LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 3 BLOK NEUROLOGI “MIGRAIN”
Kelompok 20 :
Annisa Susilowati
G0011030
Lauraine WS
G0011126
Astridia Maharani PD G0011042
Ratu Siti KS
G0011166
Bayu Prasetyo
G0011050
Rina Dwi P
G0011174
Dyah Rohmi N
G0011076
Rizal Nur R
G0011180
Hernowo Setyo U
G0011108
Zakiatunnisa
G0011216
Johanna Tania
G0011122
TUTOR : Isdaryanto, dr, PHK, MARS
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2012
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sakit kepala adalah salah suatu keluhan yang sering dikemukakan dalam praktek ilmu penyakit saraf. Menurut International Headache Society, sakit kepala dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu sakit kepala primer dan sakit kepala sekunder. Sakit kepala primer adalah sakit kepala tanpa penyebab yang jelas dan tidak berhubungan dengan penyakit lain. Contohnya adalah sakit kepala tipe tension, migraine, dan cluster. Sedangkan sakit kepala sekunder adalah sakit kepala yang disebabkan oleh penyakit lain seperti akibat infeksi virus, adanya massa tumor, cairan otak, darah, serta stroke. Migraine adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 472 jam. Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat, bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea dan/atau fotofobia dan fonofobia. Migraine secara umum dibagi menjadi 2 yaitu migraine klasik dan migraine umum dimana migraine umum 5 kali lebih sering terjadi daripada migraine klasik. Migraine dapat terjadi pada 18% dari wanita dan 6% dari pria sepanjang hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migraine timbul pada 11% masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang. Migraine lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum usia 12 tahun, tetapi lebih sering ditemukan pada wanita setelah pubertas, yaitu paling sering pada kelompok umur 25-44 tahun.
Berikut adalah kasus dalam skenario kali ini: Ny. Rini seorang guru usia 27 tahun menderita migraine sejak 3 tahun yang lalu. Serangan migraine dirasakan setiap 3 sampai 4 kali dalam sebulan, terutama bila kurang tidur atau menghadapi stress pekerjaannya. Serangan migraine didahului aura sebelum terjadi nyeri kepala cekot-cekot. Ny. Rini saat ini memiliki seorang anak usia 2 tahun dan memakai KB suntik 3 bulanan. Saat ini Ny. Rini telah berobat ke dokter karena selama 24 jam terakhir merasakan nyeri kepala hebat (VAS: 7-8), disertai fotopobia, mual,muntah (empat kali dalam 24 jam). Tekanan darahnya 120/80, HR 70 kali per menit, pucat dan lemah. Pada
pemeriksaan hanya didapatkan fotopobia dan refleks hoffman tromer positif di kedua tangan, selain itu tidak ditemukan deficit neurologis yang lainnya. Dokter memberikan obat terapi abortif dan terapi preventif kepada Ny. Rini. Dokter juga memberikan edukasi tentang adanya komplikasi yang mungkin muncul serta bagaimana Ny. Rini harus menjaga pola hidupnya dengan baik, mulai pengaturan makan (diet), olah raga yang cocok, mengelola stress dan pola tidurnya. Dokternya juga menyarankan agar mengganti alat kontrasepsi yang saat ini dipakainya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Patofisiologi gejala pada kasus? 2. Mekanisme faktor pemicu sehingga dapat menyebabkan migrain? 3. Interpretasi hasil hofmann tromer? 4. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui patofisiologi gejala pada kasus. 2. Mengetahui mekanisme faktor pemicu sehingga dapat menyebabkan migrain. 3. Mengetahui interpretasi hasil dari refleks hofmann. 4. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada kasus.
D. MANFAAT PENULISAN
1. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi gejala pada kasus. 2. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme faktor pemicu yang dapat menyebabkan migrain. 3. Mahasiswa mengetahui interpretasi hofmann tromer. 4. Mahasiswa mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada kasus.
BAB II DISKUSI DAN PEMBAHASAN
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Struktur kepala yang sensitif terhadap nyeri dalam kranium adalah sinus venosus contohnya sinus sagitalis, arteri meningea media dan anterior, dura pada basal tengkorak, trigeminal, nervus vagus dan glosofaringeal, arteri carotid interna proksimal dan cabangcabang dekat sirkulus willisi, periaqueductal gray matter batang otak, nukleus sensori dari thalamus. Thalamus bertindak sebagai pusat sensori yang primitif dimana individu dapat secara samar merasakan nyari, tekanan, raba, getar, dan suhu yang ekstrim, tetapi tidak dapat ditentukan tempatnya. Sedangkan parenkim otak sendiri tidak sensitif terhadap nyeri. Aliran darah yang menuju otak berasal dari dua buah arteri karotis dan sebagian berasal dari arteri vertebralis. 1. Arteria Karotis
Arteria karotis komunis bercabang menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Arteri karotis eksterna mendarahi wajah, tiroid, lidah, dan faring. Cabang dari arteri karotis eksterna adalah arteri meningea media yang memperdarahi srtuktur-struktur dalam di daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yang besar ke dura mater. Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri karotis interna juga mempercabangkan arteri oftalmika yang masuk ke dalam orbita dan mendarahi mata dan isi orbita lainnya, bagian-bagian hidung dan sinus-sinus udara. Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis, parietalis, dan frontalis korteks serebri dan membentuk penyebaran pada permukaan lateral. Arteri ini merupakan sumber darah utama girus pre-sentralis dan post-sentralis. Korteks audiotorius, somestetik, motorik, dan pramotorik disuplai oleh arteri ini seperti juga korteks asosiasi yang berkaitan dengan fungsi integrasi yang lebih tinggi pada lobus sentralis tersebut. Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen ganglia basalis, bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum, dan bagian-bagian lobus frontalis dan perietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. 2.Arteri vertebralis
Arteri vertebralis adalah cabang dari arteri subklavia yang masuk rongga tengkorak melalui foremen magnum. Kedua arteri vertebralis kanan dan kiri nantinya akan bersatu membentuk arteri basilaris yang terus berjalan sampai setinggi otak tengah dan bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabangcabang sistem vertebrobasiliaris ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum, midbrain, dan sebagian diensefalon. Arteri serebri posterior dan cabang-cabangnya mendarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis, apparatus koklearis, dan organ-organ vestibular. Arteri karotis interna setelah masuk rongga tengkorak akan memberi cabang yaitu arteri serebri anterior, arteri serebri media, arteri komunikans posterior, arteri khoroidea, arteri hipofise superior dan arteri hipofise inferior. Kedua arteri vertebralis bergabung membentuk arteri basilaris otak belakang dan arteri ini berhubungan dengan kedua arteri karotis interna yang juga berhubungan satu dengan lainnya membentuk suatu sirkulus Willisi.
EPIDEMIOLOGI
Migraine dapat terjadi pada 18% dari wanita dan 6% dari pria sepanjang hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migraine timbul pada 2
11% masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang. Prevalensi migraine ini beranekaragam bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Migraine dapat tejadi dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Migraine lebih sering terjadi pada anak lakilaki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum usia 12 tahun, tetapi lebih sering ditemukan pada wanita setelah pubertas, yaitu paling sering pada kelompok umur 25-44 tahun. Onset migraine muncul pada usia di bawah 30 tahun pada 80% kasus. Migraine jarang terjadi setelah usia 40 tahun. Wanita hamil pun tidak luput dari serangan migraine yang biasanya menyeang pada trimester I kehamilan. Risiko mengalami migraine semakin besar pada orang yang mempunyai riwayat keluarga penderita migraine.
ETIOLOGI
Penyebab pasti migraine tidak diketahui, namun 70-80% penderita migraine memiliki anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga. Risiko terkena migraine meningkat 4 kali lipat pada anggota keluarga para penderita migraine dengan aura. Namun, dalam migraine tanpa aura tidak ada keterkaitan genetik yang mendasarinya, walaupun secara umum menunjukkan hubungan antara riwayat migraine
dari pihak ibu. Migraine juga meningkat frekuensinya pada orang-orang dengan kelainan mitokondria seperti MELAS (mitochondrial myopathy, encephalopathy, lactic acidosis, and strokelike episodes ). Pada pasien dengan kelainan genetik CADASIL (cerebral
autosomal
dominant
arteriopathy
with
subcortical
infarcts
and
leukoencephalopathy) cenderung timbul migrane dengan aura.
KLASIFIKASI
Secara umum migraine dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Migraine dengan aura Migraine dengan aura disebut juga sebagai migraine klasik. Diawali dengan adanya gangguan pada fungsi saraf, terutama visual, diikuti oleh nyeri kepala unilateral, mual, dan kadang muntah, kejadian ini terjadi berurutan
dan manifestasi nyeri kepala
biasanya tidak lebih dari 60 menit yaitu sekitar 5-20 menit. 2. Migraine tanpa aura Migraine tanpa aura disebut juga sebagai migraine umum. Sakit kepalanya hampir sama dengan migraine dengan aura. Nyerinya pada salah satu bagian sisi kepala dan bersifat pulsatil dengan disertai mual, fotofobia dan fonofobia. Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam.
PATOFISIOLOGI
1.
Teori vaskular Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam terjadinya migren dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya nyeri kepala disertai denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh darah yang mengalami konstriksi terutama terletak di perifer otak akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat. Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial mengalami vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini akan menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam keadaan yang demikian, vasokonstriktor seperti ergotamin akan mengurangi sakit kepala, sedangkan vasodilator seperti nitrogliserin akan memperburuk sakit kepala.
2.
Teori Neurovaskular dan Neurokimia Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang dianut oleh para neurologist di dunia. Pada saat serangan migraine terjadi, nervus trigeminus
mengeluarkan CGRP ( Calcitonin Gene-related Peptid e) dalam jumlah besar. Hal
inilah yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga menimbulkan nyeri kepala. CGRP adalah peptida yang tergolong dalam anggota keluarga calcitonin yang terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin. Seperti calcitonin, CGRP ada dalam jumlah besar di sel C dari kelenjar tiroid. Namun CGRP juga terdistribusi luas di dalam sistem saraf sentral dan perifer, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, dan sistem urologenital. Ketika CGRP diinjeksikan ke sistem saraf, CGRP dapat menimbulkan berbagai efek seperti hipertensi dan penekanan pemberian nutrisi. Namun jika diinjeksikan ke sirkulasi sistemik maka yang akan terjadi adalah hipotensi dan takikardia. CGRP adalah peptida yang memiliki aksi kerja sebagai vasodilator poten. Aksi keja CGRP dimediasi oleh 2 reseptor yaitu CGRP 1 dan CGRP 2. Pada prinsipnya,
penderita
migraine
yang
sedang
tidak
mengalami
serangan
mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks serebral, terutama di korteks oksipital, yang diketahui dari studi rekaman MRI dan stimulasi magnetik transkranial. Hipereksitabilitas ini menyebabkan penderita migraine menjadi rentan mendapat serangan, sebuah keadaan yang sama dengan para pengidap epilepsi. Pendapat ini diperkuat fakta bahwa pada saat serangan migraine, sering terjadi alodinia (hipersensitif nyeri) kulit karena jalur trigeminotalamus ikut tersensitisasi saat episode migraine. Mekanisme migraine berwujud sebagai refleks trigeminal vaskular yang tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat segmental ini yang memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian akan terjadi dorongan pada kortibular yang berlebihan. Dengan adanya rangsangan aferen pada pembuluh darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut. 3.
Teori cortical spreading depression (CSD) Patofisiologi migraine dengan aura dikenal dengan teori cortical spreading depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron di substansia nigra yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit. Penyebaran ini diikuti dengan gelombang supresi neuron dengan pola yang sama sehingga membentuk irama vasodilatasi yang diikuti dengan vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD ialah pelepasan Kalium atau asam amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan neural sehingga terjadi depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi.
Patofisiologi gejala pada kasus
1. Mual dan Muntah Mual didefinisikan sebagai sensasi subjektif tidak nyaman untuk muntah. Muntah adalah suatu refleks paksa untuk mengeluarkan isi lambung melalui esophagus dan keluar dari mulut. Jalur alamiah dari muntah juga belum sepenuhnya dimengerti namun beberapa mekanisme patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah t elah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf – saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf -saraf ini menerima input dari : •
Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema
•
Sistem vestibular (yang berhubungan dg mabuk darat dan mual karena penyakit telinga tengah)
•
Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal)
•
Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik)
•
Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)
Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus. a.
Mekanoreseptor : berlokasi pada dinding usus dan diaktifkan oleh kontraksi dan distensi usus, kerusakan fisik dan manipulasi selama operasi.
b.
Kemoreseptor : berlokasi pada mukosa usus bagian atas dan sensitif terhadap stimulus kimia.
Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus t ractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZ Kortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman.
Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih. Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengah. Reseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah.
Mekanisme faktor pencetus nyeri kepala
Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling awal serangan migren diketemukan adanya penurunan cerebral blood flow(CBF) yang dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan2 ke depan sebagai seperti suatu gelombang ("spreading oligemia'; dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3 mm per menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi set saraf menghasilkan gejala scintillating aura, kemudian aktifitas set safar menurun menimbulkan gejala skotoma. Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical spreading depression (CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam duramater, edema neurogenik didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC (trigeminal nucleus caudalis) ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren tersebut mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan mencetuskan timbulnya nyeri kepala. Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada sistem trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzym NOS. Proses tersebutlah sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada penderita migren.
Mekanisme faktor pemicu sehingga dapat menimbulkan migren:
Stress : respon seseorang akan stressor dapat bertipe Canon (reaksi emosional, stimulasi sistem saraf simpatik, stimulasi medula adrenal) atau tipe Seyle (depresi emosional, stimulasi hipofisis anterior, stimulasi korteks adrenal). Akibat dua reaksi tersebut dapat timbul perubahan- perubahan pada sistem cardiovaskuler berupa kelainan irama jantung, perubahan tekanan darah, dil atasi dan konstriksi pembuluh darah, perubahan korpuskular darah dan perubahan komposisi biokimiawi dalam darah.
Makanan : berbagai zat makanan dapat memicu timbulnya serangan migren. Pemicu migren tersering adlah alkohol berdasarkan efek vasodilatasinya dimana anggur merah dan bir merupakan pemicu terkuat. Makanan yang mengandung tiramin, yang berasal dari asam amino tirosin, seperti keju, makanan yang diawetkan atau diragi, hati, anggur merah, yagurt, dll. Makanan lain yang pernah dilaporkan dapat mencetuskan migren adalah coklat (karena mengandung feniletilamin), telur, kacang, bawang, piza, alpokat, pemanis buatan, buah jeruk, pisang, daging babi,teh, kopi, dan coca- cola yang berlebihan.
Monosodiun glutamat adalah pemicu migren yang sering dan penyebab dari sindrom restoran cina yaitu nyeri kepala disertai kecemasan, pusing, parestesia leher dan tangan, serta nyeri perut dan nyeri dada.
Hormonal : fluktuasi hormonal merupakan faktor pemucu pada 60% wanita, 40% wanita hanya mendapat serangan haid. Nyeri kepala migren dipicu oleh turunnya 17-β kadar estradiol plasma saat akan haid. Serangan migren berkurang selama kehamilah karena kadar estrogen yang relatif tinggi dan konstan, sebaliknya minggu pertama postpartum. Pemakaian pil kontrasepsi juga meningkatkan serangan migren.
Meenopause : umumnya nyeri kepala migren akan meningkat frekuensi dan beratnya pada saat menjelang menopause. Tetapi, beberapa kasus membaik setelahmenopause. Terapi hormonal dengan estrogen dosis rendah dapat diberikan untuk mengatasi serangan migren pasca menopause.
Lingkungan : perubahan lingkungan dalam tubuh yang meliputi fluktuasi hormonal pada siklus haid dan perubahan irama bangun- tidur dapat menimbulkan serangan akut migren. Perubahan lingkungan eksternal meliputi
cuaca, musim, tekanan udara, ketinggian dari permukaan laut, dan terlambat makan.
Obat- obatan : seperti nitrogliserin, nifepidin sublingual, isosorbid dinitrat, tetrasiklin, vitamin A dosis tinggi, fluoksetin.
Aspartam : merupakan komponen utama pemanis buatan dapat menimbulkan nyeri kepala pada orang tertentu.
Interpretasi Hoffman Tromer
Gerak otot reflektorik dapat ditimbulkan pada tiap orang yang sehat, dinamakan refleks fisiologik. Pada kerusakan di lintasan piramidalis dapat dijumpai refleks-refleks yang tidak dapat ditimbulkan pada orang-orang sehat. Maka dari itu, refleks tersebut dinamakan refleks patologik. Hingga kini mekanismenya belum dapat diberikan. Pada tangan gerak reflektorik yang patologik berupa fleksi dari jari-jari, terutama jari telunjuk dan ibu jari, sebagai jawaban atas perangsangan (yang berupa goresan-goresan) terhadap kuku jari tengah penderita. Refleks patologik tersebut dinamakan refleks dari TromnerHoffman (Mardjono & Sidharta, 1997). Tes Hoffman-Tromner sedikit lebih spesifik untuk mengetahui ada tidaknya lesi di atas nervus cervical V atau VI (Lisa Emrich, 2011). Oleh karena itu, pasien pada skenario dilakukan tes tersebut, sebab ada kemungkinan migrain yang dideritanya disebabkan akibat adanya lesi di nervus cervical II. Namun, hasil positif pada pemeriksaan ini tidak selalu menunjukkan adanya kerusakan pada jaras piramidalisnya. Pada orang sehat pun dapat dijumpai hasil positif (positif palsu). Sebagai kesimpulan, pemeriksaan Hoffman-Tromner bukanlah alat skrining yang dapat diandalkan untuk memprediksi adanya kompresi pada nervus cervical medulla spinalis. Namun, ada kemungkinan bahwa, setidaknya pada beberapa pasien, tes Hoffmann lebih sensitif untuk menemukan disfungsi sumsum tulang belakang lebih awal dibandingkan dengan studi pencitraan (John A. Glaser. et all, 2001).
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Dilakukan untuk menyingkirkan sakit kepala yang diakibatkan oleh penyakit struktural, metabolik, dan kausa lainnya yang memiliki gejala hampir sama dengan
migraine. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan apakah ada penyakit komorbid yang dapat memperparah sakit kepala dan mempersulit pengobatannya. 2. Pencitraan CTscan dan MRI dapa dilakukan dengan indikasi tertentu, seperti: pasien baru pertama kali mengalami sakit kepala, ada perubahan dalam frekuensi serta derajat keparahan sakit kepala, pasien mengeluh sakit kepala hebat, sakit kepala persisten, adanya pemeriksaan neurologis abnormal, pasien tidak merespon terhadap pengobatan, sakit kepala unilateral selalu pada sisi yang sama disertai gejala neurologis kontralateral. 3. Pungsi Lumbal Indikasinya adalah jika pasien baru pertama kali mengalami sakit kepala, sakit kepala yang dirasakan adalah yang terburuk sepanjang hidupnya, sakit kepala rekuren, onset cepat, progresif, kronik, dan sulit disembuhkan. Sebelum dilakukan LP seharusnya dilakukan CT scan atau MRI terlebih dulu untuk menyingkirkan adanya massa lesi yang dapat meningkatkan tekanan intracranial. Tatalaksana
Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas mengurangi faktor resiko, terapi farmaka dengan memakai obat dan terapi nonfarmaka. Terapi farmaka dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi preventif (terapi pencegahan), walau pada terapi nonfarmaka juga dapat bertujuan untuk abortif dan pencegahan. Terapi abortif merupakan pengobatan pada saat serangan akut yang bertujuan untuk meredakan serangan nyeri dan disabilitas pada saat itu dan menghentikan progresivitas. Pada terapi preventif atau profilaksis migrain terutama bertujuan untuk mengurangi frekwensi, durasi dan beratnya nyeri kepala. 1.
Mengurangi faktor risiko/pencetus
Stres dan kecemasan
Kurang atau telalu banyak tidur, perubahan jadwal seperti jetlag.
Hipoglikemia (terlambat makan)
Kelelahan
Perubahan hormonal seperti haid, obat hormonal
Kadar estrogen yang berfluktuasi atau dapat dilakukan dengan menghentikan pil KB atau obat-obat pengganti estrogen
Diet
Menghindari makanan tertentu cukup membantu pada 25-30% penderita migrain. Secara umum, makanan yang harus dihindari adalah: MSG, beberapa minuman beralkohol (anggur merah, prot, sherry, scotch, bourbon), keju (Colby, Roquefort, Brie, Gruyere, cheddar, bleu, mozzarella, Parmesan, Boursault, Romano), coklat, dan aspartame.
Diet dilakukan selama 1 bulan. Apabila setelah 1 bulan gejala tidak membaik, berarti modifikasi diet tidak bermanfaat. Apabila makanan menjadi pencetus gejala, maka jenis makanan tersebut harus diidentifikasi dengan cara menambahkan satu jenis makanan sampai gejala
muncul.
Sebaiknya
dibuat
diari
makanan
selama
mengidentifikasi makanan apa yang menjadi pencetus migrain, karena beberapa jenis makanan dapat langsung menimbulkan gejala (anggur merah, MSG), sementara makanan lain baru menimbulkan gejala setelah 1 hari (coklat, keju). 2. Terapi farmako migrain a.
Terapi Abortif Pada terapi abortif dapat diberikan analgesia nonspesifik yaitu analgesia yang dapat diberikan pada kasus nyeri lain selain nyeri kepala, dan atau analgesia spesifik yang hanya bekerja sebagai analgesia nyeri kepala. Secara umum dapat dikatakan bahwa terapi memakai analgesia nonspesifik masih dapat menolong pada migrain dengan intensitas nyeri ringan sampai sedang. Pada kasus sedang sampai berat atau berespons buruk dengan OAINS pemberian analgesia spesifik lebih bermanfaat. Domperidon atau metoklopramid sebagai antiemetik dapat diberikan saat serangan nyeri kepala atau bahkan lebih awal yaitu pada saat fase prodromal. Fase prodromal migrain dihubungkan dengan gangguan pada hipotalamus melalui neurotransmiter dopamin dan serotonin. Pemberian antiemetik akan membantu penyerapan lambung di samping meredakan gejala penyerta seperti mual dan muntah. Kemungkinan timbulnya efek samping antiemetik seperti sedasi dan parkinsonism pada orang tua patut diperhatikan.
Analgesik nonspesifik Yang termasuk analgesia nonspesifik adalah asetaminofen (parasetamol), aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Pada umumnya pemberian analgesia opioid dihindari. Beberapa obat OAINS yang telah diteliti diberikan pada migrain antara lain adalah:
Diklofenak.
Ketorolak.
Ketoprofen.
Indometasin.
Ibuprofen.
Naproksen.
Golongan fenamat.
Ketorolak IM membantu pasien dengan mual atau muntah yang berat. Kombinasi antara asetaminofen dengan aspirin atau OAINS serta penambahan kafein dikatakan dapat menambah efek analgetik, dan dengan dosis masing-masing obat yang lebih rendah diharapkan akan mengurangi efek samping obat. Mekanisme kerja OAINS pada umumnya terutama menghambat enzim siklooksigenase sehingga sintesa prostaglandin dihambat. Pasien diminta meminum obatnya begitu serangan migrain terasa. Dosis obat harus adekuat baik secara obat tunggal atau kombinasi. Apabila satu OAINS tidak efektif dapat dicoba OAINS yang lain. Efek samping pemberian OAINS perlu dipahami untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Pada wanita hamil hindari pemberian OAINS setelah minggu ke 32 kehamilan. Pada migrain anak dapat diberikan asetaminofen atau ibuprofen. Analgesik spesifik Yang termasuk analgesik spesifik yang sering digunakan adalah ergotamin, dihidroergotamin (DHE) dan golongan triptan yang merupakan agonis selektif reseptor serotonin pada 5-HT1, terutama mengaktivasi reseptor 5HT I B / 1 D. Di
samping itu ergotamin dan DHE juga berikatan dengan reseptor 5- HT2, α1dan α 2- nonadrenergik dan dopamin. Analgesik spesifik dapat diberikan pada migrain dengan nyeri sedang sampai berat. Pertimbangan harga kadang menjadi penghambat dipakainya analgesia spesifik ini, walaupun golongan ini merupakan pilihan sebagai antimigren. Ergot lebih murah dibanding golongan triptan tetapi efek sampingnya lebih besar. Penyebab lain yang menjadi penghambat adalah preparat ini di Indonesia hanya tersedia dalam bentuk oral dan dari golongan triptan hanya ada sumatriptan. Ergotamin dan DHE diberikan pada migrain sedang sampai berat apabila analgesia nonspesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Dosis dan cara pemberian ergotamin dan DHE harus diperhatikan. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin selain sebagai analgesik pula. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler, kardiovaskuler dan penyakit pembuluh perifer (hatihati pada pasien > 40 tahun) serta gagal ginjal, gagal hati dan sepsis. Efek samping yang mungkin timbul antara lain mual, dizziness, parestesia, kramp abdominal. Ergotamin biasanya diberikan pada episode serangan tunggal. Dosis dibatasi tidak melebihi 10 mg/minggu. Sumatriptan dapat meredakan nyeri, mual, fotofobia dan fonofobia sehingga memperbaiki disabilitas pasien. Diberikan pada migrain berat atau pasien yang tidak memberikan respon dengan analgesia nonspesifik dengan atau tanpa kombinasi. Dosis awal sumatriptan adalah 50 mg dengan dosis maksimal dalam 24 jam 200 mg. Kontra indikasi antara lain adalah pasien, yang berisiko penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, hipertensi yang tidak terkontrol, migrain tipe basiler. Efek samping berupa dizziness, heaviness, mengantuk, nyeri dada non kardial, disforia. Golongan triptan generasi kedua (zolmitriptan, eletriptan, naratriptan, rizatriptan) yang tidak ada di Indonesia sebenarnya mempunyai respons yang lebih baik, rekurensi nyeri kepala yang lebih rendah dan lebih dapat ditoleransi. Nama obat CaraPemberian NNT (95% Cl) :
Sumatriptan 6 mg SC
Rizatriptan 10 mg oral
Eletriptan 80 mg oral
Zolmitriptan 5 mg oral
Eletriptan 40 mg oral
Sumatriptan 20 mg intranasal
Sumatriptan 100mg oral
Rizatriptan 2,5 mg oral
Zolmitriptan 2,5 mg oral
Sumatriptan 50 mg oral
Naratriptan 2,5 mg oral
Eletriptan 20 mg oral
b. Terapi preventif Terapi preventif harus selalu diminum tanpa melihat adanya serangan atau tidak. Pengobatan dapat diberikan dalam jangka waktu episodik, jangka pendek (subakut) atau jangka panjang (kronis). Terapi episodik diberikan apabila faktor pencetus nyeri kepala dikenal dengan baik sehingga dapat diberikan analgesia sebelumnya. Terapi preventif jangka pendek berguna apabila pasien akan terkena faktor risiko yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu seperti pada migrain menstrual. Terapi preventif kronis akan diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung respons pasien. Biasanya diambil patokan minimal dua sampai tiga bulan.
BAB III PENUTUP 1. KESIMPULAN
1. Migraine adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-72 jam. Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang atau berat, bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti dengan nausea dan/atau fotofobia dan fonofobia. Migraine secara umum dibagi menjadi 2 yaitu migraine dengan aura dan tanpa aura. 2. Penatalaksaan migrain secara garis besar dibagi atas:
Mengurangi faktor resiko.
Terapi farmakologi.
Terapi nonfarmakologi.
Terapi farmako dibagi atas dua kelompok yaitu terapi abortif (terapi akut) dan terapi preventif (terapi pencegahan). Walaupun terapi farmako merupakan terapi utama migren, terapi nonfarmako tidak bisa dilupakan. 2. SARAN
1. Sebaiknya mahasiswa untuk memahami materi terlebih dahulu sebelum kegiatan tutorial. 2. Sebaiknya tutor mendorong mahasiswa untuk lebih berfikir kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius FK UI. Aru W. Sudoyo, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing. Bendtsen L. Central sensitization in tension type headache-possible pathophysiological mechanisms. Cephalalgia 2000;20:486-508 Edvinsson L. Sensory nerves in man and their role in primary headaches. Cephalalgia 2001;21:761-764 Glaser, John A. et all. 2001. Cervical Spinal Cord Compression and the Hoffman Sign. The Lowa Orthopaedic Journal. 21 : 49-52. http://www.healthcentral.com/multiple-sclerosis/c/19065/129802/reflex (14 Desember 2012) http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29669/4/Chapter%20II.pdf (diakses 16 Desember 2012) Mardjono, Mahar & Sidharta, Priguna. 1997. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat. Russel MB, Olesen J. 1995. Increased Familial Risk and Evidence of Genetic Factor in Migraine. BMJ. 311: 541-544. Sjahrir H, Nasution D, Rambe H. Prevalensi nyeri kepala paroksismal pada mahasiswa FK.USU Medan. dibacakan di Biennieal Meeting PNPNCh, Surabaya 1978