BAB III
PEMERIKSAAN PERKARA
PERDATA PADA
PENGADILAN TINGKAT
PERTAMA
1. TUGAS HAKIM
Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang masing-masing mempunyai kewenangannya sendiri.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara (Pasal 31 UU No 14 Tahun 1970). Dengan demikian kebebasan kedudukannya diharapkan terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lain, sehingga diharapkan nantinya akan mengadili dengan seadiladilnya tanpa takut Oleh pihak siapa pun.
Dalam peradilan perdata, tugas Hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata , menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Denan demikian yang menjadi tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Oleh karena kita sedang membahas hukum acara perdata, maka perkara yang dimaksudkan di sini adalah perkara perdata. Yang dimaksud perkara perdata ini ialah perkara perdata baik yang mengandung sengketa maupun yang tidak mengandung sengketa. Kekuasaan Pengadilan dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, utang piutang atau hak-hak lainnya.
Tugas pokok Hakim seperti yang dimaksudkan di atas itu merupakan pelaksanaan atau relevansi daripada ketentuan yang telah ditentukan oleh Pasal 14 ayat 1 UU N. 14 Tahun 1970.
Memang banyak masalah-masalah perdata yang timbul, tapi ternyata belum ada peraturan perundang-undangannya yang mengatur masalah tersebut. Untuk mengatasi hal ini Hakim tidak perlu untuk selalu berpegang pada peraturan-peraturan yang tertulis saja, dalam keadaan demikian tepatlah apabila Hakim perlu diberi kebebasan untuk mengisi kekosongan hukum ini. Untuk mengatasi masalah tersebut Hakim dapat menyelesaikannya dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang lebih dikenal dengan hukum. adat. Sehingga dengan demikian tidak akan timbul istilah yang dikenal dengan sebutan Kekosongan Hukum. Kewenangan Hakim untuk melakukan hal demikian ini sesuai pula dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 27 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970.
Dengan melihat kenyataan di atas maka tampak jelas di sini bahwa dalam hukum acara perdata di negara kita, Hakim itu hams aktif dari permulaan sampai akhir proses, bahkan sebelum proses dimulai, yaitu pada waktu penggugat mengajukan gugatan, Hakim telah memberikan pertolongan kepadanya. Sedangkan setelah proses berakhir, Hakim memimpin eksekusi.
Aktifnya Hakim menurut hukum acara perdata kita dapat dilihat misalnya dengan adanya usaha dari Hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak. Bentuk yang lain misalnya, tindakan Hakim untuk memberi penerangan selayaknya kepada para pihak yang berperkara tentang upaya-upaya hukum apa yang dapat mereka lakukan, atau tentang pengajuan alat-alat bukti, sehingga dengan demikian pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar. Jelas tampak di sini bahwa Hakim tersebut bertindak sebagai pimpinan proses.
Hal ini, sesuai dengan aliran pikiran tradisional Indonesia yang mengutamakan kepentingan masyarakat yang menghendaki bahwa sekali suatu perkara diajukan kepada Hakim, negara wajib menyelesaikannya sedemikian rupa, sehingga hukum dapat dipulihkan kembali dan perkara dapat berakhir secara mutlak.
Selain bersifat aktif, maka dalam hukum acara perdata Hakim bersifat pula pasif, dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada Hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh Hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya keadilan.
Dalam hal ini para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukan ke muka Pengadilan, sedang Hakim tidak dapat menghalang-halanginya, hal ini dapat dilakukan dengan jalan perdamaian atau pencabutan gugatan.
Keadaan tersebut di atas sesuai pula dengan isi dari Pasal 178 ayat 2 dan 3 HER (Pasal 189 ayat 2 dan 3 R.Bg.) yang bunyinya antara lain sebagai berikut:
"Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut."
Dengan demikian Hakim tidak menentukan luas dari pokok sengketa, yang berarti Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya.
Maka dapatlah disimpulkan di sini, bahwa Hakim bersifat aktif kalau ditinjau dari segi/sudut demi kelancaran persidangan, sedangkan Hakim bersifat pasif kalau ditinjau dari segi luasnya tuntutan.
Dalam awal pembahasan bab ini, di sana dikatakan bahwa tugas pokok daripada Hakim adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikannya setiap perkara yang diajukan kepadanya. Berhubung dengan tugas tersebut, yang menjadi persoalan di sini adalah sampai sejauh mana Hakim harus mengejar atau mencari kebenaran di dalam suatu proses, atau dengan perkataan lain kebenaran apakah yang akan dicapai dalam hukum acara perdata kita.
Kebenaran yang akan dicapai dalam hukum acara perdata sifatnya lain dengan kebenaran yang dicapai dalam acara pidana. Dalam hukum acara pidana, kebenaran yang ingin dicapai adalah kebenaran yang bersifat materiil, artinya Hakim pidana wajib menyelesaikan sedalam-dalamnya tentang sesuatu kejadian yang dituduhkan atas din seseorang, di mana seseorang tidak bisa dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah Hakim memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Sedangkan dalam hukum acara perdata untuk memenangkan seseorang tidak perlu adanya keyakinan Hakim, yang penting adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat bukti tersebut Hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dengan demikian tampaklah di sini bahwa kebenaran dalam hukum acara perdata cukup dengan kebenaran formil saja, contohnya dengan adanya pengakuan dari tergugat tentang hal-hal yang dituduhkan oleh penggugat maka Hakim dapat menjatuhkan putusan untuk kemenangan pihak penggugat.
Di dalam susunan persidangannya, untuk semua Pengadilan pada asasnya sama yaitu merupakan Majelis yang sekurangkurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang. Asas ini dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan yang seobjektif-objektifnya. Namun di dalam prakteknya, masih banyak perkara-perkara perdata maupun perkara pidana biasa diperiksa dengan Hakim tunggal. Pemeriksaan dengan Hakim tunggal ini tetap sah.9)
Di samping Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara, di persidangan terdapat pula Panitera yang akan selalu mengikuti jalannya persidangan dan mencatat dengan teliti semua hal yang dibicarakan. Ia hams membuat berita acara (proses verbal) sidang pemeriksaan di persidangan dan menandatanganinya bersama-sama dengan ketua sidang.
Berita acara ini merupakan dasar untuk membuat putusan, sehingga apabila berita acara ini tidak ada atau terlalu singkat atau belum siap diketik, maka hal itu seringkali menyebabkan tertundanya pembuatan putusan.
9) Ibid., hal. 23.
Dengan demikian jelas bahwa tugas Panitera ini tidaklah gampang, di mana dengan penyelesaian berkas yang cepat oleh Panitera akan membantu mengurangi atau mencegah adanya tunggakan perkara.
2. CARA MENGAJUKAN DAN MEMBUAT GUGATAN
Dalam masalah gugatan ini, kita perlu terlebih dahulu mengetahui perbedaan antara gugatan dengan permohonan. Adapun perbedaan di antara keduanya yaitu bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang hams diselesaikan dan diputuskan oleh Pengadilan. Di sini Hakim berfungsi sebagai Hakim yang mengadili dan memutus siapa di antara pihak-pihak yang benar dan siapa yang tidak benar. Sedangkan dalam perkara yang disebut permohonan, di sini tidak ada sengketa. Di sini Hakim hanya sekadar memberi jasa-jasa sebagai seorang tenaga tata usaha negara. Hakim tersebut mengeluarkan penetapan yang lazim disebut putusan declaratoir, suatu putusan yang bersifat menetapkan atau menerangkan saja. Dalam hal ini Hakim tidak memutuskan suatu konflik seperti halnya dalam suatu gugatan.
Permohonan yang banyak diajukan ke Pengadilan Negeri adalah permohonan pengangkatan anak, wali, pengampu, perbaikan akta catatan sipil, dan sebagainya.
Dalam cara mengajukan gugatan hams diperhatikan benar-benar oleh penggugat, bahwa gugatannya harus diajukan kepada Pengadilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili perkara atau persoalan yang bersangkutan.
Dalam hukum acara perdata dikenal adanya 2 (dua) macam kewenangan mengadili, yaitu:
Kewenangan Mutlak (Kompetensi Absolut), yaitu wewenang badan Pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan Pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Tinggi) maupun dalam lingkungan peradilan yang lain (Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Agama). Dengan demikian wewenang yang mutlak ini menjawab pertanyaan bad an peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa yang bersangkutan. Kalau suatu perkara diajukan kepada Hakim yang secara mutlak (absolut) tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, maka Hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang secara ex officio untuk memeriksanya, dan tidak bergantung pada ada. tidaknya eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangannya itu. Setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan tangkisan bahwa Hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut.
Kewenangan Relatif (Kompetensi Relatif), yaitu mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili antar-Pengadilan yang serupa atau sejenis (Pengadilan Negeri Bukittinggi dengan Pengadilan Negeri Padang Panjang). Dengan demikian wewenang relatif ini akan menjawab pertanyaan Pengadilan yang berada di mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang bersangkutan. Jadi dalam hal ini akan berkaitan dengan wilayah hukum suatu Pengadilan. Kalau seseorang digugat di muka Hakim yang tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara tersebut, maka Hakim hanya dapat menyatakan dirinya tidak berwenang secara relatif memeriksa perkara tersebut apabila tergugat mengajukan eksepsi (tangkisan) bahwa Hakim tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, dan tangkisan tersebut diajukan pada sidang pertama atau setidak-tidaknya belum mengajukan tangkisan lain.
Pasal 118 HIR mengatur tentang 2 hal yaitu, yang pertama mengatur tentang kewenangan (kekuasaan relatif) dari Pengadilan Negeri, dan yang kedua mengatur tentang cara mengajukan gugatan.
Menurut Pasal 118 HIR pada asasnya gugatan hams diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat. Asas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan asas Actor Sequitor Forum Rei. Hal ini memang sudah sepantasnyalah demikian, karena tidaklah layak kiranya apabila tergugat hams menghadap ke Pengadilan tempat tinggal penggugat, karena bukanlah kehendak dari si tergugat bahwa is digugat ke Pengadilan. Selain itu bahwa apa yang digugat oleh penggugat itu belum tentu benar-benar terbukti dan dikabulkan.
Maka oleh karena itulah, dalam hal ini tergugat dihormati dan diakui hak-haknya selama belum terbukti kebenaran gugatan dari penggugat, sehingga tergugat tidak dipaksa untuk berkorban bagi kepentingan penggugat. Dengan demikian hal ini akan sesuai dengan salah satu asas dalam hukum yaitu asas Praduga Tidak Bersalah, yang dalam hal ini maka si tergugat dianggap tidak bersalah selama kesalahannya belum terbukti.
Terhadap asas Actor Sequitor Forum Rei ini, terdapat beberapa pengecualiannya, yaitu antara lain:
Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman penggugat.
Apabila tergugat terdiri dari 2 orang atau lebih, dan mereka tinggal pada tempat yang berlainan, maka gugatan dapat diajukan pada tempat tinggal salah seorang tergugat.
Apabila yang digugat itu terdiri dari orang-orang berutang dan penanggung, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat orang yang berutang.
Apabila tempat tinggal dart tempat kediaman atau orang yang digugat tidak diketahui atau tidak dikenal, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat.
Dalam hal keadaan nomor di atas, apabila gugatannya mengenai barang tetap, maka gugatan diajukan ke Pengadilan tempat di mana barang tetap (tidak bergerak) tersebut berada. Asas ini dikenal dengan sebutan asas Actor Sequitor Forum Sitei.
Kalau kedua belah pihak memilih tempat tinggal khusus dengan akta yang tertulis, maka penggugat kalau mau dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri di tempat yang telah dipilih. dalam akta tersebut.
Di samping pengecualian tersebut di atas, terdapat pula pengecualian yang lain yang pengaturannya di luar HIR ini.
Untuk dapat mengajukan gugatan tersebut, maka orang yang bersangkutan harus mempunyai hak dan kepentingan. Tetapi ada juga beberapa pasal dalam BW yang memberikan wewenang kepada seseorang untuk mengajukan gugatan tanpa adanya hak, melainkan ada kepentingan saja. Misalnya tentang kebatalan suatu perkawinan menurut Pasal 86 BW (tetapi dengan telah adanya UU No. 1 Tahun 1974, maka masalah tersebut telah tidak berlaku lagi). Menurut Pasal 118 HIR suatu gugatan harus diajukan dengan suatu surat permintaan, yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya, surat permintaan tersebut di dalam praktek disebut surat gugatan. Jika ternyata penggugat tidak bisa menulis, maka bolehlah is mengajukan gugatannya dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang akan mencatat atau menyuruh mencatat gugatan tersebut.
Kalau suatu gugat mengenai perkara yang telah diputus oleh Hakim perdamaian desa, maka penggugat harus memberitahukan isi putusan Hakim perdamaian desa di dalam surat gugatannya. Jika memungkinkan, turunan putusan tersebut dilampirkan dalam surat gugatan tersebut.
Surt gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya (kuasanya). Selain itu surat gugatan hams bertanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan tergugat, tempat tinggal mereka dan kalau perlu jabatan kedudukan mereka.
Selain hams menyebutkan identitas pihak penggugat dan tergugat dengan jelas, suatu gugatan hams memuat gambaran yang jelas mengenai duduknya persoalan, dengan kata lain dasar gugatan hams dikemukakan dengan jelas. Dalam hukum acara perdata, bagian dari gugatan ini disebut Posita atau Fundamentum Petendi.
Selain memuat tentang identitas dan posita, maka surat gugatan hams juga dilengkapi dengan Petitum (tuntutan), yaitu hal-hal apa yang diingini agar diputuskan, ditetapkan dan atau diperintahkan oleh Hakim. Petitum ini hams dibuat dengan jelas dan lengkap, karena ini merupakan bagian yang terpenting.
3. PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI
A. Tindakan-tindakan yang Mendahului Pemeriksaan di Muka Pengadilan
Setelah surat gugatan lengkap, penggugat mendaftarkan surat gugatnya disertai dengan salinannya. Salinan ini dimaksudkan untuk disampaikan kepada tergugat bersama dengan surat panggilan dari Pengadilan Negeri. Lalu Panitera akan mencatat setiap perkara perdata dalam suatu daftar perkara.
Pada waktu memasukkan surat gugatan tersebut, penggugat diharuskan untuk membayar biaya perkara. Tapi tentang biaya perkara ini ada pengecualiannya, yaitu bagi mereka yang tidak mampu. Bagi mereka yang tidak mampu ini dimungkinkan untuk beracara secara cuma-cuma dengan jalan mengajukan permohonan izin kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang disertai pula dengan surat keterangan tidak mampu dari seorang pejabat, lurah, dan camat.
Dalam ketentuannya wewenang untuk menaksir persekot biaya perkara diberikan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Tapi di dalam praktek, mungkin karena kesibukan ketua, maka wewenang tersebut biasanya dilimpahkan kepada Panitera.
Setelah penggugat memasukkan gugatannya dengan disertai membayar biaya perkara, is tinggal menunggu pemberitahuan hari sidang.
Ketua Pengadilan Negeri lalu menetapkan hari sidang perkara tersebut dan sekaligus menyuruh memanggil kedua belah pihak agar menghadap di Pengadilan Negeri pada hari sidang yang telah ditetapkan dengan membawa saksi-saksi dan bukti-bukti.
Dalam menentukan hari sidang, hendaknya diperhatikan jauh dekatnya tempat tinggal atau tempat diam para pihak dengan tempat Pengadilan Negeri bersidang. Tenggang waktu antara pemanggilan para pihak dan hari persidangan minimal 3 (tiga) hari kerja.
Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita, yang menyerahkan surat pemanggilan beserta salinan surat gugatnya kepada tergugat pribadi di tempat tinggalnya. Apabila tergugat tidak dapat diketemukan rumahnya, maka surat panggilan diserahkan kepada kepala desanya. Kalau tergugat sudah meninggal, maka surat panggilan itu disampaikan kepada ahli warisnya, dan jika ahli warisnya tidak diketahui maka dapat disampaikan kepada kepala desa di tempat tinggal terakhir dari tergugat yang meninggal itu. Apabila tempat tinggal tergugat ,tidak diketahui, surat panggilan diserahkan kepada Bupati dan selanjutnya surat panggilan tersebut ditempelkan pada papan pengumuman di Pengadilan Negeri. Setelah melakukan panggilan, juru sita hams menyerahkan Risalah (relas) panggilan kepada Hakim yang akan memeriksa perkara tersebut, yang merupakan bukti bahwa tergugat telah dipanggil.
B. Tindakan yang Dapat Dilaksanakan Selama Proses Sidang
Dalam hal seorang mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri, bukan saja is mengharapkan agar memperoleh putusan yang menguntungkan baginya, akan tetapi bahwa putusan tersebut akhirnya dapat dilaksanakan. Karena percuma saja apabila si penggugat dimenangkan dalam sidangnya, tapi ternyata barang yang dipersengketakannya dan diputus untuk diserahkan kepada si penggugat sudah tidak ada lagi karena dihilangkan oleh tergugat atau karena sebab yang lainnya. Oleh karena itulah untuk mengatasi hal ini, hukum acara perdata mengenal adanya lembaga sita jaminan.
Sita jaminan mengandung arti, bahwa untuk menjamin pelaksanaan putusan di kemudian hari, barang-barang baik yang bergerak atau tidak bergerak milik tergugat, ataupun barang-barang bergerak milik penggugat yang ada pada penguasaan tergugat, selama proses berlangsung, terlebih dahulu disita dengan maksud agar barangbarang tersebut tidak dapat dialihkan, diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada orang lain.
Dalam hal ini Hakim tidak akan memerintahkan untuk meletakkan sita jaminan apabila tidak ada permohonan tentang sita jaminan ini dari pihak penggugat. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 178 ayat 3 HIR yang isinya menentukan bahwa "Hakim dilarang akan menjatuhkan putusan atas perkara yang tiada dituntut, atau akan meluluskan lebih daripada yang dituntut."
Sita jaminan tersebut terdiri dari beberapa macam, yaitu:
1) Sita Revindicatoir (Revindicatoir Beslag/Pasal 226 HIR).
Kata revindicatoir ini berasal dari kata revindiceer, yang berarti mendapatkan (kembali haknya), yaitu merupakan penyitaan atas suatu barang yang bergerak milik kreditur (penggugat) sendiri. Termasuk yang dapat dikenakan sita revindicatoir ini adalah setiap orang yang mempunyai hak reklame, yaitu hak daripada penjual barang bergerak untuk minta kembali barangnya apabila harga tidak dibayar.
Maksud dari penyitaan ini adalah agar barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung. Akibat hukum dari penyitaan ini ialah bahwa pemohon atau penyita barang tidak dapat menguasai barang yang telah disita, sebaliknya yang terkena sita dilarang untuk mengasingkannya.
Apabila gugatan penggugat dikabulkan, maka dalam dictum putusan, sita revindicatoir ini dinyatakan sah dan berharga dan diperintahkan agar barang yang bersangkutan diserahkan kepada penggugat. Sedangkan kalau gugatan ditolak, maka sita tersebut dinyatakan dicabut.
Sita Conservatoir (Conservatoir Beslag/Pasal 227 HIR) Yaitu penyitaan atas barang milik debitur (tergugat) dengan maksud supaya barang tersebut tidak dihilangkan atau dipindahtangankan selama perkara sedang berlangsung. Dengan penyitaan ini bagi si penggugat merupakan suatu perbuatan persiapan sebelum dijalankannya putusan Hakim, di mana barang-barang yang disita ini harus disimpan sebagai jaminan.
Sering terjadi bahwa atas barang-barang yang telah disita secara conservatoir tidak sampai dijual secara lelang karena debitur (tergugat) telah memenuhi apa yang telah diputuskan oleh Pengadilan.
Sita Eksecutorial (Eksecutorial Beslag)
Yaitu suatu penyitaan atas barang-barang sebagai pendahuluan suatu eksekusi dari putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dengan maksud barang tersebut akan dilelang di muka umum untuk memenuhi putusan Pengadilan yang tidak dituruti secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan.
Terhadap sita eksecutorial ini di dalam HIR tidak dapat ditemukan secara .tegas tentang pengaturannya, akan tetapi dapat dilakukan atas dasar ketiga kekuatan suatu putusan. Kalau sita ini tidak dikaitkan dengan ketiga macam eksekusi, maka akan pincang, karena sita ini tidak jelas pengaturannya.
4) Sita Maritaal (Maritaal Beslag/Pasal 823 RV)
Sita ini diniohonkan oleh pihak istri terhadap barang-barang suaminya, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian, agar supaya selama proses berlangsung barang-barang tersebut jangan dihilangkan oleh suami.
5) Sita Gadai (Pand Beslag/Pasal 751 RV)
Sita gadai ini semacam sita jaminan, yang dimohonkan oleh orang yang menyewakan rumah atau tanah, agar supaya diletakkan suatu sitaan terhadap perabot rumah tangga pihak penyewa/tergugat guna menjamin pembayaran uang sewa yang hams dibayar. Dalam hukum acara perdata kita maka sita ini termasuk sita conservatoir.
C. Pemeriksaan di Muka Sidang 1) Perihal gugur dan verstek
Gugatan akan gugur apabila penggugat tidak hadir dan tidak menyuruh kuasanya untuk menghadap di Pengadilan Negeri pada hari sidang yang telah ditentukan, meskipun ia telah dipanggil dengan patut. Karena gugatan gugur, penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara. Oleh karena pada waktu memasukkan gugatan, penggugat telah membayar persekot biaya perkara, maka harus diperhitungkan apakah persekot itu cukup, kurang, atau lebih.
Pihak penggugat yang perkaranya digugurkan, diperkenankan untuk mengajukan gugatannya sekali lagi setelah ia terlebih dahulu membayar biaya perkara yang baru.
Jikalau pada hari sidang pertama yang telah ditentukan tergugat tidak hadir ataupun tidak menyuruh wakilnya untuk datang menghadiri persidangan, sedangkan ia telah dipanggil dengan patut, maka gugatan diputuskan dengan verstek.
Putusan verstek adalah pernyataan bahwa tergugat tidak hadir, meskipun ia menurut hukum acara harus datang. Verstek ini hanya dapat dinyatakan, jikalau tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.10
Berdasarkan Pasal 126 HIR, di dalam hal kejadian tersebut di atas, Pengadilan Negeri sebelum menjatuhkan sesuatu putusan (gugurnya gugatan ataupun verstek), dapat juga memanggil sekali lagi pihak yang tidak datang itu. Ini bisa saja terjadi jikalau misalnya
10) R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1980), hal. 33.
Hakim memandang perkaranya terlalu penting buat diputus begitu saja di luar persidangan baik digugurkan maupun verstek. Ketentuan pasal ini sangat bijaksana terutama bagi pihak yang digugat, lebih-lebih jika rakyat kecil yang tidak berpengetahuan dan tempat tinggalnya jauh.
Apabila ada lebih dari satu orang tergugat dan mereka semua tidak datang pada hari sidang pertama, maka tuntunan acaranya adalah sama dengan peraturan acara mengenai satu orang tergugat.11)
Sedangkan menurut Pasal 127 HIR apabila ada beberapa orang tergugat, dan satu orang atau lebih tidak datang pada hari-hari sidang pertama, maka pemeriksaan harus diundurkan sampai hari sidang yang lain. Jadi pengunduran sidang ini merupakan keharusan bagi Hakim, lalu Hakim menyuruh memanggil lagi untuk menghadap persidangan pada persidangan yang kemudian.
Jika ternyata pada hari sidang kemudian si tergugat tersebut tidak hadir pula, maka tergugat yang tidak datang tersebut dianggap tidak melakukan perlawanan, dan gugatan akan diputus secara Contradiktor terhadap semua tergugat. Apabila tergugat tidak puas dengan putusan ini, maka is dapat mengajukan Banding.
2) Usaha Hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak
Dalam persoalan gugat, terdapat dua atau lebih pihak yang satu
sama lain sedang bersengketa. Menurut ketentuan Pasal 130 ayat 1 HIR,
Hakim sebelum memeriksa perkara tersebut, harus berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak. Malah usaha perdamaian itu dapat
dilakukan sepanjang proses berjalan, bahkan dalam taraf pemeriksaan
Banding oleh Pengadilan Tinggi perdamaian ini akan tetap diusahakan.
Peranan Hakim dalam usaha perdamaian ini sangat penting.
Putusan ini merupakan jalan yang paling baik, khususnya bagi para
pihak dan masyarakat pada umumnya. Di sini sengketa selesai sama
sekali, prosesnya berjalan dengan cepat dan ongkosnya pun menjadi
lebih ringan, selain daripada itu permusuhan antara kedua belah
pihak yang berperkara menjadi berkurang. Hal ini jauh lebih baik
daripada apabila perkara sampai diputus dengan suatu putusan biasa,
11) Ibid., hal. 35.
di mana misalnya tergugat dikalahkan dan pelaksanaan putusan harus dilaksanakan secara paksa.
Apabila Hakim berhasil dalam mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara itu, lalu dibuatlah Akta Perdamaian, dan kedua belah pihak dihukum untuk menaati isi dari akta perdamaian tersebut. Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan Hakim yang biasa yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (In kracht van gewijsde).
Oleh karena perdamaian itu bersifat mau sama mau atau sukarela dan merupakan persetujuan antara para pihak, maka terhadap putusan perdamaian ini menurut Pasal 130 ayat 3 HIR, yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan Banding atau Kasasi. Proses perkara telah selesai sama sekali, dan seandainya suatu waktu diajukan kembali persoalan yang sama oleh salah satu pihak tersebut atau oleh ahli waris dan mereka yang mendapatkan hak daripadanya, maka gugatan terakhir ini akan dinyatakan "Ne bis in idem" dan karenanya dinyatakan tidak dapat diterima.
Selain perdamaian yang dilakukan di dalam sidang, ada juga perdamaian tersebut yang dilakukan di luar sidang. Terhadap perdamaian semacam ini hanya berkekuatan sebagai persetujuan kedua belah pihak, yang apabila tidak ditaati oleh salah satu pihak, masih harus diajukan melalui suatu proses di Pengadilan. Persoalannya hanya selesai untuk sementara dan sama sekali tidak dapat dijamin bahwa suatu ketika tidak akan meletus lagi dan mungkin lebih hebat dari yang semula.
3) Jawaban tergugat, gugat balik, dan eksepsi
Apabila usaha Hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak ternyata tidak berhasil, maka Hakim mulai dengan membacakan surat-surat yang dikemukakan oleh para pihak, yang dimaksudkan dengan surat-surat ini ialah permohonan gugat dan "kalau ada" surat jawaban dari tergugat. Dikatakan kalau ada, karena berdasarkan Pasal 121 ayat 2 HIR kalau mau maka tergugat bisa memajukan surat jawaban. Kalau tidak ada surat jawaban, tergugat dalam persidangan diberi kesempatan memajukan jawaban secara lisan.
Di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mewajibkan kepada tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. HIR hanya menentukan bahwa tergugat dapat menjawab baik secara tertulis maupun lisan.
Akan tetapi meskipun demikian, HIR sesungguhnya menghendaki jawaban tergugat diajukan secara lisan, karena pada waktu itu HIR dimaksudkan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk orangorang Bumiputra yang dianggapnya masih bodoh.12) Tapi karena perkembangan hukum acara perdata, sekarang ini sudah lazim pula bahwa jawaban yang diajukan oleh pihak tergugat dilakukan secara tertulis.
Apabila dikehendaki jawaban yang diajukan secara tertulis, lalu dijawab kembali secara tertulis pula oleh pihak penggugat, yaitu dengan. mengajukan Replik, selanjutnya Replik ini dijawab kembali oleh pihak tergugat dengan Duplik.
Jawaban yang diajukan oleh tergugat terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu:
Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut Tangkisan atau Eksepsi.
Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara.
Tentang tangkisan atau eksepsi ini, HIR hanya mengenal satu macam eksepsi, yaitu eksepsi perihal tidak berkuasanya Hakim. Eksepsi ini terdiri dari dua macam, pertama ialah eksepsi yang menyangkut kekuasaan Absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa Pengadilan. Negeri tidak berwenang untuk mengadili perkara tertentu dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugatan tidak termasuk wewenang Pengadilan Negeri, akan tetapi merupakan wewenang badan peradilan yang lain. Yang kedua, eksepsi yang menyangkut kekuasaan Relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa Pengadilan tertentu adalah tidak berkuasa mengadili perkara tertentu, misalnya oleh karena perkara tersebut bukan merupakan wewenang Pengadilan Negeri di Bukittinggi, akan tetapi merupakan wewenang Pengadilan Negeri Padang.
Eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perlcara berlangsung, bahkan Hakim karena jabat
12) R. Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung: Penerbit Bina Cipta, 1982), hal. 58.
annya, artinya tanpa diminta oleh pihak tergugat, Hakim harus menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang bersangkutan.
Sedangkan eksepsi mengenai kekuasaan relatif, tidak bisa untuk diajukan setiap waktu, melainkan hams diajukan pada permulaan sidang, yaitu sebelum tergugat menjawab pokok perkara secara lisan ataupun tertulis. Apabila eksepsi ini terlambat diajukan, maka eksepsi tersebut tidak akan diterima oleh Pengadilan, dan pengajuannya siasia saja.
Kedua macam eksepsi ini termasuk eksepsi yang menyangkut acara, dalam hukum acara perdata disebut Eksepsi Procesueel. Yang termasuk pula ke dalam eksepsi ini yaitu misalnya eksepsi bahwa persoalan yang sama telah pernah diputus dan bahwa putusannya telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti (tetap) atau eksepsi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kekuasaan untuk bertindak.
Di samping eksepsi procesueel, ada pula eksepsi yang berdasarkan hukum materiil. Eksepsi yang berdasarkan hukum materiil ini ada dua macam, pertama yaitu Eksepsi Dilatoir, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa, gugatan penggugat belum dapat dikabulkan, misalnya karena penggugat telah memberikan penundaan pembayaran. Yang kedua yaitu Eksepsi Peremtoir, yaitu eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan, misalnya oleh karena gugatan itu telah diajukan lampau waktu, atau utang yang menjadi dasar gugatan telah dihapuskan. Kedua eksepsi ini dinamakan juga Eksepsi Materiil.
Dengan dibenarkannya eksepsi oleh Pengadilan Negeri, perkara tersebut selesai pada tingkat pertama, dan kalau si penggugat merasa tidak puas terhadap yang demikian itu, is dapat mengajukan permohonan Banding kepada Pengadilan Tinggi di wilayah yang bersangkutan.
Apabila eksepsi ditolak oleh Pengadilan Negeri oleh karena tidak beralasan, maka dijatuhkan putusan sela, dan dalam putusan tersebut sekalian diperintahkan agar kedua belah pihak melanjutkan perkara tersebut. Selanjutnya pokok perkara diperiksa dan pada akhirnya dijatuhkan putusan akhir.
Menurut Pasal 136 HIR, bahwa semua eksepsi, kecuali yang menyangkut kekuasaan Hakim, harus dibahas dan diputus bersamasama dengan pokok perkara. Maksud dari ketentuan ini adalah untuk menghindarkan kelambatan yang tidak perlu atau dibuat-buat, agar proses berjalan cepat dan lancar.
Tentang jawaban yang mengenai pokok perkara, hendaknya dibuat dengan jelas, singkat dan berisi, langsung menjawab pokok perkara (persoalan) dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendasar. Membuat jawaban yang panjang lebar dan tidak berisi berarti membuang waktu dan tenaga dengan percuma.
Adakalanya seorang tergugat merasa dapat menggugat kembali si penggugat. Tentang gugat kembali/gugat balik atau rekonvensi ini, HIR telah ada mengaturnya dalam Pasal 132 (a dan b). Kedua Pasal ini memberi kemungkinan kepada tergugat untuk mengajukan gugat balik dalam semua perkara terhadap penggugat.
Gugat balik (rekonvensi) diajukan bersama-sama dengan jawaban, balk itu merupakan jawaban lisan atau tertulis. Dalam praktek, gugat balasan dapat diajukan selama belum dimulai dengan pemeriksaan bukti, artinya belum pula dimulai dengan pendengaran saksi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bapak Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara di Indonesia, di mana menurut beliau, dapat diperbolehkan tergugat mengajukan gugat in Reconventie baru dalam duplik, oleh karena Pasal 132 b HIR menyebut jawaban tergugat begitu saja, dan duplik adalah sebagian dari jawaban
Kalau kedua gugatan (konvensi dan rekonvensi) dikabulkan dan keduanya berisi tuntutan pembayaran sejumlah uang, maka tergugat dalam konvensi tidak perlu lebih dahulu membayar kepada penggugat untuk memenuhi putusan dalam konvensi dan kemudian menuntut pelaksanaan putusan dalam rekonvensi kepada penggugat, tetapi is sekaligus dapat memperhitungkan jumlah uang yang harus dibayar olehnya dalam putusan konvensi dengan jumlah uang yang harus diterimanya dari penggugat dalam putusan rekonvensi.
Pada asasnya gugat balik (rekonvensi) dapat diajukan pada setiap perkara, tapi dalam hal ini Pasal 132 huruf a HIR telah memberikan beberapa pengecualian, yaitu:
13) Wirjono Prodjodikoro, op. cit., hal. 80.
Jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat, sedangkan gugat balasan itu mengenai dirinya dan sebaliknya.
Jika Pengadilan Negeri yang memeriksa gugat konvensi tidak berwenang memeriksa gugat rekonvensi.
Dalam perkara yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan.
Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimasukkan gugat balasan, maka dalam tingkat banding tidak boleh diajukan gugat balasan.
Baik gugat asal maupun gugat balik (rekonvensi), pada umumnya diselesaikan secara sekaligus dengan satu putusan. Pertimbangan hukumnya memuat dua hal, yaitu pertimbangan hukum dalam konvensi dan pertimbangan hukum dalam rekonvensi.
Dalam hal yang luar biasa, yaitu apabila perkara yang satu dapat diselesaikan terlebih dahulu daripada yang lain, maka pemeriksaan yang mudah selesai itu dapat diputus lebih dulu, artinya kedua perkara itu diputuskan secara terpisah satu sama lain.") Sekalipun perkara itu dipisahkan, namun keduanya diperiksa oleh Hakim yang sama.
Gugat balik (rekonvensi) ini sangat berfaedah bagi kedua belah pihak yang berperkara, karena:
menghemat ongkos perkara,
mempermudah pemeriksaan,
mempercepat penyelesaian perkara,
menghindarkan putusan yang saling bertentangan.
4) Menambah atau mengubah surat gugatan
Di dalam hukum acara perdata untuk orang Eropa pada zaman yang lampau, penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutannya dengan tidak mengubah atau menambah hal-hal yang menjadi dasar tuntutan.
Di dalam HIR tidak diatur tentang menambah atau mengubah surat gugat, sehingga Hakim leluasa untuk menentukan sampai di mana penambahan atau perubahan surat gugat itu akan
14) Retnowulan Sutantio, op. cit., hal. 32.
diperkenankan. Dengan demikian jelas bahwa meskipun HIR tidak mengatur hal tersebut, ini tidak berarti bahwa perubahan tuntutan tidak diperbolehkan. Hanya Hakim wajib menjaga supaya perubahan atau tambahan tuntutan tidak merugikan kepentingan tergugat.
Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 6 Maret 1974 No. 209 K/Sip/1970 telah memutuskan, bahwa suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan asas-asas hukum acara perdata, asal tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair untuk peradilan yang adil.
Sebaliknya dalam pengurangan gugatan, maka hal ini senantiasa akan diperkenankan oleh Hakim. Wajarlah kalau mengurangi gugatan ini diperbolehkan, karena tidak merugikan tergugat. Perubahan gugatan tidak dibenarkan pada tingkat di mana pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat mana dalil-dalil tangkisan dan pembelaan sudah habis dikemukakan dan kedua belah pihak sebelum itu sudah mohon putusan.15)
Erat sekali dengan masalah penambahan, perubahan, dan pengurangan gugatan ini adalah masalah pencabutan kembali surat gugatan. Dalam hal ini meskipun HIR tidak mengaturnya, tapi dalam praktek, pencabutan gugatan ini senantiasa diizinkan selama oleh pihak tergugat belum diajukan jawaban. Sedangkan apabila telah diajukan jawaban, penarikan gugatan ini tidak diperkenankan kecuali dengan seizin dari tergugat.
Kalau gugatan dicabut, kedua belah pihak kembali pada keadaan semula, artinya seperti belum pemah ada perkara sebelumnya. Sita jaminan seandainya telah diletakkan, harus diperintahkan untuk diangkat, sedangkan semua biaya perkara pengangkatan sita jaminan terse- but dibebankan kepada penggugat.
5) Kumulasi gugatan dan penggabungan perkara
Perihal kumulasi gugatan, ini tidak ada pengaturannya dalam HIR. Pada umumnya tiap gugatan harus berdiri sendiri. penggabungan gugatan hanya diperkenankan dalam batas-batas tertentu, yaitu apabila pihak penggugat atau para penggugat dan tergugat atau
15) Sudikno Mertokusumo, op. cit., hal. 79
para tergugat itu-itu juga orangnya. Sebagai contoh, misalnya A ingin menggugat B untuk 2 (dua) macam hal, yang satu mengenai peminjaman Vespa miliknya yang tidak dikembalikan oleh B, dan yang kedua mengenai suatu utang yang juga tidak dilunasinya. Kedua gugatan ini dapat diajukan secara sekaligus dalam satu surat gugatan.
Apabila pada satu Pengadilan ada dua perkara yang satu sama lainnya saling berhubungan, lebih-lebih apabila perkara tersebut berlangsung antara penggugat dan tergugat yang sama, salah satu pihak atau keduanya dapat mengajukan permohonan kepada Majelis agar kedua perkara tersebut digabung. Permohonan penggabungan ini apabila diajukan oleh penggugat, hams diajukan dalam surat gugatan kedua atau surat gugatan yang berikutnya, sedangkan apabila diajukan oleh pihak tergugat harus diajukan bersama jawaban. Perkara yang baru tersebut kemudian digabungkan dan diserahkan kepada Majelis yang sedang memeriksa perkara yang pertama.
6) Jalannya persidangan
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, Hakim ketua sidang yang didampingi oleh Panitera, membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. Ini berarti bahwa setiap orang boleh mendengarkan dan mengikuti jalannya persidangan, dengan demikian dijamin kemungkinan adanya Social Control atas pekerjaan Hakim, sehingga dengan demikian Hakim dapat mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak kepada salah satu pihak.
Begitu pula dalam pengucapan keputusannya, apabila putusannya diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dan dengan demikian mengakibatkan batalnya putusan.
Terhadap asas terbuka untuk umum ini ada pengecualiannya yaitu apabila undang-undang menentukan lain atau berdasarkan alasan-alasan penting menurut Hakim yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya. Dalam hal ini maka pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup.
Setelah sidang dibuka, maka kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) dipanggil masuk. Pemeriksaan perkara harus berlangsung dengan hadirnya kedua belah pihak. Kedua belah pihak harus didengar bersama dan diperlakukan sama di muka Hakim..
Apabila para pihak sebelumnya tidak menguasakan kepada seorang wakil, maka di muka sidang pertama tersebut mereka dapat menguasakan secara lisan kepada seorang wakil, hal mana harus dicatat di dalam berita acara.
Selanjutnya Hakim akan mengusahakan perdamaian di antara para pihak. Jika ini berhasil maka akan dibuatkan Akta Perdamaian, dan jika usaha ini tidak berhasil, hal itu hams dimuat dalam berita acara. Kemudian dimulailah dengan membacakan surat gugatan.
Atas gugatan penggugat, tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawaban di muka Pengadilan, baik secara lisan maupun tertulis. Apabila proses berlangsung secara tertulis, maka terhadap jawaban tergugat, penggugat diberi kesempatan untuk memberikan tanggapannya yang disebut Replik. Dan terhadap Replik dari penggugat ini, tergugat dapat memberikan tanggapannya yang disebut Duplik. Jawab-menjawab terjadi secara tertulis ini sekurang-kurangnya akan berlangsung sampai tiga kali sidang. Lain halnya kalau jawabmenjawab terjadi secara lisan, maka acaranya akan lebih sederhana. Acara jawab-menjawab tidak lain dimaksudkan untuk mengetahui dan menentukan pokok perkara.
Sekiranya suatu perkara tidak dapat diselesaikan pada hari sidang pertama, maka pemeriksaan diundurkan pada hari lain, diusahakan sedapat mungkin waktunya tidak lama sesudah sidang pertama dan begitu seterusnya. Pada prinsipnya pengunduran sidang hanya dibolehkan apabila ada alasan yang sangat mendesak, hal ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam Pasal 159 ayat 4 HIR.
Penundaan sidang atas permintaan para pihak dilarang, bahkan secara ex officio pun Hakim tidak boleh mengundurkan sidang kalau tidak sangat perlu. Tapi di dalam praktek banyak terjadi penundaan sidang atas permintaan dari para pihak atau secara ex officio, tanpa adanya alasan yang sangat mendesak.
Kalau dari jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat telah diketahui apa yang menjadi pokok sengketa, maka jawab-menjawab dianggap cukup dan dinyatakan selesai oleh Hakim, lalu dimulailah dengan acara pembuktian.