Kronologi (1946-1947)
PERUNDINGAN LINGGARJATI 11-13 November 1946
Hasil pemilu 17 Mei 1946 di Belanda menghasilkan Katholieke Volkspartij atau Partai Rakyat Katolik sebagai pemenang. Prof. Schermerhorn dari Partij van de Arbeid atau Partai Buruh mundur, dan digantikan PM L.J.M. Beel. Namun, ternyata perundingan dengan RI tetap dilanjutkan. Hal ini tidak lepas dari tekanan Inggris yang memaksa penyelesaian masalah dengan jalur diplomasi. Belanda membentuk Komisi Jenderal. Komisi Jenderal beranggotakan: Prof. Schermerhorn (ketua), P. Sanders (sekjen), F. de Boer, Dr. H.J. Van Mook, dan M.J.M. Van Poll.
1946
Tempat Hotel Linggarjati, di Linggarjati, Kabupaten Kabupaten Kuningan
20 Agustus
Delegasi Belanda
Lord Killearn, diplomat utusan Inggris untuk mediator RI-Belanda, tiba di Indonesia.
Prof. Schermerhorn (ketua), P. Sanders (sekjen), F. de Boer, Dr. H.J. Van Mook, dan M.J.M. Van Poll Perdebatan alot terjadi dalam Pasal 1 dan 8. Pasal 1 menyatakan bahwa “Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra, terkecuali daerah yang diduduki tentara Sekutu atau Belanda”. Pasal 8 menyatakan “Di pucuk Uni Belanda-Indonesia itu duduk Ratu Belanda ”. Menurut Prof. Schermerhorn, itu karena jabatan presiden di Indonesia merupakan jabatan dengan masa waktu tertentu.
18 September Komisi Jenderal tiba di Indonesia.
30 September Pertemuan informal pertama dalam acara makan siang. Hadir: Sutan Sjahrir (perwakilan RI), Prof. Schermerhorn (perwakilan Belanda), Michael Wright (perwakilan Lord Killearn).
Delegasi Indonesia 9 Oktober Menghasilkan resolusi yang berisi: RI, Belanda,& Inggris setuju mengadakan gencatan senjata dan membentuk Panitia Bersama Gencatan Senjata sebagai pengawas teknis.
14 Oktober Sjahrir meminta Belanda mengurangi jumlah pasukannya. Belanda setuju.
21 Oktober Pertemuan sibuk membahas Uni Indonesia-Belanda. Sama halnya pada 22 Oktober dan 1 November. Sjahrir mengajak Belanda menemui Soekarno-Hatta di Yogya.
Sutan Sjahrir (ketua), Menteri Perekonomian A.K. Gani, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, Menteri Dalam Negeri Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Roem, Ali Boediardjo (sekretaris), Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta RI menolak kata “terkecuali” dst. pada pasal 1. RI menuntut daerah-daerah yang masih diduduki tentara Sekutu dan Belanda nantinya berangsur-angsur akan dimasukkan ke dalam pemerintahan Republik Indonesia. Belanda setuju. Indonesia keberatan dengan pasal 8, kalau Presiden RI tidak punya kemungkinan untuk menjadi Ketua Uni.
Hasil Perundingan 4 November Pihak Belanda mengakui Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.
5 November Tercapai kesepakatan tempat perundingan, yaitu di Linggarjati, Kabupaten Kuningan.
11 November
Pasca-Linggarjati
Perundingan Linggarjati dimulai, sampai 13 November 1947.
Pengakuan de facto atas RI: Inggris (31 Maret 1947), Amerika Serikat (23 April 1947), Lebanon (29 Juni 1947), Suriah (2 Juli 1947), Irak (16 Juli 1947), Arab Saudi (24 September 1947), dan Yaman (4 Mei 1948) Uni Soviet (5 Mei 1948). Pengakuan de jure atas RI: Mesir (10 Juni 1947), Afghanistan (23 September 1947).
15 November Perjanjian Linggarjati diparaf di kediaman Sjahrir di Jakarta.
1947
Kedudukan internasional RI semakin tinggi berkat pengakuan de facto tsb. RI akan berada dalam Uni Indonesia-Belanda. Uni Indonesia-Belanda terdiri dari Negara Indonesia Serikat, Belanda, Suriname, dan Curaçao. Dalam persetujuan tsb., Republik Indonesia bersama negara Kalimantan dan Timur Besar akan menjadi Negara Indonesia Serikat dan bisa masuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Uni Indonesia-Belanda terbentuk.
25 Maret Perjanjian Linggarjati ditandatangani ditandatangani di Istana Rijswijk (Istana Negara). Lamanya waktu antara paraf dan tandatangan disebabkan pro-kontra dalam negeri Belanda maupun RI. Di Belanda, terjadi konflik antara pemerintah dan kabinet. Di RI, terjadi konflik di sidang KNIP, di mana PNI dan Masyumi menolak hasil Linggarjati. Hotel Linggarjati
13 Oktober Komisi Jenderal dibubarkan. © Arief
Bakhtiar D.
Perjanjian Linggarjati ibarat “setetes hujan es di atas api Revolusi” ─ Soekarno, Soekarno, dalam An Autobiography as Told to Cindy Adams (1965), hal. 238.