VIESTA L SYARIF 0311100066 KELOMPOK III SHIFT SELASA PAGI BIODIESEL GENERASI KE 3 1. Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar yang terdiri dari campuran mono-alkyl
ester dari rantai panjang asam lemak, yang dipakai sebagai alternatif bagi bahan bakar dari mesin diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak sayur atau lemak hewan. Biodiesel adalah bahan bakar mesin diesel yang terbuat dari sumberdaya hayati yang berupa minyak lemak nabati atau lemak hewani. Senyawa utamanya adalah ester. Sebuah proses dari transesterifikasi dari transesterifikasi lipid lipid digunakan untuk mengubah minyak dasar menjadi ester yang diinginkan dan membuang asam lemak bebas. lemak bebas. Setelah melewati proses ini, tidak seperti minyak sayur langsung, langsung, biodiesel memiliki sifat pembakaran sifat pembakaran yang mirip dengan diesel (solar) dari minyak bumi, dan dapat menggantikannya dalam banyak kasus. Namun, dia lebih sering digunakan sebagai penambah untuk diesel petroleum, meningkatkan bahan bakar diesel petrol murni ultra rendah belerang rendah belerang yang rendah pelumas. Biodiesel
merupakan
kandidat
yang
paling
baik
untuk
menggantikan menggantikan bahan bakar fosil sebagai sumber energi transportasi energi transportasi utama dunia, karena biodiesel merupakan bahan bakar terbaharui yang dapat menggantikan diesel petrol di mesin di mesin sekarang ini dan dapat diangkut dan dijual dengan menggunakan infrastruktur menggunakan infrastruktur zaman sekarang. Penggunaan dan produksi biodiesel meningkat dengan cepat, terutama di Eropa, di Eropa, Amerika Amerika Serikat, dan Asia, dan Asia, meskipun meskipun dalam pasar masih sebagian kecil saja
dari
penjualan
banyaknya penyediaan
bahan
bakar.
biodiesel
Pertumbuhan SPBU membuat Pertumbuhan SPBU
semakin
kepada konsumen kepada konsumen dan juga pertumbuhan
kendaraan yang menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar. 2. Biofuel
1) Generasi pertama Generasi
pertama
adalah biofuel (bioethanol, (bioethanol,
biodiesel ,
dll) yang
diproduksi dari gula, starch, starch, atau minyak nabati, yang membuatnya mudah untuk diproses karena ekstraksi biofuel dari ketiga senyawa tersebut tidak memerlukan proses yang rumit.
2) Generasi kedua Biofuel generasi
kedua
melibatkan
senyawa lignocellulosic dan residu
kegiatan pertanian (misalnya sisa panen tanaman), yg membuat prosesnya lebih kompleks dibanding generasi pertama. Ibaratnya jika yang pertama kita membuat roti dan sudah ada tepungnya, sekarang kita harus membuat roti tapi yang disediakan masih berupa singkong dan bukan dalam bentuk tepung. Meski biofuel generasi pertama lebih mudah diproduksi, pertentangan “makanan vs bahan bakar” menjadi pertimbangan yang signifikan karena produksi biofuel dari sumber makanan dapat mengancam ketersediaan bahan pangan dan efek jangka panjang perluasan produksi juga dapat mengganggu ekosistem. Biofuel generasi kedua lebih banyak memanfaatkan sisa panen atau sampah pertanian, sehingga selain mengurangi sampah, produksi biofuel dapat berlangsung secara terus menerus seiring dengan kebutuhan pangan manusia. 3) Generasi ketiga Biofuel generasi ketiga adalah
alga biomass. Lipid dari alga dapat
diproses menjadi biodiesel dan proteinnya menjadi bioethanol . 4) Generasi keempat Biofuel generasi keempat adalah biohidrogen. Bahan bakar gas merupakan bahan bakar yang cukup ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya. Hidrogen, yang dihasilkan dari pemurnian gas alam, merupakan bahan bakar zero emission karena tidak menghasilkan karbondioksida, hanya menghasilkan air ketika bereaksi dengan oksigen dan mengeluarkan panas (energi). Selain diproduksi dari pemurnian gas alam atau bahan bakar fosil, biohidrogen yang dihasilkan dari alga dan bakteri juga dikembangkan secara intens. Biofuel dikembangkan untuk menggantikan bahan bakar fosil karena karakteristiknya yang ramah lingkungan, emisi karbon dioksida yg lebih rendah dan sustainability yang tinggi karena menggunakan tumbuhan. Selain itu, bahan bakar fosil yang dihasilkan dari proses pertambangan akan meninggalkan „bekas‟ di permukaan bumi, baik berupa lahan-lahan bekas pertambangan
(lubang-lubang galian yang bentuknya tidak beraturan) atau air limbah, sedangkan proses produksi biofuel dapat dilakukan di lahan yang sama untuk lahan. 3. Biofuel Generasi ke 3
Biofuel
generasi ketiga merupakan biofuel berbasis dari alga. Alga
merupakan tumbuhan uniseluler (bersel satu) ataupun multiseluler (bersel banyak) yang memiliki kecepatan tumbuh sangat tinggi yang hidup di perairan laut atau tawar. Jumlah spesies dari alga diperkirakan berjumlah di atas 50.000. Dikarenakan strukturnya lebih sederhana dan kecepatan tumbuhnya lebih cepat, saat ini mikro alga lebih banyak diaplikasikan untuk produksi biofuel dibandingkan makroalga. Mikroalga dapat dibudidayakan di dalam kolam terbuka atau dengan mesin khusus yang disebut inkubasi bioreaktor. Dalam kondisi optimum, mikroalga dapat membelah beberapa kali dalam sehari. Apabila dibandingkan dengan tanaman-tanaman seperti jarak atau kelapa sawit, Alga dapat memproduksi paling sedikit produk minyak 15 kali lebih banyak perhektarnya. Berdasarkan data perbandingannya dengan minyak bumi, ternyata potensi mikroalga masih lebih besar. Pada 1 hektar ladang minyak bumi, rata-rata hanya bisa disedot 0,83 barel minyak per hari, sampai kemudian habis dan tak berproduksi lagi. Sedangkan pada luas yang sama, budidaya mikroalga bisa menghasilkan 2 barel minyak perhari. Selain potensi kecepatan tumbuh dari Alga tersebut, Alga memiliki kandungan yang menakjubkan. Mikrolga memiliki kandungan minyak yang sangat tinggi, yaitu bisa mencapai 40-85% dari berat kering bahkan dibandingkan dengan kelapa sawit yang selama ini menjadi icon utama biodiesel jauh lebih tinggi kandungan minyaknya. Kandungan minyak kelapa sawit hanyalah 20%. Alga lebih produktif daripada tanaman lain karena mereka terus membuat bahan bakar terlepas dari cuacanya. Tidak seperti generasi pertama dan kedua yang tersandung pada produksi bahan baku dan keduanya sama sama menghadapi keterbatasan lahan. Alga dapat tumbuh di banyak Negara, tanpa perlu tanah yang subur dan air tawar yang berlimpah. Produksi dan budidaya alga untuk masa depan jauh tidak akan menghadapi masalah keterbatasan lahan karena alga dapat
dibudidayakan di perairan manapun termasuk lautan, ataupun kolam air limbah sekalipun. 4. Alga Sebagai Bahan Baku Biodiesel di Indonesia
Biofuel adalah bahan bakar yang dapat diperbaharui ( renewable) yang diproduksi dari berbagai bahan baku material tumbuhan (Biomassa), atau produk samping dari agroindustri, atau juga merupakan produk hasil proses ulang dari berbagai limbah seperti minyak goreng bekas, sa mpah kayu, limbah pertanian dan lain-lain. Biofuel tidak mengandung minyak bumi, tetapi dapat dicampur dengan berbagai jenis produk minyak bumi untuk menghasilkan campuran bahan bakar. Biofuel dapat digunakan pada berbagai jenis mesin tanpa melakukan perubahan besar, selain itu Biofuel ramah lingkungan karena dapat terurai di alam ( Biodegradable), serta tidak beracun dan tidak mengandung sulfur dan aromatic. Biofuel yang akan dibahas disini adalah biodiesel. Sebagai negara kepulauan terbesar dengan luas lautan tiga per empat dari luas daratan, dan bertambah panjangnya garis pantai tersebut, Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam pengembangan Biodiesel yang menggunakan bahan baku mikroalga sebagai jawaban dari salah satu isu yang berkembang di dunia saat ini adalah melakukan berbagai upaya untuk menemukan sumber energi alternatif yang terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi di masa depan. Salah satu mikroalga yang potensial untuk diolah lebih lanjut menjadi biodiesel adalah Chlorella Vulgaris. Chlorella Vulgaris termasuk alga mikro karena ukuran tubuhnya sangat renik dari 0,2 µm hinga 0,02 cm (10-6 - 10-4 m). Untuk melihat wujudnya dengan jelas diperlukan mikroskop elektron. Tidak semua jenis alga mikro hidup sebagai fitoplankton, tetapi semua jenis fitoplankton bisa digolongkan ke dalam alga mikro. Tumbuhan mikroskopis bersel tunggal dan berkoloni ini terdiri atas 30.000 spesies. Habitatnya di atas permukaan air, di kolom perairan, atau menempel di dasar dan permukaan lain dalam perairan. 5. Biodiesel Generasi ke 3 (Mikro Alga)
Kebutuhan biodiesel yang besar otomatis akan membutuhkan bahan baku yang besar pula. Kriteria bahan baku yang dibutuhkan adalah mudah tumbuh,
mudah dikembangkan secara luas, dan mengandung minyak nabati yang cukup besar. Berikut adalah pemaparan kelebihan alga sebagai bahan baku biodiesel: 1) Alga mengandung minyak nabati hingga 75% Salah satu alasan utama mengapa alga digunakan menjadi biodiesel adalah kandungan minyak nabati pada alga jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan bahan baku biodiesel lain seperti kacang kedelai, kapas, jatropha dan lain-lain. Dengan lebih tingginya kandungan minyak nabati pada alga dibanding dengan tumbuhan lain maka kebutuhan lahan untuk produksi biodiesel dari alga juga lebih sedikit. Berikut adalah gambaran kebutuhan lahan untuk produksi biodiesel. 2) Alga merupakan jenis tumbuhan yang paling cepat tumbuh di alam Jagung atau tanaman pertanian lain membutuhkan waktu hingga setahun untuk tumbuh, sementara alga dapat tumbuh dalam beberapa hari. Waktu panen alga yang cepat dapat menghasilkan yang lebih efisien dengan jangka waktu yang lebih singkat dalam area yang lebih kecil jika dibandingkan dengan tumbuhan lain. 3) Alga mengkonsumsi karbon dioksida ketika tumbuh, sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan Ketergantungan akan BBM mengakibatkan peningkatan kandungan CO2 di atmosfer. Dengan memanfaatkan alga yang mengkonsumsi CO2 untuk menghasilkan minyak, biodiesel dapat diproduksi secara efisien sementara mengurangi penambahan CO2 ke atmosfer. 4) Sumber pertumbuhan alga mudah diperoleh Agar dapat tumbuh dengan baik alga hanya membutuhkan beberapa sumber dasar yaitu: CO2, air, cahaya matahari dan nutrien. Cahaya matahari dapat diperoleh hampir sepanjang tahun, ketika malam maka dapat digunakan lampu untuk menggantikan cahaya matahari. Karbon dioksida dapat diperoleh dalam konsentrasi tinggi dari power plant dan proses industri sebagai gas buangan. Alga dapat tumbuh di kebanyakan sumber air dengan variasi tingkat pH. Alasan ini menjadi salah satu kelebihan alga karena alga tidak perlu
bersaing dengan manusia atau tumbuhan pertanian lain dalam mengkonsumsi air bersih. 6. Teknologi Proses
Dalam proses pembuatan biodiesel dengan bahan baku mikro alga kami ada beberapa tahapan proses yang harus dilakukan yaitu proses pembudidayaan alga, proses pemanenan alga, proses ekstraksi minyak alga, dan terakhir proses transesterifikasi untuk menghasilkan biodiesel. 1) Proses Kultivasi Untuk proses kultivasi alga, ada dua metode yang dapat dipilih yaitu menggunakan open pond (kolam terbuka) dan fotobioreaktor. Penggunaan fotobioreactor (PBR) lebih menguntungkan dibandingkan dengan sistem kolam terbuka. Hal ini disebabkan karena beberapa keunggulan PBR dibandingkan sistem kolam yaitu: a) Produktivitas lebih tinggi b) Mencegah dan mengurangi kontaminasi c) Adanya proses pencahayaan dan pengadukan memberikan hasil yang lebih baik d)Kondisi
pertumbuhan
dapat
dikontrol
selalu
(pH,
pencahayaan,
karbondioksida, temperature) e) Mencegah penguapan air f) Menghasilkan konsentrai sel yang lebih tinggi 2) Proses Harvesting Pemanenan alga merupakan faktor utama yang harus diatasi dalam tujuan penggunaan mikroalga sebagai sumber bahan bakar. Permasalahannya adalah, pengembangbiakan mikroalga memiliki kepekatan yang encer, biasanya kurang dari 500 mg/l dalam basis massa organik kering, dan memiliki ukuran sel yang sangat kecil. Untuk memproses mikroalga menjadi biodiesel, mikroalga harus dijadikan ke dalam bentuk pasta terlebih dahulu, yaitu sekitar 15% padatan. Teknik
-
teknik
seperti
flocculation,
microstraining,
filtering,
sedimentation, dan centrifugation biasa digunakan untuk pemanenan mikroalga.
Teknik-teknik ini dapat dikombinasikan, bergantung pada ukuran mikroalga dan kualitas produk yang diinginkan, untuk menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi. Chemical flocculation dan bioflocculation dilakukan untuk menghasilkan densitas massa mikroalga yang lebih mudah untuk dipindahkan. Dalam teknik bioflocculation, mikroalga mulai membentuk kumpulan atau koloni alga dalam kondisi tertentu pada sistem yang timbul. Selain itu, bioflocculation dapat didorong dengan menggunakan biakan mikroba non-alga. Dalam chemical flocculation, bahan kimia seperti ferric chloride, aluminium sulfate, ferric sulfate, polymeric flocculants, chitosan digunakan untuk membentuk formasi koloni alga. Kekurangan dari metode ini adalah biaya pengadaan bahan kimia yang digunakan. Kedua teknik flocculation biasanya diikuti dengan sedimentasi, filtrasi ataupun centrifugasi. Dalam proses sedimentasi, mikroalga yang tersuspensi dikumpulkan oleh gaya gravitasi, sehingga menghasilkan konsentrasi massa mikroalga yang lebih mudah untuk dipindahkan. Centrifugasi merupakan metode yang biasa digunakan untuk memperoleh mikroalga dalam jumlah besar. Efisiensi dari metode ini bergantung pada jenis mikroalga yang digunakan, pengaturan kedalaman, dan waktu tinggal dari cell slurry. Metode ini memiliki kebutuhan energi yang paling besar dibandingkan dengan metode yang lainnya. Filtrasi dapat dilakukan di dalam tekanan atau vakum jika ukuran alga tidak mendekati ukuran bakteri. Filter mikro (biasanya berukuran 25-20 μm) dapat digunakan untuk spesies spirulina. Jika flocculation dilakukan sebelum filtrasi, maka efisiensi filtrasi yang dihasilkan akan meningkat. c) Proses ekstraksi minyak alga Terdapat dua metode yang paling umum digunakan untuk mengekstraksi minyak dari alga, yaitu: 1) Ekstraksi minyak menggunakan pelarut heksana Minyak alga dapat diekstraksi menggunakan senyawa kimia. Benzena dan eter dapat digunakan sebagai pelarut, namun senyawa kimia yang paling sering digunakan adalah heksana dengan titik didih yang berada antara 65-69oC, yang relatif lebih murah. Ekstraksi menggunakan pelarut dibandingkan dengan
ekstraksi secara mekanis memiliki kelebihan yaitu menghasilkan minyak yang lebih banyak (hampir 99%) dan membutuhkan biaya operasi yang lebih kecil. 2) Ekstrasi minyak dengan CO2 superkritis Metode ekstraksi ini menggunakan CO2 superkritis sebagai pelarut. Sebuah senyawa dikatakan berada dalam keadaan superkritis ketika senyawa tersebut telah melewati suhu dan tekanan kritisnya. Untuk CO2, titik kritisnya berada pada suhu 304.1 K dan tekanan 73.8 bar. Diluar batas titik kritisnya, sebuah senyawa tidak dapat dikatakan sebagai gas atau cair; lalu, viskositas, konstanta dielektrik dan kapasitas panas, bersama dengan sifat-sifat lain berbeda jauh dari sifat pada fasa uap atau cairnya. Perubahan-perubahan ini yang memberikan CO2 superkritis sifat pelarut dan ekstraksinya. d) Proses Transesterifikasi Untuk mensintesis minyak alga menjadi biodiesel dilakukan dengan proses transesterifikasi dengan bantuan katalis untuk mempercepat reaksi. Secara garis besar ada 3 macam transesterifikasi dengan katalis yang dapat digunakan, yaitu: 1) Transesterifikasi Katalis Basa 2) Transesterifikasi Katalis Asam 3) Transesterifikasi Menggunakan Enzim Proses transesterifikasi menggunakan katalis basa merupakan proses yang paling umum dipakai di industri sampai saat ini. Selain itu, proses ini juga menghasilkan biodiesel dengan kualitas cukup baik untuk digunakan sebagai bahan bakar. Dari sisi teknologi, banyak sekali teknologi yang berkembang untuk proses transesterifikasi ini, mulai dari proses perlakuan awal bahan baku ( pretreatment), proses transesterifikasi, proses pemisahan biodiesel dan gliserol, proses pemisahan dan recovery metanol , proses pemisahan gliserol, hingga proses purifikasi biodiesel dengan air untuk meningkatkan kemurnian biodiesel.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim . 2012 . Biodiesel . Diakses dari http://chemical engineer.digitalzones. com/biodiesel.html pada 27 September 2014 Citraningrum , Marlistya . 2012 . Biofuel . Diakses dari http://green.kompasiana. com/polusi/2012/10/08/kulkom-biofuel-500011.html pada 27 September 2014 Sumantri , Anton . 2013 . Perkenalan Biofuel Generasi II dan III . Diakses dari http://news.unpad.ac.id/?p=7154 pada 27 September 2014 Suwarjdono , Rahmat . 2013 . Biodiesel Dari Alga . Diakses dari http://rsuwar djono.blogspot.com/ pada 27 September 2014