Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Yusri Darmadi (BPNB Kalbar) Yusriadi (IAIN Pontianak) Rezza Maulana (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942 © Penerbit Kepel Press Penulis: Yusri Darmadi Yusriadi Rezza Maulana Desain sampul : Arief Budhi Setiawan Sumber gambar sampul: Lampiran Peta Sampit 1846-1848 oleh Von Gaffron dari Tulisan J. Pijnappel, Beschrijving van Het Westelijke Gedeelte van De Zuid- en Oosterafdeeling van Borneo (De Afdeeling Sampit en De Zuidkust) yang dimuat dalam Jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie (1860). Inset (Atas): Lukisan tentang Cina Tongkang milik Bapak M. Haitami A.M. Inset (Bawah): Foto Makam Lieutenant Cina Kwee Sioe Lian (1863-1949) koleksi tim peneliti
Desain Isi : Kepel Artistika Cetakan Pertama, 2017 Diterbitkan oleh penerbit Kepel Press Puri Arsita A-6, Jl. Kalimantan, Ringroad Utara, Yogyakarta. Telp/faks : 0274-884500; Hp : 081 227 10912 email :
[email protected] Anggota IKAPI ISBN : 978-602-356-169-8 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku, tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit. Percetakan Amara Books Isi diluar tanggung jawab percetakan
KATA PENGANTAR
A
lhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur tim peneliti ucapkan kepada Allah SWT yang memberikan waktu dan kesehatan untuk dapat menyelesaikan kajian diaspora masyarakat maritim dengan judul “Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942”. Penelitian ini dapat diselesaikan atas kerja sama dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu tim peneliti mengucapkan terima kasih dan apresiasi atas bantuan berbagai pihak tersebut, khususnya kepada sejarawan Kalimantan Barat bapak Drs. H. Sudarto, budayawan Cina bapak X.F. Asali dan seluruh informan di Sampit. . Tidak ada gading yang tak retak, pepatah ini menunjukkan bahwa tidak ada segala sesuatu yang sempurna, termasuk hasil penelitian ini. Dengan demikian, saran dan masukan dalam rangka penyempurnaan hasil penelitian ini merupakan keniscayaan. Akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penulisan sejarah lokal di Indonesia khususnya di wilayah Kalimantan. Pontianak, 31 Agustus 2016 Tim Peneliti iii
iv | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................... iii BAB I. PENDAHULUAN ................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................... 1 B. Permasalahan ................................................................. 7 C. Ruang Lingkup ............................................................ 7 D. Tujuan ........................................................................... 12 E. Manfaat ......................................................................... 13 F. Tinjauan Pustaka ......................................................... 13 G. Metode .......................................................................... 14 H. Sistematika Penulisan ................................................. 16 BAB II GAMBARAN UMUM .......................................................... 19 A. GAMBARAN UMUM LOKASI ................................ 19 1. Luas dan letak wilayah .......................................... 19 2. Daratan dan lautan ................................................. 20 B. GAMBARAN UMUM PENDUDUK SAMPIT ....... 23 1. Orang Dayak ............................................................ 27 2. Orang Madura ......................................................... 28 3. Orang Jawa ............................................................... 29 4. Orang Banjar ............................................................ 30
v
vi | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
C. GAMBARAN MASYARAKAT TIONGHOA (CINA) SAMPIT.......................................................................... 31 1. Bidang ekonomi ...................................................... 38 2. Bidang sosial ........................................................... 39 3. Bidang budaya ......................................................... 41 BAB III. SEJARAH ORANG CINA DI SAMPIT ............................. 45 A. FASE KEDATANGAN ORANG BELANDA (1817) DAN CINA (1847) KE SAMPIT .................... 45 B. FASE PERKEBUNAN KARET (1890-AN) .............. 48 C. FASE INDUSTRI PERKAYUAN (1940-AN) .......... 50 D. FASE AKHIR KOLONIAL DI SAMPIT (1942) ...... 54 BAB IV. PENUTUP .............................................................................. 57 A. KESIMPULAN ............................................................. 57 B. SARAN ......................................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 59 DAFTAR INFORMAN ........................................................................ 63 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................... 65 FOTO-FOTO ......................................................................................... 83 BIODATA TIM PENELITI ................................................................ 109
DAFTAR TABEL TABEL 1. ETNIS CINA DAN KEKAYAAN.................................... 4 TABEL 2. JUMLAH PENDUDUK KOTA WARINGIN................. 9 TABEL 3. PENDUDUK KOTAWARINGIN TIMUR BERDASARKAN ETNIS TAHUN 2000....................... 26 TABEL 4. JUMLAH PENDUDUK DI SAMPIT BERDASARKAN SUKU BANGSA 1900 – 1930......................................... 50
vii
viii | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
DAFTAR GAMBAR GAMBAR 1. LUKISAN TENTANG CINA TONGKANG............ 32 GAMBAR 2. TEMPAT ASAL DIASPORA CINA DI ASIA TENGGARA.................................................................. 34 GAMBAR 3. MAKAM / BONG LETNAN KWEE ........................ 36 GAMBAR 4. SALAH SATU TOKO DI JL. ISKANDAR.................37 GAMBAR 5. GEDUNG PERTEMUAN ORGANISASI CINA DI SAMPIT ................................................................... 40 GAMBAR 6. MURID SEKOLAH CINA DI SAMPIT..................... 41 GAMBAR 7. BANGUNAN BARU TAHUN 2016 (KIRI) DAN BANGUNAN LAMA VIHARA (KANAN).............. 42 GAMBAR 8. KONDISI BONG TIONG............................................ 43 GAMBAR 9. ISI PERJANJIAN KARANG INTAN I...................... 45 GAMBAR 10. IKLAN TOKO MILIK LETNAN CINA SAMPIT.... 51 GAMBAR 11. PEMBANGUNAN BRENGSEL 1947......................... 52
ix
x | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Imigran dari Cina sudah datang ke tanah Borneo sebelum abad ke-13. Mereka menjadi bagian dari sejarah Brunei dan Kalimantan Barat. Mengenai kedatangan, dan kiprah mereka dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang perdagangan, dapat diperoleh gambarannya dalam banyak tulisan. Heidhues (2008:5) menulis bahwa kontak Borneo dengan orang Cina terjadi pada masa lalu pada mulanya karena urusan perdagangan. Berdasarkan sumber Jacob Ozinga, Heidhues mengatakan telah lama terjadi interaksi antara orang Cina dan penduduk Borneo. “Sebelum abad ke-13, pengunjung dan pedagang dari Tiongkok sudah mendatangi Borneo, meskipun awalnya jumlah yang menetap pastinya sangatlah sedikit. Ekspor dari Borneo adalah hasil-hasil hutan dan laut yang dipertukarkan dengan garam, beras, bahan pakaian, dan barang-barang kebutuhan lainnya. Sejak awal, barang tambang Borneo –emas dan intan –juga telah memasuki perdagangan internasional”.
Menurutnya, pantai barat pulau ini telah menjadi pelabuhan dan persinggahan dalam perdagangan internasional. Kekayaan alam pulau ini telah menarik kedatangan lebih banyak orang dari Cina bagian selatan pada abad ke-18 dan seterusnya. Sehingga 1
2 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
kemudian pada abad ke-20 jumlah orang Cina, yang kemudian juga dikenal dengan Tionghoa, sangat banyak. Di beberapa tempat, seperti Pontianak dan distrik Cina (mungkin maksudnya wilayah sekitar kongsi dahulu) jumlah orang Cina mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk. Perbandingan yang sama juga terjadi pada saat ini. Peranan penting orang Cina membuat mereka terlibat dalam rivalitas penguasa di wilayah pantai barat dan utara. Ada di antara mereka yang bagian menjadi sekutu dan ada pula yang menjadi musuh penguasa lokal dalam menghadapi Belanda serta Jepang. Sementara itu Irwin (1986) menunjukkan hubungan Borneo dengan Cina sudah wujud lebih awal lagi. Menurutnya, hubungan itu sudah terbangun sejak awal abad ke-7 Masehi. Pada masa itu utusan dari Borneo telah datang ke Cina. “Di antara tahun 600 dan 1500 Masehi ada beberapa lawatan dibuat oleh duta-duta dari ‘Po-lo, P’oli, Poni, Ye-po-ti’ dan sebagainya, namanama yang pada umumnya telah diterima sebagai tempat-tempat yang terdapat di Pantai Barat Borneo ke negeri Cina. Telah dipercaya sejak turun temurun lagi bahwa perkampungan orang-orang Cina pernah terdapat berhampiran dengan Sungai Kinabatangan di bahagian utara pulau itu. Setengah-setengah daripada kelompok yang terdapat di Borneo Utara menunjukkan tanda-tanda yang kukuh tentang asal usul mereka yang berketurunan Cina”. (Irwin, 1986:4).
Memang kenyataannya berdasarkan catatan-catatan yang ada, para sejarawan sependapat bahwa komunitas dari Cina Selatan memang sudah ada di pantai barat Borneo sejak lebih dari 300 tahun lalu. Mereka didatangkan dan datang untuk menggali emas dan berdagang. Kemudian mereka membentuk pemerintahan berdasarkan sistem perwakilan kongsi mereka. Sistem pemerintahan yang dibentuk oleh orang Cina di Borneo ini dibanggakan sebagai republik pertama di Nusantara ini. (Yuan Bingling, 2000). Kedatangan orang Cina dari wilayah Guangdong (Kwantung) dan Swatow atau Shantou ke pulau Borneo (Heidhues, 2008: 17),
PENDAHULUAN | 3
terjadi dalam gelombang-gelombang kedatangan yang berbedabeda. Seperti disebutkan di atas mereka datang untuk mencari kehidupan baru di pulau-pulau yang menjanjikan di nusantara. Selain itu mereka juga “mengungsi dari tanah leluhur” karena menghindari perang saudara yang berkecamuk. Hasil bumi seperti emas merupakan daya tarik alami bagi imigran ini. Cerita Borneo yang kaya emas telah mengundang perhatian mereka. Keberhasilan menggali emas mendorong mereka mengembangkan usaha di bidang lain, yaitu perdagangan. Mereka berusaha mencukupi kebutuhan pokok kehidupan pemukiman di sekitar tempat tinggal dan bekerja mereka. (Hari Poerwanto, 1990). Mereka tidak hanya menggali emas tetapi kemudian memenuhi kebutuhan ekonomi sendiri dan kemudian kebutuhan ekonomi masyarakat di sekitar mereka seperti masyarakat Dayak dan Melayu di Borneo. Bidang ekonomi ini berkaitan dengan kebutuhan pokok seperti beras, garam, minyak, bidang lain seperti senjata, candu, tembakau, juga merupakan bidang ekonomi yang banyak ditekuni kelompok masyarakat ini. Pada perkembangan selanjutnya perdagangan yang mereka garap mulai menyentuh skala besar melintasi wilayah tempat mereka kerja, melintasi wilayah lain yang berada dalam kekuasaan raja-raja lokal. Hubungan mereka yang kadang cukup bagus dengan Belanda telah membuka ruang yang memudahkan kegiatan ekonomi berjalan. Perdagangan antarpulau dan perdagangan antarnegara menjanjikan keuntungan besar dan perkembangan pesat usaha mereka. Tentu saja keberanian menantang bahaya, kemampuan mencari perlindungan dan lobi, membuat usaha mereka berkembang. (Twang Pek Yang, 2005). Rintisan usaha ini membuat diaspora Cina di nusantara hingga hari ini menjadi kelompok raksasa ekonomi. Pada abad ke-20 hingga tahun 1940-an, kegiatan bisnis antarpulau berada di tangan mereka. Perusahaan-perusahaan besar dalam bidang agrobisnis, perdagangan, industri, perbankan, asuransi, perkayuan, pada masa tersebut merupakan milik orang Cina. (Twang Pek Yang, 2005). Sekarang ini, 70-90 % kegiatan ekonomi di ASEAN, termasuk di
4 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Indonesia, dikuasai oleh kelompok masyarakat keturunan Cina ini (Shamsul AB, 2015). Tabel di bawah ini yang dikutip dari Shamsul AB (2015) memperlihatkan bagaimana kelompok etnik ini menjadi raksasa ekonomi di beberapa negara, sekalipun jumlah mereka sebenarnya sedikit. Tabel 1 Etnis Cina dan Kekayaan Negara
Jumlah Penduduk
Etnis Cina
% Kekayaan
Brunei
0.5 juta
0.045 juta (15%)
25%
Kamboja
15 juta
1.5 juta (1%)
75%
Indonesia
246 juta
2.8 juta (2%)
75%
Laos
6.6 juta
0.2 juta (2%)
60%
Malaysia
30 juta
7 juta (25%)
50%
Myanmar
53 juta
2 juta (1.8%)
80%
Singapura
5.5 juta
3 juta (78%)
80%
Filipina
97 juta
29 juta (30%)
85%
Thailand
67 juta
9.5 juta (15%)
85%
Vietnam
89 juta
1 juta (0.8%)
45%
Sumber: Shamsul AB. (2015)
Gambaran di atas memperlihatkan bagaimana suksesnya kelompok diaspora ini. Mereka dapat menguasai kegiatan ekonomi meskipun jumlah mereka sangat kecil. Tentu saja banyak hal yang menarik dari data ini bagi para peneliti. Meskipun data penguasaan ekonomi memperlihatkan dominasi orang-orang Cina tetapi gambaran mengenai geliat ekonomi kelompok masyarakat ini masih kurang ditampilkan. Penelitian mengenai peranan mereka dalam sejarah, ekonomi dan dinamika sosial pulau Borneo hanya baru menghasilkan cuplikan; terutama cuplikan sejarah di pantai utara dan barat. Sedangkan gambaran mengenai apa yang terjadi di pantai selatan Borneo
PENDAHULUAN | 5
wilayah yang dikenal sebagai Kalimantan Tengah dan Selatan jarang dijumpai. Padahal, selain dalam konteks global Nusantara dan pulau Borneo yang sepintas lalu disebutkan di atas memperlihatkan bahwa kelompok orang Cina memainkan peranan dalam sejarah dan perkembangan kawasan, keberadaan dan peranan orang Cina di wilayah pantai selatan Borneo ini sudah lama disinggung. Dalam Helius Sjamsuddin (2001) disebutkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat dan sejarah Kalimantan Selatan dan Tengah. “Pada tahun 1640 Belanda mengirimkan dua buah kapal ke Banjarmasin setelah menunjuk seorang Cina untuk memungut piutang-piutang VOC. (Helius Sjamsuddin (2001: 78).
Selain itu Helius juga menulis bahwa orang Cina mengunjungi Banjarmasin pada abad ke-17. “Pada tanggal 16 April 1638, Belanda di Batavia menerima berita yang amat mengejutkan dibawa oleh kapal Aceh yang mengabarkan “orang-orang Belanda… dibunuh dengan kejam di Banjarmasin. Pada bulan Mei, seorang nakhoda Cina, Simjock, yang baru saja kembali dari Banjarmasin, memberikan cerita yang lebih komprehensif dari peristiwa itu. .. . (Helius Sjamsuddin (2001: 78).
Tentang orang Cina di Sampit pada masa kolonial Belanda, seorang pemerhati sejarah lokal Sampit, Syahril menulis: “Etnis Tionghoa belum tercatat sebagai penduduk Sampit karena mereka belum menetap dan hanya melakukan kegiatan perdagangan. Setelah pembukaan perkebunan karet dan kelapa di Sampit, barulah terjadi migrasi penduduk etnisTionghoa baik sebagai pengusaha, pedagang, atau pekerja perkebunan. Untuk mendukung lokasi baru sebagai pusat kegiatan perdagangan, Pemerintah Belanda membangun sebuah dermaga kecil tempat bersandarnya kapal-kapal. Lokasi dermaga dipilih pada sisi sungai sebelah barat (lokasi Pelabuhan Sampit sekarang). Oleh karena itu, pemusatan kegiatan perdagangan dan konsentrasi penduduk terfokus pada sisi Sungai Mentaya sebelah barat. Pada saat itu terjalin hubungan perdagangan dengan Singapura, Cina dan Eropa,
6 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942 melalui pedagang-pedagang Cina, Inggris, dan Belanda”. (Syahril, 2014:3).
Kehadiran orang Cina di Sampit juga disinggung sepintas lalu dalam Pijnappel (1936) dan dalam Lumholtz (1913) seperti yang dikutip dari Syahril. “Di Kota Sampit pada tahun 1913 sudah terdapat perusahaan perkebunan karet yang dimiliki oleh perusahaan Jerman. Lokasi perkebunan berada di sekitar kota (Carl Lumholtz, 1914). Hal ini diikuti oieh pedagang-pedagang Cina dan penduduk lokal yang ikut membuka perkebunan karet. Selain itu, di sebelah selatan kota terdapat perkebunan kelapa yang dimiliki oleh perusahaan dari Perancis. Dari catatan perjalanan Carl Lumholtz (1914), menunjukkan banyak terjadi migrasi penduduk ke Kota Sampit yang berasal dari Banjarmasin untuk bekerja sebagai pegawai di perkebunan. Pedagang-pedagang Cina yang membuka usaha perkebunan mulai menetap dan bermukim di Kota Sampit. Mulai saat itu terjadi kedatangan warga etnis Cina yang kemudian juga bekerja sebagai pekerja di perkebunan. (Syahril, 2014: 5)
Informasi yang diberikan oleh Lumholtz dan Pijnappel seperti yang dikutip Syahril hanya berhenti sampai di situ. Tidak ada lagi gambaran mengenai kehadiran orang Cina dan peranan mereka dalam kegiatan ekonomi – perdagangan. Oleh karena itu kita tidak dapat menebak apa yang terjadi kemudian ketika Sampit dipilih menjadi pusat perkebunan yang dikelola oleh perusahaan perkebunan dari Jerman tahun 1940-an. Apakah perusahaan ini membangun mitra perdagangan dengan orang-orang Cina, seperti yang terjadi di Borneo bagian barat yang disebutkan di atas, atau seperti yang umumnya terjadi di Nusantara. Tidak juga dapat dibayangkan bagaimana peranan orang Cina, atau apa yang dilakukan oleh komunitas pedagang ini ketika di Sampit dibangun pabrik kayu yang disebut sebagai yang terbesar di Asia Tenggara tahun 1940-an.
PENDAHULUAN | 7
B. Permasalahan Masalah penelitian yang diangkat dalam penelitian ini adalah sejarah dan peranan orang Cina di Sampit, Kalimantan Tengah, yang tidak banyak diketahui. Padahal mereka sudah berada di Sampit (Kota Waringin) sejak sekurangnya 300 tahun yang lalu, dan kelihatannya mereka cukup signifikan dalam sejarah sosial. Bagaimana pun di antara etimologi “Sampit” terdapat penjelasan bahwa kata itu berasal dari bahasa Cina, yaitu “Sam” dan “It”, yang berarti “31”. Angka 31 itu merujuk kepada kelompok atau 31 orang Cina yang disebut datang ke wilayah yang sekarang bernama Sampit. (Kotimkab, 2011). Selain itu kiprah mereka dalam bidang ekonomi juga kurang mendapatkan perhatian padahal pandangan umum menyebutkan bahwa orang-orang Cina memainkan peranan yang sangat penting dan besar dalam ekonomi Indonesia. Tentu menjadi pertanyaan, apakah pandangan umum tentang kiprah itu berlaku juga untuk Cina di Sampit atau tidak. C. Ruang Lingkup Penelitian ini dibatasi pada kurun waktu tertentu, yaitu antara tahun 1847 hingga tahun 1942. Pembatasan ini didasarkan pada batas waktu kedatangan dan kepergian orang Belanda di wilayah Kalimantan Tengah. Di antara rentang waktu tersebut terdapat empat peristiwa yang untuk sementara dianggap penting, yaitu fase awal kedatangan, fase perkembangan perkebunan karet, dan fase penebangan kayu, dan fase kepergian atau fase angkat kaki Belanda dari Sampit. Dalam kurun waktu tersebut keberadaan orang Cina dan peranan mereka khususnya dalam bidang perdagangan dan pemanfaatan pelabuhan Sampit digambarkan. Sampit adalah nama pusat pemerintahan di Kota Waringin Timur. Nama wilayah ini sangat terkenal pada tahun 2001 menyusul peristiwa berdarah yang melibatkan kelompok etnik Madura dan Dayak. (Edi Patebang, Ed. 2001).
8 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Menurut Kotimkab (2011), yang mengutip Masdapura (2003), nama Sampit diambil dari bahasa Cina yang berarti “31” (sam=3, it=1). Disebut 31, karena pada masa itu yang datang ke daerah ini adalah rombongan 31 orang Cina yang kemudian melakukan kontak dagang serta membuka usaha perkebunan. Sedangkan menurut Syahril (2015) nama Sampit digunakan karena melihat kondisi geografis pada daerah tersebut. Hal ini dimungkinkan karena pada saat itu, penduduk menetap di Pulau Hanaut yang notabene merupakan suatu pulau kecil di muara Sungai Mentaya. Karena berada pada area yang terkesan kecil/sempit maka penduduk di situ dan juga pendatang yang mengunjungi daerah tersebut memberi nama daerah tersebut “Sampit”. Syahril juga mengutip Carl Lumholtz dalam bukunya yang berjudul “Through Central Borneo : an account of two years’ travel in the land of the head-hunters between the years 1913 and 1914”, bahwa penggunaan kata “Sampit” diambil dari nama sungai yang melintas di wilayah ini. Belum diperoleh gambaran terperinci tentang wilayah geografi Sampit. Informasi yang diperoleh dari BPS Kota Waringin Timur menunjuk nama-nama kecamatan yang termasuk dalam wilayah kabupaten ini. Kecamatan-kecamatan itu antara lain: Mentaya Hilir Selatan, Teluk Sampit, Pulau Hanaut, Mentawa Baru/Ketapang, Seranau, Mentaya Hilir Utara, Kota Besi, Telawang, Baamang, Cempaga, Cempaga Hulu, Parenggean, Tualan Hulu, Mentaya Hulu, Bukit Santuai, Antang Kalang, dan Telaga Antang. Menurut BPS (2010) penduduk di kawasan ini berjumlah 422.860. Rincian persebarannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
PENDAHULUAN | 9
Tabel 2 Jumlah Penduduk Kota Waringin No
Kecamatan
Luas (Km2)
Penduduk (Jiwa) Kepadatan (Jiwa/ 2009 Km2)
1
Antang Kalang
2.975,00
27.891
9,83
2
Bukit Santuai
1.614,00
9.032
5,60
3
Parenggean
1.774,00
35.567
20,05
4
Mentaya Hulu
1.766,00
25.983
14,71
5
Cempaga Hulu
1.183,00
18.337
15,50
6
Cempaga
1.241,00
23.679
19,08
7
Telawang
316,79
17.427
55,01
8
Kota Besi
1.860,21
20.240
10,88
9
Baamang
591,00
61.890
104,72
10
Seranau
547,50
13.313
24,32
11
Mentawa Baru Ketapang
357,5
95.471
267,05
12
Mentaya Hilir Utara
723,00
16.134
22,32
13
Mentaya Hilir Selatan
318,00
26.258
82,57
14
Pulau Hanaut
619,00
21.650
34,98
15
Teluk Sampit
610,00
9.988
16,37
16.496,00
422.860
25,63
Jumlah dan Rata - Rata
Sumber : Laporan Kependudukan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Tahun 2010
Sementara laporan penduduk berdasarkan suku bangsa (etnik) belum diperoleh. Informasi umum yang dihimpun menunjukkan bahwa di Sampit terdapat orang Melayu (Banjar), Dayak, Cina, Madura, Jawa dan suku-suku lain. Nama Sampit atau Kota Waringin atau Waringin saja, sudah disebutkan dalam beberapa catatan lampau. Misalnya dalam catatan yang diperoleh Helius Sjamsuddin menyebutkan bahwa Kota Waringin termasuk daerah yang diperhatikan oleh Belanda.
10 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942 “Pada bagian kedua abad ke-17, VOC masih mempunyai suatu trauma dalam hubungan mereka dengan Banjarmasin. Dalam salah satu instruksi Batavia pada tanggal 24 Desember 1655 mereka masih merujuk ke Banjarmasin dan Kota Waringin sebagai “musuh-musuh resmi dari negara kita”. (Helius Sjamsuddin, 2001: 78).
Peringatan ini disampaikan oleh Batavia karena sebelumnya sudah pernah terjadi peristiwa pembunuhan orang Belanda di sini. Insiden itu terjadi di Kota Waringin pada bulan Mei dengan korban 40 orang Belanda yang tewas. Informasi yang serupa terdapat dalam Irwin (1986). Irwin menyebutkan terjadi persoalan di Kota Waringin. “…Dalam tahun 1638, sebuah lagi kapal Belanda telah dikhianati; enam puluh empat orang Belanda telah dibunuh dan kesemua harta benda dan barang-barang mereka telah dirampas. Tidak lama selepas itu empat puluh orang Belanda lagi telah kehilangan nyawa dalam perkelahian yang berlaku di Kota Waringin”. (Irwin, 1986: 6).
Pada masa lalu Kota Waringin termasuk dalam daerah yang dikuasai Kesultanan Banjarmasin. Seiring perkembangan sosial politik di Kesultanan Banjar, sejak ditandatanganinya perjanjian VOC dan Sultan Banjar, Tahmidullah II tahun 1787, maka daerah Kotawaringin Timur dikuasai oleh Belanda. Pada tahun 1917, Belanda mengangkat petugas pemerintahannya dari penduduk pribumi di bawah pengawasan pejabat Hindia Belanda. Kotawaringin Timur pada masa itu merupakan suatu wilayah pemerintahan Onder Afdelling Sampit, yakni setingkat kewedanaan dengan kepala pemerintahnya yakni seorang Kontrolir atau controleur (Asyari: 4-6). Pada masa lampau, geografis Kotawaringin sebelah utara berbatasan dengan Kalimantan Barat (Onder Afdelling Sintang), sebelah timur dengan Sungai Kahayan (termasuk Onder Afdelling Beneden Dayak), sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan sebelah barat dengan Kotawaringin Barat (Onder Afdelling Kotawaringin).
PENDAHULUAN | 11
Awalnya, Kotawaringin Timur memiliki luas wilayah sekitar 50.700 kilometer persegi. Daerah ini dilintasi tiga sungai penting yakni Sungai Mentaya, Seruyan dan Katingan yang mengalir menuju ke Laut Jawa. Namun, setelah pemekaran wilayah pada 2002, Kotawaringin Timur dipecah menjadi dua kabupaten baru yakni Kabupaten Seruyan dan Katingan, kabupaten ini hanya memiliki Sungai Mentaya yang membelah Kota Sampit. (Kotimkab, 2011). Kota Sampit terletak di Sungai Mentaya atau dikenal juga dengan nama Sungai Sampit, membuat kota ini menjadi salah satu pusat ekonomi dan menjadi pusat penghubung kehidupan masyarakat yang penting di kawasan Borneo bagian selatan ini. Sebagian wilayah ini dikenal sebagai wilayah perdagangan, pelabuhan, perkantoran, hutan dan juga perkebunan. Potensi alam ini dan kedudukan Sampit di dekat muara sungai membuat menjadi wilayah perdagangan dan pelabuhan yang penting untuk kawasan pantai selatan pulau Borneo ini. Pelabuhan ini diresmikan pada tanggal 1 Mei 1859. Urgensi pelabuhan ini dapat dikaitkan dengan pembangunan sebuah pabrik sawmil besar pada tahun 1940. Belanda membangun pabrik sawmill (penggergajian kayu) N.V. Bruynzeel Dayak Houtbedrijven Sampit yang berlokasi di tepi Sungai Mentaya, di sebelah utara pelabuhan (percabangan dengan Sungai Pamuatan). Pabrik ini merupakan pabrik pengolahan kayu terbesar se Asia Tenggara. Berdasarkan peta Sampit keluaran US Army Map Service hasil pemotretan udara di Kota Sampit tahun 1944, sudah terlihat jalur rel kereta lori dari area perusahaan menuju ke arah barat. Selain itu terlihat jalan-jalan produksi dari pusat kota ke arah barat dan selatan menuju kawasan perkebunan dan hutan. (Kotimkab, 2011). Menurut Tjilik Riwut (1979) Sampit merupakan salah satu pelabuhan yang melayani kegiatan ekspor Kalimantan Tengah, bersama pelabuhan Pulang Pisau, Kumai, Kuala Kapuas, Alam dan Jenamas. Barang-barang eksport pada tahun 1960-an adalah kayu, karet, rotan, tengkawang, kulit dan damar. Visualisasi
12 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
mengenai kegiatan perdagangan kayu ditampilkan dalam gambar “Pelabuhan Sampit dan Pabrik Kayu PT. Sampit Dayak di Sampit” halaman 82. Sebagai pelabuhan ekspor, pelabuhan Sampit cukup ramai. Herman Budi Sasono mengatakan pelabuhan Sampit merupakan pelabuhan utama di Kalimantan Tengah (2010). Kini, pelabuhan tersebut dikelola oleh PT Pelindo III. Pelabuhan ini memiliki panjang 316 meter, lapangan penumpukan peti kemas seluas 3.000 meter persegi, gudang penumpukan 1.116 meter persegi, terminal penumpang 750 meter persegi dan satu trailer. (Pelindo, 2015). Pelabuhan ini selain menampung bongkar muat barang, juga menjadi dermaga penumpang kapal laut tujuan Sampit – Semarang. Geliat ekonomi Sampit telah mengundang kedatangan banyak orang di daerah ini. Selain kedatangan orang Cina, Banjar dan Jawa, kedatangan orang Madura ke kawasan ini merupakan hal penting dalam perjalanan sejarah Sampit. Seperti yang ketahui bersama, pada tahun 2001 telah terjadi konflik besar atas nama etnik; yaitu melibatkan etnik Madura dan Dayak. Ketegangan antara Dayak dan Madura, membantu memahami tentang kehadiran pendatang dan peranan ekonomi di wilayah ini. Sebab, di balik kerusuhan ini terdapat cerita tentang orang-orang Madura yang relatif berhasil dalam sisi ekonomi, dan sektor-sektor usaha yang mereka tekuni. D. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sejarah masyarakat Cina di Sampit pada masa kolonial Belanda. Secara khusus menggambarkan kedatangan mereka di Sampit sekitar abad ke-19 dan peranan mereka dalam bidang ekonomi dan pemanfaatan pelabuhan Sampit.
PENDAHULUAN | 13
E. Manfaat Penelitian ini memberikan manfaat untuk merekonstruksi proses kedatangan masyarakat cina di sampit sehingga diaspora masyrakat cina di Sampit dapat dijelaskan secara rinci. F. Tinjauan Pustaka Ada beberapa studi yang telah mengkaji perihal orang Cina perantauan atau diaspora Cina di beberapa wilayah yang kini merupakan kawasan Asia Tenggara dan Indonesia pada khususnya. Kajian yang secara tegas melihat diaspora Cina sebagai sebuah kelompok yang berperan dalam perdagangan mula-mula di Indonesia adalah Writser Jans Cator dalam karya lama berjudul The Economic Position of the Chinese in the Netherlands Indies (1936). Buku ini tidak hanya memberikan penjelasan detil mengenai aspek–aspek material dari komunitas Cina, tetapi juga memetakan dan menjelaskan faktor persebaran populasi orang Cina di berbagai daerah di Hindia Belanda masa itu. Salah satu uraian pentingnya adalah mengenai kedatangan orang Cina daratan dan dari Serawak ke Kalimantan Barat akibat daya tarik dari prospek pertambangan emas masa Kesultanan Sambas. Kajian berikutnya yang memperlihatkan peran diaspora Cina dalam perdagangan di masa yang lebih modern ditulis oleh Yoshihara Kunio (1980) berjudul Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Kajian ini berhasil memotret jejak keberhasilan bisnis perantau Cina yang tersebar di beberapa Negara Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Kelebihan kajian ini terletak pada keberhasilannya menunjukkan jaringan bisnis dan konteks ekonomi politik dari pengusaha Cina di setiap negara. Selain itu kajian ini telah berusaha memberikan batasan terkait proses identifikasi orang Cina terhadap daerah tempat menetapnya. Setidaknya ada tiga kelompok yang merujuk pada diaspora Cina yaitu; (1) imigran dari Cina daratan dan berbahasa Mandarin, (2) mereka yang terlahir di Asia Tenggara dan berbahasa Mandarin dan (3) mereka
14 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
yang terlahir di Asia Tenggara dan tidak bisa berbahasa Mandarin, tapi terkadang masih memiliki nilai-nilai kecinaan. Studi klasik yang memberikan kejelasan dalam dinamika perkembangan perantau Cina dalam sebuah periode tertentu dapat didapatkan dari tulisan Lea E Williams dalam Overseas Chinese Nationalism-The Genesis of the Pan Chinese Movement in Indonesia 1900-1916 (1960). Studi ini menceritakan situasi atau konteks sosial yang menumbuhkan sebuah organisas perantau bernama THHK. Gambaran umum mengenai diaspora orang Cina di Asia Tenggara tercermin dari studi yang dilakukan oleh Victor Purcell dalam The Chinese in Southeast Asia (1980, 2nd edition). Purcell dalam tulisan ini dengan baik memberikan kronologis diaspora orang Cina ke kawasan laut selatan Cina atau disebut Nan Yang. Beberapa aspek yang penting untuk diperhatikan dalam perubahan komunitas diaspora di negara masing-masing adalah pendidikan dan agama. Kemudian ada beberapa lagi studi yang melihat bagaimana dinamika komunitas Cina belajar menjadi bagian dari karakter budaya lokal, termasuk dengan berbagai kebijakan yang dibuat oleh penguasa setempat. Antara lain Hari Poerwanto dalam bukunya, Orang Khek dari Singkawang (2005) dan Mary F Somers Heidhus dalam bukunya Golddiggers, farmers, and traders in the “Chinese districts” of Wet Kalimantan, Indonesia, Ithaca, N.Y.: Southeast Asia Program Publications, Southeast Asia Program, Cornell University (2003). G. Metode Data (bahasa Inggris datum bentuk tunggal, data bentuk jamak; bahasa Latin datum berarti pemberian) sejarah disebut juga sumber sejarah harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan ditulis. Menurut bahannya, dapat dibagi menjadi dua: tertulis dan tidak tertulis, atau dokumen dan artifact (artefact). Dokumen (bahasa Latin docere berarti mengajar) tertulis itu dapat berupa surat-surat, notulen rapat, kontrak kerja, bon-bon, dan sebagainya.
PENDAHULUAN | 15
Surat-surat dapat berupa surat pribadi, dinas kepada pribadi dan sebaliknya, antardinas. Artifact dapat berupa foto-foto, bangunan, atau alat-alat. Menurut urutan penyampaiannya, sumber itu dapat dibagi ke dalam sumber primer dan sumber sekunder. Sumber sejarah disebut primer bila disampaikan oleh saksi mata. Misalnya, catatan rapat, daftar anggota organisasi, dan arsip-arsip laporan seorang asisten residen abad ke-19. Adapun dalam ilmu sejarah, sumber sekunder ialah yang disampaikan oleh bukan saksi mata. Misalnya, kebanyakan buku hanya mengandung sumber sekunder. Selain itu, ada juga sumber lisan yang diperoleh melalui proses interviu dan sumber kuantitatif (Kuntowijoyo, 2001: 96-98). Metode pengumpulan data dalam kegiatan penelitian mempunyai tujuan mengungkap fakta mengenai variabel yang diteliti. Tujuan untuk mengetahui (goal of knowing) haruslah dicapai dengan menggunakan metode atau cara-cara yang efisien dan akurat. Metode Sejarah menurut G.J. Garraghan adalah prinsip-prinsip untuk menelusuri sumber-sumber material sejarah, menilai secara kritis, dan menyajikan sebuah sintesis dalam bentuk tulisan pada umumnya dari hasil penelitian yang didapatkan (G.J. Garraghan, 1957: 33). Data penelitian dikumpulkan baik lewat instrumen pengumpulan data, observasi, maupun lewat data dokumentasi. Ketepatan dan kecermatan informasi mengenai subjek dan variabel penelitian tergantung pada strategi dan alat pengambilan data yang dipergunakan. Hal ini pada gilirannya, akan ikut menentukan ketepatan hasil penelitian (Saifuddin Azwar, 2004: 36). Cara pengumpulan data melalui studi pustaka juga dilakukan ke berbagai perpustakaan baik tingkat lokal maupun nasional untuk menemukan sebanyak mungkin sumber dan informasi terkait, khususnya berupa arsip dan laporan pemerintah. Di antaranya Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Jakarta, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta, dan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Daerah Sampit. Setelah sumber dikumpulkan, tahap yang berikutnya ialah verifikasi, atau kritik sejarah, atau keabsahan sumber. Verifikasi
16 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
itu ada dua macam: otentisitas, atau keaslian sumber, atau kritik ekstern, dan kredibilitas, atau kebiasaan dipercayai, atau kritik intern (Kuntowijoyo, 2001: 101). H. Sistematika Penulisan Rencana laporan penelitian ini terdiri dari 4 (empat) bab, dengan kerangka sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang B. Permasalahan C. Ruang Lingkup D. Tujuan E. Manfaat F Tinjauan Pustaka G Kerangka Berpikir H. Metode I. Sistematika Penulisan BAB II GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Lokasi B. Gambaran Umum Penduduk Sampit C. Gambaran Masyarakat Cina (Tionghoa) Sampit BAB III SEJARAH ORANG CINA DI SAMPIT A. Fase Kedatangan Orang Belanda (1817) dan Cina ke Sampit (Tahun 1847) B. Fase Perkebunan Karet (1890-an) C. Fase Industri Perkayuan (1940-an) D. Fase Akhir Kolonial di Sampit (1942) BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
PENDAHULUAN | 17
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN
18 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
BAB II GAMBARAN UMUM A. GAMBARAN UMUM LOKASI 1. Luas dan letak wilayah Sampit merupakan onderafdeeling dari afdeeling Koeala Kapoeas dari residensi Zuider- Oosterafdeeling van Borneo, di bawah controleur yang berdiri di Sampit, terdiri dari Distrik Sampit (dengan onderdistrik Tjempaga, Mentaja dan Kwajan), Mendawei (dengan onderdistrik Katingan Bawah, Katingan Atas dan Samba) dan Pemboeang (dengan onderdistrik Semboeloe dan Serajan). Distrik dan onderdistrik dikendalikan oleh kepala dengan gelar yang berbeda. Kepala distrik ditunjuk oleh pemerintah dan dibayar dan berada di bawah wewenang langsung dari controleur1. Luas wilayah onderafdeling Sampit adalah 32.900 km² dengan posisi perbatasan sebagai berikut: Di sebelah utara berbatasan dengan wilayah Residentie Westerafdeling van Borneo. Di sebelah timur berbatasan dengan onderafdeling Kapuas.
Di sebelah selatan dengan Laut Jawa.
1 D.G. Stibbe en Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergen, Encylopedie van Nederlandsch-Indie, S.Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1935, hal 686.
19
20 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Di sebelah barat berbatasan dengan daerah landschaap Kotawaringin2. Sedangkan menurut memori Weststejn, pada tahun 1936, daerah Sampit seluruhnya bisa dikaitkan dengan onderafdeling Dayak Hilir3. 2. Daratan dan lautan Keadaan tanahnya pada bagian utara terdiri dari dataran tinggi yang bergunung-gunung, sedangkan pada bagian selatannya terdiri dari dataran rendah, tanah gambut, berawarawa, berdanau-danau. Daerah pesisir selatan hampir benar-benar datar, terutama antara sungai Pemboeang dan Mentaja, dengan banyak danau. Lebih jauh ke utara tanah ditutupi dengan deretan bukit. Kaki dari perbatasan gunung. Beberapa puncak yang cukup tinggi, misalnya (Timur Laut) Boekit Raja (2.278 m), Rangbabi (1.263 m), Batoe (1.259 m), Pemantjoeng (1.552 m), dan Raja Segoeroeh (1.031 m)4. Tiga buah sungai besar yang mengalir dalam wilayah onderafdeling Sampit, hulunya berasal dari tanah dataran tinggi pegunungan Muller dan Schwaner, mengalir dari utara menuju dataran rendah, bermuara ke Laut Jawa, yakni: a. Sungai Katingan atau sungai Mendawai panjangnya ± 600 km. b. Sungai Mentaya atau sungai Sampit panjangnya ± 400 km. c. Sungai Seroyan atau sungai Pembuang panjangnya ± 450 km. 2 Sub Team Penyusun Sejarah Kalimantan Tengah, Konsep Perjuangan Rakyat di Daerah Onderafdeeling Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur) dalam Upaya Menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesai Periode 1945 s/d 1949, hal. 12. Terima Kasih kepada Bapak M. Haitami A.M. yang telah mengizinkan tim peneliti untuk memperoleh buku ini. 3 R.A. Retno Hastijanti, Proses Pembentukan Ruang Eksklusif Pada Permukiman Masyarakat Plural Studi Kasus: Konflik Etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, Disertasi Program Studi Doktor Bidang Keahlian Arsitektur Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 2005, hlm. 94 4 D.G. Stibbe en Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergen, Op. Cit., hal.687.
GAMBARAN UMUM | 21
Di antara tiga sungai besar tersebut, hanya Sungai Mentaya yang dapat dimasuki oleh kapal besar ukuran sampai dengan 3.500 DWT (Deadweight Tonnage/Tonase Bobot Mati) masuk sampai ke kota Sampit (kurang lebih 80 km dari Kuala Sampit) sehingga Sampit dijadikan pelabuhan laut yang dapat melakukan ekspor dan impor. Sungai Katingan dan Sungai Seroyan tidak dapat dilalui oleh kapal laut karena kuala muara sungainya sangat dangkal, dalamnya ± 0,5 meter saat air surut, kecuali kapal-kapal kayu dan kapal-kapal yang berukuran kurang dari 100 ton ke bawah. Danau yang terbesar di wilayah onderafdeling Sampit, adalah Danau Sembuluh. Danau ini banyak menghasilkan ikan dan dari sini pula dibuat kapal-kapal kayu ulin, perahu-perahu layar yang ukuran muatannya sebesar 100 ton atau 150 ton. Danau ini terletak dalam daerah Seroyan dan aliran airnya menuju sungai Seroyan Danau lain yang lebih kecil dari danau Sembuluh adalah danau Bulan. Danau Bulan terletak dalam daerah Katingan dan banyak juga memberikan pendapatan bagi nelayan dengan melakukan penangkapan ikan di danau tersebut. Panjang pantai dalam wilayah onderafdeling Sampit ± 250 km dimulai dari sebelah barat, mulai dari ujung timur Tanjung Puting menuju jurusan timur sampai dengan muara Sungai Seroyan, dari kuala Sungai Seroyan menjurus ke timur melalui Pantai Kalap Cabang yang terkenal dengan pencakarnya, sanagat unik bagi perahu-perahu layar di samping terjal dan banyak batu-batu karang yang sering membahayakan bagi perahu layar, dan terus menjurus ke tanjung Pandaran ujung Teluk Sampit. Dari Kuala Sampit menjurus ke tenggara dan ke timur menuju kuala Sungai Mendawai (Katingan). Disepanjang pantai dan teluk tumbuh pohon-pohon kayu bakau tempat ikan dan udang berteduh dan berkembang biak serta pohon-pohon nipah yang daunnya dapat dijadikan atap rumah dan kajang bagi penghasilan penduduk. Di muara sungai Mendawai berdiri kota kecil Pegatan, di sana dibangun pelabuhan pantai yang melakukan pengawasan
22 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
terhadap kapal-kapal kecil dan perahu-perahu layar oleh pihak doane (petugas pelabuhan) yang mengawasi arus lalu-lintas barang masuk dan keluar yang dibawa oleh kapal layar dan perahu layar tersebut. Di muara Sungai Seroyan dibangun pula pelabuhan dan rumah doane di Kuala Pembuang, demikian pula untuk lalu lintas kapal layar dan perahu layar untuk muara Sungai Mentaya dibuat pelabuhan dan rumah doane di kampung Samuda. Teluk Sampit termasuk teluk yang ideal untuk bisa dijadikan pelabuhan laut, namun Sungai Mentaya mempunyai ke dalaman yang cukup, dan Pelabuhan Sampit mempunyai ke dalaman 12 meter, dapat merapat kapal-kapal besar dan bagi kapal-kapal yang ukuran DWT lebih besar (4.000 DWT dan 5.000 DWT) dapat melakukan bongkar muat di tengah-tengah Sungai Mentaya. Sungai bagi rakyat di daerah onderafdeling Sampit merupakan urat nadi perhubungan lalu-lintas. Penduduk pergi bekerja ke sawah hanya dapat dicapai melalui sungai, ke kebun, mengangkut hasil panen dan buah-buahan hanya dapat dilakukan dengan memakai perahu yang dikayuh di atas sungai, demikian pula untuk bepergian ke tempat yang jauh hanya dapat dilakukan dengan memakai alat transportasi sungai. Karena pentingnya sungai bagi keperluan hidup penduduk maka tidak mengherankan bahwa pembangunan perkampungan penduduk selalu berderet memanjang disepanjang aliran sungai. Jika kita melihat bentuk perkampungan penduduk, rumahrumah didirikan di atas tanah bertiang ulin, lantai dan dinding terbuat dari papan, atap sirap, berderet-deret rapi memanjang aliran sungai dengan kapur rumah putih-putih, namun di muka rumahnya dibangun pula bangunan segi empat kecil terbuat dari kayu yang didirikan di atas batang kayu yang timbul mengapung di atas air, yaitu bangunan jamban yang dipergunakan untuk tempat mandi dan buang hajat bagi keperluan penghuni rumah tersebut. Selain didirikan rumah yang dibangun di atas tanah, ada pula yang mendirikan rumah di atas air, yaitu didirikan di atas batang-
GAMBARAN UMUM | 23
batang kayu yang diapungkan oleh penduduk dinamakan rumah lanting. Rumah lanting kurang diminati oleh orang yang tinggal dekat dengan pantai, sebab deburan dan arus ombak membuat rakit lekas goyah dan rusak, namun bagi yang aman dari pengaruh gelombang, kebanyakan menyukai tinggal di lanting-lanting karena dapat dijadikan rumah toko (ruko) sebab pembeli-pmbeli hanya menggunakan lalu lintas jalur sungai5. B. GAMBARAN UMUM PENDUDUK SAMPIT Berdasarkan data BPS Kotawaringin Timur (2015) penduduk Sampit, Kalimantan Tengah berjumlah 149.365 dengan rincian 82.981 penduduk di bawah administrasi Kecamatan Mentaya Baru atau Ketapang, 10.339 penduduk di bawah wilayah administrasi Seranau atau Mentaya Seberang, 56.045 penduduk di bawah wilayah administrasi Baamang. Penduduk-penduduk itu, dilihat dari sisi pendidikan, mengenyam pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan lebih baik dibandingkan daerah lain di kabupaten ini. Laporan human development index (HDI) Kotawaringin Timur menunjukkan berada pada angka 6,80. Angka itu di atas rata-rata angka HDI Kalimantan Tengah, 6,76. Data ini hanya panduan saja untuk memahami keadaan pendidikan warga Kota Sampit. Sebab, pada kenyataannya, keadaan pendidikan kota ini, jika angkanya bisa diperoleh, pastilah lebih tinggi dari semua angka yang disumbangkan wilayah di luar kota Sampit. Sepanjang penelusuran informasi di Kota Sampit, peneliti sangat mudah menemukan warga yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).
5 Sub Team Penyusun Sejarah Kalimantan Tengah, Op. Cit., hal 12-15. 6 Angka tersebut meliputi seluruh wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, yang terdiri dari berbagai kecamatan dan desa.
24 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Data BPS (2015) menunjukkan bahwa banyak sekali lembaga pendidikan di Kota Sampit. Di pusat ibukota kabupaten ini Menengah Atas, 21 Sekolah Menengah Pertama, dan 78 Sekolah Dasar. Selain itu, terdapat 6 perguruan tinggi; yaitu Universitas Darwan Ali, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Sampit, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Haringan Hurung Sampit, Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Muhammadiyah Sampit, Akademi Kebidanan Muhammadiyah dan Akademi Keperawatan Kotawaringin Timur. Kehadiran sekolah-sekolah ini membuat warga kota ini dapat mengenyam pendidikan dengan lebih baik. Selain sekolah yang tersedia di daerah tersebut, anak-anak Sampit juga dapat mengenyam pendidikan di daerah lain, seperti yang selama ini mereka tempuh. Misalnya ada yang belajar di Palangkaraya, Pontianak, atau di kota-kota di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Yogyakarta dan Surabaya7. Sementara itu dilihat dari sisi ekonomi, geliat ekonomi penduduk kota Sampit memang terlihat lebih hidup. Dalam beberapa tahun terakhir ini berdiri hotel berbintang, mall, dealerdealer mobil dan rumah-rumah makan yang representatif8. Ekonomi masyarakat bergerak karena dorongan berbagai sektor, antara lain pertanian, kelautan, perkebunan dan perikanan. Pada sektor perkebunan, masyarakat Sampit sebagian terserap pada perkebunan sawit milik beberapa perusahaan di luar wilayah kota Sampit, antara lain di wilayah Cempaga dan Cempaga Hulu. (BPS, 2015). Sebagian lagi mengelola dan menangani perkebunan karet yang secara tradisi sudah mereka tekuni sejak beberapa generasi terdahulu. Hasil karet penduduk di wilayah Sampit, yaitu di Mentaya Baru 537,35 ton, di Seranau, 218,41 ton dan 7 Bahkan kami berkenalan dengan informan warga Kota Sampit yang mengenyam pendidikan tinggi (S1) di Australia. Seorang lagi mengaku saudaranya belajar di Singapura dan Tiongkok. 8 Pertumbuhan ekonomi masyarakat Sampit menurut seorang informan dapat dirasakan di jalan. Sekarang ini saat lampu merah menyala, jumlah kendaraan yang nampak bisa 5 atau 6 mobil. Dua tahun lalu, hanya 2 atau 3 mobil saja.
GAMBARAN UMUM | 25
di Baamang 454,05 ton. Lebih dari itu, di Sampit sekarang ini terdapat perusahaan pengolahan karet, yaitu PT Sampit, yang sudah ada sejak tahun 1950-an. Perusahaan ini mengolah karet dan menyiapkannya untuk ekspor ke luar negeri, telah menyerap banyak sekali tenaga kerja, baik sektor pengolahan maupun administrasi dan transportasi. Sektor lain yang menyerap banyak tenaga kerja adalah sektor pertambangan, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, rumah makan, angkutan, komunikasi, keuangan, asuransi dan jasa. Meskipun sebagian usaha dalam sektor ini tidak berada di Sampit, tetapi, karena jarak yang masih relatif dekat (dalam satu lingkungan kabupaten), cukup mudah bagi orang-orang Sampit bekerja pada sektor tersebut. Merujuk kepada data umum untuk seluruh wilayah Kotawaringin Timur, pada sektor-sektor ini menyerap 65.801 tenaga kerja. Selain itu, cukup banyak juga warga Sampit yang bekerja di sektor formal pegawai negeri; baik sebagai guru atau pekerjaan kantoran. Dari sisi agama, jumlah penganut agama tidak diketahui karena tidak dipublikasikan. Namun, persentasi jumlah penduduk yang beragama Islam lebih banyak dibandingkan agama lain. Data BPS menunjukkan di Mentaya Baru terdapat 91,75 persen penganut Islam. Sisanya, penganut agama Protestan 5,13, penganut agama Katolik 1,19, pemeluk agama Hindu 0,38, pemeluk agama Budha 0,14 dan penganut kepercayaan Khonghucu 0,02. Di Seranau, 97,99 Islam, 0,72 Protestan, 1,18 Katholik, 0,08 Hindu, 0,04 Budha, dan 0 Khonghucu. Sedangkan di Baamang tercatat 91,13 Islam, 5,13 Protestan, 1,19 Katolik, 0,38 Hindu, 0,14 Budha, dan 0,02 Khonghucu. Tidak diperoleh catatan mengenai sejarah agama di daerah ini. Namun, berdasarkan sejumlah informasi dan literatur, masjid utama di Sampit sudah ada sejak zaman Belanda. Begitu juga dengan Khonghucu, sebagai sebuah aliran kepercayaan, kepercayaan ini sudah ada senyampang dengan kehadiran orangorang Cina beberapa abad lalu.
26 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Untuk melaksanakan kegiatan ibadah, terdapat rumah-rumah ibadah pemeluk agama di seluruh wilayah pemukiman penduduk di Sampit. Di Mentaya Baru terdapat 50 buah masjid dan 124 surau. 15 gereja Protestan dan 7 vihara/kelenteng/pura. Sedangkan di Seranau 31 buah masjid, 19 surau. 1 gereja Protestan. Sementara di Baamang terdapat 38 masjid, 56 surau, 5 gereja Protestan. Gereja Katolik berada di luar Kota Sampit, yaitu 2 buah di Cempaga dan 1 buah di Pulau Hanaut. Sementara itu, dari sisi suku, penduduk Sampit terdiri dari berbagai suku. Dari data statistik penduduk Kalimantan Tengah berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 yang dikutip Herry Yogaswara (2012: 66-67) menyebutkan bahwa penduduk Kabupaten Kotawaringin Timur terdiri dari suku Dayak, Jawa, Banjar, Bugis, dan lain-lain, termasuk Cina. Lebih rinci lihat tabel berikut ini. Tabel 3 Penduduk Kotawaringin Timur Berdasarkan Etnis tahun 2000
No
Etnik
Jumlah
1
Banjar
17,05
2
Bugis
0,34
3
Cina
0,38
4
Dayak
53,18
5
Jawa
18,08
6
Madura
7,00
7
Sunda
1,29
8
Lain-lain
2,69
Sumber: Diolah dari Herry Yogaswara (2012).
Dari tabel tersebut terlihat bahwa suku yang terbesar adalah suku Dayak (53%), dan setelah itu suku Jawa (18%) dan suku
GAMBARAN UMUM | 27
Banjar (17%). Suku-suku lain termasuk dalam kelompok kecil, yang jumlahnya separuh atau jauh lebih dari itu, dari jumlah tersebut; misalnya Madura9, Cina, Sunda, Bugis. Meskipun tidak ditunjukkan data angka jumlah penduduk untuk Kota Sampit, namun data ini memberikan bayangan mengenai keberadaan etnik-etnik tersebut. Secara sepintas lalu, keberadaan kelompok-kelompok besar tersebut juga terlihat jelas di Kota Sampit. Berikut ini diberikan gambaran terperinci mengenai etnik yang ada di Kota Sampit. Orang Dayak Dayak merupakan suku dominan di Kotawaringin Timur dengan jumlah mencapai 53 persen. Dayak yang tinggal di Sampit adalah Dayak Sampit. Di pusat kota ini jumlah mereka diperkirakan sebanyak 21 persen. Penamaan Dayak Sampit merujuk kepada nama geografi wilayah pemukiman mereka, yaitu daerah Sampit. Mereka inilah penghuni awal daerah ini10. Tetapi kapan waktu mereka berada di Sampit atau membuka daerah ini tidak dapat dipastikan. Sjahril (2014) yang mengutip beberapa sumber menyebutkan bahwa nama Sampit sudah ada dalam kitab Negara Kretagama karangan Empu Prapanca di era Majapahit, abad ke-14. Orang Dayak di Sampit adalah dari kelompok Ngaju. Kelompok Ngaju merupakan kelompok terbesar di wilayah Kalimantan Tengah. Salah satu tokoh Dayak Ngaju yang terkenal adalah Tjilik Riwut. Beliau merupakan gubernur Kalimantan Tengah, pernah menjadi bupati di Sampit. Sekarang ini, selain istilah Dayak Sampit, juga dikenal dengan istilah Dayak Pesisir. Dayak pesisir maksudnya adalah kelompok 9 Data ini berbeda dengan data yang ditampilkan dalam Robert Alexander (2005:73). Robert yang mengutip data BPS Kalimantan Tengah tahun 2000, menyebutkan bahwa jumlah orang Madura di Sampit 4 % atau 44.100 jiwa. 10 Di luar cerita bahwa kata Sampit itu berkaitan dengan sejarah kedatangan orang Cina di sini, orang Dayak Sampit dianggap sebagai penduduk asal. Merekalah penduduk yang pertama kali ada di Sampit.
28 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
orang Dayak yang tinggal di kota-kota pesisir sungai (laut). Dayak pesisir ini beragama Islam11. Selain itu, untuk menyebut yang bukan beragama Islam dikenal istilah Dayak Pedalaman. Orang Dayak bekerja di berbagai sektor, sektor perkebunan dan pegawai negeri. Tidak diperoleh informasi tentang orang Dayak yang menjadi pedagang skala besar di Sampit. Selain itu, ada juga orang Dayak yang menjadi petani dan nelayan. Pada bidang politik orang Dayak cukup berperan. Data yang dikutip dari Herry Yogaswara (2015), pada tahun 1999 jumlah orang Dayak yang menjadi anggota DPRD ada 11 orang dari 31 orang dewan. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 20 orang Dayak yang menjadi anggota dewan. Orang Madura Orang Madura merupakan penduduk yang penting di Sampit. Mereka bagian dari sejarah kontemporer daerah ini, terutama terkait kerusuhan tahun 2001. Cerita-cerita berkaitan dengan kerusuhan ini merangkai sebuah kisah yang menarik tentang bagaimana keberadaan dan peranan sosial ekonomi orang Madura di sini12. Jumlah orang Madura dalam tabel di atas hanya 7 persen untuk seluruh Kotawaringin Timur, namun, menurut Herry Yogaswara (2012: 74) jumlah orang Madura di Kota Sampit mencapai 19 persen.
11 Istilah ini sesungguhnya menarik dijadikan sebagai kajian tersendiri. Dalam beberapa tulisan dikenal tentang Melayu di sini. Lihat tulisan Syahril (2014:2): ‘‘Pada tahun 1780 Sampit dipimpin oleh Kyai Ingebai Sudi Ratu. (Moor, 1860). Jumlah penduduk Sampit pada waktu itu yang beragama islam atau biasa disebut etnis Melayu sekitar 400 orang, sedangkan lainnya etnis Dayak yang yang berjumlah ratusan orang. Pada masa penguasaan Kerajaan Banjar ini, terjalin interaksi perdagangan dan pemerintahan yang rutin antara Sampit dengan Banjarmasin”. Sekarang ini istilah itu tidak dikenal lagi. Orang-orang yang di tempat lain disebut Melayu, di sini disebut sebagai Dayak yang beragama Islam. 12 Kaitan kerusuhan ini dengan sejarah sosial Sampit antara lain: selalu diingat orang bahwa Bupati Wahyudi yang menjabat pada waktu itu merupakan orang Madura. Secara sosial politik orang Madura sangat berkuasa, sehingga memunculkan isu “Sampit adalah Sampang ke-2.”
GAMBARAN UMUM | 29
Mereka merupakan kelompok yang dominan di Kota Sampit, selain Jawa, Banjar dan Dayak Sampit. Kelebihan orang Madura ini, mereka menguasai dan aktif dalam bidang ekonomi dan perdagangan seperti orang Tionghoa. Bahkan dalam sektor perdagangan informal, di sudut-sudut pasar, di pinggir jalan, dengan mudah dapat dijumpai orang-orang Madura membuka lapak jualan. Ketika penelitian dilakukan tahun 2015, sebagian besar lapak penjual makanan dan ikan segar di pasar malam Sampit adalah orang Madura. Mereka mudah dikenali karena Bahasa Madura yang mereka pakai dalam berkomunikasi sesama penutur bahasa Madura. Menurut Herry Yogaswara (2012), orang Madura datang ke Sampit sejak tahun 1920-an ketika usaha gambir dan karet dibuka oleh Helkies. Helkies adalah orang Belanda yang memelopori perdagangan gambir dan karet. Orang-orang Madura menjadi pekerja di perkebunan tersebut. Kemudian jumlah orang Madura menjadi lebih banyak setelah migrasi di tahun 1950-an di era Brengsel atau era permulaan pabrik kayu, dan di era-era jayanya pabrik kayu dan gelombang kepulangan ke Sampit pasca kerusuhan hingga sekarang ini. Orang Jawa Orang Jawa juga merupakan bagian besar dari penduduk Kota Sampit. Bahkan pengaruh Jawa sangat menonjol karena faktor geografinya yang lebih dekat dan mudah terhubung dengan wilayah-wilayah di Pulau Jawa. Lalu lintas kapal kecuali pada musim barat bulan Agustus, Desember dan Februari, musim gelombang besar, terjadi dengan lancar. Kapal-kapal dari dan ke Sampit dapat melintas di Selat Jawa yang relatif tenang. Memang tidak diketahui kapan orang Jawa pertama kali datang ke Sampit. Namun, sumber lisan menduga mereka sudah ada di sana sejak ratusan tahun lalu. Ada makam orang Jawa di daerah Kota Besi, sebuah tempat sekitar 50 kilometer di hulu Sampit.
30 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Pekerjaan orang Jawa di Sampit antara lain berdagang, pegawai negeri, dan petani. Pada sektor perdagangan, paling ketara keberadaan mereka adalah usaha rumah makan. Warungwarung makanan Jawa dapat dijumpai di berbagai sudut kota; khususnya jenis warung Lamongan. Orang Banjar Orang Banjar di Sampit merupakan salah satu penghuni kota yang terhitung banyak. Data yang ditampilkan di atas menunjukkan bahwa jumlah orang Banjar di sini ada 17 persen. Orang Banjar datang ke Sampit juga diperkirakan sudah lama. Ketika wilayah Sampit masih merupakan bagian dari kekuasaan Kesultanan Banjar, orang-orang Banjar sudah datang ke sini. (Helius Sjamsuddin, 2001). Sejarah itu pulalah yang dapat menjelaskan mengapa di Kota Sampit sekarang ini bahasa yang umum dipakai adalah bahasa Banjar. Bahasa ini agak mirip-mirip dengan bahasa Indonesia (Noviaji Joko Priono, 2015) Orang Banjar menurut Albert Alexander (2005) menguasai sektor perdagangan, pegawai negeri, petani, nelayan, pengusaha, buruh pelabuhan, dan penebang kayu. Mereka juga sebenarnya cukup dominan dalam bidang politik. Pada tahun 1999, 17 dari 31 orang orang anggota Dewan Kotawaringin Timur adalah orang Banjar. Pada tahun yang sama, 12 orang Banjar menduduki jabatan kepala dinas di pemerintahan Kotawaringin Timur. (Herry Yogaswara, 2012). Gambaran di atas secara sosial memperlihatkan keberadaan penduduk Sampit dilihat dari sisi suku bangsa mereka. Memang masih ada beberapa suku bangsa lain yang tidak digambarkan di sini; mereka antara lain Bugis, Batak, Sunda, (turunan) Arab, Palembang, dll, yang juga ada di Sampit. Tetapi, karena jumlah suku bangsa itu kecil dan tidak “menonjol” dalam konteks jumlah dan dinamikanya, maka keberadaan mereka ini tidak digambarkan di sini.
GAMBARAN UMUM | 31
Mudah-mudahan gambaran yang ada dapat membantu memahami tentang sejarah dan dinamika orang Cina di Sampit. C. GAMBARAN MASYARAKAT TIONGHOA (CINA) SAMPIT
“Sampit menurut kisah sejarah Jawa, itu barat dan timur, jarum arah barat melemah, kuda dari Banten membawa perak mendekati Hongkong melewati daerah yang kini disebut Kalimantan”.
Orang Tionghoa di Sampit diberi dengan berbagai nama. Ada nama Cina, ada yang menyebutnya (Caines = Chinese), ada yang menyebutnya Tionghoa. Kami juga diperkenalkan dengan istilah yang entah negatif atau positif, Cina Tongkang, Cina Baba dan Cina Totok. Cina totok merujuk kepada orang Cina yang lahir di tanah Cina, atau mereka lahir dari keturunan bapak-ibu orang Cina. Istilah ini dibedakan dengan istilah Cina campuran, yang salah satu dari orang tuanya adalah penduduk dari orang bukan Cina. Cina campuran ini antara Cina Baba dan Cina Peranakan. Lihat Tew Yek Fang (2002), Hari Poerwanto (1987). Sedangkan Cina Tongkang adalah istilah khusus untuk orang Cina yang datang paling awal ke Sampit, yang datang menggunakan perahu tongkang. Istilah ini masih dipakai di kalangan tertentu untuk merujuk pada cerita masa lalu. Sekarang ini tidak ada orang yang menggunakan identitas itu.
32 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Gambar 1. Lukisan tentang Cina Tongkang
Jumlah orang Cina di Sampit sekarang ini tidak dapat dipastikan. Data statistik memang menyebutkan jumlah mereka ada 0,38 persen untuk seluruh wilayah Kotawaringin Timur. Data ini berarti merujuk untuk orang Cina yang ada beberapa tempat, seperti Samuda, Kuala Kuayan, Begendang, Bakucing, Sungai Bapeang, dan lain-lain. Data yang dihimpun dari Yayasan Sosial di Sampit menyebutkan jumlah kepala keluarga orang Khonghucu ada 257 orang. Jika satu keluarga memiliki 3 anak berarti jumlahnya 771 orang. Jumlah ini bisa bertambah jika sebagian orang Budha di masukkan dalam statistik itu. Termasuk sebagian kecil dari orang Cina yang beragama Islam13 dan Katolik. Orang-orang Cina sekarang ini tersebar di beberapa wilayah pemukiman. Tetapi, secara umum kebanyakan mereka tinggal di wilayah pasar Sampit. Wilayah-wilayah ini memang merupakan wilayah pusat kegiatan perdagangan sejak zaman Belanda.
13 Sejumlah informan kami adalah orang Cina di antaranya Pak H. Tewak, beragama Islam. Menurutnya ada beberapa lagi saudaranya yang juga beragama Islam.
GAMBARAN UMUM | 33
Secara umum orang Cina bergerak dalam bidang ekonomi. Harry Yogaswara (2012) menyebutkan kebanyakan orang Cina menjadi distributor perdagangan. Sementara itu, Robert Alexander (2005: 84) menyebutkan orang Cina menekuni jenis pekerjaan sebagai pedagang, pelayanan jasa, pengusaha industri, dokter dan akuntan. Tetapi, gambaran tentang lapangan pekerjaan itu adalah gambaran kasar saja. Sebab pada kenyataannya terdapat juga orang Cina yang bekerja di sektor lain. Misalnya, ada yang menjadi buruh, tukang, pegawai, dan politisi yang bergabung dalam beberapa partai politik14. Orang Cina di Sampit berasal dari berbagai tempat. Ada yang datang dari tanah besar Tiongkok, yaitu dari daerah Hok Cia, Fucian. Mereka itulah yang disebut sebagai pendatang awal. Mereka ini dikenal sebagai Cina Kuncir, karena rambut mereka berkuncir, atau disebut juga Cina Tongkang karena pada era itu mereka ada pemilik-pemilik tongkang. Sebagian dari pendatang awal ini menikah dengan wanita pribumi dan menyebabkan terjadinya kawin campur. Kawin campur ini kemudian menghasilkan kelompok Cina yang disebut Cina Baba15. Tidak mengherankan jika kemudian ada di antara orang Cina di Sampit yang berkulit hitam dan bermata sipit.
14 Ketika wawancara dengan kami, seorang informan yang duduk di DPRD Kotawaringin Timur, yang dikenal sebagai orang Dayak, mengaku, dia sebenarnya memiliki darah Cina, dari kakeknya. 15 Informasi ini diperoleh dari Yi Wan, 38 tahun.
34 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Gambar 2. Tempat Asal Diaspora Cina di Asia Tenggara (Sumber: Victor Purcell, Chinese in Southeast Asia, hlm. 6)
Ada juga orang Tionghoa yang datang dari Banjarmasin, Pontianak, Surabaya, Semarang dan Jakarta. Kedatangan mereka juga terjadi dalam beberapa kurun waktu yang panjang bahkan hingga hari ini, karena alasan ekonomi atau berusaha dan mencari penghidupan, ada juga yang datang karena alasan pernikahan mengikuti pasangan mereka asal Sampit. Oleh karena itu kedatangan mereka terjadi dalam kelompokkelompok kecil, bahkan secara perorangan, bukan dalam gelombang yang besar. Lalu lintas yang relatif mudah melalui angkutan laut yang tersedia membuat mereka dapat datang kapan pun ke Sampit, dan sebaliknya mereka dapat keluar dari Sampit kapan pun juga. Selain itu pula, maka orang-orang Cina di Kota Sampit memiliki marga yang berbeda-beda, bukan relatif sejenis. Margamarga orang Cina yang ada di Sampit antara lain Ang, Ge, Go, Han, Hoek, Ho, Tjio, Thio, Tjoa, The, Ngo, Khong, Kwee, Tan, Ong, Oe, Liem, Lim, Lauw, Chen, Po, Phong16. 16 Tentang nama-nama marga ini diperoleh peneliti dari observasi di perkuburan Cina di Kota Sampit, 26/3/2016.
GAMBARAN UMUM | 35
Sampit ternyata bukanlah tempat yang asing bagi para perantau Cina pada masa Dinasti-Dinasti. Tempat ini ternyata sudah menjadi salah satu kota yang terkenal di wilayah Laut Selatan khususnya di Nusantara. Kutipan di atas berasal dari salah satu literatur Cina17 yang menunjukkan bahwa Sampit dan beberapa kota di Borneo seperti Sambas, Tanjungpura dan Banjar menjadi pilihan menarik untuk melanjutkan hidup lepas dari kehidupan yang sulit di kampung halaman. Menurut sebuah sumber18 nama Sampit berasal dari kata Sam dan It yang berarti tiga satu. Maksusdnya adalah terdapat 31 perantau asal Tiongkok yang datang ke wilayah ini. Akan tetapi di kalangan orang Cina Sampit sendiri, meski hampir semua mengenal cerita itu, belum ada kesepakatan dan pembuktian yang bisa dipegang bersama. Bahkan ada yang menduga bahwa Sampit itu adalah nama orang Cina yang tinggal di seberang. Namun jika berdasarkan literatur Cina di atas, Sampit justru dikenal melalui narasi sejarah Jawa. Para perantau Cina merekamnya melalui rute perjalanan laut menuju daerah ini. Diperkirakan pada awal abad 19, Sampit telah menjadi salah satu kota penting di sepanjang Sungai Mentaya dari Tanjung Jariangau ke Teluk Sampit. Salah satu situs penting yang secara eksplisit membuktikan bahwa Sampit mempunyai komunitas Cina yang telah mapan saat itu adalah adanya makam Letnan Cina Kwee Sioe Lian19 yang tertera lahir di Sampit pada tahun 1863 (1949 w). Makam batu yang ukurannya sekitar 7x10 m tersebut berdiri megah di antara nisan makam lain yang terbuat dari kayu ulin, walaupun kondisinya kini semua tak terawat dan terdesak oleh pemukiman padat. Lokasi makam ini berada di belakang 17 Chen Jiarong, Xie Fang, and Liu Junling, Kota – Kota Terkenal Laut Selatan Zaman Dahulu, Beijing: Zhonghua Book Company, 1986. Terima kasih buat mbak Agni Malagina yang telah menunjukkan buku ini. 18 Masdipura, www.kotimkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1179 &Itemid=501, akses 30 Maret 2016 19 Ada 4 orang yang menjadi Letnan Cina di Sampit, yang pertama yaitu Lie Boen Goean (3 Agustus 1910), kedua Tjoe Soe Go (13 Maret 1916), Ketiga Kwee Sioe Lian (21 April 1927), dan keempat Kwee Chin To, lihat Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie Tweede Gedeelte Kalender en Personalia 1901-1942.
36 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Kodim dan dikenal sebagai makam Tiong. Kompleks pemakaman ini sebenarnya termasuk makam keluarga (Kwee).20
Gambar 3. Makam/bong Letnan Kwee21
Pusat Kota Sampit awalnya berada di seberang Sungai Mentaya yang dikenal dengan sebutan Mentaya Seberang. Selain menjadi pedagang perantara, beberapa orang Cina Sampit juga mempunyai (sewa) kebun karet yang memang sejak dulu menjadi primadona perdagangan. Salah satunya bernama Ho Ek Liang yang merupakan kakak ipar dari engkong Manggolo (Kwee Hong Tjuan, 86 th).22 Menurutnya, sebelum menjadi petani karet mereka pernah mencoba menanam kopi. Setelah berpindah di tempat sekarang ini, pemukiman orang Cina berpusat di sepanjang tepi sungai yang kini bernama. Iskandar. Dengan semakin berkembangnya kawasan ini, mereka bergeser ke barat untuk kawasan tempat tinggalnya hingga sekitar jalan D.I. Panjaitan dan jalan Camar. Apalagi area pertokoan ini sudah beberapa kali mengalami kebakaran besar antara lain tahun 1936, 1963 dan 1973.
20 Terima kasih kepada Yi Wan (30 th), cucunya engkong Manggolo, yang telah menunjukkan tempat ini. 21 Koleksi Yusriadi, diambil tanggal 24 Maret 2016. 22 Wawancara dirumah engkong Manggolo, 86 th, 27 Maret 2016.
GAMBARAN UMUM | 37
Gambar 4. Salah satu toko di jalan Iskandar23
Sebagian besar orang Cina di Sampit berasal dari Provinsi Fujian atau dikenal sebagai orang Hokcia/Hokian. Mereka berlayar ke Sampit menggunakan kapal tongkang yang mengambil barang perdagangan semacam karet, rotan dan Jelutung. Sehingga mereka sering disebut juga sebagai Cina Tongkang. Beberapa perantau itu tak semua berangkat langsung dari Cina, tetapi ada yang dari Singapura. Begitu juga ketika mendarat, mereka tidak semuanya menuju Sampit tetapi ada yang turun di Samuda atau Tanjung Jariangau. Seperti misalnya Ko Teng (Tjio Kho Teng, 60 th) yang merupakan generasi ketiga di mana kakeknya mendarat di Tanjung Jariangau, selepas dari perjalanan Cina dan Singapura.24 Satu hal yang penting diketahui adalah hampir semua perantau Cina yang berpindah ke daerah baru merupakan hasil ajakan dari saudara atau keluarga mereka yang telah pindah atau berkunjung sebelumnya. Begitu juga dengan diaspora orang Hokcia di Sampit, yang artinya generasi pertama mereka melihat Sampit sebagai tempat yang menarik dan mempunyai masa depan yang cerah untuk hidup menetap. Salah satu daya tarik zaman dahulu adalah 23 Koleksi “Bali Indah studio”, Sampit. Foto ini disumbangkan untuk Perkumpulan Sosial Bakti. 24 Wawancara dengan Ko Teng di kediamannya, 25 Maret 2016.
38 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
melimpahnya sumber daya alam semacam rotan, karet, jelutung dan kayu ulin. 1. Bidang ekonomi Sebagai pendatang di Sampit, usaha orang Cina yang paling mungkin untuk dilakukan mula-mula adalah menjadi pedagang perantara. Mereka mengambil dan mengumpulkan komoditas, seperti rotan, jelutung dan karet, dari pedalaman dan kemudian menjualnya pada pengepul di kota, yang biasanya juga orang Cina. Setiap bulan sekali akan datang kapal dari Singapura yang mengambil rotan dan jelutung, beberapa nama kapal itu adalah King Lion dan King Bird.25 Untuk mendapatkan komoditas tersebut, mereka menukarkan dengan bermodal bahan pokok makanan yang dibawa dari kota. Satu-satunya moda transportasi perdagangan saat itu hanyalah sungai. “Dulu kakek saya bawanya ke sini pakai ‘tanjak’. Tak ada kapal, jadi pakai perahu. Bawa sembako dari sini, terus ke sana barter. Barter sama rotan, karet, buah tengkawang, dayung itu… sekarang perjalanan hanya dua jam, dulu bisa satu minggu. Dulu dari sini bawa sembako, makanan terus jalan, di tengah jalan, di kampung ini ambil barang ke langganan” (wawancara dengan Ko Teng, 25 Maret 2016)
Namun terkadang ada yang memilih untuk menetap di udik dan membuka toko sembako di sana. Seperti halnya dengan kakeknya Ko Teng yang memilih tinggal di Tanjung Jariangau, bahkan sampai ayahnya meninggal disana. Selain membuka toko, beberapa dari mereka yang tinggal di udik juga memelihara babi di rumahnya. Begitu juga dengan Te Wak26 yang tinggal di Samuda, sejak ayahnya pindah dari Hongkong, hingga akhirnya menjadi muslim 25 Informasi dari Guru Wang, 26 Maret 2016 26 Wawancara di tokonya yang berada di kota sampit tanggal 23 Maret 2016
GAMBARAN UMUM | 39
mengikuti ayahnya yang konversi. Ia dikenal dengan nama H. Burhani Insan, lama tinggal di Kuala Kuayan dan menjadi tokoh Muhammadiyah. Selain mempunyai toko di sana, ia juga membuka cabang di Kota Sampit yang kini dijaga oleh salah satu anaknya. Paling kentara adalah bisnis daripada orang Cina dari golongan kaya semacam Letnan Kwee Sioe Lian atau dikenal dengan bah kuncir. Seperti halnya posisi Kapiten Cina di Jawa, seorang Letnan juga mendominasi beberapa komoditas hasil bumi seperti karet dan kopra. Tanah yang dimilikinya juga tersebar di beberapa ruas kota. Seiring dengan peralihan zaman menuju kemerdekaan, pengusaha kaya masa kolonial mulai tergeser oleh pengusaha baru yang salah satunya mampu bertahan hingga kini adalah PT. Sampit. Perusahaan ini merupakan perusahaan eksportir bidang pengelolaan karet, jelutung dan rotan. Saat ini dipimpin oleh generasi ketiga dari keluarga Lays.27 Awalnya perusahaan ini berbentuk semacam BUMD, karena tidak berkembang akhirnya dijual kepada seorang pengusaha bernama Syukur Lay (Lay Hong Ing). Perusahaan ini kemudian dimerger dengan perusahaannya sendiri yang bernama PT. Pulau Kembang. 2. Bidang sosial Komunitas Cina di Sampit jumlahnya tidak cukup besar, tetapi karena lokasinya strategis sehingga diperlukan seorang pemimpin setingkat Letnan. Apalagi letaknya yang jauh dari pusat Kerajaan Banjar, membuat segala urusan mesti dapat diselesaikan lebih singkat. Mereka mempunyai perkumpulan yang bernama Hao Qiao He Zhong Se. Organisasi ini juga menaungi komunitas Cina di sekitar Sungai Mentaya, dari hulu sampai hilir. Untuk pertemuan mereka membangun sebuah gedung berlantai dua yang lokasinya kini berada di sebelah swalayan “Kusuka”. Gedung ini juga sering digunakan untuk acara pernikahan warga. Lantai duanya sering digunakan untuk tinggal para guru yang mengajar di sekolah 27 Wawancara dengan Malvin Lays di kantornya, 25 Maret 2016.
40 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Tionghoa. Namun sayangnya bangunan ini hancur saat terjadi kebakaran hebat tahun 1963 dan tanahnya ‘diambil’ pemerintah pasca 1965.
Gambar 5. Gedung pertemuan organisasi Cina di Sampit28
Selain itu mereka juga mempunyai sekolah Cina yang lokasinya berada di jalan Panjaitan, kini tempat itu digunakan sebagai kantor KUA. Sekolah hanya mempunyai kelas sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Tenaga pengajarnya sebagian besar didatangkan dari Jawa. Meskipun tidak terkait langsung dengan organisasi THHK di Jawa, organisasi dan sekolah Cina di Sampit mengikuti model tersebut. Selain diajarkan bahasa Mandarin, mereka juga diajarkan bahasa Melayu/Indonesia.29 Menurut Guru Wang, di Samuda juga terdapat sekolah Cina, tetapi hanya setingkat sekolah dasar saja. Guru yang mengajar ada yang berasal dari Surabaya, Sumbawa dan ada yang dari Tiongkok. Namun semuanya tetap dikoordinasikan dengan sekolah Cina yang di Jawa. Guru Wang sendiri termasuk salah satu pengajarnya, karena ia pernah mendapatkan pendidikan di sekolah Sin Hwa High School yang berada di jalan Ngaglik Surabaya selama 6 tahun dari 1954 sampai 1960. Seperti halnya di Jawa, setelah tahun 1965, sekolah Cina di Sampit juga ditutup. Muridnya pindah di sekolah negeri atau sekolah swasta yang dikelola oleh yayasan Katolik. 28 Koleksi “Bali Indah Studio” Sampit. Terima kasih pada Bapak Khong Wei Tung yang mengijinkan penggunaan foto ini untuk riset kami. 29 Wawancara dengan Guru Wang (Ong Cin Cai, 76 th) di rumanya tanggal 26 Maret 2016.
GAMBARAN UMUM | 41
Yang menarik adalah adanya kebiasaan bagi komunitas Cina, yang mampu secara finansial, untuk mengirim anak– anak mereka sekolah lanjut di Jawa, khususnya di Surabaya. Selain karena keterbatasan kualitas dan fasilitas pendidikan di Sampit, ketersediaan rute transportasi (laut) menjadi faktor yang menentukan. Tampaknya pada masa kolonial, kapal yang menjadi moda transportasi utama, telah menjadikan Sampit sebagai tempat antara jalur hubung perdagangan dari Singapura–Kalimantan (selatan)–Jawa (timur).
Gambar 6. Murid sekolah Cina di Sampit30
Bidang budaya Meskipun sudah lama mapan di Sampit, ternyata komunitas Cina baru mempunyai tempat ibadah khusus, seperti vihara, pada masa Orde Baru. Bahkan klenteng baru dibangun setelah Orde Baru runtuh. Dengan kata lain, mereka beribadah di rumah masing-masing atau di salah satu rumah anggota yang dijadikan 30 Koleksi “Bali Indah Studio” Sampit, milik Bapak Khong Wei Tung.
42 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
tempat ibadah bersama. Salah satu contohnya adalah vihara Budha Meitriya yang awalnya adalah rumah warga sejak 1989 dan kini dibangun menjadi sebuah vihara yang besar (gambar 5). Salah satu penyebab mengapa terjadi hal demikian, karena jumlah orang Cina saat itu tidak sebanyak tempat lain yang mempunyai klenteng tua. Namun kini di Sampit, setidaknya ada empat vihara dan satu klenteng.
Gambar 7. Bangunan baru tahun 2016 (kiri) dan bangunan lama vihara (kanan)31
Meskipun tradisi Cina Sampit kurang tampak di ruang publik secara fisik, tampaknya mereka mencoba bertahan menggunakan basis keluarga. Pada generasi pertama dan kedua, mereka masih menggunakan bahasa Hokcia dalam keseharian di rumah. Sedangkan untuk komunikasi dengan orang luar mereka mampu menggunakan bahasa Dayak Sampit. Akan tetapi sayangnya, pada generasi ketiga yang hidup pada masa Orde Baru mereka tak lagi menggunakan bahasa Hokcia dalam keseharian. Ciri fisik yang tersisa dari masa lalu adalah bong Cina yang berada di belakang Kodim dan dikenal sebagai Tiong. Hal ini terjadi karena bong Cina yang lain sudah ditukar guling oleh pemerintah daerah menjadi terminal bus “Patih Rumbih” yang berada di jalan MT Haryono. Saat ini pemakaman khusus orang Cina berada di (Pal 6) . Sudirman Km. 6. Seperti yang disebut sebelumnya bahwa kondisi Tiong tersebut sangat memprihatinkan. Beberapa nisan 31 Foto lama merupakan koleksi dari vihara. Terima kasih untuk Bapak Yohanto yang telah memberikan ijin.
GAMBARAN UMUM | 43
yang terbuat dari kayu (ulin) banyak yang terlepas dan menjadi pondasi rumah pendatang. Sedangkan nisan batu, keluarga Kwee, ditumbuhi semak belukar dan tersembunyi dibelakang rumah warga.
Gambar 8. Kondisi bong Tiong
Jika dirunut informasi yang didapat, hubungan antar anggota komunitas Cina di Sampit tampak dekat secara kekerabatan. Hal ini terjadi karena banyak pernikahan yang kedua belah pihak keluarga mempelai masih mempunyai hubungan kekerabatan dari pernikahan sebelumnya. Misalnya yang terjadi pada keluarga Koh Aling,32 yang om-nya menikah dengan sepupunya sendiri.
32 Wawancara dengan Aling di rumahnya jalan Camar, Sampit pada tanggal 25 Maret 2016.
44 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942 “Calonnya masih dari sekitar Sampit saja. Kalau dulu kawin dengan sesama keluarganya….. hehehe jadi semua keluarga …adik ibu/om saya kawin dengan sepupu saya…. Hehehe contohnya gitu….tapi ini tidak ada hubungan darah ….” (Aling, 67 th)
Meskipun banyak yang menikah secara endogami, perantau Cina di Sampit juga banyak yang menikah dengan orang Dayak setempat. Salah satunya adalah Bapak Dewin Marang, anggota DPRD Kab Kotim, yang salah satu buyutnya adalah orang Cina yang menikah dengan orang Dayak.33 Mungkin ini salah satu yang menyebabkan orang Cina tidak terlibat dalam kekerasan komunal tahun 2001 di Sampit, meskipun mereka juga merasa khawatir atas keselamatan dirinya.
33 Wawancara dengan Bapak Dewin Marang di rumah dinas tanggal 22 Maret 2016.
BAB III SEJARAH ORANG CINA DI SAMPIT A. FASE KEDATANGAN ORANG BELANDA (1817) DAN CINA (1847) KE SAMPIT Menurut Pijnappel, kontrak tanah sampit kepada pemerintah Belanda terjadi pada tahun 182634. Sementara menurut isi perjanjian Karang Intan I pada 1 Januari 1817 dan Karang Intan II pada 13 September 1823, Sampit dan wilayah Kerajaan Banjar lainnya seperti Mendawai, Berau, Pasir, Kutai, Kotawaringim, dan Lawai (Hulu Sungai Kapuas) berada dalam wilayah pendudukan Hindia Belanda.
Gambar 9. Isi Perjanjian Karang Intan I35 34 J. Pijnappel, Beschrijving van Het Westelijke Gedeelte van de Zuid- en Oosterafdeeling van Borneo (De Afdeeling Sampit en Zuidkust), dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 7de Deel, (Nieuwe Volgreeks, 3e Deel), 1860, Hal. 312. 35 Koleksi Museum Kayu Sampit
45
46 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Sedangkan kedatangan orang Cina ke Sampit selain berdasarkan situs makam Letnan Cina Kwee Sioe Lian yang lahir di Sampit pada tahun 1863 (Lihat BAB II), juga berdasarkan karya biografi tentang seorang kontrolir di Sampit bernama W.J.M. Michielsen36. Dalam karya tersebut dijelaskan bahwa dari Sumatra Timur Michielsen pergi ke Kalimantan pada 1878, di mana ia pertama kali menjabat sebagai controleur di afdeeling Selatan-Timur dan kemudian pada 1881 sebagai asisten residen di Koetai (Kalimantan Timur). Satu tahun kemudian, pada 1882, putranya Karel lahir di Sampit, anak di luar perkawinan, yang diakui olehnya. Mengenai ibu, seorang wanita Cina turunan bernama Kim Nio, selebihnya tidak diketahui. Pada tahun 1883, Michielsen diangkat asisten residen di Deli (Sumatra Timur) dan pada 1886 di Medan putra keduanya Frits lahir, juga tidak sah dan diakui, dengan Kim Nio sebagai ibunya. Pada akhirnya Michielsen dipindahkan dari Kutai ke Deli. Sesudah itu semua hilang. Hal ini bahkan tidak disinggung dalam sejarah. Michielsen akan berbicara menyimpang di sini tentang dua tahun cuti Eropa yang diberikan kepadanya pada tahun 1886 dan saat pulang ke Belanda hanya Karel yang ikut. Frits dan Kim Nio tetap tinggal. Ketika di Eropa baru ada turunan-turunan orang Eropa yang dia punya 37. Kemudian pada 1888 kembali ke Indonesia, tidak ada pangkat. Nama Kim Nio yang telah disebutkan, ada dugaan merupakan The Kim Nio salah satu penumpang kapal bersama Hilckes (data ini tim peneliti temukan pada koran lama di Perpustakaan Nasional). Dengan demikian, ada kemungkinan The Kim Nio 36 Willem Jan Maria Michielsen, Een buitenbezittingse radja: Herinneringen van W.J.M. Michielsen 1844-1926, Uitgeverij Verloren, 2015, hal. 14-15. 37 K.W.J. Michielsen lahir di Sampit pada 21 Juni 1882 dan meninggal pada 13 Desember 1958 di Den Haag. F.J.L Michielsen lahir di Medan pada 18 Februari 1886 (tempat dan tanggal kematian tidak diketahui). Banyak data silsilah dari keluarga Michielsen diambil dari artikel L.A.M. Michielsen, ‘Keluarga Breda Michielsen. Ras dengan tampilan jauh’, Gens Nostra, 1994, 176-195. Meskipun kondisi penulis buku sangat akurat, ia hanya beberapa cabang kesalahan W.J.M. Michielsen. Jadi dia memberi nama Michielsen Wilhelmus Johannes Maria dan ia meninggalkan E.E. van Geuns dilahirkan di Tandjoer (seharusnya Tjiandjoer) dan K.W.J. Michielsen di Medan (seharusnya Sampit). Juga berkaitan dengan keturunan W.J.M. Michielsen Jr. Dia menyebutkan beberapa ketidakakuratan.
SEJARAH ORANG CINA DI SAMPIT | 47
masih ada hubungan keluarga dengan Mayor Pontianak yang makamnya terletak di Kelurahan Parit Mayor, Pontianak Timur38. Berdasarkan laporan H.J. Koerts (Controleur Sampit 1931-1934), pelayaran-pelayaran pada Kuala Kuayan tidak dibuka dan juga sangat sulit oleh karena dalam masa kemarau sungai itu di atas Tangar tidak dapat dilayari karena dangkal. Perahu motor dari luitenant Cina, yang melakukan hubungan setiap empat hari sekali dengan Kuala Kuayan tetap dijalankan. Akan tetapi pada masa kemarau sejak dari Tangar pelayaran itu diganti dilakukan dengan perahu yang lebih kecil yang memakai motor tambahan. Hal ini juga berkait dengan adanya gosong-gosong/endapan-endapan pasir39. Di muara Sungai Pembuang dan Katingan terdapat gosonggosong pasir, hanya perahu dengan ke dalaman sangat kecil bisa masuk. Tuan Wetsteyn menceritakan bahwa hal ini juga dialami oleh perahu-perahu barat (misalnya “Sophia”) yang sewaktu-waktu datang ke situ. Bisa dikatakan bahwa pada Sungai Pembuang masih terjadi lalu lintas yang penting yang dilakukan antara Pembuang Hulu dan Kuala Pembuang, ini dilakukan oleh pedagang-pedagang Cina dari Kuala Pembuang yang menggunakan perahu-perahu yang agak besar dilengkapi dengan motor diesel. Selanjutnya di bagian hilir Sungai Katingan banyak perahu-perahu layar yang lebih besar terutama perahu phinisi, yang berlayar ke Banjarmasin dan juga ke Jawa. Di daerah hulu orang menjumpai adanya sepasang pedagang yang menggunakan perahu yang melakukan hubungan dengan Pulau Jawa ialah Dundang ke Tumbang Samba dan Pa dehel ke Kasongan. Kemudian dengan itu diangkut rotan orang juga melihat adanya rakit-rakit rotan di Sungai Katingan yang dibiarkan terapung mengalir; akan tetapi rakit-rakit rotan ini 38 Menurut budayawan Cina, X.F. Asali, Makam yang terletak di Parit Mayor bernama The Wei Fa. Menurut beliau bisa saja The Kim Nio merupakan anak dari The Wei Fa. Karena pada saat itu orang yang bisa berhubungan dengan Belanda tidak banyak, biasanya para birokrat. Oleh karena The Kim Nio anak dari Mayor maka bisa berhubungan dengan Michielsen, controleur Sampit saat itu. 39 H.J. Koerts, Aanvullende memorie van overgave van de onderafdeling Sampit, 1936, MvO, ANRI, hlm. 14. Terima kasih kepada Bapak H. Sudarto yang telah membantu untuk menerjemahkan laporan ini.
48 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
tidak mencapai Mendawai dan paling jauh adalah sampai tengah. Sebab ke arah bawah sungai itu sangat beriam. Di Mendawai rotan itu kemudian dimuat di perahu-perahu phinisi. Pada Sungai Mentaya keadaannya sama dengan Sungai Pembuang. Ialah keberadaan perahu-perahu lebih besar yang dilengkapi dengan motor-motor diesel milik orang-orang Cina yang tinggal di Sampit, perahu-perahu ini melakukan hubungan dengan daerah-daerah pehuluan. Namun, kebanyakan itu berlayar tidak lebih dari Tualan, alasannya adalah bahwa aliran sungai di atas Tuala dan juga Mentaya itu tidak penting40. B. FASE PERKEBUNAN KARET (1890-an) Karet adalah tanaman penting bagi masyarakat Sampit hari ini. Meskipun perkebunan itu mulai digeser oleh perkebunan sawit dan pemukiman serta keperluan pertumbuhan penduduk, namun, ketergantungan ekonomi masyarakat dari karet masih tinggi. Perusahaan karet, PT. Sampit menampung karet warga dari Sampit dan dari wilayah pedalaman atau hulu Sungai Mentaya. Perusahaan karet mempekerjakan banyak orang, mulai dari administrasi, operator, buruh kasar, packing, hingga pengangkutan. Keberadaan perusahaan yang lebih setengah abad, dipegang oleh generasi ke-3, dari kakeknya, dilanjutkan ayahnya, hingga sekarang Melvin yang menangani perusahaan itu, menunjukkan bahwa karet masih merupakan bagian usaha yang dapat diandalkan. Bandingkan dengan perusahaan kayu yang tumbuh di era kemudian (setelah kehadiran Brengsel dan dilanjutkan era orde lama dan baru) hingga tahun 1980-an keadaannya sudah payah. Sekarang sektor perkayuan sudah mati. Masyarakat tidak bisa lagi bergantung pada bidang tersebut. Di luar kota Sampit, misalnya di daerah sekitar Kuala Kuayan, karet menjadi sektor unggulan. Orang-orang kaya sekarang dan 40 H.J. Koerts, Ibid, hal. 16-17.
SEJARAH ORANG CINA DI SAMPIT | 49
dahulu, lahir dari sektor ini. Seorang informan menyebutkan bahwa nama-nama orang kaya seperti H. Tewak, Kongkong, Cang Ie, Kinyong, Mintung, Ce Kongkokok, merupakan contoh. Mereka sangat terkenal dan menjadi ikon. Karet sebenarnya bukan tumbuhan asli Sampit. Seperti di banyak daerah lain di indonesia, karet didatangkan dari luar negeri pada masa kolonial Belanda. Di Sampit, karet dikembangkan oleh perusahaan Belanda. Hal ini dilakukan setelah sebelumnya perusahaan Belanda mengembangkan penyadapan getah perca. (Lihat Lindblad, 2012: 18) . Adalah Hielkis yang menjadi pelopor perkebunan ini di Sampit pada tahun 1920-an. Selain menanam gambir, orang Jerman ini juga menanam karet. Apa yang dilakukan oleh Hielkis ini mendorong semangat orang-orang Sampit untuk mengikutinya. Di kemudian hari sejumlah orang kaya di Sampit memiliki perkebunan karet yang luas. Karet bahkan menjadi tanaman perkebunan utama di Sampit, khususnya di wilayah lahan di selatan dan utara kota hari ini. Sebagian lokasi karet-karet itu menjadi pemukiman warga hari ini. Di areal selatan kota Sampit terdapat perkebunan karet milik keluarga Jungkir, Talmas, Bastian, Arsyad. Kebun milik keluarga Jungkir ini pada tahun 1940-an disebutkan sebagian “diambil” oleh Belanda untuk membangun tapak Brengsel di sekitar pelabuhan sekarang ini. Sementara itu di areal utara, di belakang Kampung Mentaya Seberang, dilaporkan oleh informan terdapat kebun karet luas milik Hok Ciang. Kebun itu merupakan kebun besar di Mentaya Seberang atau wilayah Seranau. Kini, di area itu sudah tidak banyak ada lagi karet. Bekas kejayaan pemilik lahan hanya tiang pagar makam sang pemilik. Selebihnya, lahan yang luas sudah menjadi lahan untuk menanam sayur-sayuran. Sebagian sudah menjadi semak belukar. Menurut seorang informan, pengolahan karet pada tahun 1940, hampir sama dengan penggolahan karet hari ini. Getah karet disadap kemudian dibekukan dalam cetakan. Bentuknya
50 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
cetakannya persegi panjang. Cap huruf S itu menurutnya menunjukkan inisial untuk Sampit. “Setelah karet dicetak kemudian dipres dengan mesin Bres. Karet Sampit pada masa itu ada cap huruf S”. (Kai Ikar, 90), Wawancara 21/3/2016. Setelah getah dipres kemudian disidai dalam rumah asap. Rumah asap pada masa Belanda antara lain milik Pembakal Maslim di dekat pasar daerah Ketapang, dan milik H. Talmas di hulu pasar di daerah Baamang. Orang Cina ketika itu tidak mempunyai rumah asap. Tabel 4. Jumlah Penduduk di Sampit berdasarkan suku bangsa 1900–1930 Tahun
Eropa
Pribumi
Cina
Arab
Timur Asing lainnya
Total
1900
3
3.026
212
9
-
3.250
1905
6
3.301
201
48
-
3.556
1930
19
60.045
863
-
158
61.085
(Sumber: Grongebied en Bevolking 1905, 1908, & Bevolkingssterkte per district 1920 of 1930)
Orang Cina dalam bisnis ini lebih banyak berperan sebagai pembeli dari penampung yang berada di pasar Sampit. Menurut ingatan informan, pada tahun 1938 ada dua pengusaha Cina yang membeli karet warga; Ong Cun Cing dan Cu So Go. Setelah terkumpul banyak kemudian pembeli orang-orang Cina itu kemudian mengangkutnya ke ke Surabaya atau Singapura. Pengiriman karet ke Singapura selalu disertai dengan pengiriman rotan dan getah lain. C. FASE INDUSTRI PERKAYUAN (1940-an) Mengingat posisi orang Cina yang lebih mapan sebagai pedagang perantara di masa kolonial, termasuk status sebagai warga Timur Asing di atas pribumi, keterlibatan mereka dalam
SEJARAH ORANG CINA DI SAMPIT | 51
industri kayu di Sampit tampaknya cukup terbatas. Keterbatasan yang dimaksud antara lain karena pemerintah Belanda pada hingga masa abad 19 masih fokus pada industrialisasi kayu jati di Jawa. Sedangkan di Kalimantan, Belanda masih condong pada hasil perkebunan seperti kopra dan karet. Industri kayu di Kalimantan mulai dilirik oleh Belanda baru sekitar awal abad 20 dengan memberikan konsensi kayu dan penggergajian (saw mill) tahun 1900 di Samarinda, Kalimantan Timur. Keterbatasan lainnya adalah hanya sedikit orang Cina yang mampu menjadi pedagang kayu, mengingat kebutuhan yang besar untuk modal awalnya. Mereka yang terlibat dalam bisnis ini tentunya berasal dari kalangan orang kaya atau pejabat semacam Letnan Cina. Salah satu jenis kayu yang menjadi primadona mereka adalah kayu besi atau ulin. Kwee Chin Tho adalah Letnan Cina di Sampit yang meneruskan jabatan ayahnya, Kwee Sioe Lian yang wafat tahun 1949. Karena mempunyai modal yang cukup, ia bisa menyediakan permintaan akan sirap (atap rumah berbahan kayu ulin) dalam jumlah berapapun dengan membuka cabang di pasar Banjarmasin. Seperti yang tersurat dalam iklan tokonya pada buku telepon “Telefoongids” bulan Januari 1949, di mana stok sirap berasal dari daerah Sampit dan Kuala Pembuang.
Gambar 10. Iklan toko milik letnan Cina Sampit41 41 Sumber: http://www.zwp-lbstudie.nl/ned-indie/ptt/Telf-Gids/Telefoongids-Z&OBor-Bjm1949-KIT.pdf akses tanggal 6 Juni 2016.
52 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Kesiapan usaha penyediaan kayu oleh Letnan Cina Sampit tampaknya terkait dengan beroperasinya perusahaan pengolahan kayu swasta milik Belanda di Sampit pada tahun 1949 yang dikenal sebagai NV. Bruenzyl Dajak Houdbrijven (BDH) atau Brengsel dalam istilah orang Sampit. Berdasarkan sebuah sumber42 menceritakan bahwa orang Cina tidak pernah tersebutkan sebagai salah satu staf di Brengsel. Orang Belanda, mantan prajurit KNIL dan orang Dayak merupakan kelompok yang menduduki posisi strategis di perusahaan. Sedangkan untuk buruhnya banyak mendatangkan orang Madura, Jawa dan Banjar. Namun salah satu informan menyebutkan bahwa ada juga orang Cina yang bekerja di Brengsel sebagai buruh kontrak, tetapi jumlahnya sangat sedikit.43
Gambar 11. Pembangunan Brengsel 194744 42 Herry Yogaswara, Meneruskan Hidup Setelah Kerusuhan: Ingatan Kolektif dan Identitas Etnis Madura Pasca Kekerasan Antar Etnis di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, Disertasi, Jakarta: FISIP UI, 2012. 43 Wawancara dengan Amri, ibunya kerja di kantin Brengsel, 24 Maret 2016 44 Koleksi ANRI.
SEJARAH ORANG CINA DI SAMPIT | 53
Dalam pembagian kerja etnis pada saat Brengsel mulai berjaya, orang Dayak yang berada di kampung pinggir hutan bekerja sebagai penebang pohon, orang Madura sebagai buruh kasar atau pendorong lori. Orang Banjar menguasai perdagangan sembako, walaupun terkadang mereka juga ada yang merangkap distribusinya. Tetapi orang Cina pada umumnya masih menguasai distribusi sembakonya dalam mencukupi kebutuhan masyarakat Sampit.45 Di samping itu, ada juga orang Cina kaya yang mempunyai kapal besi untuk melakukan perdagangan sendiri antara lain Lay Hong Ing (pendiri PT. Sampit) dan (Kwee) Chin An46. Namun keduanya masih dominan bermain di pasar ekspor karet, rotan dan kopra. Tokoh terakhir yang merupakan keluarga Letnan Cina di Sampit, menguasai beberapa tanah lapang yang sering dijadikan sebagai pasar malam. Lokasi tanah lapang ini sering disebut sebagai taman kota yang mana sekarang telah berubah menjadi lokasi sekolah dasar di seberang Kodim. Sedikit berbeda dengan orang Cina di Sampit, komunitas Cina di Samuda pada waktu itu justru berkebun kelapa.47 Orang Cina mulai berbisnis kayu di Sampit justru setelah Brengsel dinasionalisasi pada tahun 1955 dengan berganti nama menjadi PT. Sampit Dayak. Hal ini seiring dengan arah politik Soekarno yang menolak investor asing. Mereka mulai mendirikan perusahaan sendiri dengan berkongsi para pejabat militer atau kroni pemerintah. Beberapa nama yang muncul memang tidak berpusat di Sampit, tetapi pengaruhnya sangat terasa antara lain: Lie Sioe Wing dengan Firma Gani di Tenggarong, Ban Hong di Long Iram dan Tan Tjong Tju di Samarinda, Kaltim. Pada tahun 60an hingga 70an, Sampit menjadi kota pelabuhan yang ramai. Sirkulasi uang yang cukup besar membuat pengusaha Cina mendirikan tempat hiburan berupa bioskop. Setidaknya ada dua bioskop pada awalnya yaitu bioskop “Sentosa” yang kini 45 Yogaswara, ibid, hlm 91 46 Salah satu anak dari letnan Cina di Sampit. 47 Wawancara dengan Koteng, 25 Maret 2016
54 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
berubah menjadi swalayan ‘Kusuka’ di jalan Sutoyo dan bioskop “Shanghai” yang berada di jalan A. Yani.48 D. FASE AKHIR KOLONIAL DI SAMPIT (1942)49 Dengan jatuhnya kota minyak Balikpapan pada tanggal 24 Januari 1942, membuka jalan bagi tentara pendudukan Jepang untuk menuju ke Kalimantan Selatan. Melalui darat tentara Angkatan Darat Jepang dari Balikpapan menuju Tanjung (Hulu Sungai) sehingga pada tanggal 6 Februari 1942 sudah berada di Amuntai, kemudian pada 8 Februari 1942 berada di Kandangan dan tanggal 13 Februari 1942 menduduki Banjarmasin, bersamaan dengan datangnya pasukan yang berangkat dari Balikpapan menggunakan kapal laut. Setelah Jepang dapat menduduki kota Banjarmasin, pasukan Angkatan Darat Jepang meneruskan pendudukannya menuju Sampit, dengan membawa kapal “Hap Gwan” 12 orang serdadu Jepang dipimpin oleh seorang perwira berlayar menuju Sampit. Sebelum datangnya tentara pendudukan Jepang ke Sampit, sekitar akhir bulan Januari 1942, Kontrolir Sampit Schrieder melarikan diri dari Sampit dengan membawa kapal gouvernement “Ms. Hermans” berangkat menuju Surabaya untuk ikut bergabung dengan rombongan orang-orang Belanda yang akan melarikan diri menuju Australia. Setelah ditinggalkan Kontrolir Schrieder, di Sampit dikejutkan kedatangan tiba-tiba, pelarian tentara sekutu (Inggris) dari Kucing, Sarawak diperkirakan sejumlah 200 orang dengan persenjataan lengkap. Pasukan Inggris yang datang ke Sampit dari Kompi pasukan Gurkha dipimpin oleh perwira Inggris 48 Wawancara dengan Aling, 25 Maret 2016 49 Penjelasan pada Fase Kolonial ini berdasarkan buku Konsep Perjuangan Rakyat di Daerah Onderafdeeling Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur) dalam Upaya Menegakan Kemerdekaan Republik Indonesia Periode 1945 s/d 1949 Jilid I yang disusun oleh Sub Team Penyusun Sejarah Kalimantan Tengah halaman 57-58. Terima Kasih kepada Bapak M. Haitami A.M. yang telah mengizinkan tim peneliti untuk memperoleh buku ini.
SEJARAH ORANG CINA DI SAMPIT | 55
Pimpinan pemerintahan Sampit saat itu hanya tinggal orang Indonesia sebagai Districthoofd yaitu Kiai Gusti Iberahim (Ket. J. Baboe). Atas perundingan pimpinan pemerintahan dengan perwira pasukan sekutu, pasukan Inggris semuanya ditempatkan di Muara Sungai Sampit, jaraknya kurang lebih 22 km selatan Sampit dan 18 km dari kampung Samuda dan dekat denga Kuala Sampit. Di muara anak Sungai Sampit, telah tersedia sebuah pesanggrahan dan sebuah pasar yang jika direnovasi secara darurat dapat digunakan sebagai barak di samping perkemahan yang dibawa oleh pasukan. Kesibukan lain yang menjadi beban pemerintah Sampit ialah penyediaan bahan pangan untuk ransum para anggota pasukan sejumlah 200 personil. Kedatangan Jepang membuat orang-orang Cina merasa ketakutan. Karena rasa takut yang berlebihan itu, tidak sedikit yang meminta perlindungan kepada penduduk, menyatakan bersedia masuk agama Islam dan memakai kopiah hitam seperti banyak dipakai penduduk saat itu. Namun rasa ketakutan tersebut sangat berlebihan dan tidak beralasan karena orang-orang Jepang tidak merasa bermusuhan dengan orang-orang Cina perantauan meskipun mereka berperang dengan bangsa Cina kaum Nasionalis. Seiring waktu identitas kopiah hitam berangsur-angsur mulai ditinggalkan dan agama yang dianut tidak dengan dasar keyakinan itu pupus, tidak membekas di hati, akhirnya kembali ke asal keyakinan para leluhur.
56 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Diaspora masyarakat Cina di Sampit dapat dijelaskan dengan beberapa fase kedatangan. Fase-fase tersebut yaitu: 1. Fase kedatangan orang Belanda (1817) dan Cina ke Sampit (1847), 2. Fase perkebunan karet (1890-an), 3. Fase industri kayu (1940-an), dan 4. Fase akhir kolonial di Sampit (1942). Penjelasan fase-fase tersebut berusaha menjawab masalah penelitian yang diangkat dalam penelitian ini yakni sejarah dan peranan orang Cina di Sampit, Kalimantan Tengah, yang tidak banyak diketahui. Padahal mereka sudah berada di Sampit (Kota Waringin) sejak sekurangnya 300 tahun yang lalu, dan kelihatannya mereka cukup signifikan dalam sejarah sosial. Dengan demikian sejarah dan peranan orang Cina di Sampit, Kalimantan Tengah dapat diketahui sehingga menambah khasanah dalam penulisan sejarah lokal di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan pada khususnya. B. SARAN Penulisan sejarah tentang diaspora masyarakat Cina di Sampit, Kalimantan Tengah masih perlu dieksplorasi oleh peneliti-peneliti lainnya. Penelitian sejarah yang bersifat multidimensional bisa menjelaskan diaspora masyarakat Cina di Sampit dengan berbagai 57
58 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
perspektif. Beberapa fakta yang ditemukan oleh tim peneliti dapat diperkaya dengan perspektif Arkeologi, Sosiologi, dan ilmuilmu sosial lainnya, bahkan dapat juga dijelaskan dengan ilmuilmu eksak seperti Teknik Arsitektur. Oleh karena itu, kajian lintas disiplin ilmu perlu dilakukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA Arsip Koerts, H.J. 1936. Aanvellunde memorie van overgave van de Sampit Buku AB, Shamsul. Etnisitas dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN, Beberapa Cabaran. Bahan Kuliah Umum STKIP Sintang, Kalbar, 16 November 2015. Arenawati. 1998. Syair Perang Cina di Monterado. Bangi: Penerbit UKM Press. Azwar, Saifuddin. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bingling,Yuan. 2000. Chinese Democracies, A Study of the Kongsis of West Borneo (1776-1884). Leiden: CNWS Publications. BPS. 2015. Kotawaringin Timur dalam Angka 2015. Sampit: Badan Pusat Statistik Kota Waringin Timur. Garraghan, G.J. 1957. A Guide Historical Method. New York: Fordham University Press Heidhues, Mary Somer, 2008. Penambang Emas, Petani, dan Pedagang di Distrik Tionghoa di Kalimantan Barat. Jakarta: Yayasan Nabil. 59
60 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Irwin, Graham. 1986. Borneo Abad Kesembilan Belas: Kajian Mengenai Persaingan Diplomatik. Terj. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Jackson, James C. 1970. Chinese Kongsi in West Borneo Goldfields: A Study in Cultural Geography. Hull. Jiarong, Chen, Xie Fang, and Liu Junling. 1986. Kota–Kota Terkenal Laut Selatan Zaman Dahulu, Beijing: Zhonghua Book Company. Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Michielsen, Willem Jan Maria. 2015. Een buitenbezittingse radja: Herinneringen van W.J.M. Michielsen 1844-1926, Uitgeverij Verloren. Poerwanto, Hari. 2005. Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok: Komunitas Bambu. Purcell, Victor. 1965. The Chinese in Southeast Asia. Second Edition, London: Oxford University Press. Riwut, Tjilik. 1979. Kalimantan Membangun. Palangka Raya: Tpt. Sasono, Herman Budi. 2012. Manajmen Pelabuhan dan Realisasi Ekspor Impor. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Sjamsuddin, Helius. 2001. Pegustian dan Temenggung, Akar Sosial Politik, Etnis dan Dinasti; Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906. Jakarta: Balai Pustaka. Stibbe, D.G. en Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergen. 1935. Encylopedie van Nederlandsch-Indie, S.Gravenhage, Martinus Nijhoff. Sub Team Penyusun Sejarah Kalimantan Tengah. Konsep Perjuangan Rakyat di Daerah Onderafdeeling Sampit (Kabupaten Kotawaringin Timur) dalam Upaya Menegakkan Kemerdekaan Republik Indonesai Periode 1945 s/d 1949. Yang, Twang Peck. 2005. Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. Yogyakarta: Niagara.
DAFTAR PUSTAKA | 61
Tesis dan Disertasi Alexander, Robert. 2005. Konflik Antar Etnis dan Penanggulangannya, Studi Tinjauan Kriminologi dalam Kasus Kerusuhan Etnis di Sampit, Kalimantan Tengah. Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang. Hastijanti, R.A. Retno, 2005. Proses Pembentukan Ruang Eksklusif Pada Permukiman Masyarakat Plural Studi Kasus: Konflik Etnis di Sampit, Kalimantan Tengah, Disertasi Program Studi Doktor Bidang Keahlian Arsitektur Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Siahaan, Harlem. 1984, Kolonisasi dan Kongsi Cina di Kalimantan Barat: Pembentukan dan Perkembangannya 1772–1854, Tesis Jurusan Sejarah, UGM. Yogaswara, Herry. 2012. Meneruskan Hidup Setelah Kerusuhan. Ingatan Kolektif dan Identitas Madura Pasca Kekerasan Antar Etnis di Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Disertasi, Universitas Indonesia, Depok. Koran Bintang Borneo Edisi Maret 1933-1940. Jurnal Klinken, Gerry van. “Colonizing Borneo: State-building and Ethnicity in Central Kalimantan”, Indonesia, No. 81 (Apr., 2006), pp. 23-49, Southeast Asia Program Publications at Cornell University Pijnappel, J. 1860, Bechrijving van Het Westelijke Gedeelte van de Zuid- en Oosterafdeeling van Borneo (de Afdeeling Sampit en de Zuidkust), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 7de Deel, [Nieuwe Volgreeks, 3e Deel], pp. 243-346, Brill
62 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Internet Masdipura, http://www.kotimkab.go.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=1179&Itemid=501, akses 30 Maret 2016 Noviaji Joko Priono. 2015. http://www.kompasiana.com/kajok/ sampit-kal-teng-tak-seseram-yang-kalian- bayangkan_550 d8933813311562cb1e5abdownload, akses 25/02/2016 Syahril.
2014. Sejarah Sampit, Download 2 Februari 2016
www.syahril.blogspot.com.
http://www.zwp-lbstudie.nl/ned-indie/ptt/Telf-Gids/akses tanggal 6 Juni 2016.
DAFTAR INFORMAN 1. Nama
: Multazam, ST., MT. : Humas Kabupaten Kotawaringin Timur
2. Nama Alamat
: Apul : Ketapang/Mentaya Baru Sampit
3. Nama Alamat
: M. Amberi HI : Baamang Sampit
4. Nama Alamat
: Syaifani Moril : Baamang Sampit
5. Nama Alamat
: XS Suhendar S : Yayasan Budi Suci Sampit
6. Nama Alamat
: H. Asnawi Syar’i : Baamang Sampit
7. Nama Alamat
: Ikar : Baamang Sampit
8. Nama Alamat
: Hartati : Baamang Sampit
Alamat
63
64 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
9. Nama Alamat
: Bahrullah : Ketapang/Mentaya Baru Sampit
10. Nama Alamat
: M. Haitami A.M. : Mentaya Seberang Sampit
11. Nama Alamat
: Yohanto : Ketapang Sampit
12. Nama Alamat
: Ramli : Ketapang Sampit
13. Nama Alamat
: Sriansyah : Kotabesi Kotawaringin Timur
14. Nama Alamat
: Syech H. Dja’far Mahmud : Kotabesi Kotawaringin Timur
15. Nama Alamat
: Iho : Ujung Pandaran Kotawaringin Timur
LAMPIRAN-LAMPIRAN
65
66 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
LAMPIRAN - LAMPIRAN | 67
68 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
LAMPIRAN - LAMPIRAN | 69
70 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
LAMPIRAN - LAMPIRAN | 71
72 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
LAMPIRAN - LAMPIRAN | 73
74 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
LAMPIRAN - LAMPIRAN | 75
76 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
LAMPIRAN - LAMPIRAN | 77
78 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
LAMPIRAN - LAMPIRAN | 79
80 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
LAMPIRAN - LAMPIRAN | 81
82 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO
83
84 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 85
86 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 87
88 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 89
90 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 91
92 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 93
94 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 95
96 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 97
98 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 99
100 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 101
102 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 103
104 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 105
106 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
FOTO-FOTO | 107
)
108 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
BIODATA TIM PENELITI
Y
usri Darmadi Lahir di Dumai (Riau), 30 Juli 1981. Menamatkan pendidikan S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta jurusan Ilmu Sejarah. Saat ini bekerja sebagai peneliti budaya di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kalimantan Barat. Karya Ilmiah penulis dalam bentuk penelitian atau makalah dan buku di antaranya: Terorrism in Southeast Asia: Unique Characteristics and Appropriate Solutions (Bersama tim) (HPAIR Seoul paper, 2003), Menjelajah Tafsir Sejarah (Majalah Tempo, 30 Maret 2008), Kuntowidjojo: Sebuah Biografi (1943-2005) (Skripsi, 2009), Sejarah Pelabuhan Silo di Teluk Bayur Berau (1912-1957) (Bersama Tim) (Penelitan, Penerbit Kepel Press, 2015), 110 Tahun Dokter Mas Soedarso, Pontianak Post, 30 November 2016. Penulis dapat dihubungi di alamat email:
[email protected]
Y
usriadi Dosen IAIN Pontianak sejak tahun 2000. Konsentrasi dalam bidang etnolinguistik. Mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia, Karya Tulis Ilmiah, Opini, Isu Budaya dan Kearifan Lokal. Menulis beberapa buku tentang budaya, khususnya terkait etnisitas dan bahasa; antara lain,
109
110 | Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942
Orang Embau (Bersama Hermansyah), terbitan STAIN Pontianak Press (2003), Dialek Melayu Ulu Kapuas terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur (2007), Memahami Kesukubangsaan di Kalimantan Barat, (STAIN, Pontianak Press, 2008). Bugis di Tanah Leluhur (Bersama Tim) terbitan STAIN Pontianak Press, 2010, Sejarah dan Perkembangan Masyarakat dan Budaya Melayu di Kalimantan (Bersama Tim) terbitan Direktorat Nilai Sejarah Kemdikbud RI, 2011, Pengetahuan Lokal Orang Dayak (Bersama Tim), terbitan STAIN Pontianak Press, 2012, Orang Tionghoa di Kalimantan Barat (Bersama Tim) terbitan STAIN Pontianak Press, 2010, Identitas Budaya Orang Bakumpai di Kalimantan Tengah (2013). Penulis dapat dihubungi di alamat email: yusriadii@yahoo. com
R
ezza Maulana Penulis menyelesaikan studi S1 di program studi sosiologi agama (UIN Sunan Kalijaga) dan S2 di Jurusan Antropologi Budaya (UGM). Selain melakukan penelitian independen untuk beberapa institusi pemerintah dan NGO, penulis juga menerbitkan buku dan publikasi ilmiah di pelbagai jurnal akademik. Beberapa tema riset yang digeluti antara lain: pemberdayaan masyarakat, gender, kelompok minoritas, etnisitas, budaya lokal dan media. Saat ini menjadi staff peneliti di Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (Label) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penulis dapat dihubungi di alamat email:
[email protected]