ANALISIS DAMPAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA
1.1.
Analisis Dampak Ekonomi Terkait Rencana Pembangunan JSS di Provinsi Lampung
1.1.1. Dampak Rencana Pembangunan JSS Terhadap Ekonomi Wilayah
Rencana pembangunan JSS akan menimbulkan implikasi diantaranya terhadap perubahan pola ruang, struktur ruang, dan sistem transportasi. Implikasi yang ditimbulkan tersebut berdampak terhadap ekonomi wilayah Provinsi Lampung. Pembangunan JSS dapat menimbulkan kecenderungan perubahan pola ruang (komposisi pola ruang), yakni dengan kemungkinan perkembangan penggunaan lahan yang mengurangi cakupan lahan kawasan lindung dan bertambahnya cakupan lahan kawasan budidaya. Perkembangan luas lahan terbangun di provinsi Lampung akan cukup besar pasca pembangunan JSS, selain disebabkan karena pertumbuhan kawasan terbangun saat ini sudah cukup besar juga karena faktor ekonomi dan perkembangan penduduk berpengaruh secara signifikan (mencapai 99%) pada perkembangan kawasan terbangun. Kemungkinan perkembangan kawasan yang memiliki kecenderung perkembangan tinggi seperti kawasan perkotaan pada pusat-pusat perdagangan dan jasa, kawasan industri, koridor penyeberangan Bakauheni - Merak, serta kawasan wisata pasca pembangunan JSS, demikian juga dengan perubahan struktur ruang menjadi berstatus pusat kegiatan nasional (PKN), pusat kegiatan wilayah (PKW) atau pusat kegiatan lokal (PKL) akan memacu kinerja dan struktur perekonomian wilayah Provinsi Lampung. Skema perubahan struktur ruang Provinsi Lampung terhadap beberapa kota seperti Bandar Lampung, Kota Agung, Menggala, Bandar Jaya, Kemuning, Sukadana dan Way Jepara dapat diperkirakan akan membawa pengaruh perkembangan perekonomian kabupaten dan kota.
Pembangunan JSS juga berimplikasi terhadap perubahan pergerakan transportasi antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa karena manfaat yang dapat diberikan meliputi : a. Menambah aksesibilitas dengan adanya tambahan infrastruktur transportasi baru b. Bertambahnya kapasitas layanan lalulintas c. Meningkatnya kecepatan perjalanan dibandingkan dengan menggunakan ferry atau pelayaran laut d. Meningkatnya kepastian waktu perjalanan dibandingkan menggunakan ferry atau pelayaran laut Manfaat yang ditimbulkan oleh fungsi JSS tersebut berakibat terjadinya peralihan lalulintas (traffic diversion) antara infrastruktur eksisting dengan JSS, timbulnya bangkitan lalulintas (traffic generation) akibat terstimulasinya kegiatan ekonomi, dan meningkatnya arus kecepatan (speed flow) lalulintas Sumatera – Jawa. Peralihan lalulintas yang mungkin terjadi antara lain : penyeberangan ferry Merak – Bakauheni, pelayaran laut Pelabuhan Panjang – Tanjung Priok, dan penerbangan Lampung (Bandara Radin Inten) – Jakarta; karena ketiga rute lalulintas tersebut terletak paling dekat dengan JSS, memiliki asal/tujuan perjalanan yang sama, dan memiliki jenis layanan yang sama. Pengembangan komoditi unggulan dan sebaran industri/sentra produksi yang sudah dibahas pada Bab III secara umum memberikan peluang lapangan kerja baru di tingkat makro. Namun demikian, sebaran industri dan sentra produksi yang mempunyai peluang berkembang lebih besar adalah yang terletak dekat dengan pembangunan JSS atau berada pada jalur yang langsung terhubung dengan JSS seperti ditunjukkan pada gambar 3.1 pada Bab III. Sementara kabupaten/kota lain yang terletak cukup jauh dari infrastruktur JSS dan koridor utama JSS seperti : Kabupaten Lampung Utara, Lampung Barat, Way Kanan, Tanggamus akan mengalami kesenjangan. Lokasi kawasan potensial Provinsi Lampung sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.6 pada Bab II. di mana identifikasi dilakukan dengan membagi kawasan berdasarkan zona dengan
interval radius 30 km dari kaki JSS (Bakauheni). Kawasan potensial yang berada pada Zona I, II dan III (30 km, 60 km dan 90 km) khususnya di wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Timur, berpeluang terimplikasi dampak ekonomi secara langsung, sehingga perlu dikembangkan berbagai bentuk perekonomian mikro. Sedangkan Zona III, IV dan zona lain di atas radius 120 km mengalami dampak perekonomian secara makro.
1.1.2. Dampak Rencana Pembangunan JSS Terhadap Ekonomi Mikro/Lokal/ Pedesaan Kabupaten Lampung Selatan yang dominan memiliki potensi kegiatan ekonomi di sektor pertanian terletak pada zona hingga 60 km dari kaki JSS. Dalam hal ini ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Potensial (KEP) Lampung Selatan, dampak pembangunan JSS bersifat ekonomi mikro/lokal/pedesaan. Peluang sektor ekonomi mikro yang dapat dikembangkan berkaitan dengan implikasi pembangunan JSS dapat dilihat pada Tabel 1.1. dan Tabel 1.2. Pada Tabel 1.1 konsentrasi pengembangan sektor ekonomi mikro di Kabupaten Lampung Selatan difokuskan antara lain pada : a. Kawasan Terminal Agribisnis Kecamatan Penengahan, Penengahan dengan kegiatan ekonomi pemasaran hasil produk pertanian serta bahan baku kebutuhan pertanian dan pendukungnya. b. Kawasan Agropolitan Kecamatan Sidomulyo, Sidomulyo dengan kegiatan ekonomi produksi hasil pertanian. c. Kawasan Minapolitan Kecamatan Ketapang, Ketapang dengan kegiatan ekonomi budidaya perikanan, penangkapan ikan dan pengolahan hasil ikan. d. Kawasan Agroindustri di Kecamatan Tanjung Bintang, intang dengan kegiatan ekonomi adalah industri peralatan dan mesin-mesin pertanian, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri jasa sektor pertanian
e. Kawasan Pariwisata Kalianda dan sekitarnya, dengan kegiatan ekonomi adalah perdagangan dan jasa seperti: perhotelan, restorant (kuliner)
transportasi, dan
cinderamata. Penduduk Kecamatan Penengahan dan Kecamatan Sidomulyo yang secara umum adalah petani, sedangkan penduduk Kecamatan Ketapang adalah nelayan diharapkan dapat diberdayakan untuk mendukung kawasan pengembangan tersebut. Begitu pula dengan penduduk di kawasan Tanjung bintang, diharapkan dapat mendukung keberadaan industri di Kawasan Industri Lampung (KAIL). Sedangkan penduduk kota Kalianda yang lebih banyak bekerja di sector perdagangan dan jasa dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan pariwisata di sumber air panas Wat belerang, Pelabuhan Canti untuk penyeberangan ke Gunung Krakatau dan Pantai Wartawan. Tabel 1.1. Kawasan Potensial di Kabupaten Lampung Selatan No
Fungsi
1
Terminal Agribisnis
2
Agropolitan
3
Minapolitan
4
Agro Industri
Kegiatan 1. Memasarkan hasil produk pertanian 2. Memasarkan bahan baku kebutuhan pertanian dan pendukungnya 1. Produksi hasil pertanian 1. 2. 3. 1.
Usaha budidaya perikanan Usaha penangkapan ikan di laut Usaha pengolahan hasil ikan Industri peralatan dan mesin-mesin pertanian 2. Industri pengolahan hasil pertanian 3. Industri jasa sektor pertanian
Sumber: Hasil analisis, 2012 dan Studi Kawasan Strategis Selat Sunda, 2011
Lokasi KEP Lampung Selatan, Kec. Penengahan (Kab. Lampung Selatan) KEP Lampung Selatan, Kec. Sidomulyo (Kab. Lampung Selatan) KEP Lampung Selatan, Kec. Ketapang (Kab. Lampung Selatan) KEP Lampung Selatan, Kec. Tanjung Bintang (Kab. Lampung Selatan)
Tabel 1.2. Kawasan Potensial di Kabupaten Lampung Timur No
Fungsi
1
Minapolitan
1. 2. 3. 1.
Kegiatan Usaha budidaya perikanan Usaha penangkapan ikan di laut Usaha pengolahan hasil ikan Industri peralatan dan mesin-mesin pertanian Industri pengolahan hasil pertanian Industri jasa sektor pertanian
2
Agroindustri
3
Agrowisata
1. Produksi hasil pertanian 2. Pembibitan buah-buahan dll
5
Ecotourism (Pariwisata Alam)
1. Pengembangan Desa Wisata di Labuhan Ratu 2. Industri cinderamata
2. 3.
Lokasi KEP Lampung Timur, Kec. Labuhan Maringgai (Kab. Timur) KEP Lampung Timur, Kec. Jabung, Sekampung Udik (Kab. Lampung timur) KEP LampungTimur, Kec. Pekalongan (Kab. LamTimur) KEP Lampung Timur Kec. Labuhan Ratu dan Way Jepara (Kab. Lampung Timur)
Sumber: Hasil analisis 2012
1.2.
Analisis Dampak Sosial Terkait Rencana Pembangunan JSS di Provinsi Lampung Perubahan sosial yang terjadi di suatu wilayah ditandai dengan perubahan struktur dan
hubungan-hubungan sosial berdasarkan usia, tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan sebagainya. Perubahan sosial mengakibatkan perubahan di sektor lain, oleh karena itu tidak dapat dipandang hanya dari satu sisi. Sedangkan perubahan budaya berkaitan dengan perubahan substansi budaya seperti nilai, kepercayaan, sikap, norma, perilaku, pranata, dan lain-lain. Perubahan sosial dan perubahan budaya tidak dapat dipisahkan dan akan saling mempengaruhi. Rencana pembangunan jembatan Selat Sunda diperkirakan akan menghadirkan beragam perubahan kepada kehidupan masyarakat setempat. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya bersifat fungsional, namun ada pula yang bersifat disfungsional. Beberapa perubahan fungsional dari rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda diantaranya adalah semakin lancarnya jalur transportasi dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra, menjadikan wilayah sekitar Jembatan Selat Sunda yakni Provinsi Banten dan Lampung menjadi wilayah strategis untuk membuka usaha-usaha baru, misalnya penduduk setempat dapat
membangun rumah makan, minimarket dan sebagainya di sekitar area kaki
JSS.
Perubahan fungsional lainnya adalah semakin majunya pengembangan transportasi di negeri ini dan menjadi catatan khusus dengan menjadi jembatan terpanjang kedua di dunia setelah Jembatan Shanghai, Cina. Tentunya dengan demikian, akan semakin memperkuat eksistensi Indonesia di dunia internasional dalam aspek jalur transportasinya. Namun kita juga jangan melupakan nasib para pengusaha dan awak kapal feri yang sebelumnya menggantungkan hidupnya dengan menjual jasa menyebrangkan penumpang maupun kendaraan dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatra. Dengan dibangunnya Jembatan Selat Sunda ini tentunya akan mengurangi bahkan menghilangkan penghasilan sehari-hari mereka, karena tentunya minat untuk menggunakan jasa kapal feri ini menjadi menurun drastis. Selain itu mengingat bahwa Jembatan Selat Sunda ini juga akan dilengkapi oleh jalur kereta api, maka hal ini pun akan menjadi masalah baru bagi pemerintah jika tidak segera dicari antisipasinya, karena kemungkinan bertambahnya pengangguran akan semakin besar.
1.2.1 Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Provinsi Lampung termasuk dalam kategori provinsi dengan jumlah penduduk menengah, yaitu antara 5 hingga 10 juta jiwa. Jumlah penduduk Lampung 7.608.405 jiwa (tahun 2010) atau naik sekitar 5,5% dibandingkan tahun 2007 (7.211.596 jiwa). Dibandingkan dengan tahun 2000, jumlah penduduk lampung naik sekitar 15,74%. Terhitung laju pertumbuhan penduduk Provinsi Lampung periode 2000-2010 sebesar 1,3%, dibandingkan periode sebelumnya (1990 – 2000 sebesar 1,01%) mengalami peningkatan 0,29%. Berdasarkan hasil sensus penduduk 2010, penduduk Provinsi Lampung, 2010 mencapai 7.608.405 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 106,09. Tingkat kepadatan penduduk di Provinsi Lampung tampak masih timpang atau tidak merata antar wilayah. Dibandingkan dengan kabupaten, kepadatan penduduk di kota umumnya sangat tinggi. Tingkat kepadatan penduduk Kota Bandar Lampung misalnya mencapai 4.570 jiwa per kilometer persegi dan Kota Metro mencapai 2.354 jiwa per kilometer persegi. Sementara itu, tingkat kepadatan penduduk di
semua kabupaten masih berada dibawah 500 jiwa per kilometer persegi, bahkan Kabupaten Lampung Barat baru mencapai 85 jiwa per kilometer persegi. Diantara 4 kawasan potensial JSS di tahun 2010, Kabupaten Lampung Timur memiliki jumlah penduduk terbesar (951.639 jiwa), diikuti Kabupaten Lampung Selatan (912.490 jiwa), Kota Bandar Lampung (881.801 jiwa), dan terakhir Kabupaten Pesawaran (398.848 jiwa). Sedangkan jika dilihat dari kepadatan penduduk, Kota Bandar Lampung memiliki kepadatan penduduk terbesar (4.569,86 jiwa/km2), diikuti Kabupaten Lampung Selatan (454,65 jiwa/km2), Kabupaten Pesawaran (339,8 jiwa/km2), dan terakhir Kabupaten Lampung Timur (219,38 jiwa/km2). Dengan adanya proyek pembangunan JSS maka akan terjadi peningkatan jumlah penduduk yang signifikan untuk ketiga kabupaten (Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Pesawaran).
Banyaknya lahan kosong, memungkinkan alih guna lahan pertanian menjadi
pemukiman dan industri akan terjadi. Penduduk 4 (empat) wilayah potensial JSS di Provinsi Lampung yaitu Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Pesawaran dan Kota Bandar Lampung tercatat 3.018.945 jiwa atau 41% dari keseluruhan penduduk Provinsi Lampung pada sensus penduduk tahun 2007. Di tahun 2010 meningkat menjadi 3.144.778 jiwa (41,33%). Selama 3 tahun terakhir terjadi peningkatan 0,3%. Penduduk Kabupaten Lampung Selatan sebelum dimekarkan dengan Kabupaten Pesawaran adalah yang terbesar di antara kabupaten dan kota di provinsi ini, yaitu 1.312.527 jiwa di tahun 2006.
Gambar 1.1 Jumlah Penduduk di kawasan Potensial JSS (2010) 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 0 Lam-Sel
Lam-Tim
Pesawaran B.Lampung
Gambar 1.2 Kepadatan penduduk Kawasan Potensial JSS (2010) 5000 4000 3000 2000 1000 0 Lam-Sel
Lam-Tim
Pesawaran B.Lampung
Sumber : Hasil analisis, 2012
Sementara itu kepadatan penduduk di Provinsi Lampung pada tahun 2010 sebesar 215,61 jiwa.. Kota Bandar Lampung memiliki kepadatan penduduk terbesar ((4.569,86 jiwa/km2), diikuti Kabupaten Lampung Selatan (454,65 454,65 jiwa/km2), Kabupaten Pesawaran (339,8 339,8 jiwa/km2), dan terakhir Kabupaten Lampung Timur ((219,38 jiwa/km2). Seluruh wilayah potensial potens JSS memiliki kepadatan penduduk di atas rata rata-rata provinsi.
Dari hasil pengolahan dan analisis data, dapat diketahui hasil proyeksi jumlah penduduk untuk sepuluh dan duapuluh tahun kedepan. Berdasarkan perhitungan tersebut rata-rata pertumbuhan penduduk Provinsi Lampung tiap tahunnya diperkirakan mencapai 1,2% dan hingga akhir tahun rencana penduduk Provinsi Lampung terkonsentrasi di Kabupaten Lampung Selatan (18%) dari jumlah penduduk Provinsi Lampung. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain karena faktor topografi wilayah yang relatif datar dibandingkan wilayah lain di Provinsi Lampung, merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera dari arah Jawa dan memiliki aksesibilitas yang baik dari berbagai moda, luas wilayah yang memadai dibanding Bandar Lampung dan Metro dan memiliki kelengkapan sarana prasarana yang cukup menarik untuk aktivitas perdagangan dan industri. Selain itu letaknya yang berbatasan langsung dengan Kota Bandar Lampung menjadi nilai lebih bagi Kabupaten Lampung Selatan, mengingat sektor usaha dan penyediaan lapangan usaha masih terkonsentrasi di Kota Bandar Lampung. Sementara ketersediaan lahan di Kota Bandar Lampung relatif terbatas, sehingga penduduk di Kota Bandar Lampung mencari permukiman di luar Kota Bandar Lampung terutama di daerah perbatasan antara Bandar Lampung dan Lampung Selatan dan Bandar Lampung - Pesawaran. Dengan demikian jumlah penduduk terkonsentrasi di Wilayah Lampung Selatan. Proyeksi jumlah penduduk untuk tahun 2020 dan 2030 dapat di lihat pada tabel berikut.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Tabel 1.3 Proyeksi Jumlah Penduduk Lampung Kabupaten/Kota Tahun 2020 Tahun 2030 Lampung Selatan 1.027.448 1.142.139 Bandar Lampung 1.024.709 1.168.032 Tanggamus 603.813 671.013 Pringsewu *) 382.229 399.089 Lampung Barat 473.319 526.391 Way Kanan 468.458 529.732 Lampung Utara 638.947 691.749 Tulang Bawang 489.306 580.706 Tulang Bawang Barat *) 276.237 301.767 Mesuji *) 206.297 225.187 Lampung Tengah 1.313.830 1.451.678
12. 13. 14.
Lampung Timur Metro Pesawaran Jumlah
1.050.037 177.662 447.486 8.579.779
1.143.928 209.081 496.009 9.536.500
Sumber : Hasil analisis 2012
Dengan rencana pembangunan JSS, diperkirakan akan menarik penanam modal di wilayah proyek (Banten dan Lampung). Hal ini akan membuat membuat pertumbuhan penduduk di kedua provinsi ini akan meningkat pesat, terlebih pada kabupaten/kota yang menjadi wilayah pembangunan dan pengembangan. Tabel 1.3 memperlihatkan proyeksi jumlah penduduk Provinsi Lampung tahun 2020 dan 2030. Dengan rencana pembangunan JSS kemungkinan jumlah penduduk di 4 kawasan potensial JSS lebih besar dari yang diperkirakan. Diperkirakan jumlah penduduk di kawasan potensial akan mengalami pertumbuhan secara eksponensial, karena adanya arus migrasi. Tabel 1.4 adalah proyeksi jumlah penduduk di kawasan potensial JSS dengan mempertimbangkan proyek JSS. Tabel 1.4. Proyeksi Jumlah penduduk di kawasan potensial JSS Kabupaten/Kota
Tahun 2020
Tahun 2030
Kawasan potensial JSS*) Kabupaten Lampung Selatan**)
1.770.192
2.957.742
Kabupaten Lampung Timur
1.236.302
2.065.686
Kota Bandar Lampung
1.071.853
1.414.411
Jumlah
4.078.347
6.437.839
Bukan wilayah potensial
5.030.099
5.586.392
Jumlah total penduduk Lampung
9.108.446
12.024.231
Sumber : Lap. JSS PU (2009) dan hasil analisis (2012)
Keterangan : *) dengan mempertimbangkan proyek JSS **) termasuk Kab. Pesawaran
Sementara itu, jika dilihat jumlah penduduk berdasarkan kelompok usia dapat diproyeksikan dengan asumsi proporsi kelompok usia <15th dan >15 tahun terhadap jumlah penduduk pada tiap wilayah tetap, dapat dilihat dari tabel 1.5.
Tabel 1.5 Proyeksi jumlah Penduduk berdasarkan kelompok usia di Kawasan Potensial JSS 2020 No
2030
Kabupaten/Kota*) < 15 th
>15 th
< 15 th
>15 th
1.
Lampung Selatan**)
428.205
1.341.987
715.470
2.242.272
2.
Lampung Timur
281.597
954.705
470.508
1.595.178
3.
Bandar Lampung
248.997
822.856
328.575
1.085.836
Jumlah
958.799
3.119.548
1.514.553
4.923.286
Sumber : Hasil Analisis (2012)
Keterangan : *) dengan mempertimbangkan proyek JSS **) termasuk Kab. Pesawaran
Dengan adanya rencana Pembangunan JSS, perlu upaya peningkatan kualitas penduduk melalui pendidikan yang lebih spesifik berdasarkan usia. Kelompok usia di bawah 15 tahun perlu dilakukan pendidikan karakter untuk membangun karakter keragaman dan kebangsaan yang kuat. Hal ini diperlukan untuk mempertahankan nilai-nilai positif dan dapat mengantisipasi nilainilai negatif yang kemungkinan akan masuk di wilayah potensial JSS. Untuk kelompok usia 15 tahun ke atas, perlu dilakukan pendidikan kewirausahaan. Hal ini untuk meningkatkan daya saing terhadap arus migrasi penduduk menuju wilayah potensial JSS.
1.2.2 Proyeksi Kebutuhan Sarana Prasarana Pendidikan Sektor pendidikan berperan penting dalam upaya mempersiapkan dan membangun sumber daya manusia yang berkualitas.
Salah satu pengukurannya adalah dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Pengukuran indeks ini melalui 3 (tiga) komponen yaitu kesehatan
(pencapaian umur panjang dan sehat), pendapatan (pengeluaran per kapita), dan pendidikan (rata-rata sekolah dan angka melek huruf). IPM rata penduduk Indonesia 2006 telah mencapai 70,1, naik dari tahun sebelumnya 69,6. IPM Provinsi Lampung tahun 2006 adalah 69,4, masih berada di bawah IPM rata-rata. Sedangkan pada tahun 2010 meningkat menjadi 71,42 berada pada peringkat 21. Dari 4 kawasan potensial JSS, Kabupaten Pesawaran memiliki IPM terendah (69,77) diikuti Kabupaten Lampung Selatan (70,06), dan Kabupaten Lampung Timur (70,73). Ketiga kabupaten tersebut memiliki IPM di bawah provinsi. Sedangkan Kota Bandar Lampung Lampung memiliki IPM tertinggi di antara 3 wilayah potensial JSS lainnya yaitu sebesar 75,7 pada tahun 2010. Pada dasarnya IPM semua wilayah di Provinsi Lampung mengalami peningkatan tiap tahunnya, akan tetapi masih banyak yang berada di bawah rata-rata IPM Indonesia. IPM ratarata Indonesia tahun 2009 sebesar 71,76, dan tahun 2010 sebesar 72,27. Dilihat dari angka melek huruf, dari 4 kawasan potensial JSS, Kabupaten Lampung Timur memiliki prosentase terendah (93,32%) dengan rata-rata lama sekolah 7,35 tahun, sedangkan Kota Bandar Lampung memiliki prosentase tertinggi (98,44%) dengan rata-rata lama sekolah 9,91 tahun. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk Lampung yang menamatkan pendidikannya pada jenjang sarjana umumnya disebabkan oleh alasan ekonomi. Secara umum penduduk Lampung sebagian besar tingkat pendidikannya di bawah rata-rata. Kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan akan terus meningkat bersamaan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Kemungkinan sarana dan prasarana pendidikan yang ada, tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga pekerja proyek JSS. Ketersediaan fasilitas pendidikan yang dibutuhkan adalah fasilitas pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah atas, kejuruan menengah, pendidikan tinggi, dan kursus-kursus keprofesionalan sesuai dengan kebutuhan kerja yang semakin berkembang.
Dibandingkan dengan tahun 2009/2010 jumlah sekolah SD dan SMP berkurang sebanyak 46 dan 62 sekolah, demikian juga jumlah siswa SD dan SMP menurun sebanyak 34.374 siswa dan 20.868 siswa, akan tetapi jumlah guru SD dan SMP naik sebanyak 12.697 orang dan 4.629 orang. Sementara itu jumlah sekolah SMU naik sebanyak 86, demikian juga dengan jumlah guru dan jumlah siswa naik sebanyak 1.591 orang dan 40.851 siswa .
Pada bidang pendidikan dapat digambarkan dari proyeksi kebutuhan dan ketersediaan jumlah sekolah. Perhitungan proyeksi ketersediaan dan kebutuhan sekolah salah satunya didasarkan pada proyeksi jumlah murid. Gambaran lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1.6 Proyeksi Jumlah Murid, Sekolah dan Guru di Provinsi Lampung No. 1.
2.
3.
Tingkat Pendidilan SD - Trend Jumlah Murid - Trend Jumlah Sekolah - Tren Kebutuhan Guru SMP - Trend Jumlah Murid - Trend Jumlah Sekolah - Trend Kebutuhan Guru SMU - Trend Jumlah Murid - Trend Jumlah Sekolah - Trend Kebutuhan Guru
Tahun 2020
2030
987.047 4.618 89.729
1.011.980 4.659 119.303
374.346 1.428 34.916
423.683 1.684 44.703
195.575 640 19.297
252.587 843 26.513
Sumber : Hasil Analisis (2012)
Tabel di atas memperlihatkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah murid, jumlah sekolah, dan guru pada berbagai tingkatan pendidikan periode tahun 2020 dan 2030. Dengan adanya rencana proyek JSS fokus pembangunan di bidang pendidikan dapat diarahkan pada peningkatan kualitas sekolah dan SDM.
Berdasarkan tabel di atas dapat diidentifikasi proyeksi kebutuhan sarana pendidikan untuk jenjang Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan kebutuhan sarana pendidikan hingga tahun 2029 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1.7 Proyeksi Kebutuhan Sekolah untuk Tiap Kabupaten di Provinsi Lampung No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Kabupaten/Kota Lampung Barat Tanggamus Lampung Selatan Lampung Timur Lampung Tengah Lampung Utara Way Kanan Tulang Bawang Bandar Lampung Metro Pesawaran Jumlah
Tahun 2029 558,491 867,526 1,149,939 1,086,394 1,412,715 748,952 408,334 1,129,296 1,124,533 175,672 521,431 9,183,283
SD 349 542 719 679 883 468 255 706 703 110 326 5,740
Sarana Pendidikan SMP SMA 116 116 181 181 240 240 226 226 294 294 156 156 85 85 235 235 234 234 37 37 109 109 1,913 1,913
Sumber : RTRW Provinsi Lampung 2009-2029
Dari 4 kawasan potensial JSS, diprediksikan dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka otomatis kebutuhan akan sarana prasarana pendidikan juga meningkat yang juga diiringi dengan meningkatnya nilai Indeks Pembangunan Manusia. Kabupaten Lampung Selatan diprediksikan membutuhkan sarana prasarana pendidikan lebih besar dari ketiga kawasan lainnya. Demikian juga Kota Bandar Lampung, sebagai ibukota provinsi, arus urbanisasi meningkatkan beban kota Bandar Lampung untuk menyediakan sarana prasarana yang lebih memadai. Proyeksi IPM untuk kawasan potensial JSS dapat dilihat pada tabel 1.7. IPM Lampung Selatan diproyeksikan dapat melampaui IPM rata-rata Provinsi Lampung pada tahun 2030, meninggalkan Lampung Timur dan Pesawaran.
Tabel 1.8 Proyeksi Nilai IPM Kawasan Potensial JSS di Provinsi Lampung No. 1. 2. 3. 4.
Kabupaten /Kota Kab. Lampung Selatan Kab. Lampung Timur Kab. Pesawaran Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung
2020 75,88 76,13 75,03 80,45 76,46
2030 81,70 81,51 80,23 85,15 81,54
Sumber : Hasil Analisis (2012)
Proyek pembangunan JSS yang akan menyerap banyak tenaga kerja, diharapkan dapat menyerap tenaga kerja lokal sebanyak-banyaknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat Lampung dan semakin baik keahlian yang dimiliki, maka semakin lebar kesempatan untuk mendapatkan posisi yang lebih baik.
1.2.3 Proyeksi Kebutuhan Sarana Prasarana Kesehatan Indikator terhadap perilaku masyarakat dan peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan antara lain dapat diukur atau tergambar dengan seberapa banyak kepesertaan masyarakat dalam jaminan pemeliharaan kesehatannya misalnya melalui Askes, JKPM, Jamsostek, dan lain-lain. Berdasarkan Susenas dinyatakan bahwa pembiayaan kesehatan yang berasal dari pemerintah hanya mencapai 30%, sedangkan pembiayaan yang berasal masyarakat tercatat 70%. Rendahnya pembiayaan kesehatan bersumber pemerintah ternyata memiliki korelasi yang kuat terhadap derajat kesehatan masyarakat dan kinerja pembangunan kesehatan. Masyarakat belum terbiasa menjadi anggota dalam pembiayaan kesehatannya misalnya sala melalui asuransi kesehatan (Askes). Kualitas kesehatan masyarakat sangat tergantung pada tingkat pendidikan dan pendapatan. Dua hal ini akan berpengaruh pada pola hidup sehat, pola makanan, dan asupan gizi, serta lingkungan yang sehat. Angka harapan hidup (AHH) di Provinsi Lampung pada tahun 2010 mencapai 69,5 tahun, sedangkan pada tahun 2005 mencapai 68 tahun. AHH Indonesia
tahun 2009 sebesar 69,21 tahun, dan tahun 2010 naik menjadi 69,43 tahun. Dari 4 kawasan potensial JSS pada tahun 2010 Kota Bandar Lampung memiliki AHH tertinggi mencapai 70,87 tahun diikuti oleh Kabupaten Lampung Timur (70,22 tahun), Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran (68,4 tahun), di bawah AHH rata-rata Indonesia. Kualitas kesehatan masyarakat yang prima sangat dibutuhkan untuk membangun proyek JSS. Pembangunan dan pengembangan proyek yang melibatkan banyak tenaga kerja sangat membutuhkan ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Identifikasi terhadap sarana dan prasarana yang ada sekarang diperkirakan tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat dan masyarakat ketika proyek JSS berlangsung. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk makin meningkatkan kualitas dan pemerataan jangkauan/akses pelayanan kesehatan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut penyediaan sarana kesehatan merupakan hal yang penting.
Jumlah Puskesmas tahun 2009 mencapai 227, Puskesmas rawat inap sebanyak 36 unit, Puskesmas pembantu 708 unit dan Puskesmas keliling sebanyak 250 unit. Jumlah Puskesmas cenderung meningkat tiap tahunnya, termasuk juga Puskesmas rawat inap, tetapi untuk jumlah Pustu berfluktuatif naik turun, hal ini disebabkan ada beberapa perkembangan dari Pustu menjadi Puskesmas atau dari Puskesmas non rawat inap menjadi rawat inap. Sedangkan fasilitas lain seperti rumah sakit dari tahun 2005-2009 jumlah rumah sakit di Wilayah Provinsi Lampung cenderung mengalami peningkatan.
Selama empat tahun terakhir jumlah rumah sakit di Provinsi Lampung mengalami peningkatan yang cukup baik, pada tahun 2005 jumlah rumah sakit berjumlah 18 buah dan meningkat menjadi 24 buah pada tahun 2009. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit didukung dengan keberadaan jumlah tenaga medis di Provinsi Lampung hingga tahun 2009
adalah ; dokter sebanyak 310 orang dokter umum dan 90 orang dokter ahli. Jumlah bidan sebanyak 1.141 orang serta perawat kesehatan sebanyak 2.268 orang.
Keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh rumah sakit kepada masyarakat dengan lokasinya yang ada disekitar ibukota Kabupaten/Kota, telah diambil perannya oleh puskesmas. Oleh karena itu, kualitas pelayanan puskesmas harus terus ditingkatkan. Keberadaan puskesmas sebagai bagian dari pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam bidang kesehatan dimasa mendatang sangat membantu rumah sakit yang ada dalam menopang pelayanan kepada masyarakat secara langsung sampai kedaerah yang terpencil sekalipun. Perkembangan puskesmas hingga tahun 2030 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.9 Proyeksi Jumlah Puskesmas di Provinsi Lampung No.
Uraian
1.
Jumlah Puskesmas
2.
Penduduk*)
3.
Beban Puskesmas (orang)
Th. 2020
Th. 2030
351
431
9.108.446
12.024.231
25.950
27.985
Sumber : Hasil Analisis (2012) Keterangan :*) dengan mempertimbangkan JSS
Kelancaran pelaksanaan pelayanaan kesehatan kepada masyarakat diperlukan tenaga medis yang ahli dibidangnya. Keberadaan dokter sebagai tenaga ahli dibidang kesehatan sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai bagian dari pelayanan kesehatan. Hingga tahun 2030 jumlah dokter adalah 3262 orang, dengan rasio untuk satu orang dokter dalam melayani 100.000 orang pasien berkisar 27,1%. Keberadaan dokter dimasa mendatang akan sangat menentukan dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat dilihat dari jumlah dan kualitasnya. Untuk lengkapnya mengenai proyeksi jumlah dokter dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.10 Proyeksi Jumlah Dokter di Provinsi Lampung No. Uraian 1. Trend Jumlah Dokter - Dokter Ahli - Dokter Umum - Dokter Gigi 2. Penduduk*) 3.
Rasio Dokter/100.000
Th. 2020 462 1.398 362 9.108.446 24,4
Th. 2030 731 2.033 498 12.024.231 27,1
Sumber : Hasil Analisis (2012)
Keseluruhan fasilitas pelayanan kesehatan seiring waktu semakin dibutuhkan keberadaannya oleh masyarakat. Dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang baik dimasa mendatang maka kebutuhan akan fasilitas kesehatan tersebut untuk dapat ditingkatkan baik secara kuantitas maupun kualitas. Pertambahan jumlah penduduk harus diimbangi dengan pemenuhan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat baik dari segi lokasi maupun harganya. Selain sarana dan prasarana kesehatan, yang harus diperhatikan adalah jenis-jenis penyakit yang relatif masih banyak diderita penduduk Lampung. Jenis-jenis penyakit umum seperti infeksi saluran pernafasan, diare, TBC, dan malaria menunjukkan masih banyak lingkungan pemukiman yang tidak sehat, pola makan yang tidak sehat dengan asupan gizi yang relatif rendah. Pembangunan dan pengembangan proyek JSS harus pula memperhatikan dengan berkontribusi memperbaiki situasi dan kondisi tersebut. Dari data yang tercatat oleh Dinas Kesehatan Provinsi Lampung jenis penyakit yang paling banyak diderita masyarakat Lampung yang tercatat di Puskesmas dan Rumah Sakit adalah diare sebanyak 64.196 penderita (55,7%), diikuti oleh penyakit malaria sebanyak 38.298 penderita (33,2%), penyakit saluran pernafasan dan DBD. Dilihat dari kondisi keluarga, penduduk Lampung masih banyak yang tergolong pada keluarga pra sejahtera.
Sebanyak 727.886 dari 2.001.403 keluarga masuk dalam kategori
keluarga prasejahtera atau sebesar 36,4%. Kabupaten Lampung Timur dengan jumlah keluarga terbanyak dari 4 kawasan potensial JSS yaitu sebanyak 258.643 keluarga memiliki 32,18% keluarga pra sejahtera, 24,99% keluarga sejahtera I, 23,9% keluarga sejahtera II, 17,3% keluarga sejahtera III, dan 1,6% keluarga sejahtera III+. Kabupaten Lampung Selatan dengan jumlah keluarga sebanyak 234.198 memiliki 46,13% keluarga pra sejahtera dan 0,85% keluarga sejahtera III+. Kota Bandar Lampung dengan jumlah keluarga sebanyak 204.019 keluarga memiliki 29,5% keluarga pra sejahtera dan 5,5% keluarga sejahtera III+. Sedan Sedangkan gkan Kabupaten Pesawaran dengan jumlah keluarga sebanyak 104.986 keluarga memiliki 44% keluarga pra sejahtera dan 1,24% keluarga sejahtera III+. Kondisi Keluarga di Kabupaten Lampung Selatan (2010) 1% 11% 44%
21%
Pra sejahtera Sejahtera I Sejahtera II
23%
Sejahtera III Sejahtera III+
Kondisi Keluarga di Kabupaten Lampung Timur (2010)
2% 17%
32%
Pra sejahtera Sejahtera I
24%
Sejahtera II Sejahtera III
25%
Sejahtera III+
Kondisi Keluarga di Kabupaten Pesawaran (2010) 1% 14% 44%
Pra sejahtera Sejahtera I
20%
Sejahtera II 21%
Sejahtera III Sejahtera III+
Kondisi Keluarga di Kota Bandar Lampung (2010)
5% 19%
30%
Pra sejahtera Sejahtera I Sejahtera II
22% 24%
Sejahtera III Sejahtera III+
Sumber : Hasil Analisis (2012)
Dibandingkan dengan tahun 2009, jumlah keluarga pra sejahtera berkurang sebanyak 2.096 keluarga, jumlah keluarga sejahtera I bertambah sebanyak 7.384 keluarga, keluarga sejahtera II bertambah sebanyak 35.194 keluarga, keluarga sejahtera III bertambah sebanyak seban 4.771 keluarga, dan keluarga sejahtera III+ juga bertambah sebanyak 2.823 keluarga. Seluruh kabupaten dan kota di kawasan potensial JSS memili memiliki ki porsi keluarga pra sejahtera paling besar dibandingkan kondisi keluarga sejahtera. Di antara ke-empat ke kawasan potensial JSS, Kabupaten Lampung Selatan memiliki porsi keluarga pra sejahtera paling besar dibandingkan kawasan lainnya (46%), dan porsi keluarga sejahtera III+ paling sedikit (0,85%). Kota Bandar Lampung memiliki kondisi keluarga yang lebih baik dib dibandingkan andingkan kawasan lainnya. Dengan proyek JSS kondisi ini bisa memburuk jika tidak diikuti dengan langkah-langkah langkah antisipasi, seperti peningkatan kualitas SDM, perbaikan dan penyuluhan tentang kesehatan, pelatihan-pelatihan, atihan, peningkatan sarana dan prasarana kesehatan, kemudahan akses kesehatan dan sebagainya.
1.2.4 Ketenaga Ketenagak enagakerjaan erjaan Penduduk usia kerja di Provinsi Lampung, 2010 berjumlah 5.824.370 jiwa yang terdiri dari jumlah angkatan kerja 3.957.697 jiwa dan bukan angkatan kerja 1.866.673 jiwa. Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang bekerja (3.737.078 jiwa) dan pengangguran (220.619 jiwa), sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah sekolah (445.291 jiwa), mengurus rumahtangga (1.185.170), lainnya (236.212 jiwa). Dari 4 kawasan JSS, Kabupaten Lampung Timur memiliki penduduk usia 15 tahun ke atas terbanyak (734.881 jiwa) dengan pengangguran sebanyak 2,9% dan bekerja 64,8%, diikuti Kabupaten Lampung Selatan (691.761 jiwa) dengan pengangguran sebanyak 3,6% dan bekerja 63,2%, Kota Bandar Lampung (676.954 jiwa) dengan pengangguran sebanyak 7,5% dan bekerja 55,3%, dan Kabupaten Pesawaran (303.474 jiwa) dengan pengangguran sebanyak 3,8% dan bekerja 60,2%. Jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas pada tahun 2010 ditinjau dari lapangan pekerjaan, masih didominasi yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan yang mencapai 56,5%. Dibandingkan dengan tahun 2009 mengalami penurunan 1,5% (dari 58%). Urutan kedua sektor perdagangan, rumah makan, jasa akomodasi mencapai 15,2%. Dibandingkan tahun 2009 juga mengalami penurunan 0,9% (dari 16,1%). Dibandingkan dengan tahun 2009 mengalami penurunan 2% (dari 58,5%). Urutan kedua sektor perdagangan, rumah makan, jasa akomodasi mencapai 15,2%. Dibandingkan tahun 2009 juga mengalami penurunan 0,9% (dari 16,1%). Sektor jasa kemasyarakatan mengalami peningkatan sebesar 1,48% dari 9,5% (2009) menjadi 10,98% (2010). Sektor industri pengolahan dan sektor lainnya juga mengalami kenaikan sebesar 0,2% dan 2,5% dibandingkan tahun 2009. Sektor pertanian adalah sektor yang sangat mudah dimasuki, karena sebagai sektor tradisional penyedia lapangan usaha ini relatif tidak membutuhkan skill/keahlian yang tinggi. Sementara itu sektor konstruksi masih bersifat musiman dan sangat tergantung pada keberadaan proyek pembangunan infrastruktur dari pemerintah pusat maupun daerah yang selama ini
memang lebih bersifat padat karya.
Sedangkan sektor industri saat ini memang sedang
merasakan dampak dari krisis global, sehingga banyak perusahaan-perusahaan pengolahan yang terpasa tutup atau melakukan pengurangan karyawan. Penduduk usia kerja di Provinsi Lampung, 2010 berjumlah 5.824.370 jiwa yang terdiri dari jumlah angkatan kerja 3.957.697 jiwa dan bukan angkatan kerja 1.866.673 jiwa. Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang bekerja (3.737.078 jiwa) dan pengangguran (220.619 jiwa), sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah sekolah (445.291 jiwa), mengurus rumahtangga (1.185.170), lainnya (236.212 jiwa). Penduduk Provinsi Lampung sebagian besar bekerja di sektor pertanian yaitu 56,48 persen atau 2.110.571 jiwa. Adapun penduduk yang bekerja di sektor jasa kemasyarakatan tercatat 10,98 persen atau 410.386 jiwa. Dari 4 kawasan JSS, Kabupaten Lampung Timur memiliki penduduk usia 15 tahun ke atas terbanyak (734.881 jiwa) dengan pengangguran sebanyak 2,9% dan bekerja 64,8%, diikuti Kabupaten Lampung Selatan (691.761 jiwa) dengan pengangguran sebanyak 3,6% dan bekerja 63,2%, Kota Bandar Lampung (676.954 jiwa) dengan pengangguran sebanyak 7,5% dan bekerja 55,3%, dan Kabupaten Pesawaran (303.474 jiwa) dengan pengangguran sebanyak 3,8% dan bekerja 60,2%. Kondisi ini apabila dibiarkan akan menjadi masalah sosial tersendiri setiap tahun akan bertambah angka pengangguran dan menjadi beban daerah. Provinsi Lampung dan Banten akan menghadapi persoalan bagaimana menyediakan pekerjaan bagi angkatan kerja baru yang masuk setiap tahunnya. Suatu permasalahan yang tidak ringan dan tidak mudah mengatasinya. Pembangunan dan pengembangan JSS akan menciptakan kesempatan kerja yang besar, tidak hanya di sektor konstruksi, tapi meliputi multi sektor penunjang baik yang termasuk kategari formal dan informal. Tingkat pendidikan yang relatif rendah (Lamanya rata-rata sekolah penduduk Lampung 7,3 tahun) lebih rendah dari Banten (8,1 tahun), akan mempersulit untuk
memenuhi dan lolos dari kriteria keprofesionalan proyek tersebut. Kondisi seperti ini akan membuat arus migrasi masuk pekerja dari luar daerah semakin deras. Karakter proyek JSS adalah padat modal dan teknologi membuat kesempatan kerja yang tercipta membutuhkan pendidikan, keterampilan, dan keprofesionalan yang tinggi. Kompetisi yang tinggi terjadi dalam penyerapan tenaga kerja. Melihat situasi dan kondisi taraf pendidikan penduduk lokal tidak akan mampu sepenuhnya memenuhi persyaratan yang tinggi dari proyek. Jika diserap, konsekuensinya akan lebih banyak sebagai buruh kasar pelaksana proyek atau masuk dalam sektor informal pendukung proyek secara tidak langsung.
Pada kondisi demikian,
kemungkinan yang akan terjadi adalah masuknya pekerja non lokal, bisa dari luar daerah dan bahkan tenaga ahli asing. Tentunya ini tidak diharapkan karena kehadiran proyek diharapkan bisa menjadi stimulus menciptakan kemakmuran yang tercermin dengan peningkatan pendapatan, khususnya bagi penduduk lokal. Dampak dari situasi kompetisi yang tinggi yang mungkin bisa terjadi antara lain : (1)
Terjadi persaingan pengisian kesempatan kerja antara angkatan kerja penduduk lokal dan pendatang yang bisa berpotensi menimbulkan konflik sosial;
(2)
Timbulnya kesenjangan pendapatan antara penduduk pendatang dan lokal;
(3)
Tingkat pengangguran yang tinggi pada tenaga kerja tidak terdidik; dan
(4)
Kemungkinan terjadi penghambatan atau penolakan secara langsung atau tidak langsung terhadap pembangunan JSS. Untuk mengantisipasi kondisi di atas perlu penyiapan pekerja lokal yang dibekali dengan
pendidikan, keterampilan, dan keahlian harus dilakukan sejak awal sehingga bisa memenuhi dan lolos dari persyaratan yang tinggi. Dampak pembangunan di sepanjang lintas Sumatera, berakibat pada perubahan kegiatan dan mata pencaharian masyarakat. Akibatnya terjadi perubahan tata guna lahan. Terjadinya proses marjinalisasi, yaitu peminggiran secara sistematis masyarakat petani karena beralih ke
sektor usaha non pertanian dengan semakin terbatasnya lahan dan tenaga kerja akibat berkurangnya minat pemuda bekerja di sektor pertanian. Investasi di suatu daerah seperti rencana pembangunan mega proyek JSS, baik secara langsung ataupun tidak langsung akan menciptakan kesempatan kerja baru. Makin besar nilai investasinya dan makin padat karya proyeknya maka akan semakin besar tumbuhnya peluang kesempatan kerja baru terutama di wilayah sekitar proyek tersebut. Terbukanya kesempatan kerja baru akan diisi oleh angkatan kerja setempat dan juga pendatang. Adanya kesempatan kerja ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Kualifikasi persyaratan
pendidikan, ketrampilan, dan profesionalisme membuat
kesempatan kerja tersebut tidak sepenuhnya dapat diisi angkatan kerja setempat. Konsekuensinya mereka masuk ke sektor informal. Situasi ini dapat dimanfaatkan oleh pekerja pendatang, dari luar daerah atau dari luar negeri (tenaga ahli profesional). Hal ini berarti akan terjadi arus migrasi yang akan memperbesar jumlah penduduk di wilayah sekitar proyek. Peningkatan pendapatan membuat perubahan pola hidup masyarakat.
Dari yang
tradisional menuju pola modern yang mencakup pola konsumsi, tempat tinggal, dan pola hubungan personal. Dan pertambahan penduduk akan mendorong peningkatan kebutuhan primer (sandang, pangan, dan papan), dan sekunder (pendidikan, kesehatan, dan rekreasi). Peningkatan kebutuhan primer seperti peningkatan kebutuhan akan pemukiman. Tumbuhnya pemukiman baru dengan fasilitas-fasilitasnya membutuhkan lahan atau ruang yang lebih luas, membuat perubahan peruntukan lahan dan tata ruang, selanjutnya terjadi pemekaran wilayah (desa/kelurahan hingga kabupaten/kota) yang diikuti perubahan pola pemerintahan. Sisi lain yang bisa terjadi adalah tumbuhnya berbagai potensi konflik sosial, politik, ekonomi, dan buadaya. Potensi konflik ini diperkirakan akan timbul dari kesenjangan pendapatan akibat perbedaan pendidikan, ketrampilan, dan profesional. Konflik bisa terjadi antara sesama penduduk lokal atau penduduk lokal dengan pendatang.
Perubahan dan potensi konflik yang mungkin timbul dari proyek JSS akan terjadi di Provinsi Banten dan Lampung. Di Provinsi Lampung diperkirakan akan terjadi pada Kabupaten Lampung Selatan dan menjalar pula ke seluruh kabupaten/kota dengan adanya pembangunan jalan tol, jalan lintas timur, lintas tengah, dan lintas barat. Diperkirakan pengaruh proyek akan meluas ke wilayah Sumatera bagian selatan yang dikenal dengan Belajasumba (Bengkulu, Lampung, Jambi, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung).
1.3
Analisis Dampak Budaya Terkait Rencana Pembangunan JSS Di Di Provinsi Lampung
1.3.1. Multi Etnik Penduduk Lampung sebagian besar atau lebih dari 90% adalah pendatang, sehingga nilainilai masyarakat yang dianut juga beragam atau heterogen. Provinsi Lampung dikenal dengan Indonesia mini, ini disebabkan beragamnya suku bangsa yang mendiami berbagai daerah di Provinsi Lampung sejak zaman Belanda dan adanya program transmigrasi. Kelompok suku tersebut dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu : •
Kelompok penduduk asli (suku Lampung), kelompok ini memiliki struktur hukum adat tersediri.
•
Kelompok pendatang (dari luar daerah Lampung), mereka cenderung berkelompok menurut etniknya masing-masing. Masyarakat pendatang hidup mengelompok sesuai daerah asal, sehingga ada kampung ‘Jawa’, ‘Bugis’, ‘Bali’, dan sebagainya. Komposisi etnis di Kabupaten Lampung Timur dan Selatan, terlihat bahwa hampir sama
dengan komposisi secara provinsi dimana porsi terbesar adalah suku Jawa kemudian diikuti Lampung, Sunda dan Banten. Komposisi etnis di Kabupaten Lampung Selatan adalah Jawa 61,02 %, Sunda 13,29 %, Lampung 11,9 %, Banten 3,68 %, Palembang 2,89 %, Bali 1,62 %, Minangkabau 0,84 %, Ogan 0,82 %, Semendo 0,46 % dan lainnya 3,48 % (sumber: Litbang Kompas dan BPS, 2010) Untuk kelompok penduduk asli struktur adat masih menjadi panutan. Hal ini terlihat dengan adanya Lembaga Masyarakat Adat Lampung (LMAL) yang strukturnya sampai level
kecamatan yang berperan dalam menangani masalah-masalah sosial.
Untuk kelompok
pendatang, peran lembaga sosial dalam masyarakat dapat dilakukan melalui proses koordinasi melalui tokoh masyarakat formal dari tingkat Rukun Tetangga (RT), ketua Rukun Warga (RW), dan lurah. Selain itu pula tokoh informal seperti tokoh masyarakat / tokoh adat yang biasanya terbagi menurut ikatan budaya atau agama. Tokoh masyarakat/tokoh adat masih memiliki peranan penting khususnya di pedesaan. Tingkat heterogenitas suku/etnik dalam masyarakat memungkinkan peluang terjadinya konflik akibat perbedaan pandangan hidup (agama, keyaninan). Hanya karena masalah kecil dapat memicu konflik. Potensi konflik lainnya adalah adanya kecemburuan sosial akibat dominasi ekonomi warga pendatang yang lebih berhasil daripada warga pribumi. Rencana Pembangunan JSS memberikan peluang masyarakat di luar kawasan JSS mulai mengincar kawasan JSS untuk memperbaiki kehidupan mereka. Pertumbuhan penduduk di kawasan potensial JSS meningkat cukup signifikan. Wilayah yang paling diminati oleh para pendatang terutama adalah Kota Bandar Lampung sebagai ibukota Provinsi dan Kabupaten Lampung Selatan sebagai pintu gerbang Sumatera. Proses asimilasi budaya akan terjadi. Di sini dibutuhkan pendekatan-pendekatan budaya untuk menjadikan proses asimilasi budaya terjadi dengan baik. Provinsi Lampung, dihuni oleh berbagai suku, sehingga perlu suatu konsep pembangunan yang mempertimbangkan pluralisme tersebut. Menurut Marzali (2005) dalam masyarakat multikultural Indonesia, setiap orang menjunjung tinggi ideologi demokrasi dan toleransi kultural. Tidak ada pemaksaan dan perlakuan diskriminatif untuk mengikuti jalan kultural kelompok dominan. Pancasila adalah modal kultural dasar bagi perkembangan masyarakat multikultural Indonesia. Oleh sebab itu untuk pengembangan sosial budaya masyarakat di Lampung hendaknya berdasarkan prinsip tersebut.
1.3.2. Tata Nilai dan Norma di Masyarakat Faktor sosiokultural dalam pembangunan terdiri dari dua unsur, yaitu sosial dan kultural. Konsep pokok yang termasuk ke dalam faktor sosial adalah struktur sosial, pola hubungan sosial antar individu, antar kelompok, antar kelas, antar golongan, antar kehidupan dan antara kota dan desa. Sedangkan konsep pokok untuk faktor kultural adalah hal yang berhubungan dengan budaya, seperti: mentalitas penduduk, adat istiadat, kepercayaan, etos kerja, nilai, pandangan hidup, dan sebagainya. Di era pasca reformasi indikasi terhadap nilai budaya ini, sebenarnya sudah tampak mengemuka ketika Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa diterbitkan sebagai penjabaran lebih lanjut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Desa atau yang disebut dengan nama lain dinyatakan sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan batas wilayah yang didalamnya memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan warganya berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat. Hal ini diakui dan dihormati dalam sIstem Pemerintahan NKRI. Adat istiadat atau hukum adat sebenarnya masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat desa. Bahkan masyarakat atau komunitas tertentu di kota-kotapun banyak yang masih membawa kebiasaan dan menerapkan adat istiadat dari desa atau kampung halaman mereka masing-masing. Sampai di kota atau daerah perantauan ikatan kekerabatan dalam budaya yang dimiliki masih dipertahankan. Apalagi di daerah asal mereka ikatan kekerabatan dan adat istiadat ini lebih kental lagi. Dalam hal membangun desa seharusnya bisa menciptakan dukungan positif dan kondusif untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Falsafah hidup masyarakat hukum adat Lampung adalah Piil Pesenggiri yang merupakan sumber motivasi agar setiap orang Lampung dinamis dalam memperjuangkan nilai-nilai hidup terhormat dan dihargai di tengah masyarakat. Piil Pesenggiri meliputi beberapa elemen budaya yaitu pemberian gelar (juluk-adek), menjaga silaturahmi (nemui-nyimah), kekeluargaan dan sikap
suka bergaul (nengah-nyappur), dan partisipasi serta solidaritas sosial (sakai-sambayan). Falsafah hidup tersebut menjadi pedoman perilaku sekaligus menjaga nama baik agar terhindar dari sikap dan perbuatan tercela. Demikian juga masyarakat suku lain di Lampung juga memiliki tata nilai adat dan agama masing-masing. Seperti masyarakat Jawa, Sunda, Bali dan lainnya. Tata nilai dan norma adat dan agama yang berlaku di masyarakat mengajarkan kebaikan, hidup rukun dan harmoni. Akan tetapi nilai-nilai ini akan pudar apabila tidak diajarkan atau tidak diperkuat kepada generasi muda dan anak-anak. Mereka akan mudah terbawa arus pengaruh budaya luar yang bertentangan dengan nilai-nilai adat dan agama.
1.3.3 Pola Budaya Pembangunan sumber daya manusia dalam konteks ekonomi memandang manusia sebagai salah satu faktor produksi di luar sumber daya alam, modal, teknologi dan kelembagaan. Agar dapat meningkatkan produktifitas, maka sumber daya manusia haruslah berkualitas. Peningkatan kualitas manusia tersebut ditentukan oleh kondisi fisiknya, tingkat pendidikannya, dan ketrampilan yang dimilikinya. Jadi kualitas sumber daya manusia suatu negara dapat diukur dengan angka tentang kesehatan, pendidikan dan ketrampilannya seperti : IPM. Hal lain yang berhubungan dengan kualitas manusia adalah mentalitas manusia. Ini adalah satu faktor tidak konkret dan sukar diukur besarannya. Penelitian ekonomi klasik tentang kualitas manusia mengatakan bahwa manusia yang berkualitas tinggi adalah mereka yang mempunyai mentalitas wirausaha dan modern. Mereka adalah manusia yang kreatif, inovatif, berani menghadang resiko, hidup secara berencana, menghargai waktu dan sebagainya. Mentalitas ini berkaitan dengan etos, nilai, pola pikir dan pandangan hidup yang dianut oleh manusia tersebut. Beberapa ahli menyebutkan bahwa sikap mentalitas tersebut sebagai daya psikokultural, yaitu suatu kemampuan mental, kemampuan akal
budi, atau kemampuan daya pikir sekumpulan individu dalam mendorong diri mereka untuk berproduksi lebih tinggi. Untuk meningkatkan daya psiko kultural, maka salah satunya adalah perlu pengembangan institusi sosial. Setiap budaya suatu bangsa adalah unik, milik bangsa tersebut, tidak dapat diukur menurut tolok ukur budaya lain. Budaya suatu bangsa harus diukur menurut cara budaya itu sendiri. Sikap mental bangsa Indonesia menurut Koentjaraningrat (1974 dalam Marzali 2005) adalah pada tahun 1970-an sebanyak 84 % masyarakat Indonesia adalah orang desa, yang bermentalitas petani. Sedangkan sisanya 16% adalah orang kota yang bermentalitas pegawai (priyayi). Sikap mental petani adalah sikap subsisten, artinya orang bekerja sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika kebutuhan hidup sudah terpenuhi , maka orang tidak perlu bekerja keras lagi. Sedangkan sikap mental priyayi, orang bekerja adalah untuk kebahagiaan, dimana kebahagiaan terwujud dalam kedudukan yang tinggi, kekuasaan dan kepemilikan lambing-lambang kekayaan seperti: rumah megah, poakaian mewah, mobil mentereng dan seterusnya. Kedua sikap mental ini tidak mendorong pembangunan, karena tidak mendorong untuk bekerja keras meningkatkan mutu kehidupan materialnya. Sikap mental yang baik adalah mencari mutu, yaitu untuk meningkatkan kualitas dari hasil pekerjaannya. Seseorang haus mencari sesuatu yang baru, yang lebih baik secara terus menerus, dan ini disebut sikap mental professional. Menurut Marzali (2005) ada beberapa insitusi sosiokultural yang perlu diperhatikan untuk memperbaiki daya psikokultural masyarakat Indonesia yaitu: kepemimpinan; penafsiran baru terhadap ajaran agama; pendidikan dan pelatihan; media massa; pembangunan organisasi dan norma; perilaku manajemen dan pola-pola pengasuhan anak. Sehubungan dengan pembangunan JSS, maka beberapa hal yang berkaitan dengan hal tersebut akan di analisis dalam studi ini. Selanjutnya sikap mental tersebut sangat berkaitan dengan orentasi nilai budaya, karena orientasi nilai budaya membentuk sikap mental.
Koentjaraningrat (1987 dan Sewendri, 2009) sejalan dengan kerangka pikir Kluckhohn mengungkapkan salah satu bentuk orientasi nilai budaya masyarakat Indonesia dalam pembangunan adalah orientasi nilai budaya petani sebagi berikut: 1. Dalam hakekat masalah hubungan manusia dengan kerja, petani itu bekerja untuk hidup terkadang bila memungkinkan untuk mencapai kedudukan 2. Dalam hakekat masalah hubungan manusia dengan waktu, petani itu berorientasi ke masa sekarang, dan terkadang ke masa lampau 3. Dalam hakekat hubungan manusia dengan alam, petani mengutamakan oreintasi selaras dengan alam 4. Dalam hakekat masalah hubungan manusia dengan manusia, petani lebih berorientasi terhadap sesamanya. Hakekat hubungan tersebut kemudian melahirkan nilai orientasi budaya dan selanjutnya dapat diterjemahkan dalam bentuk nilai-nilai sosial budaya masyarakat agraris secara lebih konkrit menurut Sapto (2012) diantaranya adalah: 1. Kehidupan kelompok dan ikatan kekeluargaan cukup erat. 2. Pembagian kerja dikalangan masyarakat tidak mempunyai batas-batas nyata. 3. Jalan pikiran kurang rasional. 4. Lambat dalam menerima nilai-nilai baru dari luar 5. Tergantung pada tanah. 6. Gotong royong 7. Hubungan kepala desa dengan rakyatnya berlangsung tidak resmi, segala sesuatu biasanya didadasarkan atas dasar musyawarah.
Nilai budaya petani dan agraris di atas, masih lekat pada generasi tua, sedangkan generasi saat ini sudah mulai dipengaruhi oleh perubahan zaman mulai dari era reformasi, era globalisasi dan era digital, sehingga mereka lebih banyak menganut nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai sosial budaya masyarakat Industri diantaranya adalah:
1. Individualistik (mengurus diri sendiri tanpa orang lain) 2. Profesional
(sistem pembagian kerja yang lebih tegas dan sesuai kemampuan yang
dimilikinya) 3. Pola pemikiran yang rasional, sistematis dan objektif , sehingga interaksi-2 yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan dari pada faktor pribadi. 4. Faktor waktu lebih penting dan berharga, cenderung lebih menghargai waktu, hidup serba cepat, persaingan ketat 5. Cenderung lebih inovatif. 6. Biasanya lebih terbuka dalam menerima pengaruh dari luar
Masyarakat Lampung didominasi oleh masyarakat agraris (>50%). Akan tetapi, dari tahun ke tahun kegiatan agraris masyarakat menurun digantikan sektor jasa dan informal lainnya. Berbeda halnya di daerah perkotaan seperti Bandar Lampung yang didominasi sektor perdagangan dan jasa serta sektor informal lainnya.
Budaya yang terjadi sudah budaya
masyarakat industri. Dampak rencana JSS akan membawa masyarakat Lampung terutama di daerah pedesaan bergeser dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Terbukanya sektor informal di kawasan potensial JSS menyebabkan beralihnya mata pencaharian masyarakat pedesaan.
Lahan
persawahan yang akan semakin berkurang karena kebutuhan akan permukiman, fasilitas sosial, sarana jalan, dan sebagainya akibat dari pertambahan jumlah penduduk, juga menyebabkan para petani mencari penghidupan di sektor lainnya.
Untuk itu harus ada upaya ekstensifikasi
pertanian, dari pertanian tradisional menuju pertanian modern.
1.3.4 1.3.4 Analisis Dampak Budaya terkait Rencana Pembangunan Jembatan Selat Sunda Masyarakat Lampung memiliki potensi dan pranata sosial Piil Pasenggiri, Sakai Sambayan, Nengah-Nyappur, dan gotong royong, persaudaraan dan kebersamaan.
Masyarakatnyac
enderung heterogen. Menjaga kehormatan dalam pergaulan kemasyarakatan dengan selalu
berlomba berbuat kebajikan dan kebenaran yang bermanfaat sesuai nilai-nilai budaya. Hanya saja saat ini kearifan budaya lokal ini banyak terjadi pergeseran karena bersentuhan dengan budaya pendatang. Masyarakat adat atau asli Lampung tidak disiapkan untuk meningkatkan ketahanan diri baik dari sisi ekonomi, sosial dan budaya, sehingga seringkali muncul konflik sosial budaya yang berujung pada kriminalitas. Pembangunan JSS akan menambah potensi konflik tersebut, karena meningkatnya aksesibilitas akan meningkatkan migrasi ke Lampung. Seiring dengan perkembangan zaman, maka nilai-nilai masyarakat agraris dan industri terus berkembang di Provinsi Lampung. Perubahan budaya berpeluang terjadi dengan kehadiran proyek JSS.
Lancarnya arus mobilitas penduduk, barang, jasa, dan informasi, serta kemajuan
ekonomi (penduduk dan wilayah) yang terjadi akan mempercepat perubahan budaya pada penduduk di Provinsi Lampung. Selat Sunda bukan lagi menjadi penghalang bagi arus masuk keluar dari Pulau Jawa ke Sumatera dan sebaliknya. Provinsi Lampung akan semakin mengalami pembauran budaya dari arus masuk dan keluar Pulau Sumatera dari Pulau Jawa. Bahasa Banten akan menyebar dengan cepat ke Sumatera (Provinsi Lampung). Arus informasi dan mobilitas yang cepat dan tinggi antara dua wilayah atau pulau (Jawa – Sumatera) akan terus berkembang.
Masyarakat akan semakin modern, terbuka dari
keterisolasian dalam proses kulturasi budaya yang semakin intensif. Di sisi lain tidak dipungkiri bahwa akan ada dampak negatif terhadap budaya-budaya lokal. Potensi konflik budaya terkait dengan budaya masyarakat yang memiliki ikatan kuat dengan sumberdaya alam, terutama tanah, sumber-sumber air, sumber mata pencaharian, ritual untuk mempertahankan kelestarian sumber daya dan dukungan budaya untuk kesejahteraannya, serta sumber daya hutan dan lingkungan alam lainnya. Potensi konflik budaya akan tumbuh jika ikatan-ikatan budaya masyarakat tersebut terputuskan atau diputuskan karena pembangunan proyek. Pembangunan dan pengembangan proyek JSS, berpeluang pula menimbulkan konflik antar etnik, bisa terkait dengan masalah pertanahan atau masalah-masalah yang terkait dengan kegiatan proyek. Masalah pertanahan yang berkembang dan diangkat oleh kelompok dan
masyarakat bisa berpotensi menjadi konflik antar etnik. Konflik yang bersumber pada masalah ini, biasanya terjadi dalam proses pembebasannya yang menyentuh tanah adat, perebutan tanah yang ‘dikeramatkan’, dan tanah pribadi yang diangkat ke atas menjadi milik adat atau etnik tertentu.
Penyelesaiannya harus diatasi secara baik dengan pendekatan adat setempat.
Pembebasan tanah untuk pembangunan JSS harus dilakukan secara cermat dengan mempelajari aspek hukum adat dan hukum pertanahan yang ada, serta pengalaman dalam proses pembebasan lahan. Pekerja proyek JSS yang berasal dari berbagai etnis bisa berpotensi terjadi konflik etnik. Biasanya berawal dari ketersinggungan pribadi, yang dibawa ke kelompok etnik. Karena itu harus dibangun rasa persatuan dan kesatuan dalam pengerjaan proyek, agar tidak jadi peluang pengembangan konflik pribadi menjadi konflik antar etnik. Dampak positif bagi masyarakat Kabupaten Lampung Selatan dan sekitarnya dengan adanya jalan yang akan terkoneksi pembangunan JSS, antara lain : •
Aksesibilitas masyarakat semakin luas, sehingga memungkinkan masyarakat semakin sering melakukan perjalanan dengan berbagai tujuan;
•
Peluang usaha semakin besar, hal ini dapat dilihat dari banyaknya tempat-tempat usaha yang ada di sepanjang jalan;
Adapun dampak negatif yang terjadi antara lain : •
Adanya usaha yang tidak sesuai dengan masyarakat setempat, misalnya warung remangremang atau warung tuak yang menyediakan minuman keras;
•
Adanya perubahan pola ekonomi masyarakat yang tadinya sebagai petani menjadi pedagang atau penyedia jasa.
Pembangunan JSS akan membawa dampak sosial budaya terutama pada kawasan potensial terkena dampak yaitu: Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Timur dan Kota Bandarlampung. Dampak sosial budaya muncul dari berbagai permasalahan sosial budaya seperti:
1. Tingkat urbanisasi yang tinggi pada kawasan potensial terkena dampak dan sepanjang jalan Lintas Tengah dan Timur Sumatera menyebabkan munculnya berbagai masalah sosial seperti: perkampungan kumuh, kawasan perdagangan dan jasa yang tidak teratur, kriminalitas dan sebagainya. -
Perpindahan penduduk dari luar Lampung ke Lampung untuk mengadu nasib di sektor perdagangan dan jasa maupun di sektor informal lainnya yang muncul setelah pembangunan JSS. Sementara penduduk dari berbagai kabupaten di Lampung yang sebelumnya bekerja di sektor pertanian akan migrasi ke Bandar Lampung maupun ke Kalianda untuk mengadu nasib di sektor informal akan menimbulkan masalah sosial.
-
Masalah sosial dan kriminal seperti prostitusi, daerah kumuh, dan kejahatan kriminal akan menyebar akan ke tempat atau titik-titik baru dan muncul kejahatan baru.
-
Lokasi hiburan
akan memberikan dampak sosial dengan masuknya alkohol dan
hiburan malam (karaoke, panti pijat serta PSK dari luar daerah). Hal ini berpotensi munculnya premanisme lokal, dan konflik dengan organisasi kepemudaan dan atau keagamaan setempat.
2. Alih guna lahan yang tinggi dari lahan pertanian dan hutan menjadi areal terbangun. Hubungan tanah dan manusia sangat sangat menentukan tingkat keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran suatu bangsa.
Apalagi bagi bangsa Indonesia umumnya dan
masyarakat Lampung khususnya, bahwa sebagai masyarakat dengan budaya bertani, tanah adalah salah satu faktor penting disamping benih dan tenaga. -
Masyarakat lokal akan terdesak oleh pendatang dan investor yang memerlukan lahan untuk aktifitas ekonomi. Akibatnya akan terjadi jual beli lahan kawasan pertanian, sehingga masyarakat lokal hanya memiliki lahan sempit dan bahkan dapat terusir dari “tanahnya” sendiri. Akhirnya terjadi berbagai kecemburuan sosial yang menimbulkan berbagai masalah criminal sperti: pencurian hasil pertanian dan peternakan, bahkan harta benda (missal: maraknya “begal” motor).
-
Konflik tenurial (penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah) di kawasan hutan akan makin kompleks. Konflik ini memunculkan berbagai permasalahan sosial seperti: kekerasan, pembunuhan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia,
3. Tingginya tekanan kegiatan dan budaya dari luar -
Tekanan budaya instan dan transaksional, disparitas kondisi sosial ekonomi masyarakat akan makin mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Akan muncul
kecemburuan ekonomi dan sosial di masyarakat. -
Menipisnya nilai sosial budaya dan agama seiring dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat akan meningkat.
-
Terjadi pergeseran orientasi nilai budaya dari budaya petani ke budaya industri
Dalam kaitannya dengan pembangunan JSS, maka jika dilihat sikap mental masyarakat Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh kondisi dunia yaitu era globalisasi dan era digital, sedangkan kondisi dalam negeri sendiri adalah era reformasi. Sehingga muncul budaya instan, serba cepat dan cenderung konsumtif. Hal ini terlihat dari hasil studi yang dilakukan DPU bahwa pembangunan JSS akan memberikan dampak sosial budaya antara lain: masyarakat cenderung konsumtif; meningkatkan persaingan dalam berusaha; munculnya kesenjangan dan kecemburuan sosial; terjadi proses urbanisasi dan munculnya usaha yang tidak sesuai norma masyarakat. Program-program yang antisipatif dan proafktif harus disusun dalam rangka penanganan dampak pembangunan Jembatan Selat Sunda. Untuk merevitalisasi modal sosial yang ada, maka perlu upaya yang sistematis untuk menciptakan infrastruktur sosial yang memungkinkan terjadinya pembauran kelompok-kelompok sosial yang tersegerasi di Provinsi Lampung.
Tabel 1.11. Dampak positif dan negatif aspek ekonomi, sosial dan budaya dengan indikator tertentu No Aspek 1 Ekonomi (mikro)
Indikator Penggunaan lahan
• •
•
Dampak Positif Laju pembangunan meningkat, penggunaan lahan cenderung menguat Pembangunan prasarana dan sarana seperti hotel, restoran, pemukiman, pusat industri, pusat bisnis/perbelanjaan, dll lebih giat Harga tanah melonjak
•
•
• •
PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi
• •
•
Peningkatan PDRB wilayah dan pendapatan per kapita masyarakat Aktivitas ekonomi terutama sektor perdagangan dan industri akan menguat Kemampuan daya beli masyarakat meningkat
•
•
•
Dampak Negatif Cakupan luasan kawasan lindung berkurang, sementara cakupan luasan kawasan budidaya bertambah Terjadi migrasi penduduk mendekat (terkonsentrasi) ke wilayah kaki JSS dan jalur utama koridor lintas timur/tengah Sumatera Muncul spekulan tanah yang dapat menimbulkan kerawanan sosial baru Muncul jenis usaha yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat (hiburan, perdagangan miras, prostitusi, premanisme, dll) Tersedianya komoditi perdagangan dan industri merangsang kecenderungan sikap konsumptif masyarakat (perilaku individu rumah tangga) Distribusi barang-barang konsumtif meningkat secara eksponensial (perilaku individu perusahaan) produsen menentukan tingkat produksi dan harga pasar (perilaku industri)
•
Angka kemiskinan
•
Proses alih fungsi lahan, pra-konstruksi, konstruksi, dan pasca konstruksi, pengembangan kawasan memacu kegiatan ekonomi dan peluang usaha masyarakat yang berarti dapat menekan angka kemiskinan
•
Perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
•
Terbukanya peluang pasar bagi pengembangan UMKM di berbagai sektor semakin lebar Akses permodalan bagi pengembangan UMKM juga semakin mudah Tingkat kebutuhan pasar terhadap produk UMKM semakin besar akibat adanya arus migrasi penduduk ke wilayah kaki JSS Kegiatan ekonomi dalam mengantisipasi pembangunan JSS membuka kesempatan kerja yang lebar, diharapkan angka pengangguran pada penduduk usia produktif dapat diperkecil Inisiatif membuka peluang usaha sendiri makin
•
• •
Tersedianya lapangan kerja dan penekanan angka pengangguran
•
•
•
•
•
permasalahan timbul terhadap harga dasar dan harga tertinggi, permintaan pangan, kenaikan BBM, monopoli dan distribusi Tanpa dilakukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia secara bersamaan, maka masyarakat akan kalah bersaing dengan kaum pendatang yang menyebabkan sulit untuk terangkat dari garis kemiskinan Kemungkinan justru terjadi aliran ekonomi dari Sumatera ke Jawa, masyarakat memanfaatkan aksesibilitas untuk membeli produk di Jawa dan pemodal dari Jawa menanam investasi di Sumatera. Kemampuan ekonomi pendatang menjadi pesaing utama UMKM Jika tidak disiapkan ketrampilan masyarakat, yang terjadi mereka hanya berpeluang menjadi tenaga buruh saja. Pergeseran terhadap kegiatan ekonomi sektor pertanian (primer) menjadi industri dan perdagangan atau
•
2
Sosial
Pertumbuhan penduduk Pendidikan
•
Kesehatan
•
•
mendapat peluang karena pasar yang tersedia cukup menjanjikan Peluang kerja/usaha seperti restoran, penginapan (hotel), perumahan karyawan, perdagangan dan jasa pariwisata, toko cinderamata, salon dan hiburan (dalam arti yang positif) Jumlah penduduk meningkat secara signifikan Kesadaran pendidikan meningkat (IPM meningkat) Kesadaran akan kesehatan meningkat (AHH meningkat)
•
• •
• •
3
Budaya
Tenaga Kerja
•
Pengangguran berkurang
•
Multi etnik
•
Pembauran budaya dan sikap toleransi terhadap para pendatang
• •
Tata nilai dan norma di masyarakat
•
Keragaman budaya memperkaya tatanan sosial masyarakat
•
Pola budaya
•
Budaya industri yang positif
•
pariwisata (sekunder dan tersier) mengancam produksi komoditi unggulan Provinsi Lampung Masyarakat yang tidak terbiasa memanfaatkan peluang cenderung hanya mencari kerja sebisanya
Terjadi arus urbanisasi dan migrasi penduduk ke kawasan JSS. Kepadatan penduduk meningkat, terutama Kota Bandar Lampung menjadi terlalu padat, akan menimbulkan masalah sosial lainnya (penyediaan tempat tinggal, sarana pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan dll.) Konflik tenurial atas penguasaan tanah Tingkat kriminalitas cenderung tinggi Persaingan kerja dengan tenaga luar daerah/asing Semakin beragam etnik, berpotensi terjadi konflik sosial (horizontal) Muncul usaha yang tidak sesuai norma Tata nilai adat istiadat dan agama mulai pudar dengan semakin banyak arus budaya luar yang masuk Budaya petani bergeser ke
(pergeseran budaya)
2.1. .1.
dapat diambil diantaranya menjadi lebih profesional, menghargai waktu dan tenaga, dan inovatif
budaya indutsri menjadikan lebih individualistik dan mudah/terbuka dengan pengaruh dari luar
Strategi Penanganan Dampak Ekonomi Terhadap Rencana Pembangunan JSS
2.1.1 .1.1 Strategi Penanganan Penanganan Dampak Ekonomi dengan Pendekatan Ekonomi Wilayah Pembangunan JSS akan memacu peningkatan arus lalulintas angkutan perekonomian sekaligus menjadi multiplier effect pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain itu pembangunan JSS juga memiliki kontribusi signifikan terhadap penurunan biaya produksi yang selanjutnya menimbulkan peningkatan output produksi (elastisitas penawaran), serta pengaruh penurunan biaya produksi tersebut dalam meningkatkan output produksi dan penjualan akan sangat bergantung pada permintaan konsumen/masyarakat terhadap output produksi (elastisitas permintaan). Pertumbuhan ekonomi wilayah akan diikuti dengan penyerapan tenaga kerja, memicu sektor perdagangan dan pengembangan pariwisata. Terciptanya pertalian (linkage) antar sektor-sektor tersebut diharapkan pada jangka panjang memperkuat struktur ekonomi wilayah yang seimbang dan mampu mendukung berkembangnya perdagangan bebas. Strategi penanganan dampak dengan pendekatan pengembangan ekonomi wilayah Provinsi Lampung berkaitan dengan pembangunan JSS secara garis besar disajikan pada Tabel 2.1. Pembangunan JSS juga diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi mikro/ lokal/pedesaan di wilayah dengan radius hingga 60 km dari kaki JSS, yaitu yang termasuk wilayah Kabupaten Lampung (Kec. Penengahan, Sidomulyo, Ketapang, dan Tanjung Bintang) – KEP Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Timur (Kec. Labuhan Maringgai, Jabung, Sekampung Udik, Pekalongan, Way Jepara, dan Labuhan Ratu) – KEP Lampung Timur, sebagaimana yang sudah di bahas.
Tabel 2.1. Strategi Pengembangan Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung Terkait pembangunan JSS
Kategori
Prinsip Pengembangan
Pola keterkaitan regional Keterkaitan terhadap pembangunan regional Fungsi wilayah
Komoditi unggulan
Prasyarat pengembangan
Strategi Meneruskan kecenderungan dan memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi sektor pertanian Mengembangkan sektor pertanian sebagai pendukung ketahanan pangan dan memperkuat perekonomian daerah Mengembangkan pariwisata sebagai pemicu pengembangan kawasan dan penyedia lapangan kerja Melepaskan ketergantungan dari wilayah lain dalam kebutuhan pangan Bertindak sebagai pemasok produk-produk pertanian ke wilayah lain, khususnya di Pulau Jawa. Memperkuat struktur dan laju pertumbuhan ekonomi khususnya untuk sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan) Sebagai kantong produksi pertanian (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan) Sebagai daerah tujuan wisata Mengembangkan komoditas pertanian yang mempunyai nilai ekspor ( lada, pisang, biji kakao, beras, tanaman palawija, tanaman perkebunan, perikanan laut dan tambak (udang), dan peternakan; serta produk industri pertanian (nenas kaleng, monosodium glutamate, particle board, gula tetes, minyak sawit, karet, coklat bubuk dll) Tersedia lahan yang luas untuk pengembangan pertanian
Sumber : Hasil Analisis
2.1.2 Strategi Penanganan Dampak dengan Pendekatan Ekonomi Mikro Strategi penanganan dampak ekonomi pembangunan JSS di kawasan potensial terkena dampak adalah dengan pendekatan ekonomi mikro melalui pemberdayaan masyarakat dengan visi membangun daya saing masyarakat, kemandirian dan produktivitas kolektif, kesejahteraan dan keadilan. keadilan Sejalan dengan visi tersebut, maka strategi pengembangan ekonomi mikro secara umum adalah meningkatkan kemandirian masyarakat, menjadikan masyarakat produktif dan memperkuat kelembagaan keuangan mikro di masyarakat. Selanjutnya berdasarkan analisis sosial budaya pada bab sebelumnya dimana akan terjadi pergeseran dari masyarakat pertanian ke masyarakat pertanian industrial, maka strategi pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat pertanian industrial di kawasan terkena dampak
secara berkelanjutan dapat dilakukan dalam beberapa pilihan sesuai tahapan yang ada pada masyarakat yaitu: 1.
Strategi subsistensi, yaitu strategi yang diterapkan pada masyarakat pedesaan yang secara potensial dapat menghasilkan suatu produk pertanian, namun pada saat yang sama tingkat kebutuhan dasarnya belum dapat dicapai secara mandiri. mandiri Pada tahap ini bentuk pemberdayaan masyarakatnya adalah mengelola sumber daya yang ada secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
2.
Strategi peningkatan nilai tambah ekonomi yaitu dengan melihat bahwa masyarakat petani di perdesaan mempunyai kemampuan untuk menjadikan sumber daya alam yang ada sebagai input utama usaha ekonomi produktif. produktif Keberhasilan strategi pemberdayaan ini paling tidak ditunjukkan dalam 2 hal yaitu: a. Dihasilkannya produk pertanian yang diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar terbuka. b. Produk pertanian yang dihasilkan berupa produk olahan yang telah mengalami proses nilai tambah maksimal. Pada tahap ini pemberdayaan berupa terbangunnya sistem pertanian industrial di perdesaan.
3.
Strategi penguatan penguasaan aset produktif secara menyeluruh untuk terwujudnya masyarakat berkeadilan dengan tingkat pemerataan yang relatif baik. Strategi ini akan berhasil jika: a. Seluruh sistem pertanian industrial pedesaan dijalankan oleh pelaku ekonomi di pedesaan. b. Kepemilikan keseluruhan jaringan pertanian industrial di pedesaan adalah oleh masyarakat setempat. c. Pengelolaan keseluruhan jaringan pertanian industrial di pedesaan dilakukan dalam wadah keorganisasian ekonomi pedesaan yang berbadan hukum (misal: Koperasi).
Pada tahap ini pemberdayaan berupa terbangunnya keorganisasian ekonomi pertanian industrial perdesaan yang berbadan hukum. 2.2. .2.
Strategi Penanganan Dampak Sosial Budaya Terhadap Rencana Pembangunan JSS Tujuan pembangunan infrastruktur umumnya, dan Jembatan Selat Sunda (JSS) khususnya
tidak hanya untuk aspek ekonomi seperti mensejahterakan masyarakat, tetapi juga pembinaan sosial budaya masyarakat agar dapat berkelanjutan (sustainable development) seperti dalam tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Sampai saat ini kajian atau studi yang banyak dilakukan lebih fokus pada bidang ekonomi, sosial dan lingkungan dari perspektif ekonomi, padahal seharusnya perlu juga menganalisis sosial budaya masyarakat harus dalam perspektif sosial agar lebih tepat sasaran. Analisis dampak sosial budaya pembangunan JSS pada studi ini akan menggunakan cara pandang atau perspektif ilmu sosial budaya. Pembangunan merupakan suatu proses untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik bagi masyarakat suatu bangsa. Tujuan pembangunan nasional adalah kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia. Selanjutnya keberhasilan pembangunan ditentukan oleh karakter atau sikap mental masyarakatnya sendiri. Sikap mental disebut juga sebagai sistem nilai budaya, dan orientasi nilai budaya adalah salah satu faktor yang membentuk potensi mentalitas manusia atau daya psikokultural. Tetapi hal ini seringkali diabaikan dalam kajian pembangunan di suatu wilayah, sehingga ketika pembangunan telah berlangsung, masyarakat tidak dipersiapkan secara psikokultural. Akibatnya pembangunan kemudian tidak mensejahterakan masyarakat, tetapi sebaliknya menambah jumlah angka kemiskinan di wilayah tersebut. Oleh sebab itu dalam mempersiapkan masyarakat di kawasan yang potensial terkena dampak langsung pembangunan Jembatan selat Sunda (JSS) perlu mempertimbangkan sosial budaya masyarakat di kawasan tersebut. Saat ini pembangunan masyarakat di wilayah perdesaan dan perkotaan menghadapi kerentanan yang luar biasa akibat adanya globalisasi, reformasi dan era digital. Secara garis besar kerentanan tersebut menjelma ke dalam dua bentuk dilemma yang dihadapi masyarakat yaitu:
(1) dilema ketergantungan (ketergantungan nafkah, informasi dan budaya); dan (2) dilema kehilangan identitas budaya lokal melalui mekanisme masuknya budaya luar yang biasanya sangat dominan (Dharmawan, 2011). Teori ketergantungan pembangunan telah banyak membuktikan fakta emperik, bahwa semakin tergantung sebuah sistem sosial lokal pada struktur eksternalglobal, maka semakin terhisaplah keseluruhan sumber daya kehidupan yang tersedia di dalam lokalitas tersebut ke pusat-pusat ekonomi global. Kedua dilemma ini sangat mengancam keberadaan kekuatan lokal masyarakat, sehingga perlu langkah besar agar masyarakat dapat meningkatkan ketahanan sosial budayanya agar dapat keluar dari jebakan tersebut. Dalam konteks dampak pembangunan Jembatan Selat Sunda, maka tentu akan mempercepat proses ancaman tersebut. Oleh sebab itu perlu adanya suatu skenario yang dapat mengantisipasi dan meminimalisasi berbagai dampak yang akan terjadi. Skenario yang disusun adalah yang dapat menjawab pertanyaan bagaimana meningkatkan ketahanan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada agar dapat meningkatkan kemakmurannya?. Perlu adanya kedaulatan lokal dalam mengatur dirinya sendiri melalui budaya lokal yang kuat, berdaulat, kelembagaan yang kokoh dan legitimate dalam menghidupi warga komunitas lokalnya sendiri. Dari analisis pada bab sebelumnya diketahui bahwa masyarakat Lampung memiliki kekayaan sosial budaya yang tinggi untuk membangun modal sosial. Modal sosial tersebut adalah: spirit, nilai-nilai sosial budaya , adat istiadat, struktur sosial, kepemimpinan, pengelolaan sosial, sumber daya manusia, dan sistem pemerintahan. Hanya saja selama ini modal sosial ini terabaikan atau tanpa disadari malah mulai hilang, karena pragmatisme penyelenggaraan pembangunan oleh pemerintah pusat, daerah, dan desa (Pranadji, 2012). Revitalisasi modal sosial perlu dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya saing dan berkelanjutan. Indikator masyarakat yang berdaya saing adalah masyarakat produktif, mandiri, terwujud keadilan, dan kegotong royongan.
2.2.1 Strategi penanganan dampak dengan pendekatan sosial budaya Strategi penanganan dampak melalui pendekatan sosial budaya terdiri dari 3 tahapan yaitu Pertama, mengenali dan identifikasi nilai sosial budaya yang ada, Kedua, revitalisasi nilai sosial budaya yang ada dan penanaman nilai tersebut di masyarakat. Ketiga, penyusunan dan implementasi program. Lihat Gambar 5.1.
Strategi penangan dampak melalui pendekatan sosbud
Implementasi program Revitalisasi dan Penanaman Nilai Mengenali dan indentifikasi Budaya yg ada
Sumber: Modifikasi Sapto, 2012
Gambar 2.1. Tahapan Strategi Penanganan Dampak melalui Pendekatan Sosial Budaya
2.2.2 Strategi penanganan dampak dengan pendekatan kelembagaan Sejalan dengan visi dan misi Provinsi lampung yang unggul dan berdaya saing, dan dari hasil studi terdahulu bahwa sektor unggulan yang akan dikembangkan di kawasan potensial terkena dampak JSS adalah pertanian, kelautan, perdagangan dan jasa termasuk pariwisata.
Pengembangan sektor-sektor ini membutuhkan berbagai perangkat pembangunan, terutama infrastruktur, kelembagaan, serta sumber daya manusia yang terdidik dan terampil. Banyaknya aspek dan aktor yang terlibat sehingga memerlukan keterpaduan Strategi penanganan dampak dengan pendekatan kelembagaan adalah pendekatan yang terpadu atau terintegrasinya program lintas kementrian/lembaga, lintas pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Keterpaduan mudah diucapkan, tetapi sangat sulit diimplementasikan. Oleh sebab itu perlu adanya komitmen yang kuat dari stakeholder yang terlibat untuk menjalankan program secara bersama-sama. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.2.
STRATEGI PENANGANAN DAMPAK Pengintegrasi program lintas kementerian/lemb, Pemprov, dan Pemkab/ kota, memberdayakan masy arakat
BAPPENAS
Kehutanan
Industri
Pertanian
Pariwisata Perkebunan Perdagangan
Perternakan
Koperasi& UKM
Perbankan
Perikanan
Gambar 2.2. Strategi Penanganan Dampak dengan Pendekatan Kelembagaan Sumber : Modifikasi Sapto, 2012
2.3. .3.
Kebijakan dan Program Kegiatan Penanggulangan Dampak Ekonomi terhadap Rencana Pembangunan JSS Kebijakan penyusunan program pengembangan ekonomi mikro mengacu pada visi misi
Provinsi Lampung yang unggul dan berdaya saing. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sesuai dengan potensi yang ada di kawasan potensial yang terkena dampak , maka sektor yang dikembangkan adalah pertanian; perikanan dan kelautan; perdagangan dan jasa; serta pariwisata. Oleh sebab itu penduduk diarahkan dan dipersiapkan
untuk mendukung sektor yang
dikembangkan pada setiap kawasan. Di Kabupaten Lampung Selatan misalnya, penduduk Kecamatan Penengahan dan Kecamatan Sidomulyo yang secara umum adalah petani, dan penduduk Kecamatan Ketapang adalah nelayan diharapkan dapat diberdayakan untuk mendukung kawasan pengembangan seperti pada Tabel 2.1. Begitu pula dengan penduduk di kawasan Tanjung bintang, diharapkan dapat mendukung keberadaan industri di Kawasan Industri Lampung (KAIL). Sedangkan penduduk kota Kalianda yang lebih banyak bekerja di sektor perdagangan dan jasa dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan pariwisata di sumber air panas Way belerang, Pelabuhan Canti untuk penyeberangan ke Gunung Krakatau dan Pantai Wartawan. Kebijakan ekonomi mikro yang dapat dikembangkan berkaitan dengan implikasi pembangunan JSS dapat dilihat pada Tabel 2.1 Tabel 2.2. Kebijakan Ekonomi Wilayah dan Ekonomi Mikro pada Kawasan Potensial di Kabupaten Lampung Selatan No
Fungsi Ekonomi wilayah potensial
1
Pertanian dan Agribisnis
Program Kegiatan Ekonomi •
2 3
Perikanan dan kelautan(Minapolita n) Perdagangan dan Jasa Pariwisata
• •
Masyarakat dapat memasarkan sendiri secara langsung hasil produk pertanian Masyarakat dapat melakukan usaha pengolahan hasil ikan Pengembangan usaha pembibitan tanaman
Strategi
Kebijakan Ekonomi Mikro
Masyarakat mandiri, produktif dan memiliki kelembagaan keuangan yang kuat
1. Pengembangan usaha pertanian mikro berbasis sumber daya lokal 2. Pengembangan jaringan pengamanan sosial (semacam JPS) 3. Penguatan
(Agrowisata) 4
Ecotourism (Pariwisata Alam)
•
•
Sumber: Hasil analisis 2012
dan buah-buahan berbasis masyarakat Pengembangan Desa Wisata Mandiri di Labuhan Ratu (sekitar Taman Nasional Way Kambas) Pengembangan industri kerajinan dan cinderamata
kelembagaan keuangan mikro di masyarakat
2.3. Dampak Negatif Aspek Ekonomi Mikro, Strategi Pemecahan dan Kebijakan Penanggulangannya terhadap Rencana Pembangunan JSS Indikator Penggunaan lahan
•
•
• •
Dampak Negatif Cakupan luasan kawasan lindung berkurang, sementara cakupan luasan kawasan budidaya bertambah Terjadi migrasi penduduk mendekat (terkonsentrasi) ke wilayah kaki JSS dan jalur utama koridor lintas timur/tengah Sumatera Muncul spekulan tanah yang dapat menimbulkan kerawanan sosial baru Muncul jenis usaha yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat (hiburan, perdagangan miras, prostitusi, premanisme, dll)
•
• • • •
Strategi Pemecahan Penggunaan lahan diawasi secara ketat, pemberian izin peralihan lahan lebih selektif/cermat, penetapan syarat alokasi RTH perlu diperkuat Perlindungan hak-hak masyarakat lokal Pencegahan “urban bias” dengan penyediaan infrastruktur sesuai kebutuhan masyarakat lokal/desa Penguatan nilai sosial budaya melalui pendekatan agama, budaya dan pendidikan di keluarga/masyarakat Peningkatan ketahanan masyarakat lokal melalui penguatan keberadaan lembaga agama, adat, budaya di masyarakat
•
• • •
•
Kebijakan Ditetapkan aturan khusus sebagai sisipan yang belum tercantum dalam RTRWP Lampung 2009-2029 Penyusunan program pemberdayaan masyarakat Penegakan hokum Penyediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung pengembangan sektor pertanian di kawasan perdesaan Perda Tata Ruang dan Perda Pariwisata yg sesuai dengan norma agama dan adat setempat
PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi
•
•
• •
Angka kemiskinan
•
Tersedianya komoditi perdagangan dan industri merangsang kecenderungan sikap konsumptif masyarakat (perilaku individu rumah tangga) Distribusi barang-barang konsumtif meningkat secara eksponensial (perilaku individu perusahaan) produsen menentukan tingkat produksi dan harga pasar (perilaku industri) permasalahan timbul terhadap harga dasar dan harga tertinggi, permintaan pangan, kenaikan BBM, monopoli dan distribusi Tanpa dilakukan peningkatan kualitas sumberdaya manusia secara bersamaan, maka masyarakat akan kalah bersaing dengan kaum pendatang yang menyebabkan sulit untuk terangkat dari garis kemiskinan
•
•
• • • •
Peningkatan pendidikan dan ketrampilan penduduk lokal untuk kecakapan hidup di bidang kewira-usahaan terutama bidang pertanian, perikanan, perdagangan dan jasa Pengembangan sektor pembangunan ekonomi berbasis sumber daya lokal agar unggul dan mampu bersaing sesuai visi misi provinsi Lampung
Revitalisasi budaya lokal yang sudah ada dan peningkatan nilai-nilai agama Penanaman nilai budaya industri yang positif yang sesuai dengan budaya lokal seperti: produktif, cepat, kerja keras dll Pengembangan nilai-nilai budaya hidup hemat, ramah lingkungan dan berkelanjutan Pembangunan yang berkeadilan dan partisipatif
•
•
• •
•
Pengembangan sekolah atau lembaga –lembaga kewirausahaan (entrepreneurship) Pengembangan usaha masyarakat bidang pertanian
Memberi dukungan melalui pelatihan dan pendampingan dalam berwirausaha Sosialisasi dan praktek hidup hemat dan ramah lingkungan melalui 4 R (reduce, reuse, recycle, restore) Masyarakat terlibat dalam setiap tahapan pembangunan muali dari rencana sampai monitoring dan evaluasi
Perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM)
•
•
Tersedianya lapangan kerja dan penekanan angka pengangguran
•
•
•
Kemungkinan justru terjadi aliran ekonomi dari Sumatera ke Jawa, masyarakat memanfaatkan aksesibilitas untuk membeli produk di Jawa dan pemodal dari Jawa menanam investasi di Sumatera. Kemampuan ekonomi pendatang menjadi pesaing utama UMKM Jika tidak disiapkan ketrampilan masyarakat, yang terjadi mereka hanya berpeluang menjadi tenaga buruh saja. Pergeseran terhadap kegiatan ekonomi sektor pertanian (primer) menjadi industri dan perdagangan atau pariwisata (sekunder dan tersier) mengancam produksi komoditi unggulan Provinsi Lampung Masyarakat yang tidak terbiasa memanfaatkan peluang cenderung hanya mencari kerja sebisanya
•
•
• •
Peningkatan pendidikan dan ketrampilan penduduk lokal untuk kecakapan hidup di bidang kewira-usahaan terutama bidang pertanian, perikanan, perdagangan dan jasa Pengembangan sektor pembangunan ekonomi berbasis sumber daya lokal agar unggul dan mampu bersaing sesuai visi misi provinsi Lampung
Harus ada jaminan dan perlindungan untuk kepemilikan lahan masyarakat lokal, terutama lahan pertanian Peningkatan kemandirian masyarakat lokal melalui revitalisasi kawasan perdesaan
•
• •
• •
Pengembangan sekolah atau lembaga –lembaga kewirausahaan (entrepreneurship) Pengembangan usaha masyarakat bidang pertanian Kemudahan pemberian izin dan akses permodalan bagi pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah Perda anti alihfungsi lahan Insentif bagi masyarakat yang mempertahankan lahannya untuk pertanian, perikanan, perkebunan yang dapat memperkuat ketahanan masyarakat desa
2.4. .4.
Kebijakan dan Program Kegiatan Penanggulangan Dampak Sosial Budaya terhadap terhadap Rencana Pembangunan JSS
Berdasarkan strategi di atas, maka kebijakan pengembangan program sosial budaya masyarakat di lokasi potensial terkena dampak adalah: 1. Peningkatan ketahanan masyarakat lokal dan melindungi hakhak-hak masyarakat lokal melalui: peningkatan pendididikan dan ketrampilan, pendampingan, sosialisasi dan konsultasi publik, dan sebagainya. 2. Peningkatan sikap mental masyarakat lokal dan revitalisasi nilainilai-nilai budaya yang sudah ada meliputi:
kepemimpinan,
pendidikan
dan
pelatihan;
pemanfaatan
media
masa;
pembangunan organisasi dan norma; perilaku manajemen dan pola-pola pengasuhan anak. 3. Kebijakan penyusunan program sosial budaya pada kawasan potensial terkena dampak haruslah berbasis pengarusutamaan peran masyarakat melalui partisipasi partisipasi masyarakat pada setiap tahapan pembangunan secara terus menerus mulai dari tahapan penyusunan program, pelaksanaan sampai pada monitoring dan evaluasi. 4. Revitalisasi kekuatan lokal untuk “kembali kembali berdaulat” berdaulat (deteritorialisasi) masyarakat desa/lokal atas wilayah dan sumber daya manusia. Artinya masyarakat diberi ruang untuk mengatur dirinya sendiri, pemerintah lokal harus berbagi peran dengan masyarakatnya, dalam arti yang semula sebagai controller, regulator dan provider menjadi sebagai katalisator, penyelenggara pertemuan-pertemuan dan fasilitator. Strategi penanganan dampak dan kebijakan program kegiatan untuk penanggulangan dampak sosial budaya akibat pembangunan Jembatan Selat Sunda dapat dilihat pada Tabel 2.4. Berdasarkan identifikasi berbagai isu dan permasalahan sosial budaya yang akan muncul seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, selanjutnya disusun strategi pemecahannya yang sesuai, kemudian diturunkan dalam berbagai kebijakan program kegiatan.
Tabel 2.4. Masalah Sosial, Dampak, Strategi Pemecahan dan Program Kegiatan Penangulangannya Berkaitan Rencana Pembangunan JSS Masalah sosial budaya
Dampak Negatif
Strategi pemecahan
Kebijakan
Paradigma pengelolaan hutan dan sda lain harus berdasarkan wawasan kebangsaan dan berkeadilan bukan peminggiran, sehingga perlu pendekatan berbasis kearifan lokal
Pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal
1.Tingginya alih fungsi lahan -
Konflik tenurial (pemilikan, penguasaan, pemanfaatan, penggunaan) di kawasan hutan akan makin kompleks
Hutan dikuasai pihak yang bermodal, masyarakat adat/lokal terpinggirkan akhirnya hutan rusak
Strategi pemecahan konflik secara komprehensif dan dinamis dengan inovasi baru cara penyelesaian pada setiap kelompok -
Masyarakat lokal akan terdesak oleh pendatang/investor yang memerlukan lahan untuk aktifitas ekonomi dan kawasan terbangun dalam skala besar
Masyarakat lokal akan memiliki lahan yang makin sempit
Harus ada jaminan dan perlindungan untuk kepemilikan lahan masyarakat lokal, terutama lahan pertanian Peningkatan kemandirian masyarakat lokal
Pengembangan Hutan Desa Konservasi
Penguatan kelembagaan lokal yang legitimate dan sesuai dengan budaya lokal Perda anti alihfungsi lahan Insentif bagi masyarakat yang mempertahankan lahannya untuk pertanian, perikanan, perkebunan yang dapat memperkuat
melalui revitalisasi kawasan perdesaan
ketahanan masyarakat desa
Perlindungan hak-hak masyarakat lokal
Penyusunan program pemberdayaan masyarakat Penegakan hukum
Peningkatan pendidikan dan ketrampilan penduduk lokal untuk kecakapan hidup di bidang kewira-usahaan terutama bidang pertanian, perikanan, perdagangan dan jasa
Pengembangan sekolah atau lembaga –lembaga kewirausahaan (entrepreneurship)
2.Tingginya tingkat urbanisasi -
Perpindahan penduduk dari luar Lampung ke Lampung untuk mengadu nasib di industri maupun di sektor informal sementara penduduk dari berbagai kabupaten di Lampung yang sebelumnya bekerja di sektor pertanian akan migrasi ke Bandar Lampung maupun ke Kalianda untuk mengadu nasib di sektor informal akan menimbulkan masalah sosial.
Penduduk lokal terpinggirkan, karena kalah bersaing dengan pendatang
Pengembangan sektor pembangunan ekonomi berbasis sumber daya lokal agar unggul dan mampu bersaing sesuai visi misi provinsi Lampung -
Tingkat urbanisasi yang tinggi, terutama pada kawasan potensial terkena dampak dan di
Muncul berbagai permasalahan sosial budaya di
Pencegahan “urban bias” dengan penyediaan
Pengembangan usaha masyarakat bidang pertanian
Penyediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung
sepanjang jalan utama (Lintas Timur dan Tengah Sumatera)
sepanjang jalan dan kawasan potensial terkena dampak seperti: perubahan gaya hidup, sikap individualistik,
infrastruktur sesuai pengembangan kebutuhan masyarakat sektor pertanian di lokal/desa kawasan perdesaan Pengembangan agropolitan, agroindustri, minapolitan, Pengembangan lembaga Pengembangan pendidikan sesuai lembaga pendidikan sector yang dan ketrampilan dan dikembangkan pendampingan masyarakat agar dapat yaitu pertnaian, menjadi pelaku bukan perikanan kelautan, perdagangan dan buruh atau objek jasa serta pembangunan pariwisata.
Banyak penduduk pindah pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor informal seperti: buruh, tukang ojek, pedagang kaki lima dengan tingkat upah rendah 3. Tingginya tekanan berbagai kegiatan dan budaya dari luar Revitalisasi budaya - Tekanan budaya instan Menipisnya nilai sosial budaya dan lokal yang sudah ada dan transaksional, disparitas kondisi sosial agama seiring dan peningkatan nilaiekonomi masyarakat dengan tuntutan nilai agama pemenuhan akan makin mempengaruhi kebutuhan sosial kehidupan masyarakat dasar masyarakat Perubahan orentasi akan meningkat. nilai budaya Pergeseran nilai sosial budaya dari Penanaman nilai agraris ke industri budaya industri yang positif yang sesuai dengan budaya lokal
Identifikasi budaya yang ada
Memberi dukungan melalui pelatihan dan pendampingan dalam
Masyarakat konsumtif
Ketimpangan dan kecemburuan sosial
seperti: produktif, cepat, kerja keras dll Pengembangan nilainilai budaya hidup hemat, ramah lingkungan dan berkelanjutan Pembangunan yang berkeadilan dan partisipatif
berwirausaha Sosialisasi dan praktek hidup hemat dan ramah lingkungan melalui 4 R (reduce, reuse, recycle, restore) Masyarakat terlibat dalam setiap tahapan pembangunan muali dari rencana sampai monitoring dan evaluasi
-
Masalah sosial dan kriminal seperti prostitusi, daerah kumuh, dan kejahatan kriminal akan menyebar akan ke tempat/titik-titik baru dan muncul kejahatan baru.
Terjadi pergeseran nilai sosial budaya di masyarakat, lunturnya nilainilai budaya yang luhur
Penguatan nilai sosial budaya melalui pendekatan agama, budaya dan pendidikan di keluarga/masyarakat
Pembentukan organisasi sosial budaya di masyarakat yang berorientasi pada agama dan budaya
-
Lokasi hiburan akan memberikan dampak sosial dengan masuknya alkohol dan hiburan malam (karaoke, panti pijat serta PSK dari luar daerah).
Potensi munculnya premanisme lokal, dan konflik dengan organisasi kepemudaan dan/atau keagamaan setempat
Peningkatan ketahanan masyarakat lokal melalui penguatan keberadaan lembaga agama, adat, budaya di masyarakat
Penegakan hukum Pengaturan tata ruang
Perda Tata Ruang dan Perda
Pariwisata yg sesuai dengan norma agama dan adat setempat Sumber: Hasil analisis, 2012