10 " Universitas Indonesia
DISFAGIA PADA ANAK DENGAN PALSI SEREBRAL
SITI MEIRIDA
Abstrak:
Palsi serebral merupakan gangguan motorik akibat adanya kerusakan otak yang terjadi pada masa perkembangan. Pada anak dengan palsi serebral sering mengalami kesulitan makan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mereka. Gangguan nutrisi dan kesulitan makan pada anak-anak dengan kelainan ini sering tidak disadari oleh orang tuanya karena keluhannya yang tidak spesifik. Anak usia 3 tahun, dengan spastik qudriplegi, datang ke poli THT dengan keluhan kesulitan dalam memakan nasi, pada pemeriksaan FEES disimpulkan disfagia fase oral. Pasien lalu menjalani latihan oromotor dan rehabilitasi postur tubuh. Saat ini, disfagia fase oral mengalami perbaikan.
Kata kunci: Palsi serebral, gangguan motorik, disfagia, latihan oromotor , FEES
Abstract:
Cerebral palsy is motoric disorder due to brain damage that occurs in the development period. Children with cerebral palsy often have feeding difficulties influencing their growth. Nutritional problems and feeding dysfunction in these children are often not recognized by their parents because of the clinical manifestation is unspecific. A three year old child with spastic quariplegic, presented to ENT outpatient clinic with difficulty in eating rice. FEES examination confirmed oral face dysfagia. And then, she underwent to oromotor exercise and postural rehabilitation. On follow up, The oral face dysfagia has improve.
Keyword: Cerebral palsy, motoric dysfunction, dysfagia, oromotor exercise, FEES
Pendahuluan
Palsi serebral adalah cacat fisik yang paling umum terjadi pada anak. Pada palsi serebral terjadi sekelompok gangguan motorik yang disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan otak pada masa perkembangan. Evaluasi klinis anak dengan palsi serebral, didapatkan bahwa semakin berat gangguan motorik yang dialami anak tersebut di semakin besar resiko terjadinya gangguan pada saluran cerna dan kesulitan makan. Penyebab utama kesulitan makan pada anak dengan palsi serebral adalah disfungsi oromotorik, yang menyebabkan gerakan mengunyah dan menelan menjadi tidak adekuat, sehingga memerlukan waktu makan yang lebih lama. Hal tersebut pada akhirnya dapat menyebabkan malnutrisi, stagnasi pertumbuhan dan terhambatnya perkembangan anak secara global. Kesulitan makan juga berkaitan dengan dengan angka harapan hidup yang rendah karena meningkatnya angka mortalitas dan morbiditas. Jika kesulitan makan terus terjadi tanpa adanya tata laksana yang adekuat dapat meningkatkan angka mortalitas hingga enam kali lipat.1-5
Gangguan menelan yang terjadi pada anak dengan palsi serebral ini, sering tidak terdeteksi dan mendapat terapi yang baik, seperti halnya kelainan lain yang menyertai palsi serebral (gangguan pada mata, epilepsi, dll). Hal tersebut dikarenakan gejala klinis yang tidak khas serta adanya gangguan komunikasi yang dialami penderita palsi serebral. Oleh karena itu, untuk identifikasi awal pada anak dengan palsi serebri yang berisiko mengalami gangguan nutrisi diperlukan pemeriksaan fungsi menelan dan status gizi serta rehabilitasi nutrisi dengan pendekatan multi disiplin.4, 5
Kekerapan
Gambar 1. Jalur inervasi proses menelan. DSG = Dorsal Swallowing Group, NTS = Nucleus of Tractus Solitarius, VSG = Ventral Swallowing Group, NA = Nucleus Ambiguus2Gambar 1. Jalur inervasi proses menelan. DSG = Dorsal Swallowing Group, NTS = Nucleus of Tractus Solitarius, VSG = Ventral Swallowing Group, NA = Nucleus Ambiguus2Prevalensi palsi serebral di dunia saat ini mencapai 2-2,5 per 1000 kelahiran hidup. Pasien dengan palsi serebral sering mengalami kesulitan makan, dengan prevalensi kejadiannya bervariasi antara 30-90 %.2, 4 Penelitian yang dilakukan Erkin dkk pada 120 anak dengan palsi serebral, didapatkan 26% mengalami gangguan makan. Pada penelitian tersebut didapatkan juga hubungan yang bermakna antara terjadinya gangguan makan dan saluran cerna dengan beratnya kelainan motorik yang dialami anak dengan palsi serebri.5 Pada penelitian yang dilakukan oleh Furkim dan dikutip oleh Marrara dkk, pada 32 anak dengan palsi serebral, 100% memiliki kemampuan pembentukan bolus dan penutupan bibir yang tidak adekuat. 3 Penelitian potong lintang yang di lakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo oleh departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) dan Rehabilitasi Medis tahun 2005, didapatkan bahwa dari 55 anak dengan palsi serebral, 76% mengalami kesulitan makan, dengan keluhan berupa kesulitan menelan (57%), waktu makan yang panjang (38%), sering tersedak atau batuk (33%), kesulitan minum (31%), dan sering muntah (24%).4
Gambar 1. Jalur inervasi proses menelan. DSG = Dorsal Swallowing Group, NTS = Nucleus of Tractus Solitarius, VSG = Ventral Swallowing Group, NA = Nucleus Ambiguus2
Gambar 1. Jalur inervasi proses menelan. DSG = Dorsal Swallowing Group, NTS = Nucleus of Tractus Solitarius, VSG = Ventral Swallowing Group, NA = Nucleus Ambiguus2
Anatomi dan fisiologi
Proses menelan adalah suatu kejadian fisiologi yang berupa rangkaian koordinasi kompleks motorik dan sensorik untuk mentransportasikan cairan atau zat padat dari rongga mulut ke lambung melalui faring dan esofagus tanpa melalui saluran nafas. Proses menelan diorganisasikan oleh input sensoris yang diterima oleh reseptor pada pangkal lidah, palatum mole, arcus faring, tonsil dan dinding faring posterior. Input diteruskan ke pusat menelan melalui nervus V, VII, IX, X dan N. Laringeus superior. Lalu informasi dari pusat menelan akan dikirimkan kembali melalui saraf kranial ke otot-otot menelan, yaitu nervus V, VII, IX, X, dan XII . 2, 6, 7
Proses menelan merupakan suatu fenomena yang dikendalikan dari sentral oleh otak. regio korteks dan subkortikal merupakan jalur penting dalam inisiasi gerak volunter dan batang otak bertanggung jawab atas gerakan involunter pada fase faring dan esofagus serta sebagai central pattern generator (CPG) karena berperan dalam mengorganisir gerakan menelan yang sekuensial. CPG terdiri dari 2 hemi-CPG yang saling bersinkronisasi dan juga terdiri
dari 2 grup neuron yaitu, oleh nukleus traktus solitarius pada regio dorsal, nukleus ambigus pada regio ventral dan neuron sekitar formasio ventrikularis medula pada kedua sisi batang otak. Regio dorsal merupakan master neurons yang mengaktifkan proses menelan dan regio ventral mengandung switching neurons yang meneruskan output waktu ke motor neuron yang tepat (lihat gambar 1). 2, 7
Proses menelan terbagi dalam beberapa fase yang mengalami modifikasi sejalan dengan perkembangan anak karena proses pematangan anatomi dan fisiologi tubuh. Proses menelan secara umum terbagi menjadi 3 fase yaitu fase oral, faring dan esofagus. Fase oral terjadi secara volunter dan terbagi menjadi fase persiapan oral serta transportasi, fase faring dan esofagus yang terjadi secara involunter. Saluran aero-digestif bagian atas bayi memiliki anatomi yang unik yang berbeda dengan orang dewasa. Perbedaan anatomi tersebut memungkinkan bayi dapat menyusui secara aman dan efektif. Anatomi saluran aero-digestif atas dan proses menelan pada bayi secara bertahap berubah selama bulan pertama kehidupan, dimana terjadi penurunan posisi laring. Anatomi laring mulai menyerupai orang dewasa pada usia 5 bulan. Posisi laring yang lebih kaudal ini, diperlukan untuk perkembangan vokalisasi bayi, tetapi di lain pihak menghilangkan efek proteksi aspirasi pada bayi karena posisi epiglotis intranaral selama proses menelan. Posisi epiglotis intranaral hanya dapat terjadi pada posisi laring yang paling sefalik dengan tip epiglotis setinggi vertebra servikal 2-3 (lihat gambar 2).1, 7
Disfagia
Gambar 2. Perbedaan anatomi anak dan dewasa1Gambar 2. Perbedaan anatomi anak dan dewasa1Disfagia atau kesulitan menelan merupakan salah satu gejala dari kelainan atau penyakit di daerah orofaring dan esofagus, yang terjadi akibat adanya gangguan gerakan otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari rongga mulut ke lambung. Disfagia dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan dapat meningkatkan risiko terjadi pneumonia aspirasi, malnutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan dan sumbatan jalan nafas. Dilihat dari fisiologi proses menelan, disfagia dapat terjadi pada fase oral, fase faringeal, dan fase esofagal. Disfagia yang terjadi pada anak dapat disebabkan oleh kelainan anatomi dan neuromuskular, serta faktor lainnya. Kelainan anatomi yang dapat menyebabkan disfagia pada anak dapat berupa stenosis koana, bibir sumbing, celah palatum, malformasi kraniofasial (mikrognatia atau makroglosia). Sedangkan kelainan neuromuskular yang dapat menyebabkan disfagia pada anak, diantaranya dapat berupa asfiksia perinatal, kerusakan saraf kranial atau saraf laringeus rekuren, hidrosefalus, perdarahan intraventrikular neonatus, dan palsi serebral. Faktor lainnya yang dapat menyebabkan disfagia pada anak adalah prematuritas, infeksi saluran nafas, penggunaan selang endotrakeal atau kanul trakeostomi.6, 8, 9
Gambar 2. Perbedaan anatomi anak dan dewasa1
Gambar 2. Perbedaan anatomi anak dan dewasa1
Palsi Serebral
Palsi Serebral adalah istilah yang digunakan untuk sekelompok gangguan motorik yang disebabkan oleh kerusakan jaringan otak yang menetap dan tidak progresif yang terjadi pada masa perkembangan otak baik sebelum, saat ataupun sesudah kelahiran hingga usia 3 tahun, yang dapat menghambat perkembangan otak secara normal.10, 11
Palsi serebral disebabkan oleh banyak faktor yang terjadi pada masa perkembangan otak baik pada saat pranatal, perinatal ataupun pasca natal. Pada masa pranatal dapat disebabkan karena adanya kerusakan jaringan otak akibat infeksi TORCH, gangguan aliran darah ke otak janin akibat radiasi sinar x, keracunan kehamilan atau infeksi bakteri pada ibu sewaktu hamil. Pada masa perinatal dapat disebabkan oleh hipoksia akibat persalinan lama, perdarahan otak, lahir prematur dengan berat lahir rendah, hiperbilirubinemia atau infeksi otak setelah kelahiran. Sedangkan pada masa pasca natal dapat disebabkan oleh karena adanya infeksi susunan saraf pusat, perdarahan otak akibat trauma kepala, kelainan pembekuan darah atau pasca bedah otak. Oleh berbagai sebab diatas, bila kortek motorik otak mengalami kerusakan akan timbul kelainan yang disebut palsi serebral, suatu kelainan yang ditandai dengan lambatnya perkembangan motorik, kelainan sikap tubuh atau gerakan, dan tonus otot.10-12
Manifestasi klinik yang terjadi tidak hanya terbatas pada gangguan fungsi motorik saja tetapi sering disertai tuli frekuensi tinggi, gangguan penglihatan (antara lain strabismus) maupun disleksia, kemunduran intelektual, agnosia, disfagia, dan disartria. Gambaran klinis palsi serebral terkesan berkembang progresif selama perkembangan anak, tapi sebenarnya merupakan akibat proses perkembangan anak. Saat anak belajar bergerak, duduk, dan bereaksi terhadap sikap tubuh, proses itu dipandu oleh sistem sensorik dengan memberi informasi ke otak tentang keadaan abnormal fungsi tubuh baik tonus otot maupun pola gerakan. Keadaan abnormal yang terjadi secara berulang sepanjang hidup pasien, akan memberi panduan atau informasi yang abnormal secara berulang pula kepada otak, sehingga memberikan kesan progresifitasnya kecacatan dengan bertambahnya umur terutama bila tidak mendapat terapi.10-12
Palsi serebral diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerak yang terjadi menjadi empat tipe, yaitu tipe spastik, atetoid, ataksid dan kombinasi. Tipe spastik merupakan bentuk yang terbanyak. Pasien tampak kaku karena terjadi peningkatan tonus otot. Pasien dengan tipe ini sering menderita kontraktur sendi dan deformitas. Berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, tipe spastik ini dibagi menjadi monoplegia (hanya mengenai satu ekstremitas, biasanya lengan), diplegia (keempat ekstremitas terkena, tetapi gangguan gerak pada kedua kaki lebih berat daripada kedua lengan), triplegia (mengenai tiga ekstremitas, biasanya mengenai kedua lengan dan satu kaki), quadriplegia (keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama), hemiplegia (mengenai salah satu sisi tubuh). Pada tipe atetoid, pasien tidak bisa mengontrol gerak ototnya karena terjadi keterlambatan kontrol mata, tangan, duduk, maupun berdiri. Anak tidak mampu mempertahankan posisi tubuh atau cukup fiksasi untuk menggerakkan tubuh. Gerakan sering meningkat pada saat terjadi peningkatan stres dan menghilang pada saat tidur. Tipe ataksid jarang dijumpai. Pada tipe ini terjadi gangguan pada keseimbangan dan persepsi serta sering menunjukan koordinasi yang buruk, seperti gaya berjalan yang tidak stabil dengan kaki terbuka lebar, kesulitan dalam melakukan gerakan yang cepat dan tepat. Tipe kombinasi merupakan campuran tipe spastik dan atetoid. Palsi serebral juga diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit dan kemampuan penderita untuk melakukan aktifitas normal menjadi derajat minimal, ringan, sedang dan berat. 10-12
Disfagia pada Palsi Serebral
Kesulitan menelan berhubungan dengan derajat berat gangguan motorik yang terjadi pada palsi serebral. Penyebab utama kesulitan makan pada anak dengan palsi serebral adalah disfungsi oromotor, yang menyebabkan gerakan mengunyah dan menelan tidak adekuat, memerlukan waktu makan yang lebih lama, yang pada akhirnya menyebabkan asupan makanan menjadi kurang. Kesulitan menelan yang terjadi juga dapat disebabkan oleh postur tubuh yang abnormal, gangguan pada fungsi motorik, komunikasi yang tidak adekuat akibat adanya gangguan artikulasi, penggunaan obat-obatan serta stress emosional yang dialami orang tua pasien. Kelainan lainnya yang berkaitan dengan palsi serebral, seperti retardasi mental, gangguan penglihatan dan pendengaran, dan kejang berkontribusi dalam memperburuk kesulitan makan yang terjadi. Kontrol tubuh yang baik diperlukan untuk mencapai proses menelan yang efektif. Anak dengan palsi serebral sering didapatkan memiliki kontrol tubuh yang buruk, oleh karena lemahnya kontrol kepala dan badan serta ketidakmampuan mempertahankan posisi tubuh. Spatisitas, obat-obatan antikolinergik dan sedatif untuk mengontrol kandung kemih, serta epilepsi dapat mempengaruhi motilitas saluran cerna dan nafsu makan. 4, 5
Adanya gangguan pada fase menelan yang terjadi secara volunter dikarenakan kelainan pada bagian korteks serebri. Kelainan yang terjadi dapat berupa kelemahan pada gerakan lidah untuk mendorong dan memposisikan bolus, penutupan bibir pada saat mengunyah yang tidak adekuat dan lemahnya gerakan mengunyah. Keadaan ini menyebabkan gangguan pembentukan bolus dan transportasi bolus ke faring.2, 5
Sedangkan gangguan pada fase menelan yang terjadi secara involunter disebabkan oleh kerusakan pada subkortikal otak dan atau nekrosis pada ganglia basalis. Umumnya gangguan menelan yang terjadi pada palsi serebral merupakan kombinasi pada fase oral dan faringeal. Adanya kerusakan pada batang otak juga dapat menyebabkan gangguan pada koordinasi proses menelan dan respirasi yang beresiko menyebabkan terjadinya aspirasi makanan. 2
Aspirasi pada palsi serebri dapat terjadi pada fase oral akibat buruknya kontrol lidah, atau terjadi pada fase faring oleh karena gerakan otot faring dan penutupan laring yang terlambat, atau dapat juga terjadi pada juga fase esofageal, karena adanya residu makan di faring setelah proses menelan.1
Diagnosis
Manifestasi klinis disfagia tidak spesifik untuk setiap penyebab. Penelitian potong lintang yang dilakukan di RSCM oleh departemen IKA dan rehabilitasi medis tahun 2005, pada pasien palsi serebral dengan disfungsi oromotor didapatkan gejala klinis berupa kesulitan menghisap dan mengunyah, drooling, mulut tampak selalu terbuka, hiposensitifitas/ hipersensitifitas daerah perioral, tongue thrust, gerakan lidah yang terbatas, tersedak, rahang yang tidak stabil, koordinasi pernafasan dan reflek gag yang tidak adekuat.4
Drooling terjadi pada 10-58% anak dengan palsi serebral. Mengalirnya air liur keluar melalui mulut (anterior drooling) dapat menyebabkan masalah dalam bersosialisasi. Tetapi hal yang lebih berbahaya bila air liur tersebut jauh daerah laring (posterior drooling). Pada anak dengan disfagia faringeal yang berat memiliki resiko terjadinya aspirasi saliva ke dalam paru, yang bila terjadi secara kronik dapat menyebabkan kerusakan paru yang signifikan.2, 5
Batuk-batuk pada saat makan dan minum merupakan salah satu gejala dari aspirasi. Pada anak dengan palsi serebral, aspirasi yang terjadi sering ditemukan tanpa disertai reflek batuk, yang dikenal dengan istilah "silent aspiration". Pada suatu penelitian pendahuluan, didapatkan dari 238 anak dengan pneumonia berulang, 48% mengalami inkoordinasi orofaringeal dengan sindrom aspirasi dan sebanyak 50% merupakan anak dengan palsi serebral. Pasien dengan penetrasi ke daerah laring selama pemeriksaan fungsi menelan dengan videofluoroscopic memiliki resiko 4 kali lipat terkena pneumonia, sedangkan pada anak dengan riwayat aspirasi trakeobronkial memiliki resiko mengalami aspirasi 10 kali lipat dan pada silent tracheobronchial aspiration memiliki resiko terkena pneumonia 13 kali lipat. 2, 3, 5, 8
Evaluasi fungsi menelan secara objektif dapat dinilai dengan pemeriksaan Videofluroscopic Swallow Study (VFSS), Fiberoptic Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) dengan atau tanpa sensory testing, sonografi, manometri, skintigrafi dan auskultasi servikal. VFSS dan FEES adalah instrumen pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk evaluasi fungsi menelan pada anak. Pada beberapa penelitian dikatakan bahwa FEES memiliki sensitifitas yang lebih tinggi, tetapi VFSS memiliki spesifisitas yang lebih tinggi. VFSS merupakan satu-satunya instrumen pemeriksaan yang dapat memberikan visualisasi dari anatomi dan fungsional daerah rongga mulut, faring, laring dan bagian esofagus secara keseluruhan selama proses menelan. Tetapi di lain pihak pemeriksaan ini berpotensi memberikan paparan radiasi yang cukup signifikan ke otak, sehingga penggunaan perlu dipertimbangkan pada bayi yang masih kecil atau anak dengan kerusakan otak yang signifikan. Pemeriksaan FEES tidak bersifat radioaktif, portable, tidak memerlukan ruangan khusus serta hasilnya dapat langsung diketahui. Tetapi pemeriksaan ini memiliki beberapa keterbatasan karena tidak dapat melakukan evaluasi bolus pada rongga mulut dan adanya blind spot, sehingga tidak dapat melihat tingkatan konstriksi faring, pembukaan sfingter atas esofagus, dan elevasi hyoid pada saat menelan. Prosedur pemeriksaan FEES pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Posisi bayi pada saat pemeriksaan dapat setengah duduk atau tidur miring. Kepala, leher serta badan harus ditopang. Sedangkan pada anak yang lebih besar dapat diposisikan duduk tegak pada saat pemeriksaan, tetapi posisi pemeriksaan ini juga harus disesuaikan dengan keadaan pasien. Jenis dan konsistensi makanan yang diberikan pada saat pemeriksaan FEES disesuaikan dengan usia, keadaan tumbuh kembang pasien dan makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Ukuran endoskop yang digunakan untuk pemeriksaan FEES pada anak 1,4 hingga 1,7 mm. 1, 13, 14
Tata Laksana
Penanganan awal palsi serebral adalah menentukan kelainan dan beratnya gangguan motorik yang ada. Dilanjutkan dengan fisioterapi motorik disertai rehabilitasi kelainan yang menyertainya. Tumbuh kembang pasien palsi serebral tergantung dari beratnya kerusakan jaringan otak yang terjadi dan tatalaksana kelainan motorik dan kelainan lain yang menyertainya. Deteksi dini dan rehabiltasi dini akan memberikan hasil tumbuh kembang yang optimal. Tatalaksana pasien palsi serebral bersifat multidisiplin, dapat melibatkan dokter anak, dokter rehabilitasi medis, dokter mata, dokter THT, dokter saraf, dokter bedah ortopedi, terapis, ahli gizi dan lainnya tergantung dari kelainan yang ada pada pasien. 5, 13
Aspirasi merupakan inti permasalahan disfagia. Prinsip terapi adalah pemberian diet secara aman untuk menghindari resiko aspirasi dan pemenuhan kebutuhan nutrisi untuk memperbaiki kesehatan pasien. Terapi disfagia dikelompokkan menjadi dua, yaitu terapi non operatif dan operatif. Sampai saat ini belum ada panduan khusus untuk penentuan kapan pasien dapat makan peroral atau dengan cara lain. Menurut Logemann, makan peroral dapat dilakukan bila pasien sadar penuh, dapat mempertahankan kontrol leher dan tubuh, dapat mengontrol lidah, minimal drooling, dan reflek batuk adekuat. Selain itu dikatakan bila pada pemberian diet peroral selalu disertai aspirasi, dapat dilakukan pemasangan pipa naso gastrik dan dipertahankan hingga dua minggu.13, 15
Terapi non operatif berupa program rehabilitasi yang bersifat individualistik, berupa modifikasi diet dan terapi intervensi. Terapi intervensi berupa tehnik latihan sensorik dan motorik, posisi pemberian makan dan perasat menelan. Stimulasi sensorik penting agar pasien dapat merasakan makanan dalam rongga mulut untuk proses pembentukan bolus. Sementara itu, latihan motorik bertujuan untuk menguatkan otot-otot menelan. Terapi operatif dapat berupa gastrostomi, medialisasi plika vokalis, adduksi aritenoid, penutupan laring dan pengangkataan kornu superior kartilago tiroid.8, 15
Kasus
Anak perempuan berusia 3 tahun dengan keluhan belum dapat makan nasi hingga usianya sekarang, jika pasien disuapkan nasi, nasi hanya dikunyah-kunyah di dalam mulut tetapi tidak ditelan. Nasi yang sudah dikunyah tersebut sebagian jatuh keluar mulut. Pasien masih dapat makan nasi tim tetapi harus dibantu dengan memberikan banyak kuah pada saat disendokkan ke mulut. Hingga saat ini pasien juga belum dapat minum dengan gelas, sehingga harus menggunakan sendok atau dot untuk minum. Terkadang pasien tersedak pada saat makan ataupun minum. Menurut orang tua pasien, pasien terkadang ngiler, terutama bila posisi kepala menunduk. Mulut pasien juga tampak selalu terbuka.
Hingga usia 8 bulan, pasien belum dapat tengkurap dan ekstremitas pasien tampak kaku. Pasien lalu dibawa berobat ke rumah sakit, dan dari hasil CT Scan kepala didapatkan gambaran hydranencephaly, dimana jaringan serebri, hanya tampak talamus dan sebagian fossa temporalis, selebihnya berupa cairan dengan falx cerebri masih terlihat. Pasien disarankan dokter untuk operasi guna pemasangan selang di otak, tetapi orang tua pasien menolak. Setelah itu pasien berobat herbal dan akupuntur. Riwayat kejang disangkal orang tua pasien. Hingga saat ini pasien belum dapat tengkurap sendiri. Pasien lahir prematur, saat usia kehamilan ibunya 7 bulan.
Pada pemeriksaan FEES di poli endoskopi THT, Pergerakan lidah dan tonus bukalis tidak dapat dinilai. Pergerakan otot velofaring baik. Plika ventrikularis dan vokalis pergerakan simetris, tidak terdapat gap pada rima glotis, tidak terdapat standing secretion. Pada pemberian puree pasien tidak mau menelan dan makanan dimuntahkan keluar. Diberikan thin liquid, tampak air mengalir keluar kembali. Setelah posisi pasien didudukan tegak serta kaki dan tangan difleksikan, thin liquid dapat ditelan, tidak ditemukan adanya preswallowing leakage. Tidak terdapat residu di valekula, sinus piriformis dan post krikoid. Tidak terdapat penetrasi serta aspirasi makanan ke jalan napas. Pasien disimpulkan mengalami disfagia campuran fase oral.
Pasien lalu dikonsulkan ke bagian Rehabilitasi Medik. Di bagian Rehabilitasi Medik pasien menjalani terapi fisik dan rehabilitasi postur tubuh. Pasien juga diberikan suntikan botox pada otot-otot di ekstrenitas dan tubuh. Berdasarkan anamnesa orang tua pasien, setelah menjalani fisioterapi, pasien sudah dapat makan nasi, walaupun masih agak lama untuk menelan. Keluhan tersedak juga sudah berkurang. Pada pemeriksaan FEES di poli endoskopi THT, pada pemberian puree, dan thin liquid , makanan yang mengalir keluar setelah disendokkan sudah agak berkurang. Tidak dijumpai pre swallowing leakage, residu di valekula, serta tidak tampak penetrasi maupun aspirasi pada jalan napas .
Dari bagian neurologi IKA RSCM pasien didiagnosa Palsi serebral spastis quadriplegi dan diberikan terapi baclofen 3x3 mikrogram serta disarankan MRI kepala . Pasien juga sudah dikonsulkan ke bagian mata, dan dikatakan pasien mengalami gangguan penglihatan. Untuk memperbaiki penglihatan pasien dipakaikan kacamata positif tiga. Pada evaluasi pendengaran di bagian THT komunitas dengan pemeriksaan BERA, disimpulkan pendengaran pasien masih dalam batas normal.
Diskusi
Pada palsi serebral terjadi gangguan motorik akibat kerusakan otak yang terjadi pada masa perkembangan. Dari hasil CT Scan kepala saat pasien berusia 8 bulan, didapatkan gambaran hydranencephaly, dimana jaringan serebri, hanya tampak talamus dan sebagian fossa temporalis, selebihnya berupa cairan dengan falx cerebri masih terlihat. Pasien juga memiliki riwayat kelahiran prematur.
Hidraensefali adalah suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapat hemisfer cerebrum dan digantikan oleh kantung yag berisi cairan serebrospinal. Penyebab pasti kelainan ini belum diketahui pasti Anak dengan hidraensefali, biasanya normal tampak pada saat lahir. Gejala mulai timbul beberapa minggu setelah lahir. Anak mulai tampak iritable dan tonus otot meningkat (hipertonia). Setelah usia beberapa bulan, dapat timbul gejala kejang dan hidrosefalus. Gejala lain yang menyertai dapat berupa gangguan penglihatan dan pendengaran, pertumbuhan yang lambat, dan spastik quadriplegi. Antara 40-50% anak dengan palsi serebral memiliki riwayat kelahiran prematur. Pada bayi prematur, organ tubuh belum berkembang sempurna dan oksigenasi belum adekuat. Hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada otak akibat hipoksia.
Dari anamnesa juga didapat gangguan motorik, dimana pasien belum dapat tengkurap sendiri pada usia 3 tahun, disertai kontrol kepala dan tubuh pasien buruk dan keempat ekstremitas pasien tampak kaku dan mengejang, hal tersebut sesuai dengan gambaran palsi serebral tipe spastis quadriplegi. Tipe ini digolongkan ke dalam palsi serebral derajat berat, dimana pada kelainan ini sering disertai dengan kesulitan makan. Ekstremitas yang tidak berfungsi dengan baik menyebabkan asupan nutrisi pasien tergantung dari dari orang lain ditambah lagi dengan kontrol kepala dan tubuh yang buruk, sehingga membuat proses menelan menjadi tidak efisien.
Posisi kepala yang terkadang menunduk karena pasien tidak mampu mempertahankan posisi ditambah dengan keadaan mulut yang selalu terbuka menyebabkan air liur sering jatuh keluar. Menurut Erkin dkk, drooling terjadi pada 10% anak dengan palsi serebral. Drooling yang terjadi dapat diakibat oleh gangguan aktifitas motorik oral, gangguan ada sensasi oral dan berkurang frekuensi menelan. Berkurang tonus wajah serta posisi kepala yang tidak adekuat dan stabil turut berperan mengalirnya air liur akibatnya adanya gaya gravitasi.
Pada penderita palsi serebral sering disertai gangguan makan, diantaranya kesulitan menelan. Pada pasien hingga usia 3 tahun belum dapat makan nasi, dan terkadang makan tersebut keluar kembali. Hal tersebut dapat diakibatkan karena pada anak dengan palsi serebral terkadang tidak dapat mengubah makanan menjadi bolus dan mendorong makanan tersebut masuk ke dalam faring oleh karena kurang adekuatnya gerakan lidah, penutupan bibir, serta gerakan mengunyah. Sehingga pada akhirnya pengasuh pasien lebih memiliki bentuk makanan pure atau cair.
Pada pemeriksaan FEES, pada pemberian puree dan cairan terdapat kebocoran makanan keluar dari mulut. Tetapi kebocoran yang terjadi berkurang setelah posisi pasien ditegakkan dan ekstremitas difleksikan. Tidak didapatkan gambaran preswallowing aspiration. Pada fase faring, tidak didapatkan gambaran standing secretion, penetrasi atau pun aspirasi. Pasien disimpulkan mengalami disfagia campuran fase oral, karena adanya gangguan pada neuromuskular yang terjadi akibat kerusakan otak yang dialami pasien dari semenjak kecil. Postur tubuh pasien yang spastis , posisi kepala dan tubuh yang tidak stabil, juga turut berkontribusi memperberat disfagia yang dialami pasien.
Pada saat menjalani terapi di bagian Rehabilitasi Medis dan IKA, Pasien mendapatkan terapi medikamentosa berupa baclofen dan injeksi botox pada otot-otot jari, punggung, panggul dan ekstremtas. Pemberian baclofen yang merupakan agonis GABA dan botulinum toxin (botox) bertujuan untuk mengurangi spastisitas
Daftar Pustaka
1. Tutor JD, Gossa MM. Dysfagia and Aspiration in Children. Pediatric Pulmonology. 2011;47:321-37.
2. Erasmus CE, Hulst KV, Rotteveel JJ, Willemsen MAAP. Swallowing Problems in Cerebral Palsy. Eur J Pediatr. 2012;171:404-14.
3. Marrara JL, Duca AP, Dantas RO. Swallowing in Children with Neurologic Disorder: Clinical and Videofluroscopic Evaluations. Pro-Fono Revista de Atualizacao Cientifica. 2008:231-6.
4. Sakti HA, Syarif DR, Wahyuni LK, Chair I. Feeding Difficulties in Children with Cerebral Palsy. Paediatrica Indonesiana. 2008;48:224-9.
5. Erkin G, Culha C, Ozel S, Kirbiyik EG. Feeding ang Gastrontestinal Problems in Children with Cerebral Palsy. International Journal of Rehabilitation Research. 2010;33:218-24.
6. Soepardi EA. Disfagia. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 276-80.
7. Iqbal M. Anatomi dan Fisiologi Proses Menelan. Simposium dan Workshop Disfagia dan Refluks Laringofaring 4 -5 Desember 2010; Jakarta2010. p. 40-7.
8. Hammond CS. Cough and Aspiration of Food and Liquids due to Oral Pharyngeal Dysfagia. Lung. 2008;186:S35-S40.
9. Tamin S. Disfagia Orofaring. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. uku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher
6ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. p. 281-4.
10. Cerebral Palsy. Wikipedia Free encyclopedia; [updated 2 August; cited August 2013]; Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Cerebral_palsy.
11. Saharso D. Cerebral Palsy Diagnosis dan Tata laksana. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak [Internet]. 2006. Available from: http://old.pediatrik.com/pkb/061022021726-bvxh131.pdf.
12. AA OL, Soetjinigsih. Aspek Kognitif dan Psikososial pada Anak dengan Palsi Serebral. Sari Pediatri. 2000;2:109-12.
13. Tamin S. Assesment and Management of Dysfagia With Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing. Simposium dan Workshop Disfagia dan Refluks Laringofaring; 4-5 Desember 2010; Jakarta2010. p. 57-64.
14. ASHA. Role of the speech language pathologist in the performance ang interpretation of endoscopic evaluation of swallowing: guidelines. 2004 [cited 2013]; Available from: http://www.asha.org/policy/GL2004-00059/.
15. Wahyuni LK. Penatalaksanaan. Simposium dan Workshop Disfagia dan Refluks Laringofaring; 4-5 Desember 2010; Jakarta2010. p. 71-8.