Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Dalam sistem biologik pelarutan obat dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorpsi sistemik obat (Shargel, 1988). Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi dan deagregasi sediaan, merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari sediaan (Syukri,2002) Disolusi mengacu pada proses ketika fase padat (misalnya tablet atau serbuk) masuk ke dalam fase larutan, seperti air. Intinya ketika obat melarut partikel-partikel padat memisah dan molekul demi molekul bercampur dengan cairan dan tampak menjadi bagian dari cairan tersebut. Oleh karena itu disolusi obat adalah proses ketika molekul obat dibebaskan dari fase padat dan masuk ke dalam fase larutan (Sinko, 1993) 1993) Uji disolusi dan penetapan kadar zat khasiat merupakan faktor penting dalam pengendalian mutu obat. Pengujian ini dipersyaratkan pada produk farmasi yang berbentuk tablet. Uji disolusi ini pada industri farmasi merupakan informasi berharga untuk keseragaman kadar zat khasiat dalam satu produksi obat (batch), perkiraan bioavailabilitas dari zat khasiat obat dalam suatu formulasi, variabel kontrol proses dan untuk melihat pengaruh perubahan formulasi (Raini, 2010). Uji disolusi merupakan hal yang harus dilakukan untuk merancang suatu sediaan tablet agar laju pelepasan obat dari tablet tersebut dapat diketahui. Obat yang memiliki disolusi yang baik akan memberikan bioavailabilitas yang baik pula sehingga semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Laju disolusi dapat berhubungan langsung dengan kemanjuran suatu obat dan merupakan suatu karakteristik mutu yang penting dalam menilai mutu obat yang digunakan peroral untuk mendapatkan efek sistemik. Selain itu uji disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu obat (Gunawi, 2011). Ketika suatu tablet atau sediaan padat masuk ke dalam saluran cerna, obat tersebut mulai bergerak dari padatan utuh ke dalam larutan. Kecuali tablet tersebut merupakan bahan
polimerik yang bergandengan, matriks padat uga berdisintegrasi menjadi granul-granul. Granul-granul yang dihasilkan selanjutnya berdeagregasi menjadi partikel-partikel halus. Disentegrasi, deagregasi dan disolusi dapat dapat terjadi bersamaa dengan pelepasan obat dari bentuk penghantarannya.
Keefektifan suatu tablet melepaskan kandungan obatnya untuk
absorpsi sistemik sedikit banyak bergantung pada kecepatan disintegrasi bentuk sediaan dan deagregasi granul. Namun biasanya yang lebih berpengaruh adalah kecepatan disolusi sediaan padat tersebut. Disolusi sering kali merupakan tahap penentu atau pengendali kecepatan pada absorpsi obat berkelarutan rendah karena disolusi kerap kali menjadi tahap paling lambat diantara berbagai tahap yang terlibat dalam pelepasan obat dari bentuk sediaan dan pergerakan ke dalam sirkulasi sistemik. Kecepatan suatu padatan melarut dalam suatu pelarut dinyatakan secara kuantitatif oleh Noyes dan Whitney, kemudian diuraikan dengan persamaan : M adalah massa zat terlarut yang terlarut selama waktu t; dM/dt adalah kecepatan disolusi massa (massa/waktu); D adalah koefisien difusi zat terlarut dalam larutan; S adalah luas permukaan padatan; h adalah tebal lapisan difusi; Cs adalah kelarutan padatan (yakni konsentrasi ssenyawa dalam larutan jenuh pada permukaan padatan dan pada temperatur percobaan); dan C adalah konsentrasi zat terlarut dalam larutan bulk pada waktu t. Kuantitas dC/dt adalah kecepatan disolusi dan V adalah volume larutan. Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan
dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi
terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian oral, karena batasan waktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus. (Sinko, 1993) Suatu produk obat padat mengalami absorbsi sistemik melalui suatu rangkaian proses yang meliputi disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat, disolusi obat dalam media disolusi dan absorbsi melewat membran sel menuju sirkulasi sistemik. Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami proses absorbsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian,
dengan atau tanpa biotranformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Kecepatan obat mencapai sirkulasi sistemik ditentukan tahapan yang paling lambat dalam proses kinetika di atas, yang disebut rate limiting step atau tahap penentu. Laju disolusi bahan obat yang kelarutannya rendah dalam air merupakan tahap paling lambat (Nyoman, 2009). Laju disolusi obat secara dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: 1. Sifat fisika kimia obat Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dari pada bentuk kristal. 2. Faktor formulasi Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi. Laju disolusi obat secara dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: 1. Sifat fisika kimia obat Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju
disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi dari pada bentuk kristal. 2. Faktor formulasi Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi. Terdapat 7 metode yang digunakan untuk uji disolusi yaitu : 1. Apparatus 1 Metode Rotating Basket terdiri atas keranjang silindrik yang di tahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 370 C. Kecepatan beputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi. 2. Apparatus 2 Metode paddle atau alat 2 terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikel ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil tuberlensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang konstan, seperti
pada metode rotating basket dipertahankan pada suhu 370 C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. 3. Apparatus 3 Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP “basket and rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk pelarutan maka cakram dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat. (Shargel, 1988) 4. Apparatus 4 Aliran melalui sel terdiri dari reservoir untuk medium disolusi dan pompa yang memaksa medium disolusi melalui sel tahanan sampel uji. Laju alir berkisar 4-16 mL/menit. Enam sampel diuji selama pengujian disolusi, dan menengah dipertahankan pada 37°C. Aparatus 4 dapat digunakan untuk bentuk sediaan modified-release yang mengandung bahan aktif yang memiliki kelarutan sangat terbatas. 5. Apparatus 5 Aparatatus 5 terdiri dari pemegang sampel atau perakitan disk yang memegang produk.Seluruh persiapan ditempatkan dalam labu disolusi yang diisi media tertentu dipertahankan pada 32°C. Dayung ditempatkan langsung di atas perakitan disk. Sampel diambil di tengah antara permukaan media disolusi dan bagian atas pisau dayung pada waktu yang ditentukan. Mirip dengan pembubaran pengujian dengan kapsul dan tablet, unit enam diuji selama masing-masing berjalan. Kriteria penerimaan dapat dinyatakan dalam monografi obat individu. (Shargel, 2004) 6. Apparatus 6 Metode silinder (Apparatus 6) dengan menggunakan labu dari alat 1,kecuali keranjang dan tangkai pemutar diganti dengan elemen pemutar silinder yang terbuat dari baja tahan karat dan suhu dipertahankan pada 320 selama penetapan berlangsung. Sediaan uji ditempatkan pada silinder pada permulaan tiap penetapan. Jarak antara bagian dasar labu dan silinder dipertahankan 25 mm ± 2 mm selama peenetapan.
7. Apparatus 7 Alat yang terdiri dari satu rangkaian wadah volumetrik untuk larutan yang sudah dikalibrasi atau ditara, terbuat dari kaca atau bahan inert lain yang sesuai sebagai, sebuah rangkaian motor dan pendorong untuk menggerakkan sistem secara horizontal secara otomatis ke deret labu yang berbeda jika diinginkan, dan satu rangkaian penyangga cuplikan berbentuk cakram. Wadah larutan sebagian terendam dalam sebuah tangas air yang sesuai dengan ukuran yang memungkinkan untuk mempertahankan suhu bagian dalam wadah larutan 320 selama pengujian berlangsung. Raini, Mariana. 2010. Uji Disolusi dan Penetapan Kadar Tablet Loratadin Inovator dan Generik Bermerek. Media Litbang Kesehatan Vol. 20 No. 2. Shargel, Leon. 1988. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics 4th Ed. Mcgraw-Hill: Boston. Shargel, Leon. 2004. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics Edisi 5th Ed. McgrawHill: Boston. Sinko, Patrick J. 1993. Farmasi Fisik dan Ilmu Farmasetika Martin Edisi 5. EGC: J akarta. Gunawi, dkk. 2011. Peningkatan laju disolusi tablet piroksikam menggunakan polisorbat 80. Jurnal Acta Pharmaciae Indonesia. Volume 1. Nomor 1. Syukri, Y. 2002. Biofarmasetika. UII Press : Yogyakarta