Direproduksi ulang oleh PROF. DR. IR. HM. ASWIN, MM Alumni HMI Cabang Samarinda berdomisili di Tenggarong
Direproduksi ulang oleh PROF. DR. IR. HM. ASWIN, MM Alumni HMI Cabang Samarinda berdomisili di Tenggarong
PENGANTAR PENULIS Materi yang diuraikan dalam empat bagian buku ini adalah termasuk pen-didikan politik yang diberikan kepada kader-kader HMI yang penggunaannya ter-utama adalah untuk membekali mereka yang nanti setelah meninggalkan bangku kuliah akan terjun di masyarakat. Apakah mereka akan menjadi birokrat, dosen, swasta atau aktivis-aktivis politik. Pengetahuan politik itu perlu karena dalam politik sebuah dalil “Siapa yang buta politik akan Dalil terse tersebut but juga berlaku berlaku bagi bagi ideolo ideologi gi yaitu yaitu bahwa bahwa siapa yang dimakan oleh politik” . Dalil yang buta ideologi ideologi akan dimakan dimakan oleh oleh ideologi ideologi yang oleh pihak lain “diselundupkan” secara halus sehingga orang yang buta ideologi ideologi akan percaya percaya saja kepada pihak yang yang menyelundupkan menyelundupkan ideologi ideologinya nya meskipun meskipun yang diselundupkan lundupkan itu bertentangan bertentangan dengan ideologi ideologi atau kepercayaan kepercayaan kita sendiri. Materi dalam buku ini disebut sebagai pengetahuan praktis karena diambil/ disaring dari dari pengalaman empiris atau dari pengalaman politik praktis sehingga materi dalam buku ini dapat disebut “pengetahuan politik” yang dipraktekkan atau diterapkan (applied political knowledge). 1. Aspek Aspek Ideolog Ideologii dari Islam Islam Islam bukanlah bukanlah ideologi ideologi melainkan melainkan Dienullah Dienullah atau atau Wahyu dari dari Allah, Allah, tetapi Islam Islam mengandun mengandungg nilainilai atau prinsip dasar yang merupakan pedoman atau petunjuk bagi kehidupan bernegara. Jadi, Islam mengandung mengandung aspek ideologi. Nilai-nilai Nilai-nilai dasar tentang kehidupan kehidupan bernegara itu dan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rosul adalah abadi; sedangkan perumusan atau pen jabaran/pengaktualisasian dari nilai-nilai dasar itu menjadi ideologi adalah karya manusia. Hal-hal tersebut diuraikan dalam bagian pertama buku; Aspek Ideologi dari islam dan bagian kedua Menuju Terbinanya Insan Pejuang Paripurna. 2. Menuju Terbinanya Insan Pejuang Paripurna Bagian kedua buku ini menggariskan menggariskan bahwa berpolitik atau melakukan per-juangan politik haruslah memenuhi memenuhi enam syarat syarat.. Enam syarat syarat tersebut tersebut dapat dapat dipakai dipakai sebagai sebagai tolak-ukur tolak-ukur (kriteria) (kriteria) untuk untuk menilai maju mundurnya suatu gerakan politik yaitu apakah ke-enam-enam syarat itu sudah dipenuhi atau belum. 3. Leade Leadersh rship ip Kepemimpinan (leadership) adalah syarat bagi terpenuhi tidaknya enam syarat perjuangan politik. Terpenuhi tidaknya enam syarat tersebut akan menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu perjuangan politik; karena itu leadership juga merupakan factor yang menentukan (decisive) bagi berhasil tidaknya suatu perjuangan politik; dan berhasil tidaknya leadership atau mampu tidaknya leadership memenuhi/mewujudkan enam syarat perjuangan politik ditentukan oleh dipenuhinya syarat-syarat pemimpin politik. 4. Strat Stratak ak Leadership adalah kemampuan menghimpun/menyusun dan membina kekuatan serta sarana dan menggunakan / menerahkannya untuk menghadapi peristiwa politik pada saat tertentu dalam rangka mencapai sasaran dalam jangka waktu tertentu menuju tercapainya ideologi. Bagaimana menempuh jalan dan menggunakan cara dalam mempergunakan kekuatan itu, hal ini ditentukan oleh strategi dan taktik. Strategi dan taktik yang tepat adalah yang secara bertahap dapat menambah posisi dan kekuatan kekuatan demi tercapainy tercapainyaa tujuan ideologi, ideologi, sebab tanpa kekuatan kekuatan dan kedudukan, kedudukan, ideologi ideologi tidak akan tercapai. tercapai. Suatu strategi strategi dan taktik taktik yang mengakibatkan mengakibatkan kekuatan kekuatan makin berkurang atau menjadi terserak-serak bukanlah strategi dan taktik yang tepat. Demikianlah kata pengantar buku ini, yang materi tulisannya disusun/ditulis dalam kurun waktu antara tahun 1968, 1983 dan 1998 tetapi substansinya masih tetap relefan sehingga diterbitkan menjadi sebuah buku pada tahun 2000. dan kepada Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ternate dan Pengurus KAHMI Wilayah Maluku Utara, Utara, Khususnya kepada saudara ANJAS TAHER yang waktu ini duduk sebagai anggota Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) yang memprakarsai penerbitan buku ini, saya sangat menghargai dan berterima kasih. Jakarta, 17 September 2000
A. DAHLAN RANUWIHARDJO, SH ii
PENGANTAR MAJELIS NASIONAL KAHMI Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Wr.Wb. Dengan senang hati saya menyambut penerbitan buku “Menuju Pejuang Paripurna” yang materinya diuraikan dalam lima bagian, yaitu aspek ideologi dari Islam. Menuju terbinanya insan pejuang paripurna, leadership, strategi dan taktik dalam perjuangan politik serta idiostratak. Materi buku ini termasuk pendidikan dan pengetahuan praktis tentang politik yang secara khusus diberikan kepada kader-kader HMI, untuk membekali diri setelah menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi atau menjadi Alumni HMI dan terjun di masyarakat. Penerbitan buku ini yang diprakarsai oleh editor dan Kahmi Wilayah Maluku Utara merupakan sumbangsih dan ikhtiar terhadap upaya perwujudan 5 kwalitas insane Cita HMI. Dikatakan buku ini merupakan sebuah sumbangsih; karena HMI sebagai organisasi kader dan independent harus terus dipacu dan didorong untuk meningkatkan kapasitas intelektualitas dan profesionalitas keilmuan, khususnya kemampuan memahami terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi umat dan bangsa. Buku ini menyajikan secara sistematik strategi dan taktik untuk memahami dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa. Buku ini menyajikan dan menguraikan secara khusus strategi dan taktik yang perlu dilakukan/ditetapkan seorang pemimpin paripurna dalam perjuangan ideologi dan politik. Perjuangan ideologi adalah perjuangan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Hal yang penting dan menarik untuk dibaca dan dipelajari, karena buku ini juga menyajikan pengetahuan praktis tentang politik, yang materinya diambil/disaring dari empiri dan praktek dan dicoba disusun dalam sebuah sistimatik dan pengetahuan ini ditambah dan diambil dari arena politik praktis, yang sudah dipraktekkan atau diterapkan. Perlu ditegaskan bahwa, buku ini merupakan pendidikan dan pengetahuan tentang politik praktis sehingga bagi adik-adik HMI setelah mempelajari dan membaca buku ini diharapkan hanya untuk dipelajari dan menjadi pengetahuan untuk membekali diri dan bukan untuk ditetapkan / dipraktekkan dalam dan untuk organisasi kemahasiswaan. Karena organisasi kemahasiswaan tidaklah melakukan politik praktis, dan pengetahuan ini diberikan kepada Adik-adik HMi sehingga tidak buta politik, dan konyol dalam perjuangan ideologi, karena dalam politik dikenal sebuah Maksim (hukum) siapa yang buta politik akan dimakan politik dan siapa yang buta ideologi akan dimakan ideologi. Akhirnya atas nama Pengurus Majelis Nasional KAHMI, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada penulis buku ini (A. Dahlan Ranuwihardjo, SH) sebagai sesepuh HMI yang selalu intens dalam menyampaikan gagasan (pikiran) untuk membina adik-adik HMI. Dan kepada Editor (Anjas Taher) serta KAHMI Wilayah Maluku Utara saya mengucapkan terima kasih atas jasa-jasanya sehingga buku ini dapat diterbitkan. Sekian dan semoga buku ini berguna dan membawa manfaat kepada Keluarga Besar HMI. Amin Ya Robbal’ alamin. Billahittaufiq Walhidayah Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, Desember 2000 Pengurus Majelis Nasional KAHMI
FUAD BAWAZIER Ketua Harian iii
PENGANTAR MAJELIS KAHMI WILAYAH MALUKU UTARA Pemikiran yang menggelora di dalam tubuh KAHMI Wilayah Maluku Utara untuk bagaimana mentradisikan kegiatan intelektual sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sudah menjadi pilihan utama. Bagi KAHMI tradisi Intelektual adalah kata kunci dan daya gerak sebagai upaya memberikan penegasan dan penguatan kualitas insan cita yang selama ini menjadi cita-cita HMI. Proses penerbitan buku ini, diawali dengan pertemuan singkat antara saudara Anjas Taher (Editor) dengan KAHMI Wilayah Maluklu Utara di sela-sela kesibukan kami selaku peserta MUNAS KAHMI ke-VI di Surabaya, Juli 2000. Dan Alhamdulillah semuanya dapat dilaksanakan dengan baik oleh pihak editor. Buku yang memuat pikiran-pikiran Pak De (sapaan Akrab Pak A. Dahlan Ranuwihardjo) dalam buku ini, akan menjadi sebuah dokumen sejarah paling berharga bagi KAHMI maupun buat adik-adik HMI, sekaligus telah turut mendorong upaya pemberian pendidikan politik bagi para pembaca. Sebagai anak bangsa yang hidup pada “tiga zaman” Pak De banyak memotret pergolakan dan carut-marutnya politik di tanah air. Bahkan tidak hanya sebatas itu, Pak De juga ikut dalam pusaran mesin Politik yang bekerja pada waktu lalu dan hari ini. KAHMI Wilayah Maluku Utara sangat berterima kasih kepada Pak Dahlan yang walaupun telah memasuki usia senja, tapi sikap dan prilaku beliau selalu berpihak pada perubahan tidak pernah berakhir. Demikian pengantar Majelis KAHMI Wilayah Maluku Utara, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Ternate, Oktober 2000 PENGURUS MAJELIS KAHMI WILAYAH MALUKU UTARA
Drs. M. Yamin Waisale KETUA UMUM
iv
KATA PENGANTAR KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN YANG AMANAH
M. Fakhruddin (Ketua Umum PB HMI Periode 1999-2001) Bissmillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Wr. Wb Objek kajian ilmu politik kontemporer difokuskan pada seluk beluk kekuasaan. Karena kekuasaan mempunyai peranan yang dapat menentukan nasib berjuta-juta manusia. Penggunaan kekuasaan yang segaris dengan kebutuhan dasar masyarakat akan menimbulkan kenyamanan. Sebaliknya jika penyelewangan kekuasaan terjadi dari kebutuhan dasar masyarakat maka akan terjadi keresahan dan disintegrasi di tengah masyarakat. Kekuasaan yang dijelmakan pada diri seseorang, lantas orang tersebut disebut sebagai pemimpin, dan mereka yang menerima pengaruhnya adalah pengikut-pengikutnya. Penjelmaan kekuasaan pada seorang pemimpin telah mengisyaratkan hidupnya sebuah obsesi, ideasi masyarakat yang digantungkan pada arahan seorang pemimpin. Kepemimpinan dilahirkan masyarakat karena adanya cita-cita social yang dituju dan dipercayakan pada seorang pemimpin untuk mengatur strategi dan taktik secara efektif. Agar kekuasaan dijalankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan menghindari penyelewengan kekuasaan diperlukan pembatasan dan mekanisme yang hidup dalam masyarakat dalam memperoleh dan menggunakan kekuasaan. Sehingga kepemimpinan dalam menjalankan kekuasaan dapat diukur dan terukur dalam rangka mencapai ideasi atau cita-cita social masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia telah kita sepakati demokrasi sebagai mekanisme social untuk menuju cita-cita social. Tentunya sebuah kepemimpinan dilahirkan, dijalankan, dan diorientasikan berbasiskan pada nilai demokrasi. Yaitu kedaulatan di tangan rakyat, yang mendapatkan mandate dari rakyat. Dijalankan atas control rakyat, dan berorientasi pada kehidupan rakyat Legitimasi kepemimpinan yang ada terletak pada pengakuan rakyat. Jika kita telaah sejarah bangsa ini, akan nampak bahwa rakyat kita selalu tersia-siakan oleh pemimpinnya. Kekuasaan yang dijalankan selalu diselewengkan dari nilai-nilai demokrasi. Pergantian kepemimpinan selalu melahirkan system otoritaria-nisme dalam segala bentuknya sebuah rezim membangun kekuasaan yang berbasis pada kroni-isme, dan berusaha melanggengkannya. Pemimpin yang kita lahirkan selalu terjebak pada kepentingan pribadi dan kelompoknya sehingga melahirkan benih-benih disintegrasi yang mengancam keutuhan bangsa. Kita belum mampu melahirkan pemimpin yang dapat diterima oleh semua golongan dalam masyarakat. Pemimpin kita selalu controversial, disatu pihak dibela secara fanatic dan pihak lain, dicaci secara ekstrim pula. Bagi masa depan bangsa ini dari sisi ini diperlukan ukuran-ukuran baku untuk melahirkan kepemimpinan (sebuah penjelmaan kekuasaan), cara menjalankannya agar sesuai dengan nilai social: demokrasi. Agar kualitas kepemimpinan yang dilahirkan tidak melencengkan dari kualitas standar (antara kurang dan lebihnya). Selama ini kita selalu mendewakan seseorang, lantas setelah menjadi pemimpin kita mencelanya karena kualitasnya dibawah standar dalam menjalankannya kepemimpinannya. Dalam konteks inilah menjadi penting adanya perkaderan yang serius bagi lahirnya seorang pemimpin. Setiap institusi civil society mesti mengembangkan kultur yang kondusif bagi lahirnya seorang pemimpin. Perkaderan kepemimpinan secara berjenjang dengan suasana kehidupan demokrasi yang tumbuh akan melahirkan seorang pemimpin yang terukur. Barang kali disinilah arti penting buku yang ditulis oleh pak De panggilan akrab A. Dahlan Ranuwihardjo, SH sebagai guide terciptanya kualitas kepemimpinan yang menjalankan kekuasaan secara amanah. Sebagai mulim – juga pernah menjadi ketua umum PB HMI – Pak De berusaha merujuk Al-Qur’an dan As-sunnah yang merupakan teks utama seorang muslim dalam mengembangkan gagasannya. Sebagai seorang nasionalis tentunya Pak De tidak bisa lepas dari Nuansa pemikirannya yang berorientasi bagi keutuhan Republik Indonesia. Sehingga melahirkan pemimpin dan pejuang paripurna (utuh tidak terbelah), antara kemaslahatan umat dan kebaikan bangsa. Billahittaufiq Walhidayah Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, 17 November 2000 v
DAFTAR ISI PENGANTAR PENULIS …………………………………………………………………………………………………………………………. PENGANTAR KETUA HARIAN MAJELIS NASIONAL KAHMI ………………………………………………. PENGANTAR KETUA MAJELIS WILAYAH KAHMI MALUKU UTARA ……………………………… PENGANTAR KETUA UMUM PENGURUS BESAR HMI ………………………………………………………….. DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………………………………………………………... BAB I. ASPEK IDEOLOGI DARI ISLAM ……………………………………………………………………………………... A. PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………………………………………...... 1. Al-Qur’an ……………………………………………………………………………………………………………............ 2. Hadist Nabi ……………………………………………………………………………………………………………........ 3. Fatah Almaushili …………………………………………………………………………………………………………… B. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN ……………………………………………………………………… C. PERMASALAHAN ……………………………………………………………………………………………………………… D PENGERTIAN DAN FUNGSI IDEOLOGI …………………………………………………………………… E. ISLAM DAN IDEOLOGI ……………………………………………………………………………………………………. F. SYARIAH DAN FIQH ………………………………………………………………………………………………………….. G. KEHARUSAN UMAT ISLAM BERIDEOLOGI ………………………………………………………….. 1. Dalam Al-Qur’an ………………………………………………………………………………………………………… 2. Hadist Nabi ………………………………………………………………………………………………………………….. H. USAHA MEMAHAMI ASPEK IDEOLOGI DARI ISLAM ……………………………………….. I. PRINSIP PRINSIP UMUM SISTEM POLITIK MENURUT ISLAM ……………………. J. PRINSIP PRINSIP UMUM SISTEM EKONOMI MENURUT ISLAM ………………… K. KESIMPULAN ……………………………………………………………………………………………………………………… BAB II. MENUJU TERBINANYA INSAN PEJUANG PARIPURNA ………………………………………. A. PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………………………………………… 1. Pendidikan Politik ……………………………………………………………………………………………………….. 2. Applied Political Knowledge ……………………………………………………………………………………. 4. Bekal Pasca Kuliah ………………………………………………………………………………………………………… 5. Apakah Relevean …………………………………………………………………………………………………………. B. SYARAT-SYARAT PERJUANGAN IDEOLOGI ………………………………………………………… 1. Enam Syarat Perjuangan Ideologi …………………………………………………………………………… 2. Urutan prioritas …………………………………………………………………………………………………………… 3. Simultan Paripurna ……………………………………………………………………………………………………… 4. Pemimpin Paripurna ……………………………………………………………………………………………………. 5. Bidang Ideopolitop ……………………………………………………………………………………………………… C. MENDALAMI IDEOLOGI ………………………………………………………………………………………………… 1. Pengertian (Definisi) Ideologi …………………………………………………………………………………… 2. Ideologi dan Agama ……………………………………………………………………………………………………… 3. Nilai Dasar Kehidupan Beragama menurut Islam ……………………………………………… 4. Nasionalisme Indonesia ……………………………………………………………………………………………… 5. Liberalisme / Kapitalisme …………………………………………………………………………………………… 6. Sosialisme / Marksisme ………………………………………………………………………………………………. D. MEMAHAMI FUNGSI ORGANISASI …………………………………………………………………………. vi
ii iii iv v vi 1 1 1 1 1 4 4 4 5 5 5 5 5 5 8 10 13 15 15 15 15 15 15 16 16 16 16 16 16 17 17 17 17 19 20 21 22
1. Fungsi Fungsi Organ Organisa isasi si ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………… 2. Fungsi Fungsi Organ Organisa isasi si dalam dalam Aspek Aspek SDM ………… ……………… …………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… …………… … 3. Sumbe Sumber, r, Potens Potensii dan Kekuat Kekuatan an Rii Riill ……………… …………………… …………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………….... 4. Keber Keberhas hasila ilan n Perjua Perjuanga ngan n ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… …………… … BAB III LEADER LEADERSH SHIP IP ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………………… ……………… ……… A. HAKEK HAKEKAT AT LEADER LEADERSH SHIP IP ……………… ……………………… ……………… …………… …………… ……………… ………………… ………………… ……………… ……………… ……………… …………. …. B. KONDI KONDISI SI LEADER LEADERSHI SHIP P DI INDON INDONES ESIA IA ………… ………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………….. C. PENGER PENGERTIA TIAN N LEADER LEADERSH SHIP IP ……………… ……………………… …………… …………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………. ……. D. POLA POLA KEPEMI KEPEMIMPI MPINA NAN N ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………………… ………… … E. SYARA SYARAT-S T-SYAR YARAT AT PEMI PEMIMPI MPINA NAN N ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………. ………... F. TIPOL TIPOLOGI OGI LEADER LEADERSH SHIP IP ……………… ……………………… ……………… …………… …………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ……………. …. G. KRITER KRITERIA IA LEADER LEADERSH SHIP IP ……………… ……………………… ……………… …………… …………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ……………. …. H. PENGKA PENGKADER DERAN AN ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………………… ……………… ……………… ……….. I. PENUTU PENUTUP P KESIMP KESIMPULA ULAN N ……………… ……………………… ……………… …………… …………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………….... BAB IV. BEBERAPA BEBERAPA PENGERTI PENGERTIAN AN TENTANG TENTANG STRATEGI STRATEGI DAN TAKTIK TAKTIK DALAM DALAM PERJUANGAN POLITIK POLITIK ………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… ………………………………… A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. K. L. M. N. O. P. Q. BAB V. A. B. C. D. E. F. G.
PERANG PERANG DAN POLITIK POLITIK …………………… ……………………………… …………………… …………………… …………………… …………………… …………………… …………………………. ………………... HUKU HUKUMNY MNYA A STRAT STRATAK AK DALAM DALAM PERJU PERJUANG ANGAN AN …………… …………………… ……………… ……………… ……………… ……………. ……... ARTI ARTI ISTIL ISTILAH AH STRAT STRATAK AK DALAM DALAM PERANG PERANG ……………… ……………………… ……………… ……………… ………………… ………………… …………. …. ARTI ARTI ISTIL ISTILAH AH STRAT STRATAK AK DALAM DALAM POLITI POLITIK K ………………… ………………………… ……………… ……………… ……………… ……………… …………. …. HUBU HUBUNGA NGAN N TAKTIK TAKTIK DAN STRATE STRATEGI GI …………… …………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……….... BERFIK BERFIKIR IR BERJUA BERJUANG NG – BEKERJ BEKERJA A SECAR SECARA A DIMEN DIMENSI SI ……………… ……………………… …………… …………… …………. …. UNTUK UNTUK SIAPA SIAPA STRATA STRATAK K INI INI ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………………. ……. KEDUDU KEDUDUKAN KAN STRATA STRATAK K DALAM DALAM PERJUA PERJUANG NGAN AN IDEOL IDEOLOGI OGI ………… ………………… ……………… ……… HUBU HUBUNGA NGAN N STRATA STRATAK K DENGAN DENGAN ORGANI ORGANISA SASI SI ……………… ……………………… ……………… …………… …………… ……………… ……… STRATAK DAN LEADERSHIP LEADERSHIP ………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………………… ……………………… TUGAS TUGAS STRATE STRATEGI GI DAN DAN TAKTIK TAKTIK ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………………… ……… DASAR DASAR DASAR DASAR MENYUS MENYUSUN UN STRATE STRATEGI GI ……………… ……………………… ……………… ……………… ………………… ………………… …………… …… DASAR DASAR DASAR DASAR MEMBEN MEMBENTUK TUK TAKTI TAKTIK K ………………… ………………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… …………. …. SYARA SYARAT T SYARA SYARAT T TEHNI TEHNIS S UNTUK UNTUK TERLAK TERLAKSAN SANAN ANYA YA STRAT STRATAK AK ……………… ……………….. HUKU HUKUM M HUKUM HUKUM STRATA STRATAK K ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………………… ……………… ……… PEDOMA PEDOMAN N MENCAP MENCAPAI AI HASI HASIL L ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………………… ………….. ….. PENUTUP PENUTUP ……………………… …………………………………… ……………………… ……………………… ……………………… …………………… ……………………… ……………………………… …………………………… …………….. ….. IDEOL IDEOLOGI OGI,, STRATE STRATEGI GI DAN TAKTI TAKTIK K (POIN (POINTER TERS) S) ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……….. SYARA SYARAT T PERJUA PERJUANGA NGAN N POLITI POLITIK K ……………… …………………… …………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… …………. …. DEFINI DEFINISI SI IDEOLO IDEOLOGI GI ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………………… ……………… ……………… ……………. ……..…… .………. …. PERBED PERBEDAAN AAN ANTAR ANTARA A ISLAM ISLAM DAN DAN IDEOL IDEOLOGI OGI …………… …………………… ……………… …………… …………… ………..… ..……… …….. NILAI NILAI NILAI NILAI DASAR DASAR ISLAM ISLAM UNTUK UNTUK KEHIDU KEHIDUPAN PAN BERNEG BERNEGARA ARA ……….…… ……….………. …. PETUN PETUNJU JUK K AL AL QUR’A QUR’AN N DAN HADI HADIST ST TENTAN TENTANG G STRATA STRATAK K …………… …………… ………. ………. PERJUAN PERJUANGAN GAN UMMAT UMMAT ISLAM ISLAM TERPURUK TERPURUK KARENA KARENA MELANGGAR MELANGGAR PETUNJUK AL QUR’AN ……………………………………………………………………………………….………. ……………………………………………………………………………………….………. PENUTU PENUTUP P ……………… ……………………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ……………… ………………… ………………… ……………… ……………. …….
vii
22 22 23 23 24 24 25 26 27 30 33 34 36 37 40 40 40 40 41 41 41 42 42 42 43 43 44 45 46 47 48 48 50 50 50 50 50 51 52 56
BAB I ASPEK IDEOLOGI DARI ISLAM A.
PENDAHULUAN
Adanya “larangan” dari kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Ujung Pandang tahun 1979 kepada Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) untuk melakukan kegiatan politik tidaklah menutup pintu aktivitas KAHMI bahkan mendorong untuk melakukan “Intelectual exercise” yang di masa depan dapat mempunyai “political significance” , khususnya dalam rangka mencapai kebangkitan kembali umat di dalam abad XV H ini dan abad mendatang. Penyajian tulisan ini diilhami oleh beberapa petunjuk Al-Quran, Hadist dan ucapan orang pandai, yang kutipan-kutipannya dibawah ini diambil dari buku Penghayatan Ilmu Agama, buah pemikiran Imam Al Ghazali dan disusun oleh Syekh Mohamad Jamaludin Alqasimi Addimasyqi, diterjemahkan oleh Moh.; Abdai Rathomy (1975). Kutipan-kutipan yang mengilhami penyajian tulisan dalam buku ini dapat dilihat dibawah ini. 1. Al-Q Al-Qur ur’a ’an n a. Surat Attaubah ayat 122 (S.9:122) (S.9:122) yang artinya tidaklah tepat jika semua semua orang mukmin pergi. Sebaiknya ada sebagian yang memperdalam pengetahuan agama yang kemudian akan mengingatkan kaumnya setelah kembali agar mereka dapat menjaga diri. b. Surat Faathir ayat ayat 28 (S.35:28), yang yang artinya yang takut kepada Allah ialah hamba-hamba-Nya yang berilmu pengetahuan. c. Surat Ali Imran ayat 187 (S.3:187), yang yang artinya dan ketika Allah mengambil janji janji dari orang-orang yang diberi kitab suci yaitu : haruslah kamu menerang-nerangkan itu kepada seluruh manusia dan janganlah kamu menyimpan – nyimpan isinya. 2. Hadi Hadits ts Nab Nabii a. Barang siap yang dikehendaki dikehendaki oleh Allah, Allah, ia akan dipahamkan dalam hal agama dan diilhami petunjuk (Bukhari-Muslim). b. Jika suatu hari lewat tanpa bertambahnya ilmuku yang mendekatkanku kesisi Allah, tidaklah ada berkah untukku dalam terbitnya matahari pada p ada hari itu, (Thabrani, Abu Na’im dan Ibnu Abdilbar). c. Hendaklah engkau berangkat dan mempelajari mempelajari suatu bab dari dari ilmu, hal ini lebih baik dari sembahyang seratus rakaat), (Ibnu Abdilbar). d. Pengajar dan yang yang belajar bersekutu di dalam mendapatkan pahala, dan tidak ada kebaikannya bagi selain kedua orang tersebut (Ibnu Abdilbar). 3. Fatah Almaushili, Apabila hati enggan akan hikmah dan Ilmu selama tiga hari akan matilah hati itu.
B. LATAR LATAR BELAKAN BELAKANG G PERMASA PERMASALAHA LAHAN N 1. Sejak bulan-bula bulan-bulan n pertama pertama setelah Proklam Proklamasi asi khususnya khususnya dalam dalam tahun-tahun tahun-tahun 50-an, 50-an, partai-par partai-partai tai Islam di Indonesia menganut apa yang sering didengung-dengungkan sebagai “Ideologi Islam” tanpa memberikan perincian yang lengkap dan komprehensif apa isinya mengenai semua segi kehidupan Negara Negara dan masyarakat, masyarakat, sehingga sehingga sampai sekarangpun sekarangpun perumusan perumusan ideologi ideologi itu belum belum pernah diberikan. Dapatlah dikatakan bahwa selama 35 tahun, umat Islam Indoensia hanyut dalam slogan yang dalam Al-Qur’an Al-Qur’an terdapat pada surat 34 ayat 15 dan dalam verbalisme : “Berlakunya hukum dan dan ajaran Islam di dalam kehidupan orang-perseorangan masyarakat dan Negara”. Terhadap gerakan mendirikan NII dari Almarhum Kartosuwiryo, partai-partai Islam tidak menyikapinya dari sudut ajaran Islam sendiri, melainkan sekedar menyatakan bahwa berbeda dengan kartosuwiryo, partai-partai Islam menempuh jalan yang legal parlementer. Partai NU-lah yang ada pada tahun 1953 menyatakan sikap agamis terhadap gerakan kartosuwiryo yaitu dengan mengatakan Sukarno sebagai “ “Pemegang pemerintahan darurat berkekuasaan penuh”, dengan demikian memberi “Legitimasi agamis” kepada pemerintah RI untuk menumpas 1
gerakan Kartosuwiryo sebagai telah melakukan “Bughoh” (pemberontakan) (Kyai Masykur Tempo 2 Mei 1981). Kata Bughoh tercantum dalam Al-Quran surat Hl-Hujrat (Surat 49 ayat 9). Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, partai-partai Islam telah melepaskan aspirasi “Negara Islam” namun persoalan ini kadang-kadang muncul di dalam era politik di Indonesia, sampai-sampai di kalangan umat Islam di Indonesia, Indonesia, ada yang merasakan seakan-akan persoalan ini akan dijadikan semacam “hutang abadi” yang setiap waktu dapat ditagih kepada generasi penerus umat yang notabene tidak tahu menahu apalagi bertanggung jawab atas persoalan tersebut. Dibalik itu, dari kalangan umat Islam sendiri atau tepatnya tepatnya dari kalangan kepemimpinan (politik) umat Islam di Indonesia tidak tampak adanya usaha atau bimbingan untuk membuat umat Islam Indonesia Immnun (kebal) terhadap aspirasi “Negara Islam” itu, meskipun disadari bahwa aspirasi ini tidak boleh tidak akan membentur kepada tembok beton dasar Negara Pancasila, terlepas dari persoalan Pancasila nya sendiri. Belakangan ini dengan munculnya gerakan Warman dan imran terlepas pula dari soal bonafiditasnya gerakan kedua orang ini, namun yang yang terang adalah bahwa ada kalangan generasi muda muda Islam yang terpikat dan terbawa oleh gerakan itu. Kemungkinan selalu ada akan munculnya gerakan serupa, bagaimana mencegahnya, hal ini terutama tugas kepemimpinan (politik) umat Islam Indonesia dan di dalam hal ini kaum intelektual muslim harus pula memberikan sahamnya. 2. Perkembangan Perkembangannya nya di luar Indonesia Indonesia menunjukan menunjukan bahwa Negara-nega Negara-negara ra yang (mayoritas) (mayoritas) rakyatnya rakyatnya beragama Islam dan sebagian besar memperoleh kemerdekaan setelah usainya perang dunia II, Negara-negara tersebut tidak atau belum mengatur kehidupannya menurut ajaran-ajaran Islam, walaupun Negara-negara tersebut secara tidak tepat sering disebut sebagai “Negara Islam”. Di dalam tempo 30 tahun, kita menyaksikan tumbangnya kerajaan-kerajaan “Islam” (Islam antara tanda kutip) dimulai dengan kerajaan mesir pada tahun 1952, disusul dengan kerajaan irak pada tahun 1958, Yaman Utara pada tahun 1962, Libya pada tahun 1969, Afganisthan pada tahun 1973, dan Iran pada tahun 1979. Di dalam tempo 10 tahun terakhir, kita menyaksikan republik-republik “Islam” bergelimpangan jatuh, yaitu Yaman Selatan pada tahun 1969. Sudan pada tahun 1969, Irak pada tahun 1969, Syria pada tahun 1970, Pakistan pada tahun 1971 (dengan munculnya Republik Bangladesh) dan Afganistan pada tahun 1978 (dengan digulingkannya Presiden Daud oleh tokoh Marxis Taraki). Pakistan adalah Negara pertama di dunia yang secara formal dapat disebut Negara/Republik Islam karena konstitusinya yang disahkan pada tahun 1956 disebut “The Constitution of The Islamic Republic of Pakistan” dimana tercantum diantaranya : “ that Pakistan Would be a democratic state based on Artinya, bahwa Pakistan Pakistan akan menjadi menjadi sebuah Negara Negara demokrasi demokrasi Islamic Principles of social justice” . Artinya, berdasarkan prinsip-prinsip Islam yang berkeadilan sosial. Where in the principles of democracy, freedom, equality, tolerance and social justice as enunciated by Islam, should be fully observed” observed” ; Artinya, Artinya, dimana dalam dalam prinsip-prinsip demokrasi demokrasi kebebasan persamaan, toleransi dan keadilan sosial sebagaimana dianjurkan oleh islam harus dilaksanakan sepenuhnya. Where in the muslims of Pakistan should be enable individually and collectively to order their lives in accordance accordance holy Qur’an and Sunnah. Artinya, dimana masyarakat masyarakat muslim di Pakistan harus mampu menata kehidupan mereka baik secara individual maupun bersama-sama sesuai dengan ajaran dan ketentuan islam sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an Al -Qur’an dan Sunnah. Tetapi di dalam perkembangannya sejak didirikan, republic Islam di Pakistan itu dalam praktek politiknya telah hanyut di dalam demokrasi liberal ala demokrasi Barat dan di dalam ekonominya tenggelam di dalam oligarchaal kapitalisme, dimana penguasaan ekonomi Pakistan berada ditangan 21 keluarga muslim (Pakistan Barat), yang semuanya itu mengakibatkan disintegrasi Republik Islam Pakistan. Republik “Islam” Pakistan ala Jenderal Ziau’Ihaq masih merupakan tanda Tanya besar, karena ungkapan Islam baru pada pelaksanaan hukum cambuk bagi yang kedapatan mabuk di tempat 2
umum, sedangkan sistim politik Negara “Islam” (Islamnya antara tanda kutip) ini adalah dictator militer yang tidak dapat “Justified” dari sudut ajaran Islam. 3. Kaum Muslimin Iran telah berhasil dalam sikap radikal Revolusioner menghentikan persekongkolan kapitalisme dan neo-feodalisme dengan telah terusirnya begundal-begundal kapitalis-Amerika dan ditumbangkannya rezim otoriter Feodal Syah. Revolusi rakyat iran (yang berhasil itu) pada hekakatnya adalah revolusi anti ne-kolonialisme, dengan demikian revolusi Iran itu merupakan bagian dari perlawanan rakyat dari Negara-negara berkembang terhadap neo-kolonialisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Rupanya Ayatullah Khomeini telah mengalihkan revolusi anti neo-kolonialisme itu menjadi revolusi kaum syi’ah, setidak-tidaknya Khomeini telah memberi warna syi’ah yang tebal kental kepada revolusi anti neo-kolonialisme dari rakyhat Iran pada tahun 1979 itu. Dengan telah berubahnya karakter revolusi rakyat Iran dari Revolusi anti neo-kolonialisme menjadi revolusi syi’ah itu, timbullah kekuatiran akan munculnya kaum Mullah, meskipun dalam introduction dari konstitusi RII (Republik Islam Iran) dalam bab “Method of government in-Islam, tercantum : “From the viewpoint of Islam, government is not the product of any class distinction or the supremacy of one particular group or class in society…”. Artinya, (cara pemerintah Islam). Dari sudut pandang Islam, pemerintah bukanlah produk dari perbedaan klas atau keunggulan satu kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat. Apakah dengan suksesnya Revolusi Syiah di Iran itu, sasaran yang hendak dicapai oleh satu revolusi anti neo-kolonialisme lalu menjadi terbengkalai? Saya rasa tidak karena revolusi syiah tentulah membawakan aspirasi islam yaitu menentang setiap bentuk kolonialisme terutama di bidang ekonomi dan kebudayaan yang dewasa ini melanda Negara-negara berkembang. 4. Di dalam pertarungan sengit yang sekarang masih berkecamuk antara dua ideologi dunia yang besar yaitu antara liberalisme/kapitalisme/demokrasi dan variasi-variasinya pada pihak yang satu dan marxisme/sosialisme/ komunisme dan variasi-variasinya pada pihak lain, orang menuju pula kepada alamat Islam dan bertanya sejauh mana Islam dapat menyajikan Ideologi yang lebih baik dari kedua ideologi tersebut. Tantangan kepada Islam ini tentulah tidak dapat dijawab hanya dengan keterangan bahwa Islam adalah sempurna melebihi isme-isme dan ideologi lain. Betapapun yakinnya seorang muslim terhadap kesempurnaan Islam dan seorang muslim memang harus berkeyakinan demikian, namun jawaban serupa itu tidaklah membuat orang muslim, apalagi yang bukan muslim lalu memperoleh pegangan yang konkrit tentang bagaimana Islam mengatur kehidupan Negara dan masyarakat walau hanya dalam garis-garis besarnya saja. Ini berarti bahwa Islam ditantang untuk menyajikan suatu konsep ideologi yang meliputi semua segi kehidupan Negara dan masyarakat, khususnya yang menyangkut cirri-ciri khas suatu ideologi yang membedakan dengan ideologi lain yaitu tentang bagaimana hubungan warga Negara dan penguasa c.q. hak/kewajiban warga Negara vis-a-vvis hak/kewajiban penguasa, jadi mengenai apa yang lazim dikenal tentang hak-hak asasi atau hak-hak politik; serta hak/kewajiban warga Negara vis a vis penguasa dalam bidang ekonomi, jadi mengenai hak berusaha berikut hak pemilikan atas sumber ekonomi (tanah, kekayaan bumi dan alatalat produksi) berikut pembatasan-pembatasannya. 5. Umat Islam diseluruh dunia berhasrat menjadikan abad XV Hijriah sebagai abad kebangkitan Islam tetapi baik dari organisasi-organisasi Islam Internasional maupun National c.q. DPP Partai Persatuan Pembangunan dan MUI Pusat tidak atau belum ada rencana bagaimana akan mencapai kebangkitan kembali itu. Dengan kegiatan-kegiatan tradisional dan rutin saja, walaupun kegiatan tradisional ini sudah ditambah dengan penyelenggaraan MTQ setiap dua tahun, kebangkitan itu tidaklah akan tercapai. Proponen approach kekuasaan akan mengedepankan tentang perlunya lebih dahulu kekuasaan berada di tangan kembali tanpa menerangkan bagaimana akan memperoleh kekausaan itu. Kekuasaan politik di Negara-negara yang rakyatnya (mayoritas) beragama islam berada di tangan orang-orang Islam tetapi sebagian, khususnya yang di Timur-Tengah dalam kondisi sekedar mempertahankan status quo dengan mengadakan reform kecil-kecilan, setidak-tidaknya tidak menyeluruh secara fundamental. Di Indonesia partai-partai Islam pernah beberapa kali memegang kekuasaan politik tetapi lepas tanpa bekas. Apakah dari fakta-fakta ini tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan umat Islam, khususnya di Indonesia belum mempunyai suatu 3
konsep Ideologi untuk mengatur kehidupan Negara di dalam segala seginya, sedangkan umat lainnya yaitu pihak Barat (kapitalis) dan Pihak Timur (komunis) masing-masing sudah mempunyai secara “being in and ready for use”. Dapatkah kebangkitan kembali Islam dicapai tanpa adanya konsep ideologi yang bersumberkan kepada ajaran-ajaran Islam. Latar belakang permasalahan – permasalahan tersebut diataslah yang mendorong tulisan ini mencoba menelaah aspek ideologi dari islam.
C. PERMASALAHAN 1. Adakah Islam itu suatu ideologi? Jika demikian apakah islam itu lalu berdiri sama tingginya, sejajar dengan ideologi-ideologi di dunia? Bukankah Islam itu Dienullah, agama wahyu Illahi, sedangkan ideologi-ideologi itu adalah hasil pemikiran manusia ? 2. Apakah Islam itu bukanlah ideologi? Lalu apa peranan Islam dalam pertarungan dan per-cautaran ideologi-ideologi di dunia dewasa ini dan dimasa yang akan datang? Apakah hanya sekedar menentang sesuatu ideologi yang anti Tuhan? 3. Ideologi berfungsi untuk mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat; jika islam bukanlah Ideologi atau tidak mengandung ajaran-ajaran idelogi, lalu bagaimana Islam akan mengurus kehidupan bernegara, dan bermasyarakat, karena Islam selain mengurus ibadah juga mengurus kehidupan Negara dan Masyarakat? 4. Benarkah pendapat seorang orientalis bahwa di kalangan kaum muslimin terdapat kelompok yang mengidealisir “Islam sebagai satu-satunya alternative terhadap segala macam isme dan ideologi” (Abdurrahman Wahid, Majalah Tempo, 20 Juni 1981). 5. Menurut hakekat ajaran Islam, bukannya menurut pendapat orientalis, bagaimana sebenarnya hubungan antara Islam dan ideologi, bagaimana sikap Islam terhadap ideologi dan bagaimana kedudukan ideologi terhadap Islam. 6. Bagaimana kondisi ideologis dari Negara-negara yang rakyatnya beragama Islam dewasa ini ?
D. PENGERTIAN DAN FUNGSI IDEOLOGI 1. Ideologi adalah : “Seperangkat ajaran-ajaran atau gagasan berdasarkan suatu pandangan hidup untuk mengatur kehidupan Negara/masyarakat di dalam segi-seginya serta yang disusun di dalam sebuah sistim berikut aturan-aturan operasionalnya”. a. Penyusunan seperangkat gagasan/ajaran menjadi sebuah sistim adalah hasil pemikiran manusia, sedangkan ajaran-ajarannya sendiri dapat berasal dari Allah bagi yang berdasarkan pandangan hidup Islam, dan berasal dari pemikiran manusia jika pandangan hidupnya berasal dari pemikiran manusia. Dengan demikian, ideologi itu adalah hasil pemikiran manusia. b. Ideologi hanya untuk kehidupan di dunia. c. Ideologi adalah untuk Negara tertentu (karena belum adanya Negara dunia). d. Ideologi dapat berubah menurut tempat dan waktu. 2. Fungsi Ideologi adalah untuk mengatur kehidupan Negara di dalam segala segi-seginya. Yang mengatur sebuah segi saja dari kehidupan Negara misalnya mengenai sistim politiknya disebut sub ideologi. Di dalam Negara yang terdiri dari berbagai golongan rakyat yang masing-masing berideologi sendiri, jika saling bertentangan dinamakan counter Ideologi, jika tidak bertentangan dinamakan coidelogi (misalnya Islam terhadap Pancasila).
E. ISLAM DAN IDEOLOGI a. Islam adalah wahyu Ilahi, bukan hasil pemikiran manusia. b. Islam mengatur kehidupan dunia dan akhirat. c. Islam adalah universal, ajaran-ajarannya berlaku kapan saja, dimana saja dan bagi rakyat/bangsa mana saja. Dengan demikian, maka Islam bukan ideologi tetapi lebih tinggi dari ideologi. 4
F. SYARI’AH DAN FIQH Bagaimana kedudukan Fiqh terhadap Syari’ah, hal ini disinggung oleh Sayid Qutb di dalam bukunya “ Masyarkat Islam” terjemahan H.A. Mu’thi Nurdin, SH, terbitan Yayasan At-Taufiq, PT. AL-Maarif Bandung, Cetakan Kedua, 1978, Sayib Qutb diantaranya, menerangkan Syariah adalah ciptaan Allah bersumber Al-Qur’an dan Sunnah sedangkan Figh adalah ciptaan mansia yang terbuat dari upaya memahami, manafsirkan dan menerangkan Syari’ah di dalam suasana tertentu “….hasil-hasil yang disimpulkan (oleh Figh) tidak akan naik martabanya menjadi “bagian yang suci” dalam Syari’ah (hal:38). Mengenai figh ibadah dan figh muamalat, Qutb berkata bahwa fiqh ibadah adalah tetap dan stabil karena menyangkut peribadan yang tidak akan terpengaruhi oleh perubahan zaman. Sedang fiqh muamalah banyak berubah dan berkembang, karena lebih banyak terpengaruhi oleh perubahan keperluan manusia…(hal:39). Kemudian menurut Qutb (1978:44) kebijaksanaan pemerintah sudah mengalami penyimpangan dari prinsip Islam sejak berakhirnya zaman Khulafar Rosyidin dan adanya kericuhan kekuasaan di jaman Mu’awiyah. Akibatnya ialah membesarnya fiqh ibadah dan menciutnya fiqh muamalah. Mengapa ulama-ulama pada masa raja-raja muslim dulu tidak menulis tentang soal-soal politik (yang termasuk muamalah), menurut Prof. Dr. A. Shalaby dalam bukunya Negara dan Pemerintahan dalam Islam yang diterjemahkan oleh Muchtar Jahya (1957:17) ialah karena “Membahas tentang pemerintahan Islam sebetulnya berarti membatasi kekuasaan khlifah-khalifah itu, dan memperkecil pengaruh mereka, serta menggariskan syarat-syarat yang tentu saja menjadikan kebanyakan diantarah khalifah-khalifah itu akan kehilangan kekuasaannya dan tidak dapat mewariskan kerajaannya itu kepada puteranya. Karena kuatirnya para ulama akan pembalasan yang kejam dari raja-raja itu diabaikanlah oleh mereka membahas dan mengatur muamalah yang amat penting ini. Islam mengandung seperangkat ajaran-ajaran atau nilai-nilai yang jika disusun didalam suatu sistim serta diproyeksikan kedalam suatu Negara akan merupakan ideologi bagi Negara itu. Ideologi demikian disebut ideologi yang berdasarkan ajaran-ajaran Islam, atau yang bersumberkan Islam atau yang diwarnai oleh Islam.
G. KEHARUSAN UMAT ISLAM BERIDEOLOGI 1. Dalam Al-Qur’an a. Surat Al An’aamm ayat 165 (S.6:165) yang artinya Dan Dialah yang menjadikan kamu manusia penguasa di bumi. b. Surat An-Nur ayat 55 (S.24:55) yang artinya Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh diantara kamu, mereka akan menjadi penguasa di bumi sebagaimana orangorang sebelum mereka. c. Surat Al Maaidah (S.5) ayat 44, 45, 47 yang artinya, barang siapa tidak terhukum mengatur dunia dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, mereka adalah kafir/dholim/fasiq. 2. Hadist Nabi Kutinggalkan kepadamu dua perkara yang jika kalian berpegang kepada keduanya tidak akan menyesal selama-lamanya (Kitab Allah dan Sunnah Rasul). Keharusan berideologi adalah konsekuensi dari pengangkatan manusia menjadi khalifah di muka bumi, karena ideologi berfungsi untuk mengatur bumi/dunia yang terdiri dari Negara-negara dan masyarakatmasyarakat. Dan kedudukan khalifah itu dijanjikan oleh Allah kepada manusia yang beriman dan beramal soleh, jadi kepada kaum muslimin. Dan ideologi itu mestilah bersumber kepada Al-Qur’an dan Hadist.
H. USAHA MEMAHAMI ASPEK IDEOLOGI DARI ISLAM 1. Menurut yang lazim diajarkan, Islam adalah terdiri dari Aqidah, Syari’ah dan Ahklaq. Sedangkan Syari’at terbagi atas Ibadah dan Muamalah. Muamalah sebenarnya masih dapat dibagi atas muamalah 5
dalam hati sempit yaitu yang terbatas kepada hubungan antara orang perseorangan dan muamalah yang menyangkut pengaturan kehidupan kenegaraan/kemasyarakatan atau ideologi. Dengan demikian isi dari Islam dapat dibagi atas: a. Aqidah b. Ibadah c. Akhlak d. Muamalah e. Ideologi 2. Islam mempunyai satu kaidah yaitu : “…yang mengenai soal ibadah, yakni mengenai hubungan manusia dengan Tuhan semua terlarang, kecuali yang diperintahkan dan mengenai hidup keduniaan : semua boleh, kecuali yang terlarang. Menurut istilah Yurisprudensi Islam, kaidah ini dinamakan Al baraatul ashliyah. (dikutip dari Pidato Muhammad Natsir di Sidang Konstituante dimuat dalam buku “Tentang Dasar Negara RI dalam konstituante “Jilid I halaman 130). Bagi keperluan usaha memahami aspek ideologi dari Islam, yang harus diketahui ialah mana-mana yang terlarang, karena tidak terlarang adalah boleh. Hanya saja menemukan “mana-mana yang terlarang” itu tidaklah mudah, karena Al-Qur’an mengandung ketentuan (Nash) yang baru dapat dipahami setelah diberikan interpretasi ataupun setelah dikaitkan dengan Nash lain. 3. Jadi dalam rangka usaha menemukan aspek ideologi dari Islam, perlu lebih dahulu diusahakan untuk menemukan methodology memahami isi Al-Qur’an sebagai berikut: Ayat-ayat Al-Qur’an terdiri dari a. .Ayat Muhkam b. Ayat mutasyabih yang tidak dapat ditakwilkan (diinterpretir) c. .Ayat mutasyabin yang dapat ditakwilkan (Ali Imran, ayat 7, Terjemahan Departemen Agama RI). Menurut Sayib Qutb (1978:41) perincian dan penerapan syari’ah yang dibutuhkan masyarakat untuk menampung keperluan-keperluan yang temporer dan selalu berubah itu tidak keluar dari empat kemungkinan: 1) Syari’ah telah menetapkanya dengan nash (teks) yang tegas (uitdrukkelijk) suatu hukum tertentu. Dalam hal ini, hukum itu mesti diterapkan menurut hurufnya betul, tanpa perubahan atau penyimpangan sedikitpun (Qutb, 1978:41). 2) Syari’at tampil dalam bentuk satu nash atau lebih yang menurut materi dan susunan katanya dapat ditakwilkan. Dalam hal ini kesempatakan untuk ijtihad terbuka luas untuk tarjih (menguatkan) atau taufiq (mencocokkan) berbagai nash yang berbeda-beda. Kalau nashnya hanya satu, maka penerapannya dapat disesuaikan dengan keadaan, seraya mengambil petunjuk praktek penerapan yang dilakukan pada permulaan Islam, jika ada, dengan memanfaatkan buah pikiran ahli hukum dalam perkara-perkara itu. Namun demikian, kita tidak perlu mengikuti praktek dan pendapat mereka itu secara dogmatis. Sebab pendapat mereka pada hakekatnya hanyalah berupa tanggapan yang sepadan dengan tuntutan dan keperluan dimasa mereka. (Ibid hal : 42). 3) Adakalanya Syari’ah membawakan suatu prinsip umum yang menyinggung suatu masalah yang terkandung dalam prinsip umum itu. Hukumnya tidak disebutkan dalam bentuk nash yang tegas. Jika demikian duduknya, maka hukumnya termasuk kedalam ijtihadiyah, yakni menggunakan rasio ketiak menerapkan prinsip umum tadi menghadapi masalah yang konkrit (Ibid hal : 43). 4) Bisa juga kita temukan masalah yang tidak disinggung oleh Syari’ah. Dalam hal ini keputusan hukumnya semata-mata bergantung kepada hasil ijtihad dengan syarat tidak bertabrakan dengan salah satu prinsip agama Islam atau salah satu hukum pokok dari Syari’ah (Ibid hal : 43). a) Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung nash (ketentuan=regel) pada umumnya tetap berlaku sepanjang masa, tetapi ada nash yang sudah merupakan fakta sejarah yang tidak muncul lagi 6
(misalnya tentang budak dan tentang cara memperoleh harta rampasan perang, yang terakhir tercantum di dalam Al Khasr ayat 7). b) Nash dapat diangkat dari ayatnya tanpa terikat kepada sebab turunya ayat itu, tetapi (tentunya) tanpa meninggalkan jiwa dari nash itu. c) Ada nash yang maknanya dapat dipahami secara tepat hanya jika dihubungkan dengan nash dalam ayat lain. d) Mengaitkan/melengkapi nash-nash Al-Qur’an dengan hadist-hadist yang relevan. e) Melakukan ijtihad dengan mempergunakan kaidah-kaidah usul fiqh dan rasio asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Di dalam bagian depan (Islam dan Ideologi) disinggung bahwa Islam mengandung ajaran-ajaran atau nilai-nilai yang jika disusun dalam satu sistim dapat merupakan suatu ideologi. Ajaran atau nilai itu disebut oleh Sayid Qutb prinsip global, kaidah umum atau pokok dasar; oleh Shalaby disebut patokan umum; oleh Rosyidi disebut prinsip umum oleh Abdurrahman Azzam disebut “general prociple” yang semuanya ini mempunyai arti sama. Sayid Qutb, (Ibid hal : 37) : “DIa (syariat) tampil dalam bentuk prinsip-prinsip yang global adalah kaidah-kaidah umum sehingga dibawah naungannya dapat memancar puluhan bentuk masyarakat yang hidup dan aktif bergerak dalam lingkungannya yang luas, tetapi tetap berpegang kepada pokok dasarnya. Shalaby, adapun urusan duniawi, Tuhan telah menggariskan pokok-pokok yang penting. Manusia berkewajiban memperluas memperkembangkannya, agar sesuai dengan kehidupan meraka dalam segenap tempat dan masa, dalam batas-batas patokan umum yang telah dipancarkan oleh Tuhan, sesuai dengan sabda Rasul; Anma alam bisyam nadh lilam . (Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, hal : 18). Prof. Dr.H.M. Rasyidi, “Oleh karena yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist kebanyakan mengenai ibadah pribadi, sedangkan yang mengenai kemasyarakatan dan ketatanegaraan pada umumnya hanya terdapat garis-garis besar serta prinsip-prinsip umum”. Abdurrahman Azzam, “Upon perusal of the holy bock and Islamic traditions (Sunnah) and upon examination of Islamic history during the era of the orthodox calipsh, we find that Islam is definite and conclusive on ail genenal principles suitbles for all times places and people. When these principles are implemented, therefore, one can witness the flexibility of the Shariah and its dispotition to independent reasoning”. (The Eternal Messange of Muhammad, hal 105), artinya Setelah merujuk pada kitab suci dan tradisi kitab suci dan tradisi Islam (Sunnah) dan setelah dilakukan pengkajian terhadap sejarah-sejarah Islam selama zaman kalifah ortodok, seluruhnya selalu cocok untuk semua tempat dan manusia. Apabila prinsip-prinsip ini dilaksanakan, orang akan mampu menyaksikan kefleksibelan ajaran tersebut (syariah) dan pengaturannya dengan penalaran yang netral (independent) (Pesan Nabi Muhammad yang abadi). Bandingkan pendapat para penulis diatas dengan pendapat Nurcholis Madjid, “Kecuali nilai-nilai dasar yaitu rasa taqwa yang terbit dari iman kepada Allah dan ibadah kepada-Nya, (di dalam Islam) tidak ada nilai-nilai yang tetap”. (Pembaharuan Pemikiran Islam, Penerbit Islamic Research Centre, Jakarta, Hal.10). Bandingkan pula dengan pendapat Abdurrahman Wahid tentang adanya sekelompok Muslim “yang mengidealisir Islam sebagai alternative satu-satunya terhadap segala macam isme dari ideologi “(Tempo, 20 Juni 1981). Jadi Menurut Abdurrahman Wahid, Islam itu pada hakekatnya tidak mengandung ajaran ideologi dan pendapat bahwa Islam adalah mengandung ideologi hanyalah di idealisir saja, jadi hanya di angan-angan saja. Menurut Abdurrahman Wahid, “Isalam difungsikan terutama dalam pergaulan sosio-kultural”. Karakteristik suatu ideologi yang membedakannya dengan ideologi lain ialah terutama terletak pada system politik dan sistim ekonomi, sedangkan segi-segi lainnya (budaya, pendidikan, militer dll) adalah refleksi atau penunjang dari kedua system itu. 7
Karena itu di dalam buku ini hanya akan dikemukakan beberapa prinsip umum dalam Al-Qur’an dan Hadist mengenai sistim politik dan sistim ekonomi saja.
I. PRINSIP-PRINSIP UMUM SISTEM POLITIK MENURUT ISLAM 1. Sistem politik dalam Islam adalah berdasarkan prinsip-prinsip umum yang terdapat di dalam Al Qur’an dan Hadist. Orang boleh saja memperbandingkan sistim politik dalam Islam dengan yang terdapat di luar Islam, tetapi orang tidak dapat menilai apa-apa yang terdapat di dalam system politik dalam Islam lain. Misalnya saja mengenai lembaga “kedaulatan rakyat” hamper semua manusia gandrung (rindu dendam) kepada kedaulatan rakyat, sampai-sampai dikalangan kaum intelektual muslim ada yang berpendirian bahwa di antara isme-isme di dunia, demokrasilah yang paling dekat dengan islam. Seorang intelektual muslim yang dalam berfikir bernafaskan Islam, yaitu bertitik tolak dari dan melakukan pemikiran menurut garis ajaran-ajaran Islam tentulah tidak akan menilai jauh-dekatnya isme lain dari / dengan islam, karena jarak dekat atau jauh sukar diukur, sebab sistim politik menurut islam mempunyai dasar dan sistimnya sendiri yang secara fundamental berbeda dengan yang ada di dalam sistim-sistim lain. Jika kepada seorang intelektual yang bernafaskan barat ditegaskan bahwa sistim politik dalam Islam tidaklah didasarkan kepada “kedaulatan rakyat” melainkan kepada bahwa “kedaulatan Tuhan”, ia akan skeptis, apalagi jika diingat bahwa “kedaulatan Tuhan” itu yang pernah menjadi dasar sistim politik dari abad pertengahan sudah dicampkkan oleh Negara-negara Barat sejak Revolusi Perancis. Tetapi yang dicampakkan di Barat itu adalah “Kedaulatan Tuhan” yang dipraktekkan oleh gereja dalam kombinasinya dengan feodalisme-nya abad pertengahan; Kombinasi demikian tidak pernah dikenal dan tidak ada di dalam Islam. 2. Menurut Abul A’ala Mandudi dalam bukunya pokok-pokok pandangan hidup muslim terjemahan Osman Raliby (1979:50), sistim politik Islam berdasarkan atas tiga prinsip, yaitu Tauhid (Ke-Maha Esa-an Tuhan), Risalah (Ke-Rasulan Muhammad), dan Khilafah. Khalifah artinya wakil, khilafah artinya perwakilan. Menurut Maududi (Ibid hal : 52), sebagai wakil dari Allah harus dipenuhi empat syarat: a. Pemilik dari bumi seluruhnya adalah tetap Tuhan dan bukan Wakil-Nya yang bertugas mengelola. b. Pengelola itu akan mengelola milik Allah (bumi) sesuai dengan instruksi-instruksi-Nya. c. Pengelola bumi akan melaksanakan ke-kuasaannya dalam batas-batas yang Allah telah tetapkan baginya. d. Dalam mengelola itu ia akan melaksanakan kehendak Allah bukan kehendak sendiri. Kemudian ditegaskan Maududi (Ibid hal : 53) bahwa tidak ada perorangan manusia atau kelas satu dinasti dapat menjadi khalifah, dan bahwa kekuasaan khalifah itu dianugerahkan kepada seluruh golongan rakyat, kepada masyarat sebagai satu keseluruhan, yang memang bersedia memenuhi syarat-syarat perwakilan itu setelah menyetujui prinsip-prinsip Taukhid dan Risalah. Implikasi dari khilafah ialah bahwa setiap apa yang didalam Al-Qur’an disebut sebagai milik Allah atau sebagai kekuasaan Allah maka yang mewakili-Nya adalah manusia sebagai satu keseluruhan. Selanjutnya Maududi berkata, “setiap orang menikmati hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari perwakilan ketuhanan itu dan dalam hal ini semua perorangan adalah sama. Badan-bdan untuk melaksanakan soal-soal Negara dibentuk sesuai dengan kehendak-kehendak dari orang-orang itu. Pendapat mereka adalah menentukan (decisive) dalam pembentukan pemerintah yang harus dijalankan sesuai dengan kehendak mereka. Barang siapa memperoleh kepercayaan mereka ia akan menjalankan tugas dan kewajiban-kewajiban dari Khilafah atas nama mereka; Jika ia kehilangan kepercayaan itu, ia harus berhenti dan tuntuk terhadap kemauan mereka. Dalam hal ini sistim politik Islam adalah suatu bentuk demokrasi yang sempurna. Mengenai perbedaan antara demokrasi Barat dan demokrasi Islam, Maududi (Ibid Hal : 54) mengatakan, dalam demokrasi Barat, rakyat yang berdaulat, dalam demokrasi Islam kedaulatan berada pada Tuhan dan rakyat adalah Khalifah atau wakil-Nya. Dalam demokrasi Barat rakyat 8
membuat undang-undang sendiri sedang dalam demokrasi Islam rakyat haru mentaati undangundang Syariat yang diberikan lewat Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW. Mengenai Khilafah Shalaby (1957:11) berkata, Khilafah itu mulai dari pagi-pagi telah kehilangan corak keagamaannya, yaitu sejak berdirinya kerajaan Umawiyah. Islam tidak mengenal sistim mewarisi kekuasaan (sistim berputera mahkota). Sejak sistim mewarisi kekuasaan itu dipakai pada kerajaan Umawiyah, jadilah jabatan Khalifah yang diwarisi itu suatu jabatan yang asing dari sistim Islam. Di dalam pelajaran “sejarah Islam”, kerajaan serupa itu biasanya dimasukkan kedalam ke-Khalifahan (di dalam Islam) yang sebenarnya tidaklah tepat, sebab Islam tidak mengenal sistim politik monarchal, sehingga kerajaan serupa itu tepatnya disebut pseudo Islam, karena menurut Shalaby kerajaan serupa itu adalah asing dari Islam, atau dengan kata lain telah menyimpang dari syariat dan tidaklah mencerminkan masyarakat Islam. Bagaimana dapat diharapkan dari masyarakat pscudoIslam seperti tiu akan keluar Fiqh-fiqh yang melaksanakan dan menegakkan syariat. Yang terang dari padanya tidak akan muncul fiqh yang lengkap menyangkut pengaturan kehidupan kenegaraan/kemasyarakatan. Memang sebagaimana yang dikatakan oleh Sayid Qutb :”…..bukan masyarakat Islam yang menciptakan Syariat, tetapi syariatlah yang menciptakan masyarakat Islam”. 3. Menurut Maududi, tujuan dari Negara menurut syariat adalah menegakkan, memelihara, memperkembangkan ma’rufat (vietues) yang dikehendaki oleh Allah dan mencegah serta membasmi mungkarat (vices). Syariat membagi ma’rufat kedalam tiga kategori : Fardhu (wajid), Sunat (mandub) dan Mubah; sedangkan mungkarat dibagi atas haram dan makruh. “…..yang mubah itu, yakni yang diperbolehkan, yang permissible, adalah sangat luas, sehingga terkecuali buat hal-hal yang memang secara khusus dilarang oleh syariat, segala sesuatu dibawah matahari adalah mubah buat setiap muslim (Maududi, Ibid hal : 32). Monarkhi adalah bertentangan dengan prinsip persamaan antara hamba Allah, bertentangan dengan prinsip musyawarah (untuk memilih kepala Negara) dan bertentangan dengan prinsip menyerahkan Pimpinan kepada yang lebih cakap. Karena itu monarkhi bukanlah mubah, melainkan bertentangan dengan syariah. Bagaimana dengan aspirasi “Negara Islam”?. Di dalam syariat tidak ada nash (ketentuan) yang memerinthakan berdirinya “Negara Islam” walau juga tidak ada larangan untuk itu. Bagi umat Islam di suatu Negara yang memang mampu dan sanggup mendirikannya, hukumnya adalah sekedar mubah; sedangkan bagi umat islam yang tidak mampu dan tidak sanggup, tapi bersikeras hendak mendirikannya hanyalah akan menimbulkan mahorot dan karenanya malahan terlarang berdasarkan kaidah; artinya Mencegah madhorot harus didahulukan daripada mencapai manfaat. Bagi umat Islam di Indonesia yang didalam Negara non sekuler Pancasila berkesempatan sepenuhnya menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, aspirasi “Negara Islam” adalah amat tidak relevan, juga melanggar Kesepakatan Bangsa 22 Juni 1945 yang didalam doktrin Islam dikenal sebagai “Negara Kesepakatan”. 4. Adapun mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, di bawah ini tertera beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadist yang saya kutip dari buku “Hak-hak Asasi dalam Islam”, hasil seminar Riyadh, 22 Maret 1972 terjemahan A. rakhman Zainuddin MA, 1979, hal 39-41. a. Dalam Al-Qur’an 1. Surat Al-Israa ayat 70 (S.17:70); yang artinya sesungguhnya telah kami muliakan anak Adam. 2. Surat Al Khujurat ayat 13 (S.49:13); artinya kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku agar kamu saling mengenal. Yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertagwa. 3. Surat Al Mumtahanah ayat 8 (S.60:8) artinya, terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu dalam masalah agama dan tidak pula mengusir kamu dari kampong halamanmu, Tuhan tidak melarang kami berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka, karena Allah mengasihi orang yang berbuat adil. 9
4. Surat Al Baqarah ayat 256 (S.2:256) artinya, Tidak boleh ada paksaan dalam hal agama. 5. Surat Yunus ayat 99 (S.10:99) yang artinya adalah engkau akan membenci manusia sampai dia menjadi mukmin. 6. Surat An Nuur ayat 27 (S.74:27) yang artinya janganlah masuk kerumah orang lain tanpa izin. 7. Surat Al Maa’rij ayat 24 (S.70 :24) artinya orang-orang yang didalam harta benda terdapat hakhak tertentu; bagi orang yang meminta dan tidak punya. 8. Surat Al Maidah ayat 8 (S.5:8) artinya, hai orang-orang yang beriman jadilah orang-orang yang berdiri tegak karena Allah sebagai saksi atas keadilan. Janganlah karena kamu benci kepada suatu golongan lalu engkau tidak bersikap adil; bersikaplah adil, karena ini lebih dekat kepada taqwa. Takutlah kepada Allah Sesungguhnya Allah itu Maha Tahu dengan apa yang kamu lakukan. b. Hadist Nabi 1. Artinya; orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang non Arab. Tidak pula orang putih atas orang hitam kecuali dengan taqwa. 2. Artinya; kaum wanita adalah saudara kandung kaum lelaki. 3. Artinya; harta dan darah saudaramu haram bagimu. 4. Artinya; menuntut ilmu adalah wajib bagi seorang muslim dan muslimat. 5. Artinya; semua mahluk ini adalah anggota keluarga Allah. Makhluk yang paling dicintai Allah adalah mahluk yang paling berguna bagi anggota keluarganya.
X.
PRINSIP-PRINSIP UMUM SISTIM EKONOMI MENURUT ISLAM
1.
Suatu sistim ekonomi (dari ideologi manapun) mengatur hubungan antara warga Negara dan penguasa / Negara dalam bidang ekonomi; c.q. hak milik warga Negara, hak pemilikan warga Negara atas sumber sumber ekonomi (tanah, kekayaan alam, alat-alat produksi) visa visa penguasaan/pemilikan sumber-sumber ekonomi oleh Negara, serta hak berusaha warga Negara vis a vis wewenang Negara dengan perusahaan Negara. Kapitalisme dan marxisme/sosialisme mempunyai pengaturannya masing – masing mengenai persoalan-persoalan tersebut di atas, Islam bagaimana?
2.
Menurut Islam, tugas Negara diantaranya adalah membasmi mungkarat dan di dalam sistim ekonomi termasuk mungkarat adalah stiap bentuk penghisapan (exploitation), kedholiman dan ketidakadilan (Maududi, Ibid : 55). Hal ini dikonkritkan oleh Muhammad Qutb (Islama the Musinderstood Religion) “ 1964 : 132) dalam sikapnya terhadap kapitalisme : “They (orientalists) argue that as Islam permiited individual awnership it must likewise permit capitalism. In answer to this accousation it might suffice to point out that capitalism can not prosper or grow without usury and monopoly both of which were prohibilited by Islam about one thousand years before the existence of capitalism. Artinya ; kaum orientalis berpendapat bahwa karena islam mengijinkan kepemilikan secara individu, dengan demikian Islam pasti mengijinkan kapitalisme. Sebagai jawaban terhadap tuduhan ini, barang kali cukup dijelaskan bahwa kapitalisme tidak akan mampu berhasil baik atau berkembang tanpa adanya riba dan monopoli, kedua-duanya dilarang oleh Islam kira-kira 1000 tahun sebelum munculnya kapitalisme. Terhadap labah yang diperoleh sikapitalis berkat kerja si buruh, Muhammad Qutb (ibid hal: 135) berkata; The Islamic principle which was laid this respect entitles the workman to more the profit with their employers. The employer provides the capital and the workman does the work; the two efforts are equal and accordiangly they are entitled to an equal share in the profit. Artinya; ajaran-ajaran Islam yang menyangkut hal ini memberi hak kepada buruh untuk berbagi keuntungan dengan majikannya. Majikan menyediakan modal dan buruh yang berkerja. Kedua usaha tersebut adalah sama dan oleh karena itu mereka berhak mendapat keuntungan yang sama.
10
Secara implicit, Muhammad Qutb menerima pendapat Karl Marxa tentang adanya surplus-value, hak buruh yang dirampas oleh si – kapitalis. 3.
Mengenai riba yang dilarang oleh Islam (AL-Baqarah:275 dan Al-Imran 130), Syafruddin Prawira Negara di dalam sebuah ceramahnya “Hakekat ekonomi Islam” memberi interpretasi dengan bunga pinjaman uang yang biasa disebut di dalam dunia bank sebagai interest. Menurut Syafrudin, riba adalah segala bentuk keuntungan yang diperoleh dengan: a. Exploitation de I’humoric par I’homme (Penindasan dan pemerasan oleh manusia atas manusia), dan b. Abuse de la nature par I’homme (penyalah-gunaan alam oleh manusia). Jadi, riba adalah segala bentuk kedholiman dalam bidang ekonomi, diantaranya adalah excessive profit, excessive interest, pengerukan hasil hutan yang merusak lingkungan alam dan lain-lain.
4.
Interpretasi ala Syafruddin diatas adalah sesuai dengan jiwa syariat, karena dengan melarang setiap bentuk kedholiman c.q. dalam bidang ekonomi, msyarakat atau kepentingan umum akan terlindungi. Dan tugas syariat diantaranya ialah melindungi kepentingan umum. Akhmad Zaki Yamani (Ibid Hal:44) menerangkan bahwa, Jika diluar bidang peribadatan dikatakan sesuatu hak adalah sebagai Hak Allah, yang dimaksud adalah hak jamaah atau hak umum. Hubungan ini dengan ajaran khilafah yaitu bahwa yang menjadi wakil (khalifah) Allah dimuka bumi, bukanlah orang perseorang, bukan dinasti, melainkan masyarakat muslim secara keseluruhan (vide bab X, sub 2). Jadi terhadap hak milik ada pembatasan yaitu panjang tidak timbulkan kerugian kepada orang lain, hingga keluar Hadist Nabi; artinya tidak boleh merugikan dan dirugikan (Ahmad dan Ibnu Majah). Dari prisip diatas, Yamani (Ibid hal : 48 – 49) sampai teori kesewenangan-wenangan dalam penggunaan hak isinya adalah sebagai berikut: Penggunaan Hak (milik) hanya dibolehkan untuk mewujudkan maksud yang dituju sesuai dengan adanya hak itu. Penggunaan hak dapat dianggap tidak menurut Syara bila menimbulkan kerugian yang luar biasa. Penggunaan tidak dibenarkan kecuali untuk mendapat sesuatu faedah dan bukan merugikan orang lain. Kemudian Yamani (Ibid hal : 51) mengemukakan bahwa pemilik hak dianggap telah berlaku sewenang-wenang atau melakukan hal-hal sebagai berikut: Jika tindakannya ditujukan untuk merugikan orang lain. JIka tindakannya itu tidak membawa faedah kepadanya tapi malah merugikan orang lain. Jika tindakannya itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum seperti halnya monopoli. Menurut Yamani, teori tersebut telah dimuat dalam kitab Undang Undang Hukum Perdata Turki Usmani. Dalam prinsip khilafah terletak prinsip kolektivitas dalam dam, karena yang menjadi khilafah adalah umat hamba Allah secara keseluruhan. Jadi jika di dalam Al-Qur’an disebut bahwa sesuatu milik Allah, maka implikasinya adalah bahwa milik Allah itu diserahkan pengelolaannya kepada umat hamba-hamba Allah secara keseluruhan. Dalam Al-Qur’an Surat Thaaha ayat 6 (S.20:6) artinya; Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di angkasa, yang ada dibumi, dan diantara keduanya serta yang ada di bawah tanah. Mengenai ayat tersebut Yamani mengatakan bahwa kata-kata “apa” dalam ayat Al-Qur’an tadi memberikan pengertian bahwa semua yang ada di bumi seluruhnya” di ciptakan untuk manusia semuanya. Tidak ada seorang pun yang diistimewakan untuk melebihi yang lain. Ayat tersebut dikonretisir oleh sebuah hadists Nabi yang artinya; Manusia memiliki bersama tiga benda, yaitu air, rumput dan api dalam suatu riwayat ditambah “dan garam”.
11
Mustafa Husni Assiba’I, menunjuk kepada hadist tersebut sebagai dasar untuk nasionalisasi dengan menambahkan; Sudah tentulah bahwa hadist diatas yang hanya menyebutkan tiga macam benda itu, bukan sekali-kali dimaksudkan membatasi (hanya menyebutkan tiga macam benda itu saja yang boleh di nasionalisasikan), tetapi dapa dimasukkan didalamnya segala sesuatu yang menjadi kebutuhan bersama bagi manusia umumnya (Sosialisme Islam, Terjemahan M. Abdal Ratomy, Penerbit CV. Diponegoro, Bandung Cetakan I, 1969 hal 215). Pada hemat saya, yang dimaksudkan di dalam hadist tersebut tentulah bukan sekedar air, rumput, dan api melainkan sumbernya. Dari ayat dan hadist tersebut terlihat adanya paralellisme dengan pasal 33 UUD 45. 6.
1400 tahun yang lalu dimana masyarakat Arab masih dalam tahap ekonomi yang dapat dikatakan baru berupa subsistence-economy atau standwitschaft, belum ada perdagangan inter-kontinental, industripun belum ada masalah hubungan perburuhan, namun Al-Qur’an dan Hadist telah menggariskan beberap prinsip umum yang tampak sekali relevansinya untuk masa kini juga untuk masa depan. Bertolak dari prinsip: (Al Baqarah : 279), dan Hadist: Hubungan perburuhan adalah untuk memelihara keseimbangan (keadilan) antara buruh dan pemilik modal. Beberapa prinsip umum dalam bidang ini terkandung didalam sejumlah ayat AlQur’an dan Hadist di bawah ini yang dikutip dari buku “Sosialisme Islam”, Assiba’I 1969:207-214) sebagai berikut: a. Al-Qur’an 1.
Surat Ahqoof ayat 19 (S.46:19) yang artinya; Bagi setiap orang apa yang dikerjakan mempunyai nilai, imbalannya hendaknya dipenuhi dan jangan ada yang teraniaya.
2.
Surat Ali Imran ayat 195 (S.3.195) yang artinya; Sesungguhnya Aku tidak mengabaikan amal dari kamu masing-masing baik lelaki maupun perempuan.
3.
Surat Al A’raf ayat 85 (S.7:85) yang artinya; Dan janganlah kamu mengurangi barangbarang orang.
4.
Surat Al Qashash ayat (S.28:5) yang artinya; Dan kami akan memberi pertolongan kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi.
b. Hadis-hadist Nabi 1.
Artinya; setiap orang dari kamu adalah penggembala dan setiap penggembala bertanggung jawab atas gembalanya (Bukhari-Muslim).
2.
Artinya; Buruh adalah pengembala atas harga majikannya dan harus bertanggung jawab atas gembalaannya itu (Bukhari – Muslim).
3.
Artinya; bayarlah tiga orang yang akan menjadi lawanku di akhirat,….seorang di antara mereka itu adalah orang yang memperkerjakan buruh tetapi tidak memenuhi upahnya.
4.
Artinya; bayarlah upah si-buruh sebelum keringatnya kering.
5.
Artinya; Kepada Buruh yang tidak mempunyai tempat tinggal berilah tempat tinggal, yang belum kawin kawinkanlah, yang belum mempunyai kendaraan sediakanlah kendaraan. (Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Demikian banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadits yang menyinggung soal kemiskinan, sehingga timbil pertanyaan apakah di dalam Islam, kemiskinan itu merupakan lembaga tersendiri, artinya yang tidak dapat dihapuskan dank arena itu harus di Bantu?. Melihat prinsip-prinsip umum sistim politik dan sistim ekonomi di dalam Islam yang sebagiannya telah disinggung di muka, sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam Islam tidak mungkin terjadi kekayaan structural. 12
Kekayaan structural adalah kekayaan yang dimungkinkan oleh struktur kekuasaan. Feodalisme, monarki, kapitalisme, fasisme, oligarki dan kombinasi-kombinasi lain antara struktur kekuasaan dan stuktur ekonomi, masing-masing membawa kekayaan stukturalnya sendiri. Karena Islam menolak setiap sistim politik/ideologi tersebut, Islam karenanya juga menolak kekayaan stuktural dalam setiap manifestasinya. Kekayaan stuktural menghasilkan kemikinan stuktural. Karena Islam menolak setiap bentuk kekayaan stuktural, Islam juga tidak mengenal kemiskinan structural. Karena itu kemiskinan yang dimaksud di dalam Al Qur’an dan Hadis bukanlah kemiskinan stuktural dank arena itu juga bukan merupakan lembaga. Kemiskinan yang dimaksud di dalam ayat-ayat Al Quran dan hadist adalah kemiskinan karena musibah, kecelakaan, kemasalah, kebodohan dan lain-lain yang semuanya dapat dikategorikan ke dalam kemiskinan dhoruri. Kemiskinan structural harus dan dapat diberantas, tetapi yang tidak dapat dihapus, setidak-tidaknya yang selalu saja dapat terjadi adalah kemiskinan dhoruri.
XI. KESIMPULAN 1.
Islam bukanlah ideologi, tetapi mengandung prinsip-prinsip umum yang universal tentang bagaimana mengatur kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan.
2.
Dari prinsip-prinsip umum tersebut dapatlah diyakini bahwa Islam adalah menolak feodalisme, monarki, kapitalisme, fasisme, diktatur, totaliterisme, otoriterisme, oligarki dan setiap bentuk kombinasi antara kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi. Sudah barang tentu Islam menolak atheisme dan sekulerisme dan setiap sistim politik yang didasarkan kepada kedua-duaisme tersebut.
Prinsip-prinsip umum tersebut yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadist jika disusun di dalam satu sistim dapat merupakan sebuah ideologi yang aplikabel dalam suatu Negara. Prinsip-prinsip umum tersebut jika diproyeksikan ke alam Indonesia akan menunjukkan adanya paralellisme dengan prinsip-prinsip Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh UUD-45. Bagi umat Islam di Indonesia tidaklah relevan untuk menyusun ideologinya sendiri, melainkan dapat mengusahakan agar pelaksanaan Pancasila, Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD-45 diwarnai oleh Prinsipprinsip umum yang terdapat di dalam Al-Quran dan Hadist tentang kehidupan bernegara dan bermasyarakat; bersama-sama dengan kaum Pancasila-is lainnya, umat Islam Indonesia lainnya hendaknya memperjuangkan agar Pancasila, Pembukaan dan Pasal-Pasal UUD-45 terlaksana secara riil operational, sehingga Pancasila benar-benar akan menjadi “Living ideology”. Kegiatan memperdalam pengkajian isi Al-Qur’an dan Hadits akan membawa kepada pemahaman prinsip-prinsip umum yang terkandung di dalam Al-Quran dan hadist tentang pengaturan kehidupan Negara dan masyarakat (aspek ideologi), dan peningkatan pemahaman aspek ideologi dari Islam ini justru dapat menimbulkan dan meningkatkan harmoni dalam penghayatan ajaran-ajaran Muamalah (Islam) dan penghayatan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh UUD-45, sehingga apa yang di sementara kalangan Islam di Indonesia terasa sebagai “hutang turun temurun” setidak-tidaknya apa yang masih merupakan “psychological baririer’ dapat dihapus. Demi Ketahanan Nasional, kelestarian, Republik Pancasila Indonesia.
13
DAFTAR PUSTAKA 1.
Al Qur’anulkarim (9:122), (35:28) (3:157), (34:15), (6:165), (24:55), (5:44-45,17) (37), (17:70), (49:18), (60:8), (2:256), (10:99), (24:27), (70:24), (5:8), (20:6), (2:279), (46:19), (3:195), (7:85), (28:5). 2. Al Hadits (Bukhari Muslim), (Tharani, Abu Na’im dan Ibnu Abdilbar), (Ibnu Abdilbar), (Amad dan Ibu Maja), (Bukhari Muslim), (Imam Ahmad & Abu Dawud). 3. Abul A’la Maududi, Pokok Pokok Pandangan Hidup Muslimin Alih Bahasa Oleh Prof. Osman Rabily, penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1979. 4. Abul A’la Maududi, Dasar-Dasar Ekonomi Dalam Islam dan Berbagai Sistim Masa Kini. ALih Bahasa Oleh Abdullah Suhaili, Penerbit PT. Al Ma’arif, 1980. 5. Sayid Qutb, Masyarakat islam. Diterjemahkan oleh H.A. Muthi Nurdin, SH. Penerbit Yayasan At Taufiq PT. Al Ma’arif Bandung, 1978. 6. Muhammad Qutb, Islam The Misunderstood Religion. Penerbit Ministry of Awqaf & Islamic Affair State of Kuwait, 1964. 7. Prof. Dr. A. Shalaby, Negara dan Pemerintah dalam islam. Diterjemahkan oleh Prof. Muchtar Jahya, Penerbit Toko Kitb Salim Nabhan, Surabaya, 1975. 8. Prof. Dr. Ahmad Sjalaby, Masyarakat Islam. Diterjemahkan oleh Prof. Muchat Jahya, Penerbit CV. Ahmad Nahban, Jogja, 1957. 9. Dr. Ahmad Zaki Yamani, Syari’at islam yang Kekal dan Persoalan Masa Kini. Penerbit Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan, Yayasan Bhineka TUnggal Ika, Jakarta, 1978. 10. Abdurrahman Azzam, The Eternal Messsage Of Muhammad. Penerbit The New American Library, New York & Toronto the New English Library Ltd. London. 1965. 11. Dr. Mustafa Husni Assiba’I, Sosialisme Islam. Diterjemahkan oleh M. Abdai Ratomy, Penerbit CV. Diponegoro, Bandug, 1969. 12. Dr. H.M. Rasyidi, Islam dan Socialisme. Penerbit Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1966. 13. Prof. Dr. harun Nasution, islam di Tinjau dari berbagai Aspeknya. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Jakarta, 1979. 14. Prof. Dr.H.M. Rasyidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution. Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1977. 15. Drs. Nurcholis Madjid, Pembaharuan Pemikiran Islam. Penerbit Islamic Research Centre, Jakarta, 1977. 16. Prof. Dr.H.M. Rasyidi Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid. Penerbit Bulan Bintang, Jakarta 1977. 17. A. Rahman Zainuddin MA, Hak-hak Asasi dalam Islam. Penerbit Media Dakwah Islamiyak Indonesia, 1979. 18. Drs. Miftah Faridl, Pokok-pokok Ajaran Islam. Penerbit Pustaka-Perpustakaan Saman ITB, Bandung, 1980. 19. Abdul Razak Naufal, Al-Quran dan Masyarakat Modern. Penerbit Mutiara, Jakarta, 1978. 20. Syekh Ibnu Taimyah, Pedoman Islam Bernegara. Alih Bahasa Oleh KH. Firdaus A.N. penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1978. 21. H. Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam. Penerbit Bulan Bintang Jakarta, 1978. 22. H. Syafruddin Prawiranegara, Hakekat Ekonomi Islam. (Paper) 23. Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin Penerbit CV. Diponegoro, Bandung, 1975. 24. PB. HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan. Diterbitkan oleh PT.HMI, 1970. 25. Sekretariat Konstituante Tentang Dasar Negara Ri dalam Konstituante. 26. Harsja W. Bahtiar (peny), Percakapan dengan Sidney Hook. 27. Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History. Penerbit The New American Library, 1961.
14
BAB II MENUJU TERBINANYA INSAN PEJUANG PARIPURNA A.
PENDAHULUAN
1.
Pendidikan Politik Materi yang diuraikan dalam buku ini, hanya dalam garis besar dimaksudkan untuk memenuhi aspek pengetahuan praktis dalam rangka pendidikan politik. (political education) adalah lebih tepat daripada istilah dalam Bahasa Indonesia: politieke schooling yang hanya mencakup aspek pengetahuan, tanpa pengalaman dan ujian kepejuangan dalam kancahnya arena perjuangan.
2.
Applied Political Knowledge Materi dalam buku ini disebut sebagai pengetahuan praktis, ialah karena diambil / disaring dari empiri dan praktek, dan dicoba disusun dalam sebuah sistimatik. Karena tidap berupa ilmu, cukup disebut pengetahuan saja. Karena pengetahuan ini adalah sudah dipraktekkan atau diterapkan, maka disebut “pengetahuan politik yang diterapkan” (applied political knowledge), atau dapat juga disebut sebagai “pengetahuan politik praktis”.
3.
Bekal Pasca – Kuliah Terhadap istilah “pengetahuan politik praktis”, tekanan (stress) harus diletakkan pada kata-kata “pengetahuan”, bukan pada kata-kata “politik praktis”. Mengapa? Karena organisasi Mahasiswa tidaklah melakukan politik praktis. Yang dinamakan politik praktis ialah semua kegiatan yang bertujuan memperoleh kekuasaan Negara / pemerintahan atau turut dalam kekuasaan (memperoleh posisi politik). Jadi, pengetahuan politik praktis ini sekali-kali bukan diterapkan di dalam dan oleh organisasi mahasiswa. Pengetahuan ini sekedar untuk membuat para Mahasiswa tidak buta politik atau buta ideologi. Di dalam politik dikenal sebuah maksim (hukum) yang berbunyi: Siapa yang buta politik akan dimakan oleh politik; siapa yang buta ideologi akan dimakan oleh ideologi (yang bertentangan dengan Ideologi Nasional : Pancasila). Di samping itu, pengetahuan politik praktis ini dapat melengkapi Studium Generale bagi mahasiswa. Maksud Studium Generale adalah memberi ilmu / pengetahuan yang relative membulatkan, sesuai dengan nama universitas yang artinya universum alias bulat-menyeluruh, tidak sempit dalam disiplin ilmunya sendiri yang sebenarnya hanya merupakan bagian (fakultas) dari pengetahuan yang bulat-menyeluruh (universitas). Dengan menyelenggarakan training yang materi-materinya diantaranya adalah berupa pengetahuan politik praktis, organisasi mahasiswa melengkapi materi yang tidak diberikan oleh universitas dalam mata kuliah Studium Generale.
4.
Apakah Relevan Dalam Zaman modern sekarang ini, konon bahkan sudah pasca modern yang menuntut peningkatan tehnologi dan profesionalisme, apakah relevan untuk mempelajari soal-soal ideologi, organisasi dan strategis-strategis yang materi-materi ini adalah termasuk pengetahuan politik praktis? Negara kita Republik Indonesia ini adalah Negara Ideologi, artinya Negara yang pada saat diproklamasikan Kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 telah merumuskan Tujuannya (Ideologinya) yaitu berupa Pembukaan UUD-45 berikut Pancasila. Negara Ideologi haruslah berjuang untuk dan selalu memperjuangkan tercapainya dan terlaksananya Ideologi Negara yaitu Masyarakat yang Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila. Dengan demikian, Negara Ideologi itu tidak membiarkan Ideologi Negara menjadi ideologi formil belaka alias ideologi yang di-lip-service-kan, melainkan benar-benar Ideologi Negara akan menjadi ideologi yang riil dan hidup (living ideology). 15
Mahasiswa sebagai lapisan masyarakat yang berpendidikan (bepengetahuan dan berkarakter/berkepribadian) turut memikul beban dalam rangka merealisasikan ideologi Negara itu, apalagi jika nanti sudah meninggalkan bangku kuliah terjaun dalam masyarakat dalam berbagai profesi. Memang applied political knowledge ini diberikan selagi masih menjadi mahasiswa, karena mahasiswa yang masih mempunyai idealisme yang belum hanyut tenggelam dalam arus globalisasinya kapitalisme yang pada hakekatnya kapitalisme itu memang berperangai international, tidak mengenal batas Negara dan bangsa, mahasiswa yang kondisi mentalnya relative masih murni itu jiwanya masih terbuka untuk menerima dan meresapkan pendidikan politik dalam rangka merealisasikan ideologi Negara. Disinilah letak relevansi dari materi ideologi organisasi dan strategi taktik, terutama sebagai bekal dalam pasca kuliah setelah terjun di masyarakat. B.
SYARAT-SYARAT PERJUANGAN IDEOLOGI
1.
Enam Syarat Perjuangan Perjuangan Ideologi yaitu perjuangan untuk mencapai Tujuan Ideologi akan mencapai sukses jika dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Iman atau keyakinan yang teguh b. Ilmu yang cukup c. Ideologi yang jelas. d. Organisasi yang rapi e. Strategi dan taktik yang tepat f. Kemampuan tehnis/tehnologis yang memadai.
2.
Urutan Prioritas Urut-urutan dari enam syarat tersebut haruslah seperti yang tertulis diatas, tidak boleh ditambah, karena urut-urutan itu menunjukkan adanya prioritas, yang disebut duluan adalah lebih utama dank arena itu harus lebih dulu ditangani. Misalnya, kalau factor ideologi belum ditangani oleh Pimpinan dan oleh karena itu jajaran organisasi belum memahami isi ideologi, sekali-kali tidaklah boleh diberikan materi strategi taktik. Melakukan strategi taktik tanpa dilandasi (nilai-nilai) ideologi, apalagi kalau imannya pun masih tipis, akan menjurus kepada avonturisme (petualangan) profiteurisme (mencari keuntungan pribadi), opportunisme (bunglorisme) dan political beggarism (gelandangan politik).
3.
Simultan Paripurna Meskipun setiap syarat dari enam buah syarat perjuangan itu menempati prioritasnya masingmasing, namun semua syarat itu haruslah ditangani secara simultan, karena suksesnya perjuangan tergantung kepada dipenuhinya semua syarat itu secara paripurna (komplit dan lengkap). Jadi meskipun sudah beriman teguh dan berilmu cukup, namun jika factor ideologi belum ditangani, sehingga tujuan perjuangan belum jelas, kekuatan-kekuatan lalu tidak terkonsentarasi terarah kepada tujuan dan akibatnya perjuangan akan tidak mencapai hasil. Atau strategi dan taktik sudah digariskan, tetapi organisasi belumlah rapi, sasaran stratak tidaklah akan tercapai, karena stratak baru akan berhasil jika didukung oleh organisasi yang rapi.
4.
Pemimpin Paripurna Pemimpin yang memimpin perjuangan ideologi haruslah seorang pemimpin paripurna artinya seorang pemimpin yang tidak saja memahami, meresapi, dan menghayati ke enam syarat itu, melainkan juga yang mampu menangani syarat-syarat itu, sehingga semua jajaran organisasi dari Pusat ke bawah juga memahami, meresapi dan menghayati syarat-syarat perjuangan ideologi itu. 16
Jadi seorang pemimpin paripurna adalah pemimpin yang berfikir, berjuang dan bekerja di dalam dan bagi kerangka enam syarat itu. Pemimpin paripurna itu selalu berfikir imani, ilmiah, ideologis, organisatoris, strategis taktis dan tehnis-tehnologis. Ia pun berjuang dan bekerja menurut pemikiran tersebut. Pola berfikir, berjuang dan bekerja seperti itu yang dilakukan oleh sang pemimpin akan memunculkan kader-kader pejuang yang juga berfikir, berjuang dan bekerja menurut bagi dan di dalam kerangka enam syarat itu, sehingga dari pemimpin paripurna akan terbina pula pejuangpejuang paripurna. 5.
Bidang Ideopolitar Di dalam buku ini hanya dibahas tiga dari enam syarat perjuangan ideologi yaitu tentang ideologi yang merupakan Tujuan perjuangan, tentang organisasi yang merupakan wahana atau alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan dan tentang strategi taktik yang merupakan cara atau jalan yang ditempuh menuju tujuan. Tiga factor tersebut biasanya di cakup dalam istilah IDEOPOLITOR (Ideologi, politik, dan Organisasi). Mengapa kata-kata stratak tidak tercantum dalam istilah Ideopolitor itu, ialah karena stratak selalu secara intrinsic terkandung dalam perjuangan, tentu saja perjuangan yang serius dan bonafide. Dua factor yaitu Iman dan Kayakinan dan Faktor Ilmu tidak dibahas dalam buku ini, karena factor iman diasumsikan sudah diresapi oleh setiap kader, sedangkan factor ilmu sudah diperoleh di fakultasnya masing-masing. Faktor kemampuan tehnis / tehnologis tidak pula dibahas di dalam buku ini, bukannya karena tidak penting, justru factor tersebut adalah turut menentukan dapat tidaknya suatu rencana stratak terlaksana. Buku ini membatasi pembahasan hanya mengenai Ideopoliter, sedangkan factor tehnis/tehnologis adalah merupakan mata pelajaran tersendiri yang ditangani oleh instruktur tersendiri pula.
C.
MENDALAMI IDEOLOGI
1.
Pengertian (Defenisi) Ideologi Ideologi adalah seperangkat nilai-nilai berdasarkan suatu pandangan hidup untuk mengatur kehidupan Negara dalam semua seginya yang tersusun dalam sebuah konstitusi berikut aturanaturan operasionalnya.
2.
Ideologi dan Agama a. Ideologi 1.
Ideologi adalah hasil pikiran manusia, meskipun yang seperangkat nilai-nilainya bersumber pada pandangan hidup agama.
2.
Ideologi adalah untuk kehidupan dunia.
3.
Ideologi akan selalu mengalami perubahan demi menampung perkembangan zaman dari waktu ke waktu.
b. Agama
3.
1.
Agama adalah Dienullah, Wahyu dari Allah.
2.
Agama adalah untuk kehidupan dunia akhirat.
3.
Agama adalah universal, tidak berubah-ubah, cocok untuk setiap bangsa dimana saja dan kapan saja.
Nilai-nilai Dasar Kehidupan Bernegara Menurut Islam. a. Dari uraian diatas terlihat bahwa Islam bukanlah ideologi. Tetapi ini tidaklah berarti bahwa Islam sama sekali tidak mengandung pedoman/petunjuk mengenai kehidupan bernegara. 17
Petunjuk ini adalah berupa nilai-nilai dasar kehidupan bernegara yang terkandung di dalam AlQur-an dan Hadits. b. Landasan dari nilai-nilai dasar tersebut adalah : 1.
Taukhid kepada Allah Subkhanahu Wa Ta’ala
2.
Kerasulan (Risalah) dari Nabi Besar Muhammad SAW
3.
Kekhalifahan (khilafah) manusia di muka bumi.
c. Nilai – nilai dasar tersebut diantaranya ialah : 1.
Persamaan derajat manusia (egalitarianism)
2.
Musyawarah.
3.
Hak-hak demokrasi
4.
Keadilan
5.
Maslahatul aminah (kepentingan umum)
6.
Mencegah kedholiman atas manusia, kekayaan Negara dan lingkungan hidup.
7.
Hak atas hidup, mencari rezeki, kekayaan, keluarga dan kehormatan.
8.
Hak si miskin atau santunan
9.
Hak timbal balik antara pemimpin dan yang dipimpin.
10.
Hak Minoritas.
d. Kalau dikatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap, hal ini tidak berarti bahwa AL-Qur’an mengandung suatu konstitusi yang sudah ready-for-use (siap pakai). Suatu konstitusi dari waktu ke waktu akan dirubah untuk penampung dinamika dan perubahan zaman. Kalau konstitusi yang terkandung dalam Al-Quran berubah, Qur’an pun akan turut berubah. Qur’an tidak akan berubah-ubah karena universal abadi. c. Karena terkandung di dalam Al-Qur’an dan Hadits, nilai-nilai dasar tentang kehidupan bernegara itu juga abadi, tidak berubah-rubah. Yang berubah-rubah adalah konstitusi yang merupakan aktualisasi dan perumusan dari nilai-nilai dasar itu. Itulah mengapa di dunia ini terpadat sejumlah konstitusi yang berbeda-beda meskipun sama-sama berlandaskan nilai-nilai dasar kehidupan bernegara yang bersumberkan pada Al-Quran dan Hadits. d. Bagi Umat Islam Indonesia, nilai – nnilai dasar kehidupan bernegara yang terkandung di dalam Al-qur’an dan Hadits tidaklah perlu disusun dalam suatu konstitusi (Islam) tersendiri, melainkan disalurkan saja lewat system Pancasila karena Pancasila berikut keseluruhan dari Pembukaan UUD-45 serta Batang Tubuh UUD-45 adalah sesuai dengan ajaran Islam. Di sini pulalah akan terletak sumbangan Islam bagi kehidupan Nasional. e. Keseluruhan materi dari ajaran Islam biasanya disusun dalam sistimatik; aqidah, syari’ah dan akhlaq. Sedangkan syari’ah terdiri dari ibadah yang muamalah. Pada hemat saya, ajaran Islam tentang muamalah baru akan terlaksana dengan baik jika perilakunya berakhlaq baik, oleh karena itu, saya ingin membuat sistimatik lain, tanpa sedikitpun mengurangi materi ajaran Islam. Keseluruhan materi ajaran Islam terdiri dari : 1.
Aqidah
2.
Ibadah
3.
Akhlaq
4.
Muamalah Muamalah dapat dibagi atas : a)
Muamalah perdata, yaitu yang mengatur hubungan antara perseorangan, dan 18
b)
Muamalah umum (publik), yaitu yang mengatur hubungan antara orang-seorang dengan Negara/masyarakat.
f. Bertitik tolak dari taukhid, kerasulan, kekhalifahan manusia serta nilai-nilai dasar tersebut, setiap muslim/muslimat yang berkwalitas sebagai pemikir/ cendikiawan (ulul albab) akan menyoroti ideologi-ideologi, mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
4.
Nasionalisme Indonesia a. Nasionalisme atau kebangsaan adalah sikap menyintai dan bersedia berkurban untuk bangsa dan tanah air. Nasionalisme di seluruh dunia adalah tidak sama isi, watak dan perwujudannya, tergantung kepada latar belakang kebudayaan, sejarah dan watak setiap bangsa. Nasionalisme juga ada yang jahat yaitu nasionalisme Barat, termasuk Jepang dengan perangai ekspansionisme dan jinggoisme pada masa lalu, dan sekarang sedikit banyak masih mempraktekkan imperialisme ekonomi atau neo-kolonialisme terhadap Negara-negara berkembang. Dalam konteks materi buku ini, yang dimaksudkan dengan nasionalisme adalah Nasionalisme Indonesia. b. Nasionalisme Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1.
Nasionalisme Indonesia timbul, tumbuh dan berkembang dari sikap perlawanan terhadap kolonialisme, sedangkan kolonialisme adalah anak kapitalisme. Oleh karena itu, Nasionalisme Indonesia harus berwatak anti kapitalisme, anti imperialisme termasuk imperialisme ekonomi.
2.
Perjuangan melawan kolonialisme di pelopori oleh umat Islam Indonesia sehingga umat Islam Indonesia dapat disebut sebagai cikal-cikal bangsa Indonesia; sampai tahun 1920, seorang nasionalis adalah muslim (kecuali satu dua orang seperti Setiabudi).
3.
Dari penderitaan di bawah kekejamannya penjajahan dan dari perjuangan melawan kolonialisme, tumbuhlah rasa senasib dan sepenanggungan yang selanjutnya menimbulkan persamaan watak. Dari persamaan nasib dan watak ini timbullah rasa sebangsa (Teori Otto Bauer : Aus Schwicksalgemeinschaft erwachsene Character-geminschaftpersamaan nasib yang menimbulkan persamaan watak) .
4.
Menurut teori “terikatnya manusia dengan tempat tinggalnya”, Bangsa Indonesia yang dijajah o leh kolonialisme itu terikat kepada wilayah bekas jajahan Belanda itu merupakan satu kesatuan geo-politik. (teori geo-politik dari Bung Karno), sehingga bekas wilayah Hindia Belanda itulah yang menjadi tanah airnya Bangsa Indonesia.
5.
Nation Baru, Bangsa Indonesia itu tidak sekedar terikat oleh persamaan nasib dibawah pejajahan Belanda. Jadi tidak terikat hanya oleh masa yang sudah lalu, tetapi sekaligus juga memandang ke depan, setelah dengan selamat senatausa diantarkan ke depan pintu gerbang kemerdekaan (Alinea ke 2 Pembukaan UUD-45). Menurut Ernest Renan ( What is a Nation, 1882) yang dikutip oleh W. Friedinan, “An introduction to World Polities tahun 1953 halaman 36 : “ A Nation is a Soul, a spiritual principle (bangsa adalah jiwa, prinsip spiritual). Ke depan, prinsip spiritual yang mengikat Bangsa Indonesia adalah Ideologi Negara yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD-45 yang menurut Proklamator Bung Karno merupakan Declaration of Independence (Pernyataan Kemerdekaannya) Bangsa Indonesia.
6.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, ajaran agama (islam) untuk menentang setiap bentuk kedholiman, dalam hal ini ke-dholimannya kolonialisme, telah mendorong dan memberi spririt kepada rakyat Indonesia yang berjiwa religius itu untuk bangkit menentang kolonialisme. Aspirasi rakyat Indonesia yang religius itu telah ditampung dalam Kesepakatan Bangsa tanggal 22 Juni 1945 yang isi pokoknya diantaranya adalah : 19
a) Menjadikan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Sila Pertama (dari Pancasila), dengan demikian menjadikan Republik Indonesia bukan sebagai Negara sekuler tetapi juga bukan Negara Teokrasi. b) Menjadikan Republik Indonesia sebagai Negara kebersamaan, kolektif, gotong royong, Negara kekeluargaan (ps. 33 ayat 1 UUD-45), yang tidak memberi tempat kepada setiap bentuk individualisme yang dapat menjurus kepada setiap bentuk kekuasaan yang merupakan ke-dholiman terhadap bangsa sendiri (jadi bukan Negara kekeluargaan menurut teori integralistik dari Prof. Supomo yang berintikan paham “manuggaling kawula-gusti” yang identik dengan paham monarkal-feodalisme).
5.
7.
Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang menurut Proklamator Bung Karno merupakan “loro-loroning atunggal” (dua tetapi satu) dengan Pembukaan UUD45, Nasionalisme Indonesia telah mencapai titik puncak berupa Trilogi Nasionalisme Indonesia, yaitu : Satu Nation : Bangsa Indonesia; satu Negara Nasional : Republik Indonesia; Satu Ideologi Nasional ; Pancasila/Pembukaan UUD-45. ketiga-tiga logi itu merupakan “telu-teluning atunggal” (tiga tetapi satu) , logi yang satu tidak dapat dipisahkan dengan dua logi lainnya.
8.
Pembukaan UUD-45 telah merumuskan serta menjelaskan hakekat dasar dan tujuan Nasionalisme Indonesia dan Kemerdekaan Indonesia. Di antara Negara-negara yang merdeka setelah usainya perang Dunia II pada tahun 1945 kecuali Negara-negara Komunis, Indonesia adalah satu-satunya Negara yang merumuskan nasionalismenya, yaitu berupa Pembukaan UUD-45.
9.
Pembukaan UUD-45 itu merupakan hasil Kesepakatan Bangsa tanggal 22 Juni 1945 yang semula disebut Piagam Jakarta yang kemudian setelah diperbaiki/disempurnakan oleh Sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 lalu dijadikan Pembukaan UUD-45.
10.
Karena Pembukaan UUD-45 telah merumuskan Nasionalisme Indonesia, maka suatu nasionalisme lain selain yang terkandung dalam Pembukaan UUD-45 tidak mungkin eksis di Indonesia. Apalagi setelah Pancasila diterima sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (U.U. No.8/1985). Nasionalisme baru juga tidak diperlukan, karena keseluruhan Pembukaan UUD-45 masih amat relevan dan actual, sehingga yang diperlukan bukanlah nasionalisme baru melainkan itikad dan tekad baru untuk sungguh-sungguh melaksanakan semua nilai yang terkandung di dalam Pembukaan UUD-45 menurut bunyi dan jiwanya. Sedang mengenai globalisasi, pegangan kita Bangsa Indonesia adalah apa yang tercantum di dalam Pembukaan UUD-45; “ … Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social ….” (alinea ke-4 Pembukaan UUD-45).
Liberalisme / Kapitalisme a. Muncul setelah Revolusi Perancis 1789, Liberalisme bertitik tolak dari anggapan bahwa manusia dilahirkan bebas dan oleh karena itu harus hdiup dalam kebebasan. Liberalisme telah melahirkan sejumlah hak-hak asasi manusia, diantaranya di bidang politik berupa hak-hak dasar politik (basic political rights) dan di bidang ekonomi hak kebebasan berusaha (free enterprise). Free enterprice itu lalu berkembang menjadi free competition (kebebasan bersaing), free monopoly yang lebih lanjut menimbulkan free exploitation (kebebasan menghisap) dalam berbagai bentuknya. b. Liberalisme yang di dalam bidang ekonomi melahirkan free monopoly dan free exploitation itulah yang memunculkan kapitalisme. Meskipun kapitalisme pertama kali muncul dalam alam liberalisme, namun kapitalisme tidak hanya hidup dalam alam liberalisme. Bahkan kapitalisme dapat hidup lebih subur dalam alam fasisme, diktatur dan feodalisme. c. Kapitalisme bukanlah setiap usaha yang mempergunakan kapital, meskipun di dalam istilah kapitalisme terdapat kata kapital.
20
Ini dari kapitalisme adalah penghisapan manusia oleh manusia yang sering-sering disertai dengan penindasan serta yang membawa kesengsaraan dan kerugian terhadap masyarakat kekayaan Negara dan lingkungan hidup. d. Kapitalisme adalah identik dengan kekayaan structural. Yang dinamakan kekayaan structural ialah setiap usaha yang dengan bantuan struktur kekuasaan mendatangkan laba yang berlipatlipoat ganda serta yang merugikan masyarakat, kekayaan Negara dan lingkungan hidup. e. Sejarah kapitalisme dan sejarah imperialisme yang merupakan anak dari kapitalisme adalah sejarahnya perang-perang modern dalam skala besar seperti dua kali perang dunia atau dalam skala kurang besar seperti yang terjadi di beberapa Negara di Asia serta di Amerika Tengah/Selatan. Dua perang dunia (tahun 1914 dan 1939) dilakukan dengan dalih mentereng yaitu untuk mempertahankan demokrasi, tetapi sebenarnya untuk mempertahankan jajahan terhadap Negara-negara Jerman, Itali dan Jepang yang tidak mempunyai jajahan (the have nots) karena jajahan adalah merupakan darah-hidup (life’s blood) bagi kapitalisme. Pergolakan-pergolakan bersenjata yang terjadi di Amerika Tengah/Selatan pada tahun 19501990, oleh rejim-rejim fasis militer disebut sebagai gerakan-gerakan komunisme, tetapi sebenarnya pergolakan itu adalah merupakan perlawanan rakyat terhadap penghisapan yang dilakukan oleh kapitalisme Amerika Serikat yang didukung oleh rejim-rejim militer. Perang Vietnam didalihkan untuk membendung komunisme, tetapi sebenarnya adalah untuk memberi peluang kepada industrialis-industrialis senjata Amerika Serikat untuk menjual senjata-senjata baru yang dipergunakan di medan perang Vietnam. Pemilik-pemilik Industriindustri maut (karena menjual senjata yang mendatangkan maut) itu mengeruk keuntungan besar-besaran di atas mayat-mayat ratusan ribu rakyat Vietnam dan puluhan ribu serdadu Amerika Serikat yang mati dalam perang tersebut. f. Kalau tidak berbentuk perang, kesengsaraan yang ditimbulkan oleh kapitalisme adalah berupa pengrusakan alam dalam bentuk pembabatan hutan-hutan, pencemaran lingkungan hidup dan sebagainya. Di samping itu, kesengsaraan rakyat juga terjadi akibat penggusuran (pemaksanaan jual tanah dengan harga yang terlalu amat rendah), sehingga Pembangunan bukannya untuk rakyat, melainkan rakyatlah (yang dikorbankan) untuk “pembangunan” Bentuk lain dari praktek kapitalisme yang membawa kekayaan structural bagi si-kapitalis dengan merugikan masyarakat atau Negara adalah dimiliki dan dikuasainya “cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak” oleh si kapitalis, jadi melanggar pasal 33 ayat 2 UUD-45. juga pemberian hak mengelola atas kekayaan alam dalam jumlah yang amat besar meliputi ratusan ribu hektar kepada seseorang kapitalis adalah melanggar pasal 33 ayat 3 UUD-45, karena di tangan si kapitalis, kekayaan alam itu tidak dapat dikuasai oleh Negara dan oleh karena itu tidak dapat dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
6.
Sosialisme / Marksisme a. Sebagai reaksi terhadap sistim kapitalisme, muncullah pada pertengahan abad ke-19 paham sosialisme yang bercita-cita menciptakan kolektivitas dan kebersamaan atas penyelenggaraan dan penderitaan yang dibawa oleh Kapitalisme. Penyelenggaraan ekonomi tanpa penghisapan (exploitasi) sebenarnya telah dilakukan oleh Nabi Besar Muhammad SAW di masyarakat Madinah pada abad ke-7 Masehi, meskipun tanpa pakai sebutan sosialisme. Sehingga ada yang mengatakan bahwa Nabi adalah Bapak Sosialisme yang pertama di dalam sejarah manusia. Dari sejak munculnya paham sosialisme yang dibawakan oleh Saint Simon dan Robert Owen pada sekitar awal abad ke-19, yang paham sosialisme mereka berdua ini amat indah dan ideal tetapi tak mungkin direalisasikan, sehingga sosialisme : Simon-Owen diberi nama Sosialisme Utopia, maka sejarah manusia telah mengenal berbagai ragam sosialisme sebagai berikut : a.
Sosialisme Utopia 21
b.
Sosialisme Feodal
c.
Sosialisme borjuis kecil
d.
Sosialisme religius
e.
Sosialisme marksisme
f.
Sosialisme democrat
Karakteristik dari sosialisme adalah : 1)
Dikuasainya/dimilikinya oleh Negara cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.
2)
Perencanaan ekonomi (pembangunan) oleh Negara.
3)
Peranan Negara berjalan bersama-sama dengan peranan swasta (termasuk koperasi)
4)
Berlakunya mixed ekonomi, yaitu ekonomi pasar berdampingan dengan ekonomi nonpasar.
b. Ekonomi Pancasila sudah dirumuskan prinsip-prinsipnya di dalam Pembukaan UUD 1945 dan sejumlah Pasal UUD 1945. Dari situ terlihat, bahwa ekonomi Pancasila adalah identik dengan ekonomi sosialisme (tentu saja non-marksistis), sehingga ekonomi Indonesia yang dikehendaki oleh UUD 1945 dapat disebut sebagai sosialisme Indonesia atau sosialisme Pancasila. b. Dengan runtuhnya Uni Sovyet dan rejim-rejim serupa di Eropa sebelah Timur, tidaklah berarti hapusnya cita-cita sosialisme karena sosialisme (non marksis) tetap merupakan salah satu alternative terhadap kapitalisme.
E.
MEMAHAMI FUNGSI ORGANISASI
1.
Fungsi organisasi meliputi aspek sarana, termasuk dana, perlengkapan dan sebagaimana, serta aspek sumber daya manusia. Dalam buku ini yang akan dibahas hanyalah yang mengenai aspek kedua yaitu mengenai sumber daya manusia.
2.
Dalam Aspek SDM, organisasi berfungsi : a. Menciptakan sumber potensi b. Membina potensi menjadi kekuatan riil. c. Mempersiapkan kekautan riil untuk dikerahkan dalam suatu acara perjuangan. Yang dimaksudkan dengan sumber potensi ialah Lembaga-lembaga pendidikan dari TK sampai dengan SMA yang formal atau informal, madrasah/pesantren seperti Remaja Masjid dan lainlain. Di Lembaga – lembaga pendidikan, anak-anak didik kita memperoleh pendidikan agama, sehingga setelah mereka menjadi remaja atau anak muda mereka dapat disebut potensi. Potensi itu belum merupakan kekuatan, dapat disebut sebagai calon kekuatan. Dengan memasuki suatu organisasi mahasiswa atau organisasi pemuda, potensi itu akan memperoleh latihan atau dapat disebut pembinaan, sehingga potensi itu akan berkembang menjadi kekuatan riil. Setelah potensi menjadi kekuatan riil, barulah organisasi dapat mempergunakannya untuk keperluan melaksanakan suatu program atau acara organisasi/perjuangan.
3.
Jadi seluruh sumber daya manusia itu dapat dibagi atas sumber potensi, potensi, dan kekuatan riil. Setiap jenis SDM itu mempunyai peranannya masing-masing dalam kaitannya dengan keberhasilan organisasi. Peranan itu adalah sebagai berikut : a. Sumber potensi yang besar memberi kemungkinan untuk suksesnya organisasi / perjuangan. b. Potensi yang besar memberi harapan untuk suksesnya organisasi/perjuangan. c. Kekuatan (riil) yang besar memberi peluang (kans) untuk suksesnya organisasi/perjuangan. 22
Jadi baru sampai kepada peluang untuk sukses. Lalu kekuatan mana yang berperan (decisive) menentukan sukses? Yang menentukan sukses atau keberhailan organisasi atau perjuangan pada suatu saat adalah kekuatan efektif. Yang dinamakan kekuatan efektif adalah jumlah kekuatan yang secara riil dan efektif dapat dikerahkan dalam suatu acara organisasi atau perjuangan. Bagaimana organisasi dapat mengerahkan kekuatan secara riil dan efektif, ini tergantung kepada cara Pimpinan organisasi mengerahkan dan mempergunakan kekuatan. Mengenai cara mempergunakan kekuatan ini, akan dibahas dalam Bab tentang Stratakl di belakang. 4.
Di depan telah disebutkan bahwa keberhasilan perjuangan ditentukan oleh dipenuhinya enam buah syarat perjuangan. Siapakah yang menangani syarat-syarat, sehingga perjuangan benar-benar akan melengkapi enam buah syarat itu? Jawabnya adalah : Pimpinan atau lebih tepatnya kepemimpinan. Jadi di dalam organisasi atau perjuangan, factor yang menentukan bagi sukses atau keberhasilan adalah Kepemimpinan.
23
BAB III LEADERSHIP A.
HAKEKAT LEADERSHIP
1.
Fungsi memimpin harus dibedakan secara tajam dengan fungsi memerintah, mengepalai atau mengadili. Pejabat kepala jawatan, kepala perusahaan, hakim, sesepuh, niniak mamak sehariharinya menjalankan wewenangnya sebagai kepala secara rutin (pada umumnya). Si Pejabat atau Kepala perusahaan menerima perintah atau petunjuk dari atas dan memberi atau meneruskan perintah itu ke bawah. Si-Hakim atau si – Ninik mamak memberi hukum dengan mentrapkan sebuah aturan yang besumber kepada seperangkat hukum terhadap suatu kasus yang muncul, kasus sama, keputusan sama. Dalam masa damai seorang Komandan pasukan tidaklah berfungsi memimpin karena yang diperintahkan sehari-hari berdasarkan seperangkat aturan tata tertib militer. Di dalam medan perang barulah ia berfungsi memimpin karena di dalam medan perang yang dilakukan bukanlah tindakan-tindakan rutin melainkan harus menghadapi kejadian-kejadian yang tidak terduga.
2.
Memimpin tidaklah berbekalkan seperangkat aturan yang tinggal diterapkan saja. Memimpin pada umumnya adalah menghadapi dan harus menemukan jawaban atas persoalan-persoalan baru yang sering belum ada presedennya. (Preseden-kasus yang sebelumnya pernah terjadi), bahkan yang terjadi hanya sekali, sehingga keputusan yang diambil atas persoalan yang muncul itu bukan saja harus dipikirkan masak-masak tetapi juga harus tepat, sebab kalau meleset atau gagal tidak dapat diulang karena terjadinya sering-sering “einmalig” (sekali).
3.
Memimpin pada umumnya menemukan jawaban atas persoalan baru, sehingga memimpin dapatlah dikatakan sinonim atau identik dengan merintis jalan perubahan/pembaharuan. Masalah leadership karenanya tidak timbul dalam masyarakat yang tradisional dan statis yang kehidupannya dari tahun ke tahun bersifat rutin bagi adat itu ke adapt itu lagi. Dalam masyarakat begiti, status quo adalah menjadi tujuan sendiri dan setiap perubahan/pembaharuan adalah tabu. Di dalam masyarakat tradisional dimana “the existing existence is an end in itself” (eksistensi yang ada merupakan tujuan sendiri), munculnya leadership yang identik dengan pembaharuan akan terasa sebagai gangguan terhadap tatanan yang ada (the existing establishment). Pada mulanya tatanan yang ada dapat saja mempertahankan status quo, tetapi akhirnya pembaharuan jua yang berhasil menerobos, karena pembaharuan pada dirinya adalah justru merupakan syarat untuk kesinambungan.
4.
Leadership adalah selalu pro generasi-muda kerena generasi – muda adalah sarana kesinambungan. Sikap curiga atau menjauhi generasi-muda adalah pertanda leadership yang tidak baik. Mengendalikan generasi muda adalah ungkapan secara lain dari sikap mencurigai generasi muda. Karena dikendalikan, generasi muda tidak akan mampu mewaris leadership hari depan, pengendalian generasi muda jadinya sama dengan tidak menciptakan sarana kesinambungan.
5.
Karena leadership adalah selalu berkaitan dengan dinamika dan pembaharuan, leadership berarti kemampuan menghadapi setiap pergolakan yang penuh dengan persoalan-persoalan baru yang masing-masing menuntut jawaban yang pemecahannya. Kemampuan sedemikian ini terutama adalah dibawa oleh bakat yang dibawa orang seorang dan tidak dapat diajarkan, tetapi kalau bakat itu tampak ada dapat dan harus dikembangkan dan dibina. Leadership adalah seni, dapat diupgrade dan dikultivir, tetapi tanpa ada benih-bakat tidaklah dapat diprodusir. A leander is born and vultivated, not made.
6.
Karena leadership selalu menghadapi dinamikanya perubahan-perubahan, hasil suatu leadership tidaklah dapat ditentukan secara pasti, walau dapat diperkirakan. Leadership hamper selalu mengandung factor spekulatif yang mengandung resiko, tetapi resiko yang diperhitungkan (calculated risk); leadership memang tidak bersifat tehnis – matematis – eksak. Hubungan antara leadership dan hasil dapat dirumuskan sebagai berikut : 24
K+p+s+X=H k =
Kekuatan
p =
Perlengkapan/sarana
s
sikon
=
X =
leadership
H =
hasil
Dengan factor – factor k, p dan s yang sama, hasil dapat berbeda, hal ini ditentukan oleh mutu X (leadership). Sun Tsu Wu, Leading an army, beating the enemy and winning a battle is no supreme excellence. Suprence elcellence consists of breaking the enemy’s will to resist. Artinya memimpin pasukan, mengalahkan musuh dan memenangkan pertempuran tidaklah hebat. Yang hebat ialah kemampuan mematahkan kemauan musuh untuk melawan.
B.
KONDISI LEADERSHIP DI INDONESIA
1.
Kedudukan pemimpin di Indonesia masih sering dikacaukan dengan kedudukan pejabat; kepala jawatan maupun direktur perusahaan (Negara). Si Pejabat, si Kepala Jawatan atau si Direktur sering berlagak sebagai pemimpin (Politik); dibalik itu, si pemimpin berlagak dan ingin diperlakukan sebagai pejabat.
2.
Masih terdapat mentalitas sisa feodalisme atau mentalitas neo feodalisme yaitu berupa sikap penguasa atau establishment – oriented. Mentalitas sedemikian merupakan sebuah kontradiksi dalam dan amat menghambat leadership. Leadership yang inheren (tidak dapat dipisahkan) dengan perubahan/pembaharuan pada asasnya adalah bersikap non-establishment oriented, walau tidak mesti bersikap anti establishment. Penguasa atau “dinasti” establishment biasanya berorientasi kepada status quo, setidak-tidaknya tidak peka atau amat lamban dan tidak tanggap terhadap jeritan perubahan/pembaharuan.
3.
Betapa orientednya kepada penguasa itu, hal ini tampak dalam adanya ungkapan tentang “Pemimpin formal” disamping “pemimpin informal”. Ungkapan ini mengandung anggapan bahwa pejabat adalah pemimpin dan karena pejabat itu diangkat secara formal (dengan SK Pemerintah), maka pejabat adalah pemimpin formal dan yang non – pejabat adalah pemimpin informal. Ini pandangan yang keliru. Pemimpin yaitu : pemimpin masyarakat atau pemimpin partai atau pemimpin organisasi kemasyarakatan adalah pemimpin yang diterima dan dijadikan pemimpin oleh masyarakat atau oleh massa yang dipimpin. Pemimpin jadinya merupakan suatu kenyataan dalam masyarakat, suatu kenyataan sosiologis dan kadang-kadang politis; sebagai kenyataan, pemimpin tidaklah memerlukan pengangkatan (SK Pemerintah), bahkan tidak ada seseorang yang menjadi pemimpin karena diangkat dengan SK Pemerintah, sebab pemimpin adalah timbul dari bawah, tumbuh dan berkembang secara bertingkat keatas sampai diterima oleh masyarakat atau oleh massa sebagai pemimpin. Dengan demikian, ungkapan “pemimpin formal” adalah sebagai kontradiksi ( Contradictio in terminis) sedang “Pemimpin informal” adalah pleonasme.
4.
Fungsi memimpin adalah dalam konteks perjuangan tidaklah lain melainkan pengorbanan sehingga memimpin pun tidak lain melainkan memberikan pengorbanan. Di Indonesia, ada orang yang disebut pemimpin (politik) mempergunakan kedudukan politiknya untuk menanam kepentingan (interest) dalam bidang ekonomi sedang pengusaha yang mempergunakan kedudukan ekonominya untuk ikut-ikut dalam arena politik bukanlah untuk mampu berpolitik secara independent karena sudah mempunyai basis ekonomi ini sih bagus, melainkan untuk lebih memperkuat posisi ekonominya, sementara itu ada pula perwira ABRI yang dengan berdwifungsi memperoleh kedudukan ekonomi lewat pintu depan ataupun pintu belakang, dengan demikian ia melakukan trifungsi. Dan dikalangan pemuda/mahasiswa, tokoh pemuda/mahasiswa tidak mau ketinggalan pula : ada yang mempergunakan “ke-tokohannya” dalam kalangan pemuda/mahasiswa untuk memperoleh rejeki pula, dengan demikian ia tidak lagi menjalankan fungsi pemuda secara independent, walau di depan rekan-rekannya sesama pemuda/mahasiswa, ia tetap berlagak sebagai 25
tokoh pemuda. Mahasiswa yang “konsisten”. Kondisi leadership yang tidak wajar seperti yang digambarkan diatas menimbulkan effek negatif dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat : timbullah erosi idealisme, patriotisme dan jiwa merdeka: kehidupan nasional diwarnai oleh hipokritisme, konformisme dan serba lip-service. Akibatnya ialah terhalangnya pembentukan insan-insan Indonesia yang berwatak dan bermuncul larilah orang-orang yang kepribadiannya ngambang bagaikan buih air-bah (yang di dalam sebuah Hadits Nabi disebut : “ ‘ usa-un ka ghusa’issaili” (seperti buih yang melayang – layang). Orang-orang yang tidak berbobot yang gampang melayang terbang menurut arah angin bertiup. Semua ini berakibat terbengkalainya nation-building yang terungkap dalam sepinya rasa kebangsaan dan martabat nasional (national pride and national dignity) yang selanjutnya amat menghambat penyemaian benih-benih political leadership, padahal tanpa kader-kader politik akan dapat menghalangi terjaminnya kesinambungan political leadership, padahal tanpa kader-kader politik akan dapat menghalangi terjaminnya kesinambungan political leadership, sedang kelestarian Republik Pancasila tercinta ini adalah terletak pada kesinambungan political leadership yang benar-benar Pancasila-is, dan tidak sekedar dalam lip-service belaka. 6.
Syukurlah bahwa di dalam kehidupan Nasional kita masih terdapat tokoh-tokoh masyarakat yang tetap konsisten pada nilai-nilai idealisme, patriotisme serta nilai-nilai Agama dan Pancasila yang meskipun menghadapi berbagai kesukaran tetap menanamkan nilai-nilai pada angkatan muda yang masih murni yang belum terjangkit penyakit latah dan njilat. Pada angkatan muda yang demikian dapat diharapkan munculnya kader-kader political leadership yang sejati yang akan sanggup mewaris bukan hanya hari depan melainkan yang terutama mewaris leadership hari depan.
C.
PENGERTIAN LEADERSHIP
1.
Leadership adalah selalu dalam konteks perjaungan atau politik, karenanya leadership adalah menyangkut organisasi perjuangan atau partai politik dan tidak menyangkut klub, jawatan atau perusahaan. Management tidaklah sinonim dengan leadership, meskipun managerial skill adalah sangat penting bagi kelancaran organisasi perjuangan atau partai politik khususnya di dalam bidang organizational leadership. Prinsip-prinsip management seperti planning, organizing, executing dan control memang berlaku bagi organisai perjuangan atau partai, namun me “manage” organisasi perjuangan atau partai secara prinsipil berbeda dengan me “manage” (mengelola) perusahaan. Pada dasarnya mengelola perusahaan adalah dengan motivasi mencari keuntungn materiil, sedang memimpin partai atau organisasi perjuangan adalah untuk memperjuangkan aspirasi atau untuk mencapai tujuan politik (ideologi).
2.
Faktor leadership menonjol terutama pada tahun-tahun sekitar perang dunia kedua yaitu dengan bergolak-bangkitnya bangsa-bangsa terjajah serta dengan munculnya kekuatan-kekuatan politik baru yang menumbangkan tatanan lama (the old establishement). Adanya kekuatan-kekuatan politik yang secara fisik lemah tetapi sanggup menghadapi dan mengalahkan kekuatan yang superior (unggul) dalam manpower dan persenjataan, telah membawa kepada kesimpulan bahwa dalam pertarungan sedemikian itu, leadership adalah faktor yang menentukan (decisive).
3.
Dari sejarah pergolakan-pergolakan itu dapat diketahui berbagai mutu leadership : ada yang berhasil penuh, ada yang gagal total; ada yang setengah berhasil kemudian gagal, ada yang setengah gagal kemudian berhasil, dan tidak pernah terjadi leadership yang gagal total berubah menjadi berhasil. Menarik pelajaran dari proses pergolakan-pergolakan itu memang mencoba menemukan patokan umum yang dapat dianggap sebagai pola leadership yang meskipun tidak semanjur ilmu management bagi perushaan, namun setidak-tidaknya dapat merupakan pegangan dalam menjalankan leadership.
4.
Istilah “leadership” berasal dari pokok kata “leader” (pemimpin); leadership adalah mengandung pengertian gabungan dari dua unsur : 1. Unsur orang seorang : si-pemimpin; 26
2. Unsur pedoman dan cara memimpin atau ; pola kepemimpinan. Betapapun tingginya mutu seorang pemimpin, dalam menjalankan Pimpinan dia mestilah berpegang kepada pola kepemimpinan. Tanpa berpegang kepada pola leadership, si-pemimpin yang hebat akan merupakan “the right man in the wrong place”. ; iapun akan gagal. Si pemimpin yang kualitasnya kurang, meskipun ia berpegang kepada pola leadership; ia akan gagal. Si “pemimpin” yang kualitasnya kurang dan iapun tidak berpegang kepada pola leadership, ia adalah “the wrong man in the wrong place” , ia akan gagal berlipat ganda. Apalagi si-pemimpin gadungan yang munculnya misalnya lewat pembajakan, ia bukan saja akan gagal total, melainkan dapat menimbulkan bencana. 5.
Karena leadership adalah dalam konteks perjuangan menuju tercapainya tujuan politik (ideologi), leadership berarti keharusan menguasai bidang ideologi, bidang organisasi (bagaimana menghimpun dan membina kekuatan serta menyediakan sarana), bidang stratak (bagaimana menggunakan kekuatan/organisasi menghadapi suatu peristiwa pada suatu saat serta bagaimana menggunakan kekuatan/organisasi mencapai sasaran dalam jangka waktu tertentu) dan bidang ilmu serta keterampilan tehnik untuk keperluan penanganan ketiga-tiga bidang; ideologi, organisasi dan strategi dan taktik. Dengan demikian leadership dapat dirumuskan sebagai berikut : “ Kemampuan menghimpun, menyusun dan membina kekuatan serta sarana-sarana dan menggunakan/mengerahkannya untuk menghadapi peristiwa politik pada saat tertentu dalam rangka mencapai sasaran dalam jangka waktu tertentu menuju tercapainya ideologi”.
D.
POLA KEPEMIMPINAN
1.
Di depan telah disebutkan bahwa dalam kata kepemimpinan terkandung dua sisi : dari si Pemimpin dan pola kepemimpinan.
2.
Perjuangan politik/ideologi jika ingin berhasil haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Iman yang teguh b. Ilmu yang cukup c. Ideologi (tujuan) yang terang. d. Organisasi yang rapi. e. Strategi dan taktik yang tepat. f. Kemampuan tehnis / tehnologis yang memadai.
3.
Yang dimaksudkan dengan Pola Kepemimpinan ialah keharusan menangani, membenahi dan meningkatkan ke-enam-enam faktor yang merupakan syarat-syarat perjuangan tersebut. Dari enam syarat tersebut, yang merupakan faktor-faktor yang relatif konstan (tetap) adalah faktor iman, ilmu, ideologi, organisasi dan tehnik/tehnologi. Sedang yang merupakan faktor yang variabel adalah faktor strategi dan taktik.
4.
Sebuah organisasi dapat disebut sebagai organisasi yang baik dan rapi (well organized), jika semua faktor konstan telah dipenuhi (relatif) : a. Dalam faktor iman, pra pemimpinnya adalah orang-orang yang beriman teguh. Dalam perilaku dan pergaulan sehari-hari, iman yang teguh itu tampak pada diri para pemimpin yang mempunyai integritas (jujur) teguh dalam pendirian (dalam pengaktualisasinya tentu saja dengan memperhitungkan sikon) menunaikan amanat, mendahulukan kepentingan organisasi dan perjuangan dari kepentingan diri sendiri dan kesediaan berkurban. b. Dalam faktor ilmu, para pemimpin dalam semua jajaran organisasi adalah orang-orang yang berpengajaran cukup sehingga mampu memahami persoalan-persoalan Ipolkumeksosbudhan (ideologi – politik – hukum – ekonomi sosial budaya – pertahanan) di tingkat lokal, nasional, regional dan global.
27
c. Dalam faktor ideologi, ideologi dirumuskan dan diberi tafsiran yang jelas. Dan dalam praktek politik praktis sehari-hari atau dalam kehidupan negara sehari-hari, nilai – nilai ideologi diaktualisasikan secara konkrit, jadi ideologi tidak sekedar berupa sloganisme dan verbalisme. d. Dalam faktor kemampuan tehnik/tehnologi, kemampuan ini dipelajari dalam semua jajaran organisasi dan kemudian diterapkan bagi kegiatan organisasi sehari-hari. e. Dalam faktor organisasi, ketentuan-ketentuan organisasi berjalan dari pusat ke bawah dan dari bawah ke Pusat. Dari organisasi yang sudah baik dan rapi itu, biasanya akan muncul pimpinan yang benar-benar mampu (qualified) menunaikan tugasnya sebagai pemimpin. Karena faktor-faktor konstan dari organisasi relatif sudah dipenuhi, tugas pimpinan adalah terutama menggariskan strategi dan taktik, menentukan sasaran-sasaran tertentu yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu dalam rangka mencapai tujuan akhir yaitu tercapainya tujuan yang tercantum dalam ideologi. Mencapai sasaran tertentu dalam jangka waktu tertentu akan meningkatkan semangat dan moril perjuangan. Untuk ini pimpinan haruslah pandai-pandai memilih sasaran secara realistis yang peluang (chance) tercapainya ada, sesuai dengan kemampuan organisasi dan dengan memperhitungkan sikon. Jika sejumlah sasaran yang telah ditetapkan sering atau berturut-turut tidak tercapai, hal ini dapat membawa dampak menurunkan semangat dan moril perjuangan. “you must strive for daily succeses, even if small, and at all cost retain moral ascendancy” (upayakan mencapai sukses sehari-hari walau kecil; dengan jalan apapun pertahankan semangat dan moril perjuangan). 6.
Sebuah organisasi dapat disebutkan sebagai organisasi yang semrawut (not well organized), jika pola kepemimpinan tidak ada, artinya syarat-syarat perjuangan politik/ideologi tidak ditangani secara teratur. a. Dalam faktor ideologi misalnya, ideologi hanya berupa formulasi yang sangat umum, tidak dirumuskan secara komprehensif meliputi semua sis kehidupan bernegara walau hanya dalam garis besar, sehingga ideologi hanya berupa slogan dan verbalisme belaka. b. Dalam faktor organisasi, dapat terjadi misalnya, organisasi yang sudah tua usianya, tetapi jalannya angin-anginan, tanpa rencana atau ada “rencana” berupa keputusan kongres tetapi tidak dilaksanakan. Organisasi semacam itu berjalan dari itu ke itu, alias bersifat rutin saja. Ini sama saja dengan berjalan di tempat alias tidak maju dan berarti mundur jika dibandingkan dengan organisasi lain yang pola leadershipnya sudah berjalan. c. Segala kekurangan yang melekat pada organisasi yang semrawut itu, hanya dapat diatasi oleh pimpinan yang mampu (qualified) yaitu yang sanggung menangani dan membenahi ke-enamenam faktor yang merupakan syarat-syarat perjuangan politik/ideologi.
a.
Faktor pimpinan adalah faktor yang menentukan (decisive) bagi pembenahan organisasi yang organisasi yang baik dan rapi yiatu yang melaksanakan pola kepemimpinan.
b.
segala kekurangan yang masih menimp organisasi haruslah ditangani oleh dan menjadi tanggung jawab pimpinan. Suatu pimpinan tidak boleh mengeluh bahwa kegagalannya (misalnya tidak melaksanakan program yang diputuskan oleh kongres) adalah karena kurannya kader yang dimiliki oleh organisasi. Kalau suatu program tidak terlaksana karena kurangnya kader, satusatunya program yang paling tepat adalah membentuk kader-kader. Setelah kader-kader terbentuk dalam jumlah yang cukup, barulah menyusul program-program lain yang dapat dilaksanakan oleh kader-kader tersebut.
c.
Selama suatu organisasi tidak berjalan menurut pola kepemimpinan, artinya syarat-syarat perjuangan yang enam itu (iman yang teguh, ilmu yang cukup, ideologi yang terang, organisasi yang rapi, strategi-taktik yang tepat dan kemampuan tehnis/tehnologis yang memadai) belum dipenuhi dan tidak dibenahi, organisasi akan selalu semrawut. Dari organisasi yang semrawut tentulah tidak dapat diharapkan akan munculnya Pimpinan yang kompeten (mampu) yaitu yang mampu menjalankan organisasi menurut pola kepemimpinan. Namun dapat saja secara tak terduga tiba-tiba muncul figur yang mampu memimpin organisasi menurut pola kepemimpinan itu yaitu membenahi enam syarat perjuangan tersebut. 28
d.
Kalau telah muncul pimpinan yang kompeten (mampu) itu semua syarat perjuangan itu haruslah dibenahi secara simultan, artinya keenam-enam syarat itu ditangani secara bersama-sama, namun andai kata belum dapat dilakukan pembenahan syarat-syarat tersebut secara simultan, prioritasnya adalah menurut urutan syarat-syarat tersebut. Jadi kalau misalnya faktor ideologi belum dipenuhi artinya ideologi belum dirumuskan secra komprehensif walau hanya dalam garis besar, maka yang harus didahulukan adalah pembenahan faktor ideologi itu.
e.
Pembenahan faktor ideologi itu pada tahap pertama adalah berlaku di tingkat Pusat. Pimpinan merumuskan ideologi, kemudian semua fungsionaris di jajaran pusat harus memahami dan meresapi materi ideologi dan kemudian dalam pendirian dan ucapan bersikap Istiqomah (konsisten), meskipun dalam memperjuangkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai ideologi bersikap luwes dan fleksibel dengan memperhatikan sikon.
f.
Setelah materi ideologi itu dipahami dan diresapi oleh fungsionaris organisasi di tingkat pusat kemudian materi tersebut disebarkan ke jajaran bawah dari organisasi melalui training-training yang teratur. Dengan demikian, semua jajaran organisasi dari pusat sampai ke bawah berbicara dalam bahasan yang sama tentang ideologi, tentu saja dengan berbagai nuansa dan variasi sesuai dengan bakat dan gaya si fungsionaris yang bersangkutan.
g.
Bersamaan dengan pembenahan faktor ideologi, dilakukan pula pembenahan terhadap kondisi organisasi, karena peresapan nilai-nilai ideologi dari Pusat ke bawah hanyalah dapat terlaksana melewati organisasi yang rapi dari atas ke bawah.
h.
Penggarisan garis strategi-taktik, strategi untuk jangka waktu tertentu, taktik untuk menghadapi sebuah atau beberapa peristiwa politik pada saat/waktu tertentu, haruslah dengan mengingat kemampuan organisasi/kekuatan, meskipun nilai-nilai ideologi telah dipahami dan diresapi. Itu berarti bahwa kalau faktor ideologi belum dibenahi, atau sudah dibenahi tetapi belum disosialisasikan sampai ke bawah, sedang organisasi pun masih berantakan semrawut, sekali-kali janganlah bicara tentang strategi-taktik.
i.
Strategi – taktik pada hakekatnya adalah cara mempergunakan organisasi/kekuatan dalam menghadapi soal-soal perjuangan dengan berlandaskan kepada (nilai-nilai) ideologi. Jadi kalau organisasi belum rapi dan ideologi pun masih kabur (belum dirumuskan secara komprehensif walau dalam garis – garis besar), tentulah tidak ada soal strategi-taktik. “Strategi-taktik” dalam kondisi organisasi yang semrawut dan ideologi pun masih kabur hanya akan membuahkan opportunisme atau taktik-taktik melainkan profitirisme (mencari keuntungan pribadi) atau political-beggarism (pengemisan atau gelandangan politik).
j.
Kemampuan tehnis/tehnologis pda urutan terakhir dalam pola kepemimpinan tidaklah berarti bahwa unsur tersebut ditangani paling akhir, sebab seberapa dapat ke-enam-enam syarat perjuangan itu harus ditangani secara simultan. Mengapa faktor kemampuan tehnis/tehnologis diletakkan paling bawah dalam urutan syarat-syarat perjuangan, hal ini adalah karena tehnik/teknologi semata-mata adalah alat untuk keperluan mencapai tujuan perjuangan. Karena hanya sebagai alat, janganlah tehnologi itu dijadikan tujuan tersendiri dan jangan pula silau dan terpukau olehnya.
8.
Dari dilaksanakan tidaknya pola kepemimpinan dibenahi tidaknya syarat-syarat perjuangan politik yang enam itu, dapatlah dinilai suatu organisasi/partai politik berfungsi dengan semestinya atau tidak. Jadi kalau misalnya ada parpol (di Indonesia yang dimaksud dengan parpol adalah Golkar, PPP, PDI dn ABRI dalam fungsinya sebagai kekuatan politik) yang tidak membenahi faktor ideologi secara serius, ideologi hanya dijadikan lip-service, saban hari diucapkan secara klise, tidak pernah dijadikan tolok ukur untuk menilai praktek-praktek politik dan kehidupan negara dalam segalah seginya; disamping itu perkaderan juga tidak diselenggarakan atau diselenggarakan tetapi sekedar formalitas dan rutin belaka, dari situ saja dapatlah disimpulkan parpol dalam kondisi seperti itu tidaklah akan berperan dalam percaturan politik, apalagi akan mencapai tujuan ideologi. Eksistensi parpol itu rupanya sekedar sebagai hiasan, pelengkap (aksesor) dalam arena percaturan politik. 29
9.
Kalau dihitung sejak berdirinya Serikat Islam pada tahun 1912, keparpolan di Indonesia sudah berusia 80 tahun. Kalau dihitung sejak berdirinya parpol pada bulan November 1945, sudah berusia 47 tahun. Usia yang sudah cukup tua. Mengapa dalam usia setua itu, parpol di Indonesia sekarang ini tidak berperan seakan-akan hanya merupakan perkumpulan pemilu (kies klub) yang hanya sibuk menjelang dan selama pemilu saja, itu pun bagi dua parpol hanya dalam posisi pelengkap karena tanpa kemungkinan menang dalam pemilu; mengapa demikian, ialah karena parpol sepanjang eksisnya sejak tahun 1992 atau tahun 1945 tidak berjalan menurut pola kepemimpinan; syarat-syarat perjuangan yang enam itu kurang dibenahi.
10.
Meskipun faktor pemimpin adalah dicisive (menentukan) bagi suksesnya suatu organisasi, namun yang super-decisive bagi suksesnya organisasi adalah ditanganinya enam syarat perjuangan sebagai pola kepemimpinan. Sejarah politik Indonesia mengenal pemimpin-pemimpin besar HOS Cokroaminot, Soekarno dan Hatta, namun yang ditinggalkan oleh beliau-beliau terutama hanyalah nama besar masing-masing plus ideologi (Pancasila) yang relatif telah terumus dalam Pembukaan UUD-45. Tetapi mengenai faktor organisasi bagaimana? Kurang terbenahi. Itulah mengapa kader-kader politik nasional amat minim jumlahnya dan ini berakibat kurang berperannya parpol (pemimpin sipil) dewasa ini.
E.
SYARAT-SYARAT PEMIMPIN
1.
Sebelum seseorang dipilih sebagai pemimpin atau sebelum seseorang muncul sebaga pemimpin, dia harus memenuhi sebuah prasyarat yaitu seorang pejuang yang mempunyai reputasi dan prestasi dalam medan juang. Memilih atau menerima seseorang yang tidak pernah berjuang sebagai pemimpin, jadi seorang pendatang baru (new comer) pada asasnya salah dan dapat dipastikan akan membawa kegagalan.
2.
Setelah prasyarat dipenuhi, seorang (yang akan menjadi atau dijadikan) pemimpin haruslah memenuhi sejumlah syarat-syarat sebagai berikut ; a. Mempunyai integritas b. Bersikap hidup; hidup berjuang; c. Menguasai persoalan-persoalan ideologis, organisatoris, strategis-taktik dan tehnis/tehnologis. d. Mampu mengambil keputusan; e. Mampu bertanggung jawab; f. Berwibawa; g. Tidak berperangai jelek sebagai berikut : 1. Gila hormat; 2. Lebih mementingkan ambisi pribadi daripada kepentingan perjuangan atau kepentingan organisasi; 3. Pengecut/Penakut; 4. Nekad; 5. Tidak peduli terhadap nasib rekan atau anggota; 6. Lembek/lemah hati terhadap musibah yang menimpa organisasi atau anggota/rekan; 7. Pengejar popularitas bagi diri sendiri.
3.
Apakah yang dinamakan integritas? a. Kata-kata integritas (jangan dikacaukan dengan integritas) berarti keutuhan (wholeness). Yang dimaksudkan adalah orang yang jujur, bersih dan dapat dipercaya. b. Menurut Arthur Gordon dalam tulisannya “A fool proof for success” (Reader’s Digest December 1966) integritas adalah: -
Living up to the best in yourself (bertindak menurut sebesar-besar kemampuan sendiri); 30
-
Having a highly developed sense of honor (mempunyai rasa harga-diri);
-
Having a cnscience and listening to it (bertindak menurut suara hati nurani);
-
Having the courage of your conviction (mempunyai keyakinan dan bertindak sesuai dengan keyakinannya itu);
-
Obedience to the unenforcable (menunaikan kewajiban walau tak ada yang mengetahuinya kecuali Allah);
-
Boldness (teguh hati);
-
Persistence (ulet);
-
Serenity (tenang).
c. Integritas adalah syarat yang paling utama contohnya ialah Nabi Muhammad S.A.W yang terkenal sebagai Al-Amien, walau buta huruf. Walau sarjana atau kaya, berbintang gede atau berkedudukan tinggi, tetapi kalau tidak mempunyai integritas misalnya pernah menyeberang kepada musuh (dalam masa revolusi), kekayaannya karena korupsi walau tak terhukum, memperoleh kedudukan bukan karena prestasi/jasa melainkan karena cara yang curang atau karena bantuan orang lain lewat penggarapan atau pembajakan, orang semacam ini mutlak tak dapa diandalkan sebagai pemimpin. Tidak punya pengetahuan dapat dicari, tidak punya integritas dibawa mati. 4.
Apakah yang dimaksud dengan hidup berjuang ? a. Hidup berjuang berarti hidup untuk berjuang; bukan “berjuang” untuk mencari penghidupan. Sebagaimana diperintahkan di dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 162 (6:162) yang Artinya; Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah untuk Allah. b. Selama seseorang pemimpin tidak bersikap; hidup berjuang ia tidaklah akan berdedikasi penuh pada tugasnya, sehingga leadership-nya akan gagal. Apalagi jika seorang “pemimpin” menumpangkan hidupnya kepada “perjuangan” atau dengan “perjuangan”-nya memperkaya diri. c. Hidup-pribadi dan hidup-berjuang tidak dapat dipisahkan, walau dapat dibedakan. Pemimpin yang bijaksana akan pandai membagi waktu untuk perjuangan dan untuk keluarga; justru kehidupan keluarga yang normal (relatif) akan dapat menambah kemampuan berjuang. d. Seorang pemimpin yang rumah-tangganya tidak boleh terganggu oleh kepentingan perjuangan, yang mau mengurus “perjuangan” hanya dikantor saja dan pada “jam-jam kerja” saja, orang macam begini adalah seorang “pemimpin” birokrak alias bukan pemimpin.
5.
Menguasai persoalan-persoalan perjuangan Seorang pemimpin haruslah memahami persoalan-persoalan ideologis, organisatoris, politisstrategis-taktis dan tehnis/ tehnologis serta mampu pula mentackle persoalan-persoalan tersebut. (Orang yang tahu dan tahu bahwa ia tahu), orang demikianlah yang patut mejadi pemimpin.
6.
Sanggup mengambil keputusan a. Berjuang dan berpolitik adalah menghadapi persoalan-persoalan yang dari sejumlah alternatif harus memilih salah satu, biasanya dalam waktu pendek jadi harus segera. Pemimpin tidak boleh menunda-nunda mengambil keputusan karena akan menjadi parah dan makin sukar menyelesaikannya. Setelah keputusan diambil, semua jenjang organisasi hendaknya melaksanakannya. Surat Ali-Imron (3)-159; Artinya : Jika engkau telah mengambil keputusan, bertaqwalah kepada Allah b. Keputusan haruslah diambil dengan pertimbangan yang matang dan tidak boleh diambil secara tergesa-gesa atau sambil lalu. “No leadership at any level should make casual decision ini solving problems. Once a decision is reached, it must be firmly carried out”. Artinya : Pimpinan dari semua jenjang organisasi tidak boleh mengambil keputusan secara sambil lalu; sekali keputusan telah diambil, mestilah dilaksanakan dengan tegas. Machiavelli : “…… the prince 31
should go about the matter deliberately, and be determined in his decisions. Whoever acts otherwise either acts precipitately throught fiattery or else change often throught the of opinions, from which follows that he will be little estecmed” Artinya : …….pemimpin harus mempetimbangkan suatu persoalan semasak-masaknya dan harus dengan keteguhan mengambil keputusan. Pemimpin yang mudah merubah-rubah keputusan karena sanjungan atau karena adanya pendapat-pendapat yang berbeda, ia malahan akan disegani. 7.
Mampu bertanggung jawab Bertanggung jawab adalah berani memikul segala konsekwensi akibat suatu keputusan yang telah diambil atau akibat sesuatu yang terjadi atas organisasi. Bertanggung jawab tidaklah selalu sama dengan secara pribadi berbuat salah. Seorang pemimpin yang baik meskipun secara pribadi tidak bersalah, ia memikul tanggung-jawab atas suatu kekeliruan/kesalahan yang terjadi di dalam lingkungan kepemimpinannya, apalagi kalau ia secara pribadi (ikut) bersalah. (Kamu adalah pemimpin, dan stiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya).
8.
Harus berwibawa Berwibawa adalah disegani dan ditaati. Mana yang lebih baik, dicintai atau disegani oleh para anggota? Yang paling baik adalah dua-duanya, tapi ini sering sukar, karenya bagi pemimpin lebih baik disegani dalam kebenaran bagi pemimpin lebih baik disegani dalam kebenaran daripada dicintai dalam kesalahan bahkan dibenci karena benar adalah jauh lebih baik daripada dicintai dalam kesalahan. Machiavelli “….leader ought to be both feared and loved but as it is difficult for the two to go together, it is much saver to be feared than to be loved. The friendship which is gained by purchase and not throught grandeur and nobility of spirit is bought but not served, and at a pinch is not to be expended in your service. The leader who has relied solely on their words, without making othe preparations is ruined…” Artinya : …seorang pemimpin sebaiknya disegani dan sekaligus dicintai oleh para anggota, namun memperoleh dua-duanya adalah sukar, karena itu lebih baik disegani (ditaati) daripada dicintai. Persahabatan yang dibeli dan bukannya karena jasa dan keluhuran jiwa tidaklah tahan lama dan pada saat dibutuhkan tidak akan terwujud. Pemimpin yang mengandalkan orang-orang yang omong manis karena telah memperoleh sesuatu ia akan hancur. Cinta para anggota kepada pemimpin (juga setiap cinta) tidak usah dicari, diminta apalagi dibeli. Pemimpin yang mempunyai integritas serta menunaikan tugasnya dengan sungguh-sungguh pasti akan dicintai dan disegani.
9.
Tidak berperangai jelek Seorang pemimpin yang tidak terjangkit perangai jelek seperti gila hormat, ambisius, pengecut/penakut, nekad, tidak peduli terhadap nasib rekan/anggota, lembek/lemah hati terhadap musibah yang terjadi dan pengejar popularitas bagi diri sendiri, ia akan mampu bertindak realistis bagi kepentingan perjuangan, walau tentu saja dengan tetap mempertahankan prinsip. Kita memang tidak dapat mengharapkan pemimpin yang selalu sukses (the ever glorious leader). Pemimpin begini hanya ada dalam cerita 1001 malam. Yang dibutuhkan bagi suksesnya perjuangan dalah pemimpin yang “memadukan keberanian dengan kebijaksanaan, yang mampu menerapkan prinsip-prinsip secara luwes/fleksibel serta bagaimana melangkah jika sedang mengalami kekalahan. (combines courage with wisdom, who knows the necessity of a fleksible application of principles according to circumstances and to measures to be taken in case of differen). Yang berperangai penakut sebaiknya jangan diikut sertakan dalam perjuangan; amatlah sukar untuk merubah seorang penakut menjadi yang berani. Lebih mudah untuk merubah si-pemberang, tukang nekad menjadi pejuang yang berani tetapi tidak nekad yaitu dengan mengajarkannya teoriteori berorganisasi dan stratak. Sun Tsu Wu, He will win who knows when to fight and when not to fight, artinya yang akan menang ialah yang tahu kapan harus bertempur dan kapan tidak. Victory is impossible unless we have learned how to attack and how to retreat properly artinya, kemenangan tidaklah mungkin diperoleh kecuali jika kita tahu bagaimana harus menyerang serta bagaimana harus mundur dengan teratur).
10.
Berhakkah pemimpin menuntut kepatuhan dari para pengikutnya? 32
Dari kalangan para ulama dan pejabat sering keluar himbauan bahkan tuntutan agar umat atau rakyat patu kepada pemimpin atau pemerintah yang didalam Al-Qur’an disebut “ulilamri” (arti harfiahnya: yang memegang perkara). Dalil para ulama dan pejabat itu adalah Surat An-Nisa (4)-59: Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan kepada pemimpinmu. Apakah kerana adanya ayat tersebut, umat dan rakyat harus patuh begitu saja kepada pemimpin atau pemerintah? Ayat tersebut, adalah lanjutan dari ayat sebelumnya (QS:4-58) yang berbunyi : Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kamu agar menunaikan amanat terhadap yang berhak (artinya yang memberikan amanah kepada kamu); jika kami berkuasa (memimpin) lakukanlah dengan adil. Ayat nomor 58 itu ditujukan kepada umat, rakyat atau para pengikut. Ini berarti bahwa pemerintah atau pemimpin baru berhak menuntut kepatuhan dari rakyat, umat dan para pengikut hanya jika pemerintah/pemimpin telah menunaikan amanat rakyat/umat dan melaksanakan kekuasaan/ kepemimpinan dengan adil. Nabi pernah berkata kepada Abi Dzar AlGifhari, Innaha amanah wa innaha yaumu Iqiyamah khiz’un wa nadamah illa man akhaza bikhaqqiha wa adda allazi’alaihi fiha (Rowi Muslim) Artinya, Sesungguhnya pemimpin itu amanat yang pada hari kiama akan menjadi penyesalan, kecuali jika Pimpinan itu diperoleh secara hak dan ditunaikan dengan baik. Jadi, seorang yang menjadi pemimpin secara sah (tidak melewati pembajakan, apalagi pembajakan yang dibantu oleh lawan) dan melaksanakan kepemimpinan dengan baik (adil), ia berhak ditaati dan berhak menuntut kepatuhan dari rakyat dan umat.
F.
TIPOLOGI LEADERSHIP
1.
Leadership meliputi semua bidang; ideologi, organisasi, strategi-taktik dan tehnik/tehnologi dengan segala persoalan-persoalannya yang banyak dan komplek yang orang-seorang saja tidak akan mampu menghadapinya dan menanganinya. Karena itu pada masa ini leadership satu orang praktis sudah tidak ada; yang ada ialah leadership kolektif dengan bentuknya yang berbeda : a. Ketuanya adalah figur primus interparis seperti dalam Kabinet Inggris, b. Ketuanya adalah figur leader-bos seperti Presiden AS. Leadership kolektif tidaklah mengurangi prinsip “nakoda haruslah hanya seorang”, karena leadership haruslah tunggal bulat (indivisible) jika mau effektif. Karena itu anggota leadership keloktif adalah orang-orang yang mempunyai pandangan hidup dan alam pikiran yang sama sehingga cara berfikir dan cara berjuangnya pun sama, sehingga kalaupun ada perbedaan (tida boleh tidak mesti ada), perbedaan ini tidak bersifat fundamental/prinsipil).
2.
Setiap anggota leadership (kolektif) pada asalnya harus mampu memahami persoalan-persoalan ideologi, organisasi dan strategi-taktik, namun penanganan sehari-hari setiap bidang itu diserahkan kepada satu dua orang anggota leadership dibawah koordinasi ketua. Dengan demikian kita mengenal : a. Leadership ideologi b. Leadership organisasi c. dan leadership strategi-taktik Sebagaimana telah disinggung pada bagian diatas (pola kepemimpinan), bagi organisasi perjuangan/parpol yang sudah mapan, ideologi dan organisasi adalah konstan (tidak berubahubah), artinya jika bidang ideologi sudah ditangani secara tuntas (relatif) dan organisasi sudah berjalan secara mekanis, maka langkah-langkah selanjutnya akan merupakan aktivitas dinamis yang dikuasai terutama oleh strategi-taktik, sehingga dapatlah dikatakan, strategy and tactics as the science of leadership. Ilmu dan amalnya strategi-taktiklah yang terutama akan menentukan makan bertambah tidaknya kekuatan, dan ini selanjutnya akan menentukan dapat tidaknya tercapai ideologi. Disamping tipologi leadership berdasarkan pembagian kerja seperti diuraikan diatas, terdapat pula tipologi lain berdasarkan kepribadian perorangan sipemimpin atau berdasarkan cara kerja organisasi. Tipologi yang kedua ini menunjukkan bentuk-bentuk pimpinan sebagai berikut : 33
a. Tradisional b. Kharisma c. Rasional d. Hirarkhi 3.
Seorang pemimpin biasanya merupakan kombinasi antara beberapa bentuk tersebut. Dalam lingkungan leadership tradisional, kharisma pemimpin sering menonjol; ini logis; alam tradisional yang hampir selalu identik dengan sepinya rasio, yang muncul adalah kharisma. Tapi figur kharisma muncul pula dalam alam non-tradisional. De Gaulle, Jamal Abd.Naser, Bung Karno adalah contoh figur-figur kharismatis. Dalam organisasi yang memakai cara kerja yang rasional, tipe leadership adalah hirarkhis artinya dibawa oleh kedudukan pemimpin menurut jenjangnya. Pada waktu yang akhir-akhir ini, tipe-tipe kharisma makin langka, lagipula tipe kharismatis itu biasanya muncul dalam bentuk leadershiptunggal di tangan satu orang. Sedang di dalam masa modern sekarang ini, mengingat betapa kompleksnya tugas dan bidang leadership, yang berlaku kebanyakan adalah sistim leadership kolektif.
4.
Dalam masa yang makin modern danmakin rasional walaupun unsur si-pemimpin (atau Pimpinan) masih akan tetap yang menentukan, namun dari hari ke hari makin terasa bahwa effektivitas yang maksimal dalam leadership adalah yang dibawa oleh berlakunya pula leadership secara menyeluruh. Lagipula, leadership yang bertumpu pada figur seorang pemimpin atau juta pada sekumpulan pemimpin, leadership demikian kurang menjamin kesinambungan. Ini logis, sebab kefigur-an tidak dapat diwaris dan karenanya tidak dapat diteruskan oleh orang lain. Lain dengan gerak organisasi menurut pola leadership, ini merupakan sistim, merupakan metode, merupakan mekanisme; sistim dengan metode dan mekanismenya dapat diteruskan oleh kelompok-kelompok (ataupun generasi-generasi) penerus. Terhadap sistim Demokrasi-Terpimpinnya Bung Karno yang bertumpu hanya pada figure Sukarno, Bung Hatta pernah berkata, bahwa (nanti) dengan turunnya Sukarno, akan tamat pula sistim Demokrasi-Terpimpin itu. Ternyata ucapan Bung Hatta itu benar. Tapi ucapan Bung Hatta itu berlaku tidak hanya terhadap sistim Demokrasi – Terpimpin - nya Sukarno, melainkan juga akan berlaku terhadap sistim leadership lain yang hanya bertumpu kepada ke-figur-an seseorang pemimpin. Leadership sebaiknya memang tidak bertumpu pada pribadi orang seorang, diri si-pemimpin dengan selera dan gaya-nya yang amat individual yang tidak dapat diteruskan oleh orang lain. Leadership sebaiknya didasarkan kepada prinsip-prinsip, kepada sistim dan mekanisme yang didasarkan kepada terlaksananya pola kepemimpinan. De Gaulle sebuah figur yang kharismatis, yang mengesankan dan mempesona, namun dia ciptakan sistim kepemimpinan untuk Perancis yang tidak tergantung kepada dia orang seorang. Sejak De Gaulle meninggal, sistim De Gaulle telah diteruskan oleh tiga orang presiden. Dan Presiden Perancis yang sekarang, Francois Maitterrand tidak menunjukkan adanya keinginan untuk merubah sistim leadership Perancis yang ditinggalkan oleh De Gaulle. Dan presiden Peranci sesudah De Gaulle tidak bersikap hipokrit (munafik); mereka dalam bibir menyatakan menjunjung tinggi UUD-Perancis (warisan de Gaulle), mereka dalam kenyataan melaksanakannya secara murni dan konsekwen.
G.
KRITERIA LEADERSHIP
1.
Baik buruknya leadership a. Karena leadership adalah dalam konteks perjuangan menuju tercapainya ideologi, sedang ideologi mengandung nilai-nilai, leadership harus berjalan diatas relnya nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi. Leadership ini adalah leadership yang baik; yang tidak berjalan diatas relnya nilai-nilai adalah leadership yang buruk. b. Kalau seorang pemimpin tidak memenuhi prasyarat pemimpin (syarat-syarat pemimpin) secara apriori dapat ditetapkan leadershipnya akan gagal. Begitu pula jika syarat – syarat pemimpin tidak dipenuhi. 34
c. Kalau prasyarat dan syarat-syarat pemimpin dipenuhi tapi unsur-unsur lainnya dari leadership tidak ditangani atau hanya sebagian saja, jadi misalnya organisasi dapat berjalan secara mekanis tetapi para fungsionaris di Pusat dan daerah tidak memahami ideologi. Leadership demikian adalah buruk dan akan gagal.
2.
Ada tidaknya leadership a. Karena leadership adalah inheren (selalu berkaitan dan identik) dengan dinamika dan gerak, organisasi yang tidak menunjukkan adanya gerak atau yang hanya melakukan kegiatankegiatan rutin dan tradisional, organisasi demikian menunjukkan tidak adanya leadership, walau mempunyai Pimpinan. b. Termasuk dalam gerak adalah arah-gerak. Jika organisasi dapat digerakkan, tapi gerakannya tidak dapat diarahkan alias massa tidak dapat dikendalikan, sehingga yang memimpin bukanlah pemimpin melainkan massa, hal demikian juga menunjukkan tidak adanya leadership. Pemimpin harus memahami masa tapi ini tidak sama dengan harus melayani massa. Tugas pemimpin adalah memimpin massa, bukan melayani massa. “Pemimpin” yang hanya melayani massa adalah pelayan, bukan pemimpin. c. Politik adalah menyusun dan menggunakan kekuatan (machtsvorniing and machtsaan-wending) tanpa adanya kekuatan yang disusun Leadership : tanpa kemampuan menggunakan kekuatan juga demikian, hal ini tanpa mengurani arti dari factor-faktor lain seperti logistic administrasi dan lain-lain. 1. Massa yang dibelu hanya dapat digerakkan untuk hal-hal yang tidak membawa resiko. 2. Massa yang dijiwai oleh ideologi dapat digerakkan walau menempuh resiko, juga walau dijiwai oleh ideologi palsu seperti mitosnya Hitler, herrenvolker (bangsa-tuan) atau mitosnya militerisme Jepang “Kemakmuran bersama Asia Timur Raya”. 3. Dorongan untuk menggerakkan massa adalah :
3.
a.
Percaya kepada pemimpin
b.
Dijiwai oleh ideologi bonafide atau dikelabui oleh mitos.
c.
Dikorbankan untuk mencapai sasaran tertentu.
d.
Dengan mentrapkan prinsip-prinsip massa psychology.
Sukses tidaknya leadership. a. Jika pemimpin memenuhi prasyarat dan syarat-syarat sebagai pemimpin, leadership-nyapun terasa adanya, tandanya massa dapat digerakkan dan diarahkan, unsure-unsur leadership lainnya pun digarap dengan baik, dalam kondisi demikian peluang untuk sukses adalah besar, walau tentu saja tidak dapat dipastikan, karena kadang-kadang timbul faktor yang tak dapat diduga lebih dulu. Namun kalau sukses belum tercapai, leadership yang demikian itu mempunyai ketahanan yang besar sehingga tidak menjadi berantakan morat-marit hanya karena sukses belum tercapai. b. Ukuran sukses suatu leadership adalah terletak pada hasil yang dicapai : 1. Hasil Positif 2. Hasil nol adalah tidak sukses dan tidak gagal 2. Hasil negative adalah gagal. Yang dinamakan hasil positif ialah dapat mempertahankan dan/atau kekuatan/posisi sendiri serta dapat mengurangi kekuatan/posisi lawan.
menambah
The basic principle of war is to preserve oneself and to weaken the enemy, Artinya, Prinsip pokok perjuangan adalah mempertahankan kekautan sendiri dan mengurangi kekuatan lawan. 35
c. Jadi ukuran bagi seseorang untuk dijadikan pemimpin bukanlah terletak pada kepandaiannya berpidato, bukan kepada kemampuannya mensitir ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, bukan pada kesarjanaannya, bukan pada pribadinya yang kelihatannya selalu tegas-berani-konsekuen, bukan pada kedudukannya di pemerintahan atau masyarakat; semua ini merupakan asset (modal) positif bagi perjuangan, namun bukan ukuran yang menentukan untuk dijadikannya seseorang menjadi pemimpin. Bahkan penderitaan yang telah dialami oleh seseorang (pernah ditahan misalnya) ataupun pengurbanan yang telah diberikan (mengorbankan kedudukan atau harta), hal-hal ini juga merupakan asset positif namun juga bukan factor yang menentukan untuk dijadikan pemimpin. Ukuran untuk dijadikan pemimpin adalah sukses atau sukses-suksesnya yang pernah dicapai dalam arena perjuangan. Nothing succeeds than success.
H. PENGKADERAN 1.
Masa krisis merupakan batu ujian bagi suatu leadership mampukah melewatinya dengan sukses atau tidak. Jika tidak mampu, atau leadership akan runtuh, atau akan muncul leadership baru secara spontan bahkan kadang-kadang secara kejutan. Pemunculan secara spontan begini yang biasanya disebut inkonvensional memang dapat merupakan jalan keluar jika pada suatu saat leadership yang ada tidak berfungsi khususnya dalam masa krisis. Namun bagi keselamatan perjuangan tidaklah tepat untuk mengendalikan kepada pemunculan leadership secara inkonvensional itu; ya kalau muncul, kalau tidak perjuangan bisa ambruk. Jadi sebaiknya ditempuh jalan konvensional bagi pemunculan leadership baru yaitu dengan pengkaderan. Pengkaderan ialah penyelenggaraan pembibitan kader-kader yang akan meneruskan/menggantikan leadership. Pada dua dekade akhir abad ke-20 ini perjuangan tidak dapat lagi diandalkan pada kader-kader yang muncul secara alami yaitu yang tanpa dibina oleh organisasi muncul di arena juang. Dalam kondisi krisis leadership, kader-kader alami justru dapat merupakan kader-kader alami justru dapat merupakan kader-kader yang mandiri yang masih bersih dari pengaruh-pengaruh negative dari The establishment atau dari leadership yang gagal (dalam kondisi krisis). Namun kader-kader alami itu tidak dapat bermunculan dalam jumlah yang cukup, lagipula mereka ini biasanya positif dalam segi semangat ataupun ideologi tapi belum meresapi bidang-bidang lainnya dari leadership. Sehingga yang paling tepat adalah menyelenggarakan pengkaderan secara sistematis sedang bibitbibit kader alam jangan dihindari tapi ditampung dan dibina.
2.
Training-training dalam berbagai bentuk dan tingkat tidaklah menentukan kekaderan seorang anggota, melainkan hanya penambahan kekaderan seorang anggota, melainkan hanya penambahan bekal dalam perjuangan. Sebagaimana mutu seorang perwira tidaklah ditentukan oleh angkaangkanya di dalam bangku Akabri melainkan oleh prestasi di lapangan atau medan perang, demikian pula seorang anggota, apakah ia sudah dapat dikwalifisir sebagai kader atau tidak, tidaklah ditentukan oleh berapa angka-angkanya dalam training, melainkan oleh prestasi dan reputasinya sebagai aktivis atau fungsionaris organisasi. Seseorang anggota tidak lantas menjadi kader karena telah mengikuti apa yang biasanya disebut “kursus kader”; pengakaderan pun tidak sinonim hanya dengan penyelenggaraan kursus-kursus kader atau training – training. Karena itu, training tidak boleh menjadi mode, hobby atau sekedar rutin dari tahun ke tahun, melainkan harus benar-benar untuk menambah bekal dan melengkapi kemampuan aktivis-aktivis / fungsionaris-fungsionaris yang sudah, sedang dan Insya Allah tetap berjuang.
3.
Termasuk kepada suksesnya leadership adalah kemampuan menciptakan kondisi tumbuh-sendiri (self sustaining atau selfprofelling growth) bagi organisasi artinya organisasi mempunyai mekanisme untuk berjalan terus, anti-mandek dan anti rutin (stagnation proof). Kemampuan tumbuh sendiri ini dapat dicapai dengan pengkaderan yang sistim/metodenya tepat materi trainingnya relevan dengan pemahaman/peresapan ideologi dan ketentuan-ketentuan organisasi, perencanaannya konsisten dengan kebutuhan-kebutuhan memenuhi unsur-unsur leadership, 36
penyelenggaraan training-training tertib mentaati rencana (tidak menerima penceramah/materi “sponsor”, tidak menjadi arena “pertandingan tahan-kantuk). 4.
Tugas dan fungsi kader ialah : a. memahami dan meresapi asas, tujuan dan program organisasi. b. memahami garis stratak untuk mencapai program/sasaran; c. menjadi komunikator operasional antara Pimpinan Pusat dan massa anggota; d. Sebagai elite (dalam arti kelompok terpilih) yang matang dan terlatih untuk menggantikan leadership. Jika dalam suatu periode, organisasi mengalamai kegagalan karena tidak adanya garis perjuangan yang jelas, pucuk pimpinanlah yang bertanggung jawab. Jika garisnya sudah jelas, namun gagal juga, para kaderlah yang bertanggung jawab. Sun Tsu Wu. “if the orders are not clear and the soldiers do not obey, the general is to blame. If the orders are clear and distinct, yet the soldiers do not obey, the officers are to blame. Artinya, jika gatis perjuangannya tidak jelas dan massa anggota tidak mentaati, pucuk pimpinan-lah yang bertanggung jawab. Jika garis perjuangan jelas dan terang, namun massa anggota tidak mentaati, para kaderlah yang bertanggung jawab.
5.
Sebagaimana leadership, pengkaderan pun inheren tak dapat dipisahkan dengan gerakan pembaharuan. Konsekwensinya ialah bahwa pengkaderan haruslah diarahkan kepada de-orientasi dan de-kaderisasi terhadap leadership gagal baik leadership yang sudah turun panggung maupun yang masih bercokol. Bersamaan dengan proses de-kaderisasi itu, dilakukanlah orientasi menuju kaderisasi menurut pola leadership dalam segala unsure-unsurnya. Bersama sama leadership, kader-kader pun harus merasa terpanggil untuk merintis dan memelopori gerakan pembaharuan dalam bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat serta dalam penghayatan/pengamalan ajaran-ajaran agama (Islam). Untuk ini haruslah ditempuh proses sebagai berikut : a. Memahami dan meresapi nilai-nilai (Islam dan Pancasila) yang menjadi tolok ukur untuk menilai suatu ketidakberesan / kesemrawutan. b. Melakukan observasi yang matang sehingga memperoleh pengamatan dan konstatasi yang tepat mengenai kondisi statis, rutin, tradisional yang harus didobrak / diperbaharui. c. Melakukan artikulasi (penguraian/pembeberan yang jelas) mengenai langkah-langkah pembaharuan berdasarkan skala prioritas menurut sikon dan kebutuhan. d. Memasyarakatkan ide-ide pembaharuan berikut rencana realisasi secara konkrit. e. Dalam realisasi pembaharuan menjadikan organisasi sebagai pelopor dan perintis gerakan pembaharuan.
I.
PENUTUP/KESIMPULAN
1.
Leadership adalah dalam konteks perjuangan politik yang khususnya bagi bangsa-bangsa yang baru merdeka adalah untuk menyusun tatanan baru berdasarkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai ideologi, dengan demikian leadership sekaligus adalah identik dengan pembaharuan. Masyarakat tradisional yang mengenal ideologi tidaklah mengenal leadership.
2.
Masyarakat tradisional yang menyelenggarakan modernisasi dan modernisasi pada dasarnya adalah non-tradisional tidak dengan sendirinya lalu mengenal leadership yang pada dirinya adalah identik dengan perubahan/pembaharuan, yaitu jika modernisasinya hanya menyentuh permukaan alias hanya lahiriah kebendaan, sedang arus bawah kehidupan masyarakat masih amat kuat diwarnai oleh tradisionalisme.
3.
Kondisi organisasi-organisasi perjuangan / partai politik (termasuk yang disebut partai politik) di Indonesia dewasa ini masih mengandung kelemahan-kelemahan, sehingga tidak mampu memunculkan figure pemimpin yang sanggup melaksanakan pola leadership secara menyeluruh dalam semua unsur-unsurnya. Dewasa ini di Indonesia jumlah pemimpin dalam arti memenuhi kwalifikasi sebagai pemimpin baru amat sedikit; kebanyakan adalah sekedar ketua organisasi/parpol. 37
4.
Leadership yang kelihatannya stabil dan efektif tapi tidak melaksanakan pola leadership secara menyeluruh, misalnya bidang ideologi tidak ditangani secara tuntas (relatif) dan dibiarkan dijadikan lip-service belaka, leadership demikian akan menjurus kepada stabilitas demi kekuasaan dan leadershipnya pun hanya mengabdi kepada dipertahankannya kekuasaan dan bukan demi terlaksananya ideologi. Leadership seperti itu betapa kelihatan stabil bagaimanapun tidaklah dapat bertahan terus.
5.
Terlaksananya pola leadership secara menyeluruh dapat menjamin kesinambungan secara ideologis cultural – organisatoris, karena leadership demikian menciptakan kemampuan tumbuh sendiri (selfsus-training growth) dalam semua aspek kehidupan Bangsa serta mengandung mekanisme pengkaderan (pembibitan dan pembinaan kader-kader); adanya kader-kader politik adalah jaminan kelesatarian Negara yang ber-ideologi.
6.
Pola leadership yang terlaksana secara menyeluruh akan memberi kemampuan kepada setiap organisasi termasuk yang berbentuk Negara dan masyarakat untuk berintegrasi dengan pembaharuan. Karena perubahan/pembaharuan pada asasnya adalah syarat vital bagi survival (ketahanan diri) dan kesinambungan, dalam terintegrasinya dengan pembaharuan itu terletak pula hak dan sandaran hidup organisasi. Organisasi yang dalam aspirasinya ingin berperan sebagai “Agent of progress”, janganlah dalam kenyataannya dilanda sendiri oleh roda-nya gerakan pembaharuan. Janganlah si-pembaharu” malahan diperbaharui.
38
KEPUSTAKAAN 1.
Al-Qur’an (6:162), (3:159), (4:59), (4:58) dan Hadits.
2.
Syeikh Ibnu Taimiyah : Pedoman Syari’ah dalam perbaikan Pemimpin dan yang dipimpin.
3.
Abul A’la Maududi : Pokok-pokok pandangan hidup Muslim.
4.
Moh. Kutb : Islam the Misunderstood) Religion. Penerbit Ministry of Awqaf & Islamic Affairs. State of Kuwait, 1964.
5.
Sayid Khutb : Masyarakat Islam, diterjemahkan oleh H.A. Mu’thi Nindin, SH, Penerbit Yayasan AtTaufiq PT. Al Ma’arif Bandung, 1978.
6.
Dr. A. Shalaby : Negara dan Pemerintahan dalam Islam. Diterjemahkan oleh Prof. Muchtar Jahya, Penerbit Toko Kitab Salim Nabhan, Surabaya, 1957.
7.
Dr. Ahmad Zaky Al-Yamani : Syariat Islam yang kekal dan persoalannya masa kini. Penerbit Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan Yayasan Bhinneka Tunggal Ika Jakarta, 1978.
8.
Abdurrahman Azzam : The Eternal Message of Muhammad. Penerbit The New American Library, New York & Toronto The New English Library Ltd, London, 1965.
9.
Dr. H.M. Rasyidi : Islam dan Socialisme. Penerbit Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1966.
10.
Dr. Musthafa Husni Assiba’i: Sosialisasi Islam” Diterjemahkan oleh M. Abdai Ratomy, Penerbit CV. Diponegoro Bandung, 1969.
11.
A. Rahman Zainuddin MA : Hak-hak Azasi dalam Islam”. Penerbit Media Dakwah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1979.
12.
Piagam Jakarta/Pembukaan UUD-45 dan UUD-45
13.
Ir. Sukarno ; “Pidato 1 Juni 1945’. Penerbit Usaha Penerbit Guntur Jogyakarta, 1947.
14.
Moh. Yamin, “Proklamasi dan Konstitusi”. Penerbit Djambatan Jakarta, 1953.
15.
Moh. Yamin, “Naskah Persiapan UUD-45”, Penerbit Sekretariat Negara RI Jakarta, 1992.
16.
A. Dahlan Ranuwihardjo : Diktat; Aspek Ideologi dari Islam.
17.
A. Dahlan Ranuwihardjo : Diktat : Beberapa Pengertian tentang Strategi-Taktik dalam Perjuangan Politik.
18.
PB HMI : Nilai-nilai Dasar Perjuangan.
19.
Sun Tsu Wu : The Art to War
20.
N. Machiavelli : The Prince
21.
William Ebenstein : Modern Political Thought
22.
George H. Sabine : A History of Political Theory
23.
J. Stalin : Problem of Leninisme
24. Mao Tse Tung : Selected Military Writings (3 jilid) 25.
Charles W. Thayer : Guerilla
Ideologi :
Seperangkat nilai-nilai berdasarkan suatu pandangan hidup untuk mengatur kehidupan Negara dalam semua seginya yang tersusun dalam sebuah konstitusi berikut aturan-aturan operasionalnya.
39
BAB IV BEBERAPA PENGERTIAN TENTANG STRATEGI DAN TAKTIK DALAM PERJUANGAN POLITIK A.
PERANG DAN POLITIK
Membahas tentang perang dan politik maka Clausewitz, memberikan pengertian “ …. War is a mere continuation of politics by another means” . Yang artinya perang hanyalah merupakan suatu lanjutan politik melalui cara-cara lain. Sedangkan politik menurut Mao Tse Tung (1963), “ …. politixs is war without bloud shed; war is politics with blood shed”. Artinya politik adalah perang tanpa pertumpahan darah. Dari pengertian perang dan politik yang dikemukakan oleh Clausewitz dan Mao Tse Tung, maka perang dan politik pada hakekatnya sama; yaitu sebagai alat untuk mencapai maksud, Cuma bentuknya yang berbeda. Perang dengan kekerasan, politik tanpa kekerasan. Perang dilaksanakan dengan ilmu perang. Ilmu perang adalah ilmu tentang strategi dan taktik dalam perang. Politik adalah berjuang. Berjuang haruslah dengan ilmu berjuang. Ilmu perjuangan politik adalah ilmu tentang strategi dan taktik dalam perjuangan politik.
B.
HUKUMNYA STRATAK DALAM PERJUANGAN
Dalam mempelajari hukumnya strategi dan taktik (STRATAK) dalam perjuangan politik maka, berikut ini dapat dilihat salah satu hadis Nabi yaitu : “Ilmu tanpa amal adalah dosa demikian pula amal tanpa ilmu”. Berjuang haruslah dengan ilmu berjuang yaitu strategi dan taktik (STRATAK). “jika pekerjaan hanya dapat sempurna (selesai) dengan sesuatu maka sesuatu itu adalah wajib. Perjuangan ideologi tidak hanya cukup dengan memahami ideologi dan menyusun organisasi, melainkan harus disertai strategi dan taktik (STRATAK). Perjuangan Ideologi hanya dapat selesai sempurna dan berhasil jika disertai dengan STRATAK, karena itu memahami dan mentrapkan STRATAK dalam perjuangan Ideologi (politik) hukumnya adalah wajib. Ada pepatah Arab yang artinya, Kebathilan dengan pedoman akan mengalahkan kebenaran yang tidak berpedoman. Dengan STRATAK kita bersemboyan : Kebenaran yang disertai dengan STRATAK akan menghancurkan kebathilan walaupun yang juga ber STRATAK.
C.
ARTI ISTILAH STRATAK DALAM PERANG.
Dalam mempelajari strategi dan taktik dalam perang, Clausewits, Mao Tse Tung dan Liddell Hart berpendapat sebagai berikut : Clausevitz, Tactic is the use of forces to win a battle, strategy is the use of battles to attain the end of the war . Yang artinya, taktik adalah penggunaan kekuatan untuk memenangkan suatu pertempuran, strategi adalah memanfaatkan pertempuran untuk mencapai tujuan perang. Mao Tse Tung (1963), Tactic is to direct a campaign (which is a part of war) , strategy is to direct war as a whole . Artinya taktik adalah untuk melakukan pertempuran (yang merupakan bagian dari peperangan), strategi adalah untuk memimpin suatu peperangan secara keseluruhan. Liddell Hart, while the horizon of strategy is bounded by the war, grand-strategy looks beyond the war to the subsequent peace.” Artinya ruang lingkup strategi terbatas pada akhir perang, strategi besar melampaui akhir perang melihat perdamaian setelah perang berakhir. Fungsi strategy, maintenance of the objective, sedangkan dalam politik mempertahankan nilai-nilai. The end (object) of the war ; Mac Arthur : “ … the object of war is victory. Artinya, objek dari suatu peperangan adalah kemenangan. Clausewitz : “…to impose our will upon the enemy. Artinya memaksakan keinginan kita terhadap musuh. Mao Tse Tung mempertahankan kekuatan sendiri dan menghancurkan kekuatan ia sedangkan Sun Tzu (1985) : “ … leading an army beating & the enemy and winning a battle is no supreme excellence; supreme excellence consist 40
of breaking the enemy’s will to resist. Artinya memimpin bala tentara untuk mengalahkan musuh dan memenangkan suatu pertempuran bukanlah suatu kehebatan, yang hebat adalah mematahkan kemauan lawan untuk melawan. D.
ARTI ISTILAH STRATAK DALAM POLITIK
Taktik adalah bagaimana menentukan sikap atau menggunakan kekuatan dalam menghadapi peristiwa politik tertentu pada saat tertentu. Sedangkan strategi adalah bagaimana menggunakan peristiwaperistiwa politik dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai Rencana Perjuangan. Dalam politik tidak dapat dibayangkan kapan ideologi akan terlaksana, karenanya strategi dalam politik tidak dapat meliputi sampai tercapainya tujuan (ideologi), karenanya hanya meliputi jangka waktu tertentu.
E.
HUBUNGAN TAKTIK DENGAN STRATEGI
Taktik adalah bagian dari strategi. Karenanya taktik harus tunduk dan mengabdi kepada strategi. Rencana perjuangan (strategi) meliputi perjuangan secara menyeluruh baik dalam hubungan Nasional, Internasional dan daerah/Lokal maupun mengenai semua segi penghidupan dan kehidupan masyarakat/Negara, ekonomi, hankam, kebudayaan, pendidikan, agama dan lain-lain. Mao Tse Tung (1963) : “An understanding of the whole facilitates the including of the parts and because the part is subordinate to the whole. If there are serious defects or mistakes in taking the situation as a whole and its various stages into account the war is sure to be lost. One careless move loses the whole game, as in chess so in war” . Artinya, pemahaman atas keseluruhan memangku penanganan setiap bagian dan karena masing-masing bagian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penanganan secara keseluruhan. Jika terdapat kesalahan yang serius dalam menangani situasi secara keseluruhan dan tahap-tahapnya perang sudah pasti akan kalah. Kecerobohan suatu langkah menimbulkan kekalahan pada keseluruhan permainan, seperti dalam permainan catur begitu juga dalam perang. Karena itu setiap aktifis/fungsionaris/kader organisasi, meskipun ia hanya mempunyai tanggung jawab mengenai satu aspek (segi) perjuangan misalnya pendidikan atau mengenai satu daerah (wilayah), namun ia mestilah memahami perjuangan dan rencana strategi dalam keseluruhannya. Jika semua langkah-langkah taktik dalam seluruh strategi berhasil, pastilah strateginya sendiri berhasil. Jika semua langkah-langkah taktik dalam seluruh strategi gagal, pastilah strateginya sendiri gagal. Jika sebagian langkah-langkah taktik gagal, strategi masih dapat berhasil jika kemudian disusul dengan langkah-langkah taktik yang berhasil jika kemudian disusul dengan langkah-langkah taktik yang berhasil serta yang bernilai strategis (Britain has lost many battles, but win the war). Jika sebagian langkah-langkah taktik berhasil, strategi masih bisa gagal, jika kemudian terjadi kegagalan langkah-langkah taktik yang bernilai strategis. “One Careless move loses the “whole game, as in chess, so in war” Langkah-langkah taktik yang bernilai strategis ialah yang mengenai suatu kejadian politik (dus hanya sebagian, dus taktik), tapi kejadian itu menentukan bagi seluruh rencana strategi.
F.
BERFIKIR BERJUANG – BEKERJA SECARA DIMENSI
Mula-mula kita berideologi yang merupakan tujuan perjuangan. Lalu kekuatan disusun dalam organisasi. Organisasi bergerak dalam arena politik. Karenanya harus diikuti selalu perkembangan politik, karena politik mempunyai hukum-hukum sendiri, maka cara berpikir harus politis, tidak normative dan tidak juridis formil. Setelah secara berfikir politis kita menanggapi setiap persoalan politik, maka disusunlah garis strategis untuk jangka waktu tertentu dan ditentukanlah langkahlangkah taktik untuk setiap persoalan politik tertentu pada saat tertentu. Dus dalam berjuang kita harus berpikir 5 dimensional yaitu : Ideologis – Organisatoris – Politis – Strategis – Taktis dan kita harus berjuang dan bekerja secara dimensional ini 5 dimensi ini merupakan kebulatan yang harus dimiliki oleh lapisan pimpinan dan para kader (tingkat atas). Tanpa kebulatan 5 dimensional ini perjuangan akan megalami kegagalan-kegagalan. Berpolitik tanpa ideologi
: Opportunisme
Berpolitik tanpa organisasi
: Avonturirisme 41
Berpolitik tanpa stratak
: Ngawur – Nekad.
Opportunitis, avonturisme, dan sikap Ngawur – nekad adalah sikap-sikap yang berbahaya bagi kepentingan perjuangan.
G.
UNTUK SIAPA STRATAK INI
Straktak ini hanyalah boleh dipelajari oleh pejuang tulen serta yang sudah mempunyai kesadaran Ideologi dan Organisasi serta sanggup berpikir politis realistis. Seorang yang penakut yang selalu menghindarkan resiko, yang kepentingan pribadinya selalu dimenangkan atas kepentingan perjuangan, tidak usah mempelajari STRATAK ini, karena nanti ia akan menutupi opportunismenya (pertualangannya) atau sifat penakutnya dengan dalih-dalih stratak. Yang sudah berkesadaran ideologi dan Organisasi, justru arus mempelajari STRATAK ini agar dia tidak jatuh pada penyakit anarchi nyelonong atau pada sikap radikalisme kstreem yang bersifat ngawur dan nekad. Setiap sifat penakut adalah jelek, karena sifat penakut tidak pernah dan tidak mungkin membawa hasil. Sikap berani yang baik ialah yang membawa hasil. Sikap berani yang jelek adalah yang membawa bencana bagi perjuangan dan yang menyebabkan kekuatan sendiri berantakan dan musnah atau berkurang.
H.
KEDUDUKAN STRATAK DALAM PERJUANGAN IDEOLOGI
STRATAK tidaklah berdiri sendiri melainkan hanya merupakan alat pelaksana untuk mencapai tujuan (ideologi) karenanya STRATAK harus mengabdi kepada perjuangan untuk mencapai tujuan ideologi serta harus tunduk pula kepada ketentuan-ketentuan Ideologi / Agama. Prinsip “the end justifies the means” berlaku bagi perjuangan ideologi jika mau berhasil, cuma bagi Ideologi yang berdasarkan agama, sudah barang tentu pentrapann prinsip ini haruslah dibatasi sepanjang tidak melanggar ketentuan – ketentuan / hukum / ajaran Agama. Adanya pembatasan ini sepintas lalu merupakan kelemahan bagi perjuangan ideologi yang berdasarkan agama jika dibandingkan dengan ideologi yang tidak berdasarkan agama atau moral, seakan-akan yang terakhir ini dapat seluas-luasnya mempergunakan segala cara apapun untuk mencapai tujuannya. Tapi justru tidak adanya pembatasan itu malahan merupakan peluang yang bebas untuk setiap petualangan dan penyelewengan oleh kliek yang berkuasa dalam bentuk gila kuasa, sewenang-wenang, ambisi-ambisi pribadi dan lain-lain tentu saja dengan kedok “bagi kepentingan perjuangan”. Dan akibat dari petualangan / penyelewengan itu malahan merugikan perjuangan ideologi yang tidak berdasarkan agama atau moral itu. Apa yang didalam agama sudah ada hukumnya haram, halal, sunnah dan makruh tidak boleh dipersoalkan lagi dari sudut STRATAK. Selebihnya adalah soal yang termasuk urusan dunia yang oleh Nabi diserahkan kepada kita : kamu lebih tahu mengenai soal-soal keduniaan”. Dalam soal-soal ini kita mempergunakan pertimbangan-pertimbangan STRATAK.
I.
HUBUNGAN STRATAK DENGAN ORGANISASI
Stratak adalah cara mempergunakan organisasi untuk mencapai sasaran perjuangan. Ini berarti bahwa setiap garis strategi atau langkah taktik haruslah disesuaikan dengan kondisi organisasi. Setiap garis strategi atau langkah taktik yang berada diluar kemampuan organisasi akan gagal. Setiap STRATAK akan berhasil jika sesuai dengan kemampuan (daya kekuatan) organisasi, tentu saja dengan disertai organisasi yang rapih. Organisasi yang mempunyai leadership dan disiplin akan membawa STRATAK yang tepat kepada sukses. Suksesnya STRATAK akan memperkuat organisasi. Makin kuat organisasi makin tambah mampu untuk melaksanakan STRATAK yang lebih besar dan demikian selanjutnya STRATAK yang lebih besar yang berhasil akan lebih memperkuat organisasi. Sebaliknya STRATAK yang gagal akan mengurangi kekuatan organisasi. Makin berkurang kekuatan organisasi, makin tidak mampu melaksanakan STRATAK besar dan makin kecil tingkat STRATAK yang harus dilaksanakan akan makin jauhlah organisasi kepada tujuan (ideologi). 42
J.
STRATAK dan LEADERSHIP
Jika Ideologi sudah cukup jelas, dan organisasipun telah tersusun maka sukses selanjutnya terletak pada pelaksanaan stratak yang tepat. Ideologi adalah factor yang konstan (tetap). Organisasi adalah fakto “gegeven” artinya yang diadakan, yang akan menjadi berkurang atau bertambah (variable) dengan gagal atau berhasilnya STRATAK. Pada fase-fase pertama dari perjuangan, tugas leadership adalah menyeluruh meliputi ketiga-tiga factor yaitu : Ideologi – Organisasi dan STRATAK. Pada fase-fase selanjutnya setelah soal ideologi diselesaikan (relative) dan organisasi telah tersusun, maka tugas leadership sehari-hari adalah melaksanakan strategi dan menetapkan taktik agar organisasi makin kuat sehingga tujuan (ideology) dapat tercapai. Meskipun leadership yang baik haruslah meliputi ketiga-tiga factor (ideologi, organisasi dan STRATAK) namun akhirnya yang sangat menentukan hasilnya adalah STRATAKnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa soal leadership adalah identik dengan soal penggarisan strategi yang benar dan penetrapan taktik yang tepat. Begitu vitalnya STRATAK itu, sehingga ada yang mengatakan bahwa : ……. strategy and tactics are the science of leadership”. Leadership yang tidak menguasai soal-soal ideologi sudah barang tentu bukanlah suatu. Leadership yang baik betapapun hebatnya STRATAK yang dilaksanakannya, karena dengan tidak dikuasainya Ideologi, dengan STRATAK yang hebat itu lalu ke mana tujuannya, padahal tujuan hanyalah dilandaskan kepada azas-azas Ideologi. Sebaliknya leadership yang sikapnya kelihatan hebat, berani, tegas, tetapi sikap tegasnya itu tidak disertai dengan penggarisan STRATAK yang tepat untuk terlaksananya sikap tegas tadi, bahkan lalu dengan sikap tegas yang hebat tapi tidak realistis itu kekuatan organisasi akan lumpuh, lalu berantakan, betapapun benarnya sikap tegas itu tetapi leadership sedemikian adalah leadership yang gagal. Mengambil sikap adalah tidak sukar, yang sukar adalah merealisasikannya. Leadership yang sama Cuma benar dalam sikap tetapi tidak benar dalam realisasinya adalah leadership yang gagal. Realisasi yang benar dari suatu sikap adalah jika dengan realisasi itu kekuatan sendiri dapat dipertahankan/ ditambah. Sikap tegas demi untuk tegasnya saja tidak menguntungkan perjuangan bahkan dapat merugikan. Sesuatu sikap yang diambil apa tegas, apa setengah tegas atau tidak tegas, sepanjang tidak melanggar ketentuan Agama, adalah demi untuk memelihara kekuatan sendiri serta untuk mengurangi kekuatan lawan dan ini hanya dapat dilaksanakan dengan penggarisan strategi yang benar dan penerapan taktik yang tepat. Sudah menggariskan STRATAK saja masih mungkin gagal, apalgi kalau tidak mempunyai STRATAK sama sekali, dus leadersip yang tidak menguasai soal-soal STRATAK serta tidak mentrapkannya pastilah akan gagal.
K.
TUGAS STRATEGI DAN TAKTIK
Sebagai cara mempergunakan organisasi untuk mencapai Rencana Perjuangan dalam jangka waktu tertentu, serta bagaimana cara berjuang menentukan sikap pada saat tertentu menghadapi masalah politik tertentu, maka tugas STRATAK adalah menciptakan, memelihara, dan menambah syarat-syarat yang akan membawa kepada tujuan. Syarat-syarat yang meliputi kekuatan fisik berupa tenaga manusia, kekuatan material, kekuatan mental (ideologi) serta posisi didalam Negara dan masyarakat. Tegasnya tugas STRATAK adalah untuk machts – vorming dan machts – aanwending. Macht = power= kekuasaan Kracth = force = kekuatan Power = force + positition Macht = kracht + positie Kekuasaan = kekuatan + posisi Position without force = naked position 43
Force without position = naked force Posisi tanpa kekuatan = posisi mentah Kekuatan tanpa posisi = kekuatan mentah Position – force without ideologi = naked power Posisi tidak dapat dipisahkan dengan kekuatan posisi yang baik separuh kekuatan. Posisi strategis adalah menentukan berhasil tidaknya Rencana Perjuangan (Strategi). Posisi taktis menentukan berhasil tidaknya langkah-langkah taktik. Machts – vorming dan machts – aanwending yang menjadi tugas STRATAK tidak lain tujuannya melainkan untuk melaksanakan apa yang disebut Mao Tse Tung : (….” To preserve oneself ………………………., atau dapat dirumuskan bahwa tugas STRATAK ialah untuk mempertahankan / menambah kekuatan dan / atau posisi sendiri. Baik buruknya suatu STRATAK adalah ditentukan oleh berhasil tidaknya mempertahankan kekuatan sendiri atau mengurangi kekuatan lawan. Demikian pula baik buruknya leadership tidak terletak pada tegas atau tidaknya, berani atau tidak, popular atau tidak melainkan kepada hasil kepemimpinannya dan hasil dalam kepemimpinan ialah apa saja yang dapat mempertahankan kekuatan / posisi sendiri serta yang dapat mengurangi kekuatan / posisi lawan.
L.
DASAR-DASAR MENYUSUN STRATEGI Dalam menyusun strategi perlu dilakukan sesuai dengan tata urutannya sebagai berikut :
1.
Rencana perjuangan yang merupakan unsur pokok dari strategi (lihat definisi tentang strategi) adalah menetapkan sasaran yang hendak dicapai oleh organisasi dalam jangka waktu tertentu. Besar kecilnya sasaran yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu disesuaikan dengan kemampuan organisasi.
2.
Jangka waktu tertentu yang merupakan juga unsur dalam pengertian strategi, jangka waktu ini ditetapkan antara waktu sekarang dan beberapa tahun kedepan, misalnya sampai selesainya pemilihan umum. Dalam jangka waktu ini strategi biasanya tidak berubah dan merupakan satu tahap dalam perjuangan. Stalin (1947), : “It (Strategy) changes with, the passing of revolution from one stage to another buat remains essentially unchanged throughout a given stage. Artinya strategi mengalami perubahan sejalan dengan berlangsungnya revolusi dari suatu tahap ketahap lain tapi secara esensial tetap tidak mengalami perubahan pada suatu tahap tertentu.
3.
Politik adalah multi partai affair. Liddel Hart : …. War is a two party affair”. Setiap pihak (partai) mempunyai rencananya masingmasing. Rencana strategis biasanya tidak dirahasiakan karena dalam pelaksanaannya memerlukan penerangan/indoktrinasi kepada para aktifis secara continue dan terbuka (untuk cari pengikut). Partai yang satu biasanya mengetahui pula Rencana (Strategi) dari partai lainnya dan lalu berusaha untuk menggagalkannya. Karena itu setiap Renccana haruslah mempunyai sasaran-sasaran alternative. Liddell Hart : “ A plan like a tree must have branches if it is to bear fruit. A plan like a single aim is apt to prove a barren pole; … to ensure raching an objective one should have alternative objective”. Artinya, sebuah rencana adalah ibarat sebatang pohon yang memiliki beberapa cabang jika diharapkan dapat menghasilkan buah. Sebuah rencacna dengan sebuah tujuan tunggal dapat dengan mudah terbukti tidak efektif. Guna memastikan untuk mencapai suatu tujuan seseorang harus memiliki tujuan alternative lainya.
4.
Sasaran yang hendak dicapai dengan Rencana strategis adalah selalu dalam rangka machts – vorming. Jika sesuatu rencana strategis memuat resolusi – resolusi ataupun sikap-sikap yang ditujukan keluar, kemasyarakatan adalah untuk mendapatkan backing dari public opinioa atau untuk menunjukkan adesi dan assosiasi kepada suatu pihak. Setiap resolusi atau sikap keluar itu tidaklah berdiri sendiri dan bukan pula demi untuk kepentingan apa yang tercantum dalam resolusi itu sendiri, melainkan haruslah dikaitkan kepada usaha untuk macths – vorming itu. 44
5.
Untuk kepentingan organisasi sendiri, tapi dengan mempergunakan hal-hal yang objektif atau yang dibuat; seakan-akan objektif sehingga dapat diterima dan kemudian di sokong oleh publi c opinion. Public-opinion ada dua macam : a. Yang murni, yaitu yang timbul oleh kebenaran tindakan-tindakan (misalnya tindakan ekonomis), yang benar-benar terasa manfaatnya oleh masyarakat. b. Yang tidak murni, yaitu yang digarap oleh / atas dengan pelbagai cara, diantaranya dengan :
M.
-
Managed news
-
Kampanye urat syaraf
-
Penggarapan khusus lewat tekanan psychis atau physic terhadap oknum-oknum tokoh.
DASAR-DASAR MEMBENTUK TAKTIK
Takti adalah menentukan langkah atau suatu sikap pada saat tertentu, menghadapi peristiwa politik tertentu, dus sifatnya adalah kemampuan / kepandaian mengambil keputusan dalam waktu pendek atau segera. Karena taktik adalah bagian dari strategi, maka dasar-dasar yang berlaku untuk menyusun strategi berlaku pula bagi taktiknya, Cuma taktik masih ada beberapa syarat khusus diantaranya :
1.
Meksibelitas (Flexibility) Sikap atau langkah tidak mutlak menuju pada waktu arah saja melainkan dapat berubah-ubah menurut kondisi baik kondisi obyektif maupun kondisi subyektif. Liddell Hart : any plan must take into account of the enemy’s power to frustrate it. Artinya, sebuah rencana harus mempertimbangkan kekuatan lawan untuk menggagalkan rencana tersebut. Karena itu apa (kira-kira) yang akan dilakukan oleh lawan terhadap kita harus selalu diperhitungkan. Sun Tzu : if you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles if you will suffer a defeat. If you know neither the energy nor youself, you will succumb in every battle. Artinya, jika anda mengetahui tentang musuh anda dan anda mengetahui tentang diri anda sendiri, anda tidak perlu takut akan hasil yang diperoleh dari ratusan pertepuran jika anda mengetahui tentang diri anda sendiri, tetapi tidak ketahui tentang musuh anda, untuk mendpatkan suatu kemenangan anda akan menderita kekalahan. Jika anda tidak mengetahui baik diri anda maupun musuh anda, anda akan mengalami kekalahan dalam setiap pertempuran. Sun Tzu : The art of war teaches us not to rely on the enemy not coming but on our preparedness to receive them: not on the enemy not attaking but on the fach that we heve made our position unassailable. Artinya, seni peperangan mengajarkan kita untuk tidak mempercayai bahwa musuh tidak akan datang, tapi bukan mengajarkan kita untuk tidak mempercayai bahwa musuh tidak akan menyerang kita, tapi mengajarkan kita untuk mempersiapkan posisi kita agar tidak dapat terkalahkan. Kemudian ditambahkan Su Tzu, He will win wlio knows when to figlit and when not to fight sedangkan Lenin, The revolutionary partics liave to realize that victory is impossible unless they have learned both how to attack and how to rectrack properly.
2.
Orientation, evaluation and estimation Sebelum menentukan sikap / langkah taktis, harus melihat keadaan secara tepat. Kemudian menilai keadaan itu dihubungkan dengan keadaan kita dan kehendak lawan dan sesudahnya lalu menentukan langkah dan mengira-ngira bagaimana hasilnya nanti. Hasil tidak dapat dipastikan, tapi dengan orientasi dan evaluasi yang tepat akan terbayang ada tidaknya kans untuk berhasil. Setelah sasaran taktis ditetapkan sekaligus ditetapkan sasaran alternatifnya atau dengan bahasa popular kita menetapkan program minimum .
45
Antara maksimum dan minimum ini terdapat alternative – alternative. Segala factor harus selalu harus diperhitungkan yaitu, factor kita, factor lawan (2) dan factor keadaan atau situasi. Sun Tzu : “The general who wins a battle makes many calculations. The general who loses a bottle makes but fow calculations gefore hand. This do many calculations lead to victory, and few calculations to feat. How much more do no calculation at all pave the way to defect. How much more do no calculation at all pave the way to defeat. Kemudian lanjut Sun Tzu : “Tactics mus be guided by the action of the …. He, who can modify his tactics in relation to his opponent and there by succed in winning, may be called a heaven – born captain”.
3.
Kerahasiaan Biar lawan meraba-raba apa langkah yang akan kita ambil agar mereka tidak dapat menghalanghalangi “keep them guessing”.
4.
Gerak Tipu Hadis
: “ Al charbu Chid’ah”.
Sun Tzu : Alla warfare is based on deception Stonewall Jackson : Mystify, mislead and surprise.
5.
6.
Lima S a.
Sasaran
b.
Sarana
c.
Sandaran
d.
Sistem
e.
Saat
Perpaduan kondisi subjektif dan kondisi obyektif. Kondisi subjektif ialah mengenai kekuatan atau keadaan organisasi sendiri. Kondisi obyektif ialah mengenai keadaan, situasi atau iklim politik. Jika kondisi subyektif baik tapi kondisi obyektif tidak baik, taktik tidak akan berhasil. Kondisi obyektif yang belum baik dapat dibikin baik dengan jalan apa yang disebut “mematangkan situasi”. Dus kondisi obyektif dapat diciptakan dan dibikin oleh subyek (pihak) yang kondisinya baik. Di sini kondisi subyektif mematangkan kondisi obyektif. Sebaliknya kondisi obyektif dapat membuat kondisi subyektif yang tadinya kurang baik menjadi baik dalam arti bahwa dengan timbulnya kondisi obyektif yang mendadak menjadi matang maka apa yang tadinya belum dapat dilaksanakan lalu dapat dilaksanakan, dus di sini kondisi obyektif mematangkan kondisi subyektif. Jadi kondisi subyektif dan kondisi obyektif masing-masing tidak berdiri sendiri melainkan antara kedua-duanya terdapat hubungan timbal balik yang aktif saling pengaruh mempengaruhi.
N.
SYARAT-SYARAT TEHNIS UNTUK TERLAKSANANYA STRATAK
Teknis di sini dalam arti cakap, ahli, mahir. Perjuangan politik meliputi semua segi penghidupan dan kehidupan. Negara dan Masyarakat yang setiap seginya adalah penting dan mempunyai hubungan timbale bali aktif dengan segi-segi lainnya dan karenanya semua segi itu mesti sama-sama digarap tidak ada satupun yang dianak tirikan. Untuk ini dibutuhkan kecakapan atau keahlian dalam semua bidang dan karenanya perlu ada semacam spesialisasi bagi setiap aktifis sesuai dengan kecakapan dan minatnya untuk menggarap soal perburuhan misalnya diperlukan aktivis yang selain tahu soal perburuhan juga yang sanggup bergerak di tengahtengah kaum buruh. Untuk mengetahui rahasia lawan diperlukan usaha infiltrasi untuk ini diperlukan juga tenaga khusus, untuk itu baik yang diselundupkan maupun yang mengkoordinirnya. Untuk memegang inisiatif dalam percaturan politik diperlukan tenaga-tenaga ahli / sarjana yang setiap saat dapat menyampaikan working – paper kepada Pimpinan mengenai issue-issue yang perlu dilontarkan lewat pelbagai forum (DPR, pers, dan lain-lain) untuk mendapatkan backing dari opini umum.
46
Untuk keperluan massa aksi diperlukan tukang-tukang pidato yang tahu massa psychology, disamping keharusan adanya garis vertical organisasi sampai kelompok-kelompok anggota yang terkecil untuk keperluan menggerakkan massa. Dalam masa modern ini soal kecakapan tehnis ini tidak boleh diabaikan. Lagi pula rakyat yang perutnya lapar sukar untuk digerakkan dengan ideologi – ideologi dan politik-politik saja. Program social ekonomis yang kongkrit dan riel akan lebih menarik perhatian rakyat. Dalam keadaan yang begini politik yang baik ialah tidak “berpolitik” melainkan berprogram social ekonomi dan memperjuangkannya.
O.
HUKUM-HUKUM STRATAK
Didalam STRATAK terdapat semacam hukum atau maxim yang sifatnya universal artinya berlaku dimana-mana tentu, saja bentuk-bentuknya penetrapannya berbeda-beda menurut tempat dan keadaan. Dalam perjuangan politik maxim-maxim ini jika diterapkan secara benar tentu akan membawa hasil. Jika tidak berhasil bukan maximnya yang salah melainkan pentrapanya yang salah. Beberapa maximmaxim tersebut akan dipaparkan dibawah ini : 1. Kwantitas : Jumlah yang besar akan mengalahkan jumlah yang kecil. Pihak yang berjumlah kecil tidak boleh menyerang musuh yang berjumlah besar. Jika musuh yang berjumlah besar menyerang pihak yang berjumlah kecil, yang akhir hendaknya menyingkir. Musuh yang berjumlah besar tidak dapat dihancurkan sekaligus, melainkan dari sedikit melainkan dari sedikit demi sedikit dan secara terus menerus. Kehancuran sedikit demi sedikit ini disebabkan oleh kesalahannya sendiri, karenanya dengan jalan provokasi atau lain usahakan supaya dia melakukan sikap atau gerakan yang salah. Atau kehancuran dari sedikit demi sedikit itu disebabkan oleh gangguan-gangguan yang selalu dilakukan oleh pihak yang berjumlah kecil pada saat-saat musuh besar itu lengah. Pihak yang berjumlah kecil dari sedikit demi sedikit dan secara terus menerus dapat menjadi besar dengan jalan mengumpulkan setiap hasil yang diperoleh akibat kesalahan dan kelengahan musuh yang berjumlah besar. 2.
Kwalitas dan Kwantitas. Kurang dalam kwantitas harus diimbangi dengan kelebihan dalam kwalitas. Kurang dalam kwalitas harus diimbang, dengan kelebihan dalam kwantitas. Sama dalam kwantitas akan dimenangkan dengan kelebihan dalam kwalitas. Sama dalam kwalitas akan dimenangkan dengan kelebihan dalam kwantitas.
3.
Posisi Posisi yang baik adalah separoh kekuatan. Posisi yang tidak baik memerlukan dua kali kekuatan.
4. Cadangan Pihak yang mempunyai cadangan, walaupun telah mundur dan kalah akan dapat maju kembali. Jika musuh sedang kalah dan mundur, kejarlah. Hancurkan cadangan musuh sebelum musuh maju dan bangkit kembali dengan cadangannya tenaga manusia dan kader (cadangan pimpinan). 5. Kawan, Sekutu dan Lawan Secara ideologis, kawan adalah yang seideologi. Secara strategis sekutu harus selalu diperbanyak dan pihak-ihak lawan harus dikurangi. Musuh nomor satu adalah golongan terbesar yang ideologinya membahayakan kehidupan ideologi sendiri. Sekutu dari musuh nomor satu adalah lawan. Lawan dari sekutu nomor satu adalah musuh. Antara sekutu dan musuh terdapat golongangolongan yang bukan musuh dan bukan sekutu. Golongan ini pada suatu saat dapat menjadi musuh, pada saat lain menjadi sekutu dan pada satu ketika dapat pula sekaligus menjadi sekutu dan musuh. 6. Devide et impera Pecah belahlah lawan dan hancurkan dulu yang besar. 7. Menyerang adalah pertahanan yang terbaik. Yang menang ialah yang selalu pegang inisiatif. 47
8. The end justifies the means Tujuan membenarkan setiap cara, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan ideologi serta tidak membawa akibat yang dapat merugikan sendiri.
P.
PEDOMAN-PEDOMAN MENCAPAI HASIL 1.
Daru’l mufaasid muqoddamun’alaa jalabil masolih. Mencegah mudhorat harus didahulukan daripada menarik manfaat.
2.
Perjalanan 1000 kilometer harus dimulai dengan kilometer pertama. Laksananya apa yang dapat diselesaikan sekarang, untuk esoknya lagi menyelesaikan pekerjaan selanjutnya.
3.
Jika tidak dapat rotan, akarpu jadilah.
4.
Buanglah sikap
:
All or nothing !
Bismarck
:
Politik adalah mencapai apa yang Mungkin (pada waktu ini).
Nothing succeeds than success. Hasil dalam perjuangan terletak pada hasilnya sendiri. Leadership yang baik ditentukan oleh besarnya prestasi (achievement – accomplisthment). Leadership dan STRATAK yang baik ialah yang mencapai hasil. Yang dinamakan hasil ialah apa saja yang dapat mempertahankan / menambah kekuatan atau posisi sendiri.
Q.
P E N U T U P.
Sebagai langkah permulaan buku ini dicukupkan sekian dulu. Saya akan merasa bersyukur jika kawan-kawan setelah menelaah buku ini lalu merasa terdorong untuk mengkajinya lebih lanjut dan lebih mendalam dari sumber-sumber lain. Maksud penulis menyusun buku ini hanyalah sekadar sebagai pengantar. Penelaahan dan pengkajian lebih lanjut saya serahka kepada kegiatan kawan-kawan yang berminat.
48
LITERATUR Al-Qur’an dan Hadits Sun Tzu Wu, “The Art of War” Penerbit Graham Brash (Pte) Ltd, Singapore, 1985 Carl Von Clausewitz, “On War” Niccolo Machiavlli “The Prince” Penerbit The New American Library, 1964 Liddell Hart “Strategy” Mau Tse Tung, “The Slected Military Wrintings of Mao Tse Tung”, Penerbit Foreign Press Peking, 1963 J. Statin, “Problems of Leninism” Penerbit Foreign Languages Publishing House Mascow, 1947 Charles W. Thayer, “Guerilla” Penerbit The New American Library, 1965
49
BAB V IDEOLOGI, STRATEGI DAN TAKTIK (POINTERS) Islam Yes, Partai Islam Yes, Pancasila Yes, Nasionalisme Indonesia Yes. 1.
a.
Ideologi, Strategi dan Taktik adalah termasuk syarat-syarat perjuangan politik. Perjuangan Politik dan berhasil jika dipenuhi syarat-syrat sebagai berikut :
b.
2.
1)
Imam yang teguh
2)
Ilmu yang cukup
3)
Ideologi yang jelas
4)
Organisasi yang rapi (Leadership yang qualified)
5)
Stratak yang tepat
6)
Kemampuan tehnis / tehnologis yang memadai
Urutan syarat-syarat tersebut haruslah demikian (menurut nomornya). Syarat-syarat tersebut harus ditangani secara simultan. Kalau belum dapat simultan, yang didahulukan adalah menurut urutannya. Karena itu urutan syarat-syarat tersebut tidak boleh diubah.
Definisi dari ideology adalah : Seperangkat nilai-nilai berdasdarkan suatu pandangan hidup untuk mengatur kehidupan Negara dalam segi-seginya dan yang disusun dalam sebuah konstitusi (system) berikut peraturanperaturan implementasinya.
3.
Perbedaan antara Islam dan Ideologi ; Islam : a.
Agama dari Allah (Dienullah)
b.
Universal (berlaku kapan saja, dimana saja bagi bangsa/umat manapun)
c.
Untuk dunia akhirat.
Ideologi :
4.
a.
Hasil pikiran manusia
b.
Tidak universal (dapat berubah)
c.
Hanya untuk dunia
Islam yang bukan ideology mengandung nilai-nilai dasar kehidupan bernegara, diantaranya : a.
Kekhalifahan manusia di muka bumi. (Khalifah atau wakil Allah di muka bumi haruslah orang yang beriman kepada Allah).
b.
Persamaan (egalitarisme)
c.
Keadilan
d.
Musyawarah
e.
Hak Asasi Manusia
f.
Maslahatul Ammah (res publice)
g.
Mencegah kedholiman atas manusia, kekayaan Negara dan lingkungan hidup.
h.
Hak / kewajiban timbale – balik antara pemimpin / umaro dan rakyat / umat. 50
i.
Hak si miskin atas sebagian kekayaan si mampu
j.
Pluralism adalah Sunnatullah
k.
Hak / kewajiban timbale balik antara mayoritas dan minoritas
5.
Strategi adalah jalan atau cara yang akan ditempuh untuk mencapai Tujuan Ideologi dengan mempergunakan wadah organisasi (dalam arti luas mencakup kekuasaan politik).
6.
Petunjuk tentang keharusan mempergunakan stratak, diantaranya adalah :
7.
8.
a.
Surat An-Nahl ayat 125 : Ajakan ke jalan Allah dengan Hikmah dan nasehat yang baik serta dengan yang lebih baik.
b.
Hadits : Al-Kharbu Khid’ah
c.
Kaidah ; Maa La yutimmul wajib “illa bihi, fahuwa wajib (apa yang tidak menyempurnakan suatu kewajiban kecuali dengannya, ia adalah wajib. Kewajiban di sini mengacu kepada jihad).
d.
Kaidah : Albathilu binidhom sanyaghlibul hag bila nidhom (kebathilan dengan stratak akan mengalahkan kebenaran tanpa stratak). Kaidah tersebut harus dirubah menjadi : Al-Haq binidhom syaghlibul bathil binidhom (kebenaran yang disertai stratak akan mengalahkan kebhatilan yang diserta stratak).
Mengajak ke jalan Allah adalah mencakup Jihad (berjuang) di Jalan Allah. a.
Dalam kata Jihad terkandung kata Huda yang artinya petuntuk dari Allah, karena itu Jihad (berjuang) haruslah Bilhikmah (tidak boleh diartikan hanya dengan kebijaksanaan).
b.
Jihad Bilhikmah mencakup berjuang dengan perhitungan, prudence (hati-hati), berani menempuh risiko apapun asalkan dengan perhitungan yang cermat dan seksama, keharusan / keberanian memberi kurban (tenaga, pikiran, harta, kedudukan, reputasi – pandangan orang, pengurangan / kehilangan kebebasan dan pengurbanan jiwa).
c.
Berjihad (berjuang) haruslah dengan (kesediaan) berkurban. Tanpa berkurban bukanlah berjuang.
Perjuangan Nabi melakukan dakwah ke Jalan Allah Bilhikmah di tempuh dengan statak. a.
Waktu pengikut Nabi jumlahnya masih sedikit, Nabi melakukan dakwah dengan sembunyisembunyi.
b.
Setelah pengikut Nabi bertambah-tambah, Nabi melakukan dakwah dengan terbuka.
c.
Sewaktu Golqur (Golongan Quraisy) melakukan serangan bersenjata, Nabi menghindar.
d.
Setelah serangan bersenjata dari Golqur itu bertubi-tubi nabi melakukan hijarah dari Mekkah ke Madinah.
e.
Hijrah ke Madinah itu dalam ilmu perang disebut sebagai strategical retreat (gerakan mundur yang strategis) artinya setelah kekuatan disusun kembali akan melakukan gerakan maju kembali ke Mekkah.
f.
Setelah menghimpun kekuatan di Madinah, Nabi menghadapi serangan bersenjata dari pihak Golqur dengan kekuatan bersenjata pula, sehingga akhirnya Nabi beserta sahabat mampu kembali ke Mekkah.
g.
Dalam perjanjian Hudaibiyyah antara Nabi dan Pihak Golque yaitu yang mengatur kembalinya Nabi berikut pasukannya ke Mekkah, atas permintaan pihal Golque, tanda tangan Nabi tidak disertai dengan sebutan Rasullullah. Ini sebuah taktik dari Nabi untuk mempercepat fatkhu, Mekkah (Pembukaan kota Mekkah) serta untuk menghindari bertambahnya korban.
h.
Langkah-langkah Nabi sejak melakukan dakwah dengan sembunyi, hijrah ke Madinah, menempuh perang-perang Badar dan Uhud dan kemudian mencapai klimaks berupa parade 51
Pembukaan Kota Mekkah, semuanya itu adalah perwujudan stratak Nabi dalam rangka Jihad Bilhikmah. 9.
10.
Perjuangan HMI mempertahankan eksistensinya menghadapi pengganyangan oleh PKI dan sekutu-sekutunya. a.
Strategi FIMI mempertahankan eksistensinya adalah, atas landasan Pancasila, menggalang, asosiasi (kerjasama dengan Presiden Sukarno, Angkatan Darat dan Partai-partai / OrmasOrmas Islam, dan kekuatan-kekuatan Pancasilais lainnya.
b.
Dalam taktik-taktik untuk mencapai tujuan strategis yaitu untuk mempertahankan eksistensi HMI, HMI melakukan pelbagai taktik yang menunjang tercapainya tujuan Strategi jadi yang tidak boleh menghambat atau mengagalkan tercapainya Tujuan Strategi HMI.
c.
Taktik-taktik itu diantaranya berupa turut dalam persatuan Nasakom, turut dengan lantang menyanyikan lagu Nasakom turut dalam aksi-aksi sok revolusioner.
d.
Di samping taktik-taktik tersebut HMI juga melakukan “show of force” berupa pasukanpasukan HMI yang terdiri dari beberapa ribu anggota berbaris di jalan-jalan protocol sambil bernyanyi : ini demi membuktikan keberadaan HMI.
e.
Juga untuk membuktikan keberadaan HMI, HMI terpaksa melakukan pembalasan terhadap terror mental dan fisik yang dilakukan oleh lawan.
f.
Langkah-langkah strategi dan taktik HMI tersebut semuanya adalah dalam rangka Jihad atau berjuang Bilhikmain.
Perjuangan umat islam dalam masa colonial menunjukan pasang dan surat karena para Pimpinan Islam menunaikan Perintah Allah, Jihad Bilhikmah; surat karena melanggar Perintah Allah, berjuang Bighoiril hikmah (tanpa hikmah). a.
SDI (Serikat Dagang Islam) yang berdiri tahun 1911 dan yang dilanjutkan oleh Serekat Islam yang berdiri dan tahun 1912 adalah yang memelopori perlawanan rakyat Indonesia melawan Kolonialisme Belanda. Sarekat Islam di bawah pimpinan Tjokroaminoto menempuh perjuangan populis (kerakyatan) tanpa menempuh perjuangan bersenjata.
b.
Dengan gerakan populis itu, pengikut Sarekat Islam meningkat jumlahnya dengan pesat, sehingga pada tahun 1918 keanggotaan Sarekat Islam mencapai 2 juta orang. (Pringgodigdo) 1980), Bandingkan dengan keanggotaan Budi Utomo yang memang bukan gerakan populis dan bukan pula pelopor gerakan kebangsaan melawan kolonolisme yang tidak pernah melebihi 80 ribu orang.
c.
Mengapa Sarekat Islam berkembang sepesat itu, karena Sarekat Islam menempuh garis noncooperation terhadap kolonialisme Belanda. Dan Jihad Bilhikmah melawan rezim Hindia Belanda adalah sikap non kooperasi.
d.
Berkat perjuangan Sarekat Islam melawan Hindia Belanda tumbuh berkembanglah rasa kebangsaan kalangan rakyat sehingga umat islam merupakan cikal bakal bangsa Indonesia. Sampai tahun 1920, seorang Nasionalisme adalah muslim, kecuali Douwes Dekker yang bersama-sama Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo yang mendirikan partai Indische Party pada tahun 1912. partai ini tidak berlanjut setelah pada tahun 1915, tiga orang pemimpinnya itu dibuang ke Belanda oleh Pemerintah Kolonial.
e.
Setelah pada tahun 1918 Sarekat Islam berganti haluan meninggalkan siakp non-kooperasi menjadi kooperasi dengan rezim Hindia Belanda, yaitu dengan duduknya Tjokroaminoto dan Agus Salim dalam Dewan “Rakyat” (Volksraad), Sarekat Islam lalu terpuruk, keanggotaannya pada tahun 1927 merosot sampai tinggal 80 ribu orang.
f.
Gerakan Kebangsaan yang semula dipimpin oleh Sarekat Islam, sejak tahun 1927 itu beralih ke tangan Bung Karno dengan PNI-nya yang sama dengan Bung Hatta menjalankan sikap non-cooperation secara gigih dan konsekuen. Dan Sarekat Islam terpuruk terus tidak bisa bangkit kembali untuk memegang pimpinan perjuangan kebangsaan dan Bangsa Indonesia bahkan sampai sekarang. 52
11.
g.
Sikap non-koperasi terhadap kolonialisme adalah merupakan Jihad Bilhikmah, sedangkan sikap koooperasi adalah jihad Bighoiril Hikmah, karena sikap kooperasi hanyalah menguntungkan pihak colonial dan menghambat gerakan Kebangsaan menuju Kemerdekaan.
h.
Mengapa Sarekat Islam sampai beralih kesikap kooperasi dengan rezim Hindia Belanda ? karena tergiur oleh kedudukan Dewan “Rakyat”-nya Belanda yang kemudian oleh Agus Salim sendiri disebut sebagai Dewan Komedi alias badut politik.
Kooperasi Sarekat Islam dengan rezim colonial pada tahun 1918 – 1928 itu memperoleh perwujudan baru dalam sikap pemimpin-pemimpin Islam Indonesia termasuk para ulama dan para cendekiawannya yang berkooptasi dengan rezim Soeharto yang tidak kalah dholim dan mungkarnya dibandingkan dengan rezim belanda. Hanya saja sikap ikut rezim Suharto itu sebutannya berubah menjadi Kooptasi (arti harfiahnya adalah dipilih menjadi rekan). a.
Dengan system demokrasi penggarapan dan demokrasi rekayasa disertai dengan hadiahhadiah kedudukan dan jabatan, Suharto telah berhasil menjinak-lembekkan para “Pemimpin Politik”, sehingga para pemimpin politik tidak lagi mandiri, karena itu mereka disebut pemimpin politik dengan tanda kutip.
b.
Para “Pemimpin Politik” yang jinak dan lembek itu lalu tidak mampu melaksanakan tugas melakukan Kontrol Sosial terhadap rezim Suharto, sehingga dibawah rezim Suharto di Pusat sampai di bawah merejalela KKN dan SSK (Saudara-Saudara Kandung)-nya yaitu komersialisasi jabatan, penglisme, mumpungisme, serakahisme kekuasaan dan harta, manipulasi hukum, kesewenang-wenangan, penggusuran tanah milik rakyat Pengrusakan lingkungan hidup, hedonisme, maksiatisme, munakfikisme, ndableg – isme (tidak tahu malu) dan kemungkaran serta kedholiman lainnya.
c.
Dengan terkooptasinya para pemimpin Islam Indonesia, berikut para ulama dan para cendekiawan muslim (tentu saja tidak semua) mereka para “Pemimpin Islam” itu telah tidak melaksanakan perintah nahi mungkar, sehingga mereka pun tidak melakukan Kontrol Sosial terhadap rezim Suharto dan dengan demikian para “Pemimpin atas terjadinya KKN dan SSKnya selama 32 tahun rezim Suharto.
d.
Sejak tahun 1989, mereka para “Pemimpin Islam” itu terbius, terbuai dan terlena oleh rangkulan suharto yang terasa sejuk segar bagaikan angin sepoi-sepoi basah didalam alam ijo royo-royo, padahal motivasi Suharto merangkul umat Islam dengan symbol “ mukul bedug dan takbir” adalah : 1) Untuk menetralisir / menggagalkan scenario ABS (Asal Bukan Suharto) yang akan dilancarkan menjelang Pemilu 1992/Sidang Umum MPR 1993. 2) Untuk menetralisir perlawanan umat Islam Indonesia dan untuk menutup-nutupi kemungkaran dan kedholiman rezim Suharto dengan KKN dan SSK-nya.
12.
13.
Peristiwa Sarekat Islam dengan sikap kooperasinya dengan Belanda pada tahun 1918 – 1927 dan peristiwa kooptasi para “Pemimpin Islam” dengan rezim Suharto memberi pelajaran kepada kita umat Islam mengenai Berjihad Bilhikmah. a.
Bahwa sebaik-baik sikap politik dan strategi adalah yang tetap berlandaskan ajaran Islam yaitu melakuka nahi mungkar terhadap setiap bentuk kemungkaran dan kedholiman.
b.
Bilhikmah yang tercantum dalam surat An-Nahl ayat 125 sekali-kali tidak boleh diartikan hanya sebagai kebijaksanaan dalam arti menghindari setiap bentuk risiko. Berjuang adalah berkurban dan menempuh risiko, meskipun yang harus diperhitungkan dengan seksama dan cermat. Tanpa berkurban dan tanpa menempuh resiko bukanlah Jihad, bukanlah berjuang. Dalih “dengan kebijaksanaan”, dan “bersembunyi” di belakang ajaran bilhikmah, hanyalah untuk menutup-nutupi sikap takut kehilangan atau tidak memperoleh kedudukan, kehilangan harta, reputasi, pencekalan atau kehidupan kebebasan. Kalau takut, ya tidak usah ikut berjuang dan berlagak sok pemimpin politik.
Penyegaran kembali pemahaman tentang Strategi dan Taktik. 53
14.
a.
Strategi meliputi jangka waktu yang terbagi atas tahap-tahap dengan strategi untuk setiap tahap, sehingga ada strategi jangka pendek, strategi jangka menengah dan strategi jangka panjang, semuanya menuju tercapainya tujuan ideology.
b.
Taktik ialah bagaimana mengambil sikap politik atau bagaimana mempergunakan organisasi / kebutuhan untuk menghadapi suatu peristiwa politik (dalam militer : the use of forces to win a battle. Clausewitz).
c.
Strategi ialah bagaimana menangani peristiwa-peristiwa politik dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai tujuan strategi (dalam militer : the use of battles to attain the end of the war. Clausewitz).
d.
Taktik adalah bagian dari dan harus tunduk kepada strategi.
e.
Strategi dan Taktik haruslah dengan memperhatikan kemampuan organisasi / kekuatan.
f.
Strategi haruslah tunduk kepada nilai-nilai ideologi, sedangkan ideologi dilandasi oleh atau harus sesuatu dengan ajaran Agama.
g.
Seorang pejuang paripurna adalah yang berfikir dan bertindak imaniah, ilmiah, ideologis, organisatoris serta strategis-taktis.
Fungsi Strategi adalah : Mempertahankan nilai-nilai (dalam militer : maintenance of the objective). a. mempertahankan nilai-nilai adalah memahami, meresapi, menyebarkan, menghayati, memperjuangkan, menegakkan dan mengimplementasikan nilai-nilai (Agama dan Pancasila). b. Mempertahankan kekuatan adalah memelihara, membina, meningkatkan kualitas kekuatan baik memerlukan separoh kekuatan; posisi yang tidak baik memerlukan dua kali kekuatan. c. Karena perjuangan adalah merupakan Interaksi-pihak banyak (a multi party-affair), mempertahankan kekuatan adalah mempertahankan / menambah kekuatan dan posisi pihak sendiri serta berupaya mengurangi kekuatan / posisi pihak lain.
15.
16.
Strategi Negara atau strategi Pembangunan menuju tercapainya Tujuan ideologi yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, adalah mengimplementasikan nilai-nilai pancasila (yang tercantum dalam Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan UUD-45). a.
GBHN adalah Instrumen lima tahunan yang merupakan tahap-tahap dari strategi menuju tercapainya Tujuan Ideologi Negara.
b.
Oleh karena itu, GBHN hendaknya mencakup jangka waktu lima tahun saja, serta memuat program-program pemerintahan yang secara konkrit mengandung implementasi yang konkrit dari nilai-nilai Pancasila yang akan diimplementasikan dalam jangka waktu lima tahun berdasarkan pertimbangan ambeg parama arta (prioritas).
c.
GBHN berikutnya mengandung evaluasi atas pelaksanaan GBHN terdahulu, dan memprogramkan implementasi lanjutan dari nilai-nilai Pancasila.
d.
Penilaian terhadap Presiden / Mandataris adalah melihat prestasinya dengan plus dan minusnya atas pelaksanaan GBHN (Program lima tahun Pemerintahan), jadi tidak hanya menilai Pidato Pertanggung Jawaban Presiden.
Strategi Negara atau strategi Pembangunan menghadapi arus globalisasi harus dimulai dengan persepsi yang tepat mengenai hakekat globalisasi. a.
Globalisasi adalah globalisasinya kapatalisme Barat termasuk Jepang yang berkecendrungan memaksakan (dengan cara halus dan canggih) hegemoni dan dominasi ekonomi terhadap Negara-negara berkembang terutama yang lebih besar kekayaan alamnya dan jumlah penduduknya yang besar seperti di Indonesia.
b.
Globalisasi kapitalisme Internasional itu dipimpin oleh Amerika Serikat yang dengan globalismenya bermaksud mendesakkan” way of life” Amerika terhadap bangsa – bangsa 54
Negara berkembang. Indikasi dari globalisasi Amerika itu ialah pengangkatan diri sebagai polisi dunia dan kecendrungan hegemoni terhadap Negara-negara lain.
17.
c.
Strategi Negara (Indonesia) terhadap arus globalisasi yang memang tidak dapat dihindari ialah melakukan kerjasama yang benar-benar saling menguntungkan tanpa mengurbankan nilai-nilai Nasional (Pancasila dan UUD-45) dan Kedaulatan Bangsa dan Negara serta dengan berpegang kepada pesan / amanat pembukaan UUD-45 : ikut melaksanakan keteriban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial.
d.
Liberalisasi Investasi dan perdagangan yang disepakati oleh APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) untuk diimplementasikan pada tahun 2020, SDM Indonesia belumlah akan menyamai SDM Negara-negara Industri, sehingga Indonesia belum akan mampu bersaing.
e.
Strategi Indonesia terhadap serbuan globalisasi itu ialah bertahan pada nilai-nilai Pancasila, Nasinalisme ekonomi sambil membina diri untuk mampu berdikari dibidang ekonomi.
f.
Untuk menjalankan Strategi tersebut, diperlukan suatu Pemerintah RI yang kuat, bukan kuat untuk menindas bangsanya sendiri, melainkan kuat untuk tidak berprilaku seperti kuli ditengah bangsa-bangsa, serta kuat untuk tidak tunduk melaksanakan hasil Konfrensi APFC di Bogor pada tahun 1955, jika itu akan mengerogoti kedaulatan Negara dan Bangsa serta Pancasila dan UUD 45. Lagi pula hasil-hasil APEC itu belum pernah dibawa ke DPR untuk dimintakan persetujuannya.
Strategi Umat islam Indonesia menuju terciptanya Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur atau Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila yang diridhoi oleh Allah SWT. a.
Nilai-nilai Pancasila (yang tercantum dalam pembukaan), Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 45) dipadukan dengan Nilai-nilai dasar Islam mengenai Kehidupan Bernegara.
b.
Upaya implementasi perpaduan tersebut adalah melewati proses perundangan organic atas pasal-pasal Batan Tubuh UUD45, Tap-tap MPR ataupun perundangan lainnya.
c.
Umat Islam Indonesia perlu mempunyai wadah politik yang akan menampung potensi umat Islam yang merupakan mayoritas rakyat, guna penyusunan kekuatan dan posisi Islam yang akan merealisasikan dan mengimplementasikan perpaduan yang disebut dalam butir 1. menuju terciptanya Tujuan Ideologi.
d.
Wadah politik Islam tersebut karena akan membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara di persada Indonesia, haruslah menyatu dan berintegrasi dengan Trilogi Nasionalisme Indonesia yaitu : -
Satu nation
: Bangsa Indonesia
-
Satu Negara
: Negara Kesatuan Republik Indonesia
-
Satu Ideologi
: Pancasila dan UUD-45
e.
Karena wadah politik Islam (yang diaspirasikan) itu berpegang kepada Islam, Pancasila dan Nasionalisme Indonesia, tidaklah perlu dirisaukan adanya wadah itu akan merupakan setback 45 tahun ke belakang, bahkan akan merupakan mitra yang tangguh bagi komponenkomponen bangsa untuk memperkokoh Trilogi Nasionalisme Indonesia itu.
f.
Karena mempunyai wadah politik sendiri yang mewujudkan kekuatan / posisi Islam di Indonesia, Islam Indonesia insya Allah tidak akan terpuruk seperti : -
Dalam periode 1950 – 1959, kekuatan politik Islam terwujud, tapi hanya dalam waktu pendek, yaitu dalam Kabinet Natsir (Agustus 1950 – Maret 1951) dan cabinet Sukiman (April 1951 – November 1951) dan kemudian kekuatan Islam itu berakhir tanpa kesan dan pesan dalam periode ini Islam secara keliru dipersepsikan sebagai ideologi dengan akibat yang merugikan umat Islam Indonesia.
-
Dalam periode 1959 – 1966, kekuatan politik Islam praktis tidak ada; pemimpin politik Islam yang mandiri amat sedikit, dalam bidang politik umat Islam bergantung kepada Presiden Sukarno. 55