BUKU PANDUAN SKILL LAB
BLOK EARLY CLINICAL AND COMMUNITY EXPOSURE II (BLOK ECCE II)
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2013
1
RESUSITASI JANTUNG PARU DAN OTAK LEARNING OUTCOME
Mahasiswa mampu menjelaskan dan melakukan resusitasi jantung otak : o
Mahasiswa mampu mengidentifikasi penderita henti napas dan henti jantung
o
Mahasiswa mampu melakukan tindakan untuk membebaskan jalan napas
o
Mahasiswa mampu melakukan pertolongan pertama pada henti napas dan henti jantung
TINJAUAN PUSTAKA
Pender Penderita ita gawat gawat darura daruratt ialah ialah penderi penderita ta yang yang oleh oleh karena karena suatu suatu sebab sebab (penya (penyakit kit,, trauma trauma,, kecelakaan, tindakan anestesi ) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh, atau meninggal. Dalam Dalam menghad menghadapi api penderi penderita ta gawat gawat darura daruratt maka maka faktor faktor waktu waktu sangat sangat memega memegang ng peranan yang penting (time saving is life saving / tindakan pada menit-menit pertama dalam menangani kegawatan medik tersebut, dapat berarti besar dan sangat menentukan hidup atau matinya penderita, karena itu harus dilakukan dengan cara yang tepat, cepat, dan cermat. Dalam menangani penderita, kita kenal adanya initial assesmen, assesmen, sehingga pengelolaan penderita berlangsung dengan tepat dan cepat. Initial cepat. Initial assesmen ini meliputi : 1. Pers Persia iapa pan n 2. Triase 3. Survey Survey prim primer er 4. Sesu Sesusi sita tasi si 5. Tambahan Tambahan dari survey survey primer primer dan resusit resusitasi asi 6. Survey sekunder sekunder ( head head to toe dan dan anamnesa anamnesa ) 7. Tambah Tambahan an dari surv survey ey sekunde sekunder r 8. Pemantauan Pemantauan dan re-evaluas re-evaluasii lanjut lanjut 9. Penangan Penanganan an defi definit nitive ive Dalam praktek urutan di atas disajikan berurutan, berurutan, namun kenyataannya kenyataannya memerlukan memerlukan tindakan yang simultan. Triase adalah cara mendiagnosa dan memilah penderita berdasarkan kebutu kebutuhan han terapi terapi dan sumber sumber daya yang yang tersed tersedia. ia. Survey Survey primer primer mendia mendiagno gnosa sa fungsi fungsi vital vital penderita, yang meliputi : Airway, Airway, Breathing, dan Circulation. Circulation. Survey secunder dilakukan setelah 2
RESUSITASI JANTUNG PARU DAN OTAK LEARNING OUTCOME
Mahasiswa mampu menjelaskan dan melakukan resusitasi jantung otak : o
Mahasiswa mampu mengidentifikasi penderita henti napas dan henti jantung
o
Mahasiswa mampu melakukan tindakan untuk membebaskan jalan napas
o
Mahasiswa mampu melakukan pertolongan pertama pada henti napas dan henti jantung
TINJAUAN PUSTAKA
Pender Penderita ita gawat gawat darura daruratt ialah ialah penderi penderita ta yang yang oleh oleh karena karena suatu suatu sebab sebab (penya (penyakit kit,, trauma trauma,, kecelakaan, tindakan anestesi ) yang bila tidak segera ditolong akan mengalami cacat, kehilangan organ tubuh, atau meninggal. Dalam Dalam menghad menghadapi api penderi penderita ta gawat gawat darura daruratt maka maka faktor faktor waktu waktu sangat sangat memega memegang ng peranan yang penting (time saving is life saving / tindakan pada menit-menit pertama dalam menangani kegawatan medik tersebut, dapat berarti besar dan sangat menentukan hidup atau matinya penderita, karena itu harus dilakukan dengan cara yang tepat, cepat, dan cermat. Dalam menangani penderita, kita kenal adanya initial assesmen, assesmen, sehingga pengelolaan penderita berlangsung dengan tepat dan cepat. Initial cepat. Initial assesmen ini meliputi : 1. Pers Persia iapa pan n 2. Triase 3. Survey Survey prim primer er 4. Sesu Sesusi sita tasi si 5. Tambahan Tambahan dari survey survey primer primer dan resusit resusitasi asi 6. Survey sekunder sekunder ( head head to toe dan dan anamnesa anamnesa ) 7. Tambah Tambahan an dari surv survey ey sekunde sekunder r 8. Pemantauan Pemantauan dan re-evaluas re-evaluasii lanjut lanjut 9. Penangan Penanganan an defi definit nitive ive Dalam praktek urutan di atas disajikan berurutan, berurutan, namun kenyataannya kenyataannya memerlukan memerlukan tindakan yang simultan. Triase adalah cara mendiagnosa dan memilah penderita berdasarkan kebutu kebutuhan han terapi terapi dan sumber sumber daya yang yang tersed tersedia. ia. Survey Survey primer primer mendia mendiagno gnosa sa fungsi fungsi vital vital penderita, yang meliputi : Airway, Airway, Breathing, dan Circulation. Circulation. Survey secunder dilakukan setelah 2
fungsi fungsi vital vital telah telah selesa selesaii dan stabil stabil.Su .Surve rvey y secunde secunderr adalah adalah pemeri pemeriksa ksaan an dari dari ujung ujung kepala kepala sampai kaki dengan pemeriksaan penunjang untuk melakukan terapi selanjutnya. Prioritas Prioritas penanganan penanganan penderita penderita gawat darurat darurat
harus dilandaskan dilandaskan
kenyataan kenyataan
bahwa
terdapat urutan system yang dapat menyebabkan kematian lebih cepat, yaitu : 1. Breath Breath : masalah masalah dengan pernapasan pernapasan 2. Bleed : masala masalah h dengan circulas circulasii 3. Brain : masalah masalah dengan kesadaran kesadaran dan susunan susunan saraf 4. Bladder Bladder : masalah masalah dengan urogenetal urogenetal 5. Bowel : masalah masalah dengan tractus tractus digestivus digestivus 6. Bone : masala masalah h dengan tulang tulang Keterlambatan penanganan sesuai pioritas dapat menyebabkan gangguan , cacat, sesuai dengan dengan tingka tingkatt keterl keterlamba ambatan tan.. Resusi Resusitai tai jantun jantung g paru paru otak otak merupak merupakan an tindaka tindakan n awal awal untuk untuk mencegah kematian akibat gangguan fungsi vital apapun penyebab ganggua fungsi vital tersebut. Kematian sendiri terdiri dari 3 tingkatan , yaitu kematian klinis (clinical death), kematian otak (brain (brain death) dan kematian kematian biologis biologis (biological (biological death). death). Kematian Kematian klinis ditandai dengan henti napas dan henti jantung. Usaha resusitasi dimaksudkan untuk mencegah tingkat kematian dari kematian klinis ke kematian otak. Untuk kepentingan pengajaran resusitasi jantung paru otak dibagi dalam 3 fase yaitu : 1. Bant Bantua uan n hidu hidup p dasa dasarr (bas (basic ic Life Life Supp Suppor ortt ) terd terdir irii dari dari mana manage geme men n : A (Air (Airwa way) y),, B (Breathing), C (Circulation) 2. Bantuan Bantuan hidup lanjut (Advance (Advance Life Support ) terdiri terdiri dari managemen managemen : D (Drug, Disabili Disability, ty, Deferentipal Diagnosa ), E ( EKG, Eksposure ), F (Fibrilation terapi, Fluid), 3. Bant Bantua uan n Hidu Hidup p jang jangka ka Panj Panjan ang g (Pro (Prolo long nged ed Live Live Suppo Support rt)) teri teridi diri ri dari dari mana managem gemen en G (gauging). H (human mentation), I (Intensive terapy)
AIRWAY
Sistem pernapasan mendukung metabolisme tubuh dengan jalan menyediakan oksigen untuk untuk metabo metabolis lisme me sel. sel. Ketida Ketidakma kmampu mpuan an sistem sistem pernap pernapasa asan n untuk untuk menyedi menyediakan akan oksige oksigen, n, terutama ke otak dan organ vital lainnya akan mengakibatkan kematian yang cepat. Kematiankematian akibat kesalahan airway managemen disebabkan karena : 3
•
Kegagalan mengetahui adanya gangguan terhadap aiway
•
Ketidakmampuan membuka airway
•
Kegagalan mengetahui pemasangan airway yang salah
•
Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
•
Aspirasi lambung, darah dan lain-lain.
1. Identifikasi masalah
Gangguan Gangguan pernapasan pernapasan dapat timbul spontan spontan oleh obstruksi tiba-tiba tiba-tiba atau perlahan-lahan perlahan-lahan karena mekanisme lain. Napas cepat meupakan tanda awal terhadap kebutuhan tubuh akan oksigen. Ketakutan atau gelisah pada pasien tidak sadar harus dievaluasi berulang , apakah ini berhubungan dengan proses sakitnya atau beban psikologi. Kasus dengan melibatkan cedera kepala, pemakaian obat-obatan, alkohol, cedera thorak dapat menyebabkan gangguan airway. 2. Tanda objektif gangguan airway Look
pasie pasien n gelis gelisah ah dan dan peruba perubaha han n kesada kesadara ran. n. Mena Menanda ndaka kan n geja gejala la hipok hipoksi siaa dan
hiperkarbia. Terlihat sianosis terutama pada kulit sekitar mulut dan kuku. Terlihat juga usaha napas dengan bantuan otot pernapasan tambahan. Lihat pula apakah ada pergerakan napas, retraksi iga,benda asing, dll. Listen
dengarkan apakah ada suara, ngorok, seperti berkumur, bersiul, yang mungkin
berhubungan dengan sumbatan parsial dari laring. Feel
rasakan, apakah adaaliran udara yang keluar dari mulut, adakah getaran di leher akibat
sumbatan parsial 3. Managemen
Harus Harus diinga diingatt bahwa bahwa penanga penanganan nan terhad terhadap ap masala masalah h airway airway harus harus senant senantias iasaa disert disertai ai dengan pengamanan terhadap cervical spine terutama pada penderita penderita trauma. Pada penderita penderita dengan masalah airway harus secara cepat diketahui apakah ada benda asing, cairan lambung, darah, di saluran saluran cerna bagian atas., atas., fraktur fraktur mandibula, mandibula, fraktur laring atau.fraktur atau.fraktur tulang wajah.J wajah.Jika ika karena karena benda benda asing asing maka maka
harus harus segera segera dicoba dicoba untuk dikeluar dikeluarkan kan baik secara secara
manual, dengan jari atau dengan bantuan suction. Jika sumbatan diakibatkan oleh makanan, maka dapat dilakukan abdominal thrust.
4
Dalam kecurigaan adanya fraktur servical harus dilakukan imobilisasi segaris (inline mobilitation). Pada penderita dengan obstruksi total karena benda asing, maka langkah yang harus diperhatikan adalah : a.
Jika pasien sadar meminta untuk membatukkannya, jika gagal minta untuk membuka mulut dan lakukan secara manual
b.
Jika gagal, maka lakukan pukulan punggung 3-5 kali, diikuti hentakan pada bagian abdomennya, dan ulangi sampai keluar
c.
Pada penderita tidak sadar, letakan paien pada posisi horizontal dan usahakan ventilai paru. Jika gagal, lakukan hentakan punggung, abdomen atau dada, dan penyapuan benda asing dengan jari, sambil menunggu perlatan langsung tiba. Selama melakukan hentakan, denyut nadi harus diperhatikan, jika tidak teraba, lakukan tindakan resusitasi jantung paru.
d.
Tindakan terakhir adalah dengan cricotirotomi.
e.
Jika terjadi pada anak, peganglah anak dengan muka menghadap ke bawah, topanglah dagu dan leher dengan satu tangan penolong.kemudian lakukan hentakan pada punggung secara lembut. Pada hentakan dada dilakukan dengan terlentang dan merendahkan kepala bayi, lakukan dengan dua atau tiga jari dengan lembut.tindakan hentakan perut jangan dilakukan pada anak atau bayi.
Pada pasien-pasien dengan gangguan kesadaran akan tetapi dapat bernapas spontan dan adekuat serta tidak ada sianosis maka sebaiknya diletakan dalam posisi mantap untuk mencegah aspirasi.
Teknik mempertahankan jalan napas
Pada penderita dengan kasus henti napas maka tindakan untuk membebaskan jalan napas dan memberikan ventilasi harus segera dilakukan. 5
1. Chin lift manuver Empat jari salah satu tangan diletakan di bawah rahang, ibu jari di atas dagu, kemudian secara hati-hati diangkat ke depan,manuver ini tidak boleh menyebabkan posisi kepala hiperekstensi. Bila perlu ibu jari digunakan untuk membuka mulut atau bibir.
2. Jaw thrust Mendorong angulus mandibula kanan dan kiri ke depan dengan jari-jari kedua tangan sehingga gigi bawah berada di depan gigi atas, kedua ibu jari membuka mulut dan kedua telapak tangan menempel pada kedua pipi penderita untuk imobilisasi kepala. Tindakan jaw thrust, buka mulut dan head tilt disebut triple airway manuver.
6
3.
Pembersihan jalan napas Dapat dengan manual memakai jari atau dengan penghisapan, gerakan menyilang : masukan jari telunjuk, tekan gigi bawah dengan ibu jari, tekan gigi atas dengan jari telunjuk. Gerakan jari di belakang gigi geligi : masukan jari telunjuk ke pipi dalam dan letakan sebagai pengganjal di molar III. Pembersihan jalan napas dapat juga dilakukan dengan bantuan alat penghisap dengan hati-hati.
7
4. Jalan napas orofaringeal Alat ini dipasang lewat mulut ke faring sehingga menahan lidah tidak jatuh ke hipofaring. Ada 2 cara. Secara langsung dengan bantuan spatel lidah, atau tidak langsung dengan cara terbalik menyusuri palatum durum sampai palatum mole kemudian diputar 180 derajat. 5. Jalan napas nasofaringeal Alat ini dipasang lewat salah satu lubang hidung sampai ke faring yang akan menahan jatuhnya pangkal lidah.Sebelum pemakain ini pelumas dan anestesi lokal dapat ditambahkan untuk mengurangi trauma di hidung.
6. Jalan napas definitive adalah pipa dengan jalan napas yang dilengkapi dengan balon (cuff) yang dapat dikembangkan ada 2 macam cara yaitu : a. Intubasi endotracheal : orotracheal atau nasotracheal
8
Dilakukan dengan bantuan laryngoskop, harus dilakukan oleh orang yang sudah ahli dengan cara : - pilihlah pipa sesuai dengan ukuran penderita, gunakan pelicin jika diperlukan. - Penderita terlentang dengan kepala ekstensi sehingga trakea dan daun laryngoskop berada dalam garis lurus. - Oksigenasi penderita, 2-3 menit - Bukalah mulut penderita dengan gerakan jari menyilang dengan tangan kanan.Pegang gagang laringoskop denagn tangan kiri dari sudut kanan mulut penderita, dorong lidahnya ke kiri sehingga lapang pandang tidak tertutupi, lindungi bibir dari cedera antar gigi dan laryngoskop - Masukan pipa endotracheal dengan tangan kanan sambil melihat melalui daun laringoskop, dan pastikan balon pipa di bawah laring. - Minta asisten untuk mmegang pipa dari sudit bibir penderita, dan segera kembangkan balon untuk cegah aspirasi. - Keluarkan daun laringoskop, dan masukan pipa orofaring, atau penahan gigitan. - Lakukan
asukultasi di kedua paru untuk memastikan pipa tidak masuk ke salah satu
parusaja.Kemudian plester.
9
b. Pembedahan (surgical airway) Dilakukan jika tidak mungkin atau gagal melakukan intubasi endotracheal. - needle cricotiroidotomi ( dengan jarum) .Tusukan jarum atau kanul ke trachea ke arah distal memalui membrana cricotiroidea. Ukuran jarum 12-14G pada dewasa, 16-18 G pada anak-anak. Segera lakukan oksigenasi - surgical cricotiroidotomi : lakukan incisi pada membran cricotiroidotomi dan masukan kanula tracheostomi atau pipa endotracheal. - Tracheostomi : dilakukan dengan perencanaan.
BREATHING
1. Terapi Suportif - Jalan napas dan ventilasi Terapi suportif merupakan tindakan resusitasi yang dilakukan berdasar prioritas kegawatannya.Yaitu
airway-breathing-circulatian
dengan
tujuan
untuk
mengatasi
hipoksemia dan hiperkarbia.Pada keadaan terjadi hipoventilasi dengan PaCO2 > 50 mmHgatau henti napas maka perlu diberikan bantuan ventilasi. Bantuan dapat diberikan mouth to mouth,mouth to nose atau dengan bantuan alat mouth to faskmask , bag-valvemask . Di rumah sakit pada umumnya menggunakan mask dan ambu bag. Dasar pemberian ventilasi bantuan adalah dengan tekanan positif berkala. Hal ini dituntut ketrampilan penolong karena bila tidak benar dapat terjadi resiko distensi lambung dan aspirasi lambung. Pemberian napas kita nilai cukup baik dengan melihat pengembangan dada yang adekuat, monitoring dengan ETCO2 dengan 25-35 mmHg dan analisa gas darah Pa CO2 35-45 mmHg. - Oksigenasi Pemberian oksigen merupakan salah satu prioritas utama dengan tujuan menghilangkan hipoksemiayang terjadi. Fase awal sebaiknya dilakukan dengan oksigen murni 100 %. Dengan alat bag valve mask dengan aliran 12-15 liter kadar O2 hawa inspirasi mendekati 100 %. Untuk menilai pemberian oksigenasi dapat dilakukan dengan melihat saturasi Sa O2 lebih besar 95 % dan Pa O2 lebih besar 80 mmHg. 2. Terapi causal Sambil dilakukan resusitasi diupayakan mencari penyebab gawat napasnya. 10
CIRCULATION
Problem sirkulasi meliputi keadaan disaritmia kordis, krisis hipertensi, syok dan henti jantung. Disaritmia kordis merupakan perubahan abnormal dari denyut jantung, baik berupa gangguan denyut, keteraturan, sumber asal, cara penjalaran. Krisis hipertensi merupakan kedaruratan kardiovasculer, akibat peninggian tekanan darah secara tiba-tiba dan cepat mengganggu fungsi tanda vital. Syok adalah kegagalan organ kadiovasculer menyediakan perfusi untuk metabolisme sel. Penderita dengan henti jantung
Penting pertama kali harus tahu keadaan dan tanda-tanda dari seorang yang henti jantung, seorang penolong harus mengenal tanda-tanda henti jantung. Tanda-tandanya meliputi : 1. Pasien tidak sadar, dengan detak jantung (-) 2. Tidak teraba denyut nadi besar, seperti arteri karotis, arteri femoralis 3. Pasien henti napas atau gasping 4. Pupil melebar 5. Death like appearance 6. Gambaran EKG dapat berupa : fibrilasi ventrikel, asistol, disosiasi. Penanganan yang harus dilakukan adalah resusitasi dengan segera, tindakannya meliputi ; 1. Bebaskan dan bersihkan jalan napas. 2. Bantuan napas ( breathing support ). 3. Bantuan sirkulasi ( circulation support) a. Lakukan ventilasi cepat dengan bantuan napas buatan 2 kali, kemudian lakukan pijat jantung luar. b. RJP 1 orang operator : - Lakukan ventilasi cepat dengan mempertahankan ekstensi kepala, jika pelu ganjal leher dengan bantal, atau suatu benda. Perhatikan kemungkinan fraktur leher. Kemudian raba denyut karotis, jika tidak ada segera lakukan PJL. - Kompresikan dada dengan titik di atas proc xhypoideus 2 jari (sternum bagian bawah) dengan pangkal tangan pada sternum. Lakukan penekanan dengan berat badan dan posisi tangan lurus . - Lakukan 30 kali kompresi sternum dengan kecepatan 80 x / menit 11
- Diselingi dengan 2 kali ventilasi paru
c. RJP dengan 2 operator. - Lakukan ventilasi cepat 2 kali sebelum pijat jantung luar, kemudian raba denyut karotis, jika tidak ada denyut segera lakukan PJL. - Satu orang operator bertindak sebagai kompresi jantung dengan kecepatan 60 x/ menit - Diselingi 2 kali ventilasi oleh operator yang satu, setiap 30 kali kompresi sternum tanpa menunggu kompresi lanjutan.
12
- selama resusitasi operator ventilasi harus senantiasa memeriksa denyut karotis apakah spontan, atau belum. - Jika denyut teraba dan pasien masih henti napas, teruskan ventilasi paru sampai pendeita bernapas spontan.
Penghentian RJP dilakukan jika :
a. Penderita telah bernapas dan denyut spontan b. Gagal c. Penolong telah kelelahan d. Datang peralatan atau orang yang lebih ahli
13
ADVANCE LIFE SUPPORT
Drug and Fluid, Disability, Deferential diagnosa Merupakan usaha untuk mempertahankan dan mengembalikan sirkulasi spontan, dan stabilitas system kardiovasculer a. dengan obat-obatan dan terapi cairan - adrenalin - natrium bikarbonat - lidokain - atropin - dopamine, dlll b. pemberian cairan Sesuai dengan penyebab dan tujuan pemberian terapi ( terapi cairan ) Manual Teknik Resusitasi Jantung Paru Otak 1. Pastikan kondisi dan situasi dalan kondisi aman. Jangan menolong ketika tempat tersebut dapat membahayakan penolong dan pendertia. Carilah tempat yang aman dan tidak mengganggu. 2. Segera periksa apakah penderita bernapas spontan dan denyut karotis teraba. 3. Jika pasien bernapas spontan tetapi tidak sadar, tempatkan pada posisi miring mantap dan segera cari bantuan. 4. Jika pasien henti napas dan henti jantung, segera meminta orang untuk mencari bantuan, dan segera kita lakukan resusitasi jantung paru otak. 5. Lakukan resusitasi sampai memenuhi kriteria untuk menghentikan resusitasi. 14
PENILAIAN RESUSITASI JANTUNG PARU
(BANTUAN HIDUP DASAR DENGAN SATU PENOLONG)
Nama : NIM :
No
Aspek yang dinilai 0
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10
11 12
AIRWAY Kaji respon klien (panggil, goyangkan bahu) Panggil bantuan, posisi menolong Atur posisi klien (terlentang dengan alas datar dan keras) Buka jalan napas dengan head tilt-chin lift manuver, jika ada trauma servikal dengan jaw thrust manuever BREATHING Periksa napas, lakukan look, listen dan feel Bila tidak ada napas, berikan ventilasi 2 kali CIRCULATION Raba nadi (5-10 detik) Dewasa/anak :karotis Tentukan titik kompresi dengan benar Dewasa/anak : 2 jari atas prosesus xiphoideus * Berikan kompresi dada dengan kedalaman Dewasa ; 1,5 - 2 inchi Lakukan kompresi dengan irama teratur, dilanjutkan ventilasi dengan perbandingan : Dewasa/anak : 80-100 x/menit, 30 : 2 Cek nadi Dewasa/anak :setelah 3 siklus Korban pulih, letakkan pada posisi stabil Total skor
Keterangan: 0 = tidak dilakukan sama sekali 1 =dilakukan tapi jauh dari sempurna 2 = dilakukan tapi sedikit tidak sempurna 3 = dilakukan dengan sempurna * =Critical point ( item yang harus dilakukan)
Nilai
= Total skor (…….) x 100 % 36
Penguji,
= ………
(………………………)
PEMASANGAN ENDOTRACHEAL TUBE 15
Skor 1 2
3
LEARNING OUTCOME
1. Mahasiswa mengetahui indikasi intubasi pipa endotrakeal (Endo tracheal Tube = ETT). 2. Mahasiswa trampil melakukan intubasi Endotrakeal pada penderita dewasa dan bayi atau anak
DASAR TEORI
Ventilasi melalui pipa endotrakeal merupakan cara yang sangat efektif . Jalan nafas yang terjaga menyebabkan pemberian ventilasi dan oksigen lebih terjamin. Kemungkinan aspirasi cairan lambung lebih kecil. Tekanan udara pernafasan juga menjadi mudah dikendalikan dan penggunaan Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dapat dilakukan dengan mengatur katup ekspirasi INDIKASI 1. Proteksi jalan nafas
- Hilangnya refleks pernafasan ( cedera cerebrovascular, kelebihan dosis obat) - Obstruksi jalan nafas besar ( epiglotitis, corpus alienum, paralisis pita suara) baik secara anatomis maupun fungsional. - Perdarahan faring ( luka tusuk, luka tembak pada leher) - Tindakan profilaksis ( pasien yang tidak sadar untuk pemindahan ke rumah sakit lain atau pada keadaan di mana potensial terjadi kegawatan nafas dalam proses transportasi pasien) 2. Optimalisasi jalan nafas
- saluran untuk pelaksanaan pulmanary toilet darurat (sebagai contoh : penghisapan atau bronchoscopy untuk aspirasi akut atau pun trakheitis bakterialis berat) - tindakan untuk memberikan tekanan positif dan kontinu yang tinggi pada jalan nafas ( respiratory distress syndrome pada orang dewasa dan penyakit membran hyalin) ( Dibutuhkan tekanan inspirasi yang tinggi atau PEEP).
3. Ventilasi mekanik.
16
Ventilasi mekanik pada kegagalan respirasi yang dikarenakan : - Pulmonar : penyakit asama, penyakit paru obstruktif kronik, emboli paru, pneumonia. (”Work of breathing” berlebihan) - Penyakit jantung atau edema pulmoner - Neurologi
: berkurangnya dorongan respirasi (Gangguan kontrol pernafasan dari
susunan saraf pusat) - Mekanik : disfungsi paru-paru pada flail-chest atau pada penyakit neuromuskuler - Hiperventilasi therapeutik untuk pasien – pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
ALAT DAN BAHAN
a. Laryngoscope lengkap dengan handle dan blade-nya b. Pipa endotrakeal ( orotracheal ) dengan ukuran : perempuan no. 7; 7,5 ; 8 . Laki-laki : 8 ; 8,5. Keadaan emergency : 7,5 c. Forceps (cunam) magill ( untuk mengambil benda asing di mulut) d. Benzokain atau tetrakain anestesi lokal semprot e. Spuit 10 cc atau 20 cc f. Stetoskop, ambubag, dan masker oksigen g. Alat penghisap lendir h. Plester, gunting, jelli i.
Stilet
LARINGOSKOP
Ada 2 jenis laringoskop yang umum dipakai pada anak, yaitu laringoskop berdaun lurus (Miller ) dan lengkung (MacIntosh ) (gambar 1).
17
Gambar 1. Laringoskop berdaun lurus dan lengkung
Alat ini dirancang untuk menyingkirkan lidah, kemudian membuka dan melihat daerah laring.Sesuai dengan rancang bangunnya, laringoskop lurus digunakan dengan meletakkan ujung pada epiglottis, kemudian mengangkat seluruh daun laringoskop tegak lurus dengan tuasnya. Laringoskop lengkung digunakan dengan meletakkan ujung daun pada vallecula kemudian mengungkitnya dengan menggerkkan tuas ke belakang. ( gambar 2)
Gambar 2. Teknik penggunaan laringoskop daun lurus dan lengkung
Laringoskop daun lurus juga dapat diletakkan di vallecula. Keuntungan bila diletakkan di epiglottis adalah seringkali dapat melihat pita suara dengan lebih jelas.Keuntungan bila diletakkan di vallecula adalah mengurangi rangsang epiglotis yang dapat berakibat spasme laring. Karena bentuk anatomis jalan nafas neonatus , laringoskop berdaun lurus lebih banyak digunakan pada neonatus. Sangat penting diingat bahwa dalam persiapan
18
selalu disediakan lampu dan batu batere cadangan. Sebelum digunakan, laringoskop dirakit dahulu, disesuaikan dengan daun yang akan dipilih.
PIPA ENDOTRAKEAL
Pipa ET yang paling banyak digunakan untuk resusitasi adalah pipa plastik lengkung dengan kedua ujung yang terbuka.Pada bagian proksimalnya, pipa ET dihubungkan dengan adaptor yang berdiameter 15 mm, sesuai daengan adaptor balon resusitasi. Terdapat juga adapator dengan baku lain, yaitu 8,5 mm. Karena itu pada tas resusitasi, adaptor ini harus diseragamkan. Bagian distal pipa terdapat garis yang menunjukkan lokasi yang tepat setinggi pita suara agar posisi pipa setelah terpasang tepat pada trakea (Gambar 3)
Gambar 3. Pipa Endotrakeal dengan adaptor
Ada pula pipa ET yang memiliki lubang pada sisinya, dikenal dengan istilah Murphy eye. Lubang ini dirancang sebagai penyelamat bila terjadi obstruksi pada ujung pipa. Untuk anak di bawah usia 8 – 10 tahun atau lebih, biasanya tidak digunakan pipa yang menggunakan cuff ( balon) untuk mencegah edema setinggi rawan krikoid. Pipa karet merah tidak banyak lagi digunakan karena lebih sering menyebabkan edema.
19
Tabel 1. Pedoman ukuran laringoskop, pipa endotrakeal dan kateter penghisap
Pemilihan ukuran pipa yang tepat dapat diperkirakan dengan cara :
Usia
dalam
pipa
2,5 ; 3,0 tanpa penyekat 3,0 ; 3,5 tanpa penyekat 3,5 ; 4,0 tanpa penyekat 4,0 ; 4,5 tanpa penyekat 4,5 ; 5,0 tanpa Miller 2 penyekat 5,0 ; 5,5 tanpa penyekat 5,5 tanpa penyekat Miller 2 6,0 dengan atau MacIntosh 2 balon penyekat 6,5 dengan atau balon penyekat 7,0 dengan MacIntosh 3 penyekat MacIntosh 3 7,0 ; 8,0 dengan Miller 3 penyekat
balon
Laringoskop
Diameter ET (mm)
Neonatus < Miller 0 bulan Neonatus Miller 0-1 cukup bulan 6 bulan 1 Tahun 2 Tahun 4 Tahun 6 Tahun 8 Tahun 10 Tahun 12 Tahun Remaja
balon balon balon balon balon balon tanpa tanpa balon balon
Jarak antara gigi seri/gusi ke bagian tengah trakea (cm)
Kateter penghisap (F)
8
5–6
9 – 10
6–8
10
8
11
8
12
8
14
10
15
10
16
10
17
12
18
12
20
12
Diameter (dalam mm) = (usia /4) + 4 Panjang (cm)
= (usia /2) + 12 (pipa oral) = (usia /2) + 15 (pipa nasal)
Rumus di atas dapat berlaku untuk usia di atas 1 tahun. Neonatus umumnya menggunakan pipa berukuran 3 – 3,5 mm, kecuali bayi prematur yang mungkin memerlukan pipa berdiameter 2,5 mm. Cara lain untuk memperkirakan diameter pipa adalah dengan membandingkannya dengan diameter kelingking pasien atau diameter yang tepat dengan liang hidung. Pemilihan diameter
20
yang tepat dapat diketahui bila dalam penggunaannya terjadi kebocoran udara melaui tepi pipa pada tekanan di atas 20 -30 cm H2O. Bila digunakan pipa dengan cuff, pengisian udara ke dalam cuff, juga harus dapat menghasilkan kebocoran udara melalui tepi cuff pada tekanan di atas 20 -30 cm H2O
CUNAM MAGILL
Cunam Magill adalah alat penjepit bersudut agar dalam penggunaannya tidak mengganggu lapangan pandang. Alat ini digunakan untuk menjepit pipa endotrakeal, terutama yang dimasukkan melalui liang hidung,dan mendorongnya hingga melewati pita suara. Cunam ini dapat juga untuk mengeluarkan benda asing dari jalan nafas atas.
TEKNIK PEMASANGAN ET PADA DEWASA
a. Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah persetujuan dari penderita atau keluarga ( informed consent) b. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa endotrakeal ( ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon, buat lengkungan pada pipa dan stilet dan cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff. c. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat disingkirkan) d. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan berikan semprotan bensokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam keadaan anestesi dalam. e. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan Fi O2 100 % (gambar 4.a) f. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop.(gambar 4.b) g. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri. (gambar 4.c). Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien. (gambar 4.d) 21
h. Angkat laringoskop ke atasdan ke depan dengan kemiringan 30 sampai 40 sejajar aksis pegangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu. (gambar 4.e) i.
Bila pita suara sudah terlihat (gambar 4.f), tahan tarikan / posisi laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm (gambar 4.g).
j.
Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 – 10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.
k. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudian pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada.Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam bronkus utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET. l.
Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 10 cc.
m. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut (gambar 5.h). n. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai sadar.
22
o. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12 liter per menit).
Gambar 4.Teknik Pemasangan ET
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumpulan Materi pelatihan resusitasi Pediatrik Tahap Lanjut. Unit Kerja Koordinasi Pediatri Gawat Darurat Ikatan Dokter Anak Indonesia.Semarang.2001 2. Brigade Siaga Bencana (BSB) RS dr. Sardjito. Ed. Materi Pelatihan General emergency Life Support (GELS). Yogyakarta, 2004.
23
TEKNIK PEMASANGAN ETT PADA DEWASA
Nama : NIM :
No.
1.
2. 3. 4. 5. 6. 7.
8.
9. 10. 11. 12.
13.
14. 15.
16. 17.
Aspek yang dinilai
Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah persetujuan dari penderita atau keluarga (informed consent) Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa endotrakeal ( ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon Buat lengkungan pada pipa dan stilet Cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat disingkirkan) Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring dan berikan semprotan benzokain atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam keadaan anestesi dalam. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan Fi O2 100 %. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien. Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30 sampai 40 sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu. Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan / posisi laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan * Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 – 10 ml. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudian pada
24
Skor 0
1
2
3
18.
19. 20. 21. 22.
paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada. Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 10 cc. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai sadar. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12 liter per menit). JUMLAH
Keterangan: 0 = tidak dilakukan sama sekali 1 =dilakukan tapi jauh dari sempurna 2 = dilakukan tapi sedikit tidak sempurna 3 = dilakukan dengan sempurna * =Critical point ( item yang harus dilakukan)
Nilai
= Total skor (…….) x 100 % 66
Penguji,
= ……… ……………………………
25
PRINSIP MELAKUKAN IMOBILISASI TULANG BELAKANG DAN LOG ROLL
1.
Penderita Dewasa
Empat orang dibutuhkan untuk melakukan prosedur modifikasi log roll dan imobilisasi penderita, seperti pada long spine board: (1) satu untuk mempertahankan imobilisasi segaris kepala dan leher penderita; (2) satu untuk badan (termasuk pelvis dan panggul); (3) satu untuk pelvis dan tungkai; dan (4) satu mengatur prosedur ini dan mencabut spine board. Prosedur ini mempertahankan seluruh tubuh penderita dalam kesegarisan, tetapi masih terdapat gerakan minimal pada tulang belakang.Saat melakukan prosedur ini, imobilisasi sudah dilakukan pada ekstremitas yang diduga mengalami fraktur.
1. Long spine board dengan tali pengikat dipasang pada sisi penderita. Tali pengikat ini dipasang pada bagian toraks, diatas krista iliaka, paha, dan diatas pergelangan kaki. Tali pengikat atau plester dipergunakan untuk memfiksir kepala dan leher penderita ke long spine board.
2.
Dilakukan in line imobilisasi kepala dan leher secara manual, kemudian dipasang kolar servikal semirigid.
3.
Lengan penderita diluruskan dan diletakkan di samping badan.
4.
Tungkai bawah penderita diluruskan secara hati-hati dan diletakkan dalam posisi kesegarisan netral sesuai dengan tulang belakang. Kedua pergelangan kaki diikat satu sama lain dengan plester.
5.
Pertahankan kesegarisan kepala dan leher penderita sewaktu orang kedua memegang penderita pada daerah bahu dan pergelangan tangan. Orang ke tiga memasukkan tangan dan memegang panggul penderita dengan satu tangan dan dengan tangan yang lain memegang plester yang mengikat ke dua pergelangan kaki.
6.
Dengan komando dari penolong yang mempertahankan kepala dan leher, dilakukan log roll sebagai satu unit ke arah ke dua penolong yang berada pada sisi penderita, hanya diperlukan pemutaran minimal untuk meletakkan spine board di bawah penderita. Kesegarisan badan penderita harus dipertahankan sewaktu menjalankan prosedur ini.
7.
Spine board diletakkan dibawah penderita, dan dilakukan log roll ke arah spine board. Harap diingat, spine board hanya digunakan untuk transfer penderita dan jangan dipakai untuk waktu lama.
8.
Untuk mencegah terjadinya hiperekstensi leher dan kenyamanan penderita, maka diperlukan bantalan yang diletakkan dibawah kepala penderita.
2. Bantalan, selimut yang dibulatkan atau alat penyangga lain ditempatkan di kiri dan kanan kepala dan leher penderita, dan kepala penderita diikat ke long spine board. Juga dipasang plester di atas
26
kolar servikal untuk menjamin tidak adanya gerakan pada kepala dan leher. Penderita
Anak-anak Untuk imobilisasi anak diperlukan long spine board pediatrik.Bila tidak ada, maka dapat menggunakan long spine board untuk dewasa dengan gulungan selimut diletakkan di seluruh sisi tubuh untuk mencegah pergerakan ke arah lateral. Proporsi kepala anak jauh lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa, oleh karena itu harus dipasang bantalan dibawah bahu untuk menaikkan badan, sehingga kepala yang besar pada anak tidak menyebabkan fleksi tulang leher, sehingga dapat mempertahankan kesegarisan tulang belakang anak. Bantalan dipasang dari tulang lumbal sampai ujung bahu dan kearah lateral sampai di ujung board .
Komplikasi
Bila penderita dalam waktu lama (kurang lebih 2 jam atau lebih lama lagi) diimobilisasi dalam long spine board, penderita dapat mengalami dekubitus pada oksiput, skapula, sakrum, dan tumit.Oleh karena itu, secepatnya bantalan harus dipasang dibawah daerah ini, dan apabila keadaan penderita mengizinkan secepatnya long spine board dilepas.
1. Melepas Long Spine board Pergerakan penderita yang mengalami cedera tulang belakang yang tidak stabil akan menyebabkan atau memperberat cedera medula spinalisnya. Untuk mengurangi resiko kerusakan medula spinalis, maka diperlukan pencegahan secara mekanis untuk seluruh penderita yang mempunyai resiko.Proteksi harus dipertahankan sampai adanya cedera tulang belakang yang tidak stabil di singkirkan. 1. Seperti sebelumnya dibicarakan, melakukan imobilisasi penderita dengan long spine board adalah teknik dasar membidai (splinting) tulang belakang. Secara umum hal ini dilaksanakan pada saat penanggulangan prehospital dan penderita datang ke rumah sakit sudah dalam sarana transfer yang aman. Spine board tanpa bantalan akan menyebabkan rasa tidak nyaman pada penderita yang sadar dan mempunyai resiko terhadap terjadinya dekubitus pada daerah dengan penonjolan tulang (oksiput, skapula, sakrum, tumit ). Oleh karena itu penderita harus dipindahkan dari long spine board ke tempat dengan bantalan yang baik dan permukaan yang nyaman secepatnya bisa dilakukan secara aman. Sebelum dipindahkan dari spine board, pada penderita dilakukan pemeriksaan foto servikal, toraks, pelvis sesuai dengan indikasinya, karena penderita akan mudah diangkat beserta dengan spine boardnya. Sewaktu penderita di imobilisasi dengan spine board, sangat penting untuk mempertahankan imobilisasi kepala dan leher dan badan secara berkesinambungan sebagai satu unit. Tali pengikat yang dipergunakan untuk imobilisasi
27
penderita ke spine board janganlah dilepas dari badan penderita sewaktu kepala masih terfiksir ke bagian atas spine board.
2. Spine board harus dilepaskan secepatnya, waktu yang tepat untuk melepas long spine board adalah sewaktu dilakukan tindakan log roll untuk memeriksa bagian belakang penderita. 3. Pergerakan yang aman bagi penderita dengan cedera yang tidak stabil atau potensial tidak stabil membutuhkan kesegarisan anatomik kolumna vertebralis yang dipertahankan secara kontinyu. Rotasi, fleksi, ekstensi, bending lateral, pergerakan tipe shearing ke berbagai arah harus dihindarkan. Yang terbaik untuk mengontrol kepala dan leher adalah dengan imobilisasi inline manual. Tidak ada bagian tubuh penderita yang boleh melekuk sewaktu penderita dilepaskan dari spine board. 4. Modifikasi teknik log roll, Modifikasi tehnik log roll, dipergunakan untuk melepas long spine board. Diperlukan empat asisten: (1) satu untuk mempertahankan imobilisasi in line kepala dan leher; (2) satu untuk badan penderita ( termasuk pelvis dan panggul ); (3) satu untuk pelvis dan tungkai bawah; dan (4) satu untuk menentukan arah prosedur ini dan melepas long spine board. 5. Tandu Sekop (Scoop Stretcher ) Alternatif melakukan modifikasi teknik log roll adalah dalam penggunaan scoop stretcher untuk transfer penderita. Penggunaan yang tepat alat ini akan mempercepat transfer secara aman dari long spine board ke tempat tidur. Sebagai contoh alat ini dapat digunakan untuk transfer penderita dari satu alat traspor ke alat lain atau ke tempat khusus misalnya meja ronsen. Harap diingat, penderita harus tetap dalam imobilisasi sampai cedera tulang belakang disingkirkan.
Setelah penderita ditransfer dari backboard ke tempat tidur dan scoop stretcher dilepas, penderita harus di reimobilisasi secara baik ke ranjang/tandu.
Scoop stretcher bukanlah alat untuk imobilisasi
penderita.Scoop stretcher bukanlah alat transport, dan jangan mengangkat scoop stretcher hanya pada ujung-ujungnya saja, karena akan melekuk di bagian tengah dengan akibat kehilangan kesegarisan dari tulang belakang. Imobilisasi untuk penderita dengan kemungkinan cedera tulang belakang
Penderita umumnya datang ke bagian gawat darurat dengan alat perlindungan tulang belakang.Alat ini menyebabkan pemeriksa harus memikirkan adanya cedera tulang vertebra servikal atau torakolumbal, berdasarkan dari mekanisme cedera.Pada penderita dengan cedera multipel dengan penurunan tingkat kesadaran, alat perlindungan harus dipertahankan sampai cedera pada tulang belakang disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.Bila penderita diimobilisasi dengan spine board dan paraplegia, harus diduga adanya ketidakstabilan tulang belakang dan perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk mengetahui letak dari cedera tulang belakang.Bila penderita sadar, neurologis normal,
28
tidak mengeluh adanya nyeri leher atau nyeri pada tulang belakang, dan tidak terdapat nyeri tekan pada saat palpasi tulang belakang, pemeriksaan radiologis tulang belakang dan imobilisasi tidak diperlukan. Penderita yang menderita cedera multipel dan dalam keadaan koma harus tetap diimobilisasi pada usungan dan dilakukan tindakan log roll untuk mengetahui foto yang diperlukan untuk menyingkirkan adanya suatu fraktur. Kemudian penderita dapat ditransfer secara hati-hati dengan menggunakan prosedur tersebut di atas ke tempat tidur untuk bantuan ventilasi yang lebih baik.
Tabel 10 – Panduan Skrining Penderita dengan Dugaan Cedera Servical
1. Adanya paraplegia atau quadriplegia adalah bukti pendahuluan adanya instabilitas servikal 2. Penderita sadar, tidak mabuk, neurologis normal dan tanpa nyeri leher, atau nyeri tekan di bagian tengah leher: Penderita seperti ini sangat jarang menderita cedera servikal akut atau instabilitas. Dengan penderita dalam posisi terlentang, lepaskan kolar dan lakukan palpasi tulang leher. Bila tidak ada nyeri tekan, mintalah penderita uuntuk melakukan latero-fleksi. Jangan memaksa menggerakkan leher penderita. Gerakan ini aman bila dilakukan oleh penderita sendiri. Bila gerakan ini tanpa nyeri, mintalah kembali agar penderita melakukan fleksi dan ekstensi lehernya. Bila inipun tanpa nyeri, tidak perlu dilakukan foto servikal. 3. Penderita sadar, neurologis normal, koperatif, namun ada nyeri leher atau nyeri tekan di bagian tengah leher.
Tugas dokter adalah untuk menyingkirkan adanya cedera servikal.Semua penderita seperti ini memerlukan foto servikal AP, Lateral dan Open mouth dengan aksial CT scan pada daerah yang dicurigai atau tulang leher bawah yang tidak dapat terlihat dengan baik hanya dengan foto polos saja. Yang dinilai pada foto cervical : (a). deformitas tulang, (b). fraktur korpus vertebra atau prosesus, (c). hilangnya kesegarisan(alignment ) aspek posterior korpus vertebra ( bagian anterior kanalis vertebralis), (d). meningkatnya jarak antar prosesus spinosus pada 1 level vertebra, (e). menyempitnya kanalis vertebralis dan (f). meningkatnya ruangan jaringan lunak prevertebral. Bila foto ini normal, lepaskan kolar, dan dibawah pengawasan seorang dokter yang menguasai masalah, lakukan fleksi dan ekstensi pada leher dan kemudian dilakukan foto fleksi lateral dari leher. Bila pada foto ini tidak ditemukan subluksasi, dianggap tidak ada cedera servikal dan kolar dapat dilepaskan. Bila salah satu dari foto di atas mencurigakan akan adanya cedera servikal, pasanglah kolar kembali, dan konsultasikan dengan seorang spesialis orthoped spine.
29
4. Penderita dengan gangguan kesadaran atau anak kecil yang tidak dapat menerangkan dengan jelas. Semua penderita di atas memerlukan foto servikal lateral, AP dan open mouth disertai tambahan pemeriksaan CT scan pada daerah yang dicurigai (C1 dan C2, dan didaerah cervical bawah yang tidak dapat dinilai dengan tepat dengan foto polos) . Pemeriksaan CT pada anak adalah pemeriksaan tambahan. Bila seluruh vertebra servikal dapat terlihat, dan tanpa kelainan, maka setelah dilakukan pemeriksaan oleh ahli bedah syaraf atau ortopedi, kolar dapat dilepas. 5. Bila ragu-ragu pertahankan kolar. 6. Konsul: Bila curiga atau menemukan cedera servikal selalu konsultasikan dengan dokter yang mempunyai keahlian dalam mengevaluasi serta melakukan tindakan terhadap penderita yang mengalami cedera vertebra. 7. Backboard Penderita dengan deficit neurologis (kuadriplegia atau paraplegia) harus dievaluasi secara cepat dan dilepaskan dari backboard secepat mungkin. Penderita seperti ini bila tidur di atas backboard lebih dari 2 jam ber-resiko tinggi untuk dekubitus. 8. Keadaan gawat-darurat Penderita cedera yang membutuhkan Bedah darurat sebelum pemeriksaan tulang belakang secara lengkap dikerjakan, harus ditranspor dan digerakkan secara hati-hati dengan asumsi terdapat cedera vertebra yang tidak stabil.Dalam keadaan ini kolar harus dipertahankan, penderita dipindahkan ke meja operasi dengan cara logroll. Team Bedah harus berhati-hati dalam memproteksi leher sewaktu melakukan tindakan operasi. Ahli Anestesi harus diberitahukan sejauh mana pemeriksaan untuk adanya cedera servikal sudah dilakukan.
30
PEMASANGAN INFUS LEARNING OUTCOME
Mahasiswa mampu melakukan keterampilan pemasangan infus. Tujuan pemberian terapi intra vena melalui infus yaitu : 1. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat melalui oral. 2. Memperbaiki keseimbangan asam-basa. 3. Memperbaiki volume komponen-komponen darah. 4. Memberikan jalan masuk untuk pemberianobat-obatan ke dalamtubuh. 5. Memonitor tekanan vena sentral (CVP). 6. Memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan ketika diistirahatkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien. Berbagai cairan mempunyai manfaat dan tujuan yang berbeda-beda. Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi. Resusitasi cairan yang adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18--24 jam sesudah cedera luka bakar. Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti kehilangan cairan insensibel.
31
Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat. Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting. Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian. Total cairan tubuh bervariasi menurut umur, berat badan dan jenis kelamin. Lemak tubuh juga berpengaruh terhadap cairan, semakin banyak lemak, semakin kurang cairannya. Ada dua bahan yang terlarut di dalam cairan tubuh yaitu elektrolit dan nonelektrolit. Tempat insersi jarum infus
Secara umum ada beberapa tempat untuk insersi jarum infus pada pemasangan infus yaitu :
a. Venapunctur perifer 1. vena mediana kubiti 2. vena sefalika 3. vena basilika 4. vena dorsalis pedis b. Venapunctur central 1.
vena femoralis
2. vena jugularis internal 3. vena subklavia.
Cara mengatur kecepatan tetesan
Pemberian cairan perinfus harus dihitung jumlah tetesan permenitnya untuk mendapatkan kebutuhan yang dijadwalkan. Jumlah ml cairan yang masuk tiap jam dapat digunakan rumus :
ml per jam = tetesan x faktor tetesan
Faktor tetesan dihitung dengan 60 dibagi jumlah tetesan yang bisa dikeluarkan oleh infus set untuk mengeluarkan 1 ml. Misalnya, suatu infus set dapat mengeluarkan 1 ml cairan dalam 15 tetesan, berarti faktor tetesan (60:15) = 4. Jadi bila infus set tersebut memberikan cairan dengan kecepatan 25 tetes per
32
menit berarti akan diberikan cairan sebanyak 25x4 = 100 ml perjam.
Tipe-tipe cairan:
1. Isotonik Suatu cairan yang memiliki tekanan osmotik yang sama dengan yang ada didalam plasma. a. NaCI normal 0,9 % b. Ringer laktat c. Komponen -komponen darah (albumin 5 %, plasma) d. Dextrose 5 % dalam air (D 5 W) 2. Hipotonik Suatu larutan yang memiliki tekanan osmotik yang lebih kecil daripada yang ada didalam plasma darah. Pemberian cairan ini umumnya menyebabkan dilusi konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk kedalam sel untuk memperbaiki keseimbangan di intrasel dan ekstrasel, sel-sel tersebut akan membesar atau membengkak. a. Dextrose 2,5 % dalam NaCI 0,45 % b. NaCI 0,45% c. NaCI 0,2 % 3. Hipertonik Suatu larutan yang memiliki tekanan osmotik yang lebih tinggi daripada yang ada di dalam plasma darah. Pemberian cairan ini meningkatkan konsentrasi larutan plasma dan mendorong air masuk kedalam sel untuk memperbaiki keseimbangan osmotik, sel kemudian akan menyusut. a. Dextrose 5 % dalam NaCI 0,9 % b. Dextrose 5 % dalam NaCI 0,45 % ( hanya sedikit hipertonis karena dextrose dengan cepat dimetabolisme dan hanya sementara mempengaruhi tekanan osmotik). c. Dextrose 10 % dalam air d. Dextrose 20 % dalam air e. NaCI 3% dan 5% f. Larutan hiperalimentasi g. Dextrose 5 % dalam ringer laktat h. Albumin 25
33
Kegagalan pemberian infus
Beberapa keadaan yang mengakibatkan kegagalan dalam pemberian cairan perinfus antara lain : 1. jarum infus tidak tepat masuk vena (ekstravasasi) 2. pipa infus tersumbat (karena jendalan darah atau terlipat) 3. pipa penyalur udara tak berfungsi 4. jarum infus atau vena terjepit karena posisi lengan fleksi 5. jarum infus bergeser atau menusuk ke luar vena
Komposisi Cairan
a. Larutan NaCl, berisi air dan elektrolit (Na +, Cl -), b. Larutan Dextrose, berisi air atau garam dan kalori c. Ringer laktat, berisi air dan elektrolit (Na +, K-, Cl -, Ca++, laktat) d. Balans isotonik, isi bervariasi : air, elektrolit, kalori ( Na +,K Mg CI-.HCO3-.glukonat). e. Whole blood (darah lengkap) dan komponen darah. f.
Plasma expanders, berisi albumin, dextran, fraksi protein plasma 5 % plasmanat), hespan yang dapat meningkatkan tekanan osmotik, menarik cairan dari interstisiall kedalam sirkulasi dan meningkatkan volume darah sementara.
g. Hiperalimentasi parenteral (cairan, elektrolit, asam amino, dan kalori). Hal-hal yang harus diperhatikan dengan tipe-tipe infus tersebut:
1. D5W (Dektrose 5% in Water)
34
a. Digunakan untuk menggantikan air (cairan hipotonik) yang hilang, memberikan suplai kalori, juga dapat dibarengi dengan pemberian obat-obatan atau berfungsi untuk mempertahankan vena dalam keadaan terbuka dengan infus tersebut. b. Hati-hati
terhadap
terjadinya
intoksikasi cairan
(hiponatremia, sindroma pelepasan hormon
antidiuretik yang tidak semestinya). Jangan digunakan dalam waktu yang bersamaan dengan pemberian transfusi (darah atau komponen darah). 2. NaCIO,9% a. Digunakan untuk menggantikan garam (cairan isotonik) yang hilang, diberikan dengan komponen darah, atau untuk pasien dalam kondisi syok hemodinamik. b. Hati-hati terhadap kelebihan volume isotonik (misal: gagaljantung.gagalginjal). 3. Ringer laktat Digunakan untuk menggantikan cairan isotonik yang hilang, elektrolit tertentu, dan untuk mengatasi asidosis metabolik tingkat sedang.
Tipe - tipe pemberian terapi intravena: A. IV push
IV push (IV bolus) adalah memberikanobat dari jarum suntik secaralangsung ke dalam saluran/jalan infus. Indikasi : 1.
Pada keadaan emergency resusitasi jantung paru, memungkinkan pemberian obat langsung ke dalam intravena.
2.
Untuk mendapat respon yang cepat terhadap pemberian obat (furosemid, digoksin).
3.
Untuk memasukkan dosis obat dalam jumlah besar secara terus menerus melalui infus (lidocain, xylocain).
4.
Untuk
menurunkan
ketidaknyamanan
pasien
dengan mengurangi kebutuhan akan
injeksi intramuskuler. 5.
Untuk mencegah masalah yang mungkin timbul apabila beberapa obat dicampur dalam satu botol.
6.
Untuk memasukkan obat yang tidak dapat diberikan secara oral (misal: pada pasien koma) atau intramuskuler (misal: pasien dengan gangguan koagulasi).
35
Hal-hal yang harus diperhatikan dan direkomendasikan
1. Sebelum pemberian obat: a. Pastikan bahwa obat sesuai dengan standar medik. b. Larutkan obat sesuai indikasi. Banyak obat yang dapat mengiritasi vena dan memerlukan pengenceran yang sesuai. c. Pastikan kecepatan pemberiannya dengan benar, d. Jika akan memberikan obat melalui selang infus yang sama, akan lebih baik jika dilakukan pembilasan teriebih dahulu dengan cairan fisiologis (Na Cl 0,9 %). e. Kaji kondisi pasien dan toleransinya terhadap obat yang diberikan. f. Kaji kepatenan jalan infus dengan mengetahui keberadaan dari aliran darah. 1. Perlahankan kecepatan infus. 2. Lakukan aspirasi dengan jarum suntik sebelum memasukkan obat. 3. Tekan selang infus secara perlahan. g. Perhatikan waktu pemasangan infus. Ganti tempat pemasangan infus apabila terdapat tandatanda komplikasi (misalnya: plebitis, ektravasasi, dll)
36
2. Perhatikan respon pasien terhadap obat. a. Adakah efek samping mayor yang timbul (anaphilaksis, respiratory distress, takhikardi, bradikardi, atau kejang) b. Adakah efek samping minor yang timbul (mual, pucat, kulit kemerahan, atau bingung) c. Hentikan pengobatan dan konsultasikan ke dokter apabila terjadi hal-hal tersebut.
b. Continous Infusion (infus berlanjut) menggunakan alat kontrol. Continous Infusion dapat diberikan secara tradisional melalui cairan yang digantung, dengan atau
tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena, intra arteri, dan intra thecal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus yang ditanam maupun yang ekstemal. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan : A. Keuntungan 1. Mampu untuk menginfus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan akurat. 2. Adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang infus atau adanya penyubatan. 3. Mengurangi waktu perawatan untuk memastikan kecepatan aliran infus. B. Kerugian 1. Memerlukan selang khusus. 2. Biaya lebih mahal. 3. Pompa infus akan dilanjutkan untuk menginfus kecuali ada infiltrasi.
c. Infus sementara (intermittent infusions)
Infus sementara dapat diberikan melalui" heparin lock", "piggybag" untuk infus yang kontinu, atau untuk terapi jangka panjang melalui perangkat infus.
ALAT DAN BAHAN
1. Infus set 2. Abocath 3. Cairan infus 4. Tornikuet/tensimeter 5. Kapas alkohol 6. Kasa steril 7. Betadin salep
37
8. plester, gunting, 9. spalk dan pembalut kalau perlu 10. tiang infus 11. perlak kecil dan alasnya
Pemasangan slang intravena :
1. Pertama lakukan verifikasi order yang ada untuk terapi IV. 2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien. 3. Pilih vena yang layak untuk dilakukan venipuncture. a. Bagian belakang tangan - vena metakarpal. Jika memungkinkan jangan lakukan pada vena digitalis. 1. Keuntungan dilakukannya venipuncture diisi ini adalah memungkinkan lengan bergerak bebas. 2. Jika kemudian timbul masalah pada sisi ini, gunakan vena lain diatasnya. b. Lengan bawah - vena basilica atau cephalica. c. Siku bagian dalam - fossa antecubital - median basilic dan median cephalic untuk infus jangka pendek. d. Ekstermitas bawah. 1. Kaki - vena pleksus dorsum, arkus vena dorsalis, vena medikal marginalis. 2. Mata kaki - vena saphena magma. e. Vena sentralis digunakan: 1. Jika obat dan infus hipertonik atau sangat mengiritasi, membutuhkan kecepatan, dilusi volume yang tinggi untuk mencegah reaksi sistemik dan kerusakan vena lokal ( misal: kemoterapi, hiperalimentasi). 2. Jika aliran darah perifer dikurangi atau jika pembuluh darah perifer tidak dapat dimasuki ( misal pada pasien obersitas). 3. Jika diinginkan monitor CVP. 4. Jika diinginkan terapi cairan jangka sedang atau jangka panjang. Cara memunculkan vena:
1. Palpasi daerah yang akan dipasang infus. 2. Anjurkan pasien untuk mengepalkan tangannya(jika yang akandigunakan lengan). 3. Pijattempat yang akan diinfus. 4. Gunakan torniket sedikitnya 5 -15 cm diatas tempatyang akan diinsersi, kencangkan torniket. 5. Alternatif lain adalah dengan menggunakan tensimeter, pasang tensimeter sedikit dibawah tekanan sistolik. 6. Raba vena tersebut, untuk meyakinkan keadaan vena
38
7. Biarkan ekstremitas tersebut selama beberapa menit. 8. Gunakan handuk hangat untuk melembabkan tempatyang akandiinsersi. Komplikasi yang dapat timbul dari terapi IV:
1. Infiltrasi (ektravasasi) 2. Trombophlebitis 3. Bakteremia 4. Emboli udara 5. Perdarahan 6. Trombosis 7. Imbalance elektroli, 8. Hematom, dll.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cummins, R.O. 1997. Advanced Cardiac Life Support.American Hearth Association. USA. 2. Muhiman, M. 1989. Penatalaksanaan pasien di Intensive Care Unit. Bagian Anestesiologi, FKUI. Jakarta. Daftar Pustaka. 3. Delp, MH. And Manning, RT. 1996. Major Diagnosis Fisik. EGC. Jakarta. 4. DeGowin, RL. And Brown, DD. 2000. Diagnostic Examination, 7 th ed. Mc Graw-Hill Co. New York.
39
PENILAIAN PEMASANGAN INFUS
NAMA : NIM :
Skor
No
Aspek yang dinilai
1
Cek program terapi cairan/review keputusan pemberian terapi cairan
2 3 4 5 6 7 8 9
Menanyakan keluhan utama/memeriksa adanya tanda kegawatan Cuci tangan Memakai handscoen (prinsip APD) Siapkan alat - alat Berikan salam, panggil klien dengan sopan Jelaskan tujuan dan prosedur tindakannya Berikan kesempatan klien bertanya sebelum kegiatan dilakukan Letakkan pasien pada posisi semi fowler atau supine
10 11 12 13
memungkinkan. Bebaskan lengan pasien dari lengan baju/kemeja Letakkan manset 5-15 cm diatas tempat tusukkan Letakkan alas plastik dibawah lengan klien Periksa label pasien sesuai dengan kebutuhan cairan yang akan diberikan.
14 15
Hubungkan cairan infus dengan infus set dan gantungkan. Alirkan cairan infus melalui selang infus sehingga tidak ada udara di
16
dalamnya. Kencangkan klem sampai infus tidak menetes dan pertahankan kesterilan.
17
Kencangkan tournikuet/manset tensi meter (tekanan dibawah tekanan sistolik).
18
Anjurkan
19
dan pastikan tekanan yang akan ditusuk Bersihkan kulit dengan cermat menggunakan kapas alkohol, lalu diulangi
0
jika
tidak
pasien untuk mengepal dan membukanya beberapa kali, palpasi
dengan menggunakan kapas betadin. Arah melingkar dari dalam keluar lokasi 20
tusukkan atau sekali usap * Gunakan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena 5 cm dibawah tusukkan.
21
Pegang jarum pada posisi 30 derajat pada vena yang akan ditusuk. setelah
22
pasti masuk lalu tusuk perlahan dengan pasti. Rendahkan posisi jarum sejajar pada kulit dan tarik jarum sedikit lalu teruskan
23 24 25 26
plastik iv catheter kedalam vena Tekan dengan jari ujung plastik iv catheter Tarik jarum infus keluar * Sambungkan plastik iv catheter dengan ujung selang infus. Lepaskan manset
40
1
2
3
27 28
Buka klem infus sampai cairan mengalir lancar * Oleskan dengan salep betadin diatas penusukkan, kemudian ditutup
29 30
dengan kassa steril Fiksasi posisi plastik iv catheter dengan plester. Atur tetesan infus sesuai ketentuan, pasang stiker yang sudah diberi tanggal.
31 32 33 34
Evaluasi hasil kegiatan Bereskan alat-alat Cuci tangan Dokumentasi TOTAL SKORE
Keterangan: 0 = tidak dilakukan sama sekali 1 =dilakukan tapi jauh dari sempurna 2 = dilakukan tapi sedikit tidak sempurna 3 = dilakukan dengan sempurna * =Critical point ( item yang harus dilakukan)
Batas lulus ≥ 66 , dengan tidak ada critical point yang bernilai = 0
Purwokerto, Nilai
= Total skor (…….) x 100 % 102
………. 2013
Penguji,
= ……… ……………………………
JADWAL SKILL LAB ECCE 2 (skill lab)
Hari/tanggal Rabu/22 Mei 2013 10.00 - 11.50
Ketrampilan
Kelomp ok
RJP - ET RJP - ET
1 2
RJP - ET
3
RJP - ET Pemasangan infus
4
Trainer dr. Wiwiek Fatchurohmah dr. Tendi Novara, SpAn, Msi. Med dr. Nur Signa Aini Gumilas, MSc.
dr. Pamela Kusuma Dewi Putri T dr. Afifah
5
41