DIAGNOSIS LABORATORIUM BEBERAPA PENYAKIT PARASITER
Nama NIM Kelompok Rombongan Asisten
: Ganesha R.R. : B1J010149 : III :1 : Maulida Nur Rahmawati
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BOLOGI PURWOKERTO 2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia yang terletak pada geografis yang memiliki temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan parasit terutama cacing terdukung. Cacing parasit yang menginfeksi sangatlah menggangu dalam hal kesehatan. Mengakibatkan tingginya prevelansi infeksi cacing penduduk Indonesia. Pengalaman dalam membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur,
dan
larva
memerlukan
pengetahuan
dan
keterampilan
dalam
mengidentifikasinya. Identifikasi parasit juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis (Kadarsan, 1983). Pemeriksaan telur cacing parasit sangat penting bagi dunia kesehatan. Proses pemeriksaan ini harus didukung dengan teori-teori yang berhubungan dengan siklus hidup parasit itu sendiri. Teknik pemeriksaan telur cacing secara kualitatif antara lain metode natif (direct slide), metode apung (flotation method), dan metode Harada Mori. Teknik ini digunakan untuk mengetahui jenis parasit dan ada tidaknya telur cacing maupun larva yang infektif di dalam usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada didalam usus untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya (Gandahusada dkk, 2000). Proses pemeriksaan untuk mendeteksi infeksi ringan dari cacing tambang, dan untuk membantu dalam identifikasi yang spesifik, teknik kultur saringan kertas harada mori sangat bermanfaat. Teknik ini membutuhkan kertas saring yang di oleskan feses dan tabung reaksi. kelembapan disediakan dengan menambahkan air kedalam tabung, yang secara berkelanjutan menyerap air. Inkubasi dibawah suhu yang cocok akan menetaskan telur dan berkembang menjadi larva.spesimen feses yang dikulturkan tudak boleh di masukan ke kulkas,
sejak beberapa parasit (Necator americanus) diketahui tidak bisa berkembang dalam tidak menetas (Garcia, 1999).
B. Tujuan 1. Mendiagnosa adanya infeksi cacing parasit pada orang yang diperiksa fecesnya. 2. Mengetahui tingkat infeksi cacing yang diderita orang yang diperiksa fecesnya. 3. Mengetahui teknik pemeriksaan telur pada tinja anak-anak. 4. Mengetahui bentuk-bentuk dari cacing parasit, bentuk telur maupun larva agar kita mudah untuk mengenali dan melakukan tindakan efektif baik untuk pencegahan maupun pengobatan terhadap infeksi caing parasit kepada pasien yang diperiksa.
II. MATERI DAN CARA KERJA
A. Materi 1. Metode Natif
2. Metode Apung
Alat
Alat
1. Gelas obyek
1. Obyek glass
Bahan
Bahan
1. Tinja anak kecil
1. Tinja
2. Eosin 2%
2. Larutan NaCl jenuh (33%) 3. Aquades 3. Metode Harada Mori
Alat
1. Kertas saring 2. Lidi bambu 3. Plastik es 4. Jepitan jemuran
Bahan
1. Tinja 2. Aquades
B. Cara Kerja 1)
Metode Natif (Direct Slide) Dengan lidi, diambil sedikit tinja dan ditaruh pada object glass yang bersih.
2)
Ulasan diteteskan 1-2 tetes NaCl fisiologis atau eosin 2%.
3)
Dengan lidi tadi, kita ratakan /larutkan, kemudian di tutup dengan gelas beda/cover glass.
4)
Diamati dibawah mikroskop.
1)
Metode Apung (Flotation method) Tinja di campur dengan NaCl jenuh (33%), kemudian di aduk sehingga larut. Bila terdapat serat-serat selulosa di saring menggunakan penyaring teh.
2)
Di tuangkan ke dalam tabung reaksi sampai penuh cenderung cembung dengan permukaan tabung, didiamkan selama 5-15 menit dan di tutup/di letakkan gelas obyek dan segera angkat. Selanjutnya di letakkan di atas gelas preparat dengan cairan berada di antara gelas preparat dan gelas penutup, kemudian di periksa dibawah mikroskop.
Metode Harada Mori
1)
Plastik diisi akuades steril secukupnya.
2)
Tinja dioleskan pada kertas saring dengan lidi bambu sampai merata dibagian tengahnya.
3)
Kertas saring tersebut dimasukkan kedalam plastik tersebut di atas dengan ujung kertas menyentuh permukaan akuades dan feses jangan sampai tercelup akuades.
4)
Plastik kemudian dijepit dan disimpan pada suhu kamar selama 7 hari.
5)
Setelah 7 hari, kertas saring beserta feses diambil dan dibuang, kemudian diambil sedikit airnya untuk diamati di bawah mikroskop.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Metode Nativ Apung Harada Mori
Ayam -
Bebek -
Jenis Sampel Sapi + -
Kambing + + +
Manusia -
Ket: + = Terdapat cacing parasit, - = Tidak terdapat cacing parasit.
Sampel Ayam Bebek Sapi
Kambing Manusia Ket
Hasil Pemeriksaan Metode Nativ Apung Oesophagustomum sp Strongyloides stercoralis, Moniezia sp Haemonchus contortus -
Harada Mori -
+ -
: + = Terdapat cacing parasit (Spesies tidak diketahui), - = Tidak terdapat cacing parasit.
B. Pembahasan Pemeriksaan feces pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan secara kualitatif dan pemeriksaan secara kuantitatif. Pemeriksaan feces secara kuantitatif yaitu pemeriksaan feces yang didasarkan pada penemuan telur pada tiap gram feces. Pemeriksaan feces secara kualitatif, yaitu pemeriksaan yang didasarkan pada ditemukkan telur pada masing-masing metode pemeriksaan tanpa dihitung jumlahnya (Gandahusada,2000). Metode kualitatif memiliki beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu dengan metode apung, metode natif, metode Baermann dan metode Harada Mori (Georgi, 1980). Sedangkan yang termasuk metode kuantitatif adalah metode Kato, namun metode Kato dan metode Baermann tidak dilakukan pada saat praktikum. Metode kualitatif adalah
pemeriksaan hanya untuk menentukan ada atau tidaknya cacing parasit pada hewan atau manusia dengan melalui pemeriksaan faeses. Sedangkan pemeriksaan secara kuantitatif lebih dimaksudkan untuk menentukan jumlah parasit yang ada dalam tubuh hospes (Hall,1977). Teknik Natif adalah teknik untuk mengetahui adanya infeksi cacing usus didalam tubuh. Teknik ini cukup efektif untuk menemukan telur cacing parasit usus pada infeksi berat karena, pada infeksi ringan jarang ditemukan. Metode ini Metode ini didasarkan pada penggunaan larutan NaCl fisiologis (0.9%) atau eosin 2% yang dipakai untuk mewarnai preparat sehingga dapat dibedakan antara telur dan kotoran disekitarnya. Kelebihan metode ini adalah waktu pemeriksaan yang cepat dan baik untuk infeksi cacing yang cukup parah, sedangkan kekurangannya adalah cukup sulit untuk menemukan cacing apabila infeksi yang ditimbulkannya hanya infeksi ringan. Teknik Apung adalah salah satu metode untuk
mengetahui infeksi
cacing parasite usus yang bersifat ringan. Metode ini didasarkan pada teori adanya berat jenis telur yang lebih ringan dari pada berat jenis larutan yang terbuat dari 200 ml NaCl jenuh atau larutan gula jenuh sehingga, telur cacing terapung dipermukaan larutan. Kelebihan teknik ini diantaranya adalah Telur yang ditemukan lebih jelas terlihat karena dengan metode ini infeksi ringan dapat terdeteksi, namun teknik ini memiliki kelemahan yaitu teknik ini dapat mengalami kesalahan apabila terkena guncangan atau pemberian NaCl yang terlalu banyak. Teknik Harada-Mori merupakan teknik untuk mencari larva cacing parasit pada usus. Proses identifikasi dari cacing tambang dapat dilakukan dengan metode Harada mori. Bala (2010) menggunakan metode Harada mori dalam jurnalnya untuk mengkultur telur cacing tambang. Telur cacing tambang seberat kurang lebih 4 g dari feses segar, di kultur dengan coproculture selama 7-10 hari pada suhu 24-28 0 C, dengan "Harada and Mori Test Tube method". Kultur larva dapat terpisah dengan kotoran dengan bantuan sentrifugasi dan diwarnai dengan lugols iodin untuk identifikasi selanjutnya. Teknik harada mori merupakan teknik pemeriksaan kualitatif yang sederhana dan murah. Keuntungan dari teknik ini adalah tidak hanya stadium telur saja yang ditemukan dengan teknik ini namun, diharapkan juga ditemukan stadium larva cacing yang
tumbuh dari proses ini. Waktu inkubasi yang lama menyebabkan metode ini kurang efektif apabila data yang dibutuhkan cepat, sehingga bila data kualitatif dibutuhkan cepat lebih baik menggunakan metode natif (Bala 2010). Hasil yang didapatkan dalam teknik ini dari semua feses hanya satu feses yang teridentifikasi terdapat cacing A. duodenale. Feses ayam yang kemungkinan didapatkan larva cestoda seperti Railletina sp. maupun cacing nematoda. Feses manusia yang kemungkinan didapatkan larva nematoda seperti Ascaria, teknik ini umum digunakan untuk mencari larva dari cacing-cacing tambang seperti Necator Americanus dan Ancylostoma duodenale (Muslim, 2005). larva dapat digunakan untuk membedakan antara N. americanus dan A. duodenale dengan melihat larva filariform pada apusan feses pada kertas saring setelah inkubasi (Gantz et al, 2006) selama 5-7 hari. Menurut Sehgal (2002), kelebihan dari teknik ini antara lain, 1. Dapat mendeteksi infeksi ringan dari Strongyloides, cacing tambang atau Trichostrongylus 2. Larva setelah kultur dapat dengan mudah di identifikasi kekurangan dari teknik ini antara lain, 1. Kedua larva patogen dan larva yang hidup bebas dapat hidup dalam sistem dan sulit untuk dibedakan 2. spesimen yang telah dimasukan kulkas tidak dapat digunakan untuk kultur, spesies larva akan hancur bila dimasukan kulkas. 3. Kehati-hatian mutlak dibutuhkan karena larva dapat menginfeksi. Beberapa dari telur cacing berat dan tidak akan mengapung, walaupun ketika zinc sulfate dengan gtavitasi spesifik 1.2 digunakan. jenis telur cacing, operculate ketika telur ditempatkan pada larutan gravitas tinggi. operculumnya akan "pop" dan terbuka dan telur akan terpernuhi oleh cairan dan tenggelam ke dasar tabung (Garcia, 1999). Penyebab lain yang membuat semua hasil teknik ini negatif kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal berikut ini, 1. Larutan dalam tabung diambil bukan tempat dimana telur terakumulasi 2. Tidak dilakukan sentrifugasi 3. Kemungkinan banyak telur yang tertinggal di plastik. 4. Organisme yang di periksa tidak terinfeksi cacing parasit
5. Feses yang dioleskan pada kertas saring bukan yang mengandung telur parasit 6. Lingkungan kurang sesuai seperti suhu kelembapan dan makanan. 7. Waktu inkubasi tidak sesuai dengan waktu pada siklus hidup cacing Muslim (2005), mengatakan untuk mendiagnosis infeksi dari cacing N americanus dan A. duonenale adalah dengan menemukan telur dalam feses dan menemukan larva dengan pembiakan Harada-Mori. infeksi kedua cacing ini menyebar secara kosmoplit, terutama di area tropis dan sub tropis. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitatnya (larva rabditiform dan filariform), yaitu daerah dengan suhu dan kelembapan tinggi (perkebunan dan pertambangan). Insidennya cukup tinggi di Indonesia dan banyak ditemukan di pedesaan( pekerja perkebunan dan pertambnagan yang kontak langsung dengan tanah). Penyebaran infeksi berkolerasi dengan kebiasaan defekasi di tanah. Habitat yang cocok untuk pertumbuhan larva ialah kondoso tanah yang gembur (humus dan pasir). Menurut Muslim (2005), suhu optimum untuk perkembangan larva N. Americanus berkisar 29-320C, sedangkan untuk A. duodenale berkisar 23-250C. Hal ini sesuai praktikum ini feses diinkubasikan dengan suhu kamar, sehingga dimungkinkan untuk larva-larva cacing ini dapat hidup. Infeksi cacing tambang dilakukan dengan menghindari defekasi di sembarang tempat.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Kesimpulan yang bisa diambil dalam praktikum Harada-Mori ini antara lain, 1. Metode Harada-Mori dapat memperlihatkan infeksi cacing yang menyerang organisme dengan melihat dari Larva yang menetas dari telur dalam feses. 2. Hasil dari feses kambing menghasilkan cacing A. duodenale, sedangkan yang lain tidak terdapat cacing. Hal ini mungkin disebabkan karena telur cacing tidak bisa menetas atau karena organisme tidak terserang parasit.
DAFTAR REFERENSI Bala, A.Y. 2010. “Relative Prevalnece Of The Human Hookworm Species, Necator Americanus And Ancylostoma Duodenale In Jos-North Local Government Area Of Plateau State”. Nigeria. Research Journal of Parasitology 5 (1): 18-22 2010. Gantz, Nelson M Richard B. Brown, Steven L. Brk, James W. Myers.2006. Manual of Clinical Problems in Infectious disease. Lippncott williams and wilkins. USA Garcia,lynne shore. 1999. Practical guide to diagnostic parasitology. Library of Congress Cataloging-in-publication Data. USA Muslim, M. 2005. Parasitologi Untuk Keperawatan, Buku kedokteran EGC, Jakarta Sehgal, Rakhes.2002. Practicals and Viva in Medical Parasitology. Elseiver. India