Bangunan Air
PERENCANAAN BANGUNAN. VI.1
. BANGUNAN UKUR. ..................................................................................................................................... 117 VI. 1.1 Bangunan Ukur Ambang Lebar. ............................................................................................................. 117 VI. 1.2 Pintu Ukur Romijn. ................................................................................................................................... 120 VI. 1.3 Pintu Ukur Cipoletti. ................................................................................................................................ 122 VI. 1.4 Pintu Ukur Thomson. ............................................................................................................................... 122 VI. 1.5 Pintu Ukur Parshall................................................................................................................................... 123
VI.2
. BANGUNAN PENGATUR MUKA AIR. ..................................................................................................... 125 VI. 2.1 Pintu Sorong. ............................................................................................................................................. 125 VI. 2.2 Pintu Balok Sekat. ...................................................................................................................................... 126 VI. 2.3 Mercu Tetap. .............................................................................................................................................. 127
VI.3
BANGUNAN BAGI SADAP. .......................................................................................................................... 128 VI. 3.1 Bagian-bagian bangunan Bagi Sadap. .................................................................................................... 128 VI. 3.2 Penempatan pintu ukur. .......................................................................................................................... 128 VI. 3.3 Contoh Perhitungan. ................................................................................................................................. 129
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil
Bangunan Air
BAB VI. PERENCANAAN BANGUNAN. VI.1 . BANGUNAN UKUR. VI. 1.1
Bangunan Ukur Ambang Lebar.
Bangunan Ukur Ambang lebar ini mempunyai bentuk antara lain seperti pada gambar di sebelah ini. Rumus Pengaliran. Rumus pengaliran alat ukur ambang lebar dengan bagian pengontrol segi empat adalah :
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 1 dimana : Q Cd Cv g bc h1
= Debit dalam m3/detik. = Koeffisien debit Gambar V.1. Bangunan ukur ambang lebar. = 0,93 + 0,10 H1/L untuk 0,1 < H1/L < 1,0 = Koeffisien kecepatan datang. = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 ) = lebar mercu, meter. = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
Harga koeffisien kecepatan datang dapat dicari dari gambar V.2 berikut ini. Untuk Bangunan Ukur ambang lebar dengan pengontrol segiempat digunakan garis yang penuh. Besarnya debit. Besarnya debit yang harus diperhitungkan dalam perencanaan bangunan ukur ambang lebar ini adalah pada : Qmaksimum = 1,1 Qnormal Qminimum = 0,1 Q maksimum. Sedangkan perbandingan antara Qmaksimum dan Qminimum tidak melebihi nilai 35. Perbandingan H2/H1.
Gambar V.2. Grafik Cv
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
Besarnya perbandingan untuk H2/H1, untuk pengontrol segiempat menurut Standar Perencanaan Irigasi minimum adalah 0,70. 117
Bangunan Air Contoh Perhitungan. Sebagai contoh perhitungan berikut ini adalah perhitungan perencanaan untuk bangunan ukur BTU Kr. 1a pada saluran induk Tebudak Kiri Ruas 1 Daerah Irigasi Sanggau Ledo. Data saluran induk Ruas 1 tersebut adalah sebagai berikut :
Q normal hulu hilir Qmax hulu hilir Qmin hulu hilir
Q 1.354
b
h
k
I
A
P
R
V
1.95 1.95
0.92 0.78
30.00 0.00060 30.00 0.00109
2.64 2.13
4.55 4.16
0.58 0.51
0.51 0.64
1.95 1.95
0.97 0.82
30.00 0.00060 30.00 0.00109
2.83 2.28
4.69 4.28
0.60 0.53
0.53 0.65
1.95 1.95
0.26 0.22
30.00 0.00060 30.00 0.00109
0.57 0.47
2.68 2.56
0.21 0.18
0.26 0.32
1.489
0.149
Dalam kondisi Q normal : Kedalaman muka air hulu ambang diambil 1,12 meter yang lebih besar 0,20 meter dibanding dengan kedalaman air dihulu bangunan yaitu 0,92, sehingga pada awal bangunan terjadi penurunan 0,20 meter. Tinggi air diatas ambang direncanakan 0,62 meter. Panjang ambang diambil 1,20 meter, lebar ambang diambil lebih kecil dari lebar saluran yaitu = 1,55 meter. Muka air hulu = + 154,90 + 0,92 = + 155,82 meter. Muka air hilir = +154,64 + 0,78 = 155,42 meter. Dalam keadaan Q maksimum ( Q diambil 10 % diatas debit normal ) : Muka air hulu = + 154,90 + 0,97 = + 155,87 meter. Muka air hilir = +154,64 + 0,78 = 155,42 meter. Diperkirakan Cd = 0,98 dan Cv = 1,07, maka :
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 0,98 x 1,07 x 2/3 x 2/3 . 9,8 . 1,55 . h 1,50 1,489 1 1 dan akan didapat nilai h1 sebesar 0,62 meter. Dengan nilai ini maka elevasi ambang adalah = + 155,87 – 0,62 = + 155,25 meter. Karena muka air hilir = + 155,42 meter, maka h2 = 0,17 meter. Karena nilai maksimum H2/H1 = 0,70, maka H2 maksimum = 0,70 x 0,62 meter = 0,43 meter. Ternyata h2 yang ada lebih kecil sehingga aliran melimpah sempurna. Dalam keadaan Q minimum ( debit diambil 10 % dari debit maksimum ) : Muka air hulu = + 154,90 + 0,26 = + 155,16 meter. Muka air hilir = +154,64 + 0,22 = 154,86 meter. Diperkirakan Cd = 0,98 dan Cv = 1,07, maka :
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 0,98 x 1,07 x 2/3 x 2/3 . 9,8 . 1,55 . h 1,50 0,149 1 1 dan akan didapat nilai H1 sebesar 0,05 meter. Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
118
Bangunan Air Dengan nilai ini maka elevasi ambang adalah + 155,16 – 0,05 meter = + 155,11 meter. Karena nilai ini lebih rendah dari kondisi maksimum, maka elevasi ambang hasil perhitungan kondisi maksimum yang digunakan. Kontrol :
H1 h 1
V2 0,53 2 0,62 0,63 meter 2g 2 . 9,8
H2 h 2
V2 0,64 2 0,17 0,19 meter 2g 2 . 9,8
H2 / H1 = 0,63/0,19 = 0,30 < 0,70 ------> Ok. H1/L = 0,63/1,20 = 0,53 ----> Cd = 0,93 + 0,10 H1/L = 0,98 --- > sesuai perkiraan. A* = h1 x 1,55 = 0,62 x 1,55 = 0,96 ; A = h x 1,55 = 0,97 x 1,55 = 1,50 ; Cd . A*/A = 0,98 x 0,96/1,50 = 0,63 ; dari grafik didapat Cv = 1,12 Koreksi terhadap h1 :
h 11,5maks h 1 maks
C C v andaian atau h 1 h 1 maks x v andaian C v koreksi C v koreksi
2/3
1,07 0,62 x 1,12
2/3
0,60 meter.
Gambar V.3. Bangunan Ukur Ambang Lebar BTU Kr 1a pada DI Sanggau Ledo
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
119
Bangunan Air
VI. 1.2 Pintu Ukur Romijn. Pintu Romijn ini mempunyai dua buah daun pintu : pintu bawah dan pintu atas. Ada tiga kedudukan sesuai tujuan pintunya, seperti pada gambar berikut ini.
penggunaan
Gambar V.4. Tiga kedudukan pintu Romijn.
Gambar V.5. Dimensi pintu ukur Romijn.
Rumus Pengaliran. Rumus pengaliran pintu ukur Romijn ini pada dasarnya sama dengan pada alat ukur ambang lebar dengan bagian pengontrol segi empat kerena meja Romijn itu pada dasarnya adalah ambang lebar yang dapat dinaik turunkan. Dengan demikian rumus pengalirannya adalah :
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 1 dimana : Q Cd Cv g bc h1
= Debit dalam m3/detik. = Koeffisien debit = 0,93 + 0,10 H1/L untuk 0,1 < H1/L < 1,0 = Koeffisien kecepatan datang. = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 ) = lebar mercu, meter. = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter. Harga koeffisien kecepatan datang dapat dicari dari gambar V.2 terdahulu. Pintu Romijn Standar.
Karena pintu Romijn ini dibuat di pabrik, maka untuk effisiensinya dibuat standar pi9ntu Romijn, dengan karakteristik seperti pada daftar berikut ini .
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
120
Bangunan Air Daftar V. Standar Pintu Ukur Romijn. No.
Uraian
I
II
III
IV
V
VI
1
Lebar
0,50
0,50
0,75
1,00
1,25
1,50
2
Kedalaman maksimum aliran
0,33
0,50
0,50
0,50
0,50
0,50
3
Debit maksimum
160
300
450
600
750
900
4
Kehilangan tinggi energi.
0,08
0,11
0,11
0,11
0,11
0,11
5
Elevasi dasar dari m.air rencana
0,81 + V
1,15 + V
1,15 + V
1,15 + V
1,15 + V
1,15 + V
V = varian = 0,18 x H maksimum. Tinjauan terhadap rumus pengaliran.
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 1 Untuk pintu Romijn Type I, perhitungan debit menurut rumus tersebut diambil 7 % diatas debit maksimum padamuka air rencana seperti pada butir 3 daftar diatas, sehingga untuk type I adalah Q = 1,07 x 160 = 171 liter/detik. Untuk mendapatkan nilai Cd = 0,93 + 0,10 H1/L , H1 diambil sama dengan kedalaman maksimum aliran pada muka air rencana seperti pada butir 2 daftar diatas ( = 0,33 ), sedangkan besarnya L = 1,2 H 1 maksimum diambil besarnya = 1,2 x H1 dengan nilai H1 juga seperti pada butir 2 tersebut. Sehingga L didapat = 1,2 x 0,33 = 0,40 meter. Dengan demikian didapat nilai Cd = 1,01 Besarnya Cv diambil dari grafik yang besarnya tergantung dari besarnya A*, A dan C d. Besarnya A* dihitung berdasar rumus = b x h = 0,50 x 0,33 = 0,167 m2. Sedangkan besarnya A = b x ( h + p ), dimana p = 0,81 + V = 0,81 + 0,18 h = 0,81 + 0,18 x 0,50 = 0,87 meter. sehingga A = 0,50 x 0,87 = 0,602 m2. Nilai C d = 1,01 seperti dihitung diatas sehingga Cd . A* /A = 1,01 x 0,167/0,602 = 0,28 Dengan nilai ini dari Grafik didapat nilai Cv sebesar 1,03.
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 1,01 . 1,03 . 2/3 . 2/3 . 9,8 . 0,50 . 0,331,50 0,171 m3/detik. 1 Perhitungan kehilangan energi didasarkan atas batas moduler 0,76, sehingga h 2/h1 = 0,76 dan karena h1 = 0,33, maka h2 = 0,76 x 0,33 = 0,25 meter. Dengan demikian kehilangan energi adalah 0,33 – 0,25 = 0,008 meter. Untuk type lain, perhitungan dilakukan dengan cara yang sama hanya dengan nilai Q yang diperhitungkan diambil 5 % diatas debit maksimum aliran pada muka air rencana seperti pada butir 3 daftar diatas. Sedangkan untuk kehilangan energi didasarkan atas batas moduler = 0,78. Contoh perhitungan. Contoh perhitungan untuk pintu Romijn ini akan digabung dengan contoh perhitungan bangunan bagi yang akan dibahas kemudian, karena pintu ukur Romijn ini umumnya menjadi bagian dari bangunan bagi, yaitu untuk memngukur aliran air ke saluran tersier.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
121
Bangunan Air VI. 1.3
Pintu Ukur Cipoletti.
Alat Ukur Cipoletti merupakan penyempurnaan alat ukur ambang tajam yang dikontraksi sepenuhnya. Alat Ukur Cipoletti memiliki potongan pengontrol trapesium, mercunya horisontal dan sisisnya miring ke samping 1 vertikal banding 1/4 horisontal, seperti pada gambar di sebelah ini. Rumus Pengaliran.
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 1
Gambar V. 6.Dimensi Pintu Ukur Cipoletti.
dimana : Q Cd Cv g bc h1
= Debit dalam m3/detik. = Koeffisien debit ( harganya mendekati 0,63 ) = Koeffisien kecepatan datang. = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 ) = lebar mercu, meter. = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
Harga koeffisien kecepatan datang dapat dicari dari gambar V.2 terdahulu, namun biasanya nilai koeffisien ini diperkirakan mendekati 1. Sehingga rumus diatas dapat disederhanakan menjadi :
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 0,63 . 1 . 2/3 . 2/3 . 9,8 b c h 1,50 1,073 b c h 1,50 1 1 1 Ini berarti dengan lebar ambang tetap ( dalam gambar diatas dinyatakan dengan notasi B ), maka besarnya debit tergantung dari besarnya h1. VI. 1.4
Pintu Ukur Thomson.
Seperti halnya pintu ukur Cipoletti, pintu ukur Thomson ini juga didasarkan pada prinsip aliran yang melimpah sempurna melalui mercu tajam.Hanya bedanya pada pintu ukur Thomson ambang berbentuk segitiga bukan trapesium. Besarnya debit yang dialirkan oleh pintu ukur Thomson ini adalah
Q Ce
8 15
2 . g tan
θ 2,5 . h1 2
dimana : Q Ce h1
= Debit yang dapat dialirkan,m3/detik. = Koeffisien debit. = Besarnya sudut V (untuk Thomson = 90o. ) = tinggi muka air dulu dari atas mercu, meter.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
Gambar V. 7. Pintu Ukur Thomson
122
Bangunan Air Besarnya Koeffisien Ce dapat diambil dari grafik V. berikut ini. Dalam penggunannya pintu ukur Thomson ini digunakan untuk mengukur air yang debitnya kecill seperti disaluran yang mengalirkan ke kebun tebu. Agar mendapat hasil yang baik, maka ukuran sekat ukur ini harus memenuhi syarat : h1/p 1,2 h1/B 0,4 0,5 < h1 0,60 meter. p 0,1 meter. B 0,6 meter. Muka air hilir dibawah mercu V. Berdasar rumus diatas, maka dapat disusun daftar debit pada tiap tiap Gambar V. 8. Koeffisien debit Ce untuk pintu Thomson. ketinggian tertentu, atau juga dapat dengan memasang papan duga yang langsung menyatakan besarnya debit yang dialirkan oleh pintu ukur. -
Pintu ukur ini umumnya dibuat dari plat besi yang ditanamkan pada pasangan batu. Pada umumnya kolam olakan tidak diperlukan dalam pintu ukur type ini karena debit yang dialirkan umumnya kecil. Pintu ukur ini sering juga digunakan pada saluran kwarter atau tersier yang melayani areal yang kecil. VI. 1.5
Pintu Ukur Parshall.
Alat ukur ini adalah alat ukur yang sudah diuji secara laboratoris untuk mengukur aliran dalam saluran terbuka. Berdasar percobaan dari U.S. Soil Conservation Service, disusun 12 type pintu ukur Parshall seperti pada daftar berikut ini. Notasi huruf dalam daftar tersebut adalah nitasi huruf pada gambar berikut ini. Daftar V. Ukuran dan kapasitas Alat Ukur Parshall. Type
W
A
2/3 A
B
C
D
E
F
G
K
N
R
M
P
X
Y
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
(m)
I
0.076
0.467
0.311
0.457
0.178
0.259
0.610
0.152
0.305
0.025
0.057
0.406
0.305
0.768
0.025
Qmin
Qmaks
(ltr/dt)
(ltr/dt)
0.038
0.8
53.8
II
0.152
0.621
0.414
0.610
0.394
0.397
0.610
0.305
0.610
0.076
0.114
0.406
0.305
0.902
0.051
0.076
1.4
110.4
III
0.229
0.879
0.586
0.864
0.381
0.575
0.762
0.305
0.457
0.076
0.114
0.406
0.305
1.079
0.051
0.076
2.5
252.0
IV
0.305
1.372
0.914
1.343
0.610
0.845
0.914
0.610
0.914
0.076
0.229
0.508
0.381
1.492
0.051
0.076
3.1
455.9
V
0.457
1.448
0.965
1.419
0.762
1.026
0.914
0.610
0.914
0.076
0.229
0.508
0.381
1.676
0.051
0.076
4.2
696.6
VI
0.610
1.524
1.016
1.495
0.914
1.206
0.914
0.610
0.914
0.076
0.229
0.508
0.381
1.854
0.051
0.076
11.9
937.3
VII
0.914
1.676
1.118
1.645
1.219
1.572
0.914
0.610
0.914
0.076
0.229
0.508
0.381
2.222
0.051
0.076
17.3 1,427.1
VIII
1.219
1.829
1.219
1.794
1.524
1.937
0.914
0.610
0.914
0.076
0.229
0.610
0.457
2.711
0.051
0.076
36.8 1,922.7
IX
1.524
1.981
1.321
1.943
1.829
2.302
0.914
0.610
0.914
0.076
0.229
0.610
0.457
3.080
0.051
0.076
45.3 2,423.8
X
1.829
2.134
1.422
2.092
2.134
2.667
0.914
0.610
0.914
0.076
0.229
0.610
0.457
3.442
0.051
0.076
73.6 2,930.7
XI
2.134
2.286
1.524
2.242
2.438
3.032
0.914
0.610
0.914
0.076
0.229
0.610
0.457
3.810
0.051
0.076
84.9 3,437.6
XI
2.438
2.438
1.626
2.391
2.743
3.397
0.914
0.610
0.914
0.076
0.229
0.610
0.457
4.172
0.051
0.076
99.1 3,950.1
Catatan : dikutip dari Hidrolika Saluran Terbuka dengan mengkonversikan satuan Inggris ke satuan metrik.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
123
Bangunan Air
Gambar V.9. Dimensi pintu Ukur Parshall.
Rumus Pengaliran. Rumus pengaliran untuk pintu ukur Parshall berikut ini merupakan persamaan yang dikalibrasikan secara pendekatan : Type
Lebar tenggorok ( W ), meter
Rumus Pengaliran.
I
0.076
Q = 0,992 Ha1,547
II
0.152
Q = 2,06 Ha1,58
II
0.229
Q = 3,07 Ha1,53
III - XI
12” – 8’
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
w Q 4 . w . H 1,552 a
0.026
124
Bangunan Air Karakteristik bangunan. Pintu Ukur Parshall merupakan bangunan pengukur yang teliti dan andal serta memiliki kelebihan – kelebihan sebagai berikut : 1.
mampu mengukur debit dengan kehilangan tinggi energi yang relatif kecil.
2.
mampu mengukur berbagai besaran debit aliran bebas dengan air hilir yang relatif dalam dengan satu alat ukur kedalaman air.
3.
pada dasarnya bangunan ini dapat bebas dengan sendirinya dari benda-benda yang hanyut, karena bentuk geometrinya dan kecepatan air pada bagian leher.
4.
tak mudah diubah-ubah oleh petani untuk mendapatkan air diluar jatah.
5.
tidak terpengaruh oleh kecepatan datang yang dikontrol secara otomatis jika flum dibuat sesuai dengan dimensi standar serta hanya dipakai bila aliran masuk seragam, tersebar merata dan bebas turbulensi. Kekurangan pintu ukur ini :
1.
biaya pelaksanaannya lebih mahal dibanding dengan pintu ukur lainnya.
2.
tak dapat dikombinasi dengan baik dengan bangunan sadap karena aliran masuk harus seragam dan permukaan air relatif tenang.
3.
agar dapat berfungsi dengan memuaskan, pintu ukur ini harus dibuat dengan teliti dan seksama.
VI.2 . BANGUNAN PENGATUR MUKA AIR. VI. 2.1
Pintu Sorong.
Pintu sorong ini umumnya digunakan sebagai pintu pengatur pada bangunan bendung maupun pada bangunan bagi, serta bangunan air lainnya. Aliran melalui pintu sorong secaraskematis adalah seperti pada gambar berikut ini. Perencanaan hidrolis. Q=K ab
2 .g h1
dimana : Q K a b g h1
= debit, m3/detik. = faktor aliran tenggelam. = koeffisien debit Gambar V. 10. aliran melalui pintu sorong. = bukaan pintu, m. = lebar pintu, m. = percepatan gravitasi, m/dt2 ( 9,8 ) = kedalaman air didepan pintu diatas ambang, meter.
Besarnya koeffisien K dapat diambil dari grafik V. berikut ini.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
125
Bangunan Air Dari grafik tersebut besarnya faktor aliran tenggelam, tergantung dari besarnya perbandingan h2 dengan a serta h1 dengan a. Atau dengan perkataan lain, besarnya faktor K tergantung pada nilai h1, h2 dan a. Sedangkan besarnya koeffisien debit ( ) dapat Gambar V. 11. Koeffisien K untuk debit tenggelam.
diambil dari grafik V. berikut ini dimana besarnya koeffisien debit tergantung dari perbandingan h1 dengan a serta besarnya sudut antara pintu sorong dengan lantai ( ). Untuk pintu sorong digunakan grafik a sedangkan grafik b adalah untuk pintu radial. Pada pintu sorong yang umum digunakan pada irigasi, umumnya dengan = 90o.
Gambar V. 12. Koeffiesien debit pada pintu sorong dan pintu radial. Contoh perhitungan. Contoh perhitungan untuk pintu sorong akan digabung dengan contoh perhitungan bangunan bagi yang akan dibahas kemudian, karena pintu sorong ini umumnya menjadi bagian dari bangunan bagi atau bangunan sadap, yaitu untuk mengatur aliran air ke saluran sekunder/tersier. VI. 2.2
Pintu Balok Sekat.
Aliran melalui balok sekat adalah seperti pada gambar berikut ini. Rumus Pengaliran.
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 1 dimana : Q
= Debit dalam m3/detik.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
Gambar V. 13. Aliran melalui balok sekat 126
Bangunan Air Cd = Koeffisien debit Cv = Koeffisien kecepatan datang. g = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 ) bc = lebar mercu, meter. h1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter. Besarnya koeffisien debit dapat diambil dari grafik berikut ini. Nilai H1 /L sebaiknya diambil kurang dari 1,5. Nilai yang lebih tinggi dari 1,5 maka Gambar V. 14. Koeffisien debit untuk balok sekat pola alirannya menjadi tidak mantap dan sangat sensitif terhadap ketajaman tepi balok sekat bagian hulu. Juga besarnya airasi dalam kantong udara dan tenggelamnya pancaran sangat mempengaruhi debit pada balok sekat. Ketinggian muka air dihulu pintu akan sangat tergantung dari tinggi sebuah balok sekat. Tinggi yang umum dipakai untuk irigasi adalah 20 cm. Dalam hal diperlukan kenaikan muka air kurang dari 20 cm, maka balok paling atas tidak perlu dipasang rapat sehingga masih ada air yang mengalir dibawah balok paling atas sehingga muka air dihulu dapat sisesuaikan dengan keperluan. Besarnya koeffisien kecepatan datang dapat diambil dari grafik ..... terdahulu, dimana nilai C v tergantung pada nilai Cd . A*/A = Cd . ( b . h1 ) /{( h1 + p1 ) . b } = Cd . h1 / ( p1+h1 ). Contoh perhitungan. Contoh perhitungan untuk balok sekat akan digabung dengan contoh perhitungan bangunan bagi yang akan dibahas kemudian, karena balok sekat ini umumnya menjadi bagian dari bangunan bagi atau bangunan sadap, yaitu untuk mengatur aliran air ke saluran sekunder/tersier. VI. 2.3
Mercu Tetap. Bentuk mercu.
Dua bentuk mercu tetap yang umum digunakan sebagai bangunan pengatur muka air pada irigasi adalah bentuk mercu bulat dan ambang lebar seperti pada gambar disebelah. Pada mercu tetap denganb mercu bulat ( kiri ) berlaku hubungan : H1 /r = 5,0 dan Cd = 1,48. Sedangkan pada ambang lebar ( kanan ) berlaku hubungan : H1/L = 1,0 dan Cd = 1,03.
Gambar V.15. Bentuk – bentuk mercu tetap yang umum dipakai.
Rumus Pengaliran.
Q C d 2/3 2/3 g b c H 1,50 1 dimana : Q Cd g bc
= Debit dalam m3/detik. = Koeffisien debit = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 ) = lebar mercu, meter. Gambar V. 16aliran melalui mercu bulat.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
127
Bangunan Air H1
= kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter. Besarnya H2/H1 tidak boleh melebihi 0,33 agar tidak terjadi aliran tenggelam.
VI.3
BANGUNAN BAGI SADAP.
VI. 3.1
Bagian-bagian bangunan Bagi Sadap.
Seperti yang telah diuraikan dalam babterdahulu. perbedaan antara bangunan bagi, bangunan sadap dan bangunan bagi – sadap adalah pada fungsinya serta pencabangan dari saluran hulu ke saluran-saluran hilirnya. Dalam perencanaan bangunan berikut ini yang dibahas adalah bangunan bagi – sadap dimana perencanaan bangunan bagi – sadap ini sudah mencakup pula perencanaan bangunan bagi atau bangunan sadap. Dalam perencanaan bangunan bagi – sadap ada 4 bagian dari bangunan yang perlu kita tinjau perencanaannya, yaitu :
bagian hulu, bagian pengaturan muka air, bagian hilir, bagian peralihan.
Pada bagian hulu, yang terdiri dari saluran masuk dan kolam pengatur, merupakan ujung dari saluran hulu. Untuk itu kedalaman bagian hulu ini umumnya diambil sama dengan kedalaman saluran bagian hulu. Kalau bagian hulu ini penampangnya dirubah menjadi persegi, maka pada bagian hulu ini terdapat sayap saluran yang menghantar perubahan penampang dari trapesium menjadi persegi. Kolam pengatur merupakan kolam yang berhadapan dengan pintu – pintu pengatur, sehingga luasnya tergantung dari jumlah saluran hilirnya. Bagian pengaturan muka air, merupakan bagian yang fungsinya mengalirkan debit yang direncanakan dengan tetap memperhartikan ketinggian muka air dihulu maupun dihilir. Muka air dihulu pintu harus sama dengan muka air di kolam pengatur, sedangkan muka air dihilir pintu harus dapat menjamin berfungsinya pintu pengatur dengan baik. Bagian hilir, umumnya terdiri dari kolam olakan ( kecuali kalau dari hasil perhitungan kolam olakan ini tidak diperlukan ) serta saluran bagian hilir. Ketinggian muka air dihilir kolam olakan harus sama dengan ketinggian muka air di saluran hilir, sednagkan muka air hulu harus disesuaikan dengan muka air dihilir pintu pengatur. Bagian peralihan diperlukan kalau antara pintu pengatur dengan bagian hilir dipisahkan oleh gorong- gorong atau saluran pasangan terbuka, sesuai tuntutan lokasi/lapangan. Kalau ada jalan inspeksi atau jalan kampung yang melintasi bangunan, maka umumnya jalan ini diletakkan antara pintu pengatur dengan bagian hilir dengan memasang gorong- gorong jalan. VI. 3.2
Penempatan pintu ukur.
Pintu ukur harus ditempatkan pada setiap pintu sadap, yaitu pintu dimana saluran tersier berpangkal. Penempatan pintu ukur untuk saluran tersier dapat menggunakan pintu ukur yang sekaligus mengatur aliran seperti pintu Romijn. Kalau digunakan pintu ukur yang tidak sekaligus mengatur, maka dihulu pintu ukuir harus dipasang bangunan pengatur muka air sperti pintu sorong atau balok sekat. Untuk saluran sekunder atau induk dihilir bangunan bagi, maka kalau saluran induk atau sekunder dihilir itu hanya satu ( yaitu pada bangunan sadap ), maka pada saluran induk atau sekunder tersebut tidak perlu ditempatkan pintu ukur. Tapi kalau saluran induk atau sekunder dihilir bangunan lebih dari satu buah Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
128
Bangunan Air ( pada bangunan bagi atau bangunan bagi – sadap ), maka salah satu saluran tidak ditempatkan bangunan ukur dan yang lainnya tetap ditempatkan pintu ukur. VI. 3.3
Contoh Perhitungan.
Dalam contoh berikut ini yang akan dibahas termasuk contoh perhitungan bangunan pengatur, serta penerapan perencanaan pintu ukur pada bangunan bagi – sadap. Sebagai contoh kasus akan dilakukan perhitungan perencanaan bangunan bagi dengan data sebagai berikut : Data Elevasi muka air, meter. Debit, meter3/detik Pengatur Pintu Ukur Kemiringan
Sekunder hulu Sekunder kiri Sekunder kanan + 76.53 + 76.03 + 75.97 2.232 1.237 0.616 -P.sorong P.sorong -Mercu -0.000328 0.000133 0.000080
Tersier kiri + 74.16 0.149 Balok sekat Thomson 0.000970
Tersier kanan + 73.23 0.232 Romijn Romijn 0.000510
Gambar V. 17. Contoh Bangunan Bagi Sadap.
Perhitungan dimensi saluran. Untuk menghitung dimensi saluran ini kita menggunakan cara seperti yang telah diuraikan dalam bab IV dimana karakteristik saluran tanah yang disarankan penggunaannya oleh Direktorat Irigasi. Seperti
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
129
Bangunan Air yang tercantum dalam daftar IV.4, kemiringan talut, perbandingan b/h serta faktor kekasaran Stickler disesuaikan dengan debit yang harus dialirkan saluran. Sesuai dengan daftar tersebut untuk saluran yang masuk atau keluar dari bangunan bagi - sadap tersebut adalah sebagai berikut : Data
Sekunder hulu Sekunder kiri Sekunder kanan Tersier kanan Tersier kiri
Debit, meter3/detik Kemiringan talut 1 : m perbandingan b/h Koeffisien kekasaran Stickler (k)
2,232 1,5 1,8 – 2,3 40
1,237 1,0 1,5 – 1,8 40
0,616 1,0 1,3 – 1,5 35
0,095 1,0 1,0 35
0,232 1,0 1,0 35
Sekunder Hulu. Untuk sekunder hulu ini dicoba dengan lebar saluran b = 2,00 meter dengan b/h = 2,0. Dengan demikian maka h = 2,00 / 2,0 = 1,00 meter. Dengan miring talut m = 1,5, maka :
luas basah A = ( b + mh ) h = ( 2,00 + 1,5 . 1,00 ) 1,00 = 3,50 meter persegi. keliling basah P = b + 2 h ( 1 + m2 ) = 2,00 + 2 . 1,00 ( 1 + 1,52 ) =5,61 meter. jari-jari hidraulis R = A/P = 3,50/5,61 = 0,62 meter. kecepatan aliran v = 1/k . R2/3 I½ = 1/40 . 0,622/3 0.000328½ = 0,53 meter/detik. Debit Q = v. A = 0,53 . 3,50 = 1,852 meter3/detik.
Ternyata dengan h = 1,00 meter debit yang terjadi masih lebih kecil dari yang seharusnya dialirkan yaitu 2,232 meter3/detik. Untuk dicoba dengan nilai h yang lain seperti pada daftar berikut ini : h
b
I
b/h
A
P
R
k
v
Q
1.00
2.00
0.000328
2.00
3.50
5.61
0.62
40
0.53
1.852
1.05
2.00
0.000328
1.90
3.75
5.79
0.65
40
0.54
2.038
1.10
2.00
0.000328
1.82
4.02
5.97
0.67
40
0.56
2.234
1.15
2.00
0.000328
1.74
4.28
6.15
0.70
40
0.57
2.440
1.20
2.00
0.000328
1.67
4.56
6.33
0.72
40
0.58
2.656
Dari daftar tersebut dapat dilihat bahwa nilai h yang mendekati adalah h = 1,10 meter. Sekunder Kanan, Sekunder Kiri, Tersier Kanan dan tersier kiri. Untuk mendemensi saluran-saluran tersebut, digunakan cara yang sama dan hasilnya akan didapat hasil seperti pada daftar berikut ini : Nama saluran
h
b
I
Sekunder kiri
1.20
2.00
0.000133
Sekunder kanan
1.00
2.00
Tersier kanan
0.45
Tersier kiri
0.60
b/h
A
P
R
k
v
Q
1.67
3.84
6.33
0.61
40
0.33
1.270
0.000080
2.00
3.00
5.61
0.54
35
0.21
0.619
0.45
0.000400
1.00
0.41
2.07
0.20
35
0.24
0.095
0.60
0.000510
1.00
0.72
2.76
0.26
35
0.32
0.232
Perhitungan perencanaan bangunan Pengatur, Pintu Ukur dan Kolam Olakan.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
130
Bangunan Air Perhitungan perencanaan untuk bangunan pengatur, pintu ukur dan kolam olakan pada suatu bangunan bagi harus dilakukan dalam satu perencanaan karena saling terkait. Dalam kasus ini pintu ukur ditempatkan pada setiap outlet kecuali pada sekunder kanan yang tidak dilengkapi dengan pintu ukur. Banyaknya air yang dialirkan oleh saluran sekunder ini adalah debit yang dialirkan oleh sekunder hulu dikurangi dengan debit yang dialirkan melalui 3 saluran lainnya. Sekunder kiri. Bangunan pengatur yang digunakan pada saluran ini pintu sorong dan pintu ukur adalah mercu tetap jenis ambang lebar. Kolam olakan direncanakan menggunakan kolam olakan Vlughter. Perhitungan pintu sorong. Sebagai pintu pengatur disini digunakan pintu sorong, dimana kedalaman hulu ( h1 ) diambil sama dengan kedalaman saluran sekunder hulu yaitu 1,10 meter. Kedalaman air dihilir pintu ( h 2 ) diambil 20 cm lebih rendah atau = 0,90 meter. Bukaan pintu diambil 0,40 meter. Dengan demikian didapat h 1/a = 2.89 dan h2/a = 2,37. Dengan nilai ini dari grafik didapat nilai K = 0,60 dan nilai = 0,59.
Gambar V.18. Aliran pada saluran sekunder kiri. Karena besarnya debit yang dialirkan dihitung dengan rumus : Q=K ab
2 .g h1
dimana : Q K a b g h1
= debit, m3/detik. = faktor aliran tenggelam. = koeffisien debit = bukaan pintu, m. = lebar pintu, m. = percepatan gravitasi, m/dt2 ( 9,8 ) = kedalaman air didepan pintu diatas ambang, meter.
maka lebar pintu yang diperlukan dihitung menurut rumus :
b
Q K . .a . 2 .g . h1
1,249 0,60 . 0,59 .0,15. 2 . 9,8 . 1,10
1,98 meter dibulatkan 2,00 meter.
Perhitungan mercu. Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
131
Bangunan Air Untuk mengukur debit digunakan mercu ambang lebar, dimana debit yang dialirkan dihitung menurut rumus sebagai berikut :
Q C d 2/3 2/3 g b c H 1,50 1 dimana : Q Cd g bc H1
= Debit dalam m3/detik. = Koeffisien debit = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 ) = lebar mercu, meter. = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
Dalam perencanaan ini lantai udik mercu diturunkan 0,80 meter, sehingga kedalaman air hulu menurut kedalaman saluran sekunder hulu adalah 0,90 meter menjadi 1,70 meter akibat penurunan ini. Penurunan ini dilakukan sebelum gorong-gorong, sedangkan mercu ambang lebar di letakkan dihilir gorong-gorong. Tinggi muka air hulu ( h1 ) diambil sebesar 0,50 meter diatas mercu.Kecepatan aliran menuju mercu adalah : v = Q/(b.h) = 1,237/( 2,00 . 1,70 ) = 0,36 meter/detik. Dengan demikian tinggi kecepatan v 12/2g = 0,01 meter, sehingga H1 menjadi 0,51 meter. Besarnya koeffisien debit untuk mercu bulat dengan ambang lebar adalah Cd = 1,03 sehingga :
Q C d 2/3 2/3 . g b c H 1,50 1,03 . 2/3 . 2/3 . 9,8 . b c . 0,52 1,50 1,237 m3/detik. 1 Kalau dihitung akan didapat bc sebesar 1,958 meter atau dibulatkan menjadi 2,00 meter dan lebar ini sama dengan lebar bawah saluran sekunder kiri. Perhitungan kolam olakan.
Kolam olakan menggunakan kolam olakan Vlughter ; Perbedaan muka air hulu dan hilir, z = 76,33 - 74,32 + 0,01 = 2,02 meter; Debit persatuan lebar : q = Q/b = 1,237/2,00 = 0,618.
Kedalaman kritis h c
z/hc = 2,02/0,398 = 5,94 sehingga : t = 3,0 hc + 0,1 z = 3,0 . 0,398 + 0,1 . 2,02 = 1,62 meter.
Tinggi ambang : a 0,28 h c
Elevasi kolam olakan = Elevasi muka air hilir – t = 74,32 - 1,62 = 72,70 meter. D = Elevasi muka air hulu – h1 – elevasi kolam olakan = 76,33 – 0,50 – 72,70 = 3,13 meter. Panjang kolam olakan minimum : L = D = 3,13 meter.
3
q2 g
3
0.618 2 0,339 meter 9,8
hc 0,398 0,28 . 0,398 0,04 meter. z 2,02
Dengan demikian kolam olakan untuk saluran sekunder kiri ini adalah seperti pada gambar diatas. Namun karena antara kolam olakan dengan mercu terdapat gorong-gorong, maka panjang kolam olakan ini disesuaikan dengan kondisi medan. Ini berarti juga ukuran gorong-gorong itu mengikuti ukuran kolam olakan dari perhitungan diatas. Jadi lebar gorong-gorong adalah 2,00 meter dan elevasi lantai gorong-gorong adalah 72,70 meter. Sekunder kanan.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
132
Bangunan Air Saluran sekunder kanan ini menggunakan pintu sorong sebagai pintu pengatur. Bangunan Pengatur. Sebagai pintu pengatur disini digunakan pintu sorong, dimana kedalaman hulu ( h 1 ) diambil sama dengan kedalaman saluran sekunder hulu yaitu 1,10 meter. Dengan demikian ketinggian dasar pintu adalah 76,53 – 1,10 = 75,43 meter. Muka air di hilir pintu diambil sama dengan muka air di saluran sekunder kanan yaitu + 75,68 meter, sehingga kedalaman air dihilir pintu ( h2 ) = 75,68 – 75,43 = 0,25 meter. Bukaan pintu diambil 0,16 meter. Dengan demikian didapat h 1/a = 6,88 dan h2/a = 1,56. Dengan nilai ini dari grafik didapat nilai K = 1,00 ( nilai maksimal K ; pertemuan garis h1/a dan h2/a diluar gambar ) sedangkan nilai = 0,59. Karena besarnya debit yang dialirkan dihitung dengan rumus : Q=K ab
2 .g h1
dimana : Q K a b g h1
= debit, m3/detik. = faktor aliran tenggelam. = koeffisien debit = bukaan pintu, m. = lebar pintu, m. = percepatan gravitasi, m/dt2 ( 9,8 ) = kedalaman air didepan pintu diatas ambang, meter.
maka lebar pintu yang diperlukan dihitung menurut rumus :
b
Q K . .a . 2 .g . h1
0,616 1,00 . 0,56 .0,16 . 2 . 9,8 . 1,10
1,479 meter dibulatkan 1,50 meter.
Gambar V.19. Aliran pada saluran sekunder kanan. Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
133
Bangunan Air Karena muka air hilir pintu sorong diambil sama dengan ketinggian muka air di saluran sekunder kanan, maka pada dasarnya sudah tidak diperlukan kolam olakan lagi karena z = 0. Namun untuk amannya lantai pasangan bagian ujung di turunkan 20 cm, seperti pada gambar diatas. Tersier kanan. Pintu pengatur yang digunakan pada saluran tersier kiri ini adalah balok sekat, sedangkan pintu ukurnya menggunakan pintu Cipoletti. Karena penampang saluran pada pintu Cipoletti ini berbentuk trapesium dan ditempatkan pada aliran yang tenang, maka pintu ukur Cipoletti ditempatkan agak kehilir dihilir kolam olakan balok sekat. Pintu Pengatur. Muka air dihulu balok sekat diambil sama dengan muka air pada saluran sekunder hulu, yaitu + 76,53 dengan kedalaman air di saluran sekunder hulu setinggi 1,10 meter. Kedalaman air dihulu balok sekat diambil sama dengan kedalaman saluran tersier kiri yaitu 0,45 meter. Dengan demikian terjadi kenaikan dasar pintu dibanding dengan ketinggian dasar saluran sekunder hulu. Tebal balok sekat ( L ) diambil 0,10 meter dan tinggi muka air diatas balok ( h1 ) diambil 0,25 meter. Debit yang dialirkan oleh balok sekat dihitung menurut rumus :
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 1 dimana : Q Cd Cv g bc h1
= Debit dalam m3/detik. = Koeffisien debit = Koeffisien kecepatan datang. = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 ) = lebar mercu, meter. = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter. kecepatan aliran di saluran : v = 0,29 meter/detik, besarnya v2/2g = 0,004, maka H 1 dapat diambil sama dengan h1. Untuk L = 0,10 meter dan h1 = 0,18, didapat H1/L = 1,80. Dari grafik didapat besarnya Cd = 1,10. Cd . A*/A = Cd . h1 . b / ( h . b ) = 1,10 . 0,18 / 0,45 = 0,44. Dengan nilai tersebut didapat Cv = 1,05. Berdasar nilai tersebut, lebar pintu adalah sebagai berikut :
bc
Q C d C v 2/3 2/3 g
h 1,50 1
0,149 1,10. 1,05 . 2/3 . 2/3 . 9,8 . 0,181,5
0,989 meter dibulatkan 1,00 meter.
Kolam olakan balok sekat. Karena dihilir kolam olakan masih terdapat bangunan ukur Cipoletti, yang memerlukan perbedaan tinggi muka air, maka ketinggian muka air di hilir kolam olakan diambil 0,30 meter lebih tinggi dari muka air disaluran tersier kanan. Ketinggian muka air di saluran tersier kanan = + 75,16 meter, sehingga muka air dihilir kolam olakan = + 75,46 meter. Kolam olakan menggunakan bentuk kolam olakan Vlughter.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
134
Bangunan Air
Gambar V.20. Aliran pada tersier kanan.
Dengan demikian didapat z = 76,53 – 75,46 = 1,07 meter. Besarnya debit per meter saluran = Q/b = 0,096 / 1,00 = 0,096, sehingga besarnya hc adalah :
hc 3
q2 q
3
0,096 2 9,8
0,10 sehingga
z 1,07 z 11,09 2,0 15,0 hc 0,10 hc
t = 3,0 hc = 0,1 z = 3,0 . 11,09 + 0,1 . 1,07 = 0,40 meter.
hc 0,10 0,28 . 0,10 0,03 m mengingat kecilnya nilai a dan dihilir masih ada pintu z 1,07 ukur, maka ambang setinggi 3 cm ini diabaikan. Sehingga ketinggian dasar kolam olakan = ketinggian muka air hilir – t = 75,46 – 0,40 = 75,06 meter. D = Ketinggian atas balok sekat – ketinggian kolam olakan = 76,08 – 75,06 = 1,02 meter. Dengan demikian panjang kolam olakan L = D = R = 1,64 meter. Namun dalam kasusu ini kolam olakan diambil lebih panjang disesuaikan dengan kedudukan pintu ukur. a 0,28 h c
Pintu Ukur Cipoletti. Lebar saluran pada lokasi pintu ukur ini diambil 1,80 meter, sedangkan lebar pintu ukur diambil 1,00 meter. Debit yang dialirkan oleh pintu ukur ini dihitung menurut rumus :
Q C d C v 2/3 2/3 g b c h 1,50 1 dimana : Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
Gambar V.21. Pintu Ciploetti pada tersier kanan. 135
Bangunan Air Q Cd Cv g bc h1
= Debit dalam m3/detik. = Koeffisien debit ( harganya mendekati 0,63 ) = Koeffisien kecepatan datang. = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 ) = lebar mercu, meter. = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter. Besarnya debit yang harus dialirkan : Q = 0,096 m3/detik, lebar mercu b c =1,00 meter. Besarnya Cv tergantung dari besarnya Cd.A*/A, diperkirakan besarnya = 1. Sehingga besarnya h1 dihitung sebagai berikut :
h 1,5 1
Q C d . C v .2/3 2 . g . b c
0,096 0,63 . 1 .2/3 2 . 9,8 . 1,00
akan didapat h 1 0,20 meter.
karena kedalaman air dihulu = 0,40 ( sesuai dengan besarnya t ), maka dengan nilai h1 = 0,20, maka nilai p = 0,20. Menurut syarat p 0,30, sehingga lantai diturunkan 0,10 meter agar didapat p = 0,30 meter. Dengan nilai h1 = 0,20 meter, maka A* = ( 1 + ¼ . 0,20 ) 0,20 = 0,21 m2. Besarnya A = ( b + ( p + h1 ) ) . (p = h1 ) = ( 1,8 + ( 0,30 + 0,20 )) . ( 0,30 + 0,20 ) = 1,023. Sehingga nilai Cd.A*/A = 0,63 . 0,21 / 1,023 = 0,129. Dari grafik didapat nilai Cv mendekati 1, sehingga perkiraan diatas benar. Kolam olakan pintu ukur. Kolam olakan untuk pintu ukur ini juga menggunakan bentuk Vlughter dengan besarnya z = 75,46 – 75,16 = 0,30 meter. Besarnya debit per meter saluran = Q/b = 0,096 / 1,00 = 0,096, sehingga besarnya hc adalah :
hc 3
q2 q
3
0,096 2 9,8
0,10 sehingga
z 0,30 z 3,00 2,0 15,0 hc 0,10 hc
t = 3,0 hc = 0,1 z = 3,0 . 0,1 + 0,1 . 0,30 = 0,32 meter.
a 0,28 h c
hc 0,10 0,28 . 0,10 0,03 m z 0,3007
Ketinggian dasar kolam olakan = kedalaman air hilir – t = 75,16 – 0,32 = 74,84 meter. Namun kalau ditinjau dasar sungai sebelah hilir kolam olakan, sebesar : 75,16 meter dan kedalaman air di saluran tersier kanan 0,45 meter, maka ketinggian dasar saluran di hilir kolam olakan = 75,16 – 0,45 = 74,71 meter. Ini lebih rendah dari dasar kolam olakan dari perhitungan tersebut. Untuk ketinggian kolam olakan diambil 0,10 m lebih rendah dari dasar saluran menjadi : 74,71 – 0,10 = 74,61 meter. Tersier kiri.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
136
Bangunan Air Untuk mengatur maupun mengukur aliran yang masuk ke saluran tersier kiri ini digunakan pintu Romijn.
Gambar V.22. Aliran pada tersier kiri.
Oleh karena itu pada tersier kiri ini hanya terdapat 2 bagian : pintu ukur Romijn yang terletak sebelum gorong-gorong jalan dan kolam olakan sesudah gorong-gorong jalan. Pintu Ukur Romijn. Karena debit yang dialirkan oleh tersier kiri ini adalah sebesar 0,239 m3/detik, maka dipakai pintu Romijn Type II, dengan data sebagai berikut : No.
Uraian
Type II
1
Lebar, meter
0,50
2
Kedalaman maksimum aliran,meter
0,50
3
Debit maksimum,liter/detik
300
4
Kehilangan tinggi energi,m
0,11
5
Elevasi dasar dari muka air rencana
1,15 + V
dimana V = varian = 0,18 x H maksimum = 0,18 x 0,50 = 0,09 meter, sehingga elevasi dasar dari muka air rencana : p = 1,15 + 0,09 = 1,24 meter. Karena h1 + p = 0,50 + 1,24 meter = 1,74 meter lebih besar dari kedalaman muka air di saluran sekunder hulu, maka dasar pintu Romijn harus diturunkan sebesar 0,64 meter. sehingga kedudukan pintu Romijn seperti pada gambar diatas. Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
137
Bangunan Air Kolam olakan. Untuk perhitungan kolam olakan ini besarnya z = 76,42 – 73,23 = 3,19 meter. Sedangkan besarnya q
Dengan demikian
a 0,28
Q 0,239 0,463 dan besarnya h c b 0,50
3
q2 0,4632 3 0,36 meter. g 9,8
z 3,19 8,82 sehingga t 3,0 h c 0,1 z 3,0 . 0,36 0,1 . 3,19 1,40 meter. hc 0,36
hc 0,36 0,28 0,03 meter z 3,19
Ketinggian kolam olakan = muka air hilir – t = 73,23 – 1,43 = 71,33 meter. D = 74,79 – 71,33 = 3, 46 meter. Jadi panjang kolam olakan juga = 3,46 meter 3,50 meter. Karena antara pintu Romijn dan kolam olakan dipisahkan oleh gorong-gorong, maka kedalaman air di gorong-gorong sama dengan kedalaman air dihilir pintu Romijn yaitu 1,63 meter. Catatan : Walaupun dalam contoh perhitungan diatas dicoba berbagai pintu pengatur, itu semata-mata untuk memberi gambaran penerapan rumus-rumus yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam pelaksanaan yang sebenarnya, agar pengaturan air lebih adil, sebaiknya digunakan penggunaan pintu yang sama. Dalam kasus diatas, pada waktu air rendah, maka air akan masuk ke saluran sekunder kanan dulu karena begitu pintu diangkat setinggi 16 cm, sudah mencapai debit penuh. Sedangkan pada sekunder kiri sebelum muka air belum naik 0,35 meter dari dasar , maka air belum akan melewati ambang lebar. Begitu pula untuk saluran tersier.
Fasdarsyah, ST, MT-- Jurusan Teknik Sipil.
138