1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit bernafas. Edema paru yang terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis yang harus segera ditangani. Walaupun edema paru kadang merupakan kondisi yang fatal, namun penanganan yang tepat untuk edema paru dan kondisi yang mendasarinya dapat memberikan tingkat perbaikan yang tinggi. Terapi untuk edema paru sangat bervariasi, tergantung dari penyebab yang mendasarinya, namun secara umum terapi ini termasuk suplementasi oksigen dan pengobatan medikametosa. 1 Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta edema paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif, di AS 5,5 juta penduduk menderita edema paru, dan di Jerman 6 juta penduduk menderita edema paru. Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu menyebar ke berbagai daerah, sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan hasil dengan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003). Hal ini dapat mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam penatalaksanaa pasien edema ed ema paru sehingga perlu dibahas lebih lanjut dalam referat ini.2
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi paru 1,3
Paru-paru
adalah
organ pada
sistem
pernapasan
(respirasi)
dan
berhubungan dengan sistem peredaran darah (sirkulasi). Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis, berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus pada paru-paru kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus medius/lobus inferius dibatasi fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus pada paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh fissura oblique. Organ paru-paru memiliki tube bronkial atau bronchi, yang bercabangcabang dan ujungnya merupakan alveoli, alveoli, yakni kantung-kantung kecil yang dikelilingi kapiler dikelilingi kapiler yang berisi darah. Di sini oksigen sini oksigen dari udara berdifusi udara berdifusi ke dalam darah, dan kemudian dibawa oleh hemoglobin. hemoglobin. Darah terdeoksigenisasi dari jantung mencapai paru-paru melalui arteri paru-paru dan, setelah dioksigenisasi, beredar kembali melalui vena melalui vena paru-paru.
3
Gambar 1. Anatomi paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung (gelembung hawa, alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya ± 90m2. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700 juta buah. Paru-paru dibagi dua: Paru-paru kanan terdiri dari tiga lobus, lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Paru-paru kiri, terdiri dari dua lobus, pulmo sinistra lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang lebih kecil bernama segmen. Paru-paru kiri mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dan lima buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai sepuluh segmen, yaitu lima buah segmen pada lobus superior, dua buah segmen pada lobus medial, dan tiga buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkeolus. Di dalam lobulus, bronkeolus ini bercabang-cabang yang disebut duktus alveolus. Tiaptiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.
4
Letak paru-paru di rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat bagian tampuk paru-paru yang disebut hilus. Pada mediastinum depan terdapat jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi dua: 1. Pleura visceral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru. 2. Pleura parietal, yaitu selaput yang melapisi rongga dada luar. Antara kedua pleura ini terdapat ronggga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara, sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaan pleura, menghindari gesekan antara paru-paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernafas.
2.2 EDEMA PARU AKUT 2.2.1 Definisi 2,4,5
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas. Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas
kapiler
tanpa
adanya
gangguan
tekanan
pada
mikrosirkulasi atau sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.
5
Gambar 2. Edema Paru
2.2.2. Klasifikasi dan Etiologi 6,7
Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru. Sedangkan edema paru non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi yang mendasarinya. Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi tekanan rendah alveolus, peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema neurogenik. Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi.
6
Valvular Kardiogenik Non-valvular
Edema Paru
Tekanan Rendah Alveolus
Non-kardiogenik
Peningkatan Permeabilitas Alveolus
Neurogenik
Gambar 3. Klasifikasi Edema Paru
2.2.3
Patofisiologi Edema Paru Akut
8,9,10
Edema paru timbul bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler lebih banyak dari yang bisa dikeluarkan. Akumulasi cairan ini akan berakibat serius pada fungsi paru oleh karena tidak mungkin terjadi pertukaran gas apabila alveoli penuh terisi cairan. Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi suatu aliran keluar yang kontinyu dari cairan dan protein dalam pembuluh darah ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem aliran darah melalui saluran limfe. Pergerakan cairan tersebut memenuhi hukum Starling. Mekanisme yang menjaga agar jaringan interstisial tetap kering adalah8 :
Tekanan onkotik plasma lebih tinggi dari tekanan hidrostatik kapiler paru.
Jaringan konektif dan barier seluler relatif tidak permeabel terhadap protein plasma.
Adanya sistem limfatik yang secara ekstensif mengeluarkan cairan dari jaringan interstisial.
7
Pada individu normal tekanan kapiler pulmonal ( “wedge” pressure) adalah sekitar 7 dan 12 mm Hg. Karena tekanan onkotik plasma berkisar antara 25 mm Hg, maka tekanan ini akan mendorong cairan kembali ke dalam kapiler. Tekanan hidrostatik bekerja melewati jaringan konektif dan barier seluler, yang dalam keadaan normal bersifat relatif tidak permeabel terhadap protein plasma. Paru mempunyai sistem limfatik yang secara ekstensif dapat meningkatkan aliran 5 atau 6 kali bila terjadi kelebihan air di dalam jaringan interstisial paru. Edema paru akan terjadi bila mekanisme normal untuk menjaga paru tetap kering terganggu seperti tersebut di bawah ini 8,9:
Permeabilitas membran yang berubah.
Tekanan hidrostatik mikrovaskuler yang meningkat.
Tekanan peri mikrovaskuler yang menurun.
Tekanan osmotik / onkotik mikrovaskuler yang menurun.
Tekanan osmotik / onkotik peri mikrovaskuler yang meningkat.
Gangguan saluran limfe.
Edema Paru Kardiogenik
Edem paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular, ketika tekanan interstisial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceral yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18-25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang interstisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edem akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut:
8
Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
Insufesiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.
Secara patofisiologi edem paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hipoksemia dan sesak nafas. Stadium proses edema paru: 1. Stadium 1 Distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup. 2. Stadium 2 Edema interstisial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstisial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah di interstisium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen
9
saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi aka mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea. 3. Stadium 3 Proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali hiperkapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah.
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaliknya edem paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam interstisial paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh moleku besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edem interstisial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan acute lung injury di mana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar 8,9,10
10
Gambar. 4 Patofisiologi edema paru 9
C. Manifestasi Klinis 9,10,11
Gejala paling umum dari pulmonary edema adalah sesak nafas. Gejalagejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat
11
mengembangkan sesak nafas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea), kepeningan atau kelemahan. Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium9,10,11
Stadium 1 Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
Stadium 2 Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3 Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.
12
2.2.4
Diagnosis4,7,12
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non Kardiak (EPNK) EPK
EPNK
(+)
Jarang
Dingin (low flow state)
Hangat (high flow
Anamnesis
Acute cardiac event Penemuan Klinis
Perifer
meter) S3 gallop/kardiomegali
(+)
Nadi kuat
JVP
Meningkat
(-)
Ronki
Basah
Tak meningkat Kering Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG
Iskemia/infark
Biasanya normal
Foto toraks
DIstribusi perihiler
Distribusi perifer
ENzim kardiak
Bisa meningkat
Biasanya normal
PCWP
> 18 mmHg
< 18 mmHg
Shunt intra pulmoner
Sedikit
Hebat
Protein cairan edema
< 0.5
> 0.7
JVP: jugular venous pressure PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
2.2.5
Gambaran Radiologi 13
1. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vascular di hilus) 2. Coarakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral) 3. Kranialisasi vaskuler 4. Hilus suram (batas tidak jelas) 5. Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)
13
Gambar 1: E dema I ntesrtitial Gambaran underlying disease (kardiomegal i, e fusi pl eura, di afragma kanan let ak tinggi).
Gambar 2: Kardiomegali dan edema paru 1. Infiltrat di daerah basal (edema basal paru) 2. Edema “butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)
14
Gambar 3: Bat’s Wing 2.2.6.Penatalaksanaan14
Manajemen edema paru akut harus segera dimulai setelah diagnosis
ditegakkan,
meskipun
pemeriksaan
untuk
melengkapi
anamnesis dan pemeriksaan fisik masih berlangsung. Manajemen EPA dilakukan dengan langkah-langkah terapi berikut yang biasanya dapat dilakukan secara bersamaan:
Letakkan pasien dalam posisi duduk sehingga meningkatkan volume dan kapasitas vital paru, mengurangi usaha otot pernafasan, dan menurunkan aliran darah vena balik ke jantung.
Sungkup O 2 dengan dosis 6-10 L/menit diberikan bersamaan dengan pemasangan jalur IV dan monitor EKG (O, I, M). Nonrebreather mask with reservoir O2 dapat menyalurkan 90-100% O 2.
Oksimetri denyut dapat memberi informasi keberhasilan terapi walaupun saturasi O2 kurang akurat karena terjadi penurunan perfusi perifer. Oleh karena itu, dianjurkan melakukan pemeriksaan analisis gas darah untuk mengetahui ventilasi dan asam basa.
15
Tekanan ekspirasi akhir positif ( positive end expiratory pressure) dapat diberikan untuk mencegah kolaps alveoli dan memperbaiki pertukaran gas.
Kantung nafas-sungkup muka menggantikan simple mask bila terjadi hipoventilasi.
Continuous positive airway pressure diberikan bila pasien bernafas spontan dengan sungkup muka atau pipa endotrakea.
Intubasi dilakukan bila PaO 2 tidak dapat dipertahankan di atas 60 mmHg walau telah diberikan O 2 100%, munculnya gejala hipoksi serebral, meningkatnya PCO2 dan asidosis secara progresif.
Bila TD 70-100 mmHg disertai gejala-gejala dan tanda syok, berikan Dopamin 2-20mcg/kgBB/menit IV. Bila tidak membaik dengan Dopamin dosis >20 mcg/kg/mnt segera tambahkan Norephinephrine 0,5-30 mcg/menit IV, sedangkan Dopamine diturunkan sampai 10 mcg/kgBB/menit. Bila tanpa gejala syok berikan Dobutamine 2-20 mcg/kgBB/menit IV.
Bila TD > 100 mmHg, nitrogliserin paling efektif mengurangi edema paru karena mengurangi preload , diberikan 2 tablet masing-masing 0,4 mg sublingual atau semprot, dapat diulang 5-10 menit bila TD tetap >90-100 mmHg. Isosorbide semprot oral bisa diberikan tetapi nitrogliserin pasta transkutan atau isosorbid oral kurang dianjurkan karena vasokonstriksi perifer tidak memungkinkan penyerapan yang optimal.
Furosemide adalah obat pokok pada Edema paru, diberikan IV 0,51,0 mg/kg. Efek bifasik dicapai pertama dalam 5 menit terjadi venodilatasi sehingga aliran ( preload ). Efek kedua adalah diuresis yang
mencapai
puncaknya
setelah
30-60
menit.
Efektifitas
furosemide tidak harus dicapai dengan diuresis berlebihan. Bila furosemide sudah rutin diminum sebelumnya maka dosis bisa digandakan. Bila dalam 20 menit belum didapat hasil yang
16
diharapkan, ulangi IV dua kali dosis awal dan dosis bisa lebih tinggi bila retensi cairan menonjol dan bila fungsi ginjal terganggu.
Morfin sulfate diencerkan dengan 9cc NaCl 0,9%, berikan 2-4 mg IV bila TD >100mmHg. Obat ini merupakan salah satu obat pokok pada edema paru namun dianjurkan diberikan di rumah sakit. Efek venodilator meningkatkan kapasitas vena, mengurangi aliran darah balik ke vena sentral dan paru, mengurangi tekanan pengisian ventrikel kiri ( preload ), dan juga mempunyai efek vasodilator ringan sehingga afterload berkurang. Efek sedasi dari morfin sulfat menurunkan aktifitas tulang-otot dan tenaga pernafasan.
Aminofilin Kadang-kadang aminofilin 240-480 mg intravena efektif mengurangi bronkokonstriksi, meningkatkan aliran darah ginjal dan pengeluaran natrium dan memperkuat konstraksi miokard. - Obat trombolitik : atau revaskularisasi pada pasien dengan infark miokard akut.
Observasi & Perawatan ICU/ICCU Pemantauan atas keberhasilan atau kegagalan pengobatan terus menerus perlu dilakukan. Serial pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan, jumlah diuresis, berkurangnya ronki dan saturasi oksigendilakukan secara ketat. Pasien yang berhasil diobati dengan tanda sesak berkurang, hemodinamik stabil dan saturasi oksigen 90% perlu dirawat di ruang rawat biasa. Pasien yang mengalami
gagal
nafas
dan
di-intubasiserta
pasien
dengan
hemodinamik yang labil perlu dirawat di ICU /ICCU. Pasien yang mengalami syok kardiogenik perlu ditolong dengan intra aortic ballon pump (IABP) untuk selanjutnya mendapatkan terapidefinitif (intervensi koroner atau “jembatan” menuju tindakan operatif). Tujuan
utama
dalam
konteks
UPA-kardiogenik,
menurunkan afterload, memperbaiki kontraktilitas,
obat
dapat
17
mengatasi aritmia dan akhirnya dapat memperbaiki kinerja jantung. ACE inhibitor (enalapril dan captopril) merupakan obat pilihan untuk gagal jantung sistolik dan hipertensi. Obat inotropik seperti Dopamine dan Dobutamine merupakan obat standar pada keadaan dimana upaya penurunan preload dan afterload kurang memberikan hasil cepat atau pada keadaan hipotensi. Dosis dititrasi antara 5 mcg/KgBB/menit sampai 10 mcg/KgBB/menit.
2.2.7
Prognosis
9
Prognosis jangka panjan dari edema paru akut ini sangat tergantung dari penyakit yangmendasarinya, misalnya infark miokard akut serta keadaan komorbiditas yang meneyrtai seperti diabetes mellitus atau penyakit ginjal terminal. Sedangkan prediktor dari kematian di rumah sakit antara lain: diabetes, disfungsi ventrikel kiri, hipotensi atau syok.
18
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Edema paru ialah kondisi dimana terjadi penumpukan cairan pada sistem respirasi yang disebabkan oleh ketidakmampuan jantung sebagai pompa darah untuk memenuhi secara adekuat kebutuhan metabolisme tubuh. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. Edema paru bisa terjadi disebabkan oleh faktor peningkatan tekanan pembuluh kapiler paru (misalnya pada gagal jantung kiri), tapi edema paru pada ARDS timbul akibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara tekanan onkotik (osmotik) dan hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang pada gagal jantung menyebabkan edema paru. Sedangkan pada gagal ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik atau malnutrisi menyebabkan tekanan onkotik sehingga terjadi edema paru. Edema paru dibedakan oleh karena sebab kardiogenik dan nonkardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh adanya payah jantung kiri apapun sebabnya. Edema paru kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya payah jantung kiri akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita payah jantung kiri kronik. Edema paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme. Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru yaitu perbaiki jalan napas,ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua sistemsirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Hall, Guyton &. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Peerbit Buku Kedokteran EGC, 2007 2. Sudoyo, 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Penerbit FK UI. 3. Derrickson, B., Tortora, Gerard J., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. John Wilay & Sons, United States of America. 4. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3 rd edition, vol. 2, Philadelphia, Pennsylvania. 54:1575-1614. 5. Staub NC: Pulmonary edema. Physiol Rev 54:678-811. 6. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D., Revelly, Jean P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S.. Clinical and Radiologic Features of Pulmonary Edema. Scientific Exhibit. 19, 15071531. 7. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one, United States, 593-617, 2008 8. Harun S dan Sally N. Edem Paru Akut . 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-3. 9. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005; 353:2788-96.
10. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J Med 2008; 359: 142-51. 11. Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. 2000; 208.
12. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and noncardiogenic. In: Han Disease. Textbook of Cardiovascular Medicine.Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 544-60 13. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D., Revelly, Jean P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S.. Clinical and Radiologic Features of Pulmonary Edema. Scientific Exhibit. 19, 15071531.
20
14. Santoso Karo, SpJP et al. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut ACLS 2008. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2008.