Rasa Malu
Bagaimana "dinamika psikologis" wanita/pria yang mengalami body shame yang tinggi
Pertanyaan mendasar: Kenapa manusia (orang dewasa) sangat memperhatikan apa yang dipersepsikan orang lain tentang dirinya?
Rasa malu adalah pengalaman yang dialami individu ketika kekurangan atau kegagalannya dipandang sebagai sesuatu yang diamati dan dilihat orang lain (Dolezal, 2015). Rasa malu merupakan pengalaman emosi yang dialami individu ketika individu tersebut merasa bahwa yang dilakukannya tidak sesuai dengan yang diharapkan diri sendiri maupun lingkungan dan individu tersebut menganggap bahwa orang lain mengetahui keadaan itu. Rasa malu ini berkembang dan berfungsi bukan hanya sebagai emosi melainkan berupa penilaian diri yang dapat muncul karena ada ketidakpuasan atas apa yang dimiliki dalam individu.
Dewasa ini, masyarakat banyak dihadapkan pada iklan kecantikan yang menunjukkan bentuk tubuh ideal yang kurus, kulit putih, rambut lurus dan wajah yang cantik untuk wanita. Sedangkan bentuk tubuh ideal yang dibentuk pada pria memiliki otot, tinggi, ganteng dan berkulit putih. Paparan iklan ini membuat tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengetujui iklan yang ditampilkan tersebut. Kondisi ini memicu banyak masyarakat yang tidak puas dengan tubuhnya dan bagi sebagian orang ini dapat memicu rasa malu pada tubuh.
Malu pada tubuh (Body shame) merupakan fenomena yang sedang sangat banyak dialami oleh manusia saat ini. Fenomena ini bukan fenomena yang baru dialami di dunia. Sejak dulu dan fenomena ini sudah banyak dialami oleh masyarakat di belahan bumi barat (Dolezal, 2015). Saat ini dengan perkembangan teknologi yang menyebabkan semua informasi semakin mudah diakses. Kondisi ini menyebabkan manusia semakin mudah dipengaruhi oleh iklan yang beredar yang salah satunya membahas tentang penilaian tubuh ideal yang berlaku di masyarakat. Penilaian tubuh yang ideal ini menyebabkan banyak yang mengalami body shame.
Dolezal (2015) mengatakan bahwa rasa malu juga berfungsi sebagai sebuah emosi penilaian diri (self-assesment) yang menyebabkan individu merasa cemas akan bagaimana dia dinilai oleh orang lain. Hal ini secara tidak disengaja membuat rasa malu berhubungan dengan tubuh dan bagaimana malu itu dapat terlihat (visibility). Ketika malu, individu harus bisa menganggap dirinya sebagai obyek dari persepsi dan pemahaman orang lain ataupun dirinya. Walaupun malu merupakan pengalaman yang berfokus pada diri sendiri dan tidak terlalu membutuhkan kehadiran orang lain, malu memang emosi sosial dan memiliki dimensi sosial yang tidak dapat ditolak. Selain itu, rasa malu bukan hanya emosi sosial, rasa malu juga memiliki "inter-corporeality" (sebagai sesuatu yang berkaitan dengan fisik). Malu dapat muncul ketika ada interaksi dengan tubuh (Dolezal, 2015).
Individu dapat merasa malu terhadap suatu perilaku, suatu kepribadian, aksi, pikiran, emosi, bahkan pada suatu situasi atau kondisi (Dolezal, 2015). Sama seperti pengalaman afektif lain, malu terjadi pada tubuh. Kondisi ini menyebabkan rasa malu juga dapat muncul ketika individu merasa tidak puas atau malu pada tubuhnya dan hal ini disebut sebagai malu pada tubuh (Body shame). Malu pada tubuh merupakan suatu kekuatan dan potensi yang khusus dari malu (hal 6 bab 1 dolezal). Hal ini terjadi karena bukan hanya bagian tubuh kita yang diamati orang lain tetapi tubuh kita juga sebagai tempat kepribadian berkembang yang menyebabkan adanya kemungkinan pengalaman subjektif yang bermakna terjadi. Malu pada tubuh merupakan perasaan malu akan bentuk (akan salah satu bagian) tubuh ketika penilaian orang lain dan penilaian diri sendiri tidak sesuai dengan diri ideal yang diharapkan individu (Nol & Frederickson, 1998). Malu pada tubuh lebih sering dialami oleh wanita. Hal ini terjadi karena wanita lebih mudah "menginternalisasi" penilaian objektif pengamat dibandingkan laki-laki (Knauss & Paxton, 2008). Penting tetapi tempatnya tidak disitu.
Saat ini ada penelitian yang mengatakan bahwa pria juga mengalami malu pada tubuh. Pandangan yang dimiliki tiap individu mengenai malu pada tubuh dipengaruhi oleh bagaimana individu tersebut dan budaya sekitarnya memberikan pelajaran untuk individu tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di US, Australia dan Inggris banyak penelitian tentang ketidakpuasan tubuh yang terjadi pada anak remaja. Penelitian tentang kesehatan remaja Swiss menunjukkan bahwa ketidakpuasan akan tubuh merupakan masalah utama bagi remaja (Knauss, Paxton, Alsaker, 2008). Dewasa ini, peneliti menemukan semakin banyak individu yang melakukan berbagai usaha karena merasa bentuk tubuhnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh dirinya maupun lingkungannya. Berbagai produk, usaha dan latihan dapat dilakukan untuk mencapai berat badan atau tubuh yang ideal menurut diri sendiri dan orang lain.
Data yang diperoleh dari sebuah survei majalah BLISS yang ditulis di www.dailymail.co.uk mengatakan bahwa terdapat 90% remaja yang tidak bahagia dengan bentuk tubuhnya. Hanya 8% dari 2000 gadis remaja yang menjawab angket yang melaporkan bahwa mereka bahagia dengan penampilan mereka sedangkan 87% menyatakan tidak bahagia. Selain itu, hanya 19% yang memang mengalami kelebihan berat badan, 67% berpikir bahwa mereka perlu menurunkan berat badan, serta 64% sedang menjalani diet (http://www.dailymail.co.uk/news/article-205285/90-teens-unhappy-body-shape.html#ixzz4CHovce5o diunduh 14 Juni 2016). Kondisi ini semakin menguat karena media yang menampilkan iklan. Iklan yang disuguhkan semakin sering mengangkat tubuh yang dianggap ideal sehingga menyebabkan individu yang mengonsumsinya terpengaruh. Bukan hanya melalui iklan yang semakin ramai seperti sekarang, dunia memang memiliki anggapan bahwa ada bentuk tubuh yang dianggap ideal dan ada yang tidak ideal. Budaya ini sudah lama dipercayai oleh banyak manusia di belahan dunia (Dolezal, 2015).
Penilaian yang dilakukan individu membuat individu memiliki persepsi tertentu terhadap dirinya. Persepsi ini akan berkembang dan menjadi persepsi diri bagi individu. Bem (1967) menuliskan bahwa persepsi diri merupakan kemampuan manusia dalam memberikan respon yang berbeda terhadap perilaku sendiri yang merupakan hasil dari interaksi sosial (Mead, 1934; Ryle, 1949; Skinner, 1957). Persepsi diri seperti apa yang muncul pada individu yang mengalami malu tubuh (body shame) sehingga perlu digali.
Penelitian yang dilakukan oleh Sanchez, Good, Kwang, dan Saltzman (2008) mengatakan bahwa malu pada tubuh dapat juga meningkat ketika individu menjalani hubungan romantis dengan orang lain. Ketika individu melakukan relasi romantis maka akan ada penilaian terhadap fisik pasangannya dan hal ini dapat membuat individu itu lebih memperhatikan soal penampilan sehingga dapat meningkatkan kemungkinan malu pada tubuh baik pada pria maupun wanita (Sanchez & Kwang, 2007). Dalam Dolezal (2015) wanita melakukan pengecekan yang lebih "kompulsif" terhadap penampilannya di depan cermin dan lebih khawatir akan busana yang digunakan, tata rias wajah serta penampilan ketika terlibat sebuah proyek. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kecemasan terhadap tubuh. Malu pada tubuh yang terjadi menyebabkan individu rentan pada gangguan dismorfik tubuh (Body Dismorphic Disorder/BDD).
Individu yang memiliki hubungan romantis pada dasarnya memiliki ketertarikan yang sama dengan pasangannya khususnya dalam hal penampilan (appearance). Kesamaan ketertarikan ini menyebabkan meningkatnya rasa malu pada tubuh karena individu tersebut dituntut untuk lebih sering mengkritisi penampilannya. Selain itu, dengan adanya relasi romantis menyebabkan individu menganggap bahwa tampilan tubuh dapat berpengaruh untuk menemukan pasangan. Penelitian ini juga mengatakan bahwa tuntutan untuk memiliki pasangan merupakan mekanisme yang mengarahkan bahwa kemungkinan relasi romantis dapat memunculkan malu pada tubuh. yang menyebabkan gangguan makan sebagai efek dari tentang Rejection sensitivity.
Dalam penelitian Noll & Fredrickson (1998), body shame merupakan mediator antara self-objectification dengan gangguan makan. Penelitian ini dilaksanakan pada dua kelompok mahasiswa wanita. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa body shame merupakan mediator antara self-objectification dan gangguan makan. Body shame dihasilkan oleh self-objectification. Disamping itu, body shame memiliki dampak yang signifikan terhadap gangguan makan. Body shame yang dialami individu menyebabkan mereka melakukan hal yang dapat mengakibatkan mereka mengalami gangguan makan . Hal ini terjadi karena ketika individu malu pada tubuhnya, mereka akan melakukan suatu tindakan yang diperkirakan dapat mengurangi sesuatu yang memalukan dalam tubuhnya. Salah satu cara untuk mengurangi malu individu melakukan pengaturan makan atau diet yang dianggaap dapat mencapai tubuh ideal yang diinginkan. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Choma & Hosker (2009) menemukan bahwa individu yang memiliki trait self-objectification akan menyebabkan individu itu mengalami subjective well-being yang rendah. Subjective well-being merupakan penilaian individu atas pencapaiannya dalam hidupnya. Maka diperlukan bagaimana penilaian individu tentang tubuhnya setelah individu melakukan usaha untuk mengurasai rasa malu terhadap tubuhnya.
Kondisi malu pada tubuh menyebabkan peneliti ingin mengetahui bagaimana dinamika psikologis malu pada tubuh berkembang dan dilakukan. Hal-hal apa yang memang menyebabkan malu pada tubuh itu berkembang selain faktor-faktor yang sudah ditemukan dalam penelitian sebelumnya.
Berdasarkan penelitian diatas, maka penelitian tentang body shame penting dilakukan agar individu maupun masyarakat menyadari dampak negatif body shame jika terus berkembang dalam diri seorang individu. Individu yang memiliki body shame yang tinggi dapat menimbulkan gangguan makan pada individu yang mengalaminya ( Noll & Fredrickson, 1998).
Subjek penelitian adalah wanita dewasa awal. Alasan pemilihan subjek dikarenakan 90% wanita merasa malu pada tubuhnya (Dailymail.co.uk) sedangkan 34% pria mengatakan bahwa tidak puas dengan bentuk tubuhnya (Gallivan, 2014).
Rumusan masalah: Bagaimana dinamika psikologis wanita yang mengalami malu pada tubuh yang telah melakukan usaha mengurangi malu pada tubuhnya dan apa dampaknya bagi wanita kemudian?
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dinamika psikologis wanita yang mengalami malu pada tubuh
Seberapa dalam body shame menyebabkan eating disorder pada individu yang mengalaminya,
Kok bisa ada ornag yang tidak malu dan ada yang malu pada tubuh walau dia sadar bahwa tubuhnya tidak sesuai dengan standar tubuh ideal menurut budaya yang berlaku.
Bagaimana orang Indonesia memilih melakukan body shame, bagaimana persepsinya terhadap diri, bagaimana dia beradaptasi sehingga menganggap bahwa tubuhnya tidak sesuai dengan harapan orang lain.
Trus kalau nanti udah dapat data tentang bagaimana dia malu pada tubuhnya terus selanjutnya apa kontribusinya? Apa manfaat penelitianmu ini?
Pertanyaan penelitian:
Bagaimana Body shame itu bisa dilakukan oleh individu dan bagaimana dampak pada perilaku yang dilakukan individu untuk mengatasi body shamenya?
Pertanyaan:
Body shame berhubungan dengan ketidaksadaran. Teori sudah menegaskan dan penelitian suda mendukung bahwa wanita sering kurang sadar dibandingkan pria untuk "their internal body sensation".
Theorists have asserted, and research has supported,
that women are often less aware than men are
of their internal bodily sensations (e.g., Blascovich
et al., 1992; Garner, 1991; Katkin, 1985; Lerner,
1993). Dalam jurnal Objectification Theory as It Relates to Disordered Eating Among College Women (Tracy L. Tylka1,3 and Melanie S. Hill2)
Karena budaya yang sudah mengakar tentang "wanita lebih diwajibkan" untuk merasa malu pada tubuh kadang wanita tidak menyadari bahwa mereka sudah mengalami malu pada tubuh. (Dolezal, 2015).
Self-objectification terkait dengan ketidakpuasan pada tubuh dan gangguan makan. Dan lebih jauh lagi self-objectification paling tidak akan sedikit memberi dampak untuk mengantarai internalisasi akan tubuh ideal yang kurus dan ketidakpuasan tubuh.
Maka, self-objectification dan thin-ideal internalization bisa memiliki hubungan yang bidirectional satu sama lain.
Aspek yang membentuk body shame: self-objectification yang dianggap satu konstruk dengan self-survaillance, self-perception, budaya yang berlaku, media.
Self-objectification
Self-objectification diartikan sebagai penilaian terhadap tubuh sendiri melebihi perspektif orang ketiga, berfokus pada mengamati bagian tubuh (misal bagaimanakah aku dilihat orang lain), melebihi persfektif orang pertama yang fokus pada keunikan (privileged) atau tidak terlalu mengamati tentang bagian tubuh (misal: apa yang mampu kulakukan? dan bagaimana yang kurasakan?) (Fredrickson & Roberts, 1997).
2
Bentuk dari body shame
Acute Body shame
Berhubungan dengan gerakan tubuh yang dianggap tidak sesuai
Chronic body shame
When women are unable to achieve their desired look via dieting, up to 40% would be willing to have plastic surgery.
Why are women sold these destructive beauty images? Naomi Wolf says...
"A cultural fixation on female thinness is not an obsession about female beauty but an obsession about female obedience." - The Beauty Myth, Naomi Wolf (sumber: http://www.huffingtonpost.com/dr-felicia-clark/body-acceptance-with-an-a_b_10232444.html )
"Why does anyone have to be 'other'?" asked Weingarten, the fashion expert. "As a culture and as a society, it will never go away fully, but ... we should try not to be judgmental." (http://edition.cnn.com/2016/04/15/health/fat-shaming-feat/ )
90% of teens unhappy with body shape
Nine out of 10 British teenage girls are unhappy with their body, with mothers appearing to be responsible for passing on their own insecurities, a new survey shows.
Only 8% of the 2,000 girls questioned for the poll said they were "happy" with their appearance, while 87% said they were "unhappy".
Of those who said they were unhappy, 90% thought their own mother had "an insecure body image", according to the survey for BLISS Magazine.
And while only 19% of the teenage girls questioned were actually overweight, 67% thought they needed to lose weight and 64% of those under 13 had already been on a diet.
The research also disclosed some worrying facts about the lengths young girls would go to in their quest for the body beautiful.
More than a quarter of 14-year-olds (26%) said they had considered having plastic surgery or taking diet pills, rising to 42% among those who were overweight.
And almost a fifth (19%) said they were "already suffering from an eating disorder" such as anorexia or bulimia.
The survey also comes at a time when increasing concerns about an epidemic of childhood obesity continue to dominate the headlines.
Helen Johnston, editor of BLISS Magazine, said: "Female body image obsession has grown year on year since the 60s and it's now reached epidemic proportions, filtering down to young girls.
"Teenage girls look to their mums for guidance only to see them continually worrying about their own body shape and size. Now many girls of 13 and 14 are dieting constantly at an age when their bodies are still developing."
Share
Read more: http://www.dailymail.co.uk/news/article-205285/90-teens-unhappy-body-shape.html#ixzz4CHovce5o
Follow us: @MailOnline on Twitter " DailyMail on Facebook