Budaya Politik Jawa Salah satu kelompok etnis yang besar di pulau Indonesia adalah etnis Jawa, yang mendiami bagian timur dan tengah dari kepulauan Jawa dan mendekati setengah dari jumlah total populasi di Indonesia. Dan hal inilah yang menyebabkan terciptanya pola budaya yang dominan, yang berasal dari kelompok Etnis yang dominan, yaitu etnis Jawa. Etnis ini sangat mewarn mewarnai ai sikap, sikap, perila perilaku ku dan orient orientasi asi politik politik pemerin pemerintah tah.. Dalam Dalam politik politik,, hal ini dapat dapat menyebabkan perpecahan antar Etnis Jawa dan Etnis lain. asyarakat Jawa pada umumnya adalah masyarakat yang hierarkis. Strati!ikasi sosial tidak berdasarkan atas atribut sosial yang bersi!at materialistik, namun lebih kepada akses pada kekuasaan. Sehingga terjadi kesenjangan politik maupun sosial antara golongan pemegang kekuasaan, yang biasa disebut kalangan priyayi kalangan priyayi dan golongan masyarakat yang secara kedudukan lebih rendah.golongan Priyayi rendah.golongan Priyayi terdiri dari kalangan bangsawan maupun keluarga dan keturunan raja"raja Jawa. Dalam perkembangan agama di masyarakat Jawa, islam merupakan salah satu agama yang memiliki pengikut terbesar di Dunia, sehingga menyebabkan Indonesia menjadi negara uslim terbesar. Baik secara budaya maupun politik. #al ini menyebabkan kelompok politik di Jawa ter terbagi menjadi adi dua, yaitu golongan musli slim yang sale aleh yang biasa disebut santri disebut santri dan dan abangan yang merupakan perpaduan dari budaya Islam dan budaya Jawa. Dan keduanya secara politis memiliki posisi yang sama penting di mata masyarakat Jawa. Dalam perkembanganny perkembangannyaa perbedaan perbedaan gagasan gagasan dalam struktur sosial yang lebih lanjut meruncing dalam dikotomi budaya. $aum elit politik abangan harus abangan harus menjadi golongan yang paling sadar atau berpikiran hierarki. $ekuatan priyayi diwakili oleh para bangsawan, nilai" nilai nilai yang yang dian dianut ut oleh oleh priy priyayi ayi,, bagai bagaima mana napu pun n sanga sangatt muda mudah h di adap adaptas tasii oleh oleh gaya gaya administrasi birokrat dari aturan kolonial dan berlanjut pada gagasan"gagasan dan budaya pemerintah saat ini. $ekuasaan $ekuasaan dalam budaya budaya jawa pada dasarnya dasarnya bersi!at kongkrit, kongkrit, besarannya konstan, sumber sumberny nyaa homoge homogen, n, dan tidak tidak memper mempersoa soalka lkan n legitim legitimasi, asi, dalam dalam hal ini mereka mereka lebih lebih bertumpu pada bagaimana mengakumulasikan kekuasaan bukan melaksanakan kekuasaan. Dan orientasi politik mereka juga cenderung monoton dan hanya berpusat pada pemusatan dan pemeliharaan kekuasaan dan tidak berorientasi pada tujuan dan hakikat dari sebuah kekuasaan, yaitu bagaimana menggunakan kekuasaan untuk mensejahterakan yang dipimpin. %ara memperoleh kekuasaan dalam budaya Jawa kuno yang bersistem monarki cenderung bersi!at dinamisme.mereka masih menggunakan cara seperti bertapa, puasa, meditasi dan kegiatan pengumpulan benda"benda yang bersi!at magic lainnya. &erbukti hingga saat ini kerajaan"kerajaan yang masih berdiri, seperti kraton kasunan dan mangkunegaran yang masih sering mengadakan upacara"upacara bagi benda"benda pusaka kerajaan. 'ahya ahya uha uhaim imin in dala dalam m tuli tulisa sann nnya ya (Per (Perso soal alan an Buda Budaya ya Poli Politi tik k Indo Indone nesi sia) a) mengutarakan tentang sikap"sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan politik di Indonesia. *dapun sikap"sikap itu antara lain+ a. Konse nsep “Hal “Halu us” asyar asyarakat akat Jawa cendru cendrung ng untuk untuk menghi menghinda ndarka rkan n diri diri atau cendru cendrung ng untuk untuk tidak tidak berada pada situasi kon!lik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka juga cendrung selalu mudah tersinggung. %iri"ciri ini berkaitan erat dengan konsep (halus) alusdalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
kata subtle, smooth, re!ined, sensitie, polite dan ciili/ed. $onsep ini telah ditanamkan secara intensi! dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak"kanak. Ia bertujuan membentuk pola (tindak"tanduk yang wajar), yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. enyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, ulgar, coarse, insensitie, impolite dan unciili/ed ora njawa-. 0ilai"nilai semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang (diri) yang dualistis. Sebagai mani!estasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang bertautan, yaitu (malu) dan (segan). 'ang pertama berkonotasi dari perasaan discom!ort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat salah. 'ang kedua, (segan), mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan bersalah. 1asa segan sungkan-. Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada (atasan) atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya dengan baik. Dari tema"tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami mengapa orang Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi karena ia ingin selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana batinnya sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan keterusterangan- sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. 2ntuk itu seorang lawan bicara counterpartmesti memiliki sensitiitas tertentu karena ketiadaan sensitiitas akan sering mengakibatkan suatu hasil yang jauh dari yang dimaksudkan. b. Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap Sikap ini merupakan re!leksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. $ewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak akan selalu mulai melakukan manu!er. Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain yang selalu membutuhkannya. $arena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain. $arakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan dan tingkah laku akan mengakibatkan re siko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih, ketidaktulusan dan penuh emosi. Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang berwibawa tidak perlu berarti orang yang akti! atau orang yang memecahkan berbagai persoalan rutin sehari"hari atau orang orang yang terlibat dalam pembuatan keputusan sehari" hari, bukan a man o! action. 3rang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan kepatuhan pada orang lain. Bertalian dengan pola ini, terdapat suatu kecendrungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol daripada subtansi dan menghargai status daripada !ungsi seseorang. 4etak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik dalam kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan sumber kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang kekuasaan itu dirasakan juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati kekayaan itu, maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada di sekelilingnya. #al yang demikian berlaku pula
pada sumber"sumber status yang lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis membawa kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi"bagikan, tidak dinikmati bersama"sama. $ekayaan seperti akan bersi!at destrukti!, sebab dilandasi pamrih. c. Konsep Kebersamaan Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek"aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek"aspek yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang. Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak yang secara intrinsik mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut menikmatinya. $arena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut cendrung ingin membagi kewajiban itu pada orang lain. Dengan demikian, takkala suatu pihak dituntut untuk mempertanggungjawabkan kewajibannya, maka secara tidak begitu sadar ia seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama"sama memikul tanggung jawab itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama"sama mengemban tanggung jawab. Implikasi selanjutnya ialah adanya kecendrungan bahwa takkala diperingatkan dikritik- agar bertanggung jawab, ia cendrung mengabaikan peringatan kritik- tersebut sebab orang lain atau anggota masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai pertanggunjawaban, padahal mereka telah ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian jauh si!at pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik (tidak ambil pusing). Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan kontradikti!, yakni, pada satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta bertindak tidak terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap (tidak ambil pusing) tebal muka- terhadap kritik yang langsung sekalipun serta bersikap (menolak) secara terus terang. &erdapat suatu kecendrungan yang amat kuat bahwa dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecendrungan sosio"kultural ini memperkental sistem patron"klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan"keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para (orang bijak) tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tani tradisional yang bersi!at sentralistik uhaimin, 'ahya5 67"68-