BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphteriae. (Nelson, 2000). Penyakit ini dominan menyerang anak-anak dan ditandai dengan timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Difteri mempunyai gejala demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derajat Celcius, batuk dan pilek yang ringan. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan, mual, muntah, sakit kepala. Difteri merupakan penyakit sangat menular, jumlah kasus dan kematian cenderung meningkat. Cara penularan Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak langsung (Guyton, 2003). Jumlah kasus dan kematian difteri terus meningkat, jika tidak ada tindakan yang lebih intensif diperkirakan pada akhir tahun bisa mencapai lebih dari 500 kasus Sejak tahun 2007 terjadi peningkatan kasus yang bermakna pada kelompok usia lebih dari 10 tahun tapi kasus tetap dominan pada kelompok usia 1-4 tahun dan 5-9 tahun, Sekitar 70% kasus Difteri ternyata pada kelompok usia lebih dari 7 tahun dan Sekitar 50% penderita Difteri sudah diimunisasi lengkap. Intervensi dengan vaksinasi masal sampai saat ini belum bisa dilakukan karena keterbatasan biaya operasional.(http://www.smallcrab.com, diakses tanggal 22 mei 2014). Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang masuk dalam tubuh melalui Kontak langsung dengan orang terinfeksi atau barang terkontaminasi. Ikut aliran sistemik dalam tubuh, terus inkubasi pada tubuh 2 sampai 4 hari, terus mengeluarkan toksin atau racun yang menyerang Tonsil, Faringeal, Laring. Menurut (Depkes, 2010) 60% penderita difteri diakibatkan karena penularan. Difteri ini akan berlanjut menimbulkan komplikasi lain adalah Gangguan pernapasan, kerusakan otot jantung, dan nafas.
1.2
Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada system pernapasan ?
2. Bagaimana definisi difteri ? 3. Bagaimana etiologi difteri ? 4. Bagaimana patofisiologi difteri ? 5. Bagaimana WOC dari difteri ? 6. Bagaimana manifestasi klinis difteri ? 7. Bagaimana pemeriksaan diagnostic dari difteri ? 8. Bagaimana penatalaksanaan difteri ? 9. Bagaimana komplikasi dari difteri ? 10. Bagaimana prognosis dari difteri ? 11. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus dari difteri ?
1.3
Tujuan
1.1.1
Tujuan Umum 1. Menyelesaikan tugas makalah keperawatan respirasi 1 2. Mengetahui konsep dan keperawatan pada difteri
1.1.2
Tujuan Khusus 1.
Mengetahui anatomi dan fisiologi pada system pernapasan
2.
Mengetahui dan memahami definisi difteri
3.
Mengetahui dan memahami etiologi difteri
4.
Mengetahui dan memahami patofisiologi difteri
5.
Mengetahui dan memahami WOC dari difteri
6.
Mengetahui dan memahami manifestasi klinis difteri
7.
Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostic dari difteri
8.
Mengetahui dan memahami penatalaksanaan difteri
9.
Mengetahui dan memahami komplikasi dari difteri
10. Mengetahui dan memahami prognosis dari difteri 11. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus dari difteri
1.4
Manfaat
Mahasiswa mampu membuat perencanaan asuhan keperawatan pada kasus difteri.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan
Pernapasan atau sistem respirasi adalah suatu peristiwa tubuh kekurangan oksigen (O2) kemudian oksigen yang berada di luar tubuh dihirup (inspirasi) melalui organ-organ pernapasan, dan padakeadaan tertentu bila tubuh kelebihan karbon dioksida(CO2) maka tubuh
akan
berusaha
untuk
mengeluarkannyadari
dalam
tubuh
dengan
cara
menghembuskan nafas (ekspirasi) sehingga terjadi suatu keseimbangan antara oksigen dan karbondioksida dalam tubuh. Sistem respirasi berperan untuk menukar udara dari luar ke permukaan dalam paru-paru. Setelah udara masuk dalam sistem pernapasan, akan dilakukan penyarigan, penghangatan dan pelembaban pada udara tersebut di trakea agar tidak merusak permukaan yang lembut pada sistem pernafasan. Perbedaan tekanan membuat udara masuk ke paru-paru melalui saluran pernapasan. Tekanan ini bertujuan menyaring, mengatur udara, dan mengubah permukaan saluran napas bawah pada tahap persiapan pembukaan sistem pernapasan sampai tahap istirahat.
2.1.1 Anatomi Sistem Pernapasan
Gambar 2.1 Saluran pernapasan Sumber : Elaine N. Marieb,2004 1.
Hidung
Gambar 2.2 Anatomi hidung Sumber: Essential of Anatomy and Physiology Edisi 5 Hidung berbentuk piramid yang tersusun dari tulang kartilago hialin dan jaringan fibroaerolar. Hidung dibagi menjadi 2 ruang oleh septum nasal. Struktur hidung pada bagian eksternal terdapat folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebaseayang merentang sampai vestibula yang terletak dalam nostril. Kulitpada bagian ini mengandung vibrissae yang berfungsi menyaring partikel dari udara terhisap. Sedangkan pada rongga nasal yang lebih dalam terdiri dari epitel bersilia dan sel goblet. Fungsi hidung: 1. Menghangatkan udara: oleh permukaan konka dan septum nasalis setelah melewati faring suhu udara ±36ºC. 2. Melembabkan udara, saat mencapai faring kelembaban udara ±75% 3. Udara disaring lebih banyak oleh bulu-bulu hidung dan partikel diatas rongga hidung disaring oleh rambut vestibular, lapisan mukosiliar, dan lisozim (protein dalam air mata)
2.
Faring
Faring adalah tabung muskular berukuran 12.5 cm. Terdiri dari nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Pada nasofaring terdapat tuba eustachius yag menghubungkan dengan telinga tengah (Ethel Sloane, 2003). Faring merupakan saluran bersama untuk udara dan makanan.
3.
Laring
Gambar 2.3 Laring Elaine N. Marieb, 2001 Laring adalah tabung pendek berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago, tiga berpasangan dan tiga lainnya tidak berpasangan. Tiga kartilago yang tidak berpasangan adalah kartilago tiroid yang terletak di bagian proksimal kelenjar tiroid, kartilago krikoid yang merupakan cincin anterior yang lebih dalam dan lebih tebal, epiglotis yang merupakan katup kartilago yang melekat pada tepi anterior kartilago tiroid. Epiglotis menutup pada saat menelan untuk mencegah masuknya makanan dan cairan ke saluran pernapasan bawah (Ethel Sloane, 2003). Epiglotis juga merupakan batas antara saluran napas atas dan napas bawah
4.
Trakea
Trakea adalah tuba dengan panjang 10-12 cm yang terletak di anterior esofagus. Trakea tersusun dari 16-20 cincin kartilago berbentuk C yang diikat bersama jaringan fibrosa yang melengkapi lingkaran di belakang trakea (Ethel Sloane, 2003). Trakea terletak diantara vertebra servikalis VI sampai ke tepi bawah kartilago krikoidea vertebra torakalis V. Panjagnya sekitar 13 cm dan berdiameter 2.5 cm Bagian dalam trakea terdapat septum yang disebut Carina yang terletak agak ke kiri dari bidang median. Carina terdiri dari 6-10 cincin tulang rawan. Selain itu juga terdapat sel bersilia yang berguna untuk mrngeluarkan benda asing yang masuk ke jalan pernapasan.
5.
Bronkus
Gambar 2.4 Bronkus Sumber: Van de Graaff Human Anatomy Bronkus merupakan struktur dalam mediastium, yang merupakan percabangan dari trakea. Bronkus kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trakea. Setiap bronkus primer bercabang membentuk bronkus sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin mengecil dan menyempit (Ethel Sloane, 2003). Bronkus kanan
kemudian akan bercabang menjadi lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior. Bronkus kiri terdiri dari lobus superior dan inferior. 6.
Bronkiolus
Bronkiolus merupakan jalan napas intralobular dengan diameter 5 mm, tidak memiliki tulang rawan maupun kelenjar di dalam mukosanya (Luiz Carlos Janqueira,2007). Bronkioulus berakhir pada Saccus alveolaris. Awal proses pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius. 7.
Paru
Gambar 2.5 Paru-paru
Paru-paru adalah salah satu organ sistem pernapasan yang berada di dalam kantong yang dibentuk oleh pleura parietalis dan pleura viseralis. Kedua paru ini sangat lunak, elastis, sifatnya ringan terapung didalam air, dan berada dalam rongga torak. Paru-paru berwarna biru keabu-abuan dan berbintik-bintik karena adanya partikel partikel debu yang masuk dimakan oleh fagosit. Hal ini terlihat nyata pada pekerja tambang. Paru-paru terletak di samping mediastinum dan melekat pada perantaraan radiks pulmonalis yang satu sama yang lainnya dipisahkan oleh jantung, pembuluh darah besar, dan struktur lain dalam mediastinum.
Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul dan menjorok keatas kira-kira 2.5cm di atas klavikula. Fasies kostalis yang berbentuk konveks berhubugan dengan dinding dada sedangkan fasies mediastinalis yang berbentuk konkav membentuk perikardium. Pada pertengahan paru kiri terdapat hilus pulmonalis yaitu lekukan dimana bronkus, pembuluh darah besar, dan saraf masuk ke paru-paru membentuk radiks pulmonalis. Paru dibagi menjadi beberapa lobus oleh fisura, paru kanan terbagi menjadi 3 lobus oleh 2 fisura, sedangkan paru kiri terbagi menjadi 2 lobus oleh 1 fisura (Ethel Sloane, 2003)
8.
Alveolus
Gambar 2.6 Alveolus Alveoulus adalah kantung udara berukuran sangat kecil dan merupakan akhir dari bronkioulus
respiratorius
sehingga
memungkinkan
pertukaran
oksigen
dan
karbondioksida alveolus terdiri dari membran alveolar dan ruang interstitial (Hood Alsagaaff,2006)
2.1.2 Fisiologi Sistem Pernapasan
Fungsi utama paru adalah menyelenggarakan pengambilan oleh darah dan pembuangan karbon dioksida terdapat 4 tahap respirasi, yaitu (Lauralee Sherwood,2001): 1. Vetilasi Ventilasi adalah sirkulasi keluar masuknya udara atmosfer dan alveoli. Proses ini berlangsung di sistem pernapasan bagian atas 2. Respirasi Eksternal
Respirasi eksternal mengacu pada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan eksternal dan sel tubuh. Proses ini terjadi di sisem pernapasan 3. Transpor gas Transpor gas adalah pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah dan jaringan tubuh. Proses ini terjadi di sistem sirkulasi 4. Respirasi internal Respirasi internal adalah pertukaran gas pada metabolisme eergi yang tejadi di dalam sel. Proses ini berlangsung di jaringan tubuh.
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah yaitu menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan keluar paru selama proses pernapasan dengan mengikuti penurunan tek anan gradien yang berubah berselangseling antara alveolus dan atmosfer akibat aktivitas dari otot-otot pernapasan .
2.2
Definisi
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri corynebacerium diphteriae yang berasal dari membrane mukosa hidung dan nasofaring, kulit, dan lesi lain dari orang yang terinfeksi (Haryanto, 2006). Bakteri corynebacerium diphteriae memiliki ciri – ciri (Nursalam, 2005):
Basil gram positif yang tidak membentuk spora.
Mempunyai kemampuan positif untuk memproduksi exotoxin, baik secara invito atau invivo, dan dalam media telurit membentuk koloni tipe mitis, intermedus, dan grafis.
Mempunyai kemampuan untuk membentuk toksin yang dipengaruhi oleh ‘bacteriophage’ yang mengandung ‘genetox’.
2.3
Etiologi
Penyebab
penyakit
difteri
adalah
Corynebacterium
diphtheriae.Berbentuk
batanggram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul.Infeksi oleh kuman sifatnyatidak
invasive,
tetapi
kuman
dapat
mengeluarkan
toxin,
yaitu
exotoxin.Toxindifteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Adatiga type variants dari Corynebacterium diphtheria ini,yaitu : type mitis, typeintermedius
dan
type
gravis.
Corynebacterium
diphtheria
dapat
dikalsifikasikandengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravisyang virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang
tidak
ganas
dapat
ditemukan
pada
tenggorokan
manusia,
pada
selaputmukosa.(Depkes,2007)
2.4
Patofisiologi
Kuman berkembang biak pada saluran napas atas, dan dapat juga pada vulva, kuit mata, walaupun jarang terjadi (Haryanto, 2006). Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.Pseudomembran timbul local dan menjajar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kalenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin. (Haryanto, 2006) Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG.Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit (Ditjen P2PL Depkes,2003).
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain (Ditjen P2PL Depkes,2003). Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan.Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG..(Ditjen P2PL Depkes,2003)
2.5
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor dan bervariasi, tanpa gejala sampai keadaan yang hipertoksik serta fatal.Sebagai faktor primer adalah imunitas pasien terhadap toksin difteri, virulensi serta kemampuan kuman C.Difterie membentuk toksin, dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteri bisa memberikan gejala seperti penyakit sistemik, tergantung pada lokasi penyakit secara anatomi, namun demam jarang melebihi 38,9°C. (Sing A, Heesemann J, 2005) Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorokan merupakan gejala awal yang umum,tetapi hanya setengah penderita menderita demam, dan lebih sedikit yang menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. (Richard dan Robert,2000).
Gambar Difteri Tonsil Faring
Penderita dengan difteri laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan epitel pernapasan tebal dan bekuan nikrotik.Pembuatan
saluran napas buatan dan pemotongan pseudomembran menyelamatkan jiwa, tetapi sering ada komplikasi obstruktif lebih lanjut, dan komplikasi toksik sistemik tidak dapat dihindarkan. (Richard dan Robert,2000)
Gambar Difteri Laring
Difteri kulit, adalah infeksi non progresif lamban yang ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superfisial, ektimik dengan membrane coklat keabu abuan.Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama.Pada kebanyakan kasus, demartosis yang mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo telah terkontaminasi sekunder.Tungkai lebih sering terkena daripada badan atau kepala.Nyeri, sakit, eritema, dan eksudatkas hiperrestesi local atau hipestesia tidak lazim.Kolonisasi saluran pernapasan atau infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri kulit. (Richard dan Robert,2000)
Gambar Difteri Kulit
2.6
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian antiotoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita.Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Membran pada difteri berbeda dengan membran penyakit lain, yaitu warna membran pada difteri lebih gelap, lebih ke abu-abuan disertai lebih banyak fibrin yang melekat dengan mukosa dibawahnya, dan apabila diangkat terjadi perdarahan. Untuk pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan :
Pengambilan preparat langsung dari membran dan bahan di bawah membrane Kultur dengan medium Loeffler, tellurite dan media agar darah
Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung pada pasien difteri dapat diketahui dngan melakukan pemeriksaan electrocardiogram (ECG). Tes Schick (imunitas) : Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari, tetapi tes ini berguna untuk menentukan kerentanan penderita, diagnosis serta penatalaksanaan defisiensi kekebalan. Pemeriksaan preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakandibutuhkan waktu beberapa hari, cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique. Diagnosis pasti dengan isolasi C.Diphtheriae dengan
pembiakan
pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secarain-vivo dan in-vitro dengan tes Elek.
2.7
Penatalaksanaan 1.
Penatalaksanaan medis
1.
Pengobatan Umum Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999).
2.
Pengobatan Spesifik (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)
Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari selam 2 hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.
Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas.
Pada penderita
yang
dilakukan
trakeostomi,
ditambahkan
kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi4 dosis.
Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis
yangsangat
berbahaya.
Dapat
diberikan
prednisone
2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap. 2.
Keperawatan
Menurut Ngastiyah (2000),penatalaksanaan keperawatan pada pasien difteri yaitu pasiendirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai skort (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapancuci tangan, desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk merendamalat makan yang diisi dengan desinfektan. Masalah yang perlu diperhatikan adalah resikoterjadi komplikasi obstuksi jalan nafas, miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasisusunan saraf pusat, gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resikoterjadi efek samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakitdan perawatan trakheostomi (jika pasien perlu dilakukan trakheostomi).
2.8
Komplikasi
Menurut Ngastiyah 2000, komplikasi yang terjadi pa da penyakit difteri yaitu: 1. Pada saluran pernapasan : terjadi obstruksi jalan napas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia, atelektasis 2. Kardiovaskular : miokarditis, yang dapat terjadi akibat toksin yang dibentuk kuman difteria 3. Kelainan pada ginjal : nefritis
4. Kelainan saraf : kira-kira 10% pasien difteri mengalami komplikasi yang mengenai susunan saraf terutama system motorik, dapat berupa : a. Paralisis/paresis palatum mole : sehingga terjadi rinolalia (suara sengau), tersedak’sukar menelan. Dapat terjadi pada minggu II-II b. Paralisis/paresis otot-otot mata; dapat mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil atau ptosis yang timbul pada minggu III c. Paralisis umum yang dapat terjadi setelah mingu ke IV. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot pernapasan.
2.9
Prognosis
Prognosis penyakit inibergantung kepada (Ngastiyah, 2000) : 1. Umur pasien. Makin muda usianya makin jelek progosisnya 2. Perjalanan penyakit; makin terlambat ditemukan makin buruk keadaanya 3. Letak lesi difteri. Bila hidung tergolong ringan 4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk 5. Terdapatnya komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis 6. Pengobatan, terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Difteri 3.1.1
Pengkajian
1. Identitas 2. Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang Perhatikan tanda-tanda atau gejala klinis dari difteri
Riwayat Kesehatan Dahulu Bersangkutan dari etiologi (pernah atau tidak terkena difteri) atau gejala-gejala difteri yang masih akut
Riwayat Kesehatan Keluarga Mengkaji apakah anggota keluarga ada yang mengidap penyakit difteri
3. Pemeriksaan Fisik Memeriksa TTV pada anak dan melakukan observasi secara IPPA dari kepala sampai kaki (Head to toe) dan yang terpenting adalah .Kaji tanda-tanda yangterjadi pada nasal, tonsil/faring dan laring. Lihat dari manifestasi klinis berdasarkan alur patofisiolog 4. Pemeriksaan Penunjang Uji Shick dilakukan dengan menyuntikkan sejumlah kecil toksin difteri kedalam kulit.Jika orang tersebut kebal, maka toksin tersebut dinetralkan olehantitoksin di dalam tubuhnya dan tidak terjadi reaksi. Tetapi bila orang itu rentan-tidak mempunyai antitoksin alamiah naka akan terjadi reaksi peradangan setempatyang mencapai intensitas maksimum dalam 4 – 7 hari. Jika uji Shick ini menunjukkanadanya kerentanan terhadap difteri, maka orang dewasa sekalipun harus diimunisasisecara aktif. 5. Pola Aktivitas a. Pola nutrisidan metabolik: disesuaikan dengan tanda difteri seperti apakahnafsu amakan berkuarang (anoreksia) muntah dsb
b. Pola eliminasi : Bandingkan sesudah atau sebelum penyakit difteri denganmencatat frekuensi sehari c. Pola Aktifitas dan latihan : Jika klien terjangkit difteri maka tampak anak akanmalas, lemah dan lesu d. Pola tidur dan istirahat : Mengkaji apakah anak tidurnya nyaman atau tidak mau tidur e. Kognitif & perseptual : anak akan susah berkonsentrasi f. Persepsi diri : Karena klien masih kategori anak maka konsep dirinya akanmasih dalam tahap perkembangan dan anak akan tampak cemas karena penyakityang diderita atau kerna perspisahan g. Hubungan peran : Anak banyak tampak diam karena efek hospitalisas
3.1.2 Rencana Keperawatan Diagnosa
Kriteria/Evaluasi
Intervensi
Keperawatan
Tidak efektif bersihan Anak jalan
napas menunjukan
berhubungan obstruksi
akan
dengan tanda
pada
tanda-
jalan
napas
jalan efektif
1. Kaji status pernapasan, observasi irama dan bunyi pernapasan 2. Atur posisi kepala dengan posisi ekstensi 3. Suction jalan napas jika terjadi sumbatan
nafas.
4. Berikan
oksigen
sebelum
dan
setelah
dilakukan suction 5. Lakukan fisioterapi dada 6. Persiapkan
anak
untuk
dilakukan
trakeostomi Resiko penyebarluasan.
Penyebarluasan
1. Tempatkan anak pada ruangan khusus.
Infeksi
infeksi tidak terjadi
2. Pertahankan isolasi yang ketat di rumah sakit.
Dengan
berhubungan. organisme
3. Gunakan posedur perlindungan infeksi jika
virulen.
melakukan kontak dengan anak. 4. Berikan antibiotic sesuai order
Resiko
kurangnya
volume
cairan
Anak menunjukkan tanda
tanda
1. Memonitor
intake
output
secara
tepat,
pertahankan intake cairan dan elektrolit yang
berhubungan proses
dengan penyakit
kesembuhan nutrisi terpenuhi
2. Kaji
(metabolisme meningkat,
tepat. adanya
tanda – tanda
dehidrasi
(membrane mukosa kering, turgor, kulit intake
kurang, produksi urin menurun, frekuensi
cairan menurun)
denyut jantung dan pernapasan meningkat, tekanan darah menurun, fontanel cekung). 3. Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral jika pemberian cairan melalui oral tidak memungkinkan.
Perubahan
nutrisi Anak
akan
kurang dari kebutuhan mempertahankan tubuh
berhubungan keseimbangan cairan
dengan
intake
yang kurang
nutrisi
1. Kaji ketidakmampuan anak untuk makan. 2. Memasang NGT untuk memenuhi kebutuhan nutrisi untuk anak. 3. Kolaborasi
untuk
pemberian
nutrisi
perenteral. 4. Menila indicator terpenuhinya kebutuhan nutrisi
(berat
badan,
lingkar
membrane mukosa) yang adekuat.
3.1.3
Evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan (Brooker, 2001). Evaluasi juga berdasarkan pada kriteria hasil.Jika kriteria hasil yang diinginkan baik, maka evaluasi pun juga baik.
lengan,
BAB 4 PENUTUP 4.1
Kesimpulan
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun corynebacterium diphtheria, dan lebih sering menyerang anak-anak. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama laring, tonsil, dan faring. Tetapi tidak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakaan saraf dan juga jantung. Pada serangan difteri berat akan ditemukan psudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri, dan bahan lainnya, didekat tonsil dan bagian faring yang lain. Membrane ini tidak mud ah robek dan bewarna keabu -abuan. Jika membran ini dilepaskan secara paksa maka lapsan lender dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udaraaau secara tiba-tiba bias terlepas dan menyumbat saluran udara sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Berdasarkan gejala dan ditemukanya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tidak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di faring dan dibuatkan biakan dilaboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Penularan difteri dapat melalui kontak langsung seperti berbicara dengan penderita, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Tetapi sejak diperkenalkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), penyakit difteri jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan system kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
4.2
Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang
dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick. Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa sakit. Juga menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Dan makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4 sehat 5 sempurna. Sedangkan untuk perawat, penderita dengan difteri harus diberikan isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheria 2x berturut-turut. Gunakan prosedur terlindungi infeksi jika melakukan kontak langsung dengan anak (APD).
Lampiran 1 WOC DIFTERI
Corynebacterium diphteriae
Masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernafasan
Aliran sistemik
Masa inkubasi 2-5 hari
Laring
Nasal
Mengeluarkan toksin (eksotoksin)
Tonsil/faringeal
Peradangan mukosa hidung (flu,
Tenggorokan sakit,
Demam, suara serak,
sekret hidung serosa)
demam, anoreksia, lemah
batuk, obstruksi
membran berwarna putih
saluran nafas, sesak
atau abu-abu, linfadenitis
nafas, sianosis
(bull’s neck), toxemia,
syok septik
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Pemenuhan nutrisi
dan ansietas terhadap adanya
berkurang, sehingga berat
sekret
RR tidak efektif