PERBEDAAN ALAT GANTI VERBAND ANTARA ANTARA DRESSI DRESSI NG SET SET DAN DRESSING TROLLEY TERHADA PRESIKO INFEKSI NOSOKOMIAL DALAM
PERAWATAN LUKA POST OPERASI
Eliza Elizabe beth Ari Ar i Sety Setyari arini, ni, Linda inda Sari Barus Barus, Astie Astie Dwitari ABSTRAK
Infeksi luka operasi merupakan salah satu indikator t erjadinya infeksi nosokomial . Infeksi luka operasi menempati urutan ketiga dari jumlah infeksi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung yaitu 0,19% (12 orang), dimana perawatan luka sebagian besar masih menggunakan dressing trolley, trolley, yaitu satu alat digunakan untuk beberapa pasien sehingga memudahkan kontaminasi kuman dan kejadian infeksi nosokomial.Tujuan nosokomial.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan alat ganti verband antara dressing set dan dressing trolley terhadap resiko infeksi nosokomial dalam perawatan luka post operasi di RumahSakit RumahSakit Santo Borromeus Bandung. Dressing Bandung. Dressing set adalah suatu wadah steril yang berisialat-alat ganti verband yang dibuat menjadi satu paket steril sehingga dapat meminimalkan resiko kontaminasi. Dressing trolley trolley adalah suatu roda yang berisi alatalat perawatan luka dimana satu alat digunakan untuk sejumlah pasien. Penelitian ini menggunakan metode penelitian quasi eksperiment dengan desain penelitian non randomizedpost test two group design. design. Hasil penelitian didapatkan tidak ada perbedaan yang significant dengan p value> value> 0,05. Hal ini disebabkan karena baik dressing set maupun dressing trolley trolley sama-sama menggunakan prinsip steril yang baik, serta perawatan luka dilakukan sesuai Standar Operasional Operasional Prosedur. Diharapkan dressing trolley trolley tetap digunakan dalam melakukan perawatan luka dengan prinsip steril, serta diadakan in house training wound care secara care secara berkala. Kata kunci: Infeksi nosokomial, dressing set, dressing trolley PENDAHULUAN
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. (UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992). Faktor-faktor yang menurunkan tingkat kesehatan salah satunya adalah gangguan pada kulit. Ketika kulit tertembus, proses inflamasi respons imun individu bekerja untuk menyingkirkan materi asing, jika mungkin dan menyiapkan area tubuh yang cedera untuk penyembuhan. Area tubuh yang cedera ini disebut luka. (Kozier & Erb, 2009). Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomi normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu (Potter & Parry, 2005). Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul
diantaranya hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri dan kematian sel. Luka yang tidak sembuh dalam waktu yang lama dengan berbagai etiologi dikhawatirkan mengalami komplikasi. Komplikasi luka dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Berdasarkan Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu proses penanganan luka dengan segera. Penanganan pertama adalah perawatan luka. Perawatan luka adalah suatu tehnik membersihkan luka yang diakibatkan oleh faktor-faktor etiologi dengan tujuan untuk mencegah infeksi luka, melancarkan peredaran darah sekitar, mencegah komplikasi dan mempercepat proses penyembuhan penyembuhan luka. Secara umum penyembuhan luka telah didefinisikan sebagai suatu proses 11
yang kompleks dan dinamis yang menghasilkan pemulihan kontinuitas anatomi dan fungsinya. (Black & Hawks, 2008). Pemulihan luka dapat ditunjang dengan berbagai faktor diantaranya kesterilan yang benar-benar terjaga. Kesterilan dikaitkan dengan berbagai aspek yaitu faktor sumber daya manusia, lingkungan dan alat. Secara praktis steril adalah probabilitas keadaan bebas dari semua mikroorganisme. Kesterilan alat bertujuan untuk menghindari resiko infeksi nosokomial pada luka post operasi dengan mencegah timbulnya mikroorganisme. Pasien yang sedang dalam proses asuhan perawatan di Rumah Sakit, baik dengan penyakit dasar tunggal maupun lebih dari satu, secara umum keadaan umumnya tentu kurang atau tidak baik sehingga daya tahan tubuhnya menurun. Hal ini mempermudah terjadinya infeksi silang karena kuman, virus dan sebagainya akan masuk kedalam tubuh penderita. Infeksi yang terjadi pada penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan ini disebut Infeksi Nosokomial (Inos). Infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di Rumah Sakit (Darmadi, 2008). Fakultas mikrobilogi Universitas Uyo, Nigeria melakukan penelitian pada tahun 2009. Pada penelitian tersebut didapatkan data bahwa dari 40 pasien post operasi paska kecelakaan yang dilakukan pemeriksaan kultur infeksi luka operasi, 13 diantaranya berkultur positif mengandung bakteri. Laporan lain dari National Nosocomial Infection Surveilance (NNIS) Amerika tahun 2010, bahwa tiap tahun 2 juta pasien atau setidaknya 5%-10% pasien di rumah sakit, 90.000 pasien mengalami kematian akibat infeksi nosokomial yang berasal dari 3 indikator yaitu : sepsis post operasi, dehiscence luka post operasi dan infeksi luka. Ketiga indikator tersebut merupakan salah satu dampak infeksi nosokomial dengan biaya tertinggi dan perpanjangan hari rawat.
Menurut Darmadi (2008), adanya sejumlah faktor yang sangat berpengaruh dalam terjadinya proses infeksi nosokomial diantaranya faktor ekstrinsik yaitu petugas pelayanan medis, lingkungan, makanan/ minuman, pasien lain dan pengunjung. Selain faktor ekstrinsik (Setyawati, 2008), faktor ketidakpatuhan dari perawat yaitu perawat yang melakukan perawatan luka operasi ditunjukkan dengan belum menggunakan prosedur dengan benar. Penelitian ini dilakukan di RSUD Semarang pada bulan Desember 2012 dan didapatkan data bahwa perawatan luka post operasi dengan satu set medikasi digunakan untuk pasien secara bersama-sama dan tidak memperhatikan tehnik steril. Penelitian tentang resiko infeksi nosokomial pada pasien post operasi ini juga dilakukan oleh Devi Fitriyastanti di RSUD Kota Semarang pada bulan Maret sampai Mei tahun 2003. Populasi penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di Bangsal Bedah dan menjalani operasi di RSUD Kota Semarang. Hasil analisa deskriptif menunjukkan bahwa 7 dari 88 orang (7,95%) pasien rawat inap dengan luka operasi mengalami infeksi Hasil penelitian nosokomial . menunjukkan bahwa 88,60% perawatan pasca operasi sudah dilaksanakan secara aseptik dan antiseptik sesuai prosedur dan kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi masih ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh perawat dengan tidak memperhatikan septik dan antiseptik (ll,4%). Artinya perawatan luka operasi yang dilakukan dengan tidak memperhatikan septik dan antiseptik dapat menambah resiko terjadinya infeksi luka operasi. Infeksi luka operasi merupakan salah satu indikator mutu dari suatu Rumah Sakit. Salah satu mekanisme transmisi patogen yang mempengaruhi terjadinya infeksi adalah kesterilan alat (Potter & Perry, 2005). Di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung, perawatan luka sebagian besar masih menggunakan dressing trolley. Dressing trolley mempunyai resiko infeksi nosokomial 12
lebih tinggi karena pemakaian ulang alat dan dressing yang dilakukan satu set terhadap sejumlah pasien (Setyawati, 2008). Dressing trolley terdiri dari 2 tingkat, bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas trolley atau roda digunakan untuk menyimpan peralatan steril dari CSSD, bagian bawah trolley untuk menyimpan peralatan yang tidak steril. (Leo A Pramudya, 2005). Dressing trolley memperbesar resiko masuknya mikroorganisme karena buka tutup alat steril yang dilakukan berulang-ulang, ditunjang dengan prosedur perawatan luka yang kurang steril, sumber daya manusia yang kurang memadai dan berbagai faktor masuknya mikroorganisme kedalam luka pasien. (Potter & Perry, 2005) Masuknya mikroorganisme atau port d’ entry pada luka post operasi dapat dicegah salah satunya dengan kesterilan alat ganti verband. Pada penelitian AORN Amerika tahun 2010 yang dilakukan Hidron AI, Edwards JR, Patel J, National Healthcare Safety Network Team (NHSN) telah membentuk Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, dan Pengendalian infeksi epidemik Rumah Sakit 2006-2007 yang merekomendasikan penggunaan set instrumen paska operasi yang meminimalkan resiko kontaminasi. Instrumen tersebut dapat dikemas dalam satu packaging. NHSN menyebutkan bahwa alat yang terbuka terlalu sering dan terlalu lama akan beresiko terhadap infeksi. Infeksi luka operasi berdampak sangat merugikan. Selain kerugian fisik, psikis, kerugian materi pun akan terjadi. Berdasarkan hal tersebut sangat penting menjaga sterilitas untuk mencegah infeksi tersebut. Salah satunya dengan penggunaan alat steril dalam perawatan luka post operasi. Dressing set adalah suatu wadah steril yang berisi alat- alat ganti verband yang dibuat menjadi satu paket steril. (CSSD Kamar Bedah RSB, 2007). Dressing set dapat meminimalkan resiko infeksi
nosokomial karena memiliki resiko kontaminasi dari luar yang minimal. Hasil penelitian dari Dudy Disyadi Nurkusuma di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang, 2009 mendukung adanya satu set ganti verband untuk satu pasien. Didapatkan angka kejadian infeksi nosokomial minimal pada penggunaan dressing set dalam perawatan luka post operasi. Saat ini angka kejadian infeksi nosokomial telah dijadikan tolak ukur mutu pelayanan Rumah Sakit Borromeus. Selama tahun 2012 didapatkan data bahwa persentase infeksi luka operasi adalah 12 orang (0,19%) dari jumlah pengiriman spesimen. Infeksi luka operasi menempati urutan ketiga dari jumlah infeksi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Walaupun jumlah persentase sedikit, tetapi resiko infeksi luka operasi akan sangat merugikan pasien dengan besarnya biaya yang dikeluarkan. Bahkan infeksi luka operasi dapat menyebabkan operasi berulang. Pada tahun 2006 dibentuk Panitia Pengendalian Infeksi dengan tujuan mencegah dan meminimalisir terjadinya infeksi nosokomial . Berdasarkan fenomena tersebut penulis tertarik untuk meneliti Perbedaan Alat Ganti Verband antara Dressing Set dan Dressing Trolley terhadap Resiko Infeksi Nosokomial dalam Perawatan Luka Post Operasi. TINJAUAN PUSTAKA
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomi normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu (Potter & Parry, 2005). Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul (Black & Hawks, 2008): a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ b. Respon stres simpatis c. Perdarahan dan pembekuan darah d. Kontaminasi bakteri e. Kematian sel Klasifikasi luka (Potter & Perry, 2005) a. Berdasarkan tingkat kontaminasi 13
1) Clean Wounds (Luka bersih) Yaitu luka bedah tak terinfeksi yang mana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%. 2) Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), Merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%. 3) Contamined Wounds (Luka terkontaminasi) Termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% 17%. 4) Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi) Yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka. Fase penyembuhan luka (Potter & Perry, 2005) : a. Fase inflamasi (reaksi) Fase inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung sekitar 3 hari setelah cedera. b. Proliferasi/regenerasi Dengan munculnya pembuluh darah baru sebagai hasil rekonstruksi, fase proliferasi terjadi dalam waktu 3-24 hari. c. Maturasi/remodeling Maturasi yang merupakan tahap akhir proses penyembuhan luka,
dapat memerlukan waktu lebih dari 1 tahun, bergantung pada kedalaman dan keluasan luka. Komplikasi Penyembuhan Luka : a. Infeksi Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih. b. Perdarahan Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain). c. Dehiscence dan eviscerasi Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Perawatan luka Perawatan luka bedah adalah perawatan luka yang terdiri atas membersihkan, mengompres dan membalut luka post operasi. (Eny Kusyati, 2013). Prinsip perawatan luka post operasi adalah steril untuk mencegah resiko terjadinya infeksi nosokomial.Alat yang digunakan dalam perawatan lukadapat ditempatkan di 2 tempat yaitu dalam dressing set dan dressing trolley. a. Dressing set 14
Adalah suatu wadah steril yang berisi alat- alat ganti verband yang dibuat menjadi satu paket steril. (CSSD Kamar Bedah RSB) Alat steril ( Dressing set ) 1) Sarung tangan steril 2) Pinset anatomis 2 3) Gunting lurus 1 4) Kom kecil 5) Pinset cirrugis 1 6) Kapas lidi 2 7) Kassa steril 10-15 helai 8) Kassa penekan (deppers) 5buah, mangkok kecil (Standar Operasional Prosedur Peralatan RS Bhayangkara Tk IV Jitra Polda Bengkulu, 2011) b. Dressing trolley Terdiri dari 2 tingkat (Bagian atas dan bagian bawah). Bagian atas trolley atau roda untuk menyimpan peralatan steril dari CSSD, bagian bawah trolley untuk menyimpan peralatan yang tidak steril. (Leo A Pramudya, 2005) Alat dressing trolley 1) Sarung tangan steril dan non steril pada tempatnya 2) Bengkok 3) Pinset anatomis 4) Pinset cirrurgis 5) Gunting verband 6) Gauze steril/ kassa 7) Swab 8) Korentang 9) Larutan disinfektan : betadine cair/ alkohol 70% 10) Larutan saline normal 11) Perlak alas 12) Plastik kuning 13) Obat sesuai program terapi dokter 14) Plester anti alergi (Standar Operasional ProsedurRumah Sakit Borromeus Bandung, 2012) Infeksi Nosokomial Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat dalam pelayanan kesehatan
seperti rumah sakit atau perawatan di rumah.(Lemon Burke, 2004). Ciri-ciri infeksi nosokomial a. Pada waktu pasien mulai dirawat di Rumah sakit tidak didapatkan tandatanda klinik dari infeksi tersebut. b. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit, tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut. c. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut mulai timbul sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan. d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya. e. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat dirumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.(Darmadi, 2008). Penyebaran mikroba patogen tentunya sangat merugikan bagi orang-orang dalam kondisi sehat, terlebih bagi orang yang sedang dalam keadaan sakit. Secara garis besar, mekanisme transmisi mikroba patogen ke pejamu yang rentan ( suspectable host ) melalui dua cara: a. Transmisi langsung (direct transmission) Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk yang sesuai dari pejamu b. Transmisi tidak langsung (indirect transmission) Penularan mikroba patogen yang memerlukan adanya “media perantara”, baik berupa barang atau bahan, air, udara, makanan atau minuman maupun vektor. Infeksi luka operasi Infeksi Luka Operasi ( ILO ) atau Infeksi Tempat Pembedahan (ITP)/ Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi atau organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari post operasi atau dalam kurun 1 tahun apabila terdapat implant. Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien, 15
dokter dan tim, lingkungan, dan termasuk juga instrumentasi. (Hipkabi, 2007). Jenis-jenis luka operasi a. Infeksi luka operasi superfisial Infeksi yang terjadi pada daerah insisi yang meliputi kulit, subkutan dan jaringan lain diatas fasia. b. Infeksi luka operasi profunda Infeksi yang terjadi pada daerah insisi yang meliputi jaringan dibawah fasia (termasuk organ dalam rongga) Cara penilaian infeksi luka Tanda Biakan Skor infeksi -
-
1
+
-
2
-
+
3
+
+
4
(Sumber : Jurnal USU, 2009)
Kultur luka Kultur luka adalah tindakan untuk mengidentifikasi jumlah mikroorganisme, mendiagnosa infeksi, mengidentifikasi mikroorganisme penyebab infeksi dan mengidentifikasi antibiotik yang tepat untuk membunuh mikroorganisme.(Darmadi, 2008). Indikasi kultur luka a. Tanda-tanda infeksi lokal : pus, perubahan bau atau karakter eksudat, kemerahan, luka lama, perubahan bau luka. b. Tanda-tanda infeksi sistemik c. Kenaikan kadar gula darah yang tiba-tiba d. Nyeri neuropati perifer e. Penyembuhan luka lama setelah 2 minggu dalam luka bersih dengan perawatan luka optimal. Syarat-syarat pengambilan kultur a. Pengambilan kultur dari luka atau bersih b. Pengambilan kultur sebelum pemberian antibiotik
c. Mengumpulkan spesimen menggunakan tehnik steril d. Jangan mengkontaminasi spesimen ketika menaruh kedalam kontainer. e. Jika pemeriksaan gram akan dilakukan, ambil bahan spesimen yang memadai f. Tempatkan spesimen dalam tempat yang steril g. Lengkapi form laboratorium untuk mendapatkan data yang akurat untuk petugas mikrobiologi h. Segera antarkan spesimen ke laboratorium untuk menjaga mikroorganisme tetap di tampat steril. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif.Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah non randomised post test two group desain menggunakan quasieksperiment. Variabel dalam penelitian adalah : Variabel independen adalahperbedaan alat ganti verband antara dressing set dan dressing trolley.Variabel dependen adalah resiko infeksi nosokomial dalam perawatan luka `post operasi. Populasi pada penelitian ini adalah 450 pasien post operasi per bulan diruang rawat inap Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Pada penelitian ini yang menjadi sampel adalah pasien post operasi laparatomie apendictomie, laparatomie, hemicholecystectomie, operasi nefrectomy, sphlenectomy, kistectomie salpingectomi total, cholecystectomie, debulking, HTSOB, pada bulan April 2013 sampai Juni 2013 di ruang rawat inap Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung ruangan Yosef 3 Dago, Yosef 3 Suryakencana, Maria 4, Carolus 5. Penelitian ini memakai sampel 10 pasien untuk dressing set , dan 10 pasien untuk dressing 16
trolley serta pengambilan sampel drop out sebanyak 2 orang.Instrumen penelitian dalam penelitian ini menggunakan lembar observasi dengan cara checklist .Checklist dalam penelitian ini untuk mengobservasi perbedaan alat ganti verband antara dressing set dengan dressing trolley terhadap resiko infeksi nosokomial dalam perawatan luka post operasi. Item yang dichecklist dalam form checklist adalah keadaan luka, resiko infeksi, kelengkapan alat dan kondisi alat. Analisa perbedaan antara dresing set dan dressing trolley terhadap kejadian resiko infeksi nosokomial menggunakan Uji Mann U Whitney. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisa univariat (dressing set ) Distribusi frekuensi Dressing (n=20) Juni 2013 Set Dr essing Set Frekuensi %
Tidak Infeksi (1) Tanda infeksi positif, kultur negatif (2) Tanda infeksi negatif, kultur positif (3) Tanda infeksi positif, kultur positif (4)
8 0
80% 0%
0
0%
2
20%
Jumlah
10
100
Hasil penelitian ini ditemukan bahwa gambaran kejadian infeksi nosokomial menggunakan dressing set adalah 20% (2 orang dengan tanda infeksi positif dan kultur positif). Dimana tingkat infeksi yang ditimbulkan jauh lebih kecil daripada dressing trolley. Berdasarkan teori dressing set adalah suatu wadah steril yang berisi alat- alat ganti verband yang dibuat menjadi satu paket steril. waterproof yang digunakan untuk perawatan
luka tiap 1 pasien memakai 1 dressing set disposable. Sesuai teori dressing set adalah suatu wadah steril yang berisi alat- alat ganti verband yang dibuat menjadi satu paket steril. (CSSD Kamar Bedah RSB). Dressing set sangat efektif untuk meminimalkan kejadian infeksi nosokomial , juga mudah digunakan, mudah dibawa, praktis karena telah berbentuk set steril. Dressing set juga mempunyai cost yang efektif, tidak terlalu mahal dan tidak terlalu jauh bedanya dengan dressing trolley, karena penggunaan alat ganti verband masing-masing dihitung per item. Seperti kassa dihitung perlembar, penggunaan instrumen seperti pinset chirrurgis, anatomis dan gunting verband dihitung per paket, begitu pula dengan instrumen lainnya. Perbedaannya, dressing set dibungkus oleh bungkus steril yang disebut dengan medipack. Selain itu, dressing set juga memiliki beberapa keuntungan lainnya. Diantaranya mengefektifkan tenaga perawat, ditengah kondisi terbatasnya tenaga keperawatan. Perawatan luka menggunakan dressing set hanya memerlukan 1 orang tenaga perawat, sedangkan jika menggunakan dressing trolley butuh sedikitnya 2 orang untuk merawat luka. Dressing set juga tidak memerlukan tempat penyimpanan yang terlalu besar. Dapat disimpan dilemari, laci ataupun tempat yang tidak memakan banyak space. Hanya saja tempat untuk menyimpan dressing set ini harus benar-benar kering, dengan suhu ruangan yang stabil. 17
Penelitian dari Dudy Disyadi Nurkusuma di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang mendukung adanya satu set ganti verband untuk satu pasien. Rasio antara alat dan pasien yang dapat dibenarkan apabila jumlah alat terbatas, belum ada penelitian mengenai hal tersebut. Sering ditemukan bahwa keterbatasan alat disiasati dengan berusaha mensterilkan kembali set alat tersebut sehingga dapat digunakan beberapa kali. Pada penelitian Dudy ini didapatkan hasil p = 0,18, dengan demikian disimpulkan bahwa ada pengaruh penggunaan dressing set terhadap kejadian infeksi nosokomial . Berdasarkan AORN Jurnal 2010, Charnley merekomendasikan beberapa alat atau instrumen yang digabung dan dikemas dalam suatu set steril anti air, yang memungkinkan untuk meminimalkan infeksi nosokomial . 2. Analisa trolley)
univariat
(dressing
Distribusi frekuensi Dressing Tolley (n=20) Juni 2013 Frek Dr essin g Tr oll ey % uensi
Tidak Infeksi (1) Tanda infeksi positif, kultur negatif (2) Tanda infeksi negatif, kultur positif (3) Tanda infeksi positif, kultur positif (4) Jumlah
4 1
40% 10%
0
0%
5
50%
10
100
Hasil pada penelitian ini ditemukan bahwa gambaran kejadian infeksi nosokomial menggunakan dressing
trolleyadalah 50% (5 orang tanda infeksi dan kultur positif. Hal ini dapat disebabkan karena penggunaan 1 trolley untuk sejumlah pasien yang menyebabkan proses buka tutup alat secara terus menerus, sehingga meningkatkan kejadian infeksi nosokomial . Adanya faktor ekstrinsik, intrinsik dan faktor lain juga dapat mengakibatkan infeksi nosokomial . Penelitian ini didukung dengan teori dari Potter & Perry, 2005, yang menyebutkan bahwa infeksi nosokomial bisa disebabkan karena kontaminasi udara karena buka tutup alat steril yang dilakukan berulangulang, memperbesar resiko masuknya mikroorganisme, ditunjang dengan prosedur perawatan luka yang kurang steril, sumber daya manusia yang kurang memadai dan berbagai faktor seperti alat ganti verband yang digunakan dalam peralatan luka dapat merupakan perantara masuknya mikroorganisme. Hasil penelitian ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh dilakukan Devi Fitriyastanti di RSUD Kota Semarang pada bulan Desember 2012 dan didapatkan data bahwa perawatan luka post operasi dengan satu set medikasi digunakan untuk pasien secara bersama-sama dan tidak memperhatikan tehnik steril. Hasil analisa deskriptif menunjukkan bahwa 7 dari 88 orang (7,95%) pasien rawat inap dengan luka operasi mengalami infeksi nosokomial . Penelitian juga dilakukan oleh William Hopper pada AORN Jurnal, Maret 2010. William mengemukakan 18
bahwa instrumen yang terbuka, penempatan dan perpindahan instrumen dari bawah ke atas meja trolley atau diatas instrumen steril, dan dari area steril ke non steril akan meningkatkan resiko kontaminasi bakteri. Pada karakteristik responden jenis kelamin perempuan lebih banyak terkena infeksi luka operasi daripada laki-laki.
cepat daripada orang tua. Umur > 40 tahun lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah. Selain itu, terjadi penurunan fungsi tubuh dan kekebalan tubuh, sehingga tubuh rentan terhadap infeksi. Menurut teori Baratawidjaja& Rengganis dalam penelitian Yosi Rosaliya dan Maria Suryani di RS Tugurejo 2011 mengatakan bahwa semakin bertambahnya usia maka semakin rentan terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang menurun. Akibat involusi timus, jumlah dan kualitas respons sel T semakin berkurang. Jumlah sel T memori meningkat tapi semakin sulit untuk berkembang. Terutama sel CD8’ dan sel Th I sangat menurun . sitokin Th2 IL-6 meningkat sedangkan IL-2 menurun.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (n=20) Jenis
n(respon
Kelamin
den)
Laki-laki
7
35
Perempuan
13
65
Total
20
100
%
Dari 7 orang terkena infeksi nosokomial didapatkan 4 orang perempuan dan 3 orang laki-laki, jumlah perempuan lebih besar daripada laki-laki. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur (n=20)
Umu r
Karakteristik umur rata-rata kejadian infeksi luka operasi pada penelitian ini yaitu 41-50 tahun. Umur termuda adalah 20 tahun, dan tertua adalah 50 tahun. Berdasarkan teori, hal ini disebabkan karena anak dan dewasa penyembuhannya lebih
n (responden)
%
18-30
4
20
31-40
3
15
41-50
13
65
51-60
-
0
Total
20
100
3. Analisa bivariat Perbedaan Dr essing Set dan Dr essin g Tr oll ey Terhadap kejadian infeksi Nosokomial (n=20)
Variabel Dressing Set
N 10
M ean rank s 8,60
Sum of rank s 86,00
Dr essin g Tr oll ey
10
12,40
124,00
Total
P value 0,096
20
19
Hasil penelitian pada analisa bivariat didapatkan hasil bahwa nilai p value = 0,096 > 0,05. Karena nilai p value >0,05, maka dapat dikatakan bahwa pada α 5% secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan significant antara dressing set dan dressing trolley terhadap kejadian infeksi nosokomial . Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya faktor-faktor lain yang memicu timbulnya infeksi nosokomial . Menurut teori ada 4 multifaktoral yang mempengaruhi timbulnya infeksi nosokomial (Potter & Perry, 2005) diantaranya yang pertama faktor ekstrinsik misalnya dari petugas kesehatan, peralatan medis, makanan, pasien lain dan keluarga atau pengunjung. Faktor kedua yaitu faktor intrinsik seperti umur, jenis kelamin, kondisi umum pasien, risiko terapi atau adanya penyakit yang menyertai penyakit dasar beserta komplikasinya. Faktor ketiga yaitu faktor keperawatan yang mencakup lamanya hari perawatan, lamanya pemaparan dan padatnya pasien dalam satu ruangan. Serta faktor terakhir adalah mikroba patogen yaitu tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan merusak jaringan, lamanya pemaparan (length of exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita. Faktor-faktor yang disebutkan diatas didukung oleh penelitian dari Parhusif di Rumah Sakit dr. Pirngadi Medan tahun 2005 yang mengatakan bahwa adanya faktor endogen dan eksogen,
yang mempengaruhi kejadian infeksi nosokomial di Rumah Sakit. Lama hari perawatan (length of stay), lamanya pemaparan (length of exposure) antara sumber penularan (reservoir) dengan penderita juga meningkatkan resiko infeksi nosokomial karena semakin lama pasien berada di Rumah Sakit, maka akan semakin sering terpapar dengan bakteri. Seperti halnya di Rumah Sakit Santo Borromeus, lama perawatan post operasi berbeda-beda, masih ada pasien pre operasi medium yang dirawat lebih dari 5 hari baru dilakukan operasi, atau pasien post operasi sampai hari ke-5 belum pulang karena berbagai faktor. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Yosi Rosiliya di Rumah Sakit Umum Daerah Semarang tahun 2011, yang mengatakan bahwa ada pengaruh antara lamanya hari rawat dengan kejadian infeksi. Penelitian Yosi menghasilkan dari 76 orang didapatkan kejadian infeksi sebanyak 5 orang. Selain itu menurut teori Black & Hawks, 2008, faktor – faktor lain yang mempengaruhi luka diantaranya jenis operasi. Operasi yang dilakukan didaerah colon mungkin akan lebih beresiko terkena infeksi karena didalam colon terdapat banyak bakteri. Walaupun sebagian bakteri merupakan flora normal, namun beberapa bakteri tersebut akan terstimulasi oleh sayatan, sehingga beresiko menyebar ke daerah sayatan sehingga menjadi bakteri penyebab infeksi. 20
Penelitian Scott E Dowb, 2009 bagian mikrobiologi dalam Journal of Wound Care mengatakan bahwa saat ini bakteri yang menyebabkan infeksi luka operasi dapat berasal dari organ ataupun lingkungan sekitar yang terstimulus. Letak luka operasi juga akan mempengaruhi dimana posisi luka yang berada di area lipatan atau pressure akan beresiko sering terkena gesekan sehingga akan memperlambat penyembuhan luka. Kondisi moist pada luka juga akan berpengaruh terhadap resiko infeksi karena menurut teori Suriadi (2008), keadaan luka moist akan mempertahankan flora normal sehingga lebih meminimalkan resiko infeksi dan mengoptimalkan penyembuhan luka dibandingkan dengan kondisi luka yang kering. Teori diatas sesuai dengan SOP Rumah Sakit Borromeus, dimana yang dressing digunakan pada luka post operasi bersifat moist. Yaitu minimal menggunakan sejenis tulle ditutup dengan non/ adhesive dressing. Kejadian infeksi nosokomial dapat pula dipengaruhi oleh padatnya pasien dalam satu ruangan. Peneliti melakukan penelitian di beberapa tempat mencakup kelas VIP, kelas II dan III Rumah Sakit Santo Borromeus. Pasien post operasi ditempatkan sesuai kelasnya yaitu kelas II berjumlah 5 orang, kelas III berjumlah 6 orang, kelas I berjumlah 2 orang, kelas utama dan VIP berjumlah 1 orang, dimana perbedaan tempat dan jumlah kapadatan
pasien dapat mempengaruhi terjadinya infeksi. Menurut teori Nursalam 2011, penyebab infeksi nosokomial dapat ditularkan oleh pasien satu ke pasien lain karena variasi penyakit pasien, maka resiko infeksi akan semakin tinggi. Berdasarkan hal tersebut sebaiknya pada pasien yang rentan infeksi ditempatkan pada suatu ruang isolasi untuk mencegah infeksi nosokomial . Padatnya pasien akan mempermudah panularan penyakit dan menurunkan derajat kesehatan.(Potter dan Perry, 2005). Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang lain dapat disebabkan karena perbedaan SOP pada masingmasing tempat penelitian, kemudian adanya perbedaan cara sterilan alat dan fasilitas alat ganti verband itu sendiri. Hasil penelitian tidak ada perbedaan yang significant antara dressing set dan terhadap dressing trolley resiko infeksi nosokomial, maka penggunaan dressing trolley tetap dapat digunakan dalam perawatan luka post operasi dengan tetap menjaga kesterilan dari berbagai aspek. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa kejadian infeksi nosokomial menggunakan dressing trolley adalah 5 orang (50%), kejadian infeksi nosokomial menggunakan dressing set adalah 2 orang (20%). Hasil penelitian didapatkan data p value = 0,096 > 0,05, karena nilai p value> 0,05, maka dapat dikatakan bahwa pada α 5% terlihat tidak ada perbedaan significant kejadian infeksi
21
nosokomial menggunakan dressing set dan dressing trolley. Saran yang dapat peneliti berikan bagi Rumah Sakit adalah mengadakan in house trainingwound care secara berkala pada perawat serta mengadakan sosialisasi Standar Operasional Prosedur Perawatan Luka secara berkala. Bagi STIKes Santo Borromeus diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi, serta dapat memfasilitasidressing trolley untuk praktek laboratorium. Bagi peneliti selanjutnya perlu penelitian lebih lanjut untuk menganalisa faktor ekstrinsik dan intrinsik yang mempengaruhi kejadian infeksi nosokomial .
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta. Rineka Cipta Aziz Alimul. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Tehnik Analisis Data. Jakarta. Salemba Medika Baratawidjaja, K.G., & Rengganis. 2009. Imunologi Dasar . Jakarta. FKUI Black & Hawks, 2005. Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Positive Outcomes 7th Edition. Missioneri. Elsevier Saunders Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta Eni Kusyati. 2012. Keterampilan dan Prosedur Laboratorium Keperawatan Dasar Edisi 2. Jakarta. EGC Ethel Sloane. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta. EGC Hastono. 2007. Analisis Data Kesehatan. FKIM UI. Depok Hipkabi. 2004. Pelatihan dasar Perawat Kamar Bedah. Bandung Kozier & Erb. 2009. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Edisi 5.Jakarta. EGC
Lemon Burke. 2004. Medical Surgical Nursing Third Edition. New Jersey. Education Inc Muttaqin, A., & Sari, K. 2009. Asuhan Keperawatan Perioperatif . Jakarta. Salemba Medika Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta Nursalam. 2011. Manajemen Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Edisi 4. Jakarta : EGC Price & Wilson. 2001. Patofisiologi. Jakarta, EGC Setiyawati. 2009. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Infeksi Nosokomial . Jakarta. FKUI Sjamsuhidayat. 2005. Ilmu Ajar Bedah Edisi 2. Jakarta. EGC Stillman, Richard M, 2010. Wound Care. New Jersey Sugiono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi ( Mixed Methods). Bandung. Alfabeta Syaifuddin. 2008. Anatomi Fisiologi. Jakarta. EGC Adysaputra, dkk. 2009. Pattern and Prevalence of Nosocomial Microbial Infection From Intensive Care Unit Patients, Wahidin Sudirohusodo Hospital Makasar. http://med.unhas.ac.id/jurnal/attac hments/article/85/2-A.pdf diunduh 14/01/2013 pukul 22.06 WIB Alicia J Mangram. 1999. Guideline For Prevention of Surgical Site Infection.http://www.cdc.gov/hicp ac/pdf/SSIguidelines.pdf diunduh 23/6/13 pukul 09.00 WIB AWMA. 2011. Bacterial Impact of Wound Healing From Contamination to Infection http://www.awma.com.au/publica tions/2011_bacterial_impact_posit ion_1.5.pdf diunduh 1/07/13 pukul 17.00 WIB Carl van Walraven. 2013. The Surgical Site Infection Risk Score (SSIRS) 22
A Model to Predict The Risk of Surgical Site Infections. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc /articles/PMC3694979/pdf/pone.0 067167.pdf diunduh 02/07/2013 pukul 09.45 WIB Disyadi, Dudi. 2009. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) Pada Kasus Infeksi Luka Paska Operasi di ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Fatimah, 2011. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Infeksi Nosokomial Luka Operasi di Ruang Bedah RSUP Fatmawati. Graves, Nicholas et al. 2006. Costs of Surgical Site Infections that Appear After Hospital Discharge. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc /articles/PMC3374438/ diunduh 05/07/13 pukul 08.45 WIB Imaniar Noor Faridah, dkk. 2012. Pengaruh Umur dan Penyakit Penyerta terhadap Resiko Infeksi Luka Operasi Pada Pasien Bedah Gastrointestinal. tahun 2009. http://www. Journal.uad.ac.id/ index.php/ pharmaciana/ artidex/ download/ 1380 diunduh 05/07/13 pukul 23.10 WIB Krukerink, et al. 2009. Evaluation of Routinely Reported Surgical Site Infection Againts Microbiological Culture Results : A Tool to Identify Patient Groups where Diagnosis and Treatment maybe improved. http://link.springer.com/article/10. 1186%2F1471-2334-9-176#page2 diunduh 22/6/13 pukul 17.00 WIB
Parhusif. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial di BHG. UPF. Paru. RS Dr. Pirngadi/ Lab. Penyakit Paru FK-USU Medan. http://repository .usu.ac.id/ diunduh tanggal 19 Juli 2013 jam 23.15 Petrisilio, et al. 2008. Surgical Site Infection in Italian Hospital : A Prospective Multicenter Study http://www.biomedcentral.com/14 71-2334/8/34/ diunduh 21/4/13 pukul 23.00 WIB Suzanne M Pear. 2007. Patient Risk and Factors and Best Practices for Surgical Site Infection Prevention. http://www.kchealthcare.com/med ia/13929494/patient_risk_factors_ best_practices_ssi.pdf diunduh 05/07/13 pukul 23.45 WIB Wilson, et al. 2004. Surgical Wound Infection as a Performance indicator : Agreement of Common Definitions of Wound Infection in 4773 Patients. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc /articles/PMC518898/pdf/bmj329 00720.pdf diunduh 22/6/13 pukul 17.35 WIB Wolcott RD, et al. 2009. Bacterial diversity in surgical site infections: not just aerobic cocci any more. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/19862869 diunduh 21/4/13 pukul 22.35 WIB Yosi Rosaliya, dkk . Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Nosokomial pada Pasien Luka Operasi di Rumah Sakit Umum Daerah TugurejoSemaranghttp://ejournal.stikestel ogorejo.ac.id/index.php/ilmukeper awatan/article/view/80 diunduh 27 Maret 2013 pukul 15.00 WIB
23
24