I
Buletin
HBTKVI
Majalah Internal Himpunan Spesialis Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular Indonesia
Minimal Invasive in Thoracic and Cardiovascular Surgery Menuju Kedokteran Modern Endovaskular Repair bagi seorang ahli bedah TKV? Publikasi Ilmiah Berita Perhimpunan Reportase Kegiatan (BCSS, MUAPVD)
EDISI III
| JANUARI - MARET 2015 Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | I
II
The diode-pumped Nd: YAG laser Limax
R
Benefits in metastatic surgery: Centrally located metastasis
Stapler resection 3 Loss: 173 cm
Distributor: Jl. RS. Fatmawati No. 1E, Jakarta 12430, Indonesia Telp: 021 7507704 - 7707; Fax: 021 7507331
II | BULEIN HBKVI |
[email protected] Edisi III / Januari - Maret 2015 E-mail:
resection 3
Loss: 27 cm
Benefits in metastatic surgery: Multiple metastasis
Laser Precision
Lobesparing laser resection
1
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 1
2 Himpunan Bedah Toraks,Kardiak dan Vaskular Indonesia Struktur Organisasi Penasehat dr. Soerarso, Sp.B, Sp.BTKV Prof. DR. med. dr. Puruhito, Sp.B, Sp.BTKV-K Dewan Pakar Prof. DR. med. dr. Paul Tahalele, Sp.B, Sp.BTKV dr. Tarmizi Hakim Sp.B, Sp.BTKV Dr. dr. Jusuf Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV, MARS Dr. dr. Fathema Djan, Sp.B, Sp.BTKV Ketua Purna dr. Maizul Anwar, Sp.B, Sp.BTKV Ketua Umum dr. Dicky Fakhri, Sp.B, Sp.BTKV Wakil Ketua dr. Rama Nusjirwan, Sp.BTKV Seketaris Jendral dr. Dudy Arman Hanafy, Sp.BTKV, MARS dr. Budi Rahmat, Sp.BTKV Bendahara dr. Dicky Aligheri Wartono, Sp.BTKV
Dewan Komisi Komisi Bedah Jantung Dewasa dr. Arinto Bono Adji, Sp.BTKV, MARS dr. Dody Prabisma Pohan, Sp.BTKV dr. Yan Efrata Sembiring, Sp.B, Sp.BTKV Komisi Bedah Jantung Anak dan Kongenital dr. Pribadi W Busro, Sp.BTKV dr. Salomo Purba, Sp.BTKV dr. Arief Rahman Hakim, Sp.BTKV Komisi Bedah Toraks dr. Agung Prasmono,Sp.B,Sp.BTKV, MARS dr. Agung Wibawanto,Sp.B,Sp.BTKV dr. Darmawan Ismail,Sp.BTKV dr. Susan Hendriarini Mety,Sp.BTKV dr. Saladdin Tjokronegoro, Sp.BTKV
2 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
Komisi Bedah Vaskular dr. Sahal Fatah, Sp.B, Sp.BTKV dr. Heroe Soebroto, Sp.B, Sp.BTKV Dr. dr. Ketut Putu Yase, Sp.B, Sp.BTKV dr. Sugisman, Sp.BTKV Komisi Hukum dan Advokasi Dr. dr. Tri Wahyu Murni, MHKes, Sp.B, Sp.BTKV Kol. dr. Andreas Andri Lensoen, Sp.B, Sp.BTKV dr. Prasetyo Edy, Sp.BTKV Komisi Database dan Statistik dr. Royman Simanjuntak, Sp.BTKV dr. Franky Yesaya Sihaan, Sp.BTKV dr. Haryo Aribowo, Sp.B, Sp.BTKV dr. Muhammad Arman,Sp.BTKV Komisi Etika dan Profesi dr. I Nyoman Semadi, Sp.B, Sp.BTKV dr. Wuryantoro, Sp.B, Sp.BTKV Komisi P2KB Dr.dr. Jusuf Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV, MARS dr. Agung Wibawanto, Sp.B, Sp.BTKV dr. Wuryantoro, Sp.B, Sp.BTKV dr. Sahal Fatah, Sp.B, Sp.BTKV dr. Heroe Subroto, Sp.B, Sp.BTKV dr. Arinto Bono Adji, Sp.BTKV dr. Pribadi W Busro, Sp.BTKV
Komisi Kesejahteraan Anggota, Sosial, dan Asuransi dr. Tri Wisesa Soetisna, Sp.B, Sp.BTKV, MARS dr. Harry Sujatmiko, Sp.B, Sp.BTKV dr. Agustian Sofan, Sp.BTKV Komisi Publikasi dan Majalah Ilmiah dr. Yanto Sandy Tjang, Ph.D, Sp.BTKV dr. Bagus Herlambang, Ph.D, Sp.BTKV
dr. Oky Revianto, Sp.BTKV dr. Amin Tjubandi, Sp.BTKV
Ketua Kolegium BTKV Indonesia dr. Supomo, Sp.B, Sp.BTKV
3 Buletin HBTKVI Majalah Internal Himpunan Spesialis Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular Indonesia
EDITORIAL NOTE
Dewan Editorial Pimpinan Redaksi dr. Yanto Sandy Tjang, Ph.D., Sp.BTKV Redaksi Pelaksana dr. Bagus Herlambang, Ph.D., Sp.BTKV Wakil Redaksi Pelaksana dr. Oky Revianto, Sp.BTKV Ketua Publikasi dan Distribusi dr. Amin Tjubandi, Sp.BTKV Anggota Redaksi dr. Navy Laksmono dr. David Christian dr. Michael Caesario dr. Kelly Christy dr. Christha Tamburian dr. Akmal Alfaritsi dr. Adityo Budiarso dr. Fitriana Nur Rahmawati dr. Marcella Design dan Layout dr. Navy Laksmono
Kami dari redaksi mengucapkan selamat tahun baru bagi para pembaca buletin HBTVKI, k ami hadir kali ini pada edisi ke 3 untuk bulan Januari - Maret 2015. Memasuki tahun yang baru tentunya merupakan sebuah hal rutin yang akan kit a hadapi seiring dengan terus bergeraknya waktu dan berkembangnya z aman dengan kita sebagai bagian di dalamnya. Waktu terus berlari dan semakin lama semakin cepat, bila kita tidak segera bangkit dan ikut mengejar maka akan tertinggal bahkan terkubur oleh perkembangan zaman. Pada edisi kali ini kami mengangkat tema "Minimal Invasive Surgery" dalam bidang bedah toraks, kardiak maupun vaskular. Minimal invasive s urgery dalam bidang bedah TKV sendiri merupakan tindakan operasi yang dapat dikatakan berusia cukup muda dan semakin populer karena prosedur operasi yang hanya memerlukan sayatan kecil dan berpengaruh pada k eadaan pascaoperasi yang umumnya pulih lebih cepat dan risiko komplikasi yang rendah. Di Indonesia sendiri, t indakan operasi minimal invasive ini telah banyak dilakukan sejak bertahun-tahun baik dari tindakan operasi toraks, jantung maupun vaskular Kita dapat melihat beberapa cerita dari para ahli BTKV dari berbagai kota dan di daerah yang telah melakukan operasi minimal invasive, beberapa teknik terkini dari operasi minimal invasive dan juga perkembangan ke depan seputar teknik operasi minimal invasive di Indonesia. Kami berharap edisi ini dapat memberikan informasi mengenai tindakan bedah terbaru dan terkini yang telah dikerjakan di Indonesia, bahwa kita tidak kalah dengan negeri lain dalam perkembangan pelayanan BTKV. "For tomorrow belongs to the people who prepare for it today" mari kita sambut perkembangan zaman dengan memperluas wawasan dan terus berkarya.
Our Warmest Regards, Redaksi Buletin HBTKVI
Cover by Navy Laksmono
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 3
4
Surat untuk Redaksi Kritik dan Saran dari Prof. Dr. med. dr. Puruhito, Sp.B, Sp.BTKV(K)
Berkaitan dengan artikel “Sejarah perkembangan bedah toraks, kardiak dan vaskular di Indonesia” oleh dr. Tarmizi Hakim, Sp.B, Sp.BTKV, beliau memberikan masukan dan klarifikasi beberapa poin dalam artikel tersebut.
Di Surabaya, bedah jantung SUDAH dimulai tahun 1962 oleh dr.Liem Bing Hwie dan dr.Achmad Hidajat Hamami dengan pembedahan PDA (dibantu tim UCLA Dr. McKane), dilanjutkan OPEN HEART SURGERY dengan bantuan "The British Council" . Prof. Puruhito telah mulai melakukan open heart dan bedah toraks kardiovaskular tahun 1973 setelah kembali dari pendidikan tahun 1973. Pada tahun yang sama didirikan
di Makassar oleh dr. Louis Rajawane dan juga sudah dirintis oleh Prof. Dr. Soekarjo, Prof. Iwan Soerya Santosa dan dr. Soerarso di Jakarta. Kami dari redaksi mengucapkan terimakasih sebesarbesarnya atas masukan ini, dan mencoba untuk terus berbenah diri ke depannya. Mohon maaf bila ada kesalahan dari redaksi yang tidak disengaja.
Seksi BedahFakultas Toraks Kardiovaskular sebagai bagian dari Ilmu Bedah Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo. Bedah toraks telah dimulai sejak tahun 1960 – 1970an di beberapa kota di Indonesia. Beberapa diantaranya di Bandung oleh Prof.Koestedjo, Medan oleh dr. Panusunan Nasution,
anda dapat memberikan surat elektronik kepada kami melalui alamat email di
[email protected]
atau dapat melalui kolom kontak kami di ww w.b ul et inhb tkv i.c om
Alamat Korespondensi
Sekretariat Himpunan Bedah
Telp
: 021 – 5684085 ext 1470
Toraks, Kardiak dan Vaskular Indonesia (HBTKVI)
Email
: redaksi@buletinhbtkvicom
Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Gedung Diklat Lantai 5
Website
: http://www.buletinhbtkvi.com
Jl.Letjen S.Parman, Kav 87, Slipi, Jakarta Pusat 11420 INDONESIA
4 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
5 &
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL
Tipe Artikel •
•
Artikel Ilmiah (Penelitian, Laporan Kasus) tidak boleh lebih dari 10 halaman termasuk abstrak, daftar pustaka dan gambar. Artikel Non Ilmiah (Laporan, Berita, dll) tidak boleh lebih dari 6 halaman termasuk gambar dan daftar pustaka.
Bentuk Artikel
Artikel disusun menggunakan bahasa Indonesia dan diketik dalam format Microsoft Word sebagai berikut: • Ukuran kertas A4 • Dibagi dalam 2 kolom dengan jarak antarkolom adalah 0.8 cm • Garis tepi 1 x 1 x 1 x 1 cm • Spasi per huruf 1 • Tipe huruf Times New Roman • Ukuran huruf 12 Bold untuk judul dan 1 0 Reguler untuk bagian lainnya. Penyusunan artikel harus mengikuti urutan seperti ini : 1. Judul dan Penulis 2. Abstrak, kata kunci 3. Isi 4. Penghargaan 5. Daftar Pustaka
•
•
•
Isi artikel meliputi Pendahuluan, Metode, Hasil, Diskusi dan Kesimpulan yang dibuat dalam bentuk sub judul yang berurutan. • Penggunaan footnote tidak dianjurkan, lebih baik digabung ke dalam isi artikel • Penggunaan satuan harus berdasarkan SI (System Internationale Units) • Satuan harus disingkat (contoh mg, mm) sesuai Style Manual for Biological Sciences dan menggunakan system metric • Singkatan dijelaskan pada waktu penyebutan pertama tulis di dalam kurung, dan harus dibatasi pada singkatansingkatan yang lazim. • Sitasi diurutkan sesuai angka untuk setiap daftar pustaka, gambar, ilustrasi, dan tabel. Tabel •
•
Abstrak dan Kata Kunci •
•
Abstrak dibuat dalam dua bahasa yaitu Indonesia dan Inggris Maksimal 250 kata untuk artikel penelitian dan 100 kata untuk laporan kasus
•
Isi
Judu l da n Na ma Penu lis
Judul harus berisi : • Judul artikel (tidak menggunakan singkatan, maksimal 12 kata) • Nama lengkap penulis tanpa gelar akademik • Afiliasi penulis (Nama departemen dan institusi) • Alamat, telepon, fax, dan e-mail penulis utama untuk memudahkan korespondensi
Isi meliputi latar belakang, tujuan penelitian, subyek dan metode penelitian, hasil dan kesimpulan Kata kunci dibatasi 3-10 kata
•
•
Tabel disertakan dalam file Word Judul harus jelas dan menggambarkan isi tabel serta ditulis di atas tabel Singkatan yang digunakan harus ditulis di bawah tabel. Tabel harus diberi sitasi sesuai dengan urutan angka.
Ilustrasi dan Gambar •
•
•
Judul gambar harus diberikan nomer sesuai urutan dan penjelasan yang ringkas. (contoh: Gambar 1. Gambaran Aortic Valve Repair) Gambar memiliki resolusi minimal 300 DPI kecuali ilustrasi tangan (1200 dpi) atau memiliki lebar minimal 1000 pixel dan panjang minimal 1000 pixel. Histogram harus disajikan dalam bentuk yang sederhana, memiliki format 2 dimensi, dan
tanpa latar b elakang. Gambar dimasukan dalam file Word yang dikirim dan juga dikirim dalam bentuk file lepas (JPG/PDF). Untuk tabel, grafik dan gambar kami anjurkan untuk menggunakan Microsoft Powerpoint, Apple Keynote, Adobe Photoshop, Adobe Illustrator, atau Coreldraw.
Penghargaan
Penghargaan pribadi dibatasi pada bantuan dari professional yang berkontribusi dalam pembuatan artikel termasuk di dalamnya bantuan teknis dan finansial. Daftar Pustaka
Daftar pustaka mengikuti sistem vancouver, untuk singkatan nama majalah mohon untuk mengikuti List of Journal Indexed in Index Medicus. Etika
Makalah yang dikirim ke redaksi harus orisinal, Segala sumber yang digunakan wajib dicantumkan dalam kepustakaan. Semua penulis harusmakalah mempunyai kontribusi terhadap tersebut dan memahami data primernya. Semua penulis harus ikut bertanggung jawab atas isi makalah, membacanya terlebih dahulu, dan memberikan persetujuan untuk penerbitan makalah ini. Segala isi dalam artikel yang ditulis adalah tanggung jawab penulis, redaksi tidak bertanggung jawab atas plagiarisme, conflict of interest dan masalah lain yang ditimbulkan oleh isi dari artikel. Redaksi b ertanggung jawab atas kesalahan penulisan, ketidaksesuaian format, dan hal lain yang berhubungan dengan peninjauan artikel. Keputusan Redaksi
Semuadi artikel yang masuk ke email kami
[email protected] akan dilakukan proses review oleh mitra bestari dan bila layak untuk ditampilkan di majalah akan diberi kabar kepada penulis.
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 5
6
Buletin HBTKVI
CONTENTS
|
JANUARI M ARE 2015
PUBLIKASI ILMIAH
10 | ARTIKEL PENELITIAN •
A Retrospective Study o Te Management o Toracic Injury in Surabaya, Indonesia: wenty Eight Years Experiences (1987-2014) | 10
•
Te Role o Mangled Extremity Severity Score (MESS) in Crush Injury o Te Lower Extremities | 15
•
Perbandingan antara EUROScore dan PARSONNE Score sebagai analisis aktor risiko dan mortalitas pada pasien yang menjalani operasi perbaikan katup mitral | 20
28 | LAPORAN KASUS •
Secundum Atrial Septal Deect Closure using Right Anterolateral Minithoracotomy: Harapan Kita National Cardiovascular Centre Minimal Invasive Cardiac Surgery Experience | 28
33 | TINJAUAN PUSTAKA •
Implikasi klinis “ Angiosome “ pada Revaskularisasi Iskemia ungkai Kritis | 33
39 | ARTIKEL TAMBAHAN •
Local effects o high-powered neodymium-doped yttrium aluminium garnet laser systems on the pulmonary parenchyma—an experimental study on the isolated perused pig lung lobe | 39
6 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
7
ARTIKEL LAINNYA
47 | TAJUK UTAMA •
AVI, EVAR/EVAR dalam Genggaman Bedah KV: Kapan & Bagaimana? | 47
•
Prosedur Aortic Valve Replacement : Minimal Invasive atau Sternotomi Konvensional? | 50
54 | BERITA HBTKVI •
Pelantikan Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular Indonesia Periode 2014 - 2017 | 54
•
Rencana Pembangunan Pelayanan Operasi Jantung di 5 kota Indonesia | 56
•
Reportase Kegiatan Management Update on Aortic and Peripheral Vascular Disease | 58
•
Reportase Harapan Kita Basic Cardiac Surgical Skill | 60
•
Kartu Indonesia Sehat: apa dan bagaimana? | 62
•
Upcoming Events | 63
64 | dokumentasi kegiatan
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 7
8
8 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
9
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 9
10
PUBLIKASI ILMIAH Artikel Penelitian Original Article
A RER OSPEC IVE SUDY OF HE M ANAGEME N OF HOR ACIC INJURY IN SURABA YA, IND ONESIA : WENY-EIGH YEARS EXPERIENCES (1987-2014) M Ayudika1, Puruhito1, I Joalsen1,YE S embiring1, H So ebroto1, A Prasmono1, PL ahalele 1 1.
Department of Surgery Division of Cardiothoracic and Vascular Surgery School of Medicine Airlangga University Dr. Soetomo General Hospital Surabaya,Indonesia
D
INTRODUCTION
evelopment o treatment modalities or chest wounds and traumatic chest injuries have been changed during the last decades o century (1). Established drainage methods and standardized anesthesia made thoracotomy a standard procedure and as our experience in the management chest trauma increased, surgical aggression diminished. Drainage ruled primary chest trauma treatment, and where we are now, provided a proper logistic, Medevac system and ALS exists and knowledge in the primary survey has evolved among doctors and residents who are on duty at our emergency department. In general setting, trauma continues to be a major public health problem worldwide as it is asso ci ated with hi gh morbid it y and mortality both in developed and developing countries. rauma also reported to be the leading cause o death, hospitalization, and long-term disabilities in the irst our decades o lie. (1,2) . horacic injury comprises 10-15% o all traumas and directly accounts or approximately 25% o trauma related mortality and is a contributing actor in another 25%. Fortunately over 80% o injuries can be managed non-operatively utilizing tube thoracostomy, appropriate analgesia and aggressive respiratory therapy (1) . In Indonesia where inadequate clinical acilities still exist, conservative method o manage- ment o major clinical problem is oten the only rational approach. (1) . he aim o this review o the history o treatment o chest wounds and traumatic thoracic injuries is to highlight the changes in decision-making attitudes and to describe general eatures correlated to incidence, diagnosis, etiology, sex, age, severity and treatment o the thoracic
10 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
injury patients and the way to manage it. Dogmas as rigid systems o ready-to-use answers represent a crystallized consens us based on broad experience that has become indisputable in the course o time. We pr esent our 26 -year experience in the management and clinical outcome o 3473 thoracic injury cases as a result o blunt and penetrating injuries in our teaching hospital at Surabaya. he management o the patients was essentially aimed at correction o hypovolaemia, tube drainage o pleural collections, and relie o pain by skin ixation with adhesive bandage or intercostal nerve block. We have also beneit the use o a new developed ixation o ractured rib by means o our own-developed “COSAFIX-SHAPP” which is easy, simple and cheap. MATERIAL AND METHOD
3473 thoracic injury patients treated during the period o January 1987- june 2014 (28 year) at the Emergenc y Department o Surger y Dr. Soetomo Hospital Surabaya was evaluated and analyzed. here were 2949 male (84.92%) and 524 emale (15.08%). (Fig.1)
Female, 524
Male, 2949
Fig.1 : Sex Distribution o horacic Injury at Dr. Soetomo eaching Hospital, Surabaya (19872014), (n: 3473)
11 Age distribution shows majority between 2029 years, which is dierent to our previous observation (1) that was between 30-40 years old. (Fig.2)
wa s in ju r y o th e he ar t, ao rta , ot her la rge blo od ve ssel s, mu lt ip le or gans ass oci at ed wi th signii ca nt blood loss and hemopneumothorax. he ollowing ables show the results o our observation s :
1200 20 - 29 Yr
ABLE-2: Causes o chest injuries 1000
CauseofCh e s tI njur y 30 - 39 Yr
800
40 - 49 Yr
600 10 -19 Yr
400
Numb e r
Pe rCe nt
Automobiles/rafficAccident
2536
73.02
Criminality(Stabs,gunshots,etc)
625
17.99
OccupationalAccident
214
HouseAccident(Fallromheight,etc)
6.17
98
2.82
50 - 59 Yr
ABLE-3: ypes o thoracic injury 200
60 - 90 Yr
0 - 9 Yr 0
Fig.2 : Age Distribution o horacic Injury at Dr. Soetomo eaching Hospital , Surabaya (19872012),(n:3473) he injured patients were irst triaged by a general practitioner doctor who was in charge in emergency medicine in the emergency department. Surgical residents urther managed the patients or seconda ry sur vey o ALS. Patients were then reerred to our Department ho- racic and Cardiac and Vascular Surgery, and the thoraci c surgeon in-charge was called upon i needed. Patients wi th poor con diti on or th os e wi th la il ch es t we re admitted to the ICU and mechanical ventilation wa s us ed or re spi ra to r y de ici en cy or th os e wi th severe associated neurotrauma or abdominal trauma. All patients had analgesics, and mucolytic treatment, provided with respiratory physiotherapy wh ich is don e th ro ug h th e ana es th es iol og ist. horaco- tomy indications were: initial chest (1 ) tube output > 800 ml or hourly output > 200 ml or 4 hours, hemopericardium, prolonged air leakage, and radiologic indicators o injury in esoph- agus, trachea and bronchi, heart and great ve ssel s. h e seve ri ty o th e th or aci c in ju r y pat ien ts wa s ob ser ve d to be in cr ea sin g ro m ye ar besid e th e quantity o theaccording trauma. toPatients wereetiology evaluated and compared age, gender, o trauma, thoracic and extra-tho- racic injuries, complications, and mortality. Death due to thoracic injury occurs in one o three time periods: the irst period, the second period, the third per iod. h e eti ol og y o de at h du e to th or aci c inj ur y
Ty p e sofCh e stI njur y
Rib Fracture
Numbe r
Pe rCe nt
1797
45.59
Haemothorax
872
22.12
Pneumothorax
640
16.24
Haemopneumothorax
434
11.01
LungContusion/Haematoma
87
2.21
Fractureoclavicle
51
1.29
Ruptureddiaphragm Fractureosternum Sof-tissueinjury(chestwall) M a i ns y m p t o m
30
0.76
18
0.32
12
0.46
Nu m b e r
P e rC e n t
Chest pain
1532
43.83
Shortnessobreath Haemoptysis
1522 332
43.83 9.58
Externalbl eeding
26
2.76
ABLE-5: Physical signs o thoracic injury P h y si c aslig n s
PeC r e nt
Localisedtenderness
23.18
Severe dyspnea
20.45
Abdominaltenderness Flailchestandparadoxicalmovement
17.75 16.36
Unconsciousnesschestdeormity
13.63
Subcutaneousemphysema State shock o
12.27 8.63
DISCUSSION
he total case or thoracic injuries during the last 28 yea rs cases was 347 3 cases,(n=432,693) which was (Fig.3), onl y 0 .8% total o trauma thatrom werethe admitted at our emergency Department. Compared to our previous observation (1) this number has increased, namely rom 0.5% to 0.8%.. his increasing number though, is mainly caused by the increased number o cause by traic accident, which is due to increasing
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 11
12 number o vehicles.
From our observation in the past 30 years, thoracic injuries have the tendency to aect young males in the pro ductive per iod o lie (20-40 yea rs old), the same to our previous observation (1) although in this recent observation, the a ge is getting younger . Blunt injuries was still the maj ori ty as compa red to penetrating injuries. (Fig.4a, Fig. 4b). Some changes in the behavior o road users has been established by virtue o the enorcement o traic law a nd by the polic e oicers. Road traic accidents are the commonest cause o chest injuries injury ( able-2), and lead to the single cause o death in adults with thoracic injury, and it will still be. Penetrating injuries o the chest due to projectiles and stabs are not so common as compared to those rom Arican countrie s and other observers (3,4,5,6,7)
In our series during the 28 years-experience, the leading cause o the trauma was traic acci- dents (73.02%) ollowed by violence (17.99%). Occupational
12 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
accident and house accident were still the lesser cause o chest injury, which is the same a s in our previous observation (1) . ( able-2, Fig.5, Fig.5b)
Looking at the types o thoracic injury ( able-3, Fig.6), rib ractures (45.49%) was dominated as the type o injury, ollowed by Hemothor ax (22.12%) and Pneumothorax (16.24%), hemopneum othorax ( 11.01%), and were the most common types o injury . Lung contu sion (2.21%) seems to be ew and this could show that the mode o thoracic injury was mostly not a se vere (blunt) trauma. Sot tissue injury accounts in only 12 patients (0.46%) depicts the minor trauma to the chest wall, signed with bruise or subcutaneous hematomas.
Associated injuries were documented in 33.77% o patients (extremities 22.04%, abdomen 7.71%,
13 head 14.05%). Blunt trauma was more requent than pen etrating trauma in our ser ies which is compatib le with other series. he literature sug gest that traic accidents is the lead- ing cause o chest trauma (1,2,3,4,5,6) . A minority o the patients required thoracotomy (4.98%), and tube thoracostomy (41.51%) was suicient to manage the majority o cases. Mean hospi- tal LOS was 7 ± 0.29 days. he overall mortality rate was 2.3%, and morbidity (n = 3.9%). he actors contributing to the high incidence o automobile injuries in our country include relatively short experience in the use o automobiles and motorcycles, and also the low edu- cational status o most classes o road-users, and the poor condition o the roads. Indisciplin- ized drivers also contribu te the increasing number o traic accidents, thereore also the chest injuries. Seat belt is the most eective method or reducing injuries due to traic accidents, we experienced that seat belt enorcement (among another traic laws) has reduced the severity o trauma among traic accident victims. Because o poor transport and poor amb u- lance servic e there is usual ly a long inter val between the accident and the arrival o the victims at the hospital. Most o the injured were brought to the hospital by relatives; the rest were brought to the hospital by the police. hereore some o the very severely injured ail to reach the hospital alive.
were adults. While the indications and value o surgi cal ixation is still debated, we perormed surgical ixation by means o our sel-designed “COSAFIX-SHAPP” (8) in the course the last 10 years, oten time with the pursue o thorac otomy or ano ther ind ica tion.
Rib-fracture : Rib ractures occurred in 45.59% o patients and was the most common type o injury due to blunt trauma and the number o ractured ribs indicates the se verity o trauma and closely correlates with morbidity and mortality . Many studies could prove this correlated or mortality and some indicators o morbidity. he increase o mortality, pneumonia, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), pneumot horax, empyem a, ICU LOS, and hospital LOS happened or each additional rib racture (7) . Children's rib ractures are less common than adults , however when rib racture occurs it indicates se vere trauma in children and associates with high rates o thoracic and extra thoracic injuries. Follow up is essential or all patients who had the diagnosis o rib ractures. Most rib ractures cases
in all cases, and no complication or mortality were documented.
are associated with other thoracic injury mainly hemopneumothorax and lung contusion, + 10% o which diag nosed ater 24 hours o traum a. Unortunately we were not able to pursue the patient’s ollow-up as out-patient basis. Flail chest was diagnosed in (n = 50, 1.44%) a ll o them
modality or the majority (41.51%) o patients, open thoracotom y was perormed in 4.09% o patients. Intrathoracic hemorrhage was the main indication o early thoracotomy, while late thoracotomies were per ormed to evacuate c lotted hem othora x, or to repair diaphragmatic injur ies in most cases .
Diaphragma tic injury : We had 30 (0.76 %) patients diag nos ed with diaphragmatic injury , 64.28% o which due to blunt injury were mainly caused by Road raic Accidents , and 92.8% o diaphragmatic injuries due to thoracoabdominal wounds where the associated injuries dictates the surgical approach or repair (in our series most diaphragmatic injuries were repaired through laparotom y). It is not rare to miss a diaphragm injury since non-invasive diagnostic measures have little value to diag nose non-complicated diaphragmatic injury , whi le late d iagnosis has signiica nt mor bidity and mortality. horacoabdominal wounds associated mostly with diaphra gma tic injuries. Tracheo-bronchial i njury : racheo-bronchial injuries reported in 0.2% o traum a, most o these cases die beore arriving at our hospital. racheobronchial injuries were documented in 7 patients (0.24%) patients in our series, whereas bronchial injuries (4 cases) were due to hig h velocity blunt trau ma. he surgica l repair was successul
Heart injury : Most victims o heart injuries died at the scene o accident, but patients who arrive alive at our hospital can be succes ully treated, Our results on penetrating cardiac injuries (9) were comparable to other series where most cases are caused by violence using sharp weapons or less requently irearms, the victims are mostly males under 40 years, most injuries occurred in one chamber more requently in right ventr icle, primary repair can be used in most cases without cardiopulmonary bypass, mortality rate depends mainly on the nature o the injury and the hemodynamic status upon arrival (9,10.11) . Aspects o treament modalities : ube thoracostomy was the main treatment
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 13
14 he mortality rate (2.3%) in this study may be interpret ed by h igh pre-hospital mortality rate, other studies are needed to estimate the real mortality rate ater thoracic injury in Surabaya. We did not include pre -ho spi tal or early hospital m ortal iti es be cause o lack o data, also we did not analyze pre-hospital transportat ion times. he predictors o mortality were; RAs, hemodynamic status upon arrival, GC S upon arrival, neurotrauma, ICU admission, ventilator use, and complication o therapy. he predictors o
which deg ree violence c ontributes to thorac ic injury in Surabaya. he etiological pattern o chest trauma var ies worldwide with many environm enta l and sociopolitical actors. he number o ractured ribs can be used as simple indicator o the severity o trauma. And we believe that signiicant neurotr auma, traic accidents, hemodynamic status and GCS upon arrival, I CU admission, ventilator use, and complication o therapy are predictors o dismal prognosis. Road traic accidents remain the cause o most chest
pro longed hospi tal LOS were; blunt trauma , number o ractured ribs, associated extra-tho- racic injuries, and complications o therapy (12, 13) . he management o thoracic injuries in terms o surgical modalities, showed that thoracotomy is, however, indicated or controlling severe intrathoracic haemorrhage, relieving cardiac tamponade, repair o traumatic diaphragmatic hernia, repair o ruptured bronchus or oesophagus, and evacuation o residual or persistent haemothorax. But due to the act that as experience increases in the management o penetrat ing chest trauma, the number o thoracotomies progressively decreases. With the de velopment o our new “COSAFIX-SHAPP” ® (9) surgical reduction or ixation o rib ractures was perormed more than beore. his has b een cut the number o thoracic injuries which need ventila tor support, as what has (10) been in the last 2 decades beore. Associated extrathoracic injuries, especially limb ractures (one among three), intra-abdomi- nal viscus (one among ive) , and head injuries (one among nine), is an essential part o the management o chest trauma. It has been stated that associated head injuries tend to convert a mild chest injury into a major respiratory and a irway problem and that the mortality o chest injury, which varies between 4 and 8%, increases to 15-35% i other organ systems are in- volved (11) and about 30% o the deaths were due to associated major extratho racic injuries. Close cooperation between the thoracic surgeon, orthopaedic surgeon, neurosurgeon, and anaesthetist, among others, is advantageous.
traum a in Surabaya. According to our analysis; mortality predictors were: RAs, hemodynamic status upon ar- rival, GCS upon arrival, neurotrauma, ICU admission, ventilator use, and complication o therapy. he predictors o prolonge d hospi tal L OS were: blunt trauma , number o ractured ribs, associated extra-thoracic injuries, and complications o therapy.
CONCLUSION
New traic laws (including seat belt enorcement) reduced incidence and severity o thoracic injury in Surabaya. Violence was the most common cause o thoracic injury ater road traic accidents in this series, this necessitates epidemiologic, sociologi c, economic or multi-institu- tional studies to know to
14 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
REFERENCES 1. Puruhito, The Pattern of Cardiothoraci c Trauma at Surabaya in the last Five Years, A retrospective observation, The Clin Pharm and Therapy, Vol2,No12, Dec 1992 2. WHO.int [Interne t]: Mortality and Global Burden of Disease. Geneva: World Health Organization; c2009-10; [updated 2011 Jun 22; cited 2011 Jul 7]. Available from: http:/ / www. who.int/ entity/ gho/ mortality_burden_disease/ countries/ deaths/ en/ index.html. webcite 3. Molnar TF, Hasse J, Jeyasingh am K, Rendeki R, Changin g dogmas: history of development in treatment modalities of traumatic pneumothorax, hemothorax, and posttraumatic empyema thoracis, Ann ThoracSurg 2004;77:372-378 4. Chijioke H, Anyanwu CH, Swarup AS, Chest trauma in a developing country, Ann R Coll Surg Engl. (I98I) vol. 63:1024. 5. Kale OA, Aina KA. Pattern of injuries in 455 persons killed in road traffic accidents. West African, Journal of Surgery 1976;I: 171-3. 6. Hegarty MM. A conservati ve approach to penetrating injuries of the chest: experience with 131 consecutive cases. Injury 1976;8:539. 7. Oparah SS, Mandal AK. Penetratin g stab wounds of the chest: experience with 200 Consecutive cases. J Trauma 1976;I6: 868-72. 8. Puruhito, Basuki S, Tahalele P, Prasmono A, Kusbijanto H, Development of a new rib fixation method “Costafix SHAPP” , Dept.Surgery, Section Thoracic and Cardvascular Surgery, Registered trade mark, Surabaya, 2002. 9. Puruhito, - Five Years' Experience of Cardiac Injuries in Surabaya Indonesia , Jap Ann Thor Surg, Febr. 1992 10. Al-Koudmani I, Darwish B, Al-Kateb K, and Taifour Y Chest trauma experience over eleven- year period at al-mouassat university teaching hospital-Damascus: a retrospective review of 888 cases, Journal of Cardiothoracic Surgery 2012, 7:35 11. Blair E, Topuzlu C, Deane RS. Major blunt chest trauma. Curr Probl Surg May 1969:2-26. 12. Trinkle JK, Richardson JD, Franz JL. Management of flail chest without mechanical ventilation. Ann Thorac Surg 1975;19: 355-63. 13. Flagel BT, Luchette FA, Reed RL, Esposito TJ, Davis KA, Santaniello JM, Gamelli RL: Half a-dozen ribs: the breakpoint for mortality. Surgery 2005, 138(4):717-725
PUBLIKASI ILMIAH
15
Artikel Penelitian Original Article
Te Role of Mangled Extremity Severity Score (MESS) in Crush Injury of Te Lower Extremities Asali M H, Sembiring YE, S oebroto H, Prasmono A, ahalele P, Puruhito Department o Surgery Division o Cardiothoracic and Vascular Surgery School o Medicine Airlangga University Dr. Soetomo General Hospital Surabaya,Indonesia
INTRODUCTION
S
alvage o a mangled lower limb has a great importance in dierent aspects whe ther or the patient, or the surge on, medicolegally or socia lly. he decision o amputation must be based on complete accurate data. he majority o patients are in the young or middle ag e w hich is the high ly active and most productive stage o lie. Amputation o the lower limb will leave a disabled person who usually has psychological and social problems. Proper early evaluation and treatment are es- sential. Decision making or either amputation or conservative treatm ent o the mangled lower limb is crucial; and limb salvage by conservative treatmen t must be tried whenever possible (1,2) . Many actors require consideration durin g the decision o amputat ion; these include the degree o damage o the extremity and the severity o the overall injury, as well a s the nature o the patient’ s physical, psychological, socia l and economic status including such aspects as age, pre vio us state o health, attitu de, w ishes, rel iability, (3) lie style, occupation and inancial resources . Several limb injury scoring systems have been devised to aid surgeons in the decisi on when to attempt limb salvage or perorm early amputat ion. Published lower-ext remity injury-severity scoring systems include the Mangled Extremity Severity Score (MESS), the Predictive Salvage In- dex (PSI), the Limb Salvag e Index (LSI), the Nerve Injury , Ischaemia, Sot-issue Injury, Skeletal Injury,
Shock, and Age o Patient (NISSSA) Score, and the Hannover Fr acture Scale-97 (H FS-97). MESS was described by Johans en et al. in 199 0. It was srcinally designed as a standard or decid- ing on amputation or severe injuries to the lower limb. It allocates points to our aspects o the in- jury, namely the degree o skeletal or sot tissue injury, ischaemia o the limb, the degree o shock using a systolic blood pressure o 90 mmHg as a cut-o and the age o the patient (4,5) . Several MESS s ystems are available to help make a decision about amputation, but none has 100% sensitivity (4,6) . In Dr. Soetomo eaching Hospital we use the MESS. he purpose o this study was to evaluate the clinical validity and predictive value o MESS to take the proper decision or amputat ion o injured lower limbs.
PATIENTS AND METHODS
From January 2006 to November 2014, 128 patients with lower extrem ity injury were surgi - cally treate d consecutively in Dr. Soetomo eaching Hospital, Surabaya. 107 patients were males and 21 emales with ag es ranging rom 9 to 85 yea rs (mean 3 2.6 yea rs). Primary assessment included evaluation o the vital signs, le vel o consciousness, presence o other major sites o injury or bleeding, medica history taking and through clinical examination
l
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 15
16 o the patients. Evaluation o the injured lower limb by MESS, ba sed on skeletal/sot-tissue damage, limb ischaemia, shock, and age. Investigations is varied according to the patients condition. hese included pla in x-ray or the lower limb to detec t ractures; thi s was don e or all the patients. Other investigations to detect associated lesions; these included abdominal ultrasonography, chest x-ray, bran C, etc. Secondary assessment was done ater investigant ions and included evaluation o the
arteriography was not used
to guide therapy .
Postoperatively, all o the patients were put on a strict protoc ol o anticoagu lant a nd dextran therap y was also given. All data on age, sex, mechanism o injury , anatomic location o arterial in- jury, associated vein, ner ve, and/or tendon injury , bone racture and its location, arterial repair techniques, asciotomy procedure, presence o sot tissue disruption, compartment syndrome de velopment, and clinical signs and symptoms on admission
indings o(according investigations anddata decision o the treatment to the o medical history, clinical examination, investigations and even exploration o the site o injury). reatment either by conserv- ative treatment, primary or secondary amputation. Conservative treatment included repair o vascu- lar injury, skeletal and sot tissue injury . he decision on primary amputation was collectively agreed by the vascular surgeon, orthopaedist, and pla sti c surge on. he cri teria or primar y a mputa- tion include age, limb ischaemia, gangrene, severe opern racture, gross tissue loss, gross contami- nation, presence o shock, and MESS.
were gathered. MESS calcu lated (5) ac- cordance with the sug gesti ons owere Johansen et al in .
Vascula r injuries were manage d in the operating room under general anesthesia. Vascular in- jury was repaired prior to bone, tendon, and nerve
he clinical maniestation s o the studied patients are shown in able II. abl e III s hows the distributio n o patient s or each parameter o MESS.
injury. Systemic heparinization was employed except or common and/or supericial emoral artery injuries with a great dea l o sot tissue and muscle destructi on. Polypropylene sutures were used. Primary repair was preerred by end to end ana sto mosis or end to side anastomosis, but i not possible the contralateral saphenous vein were used or interposition or bypass grat. Repaired vessels were covered by sot tissue to avoid desic- cation and disruption.
otal o theomangled lower less limbs based on clinicalscoring application MESS was than 7, giving the probability o saving the limb or 86 patients; whi le scori ng was 7 or mor e, gi ving the probability o amputation or 42 patients.
RESULTS
128 patients were included in this study. hey were 107 males and 21 emales and their ages range d between 9 and 85 years with mean age o 32.6 years. he causes o injury are shown in a- ble I. he duration inte rval between the onset o injury and admission to hospital ranged bet ween 4 hours and 2 days with a mean o 14.1 hours.
All patients with associated orthopaedic injury underwent reduction o bone racture and im- mobilization by intern al or external ixation. Compartmen t a sciotomy was perormed through an anterolateral and a posteromedial skin incision therapeutically i compartment syndrome (the compression o ner ves , b lood vessels, and muscle inside
reatment included surgica l intervention or arterial injury; this included arterial grat by saphenous vein grat or 94 patients ( 51 o them with bypass grat and 43 by interposition grat), resection o an arterial segment and anastomosis or 18 patients. In 1 5 patients, revascula tization a ile d due to small distal blood vessels and associated extensive sot tissue destruction. Prim ary amputat ion was done or 19 patients. While secondary amputation was done or 15 patient s due to ailure o conservative treatment or 3-17 days. he line o treatment o the
a closed space, compartment, leading to tissue death rom lack o oxygenation as a consequence o the raised pressure within the compartment) developed on admission. Pain on passive extension, paresis, paraesthesia, pallor, and pulsele ssn ess were considered the hallmark indings o compartment syndrome. Because it was technically im- possible, intraoperative
patients are shown in able IV. Based on the clinical examination, by using MESS, the provisional decision was amputat ion or 42 patients. Ater investigations, evaluation, operative exploration and trials o conservative treatment; amputation was done or 34 patients only. More limbs
16 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
17 could be s alvage ater complete proper investigat ions and evaluation.
able III. Distribution o patients according to parameters o MESS P ar amet e r sofs cor i ng
he sensitivity o MESS on decision making or amputation was 71.4% and speciicity o the scoring was 95.3%. Positive predictive value o MESS or amputation was 88.2% and negative pre- dictive value was 87. 2%. hese are shown in able V.
Numberopatients
MVA
Percentage
81
Industrialaccident wound Cut
63.3
39 3
2.3
otal
128
Low energy (stab; simple racture; pistol gunshot wound)
1
7
Medium energy (open or multiple ractures, dislocation)
2
87
High energy (high speed MVA or riffle gunshot wound)
3
34
Very high energy (high speed trauma + gross contamination)
4
0
Pulse reduced or absent but perusion normal
1*
73
Pulseless; paresthesias, diminished capillary refill
2*
41
Limb ischemia
30.5 3.9
5
Fall rom height a
Numb e rof patients
Skeletal/sof-tissue injury
able 1. Causes o injury o the patients (n=128) Causeoinjury
S c or e
100
Cool,paralyzed,insensate,numb
3*
14
Shock SystolicBPalways>90mmHg
Diagram I. Causes of injury of the pa6ents (n = 128) 4%
2% MVA
Cut wound
63%
30 50
Fall from a height
95 1
21
Persistenthypotension
2
12
Age (years)
Industrial accident
31%
0
Hypotensivetransietly
50
< -
05
30
5
1
>
59 21
4
Note: *Score doubled or ischaemia > 6 hours Abbreviation: BP = Blood pressure, MVA = motor vehicle accident able II. Te clinical maniestations o the patients (n=128) Clinicalmaniestations Numberopatients Percentage Sof tissue injury
128 112
87.5
Limb pallor
51
39.8
21
16.4
Limb coolness
14
10.9
Prolonged shock
12
9.4
Loss o sensation
reatment
100
Deormed limb ransient shock
able IV. Lines o treatment o the patients (n=128)
8
6.3
Number o patients
Percentage
112
87.5
rials o vascular repair and revascularization Bypassgrafusingsaphenousvein
51
Interpositiongrafusingsaphenous vein Endtoendanastomosis
39.8
43 18
33.6 14
Primaryamputation
19
14.8
Secondaryamputation
15
11.7
Diagram II. The clinical manifesta3ons of the pa3ents (n = 128) 140
Diagram III. Lines of treatments of the pa3ents ( n = 128)
120
Trials of vascular repair and revasculariza:on
100
7% 80
6% Bypass gra> using saphenous vein
7%
43%
60
Interposi:on gra> using saphenous vein 17%
40
End to end anastomosis
20
20%
Primary amputa:on
0 So* +ssue injury
Deformed limb
Limb pallor
Transient shock
Limb coolness
Prolonged shock
Loss of sensa+on
Secondary amputa:on
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 17
18 able V. Statistical values o ME SS est
Percentage
Sensitivity
71.4
Specificity
95.3
Positivepredictivevalue
88.2
Negativepredictivevalue
87.2
DISCUSSION
Salvage o mangled lower limbs is a crusial
aim or
injured lower limbs especially in young or middle age. he decision making or the treatme nt o severly injured lower limb has surgical, medicolegal , social and psychic importance. Salvage, certainly , is no guarantee o unctionality and emp loyability . Francel et al (7) ound that 50% o patients with a salvaged lower extre mity required an assistive device to walk . Only 28% o patients with salvaged limbs were able to achieve long- term employe ment, compared with 67% o early amputees in the study done by Pederson and Damholt (8) . he decision o amputation must not be taken unless the surgeon is sure that there is no place or conservative treatment. A number o scoring systems have been developed to be prospec- tively useul in predicting amputatio n or the degree o unctional impairment . hey do ocus attention on those actors which mostly correlate with the outcome and which must be a part o the treatme nt decision. Perect accuracy o trauma scoring systems and high speciicity are important to ensure that only a small number o salvageable limbs are incorrectly assigned. Sensitivity is also important to guard against inappropriate delays in amputation when the limb is ultimately not sal- vageable (1,3,9) . In some patiens, the decision may be straight orward i the tissues are crushed or the tissues are not viable and cannot be repaired. In many injuries, the lower limbs have injuries which are se- vere or a ssociated with ischaemia. he irst assessment may give the impression o necessity o amputation; but by proper management, the limb can be salvaged. So, there must be satisactory scoring systems or evaluation and treatment o injured lower limbs. MESS is the most commonly used score or injured lower limbs. he injuries o the lower limbs can be o variable severity; and may include any combinations o sot tissue, skeletal, vascular, ner ve and skin injuries. Vascular injuries
18 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
are very important; and their prompt treatment should be started early unless g angrene su- pervenes and amputation becomes mandatory . Vascula r injuries o the extremities remain a major cause o limb amputat ion, i not treated early and competently (6) . Risk actors or amputat ion include : comminuted open ractures, crush or destructive sot tissue injury, prolon ged ischaemia (more than 6 hours), muscle necrosis, associated major ner ve injury, signiicant wound contaminat ion, old severe co-morbidity. he risk in lower limbage is and higher when compared to the upper limb injuries. A decision to primarily amputate a limb that stands a chance o salvage can have serious complications on the patient’s lie and unc- tionally . Some injuries with high scores may wel l be salva geable by a diligent multid iciplinar y team. In this series, no amputation was perormed in 8 patients with MESS score ≥ 7. We aim to repair all the vascular injuries unless very great tissue damage renders repair impossible, despite a high MESS score. he time o preoperative evaluat ion should be as short as possible to minimize ischaemia time and (10) thus prevent potential necrotic changes . Promp t diagnosis is essential i rapid treatm ent and optimal limb salvage is to be achieved in complex extremities injuries. his to requires index o suspicion o arterial trauma every hi in-gh jured extrem ity. he hard signs o vascula r injury include: active haemorrhage, large expanding or pulsatile haematoma , b ruit or thri ll over the wound, absent palpable pulse distally and distal is- chaemic maniestation s ( pain, pallor, paralysis, paraesthesia and poikilothermy = coolness). he presence o hard signs requires immediate arteriography; while their absence excludes major arteri- al injury with suicient accuracy to allow urther diagnostic workup to be avoided. Because it was technica lly impossible, arteriography was not used to guide therapy. In this study, it was ound that, the primar y d ecision b y M ESS scoring was the decis ion o amputation or 42 (32.8%) o patients. By proper investigations and cmplete evaluation, mputation was don e or 34 (26.5 %) only o the patients. Eight (6.3%) patient s could save amputation with successul limb salvage. MES S score had a sensitivity o 71.4%. Other studies reported sensitivity o MESS 72-98% (4,11,12) . his variation in its sensitivity
19 may be partly attribu ted to large variation in observer’s judgement and experience in assessing the degree o so t tissue damage as well as the extent o ischaemia (13) . Positive predictive value in this study was 88.2% while negative predictive value was 87.2%. Other studies reported positive predictive value as ranged ro m 5 0-100% (3) .
speciicity has b een conirmed in this study.
Among the most diicult challenges in the management o mangled lower extremity is the decision as to whether and when amputation is indicated. he surgeon may use heroic measures
3.
to save the injured limb. Multple operations may be attempted over several years with serial debridements, bony stabilization, so t tissue reconstructio n and one or more bone gra ts. I revasculariza- tion ails, tissue loss is severe, systemic sepsis develops, rhabdomyolysis, hyperkalemia, ARDS, proound neurologic deicits p ersist or other lie-threate ning pro blems secon dar y a mputati on shoul d be per orme d; but i improv ement occurs, lim b salva ge may proceed under continuou s assessment (14,15,16) .
5.
MESS was reported speciic enough to suggest it might be useul in predicting the limb
that
REFERENCES 1. 2.
4.
6. 7.
8. 9. 10. 11.
that should not undergo amputation. So, it is useul as a screening test to support limb salvage pathways (4) . Sensitivity is 100% i all amputated limbs are
12.
at or above treshold; and speciicity is 100% i (4) all salvaged limbs are below treshold. Boose et al in their prospective study ound a s en- sitivity o the MESS to be 46%; this increased to 72% i only the ischaemic lombs were considered. No advantage was noted in the application o the MESS to any o the non-ischaemic limbs.
14.
13.
15. 16.
Russel WL, Sailors DM, White TB. Limbs salvage versus traumatic amputation. A decision based on a seven-part predictive index. Ann Surg. 1991; 213: 473-481. Helfet DL, Howey T, Sanders R, Johansen K. Limb salvge versus amputation. Preliminary results of Mangled Extremity Severity Score. Clin Orthop. 1990; 256: 80-86. Hiatt MD, Farmer JM, Teasdall RD. The decision t o salvage or amputate a severely injured limb. J South Orthop Assoc. 2000; 9: 72-78. Bosse MT, MacKenzie EJ, Kellam JF, Burgess AR, Webb LX, Swiontkowski MF. A prospective eval- uation of the clinical utility of lower extremity injury severity scores. J Bone Joint Surg Ann. 2001; 83: 3-14. Johansen K, Daines M, Hawey T, Helfet D, Hansen ST Jr. Objective criteria accurately predict ampu- tation following lower extremity trauma. J Trauma. 1990; 30: 568-572. Kohli A, Singh G. Management of extremity vascular trauma: Jammu expe rien ce. Asi an Card iovasc Thorac Ann. 20 08; 16: 212-214. Francel TJ, Kolk CAV, Hoopes JE. Microvascular soft tissue transplantation for reconstruction of acute open tibial fractures: timing of coverage and long-term functional results. Plast Reconstr Surg. 1992; 89: 478-487. Pederson P, Damholt V. Rehabilitation after amputation following lower limb fractures. J Trauma.1994; 195-197. Langworthy MJ, Smith JM, Gould M. Treatment of the mangled lower extremity after a terrorist blast injury. Clin Orthop Relat Res. 2004; 88-96. Topal AE , Eren MN, Celik Y. Lower extremity a rterial injuries over a six-year period: outcomes, risk factors, and management. Vascular Health Risk and Management. 2010; 6: 1103-1110. Durham RM, Mistry BM, Mazuski JE. Outcome and utility of scoring systems in the management of mangled extremity. Am J Surg. 1996l 172: 569-573. Rajasekaran S. A score for predicting salvage and outcome in Gustilo type-IIIA and type-IIIB open tibial fracture. J Bone Joint Surg Br. 2006; 88-B: 1351-1360. Hafez HM, Woolgar J, Robbs JV. Lower ext remity ar terial inj ury: Results of 550 cases and review of risk factors associated with limb loss. J Vasc Surg. 2001; 33: 1212-1219. Fagelman MF, Epps HR, Rang M. Mangled extremity severity score in children. J Pediatr Orthop.2002; 22: 182-184. Dillingham T R, Pezzin LE, MacKenzi e EJ. Limb amputation a nd limb deficiency: epidemiology and recent trends in the United States. South Med J. 2002; 95: 875-883. Bosse MT, MacKenzie EJ , Kellam J. An analysis of outcomes of reconstruction on amputation of life- threatening injuries. N Engl J Med. 2002 ; 3 47: 1924 -193 1.
he sensitivity o MESS on decision making or amputation was 71.4% and specicity o the scoring was 95.3%. Positive predictive value o MESS or amputation was 88.2% and negative pre - dicti ve value was 87.2% . With a cooperative multidisciplinary eort with close communica tion be- tween trauma, orthopaedic, vascular and plastic surgeons, the outcome o mangled lower extremity injuries can be optimized. More limbs could be salvaged by complete evaluatio n ater necessar y investigatio ns, continuous surveillance and e ven operative exploration. MESS provides clear guide- lines or the management o these severely traum atised limb. Absolute reliability is vital where one treatment option is amputation, and that
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 19
20
PUBLIKASI ILMIAH Artikel Penelitian Original Article
PERBANDINGAN ANARA EUROSCORE DAN PARSONNE S CORE SEBAGAI ANALISIS FAKOR RISIKO DAN MORALIAS PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI PERBAIKAN KAUP MIRAL DI PUSA PE LAYANAN JANUNG ERPADU RUMAH SAKI DR .CIPO MANGUNKUSU MO AHUN 2010-2012 1
1
1
Gusti Reza Ferdiansyah , Fathema Djan Rahmat , Ismail Dilawar 1. Department of Cardio Toracic and Vascular Surgery, Faculty of Medicine, University of Indonesia – Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. A B ST R AK Tujuan : Penelitian mengenai penggunaan analisis faktor risiko dan mortalita
s pada operasi jantung masih menjadi perdebatan dan merupakan area yang sedang berkembang. Analisis faktor risik o dalam penilaian suatu hasil pembedahan jantung merupakan hal yang tidak dapat di hindari. Ahli bedah dan rumah s akit memerlukan suatu hasil penilaian fak tor risiko terhadap risiko kejadian mortalitas peri operatif agar dapat menentukan keput usan klinis. uj uan penelitian ini adal ah untuk membandingkan Parsonnet score dan European System for Car diac Operative Risk Evaluation (EuroSCOR E) pada pasien yang menjalani perbaikan katup mitral dan memperkirakan faktor-faktor risiko apa saja yang dapat mempengaruhi mortal itas perioperatif. Metode : Dari bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2012, terdapat 96 pasien terpilih yang telah menjalani operasi perbaikan katup mitral mengg unakan mesin jantung paru dan telah dilakuk an analisis faktor risiko berdasarkan Parsonnet score and EuroSCORE . Seluruh f aktor risiko dianalisis dengan analisis deskriptif, tabulasi silang, Pearson Chi Square, dan uji Anova, keduanya juga dianalisis dengan kurva ROC . Hasil : Angka mortalitas r iil sebesar 5,2 %. Berdasarkan Parsonnet score, nilai prediksi mortalita s sebesar 18,26 % sementara pada EuroSCORE nilai prediksi mortalitas sebesar 3,68 %. Dari h asil ROC, nilai EuroSCORE (0,969) lebih tinggi dari Parson net score (0,959) meskipun terlihat perbedaan kedua alat uk ur tersebut tidak berbeda jauh. Hasil keduanya signifik an secara statistik. Nilai prediksi EuroSCORE lebih mendekati angka kematian riil bila dibandingkan Parsonnet score . F aktor pre operatif seperti NYHA class, usia, EF (ejection fraction) , komplikasi , etiologi, EuroSCORE, d an Parsonnet score berpe ngaruh secara signifikan terhadap mortalitas perioperatif pada operasi perbaikan katup mitral. ul dibandingkan dengan Kesimpulan : EuroSCORE lebih ungg Parsonnet score .N ilai prediksi EuroSCOR E lebih mendekati angka kematian riil . EuroSCOR E merupakan alat ukur yang baik dal am analisis faktor risiko dan morta litas pada operasi perbaikan katup mitral. Kata kunci : perbaikan ka tup mitral, mortalitas, analisis faktor risiko
A BS TR AC T
analyzing surgical outcome in cardiac surgery is obviously a developing area. A im :he use of risk stratified mortality studies for Unfortunately, o utcomes research in valve repair surgery has been relatively limited. he risk stratification in the assessment of cardiac surgical results is ine vitable. Surgeons and hospitals need availabilit y of risk assessment result which may influence decisionmaking. Without risk stratification, surgeons and hospitals treating high-risk pati ents will appear to have worse results than others. Our purpose was to compare the performance of risk stratificati on models, Parsonnet and E uropean System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE) in our pati ents undergoing mitral valve repair (MVr ) and predict the risk factors that infl uence inhospital mortality. December 2012, 96 consecutive patients have undergone MVr using Methods : From January 2010 to cardiopulmonary bypass and scored according to Parsonnet score and EuroSCORE algorithm. All risk factors were analyzed by descriptive analy tic, cross tabulation, Pearson Chi Square, and Anova test, both scores analyzed by ROC curve. Results : Overall hospital mortality was 5,2 %. In Parsonnet model, pr edicted mortalit y was 18,26 % while in the EuroSCORE model, predicted mortality was 3,68 %. and after analy zed with ROC curve, EuroSCORE (0,969) is higher than Parsonnet score (0,959) although the significancy bet ween both scoring system ar e slightly different, but it was statistically sig nificant for the Parsonnet score and EuroSCORE . Problems Parsonnet score subjectivity, inclusion many with,mortal overprediction of mortalitwith the y have been highlighted. Preofoperative NYHA class,ofage, ejecitems not associated tion fraction complication, etiologity, and the y, EuroSCORE, and Parsonnet score during mitral valve repair were statistically significant for affecting perioperative mortality risk. l predictor of hospital mortal ity in our patients undergoing MVr Conclusion s :he EuroSCORE is more reasonable overal compared to Parsonnet score. Keywords : Mitral valve repair, mortalit y, risk factors
20 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
21 PENDAHULUAN
S
ampai dengan tahun 2008, diperkirakan sekitar 200 juta operasi besar dilakukan di seluruh dunia setiap tahunnya , atau setara dengan 1 operasi dilakukan pada setiap 25 orang di seluruh dunia 1. Di negara-negara maju, komplikasi yang dilap ork an ter jadi sekitar 3-16 % dengan ang ka mortalitas 0,8-1 % 1,2 .Di negara berkembang, angka mortalitas sekitar 5-10% pada operasi-operasi y ang besar 2 .Operasi j antung merupakan salah satu operasi 1 besar yang banyak dilakukan di seluruh dunia . Angka mortalitas kasar (crude mortality rate) pasca operasi
Deinisi dari mortalitas dapat berupa mortalitas di meja operasi, mortalitas di ICU (intensive care unit), mortalitas 2 minggu pasca operasi, hingga mortalitas 30 hari pasca operasi 1,4 . Mortalitas intra rumah sakit maupun perioperati merupakan indikasi utama dari perorma keb erhasilan suatu operasi jantung di suatu pus at pelayana n, dimana lua ran yang ada diukur dengan aktor-aktor risiko dan dicocokkan dengan kriteria-kriteria yang telah dibuat atau disepakati secara internasional 5,7. Untuk memberikan pemahaman yang standa r, maka dibua tlah ana lisis stratiikasi a ktor risiko atau sistem skor. 5,6
1
diperkirakan sebesar % .Lebih 50.000 pasien menjalan i opera0.5-6 si jantung di Indiadari setiap tahun dan 70% dari operasi jantung yang dikerjakan adalah CABG (coronary artery bypass grat) dan katup 1 Selain CABG, operasi katup jantung adalah suatu prosedur yang komple ks. Salah satu kelainan katup yang banyak ditemukan adalah reg urg ita si katup mitral 3 , yang merupakan kondisi klinis yang umum ditandai adanya aliran darah yang abnormal dari ventrikel kiri kembali ke atrium kiri melewati katup mitral yang inkompeten selama sistol ventrikel 4,14 . Regurgitasi katup mitral pertama kali diidentiikasi oleh Corvisart pada tahun 1808, dan selama 150 tahun leb ih hanya 13,14 ditangani dengan diuretik dan preparat digitalis. Ada 3 teknik pembedahan katup mitral yang saat ini sering digunakan untuk mengoreksi kelainan katup mitral, yaitu perbaikan katup mitral (mitral valve repair / MVr), penggantian katup mitral (mitral valve replacemen t/ MVR) dengan preservasi apparatus katup mitral dan MVR tanpa preservasi apparatus katup mitral 14 . Masing-masing prosedur memiliki kelebihan dan kekurangan, dengan perbedaan indikasi masingmasing. 12,13 ingkat mortalitas pasien yang menjalani operasi MVr di amerika dan eropa di baw ah 5%. Risiko akan bertambah bila pasien datang dalam keadaan lanjut 15,16 .Mortalitas pasien pasca operasi mitral ditentukan oleh beberapa aktor, diantaranya aktor y ang ber kaitan dengan pasien ( usia , jenis kelamin, perokok atau bukan, hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes, obesitas, dan riway at kelu arga), aktor yang berkaitan dengan keadaan klinis dan komorbid ( gangguan pada katup apa saja, raksi ejeksi, kadar kreatinin darah, riwayat PPOK / penyakit paru obstrukti kronis, hipertensi pulmonal, angina, penyakit lain) dan jen is opera si (darurat/elekti, prosedur apa saja yang dikerjakan, prosedur mitra l saja atau diser tai prosedur lain sep erti prosedur pada aor ta atau CABG ). Faktor aktor risiko 16 diatas sangat mempengaruhi luaran pasca operasi.
Analisis stratiikasi risiko / sistem kemampuan untukaktor memprediksi luaranskor dariadalah suatu intervensi/tindakan dengan mengelompokkan pasien berdasarkan derajat keparahan penyakit pasien tersebut 1. Beberapa sistem skor telah dikembangkan di beberapa negara di dunia untuk memprediksi angka mortalitas pasca pembedahan jantung 8,9 . Beberapa diantara sistem skor yang telah dibuat adalah European System or Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE), the Society o horacic Surgeons score, the Parsonnet score, Cleveland Clinic Model, the Bayes model, the Northern New England Score, Euro and Ontario Province Risk (OPR) scores. 8 Dari banyak sistem skor yang digunakan di berbagai Negara, dua diantaranya yang paling banyak dig unakan 16,17 adalah EuroSCORE dan Parsonnet Score , yang akan digunakan dalam penelitian ini. Di Indonesia, p enggunaan sistem skor seperti Parsonnet score dan EuroSCORE belum banyak dig unakan. Salah satu Pusat pelayanan operasi bedah jantung yang ada di Indonesia, yaitu Pusat Pelayanan Jantung erpadu RS. Dr CiptoMangunkusumo (PJ RSCM) Jakarta telah mengadakan operasi bedah jantung dewasa dan anakanak dengan jumlah yang banyak dan memiliki cakupan pasien secar a nasional , dan dengan adanya pengg unaan sistem skor yang baik akan dapat memberikan kontribusi klinis yang kapabel dalam memprediksi luaran pasca operasi jantun g di PJ RSC M (Pelay anan Jantung erpadu) RSCM Jakarta pada khususnya , dan di Indonesia pada umumnya. MEODE PENELIIAN
Penelitian ini merupakan studi potong lintang untuk menganalisis aktor-aktor risiko yang berperan dalam mortalitas pada operasi mitral valve repair dan untuk membandingkan kedua model sistem skor (Parsonnet score dan EuroSCORE ) dalam memprediksi angka mortalitas pada operasi mitral valve repair / MVr di Pelayanan Jantung erpadu (PJ ) RSC M dengan Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 21
22 rancangan penelitian deskripti - retrospek ti. Populasi , Waktu, d an empat Peneliti an Sebagai populasi target pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani mitral valve repair . Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani mitral valve repair di Pelayanan Jantung erpadu RSCM dari bulan Januari 2010-Desember 2012. Cara pengambilan sampel Sampel dipilih dengan cara total population , artinya semua pasien yang menjalani mitral valve repair di Pelayanan Jantung erpadu RSCM dari bulan Januari 2010-Desember 2012 dilihat kembali rekam medis dan laporan operasinya untuk dianalisis aktor aktor risiko dan dibuat prediksi luaran berdasarkan kedua sistem skor dan dibandingkan dengan angka mortalitas riil, serta dilakukan analisis aktor-aktor risiko apa saja yang berpeng aruh terhadap mor talitas . Pen golahan dan Analisis Data Pengolahan data menggunakan SPSS versi 15.0. Hasil dikemukakan dalam bentuk mean dan standard deviasi untuk variabel kontinyu dengan distribusi normal, serta distribusi rekuensi untuk data kategorik. Kemudian dilakukan analisis hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen (luaran). Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen kategorik , dianalisis dengan menggunakan metode statistik chi-square, sedangkan variabel independen numerik menggunakan uji t-test dengan tingkat kemaknaan dicapai bila p kurang dari 0,05 (p<0,05) dan interval kepercayaan 0,95 Conidence Interval (CI) = 95%. eknik analisis data statistik yang digunakan meliputi analisis statistik deskripti, analisis cross tabulasi, uji Pearson Chi quare, serta uji Anova dan COX regression. Untuk menguji sensitivitas alat ukur (EuroSCORE dan Parsonn et Score) digunakan ROC curve.
cukup lengkap disertai dengan laporan perawatan di ICU yang sangat rinci dan akurat sehingga sangat membantu dalam penelitian ini . Gambaran karakteristik data pra bedah Sebagian besar pasien mempu nyai kel as NYHA sedang yang men capai 49% atau terhitung ada 47 pasien kemudian diiku ti oleh NYHA rin gan tercatat ada 37 pasien (39%) ser ta kelas NYHA berat mencap ai 12 pasien (12 %).Pada pen eli tia n ini jumlah pasien laki-la ki dan perempuan cukup proporsiona l dimana k omposis i pasien laki- laki tercatat ada 47 ora ng (49%) dan komposisi perempuan mencapai 49 orang (51%). Hasil analisis diatas menun jukan bahwa sebagian besar pasien mempunyai EF ≥40 % terhitung ada 90 pasien (94%) dan sisanya abel karakteristik data pra bedah
Sebagian besar pasien mempu nyai kel as NYHA sedang yang men capai 49% atau terhitung ada 47 pasien kemudian diiku ti oleh NYHA rin gan tercatat ada 37 pasien (39%) ser ta kelas NYHA berat mencap ai 12 pasien (12 %).Pada pen eli tia n ini jumlah pasien laki-la ki dan perempuan cukup proporsiona l dimana k omposis i pasien laki- laki tercatat ada 47 ora ng (49%) dan komposisi perempuan mencapai 49 orang (51%). Hasil analisis diatas menun jukan bahwa sebagian besar pasien mempunyai EF ≥40 % terhitung ada 90 pasien (94%) dan sisanya ada 6 pasien (6%) yang mempunyai EF < 40%. Gambaran karakteristik data intra bedah
abel 1. karakteristik data pra bedah
HASIL PENELIIAN
Gambaran karakteristik data intra bedah
Dari pengumpulan data melalui register bedah, rekam medis, data dasar, laporan pembedahan dan laporan perawatan di ICU pa da p end erita yang di lakuk an Mitral valve repair/ MVr di Pusat Pelayanan Jantung erp adu RSCM dalam kurun waktu 3 tahun ( Januari 2010
Hasil diatas menunjukan bahwa sebagian besar AOX pasien ber ada dalam kelomp ok AOX ≤10 0 menit yaitu tercata t ada 60 pasien at au (63%) sedangkan sisanya pasien dengan kelomp ok AOX > 100 men it terhitung ada 36 pasien 37% dari total 96 pasien.
sampai dengan Desember 201 2), diperoleh 126 kasus perba ikan katup mitral (Mi tral valve repair/ MVr). Setelah diseleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan pasien yang memenuhi kriteria tersebut sebanyak 96 pasien dengan perincian 91 pasien hidup dan 5 pasien meninggal. Data rekam medis yang didapat
Proporsi kelompok CPB pasien antara kelompok dengan lama CPB < 120 menit dan ≥ 120 menit cukup berimbang dimana tercatat ada 49 pasien (51%) yang mempun yai lama CPB dibawah 120 menit dan sisanya pasien dengan lama CPB ≥ 1 20 menit terhitung ada 47 pasien atau 49% dari total 96 pasien.
22 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
23
abel 3. karakteristik data pasca bedah
abel 2. karakteristik data intra bedah
Pasien dalam penelit ian ini didominasi oleh pasien dengan adanya concomitant procedure selain Mitral valve repair/ MVr yaitu mencap ai 64 pasien (67%) sedangkan sisanya ada 32 pa sien (33% ) yang tidak ada concomitant procedure . Ada 4 (empat) kelompok etiologi dalam penelitian ini yaitu rematik, deg enerati, endokard iti s dan iskemik . Hasil data diatas menunjukan bahwa sebagian besar pasien mer upa kan pasien dengan etio log i rematik yaitu tercatat ada 62 pasien atau 64% dari keseluruhan 96 pasien. Kemudian diikuti ole h pasien iskemik yang mencapai 18 pasien (19%), degenerati ada 14 pasien (15%) dan sisan ya pasien e ndokarditis terhitun g ada 2 pasien (2%). Gambaran karakteristik data pasca bedah Hasil analisis statistik deskripti untuk status mortalitas pasien tercatat ada 91 pasien atau 95% yang hidup dan tercata t ada 5 pa sien (5%) yang meninggal. Dari 96 pasien dalam penelitian ini sebagian besar tidak mengalami komplikasi yaitu berjuml ah 83 pasien dan sisanya ada 13 pasien atau (13%) yang mengalami komplikasi (redo bleeding, CRR (continuous renal replacement therapy), pemasangan IABP (intra aortic ballooning pump), ineksi, dan gangguan aal paru) Proporsi usia pasien dibawah dan diatas 40 tahun dalam penelitian ini cukup proporsional dimana ada 54
pasien yang berus ia dibawah 40 tahun dan sisanya ada 42 pasien dengan usia diatas 40 tahun. Lebih lanjut dilihat dari nilai minimum dan maksimum pasien yang terlibat dari penelitian ini adalah minimum usia pasien adalah 20 tahun dan usia maksimum adalah 79 tahun. Lama rawat ICU didominasi oleh pasien kurang dari atau sama dengan 3 hari sebanyak 70 pasien (73%) dan sisanya ada 26 pasien atau 27% tercatat lama ICU lebih dari 3 hari dengan maks imum 12 hari. Sebagian besar persentase EuroSCORE berada kurang dari 2% yang terhitung ada 76 pasien atau 79%. Kemudian pasien dengan rentang nilai EuroSCORE antara 2-4% terhitung ada 15 pasien (165) dan sisanya nilai EuroSCORE antara 4 – 6% tercatat ada 4 orang (45) nlai EuroSCORE 6% sebanyak (1%).dan Nilai maksimum diatas EuroSCORE pasien1 orang dalam penel iti an ini tercapai hingga 7,9%. Sebagian besar pasien mempunyai skor Parsonnet dibawah 10% yaitu terhitung ada 78 pasien (81%) kemudian skor Parsonnet antara 10 – 20% tercatat sebanyak 9 pasien (10%) dan sisanya masing-masing skor P arsonnet antara 20 – 30% sebany ak 5 pasien (5%) dan diatas skor 30% terhitung ada 4 (4%). Nilai Parsonne t yang tertinggi mencapai 40,7%. Sensitifitas Alat Ukur Sensitiitas alat ukur digunakan untuk menguji tingkat akurasi dalam memprediksi mortalitas. Dalam hal ini akan dilakukan pengujian sensitiitas antara dua alat ukur yaitu EuroSCORE dan Parsonnet score. Uji perbandingan sensitiitas ini menggunakan ROC Curve dimana area ROC Curve yang lebih tinggi menunjukan tingkat sensitiitas lebih tinggi. Hasil analisis menunjukan bahwa kedua alat uku r tersebut mempunyai makna yang signiikan dalam mendeteksi kemungkinan mortalitas pasien. Pengujian sensitiitas alat ukur dilakukan dengan menguji apakah nilai area
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 23
24 ROC Curve kedua alat uku r tersebu t berbeda dari 0,5. Bila nilai signiikansi (asymptotic sig) alat ukur lebih dari α = 5% maka alat ukur tersebut mempunyai tingkat akurasi yang lemah dalam memprediksi hidup atau meninggal pasien. Hasil pengujian yang ditunjukan oleh asymptotic sig menunjukan bahwa kedua a lat ukur tersebut mempunyai nilai signiikansi kurang dari α = 5% maka kedua alat ukur tersebut sensiti atau mempunyai akurasi dalam memprediksi hidup atau meninggal pasien setelah operasi jantung. Pada analisis kedua skor terhadap mortalitas riil, dari 5
EuroSCORE masuk dalam kelompok 2-4% atau kelompok low risk. Berdasarkan hasil diatas, tingkat kecocokan kedua alat ukur ini u ntuk pasien hidup + mati m aka tingkat kecocokan te rdapat 80 + 4 = 84 pasien sedangkan sisanya (96 – 84 = 12 pasien) tidak memiliki ketepatan klasiikasi antara 2 alat ukur tersebut. Sehingga total kecocokan kedua alat ukur adalah 84/96 = 87,5% kedua alat ukur tersebut cocok atau sesuai dalam mengklasiikasikan status pasien yang hidup dan yang mati. Bila dilakuk an pengukuran denga n ROC
pasien didapdisebut atkan sebagai ang ka mor tal ita s rii l sebesar yang 5,2 %mening , angka ga inil juga observed mortality . Dari prediksi EuroSCORE didapatkan angk a pre dicte d mor tal ity sebesar 3,68 %, dan dari pre diksi Parsonnet score didapatkan angka predicted mortality sebesar 18,26 %. Dari 96 pasien yang dilakukan analisis dengan Parsonne t score, tercatat sebagian besar mencapai 81,3% (78 pasien) yang mem iliki nilai Parsonnet score kura ng dari 10% atau t ergolong kategori extremely low risk , kemudian 9,4% (9 pasien) yang masuk dalam kategori low risk, ada 5 pasien yang masuk dalam kategori medium risk dan sisanya ada 4 pas ien yang masuk dalam high risk. Dari kelompok pengukuran dengan EuroSCORE, sebagian besar 79,2% (76 pasien) tergolong extremely low risk, dan terdapat 15,6% yang masuk dalam kategori low risk (2-4%). Sisanya terdapat 4 pasien yang tergolong medium risk serta 1 pasien yang masuk dalam kelompok high risk ( EuroSCORE diatas 6%). Untuk pasien yang hidup, ada 75 pasien yang mempunyai Parson net score d ibawah 10 dan EuroSCORE dibawah 2%. Dan ad a 4 pasien yang memiliki nilai P arsonnet score antara 10-20% dan memiliki nilai EuroSCORE (24%) .erdapat 1 pasien yang memiliki nilai Parsonnet score 20-30% dan nilai E uroSCORE 4-6% . Sehingga dari perhitungan diatas, tingkat kecocokan antara 2 alat ukur untuk pasien yang hidup adalah 75 + 5 = 80 pasien atau dengan kata lain akurasi kedua alat ukur sudah sesuai dalam menyatakan tingkat risiko pasien yang h idup sebanyak 88%. Untuk pasien yang meninggal, ada 4 pasien yan g memiliki kecocokan antara nilai Parsonnet score
curve, berartiyang yangsesuai di klasiikasikan responden saja atau adalah ada 84kelompok pasien yan g cocok / sesuai antara kedua kelompok diantara total pasien yang berjumlah 96 pasien Hasil dari 84 pasien ternyata tidak bisa dibuat plot ROC per kategori extremely low risk, low risk, medium risk atau high risk karena semua pasien yang dinyatakan extremely low risk (< 10%) dari Parsonnet score atau dibawah 2% menurut EuroSCORE tidak ada yang meninggal ( semuanya hidup ). Sehingga tidak dapat dibuat ROC cu rve. Dan ROC cu rve yang dibuat adalah data 84 pasien secara keseluruhan. Hasilnya adalah nilai AUC (area unde r curve ) EuroSCORE (0,969) lebih tinggi dari AUC Parsonnet score (0,959) meskipun terlihat perbedaan kedua alat ukur tersebut tidak berbeda jauh. Nilai prediksi EuroSCORE lebih mendekati observed mortality bila dibandingkan Parsonnet score yang overpredicted terhadap angka mortalitas riil. Kesimpulan ini membuktikan bahwa ternyata EuroSCORE masih lebih unggul dibandingkan dengan Parsonnet score.
dengan E uroSCORE dimana terdapat 3 pasien yang memiliki Parsonnet score 10-20% yang cocok dengan EuroSCORE 2-4%, dan sisanya terdapat 1 pasien yang menurut P arsonnet score >30% dan sesuai dengan nilai EuroSCORE diatas 6%. Sedangkan 1 pasien sisanya pada Parsonnet score dikelompokk an dalam kateg ori 20-30% atau kategori medium risk tapi berdasarkan
24 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
PEMBAHASAN
Mitral Valve repair merupakan terapi pilihan pada penyakit katup mitral. Beberapa ahli melap orkan bahwa angka in-hospital mortality pada pa sien yang menjalani MV repair lebih rend ah bila dibandingkan dengan MV replacement 10.14.16,17,20,49. . Beberapa studi saat ini telah dilakukan untuk mengidentiikasi aktor-aktor risiko yang b erhubung an denga n buru knya hasil cap aian pasca operasi. Dari penelitian ini didapatkan hasil yang tidak jau h ber beda dari perkem bangan pengetahuan saat ini mengenai aktor risiko pada pembedahan katup jantung. Perana n f aktor-faktor prabedah Pada penelitian ini , nampak bahwa komposisi usia cukup dan distribusi jenis kelamin yang masih dalam batas usia yang berbeda, jika dibandingkan dengan pop ula si p enelitia n lain di luar negeri , dimana kelompok
25 usia diatas 60 tahun lebih dominan 2. Penelitian lain melaporkan usia diatas 65 tahun merupakan prediktor independen terhadap kejadian mortalitas 30 hari pasca operasi 6. Angka ketahanan hidup menurun pada pasien yang usianya lebih dari 75 tahun , ter utama jika ada penyak it penyer ta, seper ti penyakit arteri koroner8. Dari penelitian ini didapatkan hubungan bermakna antara penambahan usia dengan mortalitas, namun tidak demikian halnya dengan perbedaan jenis kelamin , dimana tidak ada perbedaan signiikan antara lakilaki dan perempuan terhadap risiko mortalitas. Dari segi klasiikasi NYHA (New York Heart Association), Nampak bahwa NYHA kelas III mendominasi jumlah sampel sebesar 49%, artinya dari segi timing operasi pasien datang relati ag ak terlam bat , dimana pasien menjalani operasi hampir dalam kondisi gagal jantung berat. Secara klinis pasien sudah ada dalam gejala se dangberat. Angka ini agak jauh berbeda dengan laporan dari Geissler dan Gazoni LM, yakni sekitar 64,8% pada NYHA kelas II, 18,9% pada NYHA kelas III dan 3,2% pada NYHA kelas IV 2,10 . EuroHeart Survey juga melaporkan sekitar 48% pasien dilakukan operasi pada NYHA kelas III atau IV seperti yang juga dilaporkan di Northest UK 6. Penelitian ini mencatat terdapat hubungan bermakna antara klasiikasi NYHA dengan mortalitas. Pasien dengan NYHA kelas IV memiliki risiko 41,5 kali lebih tinggi terhadap mortalitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa NYHA kelas IV pre
Peranan faktor-faktor intrabedah
operasi merupakan prediktor terhadap tingginya angka mortalitas pasca MV repair. Pada penelitian ini nampak bahwa sebagian besar (90 pasien) dengan EF (Ejection Fraction/ raksi ejeksi) lebih tinggi dari 40% dan hanya 6 pasien dengan EF kurang dari 40%. Pasien dengan EF < 40% akan memiliki risiko kematian 14,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang memiliki EF ≥ 40%. Angka ini lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh he Society o horacic Surgery (SS) yang melaporkan bahwa tingkat mortalitas 5% pada pasien dengan EF kurang dari 35% 10 . Pada pasien dengan EF lebih dari 50%, angka kematian hanya sekitar 1%. Serag dan Greelischch dkk melaporkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 95% dan tidak ada inhospital mortality pada pasien dengan rata-rata EF leb ih dari 50% 16. Pada pen eli tia n ini , 3 dari 5 kematia n mempunyai EF leb ih dari 40%. Hal ini disebabkan karena rendahny a tingkat kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kesehatan secara dini, terutama pemeriksaan rutin jantung (EKG,enzim jantung), sehingga sering sekali pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan sangat berat dan kondisi pre operati yang tidak optimal.
penyakit katup masih cukup tinggi, terutama pada kasus pediatri k, namun b elum ada data resm i ya ng d ilaporka n. Diperkirakan sebagian besar langsung dilakukan MV replacement. Data penelitian ini mencatat 62 pasien dari total 96 sampel merupakan etiologi rematik dan dilakukan repair, dengan angka mortalitas 1,6% , dan terdapat ada hubungan bermakna antara etiologi dengan mortalitas, walaupun belum ada data yang menyatakan bahwa kausa merupakan prediktor terhadap mortalitas. Heikkinen melaporkan adanya concomitant procedure berhubungan dengan meningkatnya inhospital mortality, sebaliknya bila hanya tindakan MV repair 45 dilaporkan inhospital mortality-nya lebih rendah . Pada penelitian ini sebanyak 64 pasien (67%) adalah pasien yang dilakuk an concomitant pro cedure selain prosedur MV repair itu sendi ri, dan hanya 32 pasien (33%) yang hanya dilakukan MV repair. Hal ini memberikan gambaran bahwa karakteristik pasien yang datang sud ah masuk kateg ori lan jut. Concom ita nt pro cedure ini dap at mer upa kan akibat sekund er dari kelainan katup mitral-nya yang sudah kronik, atau merupakan dua penyakit yang masing-masing berdiri sendiri. Yang merupakan akibat sekunder, misalnya
Beberapa penelitian pada tahun 1980-an menunjukkan transisi perubahan etiologi dan dominasi penyakit rematik ke penyakit degenerati, yakni Reed dkk,pada tahun1980 melaporkan 70% rematik dan 12% degenerati. Carpentier, 1983 melaporkan 60% rematik dan 21% degenerati. Cosgrove dkk 1986 melaporkan 80% degenerati dan 11% rematik. Galloway dkk 1988 16,19 melaporkan 43% degenerati dan 30% rematik . Dari pen elitian i ni, terdapat sekitar 6 2 pa sien deng an e tiologi rematik, disusul iskemik (18 pasien), degenerati (14 20
pasien) endokarditi s sebanyak 2 pasien . Angka berbeda dan dengan data penelitian Spigelstein dkk yaitu : ini degenerati sebanyak 58%, disusul iskemik sebanyak 30 17%, endokarditis 8% , serta rematik 6% . Saat ini di negara maju seperti Amerika, penyebab terbanyak adalah penyakit degenerari-miksomatosa, dan sekitar 95% dapat diperbaiki. Sebaliknya di Amerika Ut ara dan Eropa, tingkat prevalensi penyakit katup rematik telah mengalami penurunan. Namun di Negara berkembang seperti Asia dan Arika, penyakit katup rematik masih cukup tinggi 25 , seperti yang tergambar da lam penelitian ini, walaupun belum ada angka resmi tingkat prevalensi yang dilap ork an di kedua benua tersebut. Van Pahn melaporkan data dari 1992-2003, sekitar 86,8% disebabkan karena penyakit rematik dengan rerata usia 31±14,4 tahun dan sekitar 75% dilakukan MV repair 18,19 . Di Indonesia sebenarnya tingkat prevalensi
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 25
26 terjadinya regurgitasi katup rikuspid, akibat beban volume yang berlebihan di jantung kanan dalam jangka waktu yang lama. Walaupun dari penel iti an ini tidak didapatkan hubungan bermakna antara concomitant procedure dengan mor talitas. Concom ita nt pro cedure dalam penelitian ini meliputi : CABG, AVR/r, VR/r, LA myxoma, LAA plikasi. Paling banyak adalah operasi MVr dengan V R/r (25 pasien) dan CAB G (15 pasien), artinya sebagian besar merupakan akibat sekunder dari kelainan katup mitralnya. Sebaliknya pada pasien yang dilakukan CABG, menggambarkan bahwa gangguan
Dari penelitian ini ditemukan 2 aktor risiko dominan yang signiikan terhad ap inh osp ita l mor tality, yaitu EF ( ejection raction) dan NYHA unctional class . Dari beberapa studi seperti yang dilaporkan Shah dkk bahwa ungsi ventrikel kiri (EF) merupakan determinan yang paling penting untu k has il jangka pen dek dan jangka panja ng. Pada pa sien dengan EF renda h, mela kuk an MV repair masih menjadi perdebatan para ahli, walaupun dari beberapa penelitian dilaporkan capaian yang tidak berbeda bila dilakukan MV replacement. Studi yang dilakukan Ambler dkk juga menyebutkan bahwa EF
katup mitral terjadidengan akibatiskemik penyakit arteri koroner. Keadaan ini disebut mitral regurgitasi (IMR). Penanganan IMR memang masih terdapat per bedaan p endapat diantara para a hli, namun menur ut guideline, jika regurgitasi katup mitral nya masih mild dianjurkan hanya CABG, dan jika regurgitasi katup mitral nya moderate - severe dianjurkan untuk MV repair dengan memasang ring annuloplasty dan CABG. Sekitar 63% pasien yang menjalani MVr pada pen eli tia n ini (60 pasien) dilakuk an dengan waktu klem silang aorta (AOX) kurang dari 100 menit dan 37% (36 pasien) dilakukan dengan waktu AOX lebih dari 100 menit, juga waktu CPB yang cukup berimbang antara CPB > 120 menit (47 pasien atau sebanyak 49%) dan CPB < 120 menit sebanyak 49 pasien (51%). Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar prosedur jug a dilakuk an conco mitant pro cedure sehingga
merupakan satujantung prediktor 33 inhospital mortality pada opera sisalah katup . NYHA unctional class III atau IV selalu berhubungan dengan tanda klinis yang bur uk, sehingga men ing katka n risiko mor talitas . Galloway AC dkk melaporkan 60% pasien yang direpair merupakan NYHA kelas III dan 19% NYHA kelas IV dengan hasil yang memuaskan 47. alwalkar NG dkk juga melaporkan bahwa NYHA kelas IV merupakan prediktor independen hospital mortality dan late mortality 47 Perbandingan antara Parsonnet score dan EuroSCORE Pada analisis kedua skor terhadap mortalitas riil, dari 5 pasien yang mening ga l didap atkan angka mor talitas rii l sebesar 5,2 % , angka ini juga disebut sebagai observed mortality. Dari prediksi EuroSCORE didapatkan angk a pre dicte d mor tal ity sebesar 3,68 %, dan dari pre diksi Parsonnet score didapatkan angka predicted mortality sebesar 18,26 %. Dari analisis dengan menggunakan ROC curve didapatk an nilai AUC (area under curve ) EuroSCORE (0,969) lebih tinggi dari AUC Parsonnet score (0,959) meskipun terlihat perbedaan kedua alat ukur tersebut tidak berbeda jauh. Nilai prediksi EuroSCORE lebih mendekati observed mortality bila dibandingkan Parsonnet score yang overpredicted terhadap angka mortalitas riil. Kesimpulan ini membuktikan bahwa ternyata EuroSCORE masih lebih unggul dibandingkan dengan Parsonnet score. Keterbatasan dan kekuran gan penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sampel yang masih kurang, sehingga sulit untuk menilai aktor langsung yang dapat mempengaruhi inhospitalmortality.
jalannya operasi menjadi leb ih lama. Namun dem iki an pada peneliti an ini secara statistik tidak didap atkan hubungan bermakna antara lama AOX dan lama CPB dengan mortalitas. Perana n f aktor-faktor pascabedah Komplikasi pasca operasi terjadi pada 13 pasien (14%) . komplikasi yang timbul berupa : redo/re eksplorasi atas indikasi tamponade jantung atau perdarahan, timbulnya gagal ginjal akut, sehingga memerlukan CRR, pemasangan IABP karena low cardiac output, stroke, dan ineksi yang timbul akibat perawatan ICU/pemakaian ventilator yang lama. Pada penelitian ini komplikasi yang tersering adalah redo karena perdarahan sebanyak 7 ka sus, pemasang an IA BP sebanyak 5 kasus, dan pemasangan IABP dan redo pada 1 pasien dan terdapat hubungan yang bermakna antara komplikasi dengan risiko mortalitas (p= 0,000) dengan kemungkinan risiko mortalitas sebesar 38,5% pada pasien yang m eng alami komplikasi. Faktor-faktor yang berperan terhadap in-hospital mortality
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Gambaran karakteristik a ktor-akto r yang berperan 26 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
terhadap mortalitas perioperati pada pasien pasca mitral valve repair terutama meliputi aktor risiko pra bedah (klasiikasi NYHA, EF/ raksi ejeksi, usia, nilai EuroSCORE, dan Parsonn et), intra bedah ( etiologi), dan pasca bedah (komplikasi). Dari semua akto r yang berhubungan dengan in-hospital mortality didapatkan hanya 2 a ktor yang berhubungan langsung dengan in-hospital mortality yaitu EF (ejection raction) dan NYHA unctional class. Hipotesis pada penelitian ini adalah Parson net Score lebih sensiti dalam memprediksi mortalitas pasca operasi perbaikan katup mitral dibandingkan dengan EuroSCORE, namun pada
14.
kenya taanny nilaiterjadi EuroSCORE mendekati angka mortalitas riila,yang bila di lebih bandingkan dengan Parson net score ( hipotesis tidak terbukt i) . Kedua model skor dapat dipertimbangkan sebagai analisis stratiikasi aktor risiko pada operasi perbaikan katup mitral di PJ R SCM dengan EuroSCORE sebagai pilihan per tama untu k ana lisis stratiikasi aktor ris iko dan memprediksi mortalitas perioperati. Saran Perlunya penelitian lanjutan yang bersiat prospekti untuk ollow up jangka menengah dan jangka panjang terhadap hasil penanganan operasi perbaikan katup mitral. Perlunya penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan melibatkan beberapa pelayanan bedah jantung di Indonesia ag ar mendap atkan kesepakatan skor pre operasi secara nasional
23.
REFERENCES 1. Eesha Arora Jaidur . Mortality Prediction in Cardiac Surgery Patients : Compa rison of Two Risk Stratification Models . ICHA convention on patient safetyCardiothorac Surg .2008 : 231-233. 2. Hans J. Geissler, Philipp HoÈlzl, Sascha Marohl, Ferdinand Kuhn-ReÂgnier, Uwe Mehlhorn, Michael SuÈdkamp, E. Rainer de Vivie .Risk stratification in heart surgery: comparison of six score systems . Eur J Cardiothorac Surg .2000;17:400406 3. Otto CM. Clinical practice. Evaluation and manage ment of chronic mitral regurgitation. N Engl J Med. 2001; 345:740. 4. Cooper HA & Gersh BJ. Tre atment of Chronic mitral re gurgitation . Am Heart J .1998; 135:925-36 5. Ivanov J, Tu JV, Naylor CD. Ready-made, recalibrated, or remodelled? Issues in the use of risk indexes for assessing mortality after coronary artery bypass graft surgery. Circulation. 1999;99:2098— 104 6. F. Roques*, S.A.M. Nashef, P. Michel, P . Pinna Pintor, M . David, E. Baudet,The EuroSCORE Study Group . Does EuroSCORE work in individual European countries?. European Journal of Cardio-thoracic Surgery 18 (2000) .27-30 7. Mostenuqe, pierre. EuroSCORE .Service de Chirurgie Cardio-vasculaire, CHU de Fort de France. 2005; 321-323 8. Samer A.M. Nashefa,1,*, Francois Roquesb,1, Bradley G. Hammillc , Eric D. Petersonc, Philippe Micheld,1, Frederick L. Grovere, Richard K.H. Wysee,f, T. Bruce Fergusone Validation of European System for Cardiac Operative Risk Evaluation (EuroSCORE) in North American cardiac surgery.European Journal of Cardio-thoracic Surgery .2002;101–105 9. Cheng-Hon Yap a,1 ,*, Christopher Reid b,1, Michael Yii a,1, Michael A. Rowland c,1, Morteza Mohajeri d,1, Peter D. Skillington e,1, Siven Seevanayagam f,1, Julian A. Smith g. Validation of the EuroSCORE model in Australia .European Journal of
35.
Cardio-thoracic Surgery. 2006. 26; 441-446 Johan Nilsson, Lars Algotsson, P eter Ho¨glund, Carsten Lu¨hrs , and Johan Brandt. Comparison of 19 pre-operative risk stratification models in open-heart surgery. European Heart Journal .2006. 27; 867–874 Daniel J.Goldskin, Mehmet C.Oz .Minimal Invasive Cardiac Sur gery 2nd ed .Humana Press, New Jersey .2004. Robert O. Bonow, et al, Chicago .Management of Patients with Valvular Hear t Disesae. American College of Cardiology , AHA. 2000. 56-76. Nicholas T Kouchoulos, E ugene H Blackstone,et al,. Mitra l valve disease. Kir klin/ Barratt Boyes Cardiac Surgery 3rd ed, Volume 1. Churcill Living stone, Salt Lake City,Utah. 2010.
47.
10. 11. 12. 13.
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34.
36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.
48. 49.
Lawrence H. Cohn. Cardiac Surgery in The Adult 3r d ed. Mc Graw Hill Medical , Boston Massachusetts.2008. Robert M. Bojar. Manual of Periope rative Car e in Adult Cardiac Surgery 4th ed . Blackwell Publishing Inc. Massachusette.2009. Armo Ser ag, et al .Risk Stratification Analysis of Operative Mortality in Patients Undergoing Mitral Valve Replacement . Tanta univertity Egypt, Heart Mirror Jour nal. 2007 ;12- 14. Benoit Varennes et al .Application of The Parsonnet Sistem skor for a Canadian Cardiac Surgery Program . Can J Cardiology, Canada.2007.45-47 Roques F, N ashef SAM, Michel P & the Euro SCORE Project Group. Regional differences in surgical heart valve disease in Europe: comparison between Northern and Southern subsets of the EuroSCORE database. J Heart Valve Dis 2003; 12:1-6 Edwards FH , Peterson ED, Coomb s LP, DeLong ER, Jamieson WR, Shroyer ALW. Prediction of operative mortality after valve repair surgery. J Am Coll Cardiol 2001;37:885-92 Braunberger E, Deloche A & Berrebi A, et al. Very long-term re sult (more than 20 years) of valve repair with CArpentier’s techniques in non rheumatic mitral valve insufficiency. Circulation 2001;104[suppl I]:1-8-1-11 Gillinov AM, CosgroveDM III & Blackstone EH et al. D urability of mitral valve repair for degeneratif disease. J Thorac Cardiovascular surgery 1998;116:734-74 3 Bolling SF, Pagani FD & Deeb GM et al. Intermediate-ter m outcome of mitral reconstruction in cardiomyopathy. J Thorac cardiovasc Surg 1998; 115:381 Enriquez-Sarano M, Schaff HV, Orsulak TA, Tajik AJ, Baile y KR & Frye RL. Valve repair improves the outcome of surgery for mitral regurgitation. Circulation 1995; 91:1022-8 Lawrie M. Mitral valve repair vs replacement. Cur rent recommendations and longterm results. Valvular heart disease 1998;16:437-448 Fann JI I ngels Jr NB & Miller DG. Pathophysiology of mitral valve disease. In Cohn LH & Edmunds LH Jr,editors. Cardiac surgery in the adult. New York:Mc Graw –Hil l, 2003 ;901 -931 De Oliveir a, Ferrao JM & Antunes MJ . Mitral Valve repair : better than replacement. Heart 2006;92:275-8 1 Gillinov Am& Cosgrove III DM. Mitral valve repair . In Cohn LH & Edmunds LH Jr,e dit ors. Card iac surg ery in the adu lt. New York :Mc Graw –Hill, 2003 ;933 -949 Jones, e t.al. Limitations of Parsonnet score for measuring r isk stratif ied mortality in the north west of England. Heart 2000,84:71-76 Shah AS, Hannish SA, Milano CA ,Glower D D. Isolated mitral valv e repair in patients with depressed left ventricular function. Ann Thoracic Surg 2005; 80: 1309-1314 Spiegelstein, Ghosh P, Sternik L, TAger S, Shinfeld A, Raanani E. Current strategies of mitral valve repair.IMAJ 2007;9:303-3 09 Van Phan. Repair of rheumatic mitral valv e incompetence : What technique should be used? The Heart Institute of Ho Chi Min City, Vietnam 2004 Thourani VH, Weintraub WS, Guyton RA, et al. Outc ome and long term survival for patients undergoing mitral valve repair versus replacement. Effect of age and concomitant coronary artery bypass graft. Circ 2003;108:298- 304 Ambler G , Omar RZ, Royston P, Kinsman R, Keogh BE, Taylor KM. Generic, simple risk stratification model for heart valve surgery. Circulation 2005;112:224-231 Bonow RO et al ACC/AHA guidelines for management of patients with valvular heart disease. Circulation 2006;114;e84-e231
27
Lawrence, et.al. Par sonnet score is a good predictor of the duration of intensive care unit stay following cardiac surgery. Heart 2000;83:429-432 Carpentier A. The Sliding leaf let technique. Le Club MItrale newsletter 1998;1-5 Fucci C, Sandrelli L & Pardini A et al. Improved result with mitral valve repair using new surgical techniques. Eur J Cardiothorac Surg 1995;9:621 Alfieri O, Maisano F & De Bois et al. The double orifice technique in mitral valve repair : a simple solution for complex problems. J Thorac Cardiovasc Surg 2001;122:674 Kuduvalli M, Ghotkar SV, Grayson AD & Fabri BM. Edge to edge technique for mitral valve repair : mid term results . Ann Thorac Surg 2006;82: 1356-1361 Flameng W, Herijgers P & Baogaerts K. Recurrence of mitral valve re gurgitation after mitral valve repair in degeneratif valve disease. Circulation 2003;107:16091613 Goldsmith IRA, Lip GYH & Patel RL. A prospective study of changes in the quality of life of patients following mitral valve repair and replacement. Eur J Cardio Thorac Surg 2001 ;20:949-955 Mc Gee EC , Gillinov AM & Blackstone EH et al. Recurrent mitral rgurg itation after mitral annuloplasty for functional ischemic mitral regurgitation. J Thorac Cardiovasc Surg 2004;128:916-2 4 Calafiore A M, Di Ma uro M & Gallina S et al. Mitr al valve surgery for chronic ischemic mitral regurgitation. Ann th orac surg 2004;77:1989-97 Reece TB , Tribble CG & Ellman PI , et al. Mitr al valve re pair is superior to replacement when associated with coronary artery disease.Ann Thoracic Surg 2004;239:671-677 Heikkinen J,Outcome after mitral valve surger y for mitr al valve regurgitation . Finland: University of Oulu;2008 Gazoni LM, Kern JA, Swenson BR, De nt JM, Smith PW, Mulloy et al. A Change in perspective: results for ischemic mitral valve repair are similar to mitral valve repair for degeneratif disease. Ann thoracic surg 2007; 84: 750-758 Talwalkar N G, Earle NR, LAwr ie GM. Mitr al valve repair in patients with l ow left ventricular ejection fractions: early and late results. Chest 2004; 126:709-715 Ray S, Chambers, Baerwolf CG, Bridge water. Mitr al valve repair f or severe mitral regurgitation: the way forward? Eur Heart 2006; 27: 2925-2928 Schaff HV, O rszulak TA, Suri RM, Dar ani JA , Sundth TM, Daly RC et al. Survival advantage and improve durability of mitral valve repair for leaflet prolapsed subsets in the current era. Ann thorac Surg 2006;82 :819-826
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 27
28
PUBLIKASI ILMIAH Laporan Kasus Case Report
Secundum Atrial S eptal Defect Closure using Right Anterolateral Minithoracotomy: Harapan Kita National Cardiovascular Centre Minimal Invasive Cardiac Surgery Experience Navy Laksmono, Pribadi W. Busro. Pediatric and Congenital Heart Surgery National Cadiovascular Centre Harapan Kita Jakarta Abs tr act
Open heart surgery in patient with congenital heart disease commonly involves a sternotomy with the purpose of ge tting a better surgi cal field view. As techn olog y and modern medicine evolves, minimal invasive procedure has grown popularity in adult and pediatric cardiac surgery due to the postoperative benefit that had been known. We report a minimal invasive cardiac surgery in a patient with secundum atrial septal defect through a right anterolateral minithora cotomy . Abs tr ak Operasi jantung terbuka pada penyakit jantung bawaan umumnya menggunakan prosedur sternotomi
dalam memperoleh lapangan operasi yangminimal baik. Seiring berkembangnya teknologi dan kedokteran modern,akses prosedur operasi invasi mulaidengan dipertimbangkan penggunaannya baikteknik pada operasi jantung dewasa maupun anak terkait dengan beberapa kelebihannya pada pascaoperasi yang telah diketahui. Kami melaporkan penggunaan teknik operasi invasi minimal pada pasien dengan atrial septal deect sekundum melalui minithoracotomy anterolateral kanan.
Pendahuluan eknik bedah minimal invasi di dunia telah berkembang dan digunakan secara luas baik pada operasi jantung dewasa maupun anak. 1 Pada operasi penyakit jantung bawaan diharapkan teknik ini dapat mengurangi traum a jaringan a kibat operasi yang d ihasilkan oleh pen dek atan sternotom i sehingga ris iko mor tal ita s dan morbiditas dapat menurun. 1-3 Beberapa keuntungan dari penggunaan teknik bedah minimal invasi pada operasi jantung bawaan diketahui antara lain adalah hasil kosmetik yang lebih baik, tingkat kenyam anan pascaop era si yang l ebih tingg i, serta lama per awatan yang lebih pendek. 4-6 Pendekatan bedah pada populasi pa sien penyak it jantung b awaan antara lain ada lah torakotomi anterior dan pemisahan sternum secara minimal, b aik menggunakan bantuan kamera video maupun tidak.
28 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
7
Pada laporan ini kami mengg unakan pendekatan minitorakotomi pada operasi pasien dengan Atrial Septal Deect (ASD).
Laporan Kasus Pasien adalah seorang pria berusia 36 tahun, berat badan 74 kilogram yang dirujuk ke RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta untuk dilakukan pem eriksaan d an penata laksana an lebih lanjut karena didapatkan ASD pada pemeriksaan echocardiography di rumah sakit asal. Pemeriksaan oto sinar tembus dada menunujukan pen onjolan arteri pulmo nal is, g amb ara n pinggang jantung mendatar, posisi apeks upward , s erta ditemukan adanya pletora. Pada pemeriksaan transthoracic echochardiography awal, menun jukan posis i jantung
29 situs solitus, Atrioventricular - Ventriculoarterial (AV-VA) concordance, dengan semua vena pulmonalis menuju atrium kiri. erdapat ASD sekundum dengan diameter sebesar 20 – 24 mm, dengan let to right (L to R) shunt, tidak ditemukan Patent Ductus Arteriosus (PDA) maupun Ventricular Septal Deect (VSD). erdapat IVS paradox ringan, dilatasi pada ventrikel kanan, ricuspid Regurgitation ( R) ringan dengan ricupsid Valve Gradient (VG) sebesar 30 mmHg. Ventrikel kiri memiliki ungsi yang baik dan arkus aorta diketahui normal. Dilakukan pemeriksaan
Pasien dipersiapkan dalam posisi untuk dilakukan torakotomi anterolat eral kanan. Kanulasi SVC dilakukan pada vena jug ularis interna kanan oleh dokter anestesi, pasien diberikan penanda pada emoral dan pada toraks lateral kanan sebagai pedoman insisi. Dilakukan proses asepsis antisepsis dan draping lapangan operasi. Kanulasi IVC dila kukan pada vena emoralis dan kanulasi Aorta dilakukan pada arteri emoralis. Setelah mencapai nilai AC yang diharapkan pasca pem ber ian heparin 3 mg/KgBB, mes in pintas jantung paru dijalan kan dengan penurunan suhu tub uh
transesophageal echocardiography pada m dengan 1 hari menjelang operasi, ditemukan ASD(EE) sekundu diameter 2,5 – 2,9 cm, L to R shunt dengan rim aorta kecil 0,3 cm, rim superior 1,5 cm. R al tipis 0,7 mm, posterior 1 cm. Inerior Vena Cava (IVC) tip is, dengan panja ng 1,5 cm, Superior Vena Ca va (SVC) pendek. Ditemukan R ringan dengan VG 23 mmHg. Pemer iksaan lain tidak ditemukan kelainan.
hingga 32 C.
o
Gambar 2. Persiapan daerah insisi pasien dan posisi.
Gambar 1. Hasil pemeriksaan echocardiography menunj ukan ASD S ekundu m sebesar 20 – 24 mm, let to right shunt.
Kesimpulan diagnosis adalah A SD sekundum dengan diameter 2,5 – 2,9 cm, L to R shunt, diputuskan untuk dilakukan penutupan ASD secara minimal invasi.
Gambar 3. Kanulasi SVC melalui vena jugularis interna.
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 29
30 Dilakukan insisi minitorakotomi anterior pada sela iga 5 hingga menembus pleura parietalis. Perikardiu m diambil dan disisihkan untuk pembuatan patch. Klem silang aorta dimasukkan dari aksila, kanul kardioplegia antegrade dipasang. Dilakukan klem silang aorta dan pem beria n caira n kardiop legia antegrade. Setelah denyut jantung menga lam i asistol , a trium kanan dibuka melalui insisi se cara standar.
silang aorta dilepaskan, irama jantung kembali sinus dan berdenyut. Dilakukan penutu pan atriotomi dengan jahitan bersama dengan dea iri ng jantung k anan.
Gambar 6. Akses mediastinum dan jantung melalui sayatan minithoracotomy.
Gambar 4. Persiapan dan kanulasi arteri serta emoralis.
vena
Gambar 7. Klem silang aorta dilakukan melalui axila.
Gambar 5. Insisi minithoracotomy anterolateral dada
kanan. Dilakukan penutupan ASD dengan pericardial patch, dilakukan deairing pada jantung kiri kemudian klem
30 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
Mesin pintas jantung paru dihentikan secara perlahan dengan stabilisasi hemodinamik, p emeriksaan EE intraoper ati menunjukan tidak adanya residu ASD. Setelah mesin pintas jantung paru dihentikan, protamin diberikan, dekanulasi arteri dan vena emoralis serta dilakukan tatalaksana perdarahan. Pada ventrikel kanan dilakukan pemasangan 2 buah pacing wire epikard
31 temporer . Dilakukan jahitan lapis demi lapis hingga kulit pada daerah insisi. Dekanulasi jug ularis interna dilakukan setelah luka insisi pada dada selesai d ilakukan dressing. Pasien keluar dengan hemodinamik stabil dengan tekanan darah 111/44 mmHg, denyut jantung pada 59 x/m eni t, CVP 8 cmH2O dan SpO 2 100 %.
Gambar 8. Prosedur penutupan ASD sekundum melalui akses minithoracotom y.
Gambar 9. Proses penjahitan daerah minithoracotomy.
sayatan
Pasien menjalani perawatan di ICU selama 3 hari, ekstubasi pada hari ke 2 p erawat an. Selama perawatan tidak terdapat komplikasi pascaoperasi yang terjadi, hemodinamik stabil. Pasien diizinkan untuk rawat jalan setelah 6 hari perawatan, kondisi dalam keadaan baik pada proses pemul iha n dan dij adwalkan untu k kontrol rutin serta mengikuti tahapan rehabilit asi medik .
Kesimpulan Pada laporan kasus ini kita dapat melihat sebuah teknik sayatan minitorakotomi untuk mendapatkan akses operasi jantung ASD sekundum. Beberapa instrumen khusus diperlukan dalam tindakan ini antara lain orceps, clamp, cannule, serta klem silang aorta khusus. Kanulasi untuk penggunaan mesin pintas jantung paru jug a berbeda dar i sternotomi konvensional , kanulasi SVC dilakukan pada jugularis interna, IVC pada vena emoralis, Aorta pada arteri emoralis sehingga hanya dibutuhkan sayatan kecil pada daerah tersebut. Akses atrium kanan diperoleh dari sayatan pada sela iga yang dipasang sebuah sot tissue retractor. Klem silang aorta dilakukan dengan cara instrumen masuk melalui axila dari pasien. eknik insisi atrium kanan, penutupan ASD dan penjahitan kembali dilakukan secara normal. Setelah operasi kita dapat melihat luka operasi yang lebih kecil dan pada perawatan ICU juga memberikan hasil pemul iha n pascaop era si yang b aik. Operasi jantung terbuka pada umumnya hampir selalu menggunakan insisi sternotomi konv ensional, hal ini tentun ya mempertimbangkan a kses lapang pandang ahli bedah yang lebih luas dalam melakukan kanulasi, kontr ol perdarahan dan juga dalam penanganan komplikasi yang dapat terjadi pada intraoperati. 1, 5, 8 Sayatan torakotomi pada operasi jantung terbuka memang masih tidak umum digunakan, walaupun pada awa l sejarah opera si jantung d iketahui bahwa torakotomi merupakan pilihan saat itu namun komplikasi intraoperati yang sering terjadi membuat para ahli bedah lebih menyar ankan sternotomi ag ar akses lapang operasi menjadi lebih luas dan komplikasi dapat lebih mudah ditangani. 5 Perkembangan zaman dan teknologi membuka pintu baru ba gi pengg unaan torakotomi untuk operasi jantung terbuka, terutama pada opera si jantung i nvasi minimal. Sayata n kecil pada rongga toraks, memiliki keuntun gan berupa kerusakan jaringa n yang leb ih minimal, kosmetik pascabedah dan telah terbukti menurunkan lama perawatan ICU dan kejadian morbiditas, mortalitas pascaoperasi s erta waktu pemul iha n dari pasien itu s endiri . 1, 2, 5, 8, 9 Minitorakotomi merupakan salah satu teknik operasi invasi minimal di pada bedah jantung kong eni tal , p eng gunaa nnya sen diri memerlukan pertimbangan terkait dengan kelainan anatomis, kelainan penyerta, komplikasi yang dapat terjadi serta hal – hal lain yang berkaitan dengan kondisi pasien pada per iop erati. 3, 8 Kemampuan teknik dokter anestesi kardiak berperan besar dalam penggunaan teknik operasi jantung invasi minimal, antara lain posisi
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 31
32 pasien, patensi jalan naas pasien, ventilasi, pemasang an kateter vena sentral, akses arteri, pengg unaan EE serta kanulasi persiapan pasien. 7, 10 Pengetahuan seorang per usioni st dalam m enentukan isiologi kerja mes in pintas jantung d alam opera si jantung i nvasi minimal merupakan hal yang krusial dan diperlukan koordinasi yang baik dan teliti antara seora ng ahli bedah, dokter 7 anestesi, perusionist, serta perawat bedah. eknik operasi jantung invasi minimal merupakan prosedur yang terus berkembang di Indo nesia . K ami telah melakukan 5 operasi invasi minimal pada kelainan jantun g bawaan di bagian bedah jantung anak RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta dengan hasil yang cukup baik. Rentang usia pasien yang dilakuk an operasi invasi minimal mula i dari usia 16 tahun hingga 27 tahun dengan diagnosa ASD sekundum dan dilakukan penutupan ASD. Usia muda memiliki hambatan dan tantangan yang lebih besar untuk dilakukannya operasi jantung invasi minimal, semakin kecil luas dan besar tubuh pasien semakin besar risiko intraoper ati yang dapat terjadi. Kesulitan pada intrao perati termasuk di dalamnya ak ses lapang panda ng yang l ebih sempit dan terb ata s, anatom i pem buluh darah perier dan b esar yang leb ih kecil d an ukuran instrume n yang tidak sesuai. Diketahui pada kasus – kasus penyakit jantung didapat (Acquired Heart Disease) pada orang dewasa juga telah dilakukan operasi invasi minimal dan dilaporkan di bagian beda h jantung d ewa sa jug a telah melakukan sekitar 125 kasus , termasuk di dalamnya operasi katup jantung, bypass koroner serta kelainan jantung lainnya. Pasien saety merupakan sebuah prioritas utama dalam pelayanan kesehatan. Seiring dengan kemaju an teknologi kesehatan modern, teknik bedah invasi minimal dipercaya akan semakin berkembang dan pada akhirnya dapat menggantikan teknik bedah yang lebih invasi.
Daftar Pustaka
1.
Abdel-Rahman U, Wimmer-Greinecker G, Matheis G, Klesius A, Seitz U, Hofstetter R, et al. Correction of simple congenital heart defects in infants and children through a minithoracotomy. Ann Thorac Surg. 2001;72(5):1645-9. 2. Bichell DP, Geva T, Bacha EA, Mayer JE, Jonas RA, del Nido PJ. Minimal access approach for the repair of atrial septal defect: the initial 135 patients. Ann Thorac Surg. 2000;70(1):115-8. 3. Pretre R. Minimal invasive surgery in congenital heart defects: keeping sight of our priority. European journal of cardiothoracic surgery : official journal of the European Association for Cardio-thoracic Surgery. 2012;42(6):980. 4. Liu YL, Zhang HJ, Sun HS, Li SJ, Yan J, Su JW, et al. Repair of
32 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
cardiac defects through a shorter right lateral thoracotomy in children. Ann Thorac Surg. 2000;70(3):738-41. 5. Doll N, Walther T, Falk V, Binner C, Bucerius J, Borger MA, et al. Secundum ASD closure using a right lateral minithoracotomy: Five-Year experience in 122 patients. The Annals of Thoracic Surgery. 2003;75(5):1527-30. 6. Yoshimura N, Yamaguchi M, Oshima Y, Oka S, Ootaki Y, Yoshida M. Repair of atrial septal defect through a right posterolateral thoracotomy: a cosmetic approach for female patients. Ann Thorac Surg. 2001;72(6):2103-5. 7. Noiseux N, Ruel M, Hemmerling TM. Minimally invasive cardiac surgery: new challenges for the surgeon and the anesthesiologist. Techniques in Regional Anesthesia and Pain Management. 2008;12(1):72-9. 8. Mishaly D, Ghosh P, Preisman S. Minimally invasive congenital cardiac surgery through right anterior minithoracotomy approach. Ann Thorac Surg. 2008;85(3):831-5. 9. Sunil GS, Koshy S, Dhinakar S, Shivaprakasha K, Rao SG. Limited right posterior thoracotomy approach to atrial septal defect. Asian cardiovascular & thoracic annals. 2002;10(3):240-3. 10. Preisman S, Keidan I, Perel A, Mishaly D. Anesthesia for portaccess cardiac surgery in a pediatric population. Journal of cardiothoracic and vascular anesthesia. 2005;19(5):626-9.
PUBLIKASI ILMIAH Literature Review Tinjauan Pustaka
33
Im plik asi kl inis “ Angiosome “ pad a Rev askular isasi Isk emia ungkai Kr itis dr Ronald Winardi Kartika SpBTKV , FIH A, RS Husada - Jakarta AB ST R AK L ATAR B EL AK AN GIan aylor memperkenalkan konsep angiosome, memba gi tubuh menjadi blok tiga dimensi berdasarka pa so kan sumber a rt eri. Perlun ya memahami angi osom es dari ka ki dan p erge la ngan ka ki s erta int erak si di ant ara art eri ters eb ut secara klinis berguna dalam revaskularisais iskemia tungkai kristis pada kaki dan pergelangan kaki, terutama bila disertai luka pa da ka ki ya ng su lit di semb uh ka n .Deng an ba ntu an angio some , ah li be da h pemb ul uh da ra h dapat menen tuka n targ et utama dalam revascularisasi untuk luka kronik pada iskemia tungkai kritis. TINJAUAN PUSTAKA Ada enam angiosomes dari kaki dan pergelangan kaki yang berasal dari tiga arteri utama dengan
cabangnya. iga cabang arteri tibialis posterior masing-masing memasok bagian-bagian yang berbeda dari kaki plantar. Dua cabang arteri peroneal memasok bagian anterolateral dari pergelangan kaki dan kaki belakang. Arteri tibialis anterior memasok pergelangan kaki anterior, dan bila diteruskan, arteri pedis dorsalis, persediaan dorsum kaki. Dengan selekti melakukan pemeriksaan Doppler pada koneksi angiosome ini dapat dengan cepat memetakan pembuluh darah kaki yang ada dan arah aliran, sehingga target revaskularisasi dapat ditentukan dengan tepat.Hal ini perlu karena dari beberapa penelitian, revaskularisasi langsung pada angiosome luka kronik sangat berpengaruh pada penyembuhan luka. KESIMPULAN Pengetahuan rinci tentang anatomi vaskular dari kaki dan pergelangan kaki memungkinkan ahli bedah
va sku ler mere ncana ka n re va scul aris as i pe mb uluh da ra h ka ki d an perg elanga n ka ki. Ah li be da h va sku ler ju ga dapat mer anca ng eksposur yang aman dari kerangka yang mendasari, dan memilih revaskularisasi yang paling eekti untuk luka yang diberikan. Kata kunci : Iskemia ungkai Kritis – Revaskularisasi – Angiosome
Abstract BACKGROUND:
Ian aylor introduced the concept angiosome, dividing the body into different three-dimensional blocks of tissue fed by the artery source. Understanding angiosomes of the foot and ankle and the interaction between their source arteries is clinically useful in surgery of the foot and ankle, especially with the presence of peripheral vascular disease. Based on angiosome, the vascular surgeon can determine the primary target in the revascularization of the chronic wounds in critical limb ischemia. LITERATURE
Tere are six angiosomes of the foot and ankle, which is derived from the three main arteries and their branches to the foot and ankle. Tree branches of the posterior tibia artery supplying each of the different parts of the plantar foot. wo branches of the peroneal artery supplying the anterolateral part of the ankle and hind legs. Te anterior tibia artery supplying the anterior ankle, and its continuation, the dorsal pedis ar tery, supplies the dorsum of the foot. Blood flow to the foot and ankle redundan t; because the three main arteries eat legs have some connection arteries. By selectively Doppler examination of this connection, it is possible to quickly map the existing leg veins and the direction of flow. Some author reported that direct revascularization to chronic wound angiosome had influenced in wound healing. CONCLUSION
Detailed knowledge of the vascular anatomy of the foot and ankle allows the surgeon to plan the reconstruction of the veins of the legs and ankles. Surgeons also can design a safe exposure of the underlying framework, and choosing the most effective revascularization for wound given. Keyword : Critical Limb Ischemia– Revascularization – Angiosome
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 33
34 PENDAHULUAN
D
iperkirakan bahwa setidaknya 15% dari penderita diabetes akan berkemban g menjadi ulkus kaki selama hidup mereka, 14% - 43% di antaranya akan memerlukan amputasi 1,2 . ingkat amputasi di antara pasien diabete s menga lam i penurunan denga n per kembangan teknik revasku larisasi yang baik selama dua dekade terakhir oleh ahli bedah vaskuler 2,3 , namun risiko amputasi tetap lebih dari tujuh kali lebih tinggi pada populasi diabetes dib andingkan kalangan nondiabetes 3 . Pada penderita diabetes, lesi aterosklerotik kebanyakan berada di arteri per gelanag an kaki (cr ural) 3 . Penyebab ulcus pada kaki diabetes adalah gangguan neuroischemic. Kerusakan jarin gan akan bert ambah dengan disungsi mikrovaskuler 3,4 .Dilaporkan dengan revaskularisasi konve nsional tampak memperhat ikan pem buluh dar ah tertentu, 10% -18% dari luka iskemik akan sulit disembuhkan .Penyembuhan luka setelah sukses revaskularisasi sangat lambat .Dilaporkan penyembuhan ulkus bisa memakan waktu hingga 6 bulan 3,4 . Oleh karena itu, dokter bedah vaskuler harus dapata mengidentiikasi dengan metode ang iosome untuk mengoptimalkan pasokan a rteri ke daerah luk a kronik / ulkus sangat per diperhatikanuntuk . Penel iti an ang iosome lagilu dikembangkan memetakan pasokansekaran g arteri utama dan cabang cabangnya ke daerah luka ulkus yang sulit sembuh karena tidak mendapatkan pasokan p emb ulu h dar ah arteri. KONSEP ANGIOSOME
Konsep angiosome pertama kali dijelaskan dalam bidang operasi bedah plastik rekon struksi oleh aylor dan Palmer pada tahun 1987 5. Menurut aylor, konsep angiosome membagi tubuh menjadi 40 bagian 3 dimensi berdasarkan pasokan pemb uluh darah arteri (Lihat gambar 1 ) Dalam studi anatomi, pengenalan konsep angiosome akan membantu stra tegi rekonstruksi jaringan atau revaskularisasi .ubuh manusia dibagi menjadi sektor-sekt or 3 dimensi berdasarkan arteri spesiik dan pasokan vena, bernama "angiosomes" 5,6 . Berdasarkan konsep ini, masing-m asing "angiosome" meliputi topogra i tertentu "arteriosome" dan "venosome" .Pasokan pembuluh darah tersebut
34 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
dicampur dalam k esatuan sistem blok perusi 5,7 . Angiosomes yang be rdekatan dihubungkan oleh banyak kom unikan, yaitu "Kapal choke" 5,7 .
Gambar 1. Pembagian 3D angiosome tubuh manusia ( Dikutip dari aylor, et al Br J Plastic Surgery 1987: 40 :113) Pada tahun 2006, Attinger dan rekan juga mealkukan penel iti an ang iosom e dari kaki dan p erg ela ngan kaki dan implikasi klinis untuk penyelam atan ekstremitas dengan pemahaman tambahan otot dan kulit anatomy. Konsep ini awalnya dirintis dalam plastik dan bedah rekonstru ksi 6,7 . Model ang iosome reperusi dapat diterapkan untuk perencanaan sayatan dan eksposur jaringan yang melestarikan aliran darah untuk luka bedah untuk menyembuhkan dan memprediksi yang p edicled tutup dapat berhasil dipanen atau apakah amputasi tertent u akan heal. Hal ini juga dapat membantu dalam memilih apak ah bypass atau prosedur endovascular memiliki harapan kesembuhan terbaik untuk penyembuhan luka iskemik yan g ada.Pe ntingny a system angiosomes ini untuk menciptakan sistem kompensasi yang eekti terhadap kondisi iskemik 5,7 terutama pada pasien diabetes dan stadium akhir penyakit ginjal (ESRD) 6,7 .Pada pasien tersebut bila terjadi luka ulkus pada kaki dapat mengalami penye mbuhan yang lam a , sehingga dengan s ystem angiosome,revaskularisasi bisa dioptimalkan pada angiosomes yang berdekat an 6,7 . AN GI OS OM E B ER DAS AR KA N ANAOM I
Secara skematis, distribusi kaki berdasarkan angiosomes di pergelangan kaki dibagi menjadi 6 bagian angiosome 6,7 adalah sebagai berikut : A. Angiosome Arteri ibialis Poster ior bercabang menjadi 3, ( lihat gambar 2 ) yaitu :
35 1.
Arteri kalkanealis medial (MCA: Meidal Calcaneus Artery) : Medial Ankle • • Plantar Heel
2.
Arteri plan taris medial (MPA: Medial Plantar is Artery): • Medial Instep
3.
Arteri cabang –cabang plantar lateral (PLA branch: Plantaris Lateralis Artery ) : • Lateral oreoot • Plantar oreoot
Gambar 3. Kiri: Late ral Plantar and Medial Heel. Kanan: Medial Ankle (Dikutib dari Attinger C.E. Plastic and Reconstr Surg 2006: 117;261S- 293S)
Angiosomes yang berasal dari arteri tibialis posterio r d an memasok seluruh tumit pla ntar, permuk aan p lantar bagi an medial dan lateral jarijari kaki 8,9 . ( Lihat gambar 3); B. Angiosome Arteri ibialis Anterio r ke arah distal akan menjadi arteri dorsalis pedis arteri (DPA), memberi vascularisasi punggung telapak kaki , kompartemen anterio r dari k aki serta memberi vaskularisasi perimalleolar bagian anterior 8,9 . (Gambar 4) C. Angiosome arteri peroneal a kan bercabang menjadi dua ( Lihat gambar 5 ) yaitu: 1. Arteri kalkanealis lateralis (LCA : Lateral Calcaneus A rtery ), angiosome memasok aspek lateral dan plantar di daerah tumit. 2. Anterior perorator memasok aspek malleolar postero-lateral
Gambar 2. Angiosome Arteri ibialis Poste rior ( Dikutip dari Cormack GC, Lamberty B GH. he Arterial Anatomy o Skin Flaps. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1986)
Gambar 4. Angiosome Arteri ibialis Anterior ( Dikutip dari Neville RP , Chie Division o Vascu lar Surgery , G eorge Washington University , Choosing the best target artery and method o revascularisation or limb salvage, Nevile et a l,J Vasc Surg 200 9; 50: 83- 88)
Gambar 5. Angiosome Arteri Peroneal.( Dikutib dari Neville RP , Chie Division o Vascular Surgery , George Washington University , Choosing the best target artery and method o revascularisation or limb salvage) Aliran peroneal umumnya meliputi pergelangan kaki lateral (late ral ankle) dan tumit bagian pla ntar (pla ntar heel), dan melalui cab ang a nterior
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 35
36 per orator bagi an anteri or memperdarahi daerah per geralangan kaki baga ian a nterior (anterior ankle ) 9,10 . ( Lihat gambar 6)
3. Angiosome ibialis Anter ior – ibialis Poster ior • •
dihubungkan oleh : Cabang Arteri Dorsalis Pedis Plantar Medial
Berikut adalah gambar secara menyeluruh distribusi angiosome pada pergelangan tungkai bawah, (Lihat Gambar 10, 11,12):
Gambar 6. Kiri: Lateral Ankle; Kanan: Late ral Plantar Heel. (Dikutip dari Neville RP , Chie Division o Vascular Surgery , George Washington Unive rsity, Choosing the best target artery and method o revascularisation or limb salvage) Diantara ketiga angiosome utama di telapak kaki, terdapat hubun gan ( communican t) , hal ini sangat diperlukan untuk menentukan target revascularisas i pada luk a kronis.Huba ung an tersebut sering keita sebut sebagai Angiosome connection s 9,10 . ( lihat gambar 7a, 7b)
Gambar 8. Distribusi Angiosome ungkai Bawah (Dikutip dari Attinger C. Vascular anatomy o the oot and ankle. Oper ech Plast Reconstr Surg 1997;4:183)
1. 2. 3. 4.
5.
Gambar 7. Kiri: An giosome Connect ion; Kanan: Angiosome Connection Anatomy. (Dikutip dari Neville RP , Chie Division o Vascular Surgery , George Washington University, Choosing the best target artery and method o revascularisation or limb salvage) Angiosome Connection dibagi menjadi 3 bag yaitu : 1. Angiosome Peroneal –ibialis Anterior dihubungkan oleh : • Malleolar Lateral • Perorator Anterior
ian,
2. Angiosome Peroneal –ibialis Posterior •
dihubungkan oleh : Cabang Perorator ( Perorating Branch )
36 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
6. 7.
Dorsalis pedis angiosome Medial calcaneal artery angiosome Medial plantar artery angiosome Ibu jari ,yang diperdarahi oleh arteries dari angiosomes 1, 2, or 6 Anterior per or ating bra nch angiosome Lateral calcaneal branch angiosome Lateral plantar artery angiosome
Gambar 9. Gambaran Angiosomes pada permukaan kaki . A. Medial view, B. Dorso-lateral view, C. Plantar view.( D ikutip dar i Atti nger C. Ang iosom es o the o ot and ankle and clinical implications or limb salvage: reconstruction, incisions, andrevascularization. Plast Reconstr Surg 2006;117;261S)
37
37
Gambar 10. Lokasi Angiosome pada kaki berdasarkan sumber arteri (Dikutip dari Matas R . esting the eiciency o the collateral circulation as preliminary to the occlusion o the great surgical arteries. Ann Surg 1911; 1: 1-5) ASP EK KL IN IK AN GI OS OME DALAM MENENUKAN ARGE REVASCULARISASI
Neville RF , 2009, melapork an dari luka kronik pada pasien yang telah dilakuk an arteriogram tungkai bawah,dilakukan revaskularisasi dengan operasi bedah pintas tungkai bawah (bypass) dengan teknik “patchula” . Dari 290 pasien dibagi menjadi 2 kelompok ( group). Group 1 : Direct Revas kularizatio n ( 49%): dilakukan revaskularisasi secara langsung ke target angiosome yang m emp erdarahi luka kronik.Group 2: Indi rect Revaskularization (51%) :revaskularisasi dilakukan pada arteri tanpa memperhatikan ang iosom e yang memperdarahi luka kronik tersebut . Penyebaran demograi pasien hampir seimbang diantara kedua group tersebut, dimana masing masing group memiliki aktor resiko yang sama dia ntarany a diabetes melitus, gaga l ginjal kronik dan penyakit jantung koroner. Dilakukan penga matan selama 3 bulan didapakan hasil : Group I ( Direct Revascularisation ) : Kesembuhan luka sempurna
abel 1: Penyembuhan luka berdasarkan revaskularisasi sesuai dengan angiosome (Dikutip dari Neville RF , Chie Division o Vascular Surgery , George Washington University , Choosing the best target artery and method o revascularisation or limb s alvage, Nevile RF , Ann V asc Surg 2009; 23(3): 367-373 )
Ada banyak d iskusi tentang konsep angiosome dan banyak diterbitkan seri kasus. Attinger et al menunjuk kan tingkat kegagalan penyembuh an 9% bila menggunakan konsep angiosome dibandingkan dengan tingkat kegagalan 38% ketika luka itu indirect revascularization t anpa memperh atikan angiosome luka kronik10,11. Nevile RF , 2009 juga melaporkan penelitian yang lain, dari 290 pasien dengan luka kronik, dengan dasar angiosome dilakukan revaskukarisasi tungkai bawah. Nevile RF membagi pasien menjadi dua kelompok (group) , Group 1 dilakukan te rapi bedah pintas tungkai bawah ( bypass) , group 2 dilakukan endovascular. Hasil : Group 1 ( bypass) : 76% mengalami penyembuhan luka,24 % gagal penyem buhan luk a. Gro up 2 ( endova scular ) : 41 % men galami penyembuhan luka,59 % gagal penyem buhan luk a. ( p = 0 , 03 ) 11, lihat tab el 2
yaitu 91% , Ketidak berha silan penyembuhan 9%. Group II (Indirect Revascularization ) : Kesembuhan luka sempurn a 62%, Ketidak berhasilan penyembuh an 38% ( p = 0,03) 11., lihat tabel 1 abel 2: Penyembuhan luka dengan revasku larisa si sesuai angiosome, perbandingan an tara bedah
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 37
38 pintas ( byp ass vs endova scula r ) (Di kuti p dar i Neville RF , Chie Division o Vascular Surgery , G eorge Washington University , Cho osing the best target arter y and method o revascularisation or limb sa lvage, Nevile RF ,SVS 2010) Nevile dkk juga dengan pasien yang s ama dilakukan pem bagi an menjadi 3 kelpompok (group) ber dasarkan luas luka kronik , Group A : 0,1 -5 mm, Group B :5,1 -20 mm,Group C > 20 mm. Dari pasien pa sien tersebut untuk semua luas luka, didapatkan bedah pintas mempun yai hasil yang lebih baik dalam penyembuhan luka11,.Lihat abel 3
abel 3: Penyembuhan luka ( berdasarkan luas luka ) dengan revaskularisasi sesuai an giosome perbandingan antara bedah pintas vs endovascular (Dikutip dari Neville RF , Chie Division o Vascular Surgery , George
Washington University , Cho osing the best target arter y and method o revascularisation or limb sa lvage, Nevile RF ,SVS 2010)
Meskipun operasi bypass inrainguinal dekade terakhir mengalami penuruanan, mungkin karena perawatan medis yang lebih ba ik dan intervensi endovascular yang leb ih berkem bang.Namun be dah pintas dengan menggunakan autologous vena s aphena tetap standar emas. Dengan tidak adanya pembuluh darah di kaki, vena di lengan ata s tetap har us dipertimbang kan. Penggunaaan bahan prostetik d apat digunakan sebagai pilihan terakhir, dan hanya dengan vena cu. Hasil jangka panjang dari Bypass ( bedah pintas tungkai bawah) dibandingkan dengan Angioplasty pada pasien Iskemia ung kai Kri tis (BA SIL trial ) operasi mendukung daripada angioplasty jika ada vena yang baik dan pasien . Penel iti an aca k leb ih lanjut inrainguinal stenting vs bypass( bedah pintas tungkai bawah ) masih banyak diperlukan 12.
38 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
KESIMPULAN DAN SARAN
Strategi revaskularisasi (endovascular maupun bypass ) berbasis konsep angiosome pada pasien Iskemia ungkai Kritis tungkai bawah (Inragen icular Critical Limb Ishemia) tampaknya me mberikan harapan penyembuhan dan d apa t m eng hinda ri amp utasi. B anyak laporan menuliskan pertimbangan revas kularisasi secara langsung berdasarkan konsep angiosome (Direct Flow Revascularization based on angiosome concept) akan mencegah meningkatny a angka kejadian amputasi pada pasien Iskemia ungkai Kritis yang memiliki lesi spesiik di bawah lutut (I solated Below he Knee lesions ).N amun dari makalah yang disadu r masih dalam lingkup yang terbatas.Dibutuhkan skala pen eli tian yang leb ih lua s , p eng alama n kli nis acak dan pen eli tian prospekti kohort untu k dap at mendukung atau menentang konsep ini.
DAFTAR PUSTAKA 1. Taylor GI, Palmer JH. The vascul ar territories (angiosomes) of the body: experimental study and clinical applications. Br J Plast Surg 1987;40:113-41. 2. Taylor GI, Pan WR. Angiosomes of the leg: anatomic study and clinical implications. Plast Reconstr Surg 1998;102:599-616. 3. Attinger C, Cooper P, Blume P, Bulan E. The safest sur gical incisions and amputations apply the angiosome principles and using doppler to assess arterial-a rterial connections of the foot and ankle. Foot Ankl e Clin N Am 2001;6:745-99. 4. Agnew SP, Dumanian GA. Angiosomes of the calf, ankle, and foot: anatomy, physiology, and implications. Sarrafian’s Anatomy of the Foot and Ankle. 3rd Ed. Philadelphia, JB Lippincott; 2011. 5. Taylor GI, Corlett RJ, Dhar SC, Ashton MW. The anatomical (angiosome) and clinical territories of cutaneous perforating arteries: development of the concept and designing safe flaps. Plast Reconstr Surg 2011;127:1447-59. 6. Neville RF, Attinger CE, Bulan EJ, et al. Revascularization of a specific angiosome for limb salvage: Does the target artery matter? Ann of Vasc Surg 2009;23(3):367–73. 7. Attinger CE, Ducic I, Nevill e RF, et al. The rela tive rol es of aggressive wound care versus revascularization in salvage of the threatened lower extremity in the renal failure diabetic patient. Plast Reconstr Surg 2002;109:1281. 8. Attinger CE, Ducic I, Nevill e RF, et al. The rela tive rol es of aggressive wound care 9. versus revascularizatio n in salvage of the threatened lower extremity in the renal 10. failure diabetic patient. Plast Reconstr S urg 2002;1 09:1281. 11. Berceli SA, Chan AK, Pomposelli FB, et al. Efficacy of dorsal pedal artery bypass 12. in limb salvage fo r ischemic heel ulcers. J Vasc Surg 1999 ;30:499. 13. Attinger CE, Evans KK, Bula n E, et al. Angiosome s of the foot and ankle clinical implications for limb salvage: reconstruction, incisions, and revascularization. Plast Reconstr Surg 2006;117:261S–93S. 14. Neville RF , Chief Division of Vascular Surg ery , George W ashington University , Choosing the best target artery and method of revascularisation for limb salvage, Nevile RF , Ann Vasc Surg 2009; 23(3): 367-373) 15. S.Ohima, K Noda, H.S umida, H Fukushima, T,N ishijima, K.Mo rihisa, F.Kugimiya, Kumamoto Central Hopsital, Kumamoto,Ja pan, ESC Congress 2012, Munich
PUBLIKASI ILMIAH Artikel Tambahan Supplemental Article
39
Local effects of high-powered neodymium-doped ytt rium aluminium garnet laser systems on the pulmonary parenchyma —an experimenta l st udy on the isol ated perf used p ig lung lob e Andreas Kirschbauma,*, Emanuel Paladea, Gia n Kayserb and Bernward Passlicka a Department o horacic Surgery, Unive rsity Hospital Freibu rg, Freiburg, Germ any b Institute o Patholog y, University Hospital Freiburg, F reiburg , Germany
Ab st ra ct Neodymium- doped yttrium aluminium garnet (Nd:YAG) laser systems (with a power output up to 100 W, wavelength 1318 nm) have been introduced into clinical practice or resecting lung metastases . However, the extent o the local eect on the lung parenchyma and the role o the application time are unknown. All experiments were perormed on normothermal, wholeblood-perused paracar - diac pig lung lobes (n = 6). Lobes we re not ventil ated during the laser applicat ion. he laser its el was clamped into a hydraulic eed system that moves horizontally at two dierent constant rates (10 and 20 mm/s). A 30-mm ocus distance rom the pul monary paren- chy ma was maintained at all times. At each eed rat e, the laser was applied t hrice along a horizontal path using laser power outputs o 40, 60 and 100 W. Ater lasering, we recruited the lungs via a ventilation tube using pre ssur es o up to 40 cm H2O a nd tes ted l ung tig ht- ness. Both a g ros s i nspectio n a nd a h ist olog ica l e xaminati on revea led lar ge r coagulation zones or higher power outputs and lowe r laser eed rates. Exposure to higher outputs or shorter application ti mes reduced the laser eect. When lungs were manually recruited , all lungs were airtig ht up to a pressure o 40 mmHg. Reducing the exposure time reduces local tissue coagulation even when the laser power output is increased. Keywords : Nd:YAG laser • Laser power output
• Application time • Lung parenchyma
BACKGROUND About 30% o cancer patients develop lung metastases. he pri mar y tum ours o the se met as tas es ty pic al ly res ult in col ore cta l, kidney, head and neck, testicular, bone and skin cancers. As early as 1965, homord postulated principles or deciding whether ( pulmonary) metastasectomy is indicated. Additional criteria or deciding whether metastase ctomy is indi- cated have since become established, including resection o pul- monary metastases in patients with bi lateral lung i nvolvement, and patients with resectable liver metastases rom primary colo- rectal cancer. here have also been reports o increased long- term survival ollowing surgical removal o lung metastases versus observatio n o the natural course o the disease [1, 2]. hese reports prompted leading international thoracic centres to pool data in the International Registry o Lung Metastases. A prelimin- ary analysis o a population o 5206 patients who underwent pul- monary metastase ctomy was publi she d in 199 7 [3] . Impo rta nt criteria to be con sidered or uture classi cation o all lung metas- tases included ‘primary tumour type’, ‘resectability’ or ‘radicality o surgery’, ‘disease-ree interval’ and ‘number o metastases’ . Lung metastases are usually removed via thoracotomy ollowing complete palpation o the lungs. here are several resection tech- niques. he most common o them, atypical resection, involves the clamping and removal o a peripheral
metastasi s by electro- cauterization. he lung parenchyma is then sealed by airtight su- turing. he same type o resection can be per ormed usi ng a staple r de vic e. he onl y ea sible approa ch to central metastases consists o anatomical resection as a segment resection or lobec- tomy. Pneumonectomy is rarely indicated. his surgical technique entails a major loss o the pulmonary par enc hyma . In rec ent yea rs, las er r ese cti on o lung met ast ase s has been established as the standard procedure worldwide. he Nd:YAG laser using a wavelength o 1318 nm was developed in Germany in the late 1980s. I ts ability to cut lung tissue proved clearly superior to that o the 1064 nm devices used previously. In addition, the 1318 nm laser substantially improved air and blood tight tissue sealing [4]. Lung tissue is ideally suited or photothermal laser use because its parenchyma consists o 80% water; moreover, most o its tissue is not very dense and contains a variable proportion o air, thus enabling local removal o a lung metastasis without sacri- cing too much lung tissue. At a given wavelength (1318 nm), the ee ct o laser exposure depends on the laser power output and on the application time. We currently use 40 W on our patients. he latest generation o higher-powered devices provide power outputs o up to 100 W. We s et out to exp lore the loc al e ect s o inc reasing the las er pow er output on the lung parenchyma and the role o the application time in this regard. o do this, we perormed the experiments described below using the paracard iac pig lung lobe model newly established by our group.
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 39
40
Figure 1: Schematic diagram o the experimental set-up. Figure 2: Determination o the cutting depth and the coagulation zone extension.
EXPERIMEN AL MODEL AND MEHODS he experiments were carried out on para cardiac lob es (mean wei ght 46. 7 ± 10 g ) obtai ned in the sla ughte rho use rom the heart–lu ng block o reshly sla ughtered pigs (weight 100 kg). he pulmo nar y art ery sup ply ing the lob e was dis se cte d re e and can nulated with a catheter (7F) to ush the lobe with 10 ml hepari- nized saline (5,0 00 IU) to remove any blood clots. Next, a ventilation tube was sut ured air tight onto the lobe bronchus. he lobe bronchus was clamped o. he lobe was not ventilated throughout the entire experiment. Next, the lung was suspended reely rom a tripod. A ush bag with heparinized pig blood (Hct 37%, 37°C) was connected to the perusion catheter and sus- pended at a height o 20 cm. he lobe was subjected to continu- ous pressure-controlled per us ion duri ng the exp erim ents . All exp eriment s were carrie d out using a LIMAX® 120 diode laser (Gebrüder Martin GmbH & Co KG, uttlingen, Germany). he laser power output was in nitely adjustable up to 100 W. he laser applicator was clamped into a device that moved horizon- tally at constant speed (10 or 20 mm/s). A de ned ocus distance o 30 mm to the lung surace was maintained. A total o six lungs were used or the experiments. A series o experiments at power output levels o 40, 60 and 100 W and ee d rat es o 10 and 20 mm/ s were perorme d on eac h lung. Figure 1 provides a schematic diagram o the experimental set-up. his treatment produced grooves o variable depth and exten- sion on the surace o the lasered lungs. A t the end o the experiments, each lung was recruited by a manual compressed-air pump, rec ord ing the rec rui tme nt pre s- sure (cm H2O) at whi ch lungs began to leak when submerged in a water bath. Next, specimens or histolog ical examination were obtained rom the lasered areas by cutting transversely to the direction o laser application. hese histolog ical sections were examined by a patholog ist, who measured the cutting depth (µm) and the extension (µm) o the surrounding
RESULS
coagu lation cutting depthmaximum was de ned distance between thezone. lung he surace and the grooveas the depth. he extension o the surrounding coagu lation zone is de ned by the maximum width o coagu lation-induced tissue changes (see Fig. 2). hese values were averag ed, and the g roups compared using Wil coxo n’s test (the sig ni can ce lev el was set at P < 0. 05) . Statis tic al analysis was perormed using the SPSS sotware package (IBM SPSS Statistics 15.0, IBM Corporation 2010).
pow er ± out3put o 40 the W laser and power a ee d output rate o 10was mm/ s. Ittoinc se d to 66.5 µm when raised 60rea W, increasing substantially to 284.3 ± 4 µm at an output o 100 W. his is equivalent to a percentage increase o 76.7%. When the eed rate was increased to 20 mm/s, the coagulation zone exten- sion measured 23.6 ± 4 µm at a laser power output o 40 W. We observed no signi cant di erence among dierent eed rates when using
40 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
Leakage test All lobes were airtight at recruitment pressures o up to 40 cm H2O whe n tes te d by sub mersion under water. At rec rui tme nt pre ssu res over 40 cm H2O, all lungs lasered with 60 or 100 W started to leak. Lobes lasered with 40 W started to leak at a re- cruitment pressure o 50 cm H2O.
Mean cutting depth he mean cutting depth at 40 W and a eed rate o 10 mm/s was 307.8 ± 39 µm and increased when the laser power output was raised to 60 W (cutting depth 397.1 ± 14 µm) and then to 100 W (cutting depth 1086 ± 114 µm). his is equivalent to a 63% increase in the cutting depth. When the eed rate was raised to 20 mm/s, the cutting depth at a laser power output o 40 W decreased signi cantly (P = 0.006). When the laser power output was increased to 60 W, the cutting depth also increased (to 310 ± 33.6 µm), but signi - cantly less when compared with the 10 mm/s eed rate group (P = 0.002). Lasering at 100 W at a eed rate o 20 mm/s resulted in the greatest cutting depth (872 ± 27 µm) within the high eed rate group, but it was again signi cantly smaller compared with the 10 mm/s eed rate group (P = 0.004). he percentage increase in the cutting depth was 64% and thus similar to that observed in the low eed rate group (see able 1).
Mean coagulation zone extension he mean coagu lation zone extension was
25.4 ± 2 µm at a laser
41 able 1: he mean cutting depth (µm) as a unction o the laser power out put (W ) a nd the ee d r ate (mm/s )
Feed rate (mm/s)
10 (N = 6)
20 (N = 6)
P-value
Laser po wer ou tput (W) 40
307.8±39
60
397.1±14.7
111.7±83
0.006
100
1086±113.6 872±27.4
310.6±33.6 0.002 0.004
able 2: he mean coag ulation zone extension (µm) as a unction
o the laser power output (W) and the eed rate (mm/s) Feed rate (mm/s)
10 (N = 6)
20 (N = 6)
P-value
Laser pow er out put (W) 40
25.4 2±
23.6 4±
60
66.5 3±
37.5 3±
100
284.3±37
0.6
137.2±10
<0.05 <0.05
the same laser power output (40 W) (P = 0.6). Increasing the output to 60 W at a eed rate o 20 mm/s produced an increase in the coa gulation zone extension to 37.5 ± 3 µm. When the laser power output was nally increased to 100 W, the mean coag ulation zone extension measured 137.2 ± 10 µm at the same eed rate, which is equivalent to a 73% increase. Comparison o the two same-output (100 W) groups showed that extensions were highly signi cantly dierent: the slow eed r ate group’s coagu lation zone extension (10 mm/s) was substan- tially greater (see able 2).
DISCUSSION he Nd:YAG laser (wavelength 1318 nm) is used routinely in thoracic surgery or resecting lung metastases at a power output o 40 W to cut and simultaneously coagulate lung tissue. his experimental study explored the eects o substantially increasing the laser power out put , and the imp act o the app lic ati on tim e ( ee d r ate ). Our experiments were carried out on the paracardiac pig lung lobe model newly developed by our group. Laser eects were assessed by measuring the cutting depth and the coagulation zone extension on h istolog ical sections. When the laser power output was increased by a total o 60 W rom 40 to 100 W, the cutting depth increased by 70% at a eed rate o 10 mm/s. his was as sociate d wit h a 90% mea n inc rea se in the coa gu lation zone extension. Whe n the app lication tim e was reduc ed by rai sing the e ed rat e to 2 0 mm/s, we detected an 87% increase i n the cutting depth whe n rai sin g the pow er out put rom 40 to 100 W. Howe ver, the cutting depth was reduced by 20% compared with that o the lower (10 mm/s) eed rate group. When the eed rate was raised to 20 mm/s, the coagulation zone extension increased by 83%, but the extension observed at 100 W was reduced by 52% compared with that o the 20 mm/s eed rate group. Raising the laser power output to 100 W pr oduced signi ca nt increases in both the cutting depth and the coagulation zone ex- tension. When the application time was red uce d, the las er’s local e ect on the pul mon ary par enc hyma decreased.
Whe n lung air tig htn ess was tes te d by lung rec rui tme nt wit h pre ssu re, lung s las ere d wit h higher power output s were the rs t to leak. his can be attributed to more extensive tissue destruc- tion and a possible opening o very small bronchioles. he 40 W laser power output gro up showe d be tte r res ult s in thi s re ga rd, but tho se areas also started to leak at a recruitment pressure o 50 cm H2O. Such pressures are not attained with spontaneous breathing, but during coughing ts, and thus resulting in the obvious risk o developing parenchymal leaks. We know o no similar studies in the literature that clearly demonstrate this correlation. he implication o our experimental study or clinical practice is that surgeons should always be aware o the local eects o higher laser power outp uts on the pulmonary parenchyma. he greater cutting action o higher laser power outputs has the advantage o making surgery aster, but it is liable to cause more extensive local tissue destruction. his aspect is particularly important when removing centrally located metastases because it is essential not to injure important vascular or bronchial structures potentially close to the metastasis at this location. he laser’s extensive coagulation eect may result in injuries to the segment bronchi being ove rlooked, which may later necessitate a revision surgery because o bronchopleural stulas. his means that such cases require the use o a lower laser power output or shorter application time. Raisi ng the laser power output means increasing its local eect on the lung parenchyma. he laser power output should be temporarily reduced when lasering in close proximity to rele- vant anatomical structures that must not be compromised. Con ict o interest: None declared.
REFERENCES 1.
Martini N, Huvos AG, Mike V. Multiple pulmonary resections in the treat- ment of osteogenic sarcoma. Ann Thorac Surg 1971;12:271–
2.
80. Cormack PM, Marti ni N. The changing role of surge ry for Mc pulmonary metastases. Ann Thorac Surg 1979;28:139–45. The International Registry of Lung Metastases. Long-term results of lung metastasectomy: prognostic analyses based on 5206 cases. J Thorac Cardiovasc Surg 1997;113:37–49. Hollaus PH, Pridun NS. Der Laser – eine neue Technik zur Behandlung pulmonaler Neoplasien. Chir Pra xis 2005/2006;65:451– 60.
3. 4.
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 41
42
42 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
43
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 43
44
LIPUTAN KHUSUS Tajuk Utama Headline
TAVI, EVAR/TEVAR dalam Genggaman Bedah TKV: Kapan & Bagaimana? Oleh : Niko Azhari Hidayat, Selayang pandang di Utrecht, The Netherlands, 2014
44 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
45 yang harus kita ikuti sebagai ahli bedah Toraks Kardiak & Vaskular di Indonesia.
Gambaran Alat Ada 2 brand alat yang beredar digunakan, the Sapien Valve by Edwards Life Science, Inc., Irvine CA dan the Core Valve (Medtronic, Inc., Minneapolis,MN) kesemuanya produk Amerika. Sebenarnya ada beberapa produk
I. Transcatheter Aortic Valve Implantation/Replacement (TAVI/R) erupakan tindakan Minimally Invasive penggantian
Catheter based bioprosth etic aortic valves lain, yakni Direct Flow Medical, St. Jude Medical Portico, Medtronic Engager, Ja naValv e & Bo st on Scie nt if ic Lo tus Valv es yang di eropa juga sudah diperkenalkan. Masing-masing brand terdiri dari : Valve System/Concept (Bahan, Bentuk & Ukuran), Delivery System (Introducer sheath set, Ballon Expandable Catheter , Inflation device) & Crimper. Perlengkapan lain yang standar: ruang angiografi (Cathlab/ Hybrid Operating Theatre) & peralatan standar (needle, wire, introducer, bahan kontras). Tehnik yang digunakan : Pendekatan
katup Aorta (Bio), de ngan tehnik khusus yaitu melalui pembuluh darah Arteri (Femoralis (transfemoral),Subcla via & Aorta (direct aortic)) atau melalui apeks jantung (transapical). Pertama kali di dikembangkan di Perancis, April 2002, oleh Professor Alain Cribier di RS Charles Nicolle,di kota Rouen. Saat ini >50 negara di seluruh dunia menggunakan tehnik ini, terutama setelah FDA approval (November 2011), untuk pasien Aortic Stenosis yang inoperable & Oktober 2012 untuk pasien high risk dengan prosedur open. Sampai awal 2013, sudah
minimally invasive, yakni dengan 3 tehnik yang utama yaitu Retrograde Percutaneous Implantation (Transfemoral atau Aksillaris/ Subclabvia), Direct Apical Puncture, dan Direct Aortic Access melalui Ministernotomy atau Torakotomi Anterior kanan. Dalam melakukan prosedur TAVI/R pada masingmasing center memiliki karakteristik yang berbeda, beberapa banyak center dilakukan dalam mindset kesatuan tim jantun g (d ed icated he art team), te rdiri dari Kardiologi Intervensi dan Ahli Bedah Ja ntung, bahk an ad a juga center ya ng melibatkan Ahli Radiologi Intervensi.
>50.000 prosedur implant TAVI di seluruh dunia, meski masih dalam proses penelitian yang berlanjut, menandakan bahwa TAVI/R merupakan tehnologi Minimally Invasive
Indikasi TAVI : Mengacu pada beberapa peneliti an ( PARTNER, SU RTAVI, SOU RCE, CHOICE dll), yaitu pasien yang Inoperable & High Risk dengan open surgery (AVR),
M
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 45
46 disebutkan oleh Konsensus para ahli (The American College of Cardiology Foundation/ American Association for Thoracic Surgery/ Society for Cardiovascu lar Angiography and Interventions/Soc iety of Thoracic Surgeons expert consensus, 2012). TAVI/R di Universiteit Medisch Centrum, Utrecht, The Netherlands & Eropa : TAVI/R di Belanda maupun di sebagian besar negara - negara Ero pa dikerjakan o leh sebuah tim, yakni gabungan antara dokter Bedah TKV,
Kardiolog Intervensi, yang berdedikasi untuk kasus TAVI/R di Unit Cathlab/Hybrid Operating Theathre. Perlu diketahui bahwa peran Ahli bedah TKV adalah cukup penting, meski tidak melebihi pentingnya kerjasama Dedicated TAVI/R Team, dimana 2 akses utama Transfemoral dan Transapikal yang tentu Safety prosedur lebih baik, dengan ahli Bedah TKV didalam Tim. Universiteit Medisch Centrum, Utrecht, pada bulan juni 2014 pada 20 th ASEAN Federation Cardiology Congress, Kuala Lumpur, diminta menjadi
46 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
TAVI Li ve C ase Transmiss ion, Center TAVI yang terkemuka di Eropa.
II. EndoVascular Aneurym Repair (EVAR) / Thoracic EndoVascular Aortic Repair TEVAR. Sejarah dunia Endovaskular mencatat pioneer Dr. Juan Parodi (1976,Cleveland Clinic), Dr. Nicholas Volodos (Kharkov, Uni Sovyet, 1987), & Dr. Geoffrey White (Sidney), dengan pertimbangan tingginya morbiditas pada Repair Aorta Aneurisma secara open, terutama pasien usia lanjut dan dalam keadaan klinis yang tidak stabil, Parodi memulai mengembangkan tehnik yang lebih tidak invasif, begitu juga Dr. Volodos yang pertama kali melakukan Endovascular repair pada aneurisma regio toraks (TEVAR) di tahun 1987, suatu pseudoaneurysma traumatika. Parodi pertama kalinya EVAR yang berhasil yakni pada 1990. Memasuki era peralatan endovaskular modern, dr. Geoffrey White di Sidney , memperkenalkan bentukan Bifurcated & Modular. 2003 merupakan tahun EVAR melampaui open aortic surgery, & 2010 EVAR dikerjakan pada 78% kasus AAA di Amerika Serikat. Gambaran alat: Secara prinsip dasar, peralatan terdiri dari : Delivery system, Main Device & Extensions, selain peralatan yang mutlak ada pada setiap fasilitas Cath lab atau Hybrid OT (Wires, Introducers, Catheters dll). Pilihan Stent Graft System ada saat ini, untuk AAA/Abdomen yaitu : AneuRx, Zenith, Excluder, AFX And Powerlink, Anaconda, Talent, Endurant & untuk Aneurisma Aorta Torakalis (TAA): TAG, Zenith TX2, Valiant Thoracic StentGraft System, Relay, TAArget, E-Vita dll. Di Indonesia saat ini yang beredar cukup
47 ba nyak adal ah En du rant , Tale nt, & Vali an t oleh Medtronic, dengan Captivia sebagai Delivery systemnya. EVAR/TEVAR di UMC, Utrecht, The Netherland & Eropa : 250 – 300 EVAR/ TEVAR pertahun, dimana system rujukan be rjal an de ng an sa ng at baik da n tert ib, menangani kasus Aneurisma & diseksi Aorta Abdominalis dan Torakalis. Dari segi kualitas, bersyukur juga mulai simple EVAR
pilihan/ antisipasi “Bail Out” bila sesuatu terjadi tidak semestinya dalam rencana. Hanya sekitar 10-15% dilakukan Open Procedure.
Diskusi Pertanyaanpun masih dapat timbul dikalangan Bedah, apakah TAVI/R sudah Evidence Based untuk menangani pasien Aortic Stenosis?, dibandingkan
dengan
" Sekitar 5 tahun Indonesia tertinggal didalam hal TAVI " (Good landing zone, straight neck, minimum possibility endoleak), sampai dengan tipe maupun dengan komplikasi, chimneys
Surgical AVR, namun alangkah baik jika kita mengubah pertanyaan itu d engan bagaimana agar Ahli Bedah Toraks Kardiak & Vaskular
& fenestrated, LSA bypass serta berbagai
Indonesia dapat melakukannya?, karena perlu disadari bahwa tahun tertinggalnya kita adalah 10 tahunan, bila dibandingkan secara global, sedangkan 2 Negara tetangga kita sudah sejak sekitar 2009an, dengan arti bahw a se ki tar 5 tahu n In do ne sia tert ingg al didalam hal TAVI dengan Negara tersebut & Asia Tenggara. Suatu TA VR Round table discussion antara ahli bedah kardiotorasik dan ahli jantung pada Transcatheter Heart Valve (THV) Symposium 2013 di DallasTexas, Amerika Serikat, 3 pembicara dengan 1 moderator, salah satu diantaranya adalah dokter jantung intervensionist, sedang ketiga lain adalah dokter bedah, artinya adalah: urusan TAVI ini adalah utamanya juga urusan do kter Be dah, bila do kter be dah tidak mempersiapkan diri untuk membentuk diri & dedicated cardiac team, maka tidak
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 47
48 akan pernah kita maju mengejar.
melangkah, apalagi
Gagasan yang dapat menjadi salah satu ba kal so lusi dala m pe meca han perm asal ahan “Klasik” mengenai ketersediaan fasilitas ba ik da sar pela yana n beda h Toraks Kardiak & Vaskular diIndonesia, maupun yang be rk aitan de ng an te hn ik ad vance mi nima lly invasive CardioVascular pada Bedah Toraks Kardiak & Vaskular Indonesia, mungkin kita dapat belajar dari Organisasi besar seperti The Society of Thoracic Surgeons (STS), dimana pada tubuh organisasi ditempatkan “dedicated keyperson” untuk advocacy kepada pemerintah, bahkan be be rapa wa ktu ya ng la lu baru me mpubli sh diskusi roundtable member STS, “How Cardiothorac ic Surgeons Can Participate in Government Advocacy”. Demikian juga bila kita memperhatikan perkembangan tindakan EVAR/TEVAR pada Penyakit Aneurisma maupun Diseksi Aorta Abdominal juga Torakalis. Laporan awal yang masih harus dikonfirmasi dengan be be rapa piha k, me ny atakan bahw a se ki tar 50an tindakan EVAR/TEVAR di Indonesia pada 2013. Dalam hal ini yang melakukan selain Dokter Bedah TKV, juga sejawat Bedah vaskular, Kardiolog Intervensi juga mela kuka n di be be rapa Un it yang memang persiapkan. Saat ini, masih banyak kasus Aneurisma Aorta juga yang masih “diterbangkan” ke Negara tetangga, untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan promosi yang cukup gencar. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita Bedah TKV Indonesia, dalam tubuh HBTKVI menyikapi pandangan Negara tetangga tentang Negara kita sebagai “Big Market” ini, yakni 247Juta penduduk Indonesia, dimana tidak sedikit yang mampu, apalagi Asuransi sudah mulai
48 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
be rlak u Nasi onal . Pe rlu kira nya stra tegi otentik para Pimpinan Negeri tentunya dengan motivasi dari aspek Profesional, sehingga semakin banyak Rakyat sakit terawat dengan baik, oleh tangan & keahlian anak Bangsa sendiri. Sejarah awal Bedah TKV Indonesia, mencatat dengan tinta emas Professor Puruhito, Professor Paul Tahalele, (Alm.)Professor Ismid Busroh, dr. Soerarso Hardjowasito sebagai inisiator, dilanjutkan pesatnya Bedah TKV seiring tumbuhnya perhimpunan juga oleh pera n se ge na p para Se nior Be da h TKV Indonesia. Untuk Minimally Invasive, perlu diingat bahwa, ketika sepulang dari Pendidikan Erlangen – Nurnberg, Germany, Prof. Ito memulai & memperkenalkan penggunaan Ruang Kateterisasi (Angiografi), disaat sejawat kardiolog belum ada/ bany ak ya ng me ma hami ha l te rs ebut, juga Prof Paul yang besar perannya dalam hal inovasi bidang Bedah Kardiotorasik, Prof Ismid di Bedah Toraks diIndonesia. Hal tersebut kiranya memacu generasi Bedah TKV selanjutnya. Optimalisasi Cath Lab, terapresiasi oleh dr. Yasa & dr Semadi di Bali, untuk Demonstrasi PTA, juga dr. Sahal saat PIT-IKABI Semarang(2013) dengan Workshop Angiografi yang menyemangati generasi BTKV. Eksistensi Bedah TKVpun juga di tunjuk kan, se perti di RSU Zain al Abidin, Aceh, diresmikannya Hybrid Operating-Theatr enya & BTKV yang menjadi keypersonnya, Jakarta Heart Center dengan Hybrid OT/Cath labnya, juga fa si litas Ka rdio lo gi In terv ensi RS Dr. Soetomo, RS Universitas Airlangga, juga RS Harapan Kita dimana dr.BTKV memiliki peranan didalamnya. Beberapa hal ini memberi semangat yang padu, untuk saling mengembangkan di Unit masing2, baik instansi Negeri maupun Swasta, semuanya
49 demi makin maju & pesatnya Bedah TKV Indonesia, utamanya terkait Minimally Invasive Cardiothoracic & Vascular Surgery. Ringkasnya, langkah kita BTKV sudah baik dalam beberapa langkah (Pengenalan Cath Lab dll.), tinggal tergantung kita akan mempercepatkah?, sehingga “Advance Experience” seperti TAVI & EVAR/TEVAR itu beg itu de katnya dengan kita, hingga dalam genggaman kita secara pasti. Segala usaha Langkah & Genggaman, akan segera terwujud dengan HBTKVI – Kolegium BTKV be se rta peme ga ng Ke bija kan Pend id ik an Bedah TKV Indonesia bersatu padu dan membangun.
10.
11.
12. 13.
14.
Global Collaborators on Advanced Stent-Graft Techniques for Aneurysm Repair (GLOBALSTAR) Registry. Early results of fenestrated endovascular repair of juxtarenal aortic aneurysms in the United Kingdom. Circulation. 2012 Jun 5;125(22):2707-15. Eberhardt KM, Sadeghi-Azandaryani M, Worlicek S, Koeppel T, Reiser MF, Treitl M. Treatment of type I endoleaks using transcatheter embolization with onyx. J Endovasc Ther. 2014;21(1):162-71. M, Vos JA, Kolvenbach RR, Verhoeven EL, Perdikides T, Resch TA, et al. The use of endoanchors in repair EVAR cases to improve proximal endog raft fixation. J Cardiovasc Surg (Torino). 2012;53(4):419-26. Jurnal Endovascular Today (2013 –&2014) European Journal of Vascular Endovascular Surgery (2014) European Journal of Cardio-Thoracic Surgery (2014)
Tentang Penulis
Referensi 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tang GHL, et al. Transcatheter Aortic Valve Replacement: Current Development, Ongoing Issues, Future Outlooks. Cardiology in Review, 2013;21(2):55-7 Tuzcu EM, Kapadia SR. Selection of Valves for TAVR. Is the CHOICE Clear? JAMA. Published online March 30, 2014 Cao C, et al. Systematic Review and Meta-analysis of Transcatheter Aortic Valve Implantation versus Surgical Aortic Valve Replacement for Severe Aortic Stenosis. Ann Cardiothorac Surg 2013;2(1):10-23 Sethi RK, Henry AJ, Hevelone ND, Lipsitz SR, Belkin M, Nguyen LL (September 2013). “Impact of hospital market competition on endovascular aneurysm repair adoption and outcomes.”. J. Vasc. Surg. 58 (3): 596–606. doi:10.1016/j. jvs.2013.02.014.PMID 23684424. Jump up^ Dua, A (2014). “Epidemiology of aortic aneurysm repair in the United States from 2000 to 2010”. J Vasc Surg. PMID 24560865. Sethi RK, Henry AJ, Hevelone ND, Lipsitz SR, Belkin M, Nguyen LL (September 2013). “Impact of hospital market competition on endovascular aneurysm repair adoption and outcomes.”. J. Vasc. Surg. 58 (3): 596–606. McCutcheon BA, Talamini MA, Chang DC, Rose JA, Bandyk DF, Wilson SE (September 2013). “The comparative effectiveness of surgeons over interventionalists in endovascular repairs of abdominal 476–82. aortic aneurysm.”. Ann. Surg. 258 (3): Greenhalgh RM, Powell JT (2008). “Endovascular repair of abdominal aortic aneurysm” . N. Engl. J. Med. 358 (5): 494–501. British Society for Endovascular Therapy and the
dr. Niko Azhari Hidayat, Sp.BTKV Staf Unit Bedah Toraks Kardiak & Vaskular, RS Universitas Airlangga, Surabaya. Saat ini sedang menjalani Fellowship & Training Vascular Surgery & Endovascular Surgery di Department Bedah Vaskular, Universiteit Medisch Centrum, Utrecht, The Netherlands; Cardiothoracic Surgery Visiting Fellow di St. Antonius Ziekenhuis, Nieuwegein The Netherlands (Aortic Surgery,TEVAR&TAVI); Visiting Fellow di Cardiothoracic Surgery Department, UMC, Utrecht, The Netherlands (TAVI,Heart Failure Surgery – Heart & Lung Transplant). Tidak memiliki financial interest berkaitan dengan artikel ini. Dr. Niko Azhari Hidayat dapat dihubungi melalui +31616168070; +6281332355540 (Whatsapp);
[email protected]
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 49
50
Berita Topik Topic News
Prosedur Aortic Valve Replacement : Invasif Minimal atau Sternotomi Konvensional? oleh : Adityo Budiarso
D
(CPB; WMD 8,16 menit). 1 Lamanya waktu operasi dapat meningkatkan risiko systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang berujung pada disfungsi organ.
ewasa ini, prosedur invasif minimal semakin berkembang di bidang ilmu bedah, termasuk bedah toraks dan kardiovaskular . Operasijantung yang biasanya dilakukan dengan sternotomi kini dapat dikerjakan dengan ministernotomi atau minitorakotomi. Dibandingkan dengan sternotomi konvensional, prosedur invasif minimal pada operasi jantung memiliki beberapa kekuran gan dan kelebihan.
Di luar itu, keunggulan prosedur invasif minimal cukup banyak. Dari segi kematian perioperatif, prosedur invasif minimal memiliki angka yang lebih rendah (1,9% versus 3,3%, p=0,02). 1 Namun, temuan tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pemilihan pasien serta kemampuan dokter 1
Studi metaanalisis oleh Phan, dkk. membandingkan prosedur invasif minimal dan sternotomi konvensional pada aortic valve replacement. Penelitian yang melibatkan 50 studi dengan 12.786 pasien ini membandingkan beberapa aspek intraoperasi dan pascaoperasi, antara lain durasi operasi, kematian perioperatif, gangguan neurologis, gagal ginjal, gangguan paru, infeksi luka, gangguan jantung, gangguan hematologis, nyeri, lama rawat di unit perawatan intensif, dan lama rawat di rumah sakit.
bedah yang bertindak sebagai ope rator. Dilihat dari keperluan transfusi perioperatif, frekuensi transfusi lebih rendah pada prosedur 1 invasif minimal (36% versus 52,4%, p=0,001). Insisi yang lebih kecil pada prosedur invasif minimal mengurangi perdarahan dan trauma sehingga menurunkan kebutuhan transfusi. Lebih sedikitnya produk darah yang digunakan juga berperan mengurangi angka kejadian gangguan ginjal pada prosedur invasif minimal dibandingkan metode 1 konvensional (2,5% versus 4,2%, p=0,04).
Kekurangan prosedur invasif minimal terletak pada lama operasi. Durasi operasi
Insiden yang lebih rendah juga terlihat pada infeksi luka atau sternum (0,3% versus 0,2%,
pada prosedur invasif minimal lebih panjang dibandingkan dengan sternotomi konvensional, begitu juga dengan d urasi crossclamp (weight mean difference/WMD 8,09 menit) dan durasi cardiopulmonary bypass
1 p=0,04), khususnya pada minitorakotomi. Stabilitas sternum dan toraks yang lebih baik mencegah terlepasnya jahitan dan terjadinya infeksi. 2 Insisi yang lebih kecil pada sternum juga berpengaruh dalam menurun kan
50 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
51
morbiditas pasien, seperti nyeri pascaoperasi (WMD -0,87 poin, p=0,002), lama waktu rawat intensif (WMD -0,60 hari, p=0,0007), dan lama rawat di rumah sakit (WMD -1,34 hari, p<0,00001). 1 Dari segi gangguan neurologis pascaoperasi, tidak ada perbedaan signifikan antara prosedur invasif minimal dan sternotomi konvensional, walaupun beberapa literatur mengatakan teknik invasif minimal dengan perfusi retrograde meningkatkan risiko emboli. 1,3 Kejadian gangguan paru seperti pneumonia, efusi pleura, dan pneumotoraks juga tid ak berbe da bermakna antara kedua metode. Perbedaan signifikan pun tidak ditemukan pada aspek gangguan jantung, seperti fibrilasi atrium, penggunaan pacu jantung, dan efusi perikardi al. Studi metaanalisis oleh Phan, dkk. masih memiliki beberapa keterbatasan, seperti jumlah sampe l yang terbata s, blinding yang kurang adekuat, serta laporan klinis yang masih kurang konsisten antara penelitian di dalamnya. Terlepas dari itu, hasil di atas menunjukkan beberapa keunggulan prosedur invasif minimal, yaitu mengurangi kejadian kematian perioperatif, gangguan ginjal, kebutuhan transfusi darah, infeksi 1
luka maupun sternum, nyeri pascaoperasi, serta lama rawat intensif dan rumah sakit. Di samping itu, prosedur invasif minimal juga memiliki kelemahan dibandingkan sternotomi konvensional, terutama menyangkut durasi operasi dan penggunaan CPB yang lebih lama. Perkembangan prosedur invasif minimal memperkaya variasi teknik yang dapat digunakan dalam operasi penggantian katup aorta. Pilihan penggunaan teknik invasif minimal ataupun konvensional kembali pada keputusan ahli bedah dengan mempertimbangkan kondisi pasien, kemampuan operator, dan ketersediaan fasilitas di tempat pelayanan kesehatan. Daftar Pustaka 1.
Phan K, Xie A, Di Eusanio M, Yan TD. A Meta-analysis of minimally invasive versus conventional sternotomy for aortic valve replacement. Annals Thoracic Surgery. 2014; 98: 1499-511.
2.
Brown ML, McKellar SH, Sundt TM, Schaff HV. Ministernotomy versus conventional sternotomy for aortic valve replacement: A systematic review and metaanalysis. The Journal of Thoracic and Cardiovascular Surgery. 2009 Mar; 137(3): 670-9.
3.
Miceli A, Murzi M, Gilmanov D, Fuga R, Ferrarini M, Solinas M, Glauber M. Minimally invasive aortic valve replacement using right minithoracotomy is associated with better outcomes than ministernotomy. The Journal of Thoracic and Cardiovascular Surgery. 2014; 148(1): 133-7.
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 51
52
52 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
53
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 53
54 54
Berita
HBKTVI
Berita dan Informasi Seputar Bidang Keahlian Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular
Pelantikan Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah oraks, Kardiak dan Vaskular Indonesia Periode 2014 - 2017
Pelantikan Pengurus HBTKVI Periode 2014 - 2014
Jakarta, 1 November 2014.
RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta menjadi tempat dilangsungkannya pelantikan Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular Indonesia (HBTKVI) oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pelantikan dilakukan oleh ketua umum terpilih pengurus besar IDI, dr. Prof.Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG dan dihadiri oleh para anggota HBTKVI
54 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
serta pengurus HBTKVI untuk periode 2014 - 2017. Pada kesempatan ini Prof. Marsis menyampaikan beberapa pesan kepada para pengurus HBTKVI yang baru mengenai perkembangan sistem kesehatan di Indonesia serta isu - isu yang berkembang mengenai pelayanan kesehatan dan bagaimana kesiapan kita dalam menghadapinya. Perhimpunan ini harus mempersiapkan diri untuk para anggotanya agar siap dalam persaingan global yang akan dihadapi menjelang
BERIA HBTKVI | 55
55
diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN, kompetensi yang merata bagi seluruh ahli bedah TKV merupakan tugas utama dan tanggung jawab kolegium. "Kita harus berlari, tidak boleh santai dalam menghadapi tantangan ini" ucapnya. Beliau juga berharap ke depannya sistem kesehatan nasional akan semakin membaik dan penerapan Kartu Indonesia Sehat dapat dilaksanakan secara tepat guna dan tepat sasaran. Pelantikan ini disaksikan oleh para anggota dan pengurus lama HBTKVI, semoga semua program kerja pengurus HBTKVI yang baru dapat berjalan dengan maksimal demi kemajuan kesehatan Indonesia bersama, VIVA HBTKVI!
Penandatanganan pengesahan pelantikan pengurus HBTKVI
Ketua Umum HBTKVI dr. Dicky Fakhri, Sp.B, Sp.BTKV dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG
Kiri ke Kanan : dr. Maizul Anwar, Sp.BTKV (Ketua Purna HBTKVI), Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG (Ketua IDI), Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, Sp.F (Kementerian Kesehatan) dan dr. Dicky Fakhri, Sp.B, Sp.BTKV (Ketua HBTKVI).
Prof. Marsis, memberikan pengantar dalam pelantikan ini.
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 55
56
56 | BERIA HBTKVI
Rencana Pembangunan Pelayanan Operasi Jantung di 5 kota Indonesia oleh : Navy Laksmono
Pertemuan HBTKVI, PERKI dan Dirjen BUK di Kementerian Kesehatan 30 Oktober 2014 (Buletin HBTKVI)
I
ndonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara tentunya memiliki tantangan tersendiri dalam melaksanakan pelayanan operasi jantung bagi warga negaranya. Jumlah pasien yang akan terus meningkat seiring dengan adanya jaminan kesehatan dari negara harus diimbangi oleh fasilitas yang dapat memadai berjalannya pelayanan dengan maksimal. Hal ini akan melibatkan berbagai sektor dari
(HBTKVI) telah melakukan beberapa pertemuan dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan rencana dan strategi pembangunan pelayanan jantung di Indonesia, termasuk di dalamnya pertemuan dengan mantan menteri kesehatan dr. Nafsiah Mboi, Sp.A pada 7 Juli 2014, saat itu HBTKVI mengungkapkan masalah – masalah yang terjadi seputar pelayanan bedah jantung di Indonesia. Beliau menyambut baik pertemuan terse-
pelayanan kesehatan dan tentunya p eran besar dari aparatur kesehatan negara itu sendiri, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular
but dan menyatakan akan siap membantu dan bekerja bersama. Kemudian pertemuan kedua dilakukan di Kementerian Kesehatan pada tanggal 30 Oktober 2014, kali ini HBTKVI bert emu dengan
56 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
BERIA HBTKVI | 57
57
Suasana Pertemuan 5 Direksi Rumah Sakit dengan Kementerian Kesehatan
Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Prof. Dr. dr. med. Akmal Taher, SpU(K), di akhir pertemuan telah ditentukan 5 rumah sakit yang akan dicanangkan sebagai titik fokus p embangunan pelayanan bedah jantung di Indonesia. Pada 10 Desember 2014, Dirjen Bina Upaya Kesehatan Kemenkes, Prof. Dr. dr. med. Akmal Taher, SpU(K) memenuhi janjinya memanggil 4 direktur RSUP vertikal dan 1 direktur RSUD. Dalam rapat tertutup tersebut turut hadir ketua
kardiak dan vaskular yang masih sangat kurang. Prof. Akmal berharap kolegium bedah toraks, kardiak dan vaskular dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan ini dalam waktu yang lebih efisien t anpa mengurangi kualitas lulusan pendidikan BTKV dalam negeri. Beberapa solusi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan dalam bidang bedah jantung diungkap kan ol eh Dr. dr. Tri Wahyu Murni, Sp.B, Sp.BTKV, Mh.Kes, beliau mengatakan bahwa pendidikan pe-
HBTKVI, dr.Dicky Fakhri, Sp.B, Sp.BTKV yang memberikan penjelasan mengenai kondisi pelayanan bedah jantung saat ini di Indonesia. Hasil diskusi antara pimpinan rapat, p ara direksi, organisasi profesi terkait memberikan keputusan bahwa akan segera dilakukan pembangunan pusat pelayanan operasi jantung di 5 rumah sakit di Indonesia. Termasuk di dalamnya antara lain RSUP Adam Malik Medan, RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, RSUD Sanglah Bali, RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Diharapkan dalam
layanan bedah jantung untuk tenaga kesehatan seperti perawat operasi, p erawat anestesi jantung dan perfusionist t idak selalu harus dikirim ke luar negeri untuk belajar. Pendidikan dapat dilakukan di dalam negeri dengan berguru dari rumah sakit yang sudah berpengalaman dalam pelayanan bedah jantung. Pada akhir pertemuan Prof.Akmal Taher meminta komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk menjalankan tugasnya masing – masing dengan sebaik mungkin. Diharapkan pembangunan pelayanan bedah jantung ini dapat berjalan dengan
waktu 2 tahun ini sudah ada perkembangan nyata yang terjadi dan pelayanan dapat berjalan dengan maksimal. Diungkapkan dalam rapat tersebut mengenai kebutuhan dokter spesialis bedah toraks,
baik sehingga warga negara Indonesia tidak perlu lagi mencari p elayanan bedah jantung di luar negeri. Semoga apa yang telah direncanakan dapat diimplementasikan dalam bentuk nyata ke depannya.
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 57
58
58 | BERIA HBTKVI
Reportase Kegiatan
Management Update on Aortic and Peripheral Vascular Disease Oleh : Michael Caesario
Presentasi oleh dr. Sugisman, Sp.BTKV
ada tanggal 1 Novermber 2014 Himpunan Bedah Toraks , Kard iak, dan Vaskul ar Indonesia (HBTKVI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Departemen Kardiologi dan Kedokteran V askular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, serta Yayasan Jantung Indonesia bekerjasama menyelenggarakan simposium Management Update on Aortic and Peripheral V ascular Disease dalam rangka memperingati hari ulang tahun Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
P
dari HBTKVI, para pakar kedokteran vas kular dari PERKI, didukung oleh rekan-rekan sejawat anestesiologi dan perfusi yang turut membagikan keahlian dan pengalamannya terkait kasus-kasus vas kular.
Acara simposium yan g dipimpin dr
Dalam sambutan nya, dr Dicky Fakhri, SpB, SpBTKV selaku ketua HBTKVI menyoroti bidang bedah vaskular sebagai bidang potensial yang akan terus berkembang secara pesat di masa yang akan datang. Pada kesempatan ini beliau juga menyatakan penghormatan sert a rasa bangganya pada para sejawat ahli bedah toraks, kardiak, dan vaskular yang terus mengembangkan bidang bedah vas kular di seluruh penjuru Indonesia.
Sugisman, SpBTKV sebagai ketua panitia ini mengetengahkan topiktopik hangat di bidang vaskular yang dibawakan oleh para ahli bedah vaskular
Pada sesi pertama seminar yang mengangkat topik seputar penyakit aorta, dibahas update diagnosis dan tatalaksana
58 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
BERIA HBTKVI | 59
penyakit Aorta oleh dr Suko Adiarto, SpJP, PhD serta teknik Endovascular Aortic Stenting oleh dr Dudy Arman Hanafy, SpBTKV. Pada sesi k edua seminar, Prof Dr M ed dr Puruhito, SpBTKV memberikan materi mengenai perspektif ahli bedah terhadap penyakit vena yang sekaligus
59
gairah dalam mengembangkan pelayanan dan ilmu bedah vaskular di Indonesia. Materi seminar ini dapat diunduh di Dropbox dengan memasukkan email
[email protected] dan password harkit1nov
menyimpulkan mater i tent ang Deep V ein Thrombosis, New Oral Anticoagulants (NOACs), dan peran ultrasonografi dalam diagnosis penyakit vaskular yang disampaikan oleh dr Suko Adiarto, SpJ P, PhD, dr RWM Kaligis, SpJP, dan dr Taofan SpJP. Pada sesi ket iga, dr Sugisman, SpBTKV dan dr Dicky Aligheri, SpBTKV memb agikan pengalaman RS Harapan Kita dalam mengerjakan intervensi bedah pada arkus aorta. Selain perspektif dari sisi bedah, pengetahuan peserta seminar juga ditambah dengan pengantar metode hybrid dalam tatalaksana diseksi aorta tipe B oleh dr Suko Adiarto, SpJP, PhD. Dalam sesi selanjutnya DR. dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV dan dr Sahal Fatah, SpB, SpBTKV turut membagik an pengalamannya merintis pelayanan bedah vas kular dan endovas kular di Bali dan Semarang.
Prof. Puruhito memberikan presentasi materi
Antusias peserta dalam memberikan pertanyaan diskusi
Seminar kali ini ditutup dengan presentasi dari sejawat anestesi, neurologi, dan perfusi yang membahas manajemen dan tatalaksana perioperatif pada pasienpasien yang menjalani pembedahan aorta. Diharapkan dengan dilangsungkannya seminar ini serta dibagikannya pengalaman merintis pelayanan bedah vas kular, d apat timbul semangat serta
Beberapa pembicara pada acara seminar sehari MUAPVD
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 59
60
60 | BERIA HBTKVI
Reportase Kegiatan
Works hop B asic Card iac Surg ical Skil l
dr. Maizul Anwar, Sp.B, Sp.BTKV memberikan arahan kepada peserta dalam pelatihan BCSS
Semakin berkembangnya ilmu bedah toraks, kardiak, dan vaskular serta semakin besarnya tantangan menjelang era masyarakat ekonomi ASEAN mendorong para pengajar di bidang bedah toraks kardiak, dan vaskular untuk semakin optimal mempersiapkan anak didiknya guna menjadi ahli bedah toraks, kardiak, dan vaskular yang mumpuni serta mampu bersaing di tingkat nasional maupun regional. Sebagai langkah nyata dalam mempersiapkan ahli bedah toraks, kardiak, dan vaskular Indonesia yang mumpuni di masa yang akan datang, pada tanggal 18 Oktober 2014 berlangsung acara Basic Cardiac Surgical Skill (BCSS) di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta. Acara ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan peserta PPDS
60 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
dalam melakukan tindakan di bidang bedah toraks, kardiak, dan vaskular. Acara ini merupakan yang kedua kalinya diadakan dan kembali diketuai oleh dr Dudy Hanafy, SpBTKV dengan didukung oleh staf pengajar bedah toraks, kardiak, dan vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pada penyelenggaraannya yang kedua ini, BCSS memperluas cakupannya dengan menyertakan PPDS baik dari Jakarta maupun Surabaya. Acara BCSS kali ini memadukan pembelajaran lewat metode kuliah interaktif dan hands on pada sesi wet lab dengan jantung hewan. Sebelum kuliah interaktif dilaksanakan pretest untuk menyegarkan kembali wawasan PPDS tentang anatomi dan fisiologi sistem kardiovaskular.
BERIA HBTKVI | 61
61
Setelah pretest, diberikan materi melalui kuliah interaktif tentang dasar-dasar keterampilan bedah seperti scrubbing and gowning serta pengenalan dan handling instrumen oleh dr Maizul Anwar, SpB, SpBTKV, pengenalan suture material dan kegunaannya oleh dr Dicky Fakhri, SpB, SpBTKV, anatomi sistem kardiovaskular oleh DR dr Jusuf Rachmat, SpB, SpBTKV, teknik menjahit dan menyimpul oleh dr Suprayitno, SpBTKV, serta patient safety menjalankan tindakan pembedahan oleh drdalam Wuryantoro, SpB, SpBTKV. Setelah mendapatkan ilmu melalui rangkaian kuliah, peserta berkesempatan berlatih pada jantung hewan di sesi wet lab. Turut membimbing para PPDS dalam sesi wet lab ini dr Maizul Anwar, SpB, SpBTKV, dr Dudy Hanafy, SpBTKV, dr Suprayitno, SpBTKV, dr Sugisman, SpBTKV, serta dr Muhammad Arza Putra, SpBTKV. Dalam sesi wet lab diajarkan tentang berbagai tindakan yang berkaitan dengan kegiatan seorang ahli bedah toraks, kardiak, dan vaskular seperti teknik menyimpul dan menutup kulit, kanulasi, anastomosis proksimal maupun distal, serta teknik penggantian katup. Para PPDS yang berpartisipasi dalam kegiatan ini memberikan umpan balik yang positif. Seluruh PPDS yang mengumpulkan umpan balik menyatakan bahwa kegiatan ini sangat membantu dalam mengasah keterampilan melakukan tindakan bedah yang menjadi kompetensi seorang ahli bedah toraks kardiak dan vaskular.
Antusiasme peserta pelatihan BCSS
Pengarahan teknik operasi oleh pelatih dr.M. Arza,Sp.BTKV
Ketua penyelenggara acara, dr Dudy Hanafy yang ditemui setelah acara menyatakan akan berkoordinasi dengan ketua program studi untuk kembali mengusahakan agar acara serupa dapat dilaksanakan rutin, minimal setiap 6 bulan sekali agar PPDS dapat semakin terampil mengerjakan tindakan pada hewan coba sebelum mengerjakan secara hands on langsung ke pasien. Beliau juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada mitra industri yang turut mendukung dari sisi logistik yang diperlukan dalam pelatihan kali ini. Pengarahan teknik operasi oleh dr. Suprayitno Wardoyo
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 61
62
62 | BERIA HBTKVI
Kar tu Indonesia Sehat: apa dan bagaimana? oleh : Fitriana Nur Rahmawati
rumah tangga. Selain itu, KIS dapat digunakan di
sumber foto : CNN Indonesia
ada 3 November 2014, Presiden Joko Widodo meluncurkan program unggulannya di bidang kesehatan, yaitu Kartu Indonesia Sehat (KIS). Peluncuran tersebut secara umum disambut positif oleh masyarakat Indonesia.mengenai Namun, banyak pula pertanyaan dan kekhawatiran fungsi KIS. Pasalnya, Indonesia telah memiliki program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2014. Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fahmi Idris, dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nila Moeloek, pun turun tangan untuk menjelaskan. Pada dasarnya, KIS sama dengan JKN. Pengelolanya pun tetap BPJS Kesehatan. Hanya saja, KIS menyempurnakan kuantitas jangkauan dan kualitas pelayanan JKN. Dari segi kuantitas, terdapat penambahan jumlah peserta dari kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang belum tercakup dalam penerima bantuan iuran JKN. Dengan demikian, masyarakat prasejahtera termasuk gelandangan dan pengemis akan secara otomatis mendapatkan jaminan kesehatan karena telah terdaftar oleh Dinas Sosial. Hal ini menunjukkan cakupan peserta KIS yang lebih luas dibanding JKN yang hanya menggunakan data
P
62 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
pelayanan kesehatan mana pun di seluruh Indonesia tanpa terbatas pada wilayah tempat pendaftaran seperti JKN. Sampai akhir 2014, sasaran penerima KIS diharapkan mencapai 432.000 jiwa di 19 kabupaten/ kota, seperti DKI Jakarta, Mamuju Utara, Jembrana, Pematang Siantar, Kota Kupang, Kota Semarang, dan Kota Balikpapan. Pemilik KIS diperkirakan akan mencapai 4,5 juta penduduk dan terus meningkat secara bertahap. Dari segi kualitas, selain tetap mengusung aspek kuratif, KIS juga mengintegrasikan aspek promotif, preventif, dan deteksi dini melalui program-program Kementerian Kesehatan. Integrasi ini berusaha menggeser fokus pelayanan kesehatan dari “penyembuhan penyakit”menjadi “pencegahan penyakit”. Para dokter, terutama dokter layanan primer, didorong untuk lebih banyak melakukan edukasi serta berbagai kegiatan promotif dan preventif lainnya. Sebagai konsekuensi dari penambahan layanan, premi yang dibayarkan pun diperkirakan akan naik. Meski begitu, sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai masalah tersebut karena KIS masih difokuskan untuk masyarakat prasejahtera sebagai subsidi sehingga tidak membutuhkan premi. Dana untuk subsidi tersebut berasal dari dana bantuan sosial yang disediakan oleh Kementerian Sosial. Kesimpulannya, KIS bertujuan untuk memperluas cakupan jaminan kesehatan bagi penduduk Indonesia sekaligus meningkatkan kualitas sistem yang sudah dicanangkan sebelumnya. KIS yang berjalan selaras dengan JKN membawa harapan besar bagi tercapainya sistem asuransi kesehatan Indonesia yang lebih baik.
BERIA HBTKVI | 63
63
Upcoming Events Surabaya Vascular Update 5 (SURVUE 5) Simposium dan workshop vaskular tahunan Surabaya, Surabaya Vascular Update 5 (SURVUE 5) kembali diadakan pada tahun 2015 ini tepatnya pada tanggal 6 - 8 Maret 2015. Acara ini diselenggarakan oleh Divisi Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular Department Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tema yang diangkat kali ini adalah "Penanganan Pembuluh Darah Arteri dan Vena Masa Kini" dengan beberapa pembicara dari mancanegara maupun dalam negeri antara lain Prof. Jean Francois Uhl (Perancis), dr. Peter Robless (Singapura), dan ahli dari dalam negeri seperti Prof. Puruhito, Prof. Paul Tahalele dan dr. Sahal Fatah, serta beberapa nama lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi email di
[email protected], Ibu Budi (081332981371) atau Ibu Tari (08123390979), pendaftaran dapat dilakukan di Divisi Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular Department Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Pekan Ilmiah ahunan ke 7 Perhimpunan Dokter Spesial is Bedah oraks, K ardiak d an Vaskula r Indonesia Aceh terpilih menjadi tuan rumah diselenggarakannya acara Pekan Ilmiah Tahunan ke 7 Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular Indonesia (PIT 7 HBTKVI), acara ini merupakan kegiatan rutin tahunan yang diadakan oleh HBTKVI dan melibatkan semua ahli bedah toraks, kardiak dan vaskular di Indonesia serta profesi terkait lainnya seperti anestesi kardiak, kardiologi, pulmonologi, perfusi, perawat bedah dan bidang multidisiplin lainnya. PIT HBTKVI juga terbuka bagi dokter umum yang memiliki minat dalam bidang bedah toraks, kardiak dan vaskular. PIT kali ini akan diadakan pada tanggal 4 - 7 Juni 2015, pembukaan pengumpulan abstrak akan diinformasikan lebih lanjut.
23rd Annual Meeting of the Asian Society for Cardiovascular and Toracic Surgery (Hong Kong) Hong Kong terpilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan acara pertemuan perhimpunan dokter ahli bedah toraks dan kardiovaskular Asia pada tahun 2015 ini. Untuk tema pertemuan tahun ini adalah “Shaping the Future through Innovation and Collaboration”. Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan para ahli bedah bahwa dalam menghadapi perkembangan masa depan dibutuhkan pendekatan inovatif dan pentingnya kolaborasi antar tim multidisiplin untuk mendapatkan hasil yang terbaik bagi pasien. Batas waktu pengumpulan abstrak adalah 25 Januari 2015, dapat dilakukan pada website www.ascvts2015.org Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 63
64
D
K
D OKUMENTASI P ELANTIKAN P ENGURUS P ERHIMPUNAN D OKTER S PESIALIS B EDAH T ORAKS , KARDIAK DAN V ASKULAR I NDONESIA
D OKUMENTASI M ANAGEMENT U PDATE
D OKUMENTASI B ASIC C ARDIAC S URGICAL
S KILL
64 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015
OF
A ORTIC P ERIPHERAL V ASCULAR D ISEASE
3
Edisi III / Januari -Maret 2015 | BULEIN HBKVI | 3
4
Buletin
HBTKVI
Majalah Internal Himpunan Spesialis Bedah Toraks, Kardiak dan Vaskular Indonesia
EDISI III
| JANUARI - MARET 2015
4 | BULEIN HBKVI | Edisi III / Januari - Maret 2015