Buku Ajar
Pengembangan Pribadi Konselor
Oleh: Dr. Awalya, M. Pd. Kons
1
PRAKATA
Peningkatan profesionalisasi bimbingan dan konseling melalui pendidikan pra jabatan maupun dalam jabatan, kualifikasi pribadi konselor menjadi kunci keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling. Karakteristik pribadi konselor yang tinggi menjadi pendukung utama terciptanya komunikasi profesi konselor yang bermartabat. Komunikasi konselor yang berkualitas dan bermartatabat tergambarkan melalui perwujudan diri konselor selama menjalani aktivitas profesional. Salah satu faktor penting yang ikut menjadi penentu keberhasilan komunikasi profesional konselor adalah kemampuan dalam pengembangan pribadi konselor.
Masalah pengembangan pribadi konselor merupakan masalah yang sangat penting bagi para mahasiswa bimbingan dan konseling dalam mempersiapkan diri mencapai profesionalitasnya dan keberhasilan belajarnya sehingga dapat mandiri dalam penanganan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling kelak dikemudian waktu.
Materi pengembangan pribadi konselor, dalam modul 4 ini akan diantarkan kepada suatu pemahaman mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengembangan pribadi konselor dan bagaimana penerapannya dalam proses pelayanan bimbingna dan konseling. Mudah-mudahan mahasiswa dapat memahami secara menyeluruh apa yang diuraikan dalam modul ini, sebab pemahaman tersebut akan menjadi bekal dalam profesionalisasi pelaksanaan bimbingan dan konseling yang bermakna bagi para siswa dan bermartabat bagi konselor di sekolah. Setelah mempelajari modul ini, diharapkan Anda mampu menganalisis implikasi penerapan konsep pengembangan pribadi konselor dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling.
Buku ajar ini dapat dibaca oleh konselor pra jabatan atau mahasiswa bimbingan konseling yang masih dalam proses pembentukan melalui pendidikan dijurusan bimbingan dan konseling program S1. Buku ajar ini juga dapat dibaca pula oleh konselor dalam jabatan yang selalu meng up-date (memperbaharui) dan meningkatan kualifikasi pengembangan pribadi konselor.
Buku ajar pengembangan pribadi konselor mengacu pada Standar Kompetensi Konselor setelah mahasiswa mempelajari buku ajar ini mahasiswa diharap memiliki kesadaran dan komitmen dan mampu menampilkan keutuhan pribadi yang mendasari pengembangan pribadi konselor. Secara lebih khusus, setelah mahasiswa mempelajari buku ajar ini mahasiswa diharapkan dapat:
Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam landasan dan identitas religius.
Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam pengembangan empati konselor.
Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam refleksi integritas pribadi konselor.
Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam stress dan frustrasi .
Mengaplikasikan sikap, keterampilan,, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam berfikir positif.
Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam nilai-nilai kehidupan.
Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam prasangka dan stereotif budaya.
Mengaplikasikan sikap, keterampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam manajemen diri.
Buku ajar ini masih banyak kekurangan dan kelemahan disanasini, bagi para pengguna maupun pembaca buku ajar ini penulis mengharapkan masukan untuk menyempurnakan buku ajar ini, semoga apa yang sudah panulis tuangkan ide-ide dan gagasan-gagasan ini semoga bermanfaat bagi ilmu pengetahuan di bidang pengembangan pribadi konselor.
Karya buku ajar ini semoga dapat menjadi penyemangat penulis dalam mengabdi pada pendidikan, dan penyemangat bagi anak-anak dan menantu tercinta, Anangga, M.I Amal, M.Idham F, Dan M. Lutfi A. Selanjutnya terima kasih atas berkenannya menggunakan buku ini untuk kepentingan pendidikan.
Semarang, 30 Nopember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
PRAKATA...................... ii
DAFTAR ISI iii
BAB I Pengembangan Landasan dan Identitas Religius diri Konselor …….. 1
Hakikat Manusia Menurut Agama …………………………………. 1
Identitas Religius dan Spiritual Konselor…………………..………. 2
Kontribusi Landasan Religius Terhadap Perkembangan
Pribadi Konselor ……..………………………………..…………... 7
Perilaku Membantu yang Dilandasi Nilai Keagamaan/
Kerohanian…...……….…………………………………………….. 7
Ringkasan ……………………………………………………………. 8
Latihan ………………………………………………………………. 10
BAB II Pengembangan Empati Konselor……………………………………. 11
Pengertian Empati ……………………….…………………………. 12
Unsur-unsur Empati …………………………………………………. 15
Latihan Empati Konselor……………………….…………………… 21
Latihan Empati bagi Calon Konselor……..……….………………… 22
Aspek Intelektual…………………………………………………….... 23
Konsep Empati Budaya Dalam Keefektifan Konseling……….………. 23
Stereotip………………………………………………………………… 24
Ringkasan ……………………………………………………………. 26
Latihan ………………………………………………………………. 27
BAB III Pengembangan Refleksi Integritas Pribadi Dan Stabilitas
Kepribadian Konselor ………………………………………………… 29
Integritas Konselor……………………………………………………. 29
Integritas ………………………………..……………………………. 31
Stabilitas …………………………………………………………….. 33
Bentuk- bentuk Integritas Dan Stabilitas Pribadi Konselor…………. 35
Ringkasan ……………………………………………………………. 38
Latihan ………………………………………………………………. 40
BAB IV Pengembangan Pribadi Terhadap Toleransi Stress dan Frustasi……. 41
Pengembangan Toleransi Stress………………………………………. 41
Faktor-faktor Penyebab Stress……………..………….……………… 43
Pengelolaan Stress………………………..…………..………………..` 45
Jenis-jenis Stress……………………………………………………… 47
Frustasi ………………………..…………………………………….... 51
Reaksi Frustasi ……………………………………………………….. 52
Faktor Penyebab Frustasi…………………………………..…..………. 53
Pengelolaan Frustasi ………………………………………………….. 54
Pengelompokkan Frustasi…..…………………………………………. 55
Ringkasan …………………..…………………………………………. 56
Latihan………………………………………………………………… 57
BAB V Pengembangan Berfikir Positif Konselor…………………………… 58
Konsep Berfikir Positif………………………………………………. 58
Ciri-Ciri Orang Berpikiran Positif ………………………………….. 60
Pilar Konsep Berfikir positif …………………………………………. 61
Manfaat Berpikir Positif (Positif Thinking)………………………… 62
Latihan Dalam Keterampilan Berfikir Positif ………………………… 64
Manfaat Berpikir Positif……………………………………………… 65
Langkah-langkah Praktis dan Strategi Berpikir Positif……….…… . 67
Kiat Mengembangkan Sikap Positif…………………………………… 68
Cara Membangun Sikap Berpikir Positif………………………………. 69
Ringkasan …………………..…………………………………………. 71
Latihan………………………………………………………………… 72
BAB VI Pengembangan Nilai-Nilai Kehidupan Pribadi Konselor……….…… 74
Konsep Nilai Kehidupan………………………………………………. 74
Hubungan Nilai dengan Pribadi Konselor……………………………. 78
Kualitas Nilai Kepribadian Konselor………………………………….. 80
Ringkasan …………………..…………………………………………. 83
Latihan………………………………………………………………… 84
BAB VII Prasangka Dan Stereotif Budaya……………………………………. 86
Pengertian Prasangka………………………………………………….. 87
Stereotif Budaya……………………………………………………….. 88
Konsep Dasar Etik Emik……………………………………………… 92
Konsep Dasar Bias Budaya yang Menghambat Konseling……………. 94
Ringkasan …………………..…………………………………………. 95
Latihan………………………………………………………………… 96
BAB VIII Pengembangan Manajemen Diri Konselor……………………….. 97
Konsep Dasar Self-Management………………………………………..... 97
Teknik Konseling Self-Management …….…………………………… 103
Ringkasan ………..……………..…………………………………………. 118
Latihan……………………………………………………………………… 119
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 120
BAB I
PENGEMBANGAN LANDASAN DAN IDENTITAS RELIGIUS PENGEMBANGAN DIRI KONSELOR
Kompetensi Dasar:
Setelah membahas materi ini mahasiswa dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam landasan dan identitas religius.
Landasan religus dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya agar konselor menetapkan konseli sebagai makhluk Tuhan dengan segenap kemuliaannya menjadi fokus sentral upaya bimbingan dan konseling. Landasan religius terkait dengan upaya mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam proses bimbingan dan konseling. Untuk mewujudkan hal itu, maka sudah sepatutnya agama mendapat tempat dalam praktek-praktek konseling. Dalam pembahasan ini akan dibahas bagaimana kontribusi landasan religius terhadap pengembangan pribadi konselor.
Hakikat Manusia Menurut Agama
Konselor dituntut memiliki pemahaman tentang hakikat manusia menurut agama dan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Sifat hakiki manusia adalah makhluk beragam (Homoreligius) yang memiliki fitrah untuk menerima nilai kebenaran yang bersumber dari agama. Fitrah beragama ini menjadi potensi arah perkembangan amat tergantung pada kehidupan beragama. Lingkungan dimana seseorang itu hidup. memberikan ajaran bimbingan dengan pemberian dorongan dan keteladanan yang baik dalam mengamalkan nilai-nilai agama, menuju arah perkembangan menjadi individu yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.
Kemampuan anak untuk dapat mengembangkan potensi baik dan mengendalikan potensi buruknya itu terjadi secara otomaatis tetapi memerlukan bantuan orang lain, yakni melalui pendidikan agama (bimbingan, pengajaran dan pelatihan) terutama dari orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama di lingkungan keluarga.
Melalui penerapan dan mengamalkan pelajaran agama, berarti manusia telah mewujudkan potensi jati dirinya, identitas dirinya yang hakiki yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai khalifah dimuka bumi. Sebagai hamba dan khalifah Allah, manusia mempunyai tugas suci yaitu ibadah atau mengabdi kepadaNya.
Identitas Religius dan Spiritual Konselor
Landasan religius dalam bimbingan dan konseling mengimplikasikan bahwa konselor sebagai "helper" pemberi bantuan dituntut untuk memiliki pemahaman akan nilai-nilai agama, dan komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam memberikan bimbingan dan konseling kepada konseli. Didalam proses bantuan yang diberikan itu bernilai ibadah, maka kegiatan tersebut harus didasarkan kepada keikhlasan dan kesabaran.
Identitas religius dan spiritual konselor menjadi hal yang penting, berkaitan dengan hal tersebut, Prayitno dan Erman Amti (dalam Syamsu Yusuf, 2009: 153), mengemukakan persyaratan bagi konselor yaitu sebagai berikut:
Konselor hendaknya orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanannya sesuai dengan agama yang dianut.
Konselor sedapat-dapatnya mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah konseli.
Perubahan-perubahan sosial yang cepat (rapid sosial changes), sebagai konsekuensi dari modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi nilai-nilai moral etika dan gaya hidup (value system and way of life). Tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial tersebut, kadang-kadang dapat membuat individu jatuh sakit atau mengalami gangguan penyesuaian diri (adjustment disorder) (Corsini, 1981).
Perubahan-perubahan tata nilai kehidupan (psycho-social changes), antara
lain dapat kita lihat pada:
Pola hidup masyarakat yang semula sosial-religius cenderung ke arah pola kehidupan masyarakat individual, materialis dan sekuler;
Pola hidup yang semula sederhana dan produktif, cenderung ke arah pola hidup mewah, konsumtif, dan serba instan;
Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family), cenderung ke arah keluarga inti (nuclear family), bahkan sampai pada keluarga tunggal (single parent family)
Hubungan kekeluargaan yang semula erat dan kuat, cenderung menjadi longgar dan rapuh (loose family relationship);
Ambisi karier dan materi yang sebelumnya menganut azas-azas hukum dan moral serta etika, cenderung berpola tujuan menghalalkan segala cara, misalnya dengan melakukan KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
Fenomena psikososial tersebut dengan segala keterkaitannya memunculkan berbagai macam permasalahan kehidupan dan pada sebagian orang dapat merupakan beban atau tekanan mental yang disebut sebagai stresor psikososial. Kita hendaknya paham dan sadar bahwa perubahan psikososial memungkinkan individu bebas meningkatkan pengharapan hidup, dapat menjadi sumber motivasi untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik, tetapi dapat juga menyebabkan individu tidak akan pernah merasa puas dengan apa yang telah dicapainya.
Fenomena social ini dapat mengubah seseorang, situasi kehidupan seperti itu memungkinkan umat manusia menjadi insan yang serakah, dan berani melakukan perilaku menyimpang, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Calhoun & Acocella, 1995: 10). Rogers (William A. Wallace, 1986), berpendapat bahwa "manusia adalah makhluk yang tidak pernah selesai". Karena itu wajar apabila manusia dipandang sebagai individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian.
Di samping itu, terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan individu tidak selalu berlangsung secara mulus, atau steril dari masalah. Dengan kata lain, bagaimana upaya pendidikan berusaha agar proses perkembangan individu itu berjalan dalam alur yang linier, lurus, atau searah dengan otensi, harapan, dan nilai-nilai yang seseorang anut. Perkembangan manusia tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis, maupun sosial. Sifat inherent lingkungan adalah perubahan, perubahan yang terjadi dalam lingkungan, dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) manusia sebagai bagian dari warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan diskontinuitas perkembangan perilaku individu, seperti terjadinya kemandegan (stagnasi) perkembangan, masalah-masalah pribadi, atau penyimpangan-penyimpangan perilaku.
Perubahan iklim lingkungan ternyata mempengaruhi perkembangan pola perilaku atau gaya hidup sebagian manusia yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlaq yang mulia). Pelanggaran tata tertib di jalan, maraknya brandalan motor, tawuran antarsekolah, antar daerah bahkan antar warga dalam suatu lingkungan wilayah, minum minuman keras, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, narkotika, ekstasy, putau, kriminalitas, dan pergaulan bebas, bahkan memandang manusia lain sebagai bahan untuk dianiaya dan santapannya, merupakan contoh perilaku-perilaku yang menyimpang dari kaidah moral.
Berkaitan dengan kehidupan ini, H. A. R. Tilaar (1999) mengemukakan bahwa untuk menyikapi keadaan era globalisasi diperlukan munculnya manusia yang memiliki sifat keunggulan, baik keunggulan secara individualistic maupun keunggulan partisipatoris. Keunggulan partisiapatoris adalah keunggulan manusia yang mampu menggali dan mengembangkan potensinya untuk mencari jalan terbaik sehingga mampu survive dalam kemajuan dan persaingan yang semakin tajam. Bukan berarti bahwa mereka memiliki kebebasan untuk membunuh potensi manusia yang lainnya tetapi tetap harus tumbuh bersama dalam keadaan sejahtera. Lebih jauh Suradinata (2003: 1-2) menjelaskan bahwa upaya untuk membentuk pemikiran antisipatif terhadap segala kemungkinan perubahan di masa datang adalah dengan menstimulasikan pemikiran manusia secara diakronis dan sinkronis dalam konteks sejarah masa lampau dan etika saat ini berlandas pada rasionalitas, motivasi, kebutuhan dan maksud suatu kegiatan.
Ketika norma-norma dalam masyarakat menjadi terjungkir balik, yang memungkinkan manusia sulit mentransformasikannya ke dalam kenyataan kehidupanya, hanya pribadi-pribadi yang kokoh dan mampu menyesuaikan dirilah yang akan mampu bertahan. Mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki pemahaman diri yang positif, memaknai perubahan lingkungan yang ada di depannya, memilih tindakan-tindakan yang akan digunakan dalam menghadapi berbagai tantangan dan masalah kehidupan, tidak mudah tergoda dengan kesenangan sesaat, memandang masalah sebagai tantangan untuk lebih berhasil, berpikir ke depan, dan mensyukuri keberhasilan yang diperoleh (Jenifer James, 1998, dalam SP. Sukartini, 2002: 4).
Lebih jauh, Dahlan (2002: 139-145), mengemukakan bahwa dalam situasi dimana peradaban mengalami titik balik, pengembangan sumber daya manusia hendaknya bertumpu pada keunggulan akhlak dan moral bangsa. Jika pada bidang akhlak dan moral ini cukup berhasil, maka dalam mengembangkan keunggulan di bidang lainnya tidak akan begitu sulit.
Presiden Yudhoyono (2010) dalam pidatonya menyampaikan tentang pentingnya pendidikan karakter. Beliau menyatakan bahwa, pembangunan watak (character building) adalah amat penting. kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat kita capai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).
Masyarakat idaman seperti ini dapat kita wujudkan manakala manusia-manusia Indonesia adalah manusia yang berakhlak dan berwatak baik, manusia yang bermoral dan beretika baik, serta manusia yang bertutur dan berperilaku baik pula. Menggarisbawahi pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter bangsa dalam arti luas, maka bangsa yang berkarakter unggul, di samping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik, juga ditandai dengan semangat, tekad dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dari sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersarnaan yang tinggi. Inilah totalitas dari karakter bangsa yang kuat dan unggul, yang pada kelanjutannya bisa meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa, menuju Indonesia yang maju, bermartabat dan sejahtera di Abad 21 ini (Sambutan Mendiknas, 2 Mei 2010).
Sehubungan dengan pembangunan karakter dan budaya bangsa, pemeluk Islam tidak hanya cukup melihat sejumlah karakter bangsa yang tertulis dalam UUSPN, tetapi hendaknya menghayati dan mencontoh keteladanan yang ditunjukkan Nabi Muhammad Rosulullah Saw (Mahmud Al Misri, 2002: 6-61), seperti: 1) ikhlas, 2) tepat janji, 3)perhatian, 4) yakin, 5) tawakal, 6) berbuat baik, 7) rendah hati, 8) berakhlak baik, 9) taqwa, 10) belas kasihan/empati, 11) pemberani, 12) takut kepada Allah, 13) adil, 14) penolong, 15) zuhud, 16) sabar, 17) keperwiraan, 18) kehati - hatian (wara), 19) penutup aib orang, 20) toleran, 21) menjaga lisan, 22) pemaaf, 23) memiliki rasa malu, 24) ridlo atau rela, 25) penyayang, 26) jujur, 27) amanat, 28) syukur, 29) berseri-seri wajahnya, 30) menjauhkan dari yang haram, 31) melapangkan kesempatan, 32) percaya atas kebesaran Allah, 33) mengharapkan keridhoan Allah, 34) lemah lembut, 35) ramah, 36) pemaaf dan pengampun, 37) penyimpan rahasia, 38) berlomba dalam kebaikan, 39) pemberi nasihat, 40) wasiat, dan 41) pembawa kabar baik.
Kemajuan zaman yang memberikan peluang dan tantangan sama besarnya memunculkan kultur kehidupan manusia yang bukan hanya berorientasi pada aspek keunggulan dan kecepatan waktu tetapi secara terbuka menuntut proses pembelajaran dan pelaksanaan pelayanan konseling sebagai wahana dan fasilitas yang terorganisir untuk menjadikan manusia memiliki pemenuhan kebutuhan optimalisasinya.
Kebutuhan belajar individu sebagai pribadi dan sosial mengimplikasikan bahwa proses pembelajaran tidak hanya terbatas kepada sekat persekolahan dan guru atau dosen tidak dijadikan sebagai satu-satunya sumber belajar tetapi lebih terbuka kepada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dengan proses pembelajaran E–learning (Sayling Wen, 2003: 92). Implikasi pemenuhan kebutuhan belajar individu (learning needs) sebagai pribadi dan makhluk social mengisyaratkan pembelajaran tidak hanya terfokus kepada empat hal, yaitu learning to know, learning to do, learning to live together dan learning to be, sebagaimana pilar pendidikan yang dikemas badan pendidikan dan kebudayaan PBB (UNESCO, 1996), tetapi individu pun dituntut untuk belajar bagaimana belajar dilakukan (learning how to learn). Dalam konteks yang terakhir itu (learning how to learn), nilai-nilai etis dan moral sebagai landasan kehidupan diharapkan memberikan warna positif bagi perilaku belajar dan kehidupan manusia pada umumnya.
Kontribusi Landasan Religius Terhadap Perkembangan Pribadi Konselor
Sumbangan landasan religius terhadap perkembangan pribadi konselor itu terkait dengan hal-hal dibawah ini:
Memelihara Fitrah
Pribadi manusia dalam keadaan suci, namun pribadi pada diri individu memiliki hawa nafsu dan juga ada pihak luar yang senantiasa berusaha menggoda atau menyelewengkan pribadi tersebut dari kebenaran. Maka agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsu itu, maka pada diri konselor tersebut harus beragama dengan beriman dan beramal saleh atau melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Memelihara Jiwa
Dalam memelihara kemuliaan jiwa manusia, agama mengharamkan manusia melakukan penganiayaan, penyiksaan dan pembunuhan baik terhadap dirinya maupun kepada orang lain.
Memelihara Akal
Allah telah memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya, yaitu akal. Karena pentingnya akal ini, maka agama memberi petunjuk kepada manusia untuk mengembangkan dan memeliharanya, yaitu hendaknya manusia tersebut mensyukuri nikmat akal itu dengan cara memanfaatkan seoptimal mungkin untuk meruusak akal, belajar, atau mencari ilmu. Serta menjauhkan diri dari perbuatan yang merusak akal seperti meminum-minuman keras, menggunakan narkoba, dan hal-hal yang merusak keberfungsian akal yang sehat.
Memelihara Keturunan
Agama mengajarkan kepada manusia tentang cara memelihara keturunan atau sistem regenerasi yang suci. Aturan atau norma agama untuk memelihara keturunan itu adalah pernikahan.
Perilaku Membantu yang Dilandasi Nilai Keagamaan/Kerohanian
Aktifitas profesi yang member layanan bantuan tidak bisa lepas dengan perilaku membantu. Perilaku membatu yang mensejahtarakan dan membahagiakan kehidupan orang yang dibantu itu perlu kiranya dilandasi nilai-nilai keagamaan atau nilai kerohanian. Bagi profesi yang membantu itu maka perlu memperhatikan hal-hal berikut.
Makna pemberian bantuan
Pemberian bantuan merupakan istilah yang sukar untuk dijelaskan, karena mempunyai arti yang sangat individual, dalam arti maka sangat tergantung pada orang yang berkepentingan. Upaya yang berupa pemberian bantuan dapat ditafsirkan sebagai penghinaan atau sebagai pembuatan turut campur seseorang dengan urusan oranglain. Prayitno dan Erman Amti (dalam Syamsu Yusuf, 2009: 153) mengemukakan persyaratan bagi konselor, yaitu sebagai berikut: (1) Konselor hendaknya orang yang beragama; (2) Konselor sedapat-dapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama.
Peranan Nilai Agama Dalam Menghadapi Kehidupan Global.
Agama merupakan uang mengikat jiwa untuk kembali kepada Tuhan adalah agama. Sejarah agama berumur setua dengan sejarah manusia. Seluruh agama merupakan perpaduan kepercayaan dan sejumlah upacara. Tuhan menciptakan alam atau "kita harus mati untuk membebaskan jiwa dari beban daging badan kasar". Sedang yang lain lebih bersifat khusus yang pada umumnya berkenaan tentang bagaimana seharusnya kita mengatur tingkah laku dibumi.
Dasar-dasar umum dengan istilah nilai (value) sedangkan hal-hal yang lebih khusus sifatnya sebagai kepercayaan (belief). Kepercayaan adalah penerapan konkrit nilai-nilai yang kita miliki. Tujuan terakhir agama bersifat tidak nyata. Keberhasilan didunia ini yang perlu diinterpretasikan sebagai suatu yang absolute. Mempertebal iman dan mental untuk menuju kepada pelaksanaan ajaran agama masing-masing guna terciptanya suatu kehidupan damai didunia dan diakhirat.
Ringkasan
Nilai-nilai agama dalam proses bimbingan dan konseling perlu teringrasi dalam praktek-praktek dalam bimbingan dan konseling karena landasan religus menjadi fundamental. Konselor dituntut memiliki pemahaman tentang hakikat manusia menurut agama dan peran agama dalam kehidupan umat manusia. Sifat hakiki manusia adalah makhluk beragam. Yang menjadi sisi penting bari pribadi konselor, konselor hendaknya orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanannya sesuai dengan agama yang dianut. Disamping itu onselor sedapat-dapatnya mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan masalah konseli.
Perubahan-perubahan sosial yang cepat yang tidak dapat terelakkan sebagai konsekuensi dari modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mempengaruhi nilai-nilai moral etika dan gaya hidup. Perubahan-perubahan tata nilai kehidupan antara lain pola hidup masyarakat yang semula sosial-religius cenderung ke arah pola kehidupan masyarakat individual, materialis dan sekuler. Pola hidup yang semula sederhana dan produktif, cenderung ke arah pola hidup mewah, konsumtif, dan serba instan. Struktur keluarga yang semula keluarga besar (extended family), cenderung ke arah keluarga inti (nuclear family), bahkan sampai pada keluarga tunggal (single parent family).
Sehubungan dengan berbagai perubahan kemajuan jaman dan pembangunan karakter budaya bangsa, maka pribadi konselor yang memgembangkan landasan religious maka bdalam elaksanakan layanan praktik konseling dapat pulan mengembangkan nilai-nilai agama yang dapat diterima secara universal meliputi pengembangan pribadi yang: ikhlas, tepat janji, perhatian, yakin, tawakal, berbuat baik, rendah hati, berakhlak baik, taqwa, belas kasihan/empati, pemberani, takut kepada Tuhan, adil, penolong, zuhud, sabar, keperwiraan, kehati - hatian (wara), penutup aib orang, toleran, menjaga lisan, pemaaf, memiliki rasa malu, ridlo atau rela, penyayang, jujur, amanat, syukur, berseri-seri wajahnya, menjauhkan dari yang haram, melapangkan kesempatan, percaya atas kebesaran Allah, mengharapkan keridhoan Allah, lemah lembut, ramah, pemaaf dan pengampun, penyimpan rahasia, berlomba dalam kebaikan, pemberi nasihat, wasiat, dan pembawa kabar baik.
Latihan
Diskusikan bersama kelompok Anda mengapa konselor harus memiliki landasan religius yang berdasarkan keimanan. Berilah contoh pula sikap kepatutan dan ketidak patutan konselor yang berlandaskan religious dan tidak.
Diskusikan nilai- nilai religi konselor yang mempribadi yang berdasarkan keimanan dalam pelaksanaan pelayanan konseling yang seperti apa. Jabarkan melaui contok praktis kehidupan sehari hari dalam pelaksanaan konseling.
Diskusikan perlunya kontribusi landasan religius terhadap perkembangan pribadi konselor. Bagaimana penerapannya dalam bimbingan dan konseling
Kembangkan nilai-nilai religius yang dapat di terapkan dalam pengembnagan pribadi konselor. Berilah contoh yang sesuai dan analisiskan yang yang tidak sesuai dengan nilai religious.
BAB II
PENGEMBANGAN EMPATI KONSELOR
Kompetensi dasar:
Setelah mempelajari materi ini diharap dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam pengembangan empati konselor.
Empati budaya dalam bimbingan dan konseling merupakan hal yang sangat penting. Mengingat proses konseling merupakan sebuah bantuan melalui interaksi antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya. Salah satu masalah yang sering muncul adalah kurangnya rasa empati dalam berkomunikasi yang bisa menyebabkan kesalahpahaman interaksi komunikasi dalam konseling sehingga konseli tidak mendapat manfaat yang dari proses konseling.
Empati dalam konseling justru dianggap sebagai salah satu cara yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain karena dimungkinkan seseorang itu masuk dan menjadi sama dengan orang lain. Melalui berempati, seseorang bisa benar-benar merasakan dan menghayati orang lain termasuk bagaimana seseorang mengamati dan menghadapi masalah dan keadaannya yang sesusai dengan budayanya.
Kehidupan konseli merupakan rahasia yang sulit untuk ditembus. Bahkan keadaannya begitu berlapis. Konseli yang kita hadapi sering tampil hanya dipermalukan saja, dan jarang menampilkan dunia dalam mereka. Kecuali terhadap orang yang sangat dipercayai. Orang yang dipercayai oleh konseli adalah yang memahami dan dapat merasakan perasaan, pengalaman, serta pikiran konseli. Konselor yang empati mudah memasuki "dunia dalam" konseli sehingga konseli tersentuh dengan sikap konselor.
Sebagai calon konselor harus dilatih agar peka terhadap perasaan konseli, memahami pikirannya, dan mampu merasakan perasaan dan pengalaman konseli. Untuk mencapai hal tersebut maka dilatihkan teknik empati. Latihan tersebut mencakup ungkapan perasaan konselor mengenai perasaan, pengalaman dan pikiran. Setiap budaya pasti memiliki adat yang berbeda yang akan membentuk kebiasaaan seseorang dalam bersikap. Ketika konselor dan konseli bertemu dalam proses konseling hendaknya konselor terlebih dahulu memahami latar buadayanya. Misalnya masalah dalam komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota budaya yang lainnya (konselor-konseli). Dengan keadaan demikian konselor bisa saja dihadapkan kepada masalah yang ada dalam situasi di mana suatu pesan dipahami dengan cara yang berbeda sesuai dengan budaya yang lain. Oleh karena itu konselor harus menerapkan empati budaya agar proses konseling bisa terlaksana dengan baik.
Pengertian Empati
Empati dari Bahasa Yunani (εμπάθεια yang berarti "ketertarikan fisik" didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan.
Empati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana merasakan perasaan orang lain. Empati berperan penting dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari pengasuhan, pendidikan, manajemen, hingga tindakan bela rasa dan percintaan. Empati dibangun pada lingkup self-awareness (kesadaran diri). Makin terbuka terhadap emosi kita sendiri, makin terampil kita dalam memahami perasaan orang lain. Emosi tidak banyak diekspresikan dalam kata-kata, justru ia lebih banyak diekspresikan dalam isyarat-isyarat nonverbal, seperti intonasi suara, gerakan bagian tubuh, ekspresi wajah. Maka kemampuan empati terutama melibatkan kemampuan seseorang untuk membaca perasaan lewat pemahaman terhadap isyarat-isyarat nonverbal orang lain.
Secara sederhana, empati dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada pada tempat dan pemahaman yang dimiliki orang lain, mencakup perasaan, hasrat, ide-ide, dan tindakan-tindakannya. Istilah ini awalnya biasa digunakan dengan rujukan khusus pengalaman estetis. Namun belakangan, istilah ini diterapkan lebih luas dalam hubungan interpersonal. Empati dinilai penting peranannya dalam meningkatkan kualitas positif hubungan interpersonal.
Empati merupakan kemampuan konselor untuk memahami permasalahan konseli, melihat melalui sudut pandang konseli dan latar belakang budayanya, peka terhadap perasaan-perasaan konseli, sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaanya. Dalam hal ini konselor diharapkan dapat memahami permasalahan konseli tidak hanya pada permukaan, tetapi lebih dalam pada kondisi psikologis konseli. Jika ketiga kondisi diatas dapat dimunculkan oleh konselor sebagai kualitas dalam hubungan teurapeutik, dengan demikian, dapat diprediksikan aktivitas yang akan dialami konseli dalam konseling adalah menjajaki perasaan dan sikapnya secara mendalam (Komalasari, dkk. , 2011).
Empati dalam psikologi dan psikiatri yang berorientasi humanistik, merupakan bagian penting dari teknik konseling. Carl Rogers (1975, dalam Cotton, 2001) merupakan salah satu tokoh awal yang menunjukkan pentingnya empati dalam proses konseling. Menurutnya, berempati berarti mempersepsi kerangka pikir internal orang lain secara tepat mencakup unsur-unsur emosional dan cara-cara bertingkahlaku, disertai dengan kepedulian seolah-olah diri sendiri adalah orang lain yang sedang dipersepsi tetapi tanpa kehilangan kesadaran sedang mengandaikan sebagai orang lain. Dengan kata lain, berempati adalah mengandaikan diri kita sebagai orang lain tanpa larut secara emosional dalam kondisi orang yang diandaikan. Seorang konselor memerlukan empati untuk memahami kondisi psikis konseli yang sedang dibantunya.
Sejalan dengan Rogers, Gallo (1989) menyatakan bahwa sebuah respon empati mengandung baik dimensi kognitif maupun afektif. Istilah empati digunakan paling tidak dalam dua pengertian: (1) sebuah respons kognitif utama untuk memahami bagaimana orang lain merasa; (2) kebersamaan afektif yang setara dengan orang lain. Dengan demikian, empati juga dapat dipahami sebagai pemahaman yang intim bahwa perasaan-perasaan, pikiran-pikiran dan motif-motif seseorang dimengerti secara menyeluruh oleh orang lain, disertai ungkapan penerimaan terhadap keadaan orang lain.
Cikal bakal empati dapat ditemu-kenali ketika bayi dalam kegelisahan mendengar suara tangis bayi lainnya. Sejak usia sekitar satu tahun, anak mulai menyadari bahwa penderitaan orang lain bukanlah penderitaannya sendiri, dan mulai pada usia tersebut hingga dua setengah tahun, anak mengejahwantahkan "peniruan motorik", yaitu tindakan meniru secara motorik penderitaan psikologis orang lain untuk makin memahami apa yang dirasakan oleh orang lain yang menderita itu. Sejak usia dua setengah tahun, anak makin menunjukkan perbedaan kepekaan terhadap kegelisahaan emosional orang lain. Tumbuh-kembang empati terkait dengan cara orang tua mendisiplinkan anak mereka dan terkait pula dengan kesempatan yang anak dapatkan untuk menyaksikan reaksi empatik orang lain di hadapan orang-orang yang mengalami penderitaan psikologis. Pendisiplinan yang dilakukan dengan mengajak anak memperhatikan penderitaan psikologis yang terjadi sebagai akibat perilakunya yang salah, akan menumbuh-kembangkan keprihatinan empatik anak itu.
Pengalaman penyetalaan emosional (attunement) berulang yang terjadi di tengah hubungan orang tua dan anak, akan memberikan perasaan pada anak bahwa dirinya diterima, ditanggapi dengan tepat, dan secara emosional terkait tepat dengan orang tuanya. Sebaliknya, pengalaman ketidak-selarasan emosional berulang akan mendorong anak untuk tidak mengekspresikan bahkan tidak merasakan emosinya. Keselarasan emosional tidak diperagakan dengan sekedar menirukan apa yang dilakukan bayi atau anak. Ia diwujudkan dengan menampilkan kembali perasaan-perasaan mendalam bayi atau anak itu. Hubungan konseli-konselor/terapist dijalin untuk memberikan kembali pengalaman keselarasan emosional kepada konseli. Dalam kajian psikoanalisis, penghadiran kembali pengalaman keselarasan emosional ini oleh therapist/konselor terhadap konselinya disebut miroring.
Martin Hoffman menegaskan bahwa akar-akar moralitas terdapat dalam empati, karena empati terkait dengan pertimbangan moral ketika manusia menghadapi dilema calon korban, yaitu mereka yang sedang dalam kesakitan, bahaya, atau kekurangan. Sejak usia dua tahun, ketika anak sudah bisa menyadari bahwa dirinya bukanlah orang lain, ia makin bisa berempati. Pada akhir masa kanak-kanak, empati meluas dan bisa terarah ke penderitaan kelompok. Pada masa remaja kemampuan empati bertumbuh kembang menjadi keyakinan untuk meringankan penderitaan dan mengurangi ketidak-adilan. Ini semua melandasi tindakan altruistik manusia yang memiliki empati.
Dalam perkembangannya, empati menjadi terbukti bagian penting juga dalam proses belajar mengajar. Untuk menjadi pengajar yang efektif, orang perlu memiliki kemampuan ini. Seorang pengajar memerlukan empati untuk memahami kondisi muridnya untuk dapat membantunya belajar dan memperoleh pengetahuan. Pengajar yang tidak memahami perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, motif-motif dan orientasi tindakan muridnya akan sulit untuk membantu dan memfasilitasi kegiatan belajar murid-muridnya.
Unsur-unsur Empati
Secara umum, unsur-unsur empati adalah sebagai berikut:
Imajinasi yang tergantung kepada kemampuan membayangkan; di sini imajinasi berfungsi untuk memungkinkan pengandaian diri seseorang sebagai orang lain.
Adanya kesadaran terhadap diri sendiri (self-awareness atau self-consciousness); secara khusus pandangan positif terhadap diri sendiri, secara umum penerimaan (dalam arti pengenalan) apa adanya terhadap kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
Adanya kesadaran terhadap orang lain; pengenalan dan perhatian terhadap orang lain; secara khusus pandangan positif terhadap orang lain, secara umum penerimaan apa adanya terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain.
Adanya perasaan, hasrat, ide-ide dan representasi atau hasil tindakan baik pada orang yang berempati maupun pada orang lain sebagai pihak yang diberi empati disertai keterbukaan untuk saling memahami satu sama lain.
Ketersediaan sebuah kerangka pikir estetis; ini merupakan dasar untuk menampilkan respons yang dianggap pantas dan memadai agar kesesuaian antara orang yang berempati orang yang menjadi sasaran empati dapat tercapai (agar tidak menjadi pelanggaran privasi atau perilaku sok tahu); kerangka pikir estetis selalu tergantung pada budaya, masyarakat dan konteks jaman.
Ketersediaan sebuah kerangka pikir moral; dalam konteks pendidikan kerangka ini merupakan panduan untuk pembentukan dan pengembangan kompetensi dan karakter guru dan murid; juga tergantung kepada budaya masyarakat dan konteks jaman.
Empati, baik untuk pengajar maupun pelajar, semakin diperlukan dalam pendidikan dalam upaya mencapai keberhasilan proses pembelajaran. Jika kita bertanya apa karakteristik dari pelajar yang sukses maka banyak ahli psikologi pendidikan menjawab: berpengetahuan, mampu menentukan diri sendiri, strategis dan empatik (Jones, 1990).
Empati, merujuk Jones (1990), penting karena para profesional yang sukses dalam bidang apapun (termasuk dosen sebagai peneliti dan akademisi) menunjuk kemampuan komunikasi agar sukses dalam pekerjaannya. Mereka juga mampu memandang diri sendiri dan dunia dari sudut pandang orang lain. Artinya mereka mampu mencermati dan menilai keyakinan-keyakinan dan keadaan-keadaan orang lain dengan tetap berpegang kepada tujuan mengembangkan pemahaman dan penghargaan.
Dari segi sosial, empati menjadi lebih penting lagi bagi seorang pengajar. Hilangnya empati dapat melahirkan kecenderungan pengajar melakukan abuse dan eksploitasi terhadap murid-muridnya. Kuatnya empati pada seorang pengajar merupakan indikansI dari kesadaran diri, identitas diri yang sehat, penghargaan diri yang terkelola dengan baik, dan kecintaan terhadap diri sendiri dalam arti positif. Di sisi lain, empati menunjukkan juga adanya kematangan kognitif dan afektif dalam memahami orang lain, kemampuan mencintai dan menghargai orang lain, serta kesiapan untuk hidup bersama dan saling mengembangkan dengan orang lain. Empati merupakan 'tembok karang' moralitas seorang pengajar, bahwa ia mengajar, mengabdikan dirinya untuk mengembangkan murid-muridnya, bukan untuk memanfaatkan dan mengambil untung dari mereka.
Goleman mengetengahkan semacam biopsikososiogenesis empati (tinjauan tentang kemunculan dan tumbuh-kembang empati pada perspektif biologis, psikologis, sosial). Bahasan akar-akar empati oleh Goleman tidak dilakukan pada perspektif konseling atau psikoterapi, tetapi lebih mengetengahkan empati sebagai nilai kemanusiaan. Dalam kajian konseling dan psikoterapi betapa ditegaskan pentingnya peran empati. Keefektifan proses konseling tak dapat dipungkiri antara lain ditentukan oleh kemampuan empati konselor atau psikoterapis. Kemampuan empati tidak hanya sebatas merasakan bagaimana perasaan orang lain, tetapi juga memerlukan kemampuan mengartikulasikan perasaan tersebut, sehingga orang lain merasa dipahami (Blatner, 2002).
Salah satu cara dari berbagai teknik yang ada untuk mengembangkan kemampuan empati adalah dengan teknik bermain peran. Role play atau bermain peran dinilai sebagai teknik yang efektif dan akan membantu anak membentuk pemahaman yang lebih dalam dan fleksibel (Harris, 1990), misal bagaimana rasanya berada pada posisi sebagai orangtua, guru, teman yang dikucilkan.
Pada perspektif kesadaran multikultural yang semakin diperlukan di tengah pendidikan, pelatihan, penelitian dan praktik konseling masa kini, pendidikan-pelatihan konselor perlu mengejawantahkan berbagai upaya di antaranya:
Pencurahan pengalaman penyetalaan emosional (attunement) hari demi hari.
Praktik pendisiplinan yang berpretensi mengajak individu memahami penderitaan psikologis orang lain serta;
Penampakan berulang teladan tanggapan empatik yang tepat terhadap orang lain yang memerlukan.
Ketiga upaya pokok diatas itu perlu ditumbuh-kembangkan dalam iklim relasi pada setiap pendidkan-pelatihan para calon konselor agar iklim relasi ini dapat berperan korektif terhadap kemungkinan defisiensi empati pada para calon konselor serta berperan menumbuhkembangkan kemampuan empati setiap calon konselor.
Empati sangat dibutuhkan dalam relasi terapeutik. Bahkan dalam terapi client centered, iklim terapi yang diwarnai empati menjadi syarat utama yang akan memberi efek mendukung bagi tumbuhnya konsep diri positif pada konseli atau konseli, sehingga konseli dapat mengatasi persoalannya sendiri. Lebih lanjut dapat diungkapkan bahwa mengingat pentingnya kemampuan empati dalam hubungan antar manusia, maka upaya melatih dan mengembangkan empati di keluarga-keluarga, sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya perlu dilakukan sedini mungkin.
Syarat petugas bimbingan, dalam hal ini adalah seorang konselor di sekolah diantaranya adalah sifat kepribadian konselor. Seorang konselor harus memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian konselor sangat berperan dalam usaha membantu siswa untuk tumbuh. Banyak penelitian telah dilakukan oleh sejumlah ahli tentang ciri-ciri khusus yang dibutuhkan oleh seorang konselor. Sifat-sifat kepribadian konselor diantaranya:
Konselor adalah pribadi yang intelegen, memiliki kemampuan berpikir verbal dan kuantitatif, bernalar dan mampu memecahkan masalah secara logis dan perspektif.
Konselor menunjukkan minat kerja sama dengan orang lain, di samping seorang ilmuwan yang dapat memberikan pertimbangan dan menggunakan ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku individual dan sosial.
Konselor menampilkan kepribadian yang dapat menerima dirinya dan tidak akan menggunakan konselinya untuk kepuasan kebutuhan pribadinya melebihi batas yang ditentukan oleh kode etik profesionalnya.
Konselor memiliki nilai-nilai yang diakui kebenarannya sebab nilai-nilai ini akan mempengaruhi perilakunya dalam situasi konseling dan tingkah lakunya secara umum.
Konselor menunjukkan sifat yang penuh toleransi terhadap masalah-masalah yang mendua dan ia memiliki kemampuan untuk menghadapi hal-hal yang kurang menentu tersebut tanpa terganggu profesinya dan aspek kehidupan pribadinya.
Konselor cukup luwes untuk memahami dan memperlakukan secara psikologis tanpa tekanan-tekanan sosial untuk memaksa konseli menyesuaikan dirinya.
Komunikasi. Situasi konseling menuntut reaksi yang adekuat dari pihak konselor, yaitu konselor harus dapat bereaksi sesuai dengan perasaan dan pengalaman konseli. Bentuk reaksi ini sangat diperlukan oleh konseli karena dapat membantu konseli melihat perasaanya sendiri.
Kepribadian konselor yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagai berikut, memiliki kemampuan:
Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan positif
Konselor harus bisa membedakan perilaku konseli yang dimana perilaku konseli tersebut merupakan sebuah pandangan atau persepsi konseli yang bisa diorientasikan sebagai pandangan yang positif.
Membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan negative
Seorang konselor dituntut untuk bisa mengerti dan memahami kondisi psikologis konseli, memahami disini bisa diartikan bahwa seorang konselor mampu membedakan pandangan-pangdangan yang diungkapkan konselinya mengenai dunia luar maupun pandangan-pandangannya terhadap dirinya sendiri.
Membedakan individu yang berpotensi dalam layanan bimbingan dan konseling
Konselor harus mampu membedakan mana konseli yang berpotensi dan mana konseli yang kurang menunjukkan adanya potensi diri.
Konselor yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia antara lain memiliki kemampuan:
Menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif gender dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
Menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif hak asasi manusia dalam pelayanan bimbingan dan konseling
Menerapkan perbedaan responsif perbedaan budaya konselor dengan konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling
Konselor yang menunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan dala kepribadian antara lain memiliki kemampuan:
Menerapkan toleran terhadap stres yang dialami konseli
Mengantisipasi berbagai tekanan yang menimpa diri
Melakukan coping terhadap berbagai tekanan yang menimpa diri
Konselor yang mnunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan dalam kepribadian antara lain memiliki kemampuan:
Menampilkan kepribadian dan perilaku seperti berwibawa, jujur, sabar, ramah, dan konsisten
Menampilkan kepribadian dan perilaku dalam menampilkan emosi yang stabil dengan mengontrol emosi diri secara tepat
Menampilkan kepribadian dan perilaku dengan merespon empati secara tepat
Konselor yang memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional antara lain memiliki kemampuan:
Dapat menjelaskan dan mengelola kekuatan dan keterbatasan pribadi dan professional.
Dapat menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan kewenangan profesional konselor
Berupaya meningkatkan kompetensi akademik dan profesional diri.
Kompetensi Akademik calon konselor meliputi kemampuan:
memahami konseli yang hendak dilayani
menguasai khasanah teoretik, konteks, asas, dan prosedur serta sarana yang
digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling
menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan,
mengembangkan profesionalitas sebagai konselor secara berkelanjutan yang dilandasi sikap, nilai, dan kecenderungan pribadi yang mendukung.
Komitmen profesional konselor terhadap komitmen etika profesional antara lain memiliki kemampuan:
Melaksanakan referal sesuai dengan keperluan
Mendahulukan kepentingan konseli daripada kepentingan pribadi konselor
Menjaga kerahasiaan konseli
Menurut Rogers dalam Konseling dan Psikoterapi (Gunarsa Singgih, 1992, hal. 72), empati bukan hanya sesuatu yang bersifat kognitif namun meliputi emosi dan pengalaman. Menurut Rogers empati konselor sebagai salah satu faktor kunci yang membantu konseli untuk memecahkan masalah personalnya. Ketika kita berempati kepada orang lain, kita meletakkan diri kita "in their shoes", melihat dunia dari mata mereka, membayangkan bagaimana bila menjadi mereka, dan berusaha merasakan apa yang mereka rasakan. Saat konseli melihat empati pada diri konselor, mereka akan lebih nyaman untuk dan tidak melakukan defend seperti penyangkalan, penarikan diri, dll. Artinya empati konselor mampu memfasilitsi perubahan pada konseli. Sebaliknya akan lebih mau membuka diri terhadap dunia luar dengan cara yang lebih konstruktif. Karena itulah istilah empati ditambah menjadi perkataan "emphatic understanding". Egan (1975, dalam Ivey et al, 1987) membedakan dua tipe untuk memahami "emphatic understanding", yakni:
Empati primer, adalah empati sebagaimana dikemukakan oleh Rogers. Membentuk fondasi dan atmosfer inti helping relationship. Termasuk mendengarkan semua pesan dan meresponnya. Kemampuan paraphrasing dan merefleksikan perasaan konselor dengan baik akan memulai dasar empati untuk memahami konseli. Contoh perkataan: " Sekarang saya bisa merasakan betapa sedih Anda pada waktu itu".
Empati lanjutan (advanced accurate emphaty). Memahami hal yang tersembunyi dari konseli, bentuk dasar dari empati lanjutan adalah memberi respon dan pemahaman terhadap hal yang tidak langsung dikatakan konseli. Di mana konselor memberikan lebih dari dirinya dan seringkali membutuhkan upaya langsung untuk mempengaruhi konseli. Karena informasi itu selalu subjektif bagi interpretasi individu, konselor harus menyusun kembali situasi, kepercayaan, atau pengalaman untuk membantu konseli melihatnya dari perspektif yang berbeda dan mengecek apakah interpretasi itu sudah benar. Latihan empati bertujuan agar calon konselor mampu memasuki dunia dalam konseli melalui ungkapan-ungkapan empati (PE dan AAE) yang menyentuh perasaan konseli. Jika demikian keadaannya maka konseli akan terbuka dan mau mengungkapkan dunia dalamnya lebih jauh baik berbentuk perasaan, pengalaman, dan pikiran.
Latihan Empati Konselor
Latihan mengosongkan diri calon konselor dari perasaan dan pikiran egoistik, dan masuk kedalam diri konseli dengan merasakan apa yang dirasakan konseli, berpikir bersama konseli, dan bukan merasakan dan memikirkan tentang konseli.
Melakukan Empati Primer (PE) dengan mengungkapkan:
"Saya dapat merasakan apa yang anda rasakan. "
"Saya memahami apa yang telah anda lakukan. "
"Saya mengerti apa yang anda inginkan. "
Melakukan empati tingkat tinggi (AAE) dengan mengatakan:
"Saya ikut terluka dengan penderitaan anda. Namun saya juga bangga dengan kemampuan daya tahan anda. "
"Saya seperti hadir di sana saat anda mengalaminya, saya bangga dengan keberhasilan anda. "
"Saya ikut terhina dengan pengalaman keji yang anda alami namun saya salut terhadap keuletan anda membela kebenaran. "
"Saya ikut kecewa dengan perlakuannya terhadap anda, namun saya yakin anda masih mempunyai iman untuk melupakannya. "
Dalam melakukan teknik empati pengamat harus secara tajam mengamati bahasa tubuh konselor. Jika bahasa tubuhnya dilakukan dengan baik, maka akan menunjang terhadap teknik empati. Selanjutnya akan membantu konseli terbuka dan terlibat di dalam hubungan konseling.
Latihan Empati bagi Calon Konselor
Sofyan S. Willis (2004: 87) menyatakan beberapa latihan khusus untuk membentuk kepribadian konselor. Yaitu melatihkan sifat-sifat (atribut) konselor yang dibutuhkan konseli agar dalam hubungan konseling, konselor menjadi efektif untuk mencapai tujuan konseling.
Latihan Empati
Di dalam empati, seorang konselor harus dapat merasakan apa yang dirasakan oleh konseli. Untuk mencapai tujuan tersebut, latihan empati merupakan latihan terpenting untuk membina kepribadian konselor agar mampu berkomunikasi dengan konseli dan dapat merasakan apa yang dirasakan konseli. Konselor harus dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami konseli. Untuk dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami konseli, seorang konselor haruslah berusaha:
Melihat kerangka rujukan dunia-dalam konseli (internal frame of reference) atau kehidupan internal konseli.
Menempatkan diri ke dalam kerangka persepsi internal konseli.
Merasakan apa yang dirasakan konseli.
Berpikir bersama konseli, bukan berpikir tentang atau untuk konseli.
Menjadi kaca emosional/cermin perasaan konseli (emotional mirror).
Keberhasilan empati adalah jika konseli dapat memahami empati konselor, sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya.
Aspek Intelektual,
Pada prinsipnya proses konseling memerlukan keterampilan intelektual yang tinggi pada konselornya. Berikut ini beberapa latihan intelektual yang dianggap penting, yaitu:
Latihan Intuisi
Intuisi adalah semacam kecerdasan untuk segera dan reflektif mengambil informasi yang ada dalam perilaku nonverbal (gerak, isyarat, wajah, getaran suara) dan verbal (kata, ucapan) orang lain terutama konseli. Konselor yang intuitif segera menangkap makna yang terkandung dalam perilaku verbal dan nonverbal. Untuk mencapai tahap kekuatan intuisi, seorang konselor hendaknya memiliki pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan melalui latihan.
Latihan Kemampuan Dramatik (Sense of Drama)
Kemampuan dramatik adalah dapat memerankan sesuatu peran tertentu dengan mengungkapkan gaya bicara, emosional, dan gerak nonverbal sesuai dengan tuntutan skenario. Jadi mirip seorang pemain drama.
Penghayatan terhadap peran yang dimainkan, berdampak terhadap calon konselor: (1) akan membuat kepekaan terhadap berbagai perilaku konselinya terutama nonverbal; (2) sebagai wahana penyaluran perasaan dan ide sehingga membantu konselor untuk menjadi asli dan jujur (genuine), dan terbuka (self-disclosure).
Konsep Empati Budaya Dalam Keefektifan Konseling
Suatu cross cutting affiliation, biasanya akan menghasilkan cross cutting loyalities. Cross cutting loyalities adalah terbentuknya loyalitas pada hubungan silang budaya yang sudah terbentuk, oleh karena itu, sampai pada suatu tingkat tertentu, masyarakat Indonesia telah terintegrasi meskipun tumbuhnya bangsa, agama, daerah dan pelapisan sosial. Toleransi dan empati akan membawa pemahaman mengenai berbagai perbedaan yang menjadi sumber daya yang tak ternilai. Empati berpotensi untuk mengubah perbedaan menjadi saling memahami dan mengerti secara mendalam.
Setelah memaparkan deskripsi mengenai budaya dan empati, selanjutnya akan dibahas mengenai empati budaya secra inklusif. Empati budaya inklusif (inclusive cultur empathy) menjelaskan perspektif dinamis yang menyeimbangkan persamaan dan perbedaan pada saat yang sama yaitu mengintegrasikan keterampilan yang dikembangkan untuk membina pemahaman yang komprehensif dan mendalam mengenai hubungan konseling dalam konteks budayanya, ICE memiliki dua fitur terdefinisi:
Budaya didefinisikan secara luas untuk mencakup guru budaya dari etnografi konseli (etnis dan kebangsaan), demografis (umur, jenis kelamin, gaya hidup, tempat tinggal), status (social, pendidikan, ekonomi) dan latar belakang afiliasi (formal atau informal).
Hubungan konseling empatik menghargai berbagai perbedaan dan persamaan atau fitur positif dan negatif sebagai kontribusi terhadap kualitas hubungan dalam keseimbangan dinamis (Pedersen, dkk. , 2008).
Hambatan-Hambatan dalam empati budaya, menurut Zhu (2011), empati antar budaya tidak berarti menyingkirkan budaya asli seseorang, tetapi medrasionalkan pemahaman dan penerimaan terhadap perbedaan budaya yang ditunjukkan kepada target budaya tertentu. Berdasarkan pemahaman tersebut, kita bisa mengasumsikan beberapa penyebab utama yang terlibat dalam proses budidaya empati antarbudaya:
Tidak adanya kesadaran dari target budaya tertentu, dan kurangnya kontak dengan orang dari budaya itu
Terlalu menekankan universalitas budaya, tetapi mengabaikan perbedaan antara mereka
Perbedaan dalam pola berpikir masyarakat dan transfer negatif mereka ke dalam budaya sasaran ketika belajar bahasa sasaran
Adanya kesembarangan penerapan adat budaya mereka dengan budaya target.
Untuk lebih spesifik, faktor-faktor berikut memberikan kontribusi terhadap hambatan empati antar budaya.
Stereotip
Stereotip adalah hasil dari interaksi budaya dan misperception. Persepsi kelompok dibentuk oleh sistem nilai pribadi mereka melalui skema kognitinya. Positif stereotip, seperti "cerdas" dan "ambisius, " dan stereotip negatif, seperti "terbelakang" dan "malas", menandakan keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu dan memungkinkan individu untuk secara kognitif memilah-milah banyak informasi berdasarkan fitur yang menonjol pada diri mereka. Meskipun stereotip tidak boleh diterapkan untuk menggambarkan perilaku individu (harus diterapkan pada norma perilaku untuk seluruh kelompok.
Sebagai contoh, dalam masyarakat Amerika, memandang suatu stereotip tentang Cina bahwa mereka itu memiliki kecerdasan unggul di bidang matematika dan ilmu pengetahuan. Stereotip ini diperkuat dalam laporan berita bahwa siswa Cina-Amerika memiliki skor lebih tinggi pada ujian matematika. Stereotip memberikan kami harapan peran, yaitu bagaimana kita mengharapkan orang lain atau kelompok untuk berhubungan dengan kita dan untuk orang lain. "Budaya kita memiliki ratusan siap pakai stereotip, seperti: pemimpin yang dominan, pria sombong; ibu rumah tangga yang bagus tapi berkepala kosong; Pria Perancis adalah pria romantis; Germanys yang ketat; Amerika kausal; Jepang adalah pekerja keras dan lain-lain. Tentu saja, kadang-kadang seorang pemimpin atau ibu rumah tangga atau Jerman agak seperti stereotip tetapi merupakan ketidakadilan untuk secara otomatis menganggap mereka semua. Bahkan, ketika orang berstereotip, mereka cenderung memperkuat perilaku tertentu yang dilakukan oleh kelompok tertentu tetapi mengabaikan banyak kesamaan.
Prasangka
Prasangka adalah penilaian prematur atau sikap negatif terhadap seseorang atau sekelompok orang yang tidak didasarkan pada fakta. Biasanya didasarkan pada stereotip yang disederhanakan dan lebih umum pandangan kelompok atau jenis orang (Tucker-Ladd, Clayton E). Prasangka yang mungkin didasarkan pada emosional atau stereotip pribadi mereka sendiri. Sebagai contoh, di mata sebagian orang Amerika, Hispanik adalah pemalas. Beberapa orang Amerika juga menggambarkan terutama kulit hitam sebagai anggota geng dan pengedar narkoba dan ini diperkuat sebagai stereotip. Ketika kita berprasangka, kita melanggar tiga standar: alasan, keadilan, dan toleransi. Orang berprasangka mungkin menjadi korban kesalahan dalam pengolahan dan mengingat informasi mengenai obyek-obyek perasaan negatif mereka.
Kurangnya kepekaan budaya
Sensitivitas lintas budaya adalah kualitas menyadari dan menerima budaya lain. Seseorang yang tidak secara budaya sensitif dipidana dengan mengabaikan perbedaan antara budaya mereka dan orang lain, dan sebagai akibatnya, kebodohan dapat mempengaruhi hubungan mereka dan cara mereka berkomunikasi satu sama lain. Misalnya, ada Perusahaan Amerika yang memproduksi bola golf bola dikemas dalam kemasan empat. Mereka sukses dan mulai menjual secara internasional. Namun kinerja penjualan mereka tidak berhasil di Jepang, di mana jumlah empat memegang makna kematian.
Sensitivitas budaya tidak berarti bahwa seseorang hanya perlu menyadari perbedaan untuk berinteraksi efektif dengan orang dari budaya lain. Melainkan menyadari bahwa perbedaan budaya dan persamaan ada dan memiliki efek pada nilai-nilai, pembelajaran dan perilaku. Kurangnya kepekaan budaya disebabkan oleh faktor-faktor berikut: ketidaktahuan perbedaan dalam pola piker dan ketidaktahuan perbedaan nilai, norma dan keyakinan
Ringkasan
Empati merupakan kemampuan konselor untuk memahami permasalahan konseli, melihat melalui sudut pandang konseli dan latar belakang budayanya, peka terhadap perasaan-perasaan konseli, sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaanya. Konselor diharapkan dapat memahami permasalahan konseli tidak hanya pada permukaan, tetapi lebih dalam pada kondisi psikologis konseli. Jika ketiga kondisi diatas dapat dimunculkan oleh konselor sebagai kualitas dalam hubungan teurapeutik, dengan demikian, dapat diprediksikan aktivitas yang akan dialami konseli dalam konseling adalah menjajaki perasaan dan sikapnya secara mendalam.
Unsur-unsur empati meliputi: imajinasi yang tergantung kepada kemampuan membayangkan, adanya kesadaran terhadap diri sendiri, adanya kesadaran terhadap orang lain; Adanya perasaan, hasrat, ide-ide dan representasi atau hasil tindakan baik pada orang yang berempati maupun pada orang lain, ketersediaan sebuah kerangka pikir estetis, etersediaan sebuah kerangka pikir moral;
Kepribadian konselor yang perlu dimiliki dalam kemampuan empati adalah kemampuan, membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan positif, membedakan perilaku yang menggambarkan pandangan negatip, membedakan individu yang berpotensi dalam layanan bimbingan dan konseling, menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif gender dalam pelayanan bimbingan dan konseling, menerapkan perbedaan budaya yang berperspektif hak asasi manusia dalam pelayanan bimbingan dan konseling, menerapkan perbedaan responsif perbedaan budaya konselor dengan konseli dalam pelayanan bimbingan dan konseling, konselor yang menunjukkan integritas kepribadian yang kuat adalah ditunjukkan dala kepribadian antara lain memiliki kemampuan, konselor yang memiliki kesadaran terhadap komitmen profesional terhadap komitmen etika professional.
Memahami tipe untuk memahami dibedakan empati primer, dan empati lanjutan. Latihan empati bagi calon konselor diantaranya melatihkan sifat-sifat (atribut) konselor yang dibutuhkan konseli agar dalam hubungan konseling, konselor menjadi efektif untuk mencapai tujuan konseling. Keberhasilan empati adalah jika konseli dapat memahami empati konselor, sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya. Proses konseling memerlukan keterampilan intelektual yang tinggi pada konselornya, latihan intelektual yang dianggap penting dalam latihan intuisi dan latihan kemampuan
Latihan
Konsep Empati
Jelaskan pengertian empati menurut pendapat saudara
Mengapa konselor perlu mengembangan empatinya ?
Apa yang perlu diperhatikan agar konselor memiliki kemampuan empati yang tepat ?
Unsur-unsur empati
Sebutkan unsure-unsur empati itu ?
Goleman mengetengahkan biopsikososiogenesis empati yang perlu dimiliki konselor apa maksudnya ?
Apa yang menadi persyaratan kepribadian konselor agar memiliki empati yang tinggi?
Empati konselor.
Apakah ada perbedaan jenis-jenis empati ? sebutlkan!
Apa yang perlu dilatihkan agar konselor mampu memiliki empati yang tinggi ?
Apa yang perlu diperhatikan konselor tentang empati dalam konteks budaya ?
BAB III
PENGEMBANGAN REFLEKSI INTEGRITAS PRIBADI DAN STABILITAS KEPRIBADIAN KONSELOR
Kompetensi Dasar:
Setelah membahas materi ini mahasiswa dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen dalam refleksi integritas pribadi konselor stabilitas kepribadian konselor
Dalam kegiatan konseling diharuskan terjalin hubungan antara konselor dengan konseli sehingga tercapai konseling yang efektif. Konseling yang efektif ditandai dengan adanya konselor, konseli, interaksi, proses (tujuan, kondisi, tahap dan materi), output, evaluasi. Hal tersebut tidak akan berjalan dengan lancar apabila tidak didukung dengan hubungan yang baik dalam konseling tersebut. Konseling itu akan efektif maka diperlukan pengalaman dan memiliki dan kompetensi yang tinggi disamping harus memiliki pribadi yang mempunyai integritas dan stabilitas pribadi konselor agar proses konseling bisa berjalan dengan lancer dan konselor bersikap professional.
Integritas Konselor
Kepribadian meski banyak para ahli dengan berbagai cara pandang tentang kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik. Pada awalnya manusia itu lahir hanya membawa "personality" atau kepribadian. Secara umum kepribadian ada empat macam meskipun banyak teori yang menggunakan istilah yang berbeda, tetapi polanya tetap sama. Secara umum kepribadian dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
Koleris: tipe ini bercirikan pribadi yang suka kemandirian, tegas, berapi-api, suka tantangan, bos atas dirinya sendiri.
Sanguinis: tipe ini bercirikan suka dengan hal praktis, happy dan ceria selalu, suka kejutan, suka sekali dengan kegiatan social dan bersenang-senang.
Phlegmatis: tipe ini bercirikan suka bekerjasama, menghindari konflik, tidak suka perubahan mendadak, teman bicara yang enak, menyukai hal yang pasti.
Melankolis: tipe ini bercirikan suka dengan hal detil, menyimpan kemarahan, perfection, suka instruksi yang jelas, kegiatan rutin sangat disukai.
Kepribadian konselor yang memiliki criteria sehat karakteristik kepribadiannya yang di kemukakan para ahli kepribadian, maka memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Menerima diri apa adanya, meskipun mengubah bagian dari diri sendiri
Memiliki citra diri mendasar, cinta-diri, cermat kesadannya tinggi
Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan siapapun
Menunjukkan pengertian dan kasih sayang
Bisa mendengarkan orang lain dengan kesabaran
Cukup kreatif
Semangat luar biasa
Fungsi otaknya menakjubkan
Kualitasnya baik secara fisik dan intelektual
Memiliki kebajikan yang sangat handal dan dapat diandalkan
Memiliki keyakinan yang besar
Pikirannya mencerminkan "mendengarkan" nuraninya menganggapnya sebagai kebenaran.
Yakin dan melakukan hal-hal sesuai pikirannya sendiri
Selalu waspada, penasaran dan ingin tahu, sering mencari dan belajar akan hal baru
Kepribadian menarik seperti magnet
Sikap positif dan pesona rileks membuatnya cukup ramah, populer di manapun berada
Logikanya dan kehadiran pikiran hebat
Pemberani, menghargai kepribadiannya, tubuhnya, penampilannya, kepentingannya prestasinya keyakinannya dan nilai-nilai dirinya
Membiarkan dirinya percaya dan terbuka pada orang yang tepat
Tidak merasa takut diketahui lebih mendalam pada tingkat pribadi
Waspada agar tidak dimanfaatkan oleh yang tidak ingin ia sejahtera
Menikmati keberadaannya dengan orang lain, terutama dalam menikmati hubungan romantis
Integritas
Kata "integritas" berasal dari kata sifat latin integrer (langkap). Dalam konteks ini integritas adalah rasa batin "keutuhan" yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Dengan demikian, seorang dapat menghakimi bahwa orang lain "memiliki integrita " sejauh bahwa mereka bertindak sesuai dengan, nilai dan prinsip keyakinan mereka mengklaim memegang. Integritas (Integrity) adalah bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukan ini
Keterampilan integrasi mengacu pada kemampuan-kemampuan konselor untuk menerapkan strategi-strategi pada situasi-situasi khusus, sambil mengingat konteks budaya dan sosio-ekonomi konseli. Kemampuan konselor dibutuhkan untuk menggabungkan berbagai pendekatan untuk mengamati dan menangani konseli. Keterampilan integrasi dalam konseling, diperlukan agar konseling dapat berjalan dengan lancar, meskipun menghadapi berbagai rintangan, baik berupa rintangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya antara konselor dengan konseli. Karena konseling tidak hanya mengaitkan konselor dan konseli yang satu budaya saja, melainkan dapat berbeda-beda budaya. Menurut Abu ahmadi (2008), faktor-faktor pendorong integrasi adalah:
Faktor internal
Kesadaran diri (konselor) sebagai makhluk soial
Konselor harus selalu menyadari bahwa dirinya adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, antara individu satu dengan individu yang lain tidak dapat hidup sendiri. Maka dari itu, perlu dicamkan pada diri konselor, bahwa dirinya dan konseli adalah sama-sama makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, sehingga apabila ada konseli yang datang meminta bantuan kepada konseli, maka konselor akan merasakan bahwa konseli datang membutuhkan bantuannya karena konseli tersebut merupakan makhluk sosial yang juga tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan bantuannya, kemudian konselor akan melayani konseli dengan baik.
Tuntutan kebutuhan
Tuntutan kebutuhan bagi konselor adalah konseli. Disebut sebagai tuntutan kebutuhan, karena tanpa adanya konseli yang datang pada konselor untuk meminta bantuan (konseling), maka diri konselor atau peran sebagai konselor serasa tidak dibutuhkan. Maka dengan adanya konseli yang datang pada konselor untuk meminta "bantuan", dianggap sebagai kebutuhan untuk konselor.
Jiwa dan semangat membantu
Jiwa dan semangat membantu bagi konselor sangatlah penting, karena tanpa adanya dua hal tersebut, maka konselor seolah tidak mempunyai perasaan ingin membnatu konseli. Apabila ada konseli yang datang pada konselor, kemudian konselor sedang tidak mempunyai jiwa dan semangat membantu, maka konselor hanya akan mendampingi dan mendengarkan apa yang diceritakan oleh konseli, tanpa memerhatikan dengan baik. Maka dari itu, konselor harus selalu mempunyai jiwa dan semangat membantu pada setiap saat dan kesempatan.
Faktor eksternal
Persamaan kebudayaan
Sering ditemui apabila konselor menemui konseli yang satu etnik, dan bahasa, maka akan timbul perasaan persamaan kebudayaan pada konselor terhadap konseli tersebut, sehingga mendorong konselor untuk membantu dengan baik.
Persamaan visi, misi dan tujuan
Pada awal konseling, biasanya terdapat opening yang dilakukan oleh konselor, yang merujuk pada pertanyaan-pertanyaan seputar keseharian konseli. Dari sini, konselor dapat menemukan bahwa konseli yang sedang ada dihadapannya merupakan individu yang mempunyai visi, misi dan tujuan hidup tertentu. Contohnya pada hobi. Apabila konselor merasa konseli mempunyai minat dan hobi yang sama dengan dirinya, maka cenderung konselor akan merasa lebih senang dengan kondisi konseli tersebut, sehingga mengupayakan perbantuan dengan baik untuk konseli tersebut.
Sikap toleransi
Toleransi merupakan sikap positif yang harus dimiliki oleh seorang konselor yang notabene profesinya di bidang perbantuan. Adanya perasaan kemanusiaan pada diri konselor, dapat menunjang kepekaan perasaan konselor terhadap konseli. Sikap toleransi akan mendorong konselor agar dapat membantu konseli untuk memecahkan masalahnya dengan baik dan untuk mencapai kehidupan efektif sehari-hari konseli, tanpa membeda-bedakan status sosio-ekonomi dan budaya konseli.
Terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama
Individu menyadari bahwa dalam kehidupan bersama dengan masyarakat, akan ada interaksi dengan individu yang lainnya. Dalam kehidupan bersama inilah terjadi partisipasi antar individu dalam beragam bentuk. Salah satu partisipasi dalam kehidupan bersama ini adalah membantu individu lain yang sedang mengalami masalah.
Stabilitas
Stabilitas adalah kemantapan; kestabilan; keseimbangan: menciptakan suatu yang dinamis. Stabilitas kepribadian adalah kemantapan atau kekokohan pribadi yang positif dimana pribadi tersebut dapat mengendalikan emosi, percaya pada kemampuan diri, mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan baik serta mampu memecahkan konflik dengan bijak dan bersikap fleksibel.
Adapun karakteristik kepribadian yang stabil, yaitu:
Mampu mengendalikan emosi
Salah satu tolak ukur kepribadian yang stabil adalah kematangan emosi. Semakin matang emosi seseorang, akan kian stabil pula kepribadiannya. Pengendalian emosi merupakan kunci kestabilan pribadi. Ketidakmampuan seseorang mengendalikan emosi, terutama emosi negatif seperti marah, bisa menghambat interaksi seseorang dengan lingkungannya.
Mampu memupuk kepercayaan diri
Kepercayaan diri menentukan kualitas hidup seseorang, dan ini juga merupakan salah satu tolak ukur kepribadian. Kepercayaan diri yang tinggi, dapat dipastikan seseorang bisa mengarungi hidupnya dengan baik. Setidaknya bila menerima tantangan dan mengemban tanggungjwabanya tanpa dikuasai stress dan kecemasan. Dalam berguaul, tidak agresif tapi juga tidak pasif, sehingga, seseorang mampu memposisikan diri diantara kedua sifat tadi. Individu dengan kepribadian yang stabil relatif mudah diterima lingkungan karena sifatnya yang mudah bergaul terutama dalam berkomunikasi.
Mampu bersosialisasi dan beradaptasi.
Kemampuan bersosialisasi seseorang merupakan langkah awal dalam meniti kesuksesan yang ditentukan oleh banyaknya relasi yang sudah dijalin, banyaknya teman dan relasi serta mudah melakukan penyesuain diri yang berbeda peristiwa dan sesuai dengan norma lingkungannya.
Mampu mengatasi masalah atau konflik
Masalah atau konflik dalam kehidupan itu sulit dihindari. Kemampuan seseorang memecahkan konflik merupakan modal yang bagi seseorang. Semakin baik kemampuannya memecahkan konflik, maka kepribadiannya akan semakin seseorang stabil dan mengatasi konflik pada umumnya akan mudah mengatasinya baik masalah di sekolah, di rumah, ataupun kelak ditempat kerja.
Mampu bersifat fleksibel
Seseorang yang berkepribadian stabil maka perlu memiliki sifat fleksibel, tidak boleh memiliki sifat kaku. Jika ada rencana yang gagal, ia harus mampu mengantisipasi dengan rencana-rencana lain. Sikap kaku hanya akan meningkatkan kecemasan dalam diri. Berbeda, jika seseorang fleksibel bermanfaat bagi seseorang agar:
Mampu membuat dan merencanakan sesuatu secara tepat yang bijak.
Mampu mengukur sesuatu keberhasilan scara nyata
Mampu berinteraksi dalam segala kondisi dan dengan segala jenis kepribadin manusia.
Mampu mengubah segala sesuatu menjadi lebih positif.
Mampu menghadapi goncangan dan persoalan yang datag secara tiba-tiba.
Mempunyai strategi dan manajemen yang rapi dalam bekerja
Menguasai beragam model, metode dan gaya dalam berinteraksi
Kontrol Diri
Kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang akan membawa kearah positif bagi individu tersebut. Kontrol diri mengandung arti mengatur sendiri tingkah laku yang dimiliki. Menurut Bandura dan Mishel serta Carlson, kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam merespon situasi. Kontrol diri bisa diartikan sebagai proses yang terjadi ketika dalam situasi tanpa batasan dari lingkungan eksternal, anak melakukan suatu jenis perilaku yang sebelumnya sedikit tidak mungkin muncul dibandingkan prilaku alternatif lainnya. Kontrol diri juga dapat diartikan sebgai kemampuan untuk membimbing tingkah laku impulsive. Seseorang yang menjalankan kontrol diri memperlihatkan bahwa kebutuhan akhir telah disosialisasikan dan nilai-nilai budaya lebih penting dari hasrat manapun. Skinner berpandangan bahwa control diri merupakan sebuah urutan perilaku dimana organisme memanipulasi pengaruh-pengaruh lingkungan dalam kaitannya dengan mempelajari prinsip-prinsip untuk mengubah sebuah perilaku tertntu.
Suatu perilaku kadang kala menghasilkan konsekuensi yang positive akan tetapi juga dimungkinkan menghasilkan konsekuensi yang negative. Oleh karenanya kontrol diri selain berupa kemampuan untuk mendapatkan konsekuensi positif juga merupakan kemampuan untuk mengatasi konsekuensi negative.
Bentuk- bentuk Integritas Dan Stabilitas Pribadi Konselor
Penerapan didalam proses konseling, konselor diharapkan mempunyai berbagai macam bentuk- bentuk integritas dan stabilitas pribadi konselor yang meliputi:
Kualitas Pribadi Konselor
Kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi konselor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang efektif. Calon konselor dituntut untuk memfasilitaskan perkembangan pribadi mereka yang berkualitas, yang dapat bertanggung jawab. Cavanagh 1982 (dalam Syamsu Yusuf: 2009, 37) mengemukakan bahwa kualitas pribadi konselor ditandai dengan beberapa karakteristik yaitu: (a) pemahaman diri, (b) kompeten, (c) memiliki kesehatan psikologis, (d) dapat percaya, (e) jujur, (f) kuat, (g) hangat, (h) responsif, (i) sabar, (j) sensitif, dan (k) memiliki kesadaran yang holistik.
Karakteristik Konselor
Menurut Munro, dkk (1970) menyatakan bahwa tidak ada pola yang tegas tentang sifat-sifat atau ciri-ciri kepribadian yang harus dimiliki oleh konselor yang efektif, sekurang-kurangnya seorang konselor hendaknya memiliki sifat-sifat luwes, hangat, dapat menerima orang lain, terbuka, dapat merasakan penderitaan orang lain, mengenal diri sendiri, tidak berpura-pura, menghargai orang lain, tidak mau mengenang sendiri, dan obyektif. Munro, dkk (1979) mengatakan bahwa untuk menunjukkan sifat-sifat kepribadian konselor yang diinginkan dalam diri konselor adalah: (1) konselor sebagai model, (2) hubungan konseling, (3) Keberanian konselor melakukan konseling.
Konselor sebagai Model
Dalam konseling meniru perbuatan konselor serta mengambil hal-hal yang diyakininya baik untuk menjadi dirinya sendiri. Oleh sebab itu konselor hendaknya selalu menyadari dan menerima dirinya, nilai-nilainya, dan berbagai tingkah lakunya, sehingga penampilannya merupakan model yang mantap dan berguna bagi hubungan dan pemecahan masalah secara efektif.
Hubungan Konseling
Konselor yang efektif adalah mereka yang dapat menciptakan hubungan yang bersifat membantu dan tanpa tekanan dengan kliennya, sehingga konselor dank lien itu sama-sama dapat merasakan tentram dan aman untuk saling berhubungan secara bebas dan spontan.
Keberanian melakukan Konseling
Seorang yang sungguh-sungguh menjadi seorang konselor yang efektif yang harus menerima tanggungjawab dan ketidakpastian serta berani menempatkan dirinya sendiri dalam suasana yang mengandung resiko secara pribadi, resiko menyangkut perasaan, menyangkut hubungan orang lain.
Karakteristik konselor itu meliputi:
Sikap
Sikap konselor, Shertzet & Stone, (1980) dapat diringkas sebagai berikut:
Penerimaan diri konseling oleh konselor
Pandangan konselor tentang hakikat manusia.
Modifikasi terapi client-clientred.
pemahaman realitas.
Sikap emphati terhadap klien, menghormati klien secara wajar.
berorientasi kepada pribadi klien lebih berhasil daripada yang hanya berorientasi kepada masalah yang dihadapi klien.
mendorong perubahan kepribadian klien
Ras, Jenis Kelamin, dan Umur
Vontres menyatakan bahwa sulit membina hubungan konselor dan konseling bila berlainan ras. Ahli lain menyatakan bahwa konselor wanita lebih asertif, lebih aktif, dan lebih mendorong konseling kearah pemahaman diri.
Pengalaman
Kehas dan Moris meneliti konselor yang sebelumnya pernah menjadi guru. Menjadi guru bahwa ternyata menyebabkan ia lebih memahami konseling, namun ia mengalami kesulitan dalam hal peranannya.
Keterbukaan
Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara keterbukaan konselor dengan kemampuan konseling membuka diri.
Persepsi
Konseling yang berhasil menunjukkan adanya hubungan sosial yang lebih baik, dan ini disebabkan adanya persepsi yang lebih luas dari konselor.
Konsep Diri
Konselor yang tergolong baik, mempunyai konsep diri yang baik dengan cirri-ciri antara lain: memahammi dirinya, serius, sabar, bicaranya lunak, sadar akan kepribadiannya, lebih kekeluargaan dan semangat tidak mudah kondor.
Komunikasi
Komunikasi verbal atau non verbal dapat digunakan tergantung situasinya. Tingkah laku yang dapat menunjang komunikasi adalah hangat, empati, dan keaslian.
Ringkasan
Konselor dituntut memiliki integritas dan stabilitas dalam proses konseling yaitu sikap professional yang tidak melibatkan masalah pribadi yang di alami oleh konselor agar proses konseling dapat berjalan dengan lancar. Seorang konselor juga di tuntutun memilik karakteristik serta keperibadian tertentu
Integritas adalah rasa batin "keutuhan" yang berasal dari kualitas seperti kejujuran dan konsistensi karakter. Keterampilan integrasi dalam konseling, diperlukan agar konseling dapat berjalan dengan lancar, meskipun menghadapi berbagai rintangan, baik berupa rintangan fisik maupun konflik yang terjadi secara sosial budaya antara konselor dengan konseli.
Faktor-faktor pendorong integrasi adalah faktor internal meliputi (Kesadaran diri konselor sebagai makhluk soial, Tuntutan kebutuhan, Jiwa dan semangat membantu) dan faktor eksternal
Meliputi (persamaan visi, misi dan tujuan, sikap toleransi, terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama, persamaan kebudayaan, persamaan visi, misi dan tujuan, sikap toleransi, terbukanya kesempatan berpartisipasi dalam kehidupan bersama)
Stabilitas adalah kemantapan; kestabilan; keseimbangan: menciptakan suatu yang dinamis. Stabilitas kepribadian adalah kemantapan atau kekokohan pribadi yang positif dimana pribadi tersebut dapat mengendalikan emosi, percaya pada kemampuan diri, mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan baik serta mampu memecahkan konflik dengan bijak dan bersikap fleksibel.
Karakteristik kepribadian yang stabil, adalah konselor yang Mampu mengendalikan emosi terutama emosi negatif seperti marah, bisa menghambat interaksi seseorang dengan lingkungannya, Mampu memupuk kepercayaan diri, Mampu bersosialisasi dan beradaptasi, Mampu mengatasi masalah atau konflik, Mampu bersifat fleksibel.
Konselor yang berkepribadian stabil maka perlu memiliki sifat fleksibel, tidak boleh memiliki sifat kaku. Konselor yang fleksibel bermanfaat bagi konseli bermanfaat mampu: membuat dan merencanakan sesuatu secara tepat yang bijak, mengukur sesuatu keberhasilan scara nyata, berinteraksi dalam segala kondisi dan dengan segala jenis kepribadin manusia, mengubah segala sesuatu menjadi lebih positif, menghadapi goncangan dan persoalan yang datag secara tiba-tiba, Mempunyai strategi dan manajemen yang rapi dalam bekerja, menguasai beragam model, metode dan gaya dalam berinteraksi
Konselor yang memiliki ketabilan pribadi maka konselor itu mampu control diri. kontrol diri diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang akan membawa kearah positif bagi individu tersebut. Suatu perilaku kadang kala menghasilkan konsekuensi yang positive akan tetapi juga dimungkinkan menghasilkan konsekuensi yang negative. Oleh karenanya kontrol diri selain berupa kemampuan untuk mendapatkan konsekuensi positif juga merupakan kemampuan untuk mengatasi konsekuensi negative.
Bentuk-bentuk integritas dan stabilitas pribadi konselor meliputi; kualitas pribadi konselor yang ditandai karakteristik pemahaman diri, kompeten, memiliki kesehatan psikologis, dapat percaya, jujur, kuat, hangat, responsif, sabar, sensitif dan memiliki kesadaran yang holistik. Ciri-ciri kepribadian yang harus dimiliki oleh konselor yang efektif, sekurang-kurangnya seorang konselor hendaknya memiliki sifat-sifat kepribadian konselor yang diinginkan konselor sebagai model, melakukan hubungan konseling, dan keberanian konselor melakukan konseling. konselor yang sungguh-sungguh menjadi seorang yang efektif yang harus menerima tanggungjawab dan ketidakpastian serta berani menempatkan dirinya sendiri dalam suasana yang mengandung resiko secara pribadi, resiko menyangkut perasaan, menyangkut hubungan orang lain. Sdan efektif melakukan komunikasi verbal atau non verbal dapat digunakan tergantung situasi dan menunjang komunikasi menjadi hangat, empati, dan keaslian.
Latihan
Konsep integritas dan stabilitas pribadi konselor
Jelaskan pengertian integritas dan stabilitas pribadi?
Mengapa konselor perlu memahami integritas dan stabilitas pribadi?
Jelaskan faktor-faktor pendukung integritas dan stabilitas pribadi konselo?
Bentuk-bentuk integritas dan stabilitas pribadi konselor
Apa sajakah bentuk-bentuk integritas konselor
Apa sajakah bentuk-bentuk stabilitas pribadi konselor?
Bagaimanakah cara agar konselor dapat menjaga integritas dan stabilitas pribadi konselor
Pengelolaan integritas dan stabilitas pribadi konselor
Apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan integritas peribadi konselor itu ?
Apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan stabilitas pribadi konselor itu ?
Bagaimanakah cara agar konselor dapat pengelolaan integritas dan stabilitas pribadi konselor yang efektif?
BAB IV
PENGEMBANGAN PRIBADI TERHADAP TOLERANSI
STRES DAN FRUSTASI
Kompetensi Dasar
Setelah membahas materi ini mahasiswa dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam stress dan frustrasi
Pengembangan Toleransi Stress
Dewasa ini setiap orang berbicara tentang stress. Kita mendengar topik inisebagai bahan pembicaraan sehari-hari, baik di radio, televisi, surat kabar dandiberbagai konferensi maupun di kalangan Universitas. Sayangnya hanya sedikit saja orang yang mengerti konsep stres yang benar. Sebagaian orang menganggap stress sebagai frustasi atau ketegangan emosi. Secara umum pengertian stress adalah suatu bentuk ketegangan yang mempengaruhi fungsi alat-alat tubuh. Stres dalam kehidupan tidak dapat dihindarkan. Masalahnya adalah bagaimana seseorang itu hidup dengan stres tanpa harus mengalami distres.
Perubahan-perubahan sosial yang cepat sebagai konsekuensi modernisasi mempunyai dampak pada kehidupan. Tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut, pada gilirannya dapat menimbulkan ketegangan atau stres pada dirinya. Stres sendiri merupakan hasil dari perkembangan teknologi yang demikian cepatnya dalam abad ke dua puluh satu ini, suatu ironi kehidupan. Manusia menciptakan berbagai macam produk untuk meningkatkan taraf hidupnya, untuk hidup lebih efisien, namun dalam proses memproduksi berbagai macam produksi, manusia harus menghadapi berbagai macam kondisi, yang dapat menimbulkan stres yang lebih banyak.
Seorang yang menderita stres, selain terwujud dalam berbagai macam penyakit, dapat pula terungkap melalui ketidak mampuannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga menderita gangguan kecemasan, depresi dan gangguan psikosomatik. Penderitaan fisik dan/atau psikik menyebabkan orang tak dapat berfungsi secara wajar, tak mampu berprestasi tinggi dan sering menjadimasalah bagi lingkungannya (di rumah, di tempat kerja atau lingkungan sociallain), merupakan akibat dari stres yang berkelanjutan.
Stres adalah suatu kondisi dimana keadaan tubuh terganggu karena tekanan psikologis. Biasanya stres dikaitkan bukan karena penyakit fisik tetapi lebih mengenai kejiwaan. Akan tetapi karena pengaruh stres tersebut maka penyakit fisik bisa muncul akibat lemahnya dan rendahnya daya tahan tubuh pada saat tersebut.
Berbagai defenisi mengenai Stress telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya. Menurut Selye, stres merujuk pada suatu reaksi yang kompleks di pihak organisme terhadap pengaruh atau dampak non-spesifik dari lingkungan (pengaruh atau dampak itu dinamakan "stresor" atau "stimulus"). Sesuai dengan berat ringannya stres dan lama. singkatnya stres berlangsung, tubuh menanggapinya dalam tiga tahap.
Tahap "reaksi peringatan atau alarm" (tanggapan terhadap bahaya).
Tanggapan ini berfungsi untuk mengerahkan sumber daya tubuh melawan stres. Pada awal tanggapan terhadap bahaya itu, untuk sesaat reaksi tubuh turun dibawah normal. Misalnya, tekanan darah, detak jantung, pernapasan berkurang. Tetapi reaksi tubuh itu segera berbalik naik. Darah mengalir lebih cepat, jantungberdetak lebih cepat, pernafasan lebih cepat, keringat banyak keluar.
Hal ini terjadi misalnya waktu kita menghadapi keadaan darurat misalnya hampirterlanggar kendaraan waktu mau menyeberang jalan. Pada tahap ini, biasanyaorang berjuang mengatasi stres dengan melawan (fight) atau lari (flight) dari sumber stres. Reaksi tubuh terhadap stres yang tinggi ini tak mungkin bertahan lama. Maka bila stres terlalu keras dan tak terhindarkan, serta reaksi tubuh yang intens tetap tak berkurang, organisme tubuh dapat hancur dalam beberapa saat, jam atau hari.
Tahap "adaptasi atau resistensi"
Gejala-gejala semula menghilang. Terjadi penyesuaian dengan perubahan lingkungan, dan bersangkutan dengan ini terciptalah suatu peninggian "daya tahan". Dampak stresor atas organisme berkurang atau dinetralisasi. Tubuh tidak banyak menunjukkan gejala-gejala stres, seolah-olah biasa saja. Tetapi tubuh yang sudah menahan stres itu menjadi lemah jika menghadapi stres baru, sehinggamudah terkena penyakit.
Tahap "kelelahan" (exhaustion)
Cadangan adaptasi yang tersedia dalam organisme telah terpakai habis. Sekarang timbul penyakit misalnya hipertensi, tukak lambung, encok, asthma, reaksi allergi, penyakit jantung dan disebut sebagai "penyakit adaptasi".
Faktor-Faktor Penyebab Stress (Stressor)
Faktor Biologis. Faktor ini juga terbagi kedalam beberapa tipe,
Gen. Keadaan individu pada masa konsepsi dipengaruhi oleh sikap dan perilaku Ibu. Bagaimana ibu berperilaku ketika sedang hamil, dan asupan gizinya apakah sudah terpenuhi atau malah defisiensi. Ketika seorang ibu stress, otomatis bayi yang dikandungnyapun akan ikut stress pula. Dan kebanyakan hal ini tidak disadari oleh si Ibu sehingga pada saat melahirkan Ibu malah menyalahkan proses persalinan ketika anaknya cacat fisik atau cacat mental.
Penyakit. Karena mempunyai penyakit langka, sulit disembuhkan bahkan tak ada obatnya, seseorang bisa saja mengakhiri hidupnya pada tali gantungan atau meminum racun. Penyakit yang membuat seseorang merasa tak berguna dan tak mungkin sembuh bisa menjadi sebuah stressor.
Tidur. Obat capek yang paling manjur adalah tidur. Ketika porsi tidur seseorang tidak terpenuhi, maka akan terjadi tekanan dalam diri orang tersebut ditandai dengan sensitivitas yang lebih tinggi dari biasa, pusing, sulit beradaftasi dengan lingkungan dan belum menyadari dimana berada. Hal tersebut akan menimbulkan stress baik pada tingkat ringan atau tinggi.
Postur tubuh. Kebanyakan, stressor ini menyebabkan perempuan ingin melakukan apa saja untuk mendapatkan postur tubuh yang diinginkan. Jika tidak terpenuhi, maka akan terjadi konflik dan tegangan atau stress.
Kelelahan. Faktor ini tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu faktor penyebab stress yang paling utama. Ketika seseorang merasa kelelahan, maka hal yang ingin segera dipenuhi adalah beristirahat. Ketika keinginannya tidak terpenuhi maka akan terjadi tegangan dan menimbulkan efek yang berbahaya.
Faktor Psikologis
Frustasi. Sudah sangat jelas bahwasannya frustasi adalah penyebab seseorang mengalami stress. Ketika seseorang kecewa dengan apa yang dia dapatkan, atau gagal dalam meraih apa yang diinginkan maka banyak kemungkinan, orang itu akan mengalami frustasi. Frustasi ditandai dengan menurunnya semangat hidup.
Perasaan dan Emosi. Marah, mudah tersinggung, merasa tidak nyaman, merasa tidak aman, sedih, merasa bersalah dan lain-lain adalah contoh perasaan dan emosi yang dapat menimbulkan stress.
Pengalaman Hidup. Perpisahan dengan orang yang dicintai adalah stressor dari psikologis yang paling banyak mempengaruhi tingkat kesadaran sesorang. Segala hal yang terjadi dalam kehidupan seseorang yang tidak sesuai dengan yang diinginkan biasanya akan menimbulkan stress.
Keputusan Perilaku. Salah mengambil keputusan membuat orang merasa takut dan tak mau lagi menjalani hidupnya. Salah pengambilan keputusan ini menjadi salah satu faktor dari segi psikologis yang dapat menyebabkan seseorang terkena stress.
Respon Perlawanan. Ketika seseorang melawan hal yang terjadi namun dia tetap tidak merubah keadaan. Disaat itu, seseorang akan merasa down dan tidak berguna. Stress orang-orang seperti itu.
Faktor Sosial
Keluarga. Faktor yang menyebabkan stress dari keluarga misalnya adalah terjadi kesalahan pada pola asuh yang diberikan, broken home, keadaan sosial ekonomi yang tidak sesuai harapan serta adanya tradisi juga filsafat keluarga yang dianggap tidak sejalan dengan filsafat individu.
Lingkungan. Peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan longsor secara langsung akan membuat seseorang mempunyai tegangan tinggi dalam dirinya, apalagi orang tersebut menjadi korban bencana tersebut. Gaya hidup yang modern juga membuat orang mudah terkena stress.
Dunia Kerja. Tugas yang menumpuk yang harus dikumpulkan besok, tugas yang jumlahnya sedikit namun tingkat kesulitannya tinggi, kecelakaan dunia kerja serta kemonotonan pekerjaan adalah stressor yang berasal dari dunia kerja yang mampu membuat orang mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya.
Pengelolaan Stress
Manajemen stress adalah kemampuan untuk mengendalikan diri ketika situasi, orang-orang, dan kejadian-kejadian yang ada memeberi tuntutan yang berlebihan.
Stress yang salah dikelola:
Mengganggu konsentrasi, kurangnya perhatian dan ingatan.
Mengganggu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
Merusakkan keyakinan diri dan memicu pemikiran negatif.
Menghabiskan tenaga fisik dan mental.
Mungkin menyebabkan kehilangan minat dan motivasi.
Kesalahan, absenteeism, kelambatan, kualitas jelek, kecelakaan, kegagalan dan kerugian.
Pengelolaan stress yang baik
Beberapa strategi mengatasi stress secara mudah:
Jangan hanya bergantung pada diri sendiri.
Ciptakan tujuan yang terukur dan bisa tercapai.
Jangan menuntut kesempurnaan.
Bedakan antara stress yang nyata dan tidak nyata
Tahu apa yang bisa diharapkan dari anda
Jangan menipu diri-sendiri
Jangan biarkan satu kegagalan menghancurkan anda
Belajar mengelola waktu. Jangan mencoba melakukan semuanya dalam satu waktu. Buat daftar yang akan dikerjakan harian. Pusatkan pada satu pekerjaan danselesaikan. Jangan tunda sesuatu yang bisa dilakukan sekarang. Jangan menumpuk kertas: baca, kerjakan, simpan atau buang. Belajar untuk mendelegasikan pekerjaan.
Belajar untuk berkata "Tidak" (asertif). Jangan berkomitmen berlebihan. Patuhi aturan dan perjanjian waktu, tetapi Jangan membuat pengaturan berlebihan.
Aspek-aspek Positif Stress
Walaupun kerja adalah penyebab stress yang terbesar dalam hidup, tetapi bila stress dikelola dengan baik akan menghasilkan:
Motivasi, tantangan dan tujuan.
Morak dan kesejahteraan finansial
Kekuatan dan kemerdekaan
Rasa pencapaian prestasi, kepuasan dan berguna
Pengakuan dari rekan kerja, teman, keluarga dan masyarakat
Kesenangan, dorongan dan kegairahan
Wawasan baru, pendidikan dan ketrampilan
Pendekatan coping terhadap stress
Pendekatan coping atas stress yang perlu dihadapi ada dua:
Problem-focused coping: Yaitu kita berusaha untuk fokus menghadapi permasalahan yang membuat kita stress dan melakukan upaya terbaik agar masalah itu terpecahkan. Saat masalah telah terurai, otomatis stress hilang. Contoh: Saat seorang mahasiswa mengalami penurunan pada nilainya, maka ia akan memfokuskan segala usahanya untuk menaikan nilainya kembali.
Emotion-focused coping: Yaitu dimana kita deal dengan emosi yang dialami saat stress melanda. Kita melakukan usaha-usaha yang konstruktif untuk meregulasi emosi yang dialamikarena peristiwa stressful tersebut. Contoh: Saat seorang mahasiswa mengalami masalah mengenai penurunannilainya. Maka ia akan berusaha untuk mengurangi beban pikirannya, misalnya dengan malakukan hobinya contohnya dengan bermain futsal.
Pendekatan Strategi individual yang lain (Other individual coping strategies)
Latihan pernafasan: Tutup mulut dan bernafas dengan hidung dan kemudian hembuskan melalui mulut. Dengan perlahan tarik nafassebanyak mungkin, kemudian hembuskan perlahan-lahan dalam 12menit, kerutkan bibir seperti mau meniup sehingga anda bisa mengontrolseberapa cepat menghembuskan nafas dan jaga jalan nafas terbuka selamamungkin. Ini membentuk siklus. Ulang 3-4 kali tiap sesi, dan ulang sesitersebut sesering mungkin. Sesi Penafasan dalam dapat dilakukanmenggantikan istirahat minun kopi.
Buka pikiran dalam diri: memberikan istirahat mental dan merupakan dasardari meditasi. Untuk mengurangi gangguan, cari tempat yang sepi untuk 10-15 menit. Duduk pada kursi yang nyaman dan lepaskan sepatu. Tutup mata anda dan bernafaslah dengan pelan dan dalam. Pusatkan mental andapada kata, pikiran atau gambar yang menenangkan. Kendorkan dan teruskan bernafas dalam. Lenturkan setelah selesai. Pikiran anda kemungkinan lebih terpusat dan segar.
Berpikiran positif: meningkatkan penghargaan terhadap diri sendiri. Siapkan menghadapi tantangan dengan berbicara dengan diri sendiri (Saya pikir saya bisa!, Saya tahu saya bisa ).
Latihan aerobik: akan mengendorkan anda dengan lepasnya hormone endorphin, merupakan zat seperti morfin yang meningkatkan suasana hatikita. Latihan meningkatkan tenaga tubuh dan daya tahan tubuh dan mengurangi kecemasan dan depresi.
Teknik lain: musik, tertawa. Strategi mengatasi stress tingkat lanjut memerlukan training: meditasi, Yoga, Tai chi dan lain-lain. Bantuan dari tenaga medis mungkin diperlukan ketika gejala negatif stress menetap dan tidak membaik denganberbagai cara mengatasi stress yang diuraikan di atas. Dan jangan lupa bahwa banyak gejala stress dapat juga gejala dari penyakit yang nyata.
Jenis-jenis Stress
Stres dapat bersifat organobiologik (fisik), seperti:
Kelelahan fisik, seorang karyawan swasta yang kuliah lagi.
Rudapaksa fisik, kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan padaseseorang.
Gizi kurang (malnutrition), seperti anak Somalia dengan tatapan mata yang sayu.
Penyakit infeksi, penyakit tipus sering diikuti dengan tingkah laku sangat gelisah.
Tindakan operasi, operasi payudara dapat menyebabkan stres berat padaseorang wanita.
Stres juga dapat bersifat psiko-edukatif.
Ini berarti ia berasal dari alam psikologik (kejiwaan) dan alam pendidikan (edukasi) dari individu yang bersangkutan. Walaupun jenis-jenis stres itu dapat disebutkan satu demi satu, perlu diketahui bahwa semua jenis stres itu berpengaruh secara menyeluruh (integratif) terhadap perilaku individu. Dengan demikian, tidak jarang dapat ditemukan suatu "pola stres" tertentu: Berbagai konflik dan frustasi yang berhubungan dengan kehidupan urban/modern.
Konflik menantu dan mertua yang berkelanjutan, karena berbagai ketidak cocokan padahal tinggal bersama.
ibu-rumah tangga yang frustasi tidak boleh bekerja lagi padahal berpendidikan tinggi.
Berbagai kondisi yang mengakibatkan sikap atau perasaan "rendah diri" sehingga individu "benar -benar" merasa dirinya terpukul "Antara lain dapat disebabkan kegagalan dan rasa rendah diri di mana terasa sekali bahwa "ideal yang diidam-idamkan" tidak mungkin tercapai, contoh: remaja putri yang tidak berhasil dalam sipenmaru.
Berbagai kondisi kehilangan "status" dan perasaan dirinya "cacat" atau "habis riwayatnya". Umpamanya bila orang benar diberhentikan dari posisinya, benar kehilangan sebagian besar keuangannya yang dihimpunnya selama hidupnya, benar kehilangan kawan karib/kawan seperjuangan/istri atau suami yang sangatdicintainya. Begitu pula seorang suami yang tertekan karena karier danpenghasilan istri melesat tinggi dibandingkan dengan dirinya.
Berbagai kondisi iri hati karena dalam membandingkan diri dengan orang lain/pihak lain (status, posisi, kekayaan, dll). Misalnya seorang karyawan yang mempunyai kemampuan dan pendidikan lebih tinggi hanya menduduki jabatanyang lebih rendah, sedangkan yang berada diposisi tersebut kurang kemampuannya tetapi masih ada hubungan keluarga dengan pimpinan kantor.
Berbagai kondisi kekurangan yang dihayati sebagai sesuatu cacat yang menentukan kehidupan, umpama: penampilan fisik, jenis kelamin, usia, intelegensi, kondisi cacat (handicap). Misalnya seorang ibu walaupun cukup menarik tetap merasa kurang karena hidungnya yang kurang mancung.
Berbagai kondisi perasaan bersalah/berdosa. Tidak jarang berhubungan dengan kode moral etik yang dijunjung tinggi secara pribadi, tetapi gagal dianut dalam praktek. Seseorang yang tergoda orang ketiga sewaktu pasangannya sedang tugas belajar kemudian merasa berdosa karena menghianati suaminya.
Stres sosio-kultural
Kehidupan modern menempatkan individu-individu dalam suatu "kancah stres sosio-kultural" yang cukupbesar. Perubahan-perubahan sosial/ekonomi dan sosial budaya berdatangan secara bertubi-tubi. Berbagai kondisi stres dapat dikemukakan secara lebih terperinci, diantaranya:
Berbagai fluktuasi ekonomi dan akibatnya (menciutnya anggaran rumah tangga; pengangguran; kegelisahan tertentu yang menimpa pribadiindividu maupun kelompok, dan lain-lain). Bayangkan seorang istri yang harus mengatur gaji untuk kebutuhan 1 (satu) bulan semakin bingung karena kenaikan gaji yang diterima tidak memadai dengan kenaikan barang kebutuhannya.
Kesenjangan hidup keluarga Berbagai indikator sosial kultural dapat dipergunakan untuk menilai hal tersebut, diantaranya jumlah perceraian; konflik yang mengakibatkan keretakan rumah tangga, berbagai kekecewaan dan sebagainya.
Pengaruh urbanisasi dan modernisasi dengan peningkatan tuntutan dan efisiensi hidup dan finansiil/materiil tidak jarang melandasi kehidupan keluarga. Demikian pula tidak terpenuhinya hal-hal di bidang lain, "peranan" yang diharapkan dijalankan oleh pihak suami/istri mertua/orangtua/anak/menantu dan lain-lain.
Ketidakpuasan bekerja.
Dalam hubungan dengan kepuasan bekerja ternyata cukup banyak orang menganggap hal itu hanya "sekedarnya" apa boleh buat "merasa terpaksa karena tuntutan hidup", sehingga mungkin tidak lebih dari 1/4 atau 1/3 jumlah tenaga kerja benar-benar yakin bahwa ia memperoleh kepuasan bekerja dalam menjalankan profesi/pekerjaannya. Salah satu faktor tersusupnya secara makin infiltratif yang disebut "teknologi modern" (menengah atau tinggi) yang makin menggolong-golongkan individu dalam segmen-segmen kerja yang anonim tanpa kemungkinan kreativitas yang sungguh-sungguh kecuali mengikuti petunjuk-petunjuk yang sudah dibakukan secara ketat. Karena itu pengaruh dan fungsi kesehatan jiwa makin terasa penting.
Persaingan yang tajam, keras dan kadang tidak sehat.
Sukses yang dicapai berbagai orang tidak selalu disebabkan karena keunggulan-keunggulan yang obyektif. Bila latar belakang itu diketahui oleh lingkungan luas, maka sukses "semu" yang dicapainya itu dapat menimbulkan stres-stres tertentu. Oleh sebab itu, mungkin suatu pendekatan yang lebih merata dan "sportif" dapat lebih mengikat hati, dihargai dan mempesona. Walaupun demikian, dalam masyakarat umum yang dijadikan "idola dan idealisme" sering mereka yang sudah berhasil menggondol hadiah utama atau posisi puncak.
Diskriminasi.Walaupun telah dibuka kesempatan yang sama antara pria dan wanita, kadang-kadang masih dijumpai diskriminasi dalam karier untuk tenaga kerja wanita yang tentunya dapat menghambat potensi individu tersebut.
Perubahan sosial yang cepat, Perubahan cepat tidak senantiasa perlu berakibat buruk, bila disertai dengan penyesuaian yang memadai di bidang etik dan moral konvensional. Bila kesejajaran ini tidak harmonis, maka pola kehidupan konvensional akan senantiasa merasa terancam dengan berbagai akibat yang tidak diharapkan. Dalamkondisi terburuk, maka nilai-nilai materialistik akan mendominasi sehingga nilai-nilai religius – moralitik – spiritualistik terpengaruh dan melemah karenanya. Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya "benturan konflik". Sebagian diungkapkan, dan untuk sebagian sekedar disimpan dalam hati untuk ditanggung dalam alam perasaan individu atau kelompok.
Frustrasi
Frustasi, dari bahasa Latin frustratio, adalah perasaan kecewa jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Semakin penting tujuannya, semakin besar frustrasi dirasakan. Rasa frustrasi bisa menjurus ke stress. Frustasi dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar diri (eksternal) seseorang yang mengalaminya. Sumber yang berasal dari dalam termasuk kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan. Konflik juga dapat menjadi sumber internal dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan yang saling berinterferensi satu sama lain.
Penyebab eksternal dari frustrasi mencakup kondisi-kondisi di luar diri seperti jalan yang macet, tidak punya uang, atau tidak kunjung mendapatkan jodoh. Kartini Kartono (1989: 50) menjelaskan bahwa frustasi adalah suatu keadaan dimana satu kebutuhan tidak bisa terpenuhi dan tujuan tidak bisa tercapai sehingga orang kecewa dan mengalami satu barrier/halangan dalam usahanya mencapai satu tujuan.
Frustasi mempunyai dua sisi yaitu fakta yang tidak tercapainya harapan yang diinginkan dan perasaan, emosi yang menyertai fakta tersebut. sejalan dengan itu, Chaplin (dalam Kartini Kartono 1989: 50) menjelaskan bahwa frustasi adalah penghalang tingkah laku yang tengah berusaha mencapai satu tujuan dan satu keadaan ketegangan yang tidak menyenangkan, disertai kecemasan, dan meningkatnya kegiatan simpatetis sebagai akibat dari hambatan atau halangan.
Frustrasi dapat mengakibatkan berbagai bentuk tingkah laku reaktif. Contohnya adalah seseorang dapat mengamuk dan menghancurkan orang lain, merusak barang atau menyebabkan desorganisasi pada struktur kepribadian sendiri. Namun sebaliknya, frustasi juga dapat memunculkan titik tolak baru bagi satu perjuangan dan usaha baru. Bisa juga menciptkan bentuk-bentuk adaptasi baru, dan pola pemuasan kebutuhan yang baru. Jadi, adaptasi itu dapat menimbulkan dampak positif atau negatif yang tergantung dari cara seorang individu menyikapi masalah yang dialaminya itu. Individu yang tidak mampu menyikapi masalahnya dengan tepat maka akan memicu timbulnya frustasi negative yang akan mempengaruhi kesehatan mentalnya.
Frustasi adalah sebagai keadaan dimana seseorang sedang kalut, terlalu banyaknya masalah, tekanan ataupun lainnya, sehingga tidak dapat menyelesaikannya, yang hampir sama dengans tress, akan tetapi tidak bias disamakan oleh pengertian putus asa. Akan tetapi dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan yang dialami seseorang, ketika keinginanya tidak dapat tercapai atau terganjal untuk dapat terealisasikan atau bisa juga cita-cita atau keinginanya terhalang sehingga tidak dapat terwujud. Dalam hal ini hal angan tersebut berasal dari berbagai factor, seperti dari keterbatasan fisik atau psikis.
Reaksi Frustasi
Seseorang yang mengalami frustasi akan bereaksi secara tidak sadar untuk mengurangi tekanan batin yang menimbulkan rasa sakit atau stress. Reaksi itu disebut defense of mechanism. Reaksi itu muncul sebenarnya dalam diri seseorang sedang berusaha mempertahankan harga dirinya dari realita yang dihadapi.
Reaksi mekanistis dapat dibagi menjadi tiga bentuk pokok perilaku dalam upaya penyesuaian, yaitu:
Aggressive Reaction (Reaksi menyerang/menyakiti)
Seseorang yang frustasi bisa melakukan tindak menyerang, baik terhadap objek penghalang penyebab frustasi atau terhadap objek pengganti. Dalam hal ini jika tindakan menyerang berlangsung dalam jangka waktu lama, maka akan mendapa trespon yang tidakbaik.
Withdrawal reaction (reaksi menghindar)
Reaksi menghindar dibagi menjadi tiga, yaitu:
Repression.
Represi adalah proses peminggiran dari kesadaran, pikiran maupun perasaan yang menimbulkan kepedihan, rasa malu, atau bersalah.
Fantasy.
Ketika hasrat terganjal oleh realita, orang itu boleh jadi lari kedunia khayal yang bisa memuaskan keinginanya yang terhalang.
Regression
Di dalam Regresi seseorang melarikan diri dari realita yang menyakitkan dan dari tanggungjawab yang diembannya menuju kearah keberadaan masa kanak-kanaknya yang terlindungi. Orang itu kembali kekebiasaan lamanya dalam upaya penyesuaian diri agar terlepas dari kepenatan batinnya seperti; menangis, mencibirkan bibir seperti yang biasa anak-anak lakukan, atau perilaku yang minta diperhatikan, dan lain-lain yang dulu pernah dikerjakan pada masa kanak-kanak.
Compromise Reactions (Reaksi kompromistis)
Di sini individu harus menyerah kepada suasana yang mengancam atau tidak megenakkan sebagai akibat frustasi, tetapi tanpa harus menyerah total sehingga tujuan yang diimpikan tetap bisa terealisasi.
reaksi agresif,
reaksi menghindar atau menarik diri,
reaksi mengganti atau kompromistis.
Faktor-faktor Penyebab Frustasi
Frustasi lingkungan
Frustasi yang disebabkan oleh halangan /rintangan yang terdapat dalam lingkungan.
Frustasi Pribadi
Frutasi yang tumbuh dari ketidakpuasan seseorang dalam mencapai tujuan denganperkataan lain frustasi pribadi ini terjadi karena adanya perbedaan antara tingkatanaspirasi dengan tingkatan kemampuannya.
Frustasi Konflik
Frustasi yang disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam diri seseorang, dengan adanya motif saling bertentangan, maka pemuasan dari salah satu motif akan meyebabkan frustasi bagi motif yang lain. Diantaranya motif tersebut adalah:
Konflik mendekat-mendekat (memilih satu dari dua pilihan)
Konflik mendekat menjauh
Konflik menjauh-jauh
Pengelolaan Frustasi
Dalam keadaan hidup berhari-hari, kita mungkin atau bahkan sering mendapati suasana yang membosankan dan menjemukan. Pada mulanya, kita pasti menganggap itu hanya perasaan yang sepintas saja, tahukah kamu jika frustasi dapat mengakibatkan hal yang FATAL? Simak penjelasan berikut: Akhir-akhir ini hampir setiap orang mengeluhkan keadaan ekonomi seperti, pasaran sepi, usaha macet, sulit mencari pekerjaan, dan bila kita masih bersabar mendengarnya, akan lebih banyak lagi yang akan kita dengar. Tetapi ada sesuatu yang harus kita lakukan agar terhindar dari frustasi bila kita berada ditengah situasi ini.
Ada 7 cara yang dapat dilakukan agar kita tidak selalu melihat sesuatu pada satu sisi saja.
Sikap optimis merupakan pilihan, bukan bawaan dari lahir.
Katakan pada diri sendiri bahwa kita mempunyai kebebasan untuk memandang setiap situasi negatif dan mengambil sikap negatif atau positif. Bila kita katakan pada diri sendiri.
Jangan Cemas! Maka hati kita akan lebih tenang.
Manusia adalah mahluk yang mempunyai akal budi yang berarti kita bisa belajar, dapat menyusun rencana dan menentukan tujuan. Bila tidak seluruh tujuan dapat tercapai, setidaknya sebagian dari tujuan dapat terselesaikan.
Bersikap tenang, rileks, sambil berpikir menyusun strategi.
Di saat sulit, jangan mengambil tindakan untuk sesuatu yang tidak bisa diubah, keputusan yang diambil terburu-buru dan tindakan cepat tanpa berpikir panjang akan memperburuk masalah.
Belajar bereaksi secara positif, karena pemikiran positif menghasilkan sesuatu yang positif pula. Pikiran negatif akan selalu membawa hasil negatif. Kita tidak dapat mencegah terjadinya perubahan, jadi bila suatu saat kita kehilangan sesuatu yang kita miliki, kita harus tetap bersyukur dan optimis karena keadaan pada hari esok pasti tidak akan sama dengan hari ini.
Mulai dengan tindakan kecil tetapi pemikiran besar.
Hal-hal kecil yang dikerjakan dengan baik jauh lebih bermanfaat dibanding cita-cita besar yang hanya impian. Jangan mencoba mencapai tujuan besar hanya dalam waktu semalam.
Ambil langkah-langkah kecil dan maju sambil terus memperhatikan tujuan akhir yang ingin dicapai agar kita tidak kehilangan arah. Percaya bahwa hidup dan dunia ini penuh kemungkinan. Kita bisa memperbaiki masa depan bila kita menentukan tujuan dengan dengan jelas. Manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan tersebut, dan bekerjalah lebih keras dibanding sebelumnya.
Pengelompokkan Frustasi
Frustasi akan timbul apabila terdapat sebuah aral melintang antara seseorang dan maksud/tujuannya. Sebagai contoh: Saat seseorang ingin segera menghadiri rapat penting di kantor, maka tiba-tiba kena macet total saat menuju ke kantor sehingga tidak dapat menghadiri rapat; atau saat seseorang ingin menikahi seorang gadis pujaannya, maka tiba-tiba ditolak oleh calon mertua. Secara garis besar frustasi dikelompokkan menjadi dua kategori:
Frustasi yang datangnya dari luar diri kita.
Contoh frustasi yang datang dari luar antara lain: kecelakaan, divonis penyakit, bencana alam;, kematian seseorang yang dicintai, norma-norma, adat istiadat, peperangan, kegoncangan ekonomi, diskriminasi rasial atau agama, persaingan yang berlebihan, perubahan yang terlalu cepat, pengangguran dan ketidakpastian sosial.
Frustasi yang berasal dari dalam diri kita, contoh frustasi yang datang dari dalam antara lain; Cacat badaniah, kegagalan dalam berbisnis, Hal-hal yang dapat menurunkan harga diri, Setiap hal yang dapat merendahkan diri sendiri.
Ringkasan
Stress adalah suatu bentuk ketegangan yang dapat mempengaruhi fungsi alat-alat tubuh. Stres dalam kehidupan tidak dapat dihindarkan. Masalahnya adalah bagaimana seseorang itu hidup dengan stres tanpa harus mengalami distres. Perubahan sosial yang cepat, modernisasi mempunyai dampak pada kehidupan. Stress muncul sebagai reaksi peringatan, adaptasi dan kelelahan. Faktor penyebab stress karena faktor biologis (penyakit, tidur, frustas: perasaan dan emosi, pengalaman hidup, keputusan perilaku dari segi psikologis yang dapat menyebabkan seseorang terkena stress adanya respon perlawanan).
Mengelola stress yang salah berakibat mengganggu konsentrasi, kurangnya perhatian dan ingatan, mengganggu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, merusak keyakinan diri, memicu pemikiran negative, menghabiskan tenaga fisik dan mental, menyebabkan kehilangan minat dan motivasi, kesalahan, kelambatan, kualitas jelek, kecelakaan, kegagalan dan kerugian.
Pengelolaan stress yang baik berdampak menciptakan tujuan yang terukur dan bisa tercapai, tidak menuntut kesempurnaan, tahu apa yang bisa diharapkan, tidak menipu diri-sendiri, tidak membiarkan satu kegagalan menghancurkan, memusatkan pada satu pekerjaan dan diselesaikan, tidak menunda, mendelegasikan pekerjaan, tidak berkomitmen berlebihan, patuhpada aturan dan perjanjian waktu, tetapi tidak membuat pengaturan berlebihan.
Stress dikelola dengan baik akan menghasilkan: motivasi, tantangan dan tujuan, morak dan kesejahteraan financial, kekuatan dan kemerdekaan, rasa pencapaian prestasi, kepuasan dan berguna, pengakuan dari rekan kerja, teman, keluarga dan masyarakat, kesenangan, dorongan dan kegairahan, wawasan baru, pendidikan dan ketrampilan. Jenis-jenis stress; stres dapat bersifat organobiologik (fisik), stres juga dapat bersifat psiko-edukatif. stres sosio-kultural
Frustasi, adalah perasaan kecewa jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Semakin penting tujuannya, semakin besar frustrasi dirasakan. Frustasi adalah suatu keadaan dimana satu kebutuhan tidak bisa terpenuhi dan tujuan tidak bisa tercapai sehingga orang kecewa dan mengalami satu barrier/halangan dalam usahanya mencapai satu tujuan. Frustasi adalah penghalang tingkah laku yang tengah berusaha mencapai satu tujuan dan satu keadaan ketegangan yang tidak menyenangkan, disertai kecemasan, dan meningkatnya kegiatan simpatetis sebagai akibat dari hambatan atau halangan.
Reaksi fruatasi itu disebut defense of mechanism adalah Aggressive Reaction Withdrawal reaction seperti Repression Represi, Fantasy, Regression dan Compromise meliputi reaksi agresif, reaksi menghindar atau menarik diri, reaksi mengganti atau kompromistis.
Faktor Penyebab Frustasi, disebabkan oleh halangan /rintangan yang terdapat dalam lingkungan. tumbuh dari ketidakpuasan seseorang dalam mencapai tujuan dengan perkataan lain frustasi pribadi ini terjadi karena adanya perbedaan antara tingkatan aspirasi dengan tingkatan kemampuannya. Frustasi yang disebabkan oleh konflik dari berbagai motif dalam diri seseorang, dengan adanya motif saling bertentangan, maka pemuasan dari salah satu motif akan meyebabkan frustasi bagi motif yang lain.
Latihan
Konsep Stress dan Frustrasi
Jelaskan pengertian Stress dan Frustrasi?
Mengapa konselor perlu memahami Stress dan Frustrasi?
Bagaimana konselor batasan konselor menangani Stress dan Frustrasi konseli?
Faktor-faktor penyebab Stess dan Frustrasi
Apa sajakah faktor penyebab stress itu
Apa sajakah faktor penyebab frustasi itu
Bagaimanakah cara agar konselor dapat mengatasi diri dalam stress dan frustasi?
Pengelolaan Stress stess dan Frustrasi
Apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan stress itu ?
Apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan frustasi itu ?
Bagaimanakah cara agar konselor dapat pengelolaan stress dan frustasi yang efektif?
BAB V
PENGEMBANGAN BERFIKIR POSITIF KONSELOR
Kompetensi dasar
Mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam berfikir positif
Selama kita hidup, baik secara sadar ataupun tidak, pikiran menjadi segala sesuatu dan kita menjadi pikiran kita. Penampilan luar kita merupakan refleksi dunia dalam diri kita. Kita menjadi apa yang kita pikirkan karena pikiran kita memberikan energy yang mewujudkan sesuatu yang kita ingin kita ciptakan. Berpikir positif (positif thinking) menggambarkan suatu sikap atau perilaku yang selalu posotif dalam menyikapi kehidupan ini.
Berpikir positif membuat perbedaan besar dalam hidup kita. Karena sikap yang baik dimulai dari berpikir positif. Berpikir positif memiliki peran penting dalam pembentukan setiap individu. Kekuatan berpikir positif merupakan unsur terpenting dalam menentukan jenis kehidupan kita. Berfikir positif terhadap orang lain dan Lingkungan
Konsep Berfikir Positif
Berpikir positif adalah berpikir terhadap sesuatu yang mengandung makna Berpikir positif adalah berpikir terhadap sesuatu tanpa melihat sisi negatifnya. Berpikir positif adalah cara menghadapi suatu masalah dengan mengambil hikmah dibalik masalah yang dihadapi sehingga tidak menimbulkan konflik/pertentangan, dan masih banyak lagi definisi atau pengertian tentang berpikir positif yang jika dicermati semuanya mengarah kepada suatu keadaan atau kesediaan untuk menerima masalah yang dihadapi agar tidak terjadi perselisihan yang lebih mendalam.
Definisi berfikir positif terdapat unsur menerima (nrimo=jawa) terhadap suatu masalah yang dihadapi untuk mengambil hikmahnya. Keadaan ini nampaknya sejalan dengan konsep berbaik sangka, meski berbaik sangka bukan berarti nrimo. Berfikir positif hanyalah modal dasar seseorang dalam kehidupan, karena dengan semakin kompleknya masalah yang individu hadapi apabila hanya berpikir positif saja tidaklah cukup. Melalui berpikir positif individu harus berubah menjadi semakin baik.
Individu yang bersikap positif (positif thinking) bukan berarti telah menjamin tercapainya suatu keberhasilan. Sikap individu yang positif, setidak-tidaknya sudah berada di jalan menuju keberhasilan. Berhasil atau tidaknya kita nantinya ditentukan oleh apa yang kita lakukan di sepanjang jalan yang laluinya. Bersikap positif bukan berarti telah menjamin tercapainya suatu keberhasilan. Namun, bila sikapnya positif, setidak-tidaknya sudah berada di jalan menuju keberhasilan.
Tidak semua orang menerima atau mempercayai pola berpikir positif. Beberapa orang menganggap berpikir positif hanyalah omong kosong, dan sebagian menertawakan orang-orang yang mempercayai dan menerima pola berpikir positif. Diantara orang-orang yang menerima pola berpikir positif, tidak banyak yang mengetahui cara untuk menggunakan cara berpikir ini untuk memperoleh hasil yang efektif. Namun, dapat dilihat pula bahwa semakin banyak orang yang menjadi tertarik pada topik ini, seperti yang dapat dilihat dari banyaknya jumlah buku, kuliah, dan kursus mengenai berpikir positif.
Berpikir positif (positive thinking) melibatkan proses memasukan pikiran-pikiran, kata-kata, dan gambaran-gambaran yang konstruktif (membangun) bagi perkembangan pikiran seseorang. Pikiran positif menghadirkan kebahagiaan, suka cita, kesehatan, serta kesuksesan dalam setiap situasi dan tindakan anda. Berpikir Positif diawali dengan sebuah keyakinan pada diri sendiri. Keyakinan bahwa dirinya mampu. Keyakinan yang mengatakan bahwa diri beliau "bisa". Jika seseorang melihat dirinya "bisa", maka akan "bisa". Jika seseorang melihat dirinya akan menghasilkan, maka akan mampu menghasilkan. Jika seseorang tidak bisa melakukan hal seperti ini, maka diri seseorang masih dikuasai oleh pikiran negatif.
Berpikir positif bukan merupakan tujuan melainkan suatu jalan untuk mencapai tujuan. Menjadikan berpikir positif sebagai tujuan memang membawa manfaat tetapi manfaat tersebut belumlah seberapa jika dibandingkan dengan manfaat yang didapat jika berpikir positif dijadikan sebagai suatu jalan.
Berpikir positif merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari tiga komponen, yaitu muatan pikiran, penggunaan pikiran, dan pengawasan pikiran (Ubaedy, 2007: 12-19).
Muatan Pikiran;
Berpikir positif merupakan usaha mengisi pikiran dengan berbagai hal yang positif atau muatan yang positif. Adapun yang dimaksud dengan muatan positif untuk pikiran adalah berbagai bentuk pemikiran yang menurut Ubaedy (2007: 13), memiliki kriteria: a. benar (tak melanggar nilai-nilai kebenaran), b. baik ( bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan), dan c. bermanfaat (menghasilkan sesuatu yang berguna).
Penggunaan Pikiran;
Memasukkan muatan positif pada ruang pikiran merupakan tindakan positif namun tindakan tersebut berada pada tingkatan yang masih rendah jika muatan positif tersebut tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Oleh karena itu isi muatan yang positif tersebut perlu diaktualisasikan ke dalam tindakan agar ada dampak yang ditimbulkan.
Pengawasan Pikiran;
Dimensi ke tiga dari berpikir positif adalah pengawasan pikiran. Aktivitas ini mencakup usaha untuk mengetahui muatan apa saja yang dimasukkan ke ruang pikiran dan bagaimana pikiran bekerja. Jika diketahui terdapat hal-hal yang negatif ikut masuk ke ruang pikiran maka perlu dilakukan tindakan berupa mengeluarkan hal-hal yang negatif tersebut dengan menggantinya dengan yang positif. Demikian pula jika ternyata teridentifikasi bahwa pikiran bekerja tidak semestinya maka dilakukan usaha untuk memperbaiki kelemahan atau kesalahan tersebut
Ciri-Ciri Orang Berpikiran Positif:
Orang yang berpikir positif mengakui bahwa ada unsur-unsur negatif dalam kehidupan setiap individu, akan tetapi ia yakin bahwa semua masalah dapat di selesaikan
Orang yang berpikir positif tidak mau kalah oleh berbagai kesulitan dan rintangan.
Orang yang berpikir positif memiliki jiwa yang kuat dan konsisten.
Orang yang berpikir positif percaya pada kemampuan, keterampilan, dan bakatnya, ia tidak pernah meremehkan itu semua.
Orang yang berpikir positif selalu membicarakan hal-hal positif dan selalu menginginkan kehidupan yang positif.
Orang yang berpikiran positif selalu bertawakal kepada tuhan.
Orang yang berpikir positif yakin bahwa semua orang memiliki daya kreatif
Pilar Konsep Berfikir positif
Kesuksesan dari berfikir positif bergantung pada faktor pasangan. Faktor-faktor itu bisa mempertimbangkan sebagai konsep berfikir positif. Jika banyak faktor yang hilang kemudian konsep itu gagal. Faktor-faktor tersebut meliputi:
Harapan
Kebanyakan orang tidak menemukan masalah dalam membangun pilar ini dalam kehidupan di sana. Ketika mencoba berpikir positif secara umum, seseorang harus memiliki keinginan untuk menjadi positif dalam kehidupan. Ketika mencoba berpikir positif untuk memperbaiki situasi tertentu, maka harus memiliki keinginan untuk memperbaiki yang sama. Di sini bukan berarti keinginan adiktif, keinginan menggenggam, tapi perasaan, yang jelas yang kuat atau bertujuan.
Kepercayaan
Salah satu kebutuhan untuk percaya pada konsep berpikir positif itu sendiri dan kemudian jelas semakin seseorang percaya pada tujuan yang pilih dan kemungkinan mencapai hal itu, semakin mudah akan untuk mencapai hal yang sama. Beberapa orang goyah di sini. Mudah untuk menjadi positif untuk something terjadi tetapi untuk percaya pada apa yang terjadi adalah orang yang sulit.
Penerimaan
Seseorang tidak hanya harus bersedia menerima dan memiliki apa yang dicari, tetapi juga menerima bahwa seseorang bertanggung jawab untuk keadaan sekarang hidupnya. Dasar konsep berpikir positif adalah penerimaan bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan orang-orang adalah hasil dari pikirannya / keyakinannya. Oleh karena itu langkah pertama untuk menjadi positif adalah penerimaan tanggung jawab penuh untuk apa dan di mana satu di masa kini. Ini adalah tempat di mana faktor banyak orang gagal karena tidak banyak yang bersedia untuk mengambil tanggung jawab untuk apa dan di mana mereka berada
Kesabaran
Kesabaran yang kebanyakan orang gagal. Setelah melakukan semua pekerjaan untuk benar-benar menjadi positif, orang ingin melihat hasil yang cepat tanpa menyadari bahwa bertahun-tahun yang telah merilis emotion negatif dan pikiran, dibutuhkan sedikit waktu untuk menetralisir masa lalu sebelum seseorang menciptakan hadiah darinya menyukai. Awalnya mungkin memakan waktu tergantung pada jenis kehidupan yang telah hidup, tetapi sekali hal-hal mulai terjadi hasilnya dapat dilihat lebih cepat dan lebih cepat.
Ada tiga factor, pertama adalah niat, bila seseorang memiliki niat total untuk menciptakan sesuatu - yaitu seseorang sangat menginginkannya, seseorang benar-benar percaya bahwa seseorang dapat melakukannya, dan seseorang benar-benar bersedia untuk memilikinya dan seseorang memiliki kesabaran untuk itu terjadi, itu hanya tidak bisa gagal terwujud, dan biasanya dalam waktu yang sangat singkat
Manfaat Berpikir Positif (Positif Thinking):
Mengatasi stress
Berpikir positif membantu seseorang mengatasi situasi stres, mengabaikan pikiran negatif, mengganti pikiran pesimis menjadi optimis, mengurangi kecemasan dan mengurangi stres. Ketika seseorang mengembangkan sikap positif maka diri bisa mengontrol hidupnya dengan baik.
Menjadi lebih sehat
Pikiran seseorang secara langsung mempengaruhi tubuh dan bagaimana cara bekerjanya. Ketika seseorang mengganti pikiran negatif dengan ketenangan, kepercayaan dan kedamaian, bukannya dengan kebencian, kecemasan, dan kekhawatiran, maka akan merasakan kesejahteraan. Dan ini berarti seseorang tidak mengalami gangguan saat tidur, tidak merasakan ketegangan otot, kecemasan, dan kelelahan. Orang-orang yang berpikir negatif lebih mudah terkena depresi.
Percaya diri
Dengan berpikir positif, maka seseorang lebih percaya diri dan tidak untuk menciba menjadi orang lain. Jika seseorang tidak percaya diri maka tidak akan pernah mendaptkan kehidupan yang lebih baik.
Bisa mengambil keputusan yang benar
Berpikir positif mencegah seseorang memilih keputusan yang salah atau melakukan hal yang bodoh yang kemudian disesali. Berpikir positif membuat seseorang memilih keputusan dengan cepat.
Meningkatkan focus
Menggunakan pikiran positif membantu seseorang lebih fokus saat menghadapi masalah. Jika seseorang berpikir negatif akan membuang-buang waktu, dan energinya.
Bisa mengatur waktu lebih baik
Dengan meningkatnya fokus serta kemampuan membuat keputusan yang lebih baik, seseorang akan lebih terorganisir. Ini akan membantunya mendapatkan lebih banyak waktu untuk diri sendiri dan orang yang dicintai.
Lebih sukses dalam hidup
Sikap positif tak hanya bisa meningkatkan fokus seseorang dan lebih bisa mengatur waktu dengan baik tetapi mengarahkannya pada kebahagian dan keberhasilan saat mengubah hidupnya lebih baik.
Memiliki banyak teman
Ketika berpikir positif, seseorang akan menarik perhatian orang-orang dan ketika orang-orang tersebut dekat dengan Anda mereka akan merasa nyaman.
Menjadi pemberani
Ketakutan berasal dari pikiran negative seseorang. Menjadi pemikir positif menghilangkan rasa takut. Keberanian berasal dari kenyataan bahwa seseorang tetap positif dan akan tahu bahwa apapun yang terjadi dalam hidupnya akan dapat menghadapinya.
Hidup lebih bahagia
Percaya diri merupakan suatu fakta bahwa seseorang bahagia menjadi dirinya sendiri dan tidak mencoba untuk menjadi orang lain. Jika seseorang memiliki semangat berpikir positif, akan selalu mengantisipasi hidup bahagia, damai, tawa, kesehatan yang baik dan kesuksesan finansial.
Latihan Dalam Keterampilan Berfikir Positif
Pada pelatihan dalam keterampilan berfikir positif, pada dasarnya diperlukan sejumlah point yang harus dipelajari:
Belajar untuk berpikir kritis, dimana harus mempertimbangkan adanya hal-hal yang membentuk suatu masalah dari berbagai sisi. Contohnya: dengan tidak mudah menerima adanya informasi atau berita yang tidak atau belum pasti kebenarannya. Pola berpikir kritis juga kita terapkan terhadap pendapat, tanggapan, atau pandangan orang lain, dimana sikap kritis tersebut bermanfaat untuk memberikan perbandingan apakah alur pemikirannya sudah benar atau belum. Sebelum bertindak atau mengambil keputusan, berpikir terlebih dahulu. Jangan bertindak atau mengambil keputusan terlebih dahulu, baru memikirkan kenapa kita bertindak atau membuat keputusan demikian.
Bersikap terbuka terhadap segenap pendapat atau masukan dari orang
lain. Dalam hal ini, kita harus selalu bersedia dikoreksi orang lain Sebelum mengambil keputusan penting, bersikaplah hati-hati dan buatlah
perhitungan-perhitungan yang sesuai dengan logika atau cara berpikir dengan nalar yang benar, untuk menghindari keluarnya sebuah keputusan yang diambil secara gegabah.
Memperluas wawasan dan mengasah terus kemampuan analisis terhadap permasalahan yang ada, sehingga tidak cepat menghadirkan prasangka atau penilaian buruk pada orang lain atau pada situasi yang memerlukan penilaian tepat dan benar. Biasakan melakukan kegiatan check dan recheck untuk setiap informasi yang diragukan kebenarannya.
Selalu menanamkan pikiran optimis dalam benak pikiran, berusahalah untuk tidak mempersulit orang lain, namun ajari orang lain untuk dapat berpikir dengan cara-cara yang benar dalam mengambil keputusan. Selalu bersikap tenang pada saat ingin mengambil keputusan. Sebelum mengambil keputusan, pertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama. Janganlah selalu menganggap benar terhadap segala sesuatu yang disukai, dan cepat menolak untuk setiap pendapat, saran, atau tanggapan yang diberikan orang lain.
Bersikaplah jujur pada diri sendiri, dengan belajar dari kesalahan, mengakui adanya kekurangan serta kelebihan dalam dirinya, dan tidak mudah terpancing oleh hal-hal praktis namun sesungguhnya kepraktisan itu bukanlah konsep berpikir yang benar. Apabila semuanya itu bisa dilakukan atau terapkan, maka berarti telah melatih diri seseorang untuk selalu berpikir positif untuk setiap peristiwa yang harus dihadapi dalam hidup ini, meskipun mood kita sedang tidak baik.
Manfaat Berpikir Positif
Ternyata dengan kita berfikir positif banyak sekali manfaat yang dapat kita rasakan salah satunya yaitu agar kita tidak terjebak dalam situasi yang serba buruk yang akan membuat kita terperosok pada situasi yang penuh dengan intrik. Akhirnya apa hasilnya jika seseorang berpikir positif?. Apabila dicermati lebih teliti, ternyata berpikir positif itu mengandung akibat, yaitu menjadikan seseorang yang senantiasa bersyukur terhadap apa yang diterima, dalam menghadapi situasi/keadaannya senantiasa mengambil hikmah dari apa yang didapatkan dan orang itu dapat berpikir lebih tenang. Kebiasaan berpikir positif merupakan sikap dan tindakan yang mendatangkan manfaat besar individu yang bersangkutan, yaitu berkenaan dengan: health, feeling of success, optimism, positive emotions, positive response to failures, self-confidence, positive self image, every cloud has a silver lining, creative, persistency, positive relationships (All About Living with Life, 2009).
Health, seringkali keluhan atau rasa sakit seseorang, secara organis tidak dapat didentifikasi oleh dokter. Ternyata keluhan dan rasa sakit tersebut tidak dirasakan lagi setelah orang yang bersangkutan mengganti isi pikirannya yang negatif dengan yang positif.
Feeling of success, orang yang berpikir positif pada saat dirinya menghadapi suatu tugas merasa yakin bahwa dirinya akan berhasil dalam melakukan tugas tersebut. Perasaan bahwa dirinya berhasil selanjutnya menjadi motivator internal bagi dirinya.
Optimism, bersikap positif terhadap suatu tugas yang harus dilakukan merupakan awal berkembangnya optimism. Optimisme merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang.
Positive emotions, perasaan seseorang dipengaruhi oleh pikirannya. Jika ruang pikiran bersisi hal-hal yang positif, maka perasaan yang dialami juga merupakan perasaan positif.
Positive response to failures, kebiasaan berpikir positif dapat membuat seseorang tegar dalam menghadapi kegagalan. Dengan adanya pikiran yang positif seseorang akan mampu mengembangkan pandangan bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya dan bahwa masih ada kesempatan untuk meraih keberhasilan.
Self-confidence, kebiasaan berpikir positif juga berperanan penting dalam pengembangan kepribadian yaitu rasa percaya diri. Berpikir positif tentang dirinya berarti melatih dirinya untuk memiliki rasa percaya diri.
Positive self image, aspek kepribadian lainnya yang juga dipengaruhi oleh pola pikir seseorang adalah citra diri (self image). Jika seseorang ruang pikirannya diisi oleh hal-hal yang positif maka dirinya akan memiliki gambaran diri yang positif pula.
Every cloud has a silver lining, bahwa setiap kejadian, seburuk apapun kejadian tersebut pasti ada hikmahnya. Demikian sikap atau anggapan orang yang terbiasa berpikir positif. Sikap atau anggapan demikian diperlukan agar mereka yang menghadapi masalah bisa terhindar dari stres dan depresi.
Creative, daya kreatif seseorang berhubungan erat dengan isi pikirannya. Bahwa isi pikiran yang positif dapat memunculkan ide-ide yang brilian.
Persistency, kebiasaan berpikir positif berpengaruh pada kesuksesan. Orang yang terbiasa berpikir positif akan selalu tekun dan tegar dalam menghadapi tugas-tugas dengan berbagai permasalahan yang ada.
Positive relationships, dalam menghadapi orang lain dan situasi sosial, pikiran positif sangat diperlukan. Dengan adanya pikiran yang positif maka akan terjadi hubungan sosial yang positif pula.
Langkah-langkah Praktis dan Strategi Berpikir Positif
Pikiran positif dengan tindakan sebenarnya tidak bisa dipisahkan. Karena keterbatasan pemahamanlah yang menyebabkan seolah-olah berpikir positif terpisah dengan tindakan. Intinya, lebih kurang seperti berikut: hanya berpikir positiflah yang akan bertindak dengan benar. Sebaliknya, orang yang bertindak dengan benar, berarti dia sudah pasti berpikir positif.
Berpikir positif dan bertindak tidak bisa dipisahkan. Saat seseorang mengaku sudah berpikir positif tetapi belum bertindak, sebenarnya dia belum bepikir positif. Sebaliknya, saat ada orang yang sudah bertindak dengan baik dan mengatakan tidak perlu berpikir positif, sebenarnya dia sudah berpikir positif, hanya saja dia tidak tahu apa itu berpikir positif. Saat ada orang yang mengaku sudah berpikir positif namun belum terlihat dalam tindakannya, artinya pikiran positif itu belum masuk ke dalam pikiran bawah sadarnya. Sementara, tindakan akan diarahakan oleh pikiran bawah sadarnya, bukan oleh pikiran sadar. Abraham Maslow pernah mengeluarkan nasihat bahwa salah satu hal yang penting untuk diingat bagi siapapun yang ingin mengaktualisasikan potensinya adalah membedakan antara jalan dan tujuan dalam praktik hidup.
Langkah – langkah agar selalu berpikir positif:
Jadilah optimis dan mengharapkan hasil yang baik dalam segala situasi.
Cari alasan untuk tersenyum lebih sering.
Visualisasikan hanya apa yang diinginkan terwujud
Libatkan diri dalam kegiatan rekreasi menyenangkan.
Baca dan kutipan yang inspirasional.
Ikuti gaya hidup sehat. Olahraga setidaknya tiga kali seminggu.
Bergaulah dengan orang yang selau berpikir positif.
Kiat Mengembangkan Sikap Positif
Masalahnya adalah terkadang kita sangat susah bersikap positif ketika menghadapi sesuatu. Seseorang kadang bingung sikap positif seperti apa yang seharusnya dilakukan. kiat mengembangkan sikap positif dalam segala hal adalah sebagai berikut;
Miliki pikiran positif.
Sikap positif tentu lahir dari pikiran positif. Untuk itu agar selalu bersikap positif, terlebih dahulu harus membiasakan berpikir positif terhadap apapun.
Buka selalu pikiran anda.
Orang yang bersikap positif, akan selalu open minded. Siap menerima gagasan-gagasan baru dari orang lain. Meskipun tampaknya gagasan itu tak masuk akal.
Milikilah kebiasaan bertindak.
Ambil tanggung jawab penuh atas apa yang terjadi pada diri. Jangan menyalahkan orang lain. Menurut Brian Tracy, sikap tidak bertanggung jawab pada diri sendiri adalah akar segala emosi negatif. Bertanggung jawab berarti menebang batang emosi negatif. Dengan begitu, anda menghilangkan semua ranting dan cabang-cabangnya.
Cari tahu informasi apapun yang bisa anda dapatkan dari apapun yang sedang anda kerjakan atau hadapi. Ini memupuk sikap positif.
Berdiskusilah. Diskusi adalah sikap positif.
Lihat kemungkin-kemungkinannya. David J Schwartz dalam bukunya The Magic Of Thinking Big menganjurkan untuk selalu melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dari segala sesuatu. Bukannya apa yang ada sekarang, tapi peluang positifnya di masa depan.
Jaga kesehatan fisik.
Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Juga terdapat sikap yang positif. Jaga kesehatan dan kesegaran tubuh dan pikiran diri. Sikap positif lahir karena kenyamanan anda terhadap diri sendiri.
Perbanyak tersenyum. Lakukan sekarang dan rasakan pikiran dan sikap positif dalam diri.
Inilah 8 Kiat dan tips mengembangkan sikap positif dalam segala hal. Hampir kesemuanya adalah berpusat dari pikiran kita.
Cara Membangun Sikap Berpikir Positif
Selain 8 tips diatas adapun 12 Cara membangun sikap berpikir positif.
Bisa memilih bersikap Optimis.
Orang yang pesimis itu fokus kepada yang negatif (seperti memandang segelas air sebagai setengah kosong/air yang sudah tak ada). Sedangkan yang optimis fokus memandang yang positif (seperti memandang segelas air sebagai setengah penuh) Siapakan yang lebih baik cara pandangnya? Siapakah yang lebih mungkin bahagia, lebih yakin dan lebih pasti?
Bisa memilih menerima segalanya apa adanya.
Ini tidaklah berarti bahwa kamu menjadi tak semangat dan menyerah. Artinya kamu tidak bergumul, merengek, dan membenturkan kepalamu ke tembok ketika segalanya tidak beres. Sebenarnya perilaku yang menjadikan kamu korban yang tiada berdaya (yang memakanmu itulah yang menambah beban atas semangatmu). Terimalah segalanya apa adanya, bukan seperti yang kamu angankan saat ini. Masa lalu sudah lewat, masa depan masih misteri dan saat inilah karunia, itulah sebabnya saat ini disebut "present = hadiah". Oleh karenanya saat ini pergunakanlah sebaik – sebaiknya.
Bisa memilih cepat pulih
Mengembangkan sikap – sikap positif tidaklah berarti bahwa kamu tidak akan pernah mengalami kepedihan, penderitaan, atau kekecewaan. Selain itu, mengembangkan sikap – sikap positip tidaklah berarti seharusnya mengabaikan masalah. Masalahpun selalu mempunyai sisi sebaliknya. Kalau gagal dalam ujian, belajarlah lebih giat lagi atau cari pembimbing. Kalau kamu kehilangan teman, perbaikilah persahabatan tersebut, atau mencari teman baru. Kalau kamu tidak suka penampilanmu, kembangkanlah kepribadian kamu yang fantastis.
Bisa memilih cerita.
Mulailah dengan menolak hal – hal yang suram, sungginglah senyum. Kalau kamu melontarkan kata – kata yang positif, prmikiran – pemikiran yang positif, dan perasaan – perasaan yang positif, maka orang – orang (serta hal – hal) yang positif akan tertarik kepadamu.
Bisa memilih bersikap antusias.
Sambutlah setiap harinya dengan semangat. Laksanakanlah tugas – tugasmu dengan penuh semangat. Semakin bersemangat, maka semakin orang – orang disekelilingpun merasa dan bersikap demikian, "Semangatlah…. . !"
Bisa memilih lebih peka.
Bila lebih peka terhadap masalah – masalah potensial, maka bisa lebih siap menghadapinya dan bahkan mengelak. Jika seseorang bisa terhadap pengalaman – pengalaman positif. Misal, bila mendengar pengumuman tentang uji coba tim atau klub baru, maka catatlah waktu dan tempatnya dan berencanalah mengikutinya, kamu akan memperoleh sesuatu hal yang baru.
Bisa memilih humor.
Kalau melakukan sesuatu yang konyol (semua orangpun pernah) jangan melewatkan peluang untuk menertawakan diri sendiri. Itulah salah satu sukacita besar kehidupan. bila banyak tertawa, maka sehat. Tawa itu mengeluarkan kimiawi tertentu dalam tubuh yang merangsang dan dapat membantu bertumbuh dengan sehat. Humor dan tertawa itu sehat.
Bisa memilih sportif.
Sportif artinya menerima kekalahan dengan positif sambil tersenyum, menjabat tangan sang pemenang, tidak menyalahkan orang lain atua keadaan atas kekalahan itu. Sikap ini bisa memenangkan teman seandainyapun tidak memenangkan pertandingan atau kompetisinya. "Sportif" berarti pula tidak mengejek yang kalah ketika menang.
Bisa memilih rendah hati.
Rendah hati adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT. Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Orang yang rendah hati dan selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah.
Bisa memilih bersyukur.
Bersyukur merupakan sikap terbaik. Bersyukur artinya mampu memanfaatkan semaksimal mungkin segala pemberian tuhan Rasa syukur membuat seseorang tersenyum. Itu membuatnya senang dengan kehidupan. Dan orang lain pun senang di dekatnya. Bersyukur bisa memberikan ketenangan diri.
Bisa memilih beriman.
Bagi sementara orang, ini berarti percaya kepada Allah Yang Maha Kuasa atau kuasa yang lebih tinggi lainnya. Orang beriman artinya bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang.
Bisa memilih berpengharapan.
Pengharapan mungkin merupakan sikap positif yang terpenting dasar bagi segala sikap poritif lainnya. Apakah yang diharapkan? Apa sajakah impiannya? Apa sajakah ambisinya? Kalau mau mempertimbangkan pertanyaan – pertanyaan tersebut berarti sudah menjadi individu yang berpengharapan. "Pengharapan adalah sesuatu yang diharapkan pada Jiwa – yang selalu ada tanpa kata – dan tidak pernah berhenti – sama sekali.
Ringkasan
Berfikir positif merupakan hal yang penting bagi seseorang termasuk konselor dalam menjalani kehidupan. Untuk menghadapi suatu permasalahan dalam hidup, bisa melihat diri dalam berbagai aspek khususnya dalam memecahkan permasalahan, namun berfikir positif juga perlu bahkan harus di dukung dengan usaha untuk berubah menjadi lebih baik.
Untuk berfikir positif memerlukan langkah-langkah yang harus dilakukan dimana hal ini menjadi faktor pendukung demi terciptanya seorang yang menjiwai hal tersebut. Namun inilah hal yang perlu kita perhatikan sebagai berikut. Jadilah optimis, usahakan lebih sering tersenyum, libatkan diri anda dengan suasana yang menyenangkan
Berfikir positif bukan suatu tujuan melainkan suatu jalan untuk mencpai manfaat yang diantaranya, mengatasi stress, menjadi lebih sehat, percaya diri, bisa mengambil keputusan, bisa meningkatkan konsentrasi, bisa mengatur dengan baik, lebih sukses dalam hidup, memiliki banyak teman, menjadi pembrani dan hidup lebih baik.
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa berpikir positif adalah cara menghadapi suatu masalah dengan mengambil hikmah dibalik masalah yang dihadapi sehingga tidak menimbulkan konflik/pertentangan. Efek dari berpikir positif yaitu apabila seorang individu mampu berpikir positif maka kondisi psikologis individu tersebut positif pula, intinya antara proses berpikir dan tindakan berjalan berdampingan tidak dapat dilepaskan satu sama lainnya. Manfaat berpikir positif yaitu agar kita tidak terjebak dalam situasi yang serba buruk yang akan membuat kita terperosok pada situasi yang penuh dengan intrik.
Latihan
Berpikir positif merupakan sikap mental yang penting bari pribadi konselor.
Mengapa Berpikir positif merupakan sikap mental yang penting bagi pribadi konselor
Pikiran-pikiran positif itu akan menghadirkan kebahagiaan. Sebutkan contoh dalam tindalkan dan perilakunya.
Identifikasikan sikap dan perilaku yang menunjukkan individu itu berfikir posupitif?
Pikiran – pikiran negatif itu perlu dihindari:
Mengapa pikiran-pikiran negative itu menular ?.
Sebut dan jelaskan contohnya
Mengapa pikiran negative itu di hindari?
Dampak bila konselor tidak berfikir positif dalam melaksanakan tugasnya?
Sebutkan dampak apa sajakan apa bila konselor tidaak positif thingking ?
Adakah pengaruh terhadap gfiologis bila tidak positif thingking ?
Bahai mana mengelola agar konselor menjaga berfikir positif /
BAB VI
PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KEHIDUPAN PRIBADI KONSELOR
Kompetensi Dasar
Setelah mempelajari maka dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam nilai-nilai kehidupan.
Makhluk sosial, setiap individu dalam berhubungan sosial dengan individu lain membutuhkan suatu nilai kehidupan yang mengatur hubungan tersebut, sehingga hubungan yang terjalin dapat berjalan selaras dan mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Nilai kehidupan juga perlu dimiliki oleh setiap profesi dalam menjalankan tugasnya secara profesional, termasuk seorang konselor.
Konsep Nilai Kehidupan
Nilai-nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku. Sistem nilai dalam suatu organisasi adalah tentang nilai-nilai yang dianggap penting dan sering diartikan sebagai perilaku personal. Nilai merupakan milik setiap pribadi yang mengatur langkah-langkah yang seharusnya dilakukan karena merupakan cetusan dari hati nurani yang dalam dan diperoleh seseorang sejak kecil.
Nilai juga dianggap sebagai sesuatu yang baik yang menjadi suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial manusia. Karena manusia merupakan makhluk budaya dan makhluk sosial selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik berupa jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohani (segi spiritual) maka manusia dalam interaksi dan interdependensinya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan selaras.
Nilai-nilai kehidupan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena mempunyai kaitan erat. Jika kebudayaan dipahami sebagi hasil cipta manusia untuk memperbaiki, mempermudah, dan meningkatkan kualitas diri, maka nilai-nilai hidup dan kehidupan merupakan hasil kebudayaan. Akan tetapi, jika kebudayaan dimengerti sebagai keseluruhan kemampuan baik pikiran, kata, dan tindakan atau perbuatan manusia, maka nilai-nilai hidup dan kehidupan merupakan unsur-unsur kebudayaan yang digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai sikonnya.
Menurut maknanya, etika, etiket, hal-hal etis, nilai, dan norma dapat berlaku atau mempunyai kesamaan secara universal. Akan tetapi, jika diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk kata dan tindakan serta perilaku dalam interaksi antar manusia, maka berbeda sesuai situasi dan kondisi serta lingkungan interaksi itu terjadi. Orang-orang di benua Amerika, Eropa, Asia mempunyai pengertian ataupun pemahaman yang relatif sama tentang etika, etiket, hal-hal etis, nilai, norma. Namun, ada kata-kata, tindakan, dan perilaku keseharian yang telah menjadi kebiasaan orang-orang Amerika dan Eropa yang berbeda dengan masyarakat Asia maupun Afrika, dan seterusnya. Dan jika kebiasaan-kebiasaan itu dipraktekkan pada sikon Asia, maka dianggap tidak etis dan tak sesuai nilai-nilai ataupun norma ketimuran, dan lain sebagainya.
Nilai atau value di dini diartikan sebagai suatu ukuran pada diri seseorang tentang sesuatu sikap, kata, situasi, dan lain lain, yang dapat dan selalu atau sering kali mempengaruhi perilakunya. Nilai selalu mempunyai kaitan dengan norma atau petunjuk-petunjuk agar mempunyai hidup serta berperilaku yang baik. Norma biasanya tidak tertulis namun berlaku dan disetujui secara umum. Jadi, nilai-nilai hidup dan kehidupan merupakan keseluruhan tampilan diri, sikap, kata, perbuatan manusia sesuai sikonnya. Nilai-nilai hidup dan kehidupan manusia biasanya dipengaruhi oleh masukan-masukan dari luar dirinya sejak kecil. Yang termasuk nilai-nilai hidup antara lain:
Agama atau ajaran-ajaran agama
Agama atau ajaran-ajaran agama biasanya bersifat mutlak. Artinya tertanam dan berakarnya nilai-nilai dalam diri seseorang, yang kadang telah menjadi prinsip hidupnya. Hal ini merupakan akibat dari pemahaman keagamaan yang kuat dan mendalam dan seringkali ia tidak bisa menjelaskan alasan-alasan mempunyai prinsip tersebut (yang mungkin orang lain menganggap sebagai suatu kekakuan), namun karena imanya, ia tetap pada pendiriannya
Norma ataupun kebiasaan yang berlaku dalam komunitas
Norma-norma yang berlaku pada suatu komunitas biasanya bersifat warisan bersama, artinya semua anggota komunitas menyetujui dan mempraktekkannya. Karena merupakan warisan bersama, maka hal itu terus-menerus diturunkan kepada generasi berikutnya dan bisa dipakai sebagai salah satu indentits bersama pada komunitas tersebut. Dengan demikian, sampai kapan atau dimana pun ia berada, maka selalu mempertahankan nilai-nilai tersebut
Pendidikan formal dan informal, disiplin, latihan, bimbingan orang tua maupun guru
Pendidikan formal dan informal, disiplin, latihan, bimbingan orang tua maupun guru semuanya itu merupakan penanaman nilai-nilai yang dilakukan sejak dini oleh orang dewasa ke dalam diri seseorang atau anak-anaknya. Proses penanaman itu dilakukan secara sengaja maupun tidak, dengan tujuan tertanam niali-nilai luhur, baik, dan benar, yang menjadikan seseorang, dapat diterima oleh sesamanya.
Interaksi sosial
Interaksi sosial dapat membawa perubahan pikiran dan tujuan mengungkapkan kata serta melakukan tindakan
Pengalaman serta wawasan
Pengalaman serta wawasan yang didapat karena adanya interaksi dengan orang lain serta keterbukaan menyerap hal-hal baru. Dengan demikian, ada kesamaan nilai-nilai hidup dan kehidupan yang ada di suatu komunitas masyarakat, kesamaan yang berlaku dan diterima oleh seluruh anggota komunitas. Hal tersebut, termasuk nilai-nilai keagamaan, berlaku untuk semua umat yang menganut agama. Walaupun demikian, pada masing-masing orang (tiap-tiap pribadi) ada nilai-nilai yang khas, sesuai dengan masukan-masukan yang didapatkannya.
Nilai-nilai hidup dan kehidupan pada pribadi seseorang berbeda dengan yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai hidup dan kehidupan dalam masyarakat pun mempunyai aneka perbedaan tertentu karena berbagai latar belakang anggotanya. Masukan-masukan (ajaran) keagamaan yang dominan pada seseorang sangat mempengaruhi nilai-nilai hidup dan kehidupannya. Orang yang mempunyai nilai-nilai keagamaan yang baik, kokoh, dan kuat, akan menjadikan ia mampu bersifat kritis terhadap hal-hal ada disekitarnya. Namun, nilai-nilai hidup dan kehidupan yang dominan karena ajaran agama tidak boleh menjadikan fanantisme keagamaan yang sempit. Nilai-nilai keagamaan dapat menjadi suatu saringan untuk mampu menahan diri terhadap semua pengaruh buruk.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal dan menganut berbagai macam nilai kehidupan. Di antara nilai-nilai kehidupan itu bisa saja dianggap tidak penting bagi seseorang, tetapi bisa agak penting, penting, atau sangat penting bagi oranglain. Semuanya tergantung pada pilihan dan pertimbangan masing-masing pribadi, serta dipengaruhi oleh situasi dan kondisi kehidupannya. Beberapa contoh nilai kehidupan itu antara lain sebagai berikut:
Nilai kekuasaan, seperti persepsi (pandangan) terhadap keinginan untuk menundukkan atau mempengaruhi orang lain.
Nilai cinta atau kasih sayang, seperti ikatan batin, saling menghargai, saling setia, saling menghormati, saling membantu, memikirkan kepentingan dan kebaikan orang lain.
Nilai keindahan, seperti kemampuan untuk menghargai dan menikmati hal-hal yang indah, serasi, dan bagus.
Nilai keindahan fisik, seperti persepsi terhadap keadaan tubuh yang dianggap ideal atau serasi.
Nilai kesehatan, seperti keinginan untuk memiliki keadaan tubuh yang jauh dari penyakit.
Nilai keterampilan, seperti keinginan untuk memiliki kemampuan untuk melakukan berbagai hal dengan tepat, mudah, dan cepat
Nilai rasa sejahtera dan aman, seperti memiliki keinginan untuk bebas dari tekanan, kecemasan, dan konflik batin.
Nilai pengetahuan, seperti tuntutan diri terhadap informasi, kebenaran, hal-hal yang dapat memuaskan rasa ingin tahu, atau memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang diinginkan.
Nilai moral, seperti keinginan untuk memiliki pemikiran, keyakinan, dan tindakan yang sesuai dengan norma yang diterima oleh masyarakat.
Nilai keagamaan atau kepercayaan, yaitu iman terhadap Tuhan, dan keinginan untuk dapat hidup sesuai dengan agama dan kepercayaan.
Nilai keadilan, seperti keinginan untuk memiliki sikap adil, sifat tidak memihak atau membedakan manusia, menghargai kebenaran dan fakta, serta mampu memperlakukan orang lain secara adil.
Nilai altruisme, yaitu memiliki kemauan dan kemampuan untuk memperhatikan kebutuhan, kepentingan, dan kebahagiaan orang lain.
Nilai pengakuan atau penghargaan, seperti keinginan untuk mengakui bahwa dirinya sendiri adalah penting, berharga, dan layak mendapatkan perhatian serta penghargaan dari orang lain.
Nilai kesenangan, seperti keinginan merasakan kenikmatan atau kegembiraan.
Nilai kebijaksanaan, seperti memiliki kemauan menggunakan akal sehat, pengalaman, dan pengetahuan dengan tepat, dan dapat mengambil keputusan dengan cermat atau teliti.
Nilai kejujuran, seperti memiliki kebaikan hati, ketulusan hati, kesungguhan hati, dan keterusterangan.
Nilai prestasi, seperti penghargaan terhadap hasil yang baik dari kerja keras.
Nilai kemandirian atau otonomi, seperti kemampuan untuk berdiri sendiri, dan tidak dikuasai oleh orang lain.
Nilai kekayaan, seperti keinginan untuk memiliki banyak harta yang berharga dan atau memiliki banyak uang.
Nilai kesetiaan, seperti keinginan memiliki keteguhan hati dalam persahabatan, dalam ikatan dengan kelompok, atau lembaga tertentu.
Hubungan Nilai dengan Pribadi Konselor
Nilai suatu yang dianggap baik yang menjadi suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial manusia. Karena manusia merupakan makhluk budaya dan makhluk sosial selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik berupa jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohani (segi spiritual)] maka manusia dalam interaksi dan interdependensinya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan selaras.
Dalam Pendidikan: manusia sebagai subjek pendidikan (siap untuk mendidik) dan sebagai objek pendidikan (siap untuk dididik). Berhasil atau tidaknya usaha pendidikan tergantung pada jelas atau tidaknya tujuan pendidikan. Di Indonesia: tujuan pendidikan berlandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Filosofi pendidikan pancasila: usaha-usaha pendidikan dalam keluarga, masyarakat, sekolah dan perguruan tinggi.
Dalam rangka mengembangkan sifat sosial, manusia selalu menghadapi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai (Ahmadi, 1990: 12). Nilai-nilai itu merupakan faktor internal dengan hubungan antar sosial tersebut, sebagaimana dikatakan Celcius, ubi societas, ibiius "di mana ada suatu masyarakat, disana pasti ada hukum". Dengan kata lain, sebagaimana pandangan aliran progressivisme, nilai itu timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor lain dari masyarakat saat nilai itu timbul (Muhammad Noor Syam, 1986: 127). Sehingga Nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial dan bermasyarakat dengan manusia lain. Hal ini sesuai dengan aliran progressivisme bahwa "masyarakat menjadi wadah nilai-nilai".
Aktivitas bimbingan dan konseling, pada dasarnya, merupakan interaksi timbal-balik, yang di dalamnya terjadi. hubungan saling mempengaruhi antara konselor sebagai pihak yang membantu dan konseli sebagai pihak yang dibantu. Hanya saja, mengingat konselor diasumsikan sebagai pribadi yang akan membimbing konseli dalam mencapai tujuan tertentu, maka dalam relasi ini sangat dibutuhkan adanya kapasitas tertentu yang harus dimiliki oleh seorang konselor. Kapasitas tertentu inilah yang menentukan kualitas konselor. Kualitas konselor adalah semua kriteria keunggulan termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan nilainilai yang dimiliki konselor, yang akan menentukan keberhasilan (efektivitas) proses bimbingan dan konseling. Salah satu kualitas yang kurang dibicarakan adalah kualitas pribadi konselor, yang menyangkut segala aspek kepribadian yang amat penting dan menentukan efektivitas konseling. Dengan kata lain, efektivitas proses konseling akan sangat dipengaruhi oleh besar modal yang dimiliki oleh konselor. Modal ini meliputi dua aspek, yaitu aspek personal dan profesional.
Modal personal adalah hal-hal yang menyangkut kualitas kepribadian yang dimiliki oleh konselor, sementara modal profesional lebih mengarah pada persoalan kualifikasi pendidikan, pengetahuan, serta penguasaan konselor atas berbagai teori dan teknik konseling. Meminjam bahasa Ary Ginanjar, modal personal dapat dimaknai sebagai kecerdasan emosional dan spiritual, sementaramodal profesional lebih berorientasi pada intelektualitas (kecerdasan intelektual). Tulisan ini akan lebih mengetengahkan hal-hal yang berkaitan dengan modal personal atau kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh konselor. Pembahasan akan dimulai dengan urgensi pribadi konselor, kemudian dilanjutkan dengan identifikasi beberapa kualitas pribadi yang perlu dimiliki seorang konselor, dan diakhiri dengan persoalan kiat atau cara mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kualitas Nilai Kepribadian Konselor
Beberapa penelitian pakar konseling menemukan bahwa keefektifan konselor banyak ditentukan oleh kualitas pribadinya. Secara umum, berangkat dari hasil penelitian tersebut, khususnya untuk konteks Indonesia, beberapa karakteristik kepribadian yang perlu dimiliki seorang konselor adalah sebagai berikut:
Beriman dan bertakwa
Menyenangi manusia
Komunikator yang terampil
Bendengar yang baik
Memiliki ilmu yang luas, terutama tentang wawasan tentang manusia dan sosial-budaya
Menjadi narasumber yang kompeten
Fleksibel, tenang, dan sabar
Menguasai keterampilan atau teknik
Memiliki intuisi
Memahami etika profesi
Respek, jujur, asli, menghargai, dan tidak menilai
Empati, memahami, menerima, hangat, dan bersahabat
Fasilitator dan motivator
Emosi stabil; pikiran jernih, cepat, dan mampu
Objektif, rasioanl, logis, dan konkrit
Konsisten dan tanggung jawab.
Sementara itu, ABKIN (Asosiasi Profesi Bimbingan dan Konseling Indonesia)merumuskan bahwa salah satu komponen standar kompetensi yang harus dijiwai dan dimiliki oleh konselor adalah mengembangkan pribadi dan profesionalitas secara berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi:
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat
Memiliki kesadaran diri dan komitmen terhadap etika profesional
Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat tugas dan secara eksternal antarprofesi
Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling.
Apa yang diungkap oleh Willis maupun yang dirumuskan oleh ABKIN di atas, mengisyaratkan bahwa porsi kecerdasan atau kematangan emosi dan spiritual konselor harus lebih ditekankan daripada sisi intelektual dan keterampilan teknis. Persoalannya adalah mampukah lembaga pendidikan menjadi konselor yang dapat memenuhi kriteria tersebut atau pertanyaan besar bagi para ahli bimbingan dan konseling adalah mampukah kita mendidik atau menghasilkan konselor dengan segenap kompetensi di atas. engembangkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konseling selalu ditegaskan bahwa konselor tidak mempengaruhi pandangan, keyakinan dan tingah laku konselinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jadi dikarenakan konselor berperan sebagai pihak yang secara personel maupun profesional menyediakan diri untuk sepenuhnya membantu konseli tanpa syarat, maka dia juga berkewajiban menerima konseli yang menghadapi masalah demikian dengan berusaha membantunya. Aspek nilai dalam konseling adalah hal yang sangat fundamental. Pertentangan antara nilai-nilai yang dianut konselor dengan yang dianut konseli akan menyebabkan konseling tidak dapat dilanjutkan, utamanya konseling yang menyangkut pengambilan keputusan berhubungan dengan nilai-nilai dasar kedua belah pihak.
Aktivitas bimbingan dan konseling, pada dasarnya merupakan interaksi timbal-balik, yang di dalamnya terjadi hubungan saling mempengaruhi antara konselor sebagai pihak yang membantu dan konseli sebagai pihak yang dibantu. Seorang konselor yang bekerja dengan diatur oleh kode etik dan memiliki tugas untuk membantu menangani masalah konseli harus memiliki nilai kehidupan dalam melaksanakan profesinya secara profesional. Ketentuan ini dapat dilihat di point pertama pada "Kualifikasi Dan Kegiatan Profesional Konselor" di dalam ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia), yang berbunyi sebagai berikut:
Kualifikasi dan kegiatan profesional konselor terdiri dari dua point yaitu:
Memiliki nilai, sikap. Ketrampilan, pengetahuan dan wawasan dalam bidang profesi bimbingan dan konseling. Nilai, sikap, ketrampilan, pengetahuan dan wawasan yang harus dimiliki konselor adalah sebagai berikut:
Konselor wajib terus-menerus berusaha mengembangkan dan menguasai dirinya
Konselor wajib memperlihatkan sifat-sifat sederhana, rendah hati, sabar, menepati janji, dapat dipercaya, jujur, tertib dan hormat
Konselor wajib memeiliki rasa tanggung jawab terhadap saran ataupun peringatan yang diberikan kepadanya, khususnya dari rekan seprofesi yang berhubungan dgn pelaksanaan ketentuan tingkah laku profesional
Konselor wajib mengusahakan mutu kerja yang tinggi dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi termasuk material, finansial dan popularitas
Konselor wajib trampil dlm menggunakan tekhnik dan prosedur khusus dgn wawasan luas dan kaidah-kaidah ilmiah
Memperoleh pengakuan atas kemampuan dan kewenangan sebagai konselor.
Pengakuan Keahlian
Kewenangan oleh organisasi profesi atas dasar wewenang yang diberikan kepadanya.
Selanjutnya hubungan nilai kehidupan pribadi dengan tugas seorang konselor dapat dilihat pula di dalam salah satu aspek tujuan bimbingan dan konseling yaitu aspek pribadi-sosial konseli yang terdapat dalam rambu-rambu penyelenggaraan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal bahwa tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah sebagai berikut: Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/ Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
Ringkasan
Nilai (values) adalah suatu keyakinan seseorang tentang penghargaan terhadap suatu standar atau pegangan yang mengarah pada sikap/perilaku. Nilai merupakan cetusan dari hati nurani yang dalam dan diperoleh seseorang sejak kecil. Nilai juga dianggap sebagai sesuatu yang baik yang menjadi suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial manusia.
Nilai-nilai kehidupan dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena mempunyai kaitan erat. Unsur kebudayaan yang digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai situaaasi dan kondisinya. Nilai kehidupan menurut maknanya, etika, etiket, hal-hal etis, nilai, dan norma dapat berlaku atau mempunyai kesamaan secara universal.
Yang termasuk nilai-nilai kehidupan adalah: agama atau ajaran-ajaran agama; norma ataupun kebiasaan yang berlaku dalam komunitas; pendidikan formal dan informal, disiplin, latihan, bimbingan orang tua maupun guru; interaksi sosial dan pengalaman serta wawasan
Contoh nilai kehidupan itu antara lain sebagai berikut: kekuasaan, cinta atau kasih sayang, keindahan, keindahan fisik, kesehatan, keterampilan, sejahtera dan aman, pengetahuan, moral, keagamaan atau kepercayaan, keadilan, altruisme, pengakuan atau penghargaan, kesenangan, kebijaksanaan, kejujuran, prestasi, kemandirian atau otonomi, kekayaan, dan kesetiaan
Salah satu kapasiatas yang perlu dimiliki konselor adalah memiliki nilai-nilai pribadi yang menentukan kualitas konselor. Kualitas konselor adalah semua kriteria keunggulan termasuk pribadi, pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dimiliki konselor, yang akan menentukan keberhasilan (efektivitas) proses bimbingan dan konseling.
Beberapa karakteristik kepribadian yang perlu dimiliki seorang konselor adalah beriman dan bertakwa, menyenangi manusia, komunikator yang terampil, pendengar yang baik, memiliki ilmu yang luas, terutama tentang wawasan tentang manusia dan sosial-budaya, menjadi narasumber yang kompeten, fleksibel, tenang, dan sabar, menguasai keterampilan atau teknik, memiliki intuisi, memahami etika profesi, respek, jujur, asli, menghargai, dan tidak menilai, empati, memahami, menerima, hangat, dan bersahabat, fasilitator dan motivator, emosi stabil; pikiran jernih, cepat, dan mampu objektif, rasioanl, logis, dan konkrit, konsisten dan tanggung jawab. Sementara itu, ABKIN merumuskan bahwa salah satu komponen standar kompetensi yang harus dijiwai dan dimiliki oleh konselor adalah mengembangkan pribadi dan profesionalitas secara berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi: beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian yang kuat, memiliki kesadaran diri dan komitmen terhadap etika professional, mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat tugas dan secara eksternal antarprofesi, dan berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling.
Latihan
Konsep nilai kehidupan.
Jelaskan yang dimaksud nilai-nilai kehidupan itu ?
Apa sajakan yang termasuk nilai-nilai pribadi yang perlu dimiliki oleh konselor?
Apa sajakah factor-faktor yang mempengaruhi nilai-nilai kehidupa itu?
Keyakinan konselor
Apa yang dimaksud dengan keyakinan konselor ?
Jelaskan nilai-nilai pribadi yang esesnsial dimiliki pribadi konselor?
Apa yang mempengaruhi nilai-nilai pribadi konselor dalam melaksanakan profesinya ?
Keterampilan merefleksi nilai-nilai pribadi konselor.
Jelaskan perilaku konselor yang menunjukkan pribadi yang nilai pribadinya tinggi
Sebutkan dengan contoh perilaku konselor yang nilai pribadinya rendah ?
BAB VII
PRASANGKA DAN STEREOTIF BUDAYA
Kompetensi Dasar
Setelah mempelajari maka dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam prasangka dan stereotif budaya
Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang membiarkan anggota-anggotanya mengembangkan cinta satu sama lain. Sedangkan masyarakat yang sakit menciptakan permusuhan, kecurigaan, dan ketidak saling percayaan anggota-anggotanya (dalam Schultz, 1991). Senada dengan Fromm, J. E. Prawitasari dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM tahun 2003, menyampaikan bahwa kriteria masyarakat yang sehat secara sosiopsikologis diantaranya adalah bila masyarakat mampu bercinta, yaitu mampu menggunakan cinta kasihnya untuk menumbuhkan perdamaian di antara sesama manusia.
Kriteria sehat lainnya adalah bila masyarakat mampu bekerja, mampu belajar dan mampu bemain. Mendasarkan pada kriteria ini, tampak jelas bahwa adanya prasangka yang luas di masyarakat merupakan indikasi jelas ketidaksehatan sosiopsikologis dalam masyarakat bersangkutan. Hal ini karena prasangka menumbuhkan kecurigaan, ketidakpercayaan, dan permusuhan. Prasangka juga menghalangi anggota-anggota masyarakat untuk mengembangkan cinta satu sama lain di antara anggota-anggota masyarakat dan untuk menyebarkan perdamaian.
Banyak pihak yang menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat berprasangka. Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar. Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah heterophobia. Segala sesuatu yang baru dan berbeda dari umumnya orang akan ditanggapi dengan penuh kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam.
Ketika suatu hubungan antar golongan – kelompok tidak seimbang (equal), maka seketika itu juga akan menyuburkan benih-benih kebencian dan curiga. Pengelolaan sumber daya yang tidak seimbang, atau pendominasian akses atas politik, ekonomi, sosial, atau budaya akan menumbuhkan percikan-percikan dendam. Tanpa kita sadari, kita kemudian membuat gambaran dan asumsi-asumsi yang sifatnya absurd tentang golongan atau kelompok atau orang lain. Kita akan terus memberikan justifikasi dan legitimasi bahwa semua itu benar. Prasangka bisa muncul ketika stereotip dan persepsi-persepsi yang dipunyai oleh seseorang tersebut terwujud dalam suatu sikap atau attitude tertentu.
Pengertian Prasangka
Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok (Baron & Byrne, 1991). Misalnya karena pelaku pemboman di Bali adalah orang Islam yang berjanggut lebat, maka seluruh orang Islam, terutama yang berjanggut lebat, dicurigai memiliki itikad buruk untuk menteror.
Daft (1999) memberikan definisi prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. Soekanto (1993) dalam 'Kamus Sosiologi' menyebutkan pula adanya prasangka kelas, yakni sikap-sikap diskriminatif terselubung terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu. Prasangka ini ada pada kelas masyarakat tertentu dan dialamatkan pada kelas masyarakat lain yang ada didalam masyarakat. Sudah jamak kelas atas berprasangka terhadap kelas bawah, dan sebaliknya kelas bawah berprasangka terhadap kelas atas. Sebagai contoh, jika kelas atas mau bergaul dengan kelas bawah maka biasanya kelas atas oleh kelas bawah dicurigai akan memanfaatkan mereka. Bila kelas bawah bergaul dengan kelas atas dikira oleh kelas atas akan mencuri dan sebagainya.
Komponen Dasar Prasangka
Sebagai sebuah sikap, prasangka mengandung tiga komponen dasar sikap yakni perasaan (feeling), kecenderungan untuk melakukan tindakan (behavioral tendention), dan adanya suatu pengetahuan yang diyakini mengenai objek prasangka (beliefs). Perasaan yang umumnya terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung benci. Kecenderungan tindakan yang menyertai prasangka biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan verbal seperti menggunjing, dan berbagai tindakan negatif lainnya. Sedangkan pengetahuan mengenai objek prasangka biasanya berupa informasi-informasi, yang seringkali tidak berdasar, mengenai latar belakang objek yang diprasangkai. Misalnya bila latar belakang kelompoknya adalah etnik A, maka seseorang yang berprasangka terhadapnya mesti memiliki pengetahuan yang diyakini benar mengenai etnik A, terlepas pengetahuan itu benar atau tidak.
Prasangka merupakan salah satu penghambat terbesar dalam membangun hubungan antar individu yang baik (Myers, 1999). Bisa dibayangkan bagaimana hubungan interpersonal yang terjadi jika satu sama lain saling memiliki prasangka, tentu yang terjadi adalah ketegangan terus menerus. Padahal sebuah hubungan antar pribadi yang baik hanya bisa dibangun dengan adanya kepercayaan, dan dengan adanya prasangka tidak mungkin timbul kepercayaan. Sehingga adalah muskil suatu hubungan interpersonal yang baik bisa terbangun. Dalam konteks lebih luas, kegagalan membangun hubungan antar individu yang baik sama artinya dengan kegagalan membangun masyarakat yang damai.
Faktor Utama Prasangka
Menurut Poortinga (1990) prasangka memiliki tiga faktor utama yakni stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka cenderung melakukan diskriminasi. Sementara itu Sears, Freedman & Peplau (1999) menggolongkan prasangka, stereotip dan diskriminasi sebagai komponen dari antagonisme kelompok, yaitu suatu bentuk oposan terhadap kelompok lain. Stereotip adalah komponen kognitif dimana kita memiliki keyakinan akan suatu kelompok. Prasangka sebagai komponen afektif dimana kita memiliki perasaan tidak suka. Dan, diskriminasi adalah komponen perilaku.
Stereotif Budaya
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.
Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, & Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. Misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.
Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip (Brisslin, 1993). Misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson & Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara:
Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. ndividu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.
Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.
Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai stereotip, yaitu:
Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut.
Jarak Sosial
Jarak sosial adalah suatu jarak psikologis yang terdapat diantara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan kontak sosial yang akrab. Jauh dekatnya jarak sosial seseorang dengan orang lain bisa dilihat dari ada atau tidaknya keinginan-keinginan berikut:
Keinginan untuk saling berbagi
Keinginan untuk tinggal dalam pertetanggaan,
Keinginan untuk bekerja bersama,
Keinginan yang berhubungan dengan pernikahan.
Pada umumnya prasangka terlahir dalam kondisi dimana jarak sosial yang ada diantara berbagai kelompok cukup rendah. Apabila dua etnis dalam suatu wilayah tidak berbaur secara akrab, maka kemungkinan terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Sebaliknya prasangka juga melahirkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka yang timbul maka semakin besar jarak sosial yang terjadi. Jadi antara prasangka dan jarak sosial terjadi lingkaran setan.
Sampai saat ini masih mudah ditemui adanya keengganan orangtua bila anak-anaknya menikah dengan orang yang berbeda etniknya. Masih mudah pula ditemui orangtua yang membatasi pilihan anak-anaknya hanya boleh menikah dengan etnis sendiri atau beberapa etnis tertentu saja, sementara beberapa etnis yang lain dilarang. Kenyataan seperti itu merupakan cerminan dari adanya prasangka antar etnik. Saya pernah mendengar secara langsung ada petuah orang tua pada anaknya laki-laki, yang kebetulan etnis jawa, untuk tidak mencari jodoh etnis Dayak, etnis Minang, dan etnis Sunda. Diluar ketiga etnis itu dipersilahkan, tetapi lebih disukai apabila sesama etnis jawa.
Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau, 1999). Misalnya banyak perusahaan yang menolak mempekerjakan karyawan dari etnik tertentu. Lalu ada organisasi yang hanya mau menerima anggota dari etnik tertentu saja meskipun jelas-jelas organisasi itu sebagai organisasi publik yang terbuka untuk umum. Contoh paling terkenal dan ekstrim dalam kasus diskriminasi etnik dan ras terjadi di Afrika Selatan pada tahun 80-an. Politik aphartheid yang dijalankan pemerintah Afrika Selatan membatasi akses kulit hitam dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Diskriminisi ras itu dikukuhkan secara legal melalui berbagai peraturan yang sangat diskriminatif terhadap kulit hitam. Misalnya anak-anak kulit hitam tidak boleh bersekolah di sekolah untuk kulit putih, kulit hitam tidak boleh berada di tempat-tempat tertentu seperti hotel, restoran dan tempat publik lainnya. Kulit hitam juga tidak boleh naik kendaraaan umum untuk kulit putih, dan bahkan tidak boleh memasuki wilayah pemukiman kulit putih.
Liliweri (1994) menemukan bahwa diskriminasi antar etnik terjadi di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Perumahan, asrama, penginapan ada yang khusus diperuntukkan bagi etnik tertentu saja. Di sana, etnik-etnik tertentu terkonsentrasi di pemukiman tertentu dan memiliki konsentrasi pada jenis pekerjaan, unit dan satuan kerja tertentu. Sebagai misal, mayoritas pegawai kantor gubernur adalah orang Flores, sedangkan di Universitas Cendana mayoritas pegawainya orang Rote dan Sabu. Akan sulit orang Flores masuk menjadi pegawai di Universitas Cendana, demikian juga sebaliknya.
Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut.
Konsep Dasar Etik Emik
Sebagian besar buku teks pengantar dalam antropologi menyebut disiplin ini bersifat "holistik" dan "komparatif". Perspektif antropologi adalah holistik karena mencoba mengkaji pengalaman manusia secara keseluruhan (Ember dan Ember, 1996). Bahwasanya, berbeda dari ilmuwan politik, sosiologi, atau ekonomi, antropolog berupaya melihat keluar dari perilaku politik, sosial, atau ekonomi, dan mempelajari saling keterkaitan di antara semua faktor kehidupan manusia ini dan untuk mempelajari hubungan-hubungan di antaranya. Tentu saja, antropolog berupaya menggabungkan lebih banyak lagi faktor ke dalam analisis "holistik" mereka, termasuk biologi, ekologi, linguistik, sejarah, dan ideologi. Perspektif antropologi itu komparatif karena disiplin ini mencari informasi dan menguji ekslpanasinya di kalangan semua kebudayaan prasejarah, sejarah, dan kontemporer yang terhadap kebudayaan-kebudayaan tersebut antropolog memiliki akses.
Pendekatan antropologi mungkin tidak selalu holistik dan komparatif dalam praktiknya, tetapi antropologi adalah satu-satunya disiplin dalam ilmu sosial yang membangun holisme dan pembandingan sebagai sasaran ideal yang hendak dicapai. Oleh karena itu, antropologi merupakan satu-satunya disiplin ilmu sosial yang secara sistematik memerhatikan perbedaan antara pengetahuan emik dan etik.
Pembedaan antara emik dan etik itu analog dengan pembedaan antara fonemik dan fonetik; adalah ahli linguistik, seperti Kenneth L. Pike (1967), yang membangun istilah emik dan etik dari analogi tersebut. Secara sangat sederhana, emik mengacu kepada pandangan warga masyarakat yang dikaji (native's viewpoint); etik mengacu kepada pandangan si peneliti (scientist's viewpoint).
Konstruksi emik adalah deskripsi dan analisis yang dilakukan dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh partisipan dalam suatu kejadian atau situasi yang dideskripsikan dan dianalisis. Konstruksi etik adalah deskripsi dan analisis yang dibangun dalam konteks skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh komunitas pengamat ilmiah. Marvin Harris adalah salah satu pendukung utama bagi pembedaan emik/etik dalam kajian antropologi. Ia menawarkan suatu pemikiran yang berguna dalam membedakan pernyataan-pernyataan emik dan etik atas dasar epistemologi.
"Kerja emik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat informan native pada status penilai tertinggi bagi kecukupan deskripsi dan analisis pengamat. Pengujian kecukupan dari analisis emik adalah kemampuannya menghasilkan pernyataan-pernyataan yang dapat diterima native sebagai nyata, bermakna, atau sesuai . . . Kerja etik mencapai tingkat tertinggi tatkala mengangkat pengamat kepada status penilai tertinggi dari kategori-kategori dan konsep-konsep yang digunakan dalam deskripsi dan analisis. " (1979: 31).
Semua manusia memiliki teori-teori mengenai hakikat kemanusiaan; kebanyakan manusia memiliki teori yang tidak lebih dari teori-teori spesifik secara kebudayaan. Jika kita ingin melakukan kajian ilmiah mengenai kondisi manusia, kita harus membedakan antara teori-teori yang kita miliki sebagai individu-individu yang terenkulturasi dan teori-teori yang kita miliki sebagai ilmuwan.
Konsep Dasar Bias Budaya yang Menghambat Konseling
Usia. Setiap periode usia individu memiliki tugas perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan untuk melaksanakan tugas perkembangan dan memenuhi berbagai kebutuhuan tersebut. Setiap periode usia mempunyai nilai-nilai budaya usia masing-masing. Hal itu terkadang menjadi masalah dalam pelaksanaan konseling karena adanya perbedaan kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup dan nilai budaya tertentu dalam setiap rentangan usia. Contoh: anak laki-laki jika dijemput orang tua, terutama ibu, terkadang ia malu dan memilih pulang sendiri atau pulang bersama teman-temannya. Akan tetapi menurut orang tua hal itu merupakan suatu bentuk perhatian orang tua terhadap anaknya
Jenis Kelamin (gender). Perbedaan Jenis kelamin menjadi perbincangan sejak jaman dahulu perbedaan jenis kelamin mempengaruhi konseling karena terkadang konselor laki-laki mempunyai stereotip terhadap perempuan yang bersifat kurang mandiri, kurang tegas, dan kurang berani mengambil resiko. Konselor perempuan kadang menganggap laki-laki tidak boleh cengeng dan tegas. Namun, jika dalam proses konseling baik laki-laki atau perempuan menampakkan sikap yang tidak sepatutnya menurut gender mereka maka terkadang konselor menganggap aneh dan salah. Contoh: konseli laki-laki ia kurang tegas, berbicara seperti perempuan dan sering menangis maka konselor di suatu tempat menyuruh konseli untuk tegas dalam berbicara selayaknya laki-laki.
Ras atau suku. Ras adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa, Sedangkan suku merupakan masyarakat yang tergabung dalam satu kelompok. Perbedaan suku yang menjadi kendala dalam konseling karena masing- masing suku memiliki kebiasaan, falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda- beda. Selain itu golongan minoritas terkadang disamaratakan oleh golongan mayoritas. Contohnya: konseli yang berasal dari suku bali dan konselor yang berasal dari suku jawa melaksanakan konseling.
Etnis Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga menganggap orang lain selalu mengerti apa yang ia maksudkan. Contoh: konselor yang berbicara dengan bahasa jawa padahal konselinya berasal dari Madura, Konselor menganggap Konseli mengerti semua apa yang oleh konselor. Namun pada kenyataannya konseli tidak semua mengerti apa yang diucapkan konselor.
Ringkasan
Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok. Prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. Kamus Sosiologi menyebutkan pula adanya prasangka kelas, yakni sikap-sikap diskriminatif terselubung terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu. Komponen Dasar Prasangka mengandung tiga komponen dasar sikap yakni perasaan (feeling), kecenderungan untuk melakukan tindakan (behavioral tendention), dan adanya suatu pengetahuan yang diyakini mengenai objek prasangka (beliefs).
Faktor utama prasangka memiliki tiga faktor utama yakni stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka cenderung melakukan diskriminasi. Ada ahli yang menggolongkan prasangka, stereotip dan diskriminasi sebagai komponen dari antagonisme kelompok, yaitu suatu bentuk oposan terhadap kelompok lain.
Stereotip adalah komponen kognitif dimana kita memiliki keyakinan akan suatu kelompok. Prasangka sebagai komponen afektif dimana kita memiliki perasaan tidak suka. Dan, diskriminasi adalah komponen perilaku. Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian
Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang. Bias budaya yang menghambat konseling yang dapat menimbulkan prasangka dan steorotif budaya adalah meliputi; usia. jenis kelamin (gender), ras atau suku etnis.
Latihan
Prasangka budaya
Jelaskan yang dimaksud prasangka itu ?
Apa sajakan yang termasuk prasangka yang perlu jadi perhatian konselor?
Apa sajakah komponen prasangka itu?
Steorotif budaya
Jelaskan yang dimaksud steorotif budaya itu ?
Apa sajakan yang termasuk steorotif budaya yang perlu jadi perhatian konselor?
Apa sajakah yang menghambat steorotif budaya itu ?
Prasangka dan stereotif budaya pribadi konselor.
Jelaskan prasangka dan stereotif budaya pribadi konselor yang perlu dihindari saat berinteraksi dengan konseli?
Sebutkan dengan contoh prasangka dan stereotif budaya pribadi konselor yang perlu dihindari?
BAB VIII
PENGEMBANGAN MANAJEMEN DIRI KONSELOR
Kompetensi Dasar:
Setelah membahas materi ini mahasiswa dapat mengaplikasikan sikap, ketrampilan, kesadaran dan komitmen selaku konselor dalam manajemen diri
Konsep Dasar Self-Management
Edelson mengungkapkan "self-management is a psychological term used to describe the process of achieving personal autonomy". Pada dasarnya self-management adalah sebuah terminologi psikologis untuk menggambarkan proses pencapaian otonomi diri. Self-management dalam terminologi pendidikan, psikologi, dan bisnis adalah metode, keterampilan dan strategi yang dapat dilakukan oleh individu dalam mengarahkan secara efektif pencapaian tujuan aktivitas yang mereka lakukan, termasuk di dalamnya goal setting, planning, scheduling, task tracking, self-evaluation, self-intervention, self-development. Selain itu self-management juga dikenal sebagai proses eksekusi (pengambilan keputusan). Self management atau pengelolaan diri adalah suatu strategi pengubahan perilaku yang dalam prosesnya konseli mengarahkan perubahan perilakunya sendiri dengan suatu teknik atau kombinasi teknik teurapetik (Cormier&Cormier, 1985: 519).
Merriam & Caffarella (Knowles, 2003b: 48) menyatakan bahwa pengarahan diri merupakan upaya individu untuk melakukan perencanaan, pemusatan perhatian, dan evaluasi terhadap aktivitas yang dilakukan. Di dalamnya terdapat kekuatan psikologis yang memberi arah pada individu untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya serta menetapkan cara-cara yang efektif dalam mencapai tujuannya. "Terapi (therapy) merupakan perlakuan (treatment) yang ditujukanterhadap penyembuhan suatu kondisi psikologis individu atau siswa" (Thantawy,
2005: 56).
Cognitive-behavior therapy mulai banyak dibicarakan pada tahun 70-an. Salah satu tokohnya adalah Meichenbaum. Cognitive-behavior therapy (CBT) merupakan salah satu rumpun aliran konseling direktif yang dikemukakan oleh Williamson dengan modifikasi bersama teknik kognitif. CBT dipandang efektif oleh para ahli sebagai pencegahan dan pengobatan terhadap gangguan Body Dysmorphic Disorder (BDD). Foreyt & Goodrich (1981; Ramli, 2005: 435) menjelaskan bahwa "terapi perilaku kognitif merupakan seperangkat prinsip dan prosedur yang memiliki asumsi bahwa proses kognitif mempengaruhi tingkah laku dan proses tersebut dapat diubah melalui teknik kognitif dan perilaku". Self-management merupakan salah satu model dalam cognitive-behavior therapy. Self-management meliputi pemantauan diri (self-monitoring), reinforcement yang positif (self-reward), kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), dan penguasaan terhadap ransangan (stimulus control) (Gunarsa, 1996: 225-226).
Selanjutnya dinyatakan bahwa self-instructional merupakan teknik kognitif yang mempunyai peranan penting atau sebagai penyokong terhadap self-management. "Cognitive theory suggests that some problems in self-management may be caused by faulty constructs or other cognitions about the world or people around us, or of ourselves" (Yates, 1985: 63). Pengaruh teori kognitif pada masalah-masalah self-management disebabkan oleh kesalahan konstruksi-konstruksi atau kognisi-kognisi yang lain tentang dunia atau orang-orang di sekitar kita atau diri kita sendiri. Self instructional atau menginstruksi diri sendiri pada hakikatnya adalah bentuk restrukturisasi aspek kognitif. Urgensi dari hal tersebut terungkap bahwa pernyataan terhadap diri sendiri sama pengaruhnya dengan pernyataan yang dibuat orang lain terhadap dirinya (Meichenbaum; dalam Gunarsa, 1996: 228). Hasil suatu penelitian ditunjukkan bahwa self-instructions dapat meningkatkan prosedur reinforcement (MacPherson, Candee, & Hohman, 1974; dalam Yates, 1985: 71) dan pada suatu eksperimen berhasil meningkatkan kreativitas (Meichenbaum, 1975; dalam Yates, 1985: 72).
Anggapan dasar self management merupakan teknik kognitif behavioral adalah bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan positif maupun negatif. Setiap perilaku manusia itu merupakan hasil dari proses belajar (pengalaman) dalam merespon berbagai stimulus dari lingkungannya. Namun self management juga menolak pandangan behavioral radikal yang mengatakan bahwa manusia itu sepenuhnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungannya. Self-management merupakan serangkaian teknis untuk mengubah perilaku, pikiran, dan perasaan.
Aspek-aspek yang dapat dikelompokkan ke dalam prosedur self-management menurut Yates (1985: 4) adalah:
Management by antecedent: pengontrolan reaksi terhadap sebab-sebab atau pikiran dan perasaan yang memunculkan respon.
Management by consequence: pengontrolan reaksi terhadap tujuan perilaku, pikiran, dan perasaan yang ingin dicapai.
Cognitive techniques: pengubahan pikiran, perilaku dan perasaan. Dirumuskan dalam cara mengenal, mengeliminasi dan mengganti apa-apa yang terefleksi pada antecedents dan consequence.
Affective techniques: pengubahan emosi secara langsung. Management by antecedent dan management by consequence disebut juga sebagai bentuk dari teknik intervensi perilaku, yang merupakan implementasi dari teknik kognitif atau afektif. Pada kenyataannya, keempat aspek itu akan saling berkaitan satu sama lain. Teknik-teknik afektif merupakan program makro dengan tujuan untuk mengubah emosi dan sikap. Hal itu melibatkan peran antara siswa dan konselor. Teknik-teknik kognitif berguna dalam pengubahan pikiran dan pola-polanya. Dikatakan pula sebagai program meso. Teknik-teknik perilaku merupakan aspek khusus/layanan mikro yang mengubah perilaku-perilaku tertentu dari siswa (Yates, 1985: 5).
Berdasarkan uraian di atas, self-management merupakan seperangkat prinsip atau prosedur yang meliputi pemantauan diri (self-monitoring), reinforcement yang positif (self-reward), perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), penguasaan terhadap rangsangan (stimulus control) dan merupakan keterkaitan antara teknik cognitive, behavior, serta affective dengan susunan sistematis berdasarkan kaidah pendekatan cognitive-behavior therapy, digunakan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam proses pembelajaran yang diharapkan.
1) Tujuan Self-Manajement
Memberikan peran yang lebih aktif pada siswa dalam proses konseling.
Keterampilan siswa dapat bertahan sampai di luar sesi konseling.
Perubahan yang mantap dan menetap dengan arah prosedur yang tepat.
Menciptakan keterampilan belajar yang baru sesuai harapan.
Siswa dapat mempola perilaku, pikiran, dan perasaan yang diinginkan.
Self-Management sebagai Suatu Strategi Konseling
Self-management adalah suatu strategi pengubahan perilaku yang dalam prosesnya konseli mengarahkan perubahan perilakunya sendiri dengan suatu teknik atau kombinasi teknik terapetik (Cormier & Cormier' 1989: 519). Self management merupakan suatu strategi yang masih relatif baru dalam dunia konseling: "Self-management is a relative recent strategy in counseling" (Cormier & Cormier, 1985: 519). Pengelolaan-diri baru muncul pada tahun 1970 dari tradisi konseling behavioral kontemporer setelah kaum behavioral memperhatikan pentingnya peranan kognisi terhadap terjadinya perubahan perilaku dan memberikan apresisasi terhadap kekuatan self-directed behavior (Shelton, 1976: 129).
Pengembangan dan penggunaan self-management dalam konseling pada mulanya dikembangkan oleh Williams dan Long (Corey, 1982: 143). Beberapa pelopor dan penganjur, yang selanjutnya juga menjadi pengembang, strategi self-management adalah Meinchenbaum dengan self-instruction-nya, Mahoney dan Thorensen dengan self-control-nya, serta Watson dan Tarp dengan self directionnya (Mahoney&Arnkoff, 1978; Krumbolt &Saphiro, 1979).
Pada awal dikembangkannya self-management masih belum terdapat istilah yang mantap untuk digunakannya masih belum ada kesepakatan dari para pelopornya sehingga masih bervariasi istilah yang digunakan. Sangat bervariasinya istilah yang digunakan itu sempat menimbulkan kekaburan dan kebingungan terminologis. Hanya saja, para pakar konseling itu sepakat bahwa pada intinya menunjuk kepada strategi pengubahan dan pengembangan perilaku yang sangat menekankan pada kemampuan individu untuk melakukannya sendiri dengan seminimal mungkin adanya arahan dari konselor.
Meskipun pada awalnya masih bervariasi istilah yang digunakan, tetapi pada perkembanganperkernbangan selanjutnya terdapat kesepakatan untuk menggunakan istilah self-management. Demikian pula Cormier dan Cormier (1989: 519) memandang lebih tepat menggunakan istilah self-management itu karena:
Self-management lebih menunjuk pada pelaksanaan dan penanganan kehidupan seseorang dengan menggunakan suatu keterampilan yang dipelajari.
Self-management juga dapat menghindarkan konsep inhibisi dan pengendalian dari luar yang seringkali dikaitkan dengan konsep kontrol dan regulasi.
Self-management merupakan suatu strategi kognitif behavioral. Anggapan dasarnya adalah bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan positif maupun negatif. Segenap perilaku manusia itu merupakan hasil dari proses belajar dalam merespons terhadap berbagai stimulus dari lingkungannya. Namun self-management menentang keras pandangan behavioral radikal yang mengatakan bahwa manusia itu sepenuhnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungannya. Secara tegas Cormier dan Cormier (1989: 520) mengatakan bahwa self-management bukanlah suatu pendekatan yang sepenuhnya deterministik dan mekanistik yang menyingkirkan potensi konseli untuk membuat pilihan dan keputusan. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam proses belajar untuk menghasilkan perilaku itu aspek kognitif juga memiliki peranan penting terutama dalam mempertimbangkan berbagai tindakan yang hendak dilakukan, menentukan pilihan-pilihan tindakan itu, dan mengambil keputusan tindakan perilakunya.
Atas dasar semua itu pula, maka strategi self-management justru memberikan posisi terhormat terhadap proses kognitif dan self-regulated behavior. Berdasarkan pandangan tentang hakikat manusia dan perilakunya itu, self-management bertujuan untuk rnembantu konseli agar dapat mengubah perilaku negatifnya dan mengembangkan perilaku positifnya dengan jalan mengamati diri sendiri; mencatat perilaku-perilaku tertentu (pikiran, perasaan, dan tindakannya) dan interaksinya dengan peristiwa-peristiwa lingkungannya; menata kembali lingkungan sebagai isyarat khusus (cues) atau anteseden atas respons tertentu; serta menghadirkan diri dan menentukan sendiri stimulus positif yang mengikuti respons yang diinginkan.
Ada beberapa asumsi dasar yang melandasi self-management sebagai strategi pengubahan dan pengembangan perilaku dalam konseling yaitu:
Pada dasarnya konseli memiliki kemampuan untuk mengamati; mencatat; dan menilai pikiran, perasaan, dan tindakannya sendiri.
Pada dasarnya konseli memiliki kekuatan dan keterampilan yang dapat dikembangkan untuk menyeleksi faktor-faktor lingkungan.
Pada dasarnya konseli memiliki kekuatan untuk memilih perilaku yang dapat menimbulkan rasa senang dan menjauhkan perilaku yang menimbulkan perasaan tidak senang.
Penyerahan tanggung jawab kepada konseli untuk mengubah atau mengembangkan perilaku positifnya amat sesuai dengan kedirian konseli karena konseli lah yang paling tahu, paling bertanggung jawab, dan dengan demikian paling mungkin untuk mengubah dirinya.
Ikhtiar mengubah atau mengembangkan diri atas dasar inisiatif dan penemuan sendiri, membuat perubahan itu bertahan lama (Cormier & Cormier, 1985 ; Nye, 1975; Mayer, 1978; O'leary & O'Leary, 1977).
Dalam self-management anggapan bahwa konseli merupakan individu yang dapat belajar atau mengarahkan diri sendiri sangat ditonjolkan. Penekanan pada kemampuan dan tanggungjawab konseli itu tampak dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para pakarnya. Mahoney dan Thorensen (Krumbolt & Saphiro, 1979: 415) mendefinisikan: "Behravioral self-management refers to that affect an individual's behavior". Shetton (1979: 129) mendefinisikan: "Behavior self-management refers to behavior which allows clients to assurne responsibility for ttreir own actions through the manipulation of external or internal events". Adapun Cormier dan Cormier (1985: 519) menambahkan suatu tekanan pada aspek prosesnya, proses konseli mengarahkan dan mengubah perilakunya; dengan mendefinisikan: "Self-management is a strategy in which clients direct their own betravior change with any one therapeutic technique or a combination techniques. Agar self-management dapat berlangsung dengan efektif, Cormier dan Cormier (1985: 219) menekankan pentingnya konseli untuk nemanipulasi variabel-variabel internal atau eksternal untuk menuju tercapainya perubahan yang diinginkan. Ditekankan juga di sini bahwa meskipun konselor dapat melakukan prosedur-prosedur self-management untuk konseli. namun sebaiknya konseli lah yang melakukannya sendiri dengan sedikit mungkin bantuan dari konselor.
Kanfer (1980: 3l0) membedakan antara prosedur-prosedur yang dikelola oleh konselor (counselor-managed procedures), di mana sebagian besar kerja terapetik terjadi selama wawancara dan perubahan terapetik terjadi di akhir konseling, (dengan prosedur-prosedur yang dikelola oleh diri sendiri, dalam hal ini oleh konseli (self-managed or client-managed procedures), di mana kerja terapetik dan perubahan terapetik terjadi di antara sesi-sesi konseling. Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, tampak jelas bahwa dalam self management pengubahan perilaku dilakukan oleh konseli yang bersangkutan, bukan banyak diarahkan, apalagi dipaksakan, oleh konselor.
Oleh sebab itu, perubahan-perubatran perilaku banyak terjadi selama dan di antara sesi-sesi konseling. Menggunakan strategi self-management untuk mengubah perilaku, konseli berusaha mengarahkan perubahan perilakunya dengan cara memodifikasi aspek-aspek lingkungan atau mengadministrasikan konsekuensi-konsekuensi (Jones, Nelson, & Kazdin, 1977: 151). Dalam menggunakan strategi self-management, di samping konseli dapat nencapai perubahan perilaku sasaran yang diinginkan juga dapat berkembang kemampuan self managementnya (Karoly & Kanfer, l982).
Teknik Konseling Self-Management
Konseling merupakan proses komunikasi bantuan yang amat penting. Diperlukan model yang dapat menunjukkan kapan dan bagaimana konselor melakukan intervensi kepada konseli. Konseling memerlukan keterampilan (skill) pada pelaksanaanya. Teknik konseling berarti seperangkat aturan dan upaya untuk menjalankan praktek bantuan berdasarkan teori dan keterampilan konseling. Teknik konseling self-management merupakan seperangkat aturan dan upaya untuk menjalankan praktek bantuan profesional terhadap individu agar mereka dapat mengembangkan potensi dan memecahkan setiap masalahnya dengan mengimplementasikan seperangkat prinsip atau prosedur yang meliputi pemantauan diri (self-monitoring), reinforcement yang positif (self-reward), perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), penguasaan terhadap ransangan (stimulus control) dan merupakan keterkaitan antara teknik cognitive, behavior, serta affective dengan susunan sistematis berdasarkan kaidah pendekatan cognitive-behavior therapy, digunakan untuk meningkatkan keterampilan dalam proses pembelajaran yang diharapkan. Secara aplikatif, dapat digunakan pada layanan konseling individual maupun kelompok sesuai dengan kebutuhan.
Penggunaan kata self-management dikemukakan oleh Corey (1991; dalam Gunarsa, 1996: 225). Sedangkan Watson & Tharp (1989: dalam Gunarsa, 1996: 226) mempergunakan istilah self-directed (pengarahan diri) yang mempunyai istilah sama dengan self-control (penguasaan diri). Dalam teknik Self-management meliputi pemantauan diri (selfmonitoring), reinforcement yang positif (self-reward), kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), dan penguasaan terhadap ranssangan (stimulus control) (Gunarsa, 1996: 225-226). Pemantauan diri (self-monitoring), merupakan suatu proses konseli mengamati dan mencatat segala sesuatu tentang dirinya sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan. Pemantauan diri bermanfaat untuk asesmen masalah karena data yang bersifat observasional dapat digunakan untuk menguji atau mengubah laporan verbal konseli mengenai perilaku masalahnya.
Dalam pemantauan diri ini biasanya konseli mengamati dan mencatat perilaku masalah, mengendalikan penyebab dari terjadinya masalah (antesedent) dan menghasilkan konsekuensi. Snyder dan Gangestad (1986) menegaskan bahwa pemantauan diri merupakan tahap pertama dan utama dalam langkah pengubahan diri. Pemantauan diri biasanya digunakan konseli untuk mengumpulkan base line data dalam suatu proses treatment. Konseli harus mampu menemukan apa yang terjadi sebelum menerapkan suatu strategi pengubahan diri, sedangkan konselor harus mengetahui apa yang tengah berlangsung sebelum melakukan tindakan. Pada tahap ini konseli mengumpulkan dan mencatat data tentang perilaku yang hendak diubah, anteseden perilaku, dan konsekuensi perilaku. Konseli juga mencatat seberapa banyak atau seringkah perilaku itu sering terjadi.
Pemantauan diri juga sangat berguna untuk evaluasi. Ketika konseli melakukan pemantauan diri tentang perilaku sasaran sebelum dan selama program perlakuan (Comenero, 1988: 196). Para peneliti telah membuktikan bahwa pemantauan diri juga dapat menghasilkan perubahan, ketika konseli mengumpulkan data tentang dirinya, data tersebut dapat mempengaruhi perilakunya lebih lanjut. Cormier dan Cormier (1986: 524) menyatakan "Bagaimana proses perubahan itu tentunya sulit untuk diamati. Paling jauh hanya dapat mengatakan bahwa proses kognitif konseli selama melakukan kegiatan pemantauan diri telah bekerja dan mengarahkan kepada suatu perubahan perilaku setelah konseli memperoleh pemahaman diri. Untuk mengetahui adanya perubahan itu dapat dilihat dari hasil akhir setelah konseli melakukan pantau diri.
Dalam pelaksanaannya, pemantauan diri dilakukan melalui enam tahapan (Thorensen& Mahoney 1974: 43-44) yaitu:
Menjelaskan rasional pemantauan diri
Mendiskriminasikan respons
Mencatat respons
Memetakan respons
Menayangkan data
Analisis data
Pada langkah menjelaskan rasional pemantauan diri ini, konselor menjelaskan rasional pemantauan diri kepada konseli. Sebelum menggunakan teknik ini, konseli harus memahami apakah teknik pemantauan diri yang hendak digunakan itu dan bagaimana teknik itu akan dapat rnembantu konseli memecahkan masalahnya. Singkatnya, pada langkah ini konselor menjelaskan
tujuan dan gambaran prosedur pemantauan diri seeara garis besar.
Mendiskriminasikn respons, ketika konseli melakukan pemantauan diri diperlukan adanya pengamatan atau pendiskrininasian respons. Kapan pun diskriminasian respons itu terjadi konseli harus mampu mengidentifikasi ada atau tidaknya perilaku baik yang tersamar maupun yang tampak je1as. Thorensen (1974: 43) mengatakan: "Making behavioral discriminations can be thought of as the 'awareness' facet of self-monitoring" Mendiskriminasikan respons mencakup pemberian bantuan kepada konseli untuk mengidentifikasi tentang apa yang seharusnya dipantau. Untuk memutuskan apa yang harus dipantau ini seringkali konseli memerlukan bantuan konselor.
Penting bagi konseli untuk dapat mengidentifikasi tipe-tipe respons yang harus dipantau sebab terdapat beberapa bukti penelitian yang menunjukkan bahwa tipe respons yang perlu dipantau mempengaruhi hasil pemantauan diri (McFall, 1977; Romanczyk, 1984; ElIis, 1988; GIick et al. , 1988). Termasuk dalam langkah ini adalah membedakan valensi respons sasaran antara yang positif dan negatif.
Pemantauan terhadap respons positif dapat meningkatkan perilaku, sedangkan pemantauan terhadap respons negatif dapat mengurangi perilaku. Yang perlu diperhatikan juga adalah perlunya pembatasi respons. Mencatat respons, Setelah konseli belajar mendiskriminasikan respons, konselor menjelaskan dan memberi contoh tentang metode yang digunakan untuk mencatat respons yang diamati. Sebagian besar konseli kemungkinan belum pernah mencatat perilakunya secara sistematis. Pencatatan secara sistematis sangat penting bagi keberhasilan pemantauan diri. Oleh sebab itu, suatu keharusan bagi konseli untuk memahami dan menyadari akan pentingnya pencatatan respons. Dengan demikian, konseli mernerlukan penjelasan dan contoh-contoh dari konselor tentang waktu rnencatat, cara mencatat, dan alat atau format untuk mencatatnya. Cormier dan Cormier (1985: 527) menegaskan: "The timing, method, and recording devices all can influence the effectiveness of self-monitoring".
Berkaitan dengan waktu mencatat respons, menurut Kanfer (1980: 239), ada dua waktu pencatatan respons yaitu:
Pemantauan praperilaku (pre-behavior monitoring) yakni konseli nencatat intensi atau urgensi perilaku sebelum melakukan perilaku sasaran.
Pemantauan pasca perilaku (post-behavior monitoring) yakni konseli mencatat setelah melakukan perilaku sasaran yang diinginkan. Masih dalam kaitannya dengan pencatatan respons ini, Cormier dan Cormier (1985: 528) memberikan tiga rambu-rambu, yaitu:
Jika konseli ingin menggunakan pencatatan respons itu untuk menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan maka pemantauan praperilaku (pre-behavior monitoring) lebih efektif- Sebaliknya, jika digunakan untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan maka pemantauan pasca perilaku (post-behavior monitoring) akan lebih efektif. Dalam konteks ini Bellack et a1. (1984: 529) mengatakan: "Post-behavior monitoring can make person more aware of a 1ow freguency, desirable behavior".
Konseli harus mencatat perilaku yang diinginkan itu sebagaimana adanya dan segera setelah perilaku itu terjadi.
Konseli harus didorong untuk mencatat respons sebelum perhatiannya teralihkan oleh situasi atau respons-respons lain yang menyainginya.
Dalam kaitannya dengan metode pencatatan respon, Ciminero et a1. (1977: 198) menyarankan agar metode pencatatan itu harus mudah dilakukan oleh konseli. dapat menghasilkan sampel yang representatif tentang perilaku sasaran, dan sensitif terhadap perubahan-perubahan perilaku sasaran Adapun Cormier dan Cormier (1985: 528) menyarankan metode pencatatan respons itu dari aspek-aspek frekuensi, latensi, durasi, atau intensitas. Pemilihan terhadap salah satu aspek ini sangat tergantung pada tipe respons sasaran dan frekuensi kejadiannya. Sedangkan Watson dan Tharp (1981) menyarankan agar mencatat frekuensi respons sasaran karena ini akan lebih jelas dan mudah. Penggunaan durasi respons sasaran manakala pencatatan dilakukan untuk mengetahui dinamika respons itu dalam jangka waktu yang lama. Mengenai format pencatatan respons, Cormier dan Cormier (1985: 531) menyarankan penggunaan self-monitoring log. Adapun bentuk formatnya adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1 di bawah ini.
Format Pemantauan Diri
Tanggal
dan
Waktu
Frekuensi
perilaku
sasaran
Peristiwa
Dialog
internal
Faktor
perilaku
Tingkat
dorongan
Kemampuan
mengatasi
situasi
Catat hari
tanggal
dan jam
Uraikan
situasi
setiap saat
perilaku
sasaran
terjadi
Catat hal di
luar diri
yang
menggerakk
an untuk
mewujudkan perilaku
sasaran
Catat pikiran atau perasaan apa yang
muncul pada saat dapat
mewujudkan perilaku
sasaran
Catat
bagaimana bentuk
perilaku
sasaran itu
Beri nilai
tingkat
motivasi
perilaku
sasaran
1= rdh
2=sdg
3=tgg
4=sgt tgg
Beri nilai
dalam
kemampuan
mengendalik
an situasi
1= buruk
2= ckp baik
3=baik
4=sangat baik
Disadur dari Cormier dan Cormier (1985: 531)
Disadur dari Cormier dan Cormier (1985: 531) Memetakan respons. Data yang terah dicatat oleh konseli perlu dipindahkan ke dalam suatu sistem pencatatan yang lebih permanen secara grafis atau pada suatu peta yang memungkinkan konseli untuk melihat data pemantauan dirinya itu secara visual. Pedoman visual ini menurut Kanfer (1990: 242) dapat memberikan kesempatan bagi terjadinya dukungan-diri. untuk keperluan ini konseli diberi penjelasan secara lisan atau tertulis bagaimana cara memetakan secara grafis hari demi hari perilaku sasaran yang diinginkan.
Jika konseli menggunakan pemantauan diri untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan, maka garis grafiknya harus naik secara gradual. Sebaliknya, jika digunakan untuk menurunkan perilaku yang tidak diinginkan, maka garis grafiknya harus menurun secara gradual. Menayangkan data. Setelah grafik atau peta dibuat konselor harus mendorong konseli untuk menayangkan peta itu secara lengkap. Manakala data ditayangkan secara terbuka, dapat memberikan dukungan lingkungan (environmental reinforcement), suatu bagian amat penting dari pengelolaan diri yang efektif. Van Houten et al. (1975: 146) mengatakan: "severar studies have found that the effects of self-monitoring are augmented when the data charts is displayed as a public record".
Analisis data. Jika data telah dicatat, dipetakan dalam bentuk grafik, dan ditayangkan oreh konseli tidak dianalisis, maka dapat menimburkan pikiran pada konseli bahwa semui itu ternyata sebagai latihan belaka. oleh sebab itu, pada langkah ini konseli diharuskan membawa data pada sesi konseling untuk ditinjau kembali dan dianalisis. Dalam menganalisis data, konselor mendorong konseli untuk membandingkan data perilakunya dengan tujuan atau standard yang diharapkan. Konseli dapat menggunakan data yang ada untuk mengevaluasi-diri dan memantau apakah data itu menunjukkan perilaku di dalam ataukah di luar batas-batas yang diinginkan. Konselor juga dapat membantu konseli untuk menginterpretasikan data dengan benar.
Analisis data dengan benar amat diperlukan bagi keberhasilan konseli untuk mengendalikan-diri selama meningkatkan perilaku yang diinginkan. Thorensen dan Mahoney (1974: 44), berdasarkan temuan penelitiannya, mengatakan: "Errors about what the charted data represent can seriousry hinder success in self-contror". Analisis data ini juga dapat memberikan balikan bagi konseli yang bermanfaat untuk meningkatkan perilakunya pada sesi-sesi selanjutnya. Kazdin (1984: 714) mengatakan: "There is some evidence that people rho receive feedback about their self-reinforcement change more than those who do not.
Reinforcement yang positif (self-reward), digunakan untuk membantu konseli mengatur dan memperkuat perilakunya melalui konsekuensi yang dihasilkannya sendiri. Banyak tindakan individu yang dikendalikan oleh konsekuensi yang dihasilkannya sendiri sebanyak yang dikendalikan oleh konsekuensi eksternal. Bandura (1986: 87) mengatakan: "People typicalty set themselves certain standards of behavioral and self administer rewarding or punishing consequences depending on whether their performances fatl short of, match, or exceed their self-prescribed demands". Dengan demikian, mengubah atau mengembangkan perilaku dengan menggunakan sebanyak-banyaknya ganjar-diri dapat dilakukan dalam konseling.
Ganjar-diri melibatkan penentuan dan pengadministrasian sendiri suatu ganjaran. Ganjar-diri ini digunakan untuk rnenguatkan atau meningkatkan perilaku yang diinginkan. Asumsi yang mendasari teknik ini adalah bahwa dalam pelaksanaannya, ganjar-diri paralel dengan ganjaran yang diadministrasikan dari luar. Dengan kata lain ganjaran yang dihadirkan sendiri, sebagaimana ganjaran yang diadministrasikan dari luar, didefinislkan oleh fungsinya yang mendesak perilaku sasaran. Yang dikatakan sebagai suatu pengganjar (dari dalam maupun dari luar) adalah sesuatu yang apabila diadminsitrasikan mengikuti suatu perilaku sasaran, cenderung dapat melestarikan atau meningkatkan peluang perilaku sasaran itu di masa mendatang. suatu kelebihan ganjar-diri dibandingkan dengan ganjaran yang diadministrasikan dari luar, menurut Cormier dan Cormier (1985: 539), adalah bahwa dengan ganjar diri seseorang dapat menggunakan dan menerapkannya secara mandiri.
Ganjar-diri dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: positif dan negatif. Dalam ganjar-diri positif, seseorang menghadirkan suatu stimulus positif ke dalam dirinya sendiri setelah berusaha melakukan suatu perilaku tertentu. Misalnya, menghadiahi-diri setelah berhasil menyelesaikan suatu makalah yang panjang dan sulit. Ganjar-diri negatif melibatkan penghilangan stimulus negatif setelah melakukan suatu perilaku sasaran. Contohnya, membuang gambar-gambar di kamar yang mengganggu konsentrasi setelah dapat menyelesaikan suatu tugas rumah. Dari dua bentuk ganjar-diri positif dan negatif, menurut Cormier dan Cormier (1985: 539) berdasarkan kajian terhadap hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa ganjar-diri positif lebih efektif untuk mengubah atau mengembangkan perilaku sasaran.
Oleh sebab itu, yang lebih dianjurkan adalah penggunaan ganjar-diri positif. Alasannya adalah:
Sangat sedikit yang dilakukan untuk memvalidasi ganjar-diri negatif;
Sesuai dengan definisinya, ganjar-diri negatif melibatkan kegiatan yang bersifat aversif, yang biasanya kurang menyenangkan bagi orangt yang melakukannya;
Jika diterapkan dalam konseling oleh konselor, maka konseli akan cenderung memilih cepat menghentikan Proses konselingnya daripada tetap melanjutkannya.
Ganjar-diri melibatkan pembuatan perencanaan oleh konseli tentang ganjaran yang sesuai dan kondisi di mana ganjaran itu akan digunakan.
Ganjar-diri memiliki empat komponen yaitu:
(1) pemilihan ganjaran yang tepat,
(2) peluncuran ganjaran,
(3) pengaturan waktu ganjardiri,
(4) perencanaan untuk memelihara pengubahan-diri
Pemilihan ganjaran yang tepat dalam membantu konseli menggunakan ganjar-diri secara efektif, 'perencanaan harus dilakukan secara cermat dalam rangka memilih ganjaran yang sesuai bagi konseli dan perilaku sasaran yang diinginkan. Namun, keefektifan penggunaan ganjar-diri agak tergantung pada ketersediaaa peristiwa-peristiwa yang benar-benar memberikan dukungan terhadap konseli. Dalam pelaksanaannya konselor dapat saja menbantu konseli memilih ganjar-diri yang tepat; namun, konseli harus memainkan peranan utama dalam menentukan kontingensi-kontingensi tertentu.
Dalam ganjar-diri ada beberapa jenis ganjaran yaitu:
Ganjaran verbal/simbolik yakni menghadiahi-diri dengan mengatakan kepada diri sendiri, misalnya saja dengan mengatakan: "Ternyata saya mampu bekerja dengan baik kalau mau sungguh-sungguh".
Ganjaran material yakni ganjaran yang tampak nyata, seperti: fllm, berbelanja, dan sejenisnya.
Ganjaran imajinal yakni visualisasi tersamar tentang perasaan atau situasi yang dapat menyenangkan atau melakukan prosedur-prosedur lain yang dapat membuat perasaan menjadi nyaman, misalnya: membayangkan diri sendiri sebagai seorang ilmuwan ketika berhasil melakukan suatu percobaan.
Ganjaran lumrah (current) yakni sesuatu yang menyenangkan yang terjadi secara rutin atau sehari-hari, seperti: makan, ngobrol dengan teman, atau membaca koran.
Ganjaran potensial yakni sesuatu yang bakal menjadi sesuatu yang baru atau lain dari biasanya manakala sesuatu itu terjadi, rnisalnya: membeli barang yang lebih bagus daripada biasanya ketika dapat menyelesaikan tugas rumah dengan baik.
Karena ada beberapa jenis ganjaran, dalam memilih ganjar-diri yang tepat, konseli harus mempertimbangkan ketersediaan dan keseimbangan berbagai jenis ganjaran itu. Cormier dan Cormier (1985: 541) menegaskan: "Webelieve that a welt-balanced self-reward program involves a variety of types of self-rewards. A counselor might encourage a client to select both verbal/ symbolic and material rewards. Relying merely on material rewards may ignore the important role of positive selfchange Progrram.
Masih dalam kaitannya dengan pemilihan ganjaran, Cormier dan Cormier (1985: 453) mengajukan rambu-rambu untuk membantu konseli menentukan beberapa ganjar-diri yang dapat digunakan secara efektif:
ganjaran hendaknya bersifat individual;
hendaknya menggunakan ganjaran yang mudah diperoleh dan nyaman digunakan;
menggunakan beberapa ganjaran secara silih-berganti untuk mencegah terjadinya kejenuhan dan hilangnya nilai ganjarannya;
memilih tipe-tipe ganjaran yang berbeda (verbal/simbolik, material, imajinal, lumrah, dan potensial);
menggunakan ganjaran yang ampuh;
menggunakan ganjaran yang tidak menghukum yang lain;
menyeimbangkan ganjaran dengan perilaku sasaran yang diiginkan.
Peluncuran ganjaran melibatkan pengkhususan kondisi dan metode peluncuran ganjar-diri. Menurut Cormier dan Cormier (1985: 543) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini, yaitu:
Konseli tidak akan dapat meluncurkan atau mengadministrasikan ganjar-diri tanpa beberapa data dasar. Peh. mcuran ganjaran-diri tergantung pada pengumpulan data secara sistematis; oleh sebab itu pantau-diri merupakan sesuatu yang esensial sebagai langkah awal.
Konseli harus menentukan kondisi yang tepat di mana suatu ganjaran akan diluncurkan. Dengan kata lain, konseli harus membuat aturan main sendiri dalam hal itu konseli harus tahu apa dan berapa banyak yang harus dilakukan sebelum mengadministrasikan ganjar-diri. Dalam kaitan ini Homme et a1. ( 1939: 123 ) menggatakan: "Usually self-reward is more effective when clients reward themselves for small steps of progress". Dengan kata lain, kinerja dari setiap sub-tujuan seharusnya diganjar. Menunggu mengganjar setelah keseluruhan tujuan tercapai biasanya justru mengantarkan kepada terlalu banyak tertundanya antara respons dengan ganjaran.
Konseli harus menunjukkan berapa banyak dan jenis ganjaran apa yang hendak diberikan untuk berbagai unjuk kerja dan tingkatan tujuan. Dalam hal itu, konseli juga harus menspesifikasikan seringnya ganjaran dalam jumlah kecil-kecil untuk tingkatan respons yang berbeda. Homnme et al. (1989: 125) mengatakan: "Usually sel'f-reward is more effective when broken down into smaller units that are self-administrated more frequently".
Pengaturan waktu ganjar-diri, dalam hal ini konselor juga perlu menjelaskan kepada konseli mengenai pengaturan waktu ganjar-diri, kapan seharusnya ganjar-diri itu diadministrasikan. Ada tiga aturan dasar yang perlu diperhatikan dalam pengaturan waktu ganjar-diri yang diajukan oleh Cormier dan Cormier(1985: 543) yaitu:
Ganjar-diri diadministrasikan setelah perilaku sasaran diberikan petunjuk pekerjaan. bukan sebelumnya;
Ganjar-diri harus diadministrasikan segera setelah perilaku sasaran diunjukkerjakan karena jika menundanya dapat menyebabkan ketidakefektifan ganjar-diri;
Ganjar-diri harus mengikuti unjuk kerja aktual, bukan janji untuk mengunjukkerjakan.
Perencanaan untuk memelihara pengubahan –diri ini memerlukan dukungan lingkungan agar dapat memelihara perubahan dalam jangka waktu yang lama. Ada dua cara yang diajukan oleh cormier dan cormier (1985: 543) agar dapat merencanakan pemeliharaan pengubahan-diri:
Pertama, konselor dapat mendorong konseli untuk memperoleh bantuan dari orang lain dalam melakukan ganjar-diri; orang lain dapat berbagi untuk menyalurkan beberapa ganjarannya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa konseli yang memperoleh dukungan dari orang lain akhirnya bisa lebih memperoleh manfaat dari ganjar-diri.
Kedua, konseli harus merencanakan untuk mengulas dan meninjau kembali bersama-sana dengan konselor data yang telah dikumpulkan selama ganjar-diri. Berdasarkan hasil pengulasan dan peninjauan kembali itu dapat memberikan kesempatan bagi konselor untuk memberikan dukungan dan membantu konseli untuk melakukan revisi-revisi yang diperlukan dalam penggunaan ganjar-diri.
Jones et al. (1977: 159) mengatakan: "counselor expectations and approval for client progress may add to the overall- effects of self-reward strategy". Kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), adapun langkah-langkah dalam self-contracting ini adalah:
Siswa membuat perencanaan untuk mengubah pikiran, perilaku, dan perasaan yang ingin dilakukannya.
Siswa menyakini semua yang ingin diubahnya.
Siswa bekerjasama dengan teman/keluarga untuk progam self-managementnya.
Siswa akan menanggung resiko dengan program self-management yang dilakukannya.
Pada dasarnya, semua yang siswa harapkan mengenai perubahan pikiran, perilaku dan perasaan adalah untuk siswa sendiri.
Siswa menuliskan peraturan untuk dirinya sendiri selama menjalani proses self-management.
Penguasaan terhadap rangsangan (stimulus control) Kanfer (1980: 361) mendefinisikan kendali stimulus sebagai: ". . . the predetermined arrangement of environmental conditions that makes it impossible or unfavorable for an undesired behavior to occur". Kendali stimulus menekankan pada penataan kembali atau modifikasi lingkungan sebagai isyarat khusus (gues) atau anteseden atas respons tertentu. Sebagaimana dijelaskan dalam model perilaku ABC (antesedent, behavior, consequence), tingkah laku seringkali dibimbing oleh sesuatu yang mendahului (antesedent) dan dipelihara oleh peristiwa-peristiwa positif atau negatif yang mengikutinya (consequence). Anteseden atau konsekuensi itu dapat bersifat internal atau eksternal, misalnya saja, anteseden dapat berupa suatu situasi, emosi, kognisi, atau suatu instruksi tersamar maupun terang-terangan.
Manakala anteseden secara konsisten dihubungkan dengan perilaku yang diberikan dukungan dalam kemunculannya (bukan dalam ketidak munculannya), akan dapat mengendalikan perilaku tersebut. Jika anteseden merupakan stimulus bagi perilaku tertentu, maka dapat menjadi kendali stimulus. Artinya, respons-respons yang diharapkan dapat muncul jika anteseden tertentu dihadirkan.
Kendali stimulus dapat digunakan untuk mengurangi atau meningkatkan perilaku tertentu. Untuk mengurangi perilaku tertentu, isyarat khusus yang merupakan anteseden bagi perilaku tertentu harus dikurangi frekuensinya, ditata kembali, atau diubah waktu dan tempat kejadiannya. Mahoney dan Thorensen, (1974: 42) menegaskan: "When cues are separated from the habitual behavior by alteration or elimination, the oId, undesired habit can be terminated". Cormier dan Cormier (1985: 534) mengemukakan secara rinci prinsip-prinsip pengubahan perilaku dengan menggunakan kendali stimulus dalam rangka mengurangi perilaku yang tidak diinginkan atau meningkatkan perilaku yang diinginkan.
Prinsip-prinsip mengurangi perilaku yang tidak diinginkan adalah:
Penataan awal atau mengubah cues yang berhubungan dengan tempat perilaku, yang terdiri atas: a). penataan awal cues yang menyebabkan sulitnya perilaku tertentu dilaksanakan, dan b). pengaturan awal cues supaya dapat dikendalikan oleh orang 1ain.
Mengubah waktu atau sekuensi antara antesedents cues dengan perilaku hasil, yang terdiri atas: a). menghentikan sekuensi, b). mengubah sekuensi, dan c). dan menciptakan hambatan-hambatan ke dalam sekuensi.
Adapun prinsip-prinsip meningkatkan perilaku yang diinginkan adalah:
Mencari cues dengan sengaja untuk memunculkan perilaku yang diinginkan.
Mengonsentrasikan pada perilaku tertentu ketika berada dalam situasinya.
Secara berangsur-angsur menampilkan perilaku pada situasi lain.
Meningkatkan kehadiran cues dari orang lain dan yang dihadirkan sendiri yang dapat membantu memunculkan perilaku yang di inginkan.
Kendali stimulus memiliki kelebihan untuk mengubah perilaku. Kanfer (1980: 361) mengatakan: "One advantage of stimulus control is that only minimal self-initiated steps are required to trigger environmental changes that effect desired or undesired responses". Namun, menurut Cormier dan Cormier (1985: 538), kendali stimulus saja biasanya masih belum cukup untuk mengubah perilaku tanpa didukung oleh teknik yang lain: "Stimulus-control methods often are insufficient to modify behavior without the support of other strategies". Demikian juga Mahoney dan Thorensen (1974: 46) juga mengatakan: "Stimulus control methods are not usually sufficient for long-term self-change unless accompanied by other self-management methods that exert control over the consequences of the target behavior". Sehubungan dengan ini, Cormier dan Cormier (1985: 238) menyarankan agar teknik kendali-stimulus dikombinasikan dengan pantau-diri atau ganjar-diri.
Teknik konseling self-management merupakan serangkaian prosedur sistematis yang mengubah perilaku, pikiran, dan perasaan dengan meliputi pemantauan diri (self-monitoring), reinforcement positif (self-contrcting), penguasaan terhadap rangsangan (stimulus control) yang didasari oleh asas pendekatan Cognitive-behavior therapy (CBT).
Konseling self-management mengacu pada langkah-langkah khusus untuk mencegah gejala-gejalanya secara runtut dan perlahan. Thompson (2002) memberikan gambaran teknisnya sebagai berikut.
Mendobrak pola-pola kompulsif, seperti mengurangi frekuensi bercermin secara berlebihan.
Membelajarkan keterampilan sosial.
Menurut Pulkinen dan Ronka (1994: 267) pengarahan diri ini dapat meningkatkan kemampuan individu dalam membentuk identitas diri dan membangun orientasi masa depan. Pengarahan diri dapat mengembangkan ketajaman persepsi diri dalam upaya meningkatkan kualitas diri. Cormier& Cormier (1989: 520) mengatakan bahwa self management bukanlah suatu pendekatan yang sepenuhnya deterministik dan mekanistik yang menyingkirkan potensi konseli untuk membuat dan menentukan pilihan dan keputusan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam proses belajar untuk menghasilkan perilaku itu aspek kognitif juga memiliki peranan penting terutama dalam mempertimbangkan berbagai tindakan yang akan dilakukan, menentukan pilihan tindakan tersebut, dan mengambil keputusan tindakan perilakunya. Berdasarkan pandangan tentang hakikat manusia dan perilakunya itu, self management bertujuan untuk membantu konseli agar dapat mengubah perilaku negatifnya dan mengembangkan perilaku positifnya dengan jalan mengamati diri sendiri; mencatat perilaku-perilaku tertentu (pikiran, perasaan, dan tindakannya) dan interaksinya dengan peristiwa-peristiwa lingkungannya; menata kembali lingkungan sebagai isyarat khusus (cues) atau anteseden atas respons tertentu; serta menghadirkan diri dan menentukan sendiri stimulus positif yang mengikuti respons yang diinginkan.
Ada beberapa asumsi dasar yang melandasi self management sebagai strategi pengubahan dan pengembangan perilaku dalam konseling:
Pada dasarnya konseli memiliki kemampuan untuk mengamati, mencatat dan menilai pikiran, perasaan, dan tindakannya sendiri.
Pada dasarnya konseli memiliki kekuatan dan keterampilan yang dapat dikembangkan untuk menyeleksi faktor-faktor lingkungan.
Pada dasarnya konseli memiliki kekuatan untuk memilih perilaku yang dapat menimbulkan rasa senang dan menjauhkan perilaku yang menimbulkan perasaan tidak senang.
Penyerahan tanggungjawab kepada konseli untuk mengubah atau mengembangkan perilaku positifnya amat sesuai dengan kedirian konseli karena konselilah yang paling tahu, paling bertanggungjawab, dan dengan demikian paling mungkin untuk mengubah dirinya.
Ikhtiar mengubah atau mengembangkan diri atas dasar inisiatif dan penemuan sendiri, membuat perubahan itu bertahan lama (Cormier & Cormier, 1985; Nye, 1975; Mayer, 1978; O'Leary & O'Leary, 1977).
Konselor sekolah merupakan pemegang peranan penting dalam memfasilitasi perkembangan individu. Sedangkan perkembangan mereka tidak akan lepas dari kendali psikologis secara umum. Kesehatan mental peserta didik merupakan jaminan tumbuh kembangnya proses pendidikan dan secara umum mempengaruhi kehidupannya lebih lanjut. Maka, salah satu kompetensi konselor dalam bidang kesehatan mental diaplikasikan dengan penguasaan teori konseling untuk pencegahan terhadap berbagai gangguan psikologis yang dialami oleh siswa.
Konselor adalah kunci bidang pendidikan. Hal tersebut mengarah pada pengertian bahwa profesi konselor merupakan partner yang penting untuk mengembangkan pendidikan. Karena inti dari pendidikan merupakan bimbingan, dengan konseling sebagai jantungnya. Pemaknaan yang dalam pun perlu terintegrasikan dalam setiap proses pembelajaran. Secara spesifik, setiap individu memerlukan bantuan. Individu yang mendapatkan bantuan secara profesional dari seorang konselor disebut konseli. Disinyalir oleh banyak sumber, bahwa saat ini individu semakin menyadari pentingnya bantuan sosial dikarenakan maraknya orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan yang disebabkan oleh derasnya tuntutan dan tekanan dari lingkungan.
Ringkasan
Self-management adalah sebuah terminologi psikologis untuk menggambarkan proses pencapaian otonomi diri. Yang termasuk self-management adalah goal setting, planning, scheduling, task tracking, self-evaluation, self-intervention, self-development. Self-management meliputi pemantauan diri (self-monitoring), reinforcement yang positif (self-reward), kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), dan penguasaan terhadap ransangan (stimulus control)
Self management merupakan teknik kognitif behavioral adalah bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan positif maupun negative. Aspek-aspeknya dapat dikelompokkan Yates (1985: 4) adalah: Management by antecedent: pengontrolan reaksi terhadap sebab-sebab atau pikiran dan perasaan yang memunculkan respon; Management by consequence: pengontrolan reaksi terhadap tujuan perilaku, pikiran, dan perasaan yang ingin dicapai; Cognitive techniques: pengubahan pikiran, perilaku dan perasaan. Dirumuskan dalam cara mengenal, mengeliminasi dan mengganti apa-apa yang terefleksi pada antecedents dan consequence; Affective techniques: pengubahan emosi secara langsung.
Tujuan Self-Manajement dalam konseling adalah; memberikan peran yang lebih aktif pada siswa dalam proses konseling; keterampilan siswa dapat bertahan sampai di luar sesi konseling; perubahan yang mantap dan menetap dengan arah prosedur yang tepat; menciptakan keterampilan belajar yang baru sesuai harapan; dan konselidapat mempola perilaku, pikiran, dan perasaan yang diinginkan. .
Self-management adalah suatu strategi pengubahan perilaku yang dalam prosesnya konseli mengarahkan perubahan perilakunya sendiri dengan suatu teknik atau kombinasi teknik terapetik. Yang meliputi istilah self-directed (pengarahan diri) yang mempunyai istilah sama dengan self-control (penguasaan diri). Dalam teknik Self-management meliputi pemantauan diri (selfmonitoring), reinforcement yang positif (self-reward), kontrak atau perjanjian dengan diri sendiri (self-contracting), dan penguasaan terhadap ranssangan (stimulus control)
Latihan
Konsep manajemen diri
Jelaskan yang dimaksud Konsep manajemen diri itu ?
Apa sajakan yang termasuk manajemen diri yang perlu jadi perhatian konselor?
Apa sajakah aspek-aspek pengelompokkan self-management itu?
Tujuan Self-Manajement
Jelaskan yang dimaksud Tujuan Self-Manajement itu ?
Yang termasuk dalam Teknik Konseling Self-Management itu apa sajakah, jelaskan.
Self management sebagai strategi pengubahan dan pengembangan perilaku dalam konseling:.
Jelaskan self-management sebagai strategi pengubahan dan pengembangan perilaku dalam konseling?
Jelaskan aspek pikiran, perasaan, dan tindakannya itu berkaitan dengan self management ?
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi. H. Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta
Alloy LB. Jacobson NS. Boston. Acocella; J. Abnormal Psychology: Current perspectives. 8th ed. McGraw-Hill College. 1999. p. 90-7.
Anonimus. 2011. Sumber Stress dalam pekerjaan guru. (online)
http: //pakarnoto. blogspot. com/2010/04/sumber-stres-dalam-pekerjaan guru. Html Anonimus. 2011.
Arikunto. Suharsimi. 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Cet. 8.
Aulia. Muhamad. 2010. Obat Cespleng Berpikir Positif. Banguntapan Jogjakarta:
Flash Book.
Baron. R. A & Byrne. 1991. Sosial Psychology: Understanding Human Interaction. 6th . USA: Allyn & Bacon.
Bandura dan Mishel serta Carlson. kontrol diri
Blatner. A. 1995. Drama In Education As Mental Hygiene: A Child Psychiatrist's Perspective. Youth Theatre Journal. 9. Bellack et a1. (1984: 529)
Bourhis. R. Y. . Turner. J. C. & Gagnon. A. 1997. Interdependence. Social Identity and Discrimination. In R. Spears. P. J. Oakes. N. Ellemers. S. A. Haslam (Eds. ). The Social Psychology of Stereotyping and Group Life. Oxford: Blackwell Publishers. Pp. 273-295. ).
Carl. Rogers. (1961). On Becoming a Person: A Therapist's View of Psychotherapy. London: Constable. ISBN 1-84529-057-7. Excerpts
Corey. Gerald. 2007. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Cormier. W. H. dan Cormier L. S. 1985. Interviewing Strategies For Helpers Fundamental Skill and Behavioral Interventions. 2 ed. Monterey. California: Publishing Company)
Darajat. Zakiah. dkk. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1996.
Djam'an Satori. (No Year). Profesi Keguruan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Elfiky. Ibrahim. 2009. Terapi Berpikir Positif. Jakarta: Zaman Transforming
Gayatri. Dewi. 2012. Teori-Teori Konseling: Pengembangan Pribadi
Gunarso. Singgih. 1996. Psikologi untuk Membimbing. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Konselor. http: //teori-teori konseling. blogspot. com//2012/01/pengembangan-
pribadi-konselorhtml.
Kontribusi Landasan Religious Terhadap Perkembangan Kepribadian Individu. oleh Rani Kurniasih di 18: 07 Kamis. 13 Oktober 2011 bogspot. com di unduh pada Senin. 10 September 2012 14: 24 WIB
Liliweri. Alo. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: LKIS
Maramis. Willy. 2009. Catatan Ilmu kedokteran Jiwa. Jakarta: EGC
Matsumoto. David. 2004 . Pengantar Psikologi Lintas Budaya, Jakarta: Pustaka Pelajar
Nursalim. Mochamad dan Tri H. Retno. 2007. Konseling Kelompok. Surabaya: Unesa University Press
Prayitno dan Erman Amti. 2008. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling(cetakan
kedua). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prijaksono dan Roy Sembel. 2003. Self Management Guru Terbaik dan Musuh Terbesar Manusia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Rambu- Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur. Pendidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional. 2007
Riswanto. 2011. Teknik Manajemen Diri.
http: //riswantobk. wordpress. com/2011
/04/16/teknik-manajemen-diri/. di akses pada 31-10-2012.
Reksoadmodjo. Tedjo N. 2007. Statistik untuk Psikologi dan Pendidikan. Bandung: PT Refika Aditama
Siegels. Sidney. 1992. Statistik Non Parametrik Untuk Ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia.
Soetjipo dan Raflis Kosasih. (1999). Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta
Sutikno. Sobry. 2009. BelaIjar Dan Pembelajaran "Upaya Kreatif Dalam Mewujudkan Pembelajaran Yang Berhasil". Bandung: Prospect. Sears.
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual, Teori dan Praktek. Bandung: Alfabet'
Sudijono. Anas. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudirga. Ida Bagus. dkk. 2006. Buku Ajar Agama Hindu SMU Kelas X. Denpasar: Paramita.
Soekadji. Soetarlina. 1983. Modifikasi Perilaku Penerapan Sehari-hari dan Penerapan Profesional. Yogyakarta: Libery.
Surya. Hendra. 2005. Kiat Mengatasi Penyimpangan Perilaku Anak (2). Jakarta: PT Elex Media Kompetindo.
Schultz D. Psychoanalytic Approach: Sigmund Freud in Theories of Personality. 3rd ed. California: Brooks/Cole Publishing Company; 1986. p. 45-50
Tanpa Nama. 2011.
Pribadi sehat (mampu mengatur diri dalam
Hubungannya dengan diri sendiri). http: //perawatmuslimindonesia. blogspot. com/2011/11/pribadi-sehat-mampu-mengatur-diri-dalam. html. di akses pada 31-10-2012.
Trihadi. Rio. 2010. Prasangka dan Diskriminasi. Tersedia dalam prasangka-dan-diskriminasi http: //riotrihadi. ngeblogs. com/2010/01/07/ (diakses pada 23 Mei 2010)
Wangid. Muhammad Nur. 2009. Konselor Menjawab Dinamika Zaman.
http: //staff. uny. ac. id/sites/default/files/132063919/Konselor%20menjawab%20tantangan%20zaman%20Surabaya_0. pdf. Di akses pada 31-10-2012.
Wikipedia. 2008. Manageman Diri (Online). (http: //wikipedia. org/wiki/Manajemen_diri+self+management. diakses 19 Oktober 2009
Yusuf. Syamsu. 2002. Pengantar Teori Kepribadian. PPB UPI
Yates, B. T. (1985). Self-management: The science and art of helping yourself. Belmont, CA: Wadsworth. .
Sumber Internet
Konsep Dasar Self-Management Edelson ((http: //www. autism. org/selfmanage. html)
Edelson (http: //www. autism. org/selfmanage. html)
(http: //en. wikipedia. org/wiki/Self-management).
All About Living with Life. 2009).
Peran guru dalam Bimbingan dan konseling. (online) http: //re-searchengines. com/rustanti40708. Html
http: //www. jappy. 8m. net/blank_33. html
http: //www. suksestotal. com/nilai-kehidupan. html
http: //sarahayu9. blogspot. com/2011/12/beberapa-contoh-nilai-kehidupan. html
http: //uzey. blogspot. com/2009/09/pengertian-nilai. html
http: //www. sabdaspace. org/berpikir_positif_sarlen
http: //www. akuinginsukses. com/kekuatan-berpikir-positif/
http: //blog. uin-malang. ac. id/mykingdom/2011/09/30/hidup-dengan-positif-thinking/
http: //health. kompas. com/read/2011/08/06/10050416/Inilah. 10. Keuntungan. Positive. Thinking.
http: //www. didiksugiarto. com/2008/11/how-to-be-positif-thinking. Html
http: //teori-teorikonseling. blogspot. com/2012/01/pengembangan-pribadi-konselor. html.
http: //kawanlama95. wordpress. com/2009/08/01/jenis-jenis-frustasi-dapat-di-golongkan/
http: //zetri. blogspot. com/2009/10/jangan-sampai-frustasi. html
http: //id. wikipedia. org/wiki/Frustrasi
http: //www. sabdaspace. org/berpikir_positif_sarlen
http: //www. mail-archive. com/feforum@yahoogroups. com/msg00142. Html
http: //arfah-sitiarfah. blogspot. com/2011/02/definisi-pikiran-positif. Html
http: //my. opera. com/fareadreadone/blog/manfaat-berpikir-positif
http: //my. opera. com/fareadreadone/blog/manfaat-berpikir-positif
http: //my. opera. com/fareadreadone/blog/manfaat-berpikir-positif
http: //nurmantos. blogspot. com/2010/01/efek-berfikir-positifpositivethingking. Html
http: //lifestyle. okezone. com/read/2011/08/17/196/493026/4-caramaksimalkan-pikiran-positif1
file: ///H: /kendala-konseling-lintas-budaya. html