i
MAKALAH
EVOLUSI KULTURAL MANUSIA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Geografi Budaya
di Universitas Negeri Yogyakarta
Dosen Pengampu :
Drs. Nurhadi, M.Si
Penulis
Disusun oleh :
Aisyah Nurul Lathifah
15405241014
Hadana Ulufanuri
15405241021
Eva Susilo Wati
15405241028
Muhammad Luthfiansyah
15405244019
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis limpahkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah dengan judul Evolusi Kulturall Manusia dengan baik.
Untuk menyelesaikan makalah ini penulis mendapatkan bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada :
Bapak Drs. Nurhadi, M.Si selaku dosen pengampu.
Teman-teman Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan baik dalam isi maupun sistematikanya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh sebab itu penulis berharap kepada berbagai pihak untuk memberikan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Terimakasih.
Yogyakarta, 22 Maret 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 5
Tujuan 5
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Evolusi Kultural Manusia 6
Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Pra Sejarah Indonesia 9
Nilai-Nilai Peninggalan Budaya Masa Pra Sejarah di Indonesia 16
BAB III PENUTUP
Kesimpulan............................................................................ 19
Saran............................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kata budaya berasal dari Bahasa Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Kata kebudayaan dalam Bahasa Inggris diterjemahkan dengan istilah culture dan dalam Bahasa Belanda disebut cultuur. Kedua bahasa ini berasal dari Bahasa Latin colere berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan tanah(bertani). Dengan demikian cultuur berarti sebagai segala hal daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya rasa dan cipta masyarakat.
Kebudayaan manusia muncul dan berkembang bersamaan dengan mulainya beberapa populasi hominida purba membuat peralatan dari batu untuk keperluan membunuh binatang guna mengambil dagingnya.
Evolusi Kultural Manusia menunjukkan suatu perkembangan kebudayaan dan masyarakat dari tingkat yang sederhana menuju tingkat yang kompleks dan tingkat-tingkat yang tetap ini dilalui atau seharusnya dilalui oleh semua kebudayaan di dunia seperti dalam evolusi biologi di mana makhluk yang bisa bertahan hidup adalah makhluk yang paling cocok dengan lingkungan alamnya, maka dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup serta hukum yang dapat bertahan dalam masyarakat adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan kebutuhan kebutuhan warga masyarakat.
Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih dalam tentang pengertian evolusi kultural manusia, perkembangan kebudayaan masyarakat pra sejarah Indonesia, serta nilai-nilai peninggalan budaya masa pra sejarah, maka penulis membuat sebuah makalah dengan judul Evolusi Kultural Manusia.
Rumusan Masalah
Apakah yang dimaksud evolusi kultural umat manusia ?
Bagaimana perkembangan kebudayaan masyarakat prasejarah di Indonesia ?
Bagaimana nilai-nilai peninggalan budaya masa pra sejarah Indonesia ?
Tujuan
Mengetahui maksud atau pengertian dari evolusi kultural manusia.
Mengetahui perkembangan kebudayaan masyarakat prasejarah Indonesia.
Mengetahui nilai-nilai peninggalan budaya masa pra sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Evolusi Kultural Manusia
Konsep "evolusi" mengacu pada sebuah transformasi yang berlangsung secara bertahap. Walaupun istilah tersebut merupakan istilah umum yang dapat dipakai dalam berbagai bidang studi (McHenry, 2000: 453 dalam Anonim). Dalam pandangan para antropolog istilah "evolusi" yang merupakan gagasan bahwa bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari suatu bentuk ke bentuk lain melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tak pernah putus, pada umumnya diterima sebagai awal landasan berpikir mereka. Konsep "evolusi" yang sering digandengkan dengan pengertian 'perubahan secara perlahanlahan tapi pasti', memang diawali dengan karya Charles Darwin dalam bukunya yag terkenal Origin of Species. (1859). Sebenarnya gagasan ini kasar yang menyatakan bahwa bentukbentuk kehidupan berkembang dari bentuk yang satu ke bentuk lainnya diperkirakan sudah sejak zaman Yunani kuno, dan sejumlah pemikir sejak masa itu telah membuat postulat yang serupa atau mendekati pengertian asal-usul kehidupan yang evolusioner. Banyak pelopor sebelum Darwin, termasuk kakeknya sendiri, yang mengakui adanya keragaman dan diversitas kehidupan dengan mengajukan hipotesis tentang modifikasi evolusioner. Gagasan tentang evolusi melalui seleksi alam ini merupakan gagasan utamanya Darwin dalam bukunya tersebut. Darwin dianggap telah mencapai pemahaman yang koheren meski tidak lengkap karena ia tidak tahu tentang proses hereditas atau pewarisan karakter yang kemudian ditemukan Gregor Mendel (Dobzhansky, 1962; Huxley, 1942) pengaruhnya begitu luas, bukan hanya bidang biologi saja, tetapi melebar ke bidang-bidang sosial budaya. Oleh karena itu terminologi 'evolusi' tidak berhenti dalam bidang biologi, tetapi merambah ke bidang lain, sehingga dikenal istilah-istilah dan teori-teori; Evolusi Keluarga, Evolusi Agama, Evolusi Sosial Budaya. Untuk nama yang terakhir ini sering overlap dengan Darwinisme Sosial di mana Herbert Spencer merupakan sumber pertama yang memunculkan jargon the survival of the fittest (daya tahan dari jenis atau individu yang memiliki ciri-ciri paling cocok dengan lingkungannya), sebagaimana tertuang dalam karyanya Principles of Sociology (1896).
Evolusi manusia adalah tema sentral yang menyatukan antropologi, dan mereka mencoba memakai pendekatan 'empat bidang' (antropologi budaya, antropologi fisik, arkeologi, dan linguistik) yang saling dihubungkan. Namun jika menggunakan pendekatan 4 budang tersebut Arkeologi makin jauh dari teori kebudayaan dan sosial, pengaruh-pengaruh sosio-biologi mendorong sejumlah antropologi fisik untuk mengangkat kembali aneka penjelasan biologis mengenai perilaku budaya. Akan tetapi secara umum antropologi kebudayaan di Amerika Utara dan antropologi sosial serta etnologi di Eropa, bisa dipandang sebagai bagian terpisah dari disiplin-disiplin antropologi lainnya. Antropologi kebudayaan lebih dipengaruhi oleh perkembangan studi-studi bahasa daripada biologi, dan antropologi sosial lebih dipengaruhi oleh teori sosial dan historiografi (Kuper, 2000: 30 dalam Anonim).
Kultural atau kebudayaan
Istilah "culture" (kebudayaan) berasal dari Bahasa Latin yakni "cultura" dari kata dasar "colere" yang berarti "berkembang tumbuh". Namun secara umum pengertian "kebudayaan" mengacu kepada kumpulan pengetahuan yang secara sosial yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian "kebudayaan" sehari-hari yang hanya merujuk kepada bagian-bagian tertentu warisan sosial, yakni tradisi sopan santun dan kesenian (D'Andrade, 2000: 1999). Tentu saja definisi di atas hanya sedikit memuaskan bagi para antropolog, sebab begitu beragamnya definisi kebudayaan sempat mencemaskan makin dalamnya perpecahan dan menimbulkan kemerosotan efektivitas disiplin ilmu (Saifuddin, 2005: 83). Sebagai contoh Kroeber dan Kluckhohn dalam Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952) bahwa ternyata pada tahun itu ada 160 definisi kebudayaan. Hal itu pula yang dirasakan antropolog Roger M. Kessing dalam Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. mengamati bahwa "tantangan bagi antropolog dalam tahun-tahun terakhir adalah dipersempitnya "kebudayaan" sehingga konsep ini mencakup lebih sedikit tetapi menggambarkan lebih banyak" (1984: 73). Selanjutnya Keesing mengidentifikasi empat pendekatan terakhir terhadap masalah kebudayaan. Pendekatan pertama, yang memandang kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan perilaku yang fungsi primernya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Pendekatan ini dikaitkan dengan ekologi budaya dan materialisme kebudayaan, serta bisa ditemukan dalam kajian atropolog Julian Steward (1955), Leslie White (1949; 1959), dan Marvin Harris (1968; 1979). Pendekatan kedua, yang memandang bahwa kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu, yang dapat diterima bagi warga kekebudayaannya. Pendekatan tersebut memiliki banyak nama dan diasosiasikan dengan; etnosains, antropologi kognitif, atau etnografi baru. Para tokoh kelompok ini adalah Harold Conklin (1955), Ward Goodenough (1956; 1964), dan Charles O.Frake (1964, 1963; 1969). Pendekatan ketiga, yang memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia. Tokoh-tokoh antropolognya adalah kelompok strukturalisme yang dikonsepsikan oleh Claude Levi-Strauss (1963; 1969). Sedangkan pendekatan keempat, adalah yang memandang kebudayaan sebagai sistem simbol yang terdiri atas simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Pendekatan tersebut tokoh antropolognya adalah Cifford Geertz (1973; 1983) dan David Schneider (1968).
Evolusi kebudayaan menurut Lewis H. Morgan (1818-1881)
Lewis H. Morgan adalah seorang perintis antropolog Amerika terdahulu di mana sebagai karir awalnya adalah seorang ahli hukum yang banyak melakukan penelitian atas suku Indian di hulu Sungai St. Lawrence dekat kota New York. Karya terpentingnya berjudul Ancient Society (1987) yang memuat delapan tahapan tentang evolusi kebudayaan secara universal. Adapun dari delapan tahapan tersebut adalah :
Zaman Liar Tua; merupakan zaman sejak adanya manusia sampai menemukan api, kemudian manusia menemukan kepandaian meramu, mencari akar-akar tumbuhtumbuhan liar.
Zaman Liar Madya; merupakan zaman di mana manusia menemukan senjata busur-panah; pada zaman ini pula manusia mulai mengubah mata pencahariannya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai-sungai sebagai pemburu.
Zaman Liar Muda; pada zaman ini manusia dari persenjataan busur-panah sampai mendapatkan barang-barang tembikar, namun masih berburu kehidupannya.
Zaman Barbar Tua; pada zaman ini sejak pandai membuat tembikar sampai mulai beternak maupun bercocok tanam.
Zaman Barbar Madya; yaitu zaman sejak manusia beternak dan bercocok tanam sampai kepandaian membuat benda-benda/alat-alat dari logam.
Zaman barbar Muda; yaitu zaman sejak manusia memiliki kepandaian membuat alat-alat dari logam sampai mengenal tulisan.
Zaman Peradaban Purba, menghasilkan beberapa peradaban klasik zaman batu dan logam.
Zaman Peradaban masa kini; sejak zaman peradaban tua/klasik sampai sekarang....................................................................................
Perkembangan Kebudayaan Masyarakat Pra Sejarah Indonesia
Kebudayaan Zaman Batu
Zaman batu berdasarkan hasil temuan alat – alatnya dan dari cara pengerjaannya, maka zaman batu tersebut terbagi menjadi tiga yaitu:
Zaman Palaeolithikum (Batu Tua)
Sudrajad (2012) menyatakan bahwa zaman palaeolithikum atau zaman batu tua merupakan zaman dimana peralatan manusia prasejarah dibuat dari batu yang cara pengerjaannya masih sangat kasar. Zaman ini berlangsung pada zaman pleistosen yang berlangsung kira-kira 600.000 tahun lamanya.
Pada saat itu manusia praaksara kehidupannya masih sangat sederhana. Mereka hidup berkelompok dengan anggota kelompok sebanyak 10-15 orang. Mereka sudah mengenal api, meskipun baru dimanfaatkan sebagai senjata untuk menghadapi makhluk hidup lain, atau untuk menakuti binatang buruan.
Zaman palaeolithikum (batu tua) disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana.
Yusliani dan Mansyur (2015) menyatakan bahwa hasil kebudayaan Palaeolithikum banyak ditemukan di daerah Pacitan (Jawa Timur) dan Ngandong (Jawa Timur). Untuk itu para Arkeolog sepakat untuk membedakan temuan benda-benda pra-sejarah di kedua tempat tersebut yaitu sebagai kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
Gambar 1. Alat Pacitan Dari Berbagai Sisi
Gambar tersebut merupakan peninggalan zaman Palaeolithikum yang ditemukan pertama kali oleh Von Koenigswald tahun 1935 di Pacitan dan diberi nama dengan kapak genggam, karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengan cara menggenggam.
Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu pra-sejarah disebut dengan chopper artinya alat penetak. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam. Pada awal penemuannya semua kapak genggam ditemukan di permukaan bumi, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti berasal dari lapisan mana.
Berdasarkan penelitian yang intensif yang dilakukan sejak awal tahun 1990, dan diperkuat dengan adanya penemuan terbaru tahun 2000 melalui hasil ekskavasi yang dilakukan oleh tim peneliti Indonesia-Perancis diwilayah Pegunungan Seribu/ Sewu maka dapat dipastikan bahwa kapak gengga atau chopper dipergunakan manusia jenis Homo erectus.
Daerah penemuan kapak perimbas/kapak genggam selain di Punung (Pacitan) Jawa Timur juga ditemukan di daerah-daerah lain yaitu seperti Jampang Kulon, Parigi (Jawa Timur), Tambang Sawah, Lahat, dan Kalianda (Sumatera), Awangbangkal (Kalimantan), Cabenge (Sulawesi), Sembiran dan Terunyan (Bali).
Kebudayaan Mesolithikum
Zaman mesolithikum atau zaman batu tengah merupakan zaman peralihan dari zaman palaeolithikum menuju ke zaman neolithikum. Pada zaman ini kehidupan manusia praaksara belum banyak mengalami perubahan. Alat-alat yang dihasilkan masih terlihat kasar meskipun telah ada upaya untuk memperhalus dan mengasahnya agar kelihatan lebih indah. Dari berbagai alat yang ditemukan, dapat dianalisis bahwa kebudayaan zaman mesolithikum dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: pebble culture, bone culture dan flake culture (Sudrajad, 2012).
Pebble culture terutama ditemukan dari suatu corak peninggalan istimewa yaitu kjokkenmoddinger. Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap (Callenfels dalam Yusliani dkk, 2015).
Lingkungan ini ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera antara Langsa (Aceh) dan Medan. Di dua tempat tersebut kemungkinan telah ada komunitas manusia praaksara yang tinggal di dalam rumah-rumah bertonggak. Mereka hidup dari siput dan kerang yang dipatahkan ujungnya kemudian dihisap isinya dari bagian kepalanya. Kulit siput dan kerang tersebut kemudian dibuang sehingga menimbulkan bukit kerang. Di dalam bukit kerang tersebut ditemukan pebble atau sejenis kapak genggam khas Sumatera.
Gambar 1 Pebble/ Kapak Sumatera
Bentuk pebble seperti gambar dapat dikatakan sudah agak sempurna dan buatannya agak halus. Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan menggenggam (Suhartono, Didik: 2000).
Lingkungan kedua dari kebudayaan zaman mesolithikum adalah Abris Sous Roche yaitu gua yang dipakai sebagai tempat tinggal. Gua ini sebenarnya hanyalah sebuah ceruk di dalam batu karang yang cukup untuk memberikan perlindungan dari panas dan hujan. Di dasar gua tersebut ditemukan banyak peninggalan terutama yang terbanyak dari zaman mesolithikum (Soekmono, 1973: 41). Alat-alat yang ditemukan antara lain: mata panah, flake, batu penggilingan, dan lain – lain (Anwasari: 1995).
Pada masa ini manusia mulai hidup menetap dengan membuat rumah panggung di tepi pantai atau tinggal di dalam gua dan ceruk-ceruk batu padas. Manusia prasejarah juga mulai bercocok tanam dan telah terlihat mulai mengatur masyarakatnya. Mereka melakukan pembagian pekerjaan dimana kaum laki-laki berburu, sedangkan kaum wanita mengurusi anak dan membuat kerajinan berupa anyaman dan keranjang (Sudrajad: 2012).
Manusia praaksara juga mulai mengenal kesenian. Di dalam sebuah gua di Maros (Sulawesi Selatan) ditemukan tapak tangan berwarna merah dan gambar babi hutan yang oleh para ahli diyakini sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat prasejarah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan mesolithikum dapat dikategorikan dalam dua unit budaya yaitu kebudayaan kjokkenmoddinger dan abris sous roche (Yusliani dan Mansyur: 2015).
Kebudayaan Neolithikum
Sudrajad (2012) menyatakan bahwa zaman neolithikum atau zaman batu muda merupakan revolusi dalam kehidupan manusia praaksara. Hal ini terkait dengan pemikiran mereka untuk tidak menggantungkan diri dengan alam dan mulai berusaha untuk menghasilkan makanan sendiri (food producing) dengan cara bercocok tanam. Di samping bercocok tanam manusia praaksara juga mulai beternak sapi dan kuda yang diambil dagingnya untuk dikonsumsi.
Manusia praaksara juga telah hidup dengan menetap (sedenter). Mereka membangun rumah-rumah dalam kelompok-kelompok yang mendiami suatu wilayah tertentu. Peralatan yang digunakan juga telah diasah dengan halus sehingga kelihatannya lebih indah. Kebudayaan mereka juga telah mengalami kemajuan yang ditunjukkan dengan kemampuan mereka menghasilkan gerabah dan tenunan. Pola hidup menetap yang mereka jalani menghasilkan kebudayaan yang lebih maju, karena mereka mempunyai waktu luang untuk memikirkan kehidupannya.
Kebudayaan Zaman Logam
Dengan berkembangnya tingkat berpikir manusia, maka manusia tidak hanya menggunakan bahan – bahan dari batu untuk membuat alat – alat kehidupannya, tetapi juga mempergunakan bahan dari logam yaitu perunggu dan besi untuk membuat alat – alat yang diperlukan. Dengan adanya migrasi bangsa Deutro Melayu atau Melayu muda ke Indonesia mengenal logam perunggu dan besi secara bersamaan, maka kebudayaan logam yang dikenal di Indonesia. Dongson, nama kota kuno di Tonkin yang menjadi pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Karena itu kebudayaan perunggu di Indonesia disebut dengan kebudayaan Dongson (Nurhadi dan Sudarsono, 2017).
Kebudayaan Megalithikum
Sudrajad (2012) menyatakan bahwa zaman megalithikum atau zaman batu besar adalah suatu kebudayaan yang berkaitan dengan kehidupan religius manusia praaksara. Zaman megalithikum sejalan dengan zaman neolithikum karenanya lebih tepat bila disebut dengan kebudayaan megalithikum. Zaman megalithikum terbagi dalam dua fase pencapaian. Fase pertama terkait dengan alat-alat upacara, sedangkan fase kedua terkait dengan upacara penguburan. Kebudayaan megalithikum menghasilkan alat-alat antara lain:
Menhir yaitu tugu batu yang dibuat dengan tujuan untuk menghormati roh nenek moyang.
Dolmen yaitu meja batu dimana kakinya berupa tugu batu (menhir). Biasanya meja batu ini digunakan untuk meletakkan sesaji. Kadang-kadang dibawah dolmen adalah sebuah kuburan, sehingga orang sering menganggapnya sebagai peti kubur.
Kubur batu yaitu bangunan yang disusun dari lempengan batu besar yang membentuk kotak persegi panjang dan berfungsi sebagai peti jenazah.
Sarkofagus yaitu batu besar yang dibuat menyerupai mangkuk atau bulat dua tangkup yang berbentuk seperti peti jenazah. Sarkofagus sering disimpan diatas tanah olehkarena itu sarkofagus seringkali diukir, dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri, sebagai bagian dari sebuah makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain dimaksudkan untuk disimpan di ruang bawah tanah. Banyak ditemukan di Bali.
Waruga adalah peti kubur yang berbentuk kubus atau bulat. Waruga adalah kubur atau makam leluhur orang Minahasa yang terbuat dari batu dan terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk segitiga seperti bubungan rumah dan bagian bawah berbentuk kotak yang bagian tengahnya ada ruang.
Punden berundak yaitu sebuah bangunan yang digunakan untuk sesaji yang merupakan bentuk dasar dari bangunan candi. Punden berundak bukan merupakan "bangunan" tetapi merupakan pengubahan bentang – lahan atau undak – undakan yang memotong lereng bukit, seperti tangga raksasa. Bahan utamanya tanah bahan pembantunya batu; menghadap ke anak tangga tegak, lorong melapisi jalan setapak, tangga, dan monolit tegak.
Nilai-Nilai Peninggalan Budaya Masa Pra Sejarah di Indonesia
Nurhadi dan Sudarsono (2017) menyatakan bahwa nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, benar atau berharga bagi seseorang. Setiap masyarakat atau setiap budaya memiliki nilai-nilai tertentu mengenai sesuatu. Bahkan budaya dan masyarakat itu merupakan nilai yang tak terhingga bagi orang yang memilikinya. Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan, motivasi dalam segala perbuatan karena nilai itu mengandung kekuatan yang mendorong manusia meyakini untuk berbuat dan bertindak.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai penggalan budaya adalah penggalan budaya yang diyakini baik, benar dan berguna bagi masyarakat. Untuk itu bila masyarakat atau bangsa Indonesia masa kini meyakini kebenaran nilai-nilai peninggalan budaya masa prasejarah, maka akan dapat menumbuhkan kesadaran untuk ikut berperan serta dalam upaya pemeliharaan warisan budaya bangsa.
Dari penjelasan di atas, tentu Anda ingin tahu lebih jauh tentang nilai apa yang dapat diwariskan dari peninggalan budaya masa prasejarah ini. Untuk itu simaklah uaraian materi tentang nilai-nilai peninggalan budaya masa prasejarah ini yang terdiri dari:
Nilai Religius/Keagamaan
Nilai ini mencerminkan adanya kepercayaan terhadap sesuatu yang berkuasa atas mereka, dalam hal ini mereka berusaha membatasi perilakunya. Dari uraian tersebut, sikap yang perlu diwariskan adalah sikap penghormatan kepada yang lain, mengatur perilaku agar tidak semaunya dan penghormatan serta pemujaan sebagai dasar keagamaan.
Nilai Gotong Royong
Masyarakat prasejarah hidup secara berkelompok, bekerja untuk kepentingan kelompok bersama, membangun rumah juga dilakukan secara bersama-sama. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya bangunan-bangunan megalith yang dapat dipastikan secara gotong royong/bersama-sama. Dengan demikian patutlah ditiru bahwa hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama hendaklah dilakukan secara bersama-sama (gotong royong) dengan prinsip berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Nilai musyawarah
Nilai ini sudah dikembangkan oleh masyarakat prasejarah dalam hidupnya seperti dalam pemilihan pemimpin masyarakat dalam usaha pertanian dan perburuan. Dari perilaku tersebut menjadi dasar bagi tumbuh dan berkembangnya asas demokrasi.
Nilai Keadilan
Sikap ini sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat prasejarah sejak masa berburu yaitu adanya pembagian tugas sesuai dengan tenaga dan kemampuannya sehingga tugas antara kaum laki-laki berbeda dengan kaum perempuan. Sikap keadilan ini berkembang pada masa perundagian, yaitu pembagian tugas berdasarkan keahliannya. Dari nilai tersebut mencerminkan sikap yang adil karena setiap orang akan memperoleh hak yang sama/tugas yang sama apabila didukung oleh kemampuannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Evolusi manusia adalah tema sentral yang menyatukan antropologi, dan mereka mencoba memakai pendekatan 'empat bidang' (antropologi budaya, antropologi fisik, arkeologi, dan linguistik) yang saling dihubungkan. Kebudayaan material masyarakat pra sejarah di Indonesia antara lain kebudayaan zaman batu yang terdiri dari zaman palaeolithikum (batu tua), kebudayaan mesolithikum, kebudayaan neolithikum. Selanjutnya adalah kebudayaan zaman logam dan kebudayaan megalithikum, dimana kebudayaan megalithikum menghasilkan menhir, dolmen, kubur batu, sarkofagus, waruga, dan punden. Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, benar atau berharga bagi seseorang. Sedangkan nilai penggalan budaya adalah penggalan budaya yang diyakini baik, benar dan berguna bagi masyarakat. Nilai-nilai peninggalan budaya masa prasejarah ini yang terdiri dari: nilai religius/keagamaan, nilai gotong royong, nilai musyawarah, nilai keadilan.
Saran
Dilihat dari perkembangan zaman, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sudah mengalami kemajuan. Hal tersebut menimbulkan mata pencaharian penduduk di sektor pertanian (bercocok tanam), berternak ataupun pengrajin menurun sehingga menghilangkan nilai-nilai kebudayaan manusia zaman prasejarah. Sebaiknya masyarakat lebih memilah mana yang harus ditinggalkan sesuai keberlanjutan zaman dan mana yang masih harus diterapkan dalam masa sekarang khususnya nilai gotong-royong dan nilai budaya yang terus menurun.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Antropologi. Diakses pada hari Minggu, 19 Maret 2017 di
www.baehaqiarif.files.wordpress.com
Anwarsari. 1995. Sejarah Nasional Indonesia I. Malang: IKIP Malang.
Didik Suhartono. 2000. "Kajian Site Catchment Analysis Pada Penghunian Gua
di Kawasan Tuban", Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
Soekmono. 1978. Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Jakarta: Yayasan Kanisius.
Sudrajad. 2012. Prasejarah Indonesia. Yogyakarta: UNY.
Yusliani dan Mansyur. 2015. Menyusuri Jejak - Jejak Masa Lalu Indonesia.
Banjarmasin: universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.