Jhamtani, dan Hanim.(2002). Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan. Infid,Konphalindo, IGJ.Jakarta.
Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, alumni, Bandung, hlm. 3 - 5
DAMPAK PENERAPAN TRIPS AGREEMENT TERHADAP MASYARAKAT KOMUNAL INDONESIA
Tugas Hukum Hak Kekayaan Intelektual
Diajukan Oleh
Umar Azmar Mahmud Farig
11/326372/PHK/07256
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
TRIPs (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights) merupakan perjanjian internasional di bidang Hak Kekayaan Intelektual terkait perdagangan. Perjanjian ini merupakan salah satu kesepakatan di bawah WTO (World Trade Organization) yang bertujuan menyeragamkan sistem HKI di seluruh negara anggotanya. HKI merupakan isu perdagangan baru yang dibahas dalam perundingan perdagangan Putaran Uruguay berlangsung
Dengan diberlakukannya TRIPs Agreement pada tanggal 1 Januari 2000 pemerintah berharap dapat memberikan perlindungan bagi berbagai produk intelektual dari upaya pelanggaran hak atas produk yang dihasilkan baik oleh individu maupun suatu korporasi dalam bidang industri dan perdagangan dalam upaya menjaga pelanggaran hak atas keaslian karya cipta yang menyangkut Hak Cipta, Merek, Paten, Desain Produk, Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Namun, mengingat 97 persen pemegang paten dunia berasal dari negara maju, terdapat indikasi bahwa TRIPs justru akan meningkatkan arus dana dari negara berkembang ke negara maju melalui pembayaran royalti. Juga tidak ada indikasi bahwa negara maju akan melakukan alih teknologi dengan cuma-cuma kepada negara berkembang, apabila diadakan perlindungan HAKI, mengingat perusahaan multinasional dari negara majulah sebenarnya yang menjadi subyek perlindungan HKI seperti pada paten.
Olehnya, kepemilikan dan inovasi komunal ikut ternegasikan melalui adanya TRIPs, hal ini dikarenakan subyek HKI adalah individu atau perusahaan, padahal banyak inovasi terjadi secara komunal sehingga pemiliknya adalah masyarakat secara kolektif. TRIPs juga tidak mengakui inovasi yang tidak ditujukan bagi industri, yaitu inovasi lokal yang ditujukan bagi kesejahteraan ekonomi, sosial dan kultural setempat. Akibatnya, inovasi lokal seringkali justru "dirambah" dan diprivatisasi oleh perusahaan atau individu seperti halnya yang terjadi dengan penerapan hak paten atas ekstrak tanaman obat tradisional, desain batik, ataupun desain perhiasaan yang merupakan kreasi turun temurun.
Sebagai negara yang berlatar komunal, ketakutan masyarakat Indonesia atas privatisasi karya cipta yang ditemukan secara gotong royong tersebut dikhawatirkan dapat menghambat pengembangan pengetahuan lokal masyarakat Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan maksud TRIPs yang dihadirkan dengan harapan dapat memberi keuntungan kepada individu atau perusahaan pemegang hak eksklusif tersebut.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang masalah diatas maka disusunlah rumusan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimanakah pengaruh ratifikasi TRIPs terhadap masyarakat komunal Indonesia.
Bagaimanakah peran pemerintah dalam mempertahankan gotong royong sebagai identitas nasional tanpa menghilangkan perlindungan terhadap produk intelektual dari upaya pelanggaran hak atas produk yang dihasilkan secara komunal.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengaruh Ratifikasi TRIPs Terhadap Masyarakat Komunal Indonesia
Berperan sebagai pengganti atas ke-tidak-berhasil-an dibentuknya ITO, panitia persiapan mengajukan GATT yang akhirnya ditandatangi pada tanggal 30 Oktober 1947 oleh 8 Negara, yaitu:
Australia
Belgia
Kanada
Perancis
Luxemburg
Belanda
Inggris, dan
Amerika Serikat.
Dalam perkembangannya, upaya mengakomodir kebutuhan yang semakin besar akan peraturan dalam hal perdagangan membawa banyak perubahan, hingga berujung pada pergantian rezim yang tidak banyak mengubah misi negara-negara maju untuk "disusupkan" menjadi dasar pengaturan hubungan dagang antara negara anggota WTO. Satu diantaranya adalah prinsip MFN (Most Favoured Nations Treatment-MFN) yang diatur dalam pasal I GATT 1994, prinsip ini menjadikan semua komitmen yang dibuat atau ditandatangani dalam rangka GATT-WTO sebagai syarat dan harus diperlakukan secara sama kepada semua negara anggota WTO (azas non diskriminasi) tanpa syarat.
Sebagai sub-integral lain atas persetujuan mengenai Perdagangan Barang (GATT), dan Jasa (GATS) pada system perdagangan dunia, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) tidak lepas dari kecenderungan untuk lebih mengakomodasi kepentingan negara maju dan perusahaan multinasional.
Nampak dari indikasi bahwa kehadiran TRIPs justru akan meningkatkan arus dana dari negara berkembang ke negara maju melalui pembayaran royalti, mengingat:
97 persen pemegang paten dunia berasal dari negara maju.
Tidak ada indikasi bahwa negara maju akan melakukan alih teknologi dengan cuma-cuma kepada negara berkembang, apabila diadakan perlindungan HAKI, mengingat perusahaan multinasional dari negara majulah sebenarnya yang menjadi subyek perlindungan HKI seperti pada paten.
Sebaliknya TRIPs akan menghambat pengembangan pengetahuan lokal.
Selain itu, pelaksanaannya di negara berkembang juga memerlukan biaya yang tinggi, yaitu 15 juta dollar AS untuk Indonesia.
Identitas nasional yang sekalipun hingga hari ini masih belum dapat dikatakan rampung dan mendapat kesepakatan bersama, berupa sikap hidup yang termuat dalam pancasila otomatis mendapat gangguan dengan diratifikasinya TRIPs. Melalui penjelasan diatas, setidaknya ada tiga hal yang kental dibawa melalui perjanjian TRIPS, yakni promo paham barat (kapitalisme dan liberalisme), dan sebagai bias terhadap negara dengan tingkat kemajemukan sebesar Indonesia memicu tumbuhnya ego sektoral atas kepemilikan nilai ekonomis yang dijadikan hak eksklusif perorangan dan/atau korporasi
Peran Pemerintah Dalam Mempertahankan Identitas Nasional Tanpa Menghilangkan Perlindungan Terhadap Produk Intelektual Dari Upaya Pelanggaran Hak Atas Produk Yang Dihasilkan Secara Komunal.
Menghadapi era globalisasi pemerintah sudah seharusnya mengambil peran dalam mempertahankan identitas nasional berupa latar komunal yang telah hidup lama dalam masyarkat Indonesia. Tidak terlepas diantaranya adalah upaya untuk melindungi ekspresi budaya tradisional yang notabenenya merupakan hak eksklusif dengan kepemilikan yang berada diluar konteks TRIPs, setidaknya motivasi akan hal tersebut berangkat dari apa yang oleh Agus Sardjono dianggap sebagai alas an Negara berkembang melindungi EBTnya:
Negara berkembang yang memiliki sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional terkait, ternyata belum menikmati secara ekonomi atas hasil dari pemanfaatan sumber daya tersebut. Yang banyak memanfaatkan keragaman hayati dan pengetahuan tradisional Negara berkembang justru adalah Negara-negara maju.
Adanya ketidak adilan dalam system perdagangan internasional. Negara-negara maju menerapkan standar ganda dalam soal perlindungan hak-jak individual warganya. Dan tidak mengakui hak masyarakat di Negara-negara berkembang atas kreasi intelektual mereka berupa pengetahuan tradisional.
Keberadaan berbagai kesepakatan internasional biasanya hanya berpihak pada Negara maju, tidak pada Negara berkembang, sehingga banyak kesepakatan tidak membantu upaya melindungi hak da kepentingan masyarakat local.
Negara-negara berkembang merasa perlu memiliki perlindungan bagi hak masyarakat local berkenaan dengan pengetahuan tradisional yang memiliki nilai ekonomis.
Apabila dilihat dari segi peraturan yang telah ada saat ini, setidaknya terdapat pada Undang-undang no. 19 tahun 2002 tentang hak cipta yang mengatur mengenai perlindungan terhadap EBT atau Folklore.
Negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya.
Negara memegang hak cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita rakyat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2) , orang yang bukan warga Negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa kehadiran TRIPs di Indonesia merupakan konsekwensiu atas keterlibatan Indonesia dalam pergaulan internasional. Dalam satu sisi ratifikasi yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap TRIPs agreement adalah baik, namun melihat latar budaya yang kemdian tidak dapat dinafikan kehadirannya sebagai identitas nasional dari masyarakat komunal Indonesia pemerintah melalui kewenangannya diharapkan mampu untuk tetap berada dalam pergaualan internasional dnegan baik, tanpa menciderai kearfian nasionalnya sendiri.