PENDAHULUAN Latar Belakang Protein merupakan komponen yang berperan penting dalam pertumbuhan suatu makhluk hidup. Protein yang terkandung dalam bahan pangan akan mengalami pencernaan setelah dikonsumsi menjadi unit-unit penyusunnya seperti asam-asam amino dan peptida (Saputra 2014). Protein memiliki banyak fungsi, diantaranya sebagai katalisator, sebagai pengangkut dan penyimpan molekul lain, mendukung kekebalan tubuh secara mekanis, sebagai transmitor gerakan syaraf serta mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan (Katili 2009). Nilai gizi protein merupakan kemampuan suatu protein untuk dapat digunakan oleh tubuh sesuai dengan fungsinya. Dua faktor yang berpengaruh terhadap nilai gizi protein bahan pangan, yaitu kandungan asam amino esensial dan daya cerna proteinnya. Protein bernilai gizi tinggi apabila mudah dicerna oleh enzim-enzim pencernaan, serta mengandung asam-asam amino essensial yang lengkap serta dalam jumlah yang seimbang. Daya cerna protein adalah kemampuan protein untuk dapat dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan. Dimana, jika daya cerna protein tinggi, maka protein dapat dihidrolisis dengan baik menjadi asam-asam amino sehingga jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi. Sedangkan, jika daya cerna protein sulit untuk dihidrolisis menjadi asam amino maka jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses (Saputra 2014). Penentuan daya cerna protein dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro. Metode in vivo seringkali dianggap mahal dan terlalu lama. Daya cerna protein yang ditetapkan secara in vivo dinyatakan sebagai perbandingan antara jumlah nitrogen yang diserap dengan jumlah nitrogen yang dikonsumsi tanpa memperhatikan nitrogen yang terdapat dalam urin. Perhitungan daya cerna hanya memperhatikan nitrogen yang terdapat dalam feses dan dianggap mencerminkan jumlah protein yang dapat dicerna oleh tubuh. Metode in vitro lebih praktis dengan cara menggunakan enzim-enzim percernaan dan membuat kondisi yang mirip dengan yang sesungguhnya terjadi dalam percernaan tubuh manusia. Daya cerna protein secara in vitro dapat diamati dari terbentuknya asam amino pada proses hidrolisis protein oleh enzim-enzim protease (Saputra 2014).
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk menjelaskan prinsip dan mempraktekan analisis daya cerna protein secara in vitro dengan teknik enzimatis terhadap sampel tepung tempe dan tepung kedelai. Metode Metode yang digunakan dalam dalam penentuan daya cerna protein ini adalah metode in vitro. Metode ini dilakukan dengan cara membandingkan daya cerna protein tepung tempe dan tepung kedelai yang kemudian dibandingkan secara relatif terhadap daya cerna kasein sebagai kontrol. Protein sampel akan dihidrolisis oleh enzim-enzim protease pencernaan (tripsin, kimotripsin, peptidase) menjadi asam amino penyusunnya. Semakin tinggi daya cerna suatu protein ditunjukkan oleh semakin banyaknya asam amino yang dihasilkan dalam waktu tertentu. Banyaknya asam amino yang dihasilkan dapat diukur dengan cara mereaksikannya dengan pereaksi Folin yang menghasilkan warna biru, sehingga intensitas warnanya dapat diukur menggunakan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 595 nm.
a.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam percobaan analisis daya cerna protein ini adalah tepung tempe, tepung kedelai, akuades pH 8.0, NaOH 1 N, enzim alfa amilase, larutan buffer fosfat pH 7, dan pereaksi folin 50% ( 30 ml folin dan 60 ml akuades). Alat yang digunakan pada proses analisis adalah Spektrofotometer UV-Vis, pH meter, neraca analitik, waterbath, tabung reaksi, gelas ukur, labu takar 100 ml, sudip dan pipet tetes.
HASIL DAN DATA Tabel 1 Data hasil daya cerna protein sampel tepung tempe dan tepung kedelai Sampel
Tepung tempe
Tepung kedelai
pH awal
pH akhir
Δ p H
Absorbansi sampel Ul 1
Ul 2
Δ Absorba Absorbansi blanko nsi sampel
Ul 1
Ul 2
Rata-rata Δ Absorba nsi
1
7,81
7,42
0,39
0,610
0,690
0,507
0,103
0,183
0,143
2
7,90
7,39
0,51
0,787
0,815
0,595
0,192
0,220
0,206
3
7,87
7,46
0,41
0,642
0,678
0,505
0,137
0,173
0,155
1
7,92
7,50
0,42
0,660
0,598
0,488
0,172
0,110
0,141
2
7,84
7,58
0,26
0,605
0,578
0,478
0,127
0,100
0,114
3
7,82
7,59
0,23
0,588
0,575
0,452
0,136
0,123
0,130
Contoh Perhitungan: Sampel tepung tempe (1): Δ pH = pH awal - pH akhir = 7,81 - 7,42 = 0,39 Δ Absorbansi = Absorbansi sampel - Absorbansi blanko = 0,610 - 0,507 = 0,103 (ulangan 1) Δ Absorbansi = Absorbansi sampel - Absorbansi blanko = 0,690 - 0,507 = 0,183 (ulangan 2) Rata-rata Δ Absorbansi = ( Δ Absorbansi Ulangan 1 + = (0,103 + 0,183)/2 = 0,143
PEMBAHASAN
Δ Absorbansi Ulangan 2)/2
Penentuan daya cerna protein dapat dilakukan secara in vitro dan in vivo. Metode in vivo tergolong metode analisis yang membutuhkan biaya cukup mahal dan terlalu lama. Metode in vitro merupakan metode yang lebih praktis dengan cara menggunakan enzim-enzim pencernaan dan membuat kondisi yang mirip dengan yang sesungguhnya terjadi dalam tubuh manusia. Hidrolisis ikatan peptida oleh enzim protease akan membebaskan ion-ion hidrogen sehingga menyebabkan penurunan pH (Saputra 2014). Metode in vitro meliputi evaluasi secara kimia, enzimatis, dan mikrobiologis pada produk pangan. Metode in vitro dilakukan dengan mengevaluasi komposisi asam amino (metode skor kimia), ketersediaan asam amino (metode lisin tersedia), daya cerna protein (metode enzimatis), dan PER hitung yang dihitung berdasarkan nilai cerna dan komposisi asam amino (Muchtadi 2010). Penentuan daya cerna protein secara in vitro dapat dilakukan berdasakan prinsip absorbansi dengan penggunaan indikator berupa pereaksi Bradford yang memberikan warna pada asam amino dan peptida hasil hidrolisis oleh enzim. Perbedaan intensitas warna larutan dapat menunjukkan perbedaan kandungan asam amino dan peptida (protein) pada sampel. Dalam prinsip ini absorbansi berbanding lurus dengan jumlah asam amino dan peptida dalam larutan. Pembuatan blanko untuk masing-masing sampel bertujuan untuk mengukur asam amino awal (bukan hasil hidrolisis enzimatis) atau sebagai faktor koreksi karena dikhawatirkan jika dalam sampel sudah terdapat asam amino bebas sebelum diberi enzim. Berdasarkan Tabel 1, rata-rata dari selisih absorbansi sampel dan blanko menunjukkan daya cerna protein tepung kedelai dan tepung tempe. Penentuan daya cerna protein untuk masing-masing sampel dilakukan oleh tiga kelompok, dimana pengukuran absorbansi sampel dengan dua kali ulangan dan pengukuran absorbansi blanko dengan satu kali ulangan. Untuk sampel tepung tempe, nilai daya cerna protein secara berturut-turut adalah 0,143; 0,206; 0,155. Sedangkan untuk sampel tepung kedelai, daya cerna proteinnya secara berturut-turut adalah 0,141; 0,114; 0,130. Berdasarkan data tersebut, dapat dinyatakan bahwa daya cerna protein tepung tempe lebih tinggi dari daya cerna tepung kedelai. Selain itu, dapat dilihat ada data yang menyimpang pada pengukuran daya cerna protein tepung tempe yang kedua, yaitu 0,206. Absorbansi dikatakan
menyimpang karena nilainya jauh berbeda dari kedua nilai rata-rata
absorbansi lainnya. Hal itu dapat disebabkan karena reaksi pemecahan protein oleh enzim alfa amilase berlangsung lebih lama dari perlakuan sampel lainnya pada saat proses inkubasi. Waktu yang digunakan untuk inkubasi adalah 10 menit dan harus segera diberikan TCA untuk
menghentikan reaksi enzimatis. Waktu yang lebih lama berakibat pada lebih banyaknya asam amino yang terbentuk dan akan meningkatkan absorbansi yang terbaca. Data yang menyimpang juga dapat disebabkan oleh keakuratan praktikan untuk menimbang sampel dengan tepat sebesar 1.5 g tepung tempe. Selain itu, pengambilan supernatan harus dilakukan dengan tepat supaya tidak terkontaminasi dengan endapan yang berisi protein yang belum terhidrolisis karena hal ini akan memengaruhi gelombamg serapan menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya terukur. Menurut Bastian et al. (2013), komposisi protein tempe tidak banyak berubah dibandingkan kedelai, namun karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe maka tepung tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat pada tepung kedelai. Proses fermentasi yang terjadi pada tempe berfungsi untuk mengubah senyawa makromolekul kompleks yang terdapat pada kedelai (protein) menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti peptida dan asam amino. Literatur tersebut sesuai dengan data daya cerna protein ini, dimana daya cerna protein tepung tempe lebih tinggi dari tepung kedelai. Diketahui beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein yaitu faktor eksogenus dan endogenus. Faktor eksogenus yaitu interaksi protein dengan polifenol, fitat, karbohidrat, lemak dan protease inhibitor. Sedangkan faktor endogenus terkait dengan karakterisasi struktur protein seperti struktur tersier, kuartener, serta struktur yang dapat rusak oleh panas dan perlakuan reduksi (Saputra 2014). Fennema (1996) juga mengungkapkan bahwa daya cerna protein dipengaruhi oleh konformasi protein, ikatan antar protein dengan metal, lipid, asam nukleat,selulosa atau polisakarida lainnya, faktor anti nutrisi, ukuran dan luas permukaan partikel protein dan pengaruh proses panas atau perlakuan dengan alkali. Konformasi protein dapat berhubungan dengan proses pengolahan produk. Pemanasan merupakan suatu proses termal yang dapat mengubah konformasi protein karena dapat mendenaturasi protein senyawa anti-nutrisi (Fennema 1996). Keterbatasan metode in vitro untuk menganalisis daya cerna protein adalah metode harus dilakukan semirip mungkin dengan keadaan organ tubuh pada saat mencerna protein. Masih ada faktor-faktor lain dalam organ tubuh yang tidak dapat ditiru dengan metode in vitro. Selain itu, biaya analisis daya cerna protein in vitro tinggi karena harga enzim yang digunakan mahal. PENUTUP
Simpulan Berdasarkan percobaan yang dilakukan terhadap sampel tepung kedelai dan tepung tempe, dapat diketahui bahwa sampel tepung tempe memiliki daya cerna protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel tepung kedelai. Semakin besar rata-rata penurunan pH sampel memperlihatkan bahwa sampel tersebut memiliki daya cerna protein yang tinggi, karena penurunan pH yang cepat menunjukkan bahwa protein lebih cepat melepaskan ion-ion hidrogen sehingga lebih banyak protein yang mudah dicerna oleh tubuh. Saran Pastikan spektrofotometer ditera dengan benar sesuai sampel yang akan digunakan. Spektrofotometer lebih baik ditera setiap pergantian kelompok yang akan menganalisis sampel. Ketelitian pada praktikum ini sangat diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan data. Volume pereaksi dan waktu penambahan maupun pendiaman larutan harus tepat. DAFTAR PUSTAKA Bastian F, Ishak E, Tawali AB, Bilang M. 2013. Daya terima dan kandungan zat gizi formula tepung tempe dengan penambahan semi refined carrageenan dan bubuk kakao. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2(1): 5-8. Fennema ON. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc, New York. Katili AS. 2009. Struktur dan fungsi protein kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu. 2(5): 19-29. Muchtadi D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung (ID): CV Alfabeta. Saputra D. 2014. Penentuan daya cerna protein in vitro ikan bawal (Colossoma macropomum) pada umur panen berbeda. ComTech. 5(2): 1127-1133.