Central Serous Retinopathy ( CSR ) nama nim Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510 email
PENDAHULUAN
Central Serous Chorioretinopathy Chorioretinopathy (CSCR) dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan lepasnya retina dari lapis pigmen epitel di daerah makula akibat masuknya cairan melalui membrane Bruch dan pigmen epitel yang inkompeten
(pelepasan bagian neurosensori dari
retina terjadi sebagai akibat dari kebocoran cairan koriokapilaris setempat melalui suatu defek di epitel pigmen retina. ) 1,2
Biasanya, CSCR dialami pria berusia 20 sampai 50 tahun. Penyebab CSCR tidak diketahui. Riwayat sakit kepala migrain, penggunaan agen vasokonstriksi, hiperkortisol endogen, merokok, dan penggunaan kortikosteroid sistemik (oral, intranasal, dan inhalasi), agen psikofarmakologi alkohol, antibiotik (oral), dan antihistamin (oral) dapat dipikirkan sebagai faktor resiko CSCR. 2,12,13
Beberapa hipotesis yang dikemukakan untuk patofisiologi penyakit ini antara lain adalah transport ion yang abnormal di seluruh epitel pigmen retina (RPE/ retinal pigment epithelium) epithelium) dan vaskulopati koroidal fokal.
2,4,13,15
Gejala klinis dari CSCR, metamorfosia
sepihak, penglihatan kabur unilateral, mikropsia, gangguan adaptasi gelap, desaturasi warna, penurunan kemampuan adaptasi terang, dan skotoma relatif. 2,13,15 Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesa pemeriksaan fisik menggunakan oftalmoskop, dan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan slitlamp, slitlamp, angiografi fluoresens, Optical Coherence Tomography (OCT), Multifocalelectroretinography Multifocalelectroretinography (mfERG), dan ngiografi ICR
2,12,15,17,18
Diagnosis
banding untuk CSCR antara lain adalah neovaskularisasi koroidal subretinal, vaskulopati koroidal
polipoidal,
membran
neovaskular
degeneration ,macular edema, dan edema, dan macular hole. hole.2,13
koroidal,
age
related
macular
Pengobatan terkini dari CSCR adalah dengan aspirin dosis rendah 21, injeksi bevacizumab intravitreal, 22,23fotokoagulasi laser, terapi fotodinamik
13,25,
dan transpupillary thermotherapy
(TTT).26 Komplikasi yang dapat timbul antara lain berupa neovaskularisasi subretina dan edema makula sistoid kronik.12,13 Prognosis penyakit ini baik; Sekitar 80% mata dengan CSCR mengalami resorpsi spontan cairan subretina dan pemulihan ketajaman penglihatan normal dalam 6 bulan setelah awitan gejala.Namun,
walaupun ketajaman penglihatan normal,
banyak pasien mengalami defek penglihatan permanen, misalnya penurunan ketajaman kepekaan terhadap warna, mikropsia, atau skotoma relatif; 20-30% akan mengalami kekambuhan penyakit baik sekali maupun lebih dari sekali.
12,13
ANAMNESIS
Anamnesis yaitu pemeriksaan yang pertama kali dilakukan yaitu berupa rekam medik pasien. Dapat dilakukan pada pasiennya sendiri (auto) atau pada keluarga terdekat (allo). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam anamnesis adalah sebagai berikut :
Identitas
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Agama dan suku bangsa
Riwayat penyakit Keluhan utama,
anamnesis tentang penyakitnya sendiri diawali dengan keluhan
utama, ialah keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Riwayat penyakit sekarang , pada bagian ini penyakit disusun secara kronologis,
terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan penderita sejak sebelum ada keluhan sampai anak dibawa berobat. Bila pasien telah mendapat pengobatan sebelumnya, hendaklah ditanyakan kapan berobat, kepada siapa, serta apa saja yang telah diberikan
dan bagaimana hasil pengobatan tersebut. Pada umumnya, hal-hal yang perlu diketahui mengenai suatu keluhan atau gejala mencakup; a. Onset: untuk mengetahui sejak kapan gejala seperti ini dialami dan apakah ini merupakan gejala berulang atau pertama kalinya. b. Perilaku menjaga kebersihan : sangat penting menanyakan perilaku higienitas pasien Riwayat penyakit yang pernah diderita, penyakit yang pernah diderita sebelumnya
perlu diketahui, karena kadang-kadang ada hubungannya dengan penyakit yang sekarang, atau setidak-tidaknya member informasi untuk membantu pembuatan diagnosis dan penatalaksanaannya sekarang. Latar belakang sosial dan pekerjaan, riwayat sosial penderita yang perlu diketahui
adalah keadaan ekonomi keluarga serta lingkungannya dan juga kebiasaan-kebiasaan lain seperti peminum alkohol. Sedangkan pekerjaan perlu diketahui karena ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dapat menimbulkan cedera yang khusus atau kelainan-kelainan yang khusus pula. Dari anamnesis penting juga untuk ditanyakan:
Adakah riwayat trauma?
Riwayat pekerjaan, pada pekerja laboratorium atau yang berhubungan dengan bahan kimia atau terpapar radioaktif/sinar-X.
Riwayat penggunaan obat-obatan.
Adakah riwayat kontak dengan orang lain yang menderita keluhan serupa?
Adakah penurunan ketajaman penglihatan?
Apakah mata terasa sakit, gatal atau merah?
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Tajam Penglihatan (VISUS)
Pemeriksaan visus yang umum digunakan adalah dengan kartu Snellen. Kartu Snellen, bisa berupa E-chart maupun Alphabet. Jarak pemeriksaan antara pasien
dengan kartu Snellen pada refraksi adalah refraksi : 6 M, 5 M, dan 3 M (memakai kaca pantul ). Jika ditulis Visus 6/6, artinya angka 6 di atas (pembilang) menunjukkan kemampuan jarak baca penderita, sedangkan angka 6 di bawah menunjukkan kemampuan jarak baca orang normal. Untuk pemeriksaan visus bila penderita gagal membaca kartu Snellen maka dilakukan dengan : a. Hitung jari, visus 6/60 artinya penderita hanya dapat menghitung jari pada jarak 6 meter, sedangkan pada orang normal bisa menghitung dalam jarak 60 meter, begitu juga penilaian visus 5/60, 4/60, 3/60, 2/60, 1/60. Jika pasien masih tidak dapat menghitung jari dalam jarak 1 meter, maka lakukan tes goyangan tangan. b. Goyangan tangan, jika pasien dapat melihat goyangan tangan dalam jarak 1 meter, maka penilaian visus adalah 1/300. Jika pasien gagal melihat gerakan tangan dalam jarak 1 meter, lakukan tes persepsi cahaya. c. Persepsi cahaya. Pemeriksaan visus dilakukan pada masing-masing mata, dengan salah satu mata lain ditutup dengan telapak tangan. 1,3
Pemeriksaan fisik mata
Pemeriksaan Segmen Anterior a.
Palpebra, penderita melihat lurus ke depan maka pinggir palpebra atas akan menutupi limbus atas (pinggir kornea) selebar 1 – 2 mm.
b.
Konjungtiva, normanya tidak berwarna dan tranparan.
c.
Kornea, vormanya bening
d.
Bilik mata depan, normalnya mata cukup dalam dan jernih.
e.
Iris dan pupil, normalnya pupil mata kiri dan kanan sama lebarnya dan letaknya simetris di tengah. Lebar pupil + 3 mm. Pemeriksaan ada 2 cara
Langsung, yaitu mata disinari dengan sinar langsung, dan diamati mata yang disinari.
Tidak langsung, yaitu mata disinari mata kanan, yang dilihat mata kiri, dan sebaliknya.
f.
Lensa mata, normalnya jernih.
Pemeriksaan Segmen Posterior Untuk melihat segmen posterior mata bisa memakai alat yang disebut Oftalmoskop.1-3
Pemeriksaan Lapang Pandang
Pemeriksaan lapang pandang yang dapat langsung dilakukan oleh dokter umum tanpa alat adalah dengan tes konfrontasi.1 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tekanan Bola Mata Ada 3 cara :
Tonometer Schiotz
Tonometer Aplanasi
Pemeriksaan secara digital dengan jari tangan
Pemeriksaan ―Slit Lamp‖ Dengan alat ini kita dapat mengetahui segmen anterior dan segmen posterior mata secara detail. Pergerakkan Bola mata Ada 6 gerakan kardinal bola mata, yaitu medial – lateral, medial atas – bawah, lateral atas – bawah . Pada mata palsu, biasanya < dari gerakan 4 mata.
Luas lapang pandang Diperiksa dengan 3 cara :
Goldman perimetri
Layar Tangen Screen
Tes Konfrontasi, dengan menggunakan tangan pemeriksa dan tekhnik paling mudah.
Pemeriksaan Penonjolan Bola Mata Pemeriksaan penonjolan bola mata dapat dilakukan dengan alat Ophtalmometri Pemulasan Fluorescen Hanya epitel kornea yg rusak yang bersifat menyerap fluorescen. Caranya tetes irigasi pada mata, penilaian :
warna hijau (kerusakan epitel kornea)
Indikasi tes fluorescen :
Adanya gejala trias (fotofobi, lakrimasi, dan blefarospasme).
Riwayat trauma mata
Mata merah
Ada kekeruhan kornea1-3
DIAGNOSIS (CSCR) Centr al Ser ous Chor ior eti nopathy
Central Serous Chorioretinopathy (CSCR) dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan lepasnya retina dari lapis pigmen epitel di daerah makula akibat masuknya cairan melalui membrane Bruch dan pigmen epitel yang inkompeten
(pelepasan bagian neurosensori dari
retina terjadi sebagai akibat dari kebocoran cairan koriokapilaris setempat melalui suatu defek di epitel pigmen retina. ) 1,2
Gambar 1
CSCR jika dilihat menggunakan fundus perimetry3
Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien CSCR mengalami gejala akut berupa kehilangan daya penglihatan dan metamorfosia (khususnya mikropsia). penurunan visus sentral dan skotoma.
Gejala-gejala lain termasuk
Penurunan daya lihat biasanya dapat diperbaiki
dcengan koreksi hiperopik. Keluhan lainnya berupa penurunan kemampuan adaptasi terang, kehilangan kemampuan membedakan warna dan kehilangan sensitivitas kontras. 2
Dari pemeriksaan fisik menggunakan oftalmoskop dapat ditemukan pelepasan retina serosa tanpa ada perdarahan subretina. Pelepasan retina neurosensori tersebut bisa saja sangat kecil, dan membutuhkan pemeriksaan lensa kontak untuk mendeteksinya. Pelepasan epitel pigmen, bintik dan atrofi RPE, fibrin subretinal, dan lipid subretina atau bintik-bitik lipofusinod dapat juga ditemukan.2 Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan fundus menggunakan slitlamp; dapat ditemukan adanya pelepasan serosa retina sensorik tanpa peradangan mata,
neovaskularisasi retina,
suatu lubang optik kecil, atau tumor koroid. Lesi epitel pigmen retina tampak sebagai bercak abu-abu kekuningan, bundar atau oval, kecil yang ukurannya bervariasi dan mungkin sulit dideteksi tanpa bantuan angiografi fluoresens.
Zat warna fluoresens yang bocor dari
koriokapilaris dapat tertimbun di bawah epitel
pigmen atau retina sensorik,
menimbulkan bermacam-macam pola termasuk konfigurasi cerobong asap.
2,13,17
sehingga
Angiografi fluoresens dari epiteliopati pigmen yang difus memperlihatkan hiperfloresens granular fokal yang berhubungan dengan defek dan penyumbatan yang disebabkan atrofi dan gumpalan RPE dengan satu atau lebih area yang terus mengalami kebocoran halus 17,18
Optical Coherence Tomography (OCT) dapat digunakan untuk mengidentifikasi pelepasan makula bahkan yang sangat halus (subklinik). OCT menunjukkan akumulasi material lipofusinoid pada permukaan luar retina yang mengalami pelepasan neurosensori. Multifocalelectroretinography (mfERG)
merupakan
predictor
yang
lebih
sensitif
dibandingkan dengan OCT; mfERG dapat mendemonstrasikan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan perbedaan jumlah makula serosa yang lepas. 12,19,20
Gambar 2
Angiografi floresens pada fase resirkulasi awal dari pasien dengan pelepasan makula meurosensori terlokalisir 2
Angiografi ICR menunjukkan area hiperfloresens lebih dini pada angiogram dengan adanya hiperfloresens dan kebocoran pada pembuluh darah koroidal.
Sering, area kebocoran
multipel dapat dilihat melalui angiografi ICG bahkan ketika belum terlihat apapun di angiografi floresens.12,15,17
DIAGNOSIS BANDING
1. Neovaskularisasi koroidal subretinal Angiografi ICR dari neovaskularisasi koroidal subretinal biasanya mengungkapkan hanya satu bidang hiperfloresens yang semakin melebar. 2.
vaskulopati koroidal polipoidal Angiografi ICG dari vaskulopati koroidal polipoidal menunjukkan kaliber kecil, lesi vaskular koroidal polipoidal dan tidak ada bidang hipermiabilitas; bijaksana untuk mengamati pasien dan mengulang angiografi 2 minggu kemudian.
3.
Membran neovaskular koroidal Suatu area kebocoran CSCR harus tetap konstan atau berkurang seiring dengan waktu, sedangkan membran neovaskular koroidal kemungkinan akan bertambah.
4. Age Related Macular Degeneration 5. Macular Edema 6. Macular Hole 7. Retinal Detachment Exudative 8. Retinal Detachment Rhegmatogenous 9.
Vogt-Koyanagi-Harada Disease 2,13
ETIOLOGI
Penyebab CSCR tidak diketahui; tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa penyakit bersifat infeksiosa atau disebabkan oleh distrofi epitel pigmen retina.1 Pemahaman akan akumulasi patogenik dari cairan retina subneural di daerah makula masih sangat terbatas. Sudah diketahui bahwa cairan retina subneural berasal dari koroid. Kebocoran pewarna melalui defek fokal abnormal pada level RPE dan akumulasi dalam ruang retina subneural terlihat jelas pada angiografi floresens. 2,13,15
Riwayat sakit kepala migrain dapat dipikirkan sebagai faktor resiko CSCR. Selain itu, CSCR juga
telah dikaitkan dengan agen vasokonstriksi, hiperkortisol endogen, merokok, dan
penggunaan kortikosteroid sistemik (oral, intranasal, dan inhalasi), agen psikofarmakologi alkohol, antibiotik (oral), dan antihistamin (oral). 2,12,13 Sebuah penelitian menunjukkan terjadi CSCR setelah dilakukan Keratektomi Fotorefraktif dan LASIK, tapi angka kejadian sangat rendah sehingga dianggap tidak ada hubungannya dengan CSCR itu s endiri. 16
EPIDEMIOLOGI
Biasanya, CSCR dialami pria berusia 20 sampai 50 tahun. Tidak ada kasus dilaporkan terjadi pada orang yang lebih muda dari 20 tahun. Pada pasien yang lebih tua dari 50 tahun, CSCR dapat terjadi, tetapi bisa menjadi sulit dibedakan dengan usia degenerasi terkait makula. 1,2 Meningkatnya frekuensi dialami oleh individu yang terlibat dalam pekerjaan yang menuntut kemampuan visual yang menampilkan ciri kepribadian tipe A atau yang sedang mengalami ketegangan fisik atau stres emosional.2,12,13,14
GEJALA KLINIS
Pandangan kabur / visus menurun
Skotoma sentral
Mikropsia
Metamorfopsia
Penurunan kemampuan melihat warna dan kontras
Meskipun metamorfosia sepihak adalah gejala klasik dari CSCR, pasien dapat datang dengan penglihatan kabur unilateral, mikropsia, gangguan adaptasi gelap, desaturasi warna, penurunan kemampuan adaptasi terang, dan skotoma relatif. Rentang ketajaman visual dari 20/15 (6/5) hingga 20/200 (6/60) tetapi rata-rata 20/30 (6/9). Ketajaman visual dapat diperbaiki dengan koreksi hiperopik. Gejala biasanya sembuh setelah beberapa bulan tetapi dapat terjadi lebih lama bahkan setelah cairannya hilang, hanya jarang sekali gejala tersebut betul-betul hilang dan tidak kambuh lagi. Tetap ada gejala sisa yang sifatnya permanen termasuk metamorfosia, penurunan persepsi kecerahan, dan penglihatan warna yang berubah. 2,13,15
PATOFISIOLOGI
Beberapa hipotesis yang dikemukakan untuk patofisiologi penyakit ini antara lain adalah transport ion yang abnormal di seluruh epitel pigmen retina (RPE/ retinal pigment epithelium) dan vaskulopati koroidal fokal. Penemuan angiografi Indocyanine Green (ICG) telah menyoroti pentingnya sirkulasi koroid dalam patogenesis CSCR. Angiografi ICG telah menunjukkan hipermeabilitas multifokal dari koroid dan area-area hipofloresen yang diduga terjadi vaskulopati koroid fokal yang lebih besar.
Beberapa studi yang menggunakan
elektroretinografi multifokal menunjukkan disfungsi retina bilateral difus bahkan ketika CSCR aktif hanya pada satu mata.
2,4,13,15
Semakin banyak bukti bahwa penyebab CSCR adalah sirkulasi koroidal yang abnormal. Dengan menggunakan angiografi ICG, terlihat bahwa terjadi penundaan pengisian kapiler lobular koroidal pada area hipermeabel. Kapiler dan venula yang berdilatasi pada satu atau lebih lobulus, mengikuti penundaan terlokalisir dari pengisian arteri, dapat menjelaskan hipermeabilitas koroidal pada daerah kerusakan RPE.Diduga bahwa kemacetan kapiler dan vena lokal pada lobulus yang terkena akan mengganggu sirkulasi, memproduksi iskemia, dan
terjadi peningkatan eksudasi koroidal dan koroid yang hiperpermeabel secara fokal. Hal ini memungkinkan cairan koroidal yang berlebih untuk menumpuk dan menghasilkan pelepasan epitel pigmen retina. Sejalan dengan pelepasan itu, target junctions antar sel RPE rusak, dan defek fokal dari blood-retinal barrier berkembang. Cairan koroidal melewatinya dan menghasilkan ablasi saraf retina. 2,4,13,15
Kepribadian tipe A, hipertensi sistemik, dan obstructive sleep apnea dianggap memiliki hubungan dengan CSCR. Patogenesisnya keemungkinan adalah kortisol yang beredar dalam darah meningkat serta epinefrin, yang mempengaruhi autoregulasi dari s irkulasi koroid.Selain itu, pasien dengan CSCR menunjukkan respon otonom terganggu dengan penurunan aktivitas parasimpatis secara signifikan dan aktivitas simpatik yang juga meningkat secara signifikan. 8
Kortikosteroid memiliki pengaruh langsung terhadap ekspresi gen reseptor adrenergik dan, dengan demikian, memberikan kontribusi pada efek keseluruhan dari katekolamin pada patogenesis
CSCR.
Studi
terbaru
mengungkapkan
bahwa
kortikosteroid
dapat
mempengaruhi produksi oksida nitrat, prostaglandin, dan radikal bebas dalam sirkulasi koroidal, yang mana ketiga produk itu berpartisipasi dalam autoregulasi dari aliran darah di koroid. 8
PENATALAKSANAAN Medika mentosa
Karena CSR ini merupakan self limited desease, maka tanpa pengobatan pun akan sembuh sendiri. Obat yang diberikan pun hanya obat yang dapat mempercepat menutupnya lubang kebocoran dilapisan epitel pigmen. Obat yang diberikan adalah vitamin dalam dosis yang cukup. Penatalaksanaan CSR yang banyak dianut saat ini adalah observasi selama 3-4 bulan sambil menunggu resolusi spontan. Biasanya penyakit ini akan sembuh dalam waktu 8-12 minggu
Asetazolamid sebagai terapi pertama kali dikemukakan oleh Pikkel pada tahun 2002. percobaan ini didasarkan pada fakta bahwa asetazolamid terbukti efektif untuk mengurangi edema macula yang disebabkan oleh tindakan operasi dan berbagai kelainan intraocular
lainnya. Penelitian pikkel ini membuktikan asetazolamid dapat memperpendek waktu resolusi klinis, tetapi tidak berdampak terhadap tajam penglihatan akhir dan rekurensi CSR
Non Medikamentosa
Jika penderita belum sembuh, maka dilakukan pengobatan dengan koagulasi sinar laser yang bertujuan untuk menutup lobang kebocoran dilapisan epitel pigmen. Keuntungan melakukan koagulasi ini adalah memperpendek perjalanan penyakit dan mengurangi kemungkinan kekambuhan tetapi tidak berpengaruh terhadap tajam penglihatan akhir.
Fotokoagulasi laser Argon yang diarahkan kebagian yang bocor akan secara bermakna mempersingkat durasi pelepasan retina sensorik dan mempercepat pemulihan penglihatan sentral, tetapi tidak terdapat bukti bahwa fotokoagulasi yang segera dilakukan akan menurunkan kemungkinan gangguan penglihatn permanent. Walaupun penyulit fotokoagulasi laser retina sedikit, terapi fotokoagulasi laser segera sebaiknya tidak dianjurkan untuk semua pasien CSR. Lama dan letak penyakit, keadaan mata yang lain, dan kebutuhan visual okupasional merupakan factor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan pengobatan. Dalam menggunakan fotokagulasi laser, dilakukan dua sampai tiga kali penyinaran tepat di sisi yang bocor, dengan ukuran titik sinarnya adalah 200µm. dilakukan penyinaran selama 0,2 detik dan dengan intensitas yang ringan untuk menghindari kerusakan RPE yang lebih lanjut. Kontraindikasi pengobatan ini adalah apabila sisi kebocorannya dekat dengan FAZ atau tepat di bagian FAZ.
Indikasi fotokoagulasi laser adalah :
CSR yang berulang
CSR sesudah 12 minggu belum membaik
Visus penderita semakin terganggu dan penderita tidak bisa bekerja untuk melakukan pekerjaan yang penting.
Timbulnya deficit visual permanent pada mata disebelahnya
Munculnya tanda-tanda kronik seperti perubahan kistik pada retina sensorik atau abnormalitas RPE ( retina eigment epithelium ) yang luas.22-26
PROGNOSIS
Sekitar 80% mata dengan CSCR mengalami resorpsi spontan cairan subretina dan pemulihan ketajaman penglihatan normal dalam 6 bulan setelah awitan gejala. Jadi, penyakit ini termasuk self-limiting condition. Namun, walaupun ketajaman penglihatan normal, banyak pasien mengalami defek penglihatan permanen, misalnya penurunan ketajaman kepekaan terhadap warna, mikropsia, atau skotoma relatif; 20-30% akan mengalami kekambuhan penyakit baik sekali maupun lebih dari sekali. 12,13
PENUTUP KESIMPULAN
Central Serous Chorioretinopathy (CSCR) adalah penyakit yang menyerang pria muda ( usia 20-50 tahun) yang menampilkan ciri kepribadian tipe A atau yang sedang mengalami ketegangan fisik atau stres
emosional. CSCR merupakan self-limiting condition yang
biasanya sembuh spontan dalam 6 bulan setelah awitan gejala, walaupun banyak pasien mengalami defek penglihatan permanen, misalnya penurunan ketajaman kepekaan terhadap warna, mikropsia, atau skotoma relatif; 20-30% akan mengalami kekambuhan penyakit baik sekali maupun lebih dari sekali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2008.
2. Oh,
K.
T.,
2011.
Central
Serous
Chorioretinopathy.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/1227025 [Accessed: June 20th, 2012] 3. Rohrschneider, K. Micropertimetry in Macular Disease. Pada: Holz, F. G., Spaide, R. F. Essentials In Ophthalmology: Medical Retina. Springer Inc., Germany. 2007. 14-15.
4. Gemenetzi, M., De-Salvo, G., Lotery, A. J., 2010. Central Serous Chorioretinopathy: An Update On Pathogenesis And Treatment. Eye (2010) 24, 1743 – 1756, Macmillan
Publishers
Limited.
Diperoleh
dari:
http://search.proquest.com/docview/816559789/fulltextPDF/1378DD46897661A471/1?ac countid=50257 [Diakses 20 Juni 2012]
5. Junqueira, L. C., Carneiro, J. Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor. Pada : Junqueira, L. C., Carneiro, J . Alih bahasa: Tambayong, J. Editor: Dany, F. Histologi Dasar: Teks dan Atlas. Edisi 10. Penerbit EGC. Jakarta, 2007: 458-462.
6. Scanlon, V.C., Sanders, T. The Senses: The Eye. Pada: Scanlon, V.C., Sanders, T. Essentials of Anatomy and Physiology, 5 th Ed. F. A. Davis Company, Philadelphia. 2007: 202-210
7. Seeley, T. H., et al. The Special Senses. Pada: Seeley, T. H., et al. (Eds). Gabbe: SeeleyStephens-Tate: Anatomy and Physiology, 6 th Ed. The McGraw-Hill Companies. New York, 2004: 511-522.
8. Ganong, W. F. Vision. Pada: Ganong, W. F., Review of Medical Physiology. 21 st Ed. The McGraw-Hill Companies. New York, 2003.
9. Hansen, J.T., Koeppen, B.M. Neurophysiology: Visual System. Pada: Hansen, J.T., Koeppen, B.M. (Eds.). Netter’s Atlas of Human Physiology. Lippincott, Williams & Wilkins, New York. 2000: 43-44. 10. Guyton, A.C., Hall, J. E. The Eye: II. Receptor and Neural Function of the Retina. Pada: Guyton, A.C., Hall, J. E. Textbook of Medical Physiology, 11 th Ed .Elsevier Inc. Pennsylvania. 2006: 626-639. 11. Sherwood, L. Mata: Penglihatan. Pada : Sherwood, L., Pendit, B. U. (Ed.). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi kedua. Penerbit EGC. J akarta, 2001: 160-175.
12. Hardy, R. A. Retina dan Tumor Intraokular. Pada: Vaughan, D. G., Asbury, T., RiordanEva, P., Suryono, Y. J. (Ed.). Oftalmologi Umum, Edisi 14. Penerbit Widya Medika. Jakarta, 2000: 197-219.
13. Wirostko, W. J., Pulido, J. S. Central Serous Chorioretinopathy. Pada: Yanoff, M., Duker, J. S., Augsburger, J. J. (Eds.). Ophthalmology Second Edition. Mosby, Inc, Spain. 2004: 2245-2254. 14. Wynn,
P. A., 2001. Idiopathic central serous chorioretinopathy — a physical
complication of stress?. Occupational Medicine, Vol. 51 No. 2. Diperoleh dari: http://occmed.oxfordjournals.org/content/51/2/139.full.pdf+html [Diakses 20 Juni 2012] 15. Lang, G. E., Lang, G. K. Central Serous Chorioretinopathy. Pada: Lang, G. K. Ophthalmology: a Short Textbook . Thieme, Inc, New York. 2000:335-337.
16. Moshirfar, M., et al., 2011. Clinical Study: The Incidence of Central Serous Chorioretinopathy after Photorefractive Keratectomy and Laser In Situ Keratomileusis. Hindawi Publishing Corporation Journal of Ophthalmology Volume 2012. Diperoleh dari: http://www.hindawi.com/journals/jop/2012/904215/ [Diakses 20 Juni 2012]
17. Spaide R. F. Autofluorescence from the Outer Retina and Subretinal Space. Pada: Holz, F. G., Schmitz-Valckenberg, S., Spaide, R. F. , Bird, A. C. (Eds). Atlas of Fundus Autofluorescence Imaging. Springer Inc., Germany. 2007.: 241-247.
18. Staurenghi, G., Levi, G., Pedenovi, S., Veronese, C. New Developments in cSLO Fundus Imaging:
Fundus
Autofluorescence
in
Acute
and
Chronic
Central
Serous
Chorioretinopathy. Pada: Holz, F. G., Spaide, R. F. Essentials In Ophthalmology: Medical Retina. Springer Inc., Germany. 2007. p27. 19. Moschos, M., et al., 2006. Assessment of Central Serous Chorioretinopathy by Optical Coherence Tomography and Multifocal Electroretinography. Ophthalmologica 2007 Vol.221
p292 – 298.
Diperoleh
dari:
http://search.proquest.com/docview/224705088/fulltextPDF/1378D9E7B4C5B3832FE/1 5?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012] 20. Yip, Y. W. Y., et al., 2009.
Correlation Between Functional And Anatomical
Assessments By Multifocal Electroretinography And Optical Coherence Tomography In
Central Serous Chorioretinopathy. Doc Ophthalmol (2010) Vol. 120:193200. Diperoleh dari: http://search.proquest.com/docview/214496701/fulltextPDF/1378D8FD8AF2CA1D99B/ 1?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012]
21. Caccavale, A., et al., 2010. Low-Dose Aspirin As Treatment For Central Serous Chorioretinopathy. Dove Press Journal: Clinical Ophthalmology, Vol.4. Diperoleh dari: http://www.dovepress.com/low-dose-aspirin-as-treatment-for-central-serouschorioretinopathy-peer-reviewed-article-OPTH-recommendation [Diakses 20 Juni 2012] 22. Jamil, A. Z., et al., 2012. Intravitreal Bevacizumab in Central Serous Chorioretinopathy. Journal of the College of Physicians and Surgeons Pakistan 2012, Vol. 22 No. 6. Diperoleh dari: www.jcpsp.pk/archive/2012/Jun2012/06.pdf [Diakses 20 Juni 2012]
23. Inoue, M., et al., 2010.Results of One-Year Follow-Up Examinations after Intravitreal Bevacizumab
Administration
Ophthalmologica
2011
for
Chronic
Vol.225
Central
Serous
p37 – 40.
Chorioretinopathy. Diperoleh
dari:
http://search.proquest.com/docview/821564964/fulltextPDF/1378D8FD8AF2CA1D99B/ 3?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012]
24. Sturm, V., 2008. Early Laser Photocoagulation Treatment as an Option in Central Serous Chorioretinopathy. Ophthalmic Surgery, Lasers & Imaging , Vol 40, No 5. Diperoleh dari: http://search.proquest.com/docview/215682205/fulltextPDF/1378D8FD8AF2CA1D99B/ 14?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012] 25. Gupta, B., Mohamed, M.D., 2010.Photodynamic Therapy for Variant Central Serous Chorioretinopathy: Efficacy and Side Effects. Ophthalmologica 2011 Vol. 225 p207 – 210. Diperoleh
dari:
http://search.proquest.com/docview/215682205/fulltextPDF/1378D8FD8AF2CA1D99B/ 14?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012] 26. Wei, S. T., Yang, C. M., 2004. Transpupillary Thermotherapy in the Treatment of Central Serous Chorioretinopathy Ophthalmic Surgery, Lasers & Imaging , Vol 36, No 5.
Diperoleh
dari:
http://search.proquest.com/docview/215686702/fulltextPDF/1378D8FD8AF2CA1D99B/ 15?accountid=50257 [Diakses 20 Juni 2012]