 buah. Komposisi kimia spesimen yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Sebelum pengujian korosi atmosfer di udara terbuka, permukaan spesimen dibersihkan dari minyak dan oksida, kemudian dipoles menggunakan kertas abrasif dari ukuran #120 – #120 – # # 600 grit. Spesimen di paparkan ke atmosfer selama 1 tahun pada sebuah rak korosi di atas gedung Lab logam ITB, seperti di tunjukkan pada Gambar 1. Parameter lingkungan yang diukur dalam penelitian ini adalah temperatur (T), kelembaban relatif (RH), deposit garam (Sd), dan deposit SO2
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 37
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
(Pd). Temperatur dan kelembaban udara diukur dengan menggunakan HIOKI LR5001 Humidity Logger setiap setiap 10 menit. Laju deposit garam garam diukur dengan menggunakan wet candle candle (ISO 9225) dan dry gauze (JIS gauze (JIS Z2382), sedangkan laju deposit SO 2 diukur dengan menggunakan sulfonation cylinder dan PbO2 plate plate (ASTM D2020) [4]. Selanjutnya, data parameter lingkungan diambil setiap bulan untuk di analisa. Tabel 1. Komposisi kimia spesimen pengujian (% massa). Unsur
% Massa
Fe
98,778
C
0,099
Si
0,149
S
0,007
Mn
0,898
P
0,019
Laju korosi pada spesimen diukur dengan mengacu pada ISO 9226 (metoda pengurangan berat) dan dengan menggunakan sensor korosi AirCorr. Pengukuran laju korosi dengan sensor dilakukan pada Februari 2014 – Desember 2014, sedangkan pengukuran laju korosi aktual dilakukan pada bulan Januari 2015 – Mei 2015. Data korosi pada sensor Aircorr dan data korosi pada spesimen dikumpulkan setiap bulan untuk di analisa. Spesimen yang telah diambil lalu dibersihkan dari produk korosi sesuai dengan ASTM G01. Produk korosi pada permukaan spesimen akan dianalisa lebih lanjut dengan menggunakan XRD dan SEM.
r’corr = = ∆m/(A.ρ) m/(A.ρ)
(1)
r’corr adalah laju korosi dalam µm/y. ∆m menyatakan massa hilang spesimen setelah proses pickling (gram). A adalah luas permukaan spesimen yang terpapar ke lingkungan (m 2) dan ρ merupakan massa jenis spesimen (gr/cm 3). Hasil perhitungan laju korosi berdasarkan perhitungan massa hilang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengukuran laju korosi aktual di ITB t (bulan) 1 2 3 4 5
∆m (gr)
0,030 0,049 0,064 0,114 0,153
r’corr (µm/y) (µm/y) 7,500 6,125 5,333 7,125 7,670
Permukaan spesimen baja karbon setelah pengujian selama lima bulan dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa semakin lama durasi pengujian maka produk korosi yang terbentuk di permukaan spesimen semakin banyak. Namun pada bulan ke-5, permukaan produk korosi terlihat sama dengan bulan ke -4. Hal ini mungkin disebabkan karena produk korosi pada bulan ke-5 sudah tersapu oleh air hujan, fenomena ini dibuktikan dengan nilai massa hilang yang lebih besar pada spesimen ke-5 saat dibandingkan dengan spesimen ke-4 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Gambar 2. Permukaan spesimen setelah pengujian.
Gambar 1. Sensor korosi dan spesimen yang dipasang pada test rack .
3.2Korelasi antara Laju Korosi Sensor dengan Faktor Lingkungan Pengukuran laju korosi dengan menggunakan sensor korosi AirCorr dilakukan pada Februari 2014 – Desember 2014. Gambar 3 sampai 6 menunjukkan kaitan antara laju korosi rata-rata dari sensor terhadap faktor lingkungan (T, RH, P d, dan S d) setiap bulan.
3. Hasil dan Diskusi 3.1Pengukuran Laju Korosi Spesimen di ITB Pengukuran laju korosi aktual pada spesimen dilakukan pada bulan Januari 2015 – Mei Mei 2015 dengan menggunakan persamaan (1): Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 38
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 3. Korelasi antara laju korosi sensor terhadap temperatur (T).
Gambar 4. Korelasi antara laju korosi sensor terhadap kelembaban relatif (RH).
Gambar 5. Perbandingan antara laju korosi dan deposisi SO2 (mdd).
Gambar 6. Perbandingan antara laju korosi dan deposisi garam Cl (mdd). Pada gambar 3, enam bulan pertama menunjukkan bahwa kenaikan temperatur akan meningkatkan nilai laju korosi, sedangkan penurunan temperatur mengakibatkan penurunan laju korosi sensor. Hal ini disebabkan karena kenaikan temperatur akan meningkatkan laju reaksi polutan di udara dengan air untuk membentuk senyawa asam yang berperan sebagai elektrolit untuk media transfer ion dalam proses korosi. Selain itu senyawa asam yang terlarut dalam air akan menurunkan nilai pH permukaan air dan meningkatkan konsentrasi ion H + yang terkandung dalam air. Ion hidrogen akan direduksi di katoda menjadi has hidrogen dalam proses evolusi hidrogen. Proses evolusi hidrogen membutuhkan elektron yang disuplai dari reaksi oksidasi logam di anoda. Akibatnya semakin banyak ion hidrogen secara tidak langsung akan semakin mempercepat reaksi oksidasi logam [5]. Pada tiga bulan selanjutnya (Juli – September) dapat diamati bahwa kenaikan temperatur diiringi dengan penurunan nilai laju korosi. Hal ini disebabkan karena dalam tiga bulan ini terjadi penurunan kelembaban relatif yang cukup signifikan seperti yang terlihat pada gambar 4. Nilai kelembaban relatif yang rendah akan menurunkan ketebalan lapisan air di permukaan spesimen sehingga nilai laju korosi pada spesimen akan berkurang seiring dengan penurunan nilai kelembaban relatif. Penurunan laju korosi pada bulan Juli – September juga mungkin disebabkan karena adanya penurunan jumlah SO 2 yang terdeposit di permukaan spesimen seperti yang ditunjukkan pada gambar 5 [6]. 3.3Koreksi Persamaan Dose-Response Function (DRF) ISO 9223 Model persamaan DRF pada ISO 9223 memprediksi laju korosi atmosfer (R corr corr ) sebagai fungsi dari temperatur (T), kelembaban relatif (RH), deposit garam (S d), dan deposit SO 2 (Pd).
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 39
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Model DRF dapat dilihat pada persamaan (2) berikut [2]: R corr = 1,77.P d0,52.exp(0,020.RH+f stst) corr 0,102.Sd0,62.exp(0,033.RH+0,04.T)
+ (2)
Untuk mengetahui apakah persamaan diatas bisa digunakan untuk memprediksi laju korosi aktual yang terjadi pada spesimen, maka hasil perhitungan laju korosi berdasarkan persamaan tersebut di bandingkan dengan laju korosi aktual pada spesimen. Hasilnya di tunjukkan pada tabel 3.
A’=1,770.(rata-rata A’=1,770.(rata-rata aktual)/(rata-rata DRF)
(3)
B’=0,102.(rata-rata B’=0,102.(rata-rata aktual)/(rata-rata DRF)
(4)
Selanjutnya nilai A’ dan B’ disubstitusikan ke dalam persamaan (2) untuk menentukan model DRF baru yang sudah disesuaikan dengan kondisi lingkungan di lokasi pengujian. Model persamaan DRF laju korosi atmosfer yang baru dapat dilihat pada persamaan (5) berikut: R corr = 1,35.P d0,52.exp(0,020.RH+f stst) corr 0,08.Sd0,62.exp(0,033.RH+0,04.T)
+ (5)
Tabel 3. Perbandingan laju korosi ISO 9223 dengan aktual. No
R’corr (µm/y)
CR aktual (µm/y)
Pada tabel 4 nilai laju korosi berdasarkan model DRF yang baru akan dibandingkan kembali dengan laju korosi aktual.
1
11,49
7,50
2
10,01
6,13
3
10,18
5,33
4
10,89
7,13
No
5
9,55
7,67
1
8,75
7,500
6
9,26
2
7,62
6,125
7
9,69
3
7,75
5,333
8
7,79
4
8,29
7,125
9
2,62
5
7,27
7,670
10
7,75
11
8,35
6
7,04
AVG
8,87
7
7,38
8
5,93
9
1,99
10
5,90
11
6.35
6,75
Berdasarkan tabel 3 diatas, terdapat perbedaan nilai laju korosi pada pengukuran aktual dengan model ISO 9223. Laju korosi yang dihitung berdasarkan ISO 9223 memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan laju korosi yang didapat dari pengukuran aktual. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan interval kondisi lingkungan pada pengujian dan pada ISO 9223. Agar model tersebut dapat digunakan untuk mendekati nilai laju korosi pada pengukuran aktual maka perlu dilakukan kalibrasi pada persamaan (2) dengan mengganti nilai koefisien 1,77 (A) dan 0,102 (B) menjadi A’ dan B’. Nilai A’ dan B’ didapatkan dengan menggunakan persamaan (3 dan 4) berikut:
Tabel 4. Perbandingan nilai laju korosi model baru dengan aktual.
R’corr (µm/y)
CR aktual (µm/y)
Bedasarkan tabel 4 nilai laju korosi yang dihitung dengan menggunakan model yang baru memiliki nilai yang lebih mendekati laju korosi aktual pada spesimen. 3.4Produk Korosi Atmosfer Analisis produk korosi dilakukan pada spesimen bulan ke-5 dengan menggunakan XRD dan SEM. Gambar 7 menunjukkan kurva hasil XRD. Berdasarkan hasil karakterisasi produk korosi mengandung senyawa lepidocrocite lepidocrocite (L) dan goethite goethite (G). Senyawa lepidocrocite lepidocrocite memiliki rumus kimia γ-FeOOH γ-FeOOH sedangkan goethite memiliki rumus kimia α-FeOOH.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 40
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Mekanisme terbentuknya senyawa ini dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu : [1] Tahap inisiasi, [2] Tahap pembentukan Fe(OH) 2, [3] Tahap pembentukan FeOOH, dan [4] Tahap pembentukan pembentukan αα-FeOOH dan γ-FeOOH. γ -FeOOH.
Di tahap yang terakhir senyawa FeOOH yang tidak stabil akan berubah menjadi senyawa anhidrat Fe2O3.H2O, senyawa ini memiliki berbagai jenis bentuk dan yang paling umum adalah αFeOOH ( goethite) goethite) dan γ-FeOOH (lepidocrocite (lepidocrocite)) [6]. Selanjutnya permukaan spesimen yang telah mengalami korosi diamati dengan menggunakan SEM. Gambar 8 menunjukkan hasil pengamatan dengan menggunakan SEM.
Gambar 7. Hasil XRD pada produk korosi yang menunjukkan senyawa lepidocrocite dan lepidocrocite dan goethite goethite.. Tahap pertama diawali dengan adanya butir air pada permukaan spesimen akibat kondensasi, air hujan, atau embun. Gas oksigen yang terdapat di lingkungan akan berdifusi masuk ke dalam lapisan air. Lalu gas oksigen ini akan bereaksi dengan air dan tereduksi menjadi ion hidroksida (OH -) seperti pada persamaan (7). Ion hidroksida yang terbentuk akan bereaksi dengan ion besi (Fe 2+) yang berasal dari proses oksidasi spesimen baja (persamaan 6). Proses reduksi gas oksigen terjadi di katoda, sedangkan ionisasi besi terjadi di anoda [7]. Reaksi anoda: Fe (s) Fe2+(aq) + 2e- (6) Reaksi katoda: O 2(g) + H2O + 2 e- 2OH- (aq)
(7)
Tahap kedua diawali dengan kondisi saat kelembaban lingkungan mencapai suatu titik kelembaban kritis, butiran air akan membentuk lapisan tipis air yang berperan sebagai elektrolit. Lapisan air ini sangat aktif dalam menyerap gas oksigen di udara. Gas oksigen yang berada di d alam lapisan air akan bereaksi dengan ion besi (Fe 2+) dan air untuk membentuk senyawa Fe(OH) 2. Reaksi ini dapat dilihat pada persamaan ( 8) [6]. Fe2+ + ½ O2 + H2O Fe(OH)2
(8)
Pada tahap ketiga lapisan tipis air masih aktif menyerap gas oksigen dari lingkungan, akibatnya Fe(OH) 2 yang terbentuk akan bereaksi dengan gas oksigen dan air untuk membentuk senyawa Fe(OH) 3, selain itu Fe(OH) 2 juga dapat bereaksi dengan oksigen terlarut saja untuk membentuk senyawa FeOOH yang memiliki sifat tidak stabil dan air (persamaan 9 dan 10) [7]. 2Fe(OH)2 +½ O2 + H2O Fe(OH)3 Fe(OH)2 + ½ O2 FeOOH + H 2O
(9)
Gambar 8. Permukaan produk korosi Pada gambar 8 terlihat bahwa terdapat beberapa microcrack (retakan (retakan mikro) di permukaan produk korosi. Microcrack ini disebabkan karena siklus basah-kering yang terjadi secara terus menerus pada spesimen selama pengujian. Retakan ini dapat menyebabkan air masuk ke dalam lapisan oksida produk korosi. Hal ini dapat menyebabkan efek perlindungan korosi oleh lapisan oksida berkurang. Akibatnya terjadi peningkatan laju korosi pada spesimen. Fenomena ini dibuktikan oleh terjadinya kenaikan laju korosi spesimen pada bulan ke-4 dan ke-5 seperti yang ditunjukkan oleh tabel 2 [8]. 4. Kesimpulan 1. Model korosi atmosfer sebagai fungsi dari faktor lingkungan di Bandung adalah sebagai berikut:
R’corr = 1,35.P d0,52.exp(0,020.RH+f stst) + 0,08.Sd0,62.exp(0,033.RH+0,04.T) 2. Kelembaban relatif, deposit garam, dan deposit SO2 berpengaruh dalam meningkatkan laju korosi atmosfer pada baja karbon rendah. Sedangkan temperatur dapat meningkatkan atau menurunkan nilai laju korosi atmosfer.
(10)
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 41
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
3. Produk korosi yang terbentuk pada permukaan spesimen adalah lepidocrocite lepidocrocite dan goethite. goethite. Pada permukaan produk korosi juga terdapat microcrack . Daftar Pustaka [1] Schweitzer, P. A. (2006). Fundamentals of Metallic Corrosion: Atmospheric and Media [2] ISO 9223: Corrosion of Metals and Alloys Corrosivity of Atmospheres - Classification, determination and estimation. (n.d.). [3] ISO 9226. (n.d.). Corrosion of Metals and Alloys - Corrosivity of Atmospheres Determination of Corrosion Rate of Standard Specimen for the Evaluation of Corrosivity . [4] Setiawan, A. R., Widyanto, B., Kajiyama, H., & Kimura, M. (2014). Corrosion Mapping in Indonesia. Indonesia. Indonesia. Indonesia. [5] Fontana, M. G. (1987). Corrosion Engineering. Singapore: McGraww - Hill. [6] Roberge, P. R. (2008). Corrosion Engineering: Principles and Practice. Practice. USA: McGraww Hill. [7] Kui, X., Chao-Fang, D., & L. Xiao-Gang, W. F. (2008). Corrosion Products and Formation Mechanism During Initial Stage of Atmospheric Corrosion of Carbon Steel. International Journal of Iron and Steel Research, Research, 42-48. [8] Fuente, D. D., Diaz, I., Simancas, J., B.Chico, & Morcillo, M. (2010). Long-term Atmospheric Corrosion of Mild Steel. National Centre for Mettalurgical Research, Research, Spain. [9] Lien, l. T., & San, P. T. (2002). The Effect of Environmental Factors on Carbon Steel Atmospheric Corrosion: The Prediction of Corrosion. Outdoor Atmospheric Corrosion, ASTM STP 1421. 1421. [10] Pongsaksawad, W., E.Viyanit, Sorachot, S., & Shinohara, T. (2010). Corrosion Assesment of Carbon Steel in Thailand by Atmospheric Corrosion Monitoring (ACM) Sensors. Journal of Metals, Materials and Minerals, Vol.20 No.2, No.2, 23-27. [11] Uhlig, H. H., & Revie, W. R. (2008). Corrosion and Corrosion Control: An Introduction to Corrosion Science and Engineering. John Engineering. John Wiley & Sons.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 42
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakar ta, 5 November November 2015
Studi Oksidasi Baja Feritik SA213 T91 dan T22 di Udara Pada Temperatur 550 DAN 650°C Asep Hermawan 1, Husaini Ardy 1 , Asep Ridwan Setiawan 1 1
Institut Teknologi Bandung, Program Studi Teknik Material Fakultas Teknik Mesin Mesin dan Dirgantara,Bandung, 40 132, Indonesia Email:
[email protected]
Abstract The oxidation behavior of ferritic steel T91 and T22 has been studied under air environment at temperature 550 and 650 oC for 2, 5, and 7 days. The weight gain measurement is used to study oxidation kinetics. Optical microscop and X-ray diffraction (XRD) techniques were used to analyze the oxida tion products. The oxidation behavior of T91 will be different with T22 steels because the significant different in Cr content between these two materials. As a result, oxidation rate of T22 is much higher than T91. Oxidation rate of T22 is 1595 time higher than T91 at 550 °C and 118604 time higher than T91 at 650 °C. Keywords : Ferritic steel, steel, high temperature oxidation oxidation
1.
Pendahuluan Pembangkit listrik tenaga uap menggunakan boiler untuk memanaskan air dan uap air yang digunakan sebagai pendorong generator. Salah satu komponen boiler adalah adalah pipa superheater . Bagian luar pipa superheater mengalami kontak langsung dengan gas hasil pembakaran sehingga bisa menyebabkan terjadinya masalah korosi atau oksidasi. Pipa superheater terutama dibuat dengan menggunakan baja feritik dan austenitik yang mengandung kromium. Pada saat ini, baja feritik 9Cr – 1Mo 1Mo telah diterima sebagai material yang digunakan pada temperatur tinggi. Salah satu baja feritik yang digunakan sebagai superheater adalah baja feritik T91. Baja T91 digunakan sebagai superheater karena memiliki sifat fisik dan mekanik yang baik, koefisien ekspansi panas yang rendah, kekuatan mulur yang tinggi dan ketahanan korosi yang baik [1]. Baja paduan rendah digunakan sebagai material untuk superheater yang temperatur kerjanya lebih rendah. Salah satu baja paduan rendah yang digunakan adalah baja feritik T22. Permukaan luar superheater ini terekspos udara pada temperatur antara 500 – 600 oC, sehingga bisa menyebabkan masalah oksidasi [2]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari perilaku oksidasi dari baja T91 dan T22 di udara pada temperatur 550 dan 650 oC. Pertambahan massa digunakan untuk menghitung laju oksidasinya. Laju oksidasi yang dihasilkan digunakan untuk membandingkan perbedaan perilaku oksidasi dari baja T91 dan T22. Hasil lapisan oksida yang terbentuk dikarakterisasi untuk mengetahui senyawa yang terbentuk pada lapisan oksidanya.
2. Metode Spesimen yang digunakan pada penelitian kali ini diperoleh dari superheater tube tube dengan ukuran diameter luar 38 mm dan ketebalan 5 mm yang terdiri dari baja T22 dan T91 yang telah dilas dengan baja T91 sebagai filler material -nya -nya tanpa preheat dan dikenai proses post proses post weld heat treatment treatment (PWHT) pada (PWHT) pada temperatur 750 oC selama 1 jam. Hasil analisis komposisi kimia T91 dan T22 hasil pengujian bisa dilihat dalam Tabel 1. superheater 1. superheater tube dipotong dan dimesin untuk mendapatkan sampel ukuran panjang 25mm, lebar 10 mm dan tebal 3 mm. Lokasi pengambilan sampel sampel pada boiler tube ditunjukan pada Gambar 1. Sampel selanjutnya dilubangi dengan diameter 2 mm untuk menggantung saat proses oksidasi. Untuk membersihkan permukaannya maka sampel di- grinding dengan ampelas sampai ukuran 1200 dan dibersihkan dengan etanol. Sebelum dan sesudah dioksidasi sampel ditimbang untuk mengetahui pertambahan massanya. Pengujian oksidasi dilakukan di dalam tungku dengan lingkungan atmosfer udara pada temperatur 550 dan 650 oC selama 2, 5 dan 7 hari dan pendinginan setelah oksidasi dilakukan di udara. Setelah proses oksidasi selesai, kemudian dilakukan analisis struktur mikro dan senyawa lapisan oksida yang terbentuk dengan menggunakan mikroskop optik, scanning electron microscope/energy dispersive X-ray (SEM/EDX) dan X-ray diffraction (XRD)
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 43
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakar ta, 5 November November 2015
Tabel 1. Komposisi kimia (wt%) baja T91 dan T22 berdasarkan pengujian
No 1 2 3 4 4 5 6 7 8 9 10
Unsur Carbon Manganese Phospor Sulfur Silicon Nickel Chromium Molybdenum Vanadium Niobium Iron
T91 0.127 0.464 0.008 0.003 0.38 0.05 8.89 0.906 0.191 0.0054
T22 0.119 0.442 0.013 0.004 0.243 0.07 2.55 0.894 0.012 0.004 balance balance
(a)
(b) Gambar 2. Struktur mikro (a) T22 dan (b) T91
Gambar 1. Skema pengambilan sampel 3. Hasil dan Pembahasan 3. 1 Struktur Mikro Awal Struktur mikro baja T91 dan T22 bisa di lihat pada Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa fasa yang terbentuk pada baja T91 dan T22 adalah ferit dan karbida. Pada T91 terlihat bahwa jumlah fasa karbidanya lebih banyak di banding T22 karena memiliki kandungan paduan carbide former (Cr, (Cr, V) yang lebih banyak.
3.2
Struktur makro oksida Struktur makro oksida hasil oksidasi pada temperatur 550 dan 650 oC selama 7 hari bisa di lihat pada Gambar 3 dan 4. Pada spesimen T91, permukaan spesimen setelah dioksidasi pada temperatur 550 oC masih terlihat bersih sedangkan pada temperatur 650 oC sudah terbentuk oksida berwarna kecoklatan. Oksida yang terbentuk pada -
spesimen T91 tidak dapat dilihat di mikroskop optik karena oksida yang terbentuk masih sangat tipis. Pada spesimen T22 terdapat perbedaan perilaku oksida yang terbentuk pada pada temperatur 550 dan 650 o C. Pada temperatur 550 oC oksida yang terbentuk mengalami lepas dari permukaan logam saat didinginkan di udara sedangkan pada temperatur 650 oC masih tetap menempel di logam. Perbedaan ini terjadi akibat adanya perbedaan nilai koefisien ekspansi termal antara logam dan oksida yang melekat di logam. Pada baja T22, kandungan Cr nya tidak cukup untuk membentuk oksida di seluruh permukaan logam sehingga pada permukaan logam akan terbentuk oksida besi [2][4]. Dari diagram fasa Fe-O (Gambar 5) dapat diketahui bahwa hasil oksidasi besi pada temperatur 550 °C menghasilkan oksida Fe3O4 dan Fe2O3 dengan Fe 3O4 sebagai oksida yang melekat di logam sedangkan pada temperatur 650 °C menghasilkan oksida FeO, Fe 3O4 dan Fe2O3 dengan FeO sebagai oksida yang melekat di logam. logam. Perbedaan nilai nilai koefisien ekspansi termalnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Dari Tabel 2 dan 3 terlihat bahwa pada temperatur 550 °C perbedaan nilai koefisien ekspansi termal antara logam dan oksida cukup besar dibandingkan pada temperatur 650 °C. Karena Karena perbedaan nilai koefisien ekspansi termal yang cukup besar inilah yang menyebabkan oksida hasil oksidasi pada temperatur 550
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 44
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakar ta, 5 November November 2015
°C akan lepas dari permukaan logam pada saat didinginkan dengan laju yang relatif cepat (di udara).
Tabel 3. Perbedaan nilai koefisien ekspansi termal logam dan oksida pada temperatur 650 °C [5][6]. Temperatur Material
650 °C
α T22
15E-6 /oC
α Feo Δα
14.7E-6 /oC 0.3E-6 /oC
3.3 Laju oksidasi Laju oksidasi dihitung berdasarkan pertambahan massa per luas terhadap waktu. Laju oksidasi bisa di dekati (a) (b) (persamaan 1). Gambar 3. Struktur makro oksida T91 setelah dioksidasi dengan persamaan parabolik 2 ∆ pada temperatur (a) 550 °C dan (b) 650 °C selama 7 hari k pt (1)
( ) =
(a) (b) Gambar 4. Struktur makro oksida T22 setelah dioksidasi pada temperatur (a) 550 °C dan (b) 650 °C selama 7 hari
dimana m adalah massa (g), A adalah luas (cm2), k p adalah konstanta laju parabolik ( g 2cm-4 s-1 ). Laju oksidasi dapat diketahui dengan membandingkan nilai konstanta laju paraboliknya. Grafik pertambahan massa per luas kuadrat terhadap waktu bisa dilihat pada Gambar 6 dan 7. Nilai k pnya bisa dilihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa laju oksidasi pada temperatur 650 oC lebih cepat di bandingkan pada temperatur 550 oC. Hal ini sesuai dengan persamaan konstanta laju reaksi berikut: k p = k 0 exp (-
)
(2)
Laju oksidasi T22 lebih cepat dibanding T91 pada temperatur 550 dan 650 oC. Laju oksidasi T22 1595 lebih cepat dari T91 pada 550 °C dan 118604 lebih cepat dari T91 pada 650 °C. Hal ini karena kadar Cr pada T22 lebih rendah dibanding T91 sehingga tidak dapat membentuk lapisan protektik Cr 2O3 yang padat[2].
y = 5,9E12x R² = 9,4E01
4,00E-06 3,50E-06
Gambar 5. Diagram fasa Fe-O[4]
2 ) 2 3,00E-06 m c / 2,50E-06 g ( 2 ) a 2,00E-06 e r A 1,50E-06 / W1,00E-06
T22
y = 3,7E15x R² = 9,5E01
Δ (
Tabel 2. Perbedaan nilai koefisien ekspansi termal logam dan oksida pada temperatur 550 °C [5][6]. Temperatur Material
550 °C
α T22
14.6E-6 /oC
α Fe3O4
13.36E-6 /oC
Δα
1.24E-6 /oC
5,00E-07
T91 Linear (T22) Linear (T91)
0,00E+00 0
1000000 Waktu (s)
Gambar 6. Pertambahan massa massa per luas kuadrat terhadap waktu pada temperatur 550 °C
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 45
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakar ta, 5 November November 2015
0,0004
2 ) 2 m c 0,0003 / g ( 2 0,0002 ) a e r A0,0001 / W Δ (
y = 5E-10x R² = 0,9418
T22 T91
y = 4E-15x R² = 0,9462
0
0
1000000 Waktu (s)
Linear (T22) Linear (T91)
Gambar 7. Pertambahan massa per luas kuadrat terhadap waktu pada temperatur 650 °C Tabel 4 Nilai k p pada temperatur 500 dan 650 oC Temperatur (oC) Spesimen K p ( g2cm-4 s-1 ) R 2 550
T91
3.7E-15
0.9466
550
T22
5.9E-12
0.9431
650
T91
4.3E-15
0.9462
650
T22
5.1E-10
0.9418
3.4 Struktur mikro lapisan oksida. Struktur mikro lapisan oksida yang terbentuk setelah dioksidasi pada temperatur 650 oC selama 7 hari dapat di lihat pada Gambar 8. Lapisan oksida yang terbentuk kemudian di ukur ketebalan rata-ratanya. Ketebalan lapisan oksida pada T22 adalah 147,4 μm. Struktur mikro lapisan oksida T91 tidak dapat diamati di mikroskop mikroskop optik karena oksida yang yang terbentuk masih sangat tipis.
3.5 Identifikasi Jenis Oksida Hasil difraksi sinar-x (XRD) lapisan oksida yang terbentuk setelah oksidasi pada tempeartur 650 o C selama 7 hari bisa dilihat pada Gambar 9. Hasil XRD lapisan oksida T91 hanya menunjukan peak Fe. Oksida yang terbentuk sangat tipis karena oksida yang terbentuk pada T91 adalah oksida Cr 2O3. Laju oksidasi pada hukum parabolik terjadi dengan mekanisme difusi ion logam dan oksigen di lapisan oksida yang terbentuk. Berdasarkan referensi [3] diketahui bahwa Cr 2O3 memiliki difusivitas yang rendah sehingga oksidasi T91 berjalan lambat. Pada T22 senyawa oksida yang terbentuk adalah spinel FeCr 2O4 dan MnCr 2O4 , FeO, Fe3O4 dan Fe2O3. Lapisan Cr 2O3 tidak terbentuk pada T22 karena kandungan Cr pada T22 sedikit sehingga yang terbentuk hanya oksida spinel FeCr 2O4. Laju difusi ion pada spinel FeCr 2O4 berlangsung relati f lebih cepat daripada laju difusi di Cr 2O3[3]. Dari referensi [4] diketahui bahwa kandungan Cr pada T22 tidak cukup untuk membentuk Cr 2O3 dipermukaan logam sehingga Fe ikut teroksidasi menghasilkan FeO. Laju difusi ion logam dan oksigen pada FeO lebih cepat dibanding pada spinel sehingga adanya FeO pada permukaan logam membuat laju oksidasi T22 menjadi lebih cepat. Senyawa Fe 3O4 terbentuk akibat FeO bereaksi dengan oksigen. Fe 3O4 juga bisa bereaksi dengan oksigen membentuk Fe 2O3.
Gambar 7. Hasil XRD lapisan oksida setelah oksidasi pada tempeartur 650 oC selama 7 hari 4.
Kesimpulan Hasil penelitian menunjukan perbedaan perilaku oksidasi baja T91 dan T22 akibat perbedaan komposisi kimianya. Laju oksidasi T22 lebih cepat dibanding T91 pada temperatur 550 °C dan 650 °C. Laju oksidasi ini berkaitan dengan sifat oksida yang terbentuk dimana pada T91 lapisan oksida yang terbentuk memiliki difusivitas yang rendah sehingga laju oksidasinya berjalan sangat lambat.
Gambar 8. Struktur mikro lapisan oksida T22 setelah oksidasi selama 7 hari pada temperatur 650 oC Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 46
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakar ta, 5 November November 2015
Daftar Pustaka [1] G. Liu, Liu, C. Wang, F. Yu, Yu, J. Tian, 2014, Evolution of oxide film of T91 steel in water vapor atmosphere at 750 °C , Oxidation Materials, Materials, Springer, vol.81, 383-392. [2] V. B. Trindade, R. Borin, B. Z. Hanjari, S. Yang, U. Krupp, Hans-Jürgen Christ, 2005, High temperature oxidation of pure Fe and the ferritic steel 2.25Cr1Mo, Materials Research, Research, Vol.8, No. 4, 365-369. [3] D. Young, 2008, High Temperature Oxidation and Corrosion of Metals, Metals , Elsevier, UK. [4] N. Birks, G. M. Meier, dan F. S. Pettit, 2006, High Temperature Oxidation of Metals, Metals, 2nd edition, Cambridge press, press, New york. [5] ASME 31.1, 2007, Power piping : ASME code for presure piping , the american society of mechanical engineer, USA. [6] M. Takeda, T. Onishi, S. Nakakubo, Nakakubo, dan S. Fujimoto, 2009, Physical properties of iron oxide scales on Si-containing steels at high temperature, Materials Transactions, Transactions, The japan institute of metals, Vol.50, No. 9 , 2242-2246.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 47
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Analisis Pengaruh Siklus Pemanasan Terhadap Lapisan Oksida di Logam Induk dan Lasan Baja Feritik SA213 T91 pada Temperatur 650 dan 750oC Azzahra Rahmani Ali, Husaini Ardy, Asep Ridwan Setiawan Institut Teknologi Bandung, Program Studi Teknik Material, Bandung, 40132, INDONESIA
[email protected]
Abstract Further research and study on materials selection in power plant industry has been more crucial and beneficial due to increment of energy demands. A power plant system should be effective and efficient to produce sufficient energy. The aim of this research is to analyze the difference oxidation behaviors between base and weld metal of SA213 T91 ferritic steels, which will affect the energy efficiency production due to their utilizing as superheater pipes in power plant system. Specimens were oxidized at 650 and 750 OC for 12 hours then, followed by cooling at room temperature for 1 hour. Cycles were designed for 25 and 50 cycles. From the experiment, we can summarize that at 750 OC for both cyclic number base metal suffer breakaway oxidation mechanism while, weld metal suffer non-protective iron oxide layers growth. The oxidation rates of weld metals were 10 2 times higher than the base metals. The thickness of formed oxide layers shows that weld metals have 3 times thicker oxide layer than the base metals. Furthermore, XRD and SEM/EDX examination shows the formation of Fe 2O3, FeCr 2O4 and Fe3O4 on W750-5 surface and Fe 2O3, MnCr MnCr 2O4 , FeCr 2O4 and Fe3O4 on B750-5 surface. Thus, can be conclude that at high temperature heating ambient, weld metal are more suceptible to oxidation onset compared to base metals. Keywords High Temperature; Cyclic Oxidation; SA213 T91; Boiler Tube
1.
Pendahuluan Baja Feritik SA213 T91 dikenal sebagai baj a yang memiliki ketahanan yang baik terhadap temperatur tinggi. Hal ini juga didukung dengan keunggulannya di dalam sifat ketahanan creep ketahanan creep,, rendahnya ekspansi termal baja dan baiknya ketahanan korosi baja karena, dapat membentuk lapisan pasif yang stabil yaitu, Cr 2O3. Baja T91 ini banyak digunakan didalam industri pembangkit listrik sebagai pipa superheater . Pipa superheater mengahadapi lingkungan kerja yang sangat ekstrim yaitu, pada temperatur dan tekanan yang tinggi. Lingkungan kerja seperti ini dapat mengurangi ketahanan dari suatu komponen, ditambah dengan adanya perubahan temperatur yang terjadi sewaktuwaktu (siklik). Lapisan pasif yang terbentuk dapat rusak yang mengakibatkan hilangnya material ( material loss) loss) dan komponen terkena korosi ( material degradation). degradation). Logam lasan biasanya menjadi titik awal terjadinya kegagalan dari suatu komponen karena Perbedaan sifat oksidasi dari logam induk dan logam lasan diakibatkan oleh adanya perbedaan mikrostruktur (besar butir) dari kedua buah logam serta ketidakhomogenan komposisi. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perbedaan sifat ketahanan oksidasi antara logam lasan dan logam induk pada T91 di temperatur 650 dan 750 oC diikuti dengan pendinginan pada temperatur ruang. Lapisan oksida yang terbentuk akan di analisis dengan menggunakan metode XRD, SEM/EDX, Optical Microscope, Microscope, uji keras Vicker’s serta, penghitungan kinetika pertambahan massa spesimen. Kondisi siklik dipilih menjadi parameter percobaan karena, kondisi ini
paling mendekati dengan keadaan komponen saat pemakaian, lapisan oksida yang lebih tebal dan prediksi umur komponen yang lebih akurat. akurat. 2.
Metode Spesimen yang digunakan didalam penelitian ini adalah SA213 T91 Baja Feritik yang sudah disambung dengan lasan. Spesimen lasan mengalami PWHT pada tempertur 750 oC selama 1 jam. Spesimen kemudian dibagi menjadi 2 kelompok yaitu, logam induk dan logam lasan yang, kemudian akan memiliki dimensi 25x10x1 mm. Setelah itu spesimen di gerinda pada keenam sisinya dengan menggunakan kertas SiC grade 80 grade 80 hingga 2000 dan dilanjutkan dengan polishing . Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meghilangkan efek ketidakmerataan permukaan. Kedua logam (lasan dan induk) kemudian, dipanaskan pada tungku betemperatur 650 dan 750 oC selama 12 jam dengan lingkungan udara diikuti dengan pendinginan pada temperatur ruang selama satu jam. Siklus pemanasan dan pendinginan ini dilakukan selama 25 dan 50 kali untuk setiap logam lasan dan logam induk. Untuk mengurangi efek ketidakhomogenan laju pemanasan spesimen digantungkan dalam sebuah chamber menggunakan kawat stainless steel sehingga, pemanasan pada setiap sisi spesimen dianggap homogen. Setelah pemansan dilakukan spesimen ditimbang beratnya selama 3x untuk penghitungan laju oksidasi. Kemudian, lapisan oksida yang terbentuk dieksaminasi dengan mikroskop optik
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 48
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
untuk pengamatan ketebalan lapisan oksida. Kemudian, senyawa pada lapisan oksida yang terbentuk dieksaminasi dengan menggunakan XRD dan SEM/EDS dan Mapping . Uji keras dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses oksidasi terhadap sifat mekanik. mekanik. Penamaan setiap spesimen dilakukan untuk membedakan perlakuan yang diberikan: Tabel 1. Sistem Penamaan Spesimen Nama Deskripsi B650-2 Basemetal-650Oc-25cycles B650-5 Basemetal-650Oc-50cycles B750-2 Basemetal-750Oc-25cycles B750-5 Basemetal-750Oc-50cycles W650-2 Weldmetal-650 Oc-25cycles W650-5 Weldmetal-650 Oc-50cycles W750-2 Weldmetal-750 Oc-25cycles W750-5 Weldmetal-750 Oc-50cycles
mengalami kondisi oksidasi paling ekstrim dan memiliki lapisan oksida yang paling tebal dibandingkan dengan spesimen yang lainnya. Pada spesimen W650-5 dapat diperhatikan seperti tidak adanya perubahan pada permukaan spesimen setelah proses oksidasi. Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa, spesimen W650-5 masih memiliki lapisan protektif Cr 2O3 pada permukaan lapisannya. Salah satu karakteristik dari lapisan protektif Cr 2O3 adalah ketebalannya yang sangat tipis. Berbeda dengan spesimen W750-5 yang memiliki ketebalan lapisan oksida yang terhitung adalah 93.314μm 93.314μm dan ketebalan lapisan oksida di permukaan spesimen B750-5 adalah 34.1μm. 34.1μm. Dari hasil penghitungan ketebalan lapisan oksida ini, dibuktikan bahwa oksida pada logam lasan ±3x lebih tebal dibandingkan logam induk. Hasil metalografi ketiga spesimen tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
3. Hasil dan Pembahasan Hasil dari penelitian ini dibagi menjadi 6 bagian yaitu analisis pengujian komposisi kimia, metalografi, XRD, perubahan berat, SEM/EDS serta, uji keras Vickers.
3.1 Komposisi Kimia Pengujian komposisi kimia dari spesimen 9Cr1Mo T91 mengikuti standar grade baja ASTM dengan kode ASTM A213 T91 untuk tube. tube. Komponen yang penting didalam grade ini adalah kandungan Chromium yang sekitar 9%wt dan kandungan Molybdenum sekitar 1%wt. Paduan lain seperti Vanadium dan Niobium juga diperhatikan dan diatur dalam standar ini karena V dan Nb memiliki fungsi sebagai pembentuk presipitat MX yang akan berguna untuk meningkatkan ketahanan creep pada saat material digunakan. Tujuan dari pengujian komposisi kimia awal spesimen adalah untuk membuktikan grade spesimen sudah sesuai standar dan untuk menentukan apakah komposisi kimia memiliki pengaruh pada performa baja baja saat digunakan.
Gambar 3. Lapisan Oksida pada Baja W750-5
Gambar 4. Lapisan Oksida pada B750-5
Tabel 2. Komposisi Kimia Spesimen Unsur Carbon Manganese Phospor Sulfur Silicon Nickel Chromium
T91 0.07-0.14 0.3-0.6 0.02 max 0.01 max 0.2-0.5 0.4 max 8.0-9.5
Pengujian 0.127 0.464 0.008 0.003 0.38 0.05 8.89
Molybdenum Vanadium
0.85-1.05 0.18-0.25
0.906 0.191
Niobium
0.06-0.1
0.0054
3.2 Metalografi Analsis metalografi dilakukan pada spesimen yang telah dioksidasi. Spesimen yang di metalografi adalah spesimen W650-5, W750-5 dan B750-5 yang Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 5. Lapisan Oksida pada W750-5
Gambar 6. Ketebalan Lapisan Oksida dan Karakteristiknya
49
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Selain itu, yang bisa diamati adalah perbedaan karateristik dari lapisan oksida yang terbentuk. pada spesimen B750-5 lapisan oksida yang terbentuk berbentuk nodule. nodule. Ciri ini sangat khas bagi baja yang mengalami dalam tahap awal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan lapisan protektif Cr 2O3. Nodule tersebut adalah lapisan oksida non-protektif Fe-Oxide yang baru tumbuh pada permukaan. Lapisa oksida kontinu pada permukaan spesimen W750-5 menggambarkan bahwa spesimen tersebut sudah kehilangan lapisan protektifnya untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga lapisan oksida non-protektif tumbuh secara kontinu pada permukaannya.
mencukupi masih dapat melakukan perbaikan lapisan oksida (rehealing ( rehealing ). ). Grafik kinetika yang ditunjukkan pada gambar 8 dan 9 tidak bisa dikatakan akurat karena, tidak dilakukan penampungan pada massa yang rontok. Seharusnya perhitungan perubahan massa akibat kondisi pemanasan siklik memperhitungkan memperhitungkan berat dari massa oksida yang rontok dan massa oksida yang masih menempel akan akibat tidak ditampungnya spall , nilai perhitungan K p atau K l tidak dapat diaplikasikan pada spesimen di temperatur 650 oC karena perhitungan penambahan beratnya tidak akurat.
3.3 Kinetika Oksidasi Penghitungan perubahan berat pada spesimen bertujuan untuk menentukan kinetika oksidasi pada spesimen. Penambhan berat pada spesimen dihitung dari perubahan berat spesimen dibagi dengan luas area spesimen.
Gambar 10. Kinetika Oksidasi pada 750 oC untuk 25 siklus
Gambar 8. Kinetika Oksidasi pada 650 oC untuk 25 siklus
Gambar 9. Kinetika Oksidasi pada 650 oCuntuk 50 Siklus Pada spesimen yang dipaparkan di temperatur 650oC dapat dilihat bahwa terdapat penambahan massa (weight gain) gain) dan pengurangan massa ( weight loss) loss) dimana, penambahan massa akan berkaitan dengan pertumbuhan lapisan oksida sedangkan pengurangan massa akan berhubungan dengan spalling yang terjadi akibat kondisi pemanasan siklik. Kondisi pemanasan siklik akan mengakibatkan munculnya tegangan pada lapisan oksida diakibatkan perbedaan koefisien ekspansi termal antara oksida dengan logam substrat. Lapisan oksida dengan kandungan kromium yang masih
Gambar 11. Kinetika Oksidasi pada 750 oC untuk 50 siklus Berbeda dengan spesimen yang dipaparkan pada temperatur 750 oC. Semua spesimen menunjukkan pertambahan massa yang signifikan dan kontinu. Kemungkinan hal ini disebabkan karena lapisan oksida yang tumbuh adalah lapisan oksida Fe yang koefisien ekspansi termalnya tidak berbeda jauh dengan koefisien ekspansi termal logam substrat. Spalling juga terjadi pada spesimen di temperatur 750oC akan tetapi, hal ini dapat diabaikan karena menurut Lowell apabila spalling apabila spalling yang yang terjadi berada ada rentang 0-0.25 mg/cm 2 maka, spalling tersebut dapat diabaikan sehingga hukum kinetika parabolik ataupun linear dapat diaplikasikan untuk penghitungan laju oksidasi.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 50
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015 Tabel 3. Perhitungan Besar K p dan K l l
Nama Spesimen
Parabolik
K p
Linear 2
R
( gr 2 cm-4 s-2)
K l
R 2
(gr cm (gr cm-2 s-1)
B750-2
3E-07 3E-07
0.965
4.2E-04 4.2E-04
0.993
W750-2
6E-07
0.924
-
-
B750-5
5E-10 5E-10
0.163
8E-05 8E-05
0.951
W750-5
1E-06
0.860
-
-
Pada tabel diatas dapat dilihat perubahan perilaku oksidasi pada spesimen logam induk. Kenaikan laju oksidasi pada logam induk bisa mencapai 10 5x lebih tinggi pada satu titik. Hal ini mengindikasikan adanya perubahan perilaku difusi yang terjadi. Jika dikaitkan dengan hasil metalografi, dengan adanya nodule dan perubahan kinetika oksidasi dapat dikaitkan bahwa pada logam induk lapisan protektif Cr 2O3 akan rusak dan peningkatan dari laju oksidasi disebabkan oleh berubahnya spesi yang bereaksi dari mulanya adalah difusi lapisan protektif menjadi reaksi permukaan antara oksigen dengan logam substrat. Sedangkan pada logam lasan hal ini tidak terlalu tampak,karena pada logam lasan akan banyak terbentuk presipitat karbida Cr 23C6 akibat proses sensitisasi yang akan mengakibatkan lebih sedikitnya jumlah Cr yang bebas untuk pembentukan lapisan oksida protektif Cr 2O3. Selain itu, difusi Cr akan cendurung pada batas butir karena energinya lebih rendah dan dengan struktur martensit pada logam lasan mengakibatkan butir yang ada menjadi lebih besar dan batas butir juga lebih sedikit. Kedua hal inilah yang mempersulit difusi Cr pada logam lasan. 3.4 X-Ray Diffraction (XRD) Pengujian terhadap spesimen selanjutnya adalah X-Ray Diffraction dimana, pada pengujian ini spesimen akan ditembakkan dengan elektron yang dihaslkan oleh sinar X-Ray. Metode ini terbatas untuk spesimen yang memiliki struktur kristal kristalin.
Gambar 7. Hasil W750-5 XRD Dari hasil XRD didapatkanlah bahwa pada logam induk terbentuk Fe 3O4, Spinel FeCr 2O4 dan MnCr 2O4 serta lapisan Fe 2O3. Sedangkan pada logam lasan terbentuk lapisan Fe 2O3, FeCr 2O4 dan Fe3O4. Hal ini berkaitan dengan analisis sebelumnya dimana, logam induk yang akan memiliki lapisan oksida protektif lebih baik selama pemanasan memungkinakan adanya spesi ion logam yang keluar akan tetapi ion tersebut terperangkap pada lapisan protektif Cr 2O3 dan bereaksi
disana membentuk lapisan spinel. Sedangkan pada logam lasan karena, lapisan protektif sudah lama rusak sehingga pertumbuhan lapisan oksida pun hanya membentuk lapisan hematit dan magnetit yang keduanya dapat dibedakan dengan kandungan oksigen dimana, kandungan oksigen hematit akan lebih tinggi. Lapisan spinel yang terbentuk akibat adanya difusi ion logam pada lapisan Fe 3O4 karena, menurut D. Young bahwa Fe 3O4 dapat melarutkan Cr dengan baik. 3.6 Spectroscopy Electron Microscope/Energy Dispersive X-Ray (SEM/EDX Mapping) Pengujian logam selanjutnya untuk mengetahui morfologi dan persebaran unsur pada lapisan oksida pada permukaan maupun, pada penampang tegak lurus dari spesimen. spesimen.
Gambar 12. SEM W750-5
Gambar 13. SEM B750-5 Dari pengamatan morfologi spesimen W7505 dan B750-5 dapat terlihat cacat yang terjadi pada permukaan spesimen. Pada spesimen yang mengalami oksidasi yang paling parah yaitu, W7505 dapat dilihat adanya gap yang terbentuk antara lapisan oksida dan logam substrat apabila, kondisi siklik terus dilakukan maka kemungkinan yang terjadi adalah rontoknya lapisan oksida dan menyebabkan logam substrat terekspos langsung di udara. Adanya gap juga bisa empercepat reaksi oksidasi yang terjadi karena ion oksigen akan lebih cepat bergerak pada medium udara dibandingkan medium padat. Kondisi lapisan oksida non-protektif ditandai dengan adanya pori pada penampang lapisan oksida. Pori menyebabkan lebih mudahnya ion oksigen untuk measuk kedalam lapisan oksida yang juga dapat berakibat meningkatnya meningkatnya laju oksidasi. Spesimen B750-5 tidak menunjukkan adanya
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 51
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
gap, namun pada spesimen ini dapat terlihat lebih jelas morfologi dari nodule yang terbentuk. seperti yang sudah disebutkan bahwa, lapisan oksida non-protetif memiliki ciri morfologinya memiliki pori dan pada nodule di spesimen B750-5 terdapat pori.
bahwa lapisan spinel FeCr 2O4 terbentuk pada bagian tengah oksida. Sedangkan konfirmasi untuk keberadaan lapisan oksida Fe 3O4 dapat ditinjau dari kandungan O yang semakin menurun. Lapisan Fe 3O4 kemungkinan akan berada diatas gap. 3.7 Uji Keras Vicker’s Pengaruh proses oksidasi siklik terhadap difat mekanik baja SA213 T91 ditinjau dari nilai kekerasan logam setelah proses oksidasi menunjukkan hasil di bawah ini :
Gambar 14. Hasil Pengujian EDS pada B750-5 Hasil pengujian EDS pada spesimen B750-5 menunjukkan adanya perubahan komposisi dari unsur yang ada. Hipotesisnya adalah lapisan oksida yang terbentuk Fe2O3, MnCr 2O4. FeCr 2O4 dan Fe3O4. Tinjauan unsur O bahwa unsur O akan paling tinggi dilapisan Fe2O3 dan akan terletak paling luar. Dibuktikan dengan kandungan oksigen sebesar 51.75 pada lapisan luar jadi dapat dipastikan bahwa terbentuk lapisan oksida Fe 2O3. Kemudian terdapatnya lapisan spinel FeCr 2O4 dan MnCr 2O4 dimana dapat dilihat pada hasil EDS menunjukkan adanya kedua unsur tersebut. Lapisan Fe3O4 keberadaannya dapat diindikasikan oleh berkurangnya kandungan O pada lapisan dimana, diketahui bahwa Fe 3O4 memiliki kandungan O yang paling sedikit.
Gambar 15. Hasil Pengujian EDS pada W7505 Spesimen W750-5 memiliki lapisan oksida Fe 2O3, FeCr 2O4 dan Fe3O4 berdasarkan hasil karakterisasi XRD. XRD. Lapisan Fe2O3 dapat dikonfirmasi keadaan dengan melihat unsur Fe dan O dimana, dapat dilihat kandungan O pada lapisan luar paling tinggi dan terdapat Fe sehingga, bisa dikatakan bahwa lapisan Fe 2O3 terbentuk. Kemudian lapisan spinel FeCr 2O4 keberadaanya dapat dikonfirmasi dengan melihat unsur Cr pada bagian tengah lapisan oksida bernilai paling tinggi dengan, tingginya Cr dan terdapat O s erta Fe maka bisa dikatakan
Gambar 16. Perbandingan nilai kekerasan setiap Spesimen pada Bagian Dekat Lapisan Oksida dan Tengah Spesimen Nilai kekerasan spesimen sebelum dilakukannya prosedur oksidasi adalah 220 HV untuk logam induk dan 291 HV untuk logam lasan. Dari hasil pengujian didapatkan hasil bahwa spesimen baik logam induk maupun lasan memiliki kekerasan yang paling tinggi pada bagian tengah spesimen dan penurunan kekerasan pada bagian pinggir cukup besar. Seperti yang sudah disebutkan salah satu presipitat karbida yang akan terbentuk pada logam SA213 T91 adalah presipitat Cr 23 23C6 dimana, karbida ini akan tumbuh pada batas butir. Salah satu pengaruh adanya karbida dibatas butir adalah menghalangi pertumbuhan butir sehingga, butir yang tumbuh pun akan halus. Adanya proses oksidasi menyebabkan terjadinya difusi ion Cr terutama yang beradapada bagian dekat lapisan oksida. Cr yang terdapat pada batas butir sudah mencapai titik kritisnya untuk dapat mensuplai Cr untuk pembentukan lapisan protektif oleh sebab itu terjadilah pemutusan ikatan karbida sehingga, Cr yang bebas akan bertambah. Tidak adanya karbida pada batas butir ini mengakibatkan tidak terkendailinya pertumbuhan butir akibat pemanasan yang terus dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari gambar 17 dimana, butir yang berada pada permukaan logam-lapisan oksida memiliki butir yang lebih besar sedangkan, butir pada bagian tengah spesimen memiliki bentuk yang halus. Mengikuti hukum Hall-Petch bahwa, ukuran butir akan berbanding terbalik dengan kekuatan atau harga
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 52
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
kekerasan. Semakin besar butir maka, kekerasan akan menurun. Analisis ini sesuai denga hasil eksaminasi struktur mikro yang didapatkan untuk baja B750-5.
Gambar 17. Struktur Mikro Spesimen B750-5 Setelah Oksidasi 4. Kesimpulan Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dengan pengaruh kondisi siklik dan temperatur tinggi, terdapat perbedaan reaksi oksidasi pada baja SA213 T91 logam induk dan logam lasan. Perbedaan tersebut dapat diamati pada lapisan oksida yang terbentuk. Kecepatan oksidasi pada logam lasan hingga 104x lebih tinggi dibandingkan dengan logam induk dan memiliki lapisan oksida dengan ketebalan 3x dibandingkan logam induk. Kesimpulan ini didapatkan dengan ekseminasi OM, XRD, SEM/EDS serta pengujian nilai kekerasan. Daftar Pustaka [1]. N. Birks, G.H. G.H. Meier, F.S. Pettit, High Pettit, High Temperature Temperature Oxidation of Metals, Metals , Cambridge University Press, New York, York, 2006 [2]. D. Young, High Temperature Oxidation and Corrosion of Metals, Metals, Elsevier, Elsevier, UK, UK, 2008 [3]. Shukla, A.K., Gond, D., Bharadwaj, M., Puri, D., High Temperature Oxidation and Hot Corrosion Behaviour of 9Cr 1Mo Ferritic Cold Rolled Steel in Air at 900 oC under Cyclic Condition, Journals of Minerals & Materials Characterization & Engineering , 10(11): 1061-1075, 2011 [4]. G.Lai, High-Temperature High-Temperature Corrosion of Engineering Alloys, Alloys, ASM International, USA, 1990 [5]. M. Fontana. Corrosion Engineering , McGraw Hill Book Company, USA, 1987 [6]. C.E Lowell, D.L Deadmore, The Role of Thermal Shock in Cyclic Oxidation, Oxidation , Oxidation of Metal Journal, USA, 1979
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 53
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengendapan Tembaga dari Larutan Tembaga Sulfat dengan Metode Elektrolisis Nadia Chrisayu Natasha dan Rudi Subagja Pusat Penelitian Metalurgi Metalurgi dan Material LIPI, LIPI, Serpong 15314, Indonesia
[email protected]
Abstract On this research has been done about first study in copper deposition from copper sulfate which produced from malachite ore dissolution in sulfuric acid. Copper electrolysis was done in electrolysis cells which made from glasses with capacity 1 L. The observed variables are influence time and temperature in copper deposition from copper sulfate solution. The result showed that temperature and time increment can increase the copper which precipitated from copper sulfate solution. The optimum result of copper content obtained from electrolysis process of copper sulfate solution came from malachite ore namely > 95% at room temperature for 5 hour and the solution concentration is 20.13 mg/L. Keywords : : Electrolysis, Copper Sulfate, Ore Malachite
1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang kaya akan potensi sumber daya mineral seperti emas, nikel, pasir besi dan juga tembaga. Banyaknya cadangan tembaga di Indonesia membuat Indonesia menjadi Negara produsen tembaga keenam di dunia dengan kapasitas 1,44 juta ton yang mayoritas diproduksi oleh Freeport-McMoran Copper and Gold Inc. 1 Tembaga merupakan salah satu jenis logam yang banyak digunakan untuk konduktor elektrik, katalis dalam oksidasi benzene menjadi besinol pada fase liquid, oksidator karbon monoksida, dan penghilang NOx dan SOx dari bahan bakar gas. 2 Tembaga terdapat dalam mineral alam seperti chalcopyrite (CuFeS2), chalocite (CuS), malachite [Cu2(OH)2CO3], azurite blue [2CuCO3.Cu(OH) 2], bornite [3Cu2S.Fe2S3] dan tenorite (CuO).3 Untuk membuat tembaga dari bijihnya saat ini dikenal 2 jenis proses utama yaitu proses pembuatan logam tembaga melalui jalur proses metalurgi piro dan jalur proses metalurgi hidro. Jalur proses metalurgi piro umumnya digunakan untuk mengolah bijih tembaga kadar tinggi sedangkan jalur proses metalurgi hidro umumnya untuk bijih tembaga kadar rendah. Proses pelarutan tembaga dengan menggunakan berbagai macam larutan asam dan dilanjutkan dengan tahap presipitasi, sementasi, ataupun dengan elekrolisis merupakan alternatif proses metalurgi hidro untuk mendapatkan tembaga dari bijihnya.2, dimana dalam proses pelarutan, pelarut organik seperti sitrat, asetat ataupun asam oksalat dapat menjadi pelarut yang atraktrif untuk memberikan kondisi asam yang cukup. 4,5,6 Hossein dkk yang telah membuat katoda tembaga dari bijih tembaga oksida dengan pelarutan asam, presipitasi dan elektrolisis7, D. Bingöl dkk mengenai kinetika pelarutan bijih malasit dalam asam sulfat.8 Yang membedakan antara penelitian yang Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
terdahulu dengan penelitian yang sekarang adalah bahan baku yang digunakan merupakan bijih malasit yang berasal dari sumber daya alam di Indonesia yaitu Banten dan menggunakan metode pelarutan dalam media asam sulfat encer dan dilanjutkan dengan elekrolisis sebagai metode untuk mengendapkan tembaga dari larutan tembaga sulfat. Metode elektrolisis ini dilakukan karena sangat mudah jika ingin diaplikasikan oleh industri kecil. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur serta waktu dalam proses pengendapan tembaga dari larutan tembaga sulfat (CuSO 4) yang berasal dari bahan alam Indonesia. Dalam proses elektrolisis ini akan menggunakan dua buah katoda dan satu buah anoda yang bersifat inert . Selama proses elektrolisis berlangsung, tembaga akan menempel pada katoda mengikuti persamaan reaksi: Cu2+ + 2e Cu
(1)
dimana electron dalam reaksi di atas berasal dari sumber arus searah. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan kali ini terdiri dari : a. Penyiapan larutan tembaga sulfat Penyiapan larutan tembaga sulfat dilakukan dengan cara penggerusan bijih malasit Banten hingga ukuran 100 mesh yang mempunyai kadar tembaga 5,83 wt% dan besi 2,65 wt%9 dilarutkan dalam 5 L larutan H2SO4 berkonsentrasi 20%. Larutan tembaga sulfat yang diperoleh mempunyai komposisi 20,13 g/mL untuk tembaga dan 5,48 g/mL untuk besi.
54
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
b. Pengendapan tembaga dari larutan tembaga sulfat dengan cara elektrolisis. Skema peralatan yang digunakan untuk elektrolisis diperlihatkan pada gambar 1.
+ S
-
+
-
-
Sumber arus (Rectifier )
Larutan tembaga sulfat Bejana gelas
Tabel 1. Variabel pengaruh waktu elektrolisis terhadap deposit tembaga
No
Temperatur (°C)
Waktu (jam)
Rapat arus (Ampere)
1 2 3
25 25 25
3 4 5
1 1 1
Jarak lempeng (cm) 4 4 4
Tabel 2. Variabel pengaruh suhu elekrolisis terhadap deposit tembaga
No
Temperatur (°C)
Waktu (jam)
1 2 3
40 50 60
3 3 3
Rapat arus (Ampere) 1 1 1
Jarak lempeng (cm) 4 4 4
3. Hasil dan Pembahasan
Pemanas listrik Gambar 1. Peralatan yang digunakan saat proses elektrolisis
Peralatan elektrolisis terdiri dari bejana gelas kapasitas 1 liter yang berfungsi sebagai sel elktrolisis, ke dalam bejana dicelupkan lempengan titanium yang berfungsi sebgai anoda dan katoda. Sebagai sumber arus digunakan rectifier dan untuk memanaskan larutan digunakan hot plate. Percobaan elektrolisis dilakukan dengan cara menuangkan larutan tembaga sulfat ke dalam sel elektrolisis. Larutan kemudian dipanaskan sampai temperature tertentu menggunakan hot plate. plate. Setelah temperature yang diinginkan tercapai, ke dalam sel elektrolisis kemudian dialirkan arus searah (DC) yang berasal dari rectifier. Setelah percobaan elektrolisis selesai, arus dihentikan, katoda dan anoda dikeluarkan dari sel untuk selanjutnya dicuci dengan air, kemudian dikeringkan dan ditimbang beratnya. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi waktu dan suhu proses elektrolisis sebagaimana diperlihatkan oleh tabel 1 dan tabel 2.
3.1. Pengaruh waktu elektrolisis Hasil percobaan pengaruh waktu elektrolisis terhadap pengendapan tembaga diperlihatkan pada tabel 3. Dari data percobaan pada tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah berat tembaga nyata yang mengendap pada permukaan katoda makin meningkat dengan berkembangnya waktu elektrolisis. Hal ini sesuai dengan hukum Faraday sebagaimana diperlihatkan oleh persamaan 1 berikut :
=
. . 96.500
(1)
Di mana : m = massa zat yang terendap (gr) I = kuat kuat arus (Ampere) t = waktu (detik) e = berat ekivalen = Ar / valensi valensi Dimana kenaikan waktu elektrolisis sebanding dengan masa tembaga yang terendapkan pada permukaan katoda.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 55
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Tabel 3. Hasil proses elektrolisis dengan variasi waktu
Rapat arus (Ampere)
Jarak lempeng (cm)
Berat teoritis Cu terdeposisi pada katoda (gr)
3
1
4
3,56
Temp.kamar
4
1
4
Temp.kamar
5
1
4
Konsentrasi Larutan CuSO4 (mg/L)
Temperatur (°C)
1
20,13
Temp.kamar
2
20,13
3
20,13
No
waktu (jam)
Bila berat tembaga nyata yang mengendap pada permukaan katoda dibandingkan dengan berat tembaga teoritis yang mengendap pada permukaan katoda hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan 1 maka hasilnya diperlihatkan oleh gambar 2.
Waktu vs Berat Hasil Deposit ) r g ( t i s o p e d l i s a h t a r e B
7 6 5 4 3
Percobaan
2
Teoritis
1 0 0
2
4
6
Waktu (jam) Gambar 2. Grafik pengaruh waktu elektrolisis terhadap berat hasil deposit
Pada Gambar 2 terlihat grafik antara berat hasil percobaan yaitu berat tembaga nyata yang mengendap pada permukaan katoda dan berat teoritis yaitu berat tembaga hasil perhitungan persamaan 1. Dari grafik tersebut dapat diketahui berat maksimum yang didapat yaitu ketika melakukan proses elektrolisis selama 5 jam dengan berat deposit 4,80 gram. Jika membandingkan hasil percobaan dengan teoritis maka didapatkan efisiensi arus dari proses elektrolisis yang dilakukan
Berat nyata Cu terdeposisi pada katoda (gr)
Persen kadar logam (%)
Cu
Fe
2,17
68,26
0,48
4,73
3,94
69,65
0,14
5,92
4,80
99,32
0,09
yaitu sebesar 61,06%, 83,16%, 81,05% untuk waktu elektrolisis 3 jam, 4 jam dan 5 jam. Efisiensi arus elektrolisis ini diperlukan untuk mengetahui seberapa efektif reaksi oksidasi terjadi pada anoda. 10 Efisiensi arus yang dihasilkan rendah karena sebagian dari arus yang digunakan selama proses elektrolisis kemungkinan besar digunakan untuk reaksi samping yang terjadi pada permukaan katoda berikut : H+ + e ½ H2
(2)
Fe2+ + 2 e Fe
(3)
Gejala terbentuknya gas hidrogen akibat reaksi 2 nampak jelas pada saat percobaan dengan terbentuknya gelembung gelembung gas pada daerah katoda, sedangkan bukti terjadinya reaksi 3 didukung oleh data hasil analisis kimia terhadap endapan tembaga didaerah katoda sebagai mana diperlihatkan oleh tabel 3. Dari data pada tabel 3 dapat dilihat bahwa kandungan besi dalam tembaga cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,09 % sampai 0,48 %. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa semakin lama proses elektrolisis dilakukan maka kadar tembaga yang didapat akan semakin murni yaitu ketika melakukan proses elektrolisis selama 5 jam dengan kadar 99,32%. Hal tersebut terjadi karena adanya reaksi yang terjadi baik pada katoda maupun anoda. Dalam hal ini, ion tembaga pada larutan tembaga sulfat mengalami reaksi reduksi dan diubah menjadi logam yang diendapkan pada plat katoda. Tembaga mengalami reaksi reduksi karena bila melihat pada daftar energi potensial, tembaga memiliki energi potensial yang lebih besar dari -0,83 yaitu sebesar 0,34.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 56
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
b. Pengaruh suhu elektrolisis Hasil percobaan untuk mengetahui pengaruh suhu pada proses elektrolisis dapat dilihat pada Tabel 4 . Tabel 4. Hasil proses elektrolisis dengan variasi waktu
Jarak lempeng (cm)
Berat teoritis Cu terdepos isi pada katoda (gr)
Berat nyata Cu terdeposisi pada katoda (gr)
Konsentrasi Larutan CuSO4 (mg/L)
Temperatur (°C)
1
20,13
40
1
1
4
3,56
2
20,13
50
1
1
4
3
20,13
60
1
1
4
No
waktu (jam)
Rapat arus (Ampere)
Dari data percobaan pada tabel 4 dapat dilihat bahwa kenaikan temperatur larutan dari 40 o C menjadi 60 o C menyebabkan kenaikan berat nyata tembaga yang mengendap pada katoda. Sebagaimana dikemukakan oleh Kohlrausch (Phyisical chemistry for Metaurgist, 2nd ed, George Allen and Unwin Ltd, 1966) bahwa konduktifitas larutan dipengaruhi oleh temperatur sesuai persamaan berikut: ‘k t = k 25 α(t-25) + β ( t-25) t-25) 2 25 (1 + α(t-
(4)
Dimana: k t = konduksitifitas pada temperatur t o C k 25 = konduktifitas pada temperaur 25 o C 25 = tetapan yang tergantung pada jenis α, β elektrolitnya. Untuk asam kuat α = 0.0164, untuk basa kuat α = 0,0190 dan untuk garam α = 0,0220 , sedangkan harga β tergantung pada persamaan persamaan berikut: β = 0,0163 (α – 0,0174) – 0,0174)
(5)
Dari persamaan 4 dapat diduga bahwa kenaikan temperatur menyebabkan kenaikan konduktifitas larutan dan berakibat lebih lanjut untuk meningkatnya daya hantar listrik. Sedangkan Menurut Nikolic, proses elektrolisis lebih efisien ketika dilakukan pada suhu yang tinggi 11 dan perilaku ini dapat dipelajari dari sifat termodinamikanya. 12 Sehingga dengan melihat Tabel 4 terbukti bahwa suhu berpengaruh pada hasil elektrolisis karena dengan dinaikkannya suhu maka energi kinetik dari sistem tersebut akan meningkat. Dengan meningkatnya energi
Persen kadar logam (%)
Cu
Fe
2,62
63,00
0,03
4,73
2,74
74,27
0,09
5,92
2,75
74,63
0,04
kinetik maka partikel – partikel akan bergerak lebih cepat dibandingkan dengan sistem yang energi kinetiknya lebih kecil, sehingga partikel – partikel tersebut akan lebih mudah terdifusi. 4. Kesimpulan Recovery Recovery tembaga dari tembaga sulfat dengan proses elektrolisis dipengaruhi oleh dua faktor yakni suhu dan waktu elektrolisis. Semakin tinggi suhu proses elektrolisis maka deposit tembaga yang dihasilkan akan semakin banyak, dan semakin murni serta semakin lama proses elektrolisis maka deposit tembaga yang dihasilkan akan semakin banyak dan semakin murni pula. 5. Saran Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana pengaruh suhu dan temperatur terhadap proses elektrolisis, penulis menyarankan untuk melakukannya pada suhu di atas 60 0C dan lebih dari 5 jam. Selain itu penulis j uga menyarankan untuk menambahkan kontrol temperatur dan arus pada alat elektrolisis sehingga temperatur dan arus yang diberikan selama proses elektrolisis pada keadaan konstan. 6. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Muhammad Yahya dan Bapak Yanuar sebagai para teknisi yang membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian mengenai ekstraksi tembaga dari larutan tembaga sulfat dengan cara elektrolisis ini.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 57
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Daftar Pustaka [1]. Allens, J.,2013, vibiz consulting . (http://vibiznews.com/2013/02/17/kekuatanraksasa-komoditi-indonesia/, diakses 23 Desember 2014) [2]. H. Kokes, M. H, 2014, Dissolution of Copper and Iron From Malachite Ore And Precipitation Of Copper Sulphate Pentahydrate By Chemical Process. Engineering Science and Technology, an International Journal , 1 - 6. [3]. N. Habbache, N. A,2009, Leaching of copper oxide with difbesirent acid solutions. Chemical Engineering Journal , 503 - 508. [4]. Demir,F., O.Lacin, B.Donmez, 2006, Leaching kinetics of calcined magnesite in citric solutions". Ind. Eng. Chemical, 1307 - 1311 [5]. Halim, C.E., J.A.Scott, H. Natawardaya, R. Amal, D. Beydoun G, 2004, Low comparison between acetic acid and landfill leachates for the leaching of Pb(II), Cd(II), As(V), and Cr(VI) from cementitious wastes". Environment Science Technology, 3977 Technology, 3977 - 3983. [6]. Alkan,M., M. Dogan, 2004, Dissolution kinetics of colemanite in oxalic acid solutions. Chemical Engineering Process. 867 Process. 867 - 872. [7]. Haghighi, H. K., Davood Moradkhani, Behzad Sedaghat, Majid Rajaie Najafabadi, Ali Behnamfard, 2012, Production of copper cathode from oxidized copper ores by acidic leaching and two – two – step step precipitation followed by electrowinning. Hydrometallurgy electrowinning. Hydrometallurgy.. 111 – 111 – 117. 117. [8]. Bingöl, D., M. Canbazoğlu, 2003, Dissolution kinetics of malachite in sulphuric acid. 159 – 165. 165. Hydrometallurgy. 159 – [9]. Subagja, Rudi., Lia Andriyah, 2013, Kinetika Reaksi Pelarutan Tembaga dari Malachite ke dalam Larutan Asam Sulfat. Majalah Metalurgi 28(3):203 – 28(3):203 – 2011. 2011. [10]. Daryoko, Mulyono., Sutoto, Kuat Heriyanto, Suwardiyono. 2009. Optimasi Proses Reaksi Pembangkitan Ag 2+ Pada Sel Elektrolisis Berkapasitas Satu Liter. Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir. [11]. Nikolic [11]. Nikolic VM, Tasic GS, Maksic AD, Saponjic DP, Miulovic SM, Marceta Kaninski MP, 2010, Raising efficiency of hydrogen generation from alkaline water electrolysis – Energy saving. International Journal of Hydrogen Energy. 35(22):12369 – 73. 73. [12]. Mazloomi, S.K., Nasri Sulaiman, 2012, Influencing Factors of Water Electrolysis Electrical Efficiency. Renewable and Sustainable Energy Reviews, Reviews, 4257 – 4257 – 4263. 4263. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 58
Prosiding Prosiding S minar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M talurgi (SENAM (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Analisis Pengaruh Konsentrasi Larutan FeCl 3 dan Waktu Leaching terhadap Reduksi Logam Tembaga dari Bijih Chalcopyrite dengan Metode Hydrometallurgy Johny Wahyuadi Soedarsono1, Erwin2, M. Akbar Barrinaya3, Yudha Pratesa 4 1, 2, 3, 4 Universitas Indonesia , Teknik Metalurgi dan Material, Depok,16424, Indonesia
[email protected]
Abstract The study was conducted to determine the reduction effectiveness of copper from chalcopyrite ore using hydrometallurgy method, the ferric chloride leaching, which was preceded by a classification process, as a mineral processing. Hydrometallurgy process is done by using variation of the FeCl 3 concentration as lixiviant (0.5 M; 1M; 1.5 M; and 2M) and variation of leaching time (2, 3, 4, and 5 days). The result of this study is the increasing of the copper concentration that can be released from the chalcopyrite because of the higher concentration of lixiviant used and the longer leaching time applied. : chalcopyrite, hydrometallurgy, ferric chloride leaching, classification, lixiviant concentration, Keywords leaching time 1. Pendahuluan Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam non-ferrous yang cukup banyak digunakan di dunia karena memiliki sifat fisika dan kimia yang baik, terutama konduktivitas listrik, panas, keuletan, mampu bentuk, dan ketahanan korosi yang sangat baik [1]. Beberapa jenis bijih tembaga sulfida adalah chalcopyrite chalcopyrite (CuFeS2), ), bornite (Cu5FeS4), covellite covellite (CuS), dan chalcocite (Cu2S). Sedangkan bijih tembaga dalam bentuk oksida adalah malachite malachite (CuCO 3.Cu(OH)2), azurite (2CuCO3.Cu(OH)2), dan chrysocolla (CuSiO3.nH2O). Disamping logam tembaga, biasanya bijih tembaga juga berasosisasi dengan logam lain, seperti emas (Au), perak (Ag), palladium palladium (Pd), selenium selenium (Se), dan lain-lain., yang memiliki harga relatif tinggi. Dewasa ini, metode pyrometallurgy digunakan untuk memproduksi lebih dari setengah logam non-ferrous dan hampir 95% dari semua jenis logam diproduksi dengan metode ini. [2] Pyrometallurgy menjadi metode yang dominan digunakan karena prosesnya yang sederhana, laju reaksi yang cepat, dan kemudahan untuk mendapatkan logam berharga. Tetapi, ada beberapa masalah secara metalurgi dan lingkungan ketika metode ini diaplikasikan ke mineral sulfida. Selain masalah efisiensi dalam memproses mineral sulfida, ada beberapa kerugian lain seperti investasi modal yang sangat besar, biaya operasi yang besar, adanya polusi gas SO2 dalam volume yang besar sehingga membutuhkan proses purifikasi, adanya polusi debu (berupa Pb, As, Sb, Cu, Zn, Hg, Bi, Se), dan terbentuknya gas dalam lingkungan kerja. [2]
ke lingkungan karena biji tembaga sulfida dalam proses ini dapat dikonversi menjadi unsur sulfur atau sulfat. Metode hydrometallurgy hydrometallurgy dilakukan dengan cara melarutkan bijih tembaga ( leaching ) ke dalam suatu larutan tertentu. Kemudian tembaga dibersihkan dari bahan pengotornya. Proses ini dapat dilakukan dengan metode sulphate leaching , chloride leaching , ammoniacal leaching , dan biological leaching (bioleaching ). ).[3] Penelitian akan dilakukan pada bijih tembaga sulfida yang memiliki kandungan sulfur cukup tinggi. Proses pyrometallurgy pyrometallurgy untuk bijih dengan kandungan sulfur yang cukup tinggi menjadi kurang efektif karena akan menghasilkan emisi gas SO2 yang dapat merusak lingkungan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, akan digunakan metode hydrometallurgy dalam mengekstraksi tembaga, yang didahului oleh proses classification classification yang akan membantu mengurangi jumlah pengotor, terutama silika, pada sampel. sampel. [4] 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan meliputi persiapan sampel, proses klasifikasi, proses leaching , dan pengujian menggunakan EDX dan AAS.
2.1 Persiapan Sampel Bijih tembaga chalcopyrite chalcopyrite memiliki ukuran diameter 5 hingga 10 cm, sehingga harus dihaluskan dan diayak terlebih dahulu untuk mendapatkan ukuran yang homogen, yaitu 70#, agar percobaan yang dilakukan tidak dipengaruhi oleh ukuran partikel.
Proses lain dalam produksi tembaga adalah proses hydrometallurgy. hydrometallurgy. Proses ini memiliki keunggulan, yaitu dapat memperkecil emisi gas SO 2 Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
59
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
2.2 Proses Klasifikasi Proses klasifikasi menggunakan wadah yang terdiri dari empat tingkat yang berbeda tinggi dan diameternya. Wadah pertama merupakan wadah yang paling tinggi dengan diameter terkecil, demikian seterusnya hingga wadah terakhir yang merupakan wadah terendah dengan diameter terbesar. Sampel dimasukkan ke wadah pertama, kemudian dialiri air secara perlahan dan terus diaduk agar terjadi aliran fluida yang baik. Setelah luapan memenuhi wadah terakhir, aliran air dihentikan dan sampel dibiarkan mengendap, lalu disaring dan dikeringkan dalam oven dengan temperatur 130°C selama 30 menit. 2.3 Proses Leaching Proses leaching dilakukan terhadap sampel hasil klasifikasi wadah 1 yang dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama, yaitu sampel uji dengan variasi konsentrasi pelarut, dilakukan proses leaching dengan cara melarutkan 4 sampel uji ke dalam 4 larutan FeCl 3 dengan konsentrasi yang berbeda-beda, yaitu 0,5M; 1M; 1,5M; dan 2M, dan dibiarkan selama 5 hari. Bagian kedua, yaitu sampel uji dengan variasi waktu leaching , dilakukan proses leaching dengan cara melarutkan 4 sampel uji ke dalam 4 larutan FeCl 3 dengan konsentrasi yang sama, yaitu 2M dan dibiarkan selama 2, 3, 4, dan 5 hari. Masing-masing sampel kemudian disaring untuk memisahkan larutan dengan endapannya. 2.4 Pengujian EDX (Energy Dispersive X-Ray) Uji EDX dilakukan untuk mengetahui jenis dan besar konsentrasi tiap elemen dari sampel. Pengujian EDX dilakukan sebanyak dua kali, yaitu untuk sampel sebelum dan setelah proses klasifikasi. 2.5 Pengujian AAS (Atomic Absorbtion Spectroscopy) Uji AAS dilakukan untuk mengetahui besar konsentrasi tembaga hingga level ppb ( part per billion) billion) setelah proses leaching . Pengujian AAS dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode atomisasi flame technique with nebulizer dengan dengan api dihasilkan dari campuran asetilena dan udara. 3. Hasil dan Pembahasan Pembahasan yang dilakukan meliputi analisis EDX awal dan setelah proses klasifikasi, serta analisis AAS setelah proses leaching .
3.1 Analisis EDX Awal Bijih Tembaga Chalcopyrite Hasil pengujian EDX pada sampel awal dapat dilihat pada Tabel 1. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Tabel 1. Hasil Pengujian Awal Sampel Tembaga Chalcopyrite Kadar (%)
1
2
3
Rata-Rata (%)
Cu
16,18
10,45
12,84
13,16
Fe
8,02
5,15
4,50
5,89
S
5,79
3,12
2,28
3,73
Si
14,49
16,34
18,26
16,36
Al
13,50
15,08
13,01
13,86
Mg
1,77
1,02
1,55
1,45
Ca
-
2,36
0,29
1,33
P
-
1,45
-
1,45
C
6,16
4,19
4,17
4,84
O
34,10
40,85
43,10
39,35
Unsur
Hasil pengujian awal sampel tembaga chalcopyrite chalcopyrite memperlihatkan bahwa unsur Si merupakan unsur dengan kadar terbesar dalam sampel penelitian (16,36%), diikuti oleh Al (13,86%), Cu (13,16%), Fe (5,89%), C (4,84%), S (3,73%), Mg (1,45%), P (1,45%), dan Ca (1,33%). Unsur Cu, sebagai logam yang ingin diekstraksi, memiliki kadar sekitar 13,16%. Bila dibandingkan dengan literatur, yang menyebutkan bahwa kadar Cu dalam bijih chalcopyrite murni sekitar 34,63%, maka dapat disimpulkan bahwa sampel chalcopyrite chalcopyrite yang digunakan dalam penelitian merupakan bijih chalcopyrite chalcopyrite berkadar rendah. Unsur Ca dan P tidak terdeteksi di semua titik pengujian, hal ini disebabkan oleh sedikitnya kadar unsur Ca dan P, serta kecilnya spot size dari size dari alat uji EDX, sehingga pada saat elektron ditembakkan pada daerah yang tidak terdapat unsur Ca dan P, maka detektor tidak bisa mendapatkan signal dari kedua unsur tersebut. Dari beberapa informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa metode yang tepat untuk mengekstraksi bijih tembaga sulfida, yaitu chalcopyrite dengan kadar rendah (13,16%) adalah metode hydrometallurgy. hydrometallurgy. Selain itu, karena adanya unsur Si dalam jumlah besar yang merupakan pengotor dalam sampel, maka harus dilakukan pengolahan mineral terlebih dahulu untuk mengurangi kadar Si yang terdapat dalam sampel. [5] 3.2 Analisis EDX Terhadap Hasil Klasifikasi Sampel Tembaga Chalcopyrite Proses klasifikasi pada penelitian ini ditujukan untuk mengurangi kadar pengotor, terutama unsur Si. Pengujian EDX hanya dilakukan pada endapan hasil klasifikasi wadah pertama dan kedua, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.
60
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Tabel 2. Hasil pengujian EDX setelah klasifikasi
25
1
2
3
RataRata (%)
1
35,72
11,25
20,80
22,59
2
13,76
15,59
14,91
14,75
1
6,72
7,88
11,21
8,60
2
7,63
7,62
7,31
7,52
1
7,86
4,08
10,48
7,47
2
4,33
3,79
3,63
3,92
1
9,52
14,68
11,07
11,76
2
12,93
13,49
15,60
14,01
1
11,78
13,02
9,06
11,29
2
11,18
10,67
10,98
10,94
1
1,69
3,38
2,27
2,45
2
2,14
2,26
2,68
2,36
1
4,49
4,45
4,55
4,50
2
9,85
7,98
4,69
7,51
1
22,21
41,26
30,56
31,34
2
38,19
38,60
40,21
39,00
Kadar (%) Unsur
Cu
Fe
S
Si
Al
Mg
C
O
Wadah
Dari Tabel 2, hasil pengujian EDX sampel tembaga chalcopyrite chalcopyrite setelah klasifikasi memperlihatkan bahwa adanya penurunan kadar unsur-unsur utama (Cu dan Fe) dari wadah 1 ke wadah 2 dan adanya peningkatan kadar unsur pengotor Si, dari 11,76% 11,7 6% di wadah 1 ke 14,01% di wadah 2. Dari beberapa informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar pengotor Si terjadi akibat adanya unsur Si yang mengalir dari wadah 1 ke wadah 2. Hal ini dapat terjadi akibat adanya perbedaan densitas logam pada suatu aliran fluida. Unsur Si memiliki densitas terendah, yaitu 2,75 g/cm3, sedangkan unsur Cu dan Fe memiliki densitas yang lebih besar, yaitu 8,96 g/cm 3 dan 7,87 g/cm3. Perbedaan densitas ini akan membuat perilaku ketiga unsur menjadi berbeda di dalam aliran air. Partikel yang lebih ringan, yaitu Si akan terbawa aliran air sehingga kadarnya di wadah 1 akan berkurang. Sedangkan, partikel yang lebih berat akan tetap mengendap di wadah wadah 1. Hasil perbandingan kadar elemen Cu, Fe, S, dan Si saat awal penelitian dan setelah klasifikasi dapat dilihat pada Gambar 1. Jika dibandingkan dengan kadar awal sampel sebelum klasifikasi, kadar Cu mengalami peningkatan yang cukup berarti, yaitu dari 13,16% menjadi 22,59%. Sedangkan unsur Si, mengalami penurunan kadar dari 16,36% menjadi 11,76%. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
20
Cu
) 15 % ( r a d a K10
Fe S Si
5
0 Awal
Wadah 1
Wadah 2
Gambar 1. Perbandingan Kadar Elemen Awal dan Setelah Klasifikasi Hal ini membuktikan bahwa proses klasifikasi dengan media air mampu mengurangi kadar pengotor yang terdapat pada sampel chalcopyrite secara sederhana dan ekonomis. Secara umum, proses klasifikasi dengan media air ini telah berfungsi dengan baik karena mampu memisahkan mineral berharga dari pengotornya (berdasarkan perbedaan densitas logam) dan mampu meningkatkan kadar mineral berharga karena berkurangnya pengotor pada sampel. 3.3 Analisis AAS Terhadap Hasil Leaching Sampel Tembaga Chalcopyrite dengan Variasi Konsentrasi Pelarut FeCl 3 Hasil pengujian sampel tembaga chalcopyrite chalcopyrite variasi konsentrasi pelarut FeCl 3 dengan metode pengujian AAS dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Konsentrasi Cu tiap Sampel dengan Variasi Konsentrasi Pelarut FeCl 3 [Cu] sebelum Sampel (Variasi [Cu] pengenceran Konsentrasi) (ppm) (ppm) 26,652 266,520 CuFeS2 +FeCl3 0,5 M 28,229 282,290 CuFeS2 +FeCl3 1 M 28,945 289,450 CuFeS2 +FeCl3 1,5 M 29,189 291,890 CuFeS2 +FeCl3 2 M Faktor Pengenceran: 10 kali Jika hasil pengujian konsentrasi Cu dari Tabel 3 dibuat dalam grafik, maka hasilnya menjadi seperti pada Gambar 2.
61
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Perubahan dari keadaan kesetimbangan semula ke keadaan kesetimbangan yang baru akibat adanya aksi atau pengaruh dari luar itu dikenal dengan pergeseran kesetimbangan.
295
) 290 m p285 p ( u280 C275 i s a r 270 t n e 265 s n o260 K255 250
3.4 Analisis AAS Terhadap Hasil Leaching Sampel Tembaga Chalcopyrite dengan Variasi Waktu Leaching Hasil pengujian sampel tembaga chalcopyrite chalcopyrite waktu leaching dengan metode pengujian AAS dapat dilihat pada Tabel 4. 0,5 M
1M
1,5 M
2M
Konsentrasi Pelarut FeCl3
Gambar 2. Grafik Konsentrasi Cu dalam Berbagai Konsentrasi Pelarut FeCl 3 Dari Tabel 3 dan Gambar 2, hasil pengujian AAS sampel tembaga chalcopyrite setelah di-leaching di-leaching dalam berbagai konsentrasi, memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pelarut yang digunakan, maka semakin tinggi pula konsentrasi tembaga yang dapat dilepaskan dari mineral chalcopyrite dan konsentrasi Cu maksimum didapat dari sampel tembaga chalcopyrite chalcopyrite yang dilarutkan ke dalam FeCl 3 dengan konsentrasi 2M. Dari beberapa informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa larutan FeCl 3 dapat digunakan sebagai pelarut logam Cu karena adanya ion Fe 3+ atau ion ferric ion ferric sebagai sebagai oksidator yang kuat. [6] Selain adanya ion ferric ferric dari pelarut FeCl 3, reaksi antara chalcopyrite chalcopyrite dan ferric chloride chloride juga akan menghasilkan ion cupric (Cu2+) yang merupakan oksidator yang lebih kuat dari ion ferric ferric menurut [8] reaksi: CuFeS2 + 4FeCl 3 ↔ CuCl2 + 5FeCl2 + 2S CuFeS2 + 3CuCl 2 ↔ 4CuCl + FeCl 2 + 2S 4CuFeS2 + 12FeCl 3 ↔ 4CuCl + 16FeCl 2 + 8S Dengan adanya dua oksidator kuat tersebut, maka logam tembaga dapat dilarutkan dari mineral chalcopyrite. chalcopyrite. Selain itu, dengan semakin bertambahnya kandungan ion ferric ferric akibat kenaikan konsentrasi FeCl3 di dalam proses leaching , maka akan meningkatkan ratio ion ferric/ ferric/ ferrous ferrous di dalam larutan yang akan mempercepat reaksi berlangsung. Dengan banyaknya ion ferric, ferric, maka reaksi akan berusaha kembali ke keadaan yang setimbang dengan membuat reaksi bergeser ke kanan, prinsip ini disebut juga dengan asas Le Chatelier .[7] Asas Le Chatelier menyatakan bila pada sistem kesetimbangan dikenakan suatu aksi, maka sistem akan mengadakan reaksi sedemikian rupa sehingga pengaruh aksi itu menjadi sekecil-kecilnya. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Tabel 4. Konsentrasi Cu tiap Sa mpel dengan Variasi Waktu Leaching Waktu Leaching [Cu] sebelum Sampel (Variasi [Cu] pengenceran Waktu Leaching ) (ppm) (ppm) 28,018 280,180 2 Hari 28,392 283,920 3 Hari 28,522 285,220 4 Hari 29,189 291,890 5 Hari Faktor Pengenceran: 10 kali Jika hasil perhitungan konsentrasi Cu dari Tabel 4 dibuat dalam grafik, maka hasilnya menjadi seperti pada Gambar 3. 294 ) 292 m p290 p288 ( u C286 i s 284 a r 282 t n e 280 s n o278 K 276 274
CuFeS2 + 4FeCl 3 2 Hari
3 Hari
4 Hari
↔ 5 Hari
Waktu Leaching
Gambar 3. Grafik Konsentrasi Cu dalam Berbagai Waktu Leaching Waktu Leaching Tabel 4 dan Gambar 3, hasil pengujian AAS sampel tembaga chalcopyrite chalcopyrite setelah dileaching dalam berbagai waktu, memperlihatkan bahwa semakin lama waktu leaching yang diaplikasikan, maka semakin tinggi konsentrasi tembaga yang dapat dilepaskan dari mineral chalcopyrite chalcopyrite dan konsentrasi Cu maksimum didapatkan dari sampel tembaga chalcopyrite chalcopyrite yang dilarutkan ke dalam FeCl 3 selama 5 hari. Dari beberapa informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa waktu leaching atau waktu kontak antara sampel dengan pelarut FeCl 3 dapat
62
CuCl 2 + 5
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
memengaruhi konsentrasi tembaga yang dapat dilepaskan dari mineral chalcopyrite. chalcopyrite. Waktu leaching dapat dapat memengaruhi hasil leaching karena karena FeCl3 sebagai pelarut membutuhkan waktu untuk dapat bereaksi dengan logam Cu untuk membentuk senyawa CuCl. Karena proses leaching chalcopyrite chalcopyrite termasuk ke dalam tipe chemically controlled process, process , yang memiliki kecepatan reaksi kimia (reaksi antar konsentrat dengan pelarut) jauh lebih lambat dibandingkan kecepatan difusi (kemampuan pelarut mencapai permukaan konsentrat), maka waktu kontak sangat dibutuhkan agar proses leaching dapat berlangsung optimal. [6] Namun demikian, waktu kontak yang berlebihan antara pelarut FeCl 3 dengan sampel dapat menyebabkan peningkatan persentase pengotor yang ada di dalam larutan, sehingga harus diketahui waktu kontak optimum agar dapat memaksimalkan recovery recovery logam tembaga dan meminimalisasi pengotor yang larut. [9]
[2]
[3]
[4] [5]
[6]
[7]
[8] 4. Kesimpulan Hasil analisis pengaruh konsentrasi larutan FeCl3 dan waktu leaching terhadap reduksi logam tembaga dari bijih chalcopyrite dengan metode hydrometallurgy memberikan beberapa kesimpulan, antara lain: 1. Proses klasifikasi dengan menggunakan media air memanfaatkan adanya perbedaan densitas logam pada suatu aliran fluida, partikel dengan densitas besar akan tetap mengendap, sedangkan partikel dengan densitas ringan akan terbawa aliran fluida. 2. Larutan FeCl 3 dapat digunakan sebagai pelarut logam tembaga karena adanya ion Fe 3+ atau ion ferric sebagai ferric sebagai oksidator yang kuat. 3. Berdasarkan hasil pengujian AAS sampel tembaga chalcopyrite setelah chalcopyrite setelah di-leaching di-leaching dalam dalam berbagai konsentrasi FeCl3 memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi pelarut yang digunakan, maka semakin tinggi pula konsentrasi tembaga yang dapat dilepaskan dari mineral chalcopyrite. chalcopyrite. 4. Berdasarkan hasil pengujian AAS sampel tembaga chalcopyrite setelah chalcopyrite setelah di-leaching di-leaching dalam dalam berbagai waktu memperlihatkan bahwa sem akin lama waktu leaching yang diaplikasikan, maka semakin tinggi konsentrasi tembaga yang dapat dilepaskan dari mineral chalcopyrite. chalcopyrite. 5. Konsentrasi Cu maksimum, yaitu 291,890 ppm, didapatkan dari sampel tembaga chalcopyrite yang dilarutkan ke dalam FeCl 3 dengan konsentrasi 2M selama 5 hari.
[9]
Harvey, Todd J., et al. 2002. Thermophilic Bioleaching of Chalcopyrite Concentrates with Geocoat ® Process. Process. Colorado: GeoBiotics. Prasad S. dan Pandey B. D. 1998. Alternative Processes For Treatment of Chalcopyrite - A Review. Review. Jamshedpur: Non-Ferrous Process Division, National Metallurgical Laboratory. 11, 763-781. Yavus A. Chemical Principles of Material Production. Production. MetE 208. Wills, Barry A. dan Napier-Munn, Tim. 2006. Mineral Processing Technology. Technology. Elsevier Science and Technology Books. Al-Harahsheh, M. 2008. Ferric chloride leaching of chalcopyrite: synergetic effect of CuCl2, CuCl2, Elsevier, pp. 89-97, 2008. Kokes, H. 2014. Dissolution of copper and iron from malachite ore and precipitation of copper sulfate pentahydrate by chemical process, process, Elsevier, pp. 39-44. Wang, Shijie. 2005. Copper Leaching from Chalcopyrite Concentrates. Concentrates . Utah: Kennecott Utah Copper Corporation. 48-51. F. O’Connor, W.H.Cheung, M.Valix. 2006 . Reduction Roasting of Limonite Ores: Effect of Dehydroxylation. Dehydroxylation . Int. J. Miner. Process. pp. 88-99.
Daftar Pustaka [1] Habashi, Fathi. 1997. Handbook of Extractive Metallurgy. Metallurgy. Weinheim: Wiley-VCH.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
63
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Reduksi Roasting Dan Dan Konsentrasi Leaching Asam Asam Sulfat Terhadap Recovery Nikel Nikel Dari Bijih Limonite Johny Wahyuadi Soedarsono 1, Gana Damar Kusuma2, Andi Rustandi3, M. Akbar Barrinaya4 1, 2, 3, 4 Universitas Indonesia , Teknik Metalurgi dan Material, Depok,16424, Indonesia
[email protected] [email protected]
Abstract The majority of nickel metals are produced through sulfide ore. However, with the decreasing of nickel sulfide ore deposite and on the other hand, the demand of nickel metal is getting higher, then the extraction process using laterite ore is more promising since the abundance of the ore and the low cost of its mining process. Hence, laterite ore will potentially be the main source to obtain nickel nickel in the near future. This experiment is using low grade laterite ore, namely limonite, in purpose to recognize the phases which are exist in the raw ore and in the roasted ore at temperature 600 oC and pulverized coal composition 20%wt in 30 minutes using XRD. Moreover, the effect of reduction roasting on recovery of nickel is done with sulphuric acid (H 2SO4 ) leaching in 60 minutes and room temperature (±25 oC) with various concentration from 0.1 to 0.4 M. The result shows that the reduction roasting and the increasing of the concentration of H 2SO4 in leaching have the positive impact on %recovery nickel. In unreduced limonite ore, leaching using 0.4 M concentration has 10.13% of %recovery, whereas in reduced ore, leaching using 0.4 M concentration has 12.71% of %recovery. Key Wor ds: ds: Limonite, Reduction Roasting, Leaching, Recovery. Limonite,
1. Pendahuluan Nikel banyak digunakan untuk berbagai macam aplikasi, termasuk bidang industri, militer, transportasi, aerospace, aerospace, dan marine karena sifatnya yang tahan terhadap serangan korosi dan oksidasi, mempunyai kekuatan dan ketangguhan yang baik pada temperatur tinggi, dan mempunyai konduktivitas panas dan listrik yang relarif rendah dan secara spesifik digunakan untuk manufaktur stainless steel dan paduan nonferrous, termasuk superalloys termasuk superalloys1. Bijih laterite, laterite, salah satu mineral yang mengandung beberapa elemen logam, antara lain nikel, kobalt, aluminium, dan besi, banyak terdapat pada daerah ekuator, seperti 2 Indonesia . Meskipun cadangan nikel Indonesia bukanlah yang terbesar di dunia, namun Indonesia merupakan salah satu produsen pertambangan nikel terbesar di dunia. Proses pyrometallurgy pyrometallurgy dan hydrometallurgy dapat diaplikasikan secara komersial untuk proses recovery recovery nikel dan kobalt dari bijih laterite. laterite. Untuk bijih limonite, limonite, proses hydrometallurgy lebih cocok untuk digunakan. Meskipun saprolite mengandung lebih banyak nikel (≤ 3% wt) daripada limonite (0,8-1,5% wt), tetapi tingginya kandungan magnesium pada saprolite membuat konsumsi pemakaian larutan asam lebih banyak 3. Jenis proses hydrometallurgy yang diterapkan pada industri antara lain:
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Proses Caron. Metode ini diterapkan pertama kali di Kuba pada tahun 1950-an. Pada proses ini, bijih terlebih dahulu direduksi sebelum dilakukan proses leaching dengan menggunakan amonium karbonat dalam tekanan atmosferik. Kemudian recovery recovery nikel dari larutan leaching ( pregnant leach solution) solution) diperoleh dengan cara menguapkan larutan tersebut sehingga terbentuk endapan nikel karbonat. Hasil akhirnya adalah recovery nikel recovery nikel sebesar 77-90%. High Pressure Acid Leaching (HPAL). Teknologi ini telah menjadi metode utama dalam proses hydrometallurgy sejak 15 tahun yang lalu di Kuba dan bagian barat Australia. Whittington dan Muir (2000) menggunakan suhu 250-255 oC pada titanium-clad autoclave autoclave melalui injeksi uap dan 3 asam sulfat . Connor dkk mengamati pengaruh dehidroxylasi reduksi roasting limonit, pemanasan awal akan meningkatkan perolehan Nikel 4. Du Plessis dkk dalam penelitian ekstraksi limonit mendapatkan bahwa pada T dan P ambien pH asam 1-1,2 memegang peran penting dalam proses leaching 5. Demikian pula Fan dkk, dalam Hidrometallurgy tahun 2010 mengamati ekstraksi Ni dan Co dari limonitik dengan khlorinasi dan leaching menggunakan air dalam kondisi optimum didapat Ni 91%, Co 90% dan Fe < 4% 6. Pada penelitian ini, sampel limonite direduksi pada temperatur 600 oC selama 30 menit. Proses leaching dilakukan dengan menggunakan pelarut asam sulfat dengan variasi kosentrasi 0,1M,
64
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
0,2M, 0,3M, dan 0,4M selama 60 menit dengan temperatur kamar (±25 oC) 2. Metode Percobaan 2.1. Sampel Penelitian ini menggunakan bijih limonite yang telah diberi perlakuan awal, antara lain crushing, screening 100#, dan proses pengeringan (drying) dengan suhu 120 oC selama 60 menit. 2.2. Reduksi Roasting Reduksi dilakukan pada suhu 600 oC selama 30 menit dengan menggunakan serbuk batu bara 30% wt. 2.3. Leaching Leaching dilakukan dengan pelarut asam sulfat 0,1; 0,2; 0,3; dan 0,4 M selama 60 menit dan suhu ruangan (±25 oC) menggunakan magnetic stirer . Proses ini dilakukan pada sampel yang telah direduksi maupun sampel nonreduksi.
2.4 Karakterisasi Sampel Energy Dispersive X-Ray Spectroscopy (EDX) digunakan untuk mengetahui komposisi awal dari sampel. XRD digunakan pada sampel awal dan sampel setelah proses reduksi untuk mengetahui fasa yang terdapat pada sampel. Sedangkan AAS digunakan pada sampel awal dan sampel setelah proses leaching untuk mengetahui %recovery dari recovery dari nikel. 3. Hasil Dan Pembahasan 3.1 Data Komposisi Awal Pengujian komposisi sampel bijih limonite menggunakan EDX dilakukan pada sampel yang belum diberikan perlakuan lanjutan seperti proses reduksi roasting dan dan leaching .
Menurut Chou dan P.B. Queneau 7, limonite yang kaya akan kandungan Fe (40-50%) mempunyai kandungan Mg <5%wt dan Si <10%wt. Sedangkan kandungan nikel di dalam limonite berkisar antara 0,9-1,4%wt, jarang yang melebihi 1,5%wt. Pada komposisi sampel hasil penelitian, tidak terdapat unsur nikel. Kandungan nikel yang relatif rendah pada bijih limonite kemungkinan tidak dapat dideteksi oleh alat EDX. Pada saat penembakan pada titik tertentu, tidak terdapat unsur Ni karena diameter tembakan alat EDX kecil, sehingga pengujian komposisi sampel menggunakan EDX kurang representatif. 3.2 Uji AAS Awal Pengujian AAS pada sampel awal bertujuan untuk mengetahui kandungan nikel di dalam sampel limonite dan limonite dan untuk menghitung nilai recovery dari pregnant leach solution. solution . Hasil yang berupa ppm dikonversi ke dalam bentuk persentase. Sampel padatan 1,03 gram diencerkan menggunakan Aqua menggunakan Aqua Regia 100 Regia 100 mL.
Kandungan AASmg L x Pengenceran x V(L) x 100 % % Ni = Berat sampe Awal (mg) 17,37 mgl x 10 x 0,1l % Ni = x 100 100 % = 1,68% 6 8% 1030 mg 3.3 Data Hasil XRD 2000
XRD Awal G
Tabel 3. 1. Hasil Uji EDX Sampel Awal Dalam Elemen Pengujian EDX dalam RataElemen (%) Unsur rata 1 2 3 60,58 54,12 46,86 53,85 Fe 4,5 5,67 12,91 7,69 Si 3,99 4,4 3,78 4,06 Al 1,11 1,45 0,56 1,04 Mg 0,00 0,00 0,00 0,00 Ni Tabel 3. 2. Hasil Uji EDX Sampel Awal Dalam Atomik Pengujian EDX dalam RataAtom (%) Unsur rata 1 2 3 32,64 27,03 22,48 27,38 Fe 4,82 5,63 12,32 7,59 Si 4,45 4,54 3,75 4,25 Al 1,38 1,66 0,62 1,22 Mg 0,00 0,00 0,00 0,00 Ni
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
1000
0 0 4 8 2 6 7 4 8 2 6 4 4 8 2 6 , , 1 3 6 0 3 0 3 7 0 7 0 4 7 , , , , 6 , , , , 3 , , , , 3 6 0 3 2 0 3 6 0 4 6 0 3 6 1 1 2 2 3 3 3 4 4 5 5 5
Gambar 3. 1. Grafik XRD Raw XRD Raw Limonite Pada Gambar 3.1, fasa yang dominan adalah fasa G atau goethite goethite (FeOOH). Menurut 4 Connor , mineral utama yang terdapat pada bijih limonite adalah limonite adalah goethite. goethite. 3.3.2. Sampel Hasil Reduksi Sampel awal kemudian direduksi roasitng pada suhu 600 oC selama 30 menit menggunakan Naberherm Furnace. Valix and Cheung 8 menunjukkan bahwa temperatur reduksi hingga 600°C adalah kondisi optimum untuk recovery
65
Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M V I I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
limonite, sedangkan saprolite diuntungkan pada 800°C.
2000
XRD Roasting
1500
H
nikel[2]. Semakin tinggi temperatur reduksi, semakin banyak nikel dan besi akan akan berikatan dan menjadi sulit untuk direduksi 10. 3.4. Data Hasil AAS Pengaruh Konsentrasi Leaching Terhadap % Recovery Nikel
M
1000 500
Tabel 3.3. Konsentrasi dan %recovery % recovery nikel nikel pada reduced ore reduced ore Konsentr Konsentrasi Ni %Recove asi (M) dalam filtrat (ppm) ry 0,1
5,47
8,14
0,2
6,32
9,40
0,3
7,37
10,97
0,4
8,54
12,71
0 0 4 8 2 6 7 4 8 2 6 4 4 8 2 6 , , 1 3 6 0 3 0 3 7 0 7 0 4 7 , , , , 6 , , , , 3 , , , , 3 6 0 3 2 0 3 6 0 4 6 0 3 6 1 1 2 2 3 3 3 4 4 5 5 5
Gambar 3. 2. Grafik XRD sampel tereduksi Gambar 3.2, terlihat bahwa fasa goethite yang dominan pada sampel awal sudah tidak tampak pada peak hasil XRD. Fasa H, hematite (Fe2O3) dan M, magnetite (Fe magnetite (Fe 3O4) serta sedikit fasa T, Taenite (FeNi) muncul menggantikan fasa goethite. goethite. Connor menyatakan bahwa goethite terhidroksilasi menjadi hematite pada suhu 300 oC. Dehidroksilasi adalah transformasi struktural yang mengarah kepada penghancuran struktural kelompok OH-. Fenomena yang terjadi saat reduksi ini terjadi adalah akibat dari pemanasan. Schawertmann et al menyimpulkan bahwa dekomposisi goethite goethite terjadi pada suhu 385 oC. Sedangkan menurut Swamy et al, perubahan fasa goethite menjadi hematite terjadi hematite terjadi pada suhu 337 oC. Dehidroksilasi dapat menyebabkan peningkatan luas permukaan spesifik karena pemutusan air yang terikat secara kimia yang mengakibatkan terbukanya struktur mineral goethite sehingga nikel dapat terbebas 4. Nikel yang terasosiasi pada fasa hematite akan hematite akan terpisah dari oksida besinya (3), dan kemudian akan tereduksi menjadi Ni di persamaan (4) pada suhu 440 oC9.
Tabel 3.3 adalah data yang didapatkan dari sampel yang telah tereduksi. Tabel tersebut menunjukkan tren %recovery %recovery nikel yang semakin meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi leaching. Penambahan konsentrasi asam sulfat memberikan efek yang positif terhadap nilai recovery Ni [2]. Namun, di atas 1 M, laju recovery nikel mulai melambat. Hadi Purwanto menyimpulkan bahwa nikel mengalami laju recovery paling cepat pada konsentrasi rendah. Selain itu, recovery nikel recovery nikel akan optimum jika besi yang larut ke larutan leaching diminimalisasikan. 3.4.2 Pengaruh Reduksi Terhadap % Recovery Nikel Tabel 3.4. Konsentrasi dan %recovery % recovery nikel nikel pada unreduced ore unreduced ore Konsentrasi Ni Konsentrasi %Recover dalam filtrat (M) y (ppm)
3NiO.Fe2O3 + CO = 3NiO + 2Fe 3O4 + CO2 (3) NiO + 2Fe3O4 + CO = Ni + 2Fe 3O4 + CO2 (4) Magnetite merupakan fasa yang paling dominan pada sampel limonite setelah diberi perlakuan reduksi roasting . Connor menambahkan bahwa fasa magnetite mulai banyak terbentuk pada suhu 500oC. Namun sebelum suhu tersebut, magnetite sudah mulai terbentuk 4. Masih adanya fasa hematite diakibatkan bahwa bahwa hematite hematite belum tereduksi sepenuhnya menjadi magnetite. Selain magnetite. Selain itu, pada suhu 500 oC juga mulai terbentuk sedikit fasa paduan FeNi. Paduan tersebut tidak diinginkan pada proses leaching karena Ni akan semakin banyak yang tergabung ke dalam Fe dan menyebabkan semakin rendahnya nilai recovery
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
0,1
4,47
6,65
0,2
5,27
7,84
0,3
5,95
8,85
0,4
6,81
10,13
Grafik Konsentrasi vs % Recovery
15 10 5 0
y r e v o c e R %
Unreduced reduced Konsentrasi (M)
0 ,1 0 ,2 0,3 0 ,4 Gambar 3. 3. Grafik Pengaruh Reduksi Roasting Reduksi Roasting Terhadap Recovery Terhadap Recovery
66
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 3.3 menunjukkan bahwa proses reduksi roasting berpengaruh terhadap nilai recovery nikel. Pada sampel nonreduksi, recovery yang tertinggi adalah 10,13%. Sedangkan pada sampel yang tereduksi mencapai 12,71%. Proses pemanasan atau reduksi mempengaruhi recovery nikel dengan cara mereduksi nikel sebanyak banyaknya untuk mendapat nilai recovery yang lebih tinggi. Sebaliknya, proses reduksi dari logam besi sangat dihindarkan karena mempengaruhi grade dari hasil akhir 11. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa reduksi dapat meningkatkan recovery recovery dari nikel [2]. Selain itu, lama waktu reduksi jgua mempengaruhi nilai pemurnian nikel. Semakin lama waktu reduksi, maka nilai recovery yang didapatkan akan semakin tinggi. Reaksi pada leaching dari bijih limonite limonite yang tidak tereduksi 12 adalah : FeOOH + H 2SO4 = Fe(OH)SO 4 + H2O (5) 2Fe(OH)SO4 + H2O = Fe2O3 + H2SO4 (6) 2FeOOH = Fe 2O3 + H2O (7) Reaksi (7) merupakan reaksi yang didapat dari reaksi (5) dan (6). Pada leaching sampel nonreduksi, goethite setelah terpapar oleh asam sulfat akan berubah menjadi hematite. Fasa ini, menurut Hadi Purwanto menyebabkan nilai recovery pada nikel menjadi rendah. Apostolidis 13 dalam penelitiannya mendapatkan bahwa kondisi reduksi optimum untuk mendapatkan hasil leaching optimum pada bijih limonite, limonite, yang mempunyai kadar besi tinggi adalah pada fasa magnetite. magnetite. Sedangkan untuk leaching pada sampel tereduksi, tidak mendapatkan reaksi yang dimaksud, tetapi reaksi yang memungkinkan adalah seperti pada Persamaan (7): Ni + 2Fe3O4 + 8H2SO4 = Fe2(SO4)3 + NiSO4 + 4FeSO4 + 8H2O (7) Persamaan (7) mengacu pada hasil dari Persamaan (3), yang kemudian dilarutkan ke dalam larutan asam sulfat. 4. Kesimpulan Bijih limonite mengandung kadar nikel yang rendah (1,68%) dengan fasa goethite goethite sebagai fasa yang dominan. Proses reduksi pada suhu 600oC selama 30 menit melenyapkan fasa goethite dan menghasilkan fasa magnetite sebagai fasa yang dominan. Proses leaching dengan menggunakan pelarut asam sulfat (H2SO4) dengan konsentrasi variasi 0,1M, 0,2M, 0,3M, dan 0,4M dan suhu kamar (±25oC) selama 60 menit. Konsentrasi asam sulfat 0,4M menghasilkan %recovery % recovery nikel paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi lain (0,1 sampai 0,3M) pada kondisi yang sama. Reduksi sebelum leaching mempengaruhi mempengaruhi % recovery nikel,
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
tetapi pada parameter yang digunakan di penelitian ini, pengaruh reduksi roasting kurang kurang signifikan. Daftar Pustaka [1] INSG – INTERNATIONAL NICKEL STUDY GROUP: World statistic data on nickel production and usage. [2] Purwanto, Hadi., et al . (2003). “Recovery Nickel from Selectively Reduced Laterite Ore by Sulphuric Acid Leaching.” ISIJ International , Vol 439 No.2. [3] McDonald, R.G., B.I Whittington. (2007). “Atmospheric Acid Leaching Of Nickel Laterites Review Part I. Sulphuric Acid Technologies”. Elsevier B.V. [4] F. O’Connor., W.H. Cheung., M. Valix. (2003). “Reduction Roasting of Limonite Ores: Effect of Dehydroxylation”. Dehydroxylation”. Int. J. Miner. Process. 80 (2006) 88 – 99. 99. [5] Chris A. du Plessis, Wickus Slabbert, Kevin B. Hallberg, D. Barrie Johnson, “Ferredox: A biohydrometallurgical processing concept for limonitic nickel laterites”, Hydrometallurgy, Volume 109, Issues 3 – 4, 4, October 2011, Pages 221-229 [6] Chuanlin Fan, Xiujing Zhai, Yan Fu, Yongfeng Chang, Binchuan Li, Ting-an Zhang, “Extraction of nickel and cobalt from reduced limonitic laterite using a selective chlorination – chlorination – water leaching process”, Hydrometallurgy, Volume 105, Issues 1 – 1 – 2, 2, December 2010, Pages 191-194 [7] Chou, E.C., P.B. Queneau., R.S. Rickard. (1976). “Sulfuric Acid Pressure Leaching of Nickelferous Limonites.” Earth Sciences, Inc., Golden, CO. [8] Valix, M. and Cheung, W.H (2007). “Study of phase transformation of laterite ores at high temperature.” International Journal of Minerals Engineering 15: 607-612 [9] Li, B., Wang, H. and Wei, Y (2011). “The reduction of nickel from low-grade nickel laterite ore using a solid-state deoxidisation method.” International Journal of Minerals Engineering 24: 1556-1562. [10] Saha, A.K., et aI., "Extraction Of Nickel From Indian Low-Grade Siliceous Ore"., Trans. Instn. Min. Metall. (Sec.C: Mineral Process. Extr. Metall.). 101 (1992), April, p.C52-C56. [11] Li, Shoubao. (1999). (1999). “Study of Nickeliferrous Laterite Reduction”. Reduction”. Open Access Dissertations and Theses, Paper 6745. [12] Senanayake, G., J. Childs., B.D. Akerstrom., D. Pugaev. (2010). “Reductive Acid Leaching of Laterite And Metal Oxides – A Review With New Data For Fe(Ni,Co)OOH And A Limonitic Ore. Elsevier B.V. [13] C.I. Apostolidis, P.A. Distin, “The kinetics of the sulphuric acid leaching of nickel and
67
Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M V I I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
magnesium from reduction roasted serpentine”, Hydrometallurgy, Volume 3, Issue 2, March 1978, Pages 181-196.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
68
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Analisa Pengaruh Komposisi Batubara terhadap Kadar Fe dan Derajat Metalisasi pada Proses Reduksi Besi Oksida dalam Pasir Besi Sungging Pintowantoro 1*, Fakhreza Abdul2, Asshid Bahtiar Anhar3 1,2,3
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jurusan Teknik Material da n Metalurgi, Surabaya 60111, Indonesia
[email protected]
Abstract Iron sand is an abundant mineral in Indonesia. Indonesia. Iron sand can be processed processed for steelmaking. The abundant abundant deposite of ironsand in Indonesia, force the reduction process development in industrial scale. The aims of this research is to analyse the effect of coal addition variation to the reduction product of ironsand. The variation ratios of feed material (ironsand : coal : lime) are 2.3 : 0.6 : 1, 2.3 : 1 : 1.1 and 2.3 : 1.4 : 1.1. Every Every variable was heated in a 0 muffle gas furnace at 1300 C for 10 hours. Then, the products were characterized using XRD, XRF and degree of metallization calculation. The result showed that the composition of feed material affect the quality of product. If the coal addition too high, the product would had low content of Fe and degree of metalization. Keywords ironsand, iron oxide, reduction, composition ratio
1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Salah satu sumber daya alam yang dimiliki adalah pasir besi yang terbesar di sepanjang pantai selatan Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara Barat dan lain – lain. Pasir besi merupakan mineral yang banyak mengandung senyawa besi oksida, misalnya magnetit (Fe 3O4), ilmenit (FeTiO 3), hematit (Fe 2O3) dan mineral lain seperti alumina, silika dalam jumlah sedikit, dengan variasi kandungan di lokasi yang berbeda [1]. Selama ini pasir besi pada umumnya dijadikan sebagai bahan bangunan padahal pasir besi mengandung bahan mineral magnetik yang merupakan basis untuk pengembangan alat dalam kehidupan modern. Pasir besi yang telah dipisahkan dari material non magnetik banyak digunakan sebagai bahan dalam pabrik baja, bahan peleburan besi dan juga campuran semen [2]. Di luar negeri seperti di Selandia baru, India dan China, pasir besi sudah sejak lama digunakan sebagai bahan baku pembuatan besi. Kandungan mineral pasir besi seperti kadar titanium yang cukup tinggi membuat pasir besi harus diproses dengan proses khusus untuk menngkatkan kadar besi dalam konsentrat pasir besi. Salah satu teknologi yang digunakan untuk mengolah pasir besi adalah Direct Reduced Iron (DRI). (DRI). Teknologi Direct Reduced Iron (DRI) merupakan proses memperoleh besi dengan mereduksi bijih besi dibawah titik leleh besi. Bahan baku proses DRI terdiri dari bijih besi, reducing agent (batubara, kokas, arang, minyak bumi, gas bumi, hidrogen), dan flux agent (batu (batu kapur).
Proses reduksi langsung merupakan proses pembuatan besi yang menghindari fasa cair. Proses ini merupakan pengembangan dari teknologi tanur tinggi. Sebagai pembuatan besi yang paling tua, tanur tinggi memiliki beberapa kelemahan, [3]: (1) Temperatur proses sangat tinggi (>1500 °C) untuk melelehkan besi, (2) Konsumsi energi yang sangat tinggi, dikarenakan untuk mencapai temperatur tinggi, dan (3) Penggunaan kokas yang harganya relatif mahal dan dalam jumlah banyak. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa daris egi energi, proses reduksi besi dengan tanur tinggi sangat boros. Hal ini berbeda dengan proses reduksi langsung, dimana konsumsi energi lebih kecil dan bahan baku tidak menggunakan kokas tetapi batu bara, minyak bumi, dan gas alam yang relati f lebih murah. Dalam dunia industri modern penggunanaan sponge iron iron mengalami peningkatan. Dewasa ini sponge iron iron dapat dihasilkan dari dengan reduksi langsung pasir besi. Peneletian dalam pengembangan skala besar proses reduksi langsung telah banyak dilakukan dengan menggunakan beberapa peralatan yang telah dikenal seperti pot furnaces, reverberatory furnaces, regenerative furnaces, shaft furnaces, rotary and stationary kilns, retort furnaces, rotary hearth furnaces, electric furnaces, fluidized bed reactors dan plasma reactors [4]. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengolahan pasir besi menggunakan muffle furnace sehingga dapat menunjang
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 69
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
proses pengolahan pasir besi yang ekonomis dan biaya yang terjangkau. Harapannya hasil penelitian ini dapat diproyeksikan dalam pengembangan proses reduksi pasir besi dalam skala besar, seperti proses tunnel kiln. kiln . 2. Metode Penelitian 2.1 Material Pasir besi yang digunakan konsentrat berassal dari daerah Lumajang, dengan unsur penyusun terdiri dari 51.23% Fe, 23.73% Si, 3.92% Mg, Mg, 3.03% Cl, 1.61% Ti, dan 0.71% Ca. Bijih besi yang terdapat terdapat dalam pasir besi adalah magnetit, magemit, dan ilmenit. Batubara yang digunakan mengandung 39.62% karbon fiks, 48.89% volatile matter , 9.299% ash. Batu kapur yang digunakan merupakan dolomit. Campuran batubara dan batu kapur digunakan sebagai penyedia gas reduktor.
2.2 Metode 2.2 Metode Mula-mula, pasir besi diayak menggunakan ayak an an 50 mesh (300 μm). Batubara dan batu kapur dihancurkan dengan jaw crusher dan dust mill hingga berukuran kurang dari 14 mesh mesh (1.4 mm). Briket pasir dibuat dengan mencampurkan pasir besi, kanji, air. Campuran tersebut dibentuk dengan bentuk silinder. Campuran batubara-batu kapur dicampur sesuai dengan variabel penelitian pada Tabel.1. Campuran bahan baku dimasukkan ke dalam sagger yang terbuat dari SiC. Susunan bahan baku dpat dilihat pada Gambar 1. Proses reduksi dilakukan dengan muffle gas furnace furnace dengan temperatur 1300°C. 1300°C. Muffle gas furnace furnace berukuran diameter dalam, diameter luar, tinggi bagian dalam, tinggi bagian luar, dan tebal batu tahan api, 48, 85, 89.5, 64, dan 7 cm, secara berurutan. Setelah dimasukkan ke dalam sagger, kemudian briket dipanaskan pada 1300 0 C selama 10 jam. Setelah proses reduksi sampel dilakukan pengujian. XRD dilakukan dengan PAN Analytical untuk analisa fasa pada hasil reduksi. XRF dilakukan dengan Olympus Delta Premium Handheld XRF Analyzers unutk mengetahui kadar Fe dalam hasil reduksi. Untuk mengetahui besar Fe yang menjadi metal dilakukan pengujian derajat metalisasi dengan metode besi klorida (IS 15775: 2007). Tabel 1. Perbandingan komposisi bahan baku No Variabel komposisi bahan baku (Rasio pasir besi : batubara : kapur) 1 2.3 : 0.6 : 1.1 2 2.3 : 1 : 1.1 3 2.3 : 1.4 : 1.1
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Pengujian 3.1 Pengujian awal Hasil pengujian pengujian XRF pasir besi dapat dilihat pada Tabel 2, dari hasil pengujian XRF dapat diketahui bahwa kadar besi dalam pasir besi masih cukup rendah yaitu 51.238% dan masih banyak unsur seperti silikon, magnesium, klorin, titanium dan kalsium. Hasil XRD pasir besi dapat dilihat pada Gambar 2, dari hasil pengujian XRD diperoleh fasa awal penyusun pasir besi adalah magnetit, magemit, ilenit dan silika.
Tabel 2. Komposisi unsur pasir besi No Unsur % Berat 1 Fe 51.238 2 Si 23.731 3 Mg 3.923 4 Cl 3.027 5 Ti 1.619 6 Ca 0.713 7 V 0.194 8 Al 0.143 9 Mn 0.093 10 Zn 0.011
Gambar 2. Hasil pengujian XRD pasir besi 3.2 Hasil pengujian produk reduksi Hasil XRF hasil reduksi unutk setiap variable komposisi dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil XRD hasil reduksi unutk setiap variable komposisi dapat dilihat Gambar 3. Tabel 4 menunjukkan hasil pengujian derajat metalisasi.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 70
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Tabel 3. Hasil pengujian XRF produk Rasio feed
Unsur, wt% Fe
Si
Mg
TiO2
Ca
2.3 : 0.6 : 1.1
51.4
8.4
4.4
4.5
1.3
2.3 : 1 : 1.1
63.6
4.9
4.7
3.2
0.8
2.3 : 1.4 : 1.1
62.7
5.5
5.1
4.0
0.6
Gambar 3. Hasil uji XRD produk pada variasi jumlah batu bara. Tabel 4. Hasil pengujian derajat metalisasi produk No Rasio Feed Derajat Metalisasi, % 1 2.3 : 0.6 : 1.1 63.10 2 2.3 : 1 : 1.1 76.28 3 2.3 : 1.4 : 1.1 78.89 3.3 Pembahasan Dari Gambar 3, hasil pengujian XRD hasil reduksi dengan komposisi batu bara dikurangi 40%, atau perbandingan komposisi bahan baku 2.3: 0.6: 1.1 menunjukkan fasa yang terbentuk adalah Fe, Fe 3O4, FeTiO3 dan Mg 2SiO4. Fasa Fe mengindikasikan terjadinya proses reduksi. Pengurangan kompisisi batubara menyebabkan gas reduktor berkurang, sehingga proses reduksi tidak optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak puncak Fe 3O4 yang muncul. Fasa FeTiO 3 belum tereduksi dikarenakan reduktor gas CO belum mencukupi. Fasa pengotor, Mg 2SiO4 muncul dengan puncak yang cukup tinggi, hal ini disebabkan karena batubara berkurang dan energi untuk reaksi Boudouard masih tersisa, sisa energi beralih digunakan untuk reaksi solid pembentukan Mg 2SiO4. Hasil pengujian XRD hasil reduksi dengan komposisi batu bara sesuai perhitungan atau perbandingan komposisi bahan baku 2.3: 1: 1.1 menunjukkan fasa yang terbentuk adalah Fe, Fe 3O4, FeTiO3 dan Mg 2SiO4. Fasa Fe mengindikasikan terjadinya proses reduksi. reduksi. Fasa Fe3O4 dan FeTiO3 yang muncul menunjukkan difusi gas reduktor dalam pasir
besi belum optimal sehingga reduksi tidak optimal, walaupun dengan komposisi sesuai perhitungan. Hasil pengujian XRD hasil reduksi dengan komposisi batu bara ditambah 40% atau perbandingan komposisi bahan baku 2.3: 1: 1.1 menunjukkan fasa yang terbentuk adalah Fe, Fe3O4, FeTiO3 dan Mg2SiO4. Fasa Fe mengindikasikan terjadinya proses reduksi. Jikan dibandingkan dengan hasil reduksi dengan batubara sesuai perhitungan, fasa Fe 3O4 dan FeTiO3 yang muncul memiliki jumlah puncak yang sama. Yang membedakan adalah jumlah puncak pengotor yang muncul lebih sedikit dibanding hasil reduksi dengan batubara sesuai perhitungan. Hasil pengujian XRD hasil reduksi dengan komposisi batu kapur dikurangi 40%, atau perbandingan komposisi bahan baku 2.3: 1: 0.68 menunjukkan fasa yang terbentuk adalah Fe, Fe3O4, dan Mg 2SiO4. Fasa Fe mengindikasikan terjadinya proses reduksi. Fasa Fe 3O4 yang muncul menunjukkan difusi gas reduktor dalam pasir besi belum optimal. Dalam penelitian Y. Zao dan F. Shadman [5] ilmenit dapat direduksi oleh CO pada temperatur antara 900-1100°C menghasilkan Fe dan TiO 2 (rutil) di permukaan butir. Selain itu komposisi batu kapur yang dikurangi menyebabkan energi yang digunakan untuk dekomposisi batu kapur menjadi berkurang dan energi yang seharusnya digunakan dalam dekomposisi batu kapu tersebut dapat menyebabkan reaksi reduksi ilmenit terjadi. Fasa forsterit (Mg2SiO4) merupakan fasa pengotor yang muncul pada setiap Hasil pengujian XRD. Berdasarkan penelitian Hayami [6], Mg2SiO4 dapat terbentuk dari reaksi padat antara MgO dan SiO 2 pada temperatur 11001400° C. Munculnya fasa Mg 2SiO4 juga didukung dengan hasil pengujian XRF pada Tabel 3. kadar Mg dan Si merupaka unsure dengan kadar yang cukup tinggi setelah Fe. Masih terdapatnya besi oksida berupa Fe 3O4 yang belum tereduksi mengindikasikan proses difusi gas reduktor (CO) ke dalam partikel pasir besi b elum maksimal. Dari Tabel 3 bervariasinya data hasil pengujian XRF yang ditunjukkan dengan standar deviasi dari setiap hasil uji setiap vatiabel dipengaruhi oleh perbedaan temperatur dan tekanan kerja yang diterima setiap dalam satu reaktor sagger. Berdasarkan diagram kesetimbangan gas CO-CO 2 terhadap temperatur untuk sistem Fe-O-C temperatur dan tekanan sangat berpengaruh terhadap konsentrasi, difusifitas dan kesetabilan gas reduktor CO. Dari hasil pengujian XRF diketahui bahwa peningkatan kadar Fe tertinggi diperoleh pada hasil reduksi perbandingan pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 1: 0.6 atau komposisi batu kapur
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 71
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dikurangi 40%. Sedangkan kadar Fe terendah dicapai ketika perbandingan pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 0.6: 1.1, dimana komposisi batubara dikurangi sebanyak 40%.
Gambar 5. Pengaruh komposisi batubara terhadap derajat metalisasi dalam hasil reduksi
Gambar 4. Pengaruh komposisi batu bara terhadap kadar Fe dalam hasil reduksi Dari Gambar 4, kadar Fe hasil reduksi dengan perbandingan perbandingan pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 1.4: 1.1 atau komposisi batubara ditambah sebanyak 40% sedikit mengalami penurunan jika dibandingkan dengan hasil reduksi dengan perbandingan pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 1: 1.1 atau komposisi batubara sesuai perhitungan. Seharusnya Seharusnya dengan adanya penambahan penambahan batubara dapat meningkatkan meningkatkan kadar Fe. Hal ini dipengaruhi kadar ash dalam batubara yang cukup tinggi (9.299 %). Kandungan ash batu bara umumnya adalah SiO2, Al 2O3, Fe 2O3, TiO2, P 2O5, CaO, MgO, Na 2O, K 2O, SO3, SiO2 merupakan kandungan ash yang paling dominan dalam batu bara. Ash sulit bereaksi dan tereduksi pada temperatur proses pada penelitian ini. Adanya penambahan batu bara maka kadar ash juga akan meningkat. Ash yang berlebih dapat menghambat proses difusi gas reduktor ke dalam pori-pori makro atau mikro pasir besi terhambat. Proses difusi gas reduktor yang terhambat menyebabkan reaksi reduksi besi oksida juga terhambat, sehingga peningkatan kadar Fe tidak maksimal. Partikel ash juga dapat masuk ke dalam pori pori pasir besi dan akan menambah menambah pengotor, sehingga akan berpengaruh terhadap kadar Fe. Kadar Fe pada hasil reduksi dengan perbandingan pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 0.6: 1.1 atau komposisi batubara dikurangi sebanyak 40% mengalami penurunan secara signifikan jika dibandingkan dibandingkan dengan hasil reduksi dengan perbandingan pasir besi: batubar: batu kapur, 2.3: 1: 1.1 atau komposisi batubara sesuai perhitungan. Berdasarkan reaksi Boudouard jika jumlah batu bara dikurangi maka jumlah karbon akan berkurang sehingga gas reduktor (CO) juga berkurang. Kurangnya gas reduktor menyebabkan tidak semua besi oksida tereduksi.
Dari Gambar 5, derajat metalisasi hasil reduksi dengan komposisi batubara ditambah sebanyak 40% atau perbandingan pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 1.4: 1.1 menunjukkan menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan hasil reduksi dengan komposisi batubara tetap atau perbandingan perbandingan pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 1: 1.1. Seharusnya dengan adanya penambahan batubara lebih meningkatkan meningkatkan derajat metalisasi. metalisasi. Hal ini dipengaruhi kadar karena kadar ash dan volatile matter dalam batubara yang tinggi. Kadar ash dalam batubara yang digunakan adalah 9.299 %. Adanya penambahan batu bara maka kadar ash juga akan meningkat. Ash yang berlebih dapat menghambat menghambat proses difusi gas reduktor ke dalam pori-pori makro atau mikro pasir besi terhambat. terhambat. Proses difusi gas reduktor yang terhamabat menyebabkan reaksi reduksi besi oksida juga terhambat, sehingga Fe metal yang terbentuk tidak optimal. Kadar volatile matter dalam batubara yang digunakan adalah 48.890%. Penambahn batubara akan menambah kadar volatile matter dalam proses. Volatile matter akan seluruhnya menguap pada temperatur 950°C dan volatile matter berlebih akan menyebabkan menyebabkan tekanan yang terdapat dalam reaktor sagger bertambah. Berdasarkan diagram kesetimbangan gas CO-CO2 terhadap temperatur untuk sistem Fe-O-C, jika tekanan semakin tinggi, maka kurva reaksi Boudouard akan bergeser kekanan dan reaksi membutuhkan temperatur yang lebih tinggi untuk membentuk gas reduktor. Sehingga untuk memcapai gas CO yang optimal membutuhkan temperatur lebih tinggi. Dalam penelitian Kamijo [7] volatile matter yang semakin kecil akan membuat derajat metalisasi semakin tinggi. Derajat metalisasi pada hasil reduksi dengan perbandingan pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 0.6: 1.1 atau komposisi batubara
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 72
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dikurangi sebanyak 40% sedikit mengalami penurunan secara signifikan jika dibandingkan dengan hasil reduksi dengan perbandingan pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 1: 1.1 atau komposisi batubara sesuai perhitungan. Berdasarkan reaksi Boudouard Boudouard jika jumlah jumlah batu bara dikurangi maka jumlah karbon akan berkurang sehingga gas reduktor (CO) juga berkurang. 4. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1. Penambahan batubara yang melebihi perbandingan pasir besi: batubara, 2.3: 1 dapat mengurangi kadar Fe dan derajat metalisasi dalam hasil reduksi 2. Dalam penelitian yang dilakukan, kadar Fe dan derajat metalisasi tertinggi pada hasil reduksi dicapai dengan perbandingan komposisi pasir besi: batubara: batu kapur, 2.3: 1: 0.6. 0.6. Daftar Pustaka [1] Zulfalina, dkk. Identifikasi Senyawa Mineral dan Ekstraksi Titanium Dioksida dari Pasir Mineral. Indonesian Journal of Material Science. (2004). [2] Purwanto, Setyo. Membangun Industri Komponen Bahan Magnetik Berbasis Sumber Daya Alam Lokal Melalui Sentuhan Nano Tehknologi. Jurnal Riset Industri, Pusat Teknologi Bahan Industri NuklirBATAN: Serpong Tangerang Vol 2. (2008). [3] Suharno, Bambang. Diktat Kuliah Pembuatan Besi Baja. Depok: Departemen Metalurgi dan Material FTUI. (2008). J. Direct Reduction and Smelting P rocesses. rocesses . [4] Feinman, J. Direct Pittsburg: The AISE Steel Foundation (1999). [5] Zhao, Y. dan Shadman, F. Kinetics and mechanism of ilmenite reduction with carbon monoxide . AIChE J., 36: 1433 – 1, 1, (1990) 438 [6] Brindley, G. W., & Hayami, R. Kinetics and mechanism of formation of forsterite (Mg 2SiO4 ) by solid state reaction of MgO and SiO 2. Philosophical Magazine, 12(117), 12(117), (1965) 505-514 [7] Kamijo, C., Hoshi, M., Kawaguchi, T., Yamaoka, H. and Kamei, Y. Production of direct reduced iron by a sheet material inserting metallization method. metho d. ISIJ International, Vol. 41, No., S13-S16 (2001).
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 73
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Proses Reduksi Residu Hasil Ekstraksi Bijih Limonit Buli dengan Menambahkan Batubara pada Variasi Temperatur Tri Partuti1, Johny Wahyuadi Soedarsono 2 1
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jurusan Teknik Metalurgi, Cilegon Universitas Indonesia, Jurusan Teknik Metalurgi dan Material, Depok
[email protected]
2
Abstract Residue as extraction extraction result from Buli Buli limonite limonite ore, North Maluku Maluku using sulfuric sulfuric acid acid 20 vol% and particle particle size of -100 # still contain iron compounds as goethite phase amounted to 59.84 wt%, 22.99 wt% melanterite phase and 17.17 wt% quartz phase. Goethite contained in the residue is then reduced by adding coal as a carbon source as much as 20% of the weight of the residue, with variations in the temperature of 600-800 ° C for 1 hour. Characterization of residue for the reduction process using XRD and software PCPDFWIN and GSAS successfully successfully demonstrate demonstrated d that changes changes goethite phase phase into hematite hematite and magnetite magnetite phase phase for each temperatu temperature re process. process. The higher the temperature temperature,, the higher the resulting resulting hematite hematite phase, vice vice versa for magnetite magnetite phase to be decreased. The reduction process at temperature of 600 °C resulted in 84.60 wt% hematite phase and 15.40 wt% magnetite phase, at temperature of 700 °C resulted in 87.06 wt% hematite phase and 12.94 wt% magnetite phase and and at temperature temperature of of 800 °C resulted resulted in 94.96 94.96 wt% hematite hematite phase and 5.04 5.04 wt% magneti magnetite te phase. phase. Residue, Residue, limon ite ore, goeth ite, reductio n, hematite Keywor ds :
1.
Pendahuluan Bijih nikel dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu bijih sulfida dan bijih laterit. Penggunaan bijih laterit meningkat dikarenakan berkurangnya cadangan bijih sulfida dan naiknya harga nikel. Bijih nikel laterit biasanya terjadi di daerah tropis atau sub-tropis yang terdiri dari pelapukan batuan ultramafik yang mengandung zat besi dan magnesium dalam kadar tinggi. Deposit Deposit ini biasanya menunjukkan menunjukkan lapisan yang yang berbeda karena kondisi cuaca seperti lapisan kaya silika serta lapisan limonit yang di dominasi oleh goethite [FeO(OH)], hematit (Fe 2O3) dan saprolit [(Ni,Mg)SiO3.nH2O)] - lapisan yang kaya akan magnesium [1]. Lapisan limonit di Indonesia, khususnya di daerah Buli, Maluku Utara, di dominasi oleh unsur besi sebesar 40-50%, magnesium oksida (0,5-5%), nikel (0,8-1,5%) dan kobalt (0,1-0,2 %). Karakterisasi dengan XRD menunjukkan bahwa pada limonit Buli mengandung senyawa besi dalam fasa goethite sebesar 92,33 wt%, sedangkan nikel dalam fasa liebenbergite (Ni 1,16Mg0,84SiO4) dengan struktur tipe olivine sebesar 7,67 wt% [2]. Pengolahan limonit untuk memisahkan logam nikel tidak sesuai jika menggunakan metode pirometalurgi karena mengandung kadar besi yang lebih tinggi daripada nikel, sehingga proses yang sesuai untuk pemisahan nikel adalah dengan metode hidrometalurgi atau ekstraksi [3]. Ekstraksi adalah suatu proses kimia basah untuk memisahkan logam yang diinginkan secara selektif ke dalam fasa cair (pelarut), dapat berupa pelarut asam maupun basa [4]. Proses ekstraksi dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti konsentrasi pelarut, ukuran partikel, temperatur [5], kandungan magnesium dalam bijih [6], dan pH larutan [7]. Ekstraksi pada kondisi temperatur rendah dan wadah terbuka (atmospheric leaching) leaching) lebih ekonomis daripada menggunakan bejana tertutup bertekanan tinggi (High Pressure Acid Leaching). Leaching) . Selama ekstraksi berlangsung, goethite akan tetap berada dalam dalam bijih, sedangkan nikel akan terlepas ke dalam pelarut. Selanjutnya, proses filtrasi menghasilkan filtrat yang mengandung nikel dan endapan berupa goethite. Endapan goethite dapat diolah (direduksi) (direduksi) kembali dengan menambahkan reduktan untuk menghasilkan logam besi [3]. Spesifikasi untuk bijih besi yang dibutuhkan oleh produsen baja adalah bijih besi yang banyak mengandung hematite karena lebih mudah di reduksi dan meleleh pada temperatur yang lebih rendah dibandingkan magnetit [8]. Reduksi suatu mineral oksida menjadi logamnya dapat dipengaruhi oleh jumlah pereduksi (reduktan), temperatur dan waktu reduksi [9]. Reduksi besi oksida merupakan reaksi bertahap. Pada diagram kesetimbangan reduksi besi oksida dengan CO atau dikenal dengan diagram kesetimbangan Boudouard (Gambar 1) terlihat bahwa hanya dibutuhkan sedikit saja konsentrasi CO/C pada temperatur berapapun untuk mereduksi hematit menjadi magnetit. Reduksi hematit menjadi magnetit lebih mudah dilakukan jika proses pembakaran dengan menambahkan karbon sebagai reduktan. Reaksi hematit hingga menjadi logam besi tercantum pada persamaan (1) – (4) (4) [2]. Fe2O3 Fe3O4 FeO Fe ... (1)
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 74
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
3 Fe2O3 + CO 2 Fe3O4 + CO2 ... (2) Fe3O4 + CO 3 FeO + CO 2 ... (3) FeO + CO Fe + CO 2 ... (4) Pada penelitian ini dilakukan proses reduksi residu dari hasil ekstraksi bijih limonit daerah Buli, Maluku Utara pada kondisi atmospheric leaching dengan menggunakan asam sulfat. Proses reduksi dilakukan pada variasi temperatur dengan menambahkan reduktan batubara sebagai sumber karbon. Karakterisasi dilakukan untuk bijih limonit sebelum dan setelah ekstraksi, serta setelah proses reduksi pada variasi temperatur dilakukan.
ukuran partikel. Kondisi optimal untuk mendapatkan kadar nikel yang tinggi adalah dengan menggunakan asam sulfat 20 vol% dan ukuran partikel -100# [2]. Dari kondisi optimal ekstraksi ini kemudian dihasilkan residu yang masih mengandung fasa goethite untuk selanjutnya direduksi dengan menambahkan batubara batubar a sebagai s umber karb on sebanyak seb anyak 20% ( 3 gram) dari berat residu pada beberapa variasi temperatur, tempera tur, yaitu 600, 700 dan 800 oC. Analisa XRF dan XRD dilakukan terhadap bijih limonit awal, residu hasil ekstraksi sebelum dan setelah direduksi. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. 3.
Gambar 1. Diagram kesetimbangan Boudouard [10] 2.
Metode Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah residu dari hasil ekstraksi bijih limonit Buli, Maluku Utara dengan asam sulfat. Batubara yang digunakan berasal dari PT. Adaro Kalimantan Timur. Alat yang digunakan adalah furnace, oven listrik, cawan porselen, XRD Phillips PW3710 Based, XRF JEOL JSX-3211 dan EDX. Literatur
Hasil dan Pembahasan Karakterisasi dengan menggunakan XRD dan analisa data dengan menggunakan perangkat lunak PCPDFWIN dan GSAS (Gambar 3) menunjukkan bahwa bijih limonit dari daerah Buli, Maluku Utara mengandung senyawa besi dalam fasa goethite, sedangkan nikel berada dalam fasa liebenbergite (Ni 1,16Mg0,84SiO4) dengan struktur tipe olivine. Residu hasil ekstraksi bijih limonit dengan asam sulfat 20 vol% menghasilkan 17,17 wt% fasa kuarsa (SiO 2), 59,84 wt% goethite (FeO(OH)) dan 22,99 wt% melanterite (FeSO4(H 2O) 7) sesuai dengan persamaan reaksi (5) dan (6). Dari persamaan (6) terlihat bahwa silikat (SiO 4) yang semula berikatan dengan nikel dan magnesium mengalami reaksi reduksi menjadi kuarsa, dimana bilangan oksidasi Si berubah dari +8 + 8 menjadi menja di +4 .
FeO(OH) + H 2SO 4 FeSO4 (H2O) 7 ... (5) Ni1,16Mg0,84SiO4 + 2 H 2SO 4 1,16 NiSO 4 + 0,84 MgSO 4 + SiO 2 + 2 H 2O ... (6) Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua besi oksida dalam fasa goethite goethi te bereaksi bereaks i dengan asam sulfat. Kandungan goethite dalam residu adalah sebesar 59,84 wt% [2] masih dapat diolah kembali sebagai upaya untuk mendapatkan logam besi dengan cara direduksi diredu ksi pada temperatur tempera tur tertentu dengan menambahkan karbon sebagai reduktan [3]. [3] .
Bijih Bijih Limoni Limonitt
Grinding
Sizing - 100 #
Ekstraksi H2SO4 20 vol% Filtrat Residu
Proses reduksi T = 600 oC 700 oC 800 oC
+ batubara
UjiXRD
DATA
Pembahasan
Kesimpulan
Gambar 2. Diagram alir penelitian Bijih limonit mula-mula dikeringkan pada T=105 C untuk menghilangkan kadar airnya. Proses ekstraksi sendiri dilakukan dengan beberapa variabel bebas seperti konsentrasi asam sulfat dan o
Gambar 3. Karakterisasi bijih limonit sebelum dan setelah diekstraksi
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 75
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Proses reduksi pada temperatur tinggi secara tidak langsung akan membebaskan senyawa hidrat yang berikatan dengan besi sulfat menjadi hematit [8]. Proses pembakaran pembakar an residu resid u o pada temperatur temper atur 600-800 600 -800 C dilakukan selama 1 jam dengan menambahkan menambah kan batubara batubar a sebagai reduktan sebanyak 20% dari berat residu yang digunakan. Hasil analisa EDX menunjukkan kandungan karbon dalam batubara sebesar 63,16% (Tabel 1). Tabel 1. Hasil analisa EDX untuk unsur-unsur dalam batubara C (%) O (%) Si (%) S (%) 63,16 31,36 0,83 4,66
terbentuk pada variasi temperatur (Tabel 3). Tabel 3. Persen berat fasa hematit dan magnetit pada temperatur temp eratur 600-800 600 -800 o C Temperatur, oC wt % hematit magnetit 600 84,60 15,40 700 87,06 12,94 800 94,96 5,04 Intensitas kuarsa pada temperatur percobaan percoba an 600-800 o C tidak terdeteksi lagi dengan
Dari Tabel 1 dapat diperkirakan jumlah karbon yang tersedia di dalam batubara yang berfungsi berfun gsi untuk mereduksi mereduk si senyawa senya wa besi oksida, oksida , yaitu 63,16% x 3 gram = 1,895 gram C (0,158 mol C). Jumlah maksimum mol CO yang terbentuk berdasarkan berdasa rkan persamaan persa maan (7) adalah 2 x 0,158 mol = 0,316 mol CO. C + CO 2
2 CO
...(7)
Dengan bantuan diagram Boudouard (Gambar 1), maka dapat diperkirakan komposisi gas CO dan CO 2 pada berbagai temperatur (Tabel 2) serta dapat menghitung mol CO secara teoritis yang dihasilkan dari batubara yang digunakan pada penelitian peneliti an ini menggunakan menggun akan persamaan persa maan (7), sehingga dapat dikatakan kebutuhan karbon untuk mereduksi besi oksida telah mencukupi, bahkan sampai temperatur pembakaran 1000 o C. Tabel 2. Perkiraan komposisi gas CO dan CO 2 pada beberapa beberap a temperatur temper atur berdasarkan berdas arkan diagra m kesetimbangan Boudouard Temperatur % CO % CO2 CO, mol o ( C) 500 6,087 93,913 0,019 600 24,347 75,653 0,077 700 66,957 33,043 0,211 800 92,174 7,826 0,291 900 99,130 0,870 0,313 1000 99,983 0,017 0,316 Pada penelitian ini, berdasarkan analisa menggunakan XRD untuk residu dengan pembakaran pembaka ran pada pad a temperatur temp eratur 600-800 600 -800 oC, peneliti baru dapat mengubah fasa goethit e menjadi fasa hematite dan magnetite, dan belum berhasil mendapatkan logam besi (Gambar 4). Semakin tinggi temperatur maka fasa hematite yang terbentuk pun semakin tinggi. Dari hasil pengolahan pengola han data menggunakan mengguna kan perangkat perang kat lunak PCPDFWIN dan GSAS maka dapat diketahui persen berat fasa hematit dan magnetit yang Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
pengukur an XRD, hal ini dikarenakan dikare nakan dengan meningkatnya temperatur, Si berubah menjadi serbuk dan tidak berbentuk kristalin lagi sehingga puncak difraksi di fraksi Si S i menjadi melebar (broadening). Data dari Tabel 3 juga dapat digunakan untuk memperkirakan mol CO yang dibutuhkan untuk mereduksi hematit menjadi magnetit berdasar kan persamaan persa maan (8). Residu yang digunakan untuk setiap pembakaran adalah 15 gram, sehingga berat hematit di dalam residu adalah 84,60% x 15 gram = 12,69 gram (0,079 mol Fe 2O 3). 3 mol Fe 2O3 sebanding dengan 1 mol CO, sehingga mol CO = 1/3 mol Fe 2 O3 = 0,026 mol. Dengan cara perhitungan yang sama, maka jumlah mol CO yan g dibutuhkan dibutuh kan untuk mered uksi hematit menjadi magnetit pada temperatur 700 dan 800 oC dapat diketahui (Tabel 4). 3 Fe 2O3 + CO
2
Fe 3O4 + CO 2 ...(8)
Tabel 4. Mol CO yang dibutuhkan untuk mereduksi hematit menjadi magnetit. Temperatur ( oC) CO, mol 600 0,026 700 0,027 800 0,030 Gambar 4. Karakterisasi hasil reduksi residu pada variasi temperatur Dengan membandingkan data pada Tabel 2 dan 4 dapat diketahui persentase mol CO yang digunakan untuk proses reduksi senyawa besi
76
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
oksida. Pada temperatur 800 oC, mol CO yang digunakan untuk mereduksi hematit menjadi magnetit sebesar 10,30%, pada temperatur 700 oC sebesar 12,80% dan pada temperatur 600 o C sebanyak 33,77%. Hal ini menjelaskan mengapa pada temperatur tempera tur yang lebih tinggi fasa magnetite magnetit e yang terbentuk semakin sedikit. Semakin sedikitnya magnetite yang terbentuk dengan bertambahnya bertamb ahnya temperatur temper atur dapat diakibatka diak ibatkan n karena keberadaan senyawa-senyawa lain yang tereduksi dengan bertambahnya temperatur dan memiliki energi bebas pembentukan yang lebih rendah dari hematite dan magnetite pada variasi temperatur pembakaran yang digunakan, sehingga senyawa-senyawa lain tersebut terbentuk lebih dahulu daripada hematite dan magnetite. Dimungkinkan juga di dalam furnace terjadi reaksi oksidasi dimana magnetite yang sudah terbentuk teroksidasi kembali menjadi hematite karena tidak adanya kontrol terhadap gas CO dan CO 2 yang terbentuk saat pembakaran berlangsung. 4.
Kesimpulan Residu hasil ekstraksi bijih limonit yang masih mengandung 59,84 wt% fasa goethite dapat diolah kembali dengan cara direduksi pada temperatur 600-800 oC. Penambahan batubara sebagai reduktan sebesar 20% dari berat resid u yang digunakan dan waktu pembakaran selama 1 jam, pada variasi temperatur 600-800 oC dapat menghasilkan hematit dan magnetit. Semakin tinggi temperatur pembakaran, maka persen berat fasa hematit yang dihasilkan semakin besar, dan sebaliknya fasa magnetit semakin berkurang. Proses pembakaran pada temperatur 600 o C menghasilkan 84,60 wt% hematit dan 15,40 wt% magnetit, pada temperatur 700 oC menghasilkan 87,06 wt% hematit dan 12,94 wt% o magnetit dan pada temperatur 800 C menghasilkan 94,96 wt% hematit dan 5,04 wt% magnetit.
[4] A. Arifin, 2003, Keberadaan Sumber Daya Nikel Indonesia dan Pengolahannya, Metalurgi, Metalurgi, Vol. 18, No. 1, 3-12. [5] H. Purwanto, T. Shimada, R. R. Takashi, J. Yagi, 2003, Recovery of Nickel from Selectivity Reduced Laterite Ore by Sulphuric Acid Leaching, ISIJ International, Vol. 43, No. 2, 181-186. [6] D. Marshall, M. Buarzaiga, 2004, Effect of Magnesium Content on Sulphuric Acid Consumption during High Pressure Acid Leaching of Laterite Ores, International Laterite Symposium, The Minerals, Metals & Materials Society, 263-271. [7] D. Jones, R. Moore, 2001, The Application of The CESL Nickel Process to Laterites, Presented at ALTA 2001, Nickel/Cobalt-7, Australia, 1-10 [8] C.A. Amikiya, 2014, Characterization of Iron Ore – A Case Study of Mount Tokadeh, Western Nimba Area, Liberia, Thesis Teknik Kimia, Universitas Sains and Teknologi Kwame Nkrumah, Kumasi. (http://ir.knust.edu.gh/bitstream/123456789/6 191/1/CHARLES%20AYINGAYURE%20A MIKIYA.pdf) MIKIYA.pdf) diakses tanggal 11 September 2015 [9] S utioso, Trenggono, E. P., L. Efendi, 2005, Buli Lateritic Nickel Deposits, Halmahera : Prospecting to Reserves Estimation, PT Antam, Tbk [10]S .Jyoti, 2014, Beneficiation of Low Grade Iron Ore Fines by Magnetizing, International Journal of Engineering Research and Science & Technology, Vol. 3, No. 2, 59-64.
Daftar Pustaka [1] H. Yildirim, H. Morcali, A. Turen, O. Yucel, 2013, Nickel Pig iron Production from Lateritic Nickel Ores, The thirthteenth International Ferroalloys Congress-Efficient Technologies in Ferroalloy Industry, 237-244 [2] T. Partuti, 2013, Karakterisasi Bijih Nikel Limonit Buli, Maluku Utara, Prosiding Seminar Material Metalurgi 2013, 219-222. [3] Janwong, 2012, The Agglomeration of Nickel laterite Ore, Disertasi Teknik Metalurgi, Universitas Utah, Utah. (http://content.lib.utah.edu/utils/getfile/collec tion/etd3/id/2055/filename/2052.pdf) diakses tion/etd3/id/2055/filename/2052.pdf) tanggal 10 September 2015 Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 77
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
Pengaruh basisitas dan % batu bara terhadap perolehan Fe hasil peleburan besi spons bijih besi Kabupaten Merangin Jambi Soesaptri Oediyani 1, Iing Sakti 2, Agis Priyatna3, Djoko HP4 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jurusan Teknik Metalurgi, Cilegon Indonesia 1,2,3 BATAN, Bandung Indone sia 3
[email protected]
Abstract Merangin district of Jambi Province is one area of potential iron ore resources that can be used as the main raw material manufacture of iron and steel in Indonesia. To increase the added value of the iron ore, the iron ore is reduced to iron sponge first and then merged into the EAF to produce pig iron. The main problem of the melting process of sponge iron is basicity which can affect a ffect the yield (recovery) of pig iron. Therefore, the purpose of this research is to learn how the influence of basicity and added the coal to the yield. The stages of the process of research is sponge iron, limestone and coal with specific composition is melted in the EAF at a temperature of 1800oC. Pig iron produced from the smelting process is then tested with SEM-EDS technique to determine the yield of Fe in the pig iron . The results showed that the highest percent recovery was 99.06% Fe at 0.36 basisitas and the addition of coal 1.6%. : iron ore, sponge iron, pig iron, basicity, coal Keywords
1.
Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber daya mineral yang melimpah antara lain bijih nikel, galena, batu bara dan bijih besi akan tetapi pemanfaatan sumber daya mineral tersebut belum optimal. Adanya Undang-undang Minerba No. 4 tahun 2009 mengakibatkan sumber daya alam tidak dapat dieksport langsung ke luar negeri, sebaliknya harus diberikan nilai tambah terlebih dahulu terhadap sumber daya alam tersebut. Artinya, sumber daya alam itu harus diproses terlebih dahulu menjadi konsentrat, logam setengah jadi ataupun logam jadi barulah dapat dieksport ke luar negeri. Salah satu sumber daya alam yang cadangannya melimpah di Indonesia adalah bijih besi yang merupakan bahan baku pembuatan besi dan baja. Sumber bijih besi utama ada 2 jenis yaitu bijih besi yang disebut lump ores atau ores atau bijih primer dan pasir besi. Data cadangan bijih besi dapat dilihat pada Tabel I.
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan nilai tambah terhadap bijih besi yaitu mempersiapkan bijih besi Merangin Jambi sebagai bahan baku proses pembuatan besi baja melalui tiga ti ga tahapan yaitu pelletizing , reduksi bijih besi menghasilkan besi spons dan melebur besi spons menjadi pig iron. iron. Berdasarkan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 pengolahan bijih besi dengan produk pig iron iron harus memiliki batasan minimum % Fe yaitu ≥ 90% Fe dan diharapkan pig iron yang dihasilkan dari penelitian ini dapat memenuhi ketentuan tersebut sehingga bijih besi Merangin Jambi dapat ditingkatkan nilai tambahnya secara signifikan mengingat harga pig iron sekitar iron sekitar dua kali harga besi spons. Potensi bijih besi Merangin Jambi ditunjukkan pada pada Gambar 1.
Tabel I Sumber Daya dan Cadangan Bijih Besi Indonesia (2008) Jenis Cebakan
Sumber Daya (juta ton)
Cadangan (juta ton)
Bijih Besi Primer
198,6
1,4
Laterit Besi
631,6
18,1
Pasir Besi
132,9
15,1
Besi Sedimen
15,5
-
* Sumber : Neraca Sumber Daya Mineral Logam dan Non Logam, Pusat Sumber Daya Geologi 2008
Gambar 1 Potensi Bijih Besi Indonesia [1] Proses peleburan besi spons dilakukan di dalam Electric Arc Furnace (EAF). Bahan bakunya berupa besi spons hasil proses reduksi langsung dari pellet bijih besi dicampur dengan batu bara dan batu kapur. Fungsi batu bara sebagai reduktor dan batu kapur sebagai fluks yaitu bahan pengikat
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 78
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
logam-logam pengotor yang terdapat pada besi spons sehingga menghasilkan fasa tersendiri yang terpisah dari fasa logamnya yang disebut sebagai terak. Adapun fungsi-fungsi terak antara lain [2]: a. Sebagai isolator, melindungi energi panas sehingga mengurangi kehilangan temperatur pada saat proses peleburan. b. Sebagai media oksida-oksida unsur pengotor yang membentuk sistem oksida stabil sebagai fasa terak yang dapat dipisahkan dari fasa logam. c. Melindungi bata tahan api dari abrasi busur listrik. Untuk mendapatkan terak dengan fungsi yang baik sehingga tujuannya dapat tercapai serta mendapatkan kualitas logam cair yang memenuhi persyaratan maka ada beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain [2] : a. Terak harus memiliki berat jenis lebih rendah daripada logam cair sehingga terbentuk fasa yang terpisah. b. Proses foamy Proses foamy slag berjalan berjalan baik. Masalah utama pada proses peleburan besi spons diantaranya adalah basisitas. Dalam terak yang unsur utamanya adalah oksida, suatu senyawa asam dapat menerima satu atau beberapa anion O 2- untuk membentuk ion kompleks, sedangkan senyawa basa sebagai sumber ion O 2- [3] : Basa Asam + O2Contoh senyawa asam adalah P 2O5, SiO2, Al2O3. Persamaan reaksinya : (SiO2) + 2(O2-) (SiO4-) (1) Contoh senyawa basa adalah CaO, MgO, MnO,FeO. Persamaan reaksinya : (CaO) (Ca2+) + (O2-) (2) Indeks basisitas didefinisikan sebagai nisbah (rasio) dari jumlah persen berat oksida basa terhadap oksida asam. Di dalam peleburan besi rasio tersebut dapat dituliskan sebagai berikut [3] : %CaO % MgO (3) Basisitas Basisitas
%SiO
2
% Al 2O3
Konsentrasi MgO dan CaO dijadikan sebagai equivalen dalam molar basis. Viskositas terak dipengaruhi oleh basisitas. Jika rasio basisitas tinggi maka viskositasnya akan turun [3], seperti digambarkan pada Gambar 2. Dalam proses peleburan kondisi basa kandungan silika yang tinggi tidak dikehendaki karena akan menyebabkan terak yang kental serta merusak refraktori karena kondisi SiO 2 yang asam. Untuk mengurangi kandungan dari SiO 2 maka pada proses peleburan harus menaikan dari basisitasnya dengan menambahkan kapur bakar untuk mengikat SiO2 menjadi terak berdasarkan reaksi berikut : SiO2 + 2CaO Ca2SiO4ΔG0 1923 K = - 117,15 kJ (4)
viskositas (poise )
Basisitas Gambar 2 Pengaruh basisitas terak terhadap viskositas terak [3] Apabila tidak memberikan tambahan CaO, maka pada kandungan FeO yang berasal dari besi spons akan berikatan dengan SiO 2 sehingga dapat memecahkan ikatan verteks SiO 2 membentuk 2FeO.SiO2 ( fayalite), fayalite), berdasarkan reaksi berikut : SiO2 + 2FeO 2FeO.SiO2 ΔG01673 = - 84 kkal (5) Akan tetapi keberadaan FeO dalam struktur fayalite tidak dikehendaki karena akan menurunkan nilai perolehan dari logamnya. logamnya. Keberadaan kandungan FeO dalam struktur fayalite fayalite dapat digantikan oleh CaO membentuk 2CaO.SiO2, hal tersebut disebabkan karena perubahan energi bebas pembentukan 2CaO.SiO 2 lebih negatif dari pada 2FeO.SiO 2, dengan demikian semakin banyak kandungan CaO dalam terak maka akan semakin sedikit kandungan FeOnya begitupun sebaliknya, sehingga apabila ditambahkan CaO maka FeO dalam terak yang asal mulanya bentuk fayalite fayalite akan terdesak menghasilkan FeO bebas. Pertukaran senyawa FeO dengan CaO di dalam terak dapat dituliskan sebagai berikut : Fe2SiO4 SiO2 + 2FeO ΔG0 1923 K = + 3,9 kJ. (6) SiO2 +2CaO Ca 2SiO4 ΔG0 1923 K = - 117,15 kJ .(7) 2FeO.SiO2 + CaO 2CaO.SiO 2 + 2FeO (8) ΔG01673 = - 113,25 KJ. Setelah FeO terbebas dari fayalite fayalite karena terdesak oleh CaO menjadi FeO bebas dalam terak maka FeO tersebut akan direduksi oleh karbon menjadi Fe dan masuk ke dalam logam. Dalam sistem CaO-FeO-SiO 2 pada diagram terner (Gambar 3) dapat dilihat bahwa semakin tinggi basisitas atau kapur bakar maka titik kesetimbangannya akan cenderung bergerak ke arah kiri yang artinya apabila penambahan batu kapur semakin banyak maka pada FeO pada terak akan semakin sedikit. Selain masalah basisitas, di dalam proses peleburan juga harus diperhatikan penambahan batu bara sebagai sumber karbon atau C. Salah satu pengaruh karbon adalah mereduksi FeO dalam terak. Distribusi perpindahan kandungan FeO
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 79
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
dalam fasa terak dan fasa logam dapat dituliskan sebagai berikut [4] (FeO) [FeO] (9) ∆G1873 K = - 1,6 KJ Oksida besi ketika berada dalam fasa logam dapat mengoksidasi karbon yang terlarut dalam logam sesuai persamaan berikut : [FeO] + [C] [Fe] + CO ∆G1873 K = - 177,5 177,5 KJ (10) Dengan menggabungkan persamaan reaksi (9) dan (10) didapatkan persamaan reaksi: (FeO)+[C] [Fe]+CO ∆G1873 K = - 176,5 KJ KJ (11) Dengan demikian bahwa kandungan karbon dapat mempengaruhi besar kecilnya kandungan FeO baik dalam fasa terak maupun dalam fasa logam. Oleh karena itu semakin tinggi kandungan karbon dalam baja cair maka akan diperoleh kandungan FeO dalam terak semakin rendah (Gambar 3).
Gambar 3 Diagram terner sistem CaO-FeO-SiO 2[3] 2.
Metode Metodologi penelitian ini dilatarbelakangi bahwa bijih besi di Indonesia terbukti dapat diolah melalui jalur pirometalurgi untuk menghasilkan besi spons besi spons dan dan kemudian dilebur menghasilkan pig iron. iron. Bijih besi hematit Kabupaten Merangin Jambi telah dilakukan penelitian sebelumnya dengan mereduksi pellet bijih besi menghasilkan besi spons. spons. Secara ekonomis harga pig iron iron jauh lebih mahal dari pada besi besi spons spons sehingga perlu diteliti lebih lanjut pembuatan bijih besi menjadi pig iron yang dapat memberikan nilai tambah pada potensi bijih besi Jambi. Masalah utama dalam peleburan besi spons adalah basisitas. Di dalam penelitian ini dilakukan variasi basisitas dengan penambahan batu kapur. Selain itu, dilakukan juga variasi batu bara yang dimaksudkan untuk mereduksi Fe yang masih dalam bentuk oksida sehingga nantinya bisa meningkatkan nilai Fe. Pengujian dilakukan dengan menggunakan SEM-EDS yang menghasilkan komposisi kimia dan juga struktur mikronya. Prosedur penelitiannya meliputi tiga tahapan yaitu tahap preparasi, tahap peleburan dan tahap
pengujian. Pada tahap preparasi dilakukan proses pembuatan besi spons dari bijih besi Merangin Jambi dengan komposisi 70% bijih besi dan 30% batu bara. Temperatur reduksinya sebesar 950 oC selama 75 menit menggunakan muffle furnace. furnace. Setelah dihasilkan besi spons, kemudian dilakukan tahap kedua yaitu tahap peleburan. Besi spons dilebur di dalam EAF skala lab pada temperatur 1800oC dengan variasi basisitas dan penambahan batu bara. Thapan kedua ini dilakukan di BATAN, Bandung. Hasil peleburan berupa pig iron kemudian dianalisa menggunakan SEM-EDS sehingga dapat diketahui yield diketahui yield -nya. -nya. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Pengaruh basisitas terhadap persen perolehan Fe dalam pig iron Bahan baku yang digunakan pada proses peleburan ini adalah besi spons spons yang masih mengandung Fe oksida dalam bentuk FeO. Untuk meningkatkan persen perolehan Fe maka besi spons tersebut dilebur dalam EAF. Di dalam proses peleburan, masalah basisitas memegang peranan penting karena dapat mempengaruhi persen perolehan ( yield ). ). Diharapkan FeO dalam besi spons tidak hilang (masuk ke dalam terak) sehingga persen perolehan Fe meningkat. Variasi basisitas dalam penelitian ini adalah 0,24; 0,3; dan 0,36. Selain itu ke dalam EAF juga ditambahkan batu bara sebagai pereduksi atau reduktor. reduktor. Pada penambahan 1,6 % batu bara diketahui bahwa kenaikan basisitas akan meningkatkan persen perolehan Fe seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Dari Gambar Gambar 4 terlihat terlihat bahwa persen perolehan Fe terkecil (94,92 %) dicapai pada basisitas 0,24 dan terbesar (99,06%) pada basisitas 0,36. Hal yang sama juga terjadi pada penambahan 2,4 % batu bara (Gambar 5) yaitu makin tinggi basisitas maka persen perolehan Fe meningkat dan % perolehan Fe tertinggi (97,59 %) dicapai pada basisitas 0,36 dan terkecil (54,77 ( 54,77 %) pada basisitas 0,24. Basisitas berhubungan dengan konsentrasi CaO di dalam tanur sesuai dengan rumus basisitas pada persamaan (3) yaitu semakin tinggi basisitas maka konsentrasi CaO meningkat sehingga banyaknya FeO dalam terak yang terbebas dari silikat akan semakin banyak. Jika ditinjau dari diagram CaO-FeO-SiO 2 pada Gambar 6 basisitas besi spons (titik A) dan basisitas 0,24 (titik B) berada pada kesetimbangan olivines (CaO.FeO.SiO2).
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 80
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
Gambar 4 Persen perolehan Fe dengan penambahan 1,6% batu bara
Gambar 5 Pengaruh basisitas terhadap % perolehan Fe pada penambahan 2,4% batu bara
B D
C
A
Keterangan: A: keadaan awal, B:basisitas 0,24; C: basisitas 0,3 dan D: basisitas 0,36 Gambar 6 Diagram terner sistem CaO-FeO-SiO 2
kesetimbangan CaO.SiO 2 sehingga FeO dalam pig iron tidak lagi berikatan dengan SiO 2 tetapi fluks (batu kapur, CaO) yang ditambahkan ke dalam proses peleburan untuk meningkatkan basisitas akan berikatan dengan SiO 2 seperti persamaan reaksi sebagai berikut : SiO2 + 2CaO → Ca2SiO4 ∆G02073 = - 34 Kkal (13) 2FeO.SiO2 + 2CaO → 2FeO + Ca 2SiO4 ∆G02073 = - 28 Kkal (14) Jadi, hasil penelitian dengan variasi basisitas yang menunjukkan bahwa makin tinggi basisitas akan meningkatkan persen perolehan Fe ditunjang secara termodinamika sesuai sistem CaO-FeOSiO2. 3.2 Pengaruh penambahan batu bara terhadap persen perolehan Fe dalam pig iron Penambahan batu kapur tanpa diiringi dengan penambahan batu bara maka persen perolehan Fe dalam logam tidak akan naik. Batu bara merupakan sumber karbon yang digunakan sebagai reduktor untuk mereduksi Fe yang masih dalam bentuk oksida sehingga nantinya bisa meningkatkan persen perolehan Fe. Di dalam proses peleburan menggunakan EAF selain ditambahkan batu kapur sebagai fluks untuk mengikat pengotor pada besi spons (antara lain SiO 2) juga ditambahkan batu bara yang berfungsi sebagai reduktor. Apabila penambahan batu bara semakin banyak maka karbon yang diberikan sebagai reduktor akan semakin banyak. Jika semakin banyak karbon maka proses reduksi yang terjadi semakin baik, bai k, sehingga FeO akan semakin banyak tereduksi yang nantinya bisa meningkatkan persen perolehan Fe tetapi ada ketentuan dan maksimal batu bara yang ditambahkan karena penambahan batu bara yang berlebih dapat mempengaruhi viskositas. Persamaan reaksi reduksi FeO oleh batu bara yang terjadi pada proses peleburan sesuai persamaan [9, 10 dan 11]. Dari penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa pada kenaikan penambahan batu bara cenderung meningkatkan persen perolehan Fe sampai kondisi tertentu dan kemudian berkurang dengan penambahan batu bara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar Gambar 7. Dari Gambar 7 terlihat bahwa mula-mula persen perolehan Fe meningkat dengan penambahan batu bara dan akan mencapai titik maksimal (96,76 %) pada penambahan batu bara 1,6 % kemudian turun (71,38 %) pada penambahan batu bara 2,4 %. Hal yang sama juga terjadi pada basisitas 0,24 dapat lihat pada Gambar Gambar 8.
Ini menunjukkan bahwa pada kondisi tersebut FeO dalam pig iron masih terikat dalam bentuk silikat sesuai dengan persamaan reaksi: SiO2 + 2FeO → 2FeO.SiO2 ∆G02073 = - 6 Kkal (12) Di lain pihak, pada basisitas 0,3 dan 0,36 (titik C dan D) pada Gambar 6 pig iron berada pada Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 81
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
akan masuk ke dalam logam cair. Sebaliknya jika K < 1, maka reaksi akan bergerak ke arah reaktan (kiri) sehingga logam Fe akan masuk ke dalam terak. Ini berarti yield atau perolehan menjadi berkurang. Jika nilai K = 1 maka terjadi reaksi akan setimbang, laju reaksi ke kiri sama dengan laju reaksi ke kanan. 4.
7 Persen perolehan Fe dengan Gambar 7 penambahan basisitas 0,3
Pada Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa pada penambahan batu bara 0,8 %, persen perolehan Fe meningkat dan akan mencapai titik maksimal (94,33 %) kemudian turun (54,77 %) pada penambahan batu bara bara 2,4 %. Hal ini ditinjau dari teori Lankford yang menyatakan bahwa persen perolehan Fe naik dengan peningkatan penambahan batu bara. Adanya kenyataan bahwa penambahan batu bara selanjutnya menurunkan persen perolehan Fe. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kandungan SiO 2 dalam abu batu bara. Tabel 2 menunjukkan komposisi kimia abu batu bara. Tabel 2 Komposisi Kimia Abu Batu bara [5] Oksida SiO2 Al2O3 CaO
Kadar (%) 48,96 29,26 6,08
MgO SO3
1,13 4,17
Na2O Fe2O3
0,25 6,83
TiO2
2,27
Kesimpulan Adapun kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Basisitas mempengaruhi persen perolehan Fe yaitu makin tinggi basisitas maka akan meningkatkan persen perolehan Fe. Persen perolehan Fe maksimal 99,06 % dicapai pada basisitas 0,36. 2. Batu bara mempengaruhi persen perolehan Fe yaitu penambahan batu bara cenderung meningkatkan persen perolehan Fe sampai kondisi tertentu (96,76 %, dicapai pada penambahan batu bara 1,6 %).
Daftar Pustaka [1] Mineral Strategis di Kabupaten/Kota, Kabupaten/Kota, at: http://webmap.psdg.bgl.esdm.go.id/geosain/n eraca-mineralstrategis.php?mode=administrasi,, diakses 1 strategis.php?mode=administrasi Juli 2015. [2] Coudurier, dkk, 1985, Fundamentals of Metallurgical Processes Second Edition, Pergamon Press, London. [3] Biswas, K.Anil, 1981, Principles of Blast Furnace Ironmaking , University of Queensland, Brisbane, Australia. [4] Rosenqvist, Terkel, 1974, Principles of Extractive Metallurgy, Metallurgy, Tokyo : McGraw Hill Kogakusha Ltd. [5] Amaliyah, Novriany., Muhammad Fachry. 2011, Analisis Komposisi Batu Bara Mutu Rendah Terhadap Pembentukan Slagging Fouling Pada Boiler, Universitas Hasanuddin, Tamalanrea-Makasar.
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan SiO2 dari abu batu bara tinggi menyebabkan kontak FeO dengan C semakin terhambat dan Fe kembali terikat dalam struktur ikatan silika. Berdasarkan tinjauan kesetimbangan termodinamikanya kandungan karbon akan mempengaruhi distribusi Fe berdasarkan persamaan reaksi reduksi (11). Nilai konstanta kesetimbangan, K dari persamaan (11) dapat dituliskan sebagai berikut: K= {(aFe)(pCO)}/{(aFeO)(aC)}
(15)
Asumsi jika nilai K > 1 maka reaksi akan bergerak ke arah produk (kanan) sehingga logam Fe Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 82
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Analisis Pemesinan Pada Baja Perkakas SLD Dengan Pengaruh GAP Terhadap Nilai MRR dan Sur f ace Rough Rough ness ness Pada Proses El ectrochemical trochemical M achi achi ni ng (ECM) Sadiwana, Feriyantaa, Aris Widyo Nugroho a, Tutik Sriania, b, Gunawan Setia Prihandanaa,b a
Jurusan Teknik Teknik Mesin, Mesin, Universitas Muhammadiy Muhammadiyah ah Yogyakarta, Yogyakarta, Yogyakarta 55183, Indonesia Indonesia b Centre of Virtual Design and Manufacturing, Yogyakarta, 55381, Indonesia
[email protected] [email protected]
Abstrak Electrochemical Machining (ECM) merupakan salah satu metode pemesinan non konvensional yang sering digunakan dalam industri manufaktur untuk mengerjakan benda yang keras dan sulit dikerjakan dengan metode pemesinan tradisional. Salah satu bahan yang bersifat keras dan sering digunakan sebagai bahan cutting tool dan roda gigi dalam permesinan adalah SLD yang sulit untuk dikerjakan dengan metode permesinan konvensional. Dalam penelitian ini kami menggunakan mesin ECM untuk membuat bentuk roda gigi pada plat SLD. Parameter yang divariasi dalam percobaan ini adalah besar gap antara tool electrode dan benda kerja, yaitu 3 mm, 5 mm dan 7 mm. Konsentrasi NaCl dalam air murni yang digunakan sebagai cairan elektrolit adalah 15 %. Besar voltase dan arus listrik yang digunakan adalah 7 V dan 5-10 A. Hasil percobaan menunjukkan bahwa besar gap antara tool electrode dan benda kerja berpengaruh terhadap material removal rate (MRR) dan surface roughness yang didapatkan. Semakin kecil gap yang digunakan maka akan memberikan nilai MRR yang semakin besar. semakin besar gap maka semakin besar nilai surface roughness yang dihasilkan pada proses pemesinan ECM. Semakin besarnya nilai surface roughness maka benda kerja hasil pemesinan ECM semakin kasar. Kata Kunci: ECM, SLD, MRR, gap, tool electrode .
1.
Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti terciptanya logam campuran baru yang kuat dan keras dan tuntutan untuk mendapatkan kualitas permukaan yang tinggi adalah beberapa alasan dikembangkannya proses pemesinan non konvensional, dimana tidak ada kontak langsung antara tool electrode dan benda kerja sehingga pahat tidak harus lebih keras dari benda kerjanya. Salah satu proses permesinan non konvensional yang sering digunakan dalam dunia industri adalah Electrochemical Machining (ECM). ECM adalah proses pemesinan dengan memanfaatkan reaksi kimia dan energi listrik. Prinsip kerja dari ECM adalah dengan menggunakan tenaga dari sumber listrik arus searah, yang mana benda kerja bertindak sebagai anoda dan tool electrode bekerja sebagai katoda, sedangkan proses permesinan ECM dilakukan didalam tangki yang berisi cairan elektrolit. Cairan elektrolit bekerja sebagai konduktor listrik dan sebagai media untuk melepaskan partikel logam dari anoda untuk menuju ke katoda. Aliran elektrolit cukup kua sehingga akan mencegah partikel logam melekat pada katoda. Pada kesimpulannya, permesinan ECM menggunakan energi listrik dengan dibantu dengan proses kimia untuk mempercepat pemakanan benda kerja. Kualitas dari hasil pemesinan ECM pemesinan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah voltase; dimana perbedaan tegangan antara kedua jenis logam tersebut akan
menentukan besar-kecilnya arus yang mengalir dalam pemesinan; ukuran dan material dari tool electrode, electrode, jenis cairan elektrolit yang digunakan, jenis material workpiece, workpiece, dan yang tidak kalah pentingnya adalah jarak ( gap) antara gap) antara tool-electrode dan benda kerja. kerja . Pada penelitian ini akan diteliti lebih dalam tentang pengaruh gap gap antara tool electrode dan benda kerja pada material removal rate (MRR) dalam proses ECM untuk baja permesinan baja perkakas SLD. 2.
Metode Pada penelitian ini digunakan mesin ECM yang pergerakan sumbu , dan diatur oleh perangkat lunak Mach 3. Gambar 1 menunjukkan mesin ECM yang digunakan selama percobaan berlangsung. Sumber arus listrik searah disupplai oleh DC oleh DC Power supply dengan mengalirkan voltage sebesar 7 V dan arus berkisar antara 5-10 A, yang untuk selanjutnya digunakan sebagai parameter yang tidak diubah dalam proses ECM. Gap antara tool electrode dan benda kerja yang gunakan adalah 3 mm, 5mm dan 7 mm. Waktu permesinan untuk ketiga gap ketiga gap tersebut adalah 300 detik. Baja perkakas SLD dengan komposisi: Carbon Carbon (C) 1,44 %, Silicon Silicon (Si) 0,28 %, Mangan Mangan (Mn) 0,41 %, Phosphor (P) (P) 0,024 %, Sulfur (S) (S) 0,0008 %, Chrom (Cr) 11,93 %, Molybdenum %, Molybdenum (Mo) (Mo) 0,83 %, Vanadium (V) 0,24 % digunakan sebagai benda kerja yang akan dikerjakan dengan proses ECM. Untuk bahan tool electrode electrode dipilih
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 83
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
tembaga, dikarenakan tembaga mempunyai kemampuan daya hantar listrik yang baik. Untuk permukaan benda yang tidak akan dikenai proses ECM, cutting sticker dengan bahan dari vinyl digunakan sebagai bahan pelindung atau mask , seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Cairan yang tersusun oleh 15% NaCl dalam air murni digunakan sebagai elektrolit dalam mesin ECM. Untuk perhitungan material removal rate menggunakan rumus sebagai berikut: =
−
(1)
Gambar 3. Vinyl cutting sticker sebelum dipotong 3.
Hasil dan pembahasan Gambar 4 menunjukkan MRR dari proses ECM dengan variasi gap antara tool electrode dengan benda kerja.
Dimana, mo merupakan massa benda kerja sebelum pemesinan (gram), mt adalah massa benda kerja setelah pemesinan (gram), dan adalah waktu pemesinan (detik).
Gambar 4 Nilai material removal rate pada rate pada permesinan ECM untuk gap 3 mm, 5 mm dan 7 mm
Gambar 1. Konfigurasi mesin ECM , (A) mesin ECM portable, ECM portable, (B) controler motor stepper, (C) stepper, (C) computer, (D) filter (D) filter , (E) reservoir, (F) power (F) power supply.
Dari data yang disajikan oleh Gambar 4 dapat dilihat pengaruh gap pengaruh gap antara antara tool electrode dan benda kerja terhadap MRR pada plat SLD. Besar gap gap berbanding terbalik terhadap nilai MRR SLD, di mana semakin besar gap gap maka semakin kecil MRR yang dihasilkan pada proses pemesinan ECM dengan waktu pemesinan, voltase dan konsentrasi cairan elektrolit yang sama. Nilai rata-rata MRR terbesar (2,13 x 10 -3 gr/dt ) didapatkan dengan menggunakan gap sebesar 3 mm. Hal ini diduga disebabkan karena semakin besar jarak gap maka kemampuan flushing dari elektrolit berkurang, mengakibatkan daya hantar voltage voltage yang diberikan ke benda kerja berkurang pula. Semakin besar jarak gap akan menghambat proses elektrolisis pula karena kerapatan arus yang terjadi semakin besar. 15
Gambar 2. Vinyl cutting sticker sebagai mask pada mask pada benda kerja yang akan di ECM
s s e n h 10 g ) u o m r µ ( e5 c a f r u S0
0Gap antar 2 elektroda 4 dengan… 6 … 8 dengan
Gambar 5 Nilai Surface roughness pada roughness pada permesinan ECM untuk gap 3 mm, 5 mm dan 7 mm Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 84
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 4 menunjukkan surface roughness roughness dari proses ECM dengan variasi gap antara tool electrode dengan electrode dengan benda kerja. Dari data yang disajikan oleh Gambar 5 dapat dilihat pengaruh gap pengaruh gap antara antara tool electrode dan benda kerja terhadap surface roughness roughness pada plat SLD. Besar gap gap berbanding lurus terhadap nilai surface roughness SLD, roughness SLD, di mana semakin besar gap maka semakin besar surface roughness roughness yang dihasilkan pada proses pemesinan ECM dengan waktu pemesinan, voltase dan konsentrasi cairan elektrolit yang sama. Dari data yang disajikan didapat nilai rata-rata surface roughness roughness yang terbesar (14,2 µm) µm) yaitu pada benda kerja hasil pemesinan dengan variasi jarak gap 7 mm. Nilai rata-rata surface roughness roughness terkecil (6,6 µm) µm) pada jarak gap 3 mm. Semakin kecil nilai surface roughness roughness berarti permukaan hasil pemesinan semakin halus.
Pengujian Permesinan Pada Pembuatan Multilayered Microfilters Dengan Tool Tembaga Dan Benda Kerja Aluminium Terisolasi Dengan Variabel Konsentrasi Nacl. Yogyakarta: Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. [9] Sudiarso, A. 2009. Advanced Methods of Machining Series: Electro-Chemical Machining Electro-Chemical Machining (ECM). (ECM). Yogyakarta: Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. [10] Tlusty, G. 2000. Manufacturing 2000. Manufacturing Processes and Equipment . Prentice-Hall. Inc., New York. [11] Wagner, T. (geb. Haisch). 2002. High Rate Electrochemical Dissolution of Iron-Based Alloys in NaCl and NaNO3 Electrolytes. Electrolytes . Stuttgart: Institute of Metal Research, University of Stuttgart.
4.
Kesimpulan Dari data dan hasil perhitungan yang dilakukan terhadap hasil pemesinan ECM portable untuk benda kerja plat SLD menggunakan tool electrode electrode tembaga dapat disimpulkan bahwa gap antara tool electrode dan benda kerja berpengaruh terhadap besarnya MRR dan berpengaruh juga terhadap nilai surface roughness roughness yang dihasilkan. Semakin besar gap-nya gap-nya maka semakin kecil nilai MRR benda kerja, serta semakin besar jarak gap akan mengakibatkan semakin besarnya nilai surface roughness,yang roughness,yang berarti permukaan benda kerja hasil pemesinan semakin kasar. Daftar Pustaka [1] Amaral, R. dan Chong, L. L. H. 2002. Surface Roughness. Roughness. MatE 210 [2] Cirilo, J., Malaquias, E., dan Bacci, M. 2006. Intervening Intervening Variables in Electrochemical Machining . Journal of Materials Processing Technology 179, page 92-96. [3] El-Hofy, H. 2005. Advanced 2005. Advanced Machining Processes. Processes. New York: McGraw-Hill. [4] Esapermana, R. 2012. Pengaruh PemakananMaterial (Feed Rate) dengan Tool Elektroda Aluminium Terhadap Overcut dan Surface Roughness Benda Kerja Stainless Steel Pada Mesin ECM Portable. Portable. Yogyakarta: Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. [5] McGeough, J.A. 1974. Principles of Electro Chemical Machining . Chapman and Hall Ltd, London. [6] McGeough, J.A. 1988. Advanced Methods of Machining . Chapman and Hall Ltd, London. [7] Pandey, P.C. and Shan, H.S., (2000), ―Modern Machining Processes”, Mc Graw-Hill, Graw -Hill, New Delhi. [8]Prasetya, F. 2014. Perancangan 2014. Perancangan Dan Pembuatan Mesin Electrochemical Machining Serta Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 85
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Analisa Waktu Pemesinan SLD Terhadap Kedalaman Lubang pada Pembuatan Roda Gigi Menggunakan Menggunakan Metode ElectroChemical ElectroChemical Machining Feriyantaa, Sadiwana, Aris Widyo Nugroho a, Tutik Sriania, b, Gunawan Setia Prihandana a,b Jurusan Teknik Mesin, Mesin, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta 55183, Indonesia Indonesia b Centre of Virtual Design and Manufacturing, Yogyakarta, 55381, Indonesia
[email protected]
a
Abstrak Pembuatan roda gigi menggunakan plat SLD dengan variasi waktu menggunakan mesin ECM. Plat SLD adalah plat yang mempunyai sifat kekerasan yang sangat tinggi untuk mempermudah pembuatan roda gigi yaitu mengguakan mesin ECM tipe 3 axsis, karena mesin ECM mesin tepat guna untuk memproses berbagai jenis material yang mempunyai sifat kekerasan sangat tinggi. Pada proses pemesinan pembuatan roda ggi dengan bahan plat SLD memvariasikan waktu dengan variabel waktu yang digunakan 5menit, 10 menit, dan 15 menit. Dari data dan hasil perhitungan yang dilakukan terhadap hasil pemesinan ECM untuk benda kerja plat SLD menggunakan tool electrode tembaga dapat diambil kesimpulan bahwa diperlukan waktu permesinan proses ECM selama kurang lebih 20 menit untuk bisa membuat roda gigi yang terbuat dari plat SLD. Mesin ini berpotensi untuk diaplikasikan keindustri manufaktur. Kata Kunci : Electrochemical Machining, SLD, waktu permesinan
1.
Pendahuluan Teknologi pemesinan saat ini telah berkembang sangat pesat, yang bermula pada tahun 1940an dimana pembuatan produk benda masih menggunakan mesin perkakas konvensional seperti mesin bubut, mesin bor dan mesin frais(milling) frais(milling) dan lain-lain. Seiring perkembangan teknologi, mesin konvensional dinilai kurang efisien untuk memproduksi suatu benda kerja dengan materialmaterial baru yang memiliki sifat kekerasan yang sangat tinggi atau pengerjaan benda kerja dengan geometri yang semakin komplek dan rumit. Pemesinan secara konvensional memerlukan beberapa proses seperti drilling dan broaching atau dengan mesin punching sehingga kurang efektif dan efisien. Untuk mengatasi hal tersebut maka dikembangkannya pemesinan non konvensional. Salah satu pemesinan non-konvensional adalah Electro Chemical Machining Chemical Machining (ECM). ECM digunakan untuk memproses berbagai jenis material yang bersifat konduktor listrik. ECM didasarkan pada proses anodic dissolution dalam elektrolisis [12]. Proses tersebut menggunakan prinsip Faraday, dimana jika ada dua buah logam direndam dalam larutan elektrolit dan dihubungkan dengan sumber arus DC, maka partikel logam akan terlepas dari anoda dan kemudian akan melekat ke katoda. Aliran elektrolit yang cukup kuat akan mencegah partikel logam melekat pada katoda dan akan membuang partikel – partikel partikel tersebut dari area pemesinan.
Efisiensi ECM dipengaruhi oleh beberapa parameter yaitu feed rate, rate, tegangan, dan arah laju elektrolit [3]. Mesin ECM membutuhkan daya yang tinggi dalam melakukan permesinan. Untuk menghemat penggunaan daya dapat dilakukan penelitian terhadap pengaruh feed rate rate dan arah laju aliran dengan menggunakan daya yang kecil. Feed rate rate berpengaruh terhadap jarak dan waktu permesinan, sehingga dapat mempengaruhi hasil permesinan ECM. Arah laju aliran berpengaruh terhadap arah pengikisan material, sehingga dapat mempengaruhi hasil permesinan. Berbagai penelitian ECM telah dilakukan akan tetapi pada penelitian-penelitian sebelumnya belum mempelajari mengenai pengaruh variasi waktu lamanya proses permesinan terhadap MRR dan dengan cairan elektrolit NaCl. Perlu untuk diteliti lebih lanjut l anjut sejauh mana pengaruh variasi waktu tersebut khususnya terhadap material SLD. 2.
Metode Penelitian Pada penelitian ini digunakan mesin ECM tiga sumbu, yaitu sumbu x, y dan z, dimana pergerakan sumbu diatur oleh perangkat l unak Mach 3. Gambar 1 menunjukkan mesin ECM yang digunakan selama percobaan berlangsung. Sumber arus listrik searah adalah DC Power supply dengan mengalirkan voltase sebesar 7 V dan arus berkisar antara 5-10 Ampere, yang untuk selanjutnya digunakan sebagai parameter tetap dalam penelitian
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
86
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
ini. Jarak antara tool electrode dan benda kerja adalah 3 mm, sedangkan variasi waktu yang digunakan pada permesinan secara statis adalah 5, 10 dan 15 menit. Baja perkakas SLD dengan komposisi Carbon Carbon (C) 1,44 %, Silicon Silicon (Si) 0,28 %, Mangan Mangan (Mn) 0,41 %, Phosphor (P) 0,024 %, Sulfur (S) 0,0008 %, Chrome (Cr) 11,93 %, Molybdenum Molybdenum (Mo) 0,83 %, Vanadium (V) 0,24 % digunakan sebagai benda yang akan dikerjakan dengan proses ECM. Tembaga dipilih untuk bahan tool electrode, electrode, dikarenakan tembaga mempunyai kemampuan daya hantar listrik yang baik. Permukaan benda yang tidak dimesin ditutup dengan cutting sticker dengan bahan dari vinyl yang berfungsi sebagai bahan pelindung atau mask , seperti nampak pada Gambar 2. Elektrolit yang digunakan adalah larutan 15% NaCl dalam air murni. Pengukuran kedalaman benda kerja yang dibuat menggunakan profilometer.
waktu permesinan pada kedalaman pemakanan benda kerja dari proses ECM.
Gambar 3 Kedalaman pada Kedalaman pada permesinan ECM untuk waktu permesinan 5, 10 dan 15 menit Dari data yang disajikan oleh Gambar 3, dapat terlihat bahwa ketika proses ECM dijalankan selama 15 menit maka akan berhasil membuat lubang sedalam 4.5 mm. Oleh karena itu diperlukan waktu sekitar 20 menit untuk membuat roda gigi yang seperti nampak pada gambar diatas. 4.
Kesimpulan Dari data dan hasil perhitungan yang dilakukan terhadap hasil pemesinan ECM untuk benda kerja plat SLD menggunakan tool electrode tembaga dapat diambil kesimpulan bahwa diperlukan waktu permesinan proses ECM selama kurang lebih 20 menit untuk membuat roda gigi yang terbuat dari plat SLD.
Gambar 1. Konfigurasi permesinan (A) mesin ECM portable, (B) controller motor stepper, (C) stepper, (C) computer, (D) filter (D) filter , (E) reservoir, (F) power (F) power supply.
Gambar 2. Vinyl cutting sticker sebagai mask pada mask pada benda kerja yang akan di ECM 3.
Hasil dan pembahasan Gambar 3 menunjukkan pengaruh variasi Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Daftar Pustaka
[1] Amaral, R. dan Chong, L. H. 2002. Surface Roughness. Roughness. MatE 210 [2] Cirilo, J., Malaquias, E., dan Bacci, M. 2006. Intervening Variables in Electrochemical Machining . Journal of Materials Processing Technology 179, page 92-96. [3] El-Hofy, H. 2005. Advanced 2005. Advanced Machining Processes. Processes. New York: McGraw-Hill. [4] Esapermana, R. 2012. Pengaruh Pemakanan Material (Feed Rate) dengan Tool Elektroda Aluminium Terhadap Overcut dan Surface Roughness Benda Kerja Stainless Steel Pada Mesin ECM Portable. Portable. Yogyakarta: Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. [7] Masuzawa, T. dan Tonshoff, H.K. 1997. Three-
87
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dimensional Micro Machining by Machine Tools. Ann. CIRP. [8] McGeough, J.A. 1974. Principles of Electro Chemical Machining . Chapman and Hall Ltd, London. [9] McGeough, J.A. 1988. Advanced Methods of Machining . Chapman and Hall Ltd, London. [10] Metal’s Handbook, 1989 Electrochemical Machining , 9th Edition Vol. 16, ASM INT. [11] Sudiarso, A. 2009. Advanced Methods of Machining Series: Electro-Chemical Machining Electro-Chemical Machining (ECM). (ECM). Yogyakarta: Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada. [12] Tlusty, G. 2000. Manufacturing 2000. Manufacturing Processes and Equipment . Prentice-Hall. Inc., New York. [13] Wagner, T. (geb. Haisch). 2002. High Rate Electrochemical Dissolution of Iron-Based Alloys in NaCl and NaNO3 Electrolytes. Electrolytes. Stuttgart: Institute of Metal Research, University of Stuttgart.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
88
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 89
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 90
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 91
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 92
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 93
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 94
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Shot Peeni Peeni ng Setelah Setelah Nitriding Terhadap Fenomena Die Terhadap Soldering Pada Pada Baja 8407 Supreme Dan Dan Dievar Untuk Pengecoran Paduan Aluminium Al-Si (Tipe ADC12) Myrna Ariati Mochtar 1*, Wahyuaji Narottama Putra 1, Stefany Aprilya N Simanjuntak 1 1
Universitas Indonesia, Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Depok, 16424, Indonesia
[email protected]
Abstract In this research, 8407 Supreme and Dievar steel were heat treated with different treatments consist of shot blasting - shot peening and shot blasting - nitriding - shot peening. Die casting process was simulated by dipping the samples into molten aluminum alloy ADC12 at 680 o C, for 30 minutes. Characterization consists of surface hardness test, microstructure observation, intermetallic layer identification, and weight loss of the Dievar and the 8407 Supreme steel material. The results showed that, the surface hardness of a material with N-SP treatment is higher than SP only treatment. Based on SEM-EDS test on samples with 30 mins holding time, the intermetallic layer in N-SP treated samples is less than SP treated samples. Broken layer formed was reduced to 54% for the 8407 Supreme steel, the decreased was ranged from 96,3 52μm to 44.302 μm, while the decreased for Dievar was ranged from 119.76 μm to 81.51μm (32%). As for compact intermetallic layer thickness, it is also decreased from 19.412μm to 18.022 μm for 8407 Supreme steel, while the Dievar with the given treatment of NSP did not form a compact intermetallic layer. Based on the results obtained from this study, the material treated with shot blasting - nitriding - shot peening shows better resistance to die soldering, due to higher surface hardness, which minimize the intermetallic layer formation, compared with samples treated only with shot blasting - shot peening. : Die Soldering; Shot Peening; Nitriding; Die Casting; Intermetallic Layer Keywords 1.
Pendahuluan Proses die casting dipilih karena merupakan proses manufaktur yang paling ekonomis dan efisien dalam menghasilkan produk produk aluminium yang sesuai dengan desain sehingga memiliki akurasi dimensi tinggi dan mampu menghasilkan permukaan akhir yang baik dengan waktu produksi yang cukup singkat sehingga sesuai untuk kebutuhan industri otomotif.[1]. Proses ini dilakukan dengan cara memasukkan lelehan logam kedalam suatu rongga cetakan, yang telah dipersiapkan sebelumnya, dalam kondisi tekanan dan kecepatan tinggi, kemudian selanjutnya dikeluarkan dari rongga setelah produk mengalami solidifikasi. Karena proses die casting menggunakan tekanan dan kecepatan tinggi, maka dies dies atau cetakan sangat perlu untuk diperhatikan, dan umumnya terbuat dari baja perkakas. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat, industri die casting diharapkan mampu meminimalisasi waktu siklus (cycle time) time ) dari proses pengecoran sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan menurunkan biaya operasional. Namun, pada prakteknya, terdapat beberapa kendala dalam hal ini. Salah satunya adalah terjadinya peristiwa die soldering (pelengketan cetakan) [2], dimana lelehan logam menempel pada permukaan cetakan dikarenakan adanya reaksi antara permukaan cetakan dengan lelehan logam tersebut.[3] Peristiwa ini terjadi Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
dikarenakan oleh tingginya afinitas logam Aluminium cair terhadap besi (Fe), yang menyebabkan reaksi fisika-kimia antar muka dengan cepat terjadi pada permukaan cetakan dengan Aluminium cair sehingga terjadi pembentukan senyawa intermetalik Fe-Al-Si. Berdasarkan diagram fasa FeAl, terdapat 4 fasa intermetalik yang mungkin terbentuk pada temperatur 680°C yaitu, pembentukan fasa FeAl, FeAl2, Fe2Al5, dan FeAl3 sebagai berikut:[4] Fe (a) + Al (a) → FeAl (s) ∆G° = - 490,6 kcal/mol FeAl (a) + Al (a) → FeAl2 (s) ∆G° = -140,3 kcal/mol FeAl2 (a) + Al (a) → Fe2Al5 (s) ∆G° = - 84,83 kcal/mol Fe2Al5 (a) + Al (a) → FeAl3 (s) ∆G° = - 120,65 kcal/mol
Proses die soldering ini, diawali dengan terjadinya erosi atau pengikisan daerah lunak, maka dari itu penelitian ini akan berfokus pada pembentukan, peningkatam kedalaman dan kekerasan lapisan keras pada permukaan baja, melalui perlakuan shot perlakuan shot blasting , nitridisasi, dan shot dan shot peening . Perlakuan nitridisasi dilakukan agar terbentuk lapisan nitrida yang keras, sedangkan proses shot peening dilakukan dengan menembakkan partikel baja ke permukaan baja, agar menimbulkan deformasi plastis dan tegangan tekan di permukaan. Shot blasting biasanya dilakukan untuk menghilangkan tegangan permukaan sisa.
95
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
2.
Metode Penelitian Material baja yang digunakan pada penelitian ini adalah baja perkakas 8407 Supreme dan baja Dievar. Sebelum dilakukannya proses perlakuan permukaan, dilakukan proses hardening yang berfungsi untuk meningkatkan kekerasan dari baja 8407 Supreme dan Dievar. Proses pengerasan dimulai dengan austenisasi pada temperatur 1025 oC selama 60 menit, dengan sebelumnya diawali dengan dua tahap preheat masing-masing selama 30 menit pada temperatur 650 oC dan 850 oC agar tidak terjadi retak saat austenisasi. Setelah itu sampel didinginkan cepat, menggunakan teknik pressure quenching , ke temperatur 50-70 oC. Sampel kemudian dikeluarkan dari vacuum furnace furnace untuk pengukuran data kekerasan makro sebelum temper, yang berkisar antara 53-54 HRC. Terakhir, adalah proses temper yang dilakukan tiga tahap untuk mendapatkan kekerasan dan sifat mekanis baja perkakas yang diinginkan. Masing-masing tahapan temper dilakukan selama dua jam secara berurutan pada temperatur 580 oC, 600 oC, dan 580 oC.Setelah selesasi dilakukan pengujian makro menggunakan vickers hardness test sesuai dengan standard ASTM E-92. Setelah itu dilakukan proses perlakuan permukaan shot blasting dengan menggunakan mesin tipe pressurized pneumatic (bucket-type). Shot blasting diaplikasikan secara merata pada tiaptiap sisi sampel dengan menembakan partikel S. Lin Abrasive green SiC (JIS 700) melalui nosel dengan tekanan sekitar 476 kPa. Kemudian, nitriding dilakukan didalam vacuum furnace menggunakan gas ammonia (50% NH3, 50% N2) pada suhu 510oC selama 10 jam. Setelahnya, shot peening dilakukan menggunakan mesin tipe pressurizedpneumatic (bucket-type) pressurizedpneumatic (bucket-type) yang dilakukan dengan menembakan partikel bola baja (cast steel shot) berkekerasan 45-48 HRC dengan diameter 0,3 mm melalui nosel dengan tekanan sekitar 461 kPa. Selanjutnya dilakukan tempering dilakukan menggunakan vacuum furnace selama 3 jam pada temperatur 540 oC. Sebagai simulasi proses die casting, dilakukan uji celup ke dalam paduan aluminium cair ADC12 pada temperatur 680°C dan ditahan selama 30 menit. Karakterisasi yang dilakukan kemudian meliputi kekerasan permukaan, pengamatan struktur mikro, identifikasi elemen pada lapisan intermetalik, dan terakhir adalah kehilangan berat dari masing – masing material baja. Untuk mempermudah identifikasi, label SP diberikan untuk material dengan perlakuan shot peening, sedangkan label N-SP untuk material dengan perlakuan nitriding – nitriding – shot shot peening. 3.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Gambar 1 memperlihatkan hasil pengujian kekerasan baja yang telah mengalami perlakuan Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
rekayasa permukaan. Keempat sampel mendapat perlakuan yang berbeda yaitu shot blasting dan shot peening pada material 1S (8407 Supreme SP) dan 1D (Dievar SP), serta perlakuan shot peening disertai dengan nitridisasi selama 10 jam pada 510°C pada sampel 3S (8407 Supreme N-SP) dan 3D (Dievar N-SP). Pengujian dilakukan pada 5 titik yang masing-masing berjarak 50 µm, hal ini dilakukan untuk mengetahui distribusi kekerasan material jika jaraknya semakin jauh dari permukaan. Melalui kedua grafik tersebut, dapat dilihat bahwa semakin jauh jaraknya dari permukaan maka, nilai kekerasannya juga akan semakin berkurang. Pada material yang mengalami proses nitridisasi dan shot peening , nilai kekerasan yang paling tinggi terdapat dibagian 50 µm dibawah permukaannya yaitu sebesar 1498 HVN pada baja 8407 Supreme dan 1402 untuk baja Dievar.
Gambar 1. Distribusi kekerasan pada (a) 8407 Supreme dan (b) Dievar setelah diberi perlakuan permukaan Hal ini menunjukkan bahwa perilaku nitridisasi hanya akan meningkatkan nilai kekerasan sampai batas tertentu, sampai pada titik tertentu nilainya akan sama dengan kekuatan material awal[5]. Efek pengerasan ini terjadi karena adanya nitrogen berdifusi dan terlarut secara interstisi yang bereaksi dengan paduan substitusi membentuk unsur nitrida keras dan terdispersi secara merata sehingga menimbulkan distorsi kisi yang menghalangi pergerakan dislokasi yang meningkatnya kekerasan material [5]. Namun, seiring dengan bertambahnya jarak dari permukaan, material ini cenderung menunjukkan penurunan kekerasan. Dalamnya lapisan yang terbentuk berhubungan dengan lama waktu nitridisasi, semakin lama waktu nitridisasi, maka lapisan yang terbentuk akan semakin dalam. Semakin jauh dari
96
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
permukaan, nilai kekerasan semakin menurun. Penurunan nilai kekerasan tersebut dikarenakan oleh semakin sedikitnya nitrogen yang berhasil berdifusi menuju inti material. Dikarenakan hal tersebut, efek pengerasan semakin menurun hingga pada suatu titik dimana tidak ada lagi nitrogen yang dapat berdifusi lebih jauh lagi, sehingga semakin dalam, kekerasan menjadi cenderung konstan sama dengan kekerasan material inti yang sama sekali tidak mendapatkan efek perlakuan pengerasan permukaan.
Gambar 2. Prediksi fasa pada pada struktur mikro hasil pencelupan selama 30 menit pada baja 8407 8407 Supreme (a) SP, (b) N-SP; dan Dievar (c) SP, (d) N-SP ke dalam Aluminium ADC12 Tabel 1. menunjukkan prediksi senyawa yang terbentuk akibat proses pencelupan baja 8407 Supreme dan Dievar ke dalam paduan aluminium ADC12 selama 30 menit. Prediksi ini dilakukan berdasarkan kadar % unsur-unsur dari pengujian EDS. Prediksi fasa-fasa ini juga diperlihatkan pada struktur mikro yang tertera pada Gambar 2. Secara umum, semakin menjauh dari aluminium, kadar Al semakin berkurang dan begitu juga dengan kadar Fe semakin berkurang dengan semakin menjauh dari permukaan baja. Fasa αFe di permukaan baja menunjukan terjadinya reaksi antara Fe dan Al karena pada fasa ini Al dan Fe berada dalam kondisi solid solution. solution. Berdasatkan data yang diperoleh, fasa α-(Fe,Al,Si) terbentuk pada semua kondisi sampel, baik yang mengalami nitridisasi maupun tidak. Namun, fasa compact intermetallic layer FexAly tidak terbentuk pada semua kondisi pengerjaan. Hal ini dikarenakan koefisien difusi besi menuju aluminium lebih besi lebih kecil dibandingkan dengan koefisien difusi besi menuju aluminium. Koefisien difusi dari besi menuju aluminium adalah 53 x 10 -4 m2s-1, sedangkan koefisien difusi aluminium menuju besi, 1.8 x 10 4 2 -1 m s [6]. Berdasarkan hal tresebut, maka dapat Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
disimpulkan bahwa atom Fe berdifusi lebih cepat ke permukaan baja membentuk lapisan compact intermetallic layer sedangkan broken layer merupakan reaksi lanjutan antara compact intermetallic layer dengan aluminium cair. Fasa Fex Ny dan Cr x Ny merupakan fasa nitrida yang terbentuk pada daerah difusi . Fasa ini berada dibawah permukaan baja dikarenakan atom nitrogen yang berdifusi kedalam baja yang kemudian berikatan dengan unsur pembentuk nitrida. Tabel 2. merupakan data hasil pencelupan baja perkakas H13 dan Dievar ke dalam Aluminium ADC12 selama 30 menit. Pada waktu pencelupan 30 menit, dapat dilihat bahwa kehilangan berat yang cukup signifikan terjadi pada sampel 1S yang hanya mengalami perlakuan shot blasting dan shot peening . Disisi lain, material yang mendapat perlakuan sama namun memiliki unsur paduan yang lebih banyak, yaitu sampel 1D, menunjukkan nilai yang tidak signifikan yaitu hanya sebesar 0,09 gram. Terjadinya kehilangan berat disebabkan oleh terjadinya dua mekanisme yang saling berlawanan, yaitu pertumbuhan lapisan intermetalik dan pelarutan lapisan intermetalik[7]. Fe pada permukaan baja mengalami reaksi fisika-kimia dengan bagian antar muka lelehan Aluminium yang disebabkan oleh adanya afinitas antara atom Fe dan Aluminium. Aspek kinetik dari reaksi tersebut mengaktivasi terjadinya pembentukan dan pertumbuhan lapisan intermetalik. Fenomena berbeda ditunjukkan pada daerah lelehan dengan kadar Fe rendah, pada kasus ini, atom Fe akan berdifusi dari permukaan baja cetakan menuju lelehan yang menyebabkan Fe terlarut ke dalam lelehan aluminium. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelarutan lapisan intermetalik. Kehilangan berat pada baja tersebut merupakan indikasi terjadinya mekanisme die soldering yang diakibatkan oleh pergerakan muka difusi liquid solid . Pada waktu celup 30 menit, fenomena kehilangan berat berbeda di tiap sampelnya. Perbedaan yang sangat signifikan dapat dilihat pada sampel 1S dan 3S. Pada material 1S yang hanya mendapat perlakuan shot perlakuan shot blasting dan shot dan shot peening , terjadi kehilangan berat sampai sebesar 0,775% dari berat awal, sedangkan pada material 3S yang mendapatkan perlakuan nitriding setelah shot blasting dan diberi perlakuan shot peening setelahnya, mengalami kehilangan berat hanya sebesar 0,126% dari berat awal. Semakin tinggi nilai kehilangan berat yang diperoleh, maka menunjukkan bahwa semakin rendah ketahanan material terhadap proses pelarutan. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampel dengan perlakuan shot blasting , nitridisasi, dan shot peening yaitu sampel 3S dan 3D memiliki ketahanan yang lebih baik
97
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
terhadap proses pelarutan dibandingkan dengan material sejenis tanpa perlakuan nitridisasi yang mana dapat meminimalisir kehilangan berat akibat proses die soldering. Tabel 1. Prediksi fasa yang terbentuk pada lapisan soldering hasil pencelupan baja 8407 Supreme dan Dievar ke dalam Aluminium ACD12
Tabel 2. Data kehilangan berat hasil pencelupan baja perkakas H13 ke dalam paduan aluminium ADC12
Analisa lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4, yang menjelaskan secara keseluruhan lapisan yang terbentuk setelah setelah kedua material dicelupkan ke dalam aluminium ADC 12 selama 30 menit. Pada material yang dilakukan perlakuan shot perlakuan shot blasting dan shot dan shot peening , kekerasan awal permukaan material sebelum mengalami proses pencelupan adalah sebesar 536 VHN dan 503 VHN pada baja 8407 Supreme dan Dievar pada jarak 50µm dari permukaan. Berdasarkan hal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekerasan permukaan baja 8407 Supreme lebih tinggi dibandingkan dengan Dievar. Jika ditinjau lebih lanjut terhadap lapisan yang terbentuk dipermukaan kedua baja setelah mengalami proses pencelupan dalam aluminium ADC12 selama 30 menit, dapat dilihat bahwa terbentuk compact intermetallic layer dan broken intermetallic layer dengan ketebalan rata-rata masing-masing 19,41 µm dan 96,35 µm pada baja perkakas 8407 Supreme dan pada baja Dievar, rata rata compact intermetallic layer yang terbentuk memiliki ketebalan 38,37 µm dan broken intermetallic layer 119,76 119,76 µm. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 3. Morfologi Lapisan pada Baja 8407 Supreme. Sampel SP (a) Compact Layer, (b) Broken Layer. Sampel N-SP (a) Compact Layer, (b) Broken Layer.
98
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 4. Morfologi Lapisan pada Dievar. Sampel SP (a) Compact Layer, (b) Broken Layer. Sampel N-SP (a) Compact Layer, (b) Broken Layer.
broken intermetallic layer dan tidak terdapat compact intermetallic layer. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa perlakuan shot peening setelah nitridisasi dapat meningkatkan kekerasan permukaan untuk kedua material. Peningkatan kekerasan ini berdampak pada ketebalan lapisan intermetalik yang terbentuk. Pada baja 8407 Supreme, ketebalan compact intermetallic layer dan dan broken intermetallic layer berkurang masing-masing sebesar 7,2% yaitu dari dan 54%. 54% . Sedangkan pada material Dievar, perlakuan ini mampu meniadakan pembentukan compact intermetallic layer dan mengurangi ketebalan broken intermetallic layer sebesar 32%. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan shot peening setelah nitridisasi, dapat meminimalisir pembentukan dari lapisan intermetalik yang terbentuk.
4.
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa kekerasan permukaan awal material sebelum mengalami proses pencelupan berpengaruh terhadap ketebalan lapisan intermetalik yang terbentuk seiring dengan meningkatnya waktu pencelupan. Dalam kasus ini, ketebalan compact intermetallic layer yang dimiliki baja Dievar lebih tinggi 50% dibandingkan dengan baja 8407 Supreme, hal ini mengindikasikan bahwa baja Dievar lebih rentan terhadap fenomena die soldering. Fenomena berbeda ditunjukkan pada kedua material baja perkakas dengan perlakukan nitridisasi dan shot peening. Kekerasan peening. Kekerasan permukaan awal baja Dievar lebih rendah dibandingan dengan pada baja 8407 Supreme yaitu sebesar 1402 VHN sedangkan baja 8407 Supreme hanya sebesar 1498 HVN. Jika dilihat dari morfologi yang terbentuk setelah proses pencelupan ke dalam aluminium ADC12 selama 30 menit, pada baja 8407 Supreme terbentuk kedua lapisan intermetalik. Ketebalan rata-rata compact intermetallic layer dan broken intermetallic layer pada layer pada material ini masing-masing sebesar 18,02 µm dan 44,30µm. Sedangkan pada material Dievar, hanya satu lapisan intermetalik yang terbentuk, yaitu broken intermetallic layer dengan ketebalan rata-rata 81,51µm. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa kekerasan permukaan awal material sebelum mengalami proses pencelupan berpengaruh terhadap ketebalan lapisan intermetalik yang terbentuk seiring dengan meningkatnya waktu pencelupan. Pada baja Dievar yang mengalami proses shot peening setelah nitridisasi memiliki kekerasan permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang hanya mengalami proses shot peening , berindikasi lebih tahan terhadap fenomena die soldering , karena pada baja ini lapisan intermetalik yang terbentuk hanyalah Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Kesimpulan Perlakuan shot peening setelah nitridisasi dapat meningkatkan kekerasan permukaan untuk kedua material. Pada baja 8407 Supreme, kekerasan permukaan material dengan perlakuan shot peening saja adalah sebesar 536 VHN namun meningkat menjadi 1498 VHN setelah perlakuan shot peening setelah nitridisasi. Sedangkan pada baja Dievar, kekerasan meningkat dari 503 VHN menjadi 1402 VHN dengan perlakuan ini.Kekerasan permukaan sebelum proses pencelupan berdampak pada ketebalan lapisan intermetalik yang terbentuk. Pada baja 8407 Supreme yang memiliki kekerasan pali ng tinggi (1498 HVN) compact intermetallic layer yang terbentuk sebesar 19,412 μm, sedangkan pada baja Dievar dengan kekerasan permukaan paling rendah (503 HVN) memiliki lapisan compact intermetallic layer yang paling tebal yaitu sebesar 38,37 μm. Kehilangan berat mengindikasikan adanya Fe yang bereaksi dengan aluminium, sehingga ketika dilarutkan dengan NaOH, ada bagian yang ikut terlarut juga. Berdasarkan hasil pengujian SEM-EDS pada proses pencelupan dengan waktu tahan 30 menit menunjukkan lapisan intermetalik yang terbentuk setelah proses shot peening setelah nitridisasi mengalami penurunan dibandingkan dengan material yang hanya diberi perlakuan shot peening. Broken layer yang terbentuk berkurang 54% pada baja 8407 Supreme yaitu dari 96,352µm menjadi 44,302 µm sedangkan pada Dievar berkurang dari 119,76 µm menjadi 81,51 (32%). Sedangkan untuk ketebalan compact intermetallic layer juga mengalami penurunan dari 19,412 µm menjadi 18,022 µm pada baja 8407 S, sedangkan pada Dievar yang diberikan perlakuan shot peening setelah nitridisasi tidak terbentuk compact intermetallic layer. Sedangkan pada pencelupan
99
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dengan waktu tahan 30 detik, tidak ada indikasi bahwa lapisan intermetalik terbentuk. Nitridisasi pada baja 8407 Supreme selama 10 jam menghasilkan kedalaman zona difusi sebesar 163,78 μm dan pada baja Dievar sebesar 122,78μm. Proses shot peening setelah melakukan nitridisasi dapat mengurangi ketebalan white layer. Pada baja perkakas 8407 Supreme, lapisan white layer setelah nitridisasi adalah 7,124 µm dan setelah diberi shot peening lapisannya berkurang menjadi 3,5 µm. Sedangkan pada baja perkakas Dievar, lapisan white layer setelah nitridisasi adalah 5,654 µm dan setelah diberi shot peening lapisannya berkurang menjadi 1,0 µm. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, material yang diberikan perlakuan shot blasting – nitriding – shot peening memiliki ketahanan terhadap die soldering yang lebih baik dikarenakan menghasilkan kekerasan permukaan yang lebih keras sehingga meminimalisir lapisan intermetalik yang terbentuk, dibandingkan dengan hanya dilakukannya proses shot blasting – shot peening. Daftar Pustaka [1]. H. Xiaoxia, Y. Hua, Z. Yan et al.(2004). al.(2004). Effect of Si on the interaction between die casting die and aluminum alloy. Materials Letters, vol. Letters, vol. 58, no. 27-28, pp. 3424 -3427. [2]. S. Shankar, and D. Apelian. (2002). Mechanism and Preventive Measures for Die Soldering during Al Casting in a Ferrous Mold. Journal Mold. Journal of Materials, Materials, pp. 47-54. [3]. S. Gulizia, Jahedi, M.Z., Doyle, E.D. (2001). Performance evaluation of PVD coatings for high pressure die casting. Surface and Coatings Technology, vol. Technology, vol. 140, pp. 200-205. [4]. Shot Peening Application. (2011). C.-W. Corporation, ed. [5]. D. Pye. (2003). Practical Nitriding and Ferritic Nitrocarburizing. Nitrocarburizing. ASM International. The Materials Information Society. Society. United States of America : Library Congress cataloging in Publication Data. [6]. Z. W. Chen. (2005). Formation and progression of die soldering during high pressure die casting. Materials Science and Engineering: A, vol. 397, no. 1-2, pp. 356369. [7]. V. Joshi, Srivastava, A., Shivpuri, R. (2003). Investigating ion nitriding for the reductionof dissolution and soldering in die-casting shot sleeves, Surface and CoatingsTechnology, vol. CoatingsTechnology, vol. 163-164, pp. 668-673.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
100
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Evaluasi Metode Rietveld Untuk Analisis Kuantitatif Senyawa Konsentrat Bijih Besi Sri Harjanto*1, Heri Hidayat1, Adji Kawigraha2 1
Departemen Departemen Teknik Metalurgi Metalurgi dan dan Material, Fakultas Fakultas Teknik Universitas Universitas Indonesia Indonesia Kampus UI, Depok Depok , Jawa Barat Indonesia Indonesia 16424 16424 2 Pusat Pengkajian Pengkajian dan Penerapan Penerapan Teknologi Teknologi Pengemban Pengembangan gan Sumber Sumber Daya Mineral, Mineral, BPPT Kompleks PUSPIPTEK, PUSPIPTEK, Serpong, Serpong, Banten Banten *
[email protected]
Abstrak Metode Perbaikan Rietveld (Metode Rietveld) telah banyak digunakan dalam analisis kuantitatif senyawa melalui perhitungan perhitungan pola difraksi difraksi sinar X. X. Penelitian Penelitian ini mengevalu mengevaluasi asi metode metode rietveld rietveld dalam analisis komposisi komposisi konsentrat konsentrat bijih besi hasil separasi fisik meja getar. Perbandingan Perbandingan antara analisis kimia berbasis titrimetri titrimetri dengan metode Rietveld menunjukkan adanya perbedaan yang nyata kadar senyawa Fe 2O3 dan Fe3O4 antara konsentrat-konsentrat yang diuji. Penelitian ini memperlihatkan bahwa metode Rietveld memiliki tingkat akurasi yang belum setinggi metode analisis kimia berbasis titrimetri. Keywords bijih besi lateritik, meja getar, hematit, magnetit bijih
1.
Pendahuluan Hilirisasi pengolahan mineral mendorong pada upaya pemanfaatan mineral di Indonesia yang lebih intensif, termasuk bijih besi. Mineral bijih besi Indonesia umumnya tergolong pada jenis bijih besi lateritik dengan kadar besi (Fe) tidak lebih dari 60%. Meskipun berkadar rendah, keberadaan bijih ini cukup melimpah dan tersebar. Jenis senyawa besi dalam bijih besi laterit dapat berupa hematite (Fe2O3), goethite (Fe2O3.H2O), magnetite (Fe3O4), pyrite (FeS2), dan siderite siderite (FeCO3) dengan komposisi yang beragam [1]. Kebutuhan akan bijih besi dalam skala besar mendorong mendorong pada kebutuhan analisis komposisi besi yang akurat, handal dengan preparasi sederhana. Mengingat, komposisi kimia, struktur dan fasa besi menjadi penting diketahui, untuk menentukan jenis dan bentuk konsentrat dalam pembuatan besi. Sejauh ini, analisis kimia titrimetri lazim digunakan dalam menentukan kadar Fe total, Fe2+ dan/atau Fe 3+ yang juga dapat dikonversi lebih lanjut menjadi kadar oksida-oksida besi tersebut. Selain untuk menentukan senyawa dalam mineral dari analisis pola difraksi sinar X dapat digunakan untuk menentukan kadar senyawa secara kuantitatif. Metode ini dikembangkan oleh Rietveld, selanjutnya dikenal dengan metode Rietveld. Prinsip analisis kuantitatif metode ini berbasisikan pada perbandingan luas daerah di bawah pola difraksi antara sampel yang diukur dengan sampel standar yang diketahui kadarnya dengan bantuan perangkat lunak. Adanya perbedaan intensitas peak dari difraktofgram memungkinkan kadar suatu fasa dalam senyawa dapat diketahui [2]. Penggunaan metode ini dalam menentukan kadar karbida pada baja paduan 2.25Cr-1Mo-0.25V telah dilakukan dengan hasil yang sangat baik Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
dengan bantuan perangkat lunak TOPAS dalam proses perhitungannya [3]. Perbandingan metode rietvield, XRF (X Ray Fluorescence) dan SXRD (In Situ X Ray Diffraction) dilakukan untuk menentukan komposisi kimia senyawa Calcium Aluminate Cements (CAC). Hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa ketiga metode tidak berbeda nyata dan hal ini dibuktikan dengan tidak ada penyimpangan yang signifikan pada garis permodelan [4]. Kajian sejenis dengan menggunakan FT-IR (Fourier Transformation-Infra Red Analysis) telah dilakukan untuk menentukan kadar oksida besi FeO, Fe 2O3 dan Fe logam besi. Hasil riset tersebut memperlihatkan perbedaan penyerapan panjang gelombang gelombang yang sama sehingga dapat dijadikan dasar untuk mengkuantifikasi kadar senyawa-senyawa tersebut di atas [5]. Aplikasi metode perhitungan Rietvield untuk analisis kuantitatif konsentrasi mineral residu bauksit telah dilakukan [6]. Penelitian tersebut menyoroti beberapa permasalahan yang muncul dalam analisis kuantitatif tersebut, seperti ukuran partikel, penyerapan mikro dan komposisi mineral tak ideal sebagai akibat pemrosesan mineral hasil pelapukan. Dengan memperhatikan beberapa kajian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan metode Rietveld dalam penentuan kadar senyawa besi oksida dalam konsentrat bahan baku. Sebagai pembanding dan kontrol dilakukan analisis kimia berbasis titrimetri.
2.
Metode
2.1 Bahan Bijih besi lateritik berkadar awal besi (Fe) kurang dari 50% yang berasal dari Indonesia
101
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
digunakan sebagai bahan utama penelitian ini. K 2Cr 2O7 0.1N digunakan dalam titrimetri berfungsi sebagai oksidator. SnCl 2 10% berfungsi sebagai pereduksi ion Fe dalam analisis ion Fe total (Fe larut larut dalam asam). Sedangkan HgCl 2 ditambahkan dalam titrimetri sebagai oksidator kelebihan SnCl 2. Dalam analisis kadar Fe, FeCl 3 15% digunakan sebagai oksidator sampel. NH 4Cl 1% ditambahkan sebagai pelarut dan berfungsi pula sebagai pencegah oksidasi yang tidak diinginkan.
Tabel 1 Komposisi kimia konsentrat Sampel
Fe** Total (%)
Simpangan baku
Fe2+ (%)
Simpangan baku
A 46,5 0,07 11,4 0,06 B 46,3 0,05 11,4 0,07 C 51,8 0,09 12,8 0,06 ** Fe total ini berarti Fe yang larut dalam asam.
2.2 Persiapan sampel bijih mineral Bijih besi lateritik berupa batuan berdiameter lebih dari 50 mm diremukkan dan digiling menggunakan peremuk rahang (jaw crusher) dan peremuk rol (roll crusher) berturutturut sehingga berukuran sekitar 1 mm. Selanjutnya sampel dihaluskan lagi menggunakan penggiling martil (hammer mill) dan penggiling bola (ball mill) serta diayak untuk mendapatkan sampel berukuran 106 m. Sampel bijih yang telah halus ini kemudian dipisahkan menggunakan meja getar dengan mengatur sudut kemiringan antara 0,5 o, 1,5o dan 2,5o sehingga diperoleh tiga jenis sampel A, B dan C, berturut-turut. 2.3 Analisis Kimia Metode Rietveld diterapkan terhadap pola difraksi XRD (X-Ray Diffractometer) untuk perhitungan kuantitas komposisi kimia besi dalam oksida. Perhitungan dan perbandingan luasan daerah di bawah pola difraksi sampel dan sampel standar dilakukan dengan bantuan perangkat lunak GSAS ® (General Structure Analysis System) System ) [2]. Titrimetri dilakukan terhadap sampel yang diukur sebagai kontrol pembanding. Pengukuran kadar Fe2+ dilakukan dengan metode sesuai dengan ASTM D 3872-86. Sedangkan untuk pengukuran Fe metode yang digunakan diadopsi sesuai dengan ASTM E 1028. Pengujian dilakukan berulang untuk menjamin reproduksibilitas data yang dihasilkan.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Senyawa mineral konsentrat Karakterisasi pola difraksi sinar X (Gbr. 1) memperlihatkan bahwa sampel bijih oksida besi pada konsentrat konsentrat [A], [B] dan [C] terdiri terdiri dari senyawa utama hematit (Fe 2O3, JSCPDS 72-0469) dan magnetit (Fe3O4, JSCPDS 79-0418). Meskipun pola difraksi tidak memperlihatkan munculnya puncak puncak senyawa pengotor lain, karakterisasi kuantitatif menunjukkan kemurnian total oksida besi masih kurang dari 99%. Hal ini menandakan keberadaan pengotor senyawa pengotor pada senyawa bijih oksida besi.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gbr. 1 Pola difraksi difraksi sinar sinar X beberapa sampel konsentrat [A], [B] dan [C]. 3.2 Komposisi Kimia hasil Titrimetri Tabel 1 memperlihatkan hasil analisa komposisi kimia konsentrat bijih besi yang telah dilakukan separasi dengan meja getar pada berbagai variasi sudut kemiringan. Hasil pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa separasi dengan memvariasikan sudut kemiringan meja getar 1 o (dari 0,5o menjadi 1,5 o) tidak signifikan meningkatkan
102
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
kadar besi total pada konsentrat. Akan tetapi peningkatan kadar terlihat pada perubahan sudut kemiringan 2,5 o, mencapai sekitar 10%. Perhitungan lanjutan terhadap hasil titrimetri memperlihatkan komposisi kimia oksida besi pada konsentrat [A], [B] dan [C], seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Dari hasil pengukuran titrimetri yang diperoleh data kadar Fe larut asam dan Fe2+, maka Fe 2O3 dan Fe 3O4 bisa dihitung dengan memperhatikan masing-masing berat molekulnya. Hasil perhitungan total oksida besi yang merupakan penjumlahan kadar Fe 2O3 dan Fe3O4 diperlihatkan pada Tabel 2 di bawah ini. Hasil di bawah ini juga memperlihatkan bahwa separasi dengan menggunakan meja getar baru akan memperbaiki kadar konsentrat dengan kemiringan lebih dari 2 o, yaitu 2,5 o. Total kadar oksida besi pada konsentrat meningkat menjadi 72,1%.
Hasil perhitungan dari pengukuran dengan metode Rietveld diperlihatkan pada Tabel 3 di atas. Hasil perhitungan kadar atau komposisi senyawa konsentrat memperlihatkan kecenderungan yang sama antara metode titrimetri dan Rietveld. Komposisi senyawa magnetit lebih besar dibanding hematit. Perbedaan antara kedua metode terletak pada nilainya.
Tabel 2 Komposisi oksida besi pada konsentrat hasil pengukuran metode titrimetri. Sampel (1) A B C
Fe2O3 (%) (2) 17,6 17,2 19,1
Fe3O4 (%) (3) 47,2 47,2 53,0
Total oksida besi (%) (2) + (3) 64,8 64,4 72,1
. 3.3 Refinement pada Metode Rietvield Gbr. 1 memperlihatkan pola difraksi sinar x dari tiga jenis bijih dan konsentrat oksida besi, yaitu A, B dan CDari gambar tersebut juga m. enunjukkan keberadaan kurva observasi berupa titik-titik dan kurva kalkulasi berupa garis. Masingmasing kurva A, B dan C telah dilakukan refinenement sekitar 400 siklus. Validitas hasil refinement diperiksa melalui kurva yang disajikan pada Gbr. 2. Kurva tersebut dinamakan sebagai normal probability plot . Jika kurva tersbut linear dengan nilai kemiringan dan perpotongan dalam rentang -2 sampai 2, maka proses refinement dinyatakan valid. Gbr. 2 mengindikasikan bahwa langkah perhitungan dan perbaikan (refinement) telah dilakukan dengan baik meskipun pada bagian ujung tampak ada ketidaksempurnaan kemiringan. Tabel 3 Komposisi oksida besi pada konsentrat dari perhitungan Metode Rietveld. Sampel (1) A B C
Fe2O3 (%) (2) 21,8 21,7 23,9
Fe3O4 (%) (3) 42,9 42,6 48,3
Total oksida besi (%) (2) + (3) 64,7 64,3 72,1
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gbr. 2 Kurva perhitungan (refinement) pada sampel A, B dan C. 3.4 Perbandingan Rietvield
Komposisi
Titrimetri
dan
Gbr. 3 memperlihatkan perbandingan kadar atau komposisi senyawa hematit (Fe 2O3) dan magnetit (Fe3O4) hasil metode titrimetri dan metode Rietveld. Secara umum kedua hasil memperlihatkan bahwa kadar magnetit lebih besar dibanding hematit pada tiap-tiap sampel konsentrat. Dengan memperhatikan bahwa analisis kimia yang dilakukan sesuai standar ASTM memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi, maka hasil pengukuran dengan metode titrimetri diperlakukan sebagai acuan hasil metode Rietveld. Dari hasil perhitungan, jika dibandingkan tiap sampel A, B dan C dapat diamati bahwa untuk
103
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
hematit, kadar sampel yang diperoleh dari metode Rietveld memberikan hasil lebih tinggi dibanding metode titrimetri. Sedangkan untuk senyawa magnetit, pengukuran dengan metode rietvield memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan hasil pengukuran dengan metode titrimetri. Perbedaan pengukuran antara kedua metode (Rietveld terhadap titrimetri) pada tiap sampel untuk senyawa hematit sekitar rata-rata 25% lebih tinggi, sedangkan untuk senyawa magnetit di tiap sampel berbeda rata-rata 9.5% lebih rendah. Perbedaan hasil antara metode Rietveld dan titrimetri ini tidak terlepas dari proses pengolahan data dan iterasi penentuan luas daerah di bawah kurva pola difraksi sinar X. Keberadaan pengotor yang ada bersama senyawa yang diukur juga berkontribusi terhadap perbedaan nilai antara kedua metode itu. Hal lain yang bisa memberikan pengaruh terhadap hasil perhitungan dengan metode rietvield adalah teknik pemindaian sinar X. Waktu pencacahan yang terlalu besar bisa memberikan hasil ketidakjelasan puncak-puncak difraksi yang berdekatan. ) 100 %( dl
80 ie vt ei
60 R e d ot
Fe3O4
e M -
C A B
40 AB C
r
20 K
0
d
a
Fe2O3
a
0
20
40
60
80
100
Kadar - Metode Titrimetri (%) Gbr. 3 Perbandingan komposisi komposisi atau kadar senyawa pada tiap-tiap sampel A, B dan C antara metode rietvield dan metode titrimetri.
(Fe2O3) metode Rietveld memberikan hasil 25% lebih tinggi, sedangkan untuk magnetit (Fe3O4) memberikan nilai 9,5% lebih rendah. Ucapan Terima kasih Penulis menghaturkan terima kasih kepada Departemen Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia atas bantuan pendanaan untuk berpartisipasi dalam Seminar Nasional Nasional Metalurgi dan Material 2015. Daftar Pustaka [1]. A. Arifin, 2006, Keberadaan Sumber Bijih Besi dan Pengembangan Industri Besi Baja Indonesia, Jurnal Indonesia, Jurnal Metalurgi, vol. Metalurgi, vol. 21 no.1 Juni, pp 1-9. [2]. A.F. Gualtieri. A guided Training Exercise of Quantitative Phase Analysis Using EPGUI, Italy, Universita di Modena, http://www.ccp14.ac.uk/solution/gsas/files/exp gui_quant_gualtieri.pdf , diakses 1 Desember 2012 [3]. Z. Yongtao, H. Haibo, M. Lede, Z. Hanqian, dan Li Jinfu, 2009, Quantitative Carbide using the Rietveld Method for 2.25Cr-1Mo-0.25V steel. steel. Materials Characterization Characterization vol 60, pp 953-956. [4]. F. Guirado dan S Gali, 2006, Quantitative Rietveld Analysis of CAC Clinker Phases Using Synchrotron Radiation. Cement and Concrete Research vol. Research vol. 36, pp 2021-2032. [5]. N. Dilmac, S. Yoruk, dan S.M. Gulaboglu, 2012, Determination of reduction degree of direct reduced iron via FT-IR spectroscopy. Vibrational Spectroscopy vol Spectroscopy vol 61, pp 25-29. [6]. T.C. Santini, 2015, Application of the Rietveld refinement method for quantification of concentration in bauxite residues (alumina refining tailings), Int. tailings), Int. J. of Mineral Processing , no. 139, pp. 1-10.
4.
Kesimpulan Perbandingan dan evaluasi metode rietvield dengan metode titrimetri yang telah distandarisasi terhadap kadar atau komposisi senyawa oksida besi beberapa jenis konsentrat bijih besi sebagai produk proses separasi menggunakan meja getar menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut. 1. Metode Rietveld dapat digunakan untuk menentukan kadar atau komposisi senyawa oksida besi dalam konsentrat bijih besi dengan tingkat akurasi relatif terbatas, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti kemurnian sampel dan/atau teknik pemindaian difraksi sinar x. 2. Dibandingkan dengan analisis kimia dengan metode titrimetri, untuk senyawa hematit
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
104
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh pH dan laju aliran fluida pada flow loop system terhadap karakteristik korosi baja karbon rendah di lingkungan asam lemah Budi Agung Kurniawan, Rizqi Ilmal Yaqin Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Teknik Material dan Metalurgi, Surabaya, 60111,Indonesia
[email protected]
Abstract Corrosion phenomenon is a natural process that will always occurs on metal, especially steel as major material for industrial components and equipments. Pipeline is one of component which attacked by electrolyte or corrosive media, such as crude oil, gas or other liquid. Beside corrosive media, flow rate affect degree of corrosion as well as pH of electrolytes. Rate of corrosion can be measured by many methods. One of the method is weight loss. The purpose of this study was to analyze the influence of pH and flow rate of electrolyte to corrosion characteristics of low carbon steel in simulated environment. This study used low-carbon steel as a test coupon with variation of pH 5 and 6 and fluid velocity of 0 m/sec, 0,645 m/sec and 1,328 m/sec. Corrosion rate was obtained by Tafel test and weight loss method. Based on Tafel test and weight loss for 10 days it was found that the corrosion rate increased with the increase of flow rate and the decrease of pH value. The highest corrosion rate reached at pH 5 and flow rate of 1,328 m/sec at 0.5998 mm/year for Tafel result, and a value of 0.4353 mm/year for weight loss method. The morphology of the steel surface due to fluid flow showed a pattern which might caused by the flow of the fluid. Keywords Keywords:: f l u i d flow , v e l o c i t y , p H , c o r r o s i o n r a t e , f l o w l o o p 1.
Pendahuluan Dalam dunia industri, logam adalah material utama dalam aplikasi peralatan maupun konstruksi, sehingga faktor adanya korosi menjadikan hal yang penting untuk diperhatikan demi kelangsungan proses di industri tersebut. Korosi sendiri dapat berujung pada kerugian secara finansial pada industri yang pada akhirnya menjadikan fenomena korosi sebagai masalah yang umum bagi suatu industri. Contohnya tingkat kegagalan pada industri perpipaan di wilayah Eropa saja sebesar 0,575 per 1000km per tahunnya[1]. Baja pada dunia industri sangat umum digunakan. Umumnya pada industri minyak dan gas digunakan baja karbon rendah pada sistem perpipaan untuk mengangkut minyak dan gas pada daerah tertentu. Hal tersebut di karenakan baja karbon yang memiliki sifat mekanik yang baik dan memiliki keuletan yang baik selain itu juga harga dari baja karbon sangat murah. Namun di sisilain baja karbon rendah memiliki beberapa kelemhan yang salah satunya tidak tahan korosi[2]. Definisi korosi sendiri yaitu penurunan kualitas atau kerusakan pada suatu material karena terjadinya reaksi dengan lingkungan[3]. Mekanisme korosi pada umumnya terjadi pada suatu larutan berawal dari suatu logam yang teroksidasi dalam larutan elektrolit yang kemudian melepaskan elekron, sehingga perlu menyetimbangkan muatan yang beda pada logam itu sendiri. Logam yang melepaskan ion yang bermuatan positif di dalam elektrolit akan berikatan dengan ion bermuatan negatif dari elektrolit tersebut. Sedangkan menurut
jones sendiri korosi adalah reaksi kimia yang di hasilkan dari reaksi setengah sel yang melibatkan elektron elektron sehingga menghasilkan suatu reaksi kimia. Dari daua reaksi setenga sel terebut terdapat reaksi oksidasi dan reduksi secara berturut turut pada anoda dan katoda. Sedangkan korosi dapat tejadi jika ada tiga komponen utama dalam sel korosi, sebagai berikut:[4] 1. Logam atau material 2. Elektrolit 3. Kontak metalik Umumnya problem korosi disebabkan oleh air ,tetapi ada beberapa faktor selain air yang mempengaruhi laju korosi, diantaranya: 1. Faktor zat terlarut. Contohnya saja CH 3COOH atau asam asetat yang bersifat korosif terhadap banyak logam seperti halnya besi, magnesium, dan seng. Yang akan membentuk gas hidrogen dan garam garam asetat( disebut logam asetat). Asam asetat menghasilkan logam etanoat bila bereaksi dengan logam dan menghasilkan etanoat, air dan karbondioksida bila bereaksi dengan garam karbonat dan bikarbonat. Selain itu juga contoh pengaruh zat terlarut lainnya yaitu sulfat (SO 4) ion sulfat ini bila dalam air kan ditemukan dalam konsentrasi yang cukup tinggi dan bersifat kontaminan, dan olek bakteri SRB dulfat diubah menjadi sulfide yang korosif. Sulfat dan asam asetat sendiri banyak di temukan di minyak dan gas.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 105
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
2. Temperatur Penambahan temperature umumnya menambah laju korosi walaupun kenyataannya kelarutan oksigen akan berkurang dengan meningkatnya temperature. Apabila metal pada temperature yang tidak uniform, maka akan besar kemungkinan terbentuk korosi. 3. pH (Tingkat Keasaman) Seperti kita ketahui bahwa pada diagram pourbaix yang mempengaruhi proses korosi baja adalah potensial (volt) dan tingkat keasaman (pH). Semakin rendah pH (pH ≤ 4) maka kemungkinan logam tersebut untuk terkorosi semakin besar karena daerah logam terurai menjadi ion logam yang berada di lingkungan asam. Sedangkan pada daerah pH 410 laju korosi pada baja tidak tergantung dari pH, namun tergantung dari cepat lambatnya difussi oksigen ke permukaan logam . pada daerah asam (pH ≤ 4) deposit besi oksida terlarut pH akan menurun, dan baja kontak langsung dengan larutan. Sedangkan pada pH di atas 10, laju korosi akan berkurang sebab baja membentuk lapisan pasif di permukaannya.[5] 4. Pertumbuhan mikrobiologi Secara teoritis apabila tidak terdapat zat asam, maka laju korosi pada baja relatif lambat, namun pada kondisi-kondisi tertentu ternyata laju korosinya justru tinggi sekali. Setelah diselidiki ternyata di daerah tersebut hidup sejenis bakteri anaerobic yang hanya bertahan dalam kondisi tanpa zat asam. Bakteri ini mengubah ( reducing ) garam sulfat menjadi asam yang reaktif dan menyebabkan korosi. 5. Kecepatan aliran fluida Kecepatan aliran fluida yang tinggi diatas kecepatan kritisnya di dalam pipa berpotensi menimbulkan korosi. Kerusakan permukaan logam yang disebabkan oleh aliran fluida yang sangat deras itu yang disebut erosi. Sehingga dapat di sinyalir bahwa adanya meningkatnya kecepatan aliran fluida maka dapat meningkat pula laju korosi yang ada. Pada dasarnya sendiri aliran fluida menurut reynold number di golongkan menjadi 3. Yaitu : Aliran Laminar Aliran laminar adalah aliran fluida yang bergerak secara teratur dengan semua partikel bergerak secara sejajar sejajar Aliran Transisi Aliran transisi merupakan aliran peralihan dari aliran laminar menuju aliran turbulen Aliran Turbulen Aliran turbulen adalah aliran dimana pergerakan-pergerakan dari partikel-partikel fluida sangat tidak menentu karena mengalami percampuran serta putaran partikel antar lapisan, yang mengakibatkan
saling tukar momentum dari satu bagian fluida kebagian fluida yang lain dalam skala yang besar. Berdasarkan nilai bilangan Reynold (Re) juga dapat ditentukan jenis aliran fluida. Untuk aliran fluida di dalam pipa dengan bilangan reynold kurang dari 2000 dikategorikan sebagai aliran laminar, untuk kategori aliran transisi atau critical region mempunyai bilangan reynold sebesar 2000
Corrosion Rate (CR) =
W : berat yang hilang (mg) D : densitas dari sampel uji yang digunakan (g/cm 3) A : luas area dari sampel uji yang digunakan (cm 2) T : waktu ekspos (jam) K : konstanta faktor Sedangkan dengan metode Tafel dapat dicari dengan mengunakan bantuan grafik ekstrapolarisasi sehingga akan di dapatkan E corr dan Icorr yang nantinya akan di masukkan menggunakan rumus CR = CR : Laju Korosi (mm/year) untuk Icorr untuk Icorr (μA/cm2). K1 : 3,27 x 10 -3 mm g/ μA cm. icorr : Rapat arus saat E corr μA/cm2 (exchange current density). : density ( g/ cm 3). EW : Equivalent : Equivalent Weight (berat ekivalen) Pada penelitian Scheers tahun 1992, dibandingkan sistem simulasi pipa antara RCE dengan Flow loop loop dengan kecepatan anatara 0 sampai 220 cm/s pada media minewater (dengan kandungan terbanyak NaCl). Adanya pengaruh kecepatan aliran dan pH menyebabkan tren peningkatan laju korosi juga berbeda setiap pH nya[5]. Sedangkan Chen dkk pada tahun 1999 membandingkan system flow loop dengan jenis aliran fluida slug pada kondisi tanpa tanpa pre-corrosion dan kondisi pre-corrosion. Hasil yang di dapatkan pada kondisi pre-corrosion didapatkan bahwa pada system flow loop memiliki laju korosi yang lebih besar dengan system RCE. Sedangkan Untuk kondisi tanpa pre-corrosion dengan aliran slug menghasilkan bahwa nomor Froude yang lebih besar memiliki laju korosi yg lebih tinggi[6]. Pada penelitian Salma dan Brown yang meneliti baja API 5L X65 dan X60, sampel di korosikan dengan menggunakan mini flow loop dengan skala laboratorium dengan kecepatan 0.6 m/s sampai 6.0 m/s pada media 0.5% berat NaCl.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 106
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Hasil yang didapat adalah laju korosi meningkat dengan meningkatnya kecepatan aliran[7]. Penelitian oleh Kuburi pada tahun 2013 pada 4 sampel baja karbon di dalam larutan asam aseton CH3COCH3 dengan waktu pencelupan 96 jam dengan menggunakan flow loop dengan rentang Reynold number antara 734 sampai 3705 menunjukkan hasil bahwa meningkatnya nilai Reynold number akan meningkatkan laju korosi baja. Dalam penelitian ini juga ditemukan bentuk korosi erosi pada permukaan sampel baja[8]. Dari penelitian yang telah ditelaah di atas, maka permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pH dan kecepatan aliran fluida terhadap laju korosi baja karbon rendah serta bagaimana morfologi permukaan baja sebagai akibat proses korosi pada pH dan kecepatan aliran fluida fluida yang divariasikan.
variasi pH nya yaitu 5 dan 6. Sampel uji dicelup pada saluran pipa selama 10 hari. Pengujian P engujian Tafel T afel di lakukan dengan kupon test berdimensi sama dengan uji weight loss. Setelah diakukan pengujian weight loss, sampel uji untuk pH 5 dilakukan pengujian SEM (Scanning Electron Microscope) Microscope ) untuk menganalisa morfologi permukaan baja akibat adanya aliran pada flow loop. 3.
Hasil dan Pembahasan Hasil Pengujian Tafel pada kondisi pH 5 dan pH 6 dapat dilihat pada gambar di bawah ini
2.
Metodologi Bahan yang digunakan adalah baja komersil SPHC dengan komposisi kimia seperti pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1 Komposisi kimia baja SPHC %C 0,29 %Cr 0,48
%Si 0,34 %Al 0,93
%Mn 0,41 %P 0,02
%Cu 0,49 %S 0,04
Gambar 2. Hasil Pengujian Tafel pada pH 5
%Ni 1,99 %Fe balance
Baja di bentuk kupon dengan dimensi pxlxt yaitu 20x10x3 mm yang kemudian di celupkan pada alat flow loop dengan standar uji ASTM G01,G04, G31 dan NACE RP0775. Larutan yang digunakan adalah air ditambah dengan CH 3COOH hingga didapat pH 5 dan 6. Flow loop sendiri terdiri dari 3 pompa centrifugal untuk menaikkan air pada tangki atas. Tangki atas dan bawah di hubungkan dengan pipa berdiameter 25.4 dan 38.1 mm dimana dima na bagian atas nya sebagai area test. Bagian dari flow loop dapat di terangkan pada gambar 1
Arah aliran
Gambar 1. Alat Flow Loop Variasi kecepatan alir fluida yang digunakan adalah 0m/sec, 0.6 m/sec dan 1,328 m/sec. Sedangkan
Gambar 3. Hasil Pengujian Tafel pada pH 6 Hasil dari kurva tafel pada pH 5 dan pH 6 menunjukkan bahwa pengaruh laju aliran fluida menggeser kurva ke arah kanan dan ke atas. Semakin ke kanan kurva, semakin besar harga i corr , menunjukkan semakin besar laju korosi baja dengan bertambahnya laju aliran. Pada gambar 2 dan gambar 3 terlihat kesamaan yaitu adanya laju aliran menggeser reaksi elektrokimia menjadi lebih anodic, artinya reaksi pada baja lebih dominan dibanding reaksi pada elektrolit. Terlihat juga bahwa rentang antar kurva sangat jauh sehingga dapat di identifikasi bahwa laju aliran mempengaruhi reaksi korosi secara signifikan. Tabel 2 memperlihatkan keadaan dimana pada pH 5 dengan adanya variasi laju aliran mempunyai laju korosi lebih tinggi dibandingkan dengan pH 6. Hal ini dapat dipahami dimana faktor konsentrasi ion H + yang lebih besar pada pH 5 menyebabkan elektrolit lebih aktif jika dibandingkan pada pH 6. Selain itu peningkatan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 107
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
laju korosi (CR) pada pH 5 menunjukkan angka sebesar 0,2 mm/year untuk setiap kenaikan laju aliran sedangkan pada pada pH 6 mempunyai peningkatan laju korosi ( CR) berkisar 0,05 mm/year. Hal tersebut menandakan bahwa adanya peningkatan kecepatan laju aliran mempengaruhi karakteristik laju korosi. Pernyataan tersebut sama halnya yang sudah di teliti oleh Kuburi dkk [8]. Tabel 2 Hasil Pengujian Tafel pada pH 5 dan pH 6 pH
Kecepatan (m/s) 0 0,645 1,328 0 0,645 1,328
5
6
Icorr (µA /cm2) 10,290 32,548 51,614 3,653 11,720 16,170
CR (mm/year) 0,1196 0,3782 0,5998 0,0425 0,1362 0,1879
Pada tabel 3 terlihat adanya trend hasil laju korosi yang dapat di identifikasi bahwa adanya pengaruh pH dan laju aliran fluida terhadap laju korosi yang di hasilkan.
tinggi pula laju korosi yang akan di dapat. Terlihat pada tabel 3, pH 5 dengan laju aliran 1,328 m/s mempunyai laju korosi paling tinggi yaitu sebesar 0,4353 mm/year. Menurut Salama dan Brown, adanya pengaruh fluida menyebabkan meningkatnya laju korosi, dikarenakan laju diffusi juga naik ketika laju aliran yang berubah [7]. Sedangkan menurut ASM handbook, pada rentang pH 4-10 pengaruh terhadap laju korosi baja (Fe) dikarenakan cepat lambatnya difusi oksigen ke permukaan logam. Hasil yang diperoleh pada pengujian Tafel dan pengujian weight loss menunjukkan pola yang sama, dimana kenaikan laju aliran dan penurunan pH menghasilkan kenaikan laju korosi baja. Namun demikian hasil yang diperoleh pada tiap-tiap parameter tidak identik atau persis sama. Hal ini disebabkan faktor pengaruh waktu pengambilan data, di mana pengujian tafel dilakukan pada hari yang sama dengan awal pencelupan. Sedangkan untuk weight loss sendiri proses pengujiannya memakan waktu 10 hari sebelum didapatkan laju korosinya.
Tabel 3 Hasil pengujian Weight Loss pada pH 5 dan pH 6 pH
Kece patan (m/s)
0
5
0.645
1.328
6
0
0,645
1,328
Spesi men
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Laju Korosi (mm/year) 0.0939 0.1012 0.0995 0.1047 0.3539 0.3291 0.2901 0.2646 0.4769 0.4170 0.4383 0.4088 0.0667 0.0583 0.0665 0.0567 0.1267 0.1331 0.1523 0.1227 0.2649 0.2474 0.2315 0.2230
Rata-rata Laju Korosi
0.0998
0.3094 Gambar 4 distribusi laju korosi hasil pengujian Tafel (0 hari) dan weight loss (10 hari) 0.4353
0,062
0,1337
0,2417
Semakin meningkatnya laju aliran dan semakin rendahnya tingkat keasaman atau pH maka semakin
Gambar 4 di atas menunjukkan nilai laju korosi pada 0 hari dan pada 10 hari, yang di dapat dari pengujian Tafel dan weight loss. Dari gambar tersebut, Nampak bahwa pada pH 5, laju korosi pada keadaan awal lebih tinggi jika dibandingkan dengan setelah 10 hari. Hal ini berlaku untuk se mua laju aliran. Fenomena yang berbeda Nampak pada pH 6 dimana laju korosi pada 10 hari justru lebih tinggi dibandingkan keadaan awal. Hal ini bisa jadi disebabkan lambatnya reaksi di dalam larutan, sehingga baru bisa stabil setelah perendaman dilakukan lebih dari satu hari. Gambar 5 menunjukkan foto morfologi permukaan baja SPHC dengan pH 5 yang dapat di lihat adanya pola arah aliran yang berbentuk porous yang mengarah ke kanan. Hal tersebut di karenakan pengaruh aliran fluida sehingga bisa menimbulkan bentuk dari permukaan baja tersebut. Aliran fluida khususnya aliran turbulent yang ada menimbulkan gaya geser pada dinding logam sehingga yang
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 108
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
mengakibatkan adanya perpindahan massa pada dinding logam.
[1]
[2]
[3] [4]
[5]
[6]
[7]
[8]
Gambar 5. Hasil pengujian SEM baja SPHC pada kondisi pH dengan kecepatan 1,328 m/s dengan perbesaran 400x (gambar atas) dan 1000x (gambar bawah)
[9]
[10] 4.
Kesimpulan pH dan laju aliran sangat mempengaruhi karakteristik korosi, semakin tinggi laju aliran dan semakin rendah pH maka laju korosi baja meningkat. Pada pH yang semain tinggi, reaksi elektrokimia berlangsung lebih lambat, mengakibatkan laju korosi yang semakin tinggi pada perendaman dalam waktu yang lebih lama. Laju aliran dapat mengubah permukaan baja karbon rendah dengan membentuk pola korosi yang searah dengan aliran fluida.
Morgan, B. 1995. The importance of realistic representation of design features in the risk assessment of high-pressure gas pipeline. Proceedings 5 th International Conference and Exhibition Pipeline Reliability, Reliability, Houston, Texas. Ostovari, et al. 2009. Corrosion Inhibition of Mild Steel in 1 M HCl solution” by Henna Extract : A comparative study of the inhibition by henna and its constituents (Lawsone, Gallic acid, alpha-D-Glucose and Tannic acid), Corrosion Science, Science, 51(9):19351949. Fontana, M.G.1986. Corrosion Engineering, 3rd ed ., ., New York: Mc Graw Hill Company. Jones, Denny. 1992. Principles and Prevention of Corrosion. Corrosion. New York: Macmillan Publishing Company Scheers, P.V., Kincer. M.U.. Rumpf, T., and McEwan, J.J., 1992, Corrosion resistance of intermediate chromium-alloy steels in mine waters. INFACON 6. Proceedings of the 1 st International Chromium Steel and Alloys Congress, Cape Town. Town . Volume 2. Johannesburg SAIMM, pp. 173-178 Chen, Y., Hong, T., Gopal, M., Jepson, W.P., 2000, EIS studies of a corrosion inhibitor behavior under multiphase flow conditions, Corrosion Science 42, 42 , 979-990 Salama, M.M., Brown, B.N., 2009, A Study of factors affecting CO 2 corrosion and inhibitor effectiveness using a multi-phase flowloop, NACE Corrosion Conference and Expo Kuburi, L.S. et al. 2013. Investigation Of inhibitor performance on corrosion rate of low carbon steel under flow condition, World Journal of Engineering and Physical Sciences Vol. 1 (2), pp. 026-028 _____ASM Handbook Vol. 13.2003. Corrosion : Fundamentals, Testing, and Protection. Protection. ASM Internasional. Dugstad A. 2006. Corrosion testing in multiphase flow, challenges and limitations, NACE Corrosion Expo, Expo, Texas
Daftar Pustaka Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 109
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Sintesis Pertumbuhan Kristal Aluminium Nitrida (AlN) Terhadap Massa Serbuk Aluminium dan Waktu Sputtering dengan Metode VaporLiquid-Solid (VLS) Ice Trianiza, Diah Susanti*, Haryati Purwaningsih, Haniffudin Nurdiansyah Institut Institut Teknologi Teknologi Sepuluh Sepuluh Novembe NovemberSurabay rSurabaya, a, Jurusan Teknik Teknik Material Material dan Metalurgi Metalurgi,, Surabaya Surabaya 60111, Indonesia Indonesia Email:
[email protected] [email protected]
Abstract We report the growth process of Aluminium Nitride (AlN) by using SiO 2 as substrate, substrate, and suggest an alternative vapor – liquid liquid – solid mechanism The calcination process for the formation formation of the phase of AlN was performed at 1100°C. To indentify the properties of AlN, the X-Ray Diffraction (XRD) and Scanning Electron Electron Microscope Microscope (SEM) need to be employed. employed. Based on XRD analysis result, it can be seen that the phase of aluminium nitride have high peak 69,76 o. According to SEM micrograph, it can be seen that the morphology of particles has a shape resemble to the morphology of nanoparticles, which is the effect of mixing at high time sputttering. the as-grown nanomaterial were investigated by scanning electron microscopy, FTIR and X-ray diffraction, showing that nanomaterial grown older time sputtering and lees than mass have good crystalline quality and small surface roughness . Keywords Aluminium Nitride, VLS, Sputtering.
I. Pendahuluan Aluminium nitride
(AlN) merupakan senyawa semikonduktor golongan III-Nitrid yang mempunyai sifat elektronik dan fotonik dengan stabilitas termal dan kimia yang baik, celah pita energi dengan lebar (6,015 eV) pada suhu kamar, konduktivitas thermal yang tinggi (285 W/m-K) dan hambatan listrik yang tinggi (>1014 cm) [2]. Keunggulan AlN dibandingkan dengan dari senyawa golongan lain dapat dilihat pada table 1. Hal demikian demiki an membuat material ini sangat memungkinkan untuk dibuat device optoelektronics dalam pita energi yang lebar. Secara khusus, AlN mempunyai banyak aplikasi yang menarik seperti pada solar sel, pelapis konduktif transparan, sensor gas, semikonduktor serta material material elektro dan fotoluminesen [1] Salah satu metode penumbuhan kristal yang sering dilakukan adalah dengan metode Vapor Liquid-Solid (VLS) yaitu suatu mekanisme pertumbuhan struktur 1 dimensi dengan menggunakan fasa liquid sebagai katalis untuk mempercepat adsorbsi material dengan sumber fasa uap ke permukaan fasa liquid solid yang
mana dalam beberapa tahun terakhir menjadi acuan peneliti sebagai metode penumbuhan kristal [3] . Dari berbagai publikasi mengenai sintesis AlN berstruktur nano 1-dimensi, belum ada publikasi yang melaporkan suatu metoda yang dapat mengontrol keseragaman ukuran, ikatan molekul dan orientasi kristal berukuran nano dari AlN. Berdasarkan pemaparan di atas, maka pada penelitian ini dilakukan sintesis nanowire AlN menggunakan metoda VLS ( Vapor-LiquidSolid ) pada suhu relatif rendah dengan variasi massa serbuk aluminum dan waktu sputtering menggunakan SiO 2 sebagai substrat.. Dari penelitian ini diharapkan dihasilkan Nanoapartikel AlN dengan ukuran dan orientasi yang lebih baik sehingga berpotensi sebagai material nanodevice optoelektronik seperti sensor, LED dll.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 110
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Tabel 1 Parameter fisik dari senyawa AlN, GaN dan InN [3]
2. Metode
Pada penelitian ini digunakan variable massa serbuk aluminium dan waktu sputtering dengan alat dan bahan serbuk aluminium, gas Nitrogen, gas Argon, combustion boat, Mass flow Cotroller , diamond cutting tools. 2.1 Preparasi alat dan bahan
Proses awal untuk preparasi variabel pengaruh massa aluminum serbuk dan perbedaan perbedaa n waktu pada proses sputtering adalah serbuk aluminium ditimbang dengan ukuran 0,05 gr, 0,07 gr, dan 0,1 gr ukuran massa diperoleh dari neraca analitik merek mettler Toledo dengan bantuan kaca arloji dan spatula. Selanjutnya substrat SiO2 dipotong menggunakan diamond cutting Tools dengan ukuran 1x2 cm. 2.2 Proses perlakuan sputtering Pd/Au
Substrat yang digunakan yaitu SiO2 yang disputter Pd/Au sebagai sebagai perekat antara susbstrat dan SiO2 . Digunakan variasi waktu 15 menit, 30 menit, dan 45 menit. Setelah di lakukan sputtering substrat diletakan di atas combustion boat dengan sebanyak 2 sampel dengan jarak ± 3mm yang sudah berisi serbuk Aluminium 2.3 Proses Kalsinasi dengan Metode VLS
Setelah preparasi serbuk Aluminium dan substrat SiO2 yang ditempatkan di combustion boat selesai, proses berikutnya adalah memasukkan combustion boat kedalam tube furnace horizontal. Agar nantinya prekursor mengalami pemanasan sempurna, posisi combustion boat harus diletakkan di tengah tube. Untuk mencegah pengotor lingkungan ikut bereaksi pada metode Vapor-Liquid-Solid ini maka dilakukan pemvakuman terlebih dahulu terhadap udara di dalam tube. Menggunakan pompa merek Vakumbrand udara dihisap keluar tube sampai tekanan mencapai kurang lebih -70
cm/hg selama 30 menit. Kemudian dialirkan menggunakan Mass Flow Controller (MFC). Pada tahap ini pompa vakum tetap dihidupkan untuk menjaga sirkulasi udara, namun dengan daya hisap yang sangat rendah agar tube tidak tervakum kembali. Pada proses pemanasan menggunakan furnace horisontal bertujuan untuk menghasilkan tempat tinggi mencapai titik uap prekursor dan agar sistem dapat divakum. Pengaturan yang dibutuhkan pada proses pemanasan ini antara lain adalah rate temp sebebsar 30 oC/menit yang dimulai dari temperatur kamar hingga variabel puncak sebebsar 1100 oC dengan waktu tahan selama 40 menit. Pada proses ini gas Nitrogen (N2) yang telah diatur sebelumnya sebesar 1,5 slpm. . Adapun campuran gas Nitrogen dan Oksigen ini bertujuan untuk mulai mengoksidasi prekursor yang meleleh. Saat temperatur o mencapai 1100 C, Prekursor di dalam boat secara bertahap mengalami pnguapan dan mulai berikatan sepenuhnya dengan Oksigen (O 2). Pertumbuhan dalam lingkungan oksigen diharapkan menghasilkan struktur kristal yang baik dan memiliki karakteristik sesuai yang diharapkan. Material yang didapatkan kemudian akan dikarakterisasi menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM), SEM-EDX dan ( Fourier Fourier Transform Infrared Spetrophotometry ) FTIR . 3 Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil Pengujian XRD
Pengujian
XRD
dilakukan
menggunakan
Phillips X’Pert MPD System dengan meletakkan
hasil substrat SiO2 dengan AlN yang telah di kalsinasi pada temperatur 1100 oC. Pengukuran difraksi sinar-X dilakukan pada rentang sudut 1090o dan menggunakan panjang gelombang CuKα sebesar 1.54056Å. Berdasarkan tampilan kurva dan data puncak pada tabel, diambil range puncak yang terbentuk yakni antara 2θ 10o- 80o yang mengacu pada data dimiliki JCPDF 00025-1133, adalah puncak tertinggi dengan kemurnian 100% pada puncak 69,76 o. hasil dari XRD dari semua variable menunjukkan kesesuaian di peak yang sama
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 111
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 1 Pola difraksi Kristal Sputtering 15 menit rentang 30-40o
Gambar 3 Pola difraksi Kristal Sputtering 45 menit rentang 30-40o
Hal ini dapat dilihat dari intensitas yang di memiliki perbedaan puncak nya. Yang mana semakin tinggi intensitas maka kristal yang terbentuk semakin besar. Pada gambar gambar 3 dapat dilihat sputtering 45 menit massa massa 0,05 gr yang yang memilik puncak Kristal lebih dari 400000 count/detik. Identifikasi tinggi puncak yang berbeda ini juga memunjukkan hamburan tak koheren saat terkena sinar-x pada proses pengujiannya. 3.2 Hasil Pengujian FTIR
Gambar 2 Pola d ifraksi Kristal Sputtering 30 menit rentang 30-40o
Pada pembandingan tiga kurva tersebut menunjukkan adanya peningkatan tinggi kurva pada puncak difraksi pada tiap-tiap variasi sputtering yang ditunjukkan pada gambar 1, gambar 2 dan gambar 3.
FTIR merupakan pengujian untuk mengetahui gugus senyawa dan ikatan molekul yang terdapat pada suatu material senyawa organik. Sedangkan untuk senyawa anorganik dapat terlihat sifat optis pada senyawa yang di uji dapat dilihat pada rentang 600-1000 cm -1. Untuk peak lain diluar rentang tersebut bisa dikategorikan sebagai peak substrat maupun senyawa lain. Pada gambar gambar di dapatkan hasil FTIR pada rentang 500-4000 cm -1 dengan peak yang melebar dan transmitansi berbeda di atas 70% di setiap variabel nya. Hal ini bisa dibandingkan pada gambar 4, gambar 5, dan gambar 6 . hal ini menadakan ada material lain di rentang tertentu seperti SiO2 di rentang 900-2357 cm-1 sedangkan C-O di rentang 1628-1630 cm -1[5].
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 112
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 4 Posisi IR Transmitansi Sputtering 15 menit rentang 500-4000 cm-1
Pada grafik FTIR gambar 4 dan gambar 5 peak terbanyak di dapatkan pada massa 0,05gr dalam rentang 500-4000 cm-1 dapat diidentifikasi bahwa peak yang muncul pada gambar 4 termasuk golongan AlN dan SIO 2
Gambar 5 Posisi IR Transmitansi Sputtering 30 menit rentang 500-4000 cm-1
Gambar 6 Posisi IR Tran smitansi Sputtering 45 menit rentang 500-4000 cm-1
Puncak dan transmittansi tertinggi ada pada sputtering 45 menit dengan massa 0,05 gr pada gambar 6 yang memiliki 8 puncak yang berbeda-beda di rentang 500-4000 cm1 senyawa yang yang muncul pun bisa di identifikasi AlN dan Si02. Hasil yang di dapatkan pada karakterisasi ini menunjukkan bahwa senyawa AlN memilik puncak di antara 600-800 cm-1. Hal ini menunjukkan AlN berada pada zona TO ( transverse Optic ) yang mana dapat di kategorika AlN memiliki gelombang transversal. Adapun hal ini dapat di manfaatkan sebagai gelombang elektromagnetik cahaya tampak sehingga material ini berpotensi sebagai device optoelectronic semisal lampu LED terlebih transmitansi pada pengujian ini berada pada rentang 75-100% dengan hasill tertinggi 98,5% di waktu waktu sputtering sputtering 45 menit. Selain zona transversal dari sisi optis juga dapat d identifikasi zona LO (longitudinal Optic) pada panjang 900-1000 cm-1 .[5] Tetapi, dari pengujian FTIR senyawa peak yang di dapat pada AlN tidak di temukan di panjang tersebut sehingga tidak bisa di kategotrikan memilik gelombang longitudinal. 3.3 Hasil Pengujian SEM
Substrat yang telah dilakukan proses furnace dengan variasi waktu sputter 15, 30, dan 45 menit dilakukan pengamatan morfologi dengan menggunakan Scanning Electron Microscope(SEM) FEI Inspect S50.pada Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 113
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
gambar 7, gambar 8, dan gambar 9 di variable yang berbeda hasil SEM menunujukkan morfologi pertumbuhan yang semakin linear pada perbesaran 20.000x dan 25.000x Seperti ditunjukkan pada Gambar 10 nampak bahwa masing-masing morfologi AlN sudah mengalami pertumbuhan nanopartikel dengan ukuran yang berbeda-beda di perbesaran 30000x, dan di perbesaran yang lebih kecil lagi berbentuk butiran berupa serpihan (flakes). Tiap-tiap kenaikan waktu sputtering lebih terlihat morfologi pembentukannya berupa serabut yang memanjang pada. Pada gambar 7a posisi morfologi terbaik di dapat pada massa Al 0,05 gram yang mengindikasikan pembentukan ALN dengan massa yang lebih ringan memudahkan pertumbuhan Kristal pada substrat. Perbedaan terjadi pada waktu sputtering, terlihat pada gambar 7a pengukuran morfologi nanopartikel berada pada ukuran 100-200 nm dengan persebaran yang tidak terlalu rapat di banding dengan gambar 7a pada waktu sputtering 30 menit yang memiliki ukuran morfologi sekitar 300-400nm lebih panjang dari sebelumnya.
Gambar 8 Hasil SEM Sputtering 30 menit perbesaran 20.000x dan 25.000x
Gambar 9 Hasil SEM Sputtering 45 menit perbesaran 20.000x dan 25.000x
Gambar 7 Hasil SEM Sputtering 15 menit perbesaran 20.000x dan 25.000x
Sedangkan hasil yang lebih baik diperlihatkan pada waktu sputtering 45 menit yang memilik panjang morfologi > 600nm dengan pertumbuhan nanopartikel yang lebih banyak dan rapat. Hal ini Hal tersebut memperlihatkan bahwa energi yang diberikan melalui proses VLS sudah mampu merubah bentuk dan ukuran AL dan Nitrogen menjadi nanopartikel AlN dan perbedaan ukuran pada waktu sputtering di sebabkan ikatan kimia pada substrat yang sebelumnya di sputter Pd/Au pada waktu tertentu sehingga Al yang menempel bisa tumbuh lebih lama.
Gambar 10 Hasil Pengukuran SEM tiap waktu sputtering
Hasil lainnya bisa dilihat lagi dengan menggunakan SEM EDX untuk menegetahui persen berat senyawa yang ada pada substrat pada gambar 11 dapat dilihat hasil SEM-EDX pada waktu sputtering sputter ing 45 menit dengan massa 0,05 gram unsur- unsur yang teridentifikasi
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 114
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
pada ALN diantaranya Si, O, Al dan N pada kulit K dengan persen berat masing – masing masing Si 22,51% , Al 33,69%, O 42,39% dan N 1,45%
[2]
467:331:334 Nilesh, S., Nawale , H., Rupesh, M., Vedavati M.,dan Sudha V.,(2011). “Understanding The Growth of Micro
and Nano-crystalline AlN by thermal plasma process”. Journal of Crystal Growth, 339:36-45
[3]
Taniyasu,
M.
Kasu,
and
T.
Makimoto,(2006). “Aluminum Nitride
[4] [5]
Deepultraviolet Light-emitting Diodes,” NTT Technical Review, Vol. 4,No. 12, pp. 54 – 58. 58. Pratapa S. (2004). “Prinsip-prinsip dan Implementasi Metode Rietveld untuk Analisis Data Difraksi”. Surabaya:ITS Shi, Zhongqi Shi (2014). “Combustion
synthesis of AlN nanowhiskers with different metallic catalysts” Journal of
Crystal Growth, 323:286-289. Gambar 11 Hasil SEM-EDX pada AlN sputtering 45 menit
masing-masing variabel memper-lihatkan panjang dengan arah pertumbuhan yang sama dan arah pertumbuhan tersebut searah sumbu ordinat (vertikal. Dan juga berdasar hasil penelitian yang memperlihatkan struktur morfologi AlN memiliki kesesuaian dengan jurnal yang pernah di teliti [4]. 4
Kesimpulan
Dari hasil proses penumbuhan Kristal AlN ini didapatkan bahwa material ALN berbentuk nanopartkel yang semakin lama waktu sputtering menghasilkan nanopartikel dengan ukuran yang semakin baik. Selain itu massa yang digunakan dalam proses sintesis Kristal AlN juga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan panjang nanopartikel, dari sisi optik di dapatkan material optik di rentang gelombang transversal yang bisa di identifikasi pemanfaatannya untuk gelombang elektromagnetik pada cahaya tampak sehingga AlN yang dihasilkan memiliki potensi untuk device optoelectronic seperti LED maupun sensor. Daftar Pustaka
[1]
Jeong, H., Park, T.E., Seong, H.K., Kim, M., Kim, U., dan Choi, H.J. (2009). “Growth kinetics of silicon nanowires by
platinum
assisted
vapour-liquid-solid
mechanism”. Chemical Physics Letters, Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 115
Prosiding Prosiding Se Seminar N asional asional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Sintesis Aluminium Nitrid melalui Metode Vapor-Liquid-Solid (VLS) dengan Variasi (VLS) Temperatur dan Waktu Proses Mavindra Ramadhani, Diah Susanti*, Hariyati Purwaningsih, Haniffudin Nurdiansah Institut Teknologi Teknologi Sepuluh Sepuluh Nopember Nopember Surabaya, Surabaya, Jurusan Jurusan Teknik Teknik Material Material dan dan Metalurgi, Metalurgi, Surabaya, Surabaya, 60111, 60111, Indonesia. email :
[email protected] [email protected] c.id
Abstract Aluminum is a lightweight metal having some interesting properties and extensive utilizations. Aluminum metal can be bonded to form a compound of nitrogen and become Aluminum Nitride (AlN). AlN is a semiconductor material having several properties characteristics, such as: high bandgap energy, low dielectric constant, high thermal conductivity, high electrical resistivity, and low thermal expansion coefficient. AlN substrate material is widely applied as electronics, IC packaging materials, excessive heat sink device, and field emission devices. There have been some methods to synthesize AlN, such as: Vapor-Liquid-Solid (VLS), MOCVD and reactive sputtering. The study in order to managed to grow of AlN with Vapor-Liquid-Solid (VLS) methods at a temperature of 1300°C with rate of 10°C/min and using nitrogen gas. The recent study, used a variation of temperature, that is 1000°C, 1100°C, 1200°C and holding time varied that is 30 minutes, 40 minutes and 50 minutes. The material used is aluminum powder and SiO 2 substrate. Counter electrode Pd/Au is used for sputtering on SiO 2 substrate material for 30 minutes. The flow of gas used is argon gas and nitrogen gas. XRD result shows that AlN 100% in peak 33,216 o and SEM shows the homogeneity nanomaterial of AlN. Transmittance of FTIR proves itself to be a very convenient technique for the fast evaluation of AlN films for their application in LED devices. Keywords : : AlN, VLS, SiO2 , sputtering, LED.
1.
Pendahuluan Aluminium adalah logam yang mempunyai sifat ringan dan pemanfaatannya yang luas. Selain ringan, aluminium juga memiliki kelebihan lain, seperti penghantar panas yang baik. Penggunaan logam aluminium sebagai material logam setiap tahunnya menempati urutan kedua setelah besi dan baja, yang tertinggi di antara logam non-ferrous. non-ferrous. Penggunaan material aluminium sangat luas, bukan saja untuk peralatan rumah tangga, tetapi juga dipakai untuk keperluan material pesawat terbang, mobil, kapal laut dan konstruksi. [1] AlN adalah semikonduktor dari kelompok III nitrida dengan band gap tertinggi, yaitu sekitar 6,2 eV. AlN merupakan salah satu material keramik yang memiliki beberapa sifat yang menjanjikan, seperti resistivitas elektrik yang tinggi (10 13 Ωcm), konstanta dielektrik yang rendah (8,8 sampai 1 MHz), konduktivitas termal tinggi (320 W/m-K), dan koefisien ekspansi termal yang rendah, yang hampir mendekati sifat silicon 4,7 x 10 -6 K -1. Proses pertumbuhan AlN memerlukan aliran gas nitrogen yang direaksikan dengan serbuk aluminium. Sistem aliran gas dirancang agar memungkinkan penggunaan gas tunggal (N 2) dengan laju aliran yang terukur. Untuk rancangan ini digunakan digunakan kontrol dan pengukuran aliran aliran gas
dari tabung gas menuju ruang Horizonal Furnace dengan menggunakan flow-meter . Gas nitrogen yang keluar dari tabung menuju Horizontal Furnace dirancang Furnace dirancang dengan sambungan pipa. Produk AlN dapat ditumbuhkan pada temperatur 1300 oC dengan rate 10oC/min, menggunakan teknik Vapor Liquid Solid (VLS) (VLS) dan menggunakan aliran gas nitrogen (Zhang dkk, 2010). Metode VLS dapat menumbuhkan nanostruktur AlN di atas substrat silikon menggunakan serbuk aluminium dan kalsium florida dengan rasio massa 1:1 selama 45 menit. Metode ini merupakan salah satu metode atau teknik yang digunakan untuk melakukan proses deposisi lapisan secara kimia dan metode VLS adalah cara yang tepat untuk menumbuhkan serat AlN. Dari berbagai penulisan ilmiah mengenai sintesis pertumbuhan AlN, belum ada penelitian yang membahas tentang pengaruh variasi temperatur dan waktu tahan terhadap pertumbuhan kristal AlN. Pada penelitian kali ini, digunakan variasi temperatur dibawah temperatur kerja yang digunakan oleh Zhang, dkk. Diharapkan dengan variabel temperatur dan waktu tahan, mampu menghasilkan senyawa AlN dengan tingkat pengotor yang rendah dan homogenitas homogenitas yang tinggi.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 116
Prosiding Prosiding Se Seminar N asional asional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
2.
Metodologi dan Penelitian
2.1 Sintesa Silikon Oksida Material SiO2 sebagai substrat dari pertumbuhan aluminium nitrida (AlN). Material SiO2 dipotong dengan ukuran 1 cm x 2 cm menggunakan diamond cutting tools. Dalam proses pemotongannya, harus menggunakan sarung tangan, agar spesimen tetap steril. Selanjutnya, material SiO2 dicuci dengan ethanol dan aseton, dikeringkan, kemudian disimpan dalam wadah tertutup.
intensitasnya. Semakin lama holding time, maka intensitasnya semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa, proses kristalisasi material semakin terbentuk. Senyawa AlN yang terbentuk pada puncak 2=69,450 sebesar 100%. al ini dapat dilihat pada Gambar 1. Proses pembentukan senyawa AlN dipengaruhi oleh holding time. time. Semakin lama holding time, maka akan semakin terbentuk kristal senyawa AlN.
2.2 Preparasi Serbuk Aluminium Serbuk aluminium ditimbang dengan neraca digital Mettler Toledo. Aluminium serbuk dengan kemurnian 90% ditimbang sebesar 0,15 gram. Kemudian disimpan dalam wadah tertutup. tertutup. 2.3 Sputtering Pd/Au Menggunakan alat sputtering Pd/Au untuk katalis pertumbuhan AlN yang merata pada substrat SiO2 selama 30 menit. Variabel waktu bisa digunakan dalam alat sputtering, antara lain 1 menit atau 2 menit, tergantung pada kebutuhan. Fungsi dari sputtering Pd/Au untuk memberi lapisan pada substrat SiO2 agar serbuk aluminium dan gas nitrogen bisa menempel dan tumbuh sebagai nanowire aluminium nitrida. 2.4 Combustion Boat dan Horizontal dan Horizontal Furnace Serbuk aluminium yang sudah ditimbang dan material substrat SiO 2 diletakkan di combustion boat kemudian dimasukkan ke dalam horizontal furnace. Di dalam horizontal furnace, mengalami proses vakum selama 15 menit. Alat diatur dengan kenaikan 10 ◦C/min dan dialiri gas argon sampai temperatur 400 oC. Ketika mencapai temperatur 400◦ 400◦C, aliran gas argon dihentikan dan diganti dengan gas nitrogen ni trogen sampai temperatur 1000◦ C, 1100◦C 1100◦C dan 1200◦C, dengan variabel waktu tahan yang berbeda-beda untuk setiap temperatur, yaitu 30 menit, 40 menit dan 50 menit 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil Pengujian XRD Pengamatan difraksi sinar x bertujuan untuk mengetahui fasa yang terbentuk dan dilakukan pada interval sudut 2 Gambar 1 merupakan pola grafik XRD setelah proses kalsinasi pada temperatur 1000 oC dengan variasi holding time 30, 40 dan 50 menit, didapatkan peak pada 2=69,45034o. Pada holding time 30 menit, intensitas yang terbentuk sebesar 35.229, sedangkan pada holding time 40 menit sebesar 70.345. Untuk holding time 50 menit, intensitas yang terbentuk sebesar 434.410. Dari 3 grafik tersebut, terdapat perbedaan pada nilai
Gambar 1. Pola grafik XRD pada temperatur 1000oC dengan holding time 30, time 30, 40 dan 50 menit. Pada Gambar 2 menunjukkan grafik XRD pada temperatur 1100 oC dengan variabel holding time yang berbeda, yaitu 30, 40 dan 50 menit. Grafik ini menunjukkan bahwa, semakin lama holding time, maka semakin terbentuk senyawa AlN. Peak yang terbentuk pada 2 =69,45034o menunjukkan presentasi senyawa AlN sebesar 100%.
Gambar 2. Pola grafik XRD p ada temperatur 1100oC dengan holding time 30, time 30, 40 dan 50 menit. Gambar 3 menunjukkan pola grafik XRD pada temperatur 1200 oC dengan variabel holding time 30, 40 dan 50 menit. Grafik tersebut
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 117
Prosiding Prosiding Se Seminar N asional asional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
menunjukkan bahwa, semakin lama holding time, time, maka intensitas yang terbentuk akan semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa, kristalisasi material AlN semakin terbentuk. Pada o 2=69,18296 merupakan peak tertinggi dengan intensitas yang berbeda. Semakin lama holding time, maka intensitas yang dihasilkan semakin tinggi.
Gambar 4. Hasil pengamatan SEM pada temperatur 1000oC dengan holding time (a). 30 menit, (b) 40 menit dan (c) 50 menit.
Gambar 3. Pola grafik XRD pada temperatur 1200oC dengan holding time 30, time 30, 40 dan 50 menit.
Gambar 5 merupakan hasil SEM AlN pada temperatur 1100 oC dengan variabel holding time 30, 40 dan 50 menit. Terlihat bahwa, semakin lama holding time yang dibutuhkan, maka senyawa AlN semakin terbentuk. Pada holding time time 30 menit, sudah mulai terlihat proses pembentukan nano material. Pada holding time 40 terlihat jelas dan semakin jelas terlihat pada holding time 50 time 50 menit.
3.2 Hasil Pengujian SEM Pengamatan senyawa AlN dilanjutkan dengan pengujian SEM. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui morfologi dari senyawa AlN yang terbentuk. Gambar 4 menunjukkan morfologi yang terbentuk ketika holding time time 30, 40 dan 50 menit pada temperatur 1000 oC dengan perbesaran 25000x. Terlihat pada holding time 30 menit, mulai muncul noktah kecil-kecil, yang menunjukkan bahwa proses kristalisasi nanomaterial dari AlN mulai terbentuk. Pada gambar 4 (b), dengan holding time selama 40 menit, nano material sudah mulai terbentuk. Sedangkan pada gambar 4.(c) dengan holding time 50 menit, nano material terlihat semakin jelas dan persebaran yang merata. Hal ini menjelaskan bahwa holding time mempengaruhi proses pembentukan nano material.
Gambar 5. Hasil pengamatan SEM pada temperatur 1100oC dengan holding time (a). 30 menit, (b). 40 menit dan (c). 50 menit Pada Gambar 6, senyawa AlN semakin terbentuk sempurna seiring dengan lamanya holding time yang diperlukan ketika di dalam horizontal furnace. furnace. Dapat dilihat, dengan perbesaran SEM 25.000 kali, se makin lama holding time, time, maka semakin terbentuk partikel nano Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 118
Prosiding Prosiding Se Seminar N asional asional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
material.
temperatur 1100 oC dengan variasi holding time time 30, 40 dan 50 menit. Dapat dilihat pada grafik, semakin lama holding time, makan nilai transmitansi juga semakin tinggi, yaitu sebesar 99%. Hal ini juga ditunjukkan adanya peak pada peak pada wavenumber 687.49, 630.49 dan 628.49.
Gambar 6. Hasil pengamatan SEM pada temperatur 1200oC dengan holding time (a). 30 menit, (b). 40 menit dan (c). 50 menit 3.3 Hasil pengujian FTIR Tujuan pengujian FTIR adalah untuk mengetahui hubungan senyawa AlN dengan aplikasi AlN pada lampu LED ( Light ( Light Emitted Diode). Diode). Dalam penelitian ini, spektra dari grafik FTIR menunjukkan karakteristik yang berbeda. Gambar 7 menunjukkan bahwa, pada temperatur 1000oC dengan holding time semakin lama, menunjukkan nilai transmitasi yang semakin tinggi. Berlaku juga sebaliknya, holding time semakin cepat, maka nilai transmitasi juga semakin kecil.
Gambar 7. Hasil pengujian FTIR pada temperatur 1000oC dengan holding time (a). 30 menit, (b). 40 menit dan (c). 50 menit. Gambar 8 menunjukkan spektra FTIR pada
Gambar 8. Hasil pengujian FTIR pada temperatur 1100oC dengan holding time (a). 30 menit, (b). 40 menit dan (c). 50 menit. Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa spektra FTIR pada temperatur 1200 oC, semakin lama holding time yang diperlukan, maka hasil transmitansi juga semakin tinggi. Berlaku pula sebaliknya, apabila holding time kecil, maka nilai transmitansi juga semakin kecil. Hal ini juga mempengaruhi nilai peak nilai peak yang dihasilkan.
Gambar 9. Hasil pengujian FTIR pada temperatur 1200oC dengan holding time (a). 30 menit, (b). 40 menit dan (c). 50 menit. [3]. Dari spektra FTIR di atas, dapat dikorelasikan dengan tabel 1 yang menyatakan nilai spektra FTIR untuk senyawa SiO 2.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 119
Prosiding Prosiding Se Seminar N asional asional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
of Materials Chemistry, 13756-13764. Tabel 1. Nilai Spektrum FTIR untuk lapisan silikon dioksida sample A (cm -1)
sample B (cm-1)
Si-O Out of plane deformation
458
461
Si-O bending
800
802
Si-OH stretching
939
932
Si-O-Si stretching
1083
1089
C-O bending
1630
1628
Si-C stretching
2357
-
… -OH stretching
3444
3427
4
Kesimpulan Senyawa AlN berhasil disintesis menggunakan metode VLS ( Vapor-Liquid-Solid ) Vapor-Liquid-Solid ) dalam horizontal furnace. furnace. Temperatur dan holding time mempengaruhi proses pembentukan nano material dari senyawa AlN. Semakin tinggi temperatur, maka intensitas senyawa AlN semakin tinggi. Holding time memberi pengaruh dalam proses pembentukan s enyawa AlN. Semakin lama la ma holding time, maka senyawa AlN semakin terbentuk, morfologi semakin terlihat jelas dan semakin homogen. Daftar Pustaka [1] P.G. Zhang, K.Y. Wang, S.M. Guo, 2010, Large-scale synthesis of AlN nanofibers by direct nitridation of aluminium, ceramics jurnal international, 2209-2213. [2]. Acharya, S., K., Rai, A., K., Kim, G., Hyung, J., dan Ahn, B., 2012, Effect of cooling time on the vapor liquid solid based growth of gold-catalyzed bismuth nanorods, physica E, 839-842. [3]. Shokri, B., Abbasi F., M., dan Hosseini, S. I., 2009, FTIR analysis of silicon dioxide thin film deposited by metal organic-based PECVD, 791-795. [4]. Koto, Makoto, 2014, Growth mechanism of vapor-liquid-solid grown nanowires : a detailed analysis of irregular nanowire formation, Journal of Crystal Growth, 391:72-77. [5]. Yu, L., Zhang, X., Zhang, Y., Zou, R., dan Zhang, F., 2011, Vapor-liquid solid growth route to AlN nanowires on Au-coated Si substrate by direct nitridation of Al powder, Journal of Crystal Growth, 334:57-61. [6]. Zhu, Y., Li, Q., Mei, T., dan Qian, Y., 2011, Solid state synthesis of nitride carbide and boride nanocrystals in an autoclave, Journal Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 120
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
Studi pengaruh campuran larutan H 2SO4-HCl dan H2SO4-HNO3 terhadap perilaku korosi baja karbon ASTM A620 dengan metode imersi dan polarisasi Bambang Widyanto, Asep Ridwan Setiawan, Reza Aghla Ardyan, Marlina Siagian Institut Teknologi Bandung, Program Studi Teknik Material, Bandung, 40132, Indonesia
[email protected]
Abstract Sulfuric acid (H 2SO4 ), chloride chloride acid (HCl), (HCl), and nitric nitric acid (HNO (HNO3 ) are often often used in industrial industrial processes processes.. The mixture of these acids generally used in textile industry. This mixture certainly affects the corrosion resistance of machine components. Observation related to corrosion in acid mixture is rarely done. Therefore, this research is carried out to observe the corrosion behavior of ASTM A620 carbon steel in H 2SO4-HCl and H 2SO4-HNO3 acid mixtures. Corrosion testing in individual acid and acid mixture is carried out by immersion and polarization methods. In various concentrations of H 2SO4-HCl and H 2SO4-HNO3 solutions, i.e. 0.1 M, 0.5 M, and 1 M, the corrosion rate is lower than the corrosion rate of its individual acid in 1 M. H 2SO4-HCl acid mixture cause uniform and pitting corrosion to the carbon steel, while H 2SO4-HNO3 acid mixtures cause only uniform corrosion. XRD results for H 2SO4-HCl are iron (Fe), hematite (Fe2O3 ), and magnetite magnetite (Fe3O4 ), meanwhile meanwhile for H 2SO4-HNO3 is iron sulfate sulfate hydrate [Fe3(SO4 )2(OH).5H 2O]. Generally the corrosion rate increases as the mixture concentration increased. However, H 2SO4-HCl mixture with variation concentration of HCl shows fluctuating trend. Based on this observation, the effect of acid mixture to machine components in industry can be represented. Keywords sulfuric acid , chloride acid, nitric a cid, acid mixtu re, carbon st eel
1.
Pendahuluan Asam mineral seperti asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat seringkali digunakan pada industri tekstil. Konsentrasi asam yang umum digunakan pada industri tekstil adalah H 2SO4 1 M, 4,5 M, dan 5 M, HCl 4 M, serta HNO 3 1,5 M, 4 M, dan 8 M [1]. Pemrosesan pada industri tekstil umumnya dilakukan pada temperatur kamar, yaitu sekitar 20 oC [1]. Komponen mesin yang digunakan pada industri ini umumnya terbuat dari baja karbon yang akan terkorosi pada lingkungan asam. Literatur mengenai pengaruh lingkungan campuran larutan asam terhadap baja karbon masih jarang ditemui. Karena itu, penelitian mengenai pengaruh campuran larutan asam terhadap baja karbon perlu dilakukan. Penelitian dimulai dengan melakukan studi literatur dari jurnal ilmiah, buku teks, serta artikel internet yang terkait dengan topik. Kemudian dilakukan eksperimen serta karakterisasi sehingga diperoleh data penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh berbagai konsentrasi campuran larutan H 2SO4-HCl dan H 2SO4-HNO3 terhadap laju korosi spesimen baja karbon dengan metode imersi dan polarisasi. Melalui penelitian ini juga dapat diketahui bentuk kerusakan spesimen serta produk korosinya. 2. Metode 2.1 Material Pengujian korosi dengan metode imersi dan polarisasi dilakukan dengan menggunakan
spesimen berupa pelat baja karbon sangat rendah ASTM A620 [2] dengan komposisi 0,003% (C), 0,004% (Si), 0,003% (S), 0,008% (P), 0,07% (Mn), 0,01% (Ni), 0,01% (Cr), dan 99,8% (Fe). Spesimen untuk pengujian metode imersi berbentuk persegi panjang (40 mm x 20 mm x 1 mm) [3] sementara spesimen untuk pengujian metode polarisasi berbentuk persegi (10 mm x 10 mm x 1 mm) mm) [4]. 2.2 Larutan Pengujian dengan metode imersi dan polarisasi dilakukan dengan variasi konsentrasi H2SO4, HCl, dan HNO 3 sebesar 0,1 M, 0,5 M, dan 1 M. Larutan asam merupakan larutan analitis yang diproduksi oleh Bratachem. Pada penelitian ini, campuran larutan asam yang diamati adalah H 2SO4HCl dan H 2SO4-HNO3. 2.3 Prosedur 2.3.1 Metode imersi Prosedur pengujian imersi dilakukan dengan mengacu kepada ASTM G1-03 [5] dan G31-72 [3]. Spesimen dipotong dan dibersihkan menggunakan amplas grade grade 320, 600, dan 1000 secara bertahap. Spesimen kemudian dicuci, ditimbang berat awalnya, diimersi pada larutan aqua dm, dm, serta dikeringkan dengan aseton. Setelah itu, dua buah spesimen diimersi dalam 100 ml larutan asam selama 7 hari. Variasi larutan asam yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Gelas kimia ditutup dengan kaca arloji untuk mencegah penguapan larutan dan pH larutan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 121
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
diamati setiap hari menggunakan pH-meter. Setelah 7 hari, pickling dilakukan dilakukan pada salah satu spesimen uji dengan menggunakan larutan HCl pekat, lalu kemudian ditimbang berat akhirnya sehingga diperoleh nilai laju korosinya. Sementara itu, pemotongan penampang melintang dilakukan pada spesimen lainnya untuk melihat bentuk korosi yang terjadi. Larutan hasil pengujian disaring menggunakan kertas saring lalu dikeringkan sehingga diperoleh produk korosi berupa bubuk. Produk korosi ini kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan X-Ray Diffraction Diffraction (XRD) sehingga dapat diketahui senyawa dari produk korosi tersebut. Tabel 1 Matriks larutan tunggal 1
2
3
4
5
6
100 ml
x
x
x
x
x
H2SO4 0.5 M
x
100 ml
x
x
x
x
H2SO4 1 M
x
x
100 ml
x
x
x
HCl 0.1 M / HNO3 0.1 M
x
x
x
100 ml
x
x
HCl 0.5 M / HNO3 0.5 M
x
x
x
x
100 ml
x
HCl 1 M / HNO3 1 M
x
x
x
x
x
100 ml
H2SO4 0.1 M
larutan asam dimasukkan ke dalam chamber . Variasi larutan asam yang digunakan mengacu pada Tabel 1 dan Tabel 2, namun volume larutan asam tunggal yang digunakan sebesar 300 ml dan volume campuran larutan asam untuk masing-masing asam adalah sebesar 150 ml. Kemudian auxiliary electrode (elektroda electrode (elektroda karbon) dan elektroda referensi dipasang pada bagian atas chamber . Seluruh elektroda dihubungkan dengan kabel dari potensiostat yang tersambung dengan komputer. Sistem dibiarkan selama kurang lebih 1 jam, lalu pengujian dimulai dengan menggunakan software VersaStudio sehingga diperoleh kurva polarisasi. Teknik Tafel extrapolation extrapolation dilakukan dengan menggunakan software software OriginLab, yaitu dengan cara menarik garis linier pada kurva polarisasi. Melalui teknik ini dapat diperoleh nilai laju korosi yang terjadi. 3. Hasil dan pembahasan 3.1 Hasil metode imersi Laju korosi metode imersi diperoleh melalui data berat spesimen yang hilang setelah pengujian [3]. Pada larutan tunggal H 2SO4, HCl, dan HNO3, laju korosi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan, seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Sementara itu, laju korosi campuran larutan H 2SO4-HCl dan H 2SO4HNO3 juga menunjukkan kenaikan seiring dengan meningkatnya variasi konsentrasi larutan, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.
Tabel 2 Matriks campuran larutan 7
8
9
10
11
H2SO4 0.1 M
x
x
50 ml
x
x
H2SO4 0.5 M
x
x
x
50 ml
x
H2SO4 1 M
50 ml
50 ml
x
x
50 ml
HCl 0.1 M / HNO3 0.1 M
50 ml
x
x
x
x
HCl 0.5 M / HNO3 0.5 M
x
50 ml
x
x
x
HCl 1 M / HNO3 1 M
x
x
50 ml
50 ml
50 ml
Metode polarisasi Prosedur pengujian polarisasi dilakukan dengan mengacu kepada ASTM G5-94 [4] dan G59-97 [6]. Spesimen dipotong, kemudian dilakukan spot welding untuk menempelkan kawat stainless steel pada spesimen. Spesimen kemudian di-mounting di-mounting lalu lalu dibersihkan dengan menggunakan amplas grade amplas grade 600, 600, 1000, dan 2000 secara bertahap. Spesimen dipoles, dicuci, diimersi dalam aqua dm, dm, dan dikeringkan dengan aseton. Setelah itu, spesimen dipasang pada bagian depan chamber dan dan
Gambar 1 Laju korosi H 2SO4, HCl, dan HNO3
2.3.2
Gambar 2 Laju korosi H 2SO4-HCl dan H2SO4-HNO3
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 122
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
Jika laju korosi pada larutan asam tunggal dan campuran asam ditinjau, maka ada beberapa hal yang dapat dianalisa. Gambar 3 menunjukkan laju korosi pada larutan H 2SO4-HCl secara rinci. Pada campuran larutan H 2SO4-HCl, ketika konsentrasi H2SO4 di bawah 1 M, nilai laju korosinya berada di atas nilai laju korosi masing-masing komponen pencampurnya yang menunjukkan adanya efek sinergi. Pada campuran asam dengan konsentrasi H2SO4 1 M, nilai laju korosinya berada di antara nilai laju korosi masing-masing komponen pencampurnya. Namun, nilai laju korosi pada campuran asam lebih mendekati nilai laju korosi pada larutan H2SO4. Hal ini menunjukkan bahwa peran larutan H 2SO4 lebih dominan dalam mengkorosikan spesimen.
Secara umum, ketika dua larutan asam dicampurkan, maka konsentrasi dari masing-masing larutan asam akan mengalami penurunan. Hal ini terjadi berdasarkan prinsip kelarutan. Secara kimia, ketika suatu larutan asam dicampurkan dengan larutan asam lainnya, sulit untuk menentukan penurunan konsentrasi yang terjadi secara pasti. Tetapi nilai penurunan konsentrasi dapat diprediksi dengan menggunakan prinsip kelarutan dalam air. Penurunan konsentrasi ini yang menyebabkan laju korosi pada campuran asam di kondisi 1 M nilainya lebih rendah dibandingkan laju korosi masingmasing asam pada kondisi 1 M. 3.2 Hasil metode polarisasi Kurva polarisasi menunjukkan bahwa nilai potensial korosi (Ecorr ) semakin meningkat seiring meningkatnya variasi konsentrasi campuran asam. Melalui Gambar 5 dapat disimpulkan bahwa lapisan oksida paling mudah terbentuk pada campuran larutan H 2SO4 1 M + HCl 1 M. Sementara itu, melalui Gambar 6 dapat disimpulkan bahwa lapisan oksida paling mudah terbentuk pada campuran larutan H2SO4 1 M + HNO 3 1 M. Hal tersebut membuktikan bahwa baja karbon lebih tahan terhadap korosi pada campuran larutan asam dengan konsentrasi masing-masing asam sebesar 1 M.
Gambar 3 Laju korosi H 2SO4-HCl
Laju korosi pada larutan H 2SO4-HNO3 secara rinci ditunjukkan pada Gambar 4. Pada campuran larutan H 2SO4-HNO3, ketika salah satu asam ditahan 1 M dan asam lainnya divariasikan pada kondisi 0,1 M, maka laju korosi campuran larutan asam lebih tinggi dari laju korosi larutan asam tunggal pada 0,1 M. Namun, laju korosi campuran asam pada kondisi tersebut nilainya tetap di bawah laju korosi larutan asam tunggal pada 1 M. Sementara itu, pada campuran larutan asam yang keduanya berada di kondisi 1 M, laju korosinya lebih rendah dibandingkan dengan laju korosi larutan asam tunggal pada 1 M.
Gambar 5 Kurva polarisasi H 2SO4-HCl
Gambar 6 Kurva polarisasi H 2SO4-HNO3
Gambar 4 Laju korosi H 2SO4-HNO3
Metode polarisasi dilakukan pada larutan asam tunggal dan nilai laju korosinya diperoleh
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 123
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
dengan teknik Tafel extrapolation. extrapolation. Pada larutan H2SO4 dan HNO3, laju korosi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan. Sebaliknya, pada larutan HCl, laju korosi menurun seiring meningkatnya konsentrasi larutan. Hal ini dapat terjadi karena terbentuknya lapisan oksida stabil pada waktu tertentu dan pada konsentrasi tertentu dari HCl.
Larutan
H2SO4 0.1 M
Tabel 3 Data polarisasi Ecorr terhadap icorr SCE (μA/cm2) (V) -0,529 116,95
Laju Korosi (mpy)
53,66
H2SO4 0.5 M
-0,480
526,02
241,35
H2SO4 1 M
-0,409
1049,54
481,56
HCl 0.1 M
-0.517
99,54
45,67
HCl 0.5 M HCl 1 M
-0.489 -0.436
89,33 45,92
40,99 21,07
HNO3 0.1 M HNO3 0.5 M HNO3 1 M
-0,504 -0,347 -0,335
724,44 4709,77 7516,23
332,39 2160,98 3448,67
-0,497
106,66
48,94
-0,480
228,56
104,87
-0,477
70,79
32,48
-0,474
66,37
30,45
-0,406
64,42
29,56
-0,451
3427,68
1572,72
-0,399
3828,25
1756,51
-0,428
3784,43
1736,41
-0,405
3872,58
1776,85
-0,397
4753,35
2180,98
H2SO4 1 M + HCl 0.1 M H2SO4 1 M + HCl 0.5 M H2SO4 0.1 M + HCl 1 M H2SO4 0.5 M + HCl 1 M H2SO4 1 M + HCl 1 M H2SO4 1 M + HNO3 0.1 M H2SO4 1 M + HNO3 0.5 M H2SO4 0.1 M + HNO3 1 M H2SO4 0.5 M + HNO3 1 M H2SO4 1 M + HNO3 1 M
Sementara itu, laju korosi pada campuran larutan H2SO4-HNO3 meningkat seiring meningkatnya variasi konsentrasi larutan, namun nilai laju korosinya lebih dekat ke larutan HNO 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa pada pengujian dengan waktu yang singkat, laju korosi tahap awal pada larutan tunggal HNO 3 jauh lebih tinggi dibandingkan pada larutan tunggal H 2SO4. Hal ini menyebabkan campuran asam yang mengandung larutan tunggal HNO 3 nilai laju korosinya jauh lebih tinggi pula. Dapat disimpulkan bahwa penambahan HNO3 dengan konsentrasi yang sedikit (0,1 M) berpengaruh sangat signifikan terhadap kenaikan nilai laju korosi tahap awal.
Laju korosi pada campuran larutan H 2SO4HCl dengan konsentrasi H 2SO4 ditahan 1 M dan konsentrasi HCl divariasikan, memiliki nilai yang fluktuatif. Laju korosi naik pada konsentrasi HCl 0,5 M, lalu menurun pada konsentrasi HCl 1 M. Hal ini dapat disebabkan karena lapisan oksida yang terbentuk pada konsentrasi HCl 0,5 M tidak stabil sedangkan pada konsentrasi HCl 1 M lebih stabil. Namun, ketika konsentrasi HCl ditahan 1 M dan konsentrasi H2SO4 divariasikan, nilai laju korosinya cenderung turun namun tidak signifikan. Hal ini dapat terjadi karena pada konsentrasi HCl 1 M lapisan pasif yang terbentuk stabil. Nilai laju korosi secara rinci ditunjukkan pada Tabel 3.
3.3 Pemotongan penampang melintang Pada spesimen imersi dilakukan pemotongan penampang melintang dan penampang tersebut diamati dengan mikroskop optik. Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan titik pengamatan (gambar kiri) dan penampang melintangnya (gambar kanan). Garis kuning pada gambar kanan menunjukkan ketebalan awal spesimen.
Gambar 7 Penampang melintang H 2SO4 1 M + HCl 1 M
Gambar 8 Penampang melintang H 2SO4 1 M + HNO3 1 M
Melalui Gambar 7 diketahui bahwa campuran larutan H 2SO4-HCl menyebabkan korosi seragam dan korosi sumuran. Sementara itu, melalui Gambar 8 diketahui bahwa campuran larutan H2SO4-HNO3 menyebabkan korosi seragam saja. Pada penelitian ini, pemotongan penampang melintang dilakukan pada spesimen yang menggunakan campuran larutan asam dengan masing-masing konsentrasi asam 1 M. 3.4 Hasil X-Ray Diffraction (XRD)
Gambar 9 Hasil XRD H 2SO4 1 M + HCl 1 M
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 124
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
Pada campuran asam H 2SO4 1 M + HCl 1 M, larutan hasil pengujian disaring dan dikeringkan sehingga diperoleh produk korosi berupa bubuk berwarna abu-abu kehitaman. kehitaman. XRD dilakukan untuk menentukan senyawa dari produk korosi sehingga diketahui senyawanya adalah besi (Fe), hematite (Fe2O3), dan magnetite (Fe3O4). Mekanisme terbentuknya produk korosi tersebut adalah sebagai berikut [7,8]: Fe(OH)3 FeO(OH) + H2O 2FeO(OH)
Fe2O3 +
H2O
3Fe2O3 (s) + H2 2Fe3O4 (s) + H2O
(1) (2) (3)
Fe(OH)3 merupakan hasil reaksi oksidasi dari Fe(OH)2 [9]. Fe(OH)2 tersebut terbentuk dari produk korosi FeCl2 yang mengalami reaksi hidrolisis [9]. Fe(OH) 3 kemudian bereaksi menjadi FeO(OH), lalu bereaksi kembali menghasilkan produk korosi Fe2O3 dan Fe 3O4.
Gambar 10 Hasil XRD H 2SO4 1 M + HNO3 1 M
Pada campuran asam H 2SO4 1 M + HNO 3 1 M, larutan hasil pengujian disaring dan dikeringkan sehingga diperoleh produk korosi berupa bubuk berwarna coklat kekuningan. Melalui hasil XRD, diketahui bahwa senyawa dari produk korosi tersebut adalah iron sulfate hydrate [Fe3(SO4)2(OH)5.2H2O]. Produk korosi ini dapat terbentuk dari reaksi sebagai berikut [10]: 6Fe2+ + 4SO42- + 9H2O + 5/2 O2 2Fe3(SO4)2(OH)5.2H2O (4)
Pada produk korosi tidak ditemukan adanya kandungan nitrogen. Hal ini dapat terjadi karena ketika ion besi (Fe 2+) bereaksi dengan ion nitrat (NO3-), maka akan terbentuk besi (II) nitrat [Fe(NO3)2] yang memiliki kelarutan sangat tinggi di fasa cair [11]. Hal ini menyebabkan besi (II) nitrat terlarut kembali dan tidak dapat ditemukan pada produk korosi. Selain itu, hasil reaksi reduksi dari larutan HNO3 adalah gas NO [12]. Hasil yang berupa gas ini membuat kandungan nitrogen tidak dapat ditemukan dalam produk korosi berupa bubuk. 4.
Kesimpulan Melalui metode imersi, laju korosi pada larutan asam tunggal dan campuran larutan asam nilainya meningkat seiring dengan peningkatan variasi konsentrasi larutan. Melalui metode polarisasi, secara umum laju korosi pada larutan asam tunggal dan campuran Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
larutan asam nilainya meningkat seiring dengan peningkatan variasi konsentrasi larutan, kecuali pada larutan tunggal HCl dan seluruh campuran larutan asam yang mengandung larutan HCl. Campuran larutan H 2SO4-HCl menyebabkan korosi seragam dan korosi sumuran pada spesimen baja karbon, sementara campuran larutan H2SO4-HNO3 hanya menyebabkan korosi seragam. Hal ini dibuktikan melalui pengamatan penampang melintangnya. melintangnya. Produk korosi dari campuran larutan H 2SO4 1 M + HCl 1 M adalah besi (Fe), hematite (Fe2O3), dan magnetite (Fe3O4), sementara produk korosi dari campuran larutan H 2SO4 1 M + HNO 3 1 M adalah iron sulfate hydrate. hydrate. Daftar Pustaka [1] Ducting Hose Oregon, Hydralink, available available at: hydralink.hydrasun.com/specification_sheets/E OS05007.pdf , diakses 6 Juni 2015. [2] Krakatau Steel, Cold rolled coil and sheet products, available at: www.krakatausteel.com/ pdf/CRC_KS.pdf , diakses 27 November 2014. [3] ASTM G31-72, 2004, Standard practice for laboratory immersion corrosion testing of metals. [4] ASTM G5-94, 1999, Standard reference reference test method for making potentiostatic and potentiodynamic anodic polarization measurements. [5] ASTM G1-03, 2003, Standard practice for preparing, cleaning, and evaluating corrosion test specimens. [6] ASTM G59-97, 2004, Standard test method for conducting potentiodynamic polarization resistance measurements. [7] Rust, 2015, available at:en.wikipedia.org/wiki/ at: en.wikipedia.org/wiki/ Rust,, diakses 22 Mei 2015. Rust [8] Iron (II,III) oxide, oxide, 2014, available at: en.wikip edia.org/wiki/Iron%28II,III%29oxide,, diakses edia.org/wiki/Iron%28II,III%29oxide 22 Mei 2015. [9] Revie, R. Winston dan Uhlig, Herbert H., 2008, Corrosion and Corrosion Control, an Introduction to Corrosion Science and Engineering , Fourth Edition, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey. [10] Lunar and Planetary Institute, Sampling the oxidative weathering products and the potentially acidic permafrost on mars, 1988, available at: adsabs.harvard.edu/full/1988msrs .work...46B,, diakses 23 Maret 2015. .work...46B [11] Wattanaphan, Pathamaporn, 2012, Studies and Prevention of Carbon Steel Corrosion and Solvent Degradation during Amine-based CO2 Capture from Industrial Gas Streams, Thesis, Faculty of Graduate Studies and Research, Research , University of Regina, Regina. [12] Wiersma, B. J. dan Subramanian, K. H., 2002, Corrosion Testing of Carbon Steel in Acid Cleaning Solutions (U). Westinghouse Savannah River Company, South Carolina.
125
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakar ta, 5 November November
B Polimer
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 126
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Perlakuan Alkali Dan Pengukusan Terhadap Kekuatan Serat Batang Pelepah Salak ( Salacca Zalacca ) Seno Darmanto, Heru Santoso B.R., Ragil Widyorini dan Jamasri Universitas Gadjah Mada, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Yogyakarta, 55281, Indonesia senodarmanto@gm
[email protected] ail.com
Abstract The aim of this research is to investigate the alkali treatment and steaming influence on tensile strength of snake fruit frond fiber. The presence of surface impurities and the large amount of hydroxyl groups makes plant bers less bers less attractive for polymeric materials reinforcement. Effort to remove the impurities can be done by few treatment that consist of physical, chemical and mechanical treatment. Snake fruit frond single fiber was subjected to alkali treatments with 3% NaOH for a period of 6 hours to room temperature and steaming in 5 bar. The tensile test of single fiber was done according to standard ASTM D3379. The tensile tests showed the alkali and steaming treatment resulted in different tensile strength of Snake fruit frond fiber compared without soaking. The highest tensile strength (165 MPa) was found at Snake fruit frond fiber immersed in 3% NaOH or 6 hour and steaming. These results show that the combination of alkali treatment and steaming can increase mechanical properties of snake fruit frond fiber. nake nake fruit frond fiber , alkali treatment, Keywords : s treatment, steaming, tensile tensile strength of single fiber. fiber. 1.
Pendahuluan
Salak merupakan tanaman multi manfaat. Selain mengandalkan buahnya, potensi manfaat salak sebenarnya dapat digali dari bahan ikutan meliputi biji, kulit dan pelepah. Biji salak untuk skala prioritas diperuntukkan untuk bibit. Namun produksi biji salak masih mempunyai potensi cukup besar dan beberapa industri kecil telah memanfaatkan untuk asesoris mobil, kerajinan dan peralatan terapi [1]. Demikian pula potensi kulit salak juga cukup besar dan industri kecil telah memanfaatkan untuk kerajinan tas, pernik-pernik dan bahan bakar. Potensi yang cukup besar dan belum digali adalah pelepah salak. Pelepah salak secara morfologi terdiri dari batang dan daun. Batang pelepah cenderung sulit mengalami pembusukan dan perlu sedikit pengerjaan. Secara umum, penyerapan potensi bahan ikutan salak (biji, kulit dan pelepah) masih relatif rendah dan rata-rata digunakan untuk bahan bakar (bahkan dibuang/dibiarkan membusuk). Pengembangan salak selama ini masih terfokus pada buahnya. Aplikasi serat alam secara komersial untuk serat komposit dan tekstil telah mengalami fluktuasi. Kebutuhan serat alam untuk aplikasi sarana dan prasaran (peralatan) yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan manusia meningkat secara tajam sekarang ini. Peningkatan kebutuhan serat alam pada saat sekarang berhubungan erat dengan peningkatan tuntutan masyarakat akan kesehatan, isu lingkungan dan kebijakan negara terutama negara maju. Beberapa penelitian terhadap aplikasi serat sintetis mengindikasikan bahwa peralatan yang terbuat dari serat sintetis dan serat asbes berimplikasi mengandung zat carsinogen [2]. Pengunaan bahan penguat untuk meningkatkan kekuatan gesek meliputi lead oxide (PbO) dan
oksida logam ( metal oxide) [3] menimbulkan polusi udara yang mengganggu saluran pernapasan dan iritasi mata [2]. Ada indikasi zat carsinogen termasuk zat utama penyebab penyakit kanker. Selanjutnya isu lingkungan yang digerakkan oleh kelompok pencinta lingkungan telah mendorong penolakan dan penghentian penggunaan penggunaan serat sintetis dan mineral. Aplikasi serat sintetis dan mineral menghasilkan limbah yang sulit terurai dan mencemari lingkungan meliputi plastik, karet sintetis, asbes dan fiber glass. Kebijakan negaranegara tertentu terutama negara maju akan teknologi ramah lingkungan telah mendorong penolakan sebagian masyarakat akan pemakaian serat sintetis dan mineral yang tidak ramah lingkungan. Kesadaran terhadap efek negatif pemakaian serat sintetis dan serat mineral secara otomatis juga telah mendorong masyarakat internasional untuk kembali menggunakan peralatan yang bersumber dari serat alam baik serat alam dari tumbuhan dan hewan fiber ). (natural ). Produk samping hasil pertanian/perkebunan yakni kulit buah mete (chasew) telah diaplikasikan sebagai penguat pada material komposit mampu gesek [3]. Pengembangan serat alam sebagai serat tekstil dan komposit (termasuk serat pelepah salak) tentu akan meningkatkan nilai manfaat baik teknis dan ekonomis. Lebih jauh, pengembangan bahan bahan ikutan salak lain (biji, kulit dan batang atau daun pelepah) akan meningkatkan dan mendukung daya saing produk utama salak. Penguatan serat alam dengan perlakuan kimia memberikan peningkatan kekuatan yang relatif baik. Perlakuan kimia serat alam dapat dilakukan dengan merendam/mencelupkan ke dalam larutan ( solution solution) yang mengandung gugus hidrokside (OH) [4] [5], silika (Si) [4] [5] [6] cloride
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 127
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
(Cl) [5] dan gugus pelapis lain yang disertai dengan perlakuan kondisi proses. Metode perlakuan dengan larutan hidrokside biasa dinamakan perlakuan alkali [4] [5]. Selanjutnya perlakuan kimia dengan larutan yang mengandung gugus silikon dinamakan perlakuan silane[4] [5] [6]. Dan perlakuan kimia dengan menggunakan larutan yang mengandung gugus cloride dinamakan perlakuan benzoylation[5]. Selanjutnya perlakuan kondisi proses dapat dilakukan dengan mengatur komposisi larutan, temperatur, waktu, pengadukan dan pH. Peningkatan konsentrasi alkali dalam perlakuan akan meningkatkan kekuatan perbedaan warna [7]. Perlakuan alkali dengan komposisi 10% terhadap serat flax memberikan peningkatan kekuatan tarik dari 53,4 MPa ke 60,18 MPa, modulus Young dari 7,86 GPa ke 9,21 GPa dan impact strength 10,47 dari kJ/m2 ke 13,09 kJ/m2 [8]. Penelitian serat rami dengan perlakuan alkali komposisi 5% pada variasi waktu perendaman 0, 2, 4, 6 jam dan hasil pengujian menunjukkan bahwa kekuatan dan regangan tarik komposit memiliki harga optimum untuk perlakuan serat selama 2 jam sebesar 190.27 MPa dan 0.44% [9]. Selanjutnya uji kehilangan berat pada kondisi temperatur kerja 300 oC menunjukkan ada penurunan kehilangan berat dari 17% untuk serat tanpa perlakuan ke 4% untuk serat flax dengan perlakuan alkali 0,5% dan ke 2% untuk serat flax dengan perlakuan alkali 5% [8]. 2.
Metode
Bahan utama yang disiapkan meliputi batang pelepah salak jenis pondoh, NaOH dan air suling. Beberapa peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi pengolah serat, perlakuan awal, perlakuan fisik, perlakuan kimia dan pembuatan spesimen. Peralatan pengolah serat terdiri gergaji, pisau, gunting, sikat baja kasar, sikat baja halus, pengerolan dan pengering. Peralatan perlakuan fisik terdiri dari panci stainless steel, bejana gelas berbentuk persegi dengan berbagai ukuran, pemanas dan pengukusan. Kemudian peralatan untuk perlakuan kimia meliputi labu, bekker gelas, gelas ukur, bejana gelas berbentuk persegi dengan berbagai ukuran, mangkuk kaca, panci kecil, senduk pengaduk, pemanas dan alat ukur temperatur. Peralatan pembuatan spesimen terdiri dari kertas karton, gunting, pisau karter, pengaris baja, dan perekat. Pertama-tama batang pelepah salak diurai menjadi serat tunggal. Proses fibrilasi ke serat tunggal melalui beberapa tahapan pengerjaan meliputi seleksi batang pelepah, pemotongan ke ukuran 50 cm, pembelahan, perendaman, pengeringan dan penyikatan. Mekanisme perlakuan alkali dilakukan melalui beberapa tahapan juga meliputi persiapan serat tunggal, penyiapan larutan natrium hidroksida, perendaman serat tunggal selama 6 jam, pengeringan serat tunggal secara
paksa dan penyimpanan serat ke media spesimen. Selanjutnya perlakuan pengukusan pada prinsipnya dilakukan dengan memanaskan serat tunggal ke dalam uap bertekanan 5 bar selama 60 menit.
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 1. Beberapa tahapan penelitian serat pelepah salak. Serat pelepah murni murni (a), perendaman serat dalam larutan sodium hidroksida (b), serat hasil perlakuan setelah pengeringan pengeringan (c), spesimen uji tarik serat tunggal (d). Serat tunggal batang pelepah salak kemudian diuji kekuatan tekniknya. Setiap variasi spesimen uji tarik disiapkan sejumlah 5 spesimen dan dipilih 3 spesimen yang memberikan hasil pengujian yang terbaik. Spesimen uji tarik serat mendasarkan standar ASTM D3379 [10] seperti terlihat pada Gambar 1d. Uji tarik menggunakan mesin uji tarik Parson Panke di Laboratorium Bahan Jurusan Teknik Mesin dan Industri UGM. Mengukur Diameter Serat
Serat alam umumnya memiliki bentuk penampang yang tidak seragam. Ketidakseragaman bentuk fisik serat dapat mempengaruhi luasan penampang serat. Spesimen uji tarik serat yang telah diuji tarik kemudian dicetak dalam resin untuk memudahkan pengamatan penampang melintang serat menggunakan mikroskop dan difoto. Foto tersebut kemudian dipindahkan ke komputer untuk diukur luas penampang melintangnya dengan menggunakan Image Pro yang sudah dikalibrasi terlebuh dahulu. Diameter serat dapat diketahui dan luasan penampang serat rata-rata dihitung menggunakan persamaan sesuai dengan standar ASTM D 3379, yaitu :
dengan : = luas rerata penampang serat, mm2 A
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 128
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
a f f
N Mf
3.
= luas satu daerah serat, mm2 = jumlah pengamatan segmen serat = faktor pembesaran mikroskop
Hasil dan Pembahasan
Serat tunggal salak diturunkan dari bagian batang pelepah salak. Secara umum, serat salak sebenarnya dapat diperoleh dari batang (bagian dalam batang dan kulit batang), daun dan kulit buah. Selanjutnya untuk bagian batang, serat tunggal pelepah salak secara visual dilingkupi komponen/bagian lunak yang biasa dinamakan perekat atau lignin. Sedangkan kulit luar batang salak merupakan lapisan tipis yang kaku dan kuat. Hasil fibrilasi serat pelepah salak menghasilkan serat tunggal dengan warna krem (gambar 2a).
perlakuan. Prosentase alfa-selulosa meningkat ketika diberi perlakuan yakni alkali dan alkali yang diikuti dengan pengukusan. Abraham et. al.{11] mencatat bahwa ada peningkatan prosentase alfa-selulosa serat jute yang di perlakukan pengukusan yang diikuti dengan pelepasan uap secara cepat. Deepa et. al. [12] juga memperkuat pernyataan di atas bahwa ada peningkatan prosentase alfa-selulosa pada serat serabut kelapa yang diberi perlakuan masing-masing alkali dan pengukusan yang diikuti dengan pelepasan uap secara secara cepat. Tabel 1. Komposisi serat tunggal murni, setelah perlakuan alkali dan pengukusan. pengukusan. Serat murni Alkali 3% Alkali 3% + pengukusan
Alfa_selulosa (%) 47,18 51,50 54,53
Holoselulosa (%) 79,07 74,09 73,36
Lignin (%) 22,27 31,49 26,33
Uji Tarik
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 2. Perubahan warna pada serat pada beberapa perlakuan. Serat tunggal pelepah salak murni (a), perendaman serat di dalam air (b), serat tunggal hasil perlakuan alkali 3% (c), serat tunggal hasil perlakuan alkali 3% dan pengukusan (d). Selanjutnya perlakuan awal dengan perendaman air menunjukkan bahwa serat tunggal cenderung berubah menjadi warna coklat muda seperti ditunjukkan di gambar 2.b. Selanjutnya analogi dengan perendaman air, perlakuan kimia dengan alkali (sodium hidroksit) pada serat tunggal salak juga menghasilkan serat dengan warna coklat muda (gambar 2.c) dan ini relatif kontras dengan hasil perlakuan dengan pengukusan yang menghasilkan warna coklat tua (gambar 2.d). perubahan warna ini mengindikasikan bahwa ada perubahan struktur di permukaan serat setelah serat batang pelepah salak diberi perlakuan yakni perendaman, alkali dan steaming. Peningkatan konsentrasi alkali dalam perlakuan menunjukkan peningkatan kekuatan perbedaan warna warna [7].
Uji kekuatan tarik serat tunggal menunjukkan bahwa ada nilai peningkatan tegangan tarik pada serat yang diberi perlakuan kombinasi yakni alkali dan pengukusan. Kekuatan tarik serat pelepah salak yang diberi perlakuan kombinasi (3) yakni alkali 3% dan pengukusan pada tekanan 5 bar mampu mencapai 165 MPa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kekuatan tarik serat tunggal pelepah salak yang mencapai 114 MPa dan 71 MPa masing-masing untuk serat tunggal murni (perlakuan 1) dan serat tunggal dengan alkali 3% (perlakuan 2). Pola yang sama meskipun ada peningkatan regangan dan modulus Young, perlakuan alkali terhadap serat tunggal kelapa dan curaua (dengan komposisi 2%, 10% dan 15% selama 1 jam dan 2 jam) menghasilkan penurunan kekuatan tarik [13] [14]. Pengaruh perlakuan alkali pada serat alam di beberapa literatur lain menunjukkan hasil yang sebaliknya di mana penelitian serat rami dengan perlakuan alkali komposisi 5% pada variasi waktu perendaman 0, 2, 4, 6 jam menunjukkan bahwa kekuatan dan regangan tarik komposit memiliki harga optimum untuk perlakuan serat selama 2 jam sebesar 190.27 MPa dan 0.44% [9]. Perlakuan alkali terhadap serat serabut kelapa akan optimum pada komposisi 5% dan lama perendaman 4 jam [15] dan menunjukkan lama waktu perendaman yang menurun untuk komposisi yang tinggi [16] [17].
Komposisi Serat
Tabel 1 menggambarkan komposisi kimia serat tunggal batang pelepah salak murni dan setelah Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 129
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
reduksi lignin dan diameter serat. Rekayasa teknik pada serat ramie dan sansevieria dengan perlakuan alkali 2% dan pengukusan pada 1 bar selama 2 jam menunjukkan kecenderungan penurunan ukuran diameter serat tunggal [18].
Gambar 3. Pengaruh perlakuan pada kekuatan tarik serat tunggal pelepah salak. Struktur Mikro Penampang Melintang Serat
Gambar 5. Foto patahan spesimen 3% NaOH-6 jam.
Gambar 4. Foto patahan spesimen raw material Gambar 4 s.d. gambar 6 menunjukkan bahwa spesimen hasil uji tarik mengalami putus tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa serat pelepah salak merupakan serat tunggal yang utuh. Bentuk patahan penampang melintang serat pelepah salak memiliki bentuk bidang yang relative sama. Dari gambar tersebut juga dapat digunakan untuk menghitung luas penampang melintang serat pelepah salak dengan menggunakan Image Pro . Perlakuan alkali dan kombinasi alkali dengan pengukusan mempengaruhi dimensi serat tunggal. Dimensi serat tunggal menunjukkan penurunan ukuran diameter. Diameter serat tunggal murni menunjukkan ukuran lebih besar dari pada diameter serat tunggal setelah diberi perlakuan alkali dan kombinasi alkali dengan pengukusan. Penurunan diameter serat setelah perlakuan alkali dan pengukusan disebabkan oleh perlakuan kimia (perendaman dan bleaching) dan termal (uap bertekanan) yang secara efektif membuang atau membersihkan permukaan serat terhadap pengotor (lignin, wax dan minyak) [11]. Gomes et. al. [14] menemukan bahwa perlakuan alkali mempengaruhi
Gambar 6. Foto patahan spesimen 3% NaOH-6 jam dan steaming 1 jam 4.
Kesimpulan
Pengolahan dan fibrilasi batang pelepah salak dilakukan dengan pemisahan serat tunggal selulosa terhadap pengikat dan pengotor lain. Selanjutnya beberapa perlakuan pada serat tunggal batang pelepah salak menunjukkan perubahan warna aslinya yakni krem ke warna coklat muda untuk perlakuan alkali dan coklat tua untuk perlakuan kombinasi alkali dan pengukusan. Meskipun perlakuan alkali pada serat tunggal batang pelepah salak cenderung menurunkan kekuatan tarik, namun perlakuan kombinasi yakni alkali dan pengukusan mampu meningkatkan kekuatan cukup tinggi di mana kekuatan tarik serat tunggal batang pelepah salak dapat mencapai 114 Mpa, 71 MPa dan 165 MPa masing-masing untuk serat tunggal murni, serat tunggal dengan perlakuan alkali 3% dan serat tunggal dengan perlakuan kombinasi yakni alkali 3% dan pengukusan pada tekanan 5 bar.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 130
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Daftar Pustaka
1. Saraswati,
I.,
Memaksimalkan
2004 ,’’ Potensi
Suryo Agung Salak Pondoh’’, Pondoh ’’,
Inovasi Usaha, Kutipan dari Suryo Agung. Ketua kelompok Tani Salak. 2. Scheneider.A, 2003, “US “ US Imports of Asbestos brake material are on Rise”, Rise ”, Sunday PostDispatch, vol 125 No. 229, hal 1. 3. Blau, P.J., 2001, “Composition, “ Composition, Function and Testing of Friction Brake Material and Additives”, Additives”, Metal and Ceramic Division, US
Deparment of Energy. 4. Thongsang, S., dan Sombatsompop, N., 2005,’’Effect of Filler Surface Treatment on Properties of Fly Ash/NR Ash/NR Blend’ ’, ’, Polymer
Processing and Flow Group, Shool of Energ &
12. Deepa, B., Abraham, E., Cherian, B.M., Bismarck, A., Blaker, J.J., Pothan, L.A., Leao, A.L., de Souza, S.F., Kottaisamy, M., Structure, morphology and thermal 2011,’’ Structure, characteristics of banana nano fibers obtained by steam explosion’’, explosion ’’, Bioresour. Technol. 102, 1988 – 97. 97.
13. Arrakhiz, F.Z, Achaby, M.E., Kakou, A.C., Vaudreuil, S., Benmoussa, K., Bouhfid, R., Fehri, O.F, Qaiss, A., 2012,’’ Mechanical 2012,’’ Mechanical properties of high density polyethylene reinforced with chemically modified coir fibers: Impact of chemical treatments’’, treatments’’, Material and Desain 37, 379 – 383, 383, http://www.elsevier.com
/locate/matdes, E-mail mascir.com (A. Qaiss).
address:
a.qaiss@
of
14. Gomes, A, Goda, K. dan Ohgi J, 2004,’’ Effect
Technology Thonburi (KMUTT) Bangkok Thailand ’’Pre-Treatment of Flax Fibers 5. Wang,B., 2004,’’Pre-Treatment fo Use in Rotationally Ro tationally Molded Biocomposites’’ , Thesis for degree of Master of Science, Departement of agricultural and Bioresource Engineering, University of Saskatchewan. 6. Khan, M.A., Mina F. dan Drzal, L.T., 2003,’’Influence of Silane Coupling Agent of
of Alkali Treatment to Reinforcement on Tensile Properties of Curaua Fiber Green Composites ’’, JSME International Journal, Series A, Vol
Material
King
Mongkut’s
University
Different Functionalities on the th e Performance of Jute-Polycarbonate Jute-Polycarbonate Composite’’ , Radiation and
Polymer Chemistry Laboratory, Institu of Nuclear Science and Technology, Technology, Bangladesh. 7. Öztürk, H.B. dan Bechtold, T., 2007, , The Christian-Doppler-Laboratory for Textile and Fibre Chemistry in Cellulosics, Research Institute for Textile Chemistry and Textile Physics, University of Innsbruck, Vol. 15, No. 5 - 6 (64 - 65). 8. George, J., Weyenberg, I.V.D. Ivens, J dan Verpoest, I, 1999,’’ Mechanical Properties o Flax Fibre Reinforced Epoxy Composites’’,
Department MTM, Katholieke Universiteit Leuven Belgium. 9.
Diarjo, K, 2006,’’Pengaruh Perlakuan Alkali
terhadap Sifat Tarik Bahan Komposit Serat Rami-Polyester’’, Abstrak, Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Sebelas Maret E-mail: kuncorodiharjo @uns.ac.id. 10. ASTM D3379, 1975, Standard Test Method for Tensile Strength and Young’s Modulus for High
47, No. 4. Hal 541 -546. 15. Hemsri, S., Grieco, K, Asandei, A.D., dan Parnas, R.S, 2012,’’Wheat 2012,’’ Wheat gluten composites reinforced with coconut fiber’ ’, ’, Composites:
Part A, journal homepage: www.elsevier.com locate/compositesa, E-mail address:
[email protected] (R.S. Parnas). 16. Jayabal, S., Velumani1, S., Navaneethakrishnan, P.dan Palanikumar, K., 2013,’’ Mechanical and Machinability Behaviors of Woven Coir Fiber-Reinforced Polyester Composite’’, Composite’’, Fibers and Polymers,
Vol.14, No.9, 1505-1514, jayabalsubbaian@ rediffmail.com. 17. Jayabal, S., Sathiyamurthy, S., Loganathan, K.T. dan Kalyanasundaram, S., 2012,’’ Effect 2012,’’ Effect of soaking time and concentration of NaOH solution on mechanical properties of coir – polyester composites’ ’, ’, Bull. Mater. Sci., Vol. 35, No. 4, pp. 567 – 574, 574, jayabalsubbaian@
rediffmail.com. 18. Munawar, S.S, · Kenji Umemura · Fumio Tanaka dan Shuichi Kawai, 2007,’’ Effects of alkali, mild steam, and chitosan treatments on the properties of pineapple, ramie, and sansevieria fi ber bundles’’, bundles’’, J Wood Sci,
Research Institute for Sustainable Humanosphere, Kyoto University, Gokasho, Uji, Kyoto 611-0011, Japan.
Modulus Single Filament Fibers, American Society of Testing and Materials (ASTM), Philadelphia, USA 11. Abraham, E., Deepa, B., Pothan, L.A., Jacob, M., Thomas, S., Cvelbar, U., Anandjiwala, R., 2011,’’ Extraction of nanocellulose fibrils from lignocellulosic fibres: A novel approac h’’, Carbohydr. Polym. 86, 1468 – 1475. 1475.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 131
Prosiding Prosiding Se Seminar N asional asional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Studi Pengaruh Perlakuan Alkali Terhadap Kekuatan Tarik Serat Daun Agel (Cor ypha gebanga) gebanga) Hendri Hestiawan, Jamasri, Kusmono Universitas Gadjah Mada, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Yogyakarta, 55281, Indonesia
[email protected]
Abstract The aim of this research is to investigate the alkali treatment influence on tensile strength of agel leaf fiber (Corypha gebanga). The presence of surface impurities and the large amount of hydroxyl groups make plant bers less bers less attractive for polymeric materials reinforcement. Agel leaf fibers were subjected to alkali treatments with 4 and 10% NaOH for a period of 1, 12, and 24 hours to room temperature. The tensile test of single fiber was done according to ASTM D3379-75 standard. Tensile tests showed the alkali treatment resulted in different tensile strength of agel leaf fiber compared without soaking. The highest tensile strength ( 1464 1464 MPa) was found at agel leaf fiber immersed in 4% NaOH for 1 hour. These results show that alkali treatment can increase mechanical properties of agel leaf fiber. Keywords : agel leaf fiber, corypha gebanga, alkali treatment, NaOH, tensile strength of single fiber.
1.
Pendahuluan Pengembangan material baru mulai banyak dilakukan dalam memenuhi permintaan dunia industri. Penggunaan material logam untuk kebutuhan industri mengakibatkan ketersediaan bahan baku logam di alam semakin menipis. Para peneliti terus berupanya untuk mendapatkan solusi terbaik dalam menemukan bahan alternatif pengganti logam. Sebagai bahan pengganti logam, material tersebut harus memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh bahan logam, antara lain sifat mekanik yang baik, tahan korosi, bahan baku mudah didapat dari alam dan memiliki sifat ramah lingkungan. Salah satu bahan yang sesuai dengan kriteria di atas adalah bahan komposit [1]. Komposit merupakan penggabungan dari dua material atau lebih, yang dibentuk pada skala makroskopik dan menyatu secara fisik untuk memperoleh sifat-sifat baru yang tidak dimiliki oleh material pembentuknya [2]. Dalam penggabungan antara serat dan matrik, serat akan berfungsi sebagai penguat (reinforcement ) yang biasanya mempunyai kekuatan dan kekakuan tinggi, sedangkan matrik berfungsi melindungi serat dari kerusakan eksternal dan pengaruh lingkungan [3]. Bahan serat dapat berasal dari serat sintetik atau serat alam. Penggunaan serat sintetik sudah banyak dikembangkan dalam berbagai industri otomotif, konstruksi, kedirgantaraan dan lain lain. Dibandingkan serat sintetik, serat alam memiliki beberapa kelebihan, antara lain lebih ramah lingkungan, density rendah, dapat didaur ulang, dapat diuraikan alam, tidak beracun, biaya rendah, konsumsi energi rendah, sifat mekanis spesifik tinggi, serta sifat non-abrasif dan penahan panas yang baik [4]. Walaupun demikian serat alam juga memiliki kelemahan, antara lain tingkat kelembaban
tinggi, sifat ketahanan air dan variasi ukuran yang masih tidak seragam [5]. Sifat mekanis komposit sering dibatasi oleh kemampuan interaksi di daerah interface yang interface yang sangat berperan dalam memindahkan beban dari matrik menuju serat, sehingga perlu dilakukan perlakuan permukaan untuk memperbaiki interaksi antar muka serat dan matrik. Salah satu perlakuan yang banyak digunakan adalah perlakuan alkali karena perlakuan ini dapat membersihkan dan memodifikasi permukaan serat menjadi tekanan permukaan yang lebih rendah dan memperbaiki ikatan adhesi antara serat alam dan matrik polimer [6]. Komposit polimer berpenguat serat alam mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan di negara berkembang, seperti Indonesia. Pengembangan teknologi komposit berpenguat serat alam sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk menggali potensi local genius yang ada. Keberhasilan pengembangan komposit serat alam ini diharapkan akan mampu meningkatkan nilai teknologi dan nilai ekonomi serat alam [7]. Salah satu serat yang potensial dikembangkan sebagai bahan penguat komposit adalah serat daun agel yang sudah banyak digunakan sebagai bahan baku kerajinan, seperti tali temali dan d an tas. Serat daun agel diperoleh dari daun muda pohon agel atau gebang (Corypha (Corypha gebanga). gebanga ). Serat daun agel dihasilkan dari pembelahan daun yang masih muda (pucuk) dari tanaman gebang, yaitu sejenis palem yang mencapai tinggi 15-20 m, daun bentuk kipas, berduri, dan banyak ditemukan di daerah dataran rendah [8]. Naiola [9] melaporkan bahwa pohon agel memiliki potensi yang besar dan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat NTT sebagai bahan bangunan, makanan, minuman, peralatan rumah tangga, kerajinan, dan ramuan obat-obatan.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 132
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan alkali terhadap kekuatan tarik serat daun agel ( Corypha gebanga). gebanga ). 2.
Metode Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serat daun agel yang diperoleh dari daun muda pohon agel atau gebang ( Corypha gebanga). gebanga ). Pertama-tama daun agel dipisahkan antara daun dan lidi, kemudian dijemur selama 48 jam pada temperatur ruangan. Setelah kering daun agel dibelah dengan alat bantu peniti untuk mendapatkan serat daun agel. Proses perlakuan alkali dilakukan dengan mengambil serat daun agel secara acak dan dimasukkan dalam larutan sodium hidroksida (NaOH) selama 1, 12, dan 24 jam pada temperatur ruangan dengan variasi kosentrasi 4% dan 10% (w/w), seperti terlihat pada Gambar 1.
a
Gambar 2. Spesimen uji tarik serat ASTM D 3379-75 bentuk fisik serat dapat mempengaruhi luasan penampang serat. Spesimen uji uj i tarik serat yang telah diuji tarik kemudian dicetak dalam resin untuk memudahkan pengamatan luas penampang melintang serat menggunakan mikroskop optik dan difoto.Foto tersebut kemudian dipindahkan ke komputer untuk diukur luas penampang melintangnya dengan menggunakan bantuan program Image Pro yang sudah dikalibrasi terlebih dahulu. Diameter serat dapat diketahui dan luasan penampang serat rata-rata dihitung menggunakan persamaan sesuai dengan standar ASTM D 3379-75, yaitu :
b
=
∑ ( )
dengan : = luas rerata penampang melintang serat, m2 A
Mf
= luas satu daerah serat, m2 = jumlah pengamatan segmen serat = faktor pembesaran mikroskop
3.
Hasil dan Pembahasan
a f f
N
d
c
Gambar 1. Proses pengolahan serat daun agel (a) Daun agel kering ; (b) Serat daun agel kering (c) Setelah direndam ; (d) Setelah dikeringkan Setiap variasi spesimen uji tarik berjumlah 10 spesimen dan dipilih 5 spesimen yang memberikan hasil pengujian yang terbaik dengan memperhatikan besarnya gaya tarik dan posisi putusnya serat pada spesimen. Spesimen uji tarik serat berdasarkan standar ASTM D3379-75 [10], seperti terlihat pada Gambar 2. Uji tarik menggunakan mesin uji tarik Parson Panke milik Laboratorium Bahan Jurusan Teknik Mesin dan Industri UGM. Mengukur luas penampang melintang serat
Serat alam umumnya memiliki bentuk penampang yang tidak seragam. Ketidakseragaman Ketidakseragaman Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Uji Tarik Dari hasil uji tarik serat diperoleh histogram hubungan kekuatan tarik terhadap jenis spesimen yang digunakan dalam penelitian ini, seperti terlihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3 terlihat bahwa perlakuan alkali pada serat daun agel memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kekuatan tarik serat. Serat daun agel yang direndam dalam larutan NaOH 4% selama 1 jam memberikan kekuatan tarik tertinggi sebesar 1464 MPa atau mengalami peningkatan sebesar 31%. Peningkatan kekuatan tarik ini disebabkan oleh perlakuan alkali mampu menghilangkan zat pengotor yang terdapat pada permukaan serat, sehingga serat memiliki ikatan yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dari ValadezGonzalez et al. [11] yang melaporkan bahwa perlakuan alkali pada permukaan serat dapat meningkatkan kekasaran permukaan dan
133
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
meningkatkan jumlah permukaan serat.
selulosa
terpapar
pada
2000
1464 1500
) a P M ( k i 1000 r a T n a t a u 500 k e K
1117
1102
bahwa serat daun agel bukan merupakan serat tunggal yang utuh. Bentuk patahan penampang melintang serat daun agel memiliki bentuk bidang yang berbeda beda. Gambar tersebut juga dapat digunakan untuk menghitung luas penampang melintang serat daun agel dengan menggunakan Image Pro. Pro.
1032
516
539
506
0
Jenis Spesimen
Gambar 3. Kekuatan tarik serat daun agel pada berbagai perlakuan Penambahan waktu perendaman serat daun agel dalam lartuan alkali secara umum mengakibatkan penurunan nilai kekuatan tarik serat. Hal ini disebabkan karena perlakuan alkali yang terlalu lama menyebabkan permukaan serat mengalami degradasi dan hilangnya kandungan lignin yang secara alami berfungsi sebagai media perekat antar serat sehingga serat mudah terurai dan kekuatan serat menurun. Dari pengamatan secara visual terhadap serat daun agel terlihat bahwa terjadi perubahan warna yang cukup siginifikan seiring dengan bertambahnya waktu perendaman dan kosentrasi larutan NaOH. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktur pada permukaan serat. Waktu perendaman yang lama dan kosentrasi larutan NaOH yang tinggi menyebabkan pemutusan ikatan antar molekul selulosa yang selanjutnya berakibat pada menurunnya kekuatan tarik serat. Mwaikambo and Ansell [12] juga melaporkan bahwa kosentrasi larutan alkali yang terlalu tinggi dapat merusak permukaan serat dan menyebabkan penurunan kekuatan mekanis serat maupun komposit.
Gambar 4. Foto patahan spesimen raw material
Gambar 5. Foto patahan spesimen 4% NaOH-1 jam
Foto Struktur Mikro Penampang Melintang Patahan Serat Daun Agel
Setelah dilakukan uji tarik serat maka hasil patahan serat diamati penampang melintangnya menggunakan mikroskop optik, seperti terlihat pada Gambar 4 s.d. 6. Dari Gambar 4 s.d. 6 terlihat bahwa spesimen hasil uji tarik mengalami putus secara bervariasi ada yang mengalami putus tunggal maupun putus bercabang. Hal ini menunjukkan Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 6. Foto patahan spesimen 10% NaOH-12 jam 134
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
4.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa perlakuan alkali memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kekuatan tarik serat. Kekuatan tarik tertinggi terjadi pada serat daun agel yang direndam dalam 4% NaOH selama 1 jam, yaitu sebesar 1464 MPa.
Applied Polymer Science, Vol. 84, 22222234.
Daftar Pustaka [1] W.D. Brouwer, Brouwer, 2000, Natural Fibre Composites in Structural Components, Alternative for Sisal, On the Occasion of the Joint FAO, CFC Seminar , Rome, Italy. [2] A.K. Kaw, 1997, Mechanics of Composite Material , CRC Press, New York. [3] R.F. Gibson, 1994, Principle of Composite Materials Mechanics, Mechanics , McGraw-Hill Inc., New York, USA. [4] V.S. Sreenivasan, Sreenivasan, D. Ravindran, Ravindran, V. Manikandan, R. Narayanasamy, 2011, Mechanical Properties of Ramdomly Oriented Short Sansevieria Cylindrica Fibre/Polyester Composites, Materials and Design Journal , Vol. 32, 2444 - 2455. [5] C. Baillie, 2004, Green Composites : Polymer Composites and the Environment , Woodhead Publishing Ltd., Cambridge, England. [6] A.K. Bledzki dan J. Gassan, 1999, Composites Reinforced with Cellulose Based Fibres. Prog Fibres. Prog Polym Sci, Sci, Vol. 24, 221 – 74. 74. [7] Jamasri, 2008, Prospek Pengembangan Komposit Serat Alam di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. [8] R. Widiastuti, S.A. Awang, T.A. Prayitno, Warsito, P. Sofyan, 2011, Kajian Stratejik Kelola Usaha pada Industri Kecil Agel, Jurnal Riset Industri, Vol. V, No. 1, Hal. 1-11. [9] B.P. Naiola, 2006, Fluktuasi Potensial Air Harian Gewang (Corypha ( Corypha Utan Lamarck ), ), Jenis Tumbuhan Hijau Abadi di Savana NTT, Berita Biologi, Biologi, Vol. 8, No. 1, Bidang Botani, Pusat Panalitian Biologi-LIPI. [10] ASTM D3379, 1975, Standard Test Method for Tensile Strength and Young’s Modulus for High Modulus Single Filament Fibers, American Society of Testing and Materials (ASTM), Philadelphia, USA. [11] A. Valadez-Gonzalez, J.M. Cervantes-Uc, R. Olayo, P.J. Herrera-Franco, 1999, Effect of Ffiber Surface Treatment on the Fiber – Matrix Matrix Bond Strength of Natural Fiber Reinforced Composites, Composites, Journal of Composite Part B, Vol. 30, 309 – 309 – 320 320 [12] L. Y. Mwaikambo Mwaikambo and M. P. Ansell, Ansell, 2002, Chemical Modification of Hemp, Sisal, Jute, and Kapok Fibers by Alkalization, Journal of Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
135
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovembe ovemberr 2015
PENGARUH ACRYLIC TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN TERMAL BIOPLASTIK PATI/LATEKS KARET ALAM. Mardiyati, Steven, R.Suratman . Institut Teknologi Bandung, Program Studi Teknik Material, Bandung, 40132, Indonesia
[email protected]
Abstract Starch-based bioplastics is one of solution to solve plastic waste problem. Among its advantage, Starch-based bioplastic is renewable and biodegradable. However, it has disadvantage such as poor water resistant and elongation. On the other hand, natural rubber (NR) latex has good water r esistant and high elongation. By blending tapioca strach with NR latex, the blends was expected to have superior properties of both of the polymers. However, tapioca starch/NR latex blends produces a low level of homogenity. Therefore, in this study acrylic was added to tapioca starch/NR latex blends to improve their homogeneity. Acrylic was added to tapioca starch/NR latex blends with various composition; 10,15,20, and 25 wt% . Morphology of blends were characterized by means of scanning electron microscopy (SEM). (SEM). Mechanical Mechanical properties properties of the plastics were measured measured by means of tensile testing. testing. Thermal resistant of plastics were investigated by means of thermogravimetry analysis (TGA). It was found that as the content of acrylic increasing, homogenity of plastics, tensile strength, elongation, modulus of elasticity and thermal resistance increased. Keywords: acrylic, compatibilizer agent, natural rubber latex, tapioca starch, thermal resistance
1. Pendahuluan Saat ini, pemanfaatan bioplastik pati sebagai bahan penganti plastik konvensional (berbahan dasar munyak bumi) terus dikembangkan di seluruh dunia [1]. Bioplastik pati dikenal memiliki sifat yang ramah lingkungan serta bersumber dari bahan yang dapat diperbaharui [1][2][3]. Namun, penelitian mengenai bioplastik pati masih terus dikembangkan karena masih memiliki sifat yang harus disempurnakan, antara lain yaitu sifat ketahanan air bioplastik pati yang rendah [1][4]. Beberapa metode telah dilakukan untuk mengatasi permasalah tersebut, salah satunya adalah dengan mencampur bioplastik pati dengan polimer yang memiliki ketahanan air yang baik. Lateks karet alam merupakan salah satu jenis polimer alam cis-1,4-polyisoprene yang memiliki ketahanan air yang baik [5][6]. Pencampuran bioplastik pati dengan lateks karet alam dinilai dapat meningkatkan keuletan dan sifat ketahanan air dari bioplastik pati [1][2][4]. Namun, bioplastik pati yang bersifat polar dan lateks karet alam yang bersifat nonpolar menghasilkan bioplastik dengan tingkat tingkat homogenitas yang yang rendah, sehingga diperlukan penambahan suatu compatibilizer agent untuk memperbaik homogenitas pencampuran dari kedua polimer tersebut. Pada penelitian ini, acrylic digunakan sebagai compatibilizer agent pada bioplastik pati tapioka/lateks karet alam. Pengaruh penambahan acrylic dengan berbagai komposisi terhadap sifat mekanik dan termal platik pati tapioka/lateks karet alam kemudian diamati.
2. Metode
2.1. Bahan Pada penelitian ini digunakan pati tapioka dengan merek Gunung Agung, PT. Budi Acid Jaya Tbk, Lampung, Indonesia. Lateks karet alam dan acrylic diperoleh dari PT. Bratachem, Bandung, Indonesia. 2.2. Preparasi Sampel Pati sebanyak 10 gram dicampur dengan air seberat 140 gram dan diaduk dengan pengaduk magnet hingga larut. Lateks karet alam dicampur dengan acrylic (10, 15, 20 dan 25% berat) dan diaduk, kemudian dicampur kedalam larutan pati. Perbandingan pati dengan lateks karet alam dibuat tetap, yakni 6:4. Larutan pati-lateks karet alamacrylic dipanaskan sambil diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik hingga temperatur 68 оC. Larutan kemudian dituangkan kedalam cetakan alumunium dan dikeringkan hingga terbentuk plastik. 2.3. Karakterisasi 2.3.1. Pengujian Tarik Pengujian tarik dilakukan dengan menggunakan Tensilon RTF 1310 yang memiliki beban maksimum 1 ton. Pengujian tarik yang dilakukan mengacu pada standar ASTM D 882-02 dengan kecepatan tarik 5 mm/menit, ketebalan sampel 0.3 mm dan dilakukan di laboratorium Produksi Teknik Mesin ITB.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 136
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
2.3.2.
Karakterisasi TGA Karakterisasi TGA dilakukan untuk mengetahui ketahanan termal dari plastik pati tapioka/lateks karet alam. Pengujian dilakukan di Program studi Teknik Kimia ITB dengan menggunakan alat Linseis STA PT 1600 dengan laju pemanasan 10оC/menit. 2.3.3. Karakterisasi SEM Karakterisasi SEM dilakukan untuk mengetahui morfologi dari plastik pati tapioka/lateks karet alam. Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat SEM JSM-35C di PPGL Bandung. 3. Hasil dan Pembahasan Tampilan bioplastik pati/ lateks karet alam yang diperoleh dengan menggunakan metoda dapat dilihat pada Gambar 1. solution casting dapat
Gambar 1. Tampilan bioplastik yang dibuat dengan metode solution casting (a) Bioplastik pati tapioka, (b) Bioplastik pati / lateks karet alam, (c) Bioplastik Bioplastik pati / lateks lateks karet alam yang ditambahkan acrylic 25%.
Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa penambahan karet lateks alam dapat menurunkan transparansi dari bioplastik pati tapioka. Penurunan transparansi dari bioplastik pati tapioka diakibatkan menumpuknya karet lateks alam di atas permukaan dari bioplastik pati. Menumpuknya lapisan karet lateks alam diatas permukaan pati menunjukkan homogenitas yang kurang baik antara bioplastik pati dengan karet lateks alam. Gambar 1 (c), menunjukkan penambahan acrylic didalam campuran bioplastik pati/lateks karet alam. Penambahan acrylic pada campuran bioplastik pati/lateks karet alam menghasilkan bioplastik yang memiliki transparansi yang lebih baik dibandingkan bioplastik pati/lateks karet alam tanpa acrylic, namun masih memiliki transparansi yang lebih rendah dibandingkan dengan
bioplastik pati. Penambahan acrylic yang mampu meningkatkan transparansi bioplastik pati/lateks karet alam menunjukkan bahwa karet lateks alam dapat terdistribusi lebih baik didalam bioplastik pati dengan adanya acrylic. Hal ini dapat dilihat dari hasil karakterisasi SEM yang terdapat pada Gambar 2.
a
b
Gambar 2. Hasil karakterisasi SEM (a) bioplastik pati/lateks karet alam, (b) bioplastik pati/lateks karet alam/acrylic.
Gambar 2 (a) menunjukkan hasil SEM bioplastik pati/lateks pati/lateks karet alam tanpa menggunakan acrylic. Pada gambar tersebut, bentuk granula pati tapioka tidak terlihat jelas seperti yang terdapat pada Gambar 2 (b). Hal tersebut menunjukkan bahwa granula pati tapioka tertutupi oleh lapisan lateks karet alam. Pada Gambar 2 (b), terlihat bahwa penambahan acrylic dapat menyebabkan menyebabkan lateks karet karet alam menyelubungi setiap granula pati. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan acrylic dapat meningkatkan homogenitas dari bioplastik pati/lateks karet alam. Selain analisis visual dan morfologi terhadap plastik pati/lateks karet alam, dilakukan pula pengujian mekanik berupa pengujian tarik. Hasil pengujian tarik bioplastik pati/lateks karet alam tanpa dan dengan menggunakan acrylic dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 3. Tabel 1. Hasil pengujian tarik plastik pati tapioka/lateks karet alam Persentase acrylic (%) 0 10 15 20 25
Kekuatan Tarik (MPa) 7.65 8.17 8.31 8.80 8.83
Elongasi (%)
0.9 1.2 1.6 2.3 3.2
Modulus Elastisitas (MPa) 804.3 821.4 896.4 959.6 971.2
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 137
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015 Persentase acrylic (%) 0 15 25
T degradasi ( C) о
265 273 272
Dari hasil pengujian ketahanan termal yang terdapat pada Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa penambahan acrylic dapat meningkatkan ketahanan termal bioplastic pati/lateks karet alam. Namun penambahan konsentrasi acrylic diatas 15% tidak memberikan efek yang signifikan terhadap ketahanan termal pada bioplastik pati/lateks karet alam. Peningkatan ketahanan termal dari plastik pati tapioka/lateks karet alam disebabkan karena semakin meningkatnya ikatan yang terjadi antara pati tapioka dan lateks karet alam karena adanya acrylic sebagai compatibilizer agent . Semakin banyaknya ikatan yang terjadi antara pati tapioka dan lateks karet alam menyebabkan dibutuhkan energi yang lebih tinggi pula untuk memutuskannya, sehingga ketahanan termalnya juga meningkat.
Gambar 3. Kurva hasil pengujian tarik plastik pati tapioka/lateks karet alam tanpa dan dengan menggunakan menggunakan acrylic
Dari hasil pengujian tarik dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi acrylic hingga 25% berat dapat meningkatkan kekuatan tarik, elongasi, serta modulus elastisitas pada bioplastik pati/lateks karet alam. Penambahan acrylic yang mampu meningkatkan kekuatan tarik, elongasi dan modulus elastisitas dari bioplastik pati/lateks karet alam dikarenakan penambahan acrylic mampu meningkatkan interaksi dan ikatan antara bioplastik dengan lateks karet alam. Kemampuan acrylic yang dapat menghubungkan menghubungkan polimer polar dan non-polar ini dikarenakan adanya gugus polar dan non-polar dalam struktur acrylic. Struktur acrylic yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur kimia acrylic
Pada penelitian ini, selain pengujian mekanik, dilakukan pula pengujian ketahanan termal dari bioplastik pati/lateks karet alam. Pengujian ketahanan termal dilakukan dengan menggunakan karakterisasi TGA. Hasil pengujian ketahanan termal dari bioplastik pati/lateks karet alam tanpa dan dengan penambahan acrylic ditunjukkan ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pengujian ketahanan termal bioplastik pati/lateks karet alam dengan dan tanpa penambahan acrylic
4. Kesimpulan Acrylic dapat berfungsi sebagai compatibilizer agent pada bioplastik pati tapioka/lateks karet alam. Penambahan acrylic pada bioplastik pati/lateks karet karet alam dapat meningkatkan meningkatkan distribusi lateks karet alam didalam bioplastik pati. Selain itu, penambahan acrylic dapat meningkatkan sifat mekanik dan ketahanan termal dari bioplastik pati/lateks karet alam.
Daftar Pustaka
[1]. A. Rouilly, L. Rigal, R.G. Gilbert, 2004, Synthesis and Properties of Composites Strach and Chemically Modified Natural Rubber, Open Archieve Toulouse Archive Ouverte (OATAO), DOI:10.1016/j.polymer.2004.09.043. [2]. Mardiyati, Steven, 2012, Acrylic sebagai compatibilizer agen pada plastik pati tapioka/lateks karet alam, Jurnal Sains Materi Indonesia, Vol. 6, 2014. [3]. L. Jansen, L. Mosciki, 2010, Starches: Characterization, Properties, and Application, CRC Press, Taylor & Francis Group, pp.1 [4]. H.Y. Park, S.H. Chough. Y.H. Yun, S.D. Yoon, 2005, Properties of Starch/PVA Blend Film Containing Citric Acid as Aditif, Journal of Polymer and Environment, Vol 13. No.4. [5]. A. Jones, M.A. Zeller, S. Sharma, 2014, Thermal, mechanical, and moisture absorption properties of white egg protein
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 138
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan Metalurgi Metalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
bioplastic with natural rubber and glycerol, Progress in Biomaterial, Vol. 2, No.12 [6]. J.R. White, S.K. De, 2001, Natural Rubber Technologist’s handbook, Rapra Technology Limited
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 139
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Penambahan Gliserol terhadap Struktur, Morfologi Granula dan Sifat Mekanik Plastik Pati Ganyong Reyza Prasetyo, Mardiyati, Steven, R. Suratman Institut Teknologi Teknologi Bandung, Bandung, Teknik Material, Material, Bandung, Bandung, 40132, 40132, Indonesia Indonesia
[email protected]
Abstract
In the plastic processing, plasticizer is added for increasing process ability and polymer flexibility. Plasticizer also influences mechanical properties of plastic such as tensile strength and modulus of elasticity. In this research, gliserol was used as plasticizer with different concentration (5,10, and 15 wt% ) to increase flexibility of bioplastic of ganyong starch. Bioplastic of ganyong starch was prepared by solution casting. Morphology of bioplastic was characterized by using scanning electron microscopy (SEM). Mechanical properties of bioplastic were measured by using tensile test. It was found that as plasticizer content increasesing, the elongation of bioplastic also increased but the tensile strength and modulus of elasticity of bioplastic decreased. Elongation at break was increased to 27% when glycerol was added up to 15 wt% .
1.
Pendahuluan Saat ini, penggunaan plastik untuk memenuhi kebutuhan manusia semakin meningkat [1]. Namun, plastik yang umum digunakan pada saat ini masih berasal dari sumber yang sulit untuk diperbaharui dan sangat sulit untuk diurai oleh mikroorganisme[2][3]. Oleh karena itu, pengembangan plastik yang mudah untuk diurai oleh mikroorganisme serta berasal dari sumber yang dapat diperbaharui, terus dikembangkan. Plastik ini dikenal dengan istilah bioplastik. Saat ini, terdapat beberapa jenis bioplastik yang terus dikembangkan, salah satunya adalah bioplastik yang berbahan dasar pati[3][4]. Pati merupakan polimer alam yang dihasilkan oleh tumbuhan dari proses fotosintesis dalam bentuk granula, yang tersusun atas amilosa dan amilopektin[4]. Hingga saat ini, beberapa penelitian telah mengemukakan bahwa bioplastik yang bersumber dari pati memiliki sifat mekanik yang baik tetapi dibutuhkan plasticizer untuk memudahkan proses pembuatannya. Plasticizer yang umum digunakan pada proses pembuatan biolastik adalah gliserol. Namun, penggunaan gliserol dalam pembuatan bioplastik pati dapat mempengaruhi sifat mekaniknya[4][5]. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dibahas pengaruh penambahan gliserol pada bioplastik pati. Hingga saat ini, umumnya pembuatan bioplastik berbahan dasar pati memanfaatkan sumber pati dari beras, jagung, tapioca dan lainlain. Namun, bahan-bahan yang digunakan tersebut
sering digunakan pula sebagai bahan makanan. Oleh karena itu, perlu dicari suatu bahan alternatif yang memiliki kandungan pati, namun jarang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Salah satu jenis tanaman tersebut adalah ganyong ( Canna edulis). edulis). Ganyong merupakan salah satu jenis tanaman umbi-umbian Indonesia yang terancam punah karena tidak banyak masyarakat yang mengonsumsinya. Pada penelitian ini, bioplastik dibuat dengan menggunakan umbi ganyong sebagai sumber patinya. Untuk meningkatkan processability processability dari bioplastik umbi ganyong, ditambahkan gliserol dengan berbagai komposisi. Efek penambahan gliserol terhadap sifat mekanik dilakukan dengan melakukan pengujian sifat mekanik bioplastik pati ganyong. Morfologi bioplastik pati ganyong dengan penambahan gliserol diamati denganmenggunakan scanning electron microscopy (SEM). 2. Metode 2.1 Bahan Pada penelitian ini, digunakan pati ganyong yang diperoleh dari kabupaten lembang, Bandung. Gliserol diperoleh dari PT. Bratachem, Bandung dan aqua DM diperoleh dari Program Studi Kimia, ITB.
2.2 Preparasi Sampel Bioplastik pati ganyong dibuat dengan metode solution casting . Proses pembuatan plastik pati diawali dengan pelarutan pati ganyong sebanyak 10 gram pada aqua DM 250mL. Kemudian, gliserol ditambahkan ke dalam larutan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 140
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
pati dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, dan 20% dari berat pati. Pemanasan dilakukan pada larutan pati-air-gliserol hingga mencapai temperatur 68 oC sambil diaduk dengan pengaduk magnet. Kemudian, larutan pati-air-gliserol siap dicetak dan dikeringkan hingga membentuk plastik.
(b)
2.3 Karakterisasi 2.3.1 Pengujian Sifat Mekanik Pengujian sifat mekanik dilakukan dengan mengacu pada standar ASTM D 882-02. Kecepatan pergerakan cros shead adalah 2 mm/min. Pengujian P engujian dilakukan di Laboratorium Produksi, Teknik Mesin, ITB. 2.3.2 Pengujian SEM Pengujian dengan menggunakan SEM dilakukan di Balai Keramik, Bandung. Sampel bioplastik dipotong 1x1 cm 2 dan kemudian dicoating dengan dengan platina. Setelah di-coating di- coating , gambar morfologi bioplastik diambil dengan dengan perbesaran 10.000x. 2.3.3 Pengujian FTIR Pengujian FTIR dilakukan dengan menggunakan mesin Shimadzu Prestige 21. Pengukuran dilakukan pada bilangan gelombang 500-4500 cm-1. Pengujian FTIR dilakukan di Program Studi Kimia, ITB. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil pengujian sifat mekanik tarik bioplastik pati ganyong dengan berbagai komposisi gliserol dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1. Pengujian tarik bioplastik pati ganyong Konsentrasi Gliserol (%)
Kekuatan Tarik (MPa)
Elongasi (%)
Modulus Elastisitas (MPa)
0 5 10 15
21.53 20.39 17.93 5.53
7.03 7.69 7.99 27.18
570.62 541.55 390.13 122.79
(a)
(c)
Gambar 1. Grafik hasil pengujian tarik bioplastik pati ganyong, (a) kekuatan tarik, (b) elongasi, (c) modulus elastisitas
Dari hasil pengujian mekanik tarik bioplastik pati ganyong yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 1, dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi gliserol dapat menurunkan kekuatan serta kekakuan bioplastik pati serta mampu meningkatkan elongasi dari bioplastik pati ganyong. Penurunan kekuatan dan kekakuan dari bioplastik pati ganyong, diakibatkan peranan gliserol yang dapat meningkatkan jarak antar rantai pati. Peningkatan jarak antar rantai didalam bioplastik pati menyebabkan rantai-rantai didalam bioplastik pati memiliki ruang lebih banyak untuk bergerak, sehingga mampu mengakomodasi pergeseran dari rantai-rantai pati. Hal tersebut menyebabkan seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol, elongasi dari bioplastik yang dihasilkan akan semakin tinggi. Selain mampu mengakomodasi pergeseran antar rantai, peningkatan jarak antar rantai dapat mengurangi jumlah ikatan sekunder antar rantai pati. Berkurangnya ikatan sekunder antar rantai menyebabkan energi yang dibutuhkan untuk memisahkan atau mengeser antar rantai pati menjadi lebih kecil. Hal tersebut menyebabkan menurunnya kekuatan serta kekakuan bioplastik seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Peningkatan jarak antar rantai bertambah seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol dibuktikan melalui karakterisasi FTIR. Hasil pengujian FTIR
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 141
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
bioplastik pati dapat d ilihat pada Gambar 2.
(c)
(c) Gambar 2 . FTIR bioplastik pati ganyong
Dari hasil pengujian FTIR, terlihat perbedaan nilai absorbansi yang signifikan pada -1 wavenumber 3400 cm dan 2900 cm -1. Perbedaan ketinggian dari kedua wavenumber secara berturut-turut menunjukkan puncak O-H streching dan C-H streching. Peningkatan puncak C-H dan O-H streching menunjukkan kemampuan vibrasi gugus O-H dan C-H pada sampel bioplastik pati dengan gliserol 15% lebih tinggi dibandingkan dengan sampel bioplastik tanpa penambahan gliserol. Hal tersebut membuktikan jumlah ikatan sekunder yang menghadang pergerakan gugus O-H dan C-H pada bioplastik pati berkurang. Selain pengujian tarik dan FTIR juga dilakukan pengujian SEM. Pengujian SEM dilakukan untuk mengamati morfologi dari bioplastik pati tanpa atau dengan penambahan gliserol. Hasil pengujian SEM dapat dilihat pada Gambar 3.
(d)
(d) Gambar 3. Hasil pengujian SEM (a) granula pati ganyong, (b) bioplastik pati ganyong tanpa penambahan gliserol, (c) bioplastik pati ganyong dengan penambahan gliserol 10%, (d) bioplastik pati ganyong dengan penambahan gliserol 15%.
(a)
Gambar 3 (a) menunjukkan morfologi dari granula pati ganyong sebelum dibuat menjadi bioplastik. Gambar 3 (b) menampilkan morfologi granula yang tergelatiasi tanpa penambahan gliserol. Gambar 3 (c) dan 3 (d) berturut turut adalah penambahan gliserol 10 dan 15%. Dari gambar 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa pada bioplastik tanpa penambahan gliserol menunjukkan proses gelatinasi yang lebih sempurna dibandingkan dengan bioplastik pati ganyong dengan penambahan gliserol 10 dan 15%. Ketidaksempurnaan proses gelatinasi ini terjadi akibat peningkatan temperatur gelatinasi pada proses pembuatan bioplastik biopl astik pati seiri ng dengan penambahan konsentrasi gliserol didalam bioplastik pati ganyo ng.
(b)
4. Kesimpulan Penambahan gliserol sebagai plasticizer pada bioplastik pati ganyong akan mempengaruhi sifat mekanik dan morfologi bioplastik.
(b)
Daftar Pustaka [1]. Association of Plastics manufacturers. Analysis of European Plastics Production, Demand and Waste Data for 2011. Plastics Europe. 2012 [2]. Park, Hye-Ryoung dkk. Properties of Starch/PVA Blend Films Containing Citric
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 142
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Acid as Additive. Journal of Polymers and the Environment Vol. 13 No. 4. Oktober. 2005 [3]. Zaman, Tarique, 2010, The Prevalence and Environmental Impact of Single Use Plastic Products, page 1-7. [4]. Bertolini, Andrea C. Starches: Characterization, Properties, and Application. CRC Press. 2010 [5].Berkesch, Shellie, 2005, Biodegradable Polymers: A Rebirth of Plastic, page 3. [6].Satin, Morton, Functional Properties of Starches, FAO
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 143
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Komposisi Pelarut dan Ketebalan Cat Epoksi Terhadap Daya Lekat dan Tingkat Pelepuhan ( Blisterin ( Blistering g ) pada Lingkungan NaCl yang Diaplikasikan pada Baja Karbon Maulana Mufti Muhammad, Agung Purniawan dan Hosta Ardhyananta Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail : agung_pur@mat-eng
[email protected] .its.ac.id
Abstract Main function of coating is providing barrier protection between substrate and environ ment. And its commonly used to protect pipeline. In this research, to evaluate a function of barrier, a different the thickness coating (50, 100, 150, 200, and 250 micron) were used. In addition, to make easier during application process, solvent 0, 10, and 20% were added to paint. Epoxy is used as premier paint to cover substrate material ASTM A36 Grade B in NaCl 3,5% Environment. Conventional spray was used in paint application. Morphology of coating was investigated by SEM. To evaluate the function of the coating, adhesion strength, blistering, and water vapor transmission rate tests were applied. The result indicate that the blister size increase with the increasing thickness coating while the adhesion strength decrease with the increase thickness coating. Additional solvent in paint increase the water vapor transmission ra te, consequently, the function of coating decrease. Keywords Coating, Adhesion, Blistering, Solvent
1.
Pendahuluan Industri minyak bumi dan gas alam saat ini, pipa baja karbon adalah jenis pipa yang paling banyak digunakan untuk sistem pipeline . Pipa baja karbon memiliki banyak kelebihan dari jenis-jenis pipa yang lain seperti Fiberglass Reinforced Plastic (FRP), Stainless Steel (SS), incoloy, dan lainnya. Kelebihan pipa baja karbon antara lain adalah dari segi biaya yang relatif tidak terlalu mahal, kemudahan instalasi di lapangan dan sifat mekaniknya yang dapat diandalkan dalam banyak area atau sistem di lapangan. Masalah yang kerap timbul dalam penggunaan pipa baja karbon adalah korosi[1]. Korosi merupakan masalah yang kerap timbul dalam penggunaan pipeline baja karbon. Selama ini, pengendalian terhadap korosi pada pipa baja karbon telah dilakukan melalui berbagai metode. Metode coating membuat permukaan logam menjadi terpisah dari lingkungan korosif. Biasanya metode ini diaplikasikan dalam bentuk lapisan organik (organic coating ). ). Metode ini merupakan metode perlindungan yang paling banyak digunakan dikarenakan metode ini mudah untuk dilakukan [2]. Coating organik memberikan perlindungan dengan cara menjadi penghalang. Namun, semua coating organik organik permeabel terhadap terhadap air dan oksigen. Tingkat transmisi rata-rata air melalui lapisan cat adalah 10-100 kali lebih besar dari konsumsi pada permukaan yang impermeabel . Di kondisi normal coating organik menghabiskan setengah masanya dalam kondisi kelembaban yang tinggi. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Tahap pertama terjadinya proses korosi pada coating ditandai dengan adanya karat dan blistering pada coating organik. Untuk mengidentifikasi di awal kemampuan dari sifat penghalang coating dapat dilakukan dengan menentukan tingkatan blistering dan rusting yang terjadi sesuai dengan standar. Pada tahap selanjutnya ditandai dengan adanya disboundment dari cat dengan substrat. Untuk membuat peran dari penghalang yang efektif material substrat harus terisolasi dengan baik. Sifat penghalang yang baik dipengaruhi oleh ketebalan dan komposisi kimia dari coating . Komposisi kimia dari coating merupakan sebuah sistem campuran yang kompleks, ada solute) yang terlarut atau terdispersi padatan ( solute dalam pelarut cair ( solvent ), ), ada juga cairan solvent active ) yang terlarut dalam cairan lain ( solvent (diluent ). ). solvent adalah cairan (biasanya mudah menguap) yang berperan melarutkan atau mendispersi komponen-komponen pembentuk film (resin, pigment dan/atau additive ) yang akan menguap terbuang ke lingkungan selama proses pengeringan. Pada saat pembuatan cat, solvent memberi kontribusi sedemikian rupa sehingga campuran mempunyai kekentalan yang pas untuk proses pengadukan, pencampuran, penggilingan dan lain-lain. Komposi solvent yang tepat juga memberi pengaruh optimal pula pada mekanisme penguapan dari solvent-solvent yang yang ada, sehingga akan membentuk film yang maksimal karakteristiknya, baik tekstur permukaannya, sifat kilapnya maupun kecepatan keringnya [3].
144
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Berdasarkan hal itu, dalam penelitian ini dilakukan untuk menganalisa pengaruh variasi ketebalan dan penambahan pelarut berbahan minyak menggunakan epoksi terhadap nilai permeabilitas dan kualitas coating pada baja karbon di lingkungan korosif yaitu NaCl 3,5%.. 2. Metode Penelitian 2.1 Preparasi Substrat dan Sampel Pada penelitian ini substrat yang digunakan adalah baja karbon ASTM A36 Grade B dengan ketebalan ketebalan 4 mm yang dipotong menjadi menjadi dimensi 4x5 cm sebanyak 45 buah yang akan digunakan sebagai spesimen uji daya adhesi, 45 buah untuk uji sembur kabut garam, dan 45 buah untuk uji immersion. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mesin gerinda tangan. Dan 9 buah dalam bentuk film digunakan sebagai spesimen uji water vapor permeability . Material cat epoksi yang digunakan pada penelitian ini adalah cat epoksi primer komponen A sebagai Resin dan Komponen B sebagai Curing Agent . Rasio pencampuran kedua komponen berturut-turut adalah 4:1. Dan pelarut yang naphtha digunakan adalah jenis solvent (petroleum), light aromatic. Untuk 100 ml campuran berarti menggunakan 80ml komponen A dan 20ml komponen B. Proses pencampuran dilakukan pada temperatur kamar dengan menambahkan pelarut dalam persentase 100 ml yang dicampur menggunakan alat stirrer . Proses pengaplikasian cat pada permukaan substrat dilakukan dengan menggunakan air spray konvensional. Pengecatan dilakukan pada temperatur kamar. Tebal basah lapisan cat diukur agar tebal lapisan cat yang diaplikasikan untuk setiap spesimen sama tebalnya. Setelah itu, spesimen yang telah dicat dikeringkan (curing) pada temperatur kamar kamar selama 5 hari.
2.2 Metode Pengujian Pengujian daya lekat dilakukan dengan menggunakan pull-off test yang sesuai dengan standar ASTM D-4541 untuk mengetahui besar daya lekat cat epoksi masing – masing variabel pada permukaan substrat. Pengujian salt spray digunakan dengan metode scratch untuk mengetahui ketahanan terhadap pelebaran kerusakan akibat lingkungan yang korosif menggunakan ASTM B-117. Yang dievaluasi menggunakan standar ASTM D-1654. Pengujian Immersion digunakan untuk mengetahui tingkatan blistering yang akan dievaluasi berdasarkan ASTM D-710, dengan metode unscratch [4].
cairan
Larutan NaCl 3.5% digunakan sebagai elektrolit. Pengujian dengan larutan Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
elektrolit digunakan pada pengujian salt spray dan immersion. Morfologi pemotongan melintang cat yaitu, sisi interface antara permukaan substrat dengan lapisan cat dianalisa menggunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM). Alat SEM yang digunakan adalah mesin FEI Inspect S50. Dan dilakukan untuk menganalisa besar dan jumlah pori yang terjadi akibat penambahan solvent [5]. [5]. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Pengujian Daya Lekat Dalam uji daya lekat atau adhession test yang telah dilakukan diketahui daya lekat lapisan epoksi primer dipengaruhi oleh komposisi penambahan pelarut (0%, 10 %, dan 20%) dan ketebalan dari cat epoksi primer. Sebelumnya Dry Film Thickness) dilakukan pengujian DFT ( Dry pada lapisan untuk mengetahui ketebalan pada daerah sampel. Pengujian DFT ( Dry Film Thickness) dilakukan pada tiga titik yang diratarata. Semua sampel sebelum dilakukan aplikasi coating , dilakukan perhitungan ketebalan saat kondisi basah (Wet Film Thickness ) sesuai perhitungan untuk dapat menghasilkan DFT yang diinginkan.
Untuk mendapatkan nilai dari daya lekat yang baik, dilakukan preparasi dengan pembersihan lapisan coating dari dust dan kontaminan, serta dilakukan penempelan pin dolly satu hari sebelum dilakukan pengujian daya lekat. Dalam pengujian ini dilakukan sesuai standar ASTM D-4541 dan didapatkan hasil grafik surface seperti pada Gambar 1, yang merupakan grafik hasil dari perhitungan multiple regression menggunakan Software Microsoft Excel 2013 .
Gambar 1 Grafik Surface Surface Daya Lekat Terhadap Ketebalan dengan Perbedaan Komposisi Pelarut.
Dari analisa grafik menunjukan bahwa daya lekat terbaik saat ketebalan 50 mikron dengan tanpa penambahan pelarut atau komposisi pelarut 0%. Dan yang terendah terdapat pada komposisi pelarut 20% dengan ketebalan 250 mikron. Hal tersebut dikarenakan adanya pori pada komposisi pelarut terbanyak yaitu 20% serta semakin tebalnya
145
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
cat mengakibatkan pori tersebut menjadi lebih banyak. Jumlah dan besarnya pori ditunjukan pada pengujian morfologi dengan SEM pada Gambar Gambar 5. 5. Selanjutnya dilakukan pengelihatan secara visual dari hasil pengujian daya lekat kerusakan terjadi pada daerah cohesive failure (Ikatan cat-cat) bukan adhesive failure (Ikatan cat-substrat). Hal ini menandakan terjadinya mechanical interlocking antara coating dengan substrat yang baik [3]. Selain itu penyebab terjadinya cohesive failure dikarenakan adanya pori yang membuat bonding Mechanical (ikatan) dalam cat menurun. interlocking ini terjadi karena proses persiapan permukaan dilakukan terbebas dari kontaminan dan kekasaran serta kebersihan dengan perlakuan blasting menggunakan alumunium oxide dengan ukuran 24 mesh menghasilkan kekasaran permukaan 64 mikron dengan kebersihan SA 2. Selain itu hal ini disebabkan ikatan crosslinking yang terdapat pada coating lebih rendah daripada ikatan yang terjadi antara substrat dengan coating . Selanjutnya dilakukan pengujian daya lekat untuk menganalisa perubahan yang terjadi setelah ekspose ke lingkungan NaCl 3,% dan didpatkan data dan visualisasi seperti gambar 2 dan tabel 1. Tabel 1 Hasil Pengujian Daya Lekat seteah 14 hari masa immersion NaCl immersion NaCl 3,5% pada ketebalan ketebalan 100 100 mikron
Komposisi Pelarut (%)
Nilai Daya Lekat (MPa)
(a)
20
3.17
(b)
10
4.94
(c)
0
5.49
Gambar 2 Visualisasi Hasil Pengujian Daya Lekat menggunakan Pull Off Test pada ketebaan 100 mikron setelah dilakukan immersion immersion selama 14 hari (a)20% (b)10% (c)0%
Dari hasil data yang didapatkan, dianalisa bahwa semakin banyaknya penambahan pelarut menurunkan sifat daya lekat coating pada pada substrat, dan pada sampel gambar 2 (a) memperlihatkan Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
adanya adhesive failure yang dimana pengujian sebelum di immers menyatakan keseluruhan sampel pengujian daya lekat cohesive failure. Hal ini disebabkan adanya kontaminan yang masuk ke dalam coating mengakibatkan ikatan pada coating dengan substrat menurun dan 30% terjadi failure (kerusakan). Kontaminan memasuki coating ditandai dengan terjadinya pelepuhan yang diperlihatkan pada pengujian immersion . Dan dari penambahan pelarut memperlihatkan adanya perambatan kontaminan yang masuk dengan terlihat dari penurunan daya lekat dan daerah failure yang terjadi. Kontaminan tersebut merupakan uap air yang memiliki besar molekul yang sangat kecil. Blistering tersebut disebabkan adanya kehilangan atau/dan berkurangnya nilai daya lekat coating terhadap interface dari substrat yang disebabkan adanya kontaminan atau/dan korosi pada daerah interface tersebut[6]. Hal tersebut dapat dipercepat dengan adanya kontaminan pada daerah antarmuka substrat dengan coating . Selain itu disebutkan pula bahwa proses terjadinya bli stering diawali dengan adanya udara kosong pada daerah tersebut lalu terisinya daerah kosong tersebut oleh kontaminan tersebut dan mengakibatkan blistering. 3.2 Pengujian Immersion Uji immersion dengan metode unscratch dilakukan selama 14 hari untuk mengetahui kualitas coating berdasarkan berdasarkan tingkat blistering yang terjadi. Blister muncul karena adanya air yang terperangkap dalam lapisan dimana air dapat masuk ke pori-pori lapisan dan akhirnya terbentuk suatu pembengkakan dan membentuk blister. Untuk mengetahui seberapa parah kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh blister dapat dilakukan dengan pengukuran tingkat blister yang terjadi. Pengukuran ini dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian dengan standar ASTM D714 “St andard andard Test Method for Evaluating Degree of Blistering of Paints”. Menurut standar dikatakan bahwa terdapat beberapa tingkatan ukuran dan jumlah blister yang ada. Tingkatan ukuran blister sendiri dimulai dari skala sepuluh hingga nol dimana pada ukuran sepuluh menandakan tidak adanya blister pada permukaan. Kemudian untuk tingkatan jumlah blister ditandai mulai dari few , medium (sedang) , , medium dense (cukup (sedikit) , banyak), hingga dense (banyak sekali). Dari evaluasi dengan standar didapatkan bahwa penambahan pelarut pada komposisi 20% memiliki tingkat blistering paling rendah dari setiap ketebalan. Selain itu didapatkan bahwa blistering tidak terjadi pada ketebalan 250 mikron dan terbanyak ada pada ketebalan 100 mikron. Dari keseluruhan perbandingan yang memiliki rating terendah atau paling mudah terjadi blistering ada pada sampel yang memilki ketebalan 100 mikron
146
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dengan penambahan pelarut 20% mendapatkan rating 2 dengan jumlah medium. Dan tingkat blistering paling rendah terdapat pada sampel 250 mikron yang mendapatkan rating sepuluh atau tidak terdapat blistering selama selama 14 hari. Osmotic blistering yang terjadi saat 14 hari di lingkungan immersion NaCl 3,5% disebabkan adanya uap air yang memiiki ukuran partikel yang sangat kecil menembus lapisan coating untuk mendapatkan kesetimbangan dan saat adanya kontaminan berbentuk garam baik di permukaan membuat tekanan osmotic akibat melewati lapisan yang permeable terus terjadi mengakibatkan terjadinya lepuhan atau blister dimana di dalam blister terdapat air hasil perpindahan melewati coating . Faktor utama terjadinya osmotic blistering yaitu permeabilitas coating, impermeabilitas substrat, konsentrasi air terlarut, dan konsentrasi gradient. Konsentrasi gradient merupakan kekuatan pendorong berupa tekanan osmosis untuk terjadinya blistering [7]. 3.3 Pengujian Sembur Kabut Garam Berdasarkan hasil pengujian salt spray atau uji sembur kabut garam selama 96 jam, didapatkan pertambahan lebar goresan coating primer. Pertambahan lebar goresan ini dihitung dengan memberikan tanda berupa empat buah titik (A, B, C, dan D) lalu mengukurnya pada measuring microscope sebelum dilakukan pengujian, setelah dilakukan pengujian selama 96 jam pada titik-titik yang sama dilakukan pengukuran kembali lebar goresan apakah mengalami pertambahan lebar akibat adanya lapisan yang rusak akibat terjadinya korosi yang melebar atau tidak. Penentuan nilai rating ini berdasarkan ASTM D-1654, dimana jika goresan tidak mengalami perubahan maka nilai rating dari cat tersebut adalah sepuluh (nilai tertinggi) sedangkan pelebaran yang terjadi besar maka nilai rating semakin rendah berikut adalah standar penilaian rating sesuai standar serta hasil pelebaran pada pengujian yang telah dilakukan setelah 96 jam. Dari data memperlihatkan bahwa pelebaran goresan yang terjadi tidak ada yang melebihi 0,5 mm bahkan pelebaran paling besar yang terjadi hanya sebesar 0,3 mm yaitu pada sampel dengan ketebalan 50 mikron tanpa penambahan pelarut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seluruh sampel memiliki rating 9 dimana tingkat korosifitas yang terjadi itu rendah. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan dari seluruh ketebalan dan perbedaan komposisi pelarut memiliki rating yang sama. Namun bila dilihat pada besarnya nilai perubahan lebar yang terjadi seperti pada Gambar 3 Grafik penamban pelebaran melalui uji sembur kabut garam dengan metode scratch memperihatkan bahwa semakin besar Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
penambahan komposisi penambahan pearut mengakibatkan semakin besar pula perbesaran lebar dari scratch akibat proses korosi. Dan dari ketebalan memperlihatkan bahwa semakin kecil nilai ketebalan membuat perbesaran pelebaran akibat proses korosi semakin besar daripada ketebalan yang besar.
Gambar 4 Grafik Surface Pelebaran Gores setelah dilakukan Uji Sembur Garam NaCl 3,5%
3.4 Pengujian Morfologi Beradarkan hasil pengujian dengan menggunakan SEM, dengan menggunakan tiga sampel perbedaan komposisi penambahan pelarut 0%, 10%, dan 20 % dengan perbesaran 1000x dan 4000x didapatkan gambar 5 a, b, dan c. Pada hasil pengamatan dan anlisa SEM dari gambar-gambar di bawah diketahui bahwa penambahan pelarut ternyata menyebabkan adanya pori-pori. Pada gambar 4a komposisi penambahan pelarut 0% dengan perbesaran 4000x terlihat adanya pori yang sangatlah kecil dengan persebaran yang merata. Pada penambahan pelarut 10% terdapat adanya pori yang berbeda dengan ukuran yang lebih besar dibeberapa bagian. Dan pada penambahan pelarut 20% memperlihatkan penambahan pori yang signifikan dengan persebaran pori yang cukup besar dan ada beberapa bagian yang terdapat pori sangatlah besar daripada pori pada penambahan pelarut 10%. Dari analisa tersebut dapat dikatakan bahwa penambahan pelarut dapat menyebabkan adanya pori dan semakin besar p enambahan pelarut mengakibatkan pori semakin besar karena proses penguapan dari solvent lebih lambat dari proses crosslinking pada epoksi itu sendiri menyebabkan pori itu terbentuk. Semakin banyak penambahan pelarut mengakibatkan semakin banyak dan besar pori yang terbentuk[5]. Namun hingga ketebalan 250 mikron tidak terjadi crack pada coating . Selain itu semakin tebal cat akan mengakibatkan adanya crack pada coating namun hingga ketebalan 250 mikron coating mampu berperan paling baik dan tidak terjadi kerusakan seperti crack [8] [8].
147
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
a
Gambar 6 Grafik Pertamabahan Berat Hasil Pengujian Water Vapor Transmission Test Setiap Setiap Sampel
b
c
Gambar 5 Hasil Pengujian SEM Komposisi Penambahan Pelarut 20% dengan perbesaran 1000x dan 4000x a)0%, b)10%, dan c)20%
3.5 Pengujian Water Vapor Permeability Berdasarkan hasil pengujian permeabilitas coating berdasarkan standar ASTM D-1653 didapatkan hasil jumlah perubahan berat coating selamat 7 hari dengan perbedaan komposisi pelarut 0%, 10%, dan 20% berturut-turut sebagai berikut, 0,7223 g, 0.927 g, dan 1,5561 g. Pada gambar 4 menunjukan pertambahan berat hasil pengujian water vapor permeability setiap sampel setiap harinya selama 7 hari. Untuk mendapatkan kecepatan rambat uap air (WVT) dengan perhitungan seperti pada lampiran F, dengan hasil kecepatan rambat berdasarkan perbedaan komposisi berturut-turut sebagai berikut, 0.12368 g/m2.24jam, 0.15874 g/m2.24jam, dan 0.26646 g/m2.24jam yang terlihat pada gambar 6. Dari hasil tersebut terlihat bahwa penambahan komposisi pelarut 20% memiliki laju transmisi uap air yang paling tinggi karena pada hasil uji SEM terlihat adanya pori-pori yang membuat laju transmisi dari uap air semakin cepat, sedangkan komposisi penambahan pelarut 0% memiliki nilai kecepatan terendah dilanjutkan dengan penambahan komposisi pelarut 10%.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 7 Grafik Water Vapor Transmission Rate (WVT) Setiap Sampel
4.
Kesimpulan
Setelah dilakukan analisa hasil pengujian, maka dapat diambil suatu kesimpulan dari penelitian ini. Berikut kesimpulan yang didapat: 1. Dari pengujian daya lekat didapatkan variasi tanpa penambahan pelarut 0% atau tanpa penambahan pelarut dengan ketebalan 50 mikron memiliki nilai daya lekat tertinggi. Dan nilai daya lekat terendah didapatkan pada penambahan pelarut 20% dengan d engan ketebalan 250 mikron. Hal ini dikarenakan terjadinya cohesive failure yang mengakibatkan pori yang terbentuk semakin besar dan banyak membuat ikatan (bonding ) antar coating semakin semakin rendah. 2. Dari pengujian tingkat blistering didapatkan ketebalan 250 mikron dengan variasi tanpa penambahan pelarut didapatkan tingkat blistering yang paling tinggi atau paling sulit terjadinya kerusakan blistering . Karena water transmission rate melewati coating pada variasi tanpa penambahan pelarut atau 0% pelarut memiliki nilai yang paling rendah. 3. Dari pengujian morfologi menggunakan SEM didapatkan bahwa pori yang terbentuk akibat
148
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
variasi penambahan pelarut 20% terdapat pori yang lebih besar dan tersebar merata daripada 10% dan 0%. Hal tersebut mengakibatkan laju transmisi uap air berbanding lurus besarnya terhadap besarnya penambahan pelarut. Daftar Pustaka [1] Rafferty, Kevin.1989. Geothermal District Piping-A primer. Oregon: Geo Heat Center [2] J.M. Keijman.. Achieving Quality in Coating s Work: The 21st Century Challenge. Proceeding Inorganic and Organic Coating s – The Difference. England: The Brighton Centre (1999). [3] Schweitzer, Philip A. 2006. Paint and Coating s Applications and Corrosion Resistance. New York: Taylor & Francis Group. A.S. 2005. Characteization, [4] Khanna, evaluating, and testing of organic paint coating . Indian: Indian Institute of Technology Bombay. [5] Mohammad Arda DH. 2012. Studi pengaruh pelarut cat epoksi primer yang diaplikasikan pada substrat baja karbon rendah terhadap terbentuknya pori serta ketahanan korosi pada lingkungan NaCl 5%. Depok: FT UI [6] B. S. Liu. “Blistering failure analysis of organic coating on AZ91D Mg-alloy components”. Engineering failure Analisys (2014) . China: Elsevier [7] E. M. Petrie. “Osmotic Blisters in Coatings”. Elsevier 28 (2011) . [8] R. B. Arman. “ Studi Kekuatan Adhesi dan Ketahanan Korosi dari Temporary Organic Coating Pada Pipa-Pipa API 5CT di Lingkungan Atmosfer Laut”. Depok: FT UI (2011).
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
149
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pemanfaatan Plastik HDPE Dan LLDPE Sebagai Reduktor Pada Proses Reduksi Langsung Bijih Besi Lokal Milandia Anistasia1 dan Fadli Ulul2 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jurusan Teknik Metalurgi Jl. Jend Sudirman Sudirman KM.03 KM.03 Cilegon Indonesia Indonesia Email: anistasia.milandia@ anistasia.milandia@ft ft -untirta.ac.id 1
[email protected] 2
Abstract One attempt to utilize low grade iron ores involved the oxygen reduction by carbon monoxide. Carbon monoxide commonly produced from the carboneous materials such as coal but using coal as a reductant may harm the environments. On the other hand, plastic wastes or polyethilene have large potential as reductants for iron ores because their major elements are hydrogen and carbon. If these wastes could be effectively used in the ironmaking process, the total CO2 emissions caused by coal would decrease because a significant amount of plastic wastes is still simply incinerated without effective heat. Furthermore, the problems of polyethylene as a waste to the environments also can be eliminated. The aim of this research is to obtain sponge iron which has metallization more than 80 percent by using a mixture of coal and polyethilene as a reducing agent. The research variables are the compositions of reductant (3,5; 7,4; 10; 15 percent), temperature (900, 1100, and 1200°C), and times of the reduction (30, 60, 120, and 240 minutes). The result of the experiment shows that the most higher higher metalization metalization is 80. 22 percent percent reached by the tempera temperature ture reduction reduction 1200 1200 C and time of reduction reduction is 240 minutes. The experiment also shown that the used of 15 % HDPE giving maximum metalization for 86.79 percent. Although for 15 % LLDPE poliethilene giving maximum maximum metalization for 81.31 percent . Keywords : Low grade iron ores, reductants, iron making, plastic, metallization
1. Pendahuluan Besi dan baja sampai saat ini menduduki peringkat pertama logam yang paling banyak penggunaanya. Konsumsi besi baja di Indonesia hanya30 Kg per kapita pertahun. Konsumsi tersebut masih jauh dibanding dengan konsumsi baja Malaysia yang mencapai 500 kg per kapita pertahun, sehingga diperlukan suatu upaya untuk lebih meningkatkan konsumsi baja dalam negeri. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak produksi baja di dalam negeri, yang didukung oleh sumber da ya lokal. Salah satu usaha untuk memanfaatkan sumber – sumber bijih besi tersebut adalah dengan menjadikan bijih besi tersebut besi spons (sponge iron). Proses pembuatan besi spons merupakan proses reduksi, yaitu proses penurunan bilangan oksida yang melibatkan reaksi antara gas karbon monoksida dan besi oksida. Gas karbon monoksida merupakan reduktor yang umumnya dihasilkan dari material karbon seperti batubara Selain itu terus berfluktuasinya harga batubara yang merupakan salah satu komponen pembuatan besi spons, menjadikan masalah yang cukup serius untuk industri besi dan baja. Untuk mengatasi masalah tersebut industri besi baja nasional memerlukan pasokan bahan baku yang relatif stabil dan lebih murah Dalam penelitiannya, Hidayat (2009) melakukan reduksi dengan reduktor batubara.
Batubara akan bereaksi dengan CO 2 sehingga akan membentuk gas CO yang berperan sebagai reduktor. Selain gas CO, gas hidrogen juga dapat berperan sebagai reduktor r eduktor sehingga s ehingga sampah plastik mempunyai potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai reduktan dalam proses reduksi bijih besi. Hal ini karena unsur utama sampah plastik adalah hidrogen dan karbon. Jika sampah ini dapat secara efektif digunakan sebagai reduktan, maka total emisi gas CO 2 yang disebabkan oleh bahan bakar fosil yang umum digunakan pada teknologi ironmaking konvensional akan menurun [2]. Polyethylene dan polypropylene adalah olefin plastik yang merupakan komponen utama sampah plastik. Data dari Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia menunjukkan bahwa jumlah sampah plastik yang terbuang mencapai 26.500 ton per hari. Sebanyak 3 % sampah plastik dunia dimanfaatkan dalam proses ironmaking sebagai bahan baku, sebagai reduktor atau dengan direct injections ke dalam blast furnace [3]. Meningkatnya jumlah sampah plastik ini juga menjadi sebuah hal yang dapat mengancam kestabilan ekosistem lingkungan. Menurut penelitian Murakami (2011), menjelaskan bahwa polietilen dapat dimanfaatkan sebagai reduktor tambahan bersama batubara pada proses reduksi. Pemanasan polietilen akan membentuk gas hydrogen yang dapat mereduksi bijih besi. Jadi
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 150
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
proses reduksi akan berjalan dengan bantuan dua reduktor, yaitu gas CO dan gas H 2. 2. Metode Penelitian Proses reduksi langsung merupakan proses pemisahan Fe dari oksigen dengan gas reduktor dari padatan seperti batubara atau gas alam (CH 4). Proses reduksi langsung dilakukan di bawah titik lebur besi sehingga produk yang dihasilkan dalam bentuk padatan[5]. Pada penelitian ini digunakan bijih besi berasal dari Merangin, Jambi dengan Fe total minimal 65%. Data komposisi kimia bijih besi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1. Selain bijih besi proses reduksi memerlukan sumber reduktor. Sumber reduktor yang digunakan adalah batubara. Batubara yang digunakan merupakan batubara dengan jenis subituminus dengan kandungan fix C sebesar 40,35 %. Batubara merupakan sember daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Untuk mensubtitusi batubara digunakan juga tambahan reduktor yang berupa plastik poliethilene. Tabel 1. Komposisi Kimia Bijih Besi Merangin, Jambi Unsur Fe FeO SiO2 MgO LOI Total (%) 65,10 23,00 2,75 0,58 0,66 Pada dasarnya, reduksi langsung sangat bergantung pada j umlah tekanan gas yang berperan pada proses reduksi yaitu gas CO. Gas CO terbentuk akibat reaksi Boudouard Boudouard antara antara karbon karbon dan CO2 yaitu [6]: CO2 + C → 2CO …(1) Gas CO2 yang bereaksi dengan batubara (C) akan menghasilkan gas CO. Gas CO yang dihasilkan dari reaksi (1) bereaksi dengan besi oksida secara simultan seperti pada persamaan (2) sampai (4), sehingga didapatkan logam Fe. 3Fe2O3 + CO 2Fe3O4 + CO2 ...(2) Fe3O4 + CO 3FeO + CO 2 …(3) FeO + CO …(4) Fe + CO2 Plastik yang digunakan dalam penelitian ini adalah plastik dengan jenis HDPE dan LLDPE. Plastik HDPE dan LLDPE merupakan plastik yang paling banyak penggunaannya di masyarakat. Sehingga limbah kedua jenis plastik ini juga sangat berlimpah. Olehkarena itu kedua jenis plastik ini digunakan dalam penelitian ini Tahapan proses reduksi besi oksidaoleh reduktor campuran batubara dan plastik oleanik akan melalui tiga tahapan. Tahap pertama dimulai pada temperatur 347°C dan berakhir pada temperatur 547°C, tahap kedua berada pada kisaran temperatur 597°C sampai 817°C dan berlangsung selama 40 menit, sedangkan tahap ke tiga berlangsung diatas temperatur 817°C[3,4].
2.1 Komposisi Campuran Reduktor Bahan baku yang berupa bijih besi dan campuran reduktor sebelum dilakukan peletisasi dan reduksi harus dilakukan proses screening dan grinding terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan ukuran partikel bijih besi dan reduktor yang tepat sehingga proses reduksi bisa berjalan secara optimal. Bijih besi dan batubara Untuk batubara dan bijih besi berukuran ø74 µm. Batubara dan bijih besi dengan ukuran ø74 µm, dicampurkan dengan plastik HDPE dan LLDPE dengan perbandingan komposisi plastik sebanyak 0; 3,5 ; 7,4 ; 10; 15 %. 2.2 Proses Reduksi Proses reduksi bijih besi dengan menggunakan campuran reduktor batubara dan plastik dilakukan dalam muffle furnace dengan temperatur 1200 C selama 120 menit. Menurut Gambar 1 waktu tahan memiliki pengaruh terhadap proses reduksi. Logam Fe akan terbentuk pada suhu diatas 1100oC jika waktu tahan yang dilakukan juga cukup.
Gambar 1. Pengaruh waktu dan temperatur pada pembentukan logam besi[8] Semakin lama waktu tahan proses reduksi menyebabkan persen metalisasi akan terus meningkat. Meningkatnya persen metalisasi dari besi spons sp ons tersebut disebabkan adanya peningkatan konsumsi karbon terhadap waktu. Konsumsi karbon yang meningkat mengakibatkan laju pembentukan gas CO juga akan meningkat sehingga oksigen yang terikat dalam besi oksida lebih banyak tereduksi oleh gas CO. [9] 2.3 Analisa Besi Spons Hasil dari proses reduksi adalah besi spons. Menurut SNI untuk dapat diproses lebih lanjut menjadi baja maka besi spons mempunyai kadar besi atau Fe metal minimal 75 %, Fe total sebesar 88 % dan metalisasi 85 %. Dalam penelitian ini untuk mengetahui kadar besi dalam besi dilakukan analisa secara kimia menggunakan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 151
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
metode grafimetri. Sampel besi spons yang sudah dilarutkan dititrasi menggunakan larutan K 2Cr 2O7. Untuk mengamati morfologi dari besi spons juga dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop optik (OM) dengan pembesaran sampai dengan 50 x. 3. Pembahasan Berdasarkan data yang diperoleh dari analisa kimia secara titrasi besi spons hasil proses reduksi bijih besi dengan reduktor campuran plastik HDPE dan LDPE, dapat terlihat bahwa komposisi penambahan polietilen mempengaruhi hasil dari reduksi bijih besi.
3.1 Hasil Pengujian Komposisi Kimia Besi Spons Pada gambar 2 metalisasi yang dihasilkan dari reduksi tanpa tambahan HDPE adalah 64,28%, lalu
meningkat menjadi 65,04% pada penambahan 3,5% HDPE. Pada penambahan 7,4% HDPE, persen metalisasi juga meningkat yaitu 69,15%. Persen metalisasi juga meningkat pada penambahan 10% dan 15% HDPE, yang berturut -turut yaitu 72,88% dan 86,79%. Meningkatnya metalisasi hasil reduksi juga terjadi pada penambahan LLDPE, dimana hasil metalisasi reduksi tanpa penambahan LLDPE yaitu 64,66% dan setelah penambahan 3,5% LLDPE menjadi 71,32%. Metalisasi terus meningkat pada penambahan 7,4%, 10% dan 15% LLDPE, yaitu berturutberturut -turut 74,77% 76,22% dan 83,92%. Dari grafik dan data yang terlihat dapat dinyatakan bahwa semakin banyak penambahan polietilen sebagai reduktor tambahan maka semakin baik pula metalisasi yang dihasilkan.
Gambar 2. Pengaruh penambahan polietilen terhadap derajat metalisasi pada 1200º C dan waktu tahan 120 menit Menurut Murakami pada tahun 2010, generasi gas yang diperlukan proses reduksi besi oksida dengan reduktor campuran batubara dan plastik oleanik akan melalui tiga tahapan. Tahap Tahap pertama dimulai pada temperatur 347°C dan berakhir pada temperatur 547°C, tahap kedua berada pada kisaran temperatur 597°C sampai 817°C dan berlangsung selama 40 menit, sedangkan tahap ke tiga berlangsung diatas temperatur 817°C. Pada temperatur 300 sampai dengan 550 °C terjadi generasi beberapa gas -gas seperti C2H6, C3H6, H2, C6H6, C6H5CH3, yang dihasilkan oleh PE. Oksida besi adalah satusatu -satunya sumber oksigen dalam komposit. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahap pertama, oksida besi dalam komposit mulai tereduksi oleh gas H 2 dan gas hidrokarbon lain yang dihasilkan dari PE. Reaksi keseluruhan tahap ini dapat dituliskan seperti pada persamaan (5).
Tahap kedua terjadi pada periode pada selang waktu 30 – 40 menit, dan dimulai pada 597°C dan berakhir pada 817°C CO 2. Pada tahap ke dua ini generasi gas reduktor lebih disebabkan oleh terdekomposisinya PE menjadi karbon. Pada temperatur ini gas CO dan CO 2 mulai terdeteksi. Pada kisaran temperatur ini gasifikasi dari karbon akan sulit terjadi. Oleh karena itu dapat diasumsikan 20% dari karbon yang berasal dari batubara masih tetap dalam komposit dan belum terjadi gasifikasi batubara, walaupun terbentuk gas CO dan CO 2. Menurut Baker bahwa logam besi, magnetit dan hematit akan bertindak sebagai katalis pada penguraian karbon dari C 2H6 dan CH 3COCH 3 pada temperatur 700°C . Oleh karena itu diperlukan karbon dari dekomposisi PE tetap dalam komposit karena oksida besi membuat hidrokarbon terurai seperti terlihat pada persamaan (6). CHn = C + n/2H 2
(6)
18Fe2O3 + (C2H4)n 12Fe3O4 + 2CO2 +2H2O + (C2H4)n-1 (5) Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 152
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Derajat metalisasi meningkat seiring bertambahnya polietilen sebagai reduktor tambahan. Namun, penambahan polietilen tidak selalu meningkatkan metalisasi. Hal ini dikarenakan gas yang terbentuk tidak bereaksi sempurna dengan bijih besi akibat banyaknya poros yang terbentuk selama pemanasan terjadi sehingga dapat menyebabkan keretakan pada sampel [3]. Oleh karena itu, penambahan polietilen sebagai reduktor perlu dikontrol agar penggunaan komposisinya tepat.
Meningkatnya metalisasi juga dapat dilihat dari hasil metalografi bijih besi hasil reduksi pada temperatur 1200 o C dan waktu tahan 120 menit. Dari Gambar 3 dapat dilihat terjadi perubahan pada tiap bagian gambarnya. Pada 0 % terlihat bagian yang berwarna putih lebih sedikit dibandingkan dengan yang lain. Bagian yang berwarna putih merupakan logam Fe yang sudah tak berikatan lagi dengan oksigen [7]. Logam Fe semakin banyak terbentuk seiring dengan penambahan HDPE. Logam Fe yang paling banyak terbentuk pada 15% HDPE.
3.2 Hasil Pengujian Metalografi
0%
3,5 %
10 %
7,4%
15%
Gambar 3 Struktur mikro sampel bijih besi dengan campuran HDPE
Dari Gambar 3 tersebut diperoleh persentase logam Fe yang cenderung meningkat, yaitu 13,46% untuk sampel 0% dan 22,45% untuk sampel 3,5% HDPE. Logam Fe yang terbentuk pada 7,4%, 10%, dan 15% HDPE juga semakin meningkat, yaitu berturutberturut -turut 32,47%, 33,78% dan 38,89%. Dari hasil metalografi dan analisa
0%
separasi warna menunjukan peningkatan logam Fe seiring penambahan HDPE. Meningkatnya logam Fe dalam sampel dikarenakan adanya reduktor tambahan berupa gas H 2 yang diperoleh pada penambahan HDPE sehingga logam Fe juga meningkat [4].
3,5 %
10 %
7,4%
15%
Gambar 4. Struktur mikro sampel bijih besi dengan campuran LLDPE Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 153
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 4 menunjukan persentase logam Fe, yaitu 17,67% untuk sampel 0% LLDPE dan 21,85% untuk sampel 3,5% LLDPE. Peningkatan logam Fe juga terlihat dari sampel 7,4%, 10%, dan 15% LLDPE. Logam Fe pada sampel 7,4 % LLDPE adalah 30,13% dan untuk sampel sampel 10 % LLDPE didapat 35,17% logam Fe. Persen logam Fe yang terbentuk pada adalah 38,62% sekaligus menjadi persen tertinggi dibandingkan dengan sampel lainnya. Dari hasil metalografi dan separasi warna menunjukan peningkatan logam Fe seiring penamabahan LLDPE. 4. Kesimpulan Dari hasil penelitian didapatkan beberapa kesimpulan dan saran diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Penambahan komposisi HDPE/LLDPE pada proses reduksi mempengaruhi hasil metalisas i. Namun, penambahan polietilen tidak selalu meningkatkan metalisasi. Hal ini dikarenakan gas yang terbentuk tidak bereaksi sempurna d engan bijih besi akibat banyaknya poros yang terbentuk selama pemanasan terjadi. 2. Jenis polietilen memberikan pengaruh tersen diri pada proses reduksi. Penggunaan HDPE baik digunakan dengan komposisi hingga 7,4 %, sedangkan LLDPE lebih baik digunakan d iatas komposisi 7,4%. 3. Penelitian selanjutnya perlu membandingkan pengaruh bentuk sampel serta dilakukan analisa DTA pada campuran bijih besi, batubara dan polietilen.
[6] Ross. H.U. (1980). “ Physical Chemistry: Part I Thermodynamics”. Direct Reduced Iron Technology and Economics of Production and Use, Use, hal 9-25. Warrendale: The Iron and Steel Society of ME. [7] Huang, B-H dan Lu, W-K. W- K. (1993). “ Kinetics and Mechanismsof Reactions in lron Ore/Coal ”. ”. Composites ISIJ International, Vol. 33 No. 10, 1055-1 061 [8] Kawigraha, Adji Maitrise. (2010). “ Pemanfaatan Bijih Besi Laterit Sebagai Bahan Baku Self Reducing Pellet ”. ”. BPPT : Jakarta. [9] Oediyani, Soesaptri dan Milandia Anistasia. (2009). “ Pemanfaatan Bijih Besi Lokal, Finnes Pellet, Sebagai Bahan Baku Alternatif Pembuatana Besi Spons Dengan Variasi Reduktor ”. ”. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Daftar Pustaka [1] Hidayat, Dadang. (2009). “Reduksi Bijih Besi Laterit dari Bayah Provinsi Banten dengan Reduktor Batubara.”. Institut Pertanian Bogor International, Bogor [2] Nishioka, K.dkk.(2007). “Gasification “ Gasification and Reduction Behavior of Plastics and Iron Ore”. Ore ”. ISIJ International, Vol. 47 . No. 4. 602 – 602 – 60 60 [3] Murakami,T dan Kasai, Kasai, E. (2011). “ Reduction Mechanism of Iron Oxide – Carbon Composite With Polyethylene at Lower Temperatur ”. ”. ISIJ International, Vol 51, No 1, 9 -13. [4] Murakami T, Kasai E, dan Akiyama Akiyama T. (2009). “ Reduction Behavior of Hematite Composite Containing Polyethylene and Graphite with Different Structures with Increasing Temperature”. Temperature”. ISIJ International, Vol 49, No 6, 809 – 809 – 814 814 [5] Pelton D. A dan Christopher. W. B. (2000). “Thermodynamics”. Direct Reduced Iron Technology and Economics of Production and Use”. hal 28-39. 28-39. Warrendale: The Iron and Steel Society Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 154
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
The Effect of Variation of Surfactant Pluronic P123 to Pores Diameter in Systhesis of SBA15 Mesoporous Material Donanta Dhaneswara, Yus Prasetyo Departemen Teknik Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia Kampus UI Depok 16424
[email protected]
Abstract SBA-15 was synthesized by using TEOS precursor and surfactant pluronic P123. Sol-gel method was developed to achive homogenous porosity. Pores diameter of SBA-15 was depend on the template of long tail of surfactan pluronic P123. By increasing of concentration of pluronic P123 it was found that the pore diamater was not affected. Mesopore Keyword: SBA-15, Sol-Gel, Srfactant, template, Mesopore
Introduction
Theoretically, mesoporous material has same diameter as total length surfactant Pluronic P123 which act as template in SBA-15 synthesis. Theoretically, pores diameter can be observed by triblock copolymer chain P(EO 20PO70EO20) that arrange micelle. According to the length of triblock copolymer length, theritically was 14 nm which synthesized SBA-15 shall has pores diameter equally. Experimental proof will be done by nitrogen gas adsorption-desorption..
Synthesized was done in room temperature and constant pressure Constant presure and temperature Tetraethyl orthosilicate TEOS (Merck), Surfaktan merek Pluronik ® P123 (BASF), HCL (Merck, pH 1; 2M; 12,5 ml), Ethanol (Merck; 0,75 mol; 45 ml) Aqua Bidestilata (50 ml).
TEOS concentration was fixed as much as 31.25 gr (0.15 mol) and surfactant Pluronic P123 was 0.0027 mol. TEOS concentration used in this study is showen in Fig. 1.
Research Methodology
Limitation in this research was:
Fig. 1. Schematic illustration of SBA-15 synthesis route
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 155
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Schematically, synthesis of SBA-15 material are following few step, which is : Preparation of 3 solution. First solution was adddition of 5 ml ethanol into 31.25 gr of TEOS and mixing for 30 min in room temperature. Second solution was addition of 10 ml HCl and 5 ml ethanol and third solution was 50 ml water and 10 ml ethanol. Second step was mixing of second solution and third solution for 30 min in room temperature. Third step was mixing of second step solution into first solution for 30 min. After that, reflux was done in 50-60 oC temperature for 2 h. Reflux was heating in a system in controlled concentration and then checking pH. Forth step was addition of surfactan pluronik P123 into 25 ml ethanol and 10 ml HCl. After TEOS was reflux, then addition into surfactant soution by dropwise and continuos stirring. Strirring was countinuously after the solution was forming gel.
BJH Adsor ption Dv(d) 0.0250
0.0200
/g Å/ c [c )
0.0150
d( v D i s
0.0100
p r o s d A
0.0050
0.0000 0
30
60
90
120
150
180
Diameter Pori (Å) I
II
III
IV
V
Fig. 2. Pore size distribution curve of SBA-15. (I) spesiment with mol pluronik 0,00035, Specimen (II) with mol pluronik 0,0025, Specimen (III) with mol pluronik 0,0027, Specimen (IV) with mol pluronik 0,003, Specimen V with mol pluronik pluronik 0,0033.
Specimen that prepared for characterization was in coated and powder formed. For achieving SBA-15 mesoporous material, heating in 100 oC was needed to remove remove water. water. To remove remove water that that contain in gel, calcination was conducted (400 oC, Zhao, 1998) to remove surfactant and pore was formed
Data Analysis and Discussion
BET test result shows the pores distribution of each specimen as shown in Fig. 2.From pore diameter distribution with surfactant concentration of SBA-15 it can seen that distribution peak was on 3 nm (30 Å). Those pore diameter was categorized as mesopore. At 2-3 nm, increasing of volume per gram was showed by increasing of intrawall, which mean that pore diameter was on range 2-3 nm. This increasing shows that average pore diameter was 3 nm. In range 3-6 nm, the intensity of gas adsorption was decreased, which shows decreasing of pore diameter to 3-6 nm. Based on experimental result, it was found that between 0.00035 to 0.0033 mol surfactant was resulting similar pore diameter as showed in Fig. 3.
Fig. 3. Relation of pore diameter with surfactant concentration. Based on EDS result shows that there is no significant different of element compound of SBA-15 with different of surfactant concentration as shown in Table 1. Tabel 1. EDS composition result from synthesized SBA-15. Specimen Surfactant % Element concentration C O Si I 0.00035 46.86 23.12 25.55 II 0.0025 53.44 10.23 25.85 III 0.0027 43.3 32.45 18.6 IV 0.003 38.56 30.43 23.45
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 156
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Atomic force microscopy (AFM) then conducted to quantify pores diameter as can be calculated by the distance between peak as it was representative of pore diameter. The AFM result was shown in Fig.4 that showing three different line color, which is different in level. Line I was the highest level, while line II and III was the lowest level. The diameter calculation was shown in Table 2 ant he result was showing that average pore diameter was 3.27 nm. This result was confirmed the result from BET result.
I III II
Fig. 5 Structure of SBA-15. (a) Comparison with TEM Result from literature (Seddon J.M., 2004) and (b) FEM result from synthesized SBA-15 Conclusion :
Fig. 4. AFM result that showung countour of synthesiszed SBA-15
Table 1. Pore diamter calculation by AFM test. Line length Pore Diameter Line (nm) Pores count (nm) I 60 16 3.75 II 60 18 3.33 III 60 22 2.72 Average 3.27 Further observation of hexagonal structure of SBA-15 was conducted by field emission microscope (FEM). Visualization result of SBA-15 then compared with reference of SBA-15 by transmission electron microscope (TEM) as shown in Fig 5. Fig. 5.a was showing hexagonal structure (white color) that consist of seven pores by TEM observation. Fig.5.b was showing FEM result that confirm the result from SAXD test that synthesized SBA-15 was having hexagonal structure. Hexagonal structure in Fig. 5.b was predict having diameter 26.52 nm by making line across the hexagonal structure. By knowing the line length and the total hexagonal structure that cross the line then the pore diameter by dividing total line length by the total hexagonal structure. Calculation of hexagonal pore was resulting the average was 26.52 nm as shown in Table 3. FEM result was confirmed the result from BET
By variation of surfactant concentration in synthesis of SBA-15 can be conclude as follow. 1. Pore morphology tends to inteconnecting and formed open pore. 2. Average pores size diameter was 3 nm. 3. Based on FEM observation it can be seen that pore was cylindrical staking forming heaxagonal structure 4. Main pore that has highest desinty was on surfactant concentration 0.0027 mol. Reference
Lee J., Kim J., Simple synthesis of Uniform Mesoporous Carbons with Diverse Structures from Mesostructured Polymer/Silica Nanocomposite , J. Chem.
Matter. (2004), 16, 3323-3330. Liu T., Burger C. and Chu B., Nanofabrication in polymer matrics, J.Prog. Polym. Sci. 28, (2003), 5-26. Lu G.Q., Zhao X.S., Nanoporous Material , Science and Engineering, Imperial Collage Press; (2004), Mellor., Edward J., Investigation of Sol-gel Coating Technique for Polarized Target Cells ; Virginia; (2001). Okagawa N., Khu A.Y., Disorder-order Transition in Mesoscropic Silica Thin Film ; Princeton , NewJersey; (2000). Porter M.R., Handbook of Surfactan ( Chapman and Hall, New York, 1991).
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 157
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M aterial aterial dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Ryan K.M., Coleman N. R. B. And Lyons D. M., Control of pore Morphology in Mesoporous ilicas Synthesized from Tri Block Copolymer Templates , J. American
Chemical Society,(2002), Page EST:52. Seddon JM, Application In LC Templating , 2003 Sing K.S.W., Everreet D.H.W., Haul R.A., Moscou L., J Pierotti., Rouquerol J., and T Siemieniewska., Pure Appl, Chem, 57, (1985) 603. Su Y. L., Liu H. Z., Temperature-Dependent Solubilization of PEO-PPO-PEO Block Copolymers and Their Application for Extraction Trace Organics from Aqueous Solutions , Korean J.Chem-Eng., 20(2),
343-346 (2003). Thommes M., Physical Adsorbtion Characterization of Ordered and Amorphous Mesoporous Materials, Nano Porous Material, Science
and Engineering, (2004), p.317-357. Toan N.N., Ph.D. thesis; University of Twente; The Netherlands; (1999). Xiong X.Y., Tam K.C, Hydrolytic Degration of Pluronic F127/Poly (lactic acid) Block Copolymer nanoparticles, acromolecules,
37, (2004), 3425-3430. Yu C., Advances in Mesoporous mat erials templated by nonionic Block copolymers, J. Advances in Mesoporous Materials, (2004). p. 14-38. Zhao D., Feng J., Huo Q., Melosh N., Glenn H., Chmelka B. F., Stucky G. D., Triblock Copolymer Syntheses of Mesoporous Silica With Periodic 50 to 300 Aangstrom Pores, Science, Vol. 279, (1998) p. 548-
552.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 158
Prosiding Prosiding S minar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M talurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakar ta, 5 November November
C Komposit
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 159
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM ( SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Karakteristik Antarmuka Komposit Semen Berpenguat Bambu Gombong (BRC) Aditianto Ramelan, Riska Rachmantyo , M. Kurnia Bijaksana , Firmansyah Sasmita. Materials Engineering, Bandung Institute of Technology, Bandung 40135, Indonesia
[email protected]
Abstract
Indonesia has several types of bamboos and has been used for traditional building. Common Common building used steel reinforced cement as building construction. Steel reinforcement is stronger and long lasting but is more expensive than a natural bamboo. Several researches have been carried out previously on bamboo reinforced cement (BRC) worldwide. Bamboo has several types and species one of them is Gombong bamboo or Gigantochloa Pseudoarundinaceathat is used in this observation. Every species has its own characteristics and properties. Bamboo is a cheap building material and easy to find. Bamboo swells s wells up to 0.008 mm per days when immersed in water. The swelling of bamboo will reduce the interfacial strength in a cement matrix after hydration process. The interfacial strength between bamboo and cement matrix is determined by a pull out test. A pretreatment should be carried out prior making a BRC. It is observed that pretreatment on bamboo with commercial adhesives containing polychloroprene that left for 24 hours prior making composite gave an interfacial strength between 0.9 to 1.1 MPa and this resulted good quality BRC. Keywords: Gombong bamboo, interface, swelling, pull-out testing, BRC
1.Pendahuluan Indonesia sebagai negara tropis memiliki aneka ragam tumbuhan yang banyak manfaatnya untuk manusia. Bambu adalah tumbuhan yang banyak tumbuh di Indonesia. Berbagai macam jenis atau spesies bambu ada di Indonesia dan setiap spesies memiliki karakteristik yang berbeda beda. Bambu dapat digunakan sebagai salah satu bahan kontruksi bangunan. Kontruksi bangunan yang lazim digunakan saat ini adalah beton dengan penguat baja.
Beton sebagai struktur bangunan rumah merupakan material getas. Sebagai pencegahannya di dalam beton digunakan baja sebagai penguat beton. Kelebihan beton antara lain kuat k uat desaknya d esaknya relatif tinggi, mudah dibentuk sesuai keinginan, dapat dikombinasi dengan material lain. Pada saat proses pembuatan beton, baja rentan terserang korosi akibat air yang ada pada pori-pori beton. Baja tulangan yang mengalami korosi dapat menurunkan sifat material dari baja maupun beton bangunan secara keseluruhan sehingga perlu ada suatu alternatif untuk mengganti baja tulangan sebagai penguat beton. Baja tulangan sebagai penguat beton biaya kontruksinya mahal, namun beton berpenguat baja lebih kuat dan lebih tahan lama. Sebagai alternatif menggunakan bambu sebagai pengganti baja untuk bahan penguat yang disebut sebagai komposit semen berpenguat bambu atau Bamboo Reinforced Cement (BRC). Penelitian BRC sudah dilakukan di dunia dan di Indonesia masih merupakan topik baru. Hasil penelitian tentang BRC yang sudah ada sampai Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
saat ini mengalami masalah utama yaitu kekuatan antar muka antara bambu dan semen. Penelitian ini bertujuan mengukur kekuatan antar muka antara bambu dan semen serta pengaruh adanya pelapis pada kekuatan antar muka. Bambu mudah tumbuh dan akan mencapai kekuatan tertingginya dalam beberapa tahun, jumlah bambu yang berlimpah terutama di daerah tropis seperti Indonesia. Bambu termasuk material yang ekonomis. Kekuatan tarik bambu relatif tinggi dan dapat mencapai 370 MPa menyebabkan bambu digunakan sebagai alternatif pengganti pengganti baja dan aplikasi penguat beton [1].Bambu termasuk rumput-rumputan berkayu yang tumbuh sangat cepat dibandingkan pohon. Batang bambu berbentuk buluh, beruas, berongga [2].Spesies bambu yang yang beraneka beraneka ragam ragam juga juga menentukan menentukan sifat mekanik dari masing-masing bambu [3]. Harus dipilih terlebih dahulu jenis spesies bambu yang memiliki kekuatan tinggi untuk kontruksi bangunan pengganti baja. baja. Batang bambu terdiri dari atas jaringan parenkim ( parenchyma) parenchyma) sekitar 50%, serat ( fibers) fibers) sekitar 40%, dan jaringan pengangkut ( xylem ( xylem and phloem) phloem) 10%. Setiap spesies bambu memiliki komposisi yang berbeda. Bagian luar bambu mengandung banyak jaringan parenkim dan jaringan pengangkut, sedangkan bagian dalam batang bambu lebih banyak mengandung serat. Komposisi bambu pada umumnya terdiri dari selulosa (50-70%), hemiselulosa (20-30%), dan lignin (20-30%). Bambu juga mengandung
160
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM ( SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
sebagian kecil resin, tanin, lilin, dan garam anorganik. Spesies bambu dan tinggi batang bambu realtif terhadap tanah tanah serta posisi serat pada batang bambu berhubungan dengan serat bambu yang berpengaruh pada kekuatan bambu [3]. Penelitian ini menggunakan bambu Gombong (Gigantochloa ( Gigantochloa Pseudoarundinacea) Pseudoarundinacea ) yang berusia sekitar 4 tahun. Karakteristik dari serat bambu Gombong memiliki kekuatan tarik adalah128-192 MPa dan modulus elastisitas adalah 20-29 GPa [4]. Berikut klasifikasi ilmiah bambu Gombong ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi ilmiah bambu Gombong [2] Klasifikasi ilmiah bambu Kingdom
Plantae / Plants
Family
Gramineae / Grass Family
Subfamily
Bambusoideae
Tribe
Bambuseae
Genus
Gigantochloa
Type Species
Gigantochloa pseudoarundinacea Bambu Gombong
bambu dengan beton. Hal ini sangat menurunkan kualitas dari beton berpenguat bambu tersebut. Untuk menghindari kejadian tersebut, bambu harus diberi perlakuan khusus sehingga menambah kekuatan antar muka dan menghilangkan sifat swelling sifat swelling bambu bambu terhadap air. Perlakuannya adalah dengan memberikan lapisan kedap air pada bambu namun lapisan tersebut harus dapat berinteraksi baik permukannya dengan beton. Uji pull-out adalah pengujian untuk menentukan kekuatan antarmuka antara matriks dan penguat pada suatu komposit. Kekuatan antar muka sangat berperan untuk media transfer gaya antara matriks dan penguat. Rule of mixture mixture dari suatu komposit akan terpenuhi bila kekuatan antar muka komposit baik sehingga sifat yang diinginkan dari komposit bisa terpenuhi. Skema uji pull-out seperti gambar 2 [5]. Bambu diletakkan ditengah-tengah semen, setelah waktu curing selama 14 hari batang bambu ditarik dan semen ditahan.
Sifat bambu yang mudah menyerap air menjadi permasalahan utama sebagai penguat beton. Syarat utama antara penguat dan beton adalah sifat adhesif pada semen, gaya kompresi karena penyusutan semen yang dapat menyebabkan gesekan pada permukaan penguat, dan kekasaran permukaan beton dan penguat. Syarat utama tersebut akan terganggu bila bambu menyerap air dan mengalami pembengkakan ( swelling swelling ). ).
Gambar2. Skema uji pull-out uji pull-out [5] [5] Kekuatan antar muka spesimen uji pull-out dapat ditentukan dengan persamaan [6] berikut :
τif =
P K .Lb
......................................................
(1) Di mana : = Kekuatan antar muka spesimen τif P = Gaya terbesar yang diterima spesimen sebelum penguatlepas dari matriks K = Keliling penguat L b = Bond length, length, panjang daerah kontak antara matriks danpenguat. Gambar 1. Bambu sebagai penguat beton [1] Pada gambar 1 ditunjukkan bahwa saat proses pengecoran, bambu akan menyerap air yang ada pada campuran semen basah sehingga dimensi bambu menjadi membengkak. Saat waktu pengeringan selesai, dimensi dimensi bambu akan kembali kembali ke bentuk semula karena kandungan air pada beton sudah habis, sehingga terbentuk rongga antara Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
2. Metode Penelitian ini menggunakan semen portland tipe tipe I. Sampel pada penelitian ini terbuat dari campuran air dan semen dengan perbandingan berat 0,33. Tidak menggunakan menggunakan agregat dan bahan bahan tambahan (accelerator (accelerator ). ). Bambu yang digunakan sebagai penguat adalah jenis bambu Gombong dengan nama latin Gigantochloa Pseudoarundinacea Pseudoarundinacea yang berusia sekitar 4 tahun ditunjukkan pada gambar 3. 161
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM ( SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
dilepaskan dari cetakannya pada hari ke-2 pengeringan lalu dibiarkan mengering atau curing selama 12 hari pada temperatur ruangan (total waktu pengeringan 14 hari).
Gambar 3. Bambu Gombong Uji swelling perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penyerapan bambu terhadap air. Spesimen uji adalah menggunakan bambu berbentuk tusuk sate yang memiliki diameter awal 2.50 mm. Spesimen diberi tiga tanda pada bagian ujung yang nantinya akan direndam dalam air. Tanda tersebut adalah bagian yang akan di ukur diameternya setiap hari selama 14 hari. Gambar 4 menunjukkan spesimen uji swelling.
Gambar 5. Pengujian pull-out Pengujian kekuatan antar muka antara bambu dan semen dilakukan dengan menggunakan mesin uji universal Tensilon-RTF1310 dengan kecepatan pembebanan 5 mm/menit. Pengujian dilakukan sampai batang bambu mampu terangkat atau lepas dari semen sehingga terjadi penurunan nilai gaya terukur secara drastis. Uji pull-out Uji pull-out ditunjukkan ditunjukkan gambar 5.
Gambar 4. Pengujian swelling Uji pull-out sangat harus dilakukan untuk mengetahui bagaimana sifat antar muka antara bambu dan semen untuk dijadikan komposit. Sampel menggunakan bambu seukuran dengan tusuk sate dan sumpit. Berikut adalah prosedur pembuatan sampel uji : 1. Melapis permukaan bambu Bambu yang akan dimasukkan ke dalam campuran komposit semen - bambu harus dilapis. Proses pelapisan dengan menggunakan cat kayu, lem kayu, dan lem mengandung polychloroprene mengandung polychloroprene ke permukaan bambu dengan menggunakan kuas. Setelah proses pelapisan selesai, lapisan lem dibiarkan mengering selama 24 jam di temperatur ruangan. 2. Pencampuran dan pengecoran Semen dan air diaduk menjadi satu dengan mixer . Tuangkan campuran semen dan air ke dalam cetakan berbentuk silinder. 3. Penambahan bambu Bambu yang sudah dilapis dengan lem dan sudah mengering diletakkan di tengah-tengah sampel pada posisi tegak lurus dengan semen. semen. 4. Pengeringan Bambu ditahan supaya posisinya tetap di tengah sampel dan tegak lurus dengan semen. Sampel Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
3. Hasil dan Pembahasan Bila tidak diberi pelapis akan menimbulkan adanya rongga kosong antara bambu dan semen pada saat komposit semen sudah kering. Hal ini dibuktikan oleh gambar 6, bahwa bambu tanpa perlakuan apapun tidak dapat berikatan dengan semen. Untuk itu dilakukan uji swelling bambu. bambu.
Gambar 6.Bambu dan semen yang tidak berikatan. Data yang diambil pada pengujian ini adalah penambahan tebal bambu sebelum dan setelah direndam dalam air selama 14 hari. Pengukuran ketebalan dilakukan setiap hari dengan cara mengukur diameter bambu setelah direndam dalam air. Hasil uji swelling uji swelling bambu bambu sebagai berikut :
162
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM ( SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 7. Grafik uji swelling uji swelling bambu bambu Hasil pengujian menunjukkan bahwa bambu menyerap menyerap air air sehingga mengalami swelling mengalami swelling . Hal ini dibuktikan bahwa diameter sampel selalu bertambah setiap hari selama 14 hari berdasarkan gambar 7. Rata-rata penambahan diameter sampel sebesar 0,008 mm per hari. Penyerapan air oleh bambu berarti banyak terdapat gugus hidroksil (OH) seperti lignin, selulosa, hemiselulosa di seluruh jaringan penyusun. Gugus hidroksil tersebut menyebabkan terjadinya ikatan hidrogen antara bambu dan air. Bambu yang mengembang akibat menyerap air dapat menurunkan kekuatan antar muka antara bambu dan semen. Akibat dari swelling , bambu harus diberi pelapis anti air apabila akan digunakan sebagai penguat pada komposit semen. Pengujian ini dilakukan karena pada saat pembuatan komposit semen berpenguat bambu, komposit tidak dapat bekerja. Bambu yang digunakan sebagai penguat komposit semen tidak berinteraksi. Berdasarkan hasil diskusi, disarankan disarankan untuk membuat ikatan pada permukaan bambu supaya antar muka bambu dan semen bekerja [7]. Selain itu, bahwa bambu menyerap air dan membengkak, kemudian menyusut lagi dan menyebabkan adanya rongga antara bambu dan semen [1]. Persentase pembengkakan bambu hampir sama dengan penyusutannya [3]. Kekuatan antar muka bambu dan semen di uji dengan metoda pull-out . Data hasil uji pull-out ditunjukkan pada gambar 8.
Gambar 8. Grafik uji pul-out uji pul-out Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Pemberian lapisan pada permukaan bambu menyebabkan bambu tidak dapat atau menurunkan daya serap bambu terhadap air pada saat komposit semen masih basah. Dari berbagai pelapis yang digunakan, kekuatan antar muka paling tinggi yang dilapis dengan bahan pelapis komersial atau lem yang mengandung polychloroprene. polychloroprene. Penggunaan lem yang mengandung polychloroprene polychloroprene karena banyak terdapat di pasaran dan harganya terjangkau. Adanya lapisan polychloroprene menghalangi bambu untuk menyerap air. Ditinjau dari struktur kimianya ditunjukkan pada gambar 9 [8], polychloroprene polychloroprene tidak mungkin membentuk ikatan hidrogen dengan air, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pelapis pada bambu untuk mencegah penyerapan air dan dapat meminimalisir adanya rongga pada komposit semen berpenguat bambu.
Gambar 9. Struktur kimia polychloroprene kimia polychloroprene [8] [8] Kekuatan antar muka bambu dan semen selain dipengaruhi oleh jenis pelapis, juga dipengaruhi oleh waktu pengeringan pelapis sebelum dilakukan proses pengecoran dan besar bambu yang digunakan. Sampel yang digunakan adalah sumpit dan tusuk sate yang terbuat dari bambu. Besar diameter sumpit bambu lebih besar daripada tusuk sate sehingga kekuatan antar muka sampel sumpit bambu lebih tinggi daripada sampel tusuk sate. Waktu pengeringan pelapis juga berpengaruh pada kekuatan kekuatan antar antar muka bambu dan semen. Nilai kekuatan antar muka pada pelapisan sampel yang dikeringkan selama 6 jam (0,9 MPa) lebih kecil daripada pelapisan sampel yang dikeringkan selama 24 jam (1,1 MPa), waktu curing sampel sampel selama 7 hari. Semakin cepat waktu pengeringan pelapis yang mengandung polychloroprenemembuat polychloroprenemembuat pelapis belum menutup permukaan bambu secara sempurna sehingga masih ada permukaan bambu yang dapat menyerap air dan menyebabkan kekuatan antar muka bambu semen rendah. Waktu curing sampel sampel juga berpengaruh pada kekuatan antar muka bambu dan semen. Semakin lama waktu curing akan menyebabkan kekuatan antar muka bambu semen semakin tinggi. Hal ini karena semen akan menghasilkan kekuatan maksimum sesuai dengan reaksi hidrasi semen pada waktu curing 28 hari. Hal ini dapat dibuktikan bahwa waktu curing selama 14 hari kekuatan rata-ratanya lebih tinggi (1,76 ± 0,38 MPa) dari pada waktu curing selama selama 7 hari (1,1 MPa) ditunjukkan oleh tabel 2. Pada waktu curing selama 14 hari, semen mengalami
163
Prosiding Seminar Nasional Material dan Metalurgi (SENAMM ( SENAMM VIII) Yogyakarta, 5 November November 2015
proses hidrasi pada tahap pertumbuhan fasa CSH (Calcium-Silicate-Hydrate Calcium-Silicate-Hydrate)berserabut )berserabut di seluruh bagian semen. Adanya fasa CSH ini yang memberikan kekuatan lebih tinggi. Pada waktu curing selama 7 hari, sesuai proses hidrasi semen baru mengalami pertumbuhan fasa CSH sehingga kekuatannya lebih kecil. Tabel 2. Data uji pull-out uji pull-out waktu waktu curing 14 hari Spesimen R15.1 R15.2 R15.3 R15.4 R15.5 R15.6
Waktu curing 14 14 hari mean Stdev σ (Mpa) σmean 1,97 2,15 1,26 1,76 0,38 2,11 1,40 1,65
Hasil penelitian ini lebih baik daripada yang sudah pernah dilakukan dilakukan oleh Terai, pelapis yang digunakan sebagai bahan kedap air adalah synthetic resin resin dan kekuatan antar muka antara bambu dan semen adalah 1,2-1,35 MPa pada waktu curing selama 28 hari [9]. Dibandingkan dengan baja, kekuatan antar muka bambu yang sudah dilapis dengan lem yang mengandung polychloroprenemasih polychloroprene masih lebih rendah. Kekuatan antar muka baja dan semen sekitar 1,93 ± 0,03 MPa [10]. Hasil aplikasi dari kekuatan antarmuka pada komposit semen berpenguat bambu Gombong adalah mampu menghasilkan kekuatan lentur komposit sampai 15,6 MPa. Kekuatan komposit semen berpenguat bambu Gombong (BRC) masih dapat ditingkatkan dengan penelitian lebih lanjut. 4. Kesimpulan Bambu Gombong mengalami pembengkakan ( swelling) saat swelling) saat direndam dalam air. Pembengkakan rata-rata sebesar 0,008 mm per hari, oleh sebab itu bambu harus dilapisi oleh bahan kedap air supaya berfungsi sebagai penguat pada komposit komposit semen. Agar kekuatan antarmuka antara bambu dan matriks semen baik maka swelling harus dihindari dengan menggunakan bahan perekat komersial atau lem yang mengandung polychloroprene mengandung polychloroprene.. Kekuatan antar muka bambu terhadap semen yang dengan lapisan yang mengandung polychloroprene polychloroprene adalah 0,9-1,1 MPa dengan waktu pengeringan lapisan selama 24 jam dan dan waktu waktu kering kering semen selama 7 hari lebih lebih baik baik daripada menggunakan pelapis cat kayu. Semakin lama waktu curing semen, semen, kekuatan antar muka antara bambu dan semen semakin meningkat. Pada waktu curing 7 hari kekuatan antar muka sebesar 1,1 MPa dan waktu curing 14 14 hari kekuatan antar muka sebesar 1,76 MPa.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Daftar Pustaka [1]. K. Ghavami, 2005, Bamboo Bamboo as reinforcement in structural concrete elements,, elements, , journal of Fluids engineering, Journal of Cement and Concrete Composites, Elsevier, Vol.27,637649. [2]. Klasifikasi Gigantochloa Pseudoarundinacea. Available at : http://proseanet.org/prosea diakses 20 Januari 2015 [3]. W. Liese, 1985,. Anantomy 1985,. Anantomy and Properties of Bamboo. Bamboo. Institute of Wood Biology and Wood Preservation of the Federal Research Centre for Forestry and Forest Product. Germany. [4]. E.A, Widjaja,1995, Gigantochloa nigrociliata, Gigantochloa pseudoarundinacea & Gigantochloa robusta, Plant Resources of South-East Asia, N.7, Bamboos. Backhuys Publishers, Leiden. pp. 114 - 120. [5]. H. Sakaray, et al, 2012, Investigation on Properties of Bamboo as Reinforcing Material Material in Concrete, Concrete, International Journal of Engineering Research and Applications (IJERA), Vol. 2, pp.077-0.83. [6]. D. Hull, 1996, An An Introduction to Composite Materials Second Edition, Edition, Cambridge University Press. [7]. Mardiyati, 2014, private communication. [8]. Polychloroprene (CR), chlororoprene rubber .Available .Available at : http://www.iisrp.com/webpolymers/04finalpo lychloropreneiisrp.pdf. diakses 24 Januari 2015 [9]. M. Terai, K. Minami, 2012, Research Research and Development on Bamboo Reinforced Concrete Structure, Fukuyama University, Japan. Available at : http://www.iitk.ac.in/nicee/wcee/article/WCE E2012_2020.pdf. diakses E2012_2020.pdf. diakses 7 Januari 2015. [10]. M.K.Bijaksana,2014,Studi M.K.Bijaksana,2014,Studi Awal Pada Komposit Semen Berpenguat Bambu Yang Mengalami Pembebanan Lentur Berulang ,Tugas ,Tugas AkhirTeknik Material , , ITB, Bandung.
164
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Sintesis dan karakterisasi membran kitosan-kolagen-nano karbonat hydroxyapatite Erizal1, Basril Abbas1, , Dian Pribadi Perkasa1, Nofita Chairni2 1
Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jl.lebak Bulus raya no.49. Jakarta 12440 Universiata Pancasila, Fakultas Farmasi, Srengseng sawah. Jaga karsa, Jakarta 12640
[email protected]
2
Abstract Nowadays, the development of biomaterials for the healthcare applications has been progressed rapidly. One of the potential of biomaterials to be developed is the membrane. The aim of the work is to synthesis of chitosan (CS)-collagen (Col) -nano carbonate hydroxyapatite (HA) membrane and study their charactristics. The mixtures of CS-HA (2/4, Wt% ) with different concentration of collagen (0.25-1.0 wt,%) respectively were crosslinked with sodium hydroxide (NaOH), casted at room temperature. Mechanical properties of the membranes were measured in tensile and elongation at break mode using universal testing machine. The morphology of membranes was observed using Scanning electron electron microscope (SEM). Degradation and water absorption of the membrane were determined by a gravimetric method. The results showed showed that the membrane capable to absorb absorb water relatively fast (10 min) and stable with the increase of time. With increasing of collagen content, the tensile strength, elongation at break and degradation degradation of membranes increase. The CS-Col- HA HA composite membrane could could be considered to be used as GTR GTR (Guided Tissue Regeneration ) in periodontal. Keywords : GTR, Membrane, Chitosan, Hydroxy apatite, Collagen. :
1.Pendahuluan Di Indonesia, kebutuhan akan bahan biomaterial tiap tahunnya meningkat walaupun secara statistik belum diketahui secara pasti. Menurut informasi yang diperoleh dari Bank Jaringan Riset BATAN yang merupakan salah satu penyedia kebutuhan biomaterial seperti allograft, xenograft dan jaringan amnion. Kebutuhan biomaterial tersebut meningkat secara signifikan setiap tahunnya [1,2]. Produk tersebut digunakan secara luas di bidang orthopedic oleh ± 49 Rumah Sakit di Indonesia. Selain itu, kebutuhan bahan biomaterial untuk masalah periodontitis meningkat pula di pasaran dunia dengan meningkatnya populasi orang dewasa. Data yang diperoleh dari National Institute of Dental and Craniofacial Research (NIDCR, National Institutes of Health, Amerika Serikat) menunjukkan bahwa ± 90% populasi orang dewasa berumur 70 tahun mengalami penyakit gigi secara moderat [3-6]. Dari temuan beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara periodontitis dengan gangguan sistemik, seperti diabetes, penyakit jantung dan pernapasan [7,8]. Guided Tissue Regeneration (GTR) adalah salahsatu teknik yang dipakai pada pasien periodontitis untuk memperlakukan kerusakkan gigi yang memberikan kesempatan untuk tumbuhnya gigi baru. Teknik ini menggunakan membran sebagai barrier fisik untuk membentuk suatu ruang disekeliling kerusakkan gigi yang memungkinkan regenerasi tulang dan mencegah migrasi sel epitel
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
kebagian tulang. Polytetrafluoroetilen (PTFE) dan kolagen merupakan membran GTR yang popular saat ini. Kedua jenis GTR tersebut mempunyai kelemahan antara lain pada pemakaian membran PTFE diperlukan prosedur bedah tambahan untuk mengeluarkan membran setelah pemakaian, dan pada pemakaian membran kolagen terjadi respon pembengkakan secara lokal dan mempunyai sifat degradasi yang relatif cepat [9,10]. Selain itu harga PTFE dan kolagen relatif mahal, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk membuat produk sejenis (membran GTR) yang diharapkan relatif lebih ekonomis, aman dipakai, tidak toksik, tidak antigenik dan hanya sedikit sekali dapat menginduksi atau sama sekali tidak menyebabkan radang pada jaringan tulang. Karbonat hidroksiapatit [HA,Ca 5(PO4. CO3)3(OH)]. merupakan material yang diaplikasikan dalam bidang medis untuk menggantikan mineral jaringan tulang. Hal ini karena HA memiliki komposisi dan kristalinitas yang hampir mirip dengan tulang manusia yaitu tersusun dari mineral kalsium (Ca) dan fosfat (P). Selain itu, tidak toksik, bioaktif, dan terserap dengan baik (resorpsi) menjadikan hidroksiapatit merupakan material biokeramik yang dikenal luas [11,12]. Kitosan [poli(1,4),-β-D-glukopiranosamin] merupakan polimer alam jenis polisakarida, berantai linear merupakan turunan dari khitin, berasal dari ekstraskeleton antropoda. Kitosan (Ks) berderajat kereaktifan yang tinggi disebabkan oleh adanya gugus amino bebas sebagai gugus
165
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
fungsional. Sebagai biopolimer alami, kitosan bersifat bioaktif, biodegradable , dan sebagai anti bakteri.[13]. Kolagen (Col) memegang peranan yang sangat penting pada setiap tahap proses penyembuhan luka. Kolagen mempunyai kemampuan antara lain homeostasis, interaksi dengan trombosit, interaksi dengan fibronektin, meningkatkan eksudasi cairan, meningkatkan komponen seluler, meningkatkan faktor pertumbuhan dan mendorong proses fibroplasia dan terkadang pada proliferasi epidermis. Manfaat kolagen dalam bidang medis adalah mempercepat tumbuhnya jaringan baru. Oleh karena itu berdasarkan sifat-sifat tersebut, gabungan kitosan – kolagen kolagen dan HA diharapkan dapat membentuk membran yang bersifat sinergis sebagai bahan biomaterial baru yang dapat dipakai sebagai membran khususnya pada bidang periodontal. Berdasarkan deskripsi tersebut diatas, maka dalam penelitian ini dilakukan sintesis membran kitosan-kolagen -HA menggunakan crosslinker natrium hidroksida (NaOH) dengan variasi konsentrasi kolagen 0,25 hingga 1% pada perbandingan kitosan/HA yang konstan 2:4 (% berat). Membran hasil sintesis diuji sifat fisiknya yang meliputi tegangan tarik dan perpanjangan putus menggunakan Universal testing machine. Morphologinya diobservasi menggunanakan Scanning electron microscope (SEM). Daya serap air dan degradasi diukur secara gravimetri.
yang mengandung 4 g HA yang telah dihomogenkan pada suhu kamar. Selanjutnya ke dalam masing-masing campuran dimasukkan 0,25 g, 0,50 g, 0,75 g, dan 1 g kolagen secara berturutturut , Selanjutnya campuran diaduk dengan magnit dengan kecepatan 200 rpm hingga homogen stirrer dengan dan kemudian dituangkan ke dalam wadah cetak plastik dengan ukuran 10x10x0,3 cm3, dan dikeringkan pada suhu kamar selama 48 jam. Membran yang telah kering direndam di dalam larutan NaOH selang waktu waktu 1 jam, dan membran dikeringkan kembali dalam oven pada suhu 60 oC selama waktu 24 jam. jam. 2.4 Pengujian air terserap
Tiga buah cuplikan membran dengan ukuran 2x2x0,5 cm3 dikeringkan dalam oven pada pada 0 suhu 60 C hingga berat konstan, konstan, lalu ditimbang (W 0 ). Kemudian membran membran kering direndam dalam
2. Metode
25 mL mL air air suling. suling. Setelah 1 menit, menit, membran dikeluarkan dari media perendaman. Air permukaan p ermukaan membran disapu (dilap) dengan kertas saring, selanjutnya ditimbang kembali kembali (Ws). (Ws). Setelah itu, membran direndam kembali ke dalam air dalam wadah yang sama untuk pengujian air terserap pada interval waktu waktu menit selanjutnya. selanjutnya. Perlakuan yang sama dikerjakan untuk pengujian air terserap membran dalam waktu interval menit lainnya. Akhirnya membran dikeringkan dalam oven pada suhu 60 0C hingga berat konstan. Air terserap hasil pengujian pada masing-masing waktu perendaman dihitung dengan menggunakan persamaan
2.1 Bahan.
Air terserap = (Ws-W o)/W0
Kitosan dengan derajat deasetilasi 90 % dibeli dari Biotech Surindo, Cirebon. Karbonat hidroksi apatit dan kolagen diisolasi dari sisik ikan buatan lab. Biomaterial, Bidang Proses Radiasi, PATIRBATAN. Natrium hidroksida (NaOH), Natrium klorida (NaCl), Kalium klorida (KCl), Dinatrium hydrogen fosfat (Na 2HPO4), Kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4) semuanya buatan Merck. Bahan kimia lainnya yang dipakai adalah kualitas p.a.
2.5
2.2 Alat.
Karakterisasi perubahan struktur kimia pada membran digunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Pengujian sifat mekanik membran yang meliputi kekuatan tarik dan perpanjangan putus digunakan sterograph Instron. Morfologi membran dikarakterisasi menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). 2.3 Pembuatan membran Kitosan-kolagen-HA
Disiapkan satu seri campuran 100 ml larutan kitosan 2% dalam pelarut asam asetat 1% Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Uji biodegradasi
Komposit membran dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 24 jam hingga bobot konstan. Kemudian komposit membran ditimbang (Wo). Selanjutnya komposit membran direndam dalam larutan PBS (pH 7,4) selama 1 hari dan dikocok dalam shaker inkubator dengan kecepatan goyangan 40 rpm pada suhu kamar, lalu komposit membran dikeluarkan dari wadah pengujian dan selanjutnya dikeringkan dalam oven vakum pada suhu 60 oC selama 2 jam dan komposit membran kering ditimbang (W1). Komposit membran kering selanjutnya direndam kembali ke dalam wadah semula yang mengandung larutan PBS ( phosphat buffer solution). Perlakuan seperti tersebut diatas diulang untuk pengujian biodegradasi pada selang waktu 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, dan 28 hari. Bobot komposit membran yang tersisa dihitung dengan persamaan berikut: Berat membran yang tersisa = W1/Wo X 100 %
166
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
W1 = berat komposit membran kering setelah perendaman (g), W0 = berat komposit membran kering (g)
waktu perendaman, daya serap air air meningkat secara perlahan-lahan perlahan-lahan hingga mencapai mencapai keadaan keadaan yang relatif konstan pada waktu 60 menit dengan nilai kisaran daya serap air 48% hingga
Membran yang terdegradasi= 100%- % berat yang tersisa
2.6 Pengujian Pengujian kekuatan tarik dan putus
perpanjangan
Kekuatan tarik dan perpanjang putus merupakan parameter fisik yang penting dari membran, mewakili tegangan tarik maksimum selama proses perpanjangan uji putus dan persentase pertambahan panjang panjang (elastisitas) sampel uji yang dialami akibat tegangan tarik, diukur berdasarkan metode standar ASTM ( American Standard Testing Mechanical ) menggunakan alat Instron. Membran berbentuk dumbbell ukuran standar, kedua ujungnya dijepit pada mesin Instron dengan salah satunya bergerak dan ujung lainnya dalam keadaan diam. Kecepatan gerak penjepit 30 mm/menit pada suhu kamar. Data hasil pengukuran direcord . Pengujian dilakukan dengan 5 kali ulangan. Perpanjangan putus dihitung dengan persamaan Perpanjangan putus = (L1-Lo)/Lo X100%
Lo ukuran panjang sampel mula-mula; and ukuran panjang sampel akhir
L1
dan, kekuatan tarik dihitung dengan dengan persamaan =F/A Kekuatan tarik =F/A F = Beban dari alat hingga bahan putus (kg), A= Luas penampang bahan (cm 2) 2.7 Karakterisasi membran menggunakan SEM
Pengujian morfologi dari kitosan,HA, dan membran Kitosan-HA dilakukan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope ). Sampel dilapisi dengan lapisan tipis emas dengan ketebalan 100A menggunakan Denton Vacuum. Gamba r
morfologi dari sampel diperoleh menggunakan SEM 515/RDAX PV 9900. 3.
Hasil dan Pembahasan
Kemampuan membran dalam menyerap air merupakan parameter yang menentukan layak atau tidaknya membran dapat digunakan sebagai GTR [3]. Fungsi waktu perendaman terhadap air terserap oleh membran dengan variasi persentase kolagen (0,25 %-1 %) disajikan pada Gambar 1. Terlihat bahwa pada awal perendaman dalam waktu waktu pengukuran pengukuran 10 menit, membran menyerap air dengan kisaran 46 % hingga 60 %. Selanjutnya meningkatnya Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 1. Hubungan antara waktu dan air teserap membran kitosan- HA-kolagen pada variasi persentase kolagen 65% yang meningkat dengan meningkatnya persentase kolagen. Dengan perkataan lain,meningkatnya waktu perendamaan dan meningkatnya konsentrasi kolagen tidak menyebabkan peningkatan air terserap yang relatif tidak signifikan. Oleh karena itu, membran yang ideal untuk aplikasi sebagai pelindung bagian rongga gigi yang telah dicabut adalah berdaya serap air yang konstan selama pemakaian atau tidak mengalami (pembengkakan) yang besar. Hal ini swelling (pembengkakan) mengindikasikan bahwa membran dengan daya air yang relatif konstan pada selang waktu pengukuran 60 menit selayaknya perlu dipertimbangkan sebagai GTR. 3.1 Pengaruh konsentrasi kolagen pada kekuatan tarik membran Pengujian kekuatan tarik merupakan salahsatu parameter fisika yang penting dipersyaratkan pada membran untuk aplikasi GTR [3]. Membran umumnya digunakan pada daerah gigi yang sering dilakukan pergerakan seperti mengunyah dan mengigit. Oleh karena itu, membran seharusnya elastis, fleksibel dan cukup kuat sehingga tahan terhadap tarikan dan tekanan ketika digunakan pada daerah gigi serta dapat mengikuti pergerakan gigi. Pengaruh konsentrasi kolagen terhadap kekuatan tarik membran dengan variasi persentase kolagen disajikan pada Gambar 2. Terlihat bahwa kekuatan tarik membran pada awal pengujian dengan konsentrasi kolagen 0,25% adalah 18.5 kg/cm2, meningkatnya konsentrasi kolagen hingga 1% menyebabkan kekuatan tarik membran meningkat mencapai 27 kg/cm 2. Hal ini diduga kuat kolagen dengan struktur molekul mengandung gugus NH dan OH yang dominan dapat bergabung dengan baik bersama HA yang mengandung gugus OH
167
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
serta kitosan mengandung gugus NH dan OH melalui ikatan hidrogen. Sehingga meningkatnya konsentrasi kolagen, kekuatan tariknya meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa membran kitosan-kolagen-HA tidak menjadi rapuh dengan meningkatnya konsentrasi kolagen.
Gambar 2. Hubungan konsentrasi kolagen vs kekuatan tarik membran kitosan-kolagen-HA
Pengaruh waktu perendaman dalam larutan PBS terhadap persentase degradasi membran dengan variasi konsentrasi kolagen yang diukur hingga 27 hari disajikan pada Gambar 4. Terlihat bahwa pada awal pengujian (hari ke3), membran mengalami degradasi rata-rata pada kisaran 1-6%. Meningkatnya waktu perendaman hingga 27 hari disertai meningkatnya konsentrasi kolagen dari 0,25% hingga 1 % menyebabkan degradasi membrane meningkat hingga 60 %. Terjadinya peningkatan degradasi membran dengan meningkatnya konsntrasi kolagen, diduga kuat kemungkinan lepasnya HA dari matrik membrane dengan meningkatnya waktu perendaman atau sebab lain yang perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, Menurut Ming Kuo (14) bahwa degradasi dari membran hingga 60 % yang mengandung Kitosan dan HA dengan kisaran berat total 5-10 % cukup layak memenuhi syarat untuk aplikasi pada GTR dalam bidang periodontal.
3.2 Pengaruh konsentrasi kolagen pada perpanjangan putus membran Pengaruh konsentrasi kolagen terhadap perpanjangan putus membran disajikan pada Gambar 3. Terlihat bahwa perpanjangan putus membran kitosan pada pengujian awal (0.25% kolagen) adalah 36% dan meningkat hingga 80 % dengan meningkatnya konsentrasi kolagen. Hai ini menunjukkan bahwa
Gambar 3. Hubungan konsentrasi kolagen vs perpanja putus membran kitosan-kolagen-HA. kitosan-kolagen-HA.
3.4 SEM membran Pengamatan morfologi permukaan membran Ks — Kol-HA Kol-HA dengan menggunakan SEM disajikan pada Gambar 5. Terlihat bahwa bentuk permukaan membran Ks-Kol-HA adalah homogen, berpori dan berserat. Membran Ks-KolHA terdiri dari serbuk HA berupa senyawa anorganik yang sukar bercampur secara sempurna dengan kitosan dan kolagen membentuk suspensi yang terdispersi dalam larutannya. Hal
membran kitosan – kolagen-HA kolagen-HA dapat menjadi elastis dengan meningkatnya konsentrasi kolagen. Oleh karena itu, pada pemakaiannya membran ini akan lebih mudah diletakkan pada posisi yang dikehendaki dengan tanpa mudah mengalami kerusakkan atau putus. 3.3 Degradasi membran kitosan-kolagen-HA Uji degradasi dari membran ini sangat perlu dilakukan, karena membran tersebut diharapkan akan mengalami degradasi dalam waktu bersamaan dengan tertutupnya rongga gigi yang bolong oleh bahan pengisi. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
tersebut yang membuat permukaan membran KsKol-HA yang kontak pada udara lebih terlihat homogen dan membentuk laminer, sedangkan bagian membran yang kontak dengan cetakan lebih memadat karena kandungan serbuk HA lebih besar.
168
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pada Gambar 5B terlihat bahwa serbuk HA terdispersi dalam membran, yang ditandai dengan warna putih. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa membran kitosan-kolagen-nano karbonat hidroksi apatit dapat disintesis menggunakan larutan NaOH dengan variasi kolagen hingga 1%. Meningkatnya konsentrasi kolagen menyebabkan meningkat tegangan tarik dan perpanjangan putus membran dan tidak menyebabkan peningkatan daya serap air yang relatif besar pada membran. Selain itu, meningkatnya konsentrasi kolagen dapat meningkatkan kemampuan degradasi membran. membran.
[10]
Daftar Pustaka
[13]
[1]
[2]
[3].
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
A. Basril, 2000, Pembentukan radikal bebas pada graft tulang manusia dan bovine Iradiasi, Prosiding Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi, PATIR-BATAN, 57-58. Global Biomaterials Market Worth US $ 58.1 Billion by 2014. Http://blog.taragana Http://blog.taragana.. com/pr/global-biomaterial-market-worthus581-billion-by-2014-5363/Diakses 2 Mei 2012. M.C. Bottino, V. Thomas, G. Schmidt, Schmidt, Y. K. Vohra, Vohra, G. C. Tien-Min, M. J. Kowolik, G. M. Janowski, 2012. Recent advances in the development of GTR/GBR membranes for periodontal regeneration — A materials perspective, , Dental Material, http://dx.doi.org/10.1016/j.dental.2012.04.02 2 B.L. Pihlstrom, B.S. Michalowicz, N.W. Johnson, 2005. Periodontal diseases, Lancet, 366 p. 1809. M. Nakashima, A.H. Reddi, 2003. The application of bone morphogenetic proteins to dental tissue engineering, Nature Biotechnology, 21 p. 1025 A. Nanci, D.D. Bosshardt, 2006. Structure of periodontal tissues in health and disease, Periodontology 2000, 40 p. 11 J.H. Southerland, G.W. Taylor, K. Moss, J.D. Beck, S. Offenbacher, 2000.Commonality in chronic inflammatory diseases: periodontitis, diabetes, and coronary artery disease, Periodontology, 40 (2006), p. 130 F. Nishimura, Y. Iwamoto, Y. Soga, 2000.The periodontal host response with diabetes, Periodontology, 43 (2007), p. 245 A. Kasaj, C. Reichert, H. Gotz, B. Rohrig, R. Smeets, B. Willershausen, 2008. In vitro Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
[11]
[12]
[14]
evaluation of various bioabsorbable and nonresorbable barrier membranes for guided tissue regeneration, Head & Face Medicine, 4 p. 22 K. Owens, R. Yukna, 2001. Collagen membrane resorption in dogs: a comparative study, Implant Dentistry, 10 p. 49 L. Müller Conforto, E. Caillard, D. Müller, F. A., 2007.Biomimetic 2007.Biomimetic apatite coatings — Carbonate substitution and preferred growth orientation, orientation, Biomolecular Engineering, Volume 24, 462-466. M. Magallanes-Perdomo, Z.B. Luklinska, A.H. De Aza, R.G. Carrodeguas, S. De Aza, P. Pena . 2011. Bone-like 2011. Bone-like forming ability of apatite – wollastonite wollastonite glass ceramic , Journal of the European Ceramic Society, 31, 15491561 D.S Jones, H.J. Mawhinney, 2006. Chitosan , Handbook of Pharmaceutical Excipient, fifth ed.American Pharmaceutical Association and The Pharmaceutical Press , 159-162 S. Ming Ming Kuo, G.C. G.C. Chie Chie Niu, C. Wen Lan, M., Feng ChengYu Chiang, M., Jen Chang, 2009. Guided Tissue Regeneration with Use of CaSO4-Chitosan Composite Membran, J. of Med. And Biologics Engineering, , 304310.
169
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Kajian Awal Pembuatan Biokomposit Pati Tapioka Berpenguat Serat Rami Acak Hermawan Judawisastra1*), Lydia Virginia1), Mardiyati 1) 1)Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Material, Program Studi Teknik Material, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Instiut Teknologi Bandung, Ganesha 10, Bandung 40132, INDONESIA *email :
[email protected]
Abstract Biocomposites polymer reinforced fiber are widely researched as alternative solution for syntethic composites. Synthetic materials causing many environmental issues like hardly degrade by nature and CO 2 emission issues. Biocomposites can overcome that issues because of their degradability by nature, have good mechanical properties, and CO2 neutral resource. This research is intended to produce and evaluate tensile strength strength of biocomposite made from tapioca starch blend with PVA reinforced by ramie fibers. Biocomposites were processed by means of solution casting and hot press technique. The fiber fraction volume and hot press temperature were varied. Tensile strength were determined by tension test. Characterization of biocomposite physical properties were carried out to determine density, volume fraction of fiber, matrix, and void. Void in biocomposite were characterized by stereo microscope. Fracture surface from tension test were characterized by Scanning Electron Microscopy (SEM). The biocomposites resulted from hot press 40 oC and 120 oC have maximum tensile strength 7 MPa and 15 MPa consecutively. The resulted tensile strength is determined by the fiber volume fraction and void fraction. Fiber volume fraction of biocomposites were around 9,9% - 17,4%. The resulted void volume fraction were in between 2% - 23%. The lower tensile strength resulted from biocomposites were due to the existence of significant void and bad interface between fiber and matrix. : biocomposite, tapioca starch, random fiber, ramie fiber, tensile strength Keywords
1.
Pendahuluan
Material komposit polimer berpenguat serat umumnya menggunakan polimer sintetis dan serat sintetis [1]. Penggunaan material sintetis menimbulkan permasalahan lingkungan yaitu proses degradasi yang memakan waktu lama dan proses yang menimbulkan emisi karbon [2, 3]. Sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, penggunaan komposit dari bahan alam atau dikenal dengan biokomposit semakin marak digunakan, bahkan dengan regulasi yang dibuat dan telah mulai diterapkan di Eropa [4, 5]. Biokomposit yang telah banyak diteliti adalah biokomposit yang menggunakan serat alam dan polimer sintetis sebagai matriksnya [6, 7, 8]. Biokomposit yang menggunakan serat dan matriks bahan alam juga sudah banyak diteliti [2, 3, 9] . Keunggulan Keunggulan biokomposit yang seluruhnya dari bahan alam adalah lebih mudah terdegradasi secara langsung maupun dengan bantuan mikroorganisme. Oleh karena itu, perkembangan penelitian biokomposit cenderung mengarah pada penggunaan material alam sebagai komponen penyusun utama. Serat alam yang umum digunakan sebagai penguat adalah jute, jute, kenaf , rami, hemp, hemp, bambu,
dll [10]. Serat tersebut merupakan serat yang bersumber dari batang tanaman yang memiliki keunggulan sebagai berikut, sifat mekanik yang lebih baik dibandingkan serat yang berasal dari biji, maupun bagian lain dari tanaman (akar, dahan, daun). Diantara serat alam yang umum digunakan, serat rami memiliki keunggulan yaitu, modulus elastisitas yang lebih tinggi (40 Ppa) dibandingkan serat lain dan potensi tinggi sebagai pengganti serat gelas [11] Matriks alam banyak digunakan sebagai mariks dalam biokompoosit karena murah, mudah didapatkan dan didegradasi [12, 13]. Matriks alam yang banyak digunakan dalam biokomposit adalah pati yang bersumber dari tapioka, kentang, jagung, dll. Pati tapioka merupakan pati yang memiliki kandungan amilopektin dan derajat kristalinitas yang tinggi. Pati memiliki kelemahan yaitu sifat getas ketika telah menjadi bioplastik. Oleh karena itu, cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mencampur pati dengan polimer lain yang bersifat elastis, misalnya PVA [13]. Biokomposit yang menggunakan komponen penyusun pati tapioka dan serat rami acak belum ada yang meneliti. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk membuat biokomposit campuran pati tapioka-PVA yang
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 170
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
diperkuat serat rami acak. 2.
Metode
2.1. Serat Rami Serat rami yang digunakan merupakan serat rami dari Garut. Serat rami ini telah dalam kondisi sudah dialkalisasi, memiliki densitas 1.4 gr/cm3, dan kekuatan tarik sebesar 330 MPa [14]. Serat yang digunakan memiliki panjang 10mm. 2.2. Matriks Pati tapioka Tepung pati yang digunakan merupakan pati merk Tepung Tapioka Gunung Agung, PT Budi Acid Jaya Tbk. Poli Vinil Alkohol (PVA) yang digunakan berasal dari PT. Central Kimia, Bandung. Komposisi pati tapioka/PVA yang digunakan adalah 71/29 wt%. Proses pembuatan matriks dilakukan dengan menggunakan air sebagai plastisizer. PVA dimasukkan ke dalam air dan dipanaskan hingga 85 oC, kemudian didinginkan hinnga temperatur 50 oC, lalu ditambahkan pati dan dipanaskan hingga temperatur gelatinasi yaitu 75 oC. 2.3. Pembuatan Biokomposit Biokomposit dibuat dengan proses cetak taung dan dilanjutkan dengan proses tekan panas. Proses cetak tuang selesai, kemudian biokomposit dikeringkan selama 48 jam dengan kipas angin. Biokomposit yang telah kering kemudian diproses tekan panas pada temperature 40 oC dan 120 oC selama 1 jam dan tekanan 3,2 bar. Tabel 2-1 menunujukkan variasi dan kode sampel biokomposit pada penelitian ini. ini. Tabel 2-1 Variasi biokomposit yang dibuat Rencana Temperatur fraksi volum proses tekan Kode sampel serat (%) panas (oC) 10 15 20 10 15 20
40
K40-10 K40-15 K40-20
120
K120-10 K120-15 K120-20
2.4. Karakterisasi Sifat Fisik Biokomposit Karakterisasi sifat fisik meliputi densitas, fraksi volum serat, matriks, dan void. Proses karakterisasi mengacu pada ASTM D 792-00 [15]. untuk proses pengukuran densitas dan ASTM D 3171 – 99 99 [16] untuk penentuan fraksi volum komponen penyusun dan void. 2.5. Pengujian Tarik Pengujian tarik dilakukan unutk mendapatkan kekuatan tarik dan mengacu pada ASTM D 3039 [17].Pengujian tarik menggunakan
alat Universal Tensile Test RTF-1310 dengan kecepatan pengujian sebesar 2 mm/menit. Pengujian tarik dilakukan pada biokomposit dan matriks pati tapioka-PVA. 2.6. Karakterisasi morfologi Morfologi void pada biokomposit dikarakterisasi menggunakan mikroskop stereo dilakukan pada biokomposit di seluruh fraksi volum serat. Morfologi dari permukaan patahan spesimen uji tarik biokomposit K40-10 dan K12010 dikarakterisasi dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Microscope (SEM). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil Karakterisasi Sifat Fisik Biokomposit Hasil karakterisasi sifat fisik biokomposit meliputi fraksi volum serat, matriks, dan void dapat dilihat pada Tabel pada Tabel 3-1 Fraksi volum serat Vf, matriks Vm, dan void.
Tabel 3-1 Fraksi volum serat Vf, matriks Vm, dan void Vv
Semakin tinggi fraksi volume serat yang direncanakan, semakin tinggi pula fraksi volume serat yang diperoleh untuk setiap variasi temperatur tekan panas. Akan tetapi nilai fraksi volum serat biokomposit yang diperoleh ternyata tidak sesuai seperti yang direncanakan yaitu 10%, 15%, dan 20%. Tidak sesuainya fraksi volum serat yang diperoleh daripada yang direncanakan disebabkan oleh adanya nilai void yang secara umum memiliki nilai jauh di atas batas fraksi void yang diizinkan sebesar 5% [1]. Metode tekan panas 40 oC menghasilkan biokomposit dengan fraksi volum serat 9,9%, 13%, dan 14%. Metode tekan panas 120 oC menghasilkan biokomposit dengan fraksi volum serat yang lebih besar dibandingkan dengan metode tekan panas 40 oC yaitu 14%, 16%, dan 17%. Perolehan fraksi volum serat yang tinggi hasil metode tekan panas 120 oC disebabkan nilai fraksi volum void hasil metode tekan panas 120 oC lebih rendah dari metode tekan panas 40 oC (214% vs 18-23%). Void yang terjadi pada biokomposit dapat
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 171
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
dilihat pada Gambar pada Gambar 3-1 dan Gambar dan Gambar 3-2. Metode 3-2. Metode pembuatan cetak tuang adalah metode yang mirip proses hand lay-up. lay-up. Larutan dari pati tapioka dengan viskositas yang relatif tinggi yang dituangkan kedalam serat acak dapat menyebabkan udara terjebak. Semakin tinggi fraksi volum serat, semakin banyak rongga antar serat terbentuk sehingga semakin tinggi pula fraksi void yang terjadi. Dari hasil pengujian terlihat bahwa proses tekan panas 120 oC berhasil menurunkan jumlah void yang terjebak.
berbanding terbalik dengan besar fraksi void yang dimilikinya, lihat Tabel 3-1 Fraksi volum serat Vf, matriks Vm, dan void dan Error! Not a valid bookmark self-reference.. Semakin tinggi densitas biokomposit, semakin rendah void yang terdapat di dalamnya, dan sebaliknya. Biokomposit K120-10 dengan fraksi volum void terkecil 2,05% memiliki densitas tertinggi 1,33gr/cm 3. Tabel 3-2. 3-2. Densitas bikomposit sebesar 1,05-1,33 gr/cm3 lebih rendah dari densitas material penyusunnya yaitu densitas matriks pati tapioka 1,36 gr/cm 3 dan serat rami 1,4 gr/cm 3. Rendahnya densitas biokomposit yang diperoleh disebabkan oleh banyaknya void yang terjadi dalam komposit. Nilai densitas biokomposit berbanding terbalik dengan besar fraksi void yang dimilikinya, lihat Tabel lihat Tabel 3-1 Fraksi volum serat Vf, matriks Vm, dan void dan Error! Not a valid bookmark self-reference.. Semakin tinggi densitas biokomposit, semakin rendah void yang terdapat di dalamnya, dan sebaliknya. Biokomposit K120-10 dengan fraksi volum void terkecil 2,05% memiliki densitas tertinggi 1,33gr/cm 3. Tabel 3-2 Densitas Biokomposit dan material penyusun
Gambar 3-1 Void pada penampang tebal biokomposit hasil metode tekan panas panas 40 oC: a dan b) K40-10, c dan d)K40-15, e dan f) K40-20
Gambar 3-2 Void pada penampang tebal biokomposit hasil metode tekan panas 120oC: a dan b)K120-10, c dan d)K120-15, e dan f)K120-20 Densitas dari material penyusun dan biokomposit dapat dilihat pada Rendahnya densitas biokomposit yang diperoleh disebabkan oleh banyaknya void yang terjadi dalam komposit. Nilai densitas biokomposit
[13]
3.2. Pengaruh fraksi volum serat terhadap kekuatan tarik biokomposit Gambar 3-3 menunjukkan kekuatan tarik dari biokomposit hasil metode tekan panas 40 oC. Peningkatan fraksi volum serat dari 10% ke 13% berhasil meningkatkan kekuatan tarik biokomposit sebesar 72%. Kekuatan serat rami yang jauh lebih lebih besar (330 MPa [14]) dari matriks tapioka (15 MPa, lihat poin 3.3) memberikan efek penguatan pada matriks. Namun peningkatan fraksi volum serat sampai 13,5% tidak berhasil meningkatkan kekuatan biokomposit. Biokomposit dengan fraksi volum serat tinggi K40-20 bahkan mengalami penurunan kekuatan sebesar 5% dibandingkan biokomposit K40-15 yang memiliki fraksi volum serat lebih rendah. Hal ini disebabkan disebabkan oleh fraksi fraksi volum void K40-20 yang lebih besar yaitu 23%, dibandingkan dengan K40-15 dengan fraksi volum void 12%. Fraksi volum void yang tinggi
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 172
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
akan menghasilkan banyak lokasi dengan konsentrasi tegangan sehingga biokomposit dapat patah pada tegangan yang yang lebih rendah.
Gambar 3-3 Kekuatan tarik biokomposit hasil metode tekan panas 40 oC Gambar 3-4 Kekuatan tarik biokomposit hasil metode tekan panas 120 oC menunjukkan kekuatan tarik dari biokomposit hasil metode tekan panas 120oC. Semakin tinggi fraksi volum serat biokomposit dari 13,8% sampai 17,5% ternyata malah menurunkan kekuatan biokomposit sebesar 50%. Kekuatan serat rami (330 MPa [14]) [14]) yang jauh lebih lebih besar dari matriks tapioka (25 MPa, lihat poin 3.3) ternyata tidak berhasil memberikan efek penguatan pada biokomposit. Perubahan kekuatan tarik terlihat lebih didominasi oleh fraksi volume void di dalam biokomposit. Fraksi void semakin meningkat (2%, 9%, dan 14%) seiring dengan peningkatan fraksi volum serat (13,8%, 16,4%, dan 17,4%) pada spesimen biokomposit K120-10, K120-15, dan K120-20. Fraksi volume void yang semakin besar seiring dengan peningkatan fraksi volum serat menyebabkan pengaruh penguatan serat pada biokomposit menjadi tidak efektif.
Gambar 3-4 Kekuatan tarik biokomposit hasil metode tekan panas 120 oC 3.3. Pengaruh metode terhadap kekuatan tarik biokomposit Gambar 3-5 menunjukkan perbandingan kekuatan bioplastik campuran pati tapioka-PVA setelah melalui metode tekan panas 40 oC dan 120oC. Peningkatan temperatur tekan panas dari 40oC ke 120 oC mengakibatkan peningkatan kekuatan tarik biokomposit sebesar 71%. 71% .
Temperatur Tekan
Gambar 3-5 Kekuatan Bioplastik Perbandingan fraksi volume serat dan kekuatan tarik biokomposit yang diperoleh dari proses tekan panas yang berbeda, 40 oC dan 120 oC dapat dilihat pada Gambar 3-6. 3-6. Perbandingan fraksi volum void dari dua metode tekan panas tersebut dapat dilihat pada Gambar pada Gambar 3-7
Gambar 3-6 Kekuatan tarik biokomposit hasil proses tekan panas 40oC dan 120 oC
Gambar 3-7 Fraksi volum void biokomposit hasil proses tekan panas 40oC dan 120 oC Kekuatan tarik biokomposit hasil metode tekan panas 120 oC secara keseluruhan lebih besar (8-15 MPa) dibandingkan biokomposit hasil metode tekan panas 40 oC (4-7 MPa). Kekuatan tarik yang tinggi pada biokomposit hasil proses tekan panas 120 oC dapat disebabkan oleh tiga faktor. Pertama matriks bioplastik pati tapiokaPVA hasil proses tekan panas 120 oC memiki kekuatan tarik lebih tinggi 71% dibandingkan hasil proses tekan panas 40 oC. Kedua, fraksi volum serat biokomposit hasil proses tekan panas 120 oC yang
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 173
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
lebih tinggi dibandingkan hasil proses tekan panas panas 40oC (13,8%-17,4% vs 9,9%-13,5%). Ketiga, fraksi volum void biokomposit hasil proses tekan panas 120 oC yang lebih rendah dibandingkan hasil proses tekan panas 40oC (2%-14% vs 18%-23%). 3.4. Perbandingan kekuatan tarik biokomposit dengan bioplastik pati tapioka-PVA Gambar 3-8 menunjukkan perbandingan kekuatan tarik antara bioplastik campuran pati tapioka-PVA dan biokomposit hasil metode tekan panas 40 oC. Gambar 3-9 menunjukkan perbandingan kekuatan tarik antara bioplastik campuran pati tapioka-PVA dan biokomposit hasil metode tekan panas 120 oC.
Perbandingan patahan biokomposit K 4010 dengan fraksi void 18% dan biokomposit K 12010 dengan fraksi void 2% dapat dilihat pada Gambar 3-10. 3-10. Semakin rendah void pada biokomposit, serat yang tercabut terlihat semakin pendek, sehingga efek penguatan dari serat semakin besar dan kekuatan tarik biokomposit semakin tinggi. Namun pada biokomposit dengan fraksi volum void 2% masih terlihat serat yang tercabut dengan permukaan serat yang bersih dari matriks. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan ikatan antar muka serat dan matriks pada biokomposit masih relatif rendah. Rendahnya ikatan antar muka serat dan matriks ini yang dapat menjadi penyebab kekuatan biokomposit yang lebih rendah dari matriks walaupun memiliki fraksi volum void yang relatif rendah. a
Gambar 3-8 Perbandingan kekuatan tarik antara bioplastik campuran pati tapioka-PVA tapioka-PVA dan biokomposit hasil metode tekan panas panas 40 oC
b
Gambar 3-10 Hasil SEM patahan uji tarik biokomposit a) K40-10, b) K120-10 4.
Kesimpulan
Biokomposit dari pati tapioka-PVA yang diperkuat oleh serat rami telah dibuat melalui metode cetak tuang dan tekan panas dengan sifat sebagai berikut:
Gambar 3-9 Perbandingan kekuatan tarik antara bioplastik campuran pati tapioka-PVA tapioka-PVA dan biokomposit hasil metode tekan panas 120oC Kekuatan tarik biokomposit dari hasil metode tekan panas 40 oC dan 120 oC masih berada di bawah kekuatan bioplastik pati tapioka-PVA. Penambahan serat rami dengan kekuatan serat rami (330 MPa [14]) yang jauh lebih lebih besar dari matriks tapioka (15-25 MPa) ternyata tidak berhasil memberikan efek penguatan pada biokomposit. Kekuatan tarik biokomposit pati tapioka-PVA dan serat rami lebih didominasi oleh fraksi volume void yang terbentuk di dalam biokomposit yang dapat mencapai 18%.
Kekuatan tarik maksimum sebesar 7 MPa dengan metode tekan panas 40 oC dan 15 MPa dengan metode tekan panas 120 oC dan. Fraksi volum serat yang berkisar antara 9.9 % - 17,4%
Fraksi volum void yang dihasilkan dari keseluruhan biokomposit antara 2% - 23% Kekuatan tarik biokomposit yang diperoleh masih berada di bawah kekuatan tarik matriks bioplastik tapioka-PVA karena fraksi void yang sangat tinggi serta kekuatan ikatan antarmuka serat dengan matriks yang masih buruk.
Daftar Pustaka
[1] B.T. Astrom, 1997, Manufacturing 1997, Manufacturing of Polymer Composite, Composite, Chapman and Hall., London [2] M. S. Omar Faruk, 2015, Biofiber Reinforcement in Composite Materials, Materials , Woodhead Publishing., Cambridge
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 174
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
[3] A. K. B. H. P. F. M. S. O. Faruk, 2012, Biocomposites Reinforced with Natural Fibers: 2000-2010, Progress in Polymer Science, pp. Science, pp. 1552-1596 [4] A. S. M. F. G. Koronis, 2013, Green Composites: A Review of Adequate Materials for Automotive Applications, Composites, vol. 44, pp. 120-127 [5] U. R. J. Nickel, 2003, Activities Biocomposites, pp. 44-48, April
Composite Materials [18] R. R. Rizkiansyah, 2014, Ekstraksi Mikrokristalin Selulosa dari Bambu Apus (Gigantochloa apus) dan Pemanfaatannya sebagai Penguat pada Biokomposit Pati Tapioka/MCC, Tugas Sarjana Teknik Metalurgi dan Material , ITSB, Deltamas
in
[6] L. W. G. R. C. L. Wen, 2006, Effect of Volume Fraction of Ramie Cloth on Physical and Mechanical Properties of Ramie Cloth/UP Resin Composite, Trans. Nonferrous Met. Soc., vol. 16, pp. 474-477 [7] M. K. T. Vijay Kumar Thakur, 2014, Processing and Characterization of Natural Cellulose Fibers/Thermoset Polymer Composites, Carbohydrate Polymer, vol. 109, pp. 102-117 [8] M. S. Rosadi, 2014, Kajian Sifat Serap Serap Air dan Sifat Tarik Komposit Poliester Berpenguat Serat Bambu Petung, Tugas Magister Teknik Mesin FTMD, ITB, FTMD, ITB, Bandung [9] M. R. K. K. Vijay Kumar Thakur, 2015, Green Biorenewable Biocomposites: From Knowledge to Industrial Applications, Apple Academic Press, Inc.,Canada [10] J. Mussig, 2010, Industrial Application o Natural Fibres, Fibres, John Wiley & Sons, United kongdom [11] K. J. S. K. M. K. G. M. S. S. Sabu Thomas, 2014, Polymer Composites, Composites, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim [12] J. B. Roy Whistler, 2009, Starch: Chemistry and Technology, Technology , Academic Press, Burlington [13] L. Marta, 2014, Studi Penambahan Polivinil Alkohol terhadap Sifat tarik dan Sifat Penyerapan Air Bioplastik Tapioka, Tugas Sarjana Teknik Material FTMD, ITB, Bandung [14] N. Nanggala, 2013, Prediksi Kekuatan Tarik dan Modulus Elastisitas Serat Rami dengan Metode Distribusi Weibull 2 Parameter, Tugas Sarjana Teknik Aeronotika dan Astronotika FTMD, FTMD, ITB, Bandung [15] ASTM D 792, 2000, Standart Test Methods for Density and Spesific Gravity (Relative Density) of Plastics by Displacement [16] ASTM D 3171, 1999, Standart Test Methods for Constituent Content of Composite Materials [17] ASTM D 3039, 2000, Standart Test Methods for Tensile Properties of Polymer Matrix Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 175
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Karakterisasi Material Komposit Untuk Rekayasa Balik Komponen I solator olator Bar Sambungan Rel Hermawan Judawisastra1*), Haroki Madani2), Haryo Wibowo3) 1)
Program Studi Teknik Material, Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Material, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung 40132, INDONESIA *email :
[email protected] 2) Alumni Program Studi Teknik Material ITB 3) PT. EDIM, Cileunyi, Kabupaten Bandung, INDONESIA
Abstrac Insulated Insulated Rail Joint (IRJ) is required required in track signalling signalling system of train. IRJ made from glass fiber reinforced reinforced polymer polymer composite composite is generally generally used in Indonesia but not yet produced produced in Indonesia. For a purpose of reveserse reveserse engineering, material characterization of isolator bar component of IRJ were carried out to determine its material constituent and manufacturing type. Composite structure and reinforcing fiber were characterized by visual observation, immersion test, ignition-loss test, and Scanning Electron Microscope – Energy Dispersive X-Ray Spectrometer (SEM-EDS) examination. Matrix polymer were characterized by Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR). Tensile strength and stiffness was evaluated by means of tensile testing. Electrical properties was tested by Megger Test. Isolator bar of IRJ is made from composite material containing no boron E-glass fiber reinforced DGEBA epoxy polymer with fiber volume fraction 0,574. The composite preforms are woven yarn with 200 gram/m2 of areal density (WY-200), leno weave (LW) and unidirectional (UD). Preforms arrangement in composite is ((WY-200)2((0,LW-0,0,90,LW-90,90) 6 (0,LW-90,0)7) (0,LW-90,0)7) sWY-200). Composite was manufactured by means of prepreg lay-up and autoclave method. Tensile strengh and stiffness at length direction of IRJ composite are 682 MPa and 11,5 Gpa consecutive consecutively. ly. Electrical resistance of the IRJ composite is 6,03 x 10 8 Ohm up to 1,32 x 10 10 Ohm. Keywords : komposit, serat, rekayasa balik, batang isolator, sambungan rel.
1. Pendahuluan Sambungan Rel Berisolasi atau Insulated Insulated Rail Joint (IRJ) (IRJ) adalah salah satu bagian dalam sistem sinyal kereta elektrik yang digunakan untuk mengisolasi suatu trek rel kereta dari trek rel kereta lainnya. IRJ harus bersifat bersifat isolator atau memiliki memiliki nilai resistivitas resistivitas yang tinggi agar dapat memenuhi fungsinya sebagai isolator. Komponen IRJ juga harus memiliki sifat mekanik yang baik yang mampu bertahan bertahan saat menerima menerima beban mekanik yang besar dan berubah-ubah. Selain itu, komponen IRJ juga menerima beban lainnya akibat kondisi lingkungan saat operasi, diantaranya oli, perubahan perubahan temperatur temperatur yang besar, hujan, dan kondisi kondisi lingkungan lainnya[1]. IRJ terdiri dari komponen isolator bar, end post, back up plate, baut, dan mur. Gambar 1 menunjukkan komponen dari IRJ.
Gambar 1. Komponen-komponen IRJ : a) isolator a) isolator bar ; b) end post ; c) back c) back up plate; plate; d) baut; dan e) mur[2]. Komponen isolator bar IRJ yang banyak digunakan di Indonesia saat ini adalah IRJ berbahan komposit polimer berpenguat serat gelas dengan alasan sebagai berikut [1]:
Memiliki sifat mekanik yang baik dan bisa memenuhi persyaratan material IRJ Memiliki sifat elektrik yang baik dan bisa memenuhi persyaratan material IRJ Lebih efisien dibandingkan sambungan berbahan baja yang membutuhkan material pengikat / bonding material .
Seluruh komponen isolator bar IRJ berbahan komposit polimer berpenguat serat gelas yang saat ini digunakan di Indonesia berasal dari luar negeri. Upaya untuk membuat IRJ berbahan komposit lokal sudah pernah dilakukan oleh suatu institusi, namun belum berhasil sepenuhnya. Sampai saat ini, belum ada industri di Indonesia yang memproduksi komponen IRJ yang berbahan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 176
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
komposit polimer berpenguat serat gelas [2]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi material dan konstruksi komposit komponen isolator bar IRJ impor, proses manufaktur, serta sifat tarik dan sifat tahanan listriknya. Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan sebagai informasi untuk membuat komponen komponen isolator bar IRJ lokal berbahan komposit dengan kualitas yang sama atau lebih baik dari komponen IRJ yang didatangkan dari luar negeri. 2.
Metode
2.1 Spesimen Spesimen yang digunakan pada penelitian ini adalah komponen isolator bar IRJ impor dan digunakan di Indonesia. Gambar 2 menunjukkan spesimen isolator bar IRJ tampak sisi rel (sisi yang menempel pada rel).
Gambar 2. Komponen isolator bar IRJ IRJ 2.2 Proses Karakterisasi Dalam penelitian ini, berbagai jenis karakterisasi dilakukan untuk menentukan jenis material, proses, dan sifat-sifat komponen isolator bar IRJ. Karakterisasi-karakterisasi yang lakukan terdapat dalam tabel 1. Tabel 1. Proses karakterisasi Tujuan
Karakterisasi yang dilakukan
Karakterisasi jenis serat
Uji bakar dan SEM-EDS
Karakterisasi jenis polimer
FTIR
Karakterisasi komposisi penyusun penyusun komposit komposit
Uji bakar dan uji rendam
Karakterisasi arsitektur dan lapisan serat
Uji bakar, pemeriksaan visual, dan mikroskop optik
Karakterisasi sifat tarik
Uji tarik dan pemodelan melalui hukum pencampuran
Karakterisasi sifat elektrik
Megger test
2.2.1 Karakterisasi Jenis Serat Karakterisasi jenis serat dilakukan dengan metode Scanning Electron Microscope – Energy (SEM-EDS). Spesimen Dispersive X-Ray Spectrometer (SEM-EDS). untuk uji SEM-EDS adalah serat penyusun komposit komponen isolator bar IRJ. Sebelum SEM-EDS, terlebih dahulu dilakukan pembakaran komposit pada temperatur 550 0C agar polimer terbakar dan hanya serat saja yang tersisa.
2.2.2
Karakterisasi Jenis Polimer Karakterisasi jenis polimer dilakukan dengan metode Fourier Transform Infra Red (FTIR). Spesimen untuk uji FTIR adalah serbuk polimer penyusun matriks yang didapatkan dengan cara mengerik bagian permukaan komposit.
2.2.3
Karakterisasi Komposisi Penyusun Karakterisasi komposisi penyusun dilakukan untuk menentukan fraksi volume serat, matriks, dan void. Prosedur karakterisasi komposisi penyusun komposit mengacu pada ASTM D 3171 [3]. Terdapat dua jenis pengujian yang dilakukan pada karakterisasi ini, yaitu uji rendam berdasarkan ASTM D 0792 [4] dan uji bakar berdasarkan ASTM D 2584 [5].
2.2.4 Karakterisasi 2.2.4 Karakterisasi Arsitektur dan Lapisan Serat Karakterisasi ini dilakukan dengan cara melakukan uji bakar pada bagian tengah, bagian lubang dan bagian ujung. Uji bakar dilakukan pada temperatur 550 0C selama 3 jam sehingga semua polimer habis terbakar dan menyisakan serat gelas saja. 2.2.5 Karakterisasi 2.2.5 Karakterisasi Sifat Tarik Karakterisasi sifat tarik dilakukan dengan uji tarik mengacu pada ASTM D 3039 [6]. Mesin uji tarik yang digunakan adalah Hung Ta 2101 series, No. Seri 2229, kapasitas 60 ton, dengan kecepatan penarikan 7 mm/detik. Selain itu sifat tarik dihitung pula dengan menggunaan hukum pencampuran komposit serat panjang searah [7]. 2.2.6 Karakterisasi Karakterisasi Sifat Elektrik Karakterisasi sifat tarik dilakukan dengan alat Megger Test pada kondisi kering dan basah. Spesimen untuk kondisi kering disiapkan dengan memanaskan spesimen pada temperatur 100 0C selama 24 jam agar kandungan air dalam spesimen menguap. Spesimen pada kondisi basah disiapkan dengan merendam spesimen dalam air selama 3 hari. Pengujian dilakukan pada arah panjang dan tebal komposit dengan tegangan 1 kV. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Analisa Visual Komponen Isolator Bar IRJ Penampang melintang komponen isolator bar IRJ dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Penampang melintang komponen isolator bar IRJ
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 177
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa komponen isolator bar IRJ memiliki memiliki tampak visual berwarna hijau dengan garis-garis berwarna putih. Tampak visual tersebut menunjukkan bahwa komponen isolator bar IRJ terbuat dari komposit polimer berpenguat serat gelas yang memang umum digunakan sebagai material IRJ [1, 2]. Perbedaan warna pada tampak visual penampang melintang menunjukkan kemungkinan adanya perbedaan susunan dan arsitektur serat gelas di dalam komposit. 3.2 Material Penyusun Komposit Isolator Bar IRJ 3.2.1 Polimer Matriks Kurva hasil FTIR polimer matriks komposit isolator bar IRJ IRJ dan perbandingannya dengan literatur ditunjukkan dalam Gambar 4 dan Tabel 2.
Dari gambar 6 dan tabel 2 dapat terlihat dapat terlihat bahwa ikatan-ikatan kimia yang terdeteksi dari hasil karakterisasi FTIR polimer matriks komposit komponen isolator bar IRJ menunjukkan kesesuaian dengan ikatan-ikatan kimia yang ada pada polimer epoksi DGEBA. Ciri utama spektrum FTIR untuk polimer epoksi yang sudah mengalami curing adalah hilang atau berkurangnya puncak pada frekuensi frekuensi 3057 cm -1 dan 915 cm-1 yang merupakan frekuensi yang berkaitan dengan ikatan pada gugus epoksi atau oxirane[9]. Selain itu terdapat peningkatan jumlah ikatan OH yang ditandai dengan meningkatnya puncak di frekuensi ~3500 cm-1. Hilangnya gugus oxirane dan munculnya gugus OH menunjukkan terjadinya proses polimerisasi dan pembentukan ikatan silang antar rantai polimer epoksi. Puncak yang muncul di frekuensi ~2900, 1608,63, 1510,26, dan 1182,36 cm -1 menunjukkan adanya gugus benzena pada polimer epoksi, hal tersebut menunjukkan bahwa polimer epoksi yang digunakan adalah polimer epoksi jenis DGEBA. 3.2.2 Serat Penguat Hasil karakterisasi SEM-EDS dari serat penguat ditunjukkan pada Tabel Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia serat penguat
Gambar 4. Kurva FTIR polimer matriks komposit isolator bar IRJ IRJ
Jenis Oksida
Komposisi kimia NoBoron E-Glass[10] (%)
Data uji serat penguat (%)
SiO2
52-56
47,73
Tabel 2. Perbandingan frekuensi IR hasil karakterisasi polimer matriks komposit komponen isolator bar IRJ dengan literatur[7,8].
Al2O3
12-16
14,47
B2O3
0
0
CaO
16-25
27,33
MgO
0-5
1,57
Na2O + K 2O
0-2
0
No
1
Frekuensi IR hasil FTIR pada polimer IRJ 3444,87-3360
2
3059,10*
3
2960,73-2870,08
4
1608,63
5
1510,26
6
1247,94;1182,36
7 8
1116,78 1037,70
9
-
10
829,39
11
765,74
Literatur epoksi DGEBA Frekuensi Ikatan kimia IR 3427 stretching ikatan ikatan C-OH 3057 stretching ikatan ikatan C-H pada grup oxirane 2965-2873 stretching ikatan ikatan C-H dari CH2 dan ikatan CH aromatik dan alifatik 1608 stretching C=C C=C pada cincin benzena 1509 stretching ikatan ikatan C-C pada cincin benzena benzena dan ikatan N-H 1251;1182 stretching ikatan ikatan C-CO-C 1109 stretching ikatan ikatan C-N 1036 stretching ikatan ikatan C-OC pada eter 915 stretching ikatan ikatan C-O pada grup oxirane 831 stretching ikatan ikatan C-OC pada grup oxirane 772 rocking ikatan ikatan CH2
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa serat penguat memiliki kadar komposisi yang mendekati komposisi no boron E-glass, E-glass, sehingga dapat disimpulkan bahwa serat penguat pada komponen isolator bar IRJ termasuk serat gelas tipe E tanpa boron. Hasil pemeriksaan visual setiap lapisan preform serat sisa hasil pembakaran menunjukkan bahwa komposit tersusun dari 3 jenis lapisan preform serat gelas yang berbeda yaitu preform tenunan sederhana ( plain ( plain weave), weave ), preform tenunan leno (leno ( leno weave) weave ) dan preform serat searah (unidirectional atau UD), UD), lihat Gambar 5. Karakteristik setiap preform ditunjukkan dalam Tabel 4.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 178
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
3.2.2.1 Analisa Material Penyusun Komposit Komposit komponen isolator bar IRJ merupakan komposit polimer epoksi DGEBA berpenguat serat gelas tipe E tanpa boron ( no boron E-Glass). E-Glass). Polimer epoksi terkenal memiliki sifat mekanik dan ketahanan terhadap lingkungan yang lebih baik dari polimer poliester dan vinil ester [10, 11, 12]. Serat no boron E-glass E-glass dikenal memiliki kekuatan mekanik yang baik dengan harga yang rendah. Tidak adanya kandungan boron dalam no boron E-glass akan meningkatkan ketahanan terhadap lingkungan pada serat gelas yang sangat diperlukan pada komponen isolator bar IRJ saat kondisi operasional [12].
Gambar 5. Preform serat penyusun komposit komponen isolator bar IRJ Tabel 4. Karakteristik Preform Jenis karakteristik
Plain Weave
Jenis benang
Yarn (benang dengan pilinan)
Roving (benang tanpa pilinan)
Roving (benang tanpa pilinan)
Pilinan (pilinan/cm) (pilinan/cm)
4
-
-
Diame Diameter ter serat serat ( m)
10
lusi : 9 pakan : 15
17
Tex benang arah panjang (tex) (tex)
139
33
-
Tex benang arah lebar (tex)
137
158
-
Areal
200
41,94
-
Tebal Preform (mm)
2,3
0,2
-
Jumlah benang arah panjang (benang/cm) (benang/cm)
7
2
-
jumlah benang benang arah arah lebar (benang/cm)
8
2
-
Leno Weave
Uni- directio nal
density(gram/m 2)
Dari hasil uji karakteristik preform serta pengamatan rinci visual setiap lapis preform dapat ditentukan bahwa total jumlah lapisan preform adalah 117 lapisan yang terdiri dari: 3 lapisan woven yarn / WY-200, 38 lapisan leno weave weave LW, dan 76 lapisan Uni-directional UD. Keseluruhan susunan lapisan preform tersebut dapat dinotasikan pada arah tebal isolator IRJ mulai dari sisi yang menempel dengan rel sampai sisi luar menjadi: ((WY-200)2((UD-0,LW-0,UD0,UD-90,LW-90,UD-90)6(UD-0,LW-0,UD-0)7)sWY200).
Dari hasil karakterisasi preform dapat dilihat bahwa preform serat plain weave diletakkan weave diletakkan di bagian luar, hal ini dilakukan untuk memberikan kestabilan, melindungi preform yang ada di bagian dalamnya dan menjadikan permukaan komposit rata [11]. Preform plain weave weave WY-200 di bagian sisi rel berjumlah lebih banyak dari pada lapisan sisi luar (2 lapisan vs 1 lapisan) karena bagian sisi rel pada komposit komponen isolator bar IRJ membutuhkan perlindungan yang lebih baik. Bagian isolator pada sisi rel ini dapat mengalami gesekan yang besar akibat bersentuhan langsung dengan rel yang terbuat dari baja. Sebagian besar lapisan preform UD (52 dari 76) memiliki orientasi searah panjang isolator bar IRJ (0 derajat) yang akan menghasilkan kekuatan tarik pada arah panjang isolator bar IRJ lebih besar dari arah lainnya. Konstruksi arah serat seperti ini dirancang karena komponen isolator bar IRJ akan menerima beban tarik paling besar pada arah panjang[1,13]. Pada sisi tebal, kedua bagian sisi luar isolator bar IRJ memiliki susunan preform serat UD 0 0 dan 90 0 (arah panjang dan lebar isolator)dan pada bagian tengah memiliki susunan preform serat UD hanya pada arah 0 0 atau memanjang. Konstruksi ini akan menghasilkan komposit isolator bar IRJ yang tidak optimum untuk menerima beban bending pada arah tebal. Namun, hal ini seharusnya tidak menjadi masalah besar karena beban bending terbesar terjadi pada arah lebar, bukan pada arah tebal batang isolator [1,13]. 3.3 Karakteristik Proses Pembuatan Komposit Isolator Bar IRJ Hasil karakterisasi komposisi penyusun komposit isolator bar IRJ IRJ ditunjukkan dalam Tabel 5. Komposit memiliki fraksi volume serat yang relatif tinggi sebesar 0,574 dengan fraksi void yang relatif rendah sebesar 0,038.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 179
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Tabel 5. Hasil karakterisasi komposisi penyusun komposit Fraksi penyusun Nilai
dan kekakuan tarik 11,5 GPa. Nilai kekuatan tarik tersebut telah memenuhi standar minimal kekuatan isolator bar IRJ yaitu sebesar 350 MPa [2].
Fraksi volume serat
0,574
Fraksi volume matriks
0,388
3.4.2
Fraksi volume void
0,038
Hasil pengujian tahanan listrik komposit isolator bar IRJ, pada kondisi kering dan basah, di arah tebal dan arah panjang ditunjukkan pada Tabel 8.
Proses manufaktur komposit yang dapat menghasilkan fraksi volume serat di atas 0,5 dengan fraksi void di bawah 0,05 adalah Resin Transfer Molding (RTM) dan Prepreg Lay Up Up (PLU) dengan autoclave [11]. autoclave [11]. Namun hasil pemeriksaan visual pada preform serat UD (Gambar 6) menunjukkan bahwa preform serat UD terbuat dari preform UD tanpa serat pengikat pada arah lusi, yang hanya umum diterapkan pada proses PLU. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa proses manufaktur komponen isolator bar IRJ ini adalah proses Prepreg proses Prepreg Lay Up dengan Up dengan autoclave. autoclave.
Gambar 10. Susunan preform serat UD tanpa pengikat arah lusi komposit isolator bar IRJ IRJ 3.4 Sifat Mekanik dan Elektrik Komposit Isolator Bar IRJ 3.4.1 Sifat Mekanik Komposit Isolator Bar IRJ Hasil pengujian tarik dan serta hasil perhitungan dari hukum pencampuran bagian sisi luar, bagian tengah dan keseluruhan komposit isolator bar IRJ ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil pengujian dan perhitungan sifat tarik Komponen I solator Bar IRJ Bagian sisi luar arah panjang Bagian tengah arah arah panjang Keseluruhan batang komposit isolator bar IRJ IRJ arah panjang
Kekuatan tarik (MPa) 491 ± 68
Kekakuan tarik (GPa) 8,3± 2,9
982
16,5
682
11,5
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa bagian tengah komponen isolator bar IRJ memiliki kekuatan dan kekakuan tarik arah panjang dua kali lebih besar (982 MPa dan 16,5 GPa) daripada bagian sisi luar (491 MPa dan 8,3 GPa). Hal ini karena pada bagian tengah preform UD diarahkan pada arah panjang (0 0), sementara pada bagian sisi luar preform UD diarahkan pada arah panjang dan arah lebar (0 0 , 900). Hasil perkiraan keseluruhan komposit isolator bar IRJ pada arah panjang berdasarkan hukum pencampuran menunjukkan bahwa batang isolator bar IRJ memiliki nilai yang cukup tinggi yaitu kekuatan tarik 682 MPa
Sifat Elektrik Komposit Isolator Bar IRJ
Tabel 8. Hasil pengujian tahanan listrik komponen IRJ Sifat elektrik
Kondisi kering
Kondisi basah
(Ohm)
(Ohm)
Tahanan listrik arah tebal
1,32 x 10 10 ± 8 x 108
1,03 x 10 9 ± 4 x 108
Tahanan listrik arah panjang
1 x 10 10
6,03 x 108 ± 2 x 107
Pada kondisi kering, tahanan listrik pada arah tebal 30% lebih besar dari arah panjang. Pada kondisi basah, tahanan listrik pada arah tebal 67% lebih besar dari arah panjang. Perbedaan nilai tahanan listrik pada arah tebal dan arah panjang, perbedaan tersebut dapat terjadi karena adanya sifat anisotropi pada komposit akibat dari perbedaan susunan preform se rat di arah tebal dan arah panjang. Tahanan listrik komposit isolator bar IRJ pada kondisi kering lebih besar 13 - 17 kali dari pada tahanan listrik pada kondisi basah. Rendahnya tahanan listrik pada kondisi basah terjadi akibat masuknya air yang memiliki konduktifitas listrik yang lebih tinggi daripada komponen penyusun komposit, matriks dan serat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa rentang tahanan listrik berkisar pada nilai 6,03 x 108 sampai 1,32 x 10 10, yang telah memenuhi batas minimal komposit isolator bar IRJ IRJ sebesar 2 6 x 10 ohm [2].
4
Kesimpulan Untuk melakukan rekayasa balik komposit komponen isolator bar IRJ, telah dilakukan proses karakterisasi material komposit dengan hasil sebagai berikut :
1. Komponen isolator bar IRJ adalah komposit polimer epoksi tipe DGEBA berpenguat serat gelas dengan fraksi volume serat 0,574. 2. Komposit isolator bar IRJ tesusun dari preform tenunan sederhana (WY-200), tenunan leno (LW) dan serat searah (UD). Spesifikasi rinci masing-masing preform
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 180
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
sudah diperoleh. Total jumlah lapisan preform serat adalah 117 lapisan yang dapat dinotasikan sebagai berikut ((WY-200) 2((0,LW-0,0,90,LW90,90)6(0,LW-90,0)7)sWY-200). 3. Komposit isolator bar IRJ dibuat dengan metode prepreg lay-up dan lay-up dan autoclave. 4. Komposit isolator bar IRJ memiliki kekuatan dan kekakuan tarik arah panjang sebesar 682 MPa dan 11,5 GPa. Kekuatan tarik tersebut sudah memenuhi standar untuk digunakan di Indonesia. 5. Komposit isolator bar IRJ memiliki tahanan listrik minimum sebesar 6,03 x 10 8 Ohm dan telah memenuhi standar untuk digunakan di Indonesia. Daftar Pustaka
Charlton, Z. I. 2007. Master Thesis : Innovative Design Concepts for Insulated Joints. Joints . Virginia Polytechnic Institute. [2] Suhardji, K. A. et.al. et.al. 2011. Pembuatan Insulated Rail Joint Bertulang Baja Dari Bahan Komposit Sebagai Substitusi Impor. Impor. Jurnal Riset Industri Vol. V. [3] ASTM D3171. 2004. Test Methods for Constituent Content of Composite Materials. ASTM.USA. Materials. ASTM.USA. [4] ASTM D 0792. 2000. Test Methods for Density and Specific Gravity (Relative Density) of Plastics by Displacement. ASTM.USA. Displacement. ASTM.USA. [5] ASTM D 2584. 2002. Test Method for Ignition Loss of Cured Reinforced Resins. ASTM.USA. Resins. ASTM.USA. [6] ASTM D 3039. 2002. Test Method for Tensile Properties of Polymer Matrix Composite Materials. ASTM. USA. [7] Obewele, R. O. 1996. Polymer Science and Technology. Technology. New York : CRC Press [8] Nikolic, G. et. al. 2010. Fast Fourier Transform IR Characterization of Epoxy GY System Crosslinked with Aliphatic and Cycloaliphatic EH Polyamine Adducts. Adducts. Sensors. [9] Gonzalez, M.G. et.al. 2012. Application of FTIR on Epoxy Resins. [10] Dwight, D. W. 2000. Comprehensive Composite Material . p 231-261. [11] Astrom, B.T. 1997. Manufacturing of Polymer Composites. Composites. Chapman & Hall. [12] Murphy, J. 1998. The Reinforced Plastics Handbook . Elsevier. [13] Sheikh, W. et.al. 2014. Failure and Stresses Develop in Insulated Rail Joints : General Perspective. IJISME. [1]
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 181
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Kekuatan Tarik Biokomposit Pati Tapioka Berpenguat Serat Rami Searah Hermawan Judawisastra 1*), Fatma Azzahro 1), Mardiyati1) 1)Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Material, Program Studi Teknik Material, Fakultas Teknik Teknik Mesin dan dan Dirgantara, Dirgantara, Instiut Teknologi Teknologi Bandung, Bandung, Ganesha 10, Bandung 40132 *email :
[email protected]
Abstract Environmentally friendly fiber-reinforced polymer biocomposites which made from ramie fiber reinforced cassava starch have potential to be developed due to their degradability by nature, have good mechanical properties, and CO2 neutral resource. This research aims to make and evaluate the tensile strength of unidirectional ramie fiber-reinforced tapioca starch biocomposites. Biocomposites were processed by means of solution casting and hot press technique. The fiber fraction volume of biocomposites was varied. Longitudinal and transversal tensile strength were determined by tension test. Characterization of biocomposite physical properties was carried out to determine density, volume fraction of fiber, matrix, and void. Void in biocomposites was characterized by means of stereo microscope. Fracture surface from tension test were characterized by Scanning Electron Microscopy (SEM). Ramie fiber-reinforced cassava starch biocomposites have been made and resulted in fiber volume fraction 19%-39%, longitudinal tensile strength 56 MPa – 115 MPa and transversal tensile strength 4,4 – 6,7 MPa. The resulted tensile strength is determined by the fiber volume fraction and void fraction. The resulted biocomposites showed anisotropy properties. The lower longitudinal tensile strength of biocomposites resulted from testing data than the predicted calculation was due to the existence of significant void and poor interface between fiber and matrix. Keywords : biocomposite, tapioca starch, unidirectional fiber, ramie fiber, tensile strength
1. Pendahuluan Material komposit telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi, seperti komponen pesawat, komponen otomotif, material bangunan, packaging bangunan, packaging , hingga peralatan medis [1, 2]. Komposit yang paling umum digunakan adalah komposit polimer berpenguat serat ( polymer ( polymer matrix composite) composite) [2, 3]. Penggunaan komposit polimer menimbulkan masalah lingkungan karena sukar terurai secara alami [4] dan bersumber dari minyak bumi yang lama-kelamaan akan habis [5]. Oleh sebab itu mulai banyak diteliti pembuatan komposit berbahan dasar alam yang terbarukan dan ramah lingkungan [6]. Dalam beberapa tahun terakhir dikembangkan bioplastik dan biokomposit yang mampu terurai secara alami oleh lingkungan [7, 8]. Serat hayati mulai dikembangkan sebagai penguat dalam biokomposit karena beberapa kelebihannya antara lain tidak abrasif, jumlah melimpah, berasal dari sumber yang dapat diperbarui, energi pemrosesan dan emisi karbon lebih rendah, serta dapat terurai secara alami oleh lingkungan [9, 10]. Telah banyak penelitian yang dikembangkan terkait komposit berpenguat serat hayati dengan hasil yang menjanjikan [6, 11]. Salah satu serat hayati yang potensial sebagai penguat adalah serat rami. Kelebihan serat rami diantaranya adalah memiliki kekuatan dan kekakuan yang tinggi
[12], siklus hidup relatif singkat, cukup melimpah di Indonesia, serta belum banyak pemanfaatannya [13]. Penelitian tentang komposit polimer berpenguat serat rami telah banyak dilakukan [13, 14]. Namun, beberapa diantaranya masih menggunakan matriks berupa polimer sintetis. Termoplastik berbahan dasar pati merupakan salah satu bioplastik yang dikembangkan saat ini [5]. Pati dilirik karena sifat mampu urai, melimpah, dan murah [15]. Dari berbagai jenis pati, pati singkong atau tapioka dinilai cukup potensial untuk aplikasi bioplastik karena jumlahnya yang melimpah di Indonesia [16]. Namun, penggunaan pati tapioka murni sebagai bioplastik memiliki kekurangan karena sifatnya yang getas. Oleh sebab itu, pati tapioka dicampur dengan PVA ( Poly ( Poly Vinyl Alcohol ) untuk meningkatkan elongasinya [17]. PVA dipilih karena memiliki kompatibilitas yang baik dengan pati [18]. Penelitian tentang pati tapioka untuk aplikasi bioplastik telah dilakukan sebelumnya dan berhasil dibuat [16, 19]. Biokomposit yang menggunakan komponen penyusun pati tapioka dan serat rami belum ada yang meneliti. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk membuat dan mengkaji kekuatan tarik biokomposit campuran pati tapiokaPVA yang diperkuat serat rami searah.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 182
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
2. Metode 2.1 Serat rami Serat rami yang digunakan berasal dari produsen serat rami asal Garut, Jawa Barat yang telah diberi perlakuan alkalisasi sebelumnya. Serat rami memiliki densitas sebesar 1,4 gr/cm 3, kekuatan tarik sebesar 330 MPa, dan modulus elastisitas sebesar 4400 MPa [20]. Dalam penelitian ini digunakan serat rami dengan susunan serah (unidirectional ). ).
2.2 Bioplastik pati tapioka Pati tapioka yang digunakan adalah tepung merk “Gunung Agung” dari PT. Budi Acid Jaya, Tbk. Poli Vinil Alkohol (PVA) yang digunakan berasal dari PT. Central Kimia, Bandung. Bioplastik pati tapioka dibuat dengan komposisi pati tapioka 71%wt dan PVA 29%wt. Plasticizer yang digunakan dalam pembuatan bioplastik adalah air. Pembuatan bioplas-tik dilakukan dengan memanaskan PVA dalam air hingga larut pada temperature 85°C kemudian didinginkan hingga temperature 50°C. selanjutnya ditambahkan pati tapioka dan dipanaskan kembali hingga temperature gelatinasi pati pada 75°C. 2.3 Biokomposit Metode yang digunakan dalam pembuatan biokomposit adalah metode cetak tuang atau solution casting , kemudian dilanjutkan dengan metode tekan panas pada temperature 40°C selama 1 jam. Fraksi volume serat rami direncanakan dibuat bervariasi sebesar 20%, 40% dan 60%. 2.4 Karakterisasi sifat fisik Karakterisasi fisik untuk menentukan fraksi volume komponen penyusun dan densitas dilakukan dengan mengacu pada standard ASTM D792-00 dan ASTM D3171 [21, 22]. Kode sampel untuk pengujian densitas dan pengujian fraksi volume biokomposit ditunjukkan dalam Tabel dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kode sampel uji densitas dan uji fraksi volume biokomposit Rencana Fraksi Nama Volume Serat Sampel Biokomposit 20% K-20 40% K-40 60% K-60 2.5 Pengamatan Morfologi Void Pengamatan morfologi void dilakukan menggunakan mikroskop stereo pada potongan melintang biokomposit.
2.6 Pengujian 2.6 Pengujian Tarik Biokomposit Pengujian tarik menggunakan mesin Tensilon RTF 1310 dengan kecepatan pembebanan 2 mm/ menit. Pengujian dilakukan dengan mengacu pada standard ASTM D3039 D3 039 [23] pada biokomposit arah sejajar serat (longitudinal) dan arah tegak lurus serat (transversal). Kode sampel uji tarik ditunjukkan dalam Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kode Sampel Uji Tarik Rencana Kode Sampel Fraksi Volume Longitudinal Transversal Serat 20%-Vf L-20 T-20 40%-Vf L-40 T-40 60%-Vf L-60 T-60 Sebagai perbandingan, kekuatan arah longitudinal dihitung dengan hukum pencampuran sbb.: . - Kekuatan arah longitudinal (1) = + σc,f,m adalah kekuatan kekuatan komposit, serat, dan matriks; matriks; vf,m adalah fraksi volume serat dan matriks. 2.7 Pengamatan 2.7 Pengamatan SEM Permukaan patahan hasil uji tarik diamati melalui pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dari mesin JEOL JSM6510. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil 3.1 Hasil Karakterisasi Sifat Fisik Biokomposit Fraksi volum material penyusun biokomposit pati tapioka berpenguat serat rami searah dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Fraksi volum serat Vf, fraksi volum matriks Vm dan fraksi volum void Vv biokomposit Vf Vm Vv
K-20 19% ± 3% 70% ± 3% 11% ± 0%
K-40 29% ± 5% 53% ± 5% 18% ± 0%
K-60 39% ± 2% 35% ± 2% 26% ± 0%
Biokomposit memiliki fraksi volum serat yang bervariasi dan semakin meningkat sesuai dengn rencana semula. Namun nilai fraksi volum serat yang diperoleh yaitu 19%; 29%; dan 39%, ternyata lebih rendah dari rancangan awal sebesar 20%; 40%; dan 60%. Rendahnya fraksi volum serat yang diperoleh daripada yang direncanakan disebabkan oleh adanya nilai void (11%; 18%; dan 26%) yang memiliki nilai jauh di atas batas fraksi void yang diizinkan sebesar 5% [24]. Fraksi void terlihat semakin meningkat (11%; 18%; dan 26%) seiring dengan peningkatan fraksi volum serat (19%;
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 183
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
29%; dan 39%) pada spesimen biokomposit K-20, K-40, dan K-60. Hasil pengamatan morfologi void pada biokomposit K-20 dengan fraksi volum serat 11% dan K-60 dengan fraksi volum serat 26% dapat dilihat pada Gambar 3.1 (a), (b), dan (c). Metode pembuatan cetak tuang adalah metode yang mirip proses hand lay-up. Larutan dari pati tapioka dengan viskositas yang relatif tinggi yang dituangkan kedalam lapisan serat searah dapat menyebabkan udara terjebak. Semakin tinggi fraksi volum serat, semakin banyak rongga antar serat terbentuk sehingga semakin tinggi pula fraksi void yang terjadi.
3.2 Pengaruh 3.2 Pengaruh Fraksi Volum Serat terhadap Kekuatan Tarik Biokomposit Kekuatan tarik biokomposit arah longitudinal ditunjukkan pada Gambar 3.1. Peningkatan fraksi volum serat dari 19% sampai dengan 39 % berhasil meningkatkan kekuatan tarik sebesar 105% dari 56 MPa menjadi 115 MPa. Kekuatan longitudinal serat rami yang jauh lebih lebih besar (330 MPa [20]) dari matriks tapioka (15 MPa) berhasil memberikan efek penguatan pada matriks.
Gambar 3.2 Grafik kekuatan tarik bioko mposit arah longitudinal Gambar 3.1 Foto stereo biokomposit (a) K-20, (b) K-40, dan (c ) K-60 Densitas dari material penyusun dan biokomposit dapat dilihat pada Tabel 3.2. Densitas biokomposit sebesar 1,02-1,22 gr/cm3 lebih rendah dari densitas material penyusunnya yaitu densitas matriks pati tapioka 1,36 gr/cm 3 dan serat rami 1,4 gr/cm3. Rendahnya densitas biokomposit yang diperoleh disebabkan oleh banyaknya void yang terjadi dalam komposit. Nilai densitas biokomposit berbanding terbalik dengan besar fraksi void yang dimilikinya, lihat Tabel 3.1 dan Tabel 3.2. Semakin tinggi densitas biokomposit, semakin rendah void yang terdapat di dalamnya, dan sebaliknya. Biokomposit K-20 dengan fraksi volum void terkecil 11% memiliki densitas tertinggi 1,22 gr/cm3. Tabel 3.2 Densitas biokomposit dan komponen penyusun Nama Densitas Jenis Vf Sampel (gr/cm3) Serat Rami 1,36 ± 0,07 Bioplastik 1,4 ± 0,31 Pati Tapioka K-20 19% 1,22 ± 0,20 Biokomposit K-40 29% 1,12 ± 0,11 K-60 39% 1,02 ± 0,05
Perbandingan kekuatan tarik longitudinal biokomposit hasil eksperimen dengan hasil perhitungan berdasarkan hukum pencampuran ( rule of mixture) mixture) ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Perbandingan kekuatan tarik longitudinal biokomposit hasil pengujan dan perhitungan Kekuatan tarik biokomposit hasil eksperimen masih lebih rendah 13% − 34% dibandingkan dengan hasil pemodelan. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh keberadaan void dalam jumlah sangat besar ( 11% − 26%) yang melebihi batas yang diizinkan sebesar 5% [24]. Fraksi volum void yang tinggi akan menghasilkan banyak lokasi dengan konsentrasi tegangan sehingga biokomposit dapat patah pada tegangan yang lebih rendah. Nilai kekuatan tarik biokomposit arah tegak lurus serat (transversal (transversal ) ditunjukkan dalam Gambar
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 184
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
3.4. Peningkatan fraksi volum serat dari 19% ke 29% menghasilkan peningkatan kekuatan tarik transversal sebesar 54% dari 4,4 MPa ke 6,8 MPa. Namun peningkatan fraksi volum serat sampai 39% tidak meningkatkan kekuatan transversal biokomposit, bahkan terjadi penurunan kekuatan sebesar 1,4% dibandingkan biokomposit dengan fraksi volum serat 29% yang lebih rendah. Kekuatan transversal serat rami yang lebih lebih rendah (6 MPa [25]) dari matriks tapioka (15 MPa) seharusnya memang memberikan efek pelemahan pada matriks. Adanya void yang terdapat di dalam biokomposit, memungkinkan nilai kekuatan transversal yang diperoleh jauh lebih rendah lagi seperti yang terjadi pada kekuatan transversal biokomposit dengan fraksi volum serat 19%.
3.3 Permukaan 3.3 Permukaan Patahan Biokomposit Permukaan patahan biokomposit K-20 dengan fraksi void 11% dapat dilihat pada Gambar 3.6 (a). Pada daerah void terlihat serat yang tercabut semakin panjang yang menunjukkan rendahnya ikatan antara serat dengan lingkungan sekitarnya, sehingga efek penguatan dari serat semakin rendah dan kekuatan tarik biokomposit semakin rendah. Pada bagian serat yang tercabut Gambar 3.5 (b) terlihat pula bahwa serat memiliki permukaan serat yang bersih dari matriks. Hal ini memberi indikasi bahwa kekuatan ikatan antar muka serat dan matriks pada biokomposit yang dibuat masih relatif rendah. Rendahnya ikatan antar muka serat dan matriks ini dapat menjadi penyebab tambahan rendahnya nilai kekuatan biokomposit hasil eksperimen dibandingkan hasil perhitungan, lihat poin 3.2.
Gambar 3.4 Grafik perbandingan kekuatan tarik biokomposit arah transversal
Perbandingan nilai kekuatan biokomposit arah longitudinal dan dan transversal menunjukkan menunjukkan sifat anisotropi dari biokomposit pati tapioka-PVA dengan penguat rami searah. Kekuatan biokomposit arah longitudinal (56 MPa – 115 MPa) jauh lebih tinggi dibandingkan arah transversal (4,4 (4,4 MPa – MPa – 6,7 6,7 MPa). Sifat anisotropi ini semakin meningkat seiring dengan pertambahan fraksi volum serat: pada fraksi volum serat 19%; 29%; dan 39% terdapat perbedaan kekuatan secara berurutan sebesar 51,6 MPa; 60,2 MPa; dan 108,3 MPa. Perbedaan kekuatan biokomposit pada arah longitudinal dan transversal terhadap fraksi volum serat ditunjukkan pada Gambar 3.6
(b) Gambar 3.6 Permukaan patahan uji tarik biokomposit K20 dengan fraksi void 11% (a) Lokasi void dan serat yang tercabut (b) Bagian permukaan serat yang tercabut
150
n a t a 100 u ) k a e P K M ( 50 h i s i l e S 0
108
52
0%
10%
60
20% Vf 30%
40%
(a)
50%
Gambar 3.5 Selisih nilai kekuatan biokomposit pada arah longitudinal dan transversal
4. Kesimpulan Biokomposit pati tapioka berpenguat serat rami searah berhasil dibuat dengan proses cetak tuang dan tekan panas dan menghasilkan sifat-sifat sebagai berikut: Fraksi volum serat antara 19% sampai dengan 39%.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 185
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Kekuatan tarik arah longitudinal antara 56 MPa sampai dengan 115 MPa. Kekuatan tarik transversal antara 4,4 sampai dengan 6,7 MPa. Biokomposit yang dibuat memiliki sifat anisotropi dengan perbedaan kekuatan longitudinal dan transversal sebesar 51,6 MPa sampai dengan 108,3 MPa. Biokomposit memiliki nilai kekuatan longitudinal yang masih lebih rendah daripada yang seharusnya. Hal ini disebabkan oleh adanya void yang sangat tinggi (11%-26%) dan ikatan antar muka bioplastik pati tapioka dan serat rami yang buruk.
Daftar Pustaka
[1] P. K. Mallick, 2008, Fiber Reinforce Composites - Materials, Manufacturing and Design, Design, Edisi Ketiga, CRC Press and Taylor & Francis Group. [2] A. K. Kaw, 2006, Mechanics of Composite Materials, Materials, Edisi 2, London: Taylor & Francis Group.
Composite Materials: Biocomposites and Green Composites, Defence Science Journal , vol. 64, pp. 244-261. [12] B. K. H. R. S. Lies Banowati, 2014, Tensile and Flexural Strength of Ramie/ HDPE Thermoplastic Matrix Composite, RCMME. Composite, RCMME. [13] F. C. Hendratno, 2013, Analisi Kekuatan Tarik Komposit Lamina Serat Rami Menggunakan Matriks Thermoplastic High Density Polyethylene, Tugas Sarjana Teknik Aeronotika Aeronotika dan Astronotika FTMD, FTMD, ITB, Bandung. [14] J. B. R. H. S. d. J. J . G. S. Muji yono, 2010, Mechanical Properties of Ramie Fibers Reinforced Biobased Material Alternative as Natural Matrix Biocomposite, Research India Publications, Publications, vol. 5, pp. 811-824. [15] L. M. Leon Janssen, J anssen, 2009, Thermoplastic Starch A Green Material for Various Industries, Industries, Wiley. [16] L. Marta, 2014, Studi Penambahan Po livinil Alkohol Terhadap Sifat Tarik dan Sifat Penyerapan Air Bioplastik Tapioka, Tugas Sarjana Teknik Material FTMD, FTMD, ITB, Bandung.
2011, Polymer Matrix Technology , Woodhead Technology,
[17] R. W. James BeMiller, 2009, Starch Chemistry and Technology, Technology , Academic Press.
[4] D. D. Stoke, 2013, Introduction to Wood and Natural Fiber Composites, Composites, Wiley.
[18] D. J. Vanessa Goodship, 2005, Polyvinyl Alcohol: Materials, Processing and Application, Application, Rapra Technology.
[3] Ru Min Wang, Composites and Publishing.
[5] S. Pilla, 2011, Handbook of Bioplastics and Biocomposites Engineering , Scrivener Publishing LLC. [6] Omar Faruk, 2012, Biocomposites Reinforced with Natural Fibers: 2000-2010, 2000-2010 , Progress in Polymer Science , vol. 37, pp. 1552-1596. [7] Kestur G. Satyanarayana, Gregorio G. C. Arizaga, Fernando Wypych, 2009, Biodegradable Composites Based on Lignocellulosic Fibers - An Overview, Progress in Polymer Science , vol. 34, pp. 9821021. [8] E. G. P. S. Maria Rapa, 2014, Polyvinyl Alcohol and Starch Blends: Properties and Biodegradation Behaviour, Journal o Environmental Research and Protection, vol. 11. [9] M. F. Navin Chand, 2008, Tribology of Natural Fiber Polymer Composites, Composites, Woodhead Publishing in Material, CRC Press. [10] S. T. Amnuay Wattanakornsiri, 2014, Sustainable Green Composites of Thermoplastic Starch and Cellulose Fibers, Songkalanakarin J. Sci. Technol., vol. 36 (2), pp. 149-161.
[19] M. W. Baskoro, 2014, Pengaruh Natrium Tetraborat Sebagai Aditif Pengikat Silang Terhadap Sifat Mekanik dan Ketahanan Air Bioplastik Pati Tapioka/PVA , Tugas Sarjana Teknik Material FTMD, FTMD, ITB, Bandung. [20] N. Nanggala, 201 3, Prediksi Pr ediksi Kekuatan Tarik dan Modulus Elastisitas Serat Rami dengan Metode Distribusi Weibull 2 Parameter, Tugas Sarjana Teknik Aeronotika dan Astronotika FTMD, ITB, Bandung. [21] ASTM D 792, 2000, Standart Test Methods for Density and Spesific Gravity (Relative Density) of Plastics by Displacement. [22] ASTM D 3171, 1999, Standart Test Methods for Constituent Content of Composite Materials. [23] ASTM D 3039, 2000, Standart Test Methods for Tensile Properties of Polymer Matrix Composite Materials. [24] A. B. T, 1997, Manufacturing of Polymer Composite, Composite, London: Chapman and Hall. [25] B. M. Shahid Mehmood, 2012, "Properties and Performance of Flax Yarn/Thermoplastic Polyester Composites," Journal of Reinforced Plastics and Composites, Composites, pp. 1746-1757.
[11] B. C. Mitra, 2014, Environment Friendly Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 186
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Sifat Tarik Komposit Poliester Berpenguat Serat Bambu Petung Hermawan Judawisastra 1*), Mohammad Syahirul Rosadi 2), 1)Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Material, Program Studi Teknik Material, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Instiut Teknologi Bandung, Ganesha 10, Bandung 40132, INDONESIA *email :
[email protected] 2) Alumni 2) Alumni Program Studi Magister Teknik Mesin, FTMD, ITB
Abstract In increasing demand of environmental friendly material, petung bamboo fiber has a lot of potential as natural fiber for reinforcing polymer composites. This type of bamboo fiber has not been used as reinforcement for polymer composites yet. Therefore, the making and the tensile properties of petung bamboo fiber reinforced polyester composites need to be evaluated. Unidirectional and random petung bamboo fiber/polyester composites were manufactured using wet hand lay-up method. Beforehand, petung bamboo fiber was alkali treated to increase composites interface. Density of composites was measured in order to evaluate the physical properties of the composites. Tensile properties of composites were tested by means of tensile testing. Furthermore, tensile properties testing results were compared with rule of mixture models for polymeric fiber composites. Unidirectional petung bamboo fiber/polyester composites has been succesfully manufactured and resulting in unidirectional tensile strength, modulus elasticity, and strain 95 MPa, 8 GPa, and 4% respectively. Random petung bamboo fiber/polyester composites show modulus elasticity and strain of 2 GPa and 3% respectively. However the tensile strength of the random fiber composite is only 19 MPa, which is lower than polyester. This is due to the weak fiber-matrix interface of the composites. composites. Keywords : Tensile Properties, Composites, Polyester, Petung Bamboo Fiber
1.
Pendahuluan
Penggunaan serat hayati sebagai penguat komposit polimer dilirik seiring meningkatnya kebutuhan akan material yang ramah lingkungan. Jika dibandingkan dengan serat sintetis, serat hayati memiliki sifat spesifik yang bersaing, tidak abrasif, ketersediaan yang melimpah di alam, aman bagi kesehatan, dan terbarukan [1, 2]. Hal ini membuat serat hayati dipertimbangkan menjadi pengganti serat gelas dan serat karbon yang selama ini banyak digunakan sebagai serat penguat pada komposit polimer. Bambu merupakan salah satu kandidat serat hayati yang potensial. Penelitian terdahulu [3] menunjukkan bahwa serat bambu dapat digunakan sebagai penguat komposit polimer. Laju pertumbuhan bambu yang tinggi, sebesar 93,2 cm/hari [4], mendukung ketersediaan sumber daya sehingga merupakan salah satu daya tarik untuk mengembangkan serat bambu sebagai penguat komposit polimer. Pada tahun 2001 Indonesia tercatat sebagai negara dengan ekspor bambu terbesar nomor dua di dunia [5]. Di Indonesia, terutama pulau jawa, bambu petung merupakan tanaman yang mudah dij umpai [6]. Namun, bambu petung belum digunakan sebagai bahan penguat komposit polimer di dunia. Hal ini membuat bambu petung menjadi sangat potensial untuk dikembangkan sebagai sebagai penguat
komposit polimer. Dalam penelitian ini akan dikaji sifat tarik komposit poliester berpenguat serat bambu petung dengan orientasi acak dan searah. 2.
Metode
Diagram alir penelitian ditampilkan pada Gambar 1. Bambu yang digunakan merupakan bambu petung berumur 2 tahun yang diambil dari Hutan Penelitian Bambu, Arcamanik, Bandung, Jawa Barat. Serat diekstrak dari 3 ruas paling bawah tanaman bambu. Proses ekstraksi serat bambu petung dilakukan sesuai proses yang telah dilakukan Ardianto [7]. Alkalisasi pada serat bambu petung dilakukan menggunakan NaOH sebesar 5% v/v sesuai dengan prosedur yang telah dilakukan Kuswaha dan Kumar [8]. Resin poliester yang digunakan merupakan poliester merek YUKALAC C-108B yang didistribusikan PT. Justus Kimiaraya, dengan perbandingan resin dan katalis 100:0,5 berat.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 187
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
poliester
Serat bambu petung hasil ekstraksi
Alkalisasi serat bambu petung Uji tarik Uji densitas
Sifat tarik hasil pengujian dibandingkan dengan pemodelan menggunakan hukum pencampuran (r ule of mixture). Untuk komposit searah, kekuatan tarik (σ c) dan modulus elastisitas (Ec) dihitung menggunakan rumus [9]:
= ∙
(1)
= ∙ + ∙
(2)
Pembuatan komposit poliester berpenguat serat bambu petung dengan metode wet hand lay-up
komposit poliester berpenguat serat bambu petung Searah acak
Uji tarik komposit Uji densitas
Perbandingan sifat tarik hasil pengujian dengan pemodelan
Analisis data dan kesimpulan
Gambar 1. Diagram alir penelitian Komposit berpenguat serat bambu petung searah dan acak dibuat menggunakan metode wet hand lay-up lay-up sesuai dengan dimensi spesimen uji tarik ASTM D3039 [13]. Pengujian densitas dan pengujian tarik dilakukan pada serat bambu petung, poliester, dan komposit. Selain itu, pengujian densitas komposit juga diperlukan untuk mengetahui fraksi volume material penyusun. Pengujian densitas dilakukan sesuai dengan prosdur pada ASTM D3171[14].. Pengujian tarik poliester dan komposit dilakukan dengan prosedur pada ASTM D3039 [13]., sedangkan pengujian tarik serat bambu petung dilakukan dengan metode yang telah dilakukan Ardianto [7]. Spesimen komposit poliester berpenguat serat bambu petung searah dan acak ditunjukkan pada Gambar 2.
σf , Ef , dan V f secara secara berturut-turut adalah kekuatan tarik, modulus elastisitas dan fraksi volume dari serat bambu petung. Sedangkan E m, dan Vm secara berturut-turut adalah modulus elastisitas dan fraksi volume matriks poliester. Untuk komposit acak, kekuatan tarik (σc) dihitung menggunakan rumus yang digunakan oleh Tang [10], yaitu:
= 54°44′ + 54°44′ − sin(2 sin(2 × 54°4 54°44 4′ )
Dimana σCL, σ CT, τ CL secara berturut-turut adalah kekuatan tarik longitudinal komposit acak, kekuatan tarik transversal komposit acak, dan kekuatan geser komposit acak. Sedangkan modulus elastisitas komposit acak (E c) dihitung menggunakan rumus yang digunakan Tsai dan Pagano [11], yaitu:
8
8
(4)
Dimana E L dan ET secara berturut-turut adalah modulus elastisitas longitudinal dan transversal komposit acak. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Sifat Fisik Komposit dan Material Penyusun Sifat fisik serat bambu petung, poliester, dan komposit poliester – serat serat bambu petung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat Fisik Komposit dan Material Penyusun Densitas (g/cm3)
Fraksi Volume Serat (%)
Fraksi Volume Matriks (%)
Fraksi void (%)
1,11
-
-
-
1,21
-
-
-
1,19
24
76
0
1,18
6
92
2
Acak
Gambar 2. Spesimen Komposit
3
= +
Material
Searah
(3)
Serat Bambu Petung Poliester Komposit Searah Komposit Acak
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 188
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Dari dua jenis komposit yang diuji, diperoleh fraksi serat dan fraksi matriks dan fraksi void yang berbeda. Komposit serat acak memiliki void dengan fraksi volume void 2% dibandingkan dengan komposit serat searah yang tidak mengandung void. Komposit serat acak memiliki fraksi volume serat yang lebih rendah dibandingkan dengan komposit serat searah (24% vs 6%). Konstruksi serat acak yang sangat tidak teratur menyebabkan kemungkinan udara terjebak sangat besar saat proses hand lay-up lay-up dilakukan, sehingga void dapat terbentuk dalam komposit. Konstruksi serat searah yang sangat teratur membuat kadar serat yang tinggi bisa dengan mudah dibuat, sehingga fraksi volume serat yang tinggi bisa diperoleh dibandingkan dengan konstruksi serat acak. Densitas komposit serat acak dan serat searah (1,18 dan 1,19 g/cm 3) berada diantara densitas serat bamboo petung (1,11 g/cm 3) dan poliester (1,21 g/cm 3). Hal ini sesuai dengan hokum pencampuran dimana sifat komposit akan berada diantara sifat material penyusunnya, serat dan matriks. Dengan fraksi volume serat yang lebih rendah seharusnya komposit serat acak memiliki densitas yang lebih tinggi dari komposit serat searah. Densitas yang rendah pada komposit serat acak dapat disebabkan oleh adanya 2% void di dalam komposit tersebut. 3.2. Sifat Tarik Komposit Bambu Petung Sifat tarik serat bambu petung, poliester, dan komposit poliester – poliester – serat serat bambu petung dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 3. Komposit serat bambu petung searah menghasilkan sifat tarik yang lebih tinggi dibandingkan dengan komposit random: kekuatan tarik 95 MPa dibandingkan dengan 19 MPa, modulus 8 GPa dibandingkan dengan 3 GPa, dan regangan 5% dibandingkan dengan 4%. Hal ini disebabkan karena, dengan sifat tarik serat lebih tinggi dari poliester, komposit serat searah memiliki fraksi volume serat yang lebih tinggi daripada komposit serat acak. Selain itu komposit serat searah mengalami pembebanan longitudinal, sejajar terhadap panjang serat, sehingga memberikan kontribusi sifat tarik serat yang maksimum. Adanya void (lihat Tabel 1) pada komposit random dapat menjadi penyebab pula rendahnya kekuatan komposit random.
Tabel 2. Sifat Tarik Komposit dan Material Penyusun Jenis Serat Bambu Petung Poliester Komposit Searah Komposit Acak
Kekuatan Tarik (MPa)
Modulus Elastisitas (GPa)
Regangan (%)
269±124
7±4
4±1
26±8
2±0
3±1
95±19
8±1
5±0
19±5
3±0
4±1
140 ) 120 a P M100 ( k i 80 r a T n 60 a t a u 40 k e K
20
0 Poliester
Komposit Searah
Komposit Acak
(a) Kekuatan Tarik 10 ) a P G ( s t a i s i t s a l E s u l u d o M
8 6 4 2 0 Poliester
Komposit Searah
Komposit Acak
(b) Kekakuan Tarik 6 5 ) % ( n a g n a g e R
4 3 2 1 0 Poliester
Komposit Searah
Komposit Acak
(c) Regangan Patah Gambar 3. Grafik Sifat Tarik Poliester dan Komposit Poliester – Poliester – Serat Serat Bambu Petung Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 189
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Komposit poliester berpenguat serat bambu petung searah berhasil dibuat sesuai dengan perkiraan. Penggunaan serat bambu searah berhasil meningkatkan sifat tarik poliester: Kekuatan tarik, modulus elastisitas dan regangan komposit searah berturut-turut 73%, 76%, dan 31% lebih besar daripada kekuatan tarik, modulus elastisitas, dan regangan poliester. Hal ini disebabkan karena sifat tarik serat bambu petung yang lebih tinggi daripada sifat tarik p oliester (lihat Tabel 1). Hasil yang berbeda ditunjukkan komposit berpenguat serat acak. Walaupun modulus elastisitas dan regangan komposit serat acak lebih besar 26% dan 17% daripada modulus elastisitas dan regangan poliester, namun kekuatan tarik komposit serat acak justru lebih kecil 39% daripada kekuatan tarik poliester. Kenaikan modulus dan regangan tarik komposit disebabkan oleh adanya serat dengan modulus dan regangan tarik serat yang lebih tinggi dari poliester. Penurunan kekuatan tarik komposit acak, menurut Tang [10] dapat terjadi karena orientasi serat yang acak. Saat beban mengenai serat yang memiliki arah transversal dari arah pembebanan, maka beban akan disalurkan ke antarmuka antara serat dan matriks. Sehingga kekuatan yang tercermin adalah kekuatan antarmuka dari serat dan matriks. Hal ini menunjukkan pula bahwa kekuatan ikatan antarmuka komposit poliester – serat bambu petung yang diperoleh masih buruk, lebih rendah daripada kekuatan matriks. Selain itu adanya fraksi void sebesar 2% juga menyebabkan kekuatan tarik komposit serat acak lebih rendah dari kekuatan tarik poliester. 3.3. Perbandingan Sifat Tarik Komposit Hasil Pengujian dengan Pemodelan Perbandingan kekuatan tarik komposit hasil pengujian dengan permodelan ditampilkan pada Gambar 4 (a) dan (b) 140 ) 120 a P M100 ( k i 80 r a T 60 n a t a 40 u k e 20 K
0 Searah pengujian
Acak permodelan
(a) Kekuatan Tarik
10
) a P G ( s a t i s i t s a l E s u l u d o M
8 6 4 2 0
Searah pengujian
Acak permodela n
(b) Kekakuan Tarik Gambar 4. Perbandingan Sifat Tarik Komposit Hasil Pengujian dengan Pemodelan Dari Gambar 4 (a) dan (b) terlihat bahwa komposit serat searah memiliki kekuatan tarik hasil pengujian lebih tinggi 32% daripada hasil permodelan, dan memiliki nilai modulus elastisitas hasil pengujian yang lebih tinggi 60% daripada hasil permodelan. Pada kekuatan tarik, selisih sebesar 32% ini menandakan bahwa permodelan yang digunakan tidak bisa memprediksi kekuatan tarik komposit dengan tepat. Hal ini disebabkan dalam permodelan yang digunakan komposit diasumsikan mengalami patah akhir dengan modus patah pada seluruh serat secara bersamaan, sehingga faktor distribusi kekuatan serat, sifat matriks dan modus kegagalan lain tidak dimasukkan sebagai input saat perhitungan. Sedangkan pada modulus elastisitas, selisih sebesar 60% ini terjadi karena modulus elastisitas serat bambu petung sebagai input pemodelan tidak diperoleh melalui hasil pengukuran pertambahan panjang yang menggunakan ekstensometer, sehingga input modulus elastisitas serat bambu petung pada permodelan dapat memiliki nilai lebih rendah dari seharusnya. Gambar 4 (a) dan (b) memperlihatkan bahwa komposit serat acak memiliki kekuatan tarik hasil pengujian lebih rendah 30% daripada kekuatan tarik komposit hasil pemodelan Sedangkan modulus elastisitas komposit serat acak hasil pengujian memiliki nilai 14% lebih tinggi daripada hasil permodelan. Kekuatan tarik hasil pengujian komposit serat acak yang rendah disebabkan oleh orientasi serat yang acak pada komposit. Orientasi serat yang acak ini mengakibatkan tegangan geser yang besar pada antarmuka komposit saat komposit diberi beban, sehingga ikatan antarmuka seratmatriks dapat mengalami kerusakan. Pada permodelan, asumsi yang digunakan adalah ikatan antarmuka komposit yang sangat baik. Hal inilah
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 190
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
yang menyebabkan kekuatan tarik hasil pengujian memiliki nilai di bawah hasil permodelan. Selain itu adanya fraksi void sebesar 2% juga mengakibatkan kekuatan tarik hasil pengujian lebih rendah daripada hasil permodelan. Selisih nilai modulus elastisitas komposit serat acak hasil pengujian dengan hasil permodelan yang relatif kecil (14%) menunjukkan menunjukkan bahwa pemodelan yang digunakan cukup dapat memprediksi modulus elastisitas komposit acak. Tidak seperti kekuatan tarik, modulus elastisitas komposit adalah sifat yang tidak begitu terpengaruh oleh struktur dan perubahan yang ada pada komposit [12]. Kemungkinan ikatan antarmuka komposit rusak akibat gaya geser yang besar pada antarmuka serat-matriks saat pembebanan tidak akan signifikan mempengaruhi nilai modulus elastisitas komposit acak. Selain itu input modulus elastisitas serat bambu petung pada permodelan tidak dihitung melalui pengukuran pertambahan panjang dengan menggunakan ekstensometer, sehingga nilai modulus komposit serat acak hasil pemodelan menjadi lebih rendah dari seharusnya.
Daftar Pustaka
4.
[7] Ardiantoro, A. A. P., 2014., Karakteristik Sifat Tarik Bambu Petung ( Dendrocalasmus asper ) untuk Penguat Komposit Polimer, Tugas Akhir, Tugas Akhir Program Studi Ilmu dan Teknik Material Institut Teknologi Bandung.
Kesimpulan
Kajian sifat tarik komposit poliester yang diperkuat serat bambu petung telah dilakukan dengan hasil sebagai berikut: 1. Komposit poliester berpenguat serat bambu petung searah berhasil dibuat dengan fraksi volume serat 24% dengan sifat tarik arah longitudinal sebesar 95 MPa untuk kekuatan tarik, 8 GPa untuk modulus elastisitas, dan 4% regangan patah. 2. Pembuatan komposit berpenguat serat bambu petung acak menghasilkan komposit dengan fraksi volume serat 6% dengan sifat tarik komposit acak sebesar 19 MPa untuk kekuatan tarik, 2 GPa untuk modulus elastisitas, dan 3% regangan patah. Kekuatan tarik komposit acak yang diperoleh masih berada di bawah kekuatan tarik poliester. Hal ini diakibatkan pembebanan pada serat acak menghasilkan tegangan geser antarmuka yang cukup tinggi dan melebihi kekuatan ikatan antarmuka komposit. 3. Pemodelan sifat tarik melalui hukum pencampuran belum dapat memperkirakan nilai sifat tarik komposit secara tepat karena asumsi ikatan antar muka serta nilai input modulus elastisitas serat yang kurang tepat. Pemodelan modulus elastisitas komposit acak memiliki selisih dengan hasil pengujian yang paling kecil yaitu sebesar 14%.
[1] Ku, H. et al., al., 2011, A Review on the Tensile Properties of Natural Fibre Reinforced Polymer Composites , Composites Part B42(4), 856 – 873. 873. [2] Masoodi, R.., R.., Pillai, K. M., 2012, A study on moisture absorption and swelling in bio-based jute-epoxy composites, Journal of Reinforced Plastics and Composites 31(5) 285 – 294 294 [3] Abdul Khalil, H. P. S., et al., 2012, Bamboo fibre reinforced biocomposites: A review, Materials and Design 42 (2012) 353 – 368 368 [4] Charomaini, M. Z., 2009, Pertumbuhan 2009, Pertumbuhan bambu etung dari beberapa populasi asal pulau awa, awa, Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta [5] Abdul Khalil, H. P. S., et al., 2012, Bamboo fibre reinforced biocomposites: A review, Materials and Design 42 (2012) 353 – 368 368 [6] Widjaja, E. A, 2001, Identikit Jenis-Jenis Bambu di Jawa, Jawa, Bogor: Puslitbang Biologi
[8] Pradeep K. Kushwaha Kushwaha & Rakesh Kumar, Kumar, 2009, Studies on Water Absorption of BambooPolyester Composites: Effect of Silane Treatment of Mercerized Bamboo, Polymer Plastics Technology and Engineering, 49:1, 45-52, 45-52, DOI: 10.1080/03602550903283026 [9]
Aström, B, T, 1997, Manufacturing o Polymer Composites, Composites, Chapman & Hall: London, UK
[10] Tang, D. et al, 1998, Tensile Strength of random oriented short fiber composite, Transaction of Tianjin University Vol. 4 No. 2 [11] Lu, Y., 2002, Mechanical Properties P roperties of Random Fiber Composites Manufactured from Wetlay Process, Thesis, Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University University [12] Rejab, M. R. M., et al, 2008, An Investigation into the Effects of Fibre Volume Fraction on GRFP Plate, Plate, Proceedings of MUCET 2008 Malaysian Techinical Universities Conference on Engineering and Technology, ISBN 978983-42358-4-0. [13] ASTM D 3039. 2002. Test Method for Tensile Properties of Polymer Matrix Composite Materials. Materials. ASTM. USA
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 191
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
[14] ASTM D3171. 2004. Test Methods for Constituent Content of Composite Materials . ASTM.USA.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 192
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENA (SENA M M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pemodelan Pengaruh Arah Serat Terhadap Kekuatan Impak Balistik Komposit E-Glass/Isophthalic Polyester Rizal Panglevie, Mas Irfan P. Hidayat, Sulistijono dan Lukman Noerochim Institut Teknologi Sepuluh Sepuluh Nopember, Jurusan Teknik Material Material dan Metalurgi, Metalurgi, Surabaya, 60111, Indonesia
[email protected] Abstract
Ballistic impact simulation using the finite fi nite element method has been widely applied in various fields included in the case of ballistic impact on a bulletproof vest. In this final project, ballistic impact simulation had been used to determine the effect of the fiber direction to ballistic impact strength E-glass / Isophthalic polyester. Process analysis and simulation is performed by Patran, MSC Nastran and LS Prepost. Simulation is carried out by firing 1.1 grams Fragment Simulating projectile (FSP) at a speed of 3 55 m/s to composite panels whi ch have dimension 100×100 mm with a number of layers 8, 12 and 16, where each layer has a thickness of 0.57 mm. In this final project, variations of fiber direction are [± 450 ] and [90 0 ,00 ] with laminate arrangement in symmetry. The simulation result shows that the composite E-glass / Isophthalic polyester fiber with direction [±45 0 ] has a higher ballistic strength of 28.48% than that of [900 ,00 ]. The final fi nal result is validated by Wen model and showing the error value in the composite E -glass / Isophthalic-polyester is ranged from 2.63% to 8.74%. Keywords : isophthalic polyester, E-glass, finite element method, ballistic impact, bulletproof vest
141,9 m/s serta energi yang dapat diserap oleh komposit secara berturut-turut adalah 1102,7 J dan 1148,85 J. 1.
Pendahuluan Penelitian ini dilakukan karena rompi anti peluru merupakan hal yang menarik untuk dijadikan topik penelitian, khususnya pada lima puluh tahun terakhir [1]. Pada awalnya rompi anti peluru menggunakan baja sebagai komponen pelindung utama. Namun, baja memiliki beberapa kelemahan, terutama dalam hal beratnya. Oleh karena itu komposit dipilih menjadi alternatif pengganti baja. Selain itu pengujian balistik secara langsung membutuhkan constraint yang kompleks dan harus dilakukan secara berulang [2]. Komposit merupakan jenis material orthotropik yang memiliki komponen berupa layer lamina yang memiliki jenis material isotropik transversal [3]. Material isotropik transversal memiliki kondisi pembebanan yang identik pada arah bidang 2 dan 3 [4]. [ 4]. Hal ini menyebabkan analisa secara tiga dimensi semakin mudah dilakukan. Sifat mekanik komposit secara global sangat bergantung pada sifat mekanik setiap layer laminanya. Setiap layer lamina memiliki serat penguat dengan arah tertentu. Sifat mekanik komposit secara global akan berubah apabila arah serat penguat layer lamina berubah [1]. Sifat mekanik komposit yang diakibatkan oleh berubahnya arah serat penguat layer lamina dibuktikan oleh penelitian Ismet Kutlay Odechi mengenai komposit sandwich core aluminium core aluminium dengan komposit pelapis dari E-glass/polyester dengan variasi arah serat [0 0,900]s dan [ 450]. Ia melakukan pengujian balistik pada komposit pelapisnya saja dengan tebal 5 mm dan diperoleh kecepatan balistik komposit arah serat [0 0,900] dan [ 450] secara berturut-turut adalah 140,32 m/s dan
± ±
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Pada gambar 1.1 memperlihatkan bahwa tipikal kerusakan yang terjadi pada komposit dengan arah serat [00,900] lebih meluas dari pada komposit [ 450] [5]. Kerusakan atau kegagalan pada komposit terjadi dengan lima tahapan. Pertama, ketika proyektil tepat akan menumbuk permukaan komposit. Kedua, terjadinya pergeseran serat yang akan mengawali terjadinya kerusakan.
±
(a)
(b)
±
Gambar 1.1 Kerusakan pada komposit [0 0,900] dan [ 450] [5]
Ketiga, muncul shear plug pada sisi belakang permukaan komposit. Geometri shear plug akan terus tumbuh karena mengalami penekanan. Keempat, tegangan tekan pada tahap keempat semakin berkurang dan justru berubah menjadi tegangan tarik. Tegangan tarik ini akan menyebabkan terjadinya tegangan geser di sekitar shear plug . Kelima, komposit mengalami kegagalan yang ditandai dengan terjadinya getaran pada permukaan komposit sebagai akibat dari pendistribusian tegangan [6]. Pada gambar 1.2, disajikan ilustrasi mekanisme kegagalan komposit. Hal ini sesuai dengan penelitian Joseph Jordan mengenai pengaruh bentuk
193
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
nose proyektil nose proyektil FSP pada kecepatan balistik komposit Eglass/phenolic. Joseph Jordan menjelaskan bahwa ketika penetrasi, komposit mengalami 5 fase, yaitu impact, compression crushing, compression shear, plugging, tensile fiber failure dan residual [7]. [7].
Gambar 1.2. Ilustrasi mekanisme kegagalan komposit [6]
Mekanisme kegagalan pada komposit bergantung pada respon komposit terhadap impak. Respon komposit terhadap impak dipengaruhi oleh empat hal, yaitu kecepatan impak, sifat material impaktor, ukuran target dan batasan kondisi [8]. Namun yang paling berpengaruh adalah kecepatan impak karena menyebabkan respon global dan lokal. Respon global diakibatkan oleh kecepatan impak rendah dan ditandai dengan terjadinya delaminasi secara meluas pada komposit. E. Kerr Anderson, S. Pillay and U.K.Vaidya melakukan penelitian mengenai dampak kompresi pada komposit laminat karbon dengan variasi kecepatan impak. Kerusakan semakin meluas dengan bertambahnya kecepatan i mpak seperti pada gambar 1.3 [9]. Tetapi dengan semakin meningkatnya kecepatan impak, dampak impak yang terjadi justru lebih terlokalisir seperti pada gambar 1.4.
Gambar 1.3 Dampak kecepatan impak rendah [9]
(a)
b Gambar 1.4 Dampak kecepatan impak tinggi (a) 647,7 m/s (b) 891,2 m/s [10]
Respon lokal ditandai dengan sedikitnya delaminasi yang terjadi seperti pada gambar 1.4. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Sai Kiran Chelluru melakukan penelitian mengenai pemodelan impak balistik pada plat aluminium dan komposit E-glass/polypropylene dengan Patran dan LS-Dyna. Dengan kecepatan impak 125, 187 dan 200 m/s. Pada penelitian tersebut didapatkan hasil pada kecepatan lebih rendah, tendensi untuk terjadi delaminasi lebih besar seperti pada gambar 1.5 [1]. Pemodelan impak balistik pada komposit Eglass/polypropylene juga dilakukan oleh L. J. Deka, Bartus S. D., Vaidya U. K. Pada penelitian tersebut digunakan jumlah layer komposit 8, 12 dan 16. Proses validasi menggunakan data hasil eksperimental. Hasil yang diperoleh adalah komposit 8, 12 dan 16 layer memiliki batas kecepatan balistik secara eksperimental 181,3; 272,5 dan 288,8 m/s [11].
(a)
(b)
(c)
Gambar 1.5 Delaminasi E-glass/polypropilene kecepatan impak (a) 125 (b) 187 (c) 200 m/s [1]
H. M. Wen membuat model perhitungan untuk memprediksi batas kecepatan balistik. Model ini memiliki asumsi bahwa tekanan rata-rata yang diterapkan secara normal pada permukaan proyektil dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertama tekanan kohesif resistif kuasi statis akibat deformasi elastis plastis dari komposit dan yang kedua tekanan resistif dinamis akibat kecepatan impak [12].
= √ 42 [1 + 1 + 282] (1) dimana, adalah batas kecepatan balistik, adalah konstanta dimensional, adalah tegangan ekuivalen, adalah massa jenis komposit, adalah diameter proyektil, adalah ketebalan komposit dan adalah
massa proyektil. P. C. Onyechi, S. O. Edelugo, E. O. Chukwumuanya, S. P. N. Obuka melakukan penelitian mengenai respon komposit E-glass/polyester terhadap impak balistik dengan validasi menggunakan model balistik Wen. Proyektil yang digunakan memiliki bentuk nose kerucut dan ogif dengan massa dan kecepatan impak sama secara berturut-turut, yaitu 1.7 g dan 355 m/s. Jumlah layer komposit divariasikan 6, 9, 12, 15, 18 dan 22. Pada ketebalan 4, 6 dan 8 mm diperoleh kecepatan balistik model Wen 130,2374; 195,3549 dan 390,7076 m/s pada peluru ogif. Dengan ketebalan yang sama, pada peluru kerucut diperoleh kecepatan balistik model Wen 130,2943; 195,4404 dan
194
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
260,5864 m/s. Hasil model Wen tersebut memiliki tingkat kecocokan 100% [13]. 2.
Metode Perangkat lunak Patran, MSC Nastran dan LS Prepost digunakan untuk memodelkan impak balistik proyektil pada E-glass/isophthalic polyester. Pada tabel 2.1 disajikan sifat mekanik E-glass/isophthalic-polyester dengan fraksi volume serat penguat 36,51%. Sifat mekanik komposit E-glass/Isophthalic-polyester didapat dari hasil uji mekanik oleh TRIAXIS Composite. Composite. Sedangkan Material yang digunakan untuk proyektil adalah baja AISI 4340H dengan sifat mekanik pada tabel 2.2. Tabel 2.1 Sifat mekanik E-glass/isophthalic-polyester Sifat Mekanik Unidirection Modulus elastisitas longitudinal (GPa) 25,8 Modulus elastisitas transversal (GPa) 8,0 Modulus geser (GPa) 8,4 Kekuatan tarik longitudinal (MPa) 720 Kekuatan tarik transversal (MPa) 70 Kekuatan geser (MPa) 102 Rasio Poisson 0,29 Massa Jenis (kg/m3) 1681
komposit agar tidak terjadi pergerakan. Kemudian proyektil diberikan kecepatan awal 355 m/s dengan jarak antara proyektil dan panel komposit adalah 0,02 mm.
Gambar 2.1 Meshing 2.1 Meshing FSP FSP caliber 0,22 inch dalam satuan mm
Gambar 2.2 Jumlah layer (a) 4 (b) 8 (c) 16 layer dan (d) meshing panel meshing panel komposit
Tabel 2.2 Sifat mekanik proyektil [14] Sifat Mekanik AISI 4340H Massa Jenis (kg/m 3) 7877 Modulus Elastisitas (GPa) 207 Rasio Poisson 0,33
E-glass/isophthalic-polyester terdiri dari 8, 12 dan 16 layer komposit (lihat gambar 2.1) dengan masing-masing layer memiliki geometri 100×100×0,57 mm3. Variasi arah serat komposit yang digunakan adalah [900,00] dan [±450]. Komposit E-glass/isophthalic polyester dimodelkan menggunakan elemen hexahedron dengan kerapatan tidak seragam seperti pada gambar 2.1. Hal ini dilakukan karena kecepatan impak yang digunakan tergolong kecepatan impak tinggi, yaitu 355 m/s. Sehingga tegangan yang terjadi bersifat terlokalisir [1]. Oleh karena itu ukuran elemen dengan kerapatan tertinggi hanya diterapkan pada permukaan yang terkena impak proyektil secara langsung. Proyektil yang digunakan adalah fragment sumulating projectile atau projectile atau FSP dengan caliber 0,22 inch dan bermassa 1,1 g. FSP terbuat dari baja AISI 4337H dengan sifat mekanik pada tabel 2.2. Kriteria kegagalan Chang-Chang (MATD022) dengan kriteria erosi digunakan untuk memodelkan E-glass/isophthalic polyester. Kriteria erosi yang digunakan berbasis pada regangan efektif, regangan volume dan regangan principal. Proyektil peluru dimodelkan sesuai dengan standar NATO STANAG 2920 [14] seperti pada gambar 2.1. Proyektil menggunakan material model rigid material (MATD20), (MATD20), karena teori yang digunakan untuk validasi berasumsi bahwa massa proyektil tetap. Pemodelan kondisi pembebanan pada penelitian ini dilakukan dengan menjepit sisi luar panel Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 2.3 Pemodelan kontak
3.
Hasil dan Pembahasan Arah serat komposit yang digunakan pada pemodelan ini adalah [±45 0] dan [900,00]. Oleh karena itu konstanta dan kekuatan komposit juga akan berubah sesuai dengan variasi arah serat komposit. Tabel 3.1 Konstanta komposit sesuai variasi arah serat Arah Serat 00 900 450 -450 0,720 0,070 0,497 0,293 E1(GPa) 0,070 0,720 0,293 0,497 E2(GPa) 0,351 0,122 0,379 0,093 v12 0,122 0,351 0,093 0,379 v23 0,122 0,122 0,122 0,122 v13
XT YT XC YC S12 S23 S13
Tabel 3.2 Kekuatan komposit sesuai variasi arah serat Arah Serat 00 900 450 -450 0,720 0,070 0,497 0,293 0,070 0,720 0,293 0,497 0,351 0,122 0,379 0,093 0,122 0,351 0,093 0,379 0,102 0,102 0,325 0,325 0,051 0,102 0,036 0,108 0,102 0,051 0,108 0,036
195
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Kriteria erosi yang digunakan secara bersamaan dengan Material model Chang-Chang berbasis pada regangan efektif dan regangan volume ε yang disesuaikan dengan arah serat layer pada tabel 3.3. Sedangkan regangan prisipal yang digunakan adalah regangan prisipal serat kaca tipe E, yaitu 0,048 .
(εeff )
( vol)
Tabel 3.3 Regangan volume layer 0 0, 900, +450 dan -45 0 Arah Serat 0,03341322 0,0243209 00 0,03493534 0,0281523 90 0 0,04656265 0,0336461 45 0 0,04656265 0,0336461 -450
Setelah melakukan perhitungan data-data pendukung, didapat hasil pemodelan berupa penurunan kecepatan proyektil pada komposit [±45 0] dan [900,00] 8, 12 dan 16 layer pada gambar 3.1. (a)
Tabel 3.4 Batas kecepatan balistik komposit [±45 0] dan [90 0,00] Jml. (m/s) Arah Serat (m/s) (m/s) Layer 8 355 186,83 168.17 12 355 111,00 244,00 [±45 0] 16 355 63,96 291,04 8 355 222,57 132,43 12 355 142,01 212,99 [900,0 0] 16 355 99,21 255,79
Pada tabel 3.4 dapat dilihat bahwa batas kecepatan balistik hasil pemodelan mendekati hasil eksperimen pada penelitian Deka dkk [11] dan Onyechi dkk [13]. Komposit dengan arah serat [±45 0] memiliki batas kecepatan balistik 16,23 % lebih tinggi dari pada komposit dengan arah serat [90 0,00]. Hal ini disebabkan oleh lama waktu perforasi proyektil pada komposit arah serat [±450] lebih tinggi 15,35% dari pada komposit dengan arah serat [90 0,00] seperti pada gambar 3.2.
(b) Gambar 3.2 Perbandingan batas kecepatan balistik komposit [ ±450] dan [90 0,00]
Lama waktu perforasi ini didapat dengan mengambil selisih antara kecepatan awal proyektil tepat sebelum menumbuk komposit dengan kecepatan sesudah melakukan perforasi dari grafik pada gambar 3.1. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 3.4 (c) Arah Serat [±45 0]
[900,00]
0
0
0
Gambar 3.1 Grafik kecepatan proyektil komposit [±45 ] dan [90 ,0 ] (a) 8 layer (b) 12 layer (c) 16 layer
Dari gambar 3.1 didapat kecepatan setelah perforasi (V b) dan batas kecepatan balistik hasil pemodelan (V p) pada tabel 3.4. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Tabel 3.4 Waktu perforasi (μs) (μs) 0,828 10,70 0,828 12,00 0,828 14,20 0,735 6,67 0,735 9,16 0,735 11,10
(μs) 9,87 11,17 13,37 5,93 8,42 10,36
Pengaruh perbedaaan arah serat penguat penguat juga dapat dianalisa dengan distribusi tegangan Von-Mises dan mode kerusakan pada komposit seperti pada gambar 3.3. Pada waktu 3,1 μs (lihat gambar 3.3) komposit arah serat [±450] 8, 12 dan 16 layer mengalami tegangan Von-Mises maksimum secara berturut-turut 1,380; 1,405 dan 1,396 GPa. Sedangkan pada komposit arah 196
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015 0
0
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
serat [900,00] sudah mengalami tegangan Von-Mises sebesar 1,835; 1,891 dan 1,899 GPa. Hal ini menyebabkan komposit arah serat [90 0,00] lebih cepat mengalami kerusakan. Sebagai buktinya pada waktu ke 7,1 μs (lihat gambar 3.4), 3.4), dapat dilihat bahwa komposit dengan arah serat [90 0,00] sudah mengalami kegagalan terlebih dahulu dari pada komposit arah serat [±45 0]. Pada waktu 3,1 μs (lihat gambar gambar 3.3) komposit 0 arah serat [±45 ] 8, 12 dan 16 layer mengalami tegangan Von-Mises maksimum secara berturut-turut 1,380; 1,405 dan 1,396 GPa. Sedangkan pada komposit arah serat [900,00] sudah mengalami tegangan Von-Mises sebesar 1,835; 1,891 dan 1,899 GPa. Hal ini menyebabkan komposit arah serat [90 0,00] lebih cepat mengalami kerusakan. Sebagai buktinya pada waktu ke 7,1 μs (lihat gambar 3.4), 3.4), dapat dilihat bahwa komposit dengan arah serat [90 0,00] sudah mengalami kegagalan terlebih dahulu dari pada komposit arah serat [±45 0]. [900,00]
[±450]
Gambar 3.3 Distribusi tegangan Von-Mises (GPa) dan Mode kerusakan komposit arah serat [±45 0] dan [90 0,00] pada 3,1 μs
[900,00]
Gambar 3.4 Distribusi tegangan Von-Mises (GPa) dan Mode kerusakan komposit arah serat [±45 0] dan [90 0,00] pada 7,1 μs
Pada waktu 11,1 μs tegangan Von-Mises Von -Mises 0 maksimum pada komposit arah serat [±45 ] 8, 12 dan 16 layer lebih tinggi, yaitu 0,5137; 1,153 dan 1,671GPa dari pada komposit [90 0,00], yaitu 0,1284; 0,2621 dan 0,5010 GPa. Hal ini terjadi karena komposit arah serat [±450] sedang mengalami perforasi. Sedangkan komposit arah serat [900,00] hampir selesai melakukan perforasi (lihat gambar 3.5). [900,00]
[±450]
Gambar 3.5 Distribusi tegangan Von-Mises (GPa) dan Mode kerusakan komposit arah serat [±45 0] dan [90 0,00] pada 11,1μs
[±450] Diubahnya arah serat penguat komposit Eglass/isophthalic polyester dari [90 0,00] menjadi [±450] juga berpengaruh pada kekuatan impak balistiknya. Dengan data batas kecepatan balistik pada tabel 3.4, diperoleh kekuatan balistik komposit arah serat [±450] dan [900,00] pada tabel 3.5. Tabel 3.5 kekuatan balistik komposit [ ±450] dan [90 0,00] Arah Serat Kekuatan Balistik (GPa) 0,145 0,204 [±45 0] 0,217 0,090 0,155 [900,00] 0,166
Dari tabel 3.5 dapat disimpulkan bahwa kekuatan balistik komposit dengan arah serat [±45 0] Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
197
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
lebih tinggi 28,48 % dari pada komposit dengan arah serat [900,00]. Untuk lebih jelas dalam mengetahui perbedaan kekuatan balistik komposit arah serat [±45 0] dengan [90 0,00], disajikan grafik pada gambar 3.6.
Gambar 3.6 Perbandingan kekuatan balistik komposit [±45 0] dan [900,00]
Perhitungan validasi menggunakan model balistik Wen. Pada tabel 3.6 disajikan batas kecepatan balistik komposit [±450] dan [90 0,00] hasil perhitungan model Wen. Tabel 3.6 Batas kecepatan balistik hasil perhitungan model Wen Jumlah Layer Kekuatan Balistik Arah Serat (GPa) 8 158,318 12 237,411 [±45 0] 16 316,495 8 138,288 12 207,374 [900,00] 16 276,452
Nilai error relatif ditentukan dari presentase selisih antara batas kecepatan balistik hasil perhitungan model Wen
(Vb)
dan hasil pemodelan
(VM).
Pada tabel
3.7 menunjukkan error relatif tertinggi terjadi adalah 8,74%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa model elemen hingga yang dikerjakan memiliki akurasi yang baik untuk kasus pengaruh arah serat terhadap ter hadap kekuatan impak balistik komposit E-glass/isophthalic polyester.
Arah Serat [±45 0]
[900,00]
Tabel 3.7 Nilai error relatif Jumlah VM (m/s) Vb (m/s) Layer 8 168,170 158,318 12 244,000 237,411 16 291,046 316,495 8 132,430 138,288 12 212,990 207,374 16 255,788 276,452
Error Relatif 5,85 2,70 -8,74 -4,42 2,63 -8,07
4.
Kesimpulan Dari penelitian ini, didapat beberapa kesimpulan: komposit E-glass/isophthalic polyester dengan arah serat [ 450] memiliki kekuatan balistik lebih tinggi 28,48 % dari pada arah serat [900,00]. Validasi dengan menggunakan model Wen menunjukkan bahwa nilai error pada komposit E-glass/isophthalic polyester berkisar antara 2,63% sampai 8,74%. Hasil tersebut
±
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
menunjukkan bahwa model elemen hingga yang dikerjakan memiliki akurasi yang baik untuk kasus di atas.
Daftar Pustaka [1] Chelluru, Saikiran. 2004. “Finite Element Simulation of Ballistic Impact on Metal and Composite Plates”. Department of Mechanical Engineering Wichita State University 4: 39 – 39 – 42. 42. [2] Wardani, Iftika Philo. 2007. “Analisa Balistik Impak pada berbagai ketebalan Shell Helm dan Kecepatan Awal Proyektil dengan Menggunakan Metode Elemen Hingga”. Institut Teknologi Sepuluh Nopember: 1-2. [3] Kaw, Autar K. 2006. Mechanics of Composite Material 2nd Edition. Boca Raton: Taylor & Francis. [4] Jones, Robert M. 1998. Mechanics of Composite Composite nd Material 2 Edition. Blaksburg: Taylor & Francis. [5] Odechi, Ismet Kutlay. 2011. “The Projectile Impact Responses of The Composite Faced Aluminium Foam and Corrugated Aluminium Sandwich Structures: Structures: A Comparative Study”. Izmir Institute of Technology: 79-80. [6] Grujicic, M., Snipes, J. S., dan Chandrasekharan, N. 2013. “A Simple Model for The Prediction of The Ballistic Limit in Thick-Section Composite Laminates”. International Journal of Engineering Engi neering Practical Research 2: 32 – 32 – 33. 33. [7] Jordan, Joseph. 2013. “Penetration of Composites by Arbitrary Shaped Fr agments – agments – A A Numerical and Experimental Investigation”. University of Lehigh: 33-94. [8] Bhatnagar, A. 2006. Lightweight Ballistic Composites. Military and Law-Enforcement Applications. England: Woodhead Publishing in Materials. [9] Anderson, E. Kerr, S. Pillay dan U. K. Vaidya. 2010. “Compression after Impact of Stitched FRP Laminates with Machined Holes versus Ballistic Impact Penetration Apertures”. Apertures”. University of Alabama: 6. [10] Yen, Chian Fong. 2009. “Ballistic Impact Modeling of Composite Materials”. International LS – DYNA Users Conference 6: 23. [11] Deka, L.J., Bartus, S.D., Vaidya, U.K. 2006. “Damage Evolution and Energy Absorption of FRP Plates Subjected to Ballistic Impact Using a Numerical Model”. 9th International LS-Dyna Users Conference: 53-58. [12] Wen, H.M. 2000. 2000. “Predicting The Penetration and Perforation of FRP Laminates Struck Normally by Projectiles with Different Nose Shapes” Shapes”.. Composite Structures Vol. 49, No. 3: 321-329. [13] Onyechi, P.C., S.O. Edelugo, E.O.Chukwumuanya, S.P.N. Obuka. 2014. “Ballistic “Ballistic Penetration
198
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Response Of Glass Fibre Reinforced Polyester (Gfrp) Composites: Body Amour”. Amour”. International Journal of Scientific & Technology Research: 233236. [14] . 2003. NATO STANAG 2920. Belgium: NATO Standarization Agency.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
iding S
199
talurgi (S
)
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Manufaktur Sepatu Rem Komposit Kereta Kereta Api : Pengaruh Lama Pres Panas Terhadap Sifat Mekanik Eko Surojo1,a, Jamasri1, Viktor Malau 1, dan Mochammad Noer Ilman 1 1
Universitas Gadjah Mada, Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Yogyakarta, 55281, Indonesia Bebas tugas tugas (studi lanjut lanjut S3) dari Universitas Universitas Sebelas Sebelas Maret, Jurusan Jurusan Teknik Teknik Mesin, Surakarta, Surakarta, 57126, Indonesia Indonesia
a
[email protected]
Abstract In this this study, composite brake shoes for train application were were manufactured using two different hot molding times. The composite brake shoes process consisted of the following operations: dry formulation, dry mixing of ingredients, preforming of the mixture, and hot molding of the preformed. Hot molding process was carried out for two different holding times that are 45 minutes and 60 minutes. After After manufactured, the composite brake shoes were cut out to form specimen, and then evaluated to obtain material characteristics. Specimens were subjected to hardness testing, flexural testing, and friction testing. The results show that composite br ake shoe that obtained by hot molding for 45 minutes was not much appreciable difference value in flexural strength with hot molding pressure for 60 minutes. However, composite brake shoe that obtained by hot molding for 60 minutes was more homogeneous in hardness than hot molding for 45 minutes. Keywor ds : composite brake shoe, train, hot molding times
1. Pendahuluan Rem gesek diterapkan pada sistem pengereman di kereta api. Pengereman kereta api bekerja dengan cara menggesekkan permukaan gesek sepatu (blok) rem ke permukaan roda kereta api. Sepatu rem kereta api dibuat dari bahan yang memiliki kekuatan memadai dan kekerasan yang lebih rendah dibandingkan dengan kekerasan roda kereta api. Hal ini untuk menghindari terjadinya keausan yang berlebihan pada roda kereta api. Akan tetapi, bahan sepatu rem juga perlu memiliki ketahanan aus yang mencukupi agar tidak sering dilakukan penggantian. Di samping itu, sepatu rem juga perlu memiliki memiliki koefisien gesek yang dipersyaratkan agar mampu menghentikan kereta api pada jarak tertentu yang diinginkan. diinginkan. Terdapat tiga kelas bahan sepatu rem kereta api yaitu sepatu rem berbahan besi cor, komposit berpengikat resin dan bahan sinter [1-3]. Penggunaan sepatu rem komposit polimer pada kereta api lebih menguntungkan karena unjuk kerjanya unggul, umurnya panjang, rendah kebisingannya, dan ringan [4]. Penggunaan sepatu rem berbahan besi cor kelabu pada kereta api menyebabkan terbentuknya permukaan roda kereta api yang relatif kasar dan berakibat terhadap tingginya tingkat kebisingan pada saat kereta api berjalan [2,3]. Pada saat ini, PT Kereta Api Indonesia menggunakan sepatu rem berbahan metalik (besi cor) dan komposit. Secara umum, bahan penyusun sepatu rem komposit terdiri atas lebih dari 10 jenis bahan penyusun agar diperoleh karakteristik yang diinginkan dalam hal ketahanan aus, gaya gesek,
kebisingan, dan getaran [5,6]. Bahan penyusun sepatu rem komposit dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi bahan tersebut di dalam sepatu rem yakni abrasif, modifikator gesekan, pengisi, dan penguat serta bahan pengikat atau matrik [7]. Selanjutnya, Matsuo dkk [8] menjelaskan bahwa proses manufaktur sepatu rem gesek komposit dilakukan secara kering karena pertimbangan faktor kesehatan dan lingkungan. Proses pembuatan sepatu rem komposit melalui tahapan pencampuran bahan penyusun, pencetakan atau pengepresan bahan pada temperatur kamar, pencetakan atau pengepresan pada temperatur temperatur 140-180 oC, dan dilanjutkan dengan proses post curing . Bahan pengikat yang umum digunakan pada pembuatan sepatu rem komposit adalah phenolic resin. Sifat sepatu rem komposit selain dipengaruhi oleh jenis bahan penyusun, juga dipengaruhi oleh parameter proses manufaktur. Tekanan dan temperatur pada tahap pres panas berpengaruh terhadap kekerasan permukaan dan porositas komposit, tetapi tidak terdapat korelasi antara sifat fisik komposit sepatu rem dengan sifat tribologinya [9]. Sementara itu, lama pres panas yang semakin lama dapat menghaslkan perbaikan sifat tribologi komposit dan suatu saat mencapai nilai optimumnya [10]. Matsuo dkk [8] menjelaskan bahwa lama lama pres panas panas di dalam manufaktur kampas kampas rem mobil berkisar antara 3-10 menit pada temperatur 140-180 oC. Lama pres panas tersebut tentu saja tidak dapat diterapkan pada manufaktur sepatu rem komposit kereta api. Hal ini disebabkan karena sepatu rem komposit kereta api memiliki ukuran produk yang jauh lebih besar dibandingkan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 200
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dengan ukuran kampas rem mobil. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan melakukan manufaktur sepatu rem komposit kereta api dan mengetahui pengaruh lama pres panas terhadap sifat mekaniknya. 2. Metode Manufaktur sepatu rem komposit dilakukan melalui dua tahap pengepresan yakni pres dingin dan dilanjutkan dengan pres panas. Sepatu rem komposit kereta api memiliki dimensi yang relatif besar (Gambar 1). Oleh karena itu, pengepresan pada manufaktur sepatu rem kereta api membutuhkan waktu yang relatif lama. Pada tahap ini lama pengepresan panas divariasikan 45 menit dan 60 menit. Selanjutnya, sepatu rem hasil pres panas (tanpa didahului dengan proses post curing )
dipotong menjadi spesimen uji dan kemudian dilakukan pengujian lentur, kekerasan, dan keausan atau gesek. Pengujian lentur menggunakan metode three point bending , pengujian kekerasan menggunakan metode Brinell, dan pengujian keausan atau gesek menggunakan metode pin on disc (Gambar 2 dan Gambar 3). Spesimen uji keausan berbentuk silinder berdiameter 10 mm dan panjang 22 mm. Komposisi bahan sepatu rem komposit kereta api yang digunakan di dalam penelitian ini (dalam % volume) adalah campuran geram besi cor dan serat gelas sebanyak 9%, campuran cashew dust dan karet nitrile butadiene rubber (NBR) (NBR) sebanyak 15%, serta campuran grafit, phenolic resin dan barit sebanyak 76%.
Bahan komposit
Backing plate (terbuat dari baja) Tebal
= 50 mm
Lebar
= 80 mm
R 382 mm 320 mm
Gambar 1. Skema bentuk dan ukuran sepatu rem komposit kereta api
. (a)
Beban
(b)
Disc
Pin (spesimen) Disc
Gambar 2 . Peralatan uji gesek/ keausan : (a) mesin pin on disc , disc , (b) kontak antara pin/spesimen dan disc/piringan disc/piringan penggesek
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 201
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Beban pada pin Pin (Spesimen) 190 mm
Gaya gesek Arah putaran Koefisien gesek =
Gaya normal Gaya gesek Gaya normal
Gambar 3. Gaya yang bekerja pada permukaan kontak
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Proses manufaktur sepatu rem komposit kereta api Manufaktur sepatu rem komposit kereta api dilakukan dengan tahapan : persiapan bahan, pencampuran bahan, pres dingin ( preforming ), ), dan dilanjutkan dengan pres panas (hot ( hot molding ). ). Pres dingin dilakukan pada tekanan 10 MPa dan selanjutnya proses manufaktur ditunjukkan oleh Gambar 4. Preformed atau hasil pres dingin (Gambar 4a) diletakkan di cetakan panas (Gambar 4b), dan kemudian dipres dengan tekanan 10 MPa pada temperatur 165 oC (Gambar 4c) selama 45 menit dan 60 menit. Ketika berlangsung tahap pres panas, phenolic resin yang merupakan bahan pengikat mengalami pecairan, pemadatan di dalam rongga cetakan, dan juga proses curing . Proses curing terjadi terjadi melalui reaksi antara bahan phenolic resin dan hexamethylenetetramine (curing agent). agent) . Produk sampingan dari reaksi kedua bahan tersebut adalah gas amonia [8]. Setelah proses pres (pencetakan) panas, sepatu rem komposit dikeluarkan dari cetakan (Gambar 4d).
3.2 Pengaruh lama pres pres panas terhadap sifat sepatu rem komposit kereta api Hasil uji kekerasan ditunjukkan oleh Gambar 5a. Gambar 5a memperlihatkan bahwa kekerasan sepatu rem komposit hasil pres panas selama 60 menit lebih keras dibandingkan dengan sepatu rem komposit hasil pres panas selama 45 menit. Hal ini disebabkan karena semakin lama pres panas dapat menghasilkan proses curring yang lebih sempurna sehingga terbentuk ikatan yang lebih kuat [10]. Kim dkk. [9] juga melaporkan bahwa lama pres panas berpengaruh terhadap kekerasan permukaan komposit sepatu rem. Selain itu, di bagian permukaan dan di bagian dalam sepatu rem komposit kereta api hasil pres panas selama 60 menit memiliki nilai kekerasan yang relatif sama. Hal ini diduga karena pres panas selama 60 menit menyebabkan panas memiliki cukup waktu untuk merambat sampai ke bagian tengah sepatu rem
sehingga temperatur dan reaksi curing menjadi menjadi lebih seragam. Sementara itu, Gambar 5b menunjukkan bahwa lama pres panas 45 menit dan 60 menit menghasilkan kekuatan lentur yang relatif sama. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kedua sepatu rem komposit tersebut memiliki densitas yang relatif sama. Proses manufaktur sepatu rem komposit secara umum serupa dengan proses metalurgi serbuk. Kekuatan produk metalurgi serbuk dipengaruhi oleh densitasnya [11]. Gambar 6 memperlihatkan hasil uji gesekan atau keausan. Dari hasil ini terlihat bahwa sepatu rem komposit hasil pres panas selama 45 menit dan 60 menit memiliki nilai koefisien gesek yang relatif sama. Kim dkk. [9] melaporkan bahwa parameter proses manufaktur tidak berpengaruh terhadap karakteristik tribologi komposit sepatu rem dan diduga lebih dipengaruhi oleh formulasi bahan komposit. Sementara itu, hasil penelitian Ertan dan Yavuz [9] memperlihatkan bahwa jika lama pres panas optimum sudah tercapai maka karakteristik tribologi komposit sepatu rem tidak berubah ketika dilakukan peningkatan lama pres panas. Diduga bahwa lama pres panas selama 45 menit sudah mampu menghasilkan karakteristik sepatu rem komposit yang optimum. Terkait dengan uji gesek atau keausan, ketika berlangsung gesekan antara pin/spesimen dengan piringan penggesek (di permukaan kontak) maka terjadi interaksi antara bahan penyusun komposit dengan permukaan piringan. Bahan penyusun yang bersifat kuat dan keras dapat membentuk daerah kontak yang dinamakan primary plateau [12,13]. plateau [12,13]. Geram besi cor yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan partikel hasil dari proses ball milling terhadap terhadap geram hasil pemesinan bahan besi cor. Proses ball milling tersebut menghasilkan campuran partikel baja dan grafit. Di permukaan kontak komposit, partikel baja dapat membentuk primary plateau. plateau. Ketika berlangsung gesekan, sebagian bahan komposit di permukaan kontak akan mengalami keausan sehingga terbentuk
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 202
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
partikel aus. Partikel aus ini sebagian ada yang keluar dari permukaan kontak dan sebagian ada yang terjebak di permukaan kontak. Partikel aus yang
(a) Preformed /hasil /hasil pres dingin
(c) Proses pres panas
terjebak di permukaan kontak membentuk lapisan gesek yang berpengaruh terhadap karakteristik gesekan [14,15].
(b) Cetakan panas untuk proses pres panas ( hot molding )
(d) Sepatu rem komposit kereta api
Gambar 4. Proses manufaktur sepatu rem komposit kereta api
(a) ) 2
25,0
Permukaan
Dalam
20,0
m m15,0 / g k ( 10,0 N H B
5,0
(b) 30,0 ) a P25,0 M ( r 20,0 u t n e 15,0 l n a 10,0 t a u k 5,0 e K 0,0
0,0 45 menit
60 menit
Lama pres panas (a) Kekerasan bahan
45 menit
60 menit
Lama pres panas
(b) Kekuatan lentur bahan
Gambar 5. Pengaruh lama pres panas terhadap kekerasan dan kekuatan lentur bahan komposit sepatu rem kereta api
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 203
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
(a)
45 menit
(b)
60 menit
45 menit
0,35
0,35
k e s e 0,30 g n e i s i f 0,25 e o K
k e s e 0,30 g n e i s i f 0,25 e o K
0,20
0,20 0
1
2
3
Tekanan kontak (MPa)
0
5
60 menit
10
15
Kecepatan gesek (m/s)
Gambar 6. Pengaruh lama pres panas terhadap koefisien gesek bahan komposit sepatu rem kereta api s ebagai fungsi dari : (a) tekanan kontak, (b) kecepatan gesek
4. Kesimpulan Penelitian ini telah berhasil melakukan manufaktur sepatu rem komposit kereta api dengan dua tahap pengepresan yaitu pres dingin pada tekanan 10 MPa dan dilanjutkan dengan pres panas pada tekanan 10 MPa, temperatur 165 oC selama 45 menit dan 60 menit. Sepatu rem komposit hasil pres panas selama 45 dan 60 menit memiliki kekuatan lentur dan koefisien gesek yang relatif sama. Sepatu rem komposit hasil pres panas selama 60 menit memiliki kekerasan yang lebih tinggi dan lebih seragam dibandingkan hasil pres panas 45 menit. 5. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh DP2M DIKTI melalui skema penelitian Strategis Nasional (STRANAS) tahun 2013-2014. Daftar Pustaka [1] T. Miyauchi, T. Tsujimura, K. Handa, J. Nakayama, K. Shimizu, 2009, Influence of Silicone Carbide Filters in Cast Iron Composite Brake Blocks on Brake Performance and Development of a Production Process, Wear, Vol. 267, 833-838. [2] T. Vernersson, 1999, Thermally Induced Roughness of Tread-Braked Railway Wheels Part 1 : Brake Rig Experiments, Wear , Vol. 236, 96-105. [3] C. Ferrer, M. Pascual, D. Busquets, E. Rayon, 2010, Tribological Study of Fe-Cu-CrGraphite Alloy and Cast Iron Railway Brake Shoes by Pin-on-Disc Technique, Wear, Wear, Vol. 268, 784-789. [4] A. Shojaei, M. Fahimian, B. Derakhshandeh, 2007, Thermally Conductive Rubber-Based Composite Friction Materials for Railroad Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Brakes – Thermal Thermal Conduction Characteristics, Composites Science and Technology , Vol. 67, 2665-2674. [5] M.H. Cho, S.J. Kim, D. Kim, H. Jang, 2005, Effects of Ingredients on Tribological Characteristics of a Brake Lining : an Experimental Case Study, Wear , Vol. 258, 1682-1687. [6] N.S.M El-Tayeb, K.W. Liew, 2009, On the Dry and Wet Sliding Performance of Potentially New Frictional Brake Pad Materials for Automotive Industry, Wear , Vol. 266, 275287. [7] Blau, P.J., 2001, Compositions, Functions, and Testing of Friction Brake Materials and Their Additives, Technical Report ORNL/TM2001/64, Oak Ridge National Laboratory, di www.ornl.gov/~webworks/ cppr/ y2001/rpt /110463.pdf , diakses 11 Agustus 2011. [8] Y. Matsuo, D.D Clarke, S. Ozeki, 2010, Friction, in : L. Pilato (Ed.), Phenolic (Ed.), Phenolic Resin : a Century of Progress, Progress, Springer-Verlag, Berlin, 345-362. [9] S.J. Kim, K.S. Kim, H. Jang, 2003, Optimization of Manufacturing Parameters for a Brake Lining Using Taguchi Method, Journal of Materials Processing Technology, Technology, Vol. 136, 202 – 208. 208. [10] E. Ertan, N. Yavuz, 2010, An experimental study on the effects of manufacturing parameters on the tribological properties of brake lining materials, Wear , Vol. 268, 1524 – 1532. [11] R.M. German, 1994, Powder Metallurgy Science, Powder Industries Federation, New Jersey.
204
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
[12] M. Eriksson, S. Jacobson, 2000, Tribological surfaces of organic brake pads, Tribology International , Vol. 33, 817 – 827. 827. [13] W. Osterle, H. Kloß, I. Urban, A.I. Dmitriev, 2007, Towards a better understanding of brake friction materials, Wear , Vol. 263, 1189 – 1201. 1201. [14] W. Osterle, I. Dörfel, C. Prietzel, H. Rooch, A.L. Cristol-Bulthé, G. Degallaix, Y. Desplanques, 2009, A comprehensive microscopic study of third body formation at the interface between a brake pad and brake disc during the final stage of a pin-on-disc test, Wear , Vol. 267, 781 – 788. 788. [15] J. Kukutschova, V. Roubicek, M. Maslan, D. Jancik, V. Slovak, K. Malachova, Z. Pavlickova, P. Filip, 2010, Wear performance and wear debris of semimetallic automotive brake materials, Wear , Vol. 268, 86 – 93. 93.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 205
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Karakteristik Komposit Aluminium 6061 Berpenguat Al 2O3 Hasil Proses Pengecoran Aduk (Stir Casti Casti ng) Anne Zulfial dan Eric Tanoto Deaprtemen Metalurgi dan Material, Material, Fakultas Teknik, Teknik, Universitas Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstract Aluminium 6061 reinforced Al 2O3 has been successful produced by stir casting method. The addition of Al 2O3 into aluminium is to improve the mechanical properties of Al6061. The volume fraction of Al 2O3 is various from 5, 10, 15 and 20 Vf-%, while Mg is kept constant around 8 Wt-%. The addition of Mg is to improve the wettability between Al6061 and Al 2O3. The aim of this research is to find the optimum condition of composites with highest mechanical properties. The results show that tensile strength maximum is obtained at 10 Vf-% Al 2O3 which achieved190 MPa, while hardness and wear resistance tend to increase with increasing Vf-% Al 2O3. Porosities increased with higher Vf-% Al 2O3 means some Al 2O3 can not be wetted perfectly by Al and remain pores. pores. Keywords: Al 2O3, paduan aluminium 6061 , pengecoran aduk, sifat mekanis, volume fraksi
. 1. Pendahuluan
Pengembangan material yang dilakukan sejak beberapa dekade yang lalu telah menghasilkan material maju dengan sifat superior dari material konvensional. Salah satu material maju ini adalah komposit bermatriks logam. Komposit bermatriks logam memiliki rasio kekuatan tinggi terhadap massa, ketangguhan tinggi, kekuatan impak tinggi, sensitivitas rendah terhadap perubahan temperatur, sentivitas rendah terhadap cacat permukaan, dan durabilitas permukaan yang tinggi (1). Salah satu logam yang cukup banyak digunakan untuk komposit bermatriks logam adalah aluminium. Massa aluminium yang ringan menjanjikan untuk memberikan rasio kekuatan yang tinggi terhadap massa. Komposit aluminium memiliki banyak kelebihan di banyak aplikasi yang disebabkan oleh kekuatan yang tinggi, kekakuan, ketahanan aus dan stabilitas dimensi. Di antara paduan aluminium, AA 6061 cukup populer menjadi pilihan sebagai material matriks. Hal ini disebabkan terutama oleh sifat karakteristik mampu bentuk yang baik dan opsi untuk modifikasi kekuatan dari komposit (2). Partikel Al2O3 merupakan penguat yang umum digunakan pada Komposit bermatriks logam. Penambahan penguat ini pada paduan aluminium telah menjadi subjek dari banyak penelitian. Aplikasi dari komposit dengan matriks paduan aluminium penguat Al2O3 atau SiC telah banyak digunakan di industri otomotif dan pesawat terbang(3). Sifat Al2O3 Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
yang memiliki nilai modulus elastisitas lebih besar dibandingkan SiC, yaitu mencapai 380 GPa (4). Hal ini membuat penguat Al 2O3 pada komposit ini untuk meningkatkan keuletan komposit. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk membuat komposit Al/Al2O3, salah satunya ialah dengan metode stir casting . Dibandingkan dengan metode-metode lain, metode stir casting memiliki beberapa kelebihan antara lain sederhana, fleksibel dan dapat memproduksi dalam jumlah besar. Metode ini melakukan rute proses logam konvensional sehingga meminimalkan harga jual dari produk (5). Oleh karena itu, metode ini yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk memfabrikasi komposit Al/Al2O3. Penelitian komposit alumunium 6061 berpenguat alumina ini diharapkan dapat memiliki karakteristik yang baik dari segi kekuatan tarik, kekerasan, dan memiliki nilai koefisien termal ekspansi yang baik dibandingkan dengan paduan aluminium 6061 tanpa penguat. Metode stir casting yang digunakan dapat memberikan distribusi penguat yang baik dalam matriks komposit. Hal ini dapat menunjang karakteristik yang telah dipaparkan sebelumnya. Secara keseluruhan, penelitian ini dapat menghasilkan suatu komposit yang ringan namun memiliki karakteristik yang unggul melalui proses sitr casting. casting. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
206
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
1. Mengetahui distribusi serbuk Al 2O3 pada paduan Al 6061 2. Mempelajari pengaruh persentase Al 2O3 terhadap karakteristik komposit 3. Memfabrikasi komposit bermatriks logam dengan matriks Al 6061 yang diperkuat dengan Al 2O3 dan magnesium 4. Menganalisis korelasi antara variasi persentase Al2O3 dengan sifat mekanik komposit
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil dari pengujian tarik dan elongasi terhadap paduan aluminium 6061 tanpa penguat dan komposit paduan aluminium 6061 dengan penguat alumina variasi 5%, 10%, 15% dan 20% ditunjukkan pada Gambar 4.1. dan Gambar 4.2.
2. Metode Penelitian Untuk melaksanakan penelitian ini diperlukan alur proses yang benar agar mendapat hasil yang baik dan sesuai yang diinginkan. Berikut diagram alir yang digunakan dalam penelitian ini. Persiapan Sampel
Al (6061)
Mg 8% fraksi volume
Al2O3 sebagai penguat
Gambar 3.1. Grafik Uji Tarik Komposit Paduan Aluminium 6061/Al2O3 vs Volume Fraksi Penguat Al2O3
Pre-heated di 1100 C, selama 1 jam
Dilehlehkan di temperatur 850 C
˚
˚
Reinforcement di tuang ke lelehan Al (6061) Stir dengan kecepatan 519 rpm, selama 60 detik Casting ke cetakan
Cetakan Sampel
Sampel
Sampel uji tarik, keras, aus, densitas dan porositas
Sampel Mikrostuktur
data
Sampel SEM, EDS, dan DSC
literatur
Kesimpulan
Gambar 2.1. Diagram Alir Penelitian Komposit Paduan Aluminium 6061/Al 2O3 Karakterisasi komposit Al/Al2O3 yang dilakukan sebagai berikut pengujian tarik, pengujian kekerasan, pengujian keausan, pengujian densitas dan porositas, pengujian differential scanning calorimetry , calorimetry, pengamatan struktur mikro, pengamatan SEM dan EDX.
Gambar 3.2. Grafik Persentase Elongasi Paduan Aluminium 6061/Al2O3 vs Volume Fraksi Penguat Al2O3 Gambar 3.1. menunjukkan bahwa komposit paduan aluminium 6061 dengan penguat alumina memiliki kekuatan tarik yang lebih tinggi dibandingkan dengan paduan aluminium tanpa penguat. Variasi penguat alumina yang ditambahkan juga menunjukkan bahwa hanya pada penambahan alumina yang tepat dapat menghasilkan peningkatan kekuatan tarik dengan optimal. Berdasarkan Gambar 3.1., penambahan penguat alumina sebesar 10% memberikan kekuatan tarik paling tinggi dibandingkan dengan penambahan penguat alumina 5%, 15%, dan 20%. Pada Gambar 3.2. terlihat bahwa elongasi paduan aluminium 6061 tanpa penguat mencapai 3,25% sedangkan paduan aluminium 6061 berpenguat alumina 10% mencapai 3,33%. Nilai ini menunjukkan bahwa penambahan alumina meningkatkan elongasi dari suatu material. Hal ini disebabkan fungsi dari partikel penguat ini yang
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 207
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
membagi tegangan kepada matriks sehingga material tersebut dapat menahan beban dengan elongasi yang lebih tinggi. Namun nilai elongasi ini turun pada 15% dan 20% yang disebabkan oleh penambahan jumlah partikel yang dapat menjadi sumber retak yang menjadi kelemahan dari material tersebut. Pembasahan tidak sempurna pada Al 2O3 oleh matriks logam juga menjadi penyebab dari rendahnya elongasi komposit pada penelitian ini. Hasil pengujian kekerasan terhadap paduan aluminium 6061 tanpa penguat dan komposit paduan aluminium 6061 dengan penguat alumina variasi 5%, 10%, 15% dan 20% ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Grafik Kekerasan Komposit Komposit Paduan Aluminium 6061/Al 2O3 vs Volume Fraksi Penguat Al2O3 Terdapat dua hal penting yang didapatkan dari Gambar 3.3., yaitu pertama, kekerasan komposit paduan aluminium dengan penguat alumina 5%, 10%, 15%, dan 20% lebih tinggi dibandingkan kekerasan paduan aluminium tanpa penguat. Kedua, nilai kekerasan komposit paduan aluminium meningkat seiring dengan peningkatan kandungan volume fraksi alumina dalam komposit tersebut. Hasil pengujian laju aus pada paduan aluminium 6061 tanpa penguat dan komposit paduan aluminium 6061 berpenguat alumina dengan volume fraksi 5%, 10%, 15% dan 20%.
Gambar 3.4. Grafik Laju Aus Komposit Paduan Aluminium 6061/Al2O3 vs Volume Fraksi Penguat Al2O3
Berdasarkan Gambar 3.4., laju aus paduan aluminium tanpa penguat lebih tinggi dibandingkan paduan aluminium berpenguat alumina. Selain itu, laju aus menurun seiring dengan penambahan penguat alumina dengan volume fraksi 5%, 10%, 15%, dan 20%. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa ketahanan aus komposit matriks logam berpenguat partikel meningkat dengan penambahan volume fraksi partikel pada kondisi aus tegangan tinggi maupun rendah (6). Hasil pengujian densitas dan porositas dari paduan alumi nium 6061 6 061 tanpa penguat dan komposit paduan aluminium 6061 dengan penguat alumina variasi 5%, 10%, 15% dan 20% terdapat pada Gambar 3.5. dan Gambar 3.6.
Gambar 3.5. Grafik Densitas Teoritis dan Aktual Komposit Paduan Aluminium 6061/Al 2O3 vs Volume Fraksi Penguat Al 2O3
Gambar 3.6. Grafik Porositas Komposit Paduan Aluminium 6061/Al2O3 vs Volume Fraksi Penguat Al2O3 Berdasarkan Gambar 3.5., densitas teoritis memperlihatkan kecenderungan peningkatan seiring dengan penambahan penguat 5%, 10%, 15% dan 20%. Densitas teoritis dari paduan aluminium tanpa penguat mengalami penurunan 0,02 gr/cm 3 bila dibandingkan dengan paduan aluminium dengan penguat alumina 5% disebabkan adanya penambahan magnesium dengan volume fraksi yang memiliki densitas cukup rendah. Secara keseluruhan, densitas teoritis mengalami peningkatan dengan penambahan penguat.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 208
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Densitas aktual secara terbalik menunjukkan penurunan nilai seiring dengan penambahan penguat alumina dengan volume fraksi 5%, 10%. 15% dan 20%. Penelitian serupa dilakukan oleh Mehdi Rahimian yaitu komposit dengan matriks aluminium berpenguat alumina dengan memberi tekanan. Variasi dilakukan dengan ukuran penguat dan penambahan persen berat dari alumina menunjukkan bahwa peningkatan persen berat menghasilkan penurunan dari densitas aktual. Hal ini disebabkan pada persen berat yang lebih tinggi tekanan yang diberikan tidak memberi pengaruh yang besar disebabkan kekerasan yang tinggi. Komposit dengan nilai tekan yang lebih rendah seiring dengan peningkatan persen berat alumina mengakibatkan penurunan densitas aktual (7). Pengukuran densitas dengan densitas teoritis lebih tinggi dibandingkan densitas aktual menunjukkan terdapat porositas pada komposit tersebut (8). Porositas pada komposit hasil pengecoran meningkat hampir linear dengan peningkatan kandungan partikel (2). Berdasarkan Gambar 3.6., penulis dapat memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan porositas seiring dengan penambahan partikel penguat alumina. Peningkatan yang singnifikan ditunjukkan dari paduan aluminium tanpa penguat dengan paduan aluminium dengan penguat 5%. Hal ini disebabkan tidak ada pengadukan yang diberikan pada pengecoran paduan aluminium tanpa penguat. Pengecoran paduan aluminium dengan penguat dilakukan dengan perlakuan pengadukan sehingga memberikan kesempatan kepada gas untuk masuk dan terjebak dalam proses solidifikasi. Penelitian yang dilakukan oleh Sajjadi menunjukkan porositas yang meningkat seiring dengan penambahan penguat alumina pada matriks A356 (9). Peningkatan porositas ini dapat menurunkan sifat mekanis dari suatu komposit. Hasil pengujian DSC terhadap komposit paduan aluminium berpenguat alumina dengan volume fraksi 10% setelah dilakukan celup cepat dari temperatur 5450C pada media air ditunjukkan oleh Gambar 3.7.
Gambar 3.7. Grafik DSC Komposit Paduan Aluminium 6061 dengan Volume Fraksi Al 2O3 10%
Gambar 3.7. menunjukkan 3 puncak yang dapat dianalisis sebagai poin-poin penting pada perubahan temperatur yang terjadi selama pengujian. Berdasarkan penelitian serupa yang dilakukan oleh Susan, pada tahap awal terjadi pengelompokan Si yang ditandakan oleh suatu puncak (10). Puncak itu terlihat pada paduan aluminium tanpa penguat alumina namun seiring dengan bertambahnya alumina puncak ini semakin kecil dan menjadi hilang. Hal ini dapat disebabkan oleh penambahan alumina yang dapat mencegah terjadinya pengelompokan Si ataupun mengubah formasi Si menjadi suatu bentuk sehingga tidak terlihat pada komposit paduan aluminium berpenguat alumina dengan volume fraksi 15% (8). Tahap berikutnya merupakan fasa terbentuknya GP-zone, penambahan alumina mengindikasikan suatu peningkatan pada pembentukan formasi GP-zone. Kemudian dapat dilihat pada Gambar 3.7. terdapat dua puncak awal yang ditandakan dengan (a) dan (b). Puncak (a) menunjukkan terbentuknya " dan puncak (b) menunjukkan terbentuknya fasa ' . Fasa yang terbentuk pada puncak (a) berbentuk seperti jarum sedangkan pada puncak (b) seperti rod-phase(11). Pada kedua puncak ini dapat dikaitkan dengan eutektik dengan titik leleh yang rendah seperti Mg 2Si(12). Pada puncak terakhir, yaitu puncak (c) merupakan tanda dari pengendapan Si bebas. Berdasarkan penelitian C. Garcia, puncak ini terlihat lebih lemah dibandingkan dengan paduan aluminium tanpa penguat. Hal ini disebabkan jumlah Si bebas pada matriks paduan aluminium tanpa penguat lebih banyak karena tidak bereaksi dengan alumina seperti yang terjadi pada paduan aluminium berpenguat alumina(13). Hasil pengamatan struktur mikro pada paduan aluminium 6061 tanpa penguat (a) dan paduan aluminium berpenguat alumina dengan volume fraksi 5%, 10%, 15%, dan 20% (b, c, d, e). Gambar 3.8. merupakan pengamatan dengan menggunakan miskroskop optik digital dengan perbesaran 50x. Dari Gambar 3.8., penulis dapat memperlihatkan struktur mikro dari paduan aluminium 6061 tanpa penguat. Selain itu, distribusi dari partikel alumina dengan volume fraksi 5%, 10%, 15% dan 20% juga dapat diamati. Seperti dapat dilihat, peningkatan dari volume fraksi alumina menghasilkan peningkatan fenomena pengelompokan dan penggumpalan yang terjadi pada komposit (7). Pada Gambar 3.8. (c) merupakan pengamatan pada komposit dengan penguat alumina
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 209
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
10%, terlihat bahwa terjadi pengelompokan dari alumina. Kemudian pada (d) dan (e), pengelompokan dari alumina sudah tidak dapat terlalu jelas terlihat karena distribusi alumina yang banyak pada pengamatan ini. Namun ada hal penting yang masih dapat terlihat yaitu penggumpalan dari penguat alumina.
Hasil pengamatan SEM pada komposit paduan aluminium 6061 berpenguat alumina dengan volume fraksi 10% ditunjukkan pada Gambar 3.9. dan 3.10. dengan perbesaran 2300x dan 100x. Perbedaan perbesaran yang signifikan ini digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai pengamatan SEM komposit ini.
2
1
Gambar 3.9. Pengamatan SEM dan EDX dengan Perbesaran 2300x Komposit Paduan Aluminium 6061/Al2O3 dengan Volume Fraksi 10%
3
Gambar 3.10. Pengamatan SEM dan EDX dengan Perbesaran 100x Komposit Paduan Aluminium 6061/Al2O3 dengan Volume Fraksi 10%
Gambar 3.8. Pengamatan Struktur Mikro dengan Perbesaran 50x Komposit Paduan Aluminium 6061/Al2O3 vs Volume Fraksi Penguat Al 2O3 (a) 0% (b) 5% (c) 10% (d) 15% (e) 20%
Dari pengamatan Gambar 3.10. terlihat bahwa pada suatu matriks terdapat suatu partikel sehingga keduanya diuji dengan menggunakan EDX untuk menentukan unsur-unsur penyusunnya. Pada spektrum 1 dapat diindikasikan sebagai Al 2O3 yang merupakan partikel penguat pada komposit ini. Hal tersebut disimpulkan dari melihat dua unsur dominan yang terdapat pada fasa tersebut yaitu Al dan O. Spektrum berikutnya ditujukan untuk melihat komposisi unsur dari matriks paduan aluminium 6061. Hal tersebut ditunjukkan oleh persentase aluminium yang mencapai 66,07 %. Namun unsur Fe juga terdapat pada hasil pengujian EDX pada titik tersebut yang menunjukkan adanya indikasi dari
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 210
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
pembentukan suatu senyawa intermetalik. Spektrum terakhir diambil dari perbesaran 100x yang mengindikasikan terbentuknya fasa MgAl 2O4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Vaddake, suatu fasa baru diidentifikasi dengan hasil komposisi yang ditentukan oleh EDX sebagai berikut Al=14,33; Mg=27,41; O=56,37 dan Si=1,9 dalam persentase. Ratio Al/Mg pada fasa tersebut 0,5 yang merupakan diantara MgO(Al/Mg=0) dan MgAl 2O4 (Al/Mg=2). Oleh karena itu, fasa tersebut merupakan fasa intermediate atau fasa transisi yang lebih dekat dengan fasa MgO dari segi komposisi (13). Dengan melakukan perbandingan pada penelitian tersebut, persentase Mg masih kecil yaitu hanya ¼ dari jumlah persentase M g pada p ada penelitian tersebut namun ketika membandingkan dengan unsur lainnya, fasa ini tetap dapat menjadi indikasi sebagai fasa transisi menuju MgAl2O4. 4. Kesimpulan 1. Penambahan penguat alumina memberikan peningkatan pada sifat kekuatan tarik hingga volume fraksi 10% lalu kekuatan tarik turun seiring dengan penambahan penguat alumina hingga volume fraksi 20%. meningkat hingga 78% disbanding tanpa alumina 2. Penambahan penguat alumina memberikan peningkatan pada sifat kekerasan seiring dengan penambahan volume fraksi 0%, 5%, 10%, 15%, 20% adalah 34,5 HRB, 40,1 HRB, 43 HRB, 52,4 HRB, 54,3 HRB. 3. Penambahan penguat alumina memberikan peningkatan pada sifat ketahanan aus dengan nilai laju aus pada volume fraksi 0%, 5%, 10%, 15%, 20% adalah 1,62x10 -3 mm3/m, 7,87x10 -3 mm3/m, 6,41x10-3 mm 3/m, 4,43x10-3 mm3/m, 2,39x10-3 mm3/m. 4. Penambahan volume fraksi penguat alumina pada matriks paduan aluminium 6061 menyebabkan penambahan porositas yang terdapat dalam material komposit sehingga menurunkan densitas aktual dari material komposit. 5. Penambahan volume fraksi penguat alumina pada matriks paduan aluminium 6061 menyebabkan peningkatan distribusi dari partikel alumina dalam material komposit sesuai dengan pengamatan dengan menggunakan mikroskop optik. 12. and its composites.” Materials Science and a nd Engineering A201 (1995) 251-260. 13. C. G.Cordovilla, G.Cordovilla, E. Louis, J. Narciso. “A differential scanning calorimetry study of solid state reactions in AA6061-SiC, AA606 l-A1203 Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Daftar Pustaka 1. M. Ramulu, P.N. Rao, H. Kao. “Dr illing illing of (Al2O3) p6061 Metal Matrix Composites.” Journals of Material Processing Technology 124 (2002),pp. 244-254. 2. S. Gopalakrishnan, N. Murugan. “Production and Wear Characterisation of AA 6061 Matrix Titanium Carbide Particulate Reinforced Composite by Enhanced Stir Casting Method.” Composite: Part B43 (2012),pp 302-308. 3. M. Kok. “Production and Mechanical Properties of Al2O3 Particle-Reinforced 2024 Aluminium Alloy Composites.” Journal of Materials Processing Technology 161 (2005), pp. 381387. 4. K.U.Kainer, “Basics of Metal Matrix Composites” [Dikutip: 15 10 2012.] http://bilder.buecher.de/zusatz/14/14614/146144 58_lese_1.pdf. 5. J.Hashim, L.Looney, M.S.J. Hashmi. “Metal Matrix Composites: Production by the Stir Casting Method.” Journal of Materials Processing Technology 92-93 (1999),pp. 1-7. 6. A.B. Gurcan, T.N. Baker. ” Wear behaviour of AA6061 aluminium alloy and its composites.” Wear 188 (1995) 185-191. 7. M.Rahimian, N.Parvin, N.Ehsani. N.Ehsani. “Investigation of particle size and amount of alumina on microstructure and mechanical properties of Al matrix composite made by powder metallurgy.” Materials Science and Engineering A 527 (2010) 1031 – 1038. 1038. 8. M. Kok. “Abrasive wear of Al2O3 particle reinforced 2024 aluminium alloy composites fabricated by vortex method.” Composites: Composi tes: Part A 37 (2006) 457 – 464. 464. 9. S.A. Sajjadi, H.R. Ezatpour, H. Beygi. “Microstructure and mechanical properties of Al – – Al2O3 Al2O3 micro and nano composites fabricated by stir casting.” Materials Science and Engineering A 528 (2011) 8765 – 8771. 8771. 10. S.M. Allen. “Effect “Effect of Alumina Particle Additions on the Aging Kinetics of 6061 Aluminum Matrix Composites.” Naval Post Graduate (1990) 91-04491. 11. Y. Song, T.N. Baker. “A calorimetric and metallographic study of precipitation AA6061
and A357-SIC composites fabricated by means of compocasting.” Materials Science and Engineering, A 189 (1994) 219-227.
211
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Materi Materi al dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
14. V.M. Sreekumar, R.Marimuthu, P.B. Chandrasekhara Pai, “Microstructural development in Al/MgAl2O4 in situ metal matrix composite using value-added value-added silica sources.” Sci. Technol. Adv. Mater. 9 (2008) 015004(9pp)
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 212
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Studi Pengaruh Penambahan Pb(II) Terhadap Morfologi Dan Konduktifitas Listrik Komposit PANI/Pb Sigit Tri Wicaksono*, Muhammad Muhammad Khairurreza, Hosta Ardhyananta Teknik Material dan Metalurgi , Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia e-mail: sigit @mat-eng.its.ac.id
Abstract Intrinsically Intrinsically conductive conductive polymers polymers are polymers polymers which changes changes in the electrical and optical optical properties properties when doped / dedoping by certain dopant. One of these polymers is polianiline (PANI) which most widely studied due to easy in synthesis synthesis and doping. This research aims to analyze analyze the influence the mole ratio ratio of Pb(NO3)2/Aniline Pb(NO3)2/Aniline and duration of polymerization in morphology and electrical conductivity of PANI/Pb composite. Pb (II) is mixed with polyaniline in the form of lead nitrate (Pb (NO3)2) which synthesized from lead sulfur (PbS) mineral or by the common name galena. galena. Galena minerals minerals come from Sumbawa Sumbawa island. Chemical Chemical oxidation oxidation method used in synthesis synthesis process of polyaniline. polyaniline. Aniline solution was mixed with a solution solution of Pb(NO3)2 Pb(NO3)2 with six sample variation. variation. The variation are duration of polymerization (6 hours and 12 hours) and variation the mole ratio of Pb(NO3)2/Anilin (0.3, 1, and 1.5 ). The addition of Pb (NO3)2 on aniline polymerization process resulting in the formation of particles <1 µm. The duration of polymerization 12 hours form a larger particle morphology than the duration of the polymerization within 6 hours. And the DC conductivity of polyaniline maximum in ratio Pb(NO3)2/Anilin=1.0. Longer duration of the polymerization generally lowers the value of the DC conductivity of PANI/Pb composite. Keywor ds : Polyaniline, Galena, Lead Nitrate, Morphology, Electric Conductivity.
1.
Pendahuluan Dalam perkembangan riset, polianailin telah mampu memberikan pengaplikasian dalam beberapa bidang, yaitu substrat sel surya [1], Biosensor [2], dan material coating pencegah korosi [3]. Dalam upaya memperluas aplikasi dari PANI, beberapa variasi material dopan dijadikan objek riset untuk menjadikan PANI sebagai komposit binary atau ternary untuk memberikan pengaruh terhadap peningkatan sifat fisik dan mekanik dengan tetap mempertahankan sifat konduktifitas listriknya. Beberapa logam alkali, alkali tanah, dan transisi telah menjadi objek riset sebagai material dopan PANI dalam upaya membentuk nano struktur. Doping Ag(I) telah memberikan pengaruh peningkatan konduktifitas dan konstanta dielektrik PANI diakibatkan oleh struktur nanokomposit yang terbentuk [4]. Selain itu, Doping Mo(VI) telah memberikan perubahan karakteristik morfologi mikro dari PANI dan juga meningkatkan nilai konduktifitas listriknya [5]. Pada penelitian ini, penambahan Pb(II) pada PANI telah dilakukan dalam upaya melihat pengaruh terhadap morfologi dan konduktivitas listrik dari PANI. Pb(II) dicampur dengan polianilin dalam bentuk senyawa garam timbal Nitrat (Pb(NO3)2) yang diekstrak dari mineral timbal sulfur (PbS) atau dengan nama umum mineral galena.
2.
Metode
2.1 Preparasi dan Karakterisasi Mineral Galena Serbuk galena didapat dari batu sumbawa yang digerus dan dipreparasi untuk menghomogenkan ukuran partikel sampel, yaitu 140-300 mesh dengan alat shieving analser . Karakterisasi serbuk galena dilakukan dengan analisis fasa dalam mineral dengan metode X-Ray Difraction analysis (XRD PANALYTICAL (Anoda Cu)) dan dengan analisis kandungan unsur dalam mineral dengan metode Energy Dispersive X-Ray Analysis (FEI INSPECT). INSPECT). 2.2 Pembentukan dan Karakterisasi Timbal Nitrat Reaksi pembentukan timbal nitrat menggunakan metode leaching. Larutan pelarut ( Leaching agent ) yang digunakan ialah asam nitrat (HNO3) 4M sebanyak 250 mL. 31 gram (,8 mmol) serbuk timbal sulfur dengan ukuran partikel 140300 mesh dicampurkan dengan HNO 3. Proses leaching dilakukan selama 6 jam dengan pengadukan. Setelah tahap leaching , residu tak terlarut dipisahkan dan dicampur kembali dengan Asam nitrat yang baru. Filtrat larutan hasil leaching dipanaskan hingga temperatur 80 oC selama 12 jam. Hasil dari pemanasan ini akan membentuk endapan kristal putih yang merupakan Timbal Nitrat. Endapan putih dipisahkan dengan larutan sisa dan dicuci dengan aquades dan dikeringkan di dalam
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 213
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
oven dengan temperatur 65 oC selama 12 jam. Karakterisasi Pb(NO 3)2 dilakukan dengan analisis fasa dalam mineral dengan metode X-Ray Difraction analysis dan dengan analisis kandungan unsur dalam senyawa dengan metode Energy Dispersive X-Ray Analysis (EDAX). (EDAX). 2.3 Sintesis PANI/Pb Larutan APS (Amonium peroxidisulfat) ((NH4)2S2O8) dilarutkan dalam aquades sebanyak 4,57 gram (20 mmol) membentuk larutan 20 mL. Proses pelarutan dilakukan selama satu jam dengan proses pengadukan oleh magnetic stirer. Setelah pengadukan, larutan APS didinginkan dalam lemari es hingga rentang temperatur 5-10 oC selama 12 jam. Monomer anilin dicampurkan dengan air 20mL sebanyak 2,07 gram (16 mmol). Proses pencampuran dilakukan selama satu jam dengan proses pengadukan oleh magnetic stirer. Campuran anilin-air dicampur dengan timbal nitrat dengan enam variasi sampel, yaitu variasi rasio mol Pb(NO 3)2/Anilin (0,3; 1; 1,5) dan variasi durasi proses sintesis (6 jam dan 12 jam). Campuran diaduk dalam magnetic stirrer secara berkelanjutan selama 1 jam dengan temperatur 010oC untuk membentuk campuran homogen senyawa anilin (organik) dengan Pb(NO 3)2 (anorganik). pH dari campuran diukur dengan pH meter. Selanjutnya larutan amonium peroxidisulfat yang telah dipersiapkan dicampurkan dengan cara diteteskan perlahan dengan mempertahankan temperatur lingkungan reaksi 0-5 oC. Selama proses pencampuran, pengadukan dilakukan dengan menggunakan magnetic-stirrer. magnetic-stirrer. Setelah proses pencampuran, campuran tetap diaduk dalam magnetic stirer dengan tetap menjaga temperatur reaksi polimerisasi anilin pada temperatur 0-5 oC hingga waktu reaksi polimerisasi yang ditentukan. pH selama proses polimerisasi diukur setiap satu jam. Setelah waktu reaksi polimerisasi selesai, larutan akan diendapkan dan dicuci dengan sentrifuge. Penyucian menggunakan aseton dan air selama beberapa kali. Hasil dari proses pencucian ini dikeringkan dalam oven oven pada temperatur 65 oC selama 12 jam. Serbuk PANI-Pb setelah proses pengeringan, akan menjadi bahan pengujian dan karakterisasi. Untuk karakterisasi bahan (SEMEDAX, FTIR), material serbuk digunakan sebagai sampling uji. Sedangkan untuk pengujian konduktvitas, sampel berbentuk pelet hasil kompaksi dari serbuk PANI-Pb digunakan. Dengan spesifikasi diameter dice (cetakan) kompaksi 14mm, ketebalan dari pelet yang direncanakan ialah 3mm. Beban Beban tekan yang digunakan ialah ialah sebesar 500 MPa. Diagram alir penelitian termuat di gambar 1 dan secara khusus diagram alir sintesis timbal nitrat tersaji pada gambar 2.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Analisis XRD dan SEM Mineral Galena Logam sampingan yang ada dalam mineral galena berupa Zn, Cu, As, Sn, Sb, Ag, Au, and Bi. [6]. Sebagaimana data hasil pengujian EDAX mineral galena (tabel 1), puncak tertinggi berada pada rentang energi 2,2-2,3 kEV mengindikasikan adanya unsur Pb dan S dalam mineral. Pada tingkat energi 2,2 kEV menunjukkan adanya unsur S dalam minera. Pada tingkat energi 2,3 kEV menunjukkan adanya unsur Pb. Kandungan (% berat) dari Pb yang paling dominan memberikan titik terang bahwa mineral tersebut merupakan mineral timbal. Disertai dengan perbandingan kandungan oksigen dan sulfur dari mineral sampel, secara dominan senyawa sulfida mendominasi daripada senyawa oksida. Tabel 1. Kandungan unsur penyusun sampel mineral galena Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Unsur %Berat
%Atom
%Berat
%Atom
%Berat
%Atom
OK
04,87
16,30
04,63
15,19
05,06
16,63
Zn L
01,72
01,40
0,88
02,32
02,22
01,79
Al K
00,85 0 0,85
01,69
01,04
02,03
01,39
02,70
Si L
07,85
02,29
07,41
02,12
09,41
02,69
SK
39,99
66,77
41,23
67,51
39,99
65,55
Pb M
44,72
11,55
42,80
10,84
41,93
10,64
Dengan mengacu pada penelitian sebelumnya [6], kandungan metal Zn dalam mineral galena merupakan mineral sisipan yang juga terkandung di dalam sampel mineral. Pada umumnya Zn di alam dalam bentuk mineral sulfida (ZnS). Si dalam mineral pada umumnya berupa silika (SiO2) yang merupakan mineral yang paling sering dan umum ditemui di lapisan litosfer bumi. Dengan begitu, berdasarkan kandungan unsur yang terkandung di dalam mineral. Sampel mineral yang ada merupakan mineral Sulfida dari timbal (PbS) Dari analisa XRD sampel mineral, didapatkan grafik XRD sebagaimana tercantum dalam gambar 3. Hasil analisa XRD menyatakan fasa yang terbentuk di dalamnya berupa Timbal sulfur (PbS), Zink Sulfur (ZnS), dan Silika (SiO 2). Fasa dominan yang terdapat di dalam mineral ialah PbS dikarenakan puncak difraksi dengan insensitas tertinggi yang terjadi pada sudut 30,209; 26,091 o 2θ. Menurut pusat data ICDD( International Centre for Difraction Data), Data ), puncak difraksi tertinggi PbS berada pada sudut 30.118; 26,066;
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 214
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dan o2θ. Puncak lainnya memiliki tren yang sangat identik dengan displacement (pergeseran) sebanyak 0,03 poin. Hal ini dapat diindikasikan bahwa fasa di dalam mineral yang paling dominan ialah PbS. Pada kasus ZnS, tiga intensitas tertinggi menurut sumber data (ICDD), merujuk pada sudut difraksi 28,517; 47,432; dan 56,279 o2θ. Pada sampel mineral, tiga puncak difraksi untuk fasa ZnS berada pada sudut difraksi 28,630; 33,133; dan 47,5545 o 2θ dengan intensitas relatif yang jauh lebih kecil dari pada puncak difraksi PbS. Hal ini juga mengindikasikan adanya kandungan ZnS di dalamnya dalam kandungan yan kecil. Berdasarkan ICDD, intensitas tertinggi dari fasa SiO 2 berada pada sudut difraksi 26.644 dan 20,862 o2θ. Sudut ini identik terhadap sudut 20,949 dan 26,727 pada sampel mineral. Hal ini juga menjadi suatu indikasi kandungan SiO 2 terkandung dalam mineral dengan kandungan yang lebih besar relatif terhadap ZnS. Selain itu, puncak difraksi lainna dengan intensitas yang relatif lebih kecil memberikan keidentikan difraksi sampel mineral terhadap data PbS, ZnS, dan SiO2. Dengan melihat kembali analisa EDAX, kandungan oksigen dan sulfur yang representatif terhadap unsur Si, Pb, dan Zn, fasa yang terkandung di dalam sampel mineral dinyatakan berupa PbS, ZnS, dan SiO2. Berdasarkan identifikasi fasa (XRD) yang terdapat di dalam mineral dan mengacu pada hasil analisis kandungan kandungan unsur dari uji uji EDAX, EDAX, maka tidak seluruh sulfur berikatan dengan Pb dan Zn. Dikarenakan berdasarkan rasio atomik, perbandingan sulfur dengan fasa logam yang ada tidak bernilai satu. Oleh karena itu, penghitungan kandungan berat (%berat) dari fasa PbS harus dihitung. Dari lampiran 1, kandungan %berat fasa PbS yang ada di dalam mineral bernilai 49,40%.
Dari hasil uji EDAX, didapatkan kandungan unsur dari garam yang telah tersaji di tabel 2. Tabel 2.Kandungan unsur penyusun garam timbal nitrat hasil uji EDAX. Sampel 1 Unsur
Sampel 2
Sampel 3
%Berat
%Ato m
%Berat
%Ato m
%Berat
%Ato m
N K
07,64
21,45
08,69
22,16
07,24
20,08
OK
25,79
63,34
29,23
65,26
26,53
64,39
Zn L
03,89
02,34
02,15
01,18
04,90
02,91
Al K
00,72
01,05
00,88
01,17
00,85
01,22
Si K
02,65
00,57
02,66
00,52
02,55
00,54
Pb M
59,30
11,25
56,38
09,72
57,94
10,86
Dari hasil uji EDAX, rasio kandungan unsur Pb,N, dan O mendekati rasio yang sebanding untuk membentuk senyawa Pb(NO 3)2. Kandungan (% Atom) Zn,Al, dan Si menurun dari sebelum proses leaching. Kandungan Zn dan Al menurun tidak terlalu signifikan, sedankan Si menurun hingga 72%. Hal ini dikarenakan kelarutan Si yang kecil di dalam asam nitrat. Sedangkan Al dan Zn memiliki kelarutan yang baik di dalam asam nitrat, sehinga kandungan Zn dan Al tidak berubah signifikan. Data pengujian sampel garam nitrat yang telah diuji XRD akan ditampilkan pada gambar 4. Mengacu pada data ICPP, grafik hasil uji sampel representatif dengan data difraksi timbal nitrat yang ada pada ICPP (displacement=0,01). Dengan mengacu pada uji EDAX, kandungan senyawa Pb(NO3)2 ialah sebanyak 92,90 %. Hal ini berdasarkan analisa kandungan unsur yang terdapat di dalam garam. Dengan melihat rasio kandungan atom (%atom) yang cukup sebanding untuk membentuk senyawa Pb(NO 3)2. 3.3 Polimerisasi PANI/Pb
Gambar 3 Grafik analisis XRD pada sampel mineral galena. 3.2 Analisis XRD dan SEM Garam Timbal Nitrat Setelah proses reaksi pembentukan garam timbal nitrat, endapan hasil reaksi yang telah dicuci dan dikeringkan dikarakterisasi dengan uji EDAX untuk menganalisis kandungan unsur penyusun.
Preparasi campuran kompleks anilin dan timbal nitrat dilakukan dalam tiga variasi. Anilin dilarutkan di dalam air dalam jumlah yang konstan di setiap variasi. Untuk itu, anilin dicampurkan terlebih dahulu dengan air (aquades) 20 mL sebanyak 16 mmol (2,07 gram). Timbal nitrat ditambahkan ke dalam campuran anilin-air yang telah di preparasi. Pencampuran dikondisikan pada temperatur 0-10 oC dengan tekanan atmosfer. Proses pencampuran dilakukan selama 10 menit serta diaduk menggunakan magnetic stirer (500 rpm) selama proses. Campuran anilin dan timbal nitrat ditambahkan larutan oksidator (APS) yang telah didinginkan. Selama proses polimerisasi, pH reaksi
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 215
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
diukur dan pH meter. Hasil pengukuran pH disajikan dalam grafik gambar 5.
rasio 1:3. Berdasarkan %transmitansi dari kedua puncak, dapat diindikasikan bahwa fasa yang terbentuk ialah basa emeraldin. Vibrasi pada gelombang ~1290 cm -1 menyatakan adanya ikatan tunggal H-N yang merepresentatifkan ikatan dalam amina polianilin. Pada rentang gelombang ~1020 cm-1 menunjukkan ikatan C-N yang merepresentasikan rantai utama polianilin. Dengan melihat spektrum yang terjadi pada rentang 1600 – 1000 cm-1 membuktikan bahwa polianilin yang terbentuk ialah polianilin dalam bentuk basa emeraldin dengan tingkat oksidasi 0,5. Dari ketujuh variasi penelitian (gambar 6), dapat dilihat berubahan puncak spektrum FTIR berada pada rentang 550-650 cm -1. Pada rentang ini, muncul puncak yang mengindikasikan adanya ikatan koordinasi kompleks logam Pb(II) dan gugus amina pada polianilin.
Gambar 4 Grafik hasil uji XRD garam timbal nitrat (Pb(NO3)2) Nilai pH dari larutan timbal nitrat berada pad pH asam lemah dengan nilai pH 3-5. Hal ini akan merepresentatifkan pH awal dari campuran timbal nitrat – nitrat – anilin. anilin. Pada semua campuran, terjadi penurunan nilai pH selama proses polimerisasi. Penurunan nilai pH disebabkan oleh terbentuknya asam sulftat dari proses oksidasi polimer. 3.4 Pengujian FTIR serbuk PANI/Pb Telah dilakukan uji FTIR (Thermo ( Thermo Scientic Nicolet IS10) untuk serbuk PANI/Pb hasil sintesis. Dari hasil uji FTIR puncak pada bilangan gelombang ~1550 cm -1 menunjukkan adanya gugus quinon. Gugus cincin quinon hanya akan terbentuk pada fasa PANI basa emeraldin dan leucomeraldin. Puncak pada ~1490 cm -1 menyatakan adanya gugus benzena.
Gambar 6 Spektrum pengujian FTIR pada variasi rasio Pb(NO3)2/anilin: (a) 0; (b) 0,3; (c) 1,0 (d) 1,5. 3.5 Analisis SEM-EDAX serbuk PANI/Pb
Gambar 5. Nilai pH selama durasi polimerisasi Gugus ini ialah gugus gugus cincin yang terdapat di monomer anilin dan seluruh fasa polianilin. Rasio gugus quinon:benzen pada fasa leucomeraldin ialah 1:1. Sedangkan pada fasa basa emeraldin memiliki Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 7 menunjukkan perbedaan struktur dari serbuk PANI/Pb dengan variasi rasio penambahan Pb(NO 3)2/anilin dengan durasi polimerisasi 12 jam. Dari gambar 7a, PANI yang tidak dicampurkan dengan Pb(NO 3)2 menghasilkan morfologi yang seperti serabut (serat) dengan ukuran partikel yang lebih kecil dari 1 µm. Sedangkan pada gambar 7b, 7c, dan 7d terbentuk struktur butiran yang tidak homogen. Partikel ini mengindikasikan bahwa terbentuk dikarenakan pengaruh penambahan Pb(NO 3)2. Semakin besar rasio Pb(NO3)2/anilin, maka akan semakin banyak terbentuk partikel <1 µm. Struktur ini mengacu pada penelitian sebelumnya yan menyatakan penambahan ion Pb(II) akan membentuk struktur nanocuboid yang yang berukuran 200 nm [7]. Pada durasi polimerisasi 6 jam, struktur butiran yang kecil (<1 µm) terbentuk dengan
216
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
persebaran yang lebih banyak jika dibandingkan dengan durasi polimerisasi 12 jam. Hal ini dapat dilihat pada gambar 8. Pada gambar 8a dapat dilihat bahwa pada durasi polimerisasi yang lebih singkat, struktur yang berukuran <1µm berkumpul. Hal ini mengindikasikan bahwa butiran yang besar tersebut ialah gumpalan dari struktur yang lebih kecil. Dengan demikian, durasi polimerisasi ini berpengaruh terhadap ukuran partikel dari PANI/Pb. A
B
D
C
C
D
A
Gambar 8 Gambar SEM dari PANI/Pb (skala 10µm (gambar a dan c) dan skala 5 µm (gambar b dan d) dengan rasio Pb(NO 3)2/anilin=0,3 dan variasi durasi polimerisasi : 6 jam (a dan b) dan 12 jam (c dan d). Selain analisis struktur mikro dari sampel, analisis komposisi (EDAX) dilakukan (gambar 9, tabel 3). Pada rasio Pb(NO 3)2/anilin=0 rasio kandungan %Atom nitrogen:karbon yang berkisar 1:7 representatif terhadap pembentukan anilin dengan rasio 1:6. Selain itu terdeteksi adanya oksigen dan sulfur yang merupakan oksidator dari reaksi polimerisasi anilin. Sebagaimana pembahasan sebelumnya, penambahan timbal nitrat memberikan pengaruh terhadap morfologi dari PANI/Pb. Dari hasil pengujian EDAX, persebaran partikel yang tidak homogen mengandung Pb, C, dan N dengan C dan N sebagai penyusun utama polianilin. polianilin.
Gambar 7 Gambar SEM dari PANI/Pb (skala 10µm) dengan variasi rasio Pb(NO 3)2/anilin: (a) 0; (b) 0,3; (c) 1,0 (d) 1,5. Khusus pada rasio PANI/Pb 0,3, struktur seperti serat yang telah dibahas sebelumnya belum terbentuk pada durasi polimerisasi 6 jam. Hal ini menindikasikan bahwa pada durasi polimerisasi 6 jam, struktur seperti serat ini belum terbentuk sebagaimana kasus yan terjadi pada penelitian sebelumnya [5]. Hal ini dkarenakan masih tersedianya ion Pb(II) yang akan menginisiasi terbentuknya struktur yang seperti kubik [7].
A
B
Gambar 9 Analisa EDAX dari PANI/Pb (skala 10µm) rasio Pb(NO 3)2/anilin=0 dan variasi durasi polimerisasi : 12 jam. Tabel 3 . Analisa komposisi (EDAX) dari PANI/Pb representatif terhadap hasil uji SEM pada gambar 9 Titik A
A
B
Area B
Unsur %Berat
%Atom
%Berat
%Atom
CK
64,11
70,82
61,47
68,70
N K
12,15
11,51
12,14
11,64
OK
18,89
15,67
20,50
17,20
SK
04,84
02,00
05,89
02,46
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 217
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
3.6 Konduktifitas 3.6 Konduktifitas Listrik DC PANI/Pb Hasil pengukuran konduktifitas listrik menggunakan lcr meter (E4980A Precision LCR Meter) disajikan dalam tabel 4. Konduktifitas dari sampel meningkat dalam pada peningkatan rasio Pb/anilin. Namun pada rasio 1,5 nilai konduktifitas menurun. Nilai konduktifitas dari sampel yang terpolimerisasi selama 12 jam memiliki nilai yang lebih rendah daripada sampel yang terpolimerisasi selama 6 jam. Namun pada rasio 1,5 nilai konduktifitas menurun. Peningkatan dan penurunan nilai konduktifitas disajikan dalam gambar 10 dan gambar 11.
Gambar 11 Nilai konduktifitas dengan perbedaan durasi polimerisasi
Tabel 4. Konduktifitas Listrik DC untuk durasi polimerisasi 12 jam 4.
Sampel uji
Nilai konduktifitas (S/cm)
Pb/Anilin=0,0 12 jam
0,18
Pb/Anilin=0,3 12 jam
0,47
Pb/Anilin=1.0 12 jam
0,66
Pb/Anilin=1,5 12 jam
0,61
Pb/Anilin=0,3 6 jam
0,61
Pb/Anilin=1,0 6 jam
0,95
Pb/Anilin=1,5 6 jam
0,54
Kesimpulan Konduktifitas listrik DC dari PANI/Pb meningkat hingga rasio Pb(NO 3)2/anilin=1. Pada rasio Pb(NO3)2/anilin=1,5, konduktifitas DC dari PANI/Pb menurun. Semakin besar rasio Pb(NO3)2/anilin menyebabkan persebaran partikel <1µm meningkat menjadi lebih banyak. Konduktifitas listrik DC dari PANI/Pb menurun pada durasi polimerisasi 12 jam . Namun pada rasio Pb(NO3)2/anilin=1,5, nilai konduktifitas meningkat pada durasi polimerisasi 12 jam. Pada durasi polimerisasi 12 jam, PANI/Pb memiliki Morfologi dengan ukuran partikel yang lebih besar daripada durasi polimerisasi 6 jam. Daftar Pustaka
Gambar 10 Nilai konduktifitas berdasarkan rasio Pb/Anilin dengan durasi polimerisasi 12 jam.
[1]C. Dini, “Studi “Studi Awal Potensi Komposit Selulose Bakteria- Polianilin sebagai Substrat Sel Surya” , Skripsi Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Semarang (2013). [2]I. Michira, “Synthesis, “Synthesis, Characterisation of Novel Polyanilin Nanomaterials and Application in Amperometric Biosensors”, Macromol. Symp. Vol. 255 (2007) 255 (2007) 57 57 – 69 69 [3]M. Gvozdenovic, “ Application of Polianilin in Corrosion Protection of Metal”, Zaštita Materijala Vol. Materijala Vol. 53 (2012) 353-360. [4]M.R. Safenaz, Safenaz, “Synthesis And Electrical Properties Of Polyaniline Composite With Silver Nanoparticles”, Nanoparticles”, Advances in Materials Physics and Chemistry Vol. Chemistry Vol. 2 (2012) 75-81. [5]L. Zhang, ” Molybdic Acid Doped Polyaniline Micro/Nanostructure Via A Self-Assembly Process”, Process”, European Polymer Journal Vol. 44 (2008) 2040 – 2045 2045 [6]Sutherland, ” Lead”, Lead”, Ullmann's Encyclopedia Of Industrial Chemistry (2005).
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 218
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
[7]K.J. Plawan, “ Nanofibers To Nanocuboids Of Polyaniline By Lead Nitrate: Hierarchical Self Assembly With Lead Ions”, Ions”, Royal Society Advances Vol. 4 (2014) 9851 – 9855. 9855.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 219
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Material dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Temperatur Sintering Terhadap Komposit (TiC - 25NiCr) dan [(Ti0,7Mo0,3)17C - 25NiCr] Hasil Pemaduan Mekanik Menggunakan Metode Plane Planeta tary ry Ball M ill Ali Alhamidi, Suryana dan M. Luthfi Hilman Jurusan Metalurgi, Universitas Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Tirtayasa, Cilegon, 42435, Indonesia Email :
[email protected] [email protected]
Abstract The powder mixtures of Ti, C, Ni, Cr and Mo are processed by powder metallurgy process to form ceramics metals (cermet) and sintered at various temperatures of 700 oC, 1000 oC and 1100 oC have been investigated. The preparation sample of the materials using the principle of mechanical alloying for 10 hours with varying molybdenum at 0 and 0,3%. XRD analysis shows that there is no consolidated material cermet. However, the formation of TiC with binders NiC r shown occured. Sample without molybdenum affect size crystallite of TiC and NiCr, The higher temperatures sintering causing size of crystallites of TiC the larger while size of cr ystallites NiCr is still small. Addtion of of 0, 3 % molybdenum result in crystallite TiC size of the less for higher temperatures sintering, while crystallite size of NiCr is much hinger. Keyword Keyword : Cermet, mechanical alloying, Sintering, Crystallite Size
1. Pendahuluan Tungsten karbida merupakan material cermet yang banyak digunakan pada saat ini. Namun tungsten karbida memiliki banyak kelemahan untuk memenuhi kebutuhan industri saat ini. Oleh karena itu, cermet berbasis berbasis titanium karbida (TiC) digunakan untuk mengurangi kelemahan dari cermet tungsten karbida. Apabila dibandingkan dengan tungsten karbida, titanium karbida memiliki keunggulan dalam nilai kekerasan dan nilai ekspansi panas. Cermet adalah material sintesa antara keramik (ceramic (ceramic)) dan logam (metal (metal ) yang digunakan untuk memperoleh keuntungan dari kedua karakteristik material penyusun tersebut. Sehingga, cermet memiliki kekerasan tinggi dan ketahanan oksidasi yang disediakan oleh fase keramik, sedangkan fase logam berkontribusi keuletan, ketangguhan dan ketahanan thermal shock [1] Pemaduan mekanik merupakan metode sintesis dari beberapa material serbuk untuk memproduksi paduan material yang homogen menggunakan high energy ball mill . Proses pemaduan mekanik mempunyai tujuan utama yaitu membuat suatu paduan dari serbuk atau senyawa berkualitas dengan mikrostruktur dan morfologi yang terkontrol
melalui pengelasan dingin, perpatahan, dan pengelasan kembali dari serbuk yang digunakan [2]. Sintering merupakan proses pemanasan dibawah titik leleh dalam rangka membentuk fasa Kristal baru sesuai dengan yang diinginkan dan bertujuan membantu mereaksikan bahan-bahan penyusun b aik bahan keramik maupun bahan logam. Proses sintering akan berpengaruh cukup besar pada pembentukan fasa kristal bahan. Fraksi fasa yang terbentuk umumnya bergantung pada lama dan atau suhu sintering. Semakin besar suhu sintering memungkinkan semakin cepat proses pembentukan Kristal tersebut. Besar kecilnya suhu juga berpengaruh pada bentuk serta ukuran celah dan juga berpengaruh pada struktur pertumbuhan kristal [3]. Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui serta mempelajari sintesa material cermet TiC TiC dengan menggunakan metode pemaduan mekanik dengan planetary ball mill . Pengaruh penambahan molibdenum pada cermet TiC TiC akan diamati pula pada penelitian ini. Tujuan selanjutnya yaitu mempelajari pengaruh temperatur sintering terhadap struktur mikro material cermet TiC. TiC.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
220
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Material dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Material dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
2. Metode Penelitian Preparasi sampel cermet berbasis TiC tersusun dari serbuk murni unsur Ti,C,Ni,Cr dan Mo. Sampel divariasikan dengan penambahan 0,3 % molibdenum dan tanpa molibdenum. Sampel yang telah dipreparasi dilakukan milling melalui alat planetary ballmill selama 10 jam. Sampel yang telah dimilling kemudian dikompaksi dengan alat press sebesar 2000 MPa. Sampel kemudian dilakukan sintering dengan variasi temperatur pada 700, 1000 dan 1100 oC dalam suasana argon. Setelah proses sintering kemudian sampel diuji XRD dan dianalisa dengan software HighScore Plus. Plus. 3.Hasil dan Pembahasan 3.1 AnaliAnalisa XRD 3.1.1sa XRD Cermet TiC – 25NiCr tanpa Mo setelah Milling dan Sintering
(a)
(b) Gambar 1 Profil XRD Sampel Cermet TiC – 25NiCr 25NiCr (a) Setelah milling selama 10 jam dan (b) setelah
sintering pada berbagai Temperatur : 700 oC ;1000 oC dan 1100 oC selama 2 jam. Pada Gambar 1 (a) menunjukkan profil XRD untuk sampel cermet TiC - 25NiCr tanpa Mo setelah proses Milling selama 10 jam, merupakan serbuk murni dari masing-masing unsur yang akan dicampur melalui pemaduan mekanik dengan alat planetary ballmill selama 10 jam, (b) setelah disintering pada temperature 700 oC, 1000 oC dan 1100 oC selama 2 jam. Hasil milling menunjukkan peak dari serbuk murni Ti, Ni dan Cr yang menyatakan bahwa serbuk hasil milling belum membentuk material cermet . Untuk serbuk karbon tidak terdeteksi pada XRD dikarenakan senyawa karbon memiliki struktur amorf yang merupakan material dengan penyusunan atomatom secara tidak teratur. Gambar 1 (b) nampak peak yang menunjukkan pembentukkan senyawa TiC serta NiCr serta penghalusan butir material tersebut. Pada sintering dengan temperatur 700 oC material cermet TiC telah terbentuk, hal ini ditunjukkan pada perubahan peak secara signifikan dari material hasil milling yang hanya menunjukkan peak unsur Ti, Ni dan Cr dan setelah dilakukan sintering material tersebut berubah menjadi TiC dan NiCr. Pembentukkan material tersebut didapatkan dari tahap densifikasi dan coarsening saat sintering. Variasi temperatur sintering yang dilakukan pada sampel tidak menunjukkan adanya perbedaan peak secara signifikan dari masing-masing temperatur. Variasi temperatur sintering hanya menghasilkan perubahan lebar dari peak material lain. Perubahan dari lebar peak material dapat menunjukkan perubahan ukuran kristalit dari material, semakin lebar peak dari material maka ukuran kristalit dari material tersebut semakin kecil. 3.1.2 Analisa XRD Cermet (Ti 0,7 Mo0,3 )17C - 25NiCr dengan penambahan Mo setelah Milling dan Sintering Gambar 2 (a) dan (b) dapat terlihat bahwa peak-peak dari setiap unsur berbeda-beda. Perbandingan hasil grafik milling dengan grafik setelah sintering sangat berbeda, posisi peak dari unsur murni saat milling berubah setelah dilakukannya sintering. Peak pada hasil sintering menunjukkan peak menunjukkan peak dari paduan material cermet. Pada temperatur 700 oC struktur paduan TiC dan NiCr telah terbentuk, namun terdapat paduan lain yang tidak diharapkan yaitu paduan NiMoC. Terlihat pada hasil XRD variasi temperatur yang dilakukan saat sintering tidak terlalu berpengaruh, hanya saja peak
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
221
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Material dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Material dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
untuk paduan NiCr pada 75 degree baru muncul pada temperatur 1000 oC, untuk paduan lain hanya berubah lebar peak lebar peak dari masing-masing temperatur.
pada temperatur 1000 oC ukuran kristalit sebesar 545,1999 nm bertransformasi menjadi 1.492,674 nm pada temperatur 1100 oC. Perubahan ukuran kristalit mengasumsikan bahwa proses pertumbuhan butir pada saat sintering telah terjadi.
(a)
Gambar 3 Grafik hubungan variasi Temperatur Sintering dengan Crystallite Size dan Microstrain untuk senyawa TiC pada sampel tanpa Molibdenum.
3.2.2 Analisa Crystallite Size dan Microstrain senyawa NiCr dengan variasi temperatur sintering hasil milling 10 jam tanpa Mol ibdenum. ibdenum.
(b)
Gambar 2 Profil XRD Sampel Cermet (Ti0,7Mo0,3)17C - 25NiCr (a) Setelah milling selama 10 jam dan (b) setelah sintering pada berbagai Temperatur : 700 oC ;1000 oC dan 1100 oC selama 2 jam.
3.2.1 Analisa Crystallite Size dan Microstrain senyawa TiC dengan variasi temperatur sintering hasil milling 10 jam tanpa Molibdenum. Dari grafik tersebut dapat dianalisa bahwa ukuran kristalit TiC semakin besar seiring dengan bertambahnya temperatur sintering. Ukuran kristalit berubah secara signifikan pada temperatur 1100 oC,
Gambar 4 Grafik hubungan variasi Temperatur Sintering dengan Crystallite Size dan Microstrain untuk senyawa NiCr pada sampel tanpa Molibdenum. Dari grafik tersebut ukuran kristalit dari NiCr mengalami pengurangan ukuran seiring dengan penambahan temperatur sintering. Pergeseran peak XRD terjadi secara signifikan pada temperatur antara 1000 sampai 1100 oC, pergeseran peak XRD ini
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
222
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Material dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Material dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
diakibatkan dari penurunan nilai microstrain microstrain secara signifikan pada temperatur tersebut. Mengacu pada hasil analisa XRD pada Gambar 2 terlihat bahwa unsur Ni memiliki puncak peak XRD sendiri dan bergabung menjadi TiNi, diasumsikan penurunan ukuran kristalit NiCr diakibatkan belum sempurnanya pembentukan (densificatoin) densificatoin ) persenyawaan tersebut saat sintering pada temperatur 1100 oC. 3.2.3 Analisa Crystallite Size dan Microstrain senyawa TiC dengan variasi temperatur sintering hasil milling 10 jam dengan penambahan 0,3 % Molibdenum.
Gambar 5 Grafik hubungan variasi Temperatur Sintering dengan Crystallite Size dan Microstrain untuk senyawa TiC pada sampel dengan penambahan 0,3 % Molibdenum. Dari grafik diatas terlihat ukuran kristalit TiC berkurang pada setiap penambahan temperatur sintering. Pengurangan ukuran kristalit ini diakibatkan adanya molibdenum yang tersubtitusi pada atom-atom TiC, molibednum yang ditambahkan akan berfungsi sebagai inhibitor pada cermet berbasis cermet berbasis TiC sehingga pertumbuhan ukuran kristalit TiC akan terhambat [4]. Besarnya energi untuk mempertahankan ukuran kristalit TiC dapat terlihat pada perubahan nilai microstrain microstrain yang signifikan pada temperatur antara 700 sampai 1000 oC. Pada temperatur 1000 sampai 1100 oC ukuran kristalit dari TiC secara signifikan berkurang, hal ini mengasumsikan bahwa pemadatan butiran kristal saat sintering telah terjadi.
3.2.4 Analisa Crystallite Size dan Microstrain senyawa NiCr dengan variasi temperatur sintering hasil milling 10 jam dengan penambahan 0,3 % Molibdenum. Dari Gambar 6 bahwa ukuran kristalit dari NiCr bertambah dengan bertambahnya temperatur sintering. Selama proses sintering, jika dalam proses pergerakan atom lebih cenderung pada pemadatan (densification) densification) maka rongga menjadi lebih kecil dan menghilang. Sehingga atom akan lebih padat dan memiliki ukuran kristalit yang besar [3].
Gambar 6 Grafik hubungan variasi Temperatur Sintering dengan Crystallite Size dan Microstrain untuk senyawa NiCr pada sampel dengan penambahan 0,3 % Molibdenum.
4. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan beserta hasil yang telah dianalisa maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemaduan mekanik dengan alat planetary ball mill selama 10 jam serta sintering dengan memvariasikan temperatur mampu mensintesa unsur Ti, C, Ni, Cr dan Mo menjadi material cermet yang diharapkan. 2. Molibdenum yang ditambahkan pada material cermet dapat mempengaruhi ukuran kristalit pada setiap persenyawaan penyusun material cermet . 3. Untuk material cermet tanpa molibdenum pada peak XRD dengan sudut 2 theta sebesar 41,86 deg. senyawa TiC pada temperatur 700 oC memiliki ukuran kristalit sebesar 511,0636 nm, temperatur 1000 oC sebesar 545,1999 nm dan temperatur 1100 oC sebesar 1.492,674 nm.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
223
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Material dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I )
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional Material dan dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
4. Untuk material cermet dengan penambahan 0,3 % molibdenum pada peak pada peak XRD dengan sudut 2 theta sebesar 36 deg. senyawa TiC pada temperatur 700 o C memiliki ukuran kristalit sebesar 71,53468 nm, temperatur 1000 oC sebesar 70,41513 nm dan temperatur 1100 oC sebesar 56,46794 nm. 5. Penambahan molibdenum dapat menjadi inhibitor pada pertumbuhan kristalit untuk senyawa TiC. DAFTAR PUSTAKA
[1] Liu, L dan Lai, M.O. 1998. Mechanical Alloying . New York : Springer Science [2] Naidoo, Melisha. 2012. Dissertation 2012. Dissertation Preparation Of (Ti,Ta) (C,N) By Mechanical Alloying . Johannesburg : University Of The Witwatersrand [3] Michel. W, Barsoum, 2003. Fundamentals 2003. Fundamentals of Ceramics. Ceramics. USA : Department of Materials Engineering, Drexel University. [4] Jun Kui Yang, Hu-Chul Lee. 1996. Microstructural Evolution During The Sintering of a Ti(C,N)-Mo2C-Ni Alloy. Alloy. South Korea : Department of Metellurgical Engineering, Seoul National University.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
224
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakar ta, 5 Novembe
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakar ta, 5 November November
D Keramik
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 225
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pemanfaatan Besi Oksida Stee Steel Slag Sebagai Sebagai Bahan Baku Magnet Barium Heksaferit Aufar Ridwansyah*, Ahmad Nuruddin, Aditianto Ramelan Program Studi Studi Teknik Material, Material, Fakultas Fakultas Teknik Mesin Mesin dan Dirgantara Dirgantara,, Institut Teknologi Teknologi Bandung, Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia
[email protected]
Abstract Barium hexaferrite powder has been synthesized from steel slag by solid state reaction. Steel slag was ball milled and heat treated at various temperatures to investigate the formation of Fe 2O3. Three different different mixing of o hematite and barium carbonate samples were prepared and calcined at 1000 C at ambient environment for 4.5 h. The microstructure of hematite and samples were observed by X-Ray diffraction, the powder morphology was examined by using Scanning Electron Microscopy, and the magnetic properties were measured by Vibrating Sample Magnetometer. It was found that the steel slag primarily contained FeO and Fe 3O4. Heat treatment of steel slag at 1000 oC in open environment for 30 min transformed wustite and magnetite into hematite of 89.9%. Synthesized untreated steel slag-barium carbonate mixed produced low concentration of barium hexaferrite with major impurity of antiferromagnetic-barium orthoferrate. Heat treated steel slag enhanced the production of barium hexaferrite. Wet mixing process futher improved the solid state reaction, and enhance the magnetization saturation and remanence of 19.96 emu/g and 11.54 emu/g, respectively. The BH max product ramained low due to existing of unreacted BaO, FeO, Fe 2O3 , and intermediate phase of BaFe 2O4. Keywords: S t e e l s l a g , s o l i d s t a t e r e a c t i o n , b a r i u m h e x a f e r r i t e , m a g n e t i c p r o p e r t i e s
1.
Pendahuluan
Produksi baja di Indonesia dihasilkan oleh PT. Krakatau Steel, Tangerang. Selain baja, PT. Krakatau Steel juga menghasilkan produk samping berupa steel berupa steel slag sebagai sebagai limbah lingkungan. Usaha pemanfaatan limbah steel slag untuk bahan bangunan telah diteliti oleh berbagai pihak [ 1]. Jika diteliti, limbah steel slag banyak mengandung wurstite (FeO) dan magnetite (Fe 3O4) yang dapat dikonversi menjadi maghemite ( -Fe2O3) atau hematite ( -Fe2O3), sebagai bahan dasar untuk membuat magnet barium heksaferit (BaFe 12O19). Magnet barium heksaferit adalah salah satu contoh magnet yang memiliki temperatur Curie yang relatif tinggi yaitu 452 oC [2] dan memiliki sifat ferrimagnetik [3]. Magnet jenis ini biasanya diaplikasikan pada barang-barang elektronik dengan frekuensi tinggi [3]. Peneliti terdahulu mengidentifikasi kandungan steel slag melalui melalui XRD, dan diketahui mengandung senyawa Al 2O3, SiO2, P2O5, MgO, MnO, CaO, FeO, TiO 2, V2O3 dan CaO/SiO 2 [1]. Ternyata, FeO merupakan kandungan terbesar dalam steel slag . FeO merupakan bentuk tidak stabil dari besi oksida karena tersusun atas senyawa Fe yang tidak stoikiometri dengan rumus senyawa aslinya adalah Fe 1-xO dengan struktur NaCl bercacat [4]. FeO mudah dioksidasi membentuk varian oksida besi lainnya yang stabil, seperti Fe 3O4 (FeFe2O4), Fe2O3 baik dalam f asa gamma ( -Fe2O3) maupun fasa alfa ( -Fe2O3). Bentuk senyawa besi oksida Fe 2O3 bisa direaksikan dengan barium karbonat dengan
metode solid metode solid state reaction untuk membuat magnet Barium Heksaferit. Penyampuran dilakukan secara stoikiometri dengan menggiling serbuk besi dengan barium karbonat. Untuk menyempurnakan proses reaksi, maka dilakukan kalsinasi dengan tujuan membentuk senyawa baru dengan sifat yang diinginkan dari proses difusi yang terjadi ketika kalsinasi terjadi [5]. Pada penelitian ini dilakukan transformasi fasa dalam steel dalam steel slag yang yang didominasi oleh FeO dan Fe3O4 menjadi Fe 2O3 sebagai bahan utama pembentuk barium heksaferit. Transformasi dilakukan melalui penghancuran steel slag dan pelakuan panas pada berbagai temperatur. Hasil transformasi fasa digunakan untuk sintesa barium heksaferit dengan reaksi padat-padat ( solid ( solid state reaction) reaction) dan kalsinasi pada temperatur tinggi. Proses sintesa ini ditujukan untuk menemukan formula pembentukan barium heksaferit dari bahan dasar steel dasar steel slag . 2.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini bahan utama yang digunakan adalah steel slag dari dari PT. Krakatau Steel dengan pelakukan mekanik dan panas, dan barium karbonat (tingkat kemurnian ≥ 99%) diperoleh dari Merck. Pada penelitian kali ini, besi oksida diproses menjadi serbuk terlebih dahulu dengan ball milling hingga ukuran partikel 200 mess atau sekitar 64-75 μm. Setelah proses ball milling , dilanjutkan dengan proses perlakuan panas besi oksida untuk ditentukan pengaruh perubahan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 226
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
temperatur terhadap pembentukan Fe 2O3 yang lebih stabil daripada FeO dan Fe 3O4 dan bisa dicampur barium karbonat untuk membentuk senyawa BaFe12O19 yang bersifat ferrimagnetik [6]. Temperatur perlakuan panas yang digunakan adalah 388oC, 485 oC, 750oC, 825oC, 900oC, dan 1000 oC. Dari hasil oksidasi tersebut, sampel dengan hasil pembentukan Fe 2O3 terbanyak dicampur dengan barium karbonat untuk membentuk senyawa barium heksaferit. Penyampuran besi oksida dan barium karbonat dilakukan dalam tiga cara, yaitu penyampuran besi oksida yang telah diberi perlakuan panas terlebih dahulu dengan barium karbonat (metode penyampuran basah dan kering), dan besi oksida yang tidak diberi perlakuan panas dengan barium karbonat. Dari hasil metode penyampuran kering didapat banyaknya senyawa sisa yang belum bereaksi, maka sampel penyampuran kering diambil sebagian dan dilakukan metode penyampuran basah untuk melarutkan senyawa sisa yang ada. Metode penyampuran basah bertujuan melarutkan barium oksida hasil kalsinasi penyampuran kering menjadi barium hidroksida anhidrat dengan nilai kelarutan dalam air 3.8 g/100 ml pada 20 oC [7]. Penyampuran dilakukan dengan metode grinda pada mortar. Proses grinda dilakukan dengan tujuan menghomogenkan campuran barium karbonat dengan besi oksida, lalu dilakukan kalsinasi dengan tujuan membentuk senyawa BaFe12O19 dari hasil perhitungan stoikiometri. Kalsinasi dilakukan pada temperatur 1000 oC dalam waktu 4,5 jam [8]. Tiga sampel yang telah dikalsinasi dikarakaterisasi dengan XRD untuk melihat struktur mikro sampel, dan menggunakan piranti lunak Xpowder dapat diperkirakan komposisi senyawa dalam sampel. Kurva hysterisis magnet dari sampel dilihat dengan VSM. Dari kurva tersebut dapat ditentukan besaran saturasi (Ms) dan remanensi (M r ) magnetisasi sampel, serta medan koersivitas (H c) sampel. Pengolahan data magnetisasi dapat diperoleh besaran medan induksi (Bs, Br ) dan produk energi magnet (BH) maks. Karakterisasi morfologi sampel dengan SEM. 3.
Hasil dan Pembahasan
3.1. Proses 3.1. Proses perlakuan panas Hasil penelitian perlakuan panas terhadap besi oksida steel slag steel slag ditunjukkan pada gambar 1. Pada gambar 1 dapat dilihat, bahan dasar steel slag memiliki kandungan utama FeO dan Fe3O4. Senyawa ini tidak secara langsung dapat digunakan sebagai bahan pembuat barium heksaferit, tetapi dapat diubah menjadi senyawa Fe2O3 melalui perlakuan panas. Pemanasan pada temperatur 388oC pada lingkungan yang mengandung oksigen dapat menghasilkan senyawa Fe 2O3, baik berupa
fasa alfa maupun gamma. Sesuai dengan reaksi berikut, pembentukan -Fe2O3 lebih mungkin terjadi dibanding pembentukan -Fe2O3 yang cenderung terjadi pada temperatur relatif tinggi. Reaksi yang terjadi saat proses perlakuan panas pada temperatur 388 oC adalah: 3 FeO + 1/2O 2 → Fe3O4 (1)
[1]
2 Fe3O4 + 1/2 O2→ 3 γ-Fe2O3
(2)
2 FeO + 1/2 O 2 → Fe2O3
(3)
Gambar 1. XRD pengaruh temperatur terhadap perubahan perubahan komposisi komposisi besi oksida oksida
Reaksi-reaksi diatas bisa terjadi ketika kondisi didalam tungku memiliki cukup oksigen untuk mengoksidasi FeO (JCPDS 46-1312) dan Fe3O4 (JCPDS 19-0629). Perlakuan panas yang pertama dilakukan pada 388 0C mengurangi jumlah FeO sangat signifikan dari komposisi pada steel slag . Hal ini karena reaksi 1,2,3 diatas, yaitu adanya peningkatan komposisi yang dilihat puncak dari. γ-Fe2O3 (JCPDS 13-0458) dan peningkatan dari komposisi Fe3O4 juga. Pada temperatur 485 oC, dapat dilihat pembentukan puncak baru dari α Fe2O3 (JCPDS 06-0502). 06-0502). Transformasi γ-Fe2O3→ α-Fe2O3 terjadi pada temperatur 375 oC [9] dan juga terjadi reaksi 4 Fe 3O4 + O2 → 6 α-Fe2O3 pada temperatur diatas 400 oC [10] sehingga dari hasil XRD lebih didominasi oleh puncak α -Fe2O3. Pada temperatur 750, 825, 900, dan 1000 oC bisa dilihat bahwa transformasi Fe3O4 menjadi α-Fe α-Fe2O3, dan γγFe2O3 menjadi α-Fe α-Fe2O3 terjadi, tetapi FeO dan Fe3O4 belum sepenuhnya hilang. Semakin tinggi temperatur yang diberikan maka oksidasi yang terjadi cenderung membentuk senyawa yang lebih stabil yaitu α-Fe α -Fe2O3.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 227
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
oksida teroksidasi menjadi barium peroksida (BaO2). Barium peroksida memiliki kecenderungan untuk bereaksi dengan FeO membentuk BaFeO 3. Pembentukan BaFeO 3 juga disebabkan oleh kurangnya komposisi Fe 2O3 pada besi oksida yang tidak dioksidasi terlebih dahulu dan ketika pembakaran dilakukan pembentukan barium peroksida dan BaFeO 3 lebih dahulu terjadi dibandingkan proses FeO menjadi Fe 2O3. Penyampuran besi oksida yang diberi perlakuan panas, baik kering maupun basah, model reaksi dapat ditunjukkan sebagai berikut: Metode penyampuran kering ( dry mixing ): ):
3.2. Proses 3.2. Proses penyampuran besi oksida-barium karbonat Proses reaksi pembentukan barium heksaferit adalah proses reaksi padat-padat. Penyampuran steel slag dan barium karbonat dilakukan dalam tiga cara. Hasil XRD sampel untuk penyampuran yang berbeda ditunjukkan pada gambar 2.
[1] [2] [3] [4] [5] [6]
Fe3O4 →FeO + Fe 2O3 2FeO + BaCO 3 →BaFe2O4 + CO(g) 6Fe2O3 + BaCO 3 →BaFe12O19 +CO2(g) 2FeO + BaCO 3 →BaFe2O4 + CO(g) BaFe2O4 + 5Fe2O3 →BaFe12O19 6Fe2O3 + BaCO 3 →BaFe12O19 +CO2(g)
(7) (8) (9) (10) (11) (12)
Metode penyampuran basah (wet ( wet mixing ): ): BaO + H 2O→Ba(OH)2 (13) [1] Ba(OH)2 + 6Fe2O3 →BaFe12O19 + H2(g) + O2(g) (14) [2] Ba(OH)2 + 2FeO →BaFe2O4 + H2 (g) [3] BaFe2O4 + 5Fe2O3 →BaFe12O19 Gambar 2 XRD hasil sintesa barium heksaferit dari tiga jenis sampel sampel
Pada gambar terlihat jelas, penyampuran steel slag tanpa pelakuan panas (raw ( raw)) dapat menghasilkan senyawa barium heksaferit BaFe12O19 (JCPDS 84-0757), meskipun masih terlihat fasa lain dalam produk akhir, yaitu BaFeO 3 (JCPDS 74-0646) [6] yang merupakan senyawa transisi. Disamping itu, juga terlihat -Fe2O3 yang tersisa dan tidak bereaksi. Pada sampel dengan penyampuran kering, dimana steel slag dilakukan perlakuan panas, diperoleh pola difraksi dengan senyawa BaFe 12O19 dan senyawa antara BaFe 2O4 (JCPDS 77-2337), serta senyawa sisa Fe 3O4. Sedangkan sampel steel slag yang dilakukan perlakuan panas dan dicampur dengan barium karbonat dalam konsisi basah menghasilkan menghasilkan pola difraksi seperti sampel sampel denga penyampuran kering, tetapi dengan tingkat intensitas yang lebih kuat. Model reaksi yang terjadi pada sampel tanpa perlakukan panas dapat diusulkan sebagai berikut: [1] BaCO3 → BaO + CO 2 [2] BaO + 1/2O 2 → BaO2 [3] FeO + BaO 2 → BaFeO 3
(15) (16)
Tingginya intensitas pola difraksi sampel penyampuran basah mengindikasikan, terutama pada puncak senyawa BaFe 12O19, banyaknya produk BaFe12O19 yang dihasilkan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa proses penyampuran basah mendorong terjadinya penyampuran senyawasenyawa pembentuk barium heksaferit dapat bercampur secara homogen atau terjadinya kontak lebih besar daripada senyawa-senyawa pembentuk barium heksaferit. Hasil pola difrasi sinar X ini dapat dikonfirmasi dengan hasil magnetisasi dari sampel, khususnya besaran magnetisasi remanensi dan magnetisasi saturasi. Penggunaan metoda kering maupun basah pada penyampuran belum bisa menghilangkan senyawa-senyawa antara dan menghabiskan senyawa FeO, -Fe2O3 dan BaO. 3.3. Sifat magnetik Analisa difraksi hasil kalsinasi sampel membuktikan terbentuknya senyawa BaFe 12O19 yang bersifat ferrimagnetik [6]. Sifat magnetik ketiga sampel dianalisis menggunakan VSM untuk mengungkapkan kurva histerisis ketiga sampel, seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.
(4) (5) (6)
Ketika sampel dikalsinasi maka barium karbonat terurai menjadi barium oksida sambil melepaskan gas karbon dioksida, kemudian barium Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 228
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 3. Kurva histerisis sampel hasil sintesis Gambar 4. Kurva histerisis B-H ketiga sampel
Dari kurva histerisis (M-H) diatas, bisa didapat nilai magnetisasi saturasi M s, magnetisasi remanensi M r , dan medan koersivitas H c sebagai berikut:
Dari kurva histerisis (B-H) pada gambar 5 ditentukan nilai B s, Br , dan pada kuadran 2 dapat ditentukan harga BH max, sebagaimana dituangkan dala tabel 2
Tabel 1. Nilai Ms, Mr, dan Hc dari sampel magnet Tabel 2. Nilai B s, Br dan dan (BH)maks sampel
Sampel r aw dry mixing wet wet mixi ng
M
s
(emu/g) 6.62 17.47 19.96
M
r
(emu/g) 3.69 10.03 11.54
H
c
(kOe) 1.66 1.71 1.38
Dari tabel diatas, sampel dengan metode penyampuran wet mixing memiliki memiliki nilai M s dan Mr yang paling tinggi, Hal ini sesuai dengan prediksi yang terlihat pada pola difraksi sinar X, dimana penyampuran wet mixing menghasilkan pola difraksi senyawa BaFe 12O19 dengan intensitas yang lebih tinggi, yang mengidikasikan jumlah BaFe12O19 yang dihasilkan lebih banyak. Dari banyaknya komposisi BaFe 12O19 saja bukan parameter utama penentuan Mr dan Ms, tetapi orientasi domain pada butir juga menentukan kemana arah resultan momen magnet yang menentukan besar Mr dan Ms. Sebagaimana ditunjukkan oleh morfologi bubuk sampel, bentuk butiran berpengaruh besar terhadap besarnya nilai Mr dan Ms. Sampel campuran besi oksida non perlakuan panas memiliki sedikit komposisi BaFe12O19 sehingga memiliki sifat ferrimagnetik lemah. Besarnya BaFeO 3 dalam sampel sangat mempengaruhi besarnya nilai Mr dan Ms, karena BaFeO3 bersifat antiferromagnetik [6]. Adanya senyawa sisa dalam bentuk Fe 3O4, FeO, γ-Fe2O3, αFe2O3, BaO sangat mempengaruhi hnilai akhir Mr dan Ms dari sampel. Pada setiap sampel, senyawa sisa tersebut bisa mengurangi Mr dan Ms dari BaFe12O19. Karena perbedaan struktur dan momen magnet yang berbeda disetiap senyawa, menyebabkan resultan momen magnet pada BaFe12O19 berkurang. Hasil pengolahan data kurva histerisis (BH) ditunjukkan pada gambar 4 berikut:
Sampel r aw dry mixing wet wet mixi ng
Bs (kG)
Br (kG)
10.43 11.15 11.33
0.24 0.66 0.77
(BH)maks (MGOe) 0.01 0.08 0.1
Dari hasil perhitungan nilai B s, Br , dan BHmax bisa dibandingkan dengan nilai literatur yaitu untuk hard magnet BaFe12O19 memiliki sifat Br = 3.2 kG; H c = 3 kOe; BH max = 2.5 MGOe [5]. Nilai Br , Hc, dan BH max pada literatur adalah kondisi ketika komposisi material magnetik adalah 100% BaFe 12O19, tanpa adanya senyawa pengotor dalam sampel. Sedangkan pada komposisi pada material penelitian ini tidak hanya BaFe 12O19, tetapi juga ada senyawa seperti BaFeO 3 [6] dan BaFe 2O4 yang termasuk material antiferromagnetik [11]. Dari struktur kistal yang berbeda, maka orientasi resultan momen magnet dari setiap senyawa juga berbeda, sehingga bisa saling mengurangi kekuatan momen magnet. BaFeO 3 sendiri memiliki struktur tetragonal cubic cubic [12] dan BaFe 2O4 memiliki struktur spinel [13] kubik. 3.4 Morfologi sampel Morfologi sampel yang dilihat dengan SEM ditinjukkan pada gambar 5.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 229
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
dan memudahkan proses magnetisasi. Sebagaimana dibuktikan pada pengukuran VSM, kedua jenis sampel memiliki nilai Mr dan Mas lebih besar. Ukuran diameter batang pada wet mixing mengindikasikan besarnya jumlah momen magnet dalam sampel, yang menentukan besarnya Mr dan Ms. 4.
Gambar 5. SEM sampel (a) campuran r aw , (b) dry , (c) we . mixing wett mixin g
Hasil SEM dari sampel campuran besi oksida yang diberi perlakuan panas menunjukkan banyaknya struktur hexagonal . Dari hasil SEM ini membuktikan bahwa hasil XRD yang menyatakan komposisi BaFe12O19 pada campuran besi oksida yang diberi perlakuan panas lebih banyak daripada sampel besi oksida non perlakuan panas benar. Pada sampel campuran besi oksida non perlakuan panas, terbentuk sedikit struktur hexagonal dalam skala yang sangat kecil dan lebih dominan senyawa dengan struktur non hexagonal dengan kemungkinan BaFeO 3, Fe3O4, FeO, γ-Fe2O3, αFe2O3, BaO. Hasil SEM dari sampel campuran besi oksida perlakuan panas memiliki perbedaan yaitu lebih banyak senyawa dengan struktur hexagonal pada sampel campuran dengan metode wet mixing tetapi butirnya memiliki ukuran yang relatif lebih besar dari pada campuran dengan metode dry mixing . Ukuran butir yang lebih besar akan mempengaruhi nilai H c, yaitu semakin besar ukuran butir maka akan semakin rendah nilai H c. Hal ini disebabkan lebih mudahnya proses demagntisasi domain pada sampel dengan butir yang lebih besar. Pada sampel yang dibuat dengan dry- dan wet mixing mempunyai bentuk batang atau rod. Bentuk batang ini meningkatkan sifat anisotropi magnet,
Kesimpulan Pada penelitian kali ini, diidentifikasi sifat magnet dari campuran barium karbonat dengan besi oksida yang berasal dari steel slag . Proses perlakuan panas pada steel slag mengubah senyawa-senyawa yang ada, akibat proses oksidasi langsung. Semakin tinggi temperatur yang diberikan, maka semakin banyak komposisi dari αFe2O3 yang terbentuk akibat oksidasi Fe 3O4 dan FeO. Pembentukan senyawa BaFe 12O19 lebih banyak pada penyampuran yang homogen yaitu pada metode penyampuran wet mixing . Dari data penelitian, bisa disimpulkan bahwa semakin banyak komposisi BaFe12O19 dalam suatu sampel, maka meningkat pula nilai B s, Br , Mr , dan M s dari sampel tersebut. Nilai dari H c salah satunya ditentukan oleh faktor besarnya butir yang dimiliki dari suatu sampel. Semakin besar butir pada sampel, maka akan semakin kecil nilai H c yang diakibatkan semakin mudahnya domain magnet baru untuk terbentuk dalam butir yang besar dengan variasi arah yang berbeda-beda. Nilai energi produk terbaik pada sampel adalah 0.1 MGOe yang masih jauh dari nilai literatur karena masih banyaknya senyawa pengotor yang bersifat antiferromagnetik seperti FeO, αFe2O3, BaFeO3, BaFe2O4 yang akan mengurangi sifat magnet dari BaFe 12O19. Senyawa lain seperti Fe3O4 yang bersifat ferrimagnetik juga mengurangi sifat magnet dari BaFe 12O19 karena memiliki struktur yang berbeda, sehingga momen magnet setiap senyawa sisa akan mengurangi momen magnet BaFe 12O19. Daftar Pustaka [1] P. Shepherd, K. K. Mallick dan R. J. Green, “Magnetic and structural properties of M Type barium hexaferrite prepared by co precipitation,” Magnetism and Magnetic Materials, no. 311, p. 8, 2006. [2] S. O. Kasap, Principles of Electronic Materials and Devices, New York: Mc Graw Hill, 2006. [3] R. M. Cornell dan U. Schwertmann, The Iron Oxide: Structure, Properties, Reaction, Occurences and Uses, Germany: WILEYVCH, 2003.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 230
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Ekstraksi Titanium Dioksida (TiO 2) Dalam Bentuk Synthetic ynthetic Ruti l e Dar i Pas Pasir I lmeni lmeni te (FeTiO3) Melalui Proses BECHER Andinnie Juniarsih1), Yuswono2), Ujang Daud Septian 1) 1.
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Teknik Metalurgi, Cilegon-Banten, 42435, Indonesia 2. Pusat Penelitian Metalurgi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
[email protected] Abstract Titanium dioxide (TiO 2 ) is a compound that has very high potential sale value, because these compounds are needed for the manufacture of pigments and raw material for titanium metal. TiO 2 is found in the mineral ilmenite (FeTiO3 ) with a content of 35-65%. One to raise levels of TiO 2 from ilmenite sand is Becher process. Stages of Becher process including oxidation, reduction, reduction, aeration, leaching sulfuric acid (H 2SO4 ), then washing and drying. Leaching time variation used is 2, 4, and 6 hours while the concentration of sulfuric acid (H 2SO4 ) is 5%, 10% and 20%. Characterization of TiO 2 using X-Ray Diffraction (XRD) and X-Ray Fluorosence (XRF) while the elements Fe dissolved using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Of a series of research and analysis to form synthetic rutile (TiO2 ) and obtained the highest level level of 53.36% TiO 2 and Fe elements around 72 680 ppm dissolved in 20% H 2SO4 variables for 6 hours. This shows that the longer the time leaching and sulfuric acid concentration increases, the gains obtained TiO 2 will be higher and iron oxide which will be the more soluble. : Becher process, H 2SO4 , ilmenite, leaching, Titanium dioxide Keywords
1.
Pendahuluan
TiO2 (Titanium (Titanium dioxide/titania) dioxide /titania) adalah material semikonduktor yang termasuk dalam keluarga oksida metal. senyawa ini mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari khususnya industri pembuatan pigmen TiO 2. Kebutuhan akan TiO2 sebagai pigmen meningkat karena TiO 2 mempunyai daya rekat tinggi jika dibandingkan dengan pigmen biasa (ZnO). Selain itu senyawa ini digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan logam titanium. Titanium dioksida terdapat di alam dalam bentuk batuan, endapan batuan, dan pasir. Pada umumnya TiO 2 membentuk senyawa oksida. Senyawa oksida titanium yang terbentuk di permukaan bumi, ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis Mineral Titanium yang Terdapat di kerak bumi3) Mineral Formula TiO2 % Rutile TiO2 Anatase TiO2 90-95 Brookite TiO2 90-100 Ilmenite Ilmenite FeTiO3 35-65 Leucoxene Fe2O3.nTiO2 60-90 Perovskite CaTiO3 40-60 Titanite CaTiSiO5 30-42 (sphene) (Fe.Ti)2O3 2-20 Titanomagnetite
Kebutuhan akan titanium dioksida (TiO 2) di Indonesia masih bergantung pada impor, padahal cadangan bahan baku pengolahan TiO 2 yang dimiliki yaitu ilmenite ilmenite sebesar 21.922.229 ton dengan kandungan TiO 2 8,92%-9,629%[1], namun sampai dengan saat ini pasir ilmenite ilmenite belum dimanfaatkan dan diolah secara optimal. Berdasarkan UU Minerba No. 4 Tahun 2009 tentang kewajiban meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral hasil tambang di dalam negeri, maka harus dicarikan jalan keluar agar jumlah ekspor pasir ilmenite dan ilmenite dan impor TiO 2 dapat dikurangi. Ada beberapa proses pengolahan synthetic rutile rutile (TiO2) dari ilmenite ilmenite salah satu diantaranya adalah proses Becher. Keuntungan dari proses Becher ini dapat mengolah bijih ilmenite dengan kadar TiO 2 yang rendah sekitar 35% dan leaching menggunakan asam sulfat (H 2SO4) yang tidak begitu berbahaya dibanding asam klorida (HCl) dan juga ekonomis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah proses Becher dapat memisahkan besi dengan TiO 2 dari pasir ilmenite ilmenite sehingga dapat meningkatkan kadar TiO2. Proses Becher dikembangkan pada tahun 1960-an oleh Robert Gordon Becher dan cocok untuk ilmenit yang telah terkikis cuaca dengan kadar TiO2 35%-65%. Tahapan dari proses Becher ini yaitu oksidasi, reduksi, aerasi kemudian proses leaching menggunakan asam sulfat encer (H 2SO4), seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 231
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Fe2O3(s) + 3H2SO4(l) → Fe2(SO4)3 (l) + 3H2O(l).....(4) Hasil dari proses Becher berupa synthetic rutile (TiO rutile (TiO2) dengan kemurnian 92-94% ditunjukkan pada gambar 2.
(Fe2
Fe2(
Gambar 1. Diagram Alir Proses Becher [7]
\
Pada gambar 1 menunjukkan tahapan pertama dari proses Becher dilakukan proses oksidasi atau pemanasan awal pada pasir ilmenite (FeTiO3) agar terdekomposisinya senyawa FeTiO 3 menjadi Fe2TiO5. Berikut reaksinya : 4 FeTiO3(s) + O2(g) → 2 Fe2TiO5(s) + 2TiO2(s) -132,995 kkal/mol................................(1)
Gambar 2. Synthetic Rutile (TiO2) dari Proses Becher [2]
G1273=
2.
Setelah Proses oksidasi dilakukan, tahap selanjutnya adalah proses reduksi. Reduksi merupakan proses pemanasan kembali dengan penambahan karbon dan sulfur pada suhu 1200 oC selama 5-16 jam untuk mereduksi iron oxides menjadi besi logam serta ikatan kimia titanium dioksida dengan besi oksida terpisah, sehingga pada proses leaching , unsur besi dapat mudah terlarut sempurna. Fe2TiO5(s) + 3CO(g) →2Fe(s)+TiO2(s)+3CO 2(g) G1273 = -7,02 kkal/mol......................(2) Tahapan selanjutnya adalah proses aerasi, proses ini merupakan pros es penghilangan metallic iron iron (besi logam) dari ilmenite ilmenite reduksi dengan proses oksidasi besi melalui kelarutan oksigen dengan bantuan katalis . Proses ini dilakukan di dalam tangki besar yang berisi larutan ammonium klorida (0,5-1,6%) dengan udara yang di pompakan melalui tangki dengan suhu 80-100 oC selama 8-20 jam dengan rasio 1 : 2 (w/v). [8] 4Fe(s) + 3O2(g)
→2Fe2O3(s) H298=196,3kkal/mol
(3)
Tahapan selanjutnya adalah Proses Leaching . Proses Leaching merupakan proses ekstraksi padat/cair yang bertujuan memisahkan suatu senyawa kimia yang diinginkan dari senyawa kimia lain atau pengotor dari padatan ke dalam cairan menggunakan pelarut ( leaching agent ). ). Proses Becher bertujuan untuk melarutkan besi oksida yang tersisa dan beberapa pengotor lainnya sedangkan residu yang mengendap berupa TiO 2 dengan kemurnian yang tinggi. Proses leaching menggunakan asam sulfat (H 2SO4) sebagai media pelindian dengan konsentrasi asam sulfat 10% . [9] Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Metode Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini Pasir ilmenite ilmenite (FeTiO3) dari Kalimantan Tengah, daerah Gunung Kukusan yang memiliki kandungan ilmenite ilmenite sekitar 30%, dan asam sulfat (H 2SO4) sebagai leaching agent. Penelitian pembuatan synthetic rutile (TiO2) dilakukan dengan menggunakan proses Becher. Preparasi Ilmenite Preparasi Ilmenite dengan dengan cara pemisahan pasir zirkon dengan ilmenite menggunakan ilmenite menggunakan prinsip gravity prinsip gravity separation. Sebagian sampel dikarakterisasi dengan XRD dan dianalisis mengikuti standar ASTM. Sampel hasil preparasi kemudian dilakukan proses Oksidasi pada suhu 1000 oC selama 5 jam dilanjutkan Reduksi dengan penambahan sulfur dan karbon selama 5 jam pada suhu 1200 oC. Tahap berikutnya sampel diaerasi dalam larutan ammonium klorida selama 10 jam. Prosedur terakhir dari proses Becher adalah Leaching . Pada tahap ini dilakukan variasi waktu leaching dan konsentrasi asam sulfat (H 2SO4). Variasi waktu leaching yang yang digunakan adalah 2, 4 dan 6 jam. Sedangkan untuk variasi kadar asam sulfat yang digunakan adalah 5%, 10% dan 20%. Hasil padatan kemudian dilakukan proses pencucian menggunakan aquades agar sifat asam hilang. Kemudian tahapan terakhir adalah pengeringan. Penelitian ini menggunakan pengujian-pengujian sebagai indikator keberhasilan, antara lain adalah X Ray Fluorosence (XRF), X-Ray (XRF), X-Ray Diffraction (XRD), dan Atomic dan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). (AAS). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakterisasi Sampel Awal Proses identifikasi senyawa yang terkandung dalam ilmenite ilmenite dilakukan analisa XRD. Hasil pengujian XRD pada sampel awal menggunakan
232
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
software Match, Match, berikut ditunjukkan pada gambar 5
hasil
analisa
yang
(Fe2TiO5) ditunjukan pada persamaan reaksi (2). Senyawa yang terbentuk pada roasting oksidasi dibuktikan pada pengujian XRD, yang ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 5 Hasil XRD Sampel Awal Hasil identifikasi menunjukkan bahwa ada beberapa peak yang muncul. Diantaranya adalah senyawa ilmenite ilmenite (FeTiO3) dan zirkon (ZrSiO 4). Untuk mengetahui berapa kandungan atau jumlah kadar untuk setiap unsur dilakukan pengujian XRF. Data hasil pengujian XRF ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil Analisa Analisa XRF sampel sampel awal ilmenite (FeTiO3) kadar Unsur unsur (%) Si 4,4 P 0,4 S 2,43 Ca 0,33 Zn 0,08 Ti 34,33 V 0,28 Cr 1,95 Mn 1,65 Fe 37,77 Ni 1,6 Cu 0,5 Others 14,28
Gambar 6 Hasil XRD Ilmenite XRD Ilmenite Oksidasi Oksidasi Gambar 6 menunjukkan hasil analisa XRD pada pasir ilmenite ilmenite yang telah dioksidasi. Terlihat bahwa ilmenite telah terdekomposisi menjadi senyawa pseudobrookite senyawa pseudobrookite (Fe (Fe2TiO5), meskipun masih terdapat senyawa ilmenite yang ilmenite yang belum berubah atau terdekomposisi secara sempurna, diduga karena waktu pemanasan pada proses oksida yang kurang, sehingga mengakibatkan masih terdapat senyawa ilmenite yang ilmenite yang terbentuk. Setelah terbentuknya Pseudobrookite dilakukan proses reduksi untuk memudahkan pembentukan senyawa besi oksida (Fe 2O3) pada proses aerasi yang nantinya pada proses leaching, besi oksida mudah larut. [16] Reaksi roasting reduksi reduksi ditunjukkan pada persamaan reaksi (2). Hasil XRD ilmenite reduksi ilmenite reduksi ditunjukkan pada Gambar 7.
Dari hasil pengujian XRF pada sampel awal diperoleh jumlah kadar di setiap unsur. Pada tabel 2 menunjukan unsur-unsur dominan seperti titanium (Ti), besi (Fe) dan zirkon (Zn), sisanya merupakan unsur-unsur minoritas. Dari hasil diatas maka dapat diketahui sampel awal tersebut memliki kandungan Ti sekitar 34,33% dan Fe sekitar 37,77%. Hasil dari kedua karakterisasi tersebut menunjukkan adanya kandungan titanium pada pasir ilmenite ilmenite sehingga cocok untuk dilakukan ekstraksi. 3.2 Hasil Roasting Ilmenite (Oksidasi dan Reduksi) Tujuan dilakukan roasting oksidasi untuk mendekomposisikan senyawa ilmenite menghasilkan senyawa Pseudobrookite (Fe2TiO5). Perubahan fasa ilmenite ilmenite menjadi Pseudobrookite Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 7 Hasil XRD Ilmenite XRD Ilmenite Reduksi Reduksi 3.3 Hasil dari proses Aerasi Pemberian 1% NH 4Cl dapat meningkatkan laju pembentukan oksida oksida besi, sehingga sehingga Fe akan bereaksi bereaksi
233
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
menjadi besi oksida (Fe 2O3) yang nantinya akan di leaching oleh asam sulfat sehingga Fe 2O3 akan hilang karena bereaksi menghasilkan Fe 2(SO4)3.[11] Hasil aerasi dilakukan analisa XRD untuk melihat senyawa yang terbentuk, hasil analisa XRD aerasi ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar 8.
[10]. Hasil dari endapan kemudian dilakukan pengujian XRF untuk mengetahui kadar TiO 2. Hasil XRF endapan AAS filtrat sampel akhir ditunjukan pada Tabel 3 Tabel 3. Kadar TiO 2 Pada Endapan Konsentrasi Asam Sulfat
t (jam)
Kadar TiO2 (%)
2 4 6 2 4 6 2 4 6
47,25 49,35 52,24 49,09 51,00 53,77 50,90 51,52 55,17
5%
10%
20%
Gambar 8 Hasil XRD Ilmenite Aerasi Ilmenite Aerasi Gambar 8 menunjukkan bahwa senyawa yang terbentuk didominasi oleh hematite dan hematite dan rutile. rutile. Hal tersebut menunjukan bahwa proses aerasi berjalan dengan baik, sehingga pada proses leaching dapat berjalan sesuai yang diharapkan, dimana besi oksida larut dengan asam sulfat. Meskipun pada hasil XRD menunjukan masih terdapat senyawa ilmenite ilmenite yang terbentuk, dikarenakan pada proses pemanasan kurang sempurna sehingga tidak terdekomposisinya ilmenite ilmenite menjadi Fe 2O3 dan TiO2. 3.4 Hasil dari proses leaching Asam Sulfat (H 2SO4 ) Setelah sampel dilakukan proses roasting, dan proses aerasi kemudian dilanjutkan dengan proses pelarutan ( Leaching ) menggunakan asam sulfat (H2SO4) dengan variasi konsentrasi 5%, 10% dan 20%, serta variasi waktu selama 2, 4 dan 6 jam. Terdapat endapan TiO 2 pada hasil leaching yang ditunjukan pada Gambar Gambar 9.
Gambar 9 Filtrat Fe 2(SO4)3 hasil proses leaching Proses leaching dilakukan pada kondisi dibawah 4 M, maka yang bereaksi dengan asam sulfat adalah besi oksida (Fe 2O3) saja, sedangkan TiO2 tidak ikut bereaksi dan mengendap ke bawah Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Tabel 4. Hasil analisa AAS pada filtrat Fe 2(SO4)3 Konsentrasi Asam Sulfat
t (jam)
Kadar Fe yang larut (ppm)
2 4 6 2 4 6 2 4 6
21454 38567 52376 36870 49597 59277 44490 55156 72680
5%
10%
20%
3.5 Pengaruh Konsentrasi dan Waktu Leaching Terhadap Kadar TiO 2 Waktu proses leaching merupakan parameter yang berpengaruh terhadap perolehan synthetic rutile (TiO2) sehingga dapat bereaksi dengan sempurna dan menghasilkan kandungan TiO2 yang tinggi. Gambar 10 menampilkan pengaruh waktu leaching H2SO4 terhadap kadar TiO2 yang dihasilkan.
) 60 50 % ( 240 O i 30 T r 20 a d10 a K 0
2 Jam 4 Jam 6 Jam 0
5
10
15
20
25
Konsentrasi H2SO4 (%)
Gambar 10. Pengaruh Waktu leaching Terhadap Terhadap Kadar TiO2
234
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 10 menunjukkan bahwa waktu merupakan faktor yang mempengaruhi proses leaching , Pada konsentrasi asam sulfat 20% selama 6 jam memiliki kandungan TiO 2 yang tinggi yaitu 53,36% TiO2. Hal ini disebabkan pelarut membutuhkan waktu untuk dapat bereaksi dengan logam dan membentuk senyawa logam. Semakin lama waktu leaching maka kadar TiO 2 yang dihasilkan akan semakin meningkat, sedangkan kadar pengotor seperti besi oksida akan semakin menurun karena banyak yang larut dalam asam sulfat. Besi oksida mudah larut pada saat proses leaching disebabkan karena pada saat proses roasting oksidasi dan reduksi ilmenite ilmenite terjadi mekanisme difusi. Suhu pemanasan yang tinggi akan mempercepat laju kinetika dan mempercepat proses difusi yang menyebabkan terdekomposisinya senyawa ilmenite ilmenite (FeTiO3) menjadi TiO 2 dan besi oksida dan permukaan besi oksida yang porous memudahkan besi oksida larut dan bereaksi dengan asam sulfat ketika proses leaching berlangsung membentuk Fe 2(SO4)3. Hal tersebut membuktikan bahwa pada konsentrasi 20% telah mencapai kesetimbangan reaksi sehingga TiO 2 tidak larut bersama H 2SO4 dan menyisakan endapan yang kaya akan kandungan TiO2. 3.6 Analisa AAS Pada Filtrat Fe 2(SO4 )3 Pada hasil pengujian AAS terlihat bahwa konsentrasi asam sulfat berpengaruh pada usur Fe yang larut, semakin tinggi konsentrasi asam sulfat maka unsur Fe akan semakin bereaksi dan larut pada saat proses leaching , sehingga tersisa endapan TiO 2 dengan kadar yang tinggi. Gambar 12 yang menampilkan % Fe yang larut pada proses leaching . 8 ) % ( 6 t u r a l 4 g n a y2 e F 0
5% 10% 20% 0
2 4 6 Waktu Leaching (Jam)
8
Gambar 12 Pengaruh Waktu Leaching Waktu Leaching Terhadap Terhadap Unsur Fe Yang Larut Berdasarkan Gambar 12, bahwa larutan Fe2(SO4)3 yang dihasilkan dari proses leaching asam asam sulfat pada proses Becher mempunyai kadar Fe yang meningkat. Semakin tinggi konsentrasi dan lamanya waktu leaching , kadar besi (Fe) semakin banyak yang terlarut. Pada konsentrasi 20% H 2SO4 dengan waktu 6 Jam mempunyai kandungan Fe yang paling Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
tinggi sebesar 72680 ppm atau sekitar 7,27 %. Ini membuktikan bahwa semakin banyak unsur Fe yang larut, berarti semakin banyak pula endapan TiO 2 yang diperoleh. Hasil tersebut menjelaskan bahwa dalam proses leaching, leaching, waktu merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perolehan TiO 2, karena reaksi kimia memerlukan waktu tertentu untuk mencapai hasil reaksi yang sempurna dan apabila waktu yang diberikan terlalu pendek reaksi tidak dapat berlangsung sempurna, demikian pula sebaliknya. 3.7 Hasil Karakterisasi XRD Sampel Akhir Hasil karakterisasi XRD pada sampel akhir dilakukan untuk mendukung hasil analisa XRF yang dapat mengetahui kandungan senyawa pada sampel secara kuantitatif. Berikut hasil XRD pada sampel 20% H2SO4 selama 6 jam yang ditunjukan pada gambar 13.
Gambar 13 Hasil XRD pada sampel 20% H 2SO4 selama 6 jam. Berdasarkan Gambar 13 dapat diamati bahwa terdapat senyawa TiO 2 yang memiliki peak yang tinggi dengan sudut 27,50 o dengan intensitas 1000 berdasarkan database database nomor COD 99-1004703, namun masih terdapat senyawa FeTiO 3 yang terbentuk, dilihat pada gambar 13, senyawa ilmenite masih terbentuk pada sudut 32,59 o dan 35,24 o berdasarkan database database nomor COD 99-100-0927. Hal ini dikarenakan proses pemanasan sampel awal seperti proses oksidasi dan reduksi berjalan kurang baik dan tidak merata, sehingga pada saat proses leaching asam sulfat, unsur besi (Fe) tidak mudah larut karena tidak terdekomposisinya senyawa Fe 2O3 dengan senyawa TiO 2. Dari hasil percobaan menandakan proses ekstraksi titanium dioksida dengan proses Becher menghasilkan titanium dioksida dalam fasa rutile, rutile, walaupun masih terdapat pengotor lain seperti besi oksida.
235
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
4.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Proses Becher dapat meningkatkan kadar TiO 2 dari pasir ilmenite ilmenite (FeTiO3) dengan produk akhir synthetic rutile (TiO2), walaupun masih terdapat pengotor seperti senyawa besi oksida. 2. Waktu leaching dan konsentrasi asam sulfat (H2SO4) mempengaruhi perolehan TiO 2, semakin lama waktu leaching dan semakin tinggi konsentrasi asam sulfat dapat meningkatkan perolehan senyawa TiO 2 dan menurunkan senyawa besi oksida, karena semakin banyak unsur Fe yang terlarut dan senyawa TiO 2 yang mengendap. 3. Kadar TiO2 yang tertinggi berada pada 20% H2SO4 selama 6 jam dengan perolehan 53,36%. 4. Hasil AAS menunjukkan bahwa filtrat Fe2(SO4)3 pada 20% H 2SO4 selama 6 jam mempunyai kadar Fe yang terlarut sebesar 72680 ppm atau 7,27%.
Daftar Pustaka [1]. Armin,T. 2013. The Indonesian Titanium Deposity Type And Their Resources: The Aspect For Titanium Comodity Development . Pusat Sumber Daya Geologi : Bandung. [2]. E.A, Walpole and J.D.Winter. 2002. The Austpac ERMS and EARS Processes for the Manufacture of High-Grade Synthetic Synthetic Rutile by the Hydrochloric Acid Leaching of Ilmenite. Austpac Resources N.L : Ausralia. [3]. Habashi,F. 1997. Handbook Of Extractive Metallurgy Vol.2 : Primary Metals. Metals. WILEYVCH : New York. [4]. R.Subagja, 2010, Recovery TiO 2 Dari Larutan TiO(SO4 ) Hasil Has il Proses Pros es Ekstraksi Bijih Ilmenit I lmenit Bangka. Bangka. LIPI Metalurgi : Serpong [5]. N.C.Wilson, et al, 2005, Structure and properties of ilmenite from first principles, principles, The American Physical Society : Australia. [6]. www.tttmetalpowder.com [diakses 15.00/29/1/2014/] [7]. W,Zhang. 2011. A 2011. A literature review of titanium metallurgical processes. Journal 108,hal177 Hydrometallurgy.Volume: Hydrometallurgy.Volume: 188. 188.www.elsevier.com/locate/ hydromet. Januari 2014. [8]. Marinovich,Y. 1997. Some Electrochemical Aspects of the Becher Process. Process. This thesis is presented for the degree of Doctor of Philosophy of Murdoch University: University: Western Australia. [9]. C.B, Ward.1990. The Production of Synthetic Rutile and By-Product Iron Oxide Pigments From Ilmenite Processing. School Of Mathematical and Physical Science Murdoch University : Western Australia. Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
[10].
Zhang, Li. et all, 2011, Hydrochloric acid leaching behavior of different treated Panxi ilmenite concentrations , concentrations, Journal Hydrometallurgy. Volume : 107, hal 40-47. www.elsevier.com/ locate/hydromet. Desember 2013 [11]. Jayasekera, Sunil, et all. 1995. Pressure leaching of reduced ilmeniite: electrochemical aspects . aspects. Journal Hydrometallurgy. Volume : 39, hal 183-199. www.elsevier.com/locate/ hydromet. Januari 2014. [12]. Geetha, K.S, and Surender, G.D. 2000. Experimental and modelling studies on the aeration leaching process for metallic iron removal in the manufacture of synthetic rutile. rutile. Journal Hydrometallurgy. Hydrometallurgy. Volume : 56. Hal : 41-62. www.elsevier.com/locate/ hydromet. Januari 2014. [13]. Noubactep,C. 2009. Metallic iron for environmental remediation: Learning from the Becher process. process . Journal of Hazardous Materials. Materials. Volume : 168, hal 1609-1612. www.elsevier.com/locate/jhazmat.. www.elsevier.com/locate/jhazmat Desember 2013
236
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Sifat Mekanis Beton Geopolimer dengan Agregat Limbah Beton Semen Portland Sotya Astutiningsih 1, Henki W. Ashadi 2, dan Daniel A. Hartanto2 1. Universitas Indonesia, Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Depok 16424, Indonesia 2. Universitas Indonesia, Departemen Teknik Sipil, Depok 16424, Indonesia
[email protected]
Abstract Recycled Recycled aggregates aggregates from concrete concrete waste has been utilized in conventional conventional Portland Portland cement concrete. concrete. This paper presents presents the mechanical mechanical properties properties of geopolymer geopolymer concrete using recycled recycled aggregates aggregates from Portland cement concrete waste. The American Concrete Institute mix design for ordinary concrete was applied for the composition of geopolymer cement paste and aggregates. The geopolymer paste was synthesized using fly ash and sodium silicate silicate solution. solution. Specimens Specimens for compression, compression, tension and flexural flexural test were made according to ASTM standard. The geopolymer concrete produced showed that its mechanical properties were superior than, its counterpart, the ordinary Portland cement concrete. With an optimum compressive strength of 450 kg/cm2, that can be achieved in just 6 days, and a tension to compressive compressive strength strength ratio of more than ¼, geopolymer geopolymer concrete concrete showed showed a big potential potential for applications applications in in structural structural building building materials materials.. Keywords concrete, waste, aggregate, geopolymer, mix design
1.
Pendahuluan Walaupun Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, termasuk batu-batu agregat, tetap diperlukan suatu cara untuk menghematnya. Seperti pada rehabilitasi maupun pembongkaran gedung akan didapatkan limbah beton semen dalam jumlah yang cukup banyak yang untuk membuangnya saja memerlukan biaya yang cukup besar. Pemanfaatan limbah tersebut untuk dijadikan bahan bangunan kembali merupakan salah satu cara untuk menekan biaya pembuatan beton [1]. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pembuatan beton geopolimer yang ramah lingkungan yang akan dibuat memakai bahan dasar sisa beton semen. Geopolimer berpotensi untuk menggantikan semen Portland [2]. Geopolimer merupakan senyawa alkali aluminosilikat yang dibuat dengan mencampur bahan dasar (prekursor) yang kaya akan silika (SiO 2) dan alumina (Al 2O3) dengan larutan alkali silikat sebagai aktivator. Proses geopolimerisasi merupakan pelarutan pekursor yang berupa serbuk oleh aktivator sehingga menjadi semacam pasta (seperti halnya semen bila dicampur dengan air) yang kemudian dikeraskan pada suhu antara suhu ruang sampai maksimum 80◦C [3]. Gepolimer memiliki kelebihan dibanding semen Portland pada sifatnya yang tahan panas (s/d 800◦C) dan tahan asam [4-7]. Penelitian ini dibatasi pada aplikasi dari beton geopolimer berbahan dasar sisa beton semen hasil pengujian kuat tekan beton, kuat tarik ,dan kuat tarik lentur beton di Laboratorium Bahan
Departemen Teknik Sipil FTUI, dengan material pengikat geopolimer berbahan baku abu terbang ( fly ash) ash) yang diaktifkan dengan larutan natrium silikat, 2.
Metode Karena sampai saat ini belum terdapat standar mengenai desain campuran ( mix design) design) beton geopolimer, maka untuk mencapai target kuat tekan beton polimer tertentu, peran pasta semen pada beton semen diganti dengan material geopolimer. Fly Fly ash ash yang dipakai pada penelitian ini diperoleh dari PT Indocement Tbk. X-Ray Flourescence (XRF) Flourescence (XRF) dan X-Ray Difraction (XRD) Difraction (XRD) dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia serta kristalinitas fly kristalinitas fly ash. ash. Limbah beton semen yang akan digunakan ditumbuk dan disaring. Hasil saringan yang lolos saringan no 4 akan digunakan sebagai agregat halus. Agregat limbah ini dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan kadar organik ataupun material perusak yang terkandung pada agregat dan kemudian dilakukan perhitungan specific gravity. gravity. Hasil saringan yang tidak lolos saringan no 4 akan digunakan sebagai agregat kasar. Setelah agregat kasar ini dicuci bersih, dilakukan penentuan kadar air agregat, specific gravity dan gravity dan nilai absorpsi agregat kasar. Desain campuran dari beton geopolimer dilakukan pada dua tahap. Tahap pertama adalah membuat sampel material geopolimer yang memiliki kekuatan dan kemampuan mengikat yang cukup. Pada tahap ini dibuat sampel material
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 237
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
geopolimer dengan ukuran kecil. Untuk mengetahui komposisi yang tepat dilakukan mengikuti desain yang telah ada sebelumnya dan dimodifikasi campuran secara trial and error , yaitu mengatur komposisi prekursor dengan aktivator alkali. Hasil sampel ini tidak dilakukan uji kuat tekan, uji kuat tarik, uji kuat lentur dan komposisi yang dihasilkan tidak akan dicatat dalam tulisan ini. Setelah mendapatkan komposisi material geopolimer yang tepat, komposisi tersebut akan terus digunakan untuk desain campuran tahap dua. Desain campuran tahap dua adalah proses desain komposisi material geopolimer dengan mineral agregat dan air (komposisi matriks-inklusi). sesuai mix desain unutuk beton semen dengan kuat tekan fc’ = 35 Mpa. Pengujian yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kuat tekan, uji kuat tarik ( direct tension) tension) dan uji kuat lentur ( flexural ( flexural strengh). Pada pengujian kuat tekan digunakan benda uji kubus didasarkan pada ASTM Designation: C 39 – 39 – 94 94 tahun 1996 (Standard (Standard Test Method for Compressive Strength of Cylindrical Concrete Specimens). Specimens ). Hasil benda uji kubus akan dikonversi ke dalam silinder. Untuk tes tarik, dibuat dua buah sampel angka delapan yang terbuat dari beton geopolimer tanpa kandungan agregat, yaitu hanya material geopolimer. Komposisi dari material geopolimer adalah komposisi yang sama dengan komposisi yang digunakan untuk desain tahap kedua. Tes ini menggunakan sampel angka delapan, kemudian ditempatkan pada tempat yang menyerupai angka delapan yang besar dan ditarik dengan mesin direct tensión tensión sehingga diperoleh nilai kuat tariknya. Tes lentur dilakukan dengan memberikan beban terpusat pada balok berukuran 150 x 150 x 550 mm, sesuai dengan ASTM Designation: C 239 – 94 tahun 1996 untuk pengetesan terhadap material beton,
baku. Fasa amorf secara termodinamika lebih reaktif daripada fasa kristalin, sehingga diharapkan fasa amorf ini akan terlarut sempurna bila diberi aktivator. Gambar 1 menunjukkan pola difraksi sinar-x dari abu terbang. Terlihat bahwa material ini merupakan campuran antara fasa amorf dan kristal mullite (Al 6Si2O13) dan kuarsa (SiO2), namun demikian dengan teknik difraksi sinar-x ini tidak dapat diketahui rumus kimia senyawa amorf yang terbentuk serta kuantitas dari masing – masing – masing masing senyawa. Tabel 1. Komposisi kimia abu dasar (hasil pengujian fluoresensi sinar-X) Chemical Wt. (%) Formula Sample 1 Sample 2 SiO2
54.67
54.31
Al2O3
29.93
29.78
FeO CaO
5.87
6.45
5.1665
5.12
MgO
1.54
1.53
Tabel 2. Rasio molar campuran geopolimer Atom/senyawa
Rasio molar
Na / Al
1.0443
Si / Al
2.3694
H2O / Na 2O
9.7719
SiO2 / Na2O
1.5691
150
s a t i s n e t n i
100
50
0 20
3.
Hasil dan Pembahasan Tabel 1. memuat komposisi kimia fly ash yang analisanya dilakukan dengan X-Ray Fluorescence. Fluorescence. Berdasarkan hasil pengujian diatas, fly ash ash memiliki kandungan silika (~54%) dan alumina (~30%) yang dominan sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku geopolimer. Berdasarkan kandungan alumina dan silika ini, dilakukan perhitungan agar diperoleh konsentrasi aktivator yang optimum yang dapat melarutkan bahan baku ini. Tabel 2 memuat rasio molar campuran abu dasar dan aktivator yaitu larutan sodium silikat yang dipakai pada penelitian ini. Pengujian difraksi sinar-x pada bahan baku ini bertujuan mengetahui fasa yang ada pada bahan
30
40
50
60
70
80
90
sudut 2 theta
Gambar 1. Pola difraksi sinar-x dari abu terbang. Tabel 3 memuat nilai uji tekan dari sampel geopolimer yang diukur pada hari ke-3, 4 dan ke7. Terlihat bahwa beton geopolimer dapat mencapai kekuatan melebihi kekuatan desainnya pada hari ke-5, jauh lebih cepat dibandingkan beton konvensional yang baru mencapai kuat tekan optimumnya pada hari ke-28.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 238
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Tabel 3. Kuat Tekan beton No
Umur [Hari]
1 2
3
3 4 5 6 7
4
8 9 10 11
5
Gaya Luas [Kg] [cm2] 8100 78.5 13750 78.5 Tegangan rata-rata 61000 176.625 61500 176.625 62000 176.625 62500 176.625 63000 176.625 Tegangan rata-rata 94500 225 81000 225 110250 225 120000 225 Tegangan rata-rata
4.
Tegangan [Kg/cm2] 103.1847 175.1592 163 345.3645 348.1953 351.0262 353.857 356.6879 351 420 360 490 533.3333 450
Besar kuat tarik yang yang didapat pada pada benda uji uji adalah sebesar 108kgcm2 pada pengujian hari ke6 untuk campuran dengan kuat tekan 56kg/cm2, seperti tertera pada Tabel 4. Berbeda dengan kuat tarik pada beton portland yang pada umumnya memiliki kuat tarik sebesar 1/10 dari kuat tekanya, beton geopolimer memiliki kuat tarik hampir 1/4 dari kuat tekannya. Karakter beton geopolimer yang memiliki rasio kuat tarik terhadap kuat tekan yang jauh lebih besar disebabkan oleh karakter matrerial pengikatnya yakni geopolimer. Tabel 4. Kuat tarik pasta No sampel 1
Umur (hari) 6
Tegangan Standard Tegangan (kg/cm2) deviasi rata-rata 108.027 1.667 108.053
2
106.400
3
109.733
Pengujian kuat tarik lentur dilakukan hanya dengan satu benda uji tanpa tulangan. Hasil pengujian, seperti ditampilkan pada Tabel 5, menunjukkan bahwa beton geopolimer tidak sesuai dengan hipotesa awal, yaitu kekuatan tarik ¼ dari kuat tekannya, maka beton geopolimer ini memiliki karakteristik yang sebanding dengan beton semen, yang memiliki kekuatan tarik seperdelapan sampai seperduabelas kekuatan tekannya. Tabel 5. Kuat lentur beton No 1
Umur [hari] 4
W [cm3] 562.5
M [kg.cm] 25593.75
Tegangan [kg/cm2] 45.5
Kesimpulan Beton geopolimer memiliki karakteristik yang sama seperti beton semen yaitu memiliki kekuatan tekan yang besar, sebesar 450 kg/cm 2, dan kekuatan tarik dan fleksural yang lebih rendah, sebesar 10,8 dan 4,55 kg/cm 2. Namun demikian, kekuatan tekan yang dicapai oleh geopolimer secara signifikan lebih tinggi dari beton semen biasa. Pada umumnya, nilai kuat tarik pada semen / beton biasa adalah 1/10 dari kuat tekannya, pasta geopolimer memiliki rasio kuat tarik dibanding kuat tekan yang jauh lebih besar yaitu hampir 1/4 . Lebih dari itu, kekuatan optimum pada beton geopolimer sudah dapat dicapai pada hari ke-5, dimana beton biasa baru mencapai kekuatan optimumnya pada hari ke-28. Kekuatan optimum beton geopolimer yang diperoleh, yaitu sebesar 450 kg/cm2 , lebih dari 45 MPa, melebihi rancangan campuran (mix design) yang dirancang untuk kekuatan sebesar 35 Mpa. Dibutuhkan metode desain campuran untuk beton geopolimer, dimana metode tersebut memperhitungkan karakteristik geopolimer seperti daya ikat dan kuat tekan.. Beton geopolimer dengan menggunakan limbah beton semen dapat mencapai kuat tekan yang sangat besar yang menandakan beton geopolimer potensial untuk dijadikan beton struktural.
Daftar Pustaka [1] Akash Rao, Kumar N Jha and Sudhir Misra, 2007, Use of Aggregates from Recycled Construction and Demolition Waste in Concrete, Concrete, Resources, Conservation and Recycling, Vol 50(1), pp. 71-81 [2]. Sofi, M., J.S.J. van Deventer, P.A. Mendis and G.C. Lukey.,2007, “ Engineering Properties of Inorganic Polymer Concretes (IPCs) ,” Cement and Concrete Research. Vol. 37, pp. 251-257. [3]. Davidovits, J., 2008, Geopolymer: Chemistry and Applications, Applications , first edition, Institut Geopolymer, France, pp, 3-4. [4]. Astutiningsih, S., Nurjaya, D.M., Ashadi, H.W.A. and Swastika, N., 2010, Durability 2010, Durability of Geopolymer Concrete upon Seawater Exposure, Exposure, Advances in Science and Technology 69, pp. 92-96. [5]. Bakharev T., 2004, Resistance of Geopolymer to Acid Attack , Cement and Concrete Research Vol. 35(4), pp. 658670. [6] Reddy, D.V., Edouard, J.B., Sobhan, K. and Tipnis, A., 2011, Experimental Evaluation of the Durability of Fly Ashbased geopolymer Concrete in the Marine Environment , 9th latin American &
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 239
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
[7].
Caribbean Conference, Medellin, Colombia, August 3-5, pp. WE1-1-WE110. Sotya Astutiningsih1, Yulianto Sulistyo Nugroho2, Shankar M.L. Sastry3 and Dwi Marta Nurjaya1, 2014, Effect of Heat Exposure on the Flexural Strength of Reinforced Carbon and Glass Fibers Geopolymer Matrix Composites, Composites , Ceramic Transactions vol 248, pp.219-225.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 240
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM M VI I I ) Yogyakar ta, 5 November November
E Bahan Maju
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 241
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Ketahanan aus paduan Co-Cr-Mo untuk aplikasi biomedis pada cairan tubuh simulasi. Alfirano, Dizzy Agni, Alfan G. Sauri, Suryana, Anistasia Milandia. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Teknik Metalurgi, Cilegon, 42435, Indonesia
[email protected]
Abstract Pin-on-disk wear tests using biomedical Co-Cr-Mo alloy pins and alumina disks were were conducted in 1% lactic acid solutions. The mass loss and elution of metallic ions were were measured and the surface of the pin was observed after the wear test. Mass loss of the solution-treated pin in 1% lactic acid solution was higher than the mass loss of nontreated and aged pins. The solution-treated pins also exhibited higher mass loss and higher total amount of eluted ions than as-cast and aged pins. The Si, Mn and Ni ion content in 1% lactic acid solution increased in the heattreated alloys, both for solution-treated and aged alloys, based on the chemical composition of the alloy. The amount of elute ion of Cr, Co and Mo is highest in the alloys with smallest content of precipitates, since these precipitates contributed to increased wear resistance of alloys. Keywords Co-Cr-Mo, wear resistance, pin-on-disk, precipitate, mass loss, eluted ion.
1. Pendahuluan Paduan Co-Cr-Mo ASTM F75 merupakan paduan yang diproduksi dengan metode investment casting. Paduan ini banyak digunakan untuk aplikasi implan medis karena memiliki keunggulan antara lain ketahanan aus yang baik. Seperti diketahui, paduan Co-Cr-Mo F75 hasil pengecoran memiliki sejumlah presipitat yang tersebar di dalam matriks. Sifat ketahanan aus paduan coran Co-Cr-Mo sangat dipengaruhi oleh jumlah, jenis fasa, ukuran dan distribusi presipitat presipitat di dalam matriks Co [1-3]. Berdasarkan literatur, kandungan presipitat yang tinggi dapat mengakibatkan penurunan ketahanan aus [4]. Dari hasil penelitian, ditemukan sejumlah partikel yang berasal dari butiran presipitat yang terdegradasi dari logam [4]. Larutnya sejumlah presipitat yang berasal dari degradasi material implan di dalam tubuh, dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Dalam penelitian sebelumnya, penambahan karbon, silicon dan mangan pada paduan ASTM F75 dapat menentukan fasa-fasa presipitat yang terbentuk selama proses perlakuan panas [5-12]. Untuk meningkatkan sifat-sifat paduan coran Co-Cr-Mo terutama ketahanan aus, dilakukan antara lain dengan mengatur level presipitat (fasa karbida, nitrida dan intermetalik) yang tersebar di dalam matriks Co melalui proses perlakuan panas solution treatment treatment dan aging. 2. Metode 2.1 Spesimen Dalam penelitian ini menggunakan spesimen standard ASTM F75 dalam bentuk ingot dengan komposisi kimia 63,55% Co – 28% 28% Cr – 6% 6% Mo – 0,25% 0,25% C – 0,8% 0,8% S – 0,8% 0,8% Mn – 0,4% 0,4% Fe – 0,2% 0,2% Ni. (persen berat). Sampel yang telah dipreparasi
kemudian dilakukan perlakuan panas dengan tujuan melarutkan presipitat karbon yang terkandung dalam paduan. paduan. Perlakuan Perlakuan panas dilakukan dilakukan dengan proses Solution Treatment (ST) (ST) dan Aging. Temperatur perlakuan sampel pada proses ST yaitu 1250 oC yang dilakukan selama 6 jam. Sedangkan Aging pada temperatur 500 oC dengan waktu tahan masing-masing 6 jamm setelah sebelumnya dilakukan proses pemasanan untuk melarutkan presipitat pada temperatur 1250 oC selama 12 jam. 2.2 Uji ketahanan aus Pin-On-Disk Spesimen yang telah dilakukan perlakuan panas kemudian kemudian di preparasi preparasi kembali. kembali. Berdasarkan Berdasarkan Japan Industrial Standards (JIS) T0303 sampel dibubut menggunakan mesin bubut dengan dimensi ukuran ϕ5 mm x 40 mm, R a ˂ 0.05 sebagai pin dan Al2O3 (99.9%, CRA3846-0, KYOCERA, Kyoto, Japan) dengan dimensi ukuran ϕ 40 mm x 5 mm, R a ˂ 0.05 sebagai disk. Spesimen yang telah di bubut kemudian dilakukan polishing dengan menggunakan micropolish alumina lalu dibersihkan dengan ultrasonic cleaned . Selanjutnya spesimen tersebut dilakukan pengujian ketahanan aus pada cairan tubuh simulasi 1% asam laktat ( pH = 2,3 ) yang digunakan sebagai pelumas dipertahankan pada suhu 37 oC. Kecepatan sliding Kecepatan sliding sebesar sebesar 16 rpm (25 mm/s) selama 259.2 ks atau 3 hari setiap masing-masing spesimen. Pin diberikan pembebanan 1.0 kgf yang setara dengan 166 MPa berdasarkan teori perhitungan Hertzian Contact Stress, yaitu beban yang dapat diterima oleh tulang panggul atau lutut orang dewasa. Setelah pengujian ketahanan aus, pin dibersihkan dengan etanol dan aqudes, dan kemudian ditimbang untuk mengevaluasi massa yang hilang. permukaan pin diamati diamati dengan SEM. Logam konsentrasi konsentrasi ion
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 242
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
dalam filtrat yang kuantitatif ditentukan menggunakan Inductively Coupled Plasma Mass Spectroscopy (ICP-MS). Sedangkan fasa presipitat ditentukan dengan menggunakan X-Ray Difraction (XRD) dengan range 2 adalah 35o – 55 55o. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil pengamatan morfologi permukaan paduan coran Co-Cr-Mo-C Co-Cr -Mo-C dengan unsur pemadu pemad u Si, Mn, Fe, Ni dan dengan variasi pemanasan yang berbeda dalam perlakuan perlak uan panas dilakukan dilak ukan untuk mengetahui distribusi presipitat.
Gambar 1. Hasil foto mikroskop optik (100 kali pembesaran),(a) As-cast pembesaran),(a) As-cast , (b) Solution Treatment dan (c) Aging (c) Aging
Gambar 2 Hasil XRD Fasa Presipitat pada AsCast , Solution Treatment , dan Aging dan Aging Paduan Paduan Co-Cr-Mo-C
Gambar 3 Massa pin yang hilang setelah pengujian ketahanan aus.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik, diperlihatkan pada Gambar 1 yang menunjukkan fasa presipitat yang terdapat pada paduan pad uan coran cor an tersebut. ter sebut. Pada Gambar 1a-1c menunjukkan struktur mikro dari as-cast, ST dan aging paduan Co-Cr-Mo-C. Gambar 1b memperlihatkan bahwa solution treatment menyebabkan jumlah presipitat menjadi sedikit hal ini disebabkan karena presipitat larut sebagian ke dalam matriks. Sedangkan pada Gambar 1c sampel Co-Cr-Mo yang dilakukan perlakuan perlak uan panas pada temperatur temper atur 500 oC dengan waktu tahan 6 jam dapat meningkatkan jumlah presip itat yang terbentuk. terben tuk. Sampel dengan denga n kandungan karbon yang tinggi menyebabkan tingkat kelarutan presipitat yang semakin rendah, hal tersebut dikarenakan fasa M 23X6 (M: unsur logam, X: karbon dan/atau nitrogen) terbentuk karena adanya karbon dalam paduan yang menyebabkan presipitat yang terbentuk lebih sulit terlarut, dengan kata lain jumlah presipitat yang semakin tinggi mengakibatkan laju pelarutan yang semakin rendah [8,9]. Distribusi fasa presipitat akan semakin meningkat seiring meningkatnya kadar karbon dalam paduan Co-Cr-Mo, hal ini disebabkan karena karbon cenderung membentuk fasa presipitat tipe M23 C6 yang merupakan fasa utama dalam paduan Co-Cr-Mo-C. Dalam penelitian ini analisa XRD dilakukan pada presipitat dari hasil proses electrolytical extraction. extraction . Pada Gambar 2 ditampilkan grafik XRD dari sampel logam paduan Co-Cr-Mo. Presipitat yang terdeteksi adalah fasa M 23X6 yang merupakan fasa utama di semua specimen [10]. Logam paduan berbasis kobalt tentu tidak terlepas dari pengaruh unsur-unsur paduannya seperti Mn, Si, Ni, dan Fe. Penambahan Si akan mendorong pembentukan presipitat [8]. Hal tersebut dikarenakan dalam perlakuan panas Si berperan meningkatkan aktivitas termodinamika karbon. Sedangkan penambahan Mn akan menurunkan pembentukan presipitat, karena Mn dapat menurunkan aktivitas karbon, sehingga penambahan Mn dapat berpengaruh dalam peningkatan laju kelarutan presipitat pada saat proses solution proses solution treatment . Hasil perhitungan jumlah kadar masa hilang dan elusi pada ion terlihat pada Gambar 3 dan Gambar 4. Dari gambar terlihat bahwa perlakuan panas dapat meningkatkan kadar unsur Si, Mn, Ni yang larut akibat pengujian keausan. Unsur Si mudah sekali bersenyawa dan membentuk ikatan kimia menjadi senyawa presipitat. Terjadinya peningkatan jumlah elusi pada unsur Si, Mn, Ni secara signifikan disebabkan pada proses perlakuan panas, solution treatment dan aging. Hal ini diduga pada proses perlakuan panas, unsur-unsur secara merata telah terdistribusi ke dalam matriks. Akibat pengujian aus, unsur Si, Mn dan Ni terelusi dari matriks Co. Di lain pihak, semakin tinggi jumlah presipitat, semakin
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 243
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
besar kecil jumlah Cr pada matriks Co karena Cr merupakan unsur pembentuk fasa M 23X6 [8]. Dengan kata lain, paduan dengan jumlah presipitat yang lebih sedikit, Cr yang larut akan semakin tinggi jumlahnya.
Gambar 4. Jumlah ion Co, Cr, Mo, Si, Mn and Ni yang terelusi dari pin pada uji ketahanan aus.
Gambar 5. Hasil foto SEM pada sampel as cast setelah uji ketahanan aus.
Gambar Gambar 6. Total Total umlah umlah enda enda an an terelu terelusi si
Pada sampel as-cast jumlah elusi unsur pemadu seperti Si, Mn, dan Ni mempunyai nilai paling rendah, r endah, hal ini diakibatkan karena kontribusi presipitat terhadap ketahanan aus pada temperatur tinggi mempengaruhi jumlah elusi pada setiap unsur pemadu. Jika dilihat dilihat pada sampel ST dan aging aging sangat mempengaruhi nilai ketahanan aus, semakin banyak jumlah presipitat maka ketahanan ketahanan aus meningkat. Fasa utama pada paduan Co-Cr-Mo adalah M23X6, fasa ini mengandung Si, Mn dan Ni hal ini yang memungkinkan meningkatnya jumlah elusi unsur pemadu meningkat secara signifikan karena cacat biasa terjadi pada daerah batas butir M 23X6. Bilamana konsentrasi atom Cr pada presipitat bertambah, hal ini mengakibatkan jumlah atom Cr disekitar daerah presipitat berkurang, sehingga daerah tersebut relatif mudah terjadi cacat atau terelusi [13]. Perlakuan panas dapat mempengaruhi tingkat ketahanan aus dari suatu material. Keausan adalah hilangnya bagian dari permukaan yang saling berinteraksi yang terjadi sebagai hasil gerak relatif pada permukaan material. Dalam bidang biomaterial, lingkungan yang dimaksud adalah fluida darah dan gesekan antara tulang dan material lain. Adapun fluida yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan asam laktat 1%, yang merupakan merupakan simulasi dari tingkat keasaman darah pada saat manusia bergerak. Pada Gambar 5 menunjukan adanya presipitat pada sampel as-cast yang mengalami degradasi akibat pengujian ketahanan aus dengan larutan asam laktat sebesar 1%. Cacat pada presipitat M23X6 terjadi karena ketidakhomogenan unsur pada antar muka presipitat-matriks yang menyebabkan terjadinya beda potensial mengakibatkan keausan [14]. Pada Gambar 6 menunjukan total jumlah endapan yang terelusi pada larutan asam laktat 1%. Dari gambar terlihat bahwa sampel hasil aging memiliki jumlah endapan paling sedikit, yaitu sebesar 525.72 ppm. Hal ini disebabkan adanya kontribusi presipitat hasil aging untuk meningkatkan ketahanan aus. Pada sampel as-cast, presipitat mempunyai ukuran yang relatif lebih besar. Ini memungkinkan terjadinya degradasi presipitat akibat gesekan antara pin dan disk (Gambar 5). Sementara itu pada sampel hasil aging ukuran presipitat sudah berkurang, sehingga kemungkinan degradasi presipitat akan semakin kecil. Ini yang menyebabkan ketahanan aus sampel aging lebih baik dibandingkan dengan dua sampel lainnya. Proses aging mempengaruhi nilai keausan pada material biomedis sehingga perlakuan aging dan karakteristik mekanik ini menjadi penting untuk aplikasi biomaterial, khususnya hip joint karena hip joint implant selain harus biokompatibel terhadap tubuh manusia juga harus tahan terhadap gesekan sehingga tidak terjadi endapan unsur pemadu pada tubuh manusia dan dan dapat memenuhi persyaratan persyaratan yang dibutuhkan untuk diaplikasikan sebagai implan hip joint .
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 244
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
4. Kesimpulan Dari hasil pengujian aus terhadap paduan as-cast, solution-treated solution-treated dan aged 63,55% Co – 28% 28% Cr – 6% 6% Mo – 0,25% 0,25% C – 0,8% 0,8% S – 0,8% 0,8% Mn – 0,4% 0,4% Fe – 0,2% Ni pada larutan 1% asam laktat, dapat ditarik beberapa kesimpulan kesimpulan sebagai sebagai berikut: 1. Proses perlakuan panas aging dapat meningkatkan ketahanan aus pada paduan CoCr-Mo-C yang disebabkan meningkatnya jumlah presipitat. presipitat. 2. Terjadinya peningkatan jumlah unsur Si, Mn dan Ni yang terelusi disebabkan oleh pembentukan presipitat yang tinggi pada sampel yang mengalami perlakuan panas. 3. Total jumlah endapan ion yang terelusi pada pada sampel as-cast, ST dan aging secara berurutan adalah adalah 530.14 ppm, ppm, 545.41 ppm, ppm, dan 525.72 ppm. Daftar Pustaka [1] A. Chiba, N. Nomura and Y. Ono, 2007, Microstructure and mechanical properties of biomedical Co – 29Cr 29Cr – 8Mo 8Mo alloy wire fabricated by a modified melt-spinning process, Acta process, Acta Materialia, Materialia, Vol.55, 2119-2128. [2] Y. Bedolla-Gil and M. A. L. HernandezRodriguez, 2013, Tribological Behavior of a Heat-Treated Cobalt-Based Alloy, Journal of Materials Engineering and Performance, Performance, Vol.22, 541-547. [3] P.V. Muterlle, M. Perina, M. Mantovani and A. Molinari, 2009, Dissolution the ‘the key’ to make carbide more friendly, Metal Powder Report , Vol.64, 30-33. [4] J. Cawley, J.E.P. Metcalf, A.H. Jones, T.J. Band, D.S. Skupien, 2003, A tribological study of cobalt chromium molybdenum alloys used in metal-on-metal resurfacing hip arthroplasty, Wear , Vol.255, 999-1006. [5] T. Narushima, S. Mineta, Y. Kurihara and K. Ueda, 2013, Precipitates in Biomedical Co-Cr Alloys, JOM Alloys, JOM , Vol.65, 489-504. [6] S. Mineta, Mineta, S. Namba, T. Yoneda, K. Ueda Ueda and T. Narushima, 2010, Carbide Formation and Dissolution in Biomedical Co-Cr-Mo Alloys with Different Carbon Contents during Solution Treatment, Metallurgical and Materials Transactions A, A, Vol.41, 2129-2138. [7] T. Narushima, Narushima, Alfirano, S. Mineta, Mineta, S. Namba, T. Yoneda and K. Ueda, 2011, Precipitates in Biomedical Co-Cr-Mo-C-Si-Mn Alloys, Advanced Materials Research, Research, Vol. 277, 5158. [8] Alfirano, S. Mineta, Mineta, S. Namba, T. Yoneda, K. Ueda and T. Narushima, 2011, Precipitates in As-Cast and Heat-Treated ASTM F75 Co-CrMo-C Alloys Containing Si and/or Mn, Metallurgical and Materials Transactions A, Vol.42, 1941-1949.
[9] Alfirano, S. Mineta, S. Namba, Namba, T. Yoneda, K. K. Ueda and T. Narushima, 2012, Precipitates in Biomedical Co-Cr-Mo-C-N-Si-Mn Alloys, Metallurgical and Materials Transactions A, Vol. 43, 2125-2132. [10] S. Mineta, Alfirano, S. Namba, T. Yoneda, K. Ueda and T. Narushima, 2012, Precipitates in Biomedical Co-28Cr-6Mo-(0 – 0.41)C 0.41)C Alloys Heat-Treated at 1473 K to 1623 K (1200 °C to 1350 °C), Metallurgical and Materials Transactions A, A, Vol.43, 3351-3358. [11] S. Mineta, Alfirano, S. Namba, T. Yoneda, K. Ueda and T. Narushima, 2013, Phase and Formation/Dissolution of Precipitates in Biomedical Co-Cr-Mo Alloys with Nitrogen Addition, Metallurgical and Materials Transactions A, A, Vol.44, 494-503. [12] T. Narushima, S. Mineta, Alfirano and K. Ueda, 2012, Interface Oral Health Science 2011, ed. K. Sasaki, (Springer, Berlin, 2012), 7280. [13] Davision, R.M., et al., Corrosion of Stainless Steels, Metals Hanbook, ASM Int., 1990, 9 th edition, V 13, 547. [14] K. Ueda, K Nakaie, Kaori Nakaie, S. Namba, T. Yoneda, K. Ishimizu, T. Narushima, 2013, Mass Loss and Ion Elution of Biomedical CoCrMo Alloys during Pin-on-Disk Wear Tests, Materials Transactions, Transactions, Vol.54, 12811287.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 245
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Pembuatan Scaffold Berbahan Dasar Sutera untuk Aplikasi Rekayasa Jaringan Kulit Untung Ari Wibowo1, Hermawan Judawisastra Judawisastra 1, Regina Giovanni2, Anggraini Barlian2 1
Institut Teknologi Bandung, Teknik Material, Bandung, Bandung, 40132, Indonesia Indonesia 2 Institut Teknologi Bandung, Biologi, Bandung, Bandung, 40132, Indonesia Indonesia Korespondesi penulis: Untu ng Ari Wibowo; e mail:
[email protected] ; telp: +62(22)-250144
Abstract Treatment of chronic wounds with an area more than 50% total body surface area could not be fulfilled with skin grafting techniques. Tissue engineering is introduced to overcome these problems. Scaffold with biocompatible, biodegradable, nontoxic, low immune responses, and high strength material is needed in tissue engineering. Bombyx mori silk fibroin and Nephila sp. spidroin s pidroin was fibrous protein p rotein polymer with good biocompatibility and biodegradability. Silk fibroin and spidroin scaffold was fabricated using solvent casting techniques. Chemical interaction of chitosan in the scaffold was detected by FTIR spectroscopy. Scaffold biocompatibility was measured by water contact angle testing and degree of swelling in water. Scaffold biocompatibility was also examined by in vitro cell adhesion assessment of human dermal fibroblast. Cell to scaffold adhesion was examined by means of Scanning Electron Microscopy (SEM). Silk fibroin and spidroin scaffold is successfully successfully fabricated with good biocompatibility. Spidroin and silk firboin scaffold has water contact angle of 54 o and 52 o and degree of swelling of 53.63% dan 52.02% , respectively. Human dermal fibroblast cells has good cell adhesion and cell spreading to both silk fibroin and spidroin scaffold. This result indicates the potential of the silk fibroin and spidroin as scaffold in tissue engineering applications, particularly in skin tissue engineering. . Keywords: dermal fibroblast, fibroin, kulit, scaffold, spidroin, sutera
1. Pendahuluan
Jumlah korban meninggal dunia akibat luka kronis meningkat setiap tahunnya, utamanya disebabkan oleh luka bakar serius [1]. Menurut data rekam medis Burn Center RSCM, Jakarta, dari 2011-2012 terdapat 203 pasien luka bakar serius, 27,6% diantaranya meninggal dunia [2]. Saat ini salah satu metode yang dianggap ‘ gold standard ’ pada penanganan luka bakar serius adalah skin grafting . Namun skin grafting memiliki keterbatasan donor dan coverage area. area . Bila luas luka lebih dari 50% luas total permukaan kulit maka penanganannya tidak dapat dipenuhi dengan metoda ini [3]. Untuk memenuhi keterbatasan tersebut dibuat jaringan kulit baru dengan mengkultur sel kulit normal melalui teknik rekayasa jaringan (tissue ( tissue engineering) [4]. engineering) [4]. Dalam teknik rekayasa jaringan dibutuhkan material scaffold , yaitu material pendukung sebagai tempat pertumbuhan sel hingga tebentuk jaringan baru. Selama proses rekonstruksi jaringan baru scaffold harus mampu mendukung penempelan sel (cell adhesion), adhesion), pelebaran sel (cell spreading), spreading), dan pertumbuhan sel (cell profileration). profileration). Dalam hal ini material scaffold harus bersifat biokompatibel, biodegradable nontoksik, memiliki respon imun rendah, dan bersifat hidrofilik [5]. Salah satu kelompok material yang memenuhi kriteria tersebut adalah polimer hayati seperti jenis polisakarida polisakarida (e.g.
chitosan, alginate, haluronan), jenis protein (e.g. gelatin, kolagen, fibroin sutera, spidroin) [6]. Sutera ( silk ) merupakan polimer hayati berbentuk serat yang tersusun dari berbagai polipeptida. Sutera dihasilkan oleh beberapa jenis ulat sutera yang disebut fibroin dalam bentuk kokon ulat sutera dan laba-laba yang disebut spidroin dalam bentuk spider bentuk spider web. web. Pada penelitian ini digunakan fibroin dan spidroin sebagai material scaffold karena memiliki kekuatan tinggi (500-972 MPa), respon imun rendah, nontoksik, dan bersifat bikompatibel serta biodegradable [7] biodegradable [7].. Penggunaan spidroin dan firboin diharapkan mampu mendukung pertumbuhan sel selama rekonstruksi jaringa kulit baru. Dengan sifat tersebut di atas, fibroin sendiri telah digunakan secara tradisional sebagai benang jahit medis ( medical suture). suture). Scaffold dibuat dengan teknik solvent casting menggunakan pelarut CaCl 2/asam format seperti dijelaskan sebelumnya [8]. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji biokompatibilitas scaffold yang dipelajari dengan pengujian sifat mampu basah (hydrophilicity ( hydrophilicity)) terhadap air dan kemampuan penempelan sel melalui kultur sel dermal fibroblas manusia. 2. Metode
2.1. Material Kokon ulat sutera grade premium diperoleh dari Padepokan Dayang Sumbi, Bandung. Sutera
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 246
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
laba-laba diambil dari kawasan hutan di Kampus ITB Jatinangor, Sumedang. Etanol, CaCl 2, NaHCO3, asam format (FA), polivinil alkohol (PVA) aquades diperoleh dari Brataco Chemica, Bandung. 2.2. Metode pembuatan Scaffold dibuat dengan metoda solvent casting . Pembuatan scaffold dari fibroin diawali dengan proses degumming, yaitu pembersihan selaput sericin pada kokon dengan memanaskan kokon dalam larutan 0.05wt% NaHCO 3 selama 1 jam, kemudian dikeringkan. Proses degumming tidak dilakukan pada spidroin. Fibroin atau spidroin dilarutkan dalam 8wt% CaCl 2/FA, dihomogenisasi selama 3 jam, kemudian dituangkan pada cetakan. Cetakan diletakkan dalam fume hood untuk menguapkan pelarut selama 24 jam, kemudian dimasukkan etanol 25% untuk membentuk scaffold. Scaffold kemudian direndam dalam aqua DM selama 48 jam untuk menghilangkan CaCl 2. 2.3. Karakterisasi Scaffold Ikatan kimia dalam scaffold dipelajari menggunakan spektrokopi FT-IR dengan mesin Shimadzu IR Prestige21 pada panjang gelombang antara 800-1800 cm -1. Sudut kontak diukur dengan mesin TantecV Contact Angle Meter. Derajat swelling diukur dengan menhitung berat kering scaffold dan berat setelah scaffold direndam dalam air selama 24 jam sesuai dengan persamaan berikut:
(%) =
(−) − )
3. Hasil dan Pembahasan
Hasil spektroskopi FTIR scaffold spidroin dan fibroin ditunjukkan oleh Gambar 3.1. 3.1. Pada spektra (a) terlihat puncak pada panjang gelombang 1622 cm -1 dan 1703 cm-1. Puncak tersebut merupakan puncak regangan gugus gugus C=O Amida I (sruktur β sheet ) dan gugus C=O Amida I (struktur random coil ) yang terdapat pada fibroin. Pada spektra (b) terlihat puncak pada panjang gelombang 1654cm -1 dan 1702 cm-1. Puncak tersebut merupakan regangan gugus C=O Amida I (sruktur β sheet β sheet ) dan gugus C=O Amida I (struktur random coil ). ). Struktur-struktur tersebut merupakan karakteristik asam amino yang terdapat dalam polipeptida pada rantai fibroin dan spidroin. Hasil ini ses uai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa regangan gugus Amida I berada pada panjang gelombang 1600-1700 cm -1 [9].
sheet
helical
is n a br
(a) os b A
× 100
dengan Ws adalah berat scaffold setelah direndam, Wd adalah berat scaffold kering. Selain itu dilakukan pengujian awal penempelan sel (cell adhesion) adhesion ) terhadap sel fibroblas dermis manusia (human ( human dermal fibroblast – hDF hDF ). ). Sel ini merupakan sel yang terdapat pada jaringan ikat pada kulit manusia. Sel fibroblas diambil dari prepusium manusia, kemudian dilakukan kultur primer dan subkultur sehingga didapatkan jumlah sel yang cukup. Selama proses kultur primer dan subkultur, aktivitas sel diamati menggunakan Inverted Light Microscope Microscope (Nikon Eclipse TS100). Sel tersebut ditanam di atas scaffold dalam dish kultur (3 mm, Corning) dengan medium kultur Dulbecco's Modified Eagle Medium (DMEM), 10% Fetal Bovine Serum (FBS), 2mM L-Glutamine, 50 units/ml Penicillin dan 50 g/ml Streptomycin, diinkubasi selama 24 jam dengan temperature 37oC dan saturasi CO 2 maksimum 5%. Penempelan sel pada scaffold diinvestigasi menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dengan mesin JEOL-JSM-6510LV.
(b)
1000
1500
2000 -1
Bilangan Gelombang (cm )
Gambar 3.1 Spektra FTIR scaffold (a) fibroin dan (b) spidroin Hasil pengujian sudut kontak scaffold terhadap air dapat dilihat pada Gambar pada Gambar 3.2. Sudut 3.2. Sudut kontak scaffold spidroin dan fibroin adalah 54 o dan 52o. Dengan nilai tersebut scaffold tergolong dalam material hidrofilik (sudut kontak < 90 o). Untuk aplikasi tissue engineering, sifat hidrofilik spidroin dan fibroin berpotensi mendukung pertumbuhan sel karena sel tumbuh dengan medium yang mengandung sebagian besar air. Penelitian sebelumnya menunjukkan scaffold berbahan dasar sutera memiliki sudut kontak 54 o [10].
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 247
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
memiliki sifat anchorage dependent cell [12]. )
80
o
( el g n
60
A tc at n o
40
C re ta W
20
0
Spidroin
Fibroin
Gambar 3.2 Hasil pengujian sudut kontak scaf fold spidroin dan fibroin Hasil pengujian derajat swelling dapat dilihat pada Gambar pada Gambar 3.3. Derajat 3.3. Derajat swelling spidroin dan fibroin adalah 53.63% dan 52.02% yang menunjukkan scaffold mampu mengikat air hingga persentase tersebut. Kemampuan mengikat air ini menunjukkan bahwa scaffold mudah menyerap air. Hasil ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang menghasilkan derajat swelling scaffold fibroin adalah 50% [11]. 100
Gambar 3.4 Sel dermal fibroblas hasil kultur primer dari prepusium Gambar 3.4. menunjukkan sel fibroblas di dalam dish kultur dalam pada subkultur. Terlihat sel dalam kondisi konfluen atau memenuhi permukaan dasar dish kultur. Dibutuhkan 5 hari untuk membentuk sel dalam kondisi konfluen. Pada tahap ini sel memiliki kepadatan sel yang tinggi sehingga dapat dilakukan penanaman sel (cell seeding ) pada scaffold. Dibutuhkan kepadatan sel minimum pada penanaman sel untuk dish kultur 35 mm sekitar 100.000 sel/cm 2 [12].
) %( g ni w
e
ll 50
S f o e er g e D 0
Spidroin
Fibroin
Gambar 3.3 Hasil pengujian derajat swelling scaffold spidroin dan fibroin Sifat suka air spidroin dan fibroin dikarenakan oleh gugus OH dan gugus NH pada rantai polipeptidanya. Gugus-gugus tersebut mudah mengikat air dengan membentuk ikatan hidrogen dengan air. Berdasarkan hasil pengujian sudut kontak dan derajat swelling menunjukkan bahwa scaffold bersifat hidrofilik sehingga berpotensi untuk aplikasi rekayasa rekayasa jaringan. Gambar 3.4. menunjukkan sel fibroblas dalam dish kultur pada kultur primer selama 24 jam, dilihat dengan mikroskop optik. Terlihat sel fibroblas berbentuk memanjang dengan inti sel di tengahnya. Kondisi ini mengindikasikan sel fibroblas dalam kondisi hidup. Sel ini hanya dapat tumbuh jika dapat menjulurkan lamelapodia pada permukaan dasar dish atau media tumbuh karena
Gambar 3.5 Sel fibroblast dalam kondisi konfluen Hasil pengamatan penempelan sel pada scaffold spidroin dan fibroin dengan SEM dapat dilihat pada Gambar 3.6. Terlihat sel fibroblas menempel pada permukaan scaffold spidroin dan fibroin setelah ditanam selama 24 jam. Sel fibroblas ditunjukkan oleh tanda panah berwarna putih. Hal Hal ini mengindikasika terjadi cell adhesion. adhesion . Bentuk sel yang teramati beragam, ada yang berbentuk bulat dan memanjang. Bentuk bulat menandakan sel dalam aktivitas pasif, yaitu sel baru saja melakukan kontak awal dengan scaffold (early spreading ). ). Hal ini terlihat dari sel mulai menjulurkan sitoplasma pada scaffold meskipun masih berbentuk bulat. Bentuk memanjang menunjukkan aktivitas aktif, yaitu sel menjulurkan sitoplasma pada scaffold dan merubah bentuk sel menjadi memipih. Kondisi merupakan tahapan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 248
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
lanjutan dari kontak awal yang dilakukan sel atau disebut dengan cell spreading [12] [13]. Secara biologis penempelan sel pada scaffold dilakukan melalui focal kontak antara aktin pada sel dan susunan asam amino ArgininGlisin-Asam-aspartat ( RDG sequences) sequences) [12]. Namun, susunan asam amino tersebut tidak dimiliki oleh spidroin dan fibroin dari jenis ulat sutera dan laba-laba yang dipakai pada studi ini [14]. Interaksi sel dengan scaffold dimungkinkan diinisiai oleh gaya elektrostatik antara sel dengan scaffold. Secara umum dinding sel didominasi oleh muatan negatif, sehingga sel dapat menempel pada spidroin dan fibroin yang memiliki muatan positif dari asam amino Lisin, Arginin, dan Histidin [15]. Selain itu aktivitas cell adhesion dan adhesion dan cell spreading sel sel fibroblast ini juga didukung oleh sifat hidrofilik yang dimiliki oleh scaffold spidroin dan fibroin. Sel lebih cenderung menempel pada scaffold bersifat hidrofilik daripada scaffold bersifat hidrofobik. Lebih lanjut lagi, semakin tinggi hidrofilisitas permukaan scaffold maka proliferasi sel akan semakin menurun menurun [16].
lanjut dengan uji proliferasi sel ( proliferation ( proliferation assay). assay). 4. Kesimpulan
Scaffold spidroin dan fibroin telah berhasil dibuat dengan biokompatibilitas yang baik. Scaffold spidroin dan fibroin memiliki sudut kontak 54o dan 52 o, serta derajat swelling 53.63% dan 52.02%, berturut-turut. Sel dermal fibroblas dapat menempel dan menyebar dengan baik. Hasil ini menunjukkan scaffold spidroin dan fibroin berpotensi sebagai scaffold untuk rekayasa jaringan, khususnya untuk jaringan kulit kulit Daftar Pustaka
[1] M. D. Peck, “Epidemiology of burns throughout the world. Part I: Distribution and risk factors,” Burns, vol. 37, pp. 1087-1100, 2011. [2] N. R. Martina dan A. Wardhana, “Mortality Analysis of Adult Burn Patients,” Journal o Plastic Reconstructive, pp. Reconstructive, pp. 96-100, 2013. [3] W. K. M.-S. M.-S. V. M. Loss, “Artificial skin, splitsplit thickness autograft and cultured autologous keratinocytes combined to treat a severe burn injury of 93% of TBSA,” Burns, TBSA,” Burns, vol. 2006, no. 7, p. 644 – 652, 652, 2000. [4] T. B. E. R. Sophie Bo¨ttcher-Haberzeth, “Tissue engineering of skin,” Burns, vol. 36, p. 4 5 0 – 4 4 6 0, 2010.
(a)
[5] C. A. v. Blitterswijk dan A. L. J. H. D. F. W. R. C. J. D. d. B. a. J. S. Peter Thomsen, Tissue Engineering, Canada: Elsevier, 2008. [6] M. Gomes, Gomes, H. Azevedo, P. Malafaya, Malafaya, S. Silva, J. Oliveira, G. Silva, R. Sousa, J. Mano dan R. Reis, “Natural Polymers in tissue engineering applications,” dalam Tissue Engineering , Netherland, Academic Press - Elsevier, 2008, p. 145 – 192. 192. [7] D. L. K. Char u Vepari, “Silk as a biomaterial,” Progrss in Polymer Science, vol. 32, no. 8 – 8 – 9, 9, p. 991 – 1007, 1007, 2007.
(b) Gambar 3.6 Foto SEM sel fibroblas pada scaffold (a) spidroin dan (b) fibroin Hasil pengukuran hidrofilisitas scaffold dan pengamatan interaksi sel pada scaffold ini menunjukkan bahwa scaffold spidroin dan fibroin mampu mendukung cell adhesion dan cell spreading yang berarti pula mendukung pertumbuhan sel fibroblas. Namun, untuk mengetahui secara kuantatif jumlah sel yang tumbuh pada scaffold diperlukan penelitian lebih
[8] U. A. Wibowo dan A. B. Hermawan Judawisastra, “Kajian Awal Pembuatan Scaffold Berbahan Dasar Sutera untuk Aplikasi Rekayasa Jaringan Kulit,” ITB, Bandung, 2015. [9] S. Ling, D. P. K. Z. S. Zeming Qi and X. Chen, "FTIR imaging, a useful method for studying the compatibility of silk fibroin-based polymer blends," Polymer Chemistry, vol. 4, p. 5401, 2013. [10] M. – . T. P. O. S. E. V. C. C. C. ZAHARIA, “Silk fibroin films for tissue bioengineering applications,” JOURNAL OF OPTOELECTRONICS AND ADVANCED
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 249
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
MATERIALS, vol. 14, no. 1-2, pp. 163 - 168, 2012,. [11] H. C. H. I. C. U. Y. H. P. P . HAEYONG KWEON, “Physical Properties of Silk Fibroin/Chitosan Blend Films,” Journal o Applied Polymer Science, vol. 80, p. 928 – 928 – 934, 934, 2001. [12] A. J. J. L. M. R. K. R. P. W. Bruce Alberts, Molecular Biology of the Cell, 5th Edition, Garland Science, 2008. [13] J. L. McGrath, “Cell Spreading: The Power to Simplify,” Current Biology, vol. 17, no. 10, p. R357 – R358, R358, 2007. [14] E. Bini, C. W. P. P . Foo, J. Huang, V. Karageorgiou, B. Kitchel dan D. L. Kaplan, “RGD-Functionalized “RGD -Functionalized Bioengineered Spider Dragline Silk Biomaterial,” Biomacromolecules, vol. 7, no. 11, p. 3139 – 3139 – 3145, 2006. [15] N. Minoura, Y. G. Sei-Ichi Aiba1, s. Tsukada dan Y. Imai, “Attachment and growth of cultured fibroblast cells on silk protein matrices,” Journal of Biomedical Materials Research, vol. 29, no. 10, p. 1215 – 1215 – 1221, 1221, 1995. [16] k. L. Mittal, Contact Angle, Wettability and Adhesion, Volume 6, Boston: CRC Press, 2009.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 250
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Sintesis Nanomaterial TiO2 Doping Al Dengan Metode SOL-GEL dan Penerapannya Sebagai Sensor Gas CO Hariyati Purwaningsih1, Rindang Fajarin1, Malik Anjelh Baqiya 2, Irma Apsella1, Mas Irfan Hidayat P 1 1
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Surabaya, 60111, Indonesia 2 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Fisika, Surabaya, 60111, Indonesia
[email protected]
Abstract Undoped and Al-doped TiO2 were reacted using TiO 2 powder, Al powder, HF, NH 4OH and H 2SO4 by sol-gel method . The sensor behavior was investigated with the aim of d etermining the CO detection ability at temperatures 100◦C. Morphological changes at elevated temperatures were recorded by scanning electron microscopy (SEM). Compacted powder TiO 2-doped Al sensor were calcined at temperatures 500◦C and analyzed by X -ray X -ray diffraction (XRD) to explore the anatase to rutile phase transformation. The lattice parameters, phase were studied by High Score Analysis. The sensor response of the undoped and Al-doped TiO2 sensors toward CO was investigated in the temperature 100◦C for concentrations varying from 5 - 25 ppm. : Titanium Oxide (TiO 2 ), Sol – Sol – gel, gel, Al doping, Sensitivity of CO gas, Keywords
1.
Pendahuluan
Saat ini pengembangan teknologi dibidang material inovatif terus dilakukan. Kebutuhan udara bersih semakin sulit diperoleh karena banyaknya kendaraan bermotor dan industri-industri yang menghasilkan gas polutan. Beberapa penelitian dibidang sensing, khususnya sensor gas menjadi suatu bentuk kepedulian dan bentuk kontrol kualitas udara. Diantara banyak sensor gas, sensor gas CO menjadi perhatian khusus karena CO mempunyai resiko kesehatan yang tinggi [1]. S ensor gas
berbasis semikonduktor oksida logam kini sangat diminati karena harganya murah, mudah untuk pemeliharaan pemeliharaan dan sensitivitas tinggi [2]. Di antara sekelompok besar sensor gas yang ada, TiO2 memiliki sifat penginderaan yang sangat baik dari berbagai gas, seperti CH3CH2OH, CO, H2, NOx, dan O2,. Selain dalam bentuk pure TiO 2, kajian mengenai penambahan unsur lain (doping) yang dapat mempengaruhi kinerja material sensor seperti penambahan Al, Cr, Nb, Nb, La, Sn, Pt, Zn, dan Y, banyak dikaji peneliti. Sehingga dari berbagai macam pilihan doping tersebut, doping yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan defect lebih adalah Al [3] . Hal ini disebabkan Al memiliki valensi tiga yang membentuk hole atau elektron sebagai pembawa muatan. Adapun penelitian – penelitian yang telah dilakukan untuk mendapatkan nanopartikel yang terdoping sempurna, seperti solid state reaction [4], Chemical Vapor Deposition Deposition (CVD), Sputtering dan (PLD), (PLD), Spin Coating dan wet chemical Pulse Laser processes contohnya sol-gel [3]. Metode sol-gel adalah salah satu metoda dalam pembuatan nanopartikel, merupakan metoda yang paling
banyak dilakukan. Hal ini disebabkan karena beberapa keunggulannya, antara lain: proses berlangsung pada temperatur rendah, prosesnya relatif lebih mudah, bisa diaplikasikan dalam segala kondisi (versatile), menghasilkan produk dengan kemurnian dan kehomogenan yang tinggi jika parameternya divariasikan [5]. Karena pada prosesnya melibatkan larutan sebagai medianya maka metode sol gel ini juga disebut sebagai “wet method” [6]. Dimana dalam proses tersebut terjadi
perubahan fasa dari suspensi koloid (sol) membentuk fasa cair kontinyu (gel [7]). Penelitian ini bertujuan menganalisa pengaruh variasi penambahan Al terhadap perubahan struktur mikro dan sensitivitas TiO 2 terhadap gas CO sehingga dapat bermanfaat untuk pengembangan teknologi dibidang material inovatif. 2.
Metode
Proses sintesa titanium oksida (TiO2) doping Al untuk material sensor gas CO dengan menggunakan metode sol-gel terbagi atas beberapa tahapan yakni pembentukan prekursor lalu dilanjutkan dengan proses sol dan gelasi . Proses pembentukan prekursor TiO 2 dan Al berbeda. Pembentukan prekursor TiO 2 diawali dengan melarutkan 8 gram Titanium Oksida (TiO 2) kedalam 40 ml asam florid (HF) selama 1 hari. Pada metode ini bagian terlarutlah yang digunakan, bagian yang terlarut ditambahkan NH4OH 128 ml hingga pH 10 atau 11. Setelah penambahan NH4OH, lalu disaring untuk mendapatkan endapan. Setelah didapatkan endapan TiF4, endapan dicuci dengan aquades hingga pH 7 atau netral. Setelah itu dilarutkan kembali dengan 48mL H 2SO4 98% yang sebelumnya telah diencerkan menjadi H 2SO4 10 -3M
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 251
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
sehingga terbentuklah larutan awal TiO 2. Sedangkan prekursor Al dibuat dengan cara melarutkan masing-masing 0.4 gr Al untuk penambahan 5 wt.% , 0.48gr Al untuk penambahan 6 wt.% Al, Al, 0.6gr Al untuk penambahan 7.5 wt.% Al kedalam H2SO3 10-3M. Setelah kedua larutan terbentuk, dilakukan pencampuran prekursor Ti(SO4)2 dengan prekursor Al 2(SO4)3 sehingga menghasilkan penambahan 0, 5, 6, dan 7,5 wt.% Al masing-masing secara berurutan. Sampel yang telah diberikan penambahan Al kemudian didiamkan selama 4 hari. Larutan tersebut kemudian diaduk selama 3 jam menggunakan stirrer pada temperatur te mperatur 250 ºC dengan kecepatan putar 800 rpm. Setelah di stirring TiO2 ditambahkan NH 4OH agar pH netral . Kemudian sampel didrying dengan temperatur pemanasan sebesar 3500C selama 2 jam, untuk mengurangi kandungan cairan yang tertinggal maka dilakukan proses kalsinasi. Kalsinasi dilakukan pada temperatur 5000C selama 3 jam dan dilanjutkan sintering 900 oC selama 1 jam. Kemudian dilakukan proses kompaksi dengan tekanan sebesar 250 bar menggunakan mesin kompaksi Carver di Lab Fisika Material JTMM- ITS pada tekanan 300 bar. Spesimen sensor TiO2 yang sudah mengalami Counter elektode selanjutnya akan dilakukan pengukuran sensitivitasnya dengan menggunakan potensiostat. Pengujian dilakukan setelah pembuatan substrat sensor. Kemudian mengukur resistansi udara (R o). Setelah diukur R o,o, kemudian campuran CO dan udara dimasukkan dengan rasio konsentrasi CO sebesar 5 lpm, lpm, 12.5 lpm,dan 25 lpm. Selanjutnya didapatkan tahanan setelah terpapar gas CO. S=(R g-R o)/R o …………………..(1) Dimana S adalah sensitivitas sensor, Rg adalah resistansi setelah dialiri gas CO dan dinyatakan dalam ohm (Ω), dan Ro adalah resistansi sebelum dialiri gas CO dalam ohm (Ω). 3.
Hasil dan Pembahasan
Pengujian XRD dilakukan dengan menggunakan alat Philips Analytical. Pengujian dilakukan dengan sinar X menggunakan range sudut yang tergolong panjang, yakni 10 o-90o dan menggunakan panjang gelombang sebesar 1.54056 Å. Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa fasa yang terdapat pada Gambar 1 a) serbuk TiO 2 yang telah dikalsinasi pada temperatur 500 oC selama tiga jam menghasilkan fasa TiO 2 (anatase) menurut ICDD 03-065-5714 dan search match dengan intensitas puncak tertinggi pada 2theta = 25.4876o. Pada Gambar 1 grafik (b), (c) dan (d) sampel TiO2 doping Al terlihat kesamaan fasa anatase dan teridentifikasi senyawa AlF3 dengan struktur kristal rhombohedral. Pada Gambar 1(b)
TiO2 doping 5 wt.% Al menghasilkan fasa TiO 2 (anatase) menurut ICDD 01-075-0928 dan search match dengan intensitas puncak tertinggi pada 2theta = 25,3755 o dan senyawa AlF3 intensitas tertinggi pada 2theta= 51,9862 o menurut ICDD 01075-0928. Pada Gambar 1 (c) sampel TiO 2 doping 6 wt.% Al adalah fasa TiO 2 - anatase menurut #ICDD 03-065-5714 dan search match dengan intensitas puncak tertinggi pada 2theta = 25,2721 o dan senyawa AlF3 intensitas tertinggi pada 2theta = 51,9024o menurut #ICDD 01-075-0928. Pada Gambar 1 (d) sampel TiO 2 doping 7,5 wt.% terlihat bahwa fasa TiO2 yang terbentuk fasa TiO 2 (anatase) menurut ICDD 03-065-5714 dan search match dengan intensitas puncak tertinggi pada 2theta = 25,3645o dan senyawa AlF3 intensitas tertinggi pada 2theta = 51,9284 o menurut ICDD 01-075-0928 = TiO2 = AlF3
Gambar 1. Perbandingan Hasil uji XRD serbuk TiO2 setelah kalsinasi 500 o C untuk: (a) TiO 2 0 wt.%; (b) 5 wt.%; (c) 6 wt.% ; 7,5wt % Al Berdasarkan hasil pengujian XRD ditemukan bahwa fasa TiO2 yang terjadi pada keempat sampel tersebut adalah sama, yakni TiO 2 dengan fasa anatase. Namun masih adanya senyawa AlF3 menunjukkan temperature kalsinasi belum mencukupi difusi atomic Al pada kisi TiO 2 anatase, pada penelitian sebelumnya, Azis (2014) menyebutkan pada temperatur sintering 700 oC masih terbentuk senyawa Al2(SO4)3 [10]. Al (s) + H2O(l) Al(OH)3 Al (OH)3 + HF AlF3 + 3H2O
..................... (2) ............... (3)
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 252
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Gambar 2. Perbandingan Perbandingan Hasil uji XRD serbuk TiO2 setelah sintering 900 o C untuk: (a) TiO 2 0 wt.%; (b) 5 wt.%; (c) 6 wt.% , (d) 7,5 wt % Al Berdasarkan hasil pengujian XRD ditemukan bahwa fasa TiO2 yang terjadi pada ketiga sampel tersebut adalah sama, yakni anatase. Hal tersebut bisa dilihat pada grafik XRD dari keempat sampel yang mempunyai pola difraksi yang sama hal ini diperkuat dengan penelitian Phwachalatom [1] bahwa penambahan doping Al tidak berpengaruh signifikan terhadap transformasi fasa anatase. Pada pengujian XRD ini tidak ditemukan adanya fasa Al Tabel 1. Ukuran Ukuran kristal kristal dan micro strain TiO2 pada puncak tertinggi setelah sintering temperatur temperat ur 900o C Doping Al (wt.%)
Fasa
2θo
FWH M
B (rad) 10-
D (nm)
Ε
3
0
TiO2
25.506
0.389
3.3336
42.64
0.003 682
5
TiO2
25.612
0.319
2.7091
52.48
0.002 98
6
TiO2
25.317
0.416
3.5733
39.77
0.003 977
7,5
TiO2
25.4
0.3
2.5384
55.99
0.002 816
Berdasarkan Tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa pada temperatur sintering 900oC, seiring dengan penambahan doping Al ukuran kristal menjadi lebih kecil. Namun saat penambahan 5 wt % Al ukuran kristal meningkat dari TiO 2 tanpa doping dan menurun pada 6wt % Al lalu meningkat kembali pada 7,5 wt%Al. Nilai micro strain yang tertinggi yaitu sebesar 0.003977 pada doping 6wt% Al. FWHM TiO2 setelah dilakukan sintering o 900 C terlihat lebih membesar dari FWHM TiO 2 tanpa perlakuan. Hal ini dapat diindikasikan oleh melarutnya Al ke TiO 2 baik defect secara subtitusi maupun intertisi. Diulas dari semua data perbandingan hasil ukuran kristal dan microstrain penambahan doping 5 wt% Al dan 7,5 wt % Al mengalami penambahan ukuran daripada tanpa doping dan pada 6wt% Al terjadi penurunan ukuran kristal.. Hal ini sesuai dengan penelitian Choi dkk,2007 bahwa pada penambahan 5 wt % Al meningkatkan ukuran kristal dan ukuran partikel. Dan pada 6wt% Al mengalami penurunan ukuran kristal dan micro strain TiO2 semakin meningkat.
Pada penelitian Choi dkk, 2007 dan semakin bertambahnya wt.% doping Al, maka ukuran kristal TiO2 semakin menurun. Ukuran kristal yang semakin mengecil ini dapat disebabkan oleh proses subtitusi oleh doping. Karena jari-jari ion Al 3+ dan lebih kecil dari Ti 4+ yakni masing-masing 0,067 nm dan 0.074 nm, maka pendopingan ion Al dalam senyawa TiO2 akan memperkecil ukuran kristal. kristal . Berdasarkan hasil perhitungan parameter kisi menggunakan software cellcalc untuk TiO2 dengan variasi doping Al menunjukkan nilai parameter kisi TiO2 dengan struktur kristal tetragonal memiliki nilai a dan c yang tidak jauh berbeda dengan nilai pada ICDD dengan nilai a = 3.7850 dan c = 9.5140. 9.5140. Jika dibandingkan dengan nilai pada ICDD pada saat doping 5 wt % Al nilai c semakin meningkat, ini menandakan adanya penambahan panjang pada sumbu z pada bidang kristal. Tabel 2 Parameter kisi pada sampel TiO2 dengan variasi komposisi doping dan variasi temperatur Parameter Kisi Sampel (Å) dVariasi Variasi a C spacing temperatu Dopin (Å) r g Al % wt Al Sintering 0% 3.4856 3.7705 9.7020 900 C 8 9 0 5% 3.4671 3.7627 9.6414 5 2 5 6% 3.5145 3.7849 9.5180 4 2 5 7,5% 3.5084 3.7819 9.5059 0 0 6 Gambar 4 menunjukan morfologi serbuk TiO2 pada perbesaran 15.000x. Dari gambar dapat dilihat perbandingan sebaran partikel untuk tiap variasi doping Al. Hal ini terlihat pada sampel TiO 2 doping 0 wt.% Al yang ditunjukan gambar (a) dapat dilihat bahwa partikel TiO2 memiliki bentuk morfologi tidak beraturan, partikel menyebar dan mengalami aglomerasi ukuran partikel diperkirakan sekitar 19.43- 43 nm. Pada TiO2 5 wt.% Al Gambar (b) partikel mengalami aglomerasi lebih besar daripada 0 wt% Al, ukuran partikel sekitar 5461.43 nm. Gambar (c) pada TiO 2 6 wt.% partikel mengalami perubahan morfologi lebih pipih dan menyerupai bentuk heksagonal, ukuran partikel diperkirakan sekitar 19.43 -61 nm. Gambar (d) pada TiO 2 7.5wt.% terlihat partikel aglomerasi yang tidak jauh berbeda dengan 6 wt % Al, ukuran
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 253
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
partikel 43-70nm. Bentuk partikel TiO 2 doping Al menunjukkan bentuk hexagonal dan spherical (Wang, 2006).
Gambar 4. Hasil uji SEM serbuk TiO 2 yang menunjukkan struktur mikro setelah sintering 900 o C pada perbesaran 15.000x a). 0 wt.% Al b). 5 wt.% Al c). 6 wt.% Al d) 7.5wt%Al. Penelitian yang dilakukan oleh Young Jin Choi menunjukan bahwa semakin besar Wt.% doping Al, akan mempengaruhi ukuran butir menjadi lebih besar. Berdasarkan Gambar 4.2 yang mengalami aglomerasi paling hebat ketika penambahn 5 wt % Al . Jika dibandingkan dengan ukuran kristal , ukuran partiklel hampir mendekati ukuran kristal ini mengindikasikan merupakan nano partikel. Untuk mengetahui reaktivitas permukaan maka dilakukan pengujian BET surface analysis. Hasil pengujian yang didapatkan merupakan ukuran luasan permukaan yang dimiliki oleh sampel TiO 2 pada variasi doping Al dalam satuan m 2/gr. Adapun hasilnya tersaji dalam Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengujian surface are dengan BET Variasi Doping Al 0wt%
5wt%
6wt%
7.5 wt%
21.594
27.259
15.066
14.80
3.0328
3.0358
36.5920
3.0314
0.112
0.049
0.196
0.061
BET Surface area
(m2/g) BET Pore
Diameter (nm)
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa sampel TiO2 dengan doping 5 wt % Al memiliki ukuran luas permukaan 27.259 m 2/gr lebih besar dibanding 0 wt %, dengan ukuran pori yang relatif kecil. Pada 6 w% 7.5 wt% memiliki luas permukaan aktif yang tidak jauh berbeda yakni 14.80- 15.066 m2/gr. Namun pada 6wt % memiliki ukuran pori yang besar sehingga memungkinkan penyerapan gas CO lebih besar. Pada TiO2, ukuran partikel yang semakin kecil menghasilkan ukuran pori-pori TiO 2 semakin besar. Ukuran partikel TiO 2 doping Al membesar karena adanya aglomerasi sehingga linier dengan hasil BET pada 5 wt % yang memiliki ukuran dan volume pori kecil sehingga memiliki luas permukaan aktif paling besar. Pada penelitian [3] nilai luas permukaan aktif paling besar ketika penambahan 5wt% Al dan diikuti dengan ukuran kristal dan partikel yang paling besar. Diameter pori material menggambarkan ukuran molekul yang dapat diserap hingga ke dalam partikel suatu material. Hasil pengujian BET menunjukkan diameter pori material TiO 2 untuk semua komposisi. sampel berada pada rentang 3.0314-36.5920 nm. Ukuran diameter pori TiO 2 memenuhi jenis mesopores karena memiliki ukuran pori 2 nm> d >50 nm. Pengujian sensitivitas dilakukan dengan memasukkan sampel ke dalam sebuah chamber yang telah terpasang selang-selang dan dihubungkan dengan gas CO. Karena material hasil coatingan dari substrat TiO 2, maka di perlukan perlakuan khusus untuk menyambungkan kabel listrik potensiostat terhadap sampel. Untuk mengetahui tegangan dan arus yang mengalir pada chip sensor dapat dideteksi dengan menggunakan potensiostat dengan tujuan untuk mengetahui sensitivitas sensor terhadap gas CO yang ditandai oleh perubahan resistansi. Pengujian untuk mengetahui pengaruh konsentrasi gas CO terhadap sensitivitas sensor terhadap pelet TiO2 doping Al. Pengujian ini dilakukan menggunakan tegangan sebesar 1,5 Volt. Sensitivitas sensor dapat diketahui melalui susunan perubahan resistansi sesuai dengan persamaan 1. Hasil pengujian sensitivitas TiO2 doping Al menunjukkan pengaruh konsentrasi gas CO terhadap nilai sensitivitas sensor.
BET Pore Volume
(cc/g)
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 254
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
wt.% Al menyebabkan terjadinya pengurangan ukursn partikel TiO 2. Penambahan wt % Al tidak menyebabkan perubahan transformasi fasa TiO2 anatase menjadi fasa rutile maupun brookite. Material TiO2 doping Al responsif terhadap gas CO dengan sensitivitas terbesar pada doping 6%wt Al. Ucapan Terima Kasih
Hibah Penelitian Laboratorium Dana BOPTN ITS tahun 2014 atas pendanaan yang diberikan untuk riset ini pada tahun pertama. Daftar Pustaka
Pengujian sensitivitas terhadap konsentrasi gas CO variasi doping Al a.) 0 wt % Al b.) 5 wt wt % Al Al c.) 6 wt% Al d) 7.5 7.5 wt % Al Gambar
5.
Gambar 5 menunjukkan bahwa penambahan doping pada 7.5 wt% memiliki sensitivitas paling tinggi dengan luas permukaan aktif 14.80m2/gr . Hal ini diperkuat dengan penelitian Muiva dkk (2010) yang menyatakan semakin besar doping wt% Al maka akan meningkatkan resistivitas. Namun pada 5wt% Al terdapat keanehan seharusnya pada penambahan doping 5wt% memiliki respon sensor atau sensitivitas yang tinggi pula, karena luas permukaan aktif berdampak besar terhadap kenaikan respon sensor terhadap gas CO, seperti kita lihat pada Gambar 4. menunjukkan bahwa pada 5 lpm sempat mengalami kenaikan, hal ini diindikasikan bahwa TiO 2 doping 5 wt% Al kurang responsif terhadap gas CO. Pada 6wt % dengan luas pemukaan aktif 15.066 m2/gr dan diameter pori yang besar memungkinkan terjadinya penyerapan gas CO yang besar pula, sedangkan pada 0wt % degan luas permukaan aktif yang besar 21.5946 m2/gr memiliki nilai sensitivitas yang rendah, hal ini tidak linier dengan luas permukaan aktifnya. Berdasarkan ulasan mengenai sensitivitas, nilai yang dapat diterima adalah pada 6wt % , karena nilai ukuran kristal dan partikel juga menunjukkan nilai yang kecil sehingga memiliki luas permukaan aktif yang besar, begitupun dengan ukuran pori yang besar memungkinkan terjadinya penyerapan gas yang lebih besar 4.
Kesimpulan
Material semi-konduktor TiO2 doping Al berhasil disintesis dengan metode sol-gel dengan Sintesa TiO2 doping Al berhasil dilakukan dengan proses sol – gel gel dengan mensintesis TiO2 dan aluminium dalam pelarut H 2SO4 dan dilanjutkan sintering pada 900 oC. Penambahan 5 wt.% Al terhadap TiO2 menyebabkan bertambahanya ukuran partikel akibat adanya aglomerasi, penambahan 6
[1] Phwachalatom, C., Sanguanruang, O, 2011, Highly Selective Amperometric Sensors for Carbon Monoxide Detection in Exhaust Gas , Sensors and Actuators B 161 (2012) : 635-640 [2] Kim,Y.S. , Rai, P., 2013, Microwave Aassisted Hydrothermal Synthesis of Au-TiO2 Core Shell Nanoparticles for High Temperature CO Sensing Applications, Sensors and Actuators B : Chemical (2013) [3] Choi, Young, Seeley, 2007, Aluminium-doped Aluminium-doped TiO2 nano-powders for gas sensors, Sensors and Actuators B 124 : 111-117 [4] Sharma, R.K., Bhatnagar,M.C , Sharma, G.I.,1998, Mechanism in Nb doped titania oxygen gas sensor , Sensors and Actuators B 46 (1998) : 194-195 [5] Zawrah, M. F., El-Kheshen, A. A., Abd-ElAll, H., 2009, Facile and Economic Synthesis of Silica Nanoparticles, Journal of Ovonic Reasearch, vol.5, No.5. pp.129-133 [6] Brinker,C.F., Scherer, George.W., 1990, The Physics and Chemistry of Sol-Gel Processing, San Diego : Academic Press,Inc [7] Fernandez, B.R., Rilda,Y., 2012, Sintesis Nanopartikel Menggunakan Metoda Sol-Gel dan Aplikasinya terhadap Aktifitas Sitototoksik Sel, Tugas Nanoteknologi S-2 Kimia [8] German R.M.,1991, Fundamentals of Sintering, dalam buku: Engineered Materials Handbook Ceramics and Glassses, ASM International, USA [9] Amin,M.,Irawan, B.,2008, Pengaruh Tekanan kompaksi terhadap karakterisasi keramik kaolin yang dibuat dengan proses presureless sintering, Traksi Vol 8 . Universitas Muhammadiyah Semarang [10] Aziz, M., Purwaningsih, H., 2014, Pengaruh Penambahan Al (Doping Al) TerhadapStruktur Mikro dan Fasa TiO 2 Hasil Proses Sol-Gel, ITS
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 255
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Komposisi Lembaran Anoda LTO (Li 4Ti5O12) Terhadap Performa Sel Baterai Ion Lithium Slamet Priyono1,*, Suci Purnama Sari 2, Herli Ginting2, Bambang Prihandoko1 1)
Pusat Penelitian Fisika-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kompleks Puspiptek Gedung 442 Serpong Tngerang Selatan Banten 15314, Indonesia 2) Jurusan Fisik a, FMIPA Univers itas Sumatera Utara Jl. Bioteknologi I Kampus US U Medan, 20155 , Indonesia *
[email protected]
Abstract Effect of composition on the manufacture of the Li 4Ti5O12 anode sheet for lithium ion battery has been studied. The exact compositions in the manufacture of sheet are very important factors to get the best performance of lithium ion battery cells. This study aims to determine the effect of composition on the electrochemical performance of LTO as anode lithium ion battery. The study was conducted with varying of LTO powder composition: PVDF: Super P is 77: 15: 8, 85: 10: 5 and 90: 7: 3 wt% of the total mass of each ingredient. Manufacture of sheets start by mixing PVDF with DMAC solvent and then added with Super P and LTO to form slurry. Then coated slurry on Cu foil and dried in an oven to form a sheet. The finished sheets are analyzed by FTIR to get information about functional group and automatic battery cycler to get electrochemical performances. The results show that the best cell electrochemical properties on the composition of 77: 15: 8 wt% as seen from the curve CV is the establishment of a redox couple and the peak of the graph charge/discharge capacity of LTO obtained at160 mAHr/g. : Lithium Titanate, Anode Material, Cyclic voltammetry, Charge / Discharge Keywords
1.
Pendahuluan Pada saat sekarang, dunia telah mengalami krisis energi dan masalah lingkungan akibat penggunaan energi fosil untuk kendaraan konvensional. Oleh karena itu penggunaan kendaraan listrik sangat diperhitungkan untuk mengatasi masalah tersebut[1]. Kendaraan listrik menggunakan penyimpanan energy untuk menggerakkan motor, penyimpan energy tersebut adalah rechargeable lithium-ion battery battery [2-3]. Sejak komersialisasi baterai Lithium-ion yang dapat diisi ulang di awal tahun 1990-an, lithium berbasis kimia memiliki pangsa yang semakin meningkat dari pasar baterai global. Ini karena lithium memiliki beberapa sifat kimia dan fisik yang jauh lebih baik dari yang diinginkan [4]. Anoda yang dipakai adalah LTO yang memiliki kapasitas teoritis 175 mAh/g. Dengan menggunakan rumus empiris Li 4Ti5O12, spinel ini dapat menerima hingga 3 mol atom Li untuk membentuk Li 7Ti5O12 pada charge[5]. charge[5]. Penurunan ini reversibel setelah pengisian dan bahan teroksidasi kembali ke Li 4Ti5O12. Persamaan (1) menggambarkan reduksi dan oksidasi reaksi [6].
Li4Ti5O12 + 3Li+ + 3e- ↔ Li7Ti5O12
Kinerja elektrokimia bahan ini agak unik, jika dibandingkan dengan bahan interkalasi lainnya. Salah satu fitur uniknya adalah potensial yang datar (sekitar 1.55 V vs logam Li) lebih dari 90% untuk kapasitas saat interkalasi dan deinterkelasi ion Li +. Juga polarisasi kurang penting jika dibandingkan dengan elektroda oksida logam lainnya pada rapat arus yang sama. Hal ini diyakini bahwa rata-rata potensi region substansial terdiri dari dua tahap, yaitu Li4Ti5O12 dan Li 7Ti5O12, yang selalu hadir pada charge charge dan discharge. discharge. Fitur unik yang lain adalah perubahan volume sangat kecil ketika material ion Li + ini mengalami interkalasi dan deinterkalasi saat sel charge charge dan discharge discharge [7]. Dalam pembuatan sel baterai, hal yang paling penting adalah membuat lembaran. Lembaran harus memiliki komposisi bahan yang tepat, memiliki daya rekat yang baik, memiliki konduktifitas tinggi dan ketebalan yang sesuai. Lembaran dibuat dengan mencampurkan material aktif dengan binder (PVDF), Super P, dan pelarut (DMAC). Dalam proses pembuatan lembaran elektroda ada beberapa parameter yang harus diperhatikan seperti komposisi bahan, lama pencampuran, suhu pemanasan, kecepatan pencampuran, viskositas slurry, ketebalan, kecepatan coating, suhu dan lama pengeringan. Parameter-parameter ini yang mempengaruhi karakteristik lembaran elektroda baterai yang pada akhirnya mempengaruhi performa sel baterai.
(1) Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 256
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Ketepatan dalam mencampurkan bahan pada komposisi yang pas sangat perlu diperhatikan dalam hal ini, karena komposisi bahan akan menentukan morfologi lembaran anoda dan efeknya berpengaruh terhadap kinerja elektroda. Dalam penelitian ini akan dibuat lembaran anoda dengan berbahan dasar serbuk LTO yang fokus pada komposisi bahan.
96 95 94 e c n a t t i m s n a r T %
93 92 91
5 6 . . 7 8 2 3
90
2 8 . . 3 1 9 2
8 4 . . 7 5 3 2
8 8 . . 6 3 3 2
4000
3500
3000
2500 2000 Wavenumbers (cm-1)
Wavenumber Wavenumber (cm-1) Sampel Sampel B Sampel C A
97
94 93
7 7 . . 9 5 5 1
5 2 . . 0 3 4 1
92 91
9 8 . . 4 4 3 1 0 2 . . 4 2 2 1
90
2 1 . . 4 2 1 1
6 6 . . 1 9 9
1 6 . . 5 8 7
0 2 . . 0 5 6
89 3500
3000
2500 2000 Wavenumbers (cm-1)
1500
1000
3 3 . . 1 9 5
7 0 . . 3 5 5
1000
Designated
558,95
553,07
558,95
Ti – – O stretching (TiO6)
588,39
591,33
591,33
LiO stretching stretch ing
650,20
650,20
638,43
Ti – – O stretching (TiO6)
-
785,61
-
991,66
991,66
991,66
CO2 asym. Bending CH2 bending
1121,18
1124,12
1118,23
C═O stretching
1221,26
1224,20
1224,20
CO stretching stretchi ng
1344,89
1344,89
1341,95
1439,08
1430,25
-
1583,32
1559,77
-
1789,37
1789,37
1789,37
CO 2 sym, stretching CH, CH3 asym. Bending CH, CH3 asym. Bending C═O stretching C=CF2 stretching
2328,05
-
2336,88 2357,48
CO2
2928,54
2928,54
2913,82
CH stretching stretchi ng
3314,15
3305,31
-
88 4000
1500
Tabel 1. Akumulasi data wavenumber dari sampel A, B dan C menggunakan FTIR yang dicocokan berdasarkan literature.
98
7 3 . . 9 8 7 1
6 6 . . 1 9 9
Dari Gambar 1. dapat dilihat puncak puncak yang terbentuk pada masing-masing sampel A, B dan C akibat dari serapan oleh sinar infra merah. Puncak-puncak tersebut mengkonfirmasi ada atau tidaknya gugus fungsi yang terbentuk pada sampel yang diamati dari wavenumber. Untuk mengkonfirmasi data-data dari wavenumber pada sampel maka digunakan wavenumber referensi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.
99
4 5 . . 8 2 9 2
3 2 . . 8 1 1 1
C
3. Hasil Penelitian 3.1 Analisa gugus fung si dengan FTIR Pengamatan gugus fungsi pada sampel dilakukan dengan menggunakan alat FTIR. Pengambilan data spectrum FTIR dilakukan dengan metode ATR pada rentang wavenumber 500-4000 cm-1. Dari uji spektroskopi FTIR dengan sampel A, B dan C didapatkan spektrum inframerah seperti yang tampak pada Gambar 1.
1 3 . . 5 0 3 3
5 9 . . 8 5 5
Gambar 1. Spektrum Inframerah sampel A, B dan C
Sebagian sampel lembaran yang dilakukan analisa gugus fungsi dilakukan dengan FTIR untuk mengetahui pembentukan komposit lembaran. Dan sebagian sampel lembaran dipotong melingkar dengan jari-jari 15 mm dan disusun membentuk setengah sel baterai dan diaktivasi didalam glove box. Performa baterai meliputi Cyclic Voltammetry (CV) dan Charge/Discharg (CD) dilakukan dengan WBCS 3000, Automatic Battery Cycler Ver. 3.2.
95
0 2 . . 4 2 2 1
88
Metode Penelitian Pembuatan lembaran anoda, bahan material LTO dicampur dengan bahan aditif yaitu Super P dan PVDF dengan variasi komposisi 77:15:8, 85:15:5 dan 90:7:3 (masing-masing diberi kode A, B dan C) didalam larutan N,N-DMAC sampai diperoleh slurry. Setelah terbentuk slurry, selanjutnya dilakukan pelapisan slurry pada Cu foil dan kemudian dikeringkan dengan o menggunakan oven pada suhu 80 C selama 1 jam. Setelah kering, maka terbentuk lembaran anoda yang kemudian dicalendering.
96
5 9 . . 1 4 3 1
89
2.
e c n a t t i m s n a r T %
7 3 . . 9 8 7 1
500
A 99 98 97 e c n a t t i m s n a r T %
96 5 1 . . 4 1 3 3
95 94
4 5 . . 8 2 9 2
5 0 . . 8 2 3 2
7 3 . . 9 8 7 1
2 3 . . 3 8 5 1
8 0 . . 9 9 3 8 . . 4 4 1 4 3 1
93 92 91
6 2 . . 1 2 2 1
8 1 . . 1 2 1 1
6 6 . . 1 9 9
0 2 . . 0 5 6
5 9 . . 8 9 5 3 . . 5 8 8 5
-OH group
90 4000 4000
3500
3000
2500 2000 Wavenumbers (cm-1)
1500
1000 1000
500
B Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 257
3 4 . . 8 3 6
3 3 . . 1 9 5
500
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Dari Tabel 1 dapat diketahui pada wavenumber 553,07 cm-1 dan 558,95 cm -1 terbentuk gugus Ti – – O yang berasal dari unsur TiO 6 oktahedral yang merupakan bahan dasar pembuatan serbuk LTO[8]. Pada wavenumber 1789,37 cm -1 terbentuk gugus C=CF2 yang menandakan adanya unsur PVDF. Dari spektrum ketiga sampel tidak menunjukan adanya gugus Li-F yaitu pada wavenumber 1191 cm-1 [8], ini berarti tidak terjadinya reaksi kimia antara LTO dengan PVDF dalam proses pembuatan lembaran sehingga dapat disimpulkan bahwa proses pemcampuran komposisi pada komposit sampel berhasil. Serapan terhadap luar dapat dilihat pada wavenumber 3314,15 cm-1 dan 3305,31 cm -1 yang menunjukan terbentuknya gugus OH[9], hal ini menandakan bahwa sampel menyerap uap air dan uap air ini ada karena proses pengeringan lembaran yang kurang lama (suhu 80 oC selama 1 jam). Puncak gugus OH yang terbentuk pada sampel A terlihat lebih tajam karena komposisi serbuk LTO yang lebih sedikit yaitu 1,2 gr sehingga menghasilkan slurry yang tidak begitu kental dan kandungan uap air yang lebih banyak.
(A)
(B) 3.2 Analisa data cyclic voltammetry (CV) Analisa cyclic voltammetry (CV) menggunakan alat WBCS3000, Automatic Battery Cycler Ver. Ver. 3.2 yang dilakukan dilakukan di Pusat Pusat Penelitian Fisika-LIPI. Data-data yang diperoleh dari pengujian cyclic voltammetry berupa kurva potensial (V) – arus (A). Pada saat proses discharging terjadi reaksi oksidasi pada anoda LTO (Li4Ti5O12) yaitu[6]: Li7Ti5O12 ↔ Li4Ti5O12 + 3Li+ + 3e - (2) Sedangkan saat charging terjadi reaksi oksidasi pada anoda yaitu [6]: Li4Ti5O12 + 3Li+ + 3e- ↔ Li7Ti5O12 (3) Tabel 2. Data tegangan Lembaran LTO Sampel
Tegangan awal
Battery Cycler
A
3.62 V
2,8 V
B
3,49 V
2,8 V
C
1,89 V
1,6 V
(C) Gambar 2. Grafik Voltamogram Siklik pada sampel A, B dan C Pada pengujian cyclic voltammetry, LTO berperan sebagai katoda yang dipasangkan dengan lithium metal yang berperan sebagai anoda karena memiliki tegangan yang lebih rendah. Pada saat discharging terjadi proses interkalasi yaitu ion lithium bergerak dari anoda (metal lithium) ke katoda (LTO) atau disebut juga proses reduksi. Sebaliknya pada saat charging terjadi proses deinterkalasi yaitu ion lithium bergerak dari katoda (LTO) ke anoda (metal lithium) atau disebut juga proses oksidasi. Sampel yang diuji memiliki tegangan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tegangan yang muncul pada tes awal ini mengindikasikan bahwa sampel akan memberikan performa yang baik. Tegangan awal yang baik untuk material LTO Vs Li adalah diatas 2,5 V. jika kondisi ini tidak dipenuhi maka hasil pengukuran akan buruk.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 258
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Sampel yang diuji dengan kecepatan scan rate rate 0,2 mV/s. Hasil pengujian CV pada ketiga sampel dapat dilihat dari grafik voltamogram siklik pada Gambar 2. Dari Gambar 2. dapat dilihat bahwa pada sampel A terdapat puncak redoks yang mengindikasikan bahwa ion lithium berinterkalasi dan de-interkalasi dengan baik, yaitu puncak oksidasi pada tegangan dan arus 1,85 V dan 0,8 mA, puncak reduksi pada tegangan dan arus 1,3 V dan -1,1 mA, sehingga jarak antara puncak oksidasi dengan reduksi sebesar 0,55 V. Pada sampel B, puncak oksidasi tidak terbentuk secara sempurna sedangkan puncak reduksi terbentuk pada tegangan dan arus 1,0 V dan -1,1 mA. Pada sampel C tidak terbentuk puncak redoks yang menunjukkan sifat baterai tidak ada. Dari Gambar 2 dapat diketahui juga tegangan kerja (working ( working potensial ) pada grafik, pada sampel A dan B tegangan kerjanya 1,6 volt, sedangkan tegangan kerja pada sampel C tidak tampak. Dari ketiga sampel dapat dibuat perbandingan bahwa semakin besar komposisi serbuk LTO maka grafik voltamogram siklik semakin tidak terbentuk puncak redoksnya, sehingga dapat disimpulkan reaksi kimia yang terjadi tidak sempurna atau bahkan tidak terbentuk reaksi kimia. Hal ini dikarenakan komposisi yang kurang tepat dalam pembuatan lembaran anoda. Dari Tabel 3. dapat dilihat tegangan yang dihasilkan pada masing-masing sampel, semakin besar komposisi serbuk LTO maka tegangan yang dihasilkan semakin rendah. 3.3 Analisa Data Charge-Discharge Pengujian charge/discharge dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu baterai dalam menyimpan energi. Kapasitas energi atau muatan dinyatakan dalam satuan mAh/gram atau Ah/gram. Pengujian charge-discharge dilakukan dengan alat WBCS di Pusat Penelitian Fisika-LIPI. Pada pengujian charge-discharge terjadi proses mekanisme reaksi baterai ion lithium dimana pada saat charging di anoda , ion Li berinterkalasi masuk ke host anoda sedangkan saat proses discharging terjadi de-interkalasi ion lithium yang artinya ion Li keluar dari host anoda.
Tabel 3. Massa material aktif lembaran LTO Sampel Massa material aktif (gr) A
0.003388
B
0.006885
C
0.00693
(A)
(B)
(C) Gambar 3. Kurva charge/discharge pada masing-masing sampel.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 259
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Pada pengujian charge/discharge digunakan range voltase antara 0 – 2.8 V yang memakai massa material aktif dari lembaran LTO sesuai pada Tabel 3. Dari pengujian charge/discharge pada ketiga sampel didapatkan kurva seperti pada Gambar 3. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa tegangan operasi pada masingmasing sampel yaitu 1,6 V. Pada sampel A diperoleh kapasitas charge dan discharge sebesar 130 mAHr/g dan 180 mAHr/gr. Pada sampel B diperoleh kapasitas charge dan discharge sebesar 70 mAHr/g dan 130 mAHr/gr. Pada sampel C diperoleh kapasitas charge dan discharge sebesar 3.9 mAHr/g dan 5.4 mAHr/gr. Dari hasil pengujian charge/discharge tersebut diindikasikan bahwa kapasitas dari suatu baterai sangat bergantung pada komposisi bahan dalam pembuatan lembaran. Jika massa dari PVDF lebih sedikit maka lembaran akan mudah rontok dari Cu foil dan jika massa dari Super P lebih sedikit maka lembaran kurang bersifat konduktif yang mengakibatkan sifat kebateraian berkurang. Hal ini dapat dikaitkan dengan variasi komposisi LTO pada masing-masing sampel, semakin banyak massa serbuk LTO yang dicampurkan maka kapasitas dari suatu sel baterai semakin menurun. Dapat dilihat dari hasil SEM, morfologi lembaran pada sampel A terlihat bahwa campuran antara LTO, PVDF dan Super P tersebar secara merata, tidak ada warna putih/terang atau hitam/gelap yang mendominasi. Pada sampel B terlihat warna putih/terang yang agak lebih sedikit mendominasi yang mengindikasikan bahwa massa dari Super P terlihat lebih sedikit dari LTO. Pada sampel C terlihat bahwa warna putih/terang sangat mendominasi yang mengindikasikan bahwa massa dari Super P sangat sedikit sehingga konduktifitasnya menurun. 4.
Kesimpulan Lembaran anoda berbahan dasar serbuk LTO dengan variasi komposisi 77:15:8, 85:10:5 dan 90:7:3 %wt telah dibuat untuk melihat pengaruh komposisi bahan baku. Dari hasil FTIR, struktur spinel pada masing-masing sampel sudah terbentuk pada wavenumber 553,07 cm -1 dan 558,95 cm -1 ditandai dengan terbentuknya gugus Ti – Ti – O stretching (TiO6). Terbentuknya gugus C=CF 2 pada wavenumber 1789,37 cm -1 yang menunjukan adanya fasa dari PVDF. Pembuatan komposit pada lembaran anoda ini berhasil karena tidak adanya gugus Li-F yang menandakan tidak terjadinya reaksi kimia antara LTO dan PVDF. Dari kurva cyclic voltammetry dan charge/discharge diketahui performa elektrokimia sel baterai pada lembaran
anoda LTO yang baik yaitu pada komposisi 77:15:8. Pada kurva cyclic voltammetry ditandai dengan terbentuknya sepasang puncak redoks yaitu puncak oksidasi pada tegangan dan arus 1,85 V dan 0,8 mA, puncak reduksi pada tegangan dan arus 1,3 V dan -1,1 mA. Sedangkan pada kurva charge/discharge ditandai dengan kapasitas dari baterai LTO sebesar 160 mAHr/g yang mendekati nilai teori yaitu 175 mAHr/g.
Ucapan Terima kasih Terima kasih kepada Kemenristek Dikti atas program Sinas Konsorsium Riset Baterai Lithium tahun 2015. Dan Pusat Penelitian Fisika-LIPI atas penggunaan tempat dan peralatan peralatan uji.
Daftar Pustaka [1]. S. Bashash, S. J. Moura, J. C. Forman, H. K. Fathy, Plug-in hybrid electric vehicle charge pattern optimization for energy cost and battery longevity. J. Power Cources 2011, 196, 541549 [2]. Lu, L., Han, X., Li, J., Hua, J., Ouyang, M., A review on the key issues for lithium-ion battery management in electric vehicles, J. Power Sources 2013, 226 , 272 – 288. 288. [3]. Hu, X., Sun, F., Zou, Y, Estimation of state of charge of a lithium-ion battery pack for electric an adaptive vehicles using Luenberger observer, Energies 2010, 3 , 1586 – 1603. [4]. Nordh, Tim. 2013. Li4Ti5O12 as an anode material for Li ion batteries in situ XRD and XPS studies. Uppsala Universitet. Upteck k 13001. [5]. Q. Zhang., C. Zhang., B. Li., S. Kang., X. Li., Y. Wang., preparation and electrochemical properties of Ca-doped Li4Ti5O12 as anode materials in lithium-ion battery, Electrochimica Acta 98 (2013) 146-152 [6]. H. G. Jung, M. W. Jang, J. Hassoun, Y. K. Sun, B. Scrosati, A high-rate long-life Li4Ti5O12/Li[Ni0,45Co0,1Mn1,45]O4 lithium-ion battery, Nature Communications 2 (2011) 516. [7]. Q. Feng, L. Li, Z. P. Guo, D. Q. Shi, R. Zheng, X. J. Zhu, Synthesis and properties of Li-Ti-O spinel, Journal of Alloys and Compounds 478 (2009) 767-770 [8]. S. Jie., Studi of the interface between Li4Ti5O12 electrodes and standard electrolyte solutions in 0.0-5.0 V, Electrochemical and solid state letter, 11 (12) A238-A240 (2008). [9]. Y. J. Hao, Q. Y. Lai, Y. D. Chena, J . Z. Lua, X. Y. Jic, Journal of Alloys and Compounds 462 (2008) 402-409.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 260
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Pengolahan Limbah Padat Pabrik Gula Sebagai Sumber Silika Bahan Penyusun Soli d El ectrol yte F ast ast I oni c Conducto Conductorr Vania Mitha Pratiwi1*, Hariyati Purwaningsih1, Heru Setyawan 2 1
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Teknik Material dan Metalurgi, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, 60111, Indonesia 2 Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Teknik Kimia, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, 60111, Indonesia
[email protected] ,
[email protected]
Abstract This study aims to create a solid electrolyte NASICON (Na 3 Zr 2Si2 PO PO12 ) ) based of silica was derived from the results of the sugar the sugar factory’s factory’s processi processing ng .It was called Baggase Baggase Ash. In addition, the effect effect of pH and aging time in the manufacture of silica gel to the product ion conductivity was studied. Sol-gel method was used to synthesize the silica gel in this study. Synthesis begins with the manufacture of silicic acid solution, which is obtained from bagasse ash were extracted with NaOH solution and then titrated with a solution of HCl 1 N. Thereafter, the silica gel gel is inserted inserted Ball Ball Mill in conjunct conjunction ion with with Na2CO3 powder particles, NaH 2 PO4 , , ZrO2 and added methanol rotated at a speed of 700 rpm to form NASICON. Perncampuran result is dried at a temperature 120 οC then calcined in a furnace at temperatures of 900 οC for 4 hours followed by calcination results NASICON particle compacting pressure of 400 kg / cm2 and sintering at 1200 οC temperature for 20 hours. The silica gel was aging at room temperature in various time and then dried at 100 oC. The active surface area of silica powder has made at pH 6,7,8 and 9 were 234.222 m 2 /g, 214.611 m2 /g, 157.891, and 103.412 m2 /g. The pore size distribution distribution of silica powder at pH 6 was more more uniform uniform than other because because in this formed formed pH pH the particle particle of silica silica can growth. In other side, The purity of silica powder at pH 6 during time aging 18 hours is highest than other. The result of Scanning Electron Microscopy Analyzer showed that the morphology morphology silica particle’s particle’s at various pH and time of aging was not uniform. Keywords : bagasse ash, silica powder, solid state, solid electrolyte, NASICON
1.
Pendahuluan
Selama dekade terakhir, teknologi lithium-ion telah menjadi leader dari pasar perangkat penyimpanan energi untuk perangkat portable karena densitas energy volumetrik dan gravimetrik yang tinggi (Tarascon, 2010). Namun, meningkatnya permintaan dikombinasikan dengan pembatasan sumber daya lithiummungkin menyebabkan harga mahal untuk baterai ini (Ellis dkk, 2007). Berkat biaya produksi yang rendah, natrium tidak jatuh di bawah pertimbangan yang sama jika dibandingkan dengan ion yang lain dan muncul sebagai alternatif yang baik untuk lithium (Aboulaich, 2011). Namun, isu-isu keamanan yang terkait elektrolit cairan yang mudah terbakar tetap menjadi masalah serius dan bahkan menjadi lebih serius karena natrium memiliki reaktivitas sangat tinggi dengan uap air dan oksigen (Tatsumisago dkk, 2012). Semua-solid state baterai, yang menggunakan ion-melakukan tidak mudah terbakar elektrolit padat daripada elektrolit cair organik, telah diusulkan sebagai kandidat kuat untuk perangkat penyimpanan energi alternatif
(Ohtomo, Nagao, Boulineau, 2013) Baterai ion natrium difokuskan sebagai alternatif baterai sekunder untuk menghemat biaya bahan baru-baru ini (Ellis dkk, 2012). Karena penelitian intensif, banyak bahan-bahan aktif, orang energi densitas hampir identik dengan bahwa dari lithium ion baterai, yang diusulkan. Di katoda, lapisan garam batu jenis oksida serta Polianion jenis bahan dianggap sebagai bahan aktif. Hayashi et al. berhasil menunjukkan natrium udara baterai dengan menggunakan separator NASICON (Hayashi dkk, 2013). Oleh karena itu peran elektrolit padat NASICON penting untuk mengembangkan generasi berikutnya natrium berbasis baterai. bater ai. NASICON dengan struktur kimia Na3Zr2Si2P2O12 dibuat dengan metode solid state reaction dengan mencampurkan senyawa dengan basis natrium, zirkonia, silika, dan fosfor. Honma dkk pada tahun 2015 telah membuat NASICON dengan mereaksikan Na2CO3, NaH2PO4, ZrO2, dan SiO2 dalam Ball Mill dengan larutan metanol sebagai pelarut. Sedangkan Lalere dkk(2014) membuatnya dengan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 261
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
menggunakan metode sol-gel yang dijelaskan oleh Zhou dkk (2007). Tetraethyl orthosilicate(Si(OC2H5)4, TEOS), Zirkonium Butoksida (Zr(OC4H9)4), Natrium Nitrat, Ammonium dihydrogenphospate dilarutkan di dalam etanol, air, dan asam nitrit pada suhu 70 οC. Berdasarkan paparan jurnal mengenai NASICON dapat disimpulakan bahwa Silika (SiO 2) adalah bahan utama uta ma untuk membuat solid electrolyte fast ionic conductor tersebut. Silika yang sering digunakan dalam penelitian pembuatan elektrolit solid untuk baterai ion lithium adalah SiO 2 murni yang didapatkan dengan membeli dari supplier bahan-bahan kimia yang harganya cukup mahal sehingga banyak peneliti menggunakan bahan bahan alami yang mengandung silika seperti limbah dari PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) (Srie dkk, 2014), Abu hasil pembakaran Sekam Padi (Kalapathy ,2002), dan Abu Baggase (Affandi dkk, 2009). Dalam industri gula tebu, dihasilkan adalah limbah utama dari proses penggilingan. Dihasilkan sering digunakan sebagai bahan bakar untuk Boiler untuk menghasilkan uap selama pemrosesan gula. Pembakaran dihasilkan dalam boiler menghasilkan abu dihasilkan sebagai produk pembakaran. Tergantung pada sumber koleksi mereka, dihasilkan abu diklasifikasikan sebagai fly ash atau bawah abu. Dihasilkan fly ash (BFA) adalah sampah yang dikumpulkan dari partikulat di hulu boiler, sedangkan sampah yang dikumpulkan dari boiler pembakar disebut dihasilkan bawah abu (BBA) (Srivastava, 2008). Abu dihasilkan digunakan terutama untuk mengisi tanah dan sebagai pengisi untuk bahan (Ganesan dkk, 2007) bangunan. Dilaporkan, BFA dapat dimanfaatkan sebagai Adsorben berbiaya rendah untuk menghilangkan senyawa fenolik (Mukherjee, 2007), piridina (Lataye, 2006), pewarna (Mall, 2005), dan ion-ion logam berat (Gupta, 2004). Dilain pihak ash dihasilkan kaya silika yang bahan baku ekonomis silika gel dan bubuk produksi. Silika gel memiliki banyak aplikasi potensial, seperti diperkuat pengisi, Adsorben, inang katalis, chromatograph pengepakan kolom, dalam kosmetik, farmasi, cat dan coating, dll (Kalapathy, 2000). Silika gel adalah jaringan tiga dimensi kaku silika koloid yang dapat digolongkan menjadi tiga jenis yang berbeda tergantung pada proses preparasi. Jenis silika gel adalah aquagel (air pori-pori diisi), xerogel (fasa dalam pori-pori dihapus oleh penguapan), dan aerogel (superkritis proses untuk menghapus fasa air) (Kalapathy, 2000). Umumnya, silika gel dihasilkan dari pengasaman natrium silikat. Fabrikasi natrium silikat dilakukan secara komersial dengan mereaksikan material yang mengandung silika, misalnya, pasir kuarsa,
dengan soda abu dalam tungku pada suhu lebih dari 1300 C (Iler, 1979). Hal ini jelas bahwa teknik ini mengkonsumsi sejumlah besar energi, yang dapat mencegah industri gula dari mengubah dihasilkan abu ke silika gel. Oleh karena itu, itu akan menguntungkan untuk mengembangkan metode sederhana, murah, dan energi rendah untuk produksi silika gel dari Abu dihasilkan, sehingga memanfaatkan limbah untuk ekonomi nilai tambah produk. Metode ekstraksi alkali dilaporkan dapat digunakan untuk meningkatkan konsentrasi silika dari abu sekam padi menggunakan reaksi suhu rendah (Kalapathy, 2000). Metode ini dikembangkan berdasarkan sifat unik kelarutan silika amorf. Kelarutan tinggi amorf silika pada kondisi dasar memungkinkan silika diekstrak dari bahan yang mengandung silika amorf (Kalapathy, 2000). Ekstraksi silika dari beras hull abu menghasilkan konsentrasi tinggi (91 wt.%) silika xerogels. Struktur, kepadatan dan mechanical kekuatan silika xerogels sangat dipengaruhi oleh gelation pH dan konsentrasi silika (Kalapathy, 2000). Untuk aplikasi lebih lanjut, natrium silikat diekstrak dari beras hull abu telah digunakan untuk fabrikasi film fleksibel . Secara keseluruhan, pemanfaatan yang mengandung silika abu menggunakan ekstraksi suhu rendah menjanjikan untuk produksi xerogels. Tidak seperti BFA, BBA belum banyak dimanfaatkan. BBA merupakan raw material yang banyak mengandung silika yang berpotensi digunakan sebagai silika gel. Affandi dkk (2009), Nazriati dkk (2014), dan Nanik dkk (2015) telah berhasil membuat silika gel dari BBA dengan metode sol-gel dan menghasilkan material silika dengan luas area hingga 1000 m2/g. Oleh karena itu, penelitian bermaksud untuk mensistesa NASICON dengan Abu Baggase sebagai sumber silika yang akan digunakan sebagai solid electrolyte fast ionic conductor . 2.
Metode
Pada penelitian ini, sumber silika menggunakan abu bagasse yang diperoleh dari Pabrik Gula Kebon Agung, Kabupaten Malang. Kemudian diekstrak dengan menggunakan NaOH (Merck) untuk membentuk sodium silikat. Pembentukan gel dilakukan dengan mentritrasi ekstrak sodium silikat menggunakan larutan HCl 1 N hingga pH 6, 7, 8 dan 9. Titrasi dilakukan dengan menggunakan syring pump. Setelah Silika gel terbentuk kemudian di aging pada temperature kamar selama 12, 18, dan 24 jam dan dikeringkan menggunakan furnace pada temperature 100 οC untuk menghilangkan air dan pengotor yang terdapat dalam silica gel tersebut.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 262
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Karakterisasi yang dilakukan yaitu karakterisasi surface area, menggunakan pore size dan surface analyzer BET Quantachrome 1200e dengan menggunakan gas Nitrogen sebagai adsorbatnya, N2, UHP (Ultra High Purity: 99,995 %, PT. Tri Gas), Nitrogen cair, N2 (77 K, PT. Samator). Karakterisasi X-Ray Diffraction menggunakan X-pert Pro Panalitical, untuk mengetahui fasa dan kristalinitas dari SiO 2 yang dihasilkan, Karakterisasi Fourier Transform Infra Red untuk mengetahui gugus fungsi silika gel setelah ektraksi dan bahan baku sebelum diproses menggunakan alat Nicolet iS10 Thermo Scientific dan Thermal Gravimetri Analysis untuk mengetahui degradasi massa antara produk ekstrak dan bahan baku. Karakterisasi Scanning Electron Microscopy untuk mengetahui morfologi partikel silika dengan variasi waktu aging dan variasi pH pembentukan. 3.Hasil dan Pembahasan 3.1 Properti Fisik Silika Gel yang Dihasilkan
Sintesis silika berbasis abu bagasse pada penelitian sebelumnya masih menghasilkan silika dengan tipe pori mesopori (Affandi dkk, 2009). Silika tersebut mengalami perubahan luas permukaan dan volume pori seiring dengan berubahnya pH dan waktu aging . Pada prosesnya setelah ekstraksi abu bagasse dengan larutan NaOH 2 N, dihasilkan ekstrak berupa larutan natrium silikat (Na2O.SiO2). Kemudian ekstrak diambil sebagian untuk diukur kadar SiO 2 dengan jalan pemanasan untuk menguapkan semua air dalam larutan. Dari hasil perhitungan diperoleh kadar SiO 2 dalam larutan natrium silikat sebesar 9,9116% berat (Appendiks). Ekstrak inilah yang kemudian dijadikan precursor dalam dalam pembuatan silika gel. Properti fisik dari silika gel yang disintesis dari abu bagasse dengan metode co precursor pada berbagai pH dan waktu aging adalah relatif sama, yaitu berupa silika berwarna putih dan berbentuk serbuk. Jadi secara kondisi fisik, tidak ada perubahan secara signifikan tiap perubahan pH dan waktu aging .
adsorbat. Selain itu, tipe 4 juga ditandai dengan adanya hysteresis, dimana pada Gambar 3.1 hysteresis yang terjadi cenderung sempit dan mendekati sejajar. Tipe hysteresis tersebut menunjukkan bahwa sampel tersusun atas agregat-agregat dengan bentuk yang mendekati seragam dan memiliki distribusi ukuran pori yang sempit dan ketika P/P 0 mendekati 1 maka grafik akan mendekati tak hingga. Tipe 4 ini berlaku untuk material porous dan memiliki diameter pori berukuran mesoporous (2-50 nm). Analisa ini dilakukan untuk menentukan volume pori dan diameter pori berdasarkan perhitungan metode BJH didapatkan hasil pengukuran tertinggi terdapat pada variasi pH 6 dengan waktu penuaan 18 jam yaitu 0,219 cc/g dan 3,391 nm untuk luas permukaan paling besar yaitu pada pH 6 dan waktu aging 18 18 jam sebesar 2 234,22 m /g. Tabel 3.1 Hasil Uji BET Variasi pH Variabel Surface Area Diameter Volume pH (m2/g) Pori (nm) Pori (cc/g) 6 234.222 3.391 0.219 7 214.611 3.363 0.195 8 157.891 3.360 0.169 9 103.412 3.370 0.090 Tabel 3.2 Hasil Uji BET Variasi Waktu Aging Waktu Aging Surface Area m2/g 12 jam 195.376 18 jam 234.222 24 jam 208.175
200 180 160 140 120 m
e
(c
c
100 o
80
g/
)
lu
3.2
Adsorpsi/Desorpsi Isothermis
Dari hasil analisa menggunakan metode BET (Quantachrome Instruments NOVA 1200e) diperoleh kurva adsorpsi isotherm seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1. Berdasarkan klasifikasi adsorpsi isotherm IUPAC. Pada tipe 4, penyerapan gas pada awalnya lambat karena interaksi antarmolekul adsorbat lebih kuat dibanding interaksi molekul adsorbat dengan adsorben dan terjadi pembengkokan kurva pada tekanan tinggi yang menandakan bahwa terjadi peningkatan kecepatan pengisian pori dengan
V
pH 6 pH 7 pH 8 pH 9
60 40 20 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
P/P0
Gambar 3.1 Kurva adsorpsi/desorpsi silika gel pada pH 6, 7, 8, 9 dengan waktu aging 18 18 jam
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 263
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
menyebabkan partikel cenderung berupa gel berpori. Pada pH yang tinggi, maka partikel primer yang terbentuk akan semakin besar karena dengan naiknya pH maka muatan permukaan silika akan menurun, gaya tolak antar partikel menurun, sehingga partikel silica akan membentuk partikel yang lebih besar. Selain itu dengan naiknya pH silika membentuk partikel primer yang lebih besar sebelum terjadi gelling , hal ini menghasilkan surface area yang lebih kecil.
0.040 pH 6 pH 7 pH 8 pH 9
0.035 )
0.030 ri
0.025
c
g/ c( o P e
0.020 m ul o V
0.015 0.010 0.005
3.3 Kristalinitas dan Fasa Silika Gel 0.5
1.0
1.5
2.0
Log Diameter Pori
Gambar 3.2 Kurva distribusi ukuran pori serbuk silika pada pH 6, 7, 8, 9 dengan waktu aging 18 18 jam Berdasarkan Tabel 3.1 luas permukaan aktif dari serbuk silika yang dihasilkan semakin meningkat seiring dengan menurunnya pH pembentukan gel hal ini dikarenakan pembentukan partikel berpori akan semakin baik jika waktu pembentukan partikel semakin lama. Saat dilakukan dila kukan titrasi asam kuat dari larutan HCl 1 N pada sodium silikat hasil ekstrak dengan pH 14 menjadi pH 6 membutuhkan waktu yang cukup lama disebabkan laju titrasi sebesar 1 mL/menit sehingga pembentukan partikel mulai dalam bentuk monomer hingga terbentuk agregat berlangsung sedikit demi sedikit dan optimal ketika pH tersebut. Gambar 3.2 merupakan kurva distribusi ukuran pori serbuk silika pada pH 6,7,8 dan 9 dengan waktu aging 18 jam. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin menurunnya pH pembentukan keseragaman ukuran pori juga semakin teratur dikarekan pada pH tersebut pembentukan partikel silika berlangsung optimal. Hasil karakterisasi menggunakan BET untuk variasi waktu penuaan yaitu 12, 18 dan 24 jam pada pH pembentukan pe mbentukan pH 6 terdapat pada tabel 3.2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai luas permukaan aktif serbuk silika pada waktu aging 18 jam sebesar sebesa r 234.222 m2/g. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu aging dilakukan, maka partikel agregat yang terbentuk semakin besar dan kuat. Hal ini menyebabkan terbentuknya pori dengan ukuran besar. Ukuran partikel yang besar akan meningkatkan nilai fraksi volume pori. Dengan aging yang semakin lama pula maka ikatan antara partikel-partikel silika satu sa tu dengan yang lain akan semakin kuat sehingga akan memperkecil kemungkinan terjadinya pengerutan pori. Pengerutan pori akan berpengaruh pada besarnya surface area . Besarnya surface area akan meningkatkan konsentrasi pada permukaan gugus silanol (SiOH). Kondisi asam akan menghasilkan jaringan yang rapat, sedangkan kondisi basa
Abu baggase merupakan hasil pembakaran ampas tebu ketel. Abu baggase memiliki kandungan silika oksida sebesar 50,36 % seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.3. Abu baggase memilik bentuk yang bersifat amorf. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3.3 hasil pengujian difraksi menunjukkan pola difraksi yang landau tanpa adanya puncak curam. Puncak tertinggi terletak pada 2 theta 21.9959 dengan d-spacing [Å] 4.40111. Serbuk silika yang dihasilkan dari ekstraksi juga bersifat amorf. Intensitas tertinggi serbuk silika didapatkan pada variasi waktu penuaan 18 jam dengan pH 7. Data tersebut diperlihatkan oleh Gambar 3.4 dan Gambar 3.5. Serbuk silika yang terbentuk memiliki karakter yang berbeda-beda tiap variable. Untuk silika pH 6 memiliki bentuk heksagonal sesuai dengan JCPDF 01-078-0258, pH 7 berbentuk monoklinik 01-083-1832, pH 8 berbentuk orthorombik 01-082-1555, dan pH 9 berbentuk sama dengan pH 7. Perbedaan ini disebabkan karena bentuk morfologi dari partikel yang tidak seragam seperti ditunjukkan pada Gambar 3.7. Tabel 3.3 Hasil Uji Komposisi Abu Baggase Jumlah (% Kandungan berat) SiO2
50,36
K 2O
19,34
CaO
8,81
TiO2
0,26
V2O5
0,51
MnO
0,68
Fe2O3
18,78
CuO
0,15
ZnO
0,15
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 264
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
3.4 Analisa Gugus Fungsi Silika Gel dengan Abu Baggase
300
110
250 Silika Gel Abu Baggase
200 tyi s n
100 90 % e
te
150 c n
nI at
80 ti m
100 s n ar T
50
70
Silika Abu Baggase
60
0
20
40
60
80
50 500
2 theta
300
200 et
150
s
i
Aging 12 Jam Aging 18 Jam Aging 24 Jam
n nI
100 50 0
20
40
2000
2500
3000
60
80
2 theta
Gambar 3.4 Pola Difraksi X-ray Serbuk Silika Variasi Waktu Aging 12, 18, dan 24 Jam
300
pH 6 pH 7 pH 8 pH 9
400 250 350
Gambar 3.6 Hasil Uji Fourier Transform InfraRed Abu Baggase dan Serbuk Silika
3.5 Morfologi Partikel Serbuk Silika
Citra SEM (Scanning Electron Microscopy) dibawah ini menunjukkan bentuk partikel yang tidak seragam. Pada setiap variasi var iasi pH baik 6,7,8, dan 9 memiliki kesamaan yaitu bentuk tidak teratur dengan fasa amorf pada perbesaran 10.000x seperti pada Gambar 3.7. a)
Silika Gel Abu Baggase
200 300 tyi s
250 n y 150 te it s In n 200 te 100 nI 150 50 100 50 0 0
20
20
40
40
60
2 theta
60
3500
Pada analisa Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk kedua bahan yaitu bahan baku abu baggase dan serbuk silika terdapat spektrum yang menyatakan terdapatnya gugus fungsi untuk O-H dan Si-O yang muncul. Masing-masing berada pada puncak spektrum adalah pada 860,42 cm-1 dan 1103,32 cm-1. Pada abu baggase masih muncul spectrum yang mengindikasikan adanya impuritis seperti kalium, kalsium, dan besi dalam fase hematit didalam sampel sedangkan untuk serbuk silika tidak terdapat impuritis semua murni SiO 2.
350
yt
1500
Wavenumber
Gambar 3.3 Pola Difraksi X-ray Abu Baggase dan Serbuk Silika pH 6 18 jam
250
1000
80
80
2 theta
Gambar 3.5 Pola Difraksi X-ray Serbuk Silika Variasi pH Pembentukan pH 6,7,8, dan 9
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 265
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Daftar Pustaka
[1] Affandi S, et al, 2009. A facile method for production of high-purity silica xerogels from baggase ash. Advanced Powder Technology 20, 468-472 [2] Ellis B.L, et al , 2012. Opinion Solid State Mater. Sci. 16 (4) 168 – 177 177 [3] Honma T, et al, 2015. Electrical Electrical conductivity of Na2O-Nb2O5-P2O5 glass and fabrication of glass-ceramics composites with NASICON type Na3Zr 2Si2PO12. Solid State Ionics 269, 19-23 [4] Lalere F, et al, 2014. 2014. An all-solid state NASICON sodium battery operating at 200οC. Journal of Power Sources 247, 975 980 [5] Muljani S, et al, 2014. A facile method for the production of higg-surface-area mesoporous silica gels from geothermal sludge. Advanced Powder Technology 25, 1593-1599 [6] Nazriati N, et al, 2015. Using baggase ash as silica source when preparing silica aerogels via ambient pressure drying. Journal of NonCrystalline Solids 400, 6-11 [7] Tarascon J.M, et al, 2015. 2015. Synthesis, Synthesis, structure and electrochemical properties of metal malonate Na2M(H2C3O4)2•nH2O (n = 0, 2) compounds and comparison with oxalate Na2M2(C2O4)3•2H2O compounds. Solid State Sciences 42, 6 – 13 13
b)
c)
d)
Gambar 3.7 Hasil Citra Scanning Electron Microscopy Silika denga Variasi pH a) pH 6, b) pH 7, c) pH 8, d) pH 9 perbesaran 10.000x 4.
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut: 1. Waktu aging dan pH mempengaruhi surface area pada silika gel. Surface area paling besar yang dimiliki silika gel adalah sebesar 234,222 m2/g pada pH=6 dan waktu aging selama selama 18 jam dengan diameter pori 3.391 nm dan volume pori 0.219 cc/g. 2. Hasil XRD menyatakan bahwa silika yang dihasilkan dari metode sol-gel memiliki kemurnian yang tinggi dengan fasa amorf dan berbentuk hexagonal. Intensitas tertinggi dihasilkan oleh varian pH pembentukan 6 dan waktu penuaan 18 jam.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 266
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Proses Kalsinasi Secara Vakum Pada Sintesa Senyawa LIBOB Sebagai Elektrolit Baterai Litium Ion Titik Lestariningsih, Etty Marti Wigayati, Bambang Prihandoko Pusat Penelitian Fisika Fisika – – LIPI LIPI komplek PUSPIPTEK, Tangerang Selatan, 15313, Indonesia Email : :
[email protected],
[email protected] [email protected]
Abstract Lithium bis (oxalato) borate or LIBOB has been proposed as an electrolyte salt to substitute LiPF 6 that that has some problems in Lithium Ion Batteries. A lot of research on synthesis of electrolyte salt LIBOB has been done to improve performance as electrolyte Lithium Ion Batteries. This paper describes the result of research on synthesis and characterization of LIBOB compound through vacuum and without vacum calcination process. LIBOB is made of powder metallurgy by mixing technical raw materials H 2C 2O4.2H 2O, LiOH and H 3 BO3. Variation of samples were LIBOB synthesis through vacuum calcination at a temperature of 100 oC and LIBOB synthesis without vacuum calcination at a temperature of 240 oC. The LIBOB synthesis result was white powder. This powder then characterized using XRD and BET to determine the crystal structure and pore structure formed. The characterization results of these two technical LIBOB powder then compared to the characterization results of commercial LIBOB powder. The XRD analysis results showed that to these two samples have formed LIBOB phase and LIBOB hydrate. However, in the sample of technical LIBOB without vacuum calcination has formed another phase, i.e. Lithium Hydroxide. The pore structure analysis results showed that the sample technical LIBOB through vacuum calcination process had surface area larger than that of the technical LIBOB without vacuum calcination process, with area 75.994 m 2 /g and 41.524 m 2 /g respectively, while the surface area for commercial LIBOB is 108.776 m 2 /g. Keywords : Lithium bis (oxalato) borate, XRD, BET, calcination, vacuum.
1. Pendahuluan Pengembangan garam elektrolit untuk baterai litium ion pada saat ini terus menerus dilakukan oleh para peneliti seiring dengan pengembangan baterai sebagai penyimpan energi. Elektrolit merupakan salah satu bagian dari komponen baterai selain anoda, katoda, elektrolit dan separator. Elektrolit harus semata-mata bersifat konduktif ionik sedangkan elektroda harus bersifat konduktif ionic dan elektronik. Lithium bis oksalato borat (LiBOB) adalah salah satu bentuk dari garam Litium yang mempunyai ionic conductivity yang baik dan sifat electrokimia yang stabil, sehingga LiBOB sangat menjanjikan untuk dipergunakan sebagai elektrolit pada baterai Litium ion pada beberapa tahun ini [1,2]. LIBOB mempunyai banyak keunggulan dibanding bahan elektrolit yang digunakan selama ini. LIBOB merupakan bahan aktif elektrolit pada baterai Litium ion. Pada suhu diatas 300°C terjadinya dekomposisi menjadi Li 2CO3, B2O3, CO2, CO[5]. Sifat fisis LiBOB merupakan topik yang menarik dan penting bagi penelitian dan pengembangan baterai Litium ion. Fungsi elektrolit pada baterai adalah sebagai media transfer ion Li antara anoda dan katoda. LIBOB sebagai calon bahan pengganti LiPF6 yang sangat beracun [3,4] dan berbahaya bagi kesehatan manusia. LIBOB mempunyai stabilitas termal yang baik, karena stabilitas termal LIBOB sebagai larutan elektrolit pada baterai Litium ion jauh lebih tinggi dari pada garam Li
lainnya (misalnya, LiPF 6, LiBF4), sehingga akan memungkinkan baterai Litium ion untuk beroperasi pada suhu tinggi, terutama yang dibutuhkan oleh kendaraan listrik hybrid (HEV)[4]. Dalam makalah ini kami melakukan penelitian tentang sintesis dan karakterisasi senyawa LIBOB dengan proses kalsinasi secara vakum dan tanpa vakum dari bahan teknis sebagai elektrolit baterai Litium ion. Salah satu proses yang penting dalam pembuatan senyawa LIBOB adalah proses kalsinasi. Kalsinasi adalah proses penghilangan air, karbon dioksida atau gas lain yang mempunyai ikatan kimia dengan senyawa tersebut. Kalsinasi merupakan suatu bentuk perlakuan panas pada suhu tinggi. Tujuan dari kalsinasi adalah untuk menghilangkan semua zat yang tidak dibutuhkan dari dalam butiran gel (senyawa LIBOB). Penggunaan temperatur yang kurang akan berakibat tujuan kalsinasi tidak tercapai, sebaliknya jika temperatur kalsinasi berlebih akan berakibat menurunnya luas permukaan dan tereduksinya ukuran pori sehingga akan menurunkan sifat difusi [5]. Dalam penelitian ini kami melakukan proses kalsinasi secara vakum maupun tanpa vakum, hal ini bertujuan untuk mendapatkan sintesa senyawa LIBOB dari bahan teknis dengan proses kalsinasi secara vakum atau tanpa vakum untuk mendapatkan garam LIBOB dengan karakteristik mendekati /menyerupai LIBOB komersial.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 267
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
2. Metode Metode yang digunakan dalam sintesa LIBOB pada makalah ini adalah metode metalurgi serbuk dengan mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Bi-Tao Yu [6] dan Lestariningsih T. [7] Bahan yang digunakan dengan kualitas bahan teknis adalah H 2C2O4.2H2O, LiOH dan H 3BO3 . Reaksi sintesa LIBOB atau LiB(C 2O4)2 adalah sebagai berikut [5]:
pembuatan LIBOB dengan kalsinasi secara vakum maupun kalsinasi tanpa vakum. 2.1. Proses pembuatan LIBOB dengan kalsinasi secara vakum. Bahan baku teknis yang digunakan adalah H2C2O4.2H2O, LiOH dan H 3BO3 dengan perbandingan mol 2:1:1. Proses pembuatan LIBOB diawali dengan pencampuran H 2C2O4.2H2O dan LiOH sampai tercampur merata dengan mortar kemudian dikalsinasi pada temperature 60 oC selama 2 jam. Hasil kalsinasi tersebut dicampur dengan Asam Borat (H 3BO3). Pencampuran dilakukan dengan mortar sampai merata, selanjutnya di kalsinasi secara vakum pada temperatur 70 oC selama 6 jam kemudian temperatur dinaikkan sampai 100 oC ditahan selama 3 jam. Hasil kalsinasi berupa serbuk berwarna putih selanjutnya dianalisa dengan XRD dan BET.
2 HOOCCOOH.2H 2O + LiOH.H 2O + H3BO3 → LiB(C2O4)2 + 9 H2O Dalam penelitian ini variasi sampel yang dilakukan adalah sintesa LIBOB dengan kalsinasi secara vakum pada temperatur 100 oC dengan mengacu pada Zhang Li Juan [8] dan sintesa LIBOB dengan kalsinasi tanpa vakum pada temperatur 240 oC mengacu pada Bi Tau Yu [6]. Kalsinasi tanpa vakum vakum dilakukan dengan tungku muffle muffle merek thermoline sedangkan kalsinasi secara vakum dengan oven merek Songling Cina Cina tipe SBVO-03. SBVO-03 . Hasil sintesa LIBOB berupa serbuk berwarna putih dan selanjutnya dikarakterisasi menggunakan XRD dan BET untuk mengetahui struktur kristal dan struktur pori yang terbentuk. Alat XRD yang digunakan dari Rigaku Smartlab, dengan target CuKλ dengan rentang sudut 100 sampai 800. Selain dengan analisa XRD serbuk LIBOB yang kita peroleh juga diukur/dianalisa adsorpsi dan desorpsi Nitrogen dengan metode BET. Alat BET yang kita gunakan adalah Quantachrome Nova 4200e . Hasil analisa serbuk LIBOB untuk sampel hasil dari sintesa dengan kalsinasi secara vakum maupun tanpa vakum selajutnya kami bandingkan dengan analisa LIBOB komersial dari produksi Sigma Aldrich. Berikut skema proses
2.2. Proses pembuatan LIBOB dengan kalsinasi tanpa vakum. Bahan baku teknis yang digunakan adalah H2C2O4.2H2O, LiOH dan H 3BO3 dengan perbandingan mol 2:1:1. Proses pembuatan LIBOB diawali dengan pencampuran H 2C2O4.2H2O. LiOH dan H3BO3 sampai tercampur merata dengan mortar kemudian dikalsinasi. Proses kalsinasi secara bertahap, tahap pertama pada temperatur 120 oC ditahan selama 4 jam kemudian dikalsinasi pada tahap ke dua pada temperatur 240 oC selama 6 jam. Hasil kalsinasi berupa serbuk berwarna putih selanjutnya dianalisa dengan XRD dan BET.
3. Hasil & Pembahasan
Analisa XRD a. LIBOB Teknis Vakum
2
4000
2
2
12
2000
1. LIBOB 2. LIBOB hidrat 3. Litium hidroksida
2
2
12 1
2 2
2 12
0,0
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 268
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
I N T E N S I T Y
c
b. LIBOB komersial
6000
Semua peak merupakan fasa LIBOB hidrat
4000
2000
s
0,0 c. LIBOB Teknis tanpa vakum 12
8000 Fasa LiOH hidrat terbentuk mulai pada sudut teta 38,833 o
2
6000 2 2
12
2
2000
1
2
2
12
1
0, 10
20
40
60
2 theta (deg)
Gambar 1. Pola Difraksi sinar-X senyawa LIBOB (a) LIBOB Teknis Vakum (b) LIBOB komersial dan (c) LIBOB Teknis tanpa vakum. Pada gambar 1. ditunjukkan hasil pengukuran pola difraksi sinar-x untuk serbuk LIBOB hasil sintesa dengan kalsinasi secara vakum maupun tanpa vakum. Sedangkan pola difraksi pada LIBOB komersial dalam analisa ini digunakan sebagai pembanding. Dari hasil pengukuran dengan difraksi sinar-x pada sampel menunjukkan bahwa keduanya baik senyawa LIBOB hasil sintesa dengan kalsinasi secara vakum maupun tanpa vakum telah terbentuk fasa LIBOB berdasar ICDD00-056-0139 maupun LIBOB hidrat berdasar ICDD 01-073-9447 dengan jumlah prosentase yang berbeda. Namun pada
LIBOB hasil sintesa dengan kalsinasi tanpa vakum masih muncul fasa Litium hidroksida hidrat berdasar ICDD04-010-3208. Hal ini diduga karena sampel belum terkalsinasi secara optimal. Dimana kalsinasi merupakan proses untuk menghilangkan semua zat yang tidak dibutuhkan dari dalam butiran garam LIBOB. Sementara untuk LIBOB hasil sintesa dengan kalsinasi secara vakum menunjukkan hasil yang sudah menyerupai garam LIBOB komersial. Secara lengkap hasil refinement difraksi sinar-x pada sampel tersebut ditunjukan pada tabel 1. seperti dibawah ini.
Tabel 1. Parameter struktur hasil refinement pola difraksi sinar -X Sampel
Nama fasa
Libob LIBOB Teknis vakum
LIBOB Komersial
LIBOB
Libob hydrat
Libob hydrat
Calc. density(g/cm ^3)
2,053
1,953
1,972
Libob
Komposisi Fasa (%)
5,4
94,6
100
13,5 1,941
Lattice parameter parameter (Amstrong) (Amstrong) a = 6,501 b= 7,512 c =12, 079 (A) (A) α = 90o β= 90o γ= 90o V(A^3) = 589,9 Space group : 62 : Pnma a = 16,110 b= 15,912 c=5,6161 (A) α = 90o β= 90o γ= 90o V(A^3) = 1439,6 Space group : 61 : Pbca a = 16,1193 b= 15,9187 c=5.6164 (A) α = 90o β= 90o γ= 90o V(A^3) = 1441,15 Space group : 61 : Pbca a = 6,3698 b= 7,5867 c =13,195 (A) α = 90o β= 90o γ= 90o V(A^3) = 640,09(14)
Sistem Kristal Orthorombik
Orthorombik
Orthorombik
Orthorombik
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 269
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015 Teknis
Space group : 62 : Pnma
Libob hydrat
2,020
Lithium Hidroksida hidrat
1,469
59,0
28,0
a = 16,132 b= 15,925 c=5,6219 (A) α = 90o β= 90o γ= 90o V(A^3) = 1444,3(5) Space group : 61 : Pbca
Orthorombik
a = 7,341(13) b= 8.543(17) c=3,197(4) α = 90o β= 112,29(12) γ= 90 o V(A^3) = 185.5(5) Space group:12:C12/m1,unique-b,cell-1
Orthorombik
Analisa BET
320
Grafik Isotherm dari sistem adsorpsi – desorpsi nitrogen desorpsi nitrogen ditunjukkan pada gambar. 2. Gambar tersebut merupakan grafik jumlah adsorpsi nitrogen terhadap tekanan relative P/Po. Pada gambar 2. dapat dilihat bahwa isotherm adsorpsi nitrogen semua sampel sintesa LIBOB menunjukkan pola yang serupa dimana terjadi kenaikan secara cepat pada tekanan relative (P/Po) rendah, kemudian naik perlahan pada pertengahan dan naik lagi dengan cepat pada P/Po mendekati satu. Isotherm ini merupakan isotherm tipe IV yaitu jenis adsorpsi dari padatan berpori meso, yang memiliki ukuran 2-50 nm [9]. Pada grafik 2c. terlihat bahwa pada tekanan P/Po = 40 jumlah gas yang teradsorpsi maupun terdesorpsi sangat kecil dibandingkan dengan grafik 2b. dimana pada tekanan tersebut jumlah gas yang teradsorpsi maupun terdesorpsi hampir mendekati grafik 2a. yaitu LIBOB komersial. Pada tekanan P/Po=1 jumlah gas yang teradsoprsi maupun terdesorpsi untuk grafik 2c. paling rendah dibanding grafik 2b. maupun grafik 2a.
LIBOB Komersial
240 160 80 0 200
) 160 g / c c ( P T 80 S @ e m u l o 0,0 V 120
LIBOB Teknis – Teknis – vakum
LIBOB Teknis tanpa vakum
80
40
0.00
0.40
0.80
1
Relative pressure P/Po Gambar 2. Grafik Isotherm dari LIBOB LIBOB (a) komersial (b) LIBOB teknis vakum (c) LIBOB teknis tanpa tanpa vakum
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 270
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Table 2. Data analisa Surface Area, Average pore size, Total Pore Volume dari LIBOB No
Sampel
1
Libob Komersial
2
Libob Teknik vakum Libob Teknik tanpa vakum
3
Surface Area (m²/g) 108.776
Average pore size (nm) 19,148
Total Pore Volume (cc/g) 0,521
75,994
16,575
0,315
41.524
19,943
0,207
Dari tabel no.2 ditunjukan bahwa besar luas permukaan untuk LIBOB teknik vakum sebesar 75,994 75,994 m²/g lebih besar dari pada LIBOB teknis tanpa vakum dan mendekati luas permukaan LIBOB komersial sebesar 108.776 m²/g. 108.776 m²/g. Dari hasil analisa struktur pori bila dikaitkan dengan hasil analisa difraksi sinar-x menunjukkan bahwa semakin besar luas permukaan sampel LIBOB maka akan terbentuk LIBOB hidrat semakin besar pula, karena semakin besar luas permukaan suatu senyawa maka molekul hidrat akan mudah masuk ke dalam senyawa tersebut. Apalagi LIBOB merupakan senyawa yang bersifat higroskopis. Dari table 1. Ditunjukkan bahwa hasil analisa XRD untuk LIBOB teknik tanpa vakum membentuk membentuk fasa LIBOB hidrat : 59%, LIBOB:13,5% sedangkan pada LIBOB teknik vakum membentuk fasa LIBOB hidrat : 94,6% dan LIBOB LIBOB : 5,4% . Hasil analisa untuk sampel LIBOB teknik tanpa vakum bila dikaitkan dengan hasil analisa XRD maupun BET kemungkinan proses kalsinasi tidak optimal, dalam hal temperatur yang berlebih, karena jika temperatur kalsinasi berlebih akan berakibat membentuk senyawa lain atau terdekomposisi dan menurunnya luas permukaan serta tereduksinya ukuran pori karena terjadi perbesaran butir kristal (kristal mengembang). Pernyataan ini dibuktikan dari hasil analisa XRD yang tersaji pada tabel 1. Untuk sampel LIBOB teknis tanpa vakum terdapat fasa lain yaitu Litium hidroksida hidrat dan ukuran parameter kisi kisi / lattice parameter dan volumenya bertambah besar. Dari Dari hasil analisa BET jelas menunjukkan bahwa LIBOB teknis tanpa vakum mempunyai luas permukaan terkecil, walaupun ukuran pori lebih besar dari pada LIBOB teknis vakum, namun besar total volume lebih besar dari pada LIBOB teknis tanpa vakum. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sintesa LIBOB dari bahan teknis dengan kalsinasi secara vakum lebih optimal dari pada sintesa LIBOB dengan kalsinasi tanpa vakum atau dengan kata lain LIBOB teknik vakum mempunyai karakteristik lebih mendekati karakteristik LIBOB komersial dari pada LIBOB teknis tanpa vakum. vakum. 4. Kesimpulan Sintesa LIBOB dari bahan teknis dengan kalsinasi secara vakum lebih optimal dari pada sintesa LIBOB dengan kalsinasi tanpa vakum karena
hasil analisa XRD maupun BET untuk sampel LIBOB teknik dengan kalsinasi secara vakum menunjukkan hasil yang lebih mendekati LIBOB komersial dari pada LIBOB teknis hasil kalsinasi tanpa vakum. Dari analisa XRD , untuk LIBOB teknik secara vakum membentuk fasa LIBOB hidrat = 94,6 %, LIBOB teknik tanpa vakum membentuk fasa = 59 % sementara LIBOB komersial membentuk fasa LIBOB hidrat = 100 % . Sedangkan hasil analisa BET menunjukkan bahwa LIBOB teknik secara vakum mempunyai luas permukaan 75,994 m²/g 75,994 m²/g dan LIBOB teknis tanpa vakum sebesar 41,524 m2/g sementara luas permukaan LIBOB komersial sebesar 108.776 m²/g. 108.776 m²/g. Daftar Pustaka
[1]. U. Lischka, U. Wietelmann dan M. Wegner,1999, Jerman Pat, DE 19829030 C1 . [2]. W. Xu and C.A. Angel., 2001, Electrochem. Solid-State Lett ., ., 4 , pp. E1 – E4. E4. [SD-008] [3]. Sasaki Y, Handa M, Sekiya S, Katsuji K, Kyohei U, 2001, Journal of Power Sources, Sources , 97/98, p. 561−565. [4]. Gao Hong-Quan, Zhang Zhi-An, Li Jie, Liu YeXiang, 2008, J. Cent. South Univ. Technol . Vol.15, p. 830−834. [5]. B.R. Stanmore, P.Gilot, 2005, ReviewCalcination and Carbonation of Limestone during thermal cycling for CO2 Sequestration, Fuell Processing Technology, Technology, Vol 86, 17071743. [6]. Bi Tao Yu , Wei-Hua Qiu, Fu-Shen Li, LiFen Li, 2007, Kinetic study on solid state reaction for synthesis of LIBOB, Journal of Power Sources, Sources, Volume 174, Issue 2, 2, Pages 1012-1014. [7]. Lestariningsih. T, Wigayanti. E.M, Prihandoko. B., 2013, Proses Pembentukan Senyawa LiB(C2O4)2 dengan Variasi Suhu Sinterin , Sinterin , Journal Telaah, Telaah, volume 31, p.39-44. [8]. Zhang Li-juan, Sun Jing, Li Fa – qiang, qiang, Wang Lian-Liang, 2010, Preparation by Improved Solid-State Method and Purity Determination of LIBOB , Journal of Central South University (Science and Technology) [9]. Gregg SJ & Sing KSW. 1982, Adsorption, Surface Area and Porosity. 2 nd Edition, London:Academic Press
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 271
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Analisa Konduksi Panas pada Functionally Graded Materials dengan Metode Meshless Mas Irfan P. Hidayat Departemen Teknik Material dan Metalurgi-FTI, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Keputih Sukolilo 60111 Surabaya
[email protected]
Abstract In this paper, meshless local local B-spline based finite difference difference (FD) method method is developed and presented presented for analysis of transient heat heat conduction conduction in functionally functionally graded materials materials (FGMs). The method is truly meshless as only a set of scattered nodes is required to discretize problem domain. Fashioned in the spirit of generalized FD framework, the key aspect of the method is that any derivative at a node is stated as neighboring nodal values based on the B-spline interpolants. The method is applied for solving two-dimensional nonlinear transient heat conduction in FGMs with inhomogeneous heat source. An iterative procedure based on predictor-corrector method is employed as linearization scheme and time integration i s i s performed using θ -method. -method. The results obtained are compared and validated to those obtained by FE method. The efficacy of the method for solving transient heat conduction in FGMs is clearly shown. Keywords Keywords:: m e s h l e s s , B - s p l i n e , g e n e r a l i z e d F D , n o n l i n e a r h e a t c o n d u c t i o n , F G M s
1.
Pendahuluan Functionally graded materials (FGMs) adalah kelas material maju dari material komposit yang memiliki sifat material yang bervariasi dari satu titik ke titik lainnya. Dengan demikian, FGMs memiliki gradient komposisional dari satu komponen ke komponen lainnya. Karakteristik sifat material yang kontinyu tersebut menghilangkan masalah-masalah terkait diskontinyuitas interface yang lazim dijumpai di material komposit biasa, sehingga FGM dapat didesain berdasarkan fungsi tertentu yang dikehendaki. Pembuatan FGMs didasarkan atas pemrosesan bulk/partikulat, pemrosesan pre-form, pemrosesan lapisan maupun pemrosesan luluh. Terdapat dua model untuk merepresentasikan gradasi yang kontinyu dari properti-properti material FGMs: fungsi exponensial dan fraksi volume beserta rule of mixtures. Dari kedua model tersebut, fraksi volume dan rule of mixtures memberikan representasi yang paling realistis dari gradasi properti material FGM tersebut. Namun, tidak seperti halnya model fungsi ekponensial, penggunaan fraksi volume dan rule of mixtures membuat penyelesaian analitis untuk masalah-masalah FGMs menjadi rumit atau hampir tidak mungkin. Oleh karenanya, metode-metode numerikal menjadi pilihan untuk penyelesaian masalah-masalah FGMs dengan penggunaan model fraksi volume dan rule of mixtures. Pada umumnya metode FE, Green’s functions dan metode analitis digunakan dalam analisa termal dan struktur FGMs tersebut [1]. Nguyen, dkk. [2] melakukan analisa pelat FGMs dengan metode smoothed FE. Feng, dkk. [3] melakukan analisa termal-mekanikal terhadap Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
bejana silinder FGM dengan metode smoothed s moothed FE. Filippi, dkk. [4] melakukan analisa statis balok FGMs dengan metode FE berdasarkan berbagai teori balok. Murin, dkk. [5] memberikan penyelesaian eksak terhadap masalah vibrasi bending dari balok FGM dengan variasi properti material. Ootao, dkk. [6] memberikan analisa tegangan termal transient dari strip magnetoelectro-thermoelastic FGMs akibat pemanasan permukaan yang tidak rata, sementara solusi eksak 3D dari masalah termal-elastisitas pelat FGMs dengan hukum exponensial diberikan oleh Ootao dan Ishihara [7]. Selain itu, penyelesaian masalahmasalah termal untuk FGM dengan pendekatan Green’s functions juga diajukan oleh Kim dan Noda [8] dan Zhang, dkk. [9]. Dalam makalah ini, metode meshless local B-spline based finite difference (MLBFD) dikembangkan dan disajikan untuk analisa konduksi panas kondisi non-tunak (transient) pada FGMs. Berbeda dengan metode-metode di atas, metode ini bersifat meshless atau tanpa mesh sama sekali karena hanya sebuah set nodes acak yang diperlukan untuk diskritisasi sebuah domain. Didasarkan atas kerangka FD, aspek utama dari metode tersebut adalah sembarang derivative pada suatu node dinyatakan sebagai nilai-nilai nodal di sekeliling atau kitarannya. Metode tersebut diterapkan untuk menyelesaikan masalah konduksi panas nonlinear pada FGMs akibat adanya sumber panas yang tidak homogeny. Untuk skema linearisasi, prosedur iterative berdasarkan metode predictor-corrector digunakan bersama-sama dengan metode θ untuk θ untuk integrasi waktu. Hasil yang didapat dibandingkan dan divalidasikan terhadap hasil dengan metode elemen hingga. Efektivitas
272
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
d k u x j
metode tersebut ditunjukkan dalam makalah ini. Metode Meshless Local B-spline-FD Di bagian ini, penurunan secara ringkas dari metode meshless local B-spline-FD disajikan T 0 , 1 ,..., n k adalah [10-12]. Dianggap sebuah urutan bilangan real yang meningkat, maka disebut sebagai knots dan T sebagai vector knot. i Sebuah interval 0 , 1 , yang diizinkan kosong, disebut sebagai knot span. span. B-spline basis function ke-i dengan order k (degree p k 1 ), N i , k t diberikan secara rekursif oleh relasi:
dx
2.
k
n
w
k
j , i
u x i
(4)
i 1
dimana: w k are bobot yang akan ditentukan oleh users.
1 if i t i 1 (1) N i ,1 t 0 otherwise t t i t t N i , k t N i , k 1 t i k N i 1, k 1 t (2) t i k 1 t i t i k t i 1
center points xi
i support domain of x j support points
dimana: N i 1, t adalah fungsi step, the N i , k t adalah kombinasi linear dari dua basis functions orde k 1 untuk k 1 and t adalah koordinat parametrik. Konvensi 0 / 0 0 digunakan dalam pembagian. Dengan memakai notasi umum N a untuk B-spline basis functions, sebuah fungsi u x dapat dinyatakan sebagai: N
N
ux ux
a i
ˆ
x
(3)
i
Gambar 1. Sebuah domain global and set dari nodes i didalam support domain dari titik pusat x j . Dengan menotasikan matrik interpolasi sebagai B dengan entry dari B-spline basis
Bi , j N ia, j ,
i 1,..., ns ; j 1,..., N B ,
vector
nilai
nodal pada ns ns nodes sebagai u , kita bias mendapatkan pendekatan turunan Lu x j sebagai:
i 1
d dimana: x R adalah vector variabel spasial, adalah koefisien pendekatan dari B-spline basis functions N a x dan N adalah jumlah basi B
Lu x j Lu x j ˆ
ns
H x / j
i
(5)
Vektor bobot w dinyatakan sebagai: w
H/B
(6)
Maka matrik diferensiasi
D m bias
didapat dengan
Untuk satu dimesi, N a diberikan oleh space C dari fungsi polynomial dengan derajat k 1 dalam kurang atau sama dengan interval I a1 , b1 0 , n k , smentara untuk
ux
i 1
spline. univariate B-spline basis b N 0, k ,..., N n , k untuk
B
mengasembly semua bobot w dari semua stensil untuk memberikan solusi global U di seluruh domain :
dimensi yang lebih tinggi N a dihasilkan dari produk tensor dari univariate B-spline basis functions tersebut yaitu N a x N i , k x M j ,l y di dalam domain produk
, . ,..., x ada di Jika sebuah subset x , x
tensor S = = [a [a1, b1]
[a2, b2] = [a i
dalam set global
0
, n i
0
k
2
m l
ns
yang berisikan titik-titik
original x i , x 2 ,..., x NC R dengan NC adalah d
jumlah nodes total seperti dalam Gambar 1, maka metode FD memberikan turunan dari sebuah fungsi u x pada titik x x j dengan:
DmU F
(7)
di mana: U adalah vektor dari variabel yang tidak diketahui dan F adalah vektor dari gaya-gaya luar. Prosedur metode MLBFD dapat digambarkan sbb: 1. Tentukan distribusi node pada sebuah domain 2. Tentukan kondisi-kondisi batas dan awal 3. Untuk sebuah centre node x j , tentukan stensil dari sejumlah
ns titik di sekitar x j
4. Dapatkan bobot pada setiap stensil Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 273
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
5. Susun vektor-vektor bobot dari semua stensil untuk membentuk matrik diferensiasi 6. Selesaikan persamaan berkenaan 3.
Implementasi Numerikal Persamaan umum untuk konduksi panas sebuah bodi isotropic yang melingkupi domain dengan batas diberikan oleh: .
. T x, t x, T cx, T .k x, T T x, t Qx, T , t t
in
(8)
Kondisi-kondisi batas: _
T x, t T x, t
on 1
q x, t
on 2
h T x, t T x, t
on
n . k T x, t
f
(9)
C x, T 1 t K x, T T q
t F x,T q (13) dimana: dimana: Δt adalah time step dan q time level (yaitu Nilai-nilai t q qt untuk uniform time step). 1/ 2 or 2 / 3 masing-masing bersesuaian dengan skema Crank-Nicolson atau Galerkin implicit mungkin dipilih. Dalam studi ini, nilai 1/ 2 dipilih. Pustaka [10,11] dapat diacu lebih lanjut. Selanjutnya sebagai skema linearisasi dalam menyelesaikan persamaan nonlinear yang dihasilkan, skema berdasarkan predictor-corrector digunakan [13]. Langkah-langkah skema predictor-corrector tersebut adalah:
C x,T t K x,T T t F x, T q
q
q 1 *
C x, T q 1 t K x, T q T q
q
3
(14) Corrector step:
Kondisi awal:
T x, t t 0 T 0
in
T x, t
dimana
q 1
Predictor step:
_
n . k T x, t
C x,T t K x, T T
merepresentasikan
_ _ q q x , T t x , T C K Tr q11
(10)
_ _ q q x , T 1 t x , T C K T q t F x, T q
medan
temperatur, T 0 temperature awal, t waktu, x
(15)
dan cx adalah masing-masing densitas dan panas .
k x konduktivitas termal, Qx, t is
spesifik,
bangkitan panas per unit volume pada point x dan 1 , 2 dan 3 adalah masing-masing kondisi batas specified temperature, specified heat flux dan _
_
convection heat transfer. T dan q adalah masingmasing prescribed temperature dan prescribed heat flux pada batas-batas bersesuaian, h convection heat
Dalam predictor step, temperature dependent terms dihitung menggunakan temperature dari time level sebelumnya untuk memperkirakan solusi q 1
nodal T*
dependent
T
q
Tq T T 1 - t t t
q 1
q 1
C 1 t K Tq t F q
terms
corrector dievaluasi
step, pada
temperature intermediate
q
temperatur T diantara langkah-langkah dan corrector yang diberikan oleh: T
_ q
Tiq 1 1 T q , q 1
dimana: T0 jumlah
predictor
0,1
(16)
T*q 1 dan i = 0, 1, 2, . . . adalah
iterasi.
dihentikan ketika
Siklus q 1
Ti 1
predictor-corrector
cycle
Tiq 1 tercapai pada
sejumlah iterasi r dan dan nilai toleransi .
q 1
(11) 4.
dan mengelompokkan, maka akan didapat:
C t K T
Dalam _
transfer coefficient, T f environmental temperature, dan n unit normal vector. Dengan memasukkan fungsi basis B-spline ke dalam persamaan umum dari konduksi panas di atas, kemudian menggunakan teknik two-point θ untuk integrasi waktu sbb:
.
(12)
Hasil dan Diskusi Sebuah FGM terbuat dari zirconium oxide (ZrO2) dan titanium alloy (Ti-6Al-4V) yang dikenai bangkitan panas yang non-homogen dianalisa dalam makalah ini. Domain yang dianalisa beserta kondisikondisi batas dan awal ditunjukkan dalam Gambar 2.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 274
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Bangkitan panas dalam FGM tersebut : .
Q x, y 1 sin sin 10 x sin sin 5 y 5 10 6
T = = 300
T = = 300 A
P
Q B
0.1
T = = 300
T = = 300
R = 0.04 T = = 300
r
T = = 300
T = = 300 0.2
Gambar 2. Geometri FGM terbuat dari ZrO 2 dan Ti-6Al-4V beserta kondisi-kondis batas dan awal. Distribusi nodes tipikal untuk domain tersebut di atas ditunjukkan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Distribusi nodes untuk diskritisasi domain FGM dalam studi ini. Properti-properti thermal dari materialmaterial tersebut pada rentang suhu 300 K ≤ T ≤ 1100 K diberikan di [14,15]. Efektif properti dari FGM pada sebuah titik diberikan oleh:
p p1v1 p 2 v 2
(17)
dimana: p1 dan p2 adalah masing-masing properti properti dari konstituen 1 dan 2, sementara v1 dan v2 masing-masing adalah fraksi volume konstituen 1 dan 2. Fraksi volume tersebut diberikan oleh:
v1
r R R ' R
, v 2 1 v1
(18)
(19)
Sebagai benchmark, solusi dari metode FE dengan mesh yang halus terdiri dari 3356 nodes dan 6464 elements digunakan dalam studi ini. Software ANSYS dipakai untuk memberikan hasil dengan metode FE, sementara metode MLBFD dikembangkan dengan menggunakan MATLAB. Hasil-hasil didapat dengan Toshiba Satellite dengan OS Windows Vista Basic, Intel Pentium Dual Core x 1.46 GHz dan 1 GB RAM. Gambar 4 menunjukkan histori temperatur di dalam FGM tersebut untuk berbagai variasi distribusi node dan time step. Titik-titik A(0,0.07055) dan B(0.0594,0.0664) dipilih untuk menandai histori temperatur di dalam FGM akibat adanya bangkitan panas tersebut di atas. Untuk lebih memperjelas presentasi, hasil dari variasi temperatur di dalam FGM disepanjang garis PQ ( y = y = 0.07055) disajikan dalam Gambar 5. Dapat dilihat bahwa metode MLBFD memberikan hasil dengan akurasi yang bagus saat dibandingkan dengan hasil dari metode FE. Selain itu, metode MLBFD juga terbukti stabil saat menggunakan ukuran time step yang cukup besar. Hasil ini menunjukkan kestabilan dari metode MLBFD di dalam menyelesaikan masalah konduksi panas dalam FGM. Beban komputasi dari metode MLBFD tersebut juga dinilai dalam studi ini. Sebagai perbandingan, metode MLBFD dengam parameter parameter: order B-spline k = 9, jumlah supporting node ns = ns = 10, time step = 20 s dan s dan jumlah nodes 939 memerlukan 280.1 s, s, sementara metode FE (dengan mesh referensi) memerlukan 1560 s s untuk mendapatkan respons temperatur steady state (Gambar 4) dengan menggunakan time step 2.5 s. s. Rasio waktu komputasi relatif terhadap jumlah node dari metode MLBFD dan FE masing-masing adalah 0.298 dan 0.465. Dapat dilihat bahwa metode MLBFD memiliki beban komputasi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan metode FE. Di samping itu metode tersebut juga menarik karena sama sekali tidak memerlukan mesh. Selama ini penggunaan mesh menjadi bagian beban komputasi yang menyita hampir keseluruhan beban komputasi dari metode FE. Hasil-hasil di atas oleh karenanya menunjukkan efisiensi dan efektivitas dari metode meshless yang disajikan dalam makalah ini.
dimana: r adalah r adalah jarak radial sebuah titik dalam FGM. Dari Gambar 2, R 2, R = = 0.04 m and R
'
0.1 2 .
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 275
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
(b)
(a)
Gambar 5. Variasi temperatur di sepanjang garis PQ, dengan variasi: (a) time step (MLB-FDM k = = 6, ns = ns = 7, 488 nodes) dan (b) B-spline orders (MLB-FDM ns = 7, 488 nodes, Δt Δt = = 20 s 20 s). ). Hasil dengan metode FE ditampilkan untuk perbandingan.
5.
(b) Gambar 4. Histori temperatur di dalam `FGM pada beberapa titik tertentu, dengan dengan variasi: (a) distribusi node (MLB-FDM k = = 6, ns = 7, Δt Δt = = 20 s) s) dan (b) time step (MLB-FDM k = = 6, ns = ns = 7, 488
(a)
Kesimpulan Dalam makalah ini, metode meshless local Bspline-FD (MLBFD) dipresentasikan untuk penyelesaian masalah konduksi panas nonlinear dalam functionally graded materials (FGM) akibat adanya bangkitan panas yang tidak seragam. Metode MLBFD sepenuhnya meshless atau tanpa mesh karena hanya sebuah set nodes acak yang diperlukan untuk diskritisasi domain yang sedang ditinjau. Dibandingkan dengan metode FE, hasil-hasil numerical yang didapat menunjukkan efisiensi dan efektivitas dari metode MLBFD tersebut. Implementasi metode MLBFD untuk analisa konduksi panas pada domain tiga dimensi adalah studi numerikal yang menarik dan akan menjadi subjek studi selanjutnya. Daftar Pustaka [1] Thai, H. T. and Kim, S.E. S. E. (2015), “A “A review of theories for the modeling and analysis of functionally graded plates and shells ”, Composite Structures, Structures, Vol. 128, pp. 70-86. [2] Nguyen-Xuan, H., Tran, L.V., Nguyen-Thoi, T. and Vu-Do, Vu-Do, H.C. (2011), “Analysis “ Analysis of functionally graded plates using an edge-based smoothed finite element method” method ”, Composite Structures, Structures, Vol. 93, pp. 3019-39. [3] Feng, S. Z., Cui, X.Y., Li, G.Y., Feng, H. and Xu, F.X. (2013), “Thermo-mechanical “ Thermo-mechanical analysis of functionally graded cylindrical vessels using edge-based smoothed finite element method ”, International Journal of Pressure Vessels and Piping , Vol. 111/112, pp. 302-309.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 276
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
[4]
Filippi, M., Carrera, E. and Zenkour, A.M. (2015), “Static “Static analyses of FGM beams by various theories and finite elements” elements ”, Composites: Part B, B, Vol. 72, pp. 1-9. [5] Murin, J., Aminbaghai, M. and Kutis, V. (2010), “Exact “Exact solution of the bending vibration problem of FGM beams with variation of material properties ”, Engineering Structures, Structures, Vol. 32, pp. 1631-1640. [6] Ootao, Y., Ishihara, M. and Noda, K. (2011), “Transient thermal stress analysis of a functionally graded magneto-electrothermoelastic strip due to nonuniform surface heating” heating”, Theoretical and Applied Fracture Mechanics, Mechanics, Vol. 55, pp. 206-212. [7] Ootao, Y. and Ishihara, M. (2013), “Three“Threedimensional solution for transient thermoelastic problem of a functionally graded rectangular plate with piecewise exponential law” law”, Composite Structures, Structures , Vol. 106, pp. 672-680. [8] Kim, K. S. and Noda, N. (2001), “Green’s function approach to three-dimensional heat conduction equations of functionally graded mater ials”, ials”, Journal of Thermal Stresses, Stresses, Vol. 24, pp. 457-477. [9] Zhang, H., Kan, W. and Hu, X. (2013), “Green’s function approach to the nonlinear transient heat transfer analysis of functionally graded materials” materials ”, International Journal of Thermal Sciences, Sciences , Vol. 71, pp. 292-301. [10] Hidayat, M. I. P., Ariwahjoedi, B., Parman, S. and Seri Melor, P. (2014), “Meshless “ Meshless local Bspline-FD method and its application for 2D heat conduction problems with spatially varying thermal conductivity ”, Applied conductivity” Mathematics and Computation, Computation, Vol. 242, pp. 236-254. [11] Hidayat, M. I. P., Ariwahjoedi, B. and Parman, S. (2015), “A “A new meshless local B-spline basis functions-FD method for two-dimensional heat conduction problems” problems ”, International Journal of Numerical Methods for Heat and Fluid Flow, Flow , Vol. 25, pp. 225-251. [12] Hidayat, M. I. P., Ariwahjoedi, B. and Parman, S. (2013), “B-spline “B-spline Collocation with Domain Decomposition Method” Method ”, Journal of Physics, Physics, Vol. 423, pp. 1-12. [13] Lewis, R. W. and Roberts, P. M. (1987), (1987 ), “Finite “Finite Element Simulation of Solidification Problems” Problems”, Appl. Sci. Res., Res., Vol. 44, pp. 61 – 61 – 92. 92. [14] Khosravifard, A., Hematiyan, M.R. and Marin, L. (2011), “ Nonlinear transient heat conduction analysis of functionally graded materials in the presence of heat sources using an improved meshless radial point interpolation method” method ”, Applied Mathematical Modelling , Vol. 35, pp. 4157-4174. [15] Touloukian, Y.S. (1976), Thermophysical properties of high temperature solid materials, materials ,
McMillan, New York.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 277
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Analisa pengaruh waktu ultrasonikasi sintesis graphene dan dan komposisi -TiO -TiO2 terhadap unjuk kerja Dye graphene D ye Sen si ti zed Sol Sol ar Cel Cel l (D SSC) Diah Susanti, Umar Faruk, Hariyati Purwaningsih, Hanifuddin Nurdiansyah, Rindang Fajarin, Ratna Budiawati* Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Surabaya 60111, Indonesia *Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Jurusan Teknik Mesin, Surabaya 60111, Indonesia
[email protected]
Abstract In this research we developed Dye Sensitized Solar Cell (DSSC) ( DSSC) using composite material graphene/TiO 2 and black sticky rice as the dye. Graphene was synthesized via Hummer method. The purpose of this experiment was to analyze the effects of ultrasonication time of g raphene synthesis (90, 120 and 150 minutes) and the composition of graphene/TiO2 (0, 5 and 10-wt%) towards DSSC efficiency. The performance of DSSC in this experiment was based on the efficiency and DSSC fill factor. The maximum efficiency and fill factor were obtained when the ultrasonication time was 120 minutes and the graphene/TiO 2 composition was 10-wt%. The maximum efficiency value and fill factor were 0.015397 and 0.4794, respectively. Keywords Keywords : dye sensitized solar cell, graphene, ultrasonication, black sticky rice extract, semiconductor
1.
Pendahuluan Saat ini, krisis energy menjadi isu global dikarenakan ketergantungan terhadap bahan fossil yang cadangannya mulai menipis mengakibatkan kenaikan harga disetiap negara. Oleh sebab itu, Indonesia memerlukan pengembangan sumber energy alternatif yang ramah lingkungan. Indonesia, sebagai negara yang beriklim tropis, salah satu energi alternatif yang mempunyai potensi adalah sinar matahari. Untuk dapat memanfaatkan energi dari cahaya matahari tersebut, maka diperlukan suatu alat pengonversi cahaya matahari menjadi energi listrik yang disebut sebagai sel surya. sel surya yang digunakan adalah dye- sensitized solar cell (DSSC). Prinsip kerja dari DSSC antara lain absorbsi cahaya dilakukan oleh molekul dye dye dan separasi muatan oleh inorganik semikonduktor nanokristal yang mempunyai bandgap lebar, salah satunya adalah TiO 2. TiO2 banyak digunakan karena memiliki struktur porous yang porous yang dapat meningkatkan penyerapan dye dan dye dan meningkatkan efisiensi DSSC. Namun, struktur yang porous tersebut juga menyebabkan transfer muatan antar partikel TiO 2 dapat terhambat karena proses transfernya terjadi secara acak dan hopping . Oleh karena itu, pada penelitian ini, TiO 2 dikompositkan dengan graphene, dengan graphene, agar agar rekombinasi antar electron dan dye atau dye atau partikel dari elektrolit yang teroksidasi tidak terjadi. Sehingga permasalahn permasalahn di atas dapat teratasi. Material graphene graphene pun dilakukan pengembangan dengan variasi waktu ultrasonifikasi guna meningkatkan electrical properties yang kita inginkan, yaitu mempunyai nilai konduktivitas yang lebih baik dari sebelumnya, material graphene yang graphene yang di tambahkan sebanyak 5% dan 10% dengan variasi waktu ultrasonifikasi selama 90, 120 dan 150 menit digunakan untuk mengisi struktur porous yang terjadi pada lapisan semikonduktor TiO2.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
2. Metode 2.1. Sintesis graphene Sintesis graphene diawali dengan proses stirring terhadap 2g serbuk grafit (ukuran 150 µm, kemurnian 99%) dalam 80 ml H 2SO4 98% selama 4 jam yang diikuti dengan penambahan 8g KMnO 4 dan 4g NaNO3 secara bertahap setelah stirring berjalan selama 1 jam. Hasil dari proses tersebut adalah berupa larutan hitam. Selama proses stirring, larutan tersebut temperaturnya dijaga dibawah ±5 oC menggunakan ice bath. Setelah 4 jam stirring, larutan dipindahkan dari ice bath, lalu stirring dilanjutkan selama 24 j am dan temperatur dijaga tetap berada pada 350C sehingga menghasilkan larutan berwarna coklat. Larutan coklat tersebut selanjutnya ditambahkan 20 ml H 2O2 30%, sehingga larutan berubah warna dari coklat tua menjadi kuning cerah. Larutan kuning cerah tersebut kemudian dipisahkan antara endapan dan cairannya dengan proses centrifuging selama 1 jam dengan kecepatan 3000 rpm sehingga terbentuk gel dalam larutan yang terpisah dengan pelarutnya. Endapan tersebut kemudian dipisahkan, untuk dilakukan pencucian pertama menggunakan HCl 5%, yang terus dilakukan hingga pH endapan tersebut netral (pH=7) dan tidak ada ion sulfat didalamnya.Yang perlu menjadi catatan di sini adalah, pada pencucian kedua sampai pH netral dan tidak ada ion sulfat di dalamnya, pencucian yang dilakukan hanya menggunakan aquades. Untuk mendeteksi pH digunakan kertas lakmus pH, sedangkan untuk mendeteksi keberadaan ion sulfat (SO 4-) digunakan metode titrasi dengan BaCl 2 1M. Setelah pH mencapai netral dan titrasi dengan BaCl2 tidak menghasilkan endapan sulfat yang berwarna putih. Selanjutnya dilakukan proses drying terhadap gel grafit oksida tersebut dalam sebuah muffle furnace dengan temperatur 110 oC selama 12 jam.
278
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Setelah didapatkan lembaran grafit oksida yang tipis dan berwarna kehitaman, grafit oksida kemudian dilarutkan sebanyak 40 mg dalam 40 ml air suling menggunakan magnetic stirrer. Hasil akhir yang didapatkan berupa larutan grafit oksida yang homogen. Larutan grafit oksida tersebut kemudian diultrasonikasi dengan variasi waktu 90, 120 dan 150 menit sehingga didapatkan larutan graphene oksida. Setelah itu, 10 ml larutan HCl 35% ditambahkan pada larutan graphene oksida tersebut dalam kondisi non-stirring. Selanjutnya, sebanyak 1,6 g serbuk Zink (Zn) ditambahkan agar terjadi proses reduksi. Apabila reaksi reduksi tersebut telah selesai, yang ditandai dengan hilangnya gelembung- gelembung kecil pada larutan, dilakukan proses stirring 30 menit untuk homogenisasi larutan. Setelah itu, dilakukan penambahan HCl (35%) untuk kedua kalinya sebanyak 10 ml yang bertujuan untuk menghilangkan sisa Zn yang masih ada di larutan. Proses penambahan HCl tersebut menghasilkan endapan hitam yang selanjutnya dilakukan pencucian pertama menggunakan HCl 5%. Pencucian kedua dan seterusnya, hingga pH larutan graphene oksida netral (pH=7) dilakukan dengan aquades. Setelah pH mencapai netral, endapan graphene oksida dimasukkan ke dalam autoclave untuk dilakukan proses hidrotermal dalam sebuah muffle furnace dengan temperatur hidrotermal 160 oC selama 12 jam sehingga didapatkan lembaran atau serpihan graphene berwarna hitam. 2.2. Preparasi lapisan komposit grapheme-TiO2 Serbuk TiO2 P-25 seberat 3,5g dengan berbagai fraksi massa graphene (0wt %, 5wt %,dan 10wt), dan PEG-400 sebanyak 15 ml dicampur menggunakan magnetic stirrer sampai merata. Selanjutnya, pasta TiO 2 di coating pada substrat kaca FTO dengan metode doctor blade sehingga menghasilkan lapisan semikonduktor TiO 2-Graphene. Lapisan yang terbentuk tersebut kemudian di kalsinasi dalam sebuah muffle furnace pada temperatur 450oC selama satu jam. Setelah itu, lapisan elektroda tersebut dicelupkan pada larutan dye selama 1 hari (24 jam). 2.3. Preparasi larutan dye Larutan dye yang digunakan antara lain: Ekstrak ketan hitam (Oriza ( Oriza Sativa Glutinosa), pewarna Glutinosa), pewarna makanan biru, pewarna pakaian biru, pewarna pakaian hitam dan tinta hitam. Bahan dye yang digunakan sebanyak 13 gr dan pelarut sebanyak 50 ml yang meliputi 21 ml ethanol, 4 ml asam asetat (CH 3COOH), dan 25 ml aquades. 2.4. Preparasi larutan elektrolit Larutan elektrolit DSSC dibuat dengan melarutkan campuran antara 0,8 g KI 0,5 M ( Pottassium Iodide) Iodide) ke dalam larutan polietilena glikol (PEG) 400 sebanyak 10 ml, kemudian diaduk secara
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
merata. Selanjutnya, ditambahkan 0,127 g I 2 ( Iodine) Iodine) ke dalam larutan tersebut sampai ketiga bahan tersebut terlarut dengan sempurna. 2.5. Sensitasi lapisan komposit laminat Graphene/TiO2 Sensitisasi terhadap layer oksida dilakukan dengan mencelupkan lapisan fotoelektroda Fluorine Tin-doped Oxide (FTO) yang telah dilapisi dengan layer TiO2 dan TiO2-graphene yang telah dikalsinasi ke dalam larutan dye. Selanjutnya, kaca FTO diletakkan dengan posisi layer oksida menghadap ke atas. Lalu didiamkan selama 24 jam sehingga larutan dye menyerap sempurna ke dalam layer oksida. 2.6. Preparasi counter electrode Pada penelitian ini, digunakan counter katalis elektroda berupa kaca FTO yang telah disputter dengan lapisan Pd/Au menggunakan mesin coating Quantachrome untuk didapatkan penyebaran yang merata dari coating Pd/Au pada kaca Fluorine Tin-doped Oxide (FTO) yang konduktif selama 90 menit. 2.7. Perakitan DSSC Pada penelitian ini, perakitan Dye Sensitized Solar dilakukan sebagai berikut: 1.Kaca FTO dengan layer graphene- TiO 2 yang telah disensitasi dan sebuah counter elektroda Pd/Au ditumpuk dengan permukaan yang saling berhadapan. Kemudian, kaca FTO disusun membentuk sebuah struktur sandwich 2.Diberikan offset pada bagian ujung dari masingmasing elektroda sebesar 0,5 cm untuk kontak elektrik. 3.Kedua bagian pinggiran sel Dye Sensitized Solar Cell yang tidak diberi offset dij epit dengan penjepit kertas. 4.Kemudian diteteskan 2 – 3 3 tetes larutan elektrolit triiodide dari kedua ujung offset prototipe Dye Sensitized Solar Cell. Pastikan larutan elektrolit menyerap sempurna ke seluruh layer oksida. 5.Dye Sensitized Solar Cell sudah siap untuk diuji kelistrikannya. 2.8. Pengujian sampel DSSC Dye ekstrak ketan hitam (Oryza ( Oryza sativa glutinosa) glutinosa) yang digunakan sebagai photo sensitizer diuji absorbansi nya menggunakan Genesys 10S UVVis Spectrophotometer untuk mengetahui absorbansi nya pada rentang gelombang cahaya tampak. Material graphene graphene dan fotoanoda atau lapisan semikonduktor komposit laminat graphene-TiO graphene-TiO2 diuji karakterisasi nya menggunakan X-Ray Diffractometrry Diffractometrry dan Scanning Electron Microscope Microscope (SEM). Sedangkan prototype prototype DSSC diuji kelistrikannya menggunakan Keithley 2606A I-V Measurement untuk mengetahui unjuk kerja DSSC.
279
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil pengujian UV-Vis spektrofotometri Sampel uji yang digunakan pada pengujian ini berupa beberapa kandidat larutan larutan dye yang terbuat dari dari Ekstrak ketan hitam (Oriza Sativa Glutinosa), pewarna makanan biru, pewarna pakaian biru, pewarna pakaian hitam dan tinta hitam. Data hasil pengujian absorbansi UV¬-Vis terdapat pada gambar 1. Ekstrak ketan hitam memiliki nilai absorbansi tertinggi dengan intensitas 4.763 au pada panjang gelombang 494. Hal ini menandakan bahwa dye Ekstrak ketan hitam memiliki kemampuan menyerap cahaya matahari yang lebih baik dibandingkan dengan kandidat dye yang lainnya.
Gambar 2. Spektrum Absorbansi UV-Vis Dye Ekstrak Ketan Hitam (Oriza Sativa Glutinosa) 3.2. Hasil pengujian X-ray Diffractomettry (XRD) Pengujian XRD dilakukan dengan menggunakan X-ray Diffractometer Philips Analytical. Pengamatan menggunakan XRD dilakukan pada sudut 2ϴ = 5o – 90 90o dengan λ Cu-Kα 1,54060 Å. Hasil XRD dari grafit, grafit oksida, dan graphene dapat dibandingkan pada gambar berikut: Tabel 2. Data puncak tertinggi untuk material grafit, grafir oksida, dan graphene d-spacing Sample FWHM 2 (o)
(Å)
Gambar 1. Grafik Absorbansi Untuk Berbagai Kandidat Dye Kandidat Dye TABEL 1. Panjang gelombang dan absorbansipuncak spektrum UV-Vis untuk berbagai kandidat dye Dye
Ekstrak Ketan Hitam Pewarna Makanan Biru Pewarna Pakaian Biru Pewarna Pakaian Hitam Tinta Hitam
Peak (Rentang (Rentang Cahaya Tampak) Absor Waveleng bance th(nm) (a.u)
Spektrum Warna
494
4.763
Biru
642
4.291
Merah
573
3.328
Kuning
501
2.439
Hijau
494
4.767
Biru
Selain memiliki ntensitas yang tinggi, dye dari ekstrak ketan hitam memiliki kelebihan lainnya yaitu kestabilan nilai absorbansi terhadap panjang gelombang, ini dapat kita perhatikan pada gambar 2. dimana mulai dari panjang gelombang 240-567 nilai absorbansi tidak kurang dari skala 4 a.u, hal inilah yang tidak dipunyai dari kandidat lain.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Grafit Grafit Oksida Graphene
26.61
0.1840
3.347
11.27
0.5353
7.850
23.57
0.2007
3.769
Pada Tabel 2 d-spacing diperoleh dengan menggunakan hukum Bragg, persamaan (1). d-spacing dari grafit oksida lebih besar dibandingkan dengan grafit, hal ini dikarenakan adanya gugus-gugus fungsi oksigen yang tidak hanya meningkatkan Interlayer distance tetapi juga menyebabkan thick layer GO bersifat Hydophilic ( yang berarti bisa larut dalam air) [1], GO mempunyai layer dengan atom tunggal yang berisikan material karbon, hydrogen dan oxygen molekul dari hasil oksidasi grafit. Peak graphene terindentifikasi pada 2 θ=23.5745 o dengan d-spacing = 3.345 Å. peak yang di hasilkan menjadi lebar (broad) pada posisi ± 23-24° Peak ini bernama (002) dengan intensitas yang menurun drastic dibandingkan dengan grafit oksida dan grafit, hal ini akibat adanya proses pengelupasan dalam air pada saat ulrasonifikasi, dan membentuk one layer atau few layer graphene [1], yang berarti juga semakin bagus kualitas graphene yang terbentuk. Nilai dspacing graphene yang lebih kecil dibandingkan dengan grafit oksida menunjukan bahwa grafit oksida telah tereduksi menjadi graphene [2]. Graphene hanya berisikan ikatan karbon atom ato m dengan struktur trigonal SP2 dan berbentuk flat. [3]
280
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Gambar 3. Hasil XRD untuk Grafit, Grafit Oksida, dan Graphene.
Gambar 4. Pola XRD dari Graphene dengan waktu ultrasonifikasi yang berbeda Perhitungan untuk d-spacing menggunakan hukum bragg: Hukum Bragg:
=
(1)
Dimana:
= Jarak antar layer = Panjang Gelombang (1.54 = sudut difraksi ( o)
atom karbon dan makin menipisnya lapisan graphene yang terbentuk. Tetapi pada waktu ultrasonifikasi 150 menit nilai jarak antar layer yang terbentuk di bawah dari nilai jarak antar layer dari referensi yang di dapat. Hal ini dikarenakan proses waktu ultrasonifikasi yang terlalu lama yang menyebabkan kerusakan pada material graphene, graphene, sehingga properties yang diinginkan dari graphene graphene yaitu sifat konduktivitasnya yang baik didapat [4]. Sonifikasi adalah cara terefisiensi untuk exfoliating GO namun juga dapat menyebabkan kerusakan pada graphene graphene yang mereduksi ukuran permukaan graphene graphene dari microns menjadi nanometers, yang menyebabkan berbagai macam ukuran graphene ukuran graphene (tidak (tidak homogen). Proses reduksi GO menjadi graphene merupakan proses yang sangat vital dikarenakan mempunyai pengaruh pada kualitas graphene yang graphene yang di hasilkan, dengan menentukan seberapa dekat graphene yang terbentuk mendekati struktur graphene struktur graphene murni murni [5], agar graphene graphene yang didapatkan memiliki electrical properties yang diinginkan. Sedangkan intensitas juga mempunyai pola yang sama dengan jarak antar layer yaitu semakin menurunnya intensitas seiring bertambahnya waktu ultrasonifikasi. ultrasonifikasi. Pengujian XRD pada DSSC dilakukan dengan menggunakan sampel lapisan Titanium Dioksida (TiO2) dan TiO2 dengan komposisi graphene graphene 5; 10; 15% yang telah terdeposisi di kaca konduktif FTO. Pengujian terhadap DSSC dimaksudkan untuk mengamati fasa dan struktur yang terbentuk pada elektroda kerja DSSC yang terdiri dari material semikonduktor TiO 2 yang dikompositkan dengan berbagai variasi persentase graphene dan waktu ultrasonifikasi. Hasil pengujian XRD untuk berbagai variasi antara lain sebagai berikut:
Å)
Table 3. Perhitungan jarak antar layer pada graphene dengan variasi waktu 90, 120 dan 150 menit
90 Menit 120 Menit
23,5745 24,3265
dspacing (Å) 3,769 3,654
150 Menit
24,8947
3,572
Waktu Ultrasonifikasi
2 (O)
Intensity 280 181 123
Dari Tabel 3 di ketahui bahwa semakin lamanya waktu ultrasonifikasi sintesis graphene maka semakin menurun pula jarak antar layer yang terbentuk, dimana jarak antar layer 90 menit lebih besar dibandingkan dengan 120 menit. Nilai jarak antar layer yang terbentuk tersebut mendekati nilai jarak antar layer graphene murni, hal ini menandakan makin banyaknya proses reduksi yang terjadi yang menghilangkan gugus fungsional oksigen dan air, sehingga di peroleh struktur graphene yang hanya berisi
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 5. Hasil XRD berbagai variasi komposit TiO2 – Graphene Pada TiO2 murni (tanpa penambahan graphene) graphene) dapat dianalisa fasa TiO 2 yang terbentuk adalah fasa anatase. Fasa anatase dapat diketahui dengan mencocokan data XRD yang di dapat dengan ICDD nomor 01-071-1166 Penggunaan TiO 2 nanopartikel fase anatase pada anatase pada DSSC sangat potensial untuk mencapai efisiensi lebih tinggi dalam mengkonversi cahaya matahari menjadi energy listrik karena kemampuan fotoaktif yang tinggi. .
281
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Antara variasi waktu ultrasonifikasi 90, 120, 50 dan penambahan graphene graphene 5, 10% tidak ada perbedaan signifikan pada data XRD-nya. Hal tersebut tidak terjadi, hal ini disebabkan karena material graphene graphene dalam campuran TiO 2 – Graphene kristalinitasnya lebih rendah dengan kristalinitas TiO 2, karena graphene graphene bersifat amorf (partikel dari atom tidak tersusun rapi), sehingga ketika didifraksi menggunkana sinar X, tidak memunculkan peak pada pada data difraksi XRD sebagai mana telah di laporkan oleh N.R Khalid et. Al. (2014) [6]. 3.3. Hasil pengamatan Scanning Electron Microscope (SEM) Pengamatan terhadap morfologi ini dilakukan menggunakan instrumen SEM FEI Inspect S50. Hasil SEM dari grafit, grafit oksida, dan graphene dapat dibandingkan dari gambar di bawah ini:
Gambar 6. Morfologi Grafit (kiri) dan grafit Oksida (kanan) diamati menggunakan SEM dengan perbesaran 5000x Pada gambar 6 dapat diamati perubahan morfologi yang terjadi selama proses sintesis berlangsung. Grafit merupakan tumpukan dari lembaran-lembaran tipis graphene graphene sehingga ketika diamati dengan SEM, morfologi yang didapatkan berupa serpihan berbentuk flake yang tebal, hal ini menandakan perubahan struktur yang memperlihatkan bahwa grafit telah berhasil di o ksidai secara sempurna menjadi grafit oksida. Akibat dari proses drying yang dilakukan menyebabkan grafit oksida berbentuk lembaran, dan morfologi flake pada grafit tidak ditemukan kembali pada grafit oksida. Proses sintesis dilanjutkan dengan mereduksi grafit oksida menjadi graphene. graphene. Poses reduksi melibatkan proses ultrasonifikasi, penamabahan Zn, dan hidrotermal yang dilakukan selama 12 jam pada temperature 160 o. Pada proses Ultrasonifikasi menggunakan tiga variable waktu yaitu 90, 120 dan 150 menit, hasil dari pengujian SEM untuk ketiga variable diatas sebagai berikut:
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 7. Morfologi permukaan graphene dengan waktu ultrasonifikasi (a) 90, (b) 120,(c) 150 menit diamati menggunakan SEM dengan perbesaran 10000x Pada Gambar 7 morfologi yang terbentuk yaitu berupa lembaran tipis yang terdiri dari thick layer dan thin layer graphene layer graphene ataupun ataupun adanya pelipatan atau folding pada layer graphene. graphene. Terbentuknya lembaran tipis yang tidak dimiliki oleh grafit oksida merupakan parameter bahwa proses reduksi grafit oksida menjadi graphene dapat graphene dapat dinyatakan berhasil. Salah satu faktor semakin menipisnya lapisan graphene yang graphene yang terbentuk merupakan hasil dari proses ultrasonifikasi, dimana dalam proses ultrasonifikasi terjadi kavitasi, besarnya energy yang dihasilkan oleh kavitasi dapat menghancurkan pratikel-partikel sampel sehingga diperoleh partikel dengan ukuran yang lebih kecil. kavitasi ultrasonik juga menghasilkan daya patah yang akan memecah dinding sel secara mekanis [7].
Gambar 8. Morfologi permukaan TiO 2
282
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Gambar 10. Perbandingan Kurva J-V Untuk Ketujuh Variasi Tabel 4. Perbandingan unjuk kerja DSSC dengan berbagai variasi susunan komposit laminat
Gambar 9. Morfologi permukaan TiO2 – graphene graphene dengan variasi (a) 90 menit 5% (b) 90 menit 10% (c) 120 menit 5% (d) 120 menit 10% (e) 150 menit 5% (f) 150 menit 10% Dari gambar 9 dapat dilihat bahwa porous pada permukaan lapisan elektroda yang terbentuk semakin berkurang dengan adanya penambahan graphene pada elektroda TiO2. Hal ini berakibat baik pada kinerja TiO2 dalam transfer electron dikarenakan semakin berkurangnya pergerakan atom yang bersifat acak pada saat transfer electron yang disebabkan oleh porous pada permukaan TiO2, sehingga meningkatkan kinerja dari lapisan semikonduktor tersebut. Namun juga pada gambar di atas dapat diketahui bahwa dengan penambahan graphene dalam TiO2 dapat menimbulkan gumpalan pada TiO2. Gumpalan (atau disebut juga dengan aglomerat) tersebut muncul karena pada saat pencampuran larutan Polietilena glikol, proses pencampuran basah yang terjadi tidak berlangsung secara merata. Akibat dari fenomena tersebut, partikel-partikel yang memiliki muatan yang sama cenderung berkumpul menjadi satu. Pada material TiO2 – graphene graphene persentase masa TiO2 lebih dominan daripada graphene, maka partikel tersebut memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami aglomerasi. Analisa tersebut didasarkan penelitian yang telah dilaporkan oleh Widyastuti dkk. (2008) [8]. 3.4. Hasil pengujian Solar Simulator Pengujian sifat kelistrikan DSSC dilakukan dengan menggunakan Keithley 2606A i-V Measurement. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui electrical properties dari DSSC.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Pada gambar di atas dapat di lihat bahwa pada seiring bertambahnya masa graphene graphene pada waktu ultrasonifikasi 90 dan 120 menit maka semakin meningkat efisiensinya bila di bandingkan denga TiO 2 yang tidak di kompositkan dengan graphene, graphene, namun pada penambahan 5% wt graphene graphene dengan waktu ultrasonifikasi 150 menit nilai efisiensinya menurun drastis di bawah nilai efisiensi TiO 2 murni, dan penambahan 10% wt graphene graphene dengan waktu ultrasonifikasi 150 nilai efisinesinya kembali naik di atas nilai TiO 2 murni namun masih di bawah nilai TiO2 – graphene graphene dengan waktu ultrasonifikasi 90 dan 120 menit. Penurunan nilai efisiensi ini dikarenakan kualitas graphene graphene yang dihasilkan dibawah kualitas graphene graphene dengan variasi waktu 90 dan 120 menit. Kerusakan material graphene graphene ini dikarenakan waktu ultrasonifikasi yang terlalu lama yang menyebabkan ukuran graphene ukuran graphene yang yang di dapatkan tidak homogen dan tidak sesuai dengan ukuran dan struktur dari graphene murni, yang menyebabkan electrical properties yang diinginkan tidak tercapai (nilai konduktivitas graphene konduktivitas graphene menurun), graphene graphene yang seharusnya membantu meningkatkan konduktivitas dari TiO 2 malah bersifat sebaliknya menurunkan konduktivitas TiO 2. 4.
Kesimpulan Dye-sensitized Solar Cell (DSSC) berhasil difabrikasi menggunakan material semikonduktor TiO2 yang dikompositkan dengan graphene dan dye dari ekstrak ketan hitam dengan konversi energi cahaya matahari menjadi energi listrik paling maksimal pada variasi 10 wt% graphene dengan waktu ultrasonifikasi 120 menit, nilai efisiensi sebesar 0,001539%, daya maksimal (Pmax) 0,0307x10-4 W; dan fill factor sebesar 0,4794. Apabila waktu ultrasonifikasi melebih
283
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
waktu 120 menit maka akan menurunkan efisiensi dari DSSC. Daftar Pustaka
[1] K.S. Novoselov, “Electric field effect in atomically thin carbon films”, Science 306 (5696), ( 5696), (2004) 666 669. [2] J. Hae-Mi, “Thickness-dependent Solar Power Conversion Efficincies of Catalytic Graphene Oxides films in Dye- sensitized Solar Cell”, Seoul: KICET, (2010).
[3] C.H. Lui, “Ultra flat graphene. Nature” 462 (7271), (2009) 339-341.
[4] C.R. Shekar, “Application and Uses of Graphene Oxide and Red uced Graphene Oxide”, South Africa: University of South Africa, (2006).
[5] C.H. Chuang, “The effect of thermal reduction on the photoluminescence and electronic structures of graphene oxides”, Sci. Rep. 4 (4525), (2014) 1 -7. [6] N. Khalid, “Enhanced Photo catalytic Activity of Graphene TiO 2 Composites Under Visible Light
Irradiation”. In: Current Applied Physics, (2013) 659-663.
[7] F. Liu & J. Choi, “DNA Mediated Water Dispersible Grahene Fabrication and Gold Nanoparticle-graphene Hybrid”, In: Chemical Communication, (2010) 2844-2846. [8] E.S. Widyastuti, D. Siradj, A. Pribadi, “Kompakbilitas Komposit Isotropik Al/Al 2O3
dengan Variabel waktu Tahan Sinter”, Makara, Sains. Vol. 12, (2008)113-119.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
284
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Pengaruh waktu ultrasonikasi sintesis graphene dan dan susunan komposit D ye Sensiti nsit i zed Sol Solar ar Cell laminat graphene -TiO -TiO2 terhadap unjuk kerja Dye Diah Susanti, Yunizar Natanael Pragistio, Hariyati Purwaningsih, Hanifuddin Nurdiansyah, Rindang Fajarin, Ratna Budiawati* Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jurusan Teknik Material dan Metalurg i Surabaya 60111, Indonesia *Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Jurusan Teknik Mesin, Surabaya 60111, Indonesia
[email protected]
Abstract Currently research on solar cell has increased significantly, particularly in the topic of Dye Sensitized Solar Cell (DSSC). In this research, DSSC photoanodes were made from graphene-TiO 2 semiconductor materials which have been composited in laminate with different arrangements. The aims of this research were to analyze the effect of ultrasonication time and laminate composite arrangement on the performance of DSSC using black rice (Oryza sativa glutinosa) as photosensitizer. photosensitize r. Graphene was synthesized using modified Hummer’s method with different ultrasonication time. The performance was measured by solar simulator with 200 W/m 2 power input. The sample with T/G/T composite laminate arrangement and 90 minutes ultrasonication showed the highest efficiency (0.014%). It is found that T/G/T arrangement showed a better performance than T/G and there was a decreasing trend of the efficiency as the ultrasonication time increased. Keywords Keywords : dye sensitized solar cell, graphene-TiO2 , ultrasonica tion, laminate composite
1. Pendahuluan (DSSC) atau dikenal Dye Sensitized Sensitized Solar Cell (DSSC) dengan Grätzel cell merupakan salah satu kandidat potensial sel surya generasi mendatang. Hal ini dikarenakan tidak memerlukan material dengan kemurnian tinggi sehingga biaya proses produksinya yang relatif rendah dibandingkan dengan sel surya konvensional dimana menggunakan material silikon dengan kemurnian lebih dari 99%. Berbeda dengan sel surya generasi sebelumnya, pada DSSC energi matahari dirubah menjadi energi listrik melalui sel fotoelektrokimia. DSSC masih mempunyai efisiensi lebih rendah dibandingkan dengan sel surya silikon. Namun dikarenakan absorbsi cahaya yang dilakukan oleh molekul dye, DSSC dapat bekerja pada tingkat intensitas cahaya yang rendah. Banyak usaha yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi DSSC dengan mendesain dan memodifikasi foto anoda yang menggunakan semikonduktor TiO 2. Dalam beberapa penelitian, komposit semikonduktor TiO 2 banyak digunakan sebagai fotoanoda untuk mengoptimalkan performa DSSC dikarenakan komposit TiO 2 dapat meningkatkan transfer elektron dan mengurangi rekombinasi elektron dan holes sehingga meningkatkan efisiensi DSSC [6]. Material graphene berbentuk single layer hibridisasi sp2 atom karbon, dimana menghasilkan properti yang unik baik dalam mekanik, termal, elektrik, maupun optik. Pada penelitian terakhir dalam DSSC, graphene banyak digunakan sebagai counter electrode dan komposit graphene-TiO2 juga digunakan untuk mengoptimalkan unjuk kerja DSSC. Dalam pembuatan graphene menggunakan hummer method, pengaruh waktu ultrasonikasi juga dapat da pat menghasilkan
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN
properti graphene yang berbeda khususnya dalam sifat elektroniknya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh waktu ultrasonikasi pada sintesis graphene dan susunan laminat graphene TiO2 terhadap unjuk kerja DSSC menggunakan dye ekstrak ketan hitam (Oryza sativa glutinosa ) sebagai photosensitizer .
2. Metode 2.1. Sintesis graphene
Proses sintesis graphene ini menggunakan modifikasi Metode Hummer. Pada metode ini grafit dioksidasi menjadi grafit oksida. Setelah itu, grafit oksida direduksi menjadi graphene menggunakan reduktor Zn dan proses hidrotermal. Proses sintesis dimulai dengan melarutkan 2 g grafit di dalam 80ml H 2SO4 98%. Proses pelarutan ini dalam kondisi stirring di di dalam ice bath untuk menjaga temperatur ±5 oC selama 4 jam.Selama proses stirring ini ditambahkan 4 g NaNO 3 dan 8 g KMnO 4 secara bertahap. Prosesnya selanjutnya adalah proses homogenisasi dengan stirring pada temperatur 35 oC selama 24 jam. Selama proses ini ditambahkan 200 ml aquades apabila larutan telah mengental. Lalu setelah 24 jam, stirring dimatikan dan ditambahkan 15 ml H2O2 30%. Endapan grafit oksida dipisahkan dari pengotornya dengan centrifuge dan HCl ditambahkan ke grafit oksida untuk menghilangkan pengotor logam yang terlarut. Lalu dilakukan pencucian berkala pada grafit oksida. Setelah tidak didapatkan endapan putih sulfat dan didapatkan pH netral, grafit oksida di drying menggunakan muffle furnace dengan temperatur 110 oC dengan waktu tahan 12 jam. Proses selanjutnya adalah proses reduksi grafit oksida menjadi graphene. Proses ini diawali dengan 285
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
melarutkan 40 mg grafit oksida ke dalam 40 ml aquades dan di stirring hingga larutan menjadi homogen.Setelah stirring hingga larutan menjadi homogen, larutan diultrasonikasi dengan variasi 90 menit, 120 menit, dan 150 menit. Grafit oksida akan terkelupas menjadi graphene oksida (GO). Lalu ditambahkan 10 ml HCl 37% ke dalam larutan GO untuk membentuk kondisi asam dan 1,6 g serbuk Zn ke dalam larutan GO. Setelah Zn bereaksi dengan GO sehingga menghasilkan gelembung-gelembung gas, yang dinamakan proses reduksi, HCl kembali ditambahkan untuk menghilangkan ZnO yang merupakan pengotor. Dari proses sintesis ini dihasilkan graphene. Setelah itu, larutan graphene dicuci berulang kali dengan aquades untuk menetralkan pH-nya.Setelah pH menjadi netral, larutan graphene di-hydrothermal menggunakan muffle furnace dengan temperatur 160 oC selama 12 jam untuk mereduksi gugus oksida GO dan membentuk serbuk graphene.
2.4. Preparasi larutan elektrolit
Larutan elektrolit DSSC dibuat dengan melarutkan campuran antara 0,8 gr KI 0,5 M ke dalam larutan PEG 400 sebanyak 10 ml, kemudian diaduk secara merata. Selanjutnya, ditambahkan 0,127 gr I 2 ke dalam larutan tersebut sampai ketiga bahan tersebut larut dengan sempurna 2.5. Sensitasi lapisan Graphene/TiO2
komposit
laminat
Sensitasi fotoanoda dilakukan dengan mencelupkan lapisan fotoanoda Fluorine Tin-doped Oxide (FTO) yang telah dilapisi dengan TiO 2 atau komposit laminat graphene/TiO2 ke dalam larutan dye. Setelah didiamkan di dalam larutan dye tersebut, fotoanoda dibilas dengan aquades dan ethanol dan dikeringkan dengan kertas tissue. 2.6. Preparasi counter electrode
2.2. Preparasi lapisan Graphene/TiO2
komposit
laminat
Lapisan komposit laminat Graphene/TiO2 dibuat mengguanakan metode doctor blade . Lapisan komposit divariasikan susunannya yaitu TiO 2 murni, TiO2/Graphene (T/G) dan TiO 2/Graphene/TiO2 (T/G/T) dengan memakai graphene dengan variasi waktu ultrasonikasi 90 menit, 120 menit, dan 150 menit pada saat sintesa nya. Pasta TiO2 dibuat dengan melarutkan 3,5 gram TiO2 dengan 15 ml ethanol di dalam beaker glass. Sementara, pasta graphene dibuat dengan melarutkan 6 mg graphene dengan 3 ml aquades. Pasta TiO2 dan graphene dideposisikan secara laminat dengan metode doctor blade. Setiap setelah melapiskan satu lapisan graphene/TiO2, dilakukan drying dengan temperatur 100 oC selama 30 menit. Setelah didapatkan semua variasi komposit laminat, dilakukan kalsinasi pada temperatur 450 oC selama 60 menit, untuk menguapkan pelarut dan menghilangkan gugus volatile yang masih tersisa.
Kaca FTO yang telah di sputter dengan lapisan Pd/Au menggunakan mesin coating Quantachrome selama 90 menit untuk didapatkan penyebaran yang merata dari sputter Pd/Au pada kaca FTO. 2.7. Perakitan DSSC
Kaca FTO lapisan semikonduktor TiO2/ graphene graphene yang sudah didesposisikan dan disensitasi dan sebuah counter electrode Pd/Au ditumpuk dengan permukaan yang saling berhadapan. Kemudian kaca FTO disusun membentuk struktur sandwich. Setelah itu diberikan offset pada bagian ujung dari masing-masing elektroda sebesar 0,5 cm untuk kontak elektrik. Lalu, kedua bagian pinggiran sel DSSC yang tidak dibersi offset dijempit dengan pencepit kertas. Kemudian larutan elektrolit e lektrolit diteteskan sebanyak 2 – 3 tetes dari kedua ujung offset DSSC sehingga larutan elektrolit menyerap sempurna. DSSC sudah siap untuk diuji kelistrikannya. 2.8. Pengujian sampel DSSC
2.3. Preparasi larutan dye
Larutan dye dibuat menggunakan ekstrak ketan hitam (Oryza sative glutinosa), pewarna pakaian hitam, pewarna pakaian biru, pewarna makanan biru, dan tinta hitam. Preparasi dye ekstrak ketan hitam (Oryza sativa glutinosa) dilakukan dengan mencampur 13 gr ketan hitam halus dengan 50 ml pelarut yang meliputi 21 ml ethanol, 4 ml asam asetat, dan 25 ml aquades. Setelah itu diaduk sampai rata. Kemudian didiamkan selama 24 jam untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang maksimal. Setelah itu disaring menggunakan kassa steril untuk mendapatkan larutan dye-nya.
Dye ekstrak ketan hitam (Oryza sativa glutinosa) yang digunakan sebagai photo sensitizer diuji absorbansi nya menggunakan Genesys 10S UVVis Spectrophotometer untuk mengetahui absorbansi nya pada rentang gelombang cahaya tampak. Material graphene dan fotoanoda atau lapisan semikonduktor komposit laminat graphene-TiO2 diuji karakterisasi nya menggunakan X-Ray Diffractometrry dan Scanning Electron Microscope (SEM). Sedangkan prototype DSSC diuji kelistrikannya menggunakan Keithley 2606A I-V Measurement untuk mengetahui unjuk kerja DSSC.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Hasil pengujian UV-Vis spektrofotometri
Absorbansi dari beberapa larutan dye sintetis dan natural ditunjukkan pada Gambar 1. Dye pewarna
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
286
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
pakaian biru, pewarna makanan biru, dan pewarna pakaian hitam disintesa menggunakan pelarut aquades , sedangkan ketan hitam disintesa menggunakan campuran ethanol, aquades, dan asam asetat. Dalam pemilihan dye yang optimal, salah satu pertimbangan utamanya adalah kemampuan absorbansi dye terhadap gelombang cahaya. Cahaya yang dimaksud adalah cahaya tampak dimana mempunyai rentang panjang gelombang 380 – 700 700 nm.
Gambar 1. Grafik spektrum absorbansi dari berbagai macam dye Tabel 1. Perbandingan nilai absorbansi maksimum Dye Pewarna pakaian biru Pewarna makanan biru Pewarna pakaian hitam Tinta hitam Ketan hitam (Oryza sativa glutinosa )
Panjang Gelombang (nm) 573 642 501 594 494
Absorbansi 3,33 4,29 2,44 3,39 4.,7
Grafik spektrum absorbansi dye ekstrak ketan hitam (Oryza sativa glutinosa ) pada Gambar 1, terlihat rentang kurva yang cukup lebar dengan absorbansi diatas 4,00 dengan 2 puncak absorbansi (Tabel 1), setelah itu mulai menurun drastis pada panjang gelombang 560 nm. Hal ini menunjukkan bahwa nilai absorbansi cahaya tampak (visible light ) pada dye mencapai nilai optimal dan stabil pada rentang panjang gelombang 380 sampai 560 nm. Dari data tersebut dapat dinyatakan bahwa dye ekstrak ketan hitam (Oryza sativa glutinosa ) mempunyai kemampuan untuk menyerap cahaya dengan baik pada spektrum warna mulai dari ungu, biru, sampai hijau. Selain itu, keberadaan anthocyanin sebagai komposisi utama dalam dye natural yang terdapat pada ketan hitam (Oryza sativa glutinosa ) dapat dibuktikan dengan melihat absorbansi dan panjang gelombangnya. Dikatakan bahwa pada larutan asam, anthocyanin terlihat dengan absorbansi yang tinggi pada rentang panjang gelombang ~520nm [5]. 3.2. Hasil pengujian X-ray Diffractomettry (XRD)
Gambar 2 menunjukkan perbedaan hasil XRD antara grafit, grafit oksida, dan graphene.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Tabel 2. Hasil perhitungan peak pada grafit, grafit oksida, dan graphene Sampel
2θ (°)
FWHM
(Å) (Å) d-spacing
Grafit
26,63
0,184
3,35
Grafit oksida
11,27 24,33
0,535 0,803
7,85 3,65
Graphene
Gambar 2. Pola XRD grafit, grafit oksida, dan graphene ultrasonikasi 120 menit Dari gambar 2 dapat diketahui bahwa grafit mempunyai peak (002) yang sangat tajam, dimana menunjukkan bahwa sifat kristalinitas grafit sangat bagus, pada posisi 2θ = 26,63°, dan peak (101) yang
lemah pada posisi 54,70°, serta 8,93° sesuai dengan (ICDD 03-065-6212). Saat proses oksidasi pada grafit selesai dilakukan, terbentuk grafit oksida dengan peak (001) pada posisi 11,27° sementara peak (002) dan (004) menghilang. Peak yang terbentuk pada grafit oksida cukup tajam namun intensitasnya lebih rendah daripada peak (002) yang ada pada grafit. Kemudian setelah proses reduksi selesai dilakukan, terbentuk graphene dengan peak (002) dimana mempunyai profil peak yang lebar pada posisi ~23-24° sementara peak (001) menghilang [3]. Namun, peak yang terbentuk pada graphene mempunyai intensitas yang sangat rendah dibanding dengan grafit oksida dan cenderung bersifat amorf. Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jarak antar layer dari grafit ke grafit oksida. Hal ini terjadi akibat terbentuknya gugus fungsional oksigen dan peningkatan kadar air di lapisan grafit oksida karena adanya proses oksidasi. Kemudian pada graphene, nilai jarak antar layer menurun mendekati nilai dari grafit dimana mengindikasikan hilangnya gugus fungsional oksigen dan air dikarenakan proses oksidasi, sehingga diperoleh struktur graphene yang hanya berisi atom karbon, sebagaimana halnya grafit. Tetapi, nilai jarak antar layer masih lebih besar daripada grafit yang mengindikasikan bahwa masih ada sedikit gugus fungsional yang tersisa. Perbandingan hasil pola XRD dilakukan untuk mengetahui pengaruh variasi waktu ultrasonikasi
287
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
terhadap karakterisasi graphene seperti pada Gambar 3 dan Tabel 3. Dapat dilihat dengan waktu ultrasonikasi yang semakin lama menghasilkan pola hasil XRD yang sedikit berbeda dimana terdapat pergeseran dan intensitas peak (002).
Pola XRD yang dihasilkan oleh TiO 2 dan komposit TiO 2 pada Gambar 4 membentuk membentuk fase anatase dimana mempunyai bidang- bidang kristal sesuai dengan standar (ICDD 01-070-7348). Hal ini dibuktikan dengan terdapat kesesuaian salah satu nya pada puncak tertinggi dengan posisi 2θ sekitar 25°. Pada Gambar 4, terlihat bahwa TiO2 murni memiliki kristalinitas yang tinggi pada puncak 25,15° dilihat dari intensitasnya. Puncak graphene yang terdapat pada komposit laminat TiO 2 graphene tidak terlihat. Hal ini dikarenakan karena graphene dan TiO2 mempunyai puncak dengan dengan rentang posisi 2θ yang hampir sama. Graphene yang bersifat amorf
Gambar 3. Perbandingan pola hasil XRD graphene dengan variasi waktu ultrasonikasi Tabel 3. Perbandingan posisi 2θ, d-spacing , dan intensitas terhadap variasi ultrasonikasi pada peak (002) Waktu ultrasonikasi (menit) 90 120 150
2θ (°)
23,57 24,32 24,89
d-spacing
(Å) 3,77 3,65 3,57
Intensitas 280 181 123
Hasil XRD graphene dengan perubahan waktu ultrasonikasi 90 menit, 120 menit, dan 150 menit memiliki d-spacing dengan rentang ~3.5-3.7 Å dengan posisi peak 2θ ~23-24°. Hal ini membuktikan bahwa grafit oksida telah berhasil tereduksi menjadi graphene. Seiring dengan penambahan waktu ultrasonikasi, posisi
mempunyai kristalinitas yang lebih rendah dengan TiO 2 sebagaimana pada penelitian yang dilakukan Zhang, dkk (2010) [7], sehingga puncak graphene mengalami overlap dengan puncak TiO2 anatase yang memiliki intensitas yang jauh lebih tinggi. 3.3. Hasil pengamatan Microscope (SEM)
Scanning
Electron
Gambar 5 menunjukkan struktur morfologi dari grafit, grafit oksida, dan graphene. Gambar 5 (kiri) merupakan morfologi grafit yang berasal serbuk grafit. Grafit adalah lembaran graphene yang bertumpuktumpuk sehingga terlihat sangat padat dan memiliki morfologi yang berbentuk serpihan / flakes yang tersebar dan tidak beraturan. Gambar 5 (kanan) merupakan morfologi grafit oksida yang sangat berbeda dengan grafit. Hal ini dikarenakan proses oksidasi dan drying yang membuat struktur grafit oksida berbentuk lembaran tipis.
2θ pada peak (002) bergeser sehingga jarak antar layer
menjadi lebih kecil. Dilakukan pengujian XRD pada variasi susunan komposit laminat pada fotoanoda DSSC. Berikut adalah hasil pengujian XRD pada lapisan fotoanoda:
Gambar 4. Perbandingan pola XRD pada variasi susunan komposit laminat fotoanoda
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 5. Morfologi permukaan grafit (kiri) dan grafit oksida (kanan) berdasarkan SEM dengan perbesaran 5000x Gambar 6 menunjukkan morfologi graphene dimana mempunyai struktur berupa lembaran yang jauh lebih tipis dari grafit oksida. Terlihat bahwa graphene yang berhasil disintesis mempunyai lapisan karbon tipis. Hal ini dikarenakan proses reduksi yang menghilangkan gugus oksigen, proses ultrasonikasi, dan proses hidrotermal. Namun dikarenakan proses sintesa graphene menggunakan hummer’s method masih kurang sempurna, maka ditemukan beberapa bagian yang masih membentuk lapisan tebal. Dapat terlihat bahwa lapisan graphene semakin tipis seiring dengan peningkatan waktu ultrasonikasi. Hal ini dikarenakan pada proses ultrasonikasi, lapisan antar layer graphene terkelupas dengan menghancurkan
288
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
ikatan van der walls antar layer [4]. Jadi semakin lama waktu ultrasonikasi, semakin banyak pula ikatan antar lapisan yang dihancurkan sehingga membuat struktur graphene lebih tipis.
Gambar 9. Morfologi permukaan dari TGT berdasarkan SEM dengan perbesaran perbesa ran a. 2000x dan b. 20000x
Gambar 6. Morfologi permukaan graphene dengan variasi waktu ultrasonikasi (a-b) 90 menit, (c-d) 120 menit, dan (e-f) 150 menit berdasarkan SEM dengan perbesaran 5000x dan 10000x
Berdasarkan pengujian SEM, terlihat bahwa terdapat perbedaan struktur morfologi permukaan pada komposit laminat TG dan TGT. Pada perbesaran 20000x dapat dilihat bahwa lapisan TiO 2 berbentuk sphere berukuran nano dan menggumpal sedangkan lapisan graphene berbentuk lembaran-lembaran. Pada permukaan dari TG (Gambar (Ga mbar 8) terlihat ter lihat bahwa lapisan graphene berada di atas lapisan TiO2. Namun pada perbesaran 2000x dapat dilihat bahwa graphene tidak terlapisi sempurna diatas TiO2. Hal ini dikarenakan topografi permukaan TiO 2 yang kurang merata dengan metode pelapisan doctor-blade dikarenakan pelarut aquades mempunyai kelarutan yang relatif lebih rendah terhadap graphene sehingga graphene tidak tersebar secara sempurna pada proses pelapisan [2]. Pada permukaan TGT (Gambar 9) terlihat persebaran lapisan TiO2 sudah merata dan menutup sempurna pada lapisan dibawahnya, dapat dilihat lapisan TiO 2 pertama, lapisan graphene, dan lapisan TiO 2 kedua yang telah terlapisi secara laminat. 3.4. Hasil pengujian Solar Simulator
Perbandingan kurva J-V untuk pada variasi komposit laminat fotoanoda dengan luas area sebesar 0,0001m2 seperti Gambar 10.
Gambar 7. Morfologi permukaan dari TiO 2 berdasarkan SEM dengan perbesaran a. 2000x dan b . 20000x
Gambar 10. Perbandingan Kurva J-V pada variasi susunan lapisan komposit laminat Gambar 8. Morfologi permukaan dari TG berdasarkan SEM dengan perbesaran a. 2000x dan b. 20000x
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
289
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Tabel 4. Perbandingan unjuk kerja DSSC dengan berbagai variasi susunan komposit laminat Variasi TiO2 TG 90 TG 120 TG 150 TGT 90 TGT 120 TGT 150
Voc (V) 0,13 9 0,33 5 0,27 5 0,11 0 0,38 0 0,27 5 0,27 5
Jsc (A/m2)
Pmax (W/m2)
Efisiensi
FF
0,086
0,0069
0,0034%
0,42
0,103
0,0148
0,0074%
0,43
0,099
0,0126
0,0063%
0,46
0,073
0,0036
0,0018%
0,45
0,154
0,0280
0,0140%
0,24
0,233
0,0259
0,0129%
0,40
0,120
0,0135
0,0068%
0,41
Gambar 11. Diagram perbandingan efisiensi pada berbagai variasi susunan komposit laminat Dalam penelitian ini, lapisan graphene berfungsi untuk meningkatkan transfer elektron dan mengurangi rekombinasi hole – elektron sehingga elektron yang tereksitasi semakin banyak dan efisiensi DSSC semakin meningkat [8]. Hal ini menjadikan efisiensi komposit laminat TiO 2- graphene graphene cenderung lebih tinggi daripada TiO 2. Berdasarkan pengaruh susunan laminat nya, komposit TGT mempunyai efisiensi yang lebih besar daripada komposit TG. Hal ini dikarenakan pada susunan laminat TGT, pengaruh 2 lapis TiO 2 dapat meningkatkan absorbsi dye. Pengingkatan absorbansi cahaya tampak membuat kenaikan pada kapabilitas sehingga efisiensi menjadi meningkat light-harvesting sehingga [3]. Light-harvesting adalah proses ketika foton berhasil ditangkap oleh dye yang tersensitasi pada lapisan semikonduktor sehingga dapat mengeksitasi elektron untuk yang membuat arus dapat mengalir pada pa da rangkaian solar cell. Dengan adanya 2 lapis TiO 2 menjadikan luas permukaan dye yang tersensitasi menjadi besar sehingga membuat foton yang tertangkap lebih banyak. Berdasarkan pengaruh lama waktu ultrasonikasi pada pembuatan graphene, semakin lama waktu ultrasonikasi menurunkan efisiensi dari DSSC. Berdasarkan grafik perbandingan pola hasil XRD graphene dengan variasi waktu ultrasonikasi (Gambar 3 dan Tabel 3) menyatakan intensitas bidang 002 graphene menurun seiring dengan lama waktu ultrasonikasi yang menyebabkan struktur graphene lebih amorfus sehingga mengindikasikan konduktivitas
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
yang dimiliki oleh graphene menurun [1]. Dengan menurunnya konduktivitas yang dimiliki graphene, menyebabkan efisiensi DSSC semakin menurun. Hal ini menyebabkan pada komposit TG dengan ultrasonikasi pembuatan graphene 150 menit, efisiensinya lebih rendah dari TiO2.
4. Kesimpulan Didapatkan unjuk kerja DSSC yang tertinggi pada fotoanoda dengan variasi susunan laminat TGT dan waktu ultrasonikasi pembuatan graphene 90 menit. Efisiensi yang didapat sebesar 0,014% dengan daya maksimal (Pmax) = 0,0280 W/m 2; Jsc = 0,233A/m2; dan fill factor (FF) = 0,24. Susunan komposit laminat TGT merupakan susunan yang lebih optimal dibanding dengan TG sebagai fotoanoda untuk menghasilkan unjuk kerja DSSC yang maksimal. Terdapat trend penurunan nilai efisiensi DSSC seiring dengan lama waktu ultrasonikasi pada pembuatan graphene yang menjadikan waktu ultrasonikasi 90 menit yang paling optimal untuk menghasilkan unjuk kerja DSSC yang maksimal Daftar Pustaka [1] D. Gray, A. McCaughan, and B. Mookerji, 2009, Crystal structure of graphite, graphene, and silicon, Physics for Solid State Application, available at : http://community.wvu.edu,/,, diakses 7 Juli 2015. http://community.wvu.edu,/ [2] D. Konios, M. Stylianakis, F. Stratakis, and F. Kymakis, 2014, Dispersion Behaviour of Graphene Oxide and Reduced Graphene Oxide, Journal of Colloid and Interface Science, Vol. 430, 108-112.
[3] H. Zhang, W. Wang, Y. Chen, and Z. Wang, 2014, Effect of TiO2 film thickness on photovoltaic properties of dye sensitized solar cell and its enchanced performance by graphene combination, vol. 49, 126-131. [4] J. H. Warner, F. Schaffel, M. Rummeli, and A. Bachmatiuk, 2013, Graphene Fundamentals and Emergent Application , Elsevier, Oxford. [5] N. Cherepy, G. Smestad, M. Gratzel, and J. Zhang, 1997, Ultrafast electron injection implications for a photoelectrochemical cell utilizing an anthocyanin dye-sensitized TiO2 nanocrystalline electrode, Journals of Physical Chemistriy B., vol. 101, 93429351.
[6] S. Wei, Y. Liu, Z. Peng, K. Cheng, C. Zhang, and W. Chen, 2013, Synthesis and photovoltaic performance of reduced graphene oxide-TiO2 nanoparticles composites by solvothermal method. Journal of Alloys and Compounds, Vol. 563 229233. [7] Y. Zhang, Z. Tang, X. Fu, and Y.-J. Xu, 2010, TiO2−Graphene Nanocomposites for Gas-Phase Photocatalytic Degradation of Volatile Aromatic Pollutant: Is TiO 2−Graphene Truly Different from Other TiO2−Carbon Composite Materials?, ACS Nano, Vol. 4, 7303-7314.
290
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
[8] Z.-S. Wu, G. Zhou, L. C. Yin, W. Ren, F. Li, and H. M. Cheng, 2012, Graphene / Metal Oxide Composite Electrode Materials for Energy Storage, Nano Energy, Vol. 1,107-131.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
291
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengaruh Waktu Pelindian dengan NaOH dan Karbonasi dengan CO2 Pada Ekstraksi Campuran Senyawa SiO2-Al2O3-LiOH Wahyuaji Narottama Putra, Muhammad Firdaus, Sri Harjanto * Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia * e-mail:
[email protected] Abstract The development of battery technology in the world today to be one of the alternative sources of energy in automotive vehicles. Recent developments in battery technology have come to the use of lithium carbonate (Li2CO3 ) as a raw material to produce Lithium Ion battery. Therefore, the raw material needs of Li 2CO3 will increase in line with the development of the Lithium I on battery research. On the other hand, Indonesia has natural resources allegedly spodumene (LiAl 2SiO6 ) in bulk and potential for processing into Li 2CO3. The spodumene into Li2CO3 extraction process has actually done a lot of research and industry. However, the existing extraction technology has a long process steps and involve large amounts of reagents. Therefore, it takes the process much simpler and efficient. With this background, the proposed new hydrometallurgical extraction technology with caustic material (NaOH) as a solvent in the leaching process to get Li 2CO3 was performed.SiO 2-Al 2O3-LiOH mixture are roasted at a temperature of 1200 0C, which is used, as a synthetic mineral, to substitute spodumene. Material characterization performed to test and a nd observe the physical, chemical and mineral composition and. It is obtained 9% lithium of leaching with NaOH for 70 minutes and 8% in carbonation with CO2 for 10 and 20 minutes. Keyword : lithium ion battery; lithium carbonate; caustic materials; SiO2-Al2O3-LiOH mixture
Pendahuluan Lithium adalah salah satu logam yang paling ringan dan memiliki banyak kegunaan. Senyawa-senyawa dan mineral-mineral lithium telah menarik perhatian industri-industri keramik, gelas, alumunium, lubrikan dan farmasi yang menggunakan lithium [1]. Selain itu, senyawa lithium carbonate carbonate juga berperan penting sebagai material penyusun batere lithium ion, ion, yaitu batere yang dapat diisi ulang. Saat ini, konsumsi lithium untuk produksi batere lithium ion ion mengalami peningkatan lebih dari 20% setiap tahunnya [2]. Contoh pemakaian batere lithium ion adalah ion adalah batere telepon selular dan laptop dengan jumlah 60% dari telepon selular dan 90% dari laptop yang ada di dunia. Batere lithium ion ion juga memiliki peranan penting untuk kegunaannya pada kendaraan listrik dan kendaraan hybrid [3]. Peningkatan permintaan lithium lithium yang terjadi untuk produksi batere lithium ion, ion, khususnya untuk kendaraan listrik, telah meningkatkan perhatian terhadap persediaan cadangan lithium di dunia, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, konsumsi Lithium meningkat 50% pada tahun 2005 dibandingkan pada tahun sebelumnya [4]. Beberapa lokasi di Indonesia diidentifikasi dan dilaporkan memiliki cadangan mineral Lithium. Walaupun Indonesia bukan merupakan negara yang memiliki sumber daya mineral Lithium yang dominan, tetapi riset dan pengembangan teknologi
ekstraksi Lithium menjadi penting untuk meningkatkan kapasitas ekstraksi logam ini di masa depan. Di Indonesia, salah satu sumber lithium yang telah diinvestigasi berasal dari air tua ( bittern) bittern) yang berasal dari air laut [5]. Air tua didapat dari air yang yang tersisa saat proses pengendapan garam dari air laut yang dipanaskan dengan sinar matahari. Metode Penelitian Senyawa LiOH dan NaOH yang digunakan merupakan jenis analis karena memiliki kemurnian 98%. Sedangkan SiO 2 dan Al2O3 yang digunakan merupakan jenis senyawa teknis. Media pengencer yang digunakan adalah aquades. Kemudian, diguanakan gas CO 2 tabung untuk proses karbonasi. Sampel yang digunakan pada penelitian ini merupakan mineral sintetis (campuran SiO 2-Al2O3LiOH) sehingga diperlukan beberapa tahap untuk membuat sampel tersebut seperti pencampuran dan pemanggangan. Hasil dari sintesis ini diharapkan menghasilkan senyawa dan struktur kristal yang mirip dengan mineral lithium aluminosilikat. Pencampuran ketiga bahan tersebut menggunakan mesin ball mill yang yang diatur dengan kecepatan 24 rpm dan waktu 2 jam. Proses ini dilakukan hingga waktu keseluruhan proses mencapai 20 jam. Waktu tersebut dianggap sudah dapat menghasilkan campuran yang homogen. Rasio pencampuran LiOH:Al2O3:SiO2 adalah 1:1:4.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 292
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Bahan baku sampel yang telah dicampur kemudian dilakukan pemanggangan dengan tungku listrik pada suhu 1200 0C selama 90 menit [6]. Berdasarkan diagram fasa SiO 2-Al2O3-LiOH, pada suhu 12000C dapat terbentuk mineral bikitaite. Pencampuran dilakukan dengan mencampurkan mineral sintetis sebanyak 3 gram dengan NaOH 50 gram dan 50 ml aquades ke dalam wadah teflon. Untuk memudahkan pencampuran, dilakukan pengadukan selama beberapa detik dengan menggunakan pengaduk. Setelah mineral sintetis dicampurkan dengan larutan NaOH, sampel di masukkan ke dalam tungku listrik dan dipanaskan pada suhu 2400C dengan variabel waktu 30, 50 dan 70 menit. Larutan hasil pelindian disaring dengan kertas saring untuk memisahkan larutan dan endapan yang terbentuk. Hasil penyaringan kemudian disimpan untuk digunakan pada proses karbonasi. Senyawa karbonat yang digunakan pada proses karbonasi ini adalah CO 2. Larutan hasil pelindian dialirkan gas CO2 dengan laju alir 0.5 liter/min pada suhu 45 0C dengan variabel waktu 10 dan 20 menit. Proses dilakukan diatas heat magnetic stirer . Masingmasing larutan yang digunakan memiliki volume 45 ml. Setelah pengaliran CO 2 dengan variabel waktu yang ditentukan, larutan dibiarkan selama 10 menit pada suhu ≤90 0C untuk pembentukan endapan lithium [7]. Endapan yang dihasilkan disaring dengan kertas saring. Kemudian, endapan dikeringkan dengan oven microwave microwave pada suhu 0 130 C selama 2 jam.
Karakterisasi Senyawa Hasil Pencampuran Hasil pengujian XRD untuk bahan pembuatan mineral lithium aluminosilikat sintetis (LiOH, Al 2O3 dan SiO 2) diperlihatkan pada Gambar 1. Berdasarkan hasil pengujian XRD, grafik yang dihasilkan menegaskan bahwa SiO 2 yang digunakan memiliki struktur kristal yang amorf. Untuk senyawa LiOH yang digunakan, terlihat sudah bereaksi dengan udara lingkungan sekitar dikarenakan LiOH bersifat higroskopis. Sedangkan senyawa Al 2O3 yang digunakan memiliki kristalinitas yang tinggi, terlihat dari peak yang dihasilkan pada uji XRD. Ketiga grafik tersebut akan dibandingkan dengan grafik XRD setelah pencampuran dan pemanggangan. Material campuran yang dihasilkan setelah pencampuran dengan ball mill tidak menghasilkan senyawa baru. Grafik SiO 2 yang seperti noise masih noise masih terlihat dengan jelas. Senyawa Al 2O3 memiliki kristalinitas paling tinggi karena terlihat mendominasi peak tertinggi. Dapat disimpulkan bahwa peak yang terdapat pada grafik hanya gabungan dari ketiga bahan dan tidak ada senyawa baru.
Berdasarkan database yang database yang didapatkan dari software match dan JCPDS, hasil pengujian XRD menunjukkan bahwa masih terdapat Al 2O3, SiO2, LiOH setelah proses pemanggangan. Namun, sebagian sudah menjadi senyawa baru, yaitu bikitaite yang memiliki memiliki rumus kimia LiAlSi2O6.H2O. Bikitaite merupakan salah satu mineral lithium aluminosilikat. Hal yang menyebabkan terbentuknya bikitaite pada proses sintetis ini disebabkan bahan baku yang digunakan merupakan LiOH bukan Li 2O. Selain itu, adanya H 2O dapat berasal dari proses pemanggangan yang dilakukan kurang tertutup rapat sehingga sampel terkontaminasi udara. Namun demikian, proses pemanggangan ini dianggap berhasil karena menghasilkan senyawa aluminosilikat pada sebagian sampel. Untuk mengetahui perubahan senyawa yang terjadi selama proses milling hingga pemanggangan, dapat dilakukan dengan membandingkan masingmasing grafik dari pengujian XRD LiOH, Al2O3, SiO2 dan hasil pemanggangan.
Gambar 1. Perbandingan Grafik XRD LiOH, SiO 2, Al2O3, Campuran dan Hasil P emanggangan Campuran Jika grafik ketiga bahan sampel mineral sintetis dibandingkan dengan grafik hasil pemanggangan akan diketahui bahwa peak dari senyawa Al 2O3 dan SiO2 masih terdapat pada hasil pemanggangan campuran ketiganya. Hal ini terjadi karena pada suhu pemanggangan yang dilakukan yaitu 1200 0C, Al2O3 masih dalam kondisi stabil. Selain itu, terdapat peak senyawa yang baru terbentuk yaitu LiAlSi 2O6.H2O dan menandakan proses pemanggangan berhasil mengubah bahwa sebagian sampel menjadi bikitaite. Unsur-Unsur pada Senyawa Campuran Senyawa SiO 2 memiliki persentase yang terbanyak pada material campuran SiO 2-Al2O3LiOH. Hal ini dikarenakan senyawa SiO 2 yang digunakan memiliki perbandingan terbanyak diantara kedua senyawa lainnya. Hasil pengujian EDAX pada material campuran terlihat pada gambar 2a. Uji EDAX juga dilakukan pada hasil
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 293
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
pemanggangan campuran SiO 2-Al2O3-LiOH. Pada gambar 2b dapat terlihat bahwa Si masih memiliki persentase unsur terbesar.
Gambar 3. Persebaran (a) Al dan (b) Si pada Campuran SiO 2-Al2O3-LiOH; (c) Al dan (d) Si pada Hasil Pemanggangan Hasil mapping (gambar 3c dan 3d) pada sampel hasil pemanggangan menunjukkan masih adanya konsentrasi Al yang tinggi di beberapa tempat, tetapi Si memiliki persebaran yang merata. Hasil ini menunjukkan bahwa pencampuran yang tidak merata menyebabkan sebagian Al 2O3 dan SiO2 tetap utuh dan tidak bereaksi membentuk senyawa aluminosilikat. Hal tersebut juga diperkuat oleh hasil pengujian XRD yang yang memperlihatkan masih masih adanya keberadaan senyawa Al 2O3 dan SiO 2.
Gambar 2 Unsur-unsur pada (a) campuran dan (b) hasil pemanggangan SiO 2-Al2O3-LiOH
Persebaran Partikel Senyawa Campuran Hasil mapping Hasil mapping (Gambar (Gambar 3a dan 3b) dengan EDAX menunjukkan adanya konsentrasi Al yang tinggi pada beberapa tempat, yang menunjukkan bahwa penyebaran Al tidak merata. Sedangkan untuk Si, dapat dilihat bahwa tidak ada daerah yang memiliki konsentrasi Si tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa Si dalam sampel memiliki persebaran yang baik.
Morfologi Partikel Gambar 4 adalah hasil pengujian SEM LiOH, Al2O3 dan SiO2 untuk pembuatan mineral sintetis. Dari gambar SEM tersebut, dapat diketahui bahwa LiOH dan Al 2O3 yang digunakan memiliki struktur kristalin dan SiO 2 yang digunakan memiliki struktur amorf. Setelah pencampuran, sampel memiliki morfologi yang beragam karena gabungan dari partikel-partikel senyawa yang berbeda. Partikel yang banyak terlihat adalah partikel berbentuk bulat yaitu SiO2 amorf. Perbedaan yang signifikan terjadi pada sampel campuran setelah pemanggangan. pe manggangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi reaksi ketika proses pemanggangan sehingga menghasilkan senyawa baru yang memiliki morfologi yang berbeda. Selain itu, partikel-partikel bulat sudah tidak terdapat pada sampel tersebut. Hasil ini menunjukkan bahwa SiO 2 amorf telah berubah menjadi kristalin karena proses pemanggangan.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 294
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Pada waktu 10 menit semua kandungan Li sudah berhasil diendapkan sehingga pada waktu setelahnya tidak berpengaruh. Oleh karena itu, pada waktu 20 menit akan didapatkan % recovery yang sama dengan waktu 10 menit. Endapan hasil karbonisasi dilakukan pengujian AAS.
Gambar 4 Hasil Pengujian SEM (a) LiOH (b) Al 2O3 (c) SiO2 perbesaran 8000X
Pelindian dan Karbonasi Pelindian Recovery
Pada awal pencampuran bahan Al 2O3, LiOH dan SiO2, terdapat 17 mg Li dalam 1 gram campuran ketiganya. Namun setelah proses pemanggangan, terdapat sebagian Li yang hilang sehingga kandungan Li menurun menjadi 5.1 mg. Saat pemanggangan, wadah wadah kurang tertutup dengan rapat sehingga LiOH sebagian menguap keluar wadah. Hal ini terjadi karena pemanggangan yang dilakukan terjadi pada suhu 1200 0C sedangkan titik uap LiOH adalah 924 0C. Nilai 5.1 mg kandungan Li ini menjadi acuan pada recovery Li pada proses pelindian dan karbonisasi. Pada penelitian ini dilakukan 3 variabel waktu yaitu 30, 50 dan 70 menit. Recovery Recovery paling tinggi dihasilkan oleh pelindian dengan waktu 70 menit. Pelindian yang dilakukan menggunakan larutan NaOH untuk mendapatkan larutan LiOH. Dari gambar 5, dapat diketahui bahwa semakin lama waktu pelindian akan didapatkan % recovery recovery yang lebih tinggi. Larutan LiOH yang didapat setelah pelindian kemudian dikarbonisasi untuk mendapatkan endapan. Proses karbonisasi hanya dilakukan pada larutan hasil pelindian 50 menit dengan laju alir sebesar 0.5 l/menit. Dari gambar 6, dapat diketahui bahwa waktu karbonisasi 10, 15 dan 20 menit menghasilkan recovery sebesar recovery sebesar 8%, 13% dan 8%. Jika sampel awal yang digunakan adalah 1 gram maka hasil pelindian memiliki kandungan Li sebanyak 0.39 gram. Kemudian hasil karbonisasi pada waktu 10 menit karbonisasi berhasil merecovery recovery seluruh kandungan Li pada larutan hasil pelindian sebanyak 0.39 gram tersebut, pada waktu 15 menit berhasil me-recovery me-recovery 0.67 mg dan pada 20 menit berhasil me-recovery me- recovery 0.39 gram. Pada waktu 15 menit, recovery yang dihasilkan tidak valid karena tidak sesuai dengan kandungan setelah pelindian.
Gambar 5. Recovery 5. Recovery Li Li Hasil Pelindian
Keseluruhan Keseluruhan Recovery
Untuk mengetahui total perolehan lithium dari keseluruhan proses ekstraksi, dilakukan penghitungan dengan membandingkan membandingkan berat lithium yang didapatkan pada akhir proses yaitu karbonasi dan berat lithium awal sebelum dilakukan ekstraksi, ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 6. Recovery Karbonasi
Gambar 7. Recovery Li Hasil Karbonasi
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 295
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut : 1. Penggantian Li 2O dengan LiOH untuk pembuatan mineral sintetis menghasilkan bikitaite bikitaite dengan rasio SiO 2, Al2O3 dan LiOH sebesar 4:1:1. 2. Pada penelitian ini, terdapat 3 variabel waktu yaitu 30, 50 dan 70 menit yang dilakukan pada proses pelindian dan dihasilkan kandungan lithium yang semakin meningkat seiring dengan lama waktu pelindian. Lithium yang dihasilkan adalah 220, 390 dan 460 ppm untuk pelindian selama 30, 50 dan 70 menit. Dapat dikatakan, semakin lama waktu pelindian akan meningkatkan kandungan lithium di dalam larutan hasil pelindian. 3. Hasil perolehan yang dihasilkan proses pelindian dengan dengan NaOH pada waktu 30, 50 dan 70 menit adalah sebesar 4%, 8% dan 9%. 4. Karbonasi yang dilakukan berhasil melakukan perolehan 100% Li. Waktu karbonasi 10 menit dapat mengambil seluruh kandungan Li pada hasil pelindian sehingga hasilnya sama dengan waktu karbonasi 20 menit yaitu sebesar 390 ppm. Daftar Pustaka 1. Ebensperger, A., Maxwell, P., & Moscoco, C. (2005). The lithium industry : Its recent evolution and future prospects. Resources policy , policy , 218-231. 2. Qun-xuan, Y., Xin-hai, L., Zhi-xing, W., J ie-xi, W., Hua-jun, G., Qi-yang, H., et al. (2012). Extraction of lithium from lepidolite using chlorination roasting-water leaching process. International Journal of Mineral Processing P rocessing , 110-111. 3. Anovitz, L. M., Knoxville, Bloncoe, J. G., Harriman, Palmer, D. A., & Springs, O. (2006). Patent No. US 2006/0171869 2006/0171869 A1. United A1. United States. 4. Kesler, S. E., Gruber, P. W., Medina, P. A., & Keoleian, G. A. (2012). Global lithium resources : Relative important of pegmatite, brine and other deposits. Ore Geology Reviews , Reviews , 15. 5. Mano, R. D., Alfianto, R., & Sumarno. (2012). Recovery Garam Lithium Pada Air Tua (Biitern) Dengan Metode Presipitasi. Jurnal teknologi dan Kimia Vol.1 No.1 , No.1 , 292-297. 6. Skinner, B. J., & Evan JR, H. T. (1960). Crystal chemistry of spodumene solid solutions on the join Li2O Al2O3.Li2O -SiO2. American Journal of Science , Science , 258-A, 258-A, 312-324. 7. Chen, Y., Tian, Q., Chen, b., Shi, X., & Liao, T. (2011). Preparation of lithium carbonate from spodumene by a sodium carbonate autoclave process. Hydrometallurgy process. Hydrometallurgy , , 43-46.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 296
Prosiding Prosiding Se Seminar Nasional Nasional M ateri ateri al dan dan M etalurgi (SENAM (SENAM M VI I I ) Yogyakarta, 5 November November 2015
8. International Journal of Mineral Processing P rocessing , 110-111. 9. Anovitz, L. M., Knoxville, Bloncoe, J. G., Harriman, Palmer, D. A., & Springs, O. (2006). Patent No. US 2006/0171869 2006/0171869 A1. United A1. United States. 10. Kesler, S. E., Gruber, P. W., Medina, P. A., & Keoleian, G. A. (2012). Global lithium resources : Relative important of pegmatite, brine and other deposits. Ore Geology Reviews , Reviews , 15. 11. Mano, R. D., Alfianto, R., & Sumarno. (2012). Recovery Garam Lithium Pada Air Tua (Biitern) Dengan Metode Presipitasi. Jurnal teknologi dan Kimia Vol.1 No.1 , No.1 , 292-297. 12. Skinner, B. J., & Evan JR, H. T. (1960). Crystal chemistry of spodumene solid solutions on the join Li2O Al2O3.Li2O -SiO2. American Journal of Science , Science , 258-A, 258-A, 312-324.
13. Chen, Y., Tian, Q., Chen, b., Shi, X., & Liao, T. (2011). Preparation of lithium carbonate from spodumene by a sodium carbonate autoclave process. Hydrometallurgy process. Hydrometallurgy , , 43-46.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 297
Prosiding Prosiding Se Seminar N asional asional M ateri ateri al dan Metalur Metalur gi (SENA (SENA M M VI I I ) 2015 2015 Yogyakarta, 5 N ovember ovember 2015
Studi Perilaku Korosi Paduan Zr-xMo dan Zr-yNb Hasil Metalurgi Serbuk untuk Aplikasi Biomaterial Badrul Munira dan Niken Anggraini Universitas Indonesia, Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Depok 16424 Indonesia a Email:
[email protected]
Abstract In this work, corrosion behavior Zr-xMo and Zr-yNb alloys produced by powder metallurgy for biomaterials application were investigated. Linear polarization tests revealed a nobler electrochemical behavior of the zirconium alloys after alloying Nb to pure Zr than alloying Mo to pure Zr as indicated by lower corrosion current densities and corrosion rate in all electrolyte mediums which are ringer solutions, Kokubo SBF solutions and also NaCl 3,5%. The EIS data, da ta, fitted by model [R(C[R(RQ)] )(RQ)], suggested a duplex passive film formed on the most of experimental material surfaces especially Zr-yNb. Corrosion mechanism of this alloy happen due to pitting corrosion and corrosion resistance depends on chloride concentration in the electrolyte. All of these above results suggested that the Zr – 9Nb 9Nb alloy, among the experimental alloys, showed a promising material for biomedical applications. Keywords; Biomaterial, Zr-xMo, Zr-yNb, powder metallurgy, corrosion resistance
1. PENDAHULUAN
Penelitian di dunia biomaterial saat ini telah banyak membuktikan bahwa zirconium merupakan material logam yang memiliki potensi untuk dapat digunakan sebagai biomaterial karena dinilai memiliki sifat mekanis, biokompatibilitas, dan magnetic susceptibility yang rendah [1]. Paduan zirkonium juga merupakan kandidat material untuk kepentingan surgical implant karena sifat mekaniknya yang sesuai, sifat biokompatibilitas yang baik serta ketahanan korosi yang sangat baik pula karena pembentukan lapisan oksida tipis secara spontan pada permukaan paduan zirkonium di dalam larutan elektrolit. Zirkonium telah terbukti menjadi suatu material yang non toksik dan juga biokompatibel. Percobaan in vivo di dalam tubuh hewan juga menunjukkan bahwa implant berbasis zirkonium menunjukkan sifat osseointegrasi yang baik dan bahkan menunjukkan derajat kontak yang lebih tinggi dibandingkan dengan implant titanium pada antar muka tulang dengan implant implant [2] . Aplikasi paduan zirkonium sebagai biomaterial banyak diaplikasikan untuk pembedahan tulang (ortopedis), yaitu untuk sendi lutut buatan (artificial knee joint ) [3] [4]. Salah satu syarat biomaterial yang baik adalah memiliki perilaku degradasi yang terkontrol, khususnya untuk biomaterial yang digunakan untuk aplikasi permanen, misalnya hip joint replacement . Degradasi dari logam dan paduannya yang biasa digunakan sebagai implan otopedik biasanya terjadi karena kombinasi, baik secara elektrokimia maupun mekanik. Korosi adalah hal pertama yang dijadikan bahan pertimbangan untuk material yang akan digunakan di dalam tubuh karena adanya pelepasan ion logam di dalam tubuh disebabkan terutama oleh
korosi dari implan [5]. Hal inilah yang mendasari penelitian ini, yaitu untuk melihat perilaku degradasi paduan zirkonium yang telah ditambahkan elemen paduan berupa molybdenum dan niobium di dalam berbagai macam larutan larutan Kokubo simulated body fluid, larutan fluid, larutan ringer dan larutan NaCl 3,5%. 2.METODE
Fabrikasi sampel dilakukan dengan menggunakan metode metalurgi serbuk. Sampel berbentuk silinder dengan diameter 2,5 cm da n tinggi 1 cm. Sampel terdiri dari paduan Zr-3Mo, Zr-12Mo, Zr-6Nb, Zr-9Nb, Zr-20Nb (% massa). Pembuatan sampel dilakukan dengan proses kompaksi pada tekanan 6000 psi selama 15 menit dilanjutkan dengan proses sinter pada temperatur 1100 C selama 4 jam. Sebelum dilakukan pengujian elektrokimia sampel terlebih dahulu dilakukan proses imersi selama 1,5 jam untuk mencapai kondisi stabil. Sistem pengujian polarisasi terdiri dari 3 elektroda, yaitu grafit sebagai counter electrode, electrode , Ag/AgCl sebagai reference electrode, electrode , dan sampel paduan zirkonium sebagai working electrode. electrode . Pengujian polarisasi tafel ini menggunakan scan rate 0,01mV/s. Pengujian pertama digunakan potensial awal -0.5 V dan potensial akhir +0.3 V untuk mendapatkan kurva polarisasi yang digunakan menghitung laju korosi. Pengujian kedua diguanakan potensial awal -0.5 V dan potensial akhir 1.7 V untuk mengamati fenomena terbentuknya lapisan pasif. Nilai open circuit potential (OCP) ditentukan setelah 120 detik agar didapatkan nilai potensial yang relatif stabil. Pengujian polarisasi dilakukan sesuai standart ASTM G3. Pengujian elektrokimia dilakukan pada temperatur ±37 C untuk menyesuaikan kondisi tubuh.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 298
Prosiding Prosiding Seminar Seminar N asional asional M ateri ateri al dan Metalur Metalur gi (SENAM (SENAM M VI I I ) 2015 2015 Yogyakarta, 5 November November 2015
Pengujian EIS dilakukan sesuai dengan standart ASTM G106. Pengujian EIS dilakukan dengan mengaplikasikan sinyal AC dengan amplitude gelombang sinusoidal 10 mV dengan rentang frekuensi 10 kHz hingga 10 mHz. Selajutnya grafik Nyquist akan di fitting fitting untuk mendapatkan sirkuti ekivalen listrik yang representative. Hasil fitting akan akan menunjukkan nilai elemen listrik, seperti nilai tahanan transfer muatan (Rct), kapasitansi double layer (Cdl), Warburg, constant phase element (Q), dan induktansi (L). Elemen listrik akan dintrepetasi untuk mengetahui fenomena yang terjadi pada interface logam/elektrolit. interface logam/elektrolit. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Perilaku Korosi Paduan Zr-xMo dan Zr-yNb di dalam Larutan Ringer Gambar 3.1 menunjukkan kurva anodic ZrxMo yang lebih ke kanan yang menandakan reaksi oksidasi yang lebih cepat dibandigkan Zr-yNb. Kinetika rekasi oksidasi yang lebih cepat ini menjadi indikasi bahwa logam semakin cepat terkorosi menjadi ionnya. Kurva polarisasi Zr-xMo yang lebih ke kanan menunjukkan nilai icorr yang lebih besar sehingga memiliki laju korosi yang lebih besar dibandingkan dengan paduan Zr-yNb .
menunjukkan nilai tahanan transfer muatan (Rct) dari sistem, yaitu semakin besar/lebar diameter kurva semicircle semicircle maka nilai tahanan transfer muatan (Rct) semakin besar. Semakin besar Rct maka logam cenderung memiliki ketahanan lapisan permukaan yang lebih baik atau lebih mulia secara elektrokimia. Berdasarkan gambar 3.2, hasil pengujian EIS di dalam larutan ringer didapatkan kecenderungan bahwa padauan zirkonium yang ditambahkan dengan niobium akan memiliki nilai tahanan transfer muatan yang lebih besar dibandingkan dengan paduan zirkonium yang ditambahkan molybdenum. Hal ini berarti paduan zirkonium yang ditambahkan niobium dapat dikatakan lebih mulia secara elektrokimia dibandingkan dengan paduan zirkonium yang ditambahakan elemen paduan molybdenum karena paduan Zr-yNb mampu membentuk lapisan pasif yang lebih stabil dan kompak dibandingkan Zr-xMo. 3.2.Perilaku Korosi Paduan Zr-xMo dan Zr-yNb di dalam Larutan Kokubo Simulated Body Fluid Gambar 3.3 menunjukkan laju korosi sampel dari yang paling rendah ke paling tinggi adalah Zr-3Mo, Zr-12Mo, Zr-20Nb, Zr-6Nb dan Zr-9Nb (% massa). Pada sampel terlihat bahwa cabang anodic sampel ZrxMo bergeser ke kanan dibandingkan Zr-yNb. Hal ini menandakan reaksi anodic pada sampel Zr-xMo lebih tinggi dibandingkan sampel Zr-yNb. Sementara itu cabang katodik sampel Zr-yNb bergeser ke kiri yang menandakan reaksi katodik pada sampel lebih ZryNb lebih rendah, kecuali pada sampel Zr-20Nb yang kurva katodiknya bergeser ke kanan dibandingkan dengan Zr-12Mo. Hal ini menandakan bahwa reaksi katodik pada sampel Zr-20Nb lebih cepat.
Gambar 3.1 Perbandingan Kurva Polarisasi Masingmasing Sampel dalam Larutan Ringer
Gambar 3.3 Perbandingan Kurva Polarisasi Masingmasing Sampel dalam Larutan Kokubo SBF
Gambar 3.2 Grafik Nyquist Pengujian EIS di dalam Larutan Ringer
kurva
Pada umumnya, grafik Nyquist berbentuk semicircle. semicircle. Diameter kurva semicircle
Pada paduan Zr-6Nb dan Zr-9Nb kurva polarisasi yang dihasilkan cenderung berhimpitan, tetapi Ecorr Ecorr pada pada Zr-9Nb lebih rendah yaitu -364,5 V yang menandakan bahwa paduan Zr-9Nb memiliki kecenderungan untuk terjadi korosi yang lebih rendah. Untuk mendapatkan material implan yang ideal, potensial kerusakan lapisan pasif pada implan harus lebih tinggi dibandingkan potensial tubuh.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 299
Prosiding Prosiding Seminar Seminar N asional asional M ateri ateri al dan Metalur Metalur gi (SENAM (SENAM M VI I I ) 2015 2015 Yogyakarta, 5 November November 2015
Potensial cairan tubuh berdasarkan prinsip reaksi redoks sekitar 0,4 - 0,5 V vs Ag/AgCl [2] [6], sedangkan potensial rusaknya lapisan pasif pada Zr20Nb adalah ±0,6 V.
3.2 Perilaku 3.2 Perilaku Korosi Paduan Zr-xMo dan Zr-yNb di dalam Larutan nacl 3,5% Larutan NaCl 3,5% adalah larutan yang paling umum digunakan untuk mengetahui perilaku korosi suatu material di dalam elektrolit yang mengandung klorida. Lapisan pasif akan mudah rusak karena adanya perpindahan ion Cl - ke dalam lapisan pasif sehingga menyebabkan pitting menyebabkan pitting .
Gambar 3.4 Grafik Nyquist Pengujian EIS di dalam Larutan Kokubo SBF Berdasarkan hasil fitting , paduan zirkonium yang diuji di dalam larutan Kokubo SBF, didapatkan sirkuit ekivalen yaitu [R(C[R(RQ)])(RQ)], seperti terlihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 3.5 Hasil fitting Hasil fitting sirkuit ekivalen listrik tipe [R(C[R(RQ)])(RQ)] di dalam larutan Kokubo SBF Dari gambar 3.5 dapat disimpulkan bahwa korosi dari logam dihambat oleh adanya lapisan oksida yang terdiri dari 2 lapisan ( duplex). duplex). Hal ini juga sama seperti yang terjadi pada logam titanium, yaitu cenderung membentuk lapisan oksida duplex di duplex di dalam larutan yang mengandung klorida dan larutan fisiologis [7]. Paduan zirkonium yang ditambahkan elemen paduan baik niobium maupun molybdenum memiliki nilai rata-rata Rct yang cukup besar, yaitu di atas 5000 Ω sehingga lapisan oksida pasif yang terbentuk dapat dikatakan protektif. Kestabilan lapisan pasif akan secara efektif menghambat lepasnya ion logam dan juga lapisan pasif yang stabil juga dapat dikategorikan sebagai inert , memiliki tingkat kelarutan yang rendah sehingga mengindikasikan sifat biokompatibilitas yang baik.
Gambar 3.6 Perbandingan Kurva Polarisasi Masingmasing Sampel dalam Larutan NaCl 3,5% Berdasarkan gambar 3.6 yang menunjukkan kurva polarisasi pengujian sampel di dalam larutan NaCl 3,5% dapat dikonfirmasi bahwa penambahan molybdenum pada zirkonium murni cenderung meningkatkan laju korosi paduan sehingga paduan Zr-12Mo adalah paduan yang memiliki laju korosi paling tinggi yang ditandai dengan kurva anodic yang paling kanan sehingga i corr nya menjadi paling besar.
Gambar 3.7. Grafik Nyquist Pengujian EIS di dalam Larutan Larutan NaCl 3,5% Jika dibandingkan dengan grafik Nyquist yang dihasilkan dari pengujian di dalam larutan Kokubo SBF dan larutan Ringer maka grafik Nyquist dari sampel yang di dalam larutan NaCl 3,5% memiliki rentang yang lebih pendek. Hal ini disebabkan lapisan pasif yang terbentuk lebih mudah
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 300
Prosiding Prosiding Seminar Seminar N asional asional M ateri ateri al dan Metalur Metalur gi (SENAM (SENAM M VI I I ) 2015 2015 Yogyakarta, 5 November November 2015
dirusak karena konsentrasi ion klorida yang lebih tinggi. 3.3 Analisis Permukaan Sampel Gambar 9 merupakan hasil foto mikrostruktur paduan zirkonium tanpa menggunakan etsa untuk mengamati keadaan permukaan paduan setelah dilakukan pengujian elektrokimia polarisasi linear dan EIS di dalam larutan NaCl 3,5%. Berdasarkan gambar dapat terlihat paduan Zr-12Mo mengalami pengikisan pada bagian tepi yang cukup parah dan lubang-lubang yang dihasilkan juga cukup banyak. Hal ini sesuai berdasarkan hasil pengujian polarisasi bahwa di dalam larutan NaCl 3,5% paduan p aduan Zr-12Mo memiliki laju korosi yang paling tinggi. Sementara itu, permukaan paduan Zr-6Nb yang mempunyai laju korosi paling rendah juga terlihat mimiliki lubang-lubang, meskipun berukuran kecil dan jumlahnya hanya sedikit. Meskipun paduan zirkonium dapat membentuk lapisan pasif secara spontan pada permukaannya di dalam larutan elektrolit, tetapi lapisan pasifnya tidak stabil dan dengan mudah mengalami pit di dalam elektrolit yang mengandung klorida [2] Pada Pada gambar 4.8 secara keseluruhan juga terbukti, baik paduan ZrxMo dan Zr-yNb mengalami lubang yang dapat mengindikasikan bahwa mekanisme korosi yang terjadi adalah pitting corrosion. corrosion. Pitting biasanya terjadi pada potensial yang lebih positif untuk zirkonium murni dan paduan Zr-yNb [2].
metalurgi serbuk untuk aplikasi biomaterial karakteristik pori juga memiliki pengaruh penting terhadap perilaku korosi. Material yang berpori cenderung lebih rentan terhadap korosi dibandingkan material yang padat karena luas permukaan yang lebih besar akan terkena elektrolit [7]. Berdasarkan grafik pada gambar 3.9 penambahan molybdenum pada paduan zirkonium akan mempengaruhi laju korosi paduan di dalam berbagai macam larutan yang berbeda. Pada larutan ringer dan larutan NaCl 3,5% penambahan molybdenum justru meningkatkan laju korosi. Pada larutan NaCl 3,5% laju korosi Zr-xMo cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan larutan ringer. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kadar klorida yang lebih tinggi di dalam NaCl 3,5% karena larutan ringer hanya mengandung kadar klorida sekitar 0,3% dari kadar NaCl 3,5%.
Gambar 3.9 Grafik Pengaruh Penambahan Molibdenum terhadap Perilaku Korosi Paduan ZryMo untuk Aplikasi Biomaterial Pada larutan Kokubo SBF, penambahan molybdenum justru menurunkan laju korosi paduan zirkonium, tidak seperti yang terjadi pada larutan Ringer dan larutan NaCl 3,5%. Hal ini juga berlaku pada penelitian yang dilakukan Sulistioso, dkk [8], yaitu penambahan molybdenum pada paduan Zr-2,5 Nb akan menurunkan laju korosi pada kondisi simulated body fluid . 3.5 Analisis Pengaruh Niobium terhadap Perilaku Korosi Paduan Zr-yNb
Gambar 3.8 Mikrostruktur paduan tanpa etsa A) Zr3Mo B) Zr-12Mo C) Zr-6Nb D) Zr-20Nb dengan perbesaran 50 kali setelah pengujian pengujian elektrokimia di dalam larutan NaCl 3,5% 3.4 Analisis 3.4 Analisis Pengaruh Molibdenum Perilaku Korosi Paduan Zr-xMo
terhadap
Ketahanan korosi paduan zirkonium ditentukan oleh beberapa faktor seperti lingkungan, komposisi, struktur mikro dan temperatur. Selain itu, untuk paduan zirkonium yang diproduksi melalui Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9
Gambar 3.10 Grafik Pengaruh Penambahan Niobium terhadap Perilaku Korosi Paduan Zr-yNb untuk Aplikasi Biomaterial
301
Prosiding Prosiding Seminar Seminar N asional asional M ateri ateri al dan Metalur Metalur gi (SENAM (SENAM M VI I I ) 2015 2015 Yogyakarta, 5 November November 2015
Gambar 3.10 menggambarkan kurva polarisasi berbagai paduan zirkonium di dalam larutan ringer. Paduan Zr-9Nb memiliki kurva anodic yang paling kiri. Hal ini menandakan bahwa reaksi anodic pada sampel Zr-9Nb merupakan reaksi anodic yang paling lambat sehingga Zr-9Nb merupakan paduan yang mengalami laju korosi paling kecil di dalam larutan ringer. Hal ini juga berlaku pada larutan Kokubo SBF, paduan Zr-9Nb merupakan paduan yang memiliki laju degrdasi paling rendah. rendah. Penambahan kadar niobium, pada dasarnya akan mampu meningkatkan ketahanan terhadap korosi [2]. Akan tetapi, paduan Zr-20Nb justru memiliki laju korosi yang paling tinggi dibandingkan dengan Zr-6Nb dan Zr-9Nb, yaitu sebesar 0,051406 mpy di dalam larutan ringer, 0,08525 mpy di dalam larutan Kokubo SBF dan 0,08938 di dalam larutan NaCl 3,5%. Hal ini dapat ditinjau dari struktur Zr20Nb yang masih terdapat bagian-bagian yang tidak menyatu secara keseluruhan sehingga terlihat seperti adanya segregasi makro. Adanya bagian yang terihat seperti segregasi makro ini dapat menyebabkan perbedaan aktivitas elektrokimia paduan sehingga dapat meningkatkan laju korosi. Selain itu, sebagai hasil dari proses metalurgi serbuk paduan Zr-20Nb juga memiliki tingkat porositas yang paling tinggi dengan bentuk porositas yang seperti network [9]. Adanya porositas ini akan menyebabkan luas permukaan yang terkena elektrolit semakin besar sehingga meningkatkan laju korosi. Pengujian EIS dilakukan untuk melihat fenomena pembentukan lapisan pada permukaan paduan zirkonium yang ditambahkan niobium. Hasil pengujian EIS di dalam larutan ringer yang disajikan dalam gambar 3.2 menunjukkan bahwa paduan yang memiliki diameter kurva semicircle semicircle paling besar adalah paduan Zr-6Nb. Hal tersebut juga berlaku dalam larutan Kokubo SBF maupun larutan NaCl 3,5%. Secara keseluruhan, tahanan transfer muatan paling kecil untuk semua sampel niobiu m didapatkan di dalam larutan NaCl 3,5%. Hal ini dikarenakan konsentrasi larutan ion klorida yang tinggi di dalam larutan NaCl 3,5% yang mempercepat rusaknya lapisan pasif. Berdasarkan hasil pengujian EIS yang selanjutnya dilakukan fitting terhadap sirkuit ekuivalen listrik dapat dilihat bahwa secara umum paduan Zr-yNb memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan oksida duplex duplex sesuai sirkuit R(C[R(RQ)])(RQ)].
3.6 Analisis Analisis Perilaku Korosi paduan Zr-xMo dan Zr yNb untuk Aplikasi Biomaterial Paduan yang digunakan sebagai biomaterial, khususnya yang permanen haruslah mempunyai nilai laju korosi yang rendah.
Gambar 3.11 Grafik Perbandingan Laju Korosi berbagai Biomaterial Logam di dalam Simulated Body Fluid [6] Karakteristik umum paduan yang biasanya digunakan untuk aplikasi biomaterial adalah karena paduan-paduan tersebut bersifat pasif, misalnya mampu membentuk lapisan protektif secara seragam pada permukaan logam yang terkena kontak dengan cairan tubuh sehingga mengurangi laju korosi. Meskipun untuk paduan-paduan yang mampu membentuk lapisan pasif, rapat arus korosi (i ( i corr ) tidak dapat menginterpretasikan secara aktual nilai laju korosi karena adanya lapisan pasif pada permukaan, tetapi nilai laju korosi dapat digunakan untuk mengurutkan secara relatif ketahanan korosi dari berbagai material. Gambar 3.11di atas akan menyajikan perbandingan beberapa nilai laju korosi logam di dalam simulated body fluid pada temperatur ± 37 °C. Berdasarkan grafik dalam gambar 3.11 terlihat bahwa paduan Zr-yNb memiliki laju korosi yang hampir sama dengan paduan komersial Ti-6Al4V, bahkan paduan Zr-6Nb dan Zr-9Nb memiliki laju korosi yang lebih rendah dibandingkan dengan Ti6Al-4V, Cobalt alloy, alloy, serta SS 316L. Meskipun, nilai laju korosi paduan Zr-xMo lebih tinggi dibandingkan dengan Zr-yNb, tetapi nilai laju korosinya masih mendekati laju korosi dari baja tahan karat SS 316L. Nilai laju korosi yang rendah ini membuktikan membuktikan bahwa paduan berbasis zirkonium memiliki ketahanan korosi yang tinggi di dalam simulated body fluid . Dari pengujian elektrokimia dapat dibuktikan bahwa paduan zirkonium Zr-xMo dan Zr-yNb yang difabrikasi dengan proses metalurgi serbuk dapat dijadikan kandidat sebagai biomaterial logam.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 302
Prosiding Prosiding Seminar Seminar N asional asional M ateri ateri al dan Metalur Metalur gi (SENAM (SENAM M VI I I ) 2015 2015 Yogyakarta, 5 November November 2015 4. KESIMPULAN
Pada penelitian ini, mengenai perilaku korosi paduan berbasis zirkonium Zr-xMo dan ZryNb yang difabrikasi dengan proses metalurgi serbuk di dalam berbagai macam larutan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara umum, paduan Zr-yNb memiliki ketahanan korosi yang lebih baik dibandigkan dengan paduan Zr-xMo di dalam larutan Ringer, Larutan Kokubo SBF dan juga larutan NaCl 3,5%. 2. Secara umum, laju korosi sampel yang paling tinggi terdapat pada larutan NaCl 3,5%. Hal ini disebabkan konsentrasi ion klorida yang lebih tinggi pada larutan NaCl 3,5% dibandingkan dengan konsentrasi ion klorida pada larutan ringer dan larutan Kokubo SBF. Dapat disimpulkan, ketahanan korosi paduan zirkonium bergantung pada kandungan ion klorida di dalam dalam elektrolit 3. Pengujian di dalam larutan simulated body fluid membuktikan bahwa paduan Zr-6Nb dan Zr-9Nb yang difabrikasi dengan proses metalurgi serbuk memiliki laju korosi yang lebih rendah dibandingkan dengan biomaterial komersial Ti6Al-4V sehingga paduan berbasis zirkonium dapat dijadikan kandidat biomaterial logam.
[6] Gurappa, "Characterization of Different Materials for Corrosion Resistance under Simulated Body Fluid Conditions," Materials Characterization, vol. 49, pp. 73-79, 2002. [7] Chelariu, R; Bolat, G; Izquierdo, J; et al, "Metastable beta Ti-Nb-Mo Alloys with Improved Corrosion Resistance in Saline Solution," Electrochimia Solution," Electrochimia Acta, vol. 137, pp. 280290, 2014. [8] Sukaryo; Sulistioso, Giat; et al, "Pengaruh Penambahan Molibdenum terhadap Morfologi Struktur Mikro, Sifat Mekanik, dan Ketahanan Korosi Paduan Zr-Nb untuk Material Implan," Metalurgi, vol. 29, no. 1, pp. 17-25, 2014. [9] V. Irawan, "Studi Pengaruh Komposisi Niobium pada Zirkonium-Niobium dengan Proses Metalurgi Serbuk untuk Aplikasi Biomaterial," Undergraduate Thesis, Universitas Indonesia, 2014.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Suyalatu, N. Nomura, "Microstructure and Magnetic Susceptibility of As-Cast Zr-Mo Alloys," Acta Biomaterialia, vol. 6, pp. 10331038, 2010. [2] Zhou, F.Y, "Microstructure, Corrosion Behavior and Cytotoxicityof Zr-Nb Alloys for Biomedical Application," Materials Application," Materials Science and Engineering, vol. 32, pp. 851 - 857, 2012. [3] Sah, A.P., and J.E. Ready, "Use of Oxidized Zirconium Hemiarthroplasty in Hip Fractures," Journal of Anthroplasty, vol. 22, no. 12, pp. 1174-1180, 2007. [4] Ries, M.D., A. Salehi, K. Widding, W idding, and G. Hunter, "Polyethylene Wear Performance of Oxidized Zirconium and Cobalt-Chromium Knee Components under Abrasive Conditions," The Journal of Bone and Joint Surgery, vol. 84, no. 2, pp. 129-135, 2002. [5] Espallargas, N; et al, "A Metal Ion Release Study of CoCrMo Exposed to Corrosion and Tribocorrosion Conditions in Simulated Body Fluid," Wear, pp. Wear, pp. 669-678, 332-333.
Departermen Teknik Mesin dan Industri ISBN 978-602-73461-0-9 303