77
65
BAB I
CURAH HUJAN
I.1 Data Hujan
Menurut Sri Harto, 2000 : 35, data curah hujan yang akan digunakan dalam analisis hidrologi harus merupakan data yang mengandung kesalahan yang sekecil mungkin, karena menghilangkan sama sekali kesalahan adalah tidak mungkin. Hal tersebut harus dilakukan, karena besaran hujan termasuk hal terpenting dalam analisis, sehingga dapat dipahami, apabila kesalahan yang terbawa dalam data hujan terlalu besar, maka hasil analisis pun diragukan, padahal akan digunakan sebagai acuan dalam perencanaan maupun perancangan.
Kesalahan – kesalahan yang banyak terjadi dalam analisis hujan adalah :
Kelengkapan data
Kepanggahan data
Cara analisis
I.2 Kelengkapan Data Hujan
Data hujan dikumpulkan dari lapangan oleh para petugas / pengamat. Dari pembacaan dialat ukur, kemudian dipindahkan dalam catatan sementara atau langsung keformulir yang telah disediakan. Dengan mengikuti prosedur tersebut. Dan juga karena sebab – sebab lain, sering terjadi data hujan tidak terekam atau catatan sementara hilang atau rusak. Sehingga data hujan pada hari – hari tertentu tidak diketahui. Hal tersebut berbeda bila memang pada hari tersebut tidak terjadi hujan atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa data tidak komplit disebabkan oleh faktor manusia atau alat. Misal kesengajaan pengamat tidak mencatat data atau pun bila mencatat data yang diukur salah pengukurannya. Atau sebagai data rusak. Keadaan tersebut menyebabakan pada bagian – bagian tertentu dari data runtut waktu terdapat data kosong ( missing record ).
Jika hal seperti ini terlalu sering terjadi akan sangat merugikan. Dan hal inilah yang kadang – kadang digunakan sebagai salah satu alas an untuk tidak menggunakan data stasiun tersebut secara keseluruhan secara analisis, tanpa disadari bahwa cengtan berkurangnya jumlah stasiun dalam analisis justru akan mengundang kesalahan lain.
Untuk mengurangi kesulitan analisis karena data yang hilang tersebut, kemudian dicoba untuk dapat memperkirakan besaran data data yang hilang tersebut membandingkannya dengan menggunakan data stasiun lain disekitarnya. Dalam hal ini diandaikan ( assumed ) bahwa sifat hujan di suatu stasiun sebanding dengan sifat hujan disekitarnya.
Pengisian Data hujan yang hilang dapat menggunakan 2 cara diantaranya :
Cara Empirik
Rata-rata Aritmatik (Arthmatical Average)
Perbandingan Nomal (Normal Ratio)
Reciprocal Method
Kantor Cuaca Nasional USA (U.S. National Weather Service)
Cara Stokastik
Metode Bilangan Acak
Metode Markov
Metode Rasional
Didalam menentukan data hilang dengan metode Rasional diperlukan stasiun pembanding, dimana diusahakan stasiun pembanding memiliki elevasi yang tidak jauh berbeda dari stasiun yang akan dikaji. Selain itu, diusahakan yang digunakan sebagai stasiun pembanding memiliki data yang cukup lengkap. Kajian metode reciprocal dilakukan dengan persamaan :
Ni = rata-rata data curah hujan yang di kaji
PA = data curah hujan dari data pembanding 1
PB = data curah hujan dari data pembanding 2
NA = rata-rata data hujan historik stasiun pembanding 1
NB = rata-rata data hujan historik stasiun pembanding 2
B. Metode Bilangan Acak
Prosedur penggunaan tabel bilangan acak sangat sering dilaksanakan oleh para hidrologiwan.Tabel bilangan acak menyajikan contoh dari tabel bilangan acak. Dari tabel tersebut, kelihatan bahwa setiap nilai bilangan acak mempunyai 4 digit desimal acak, sebagai contoh dari tabel, bilangan acak yang pertama adalah 0222, berarti 0,0222 atau 2,22 % sebuah sample acak dari peluang kumulatif (cummulative probability).
Dari tabel bilangan acak, dapat dipilih bilangan acak. Cara memilih bilangan acak adalah dengan menutup mata serta memegang pensil.Angka sembarangan yang ditunjuk menggunakan pensil dengan mata tertutup dipilih sebagai bilangan pertama.Bilangan acak selanjutnya dilakukan dengan memilih bilangan dari posisi bilangan acak pertama ke arah kanan (dari kiri-ke kanan) atau ke arah bawah (dari atas-ke bawah). Banyaknya bilangan acak yang dipilih tergantung dari jumlah nilai deret berkala buatan yang akan dibangkitkan/ditangkarkan. Nilai bilangan acak merupakan rangkaian peluang kumulatif yang dapat ditransformasikan ke dalam rangkaian acak dari variabel X. transformasi atau pengalih-ragaman dapat dilaksanakan dengan salah satu cara berikut:
Secara langsung dari persamaan distribusi yang telah diperoleh
Dari kurva persamaan distribusi yang telah diperoleh
Dalam tugas ini, digunakan cara ke1, yaitu dengan mentransformasikan besarnya peluang kumulatif setelah ditentukan nilai K. data yang akan dicari nilai data sintetiknya diurutkan didalam tabel, lalu dicari nilai rata-rata dan standar deviasinya. Setelah didapatkan persamaan disribusinya langkah selanjutnya adalah mencari nilai bilangan acak. Persamaan distribusi untuk mencari nilai data sintesis dengan metode bilangan acak mengikuti distribusi normal, yaitu :
X= Xrata-rata +S K
Keterangan :
X = Curah hujan tahunan
Xrata-rata = Curah hujan rata-rata tahunan dari pengamatan
S = Deviasi standar dari pengamatan
K = Wilayah luas dibawah kurva normal
Tabel data Curah Hujan yang digunakan, yaitu menggunakan Data Curah Hujan Stasiun B :
Data Curah Hujan yang digunakan adalah data curah hujan dari tahun 1995-2009. Data Curah hujan tersebut, dalam tiap bulannya sudah dibagi ke dalam 15 harian yaitu dibedakan dengan Awal dan Akhir. Maka, terbuatlah tabel seperti di atas.
BAB II
EVAPOTRANSPIRASI
Evapotranspirasi adalah keseluruhan jumlah air yang berasal dari permukaan tanah, air, dan vegetasi yang diuapkan kembali ke atmosfer oleh adanya pengaruh faktor–faktor iklim dan fisiologi vegetasi. Dengan kata lain, besarnya evapotranspirasi adalah jumlah antara evaporasi (penguapan air berasal dari permukaan tanah), intersepsi (penguapan kembali air hujan dari permukaan tajuk vegetasi), dan transpirasi (penguapan air tanah ke atmosfer melalui vegetasi). Beda antara intersepsi dan tranapirasi adalah pada proses intersepsi air yang diuapkan kembali ke atmosfer tersebut adalah air hujan yang tertampung sementara pada permukaan tajuk dan bagian lain dari suatu vegetasi, sedangkan transpirasi adalah penguapan air yang berasal dari dalam tanah melalui tajuk vegetasi sebagai hasil proses fisiologi vegetasi.
Pada siklus hidrologi menunjukan bahwa evapotranspirasi (ET) adalah jumlah dari beberapa unsur seperti pada persamaan matematik berikut:
ET = T + It + Es + Eo
T = transpirasi vegetasi, It = intersepsi total, Es = evaporasi dari tanah, batuan dan jenis permukaan tanah lainnya, dan Eo = evaporasi permukaan air terbuka seperti sungai, danau, dan waduk. Untuk tegakan hutan, Eo dan Es biasanya diabaikan dan ET = T + It. Bial unsur vegetasi dihilangkan, ET = Es.
Faktor-Faktor Penentu Evapotranspirasi
Untuk mengetahui faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap besarnya evapotranspirasi, maka dalam hal ini evapotanspirasi perlu dibedakan menjadi evapotranspirasi potensial (PET) dan evapotranspirasi aktual (AET). PET lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi, sementara AET dipengaruhi oleh fisiologi tanaman dan unsur tanah.
Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi PET adalah radiasi panas matahari dan suhu, kelembaban atmosfer dan angin, dan secara umum besarnya PET akan meningkat ketika suhu, radiasi panas matahari, kelembaban, dan kecepatan angin bertambah besar.
Pengaruh radiasi panas matahari terhadap PET adalah melalui proses fotosintesis. Dalam mengatur hidupnya, tanaman memerlukan sirkulasi air melalui sitem akar-batang-daun. Sirkulasi perjalanan air dari bawah (perakaran) ke atas (daun) dipercepat dengan meningkatnya jumlah radiasi panas matahari terhadap vegetasi yang bersangkutan. Pengaruh suhu terhadap PET dapat dikatakan secara langsung berkaitan dengan intensitas dan lama waktu radiasi matahari. Suhu yang akan mempengaruhi PETadalah suhu daun dan bukan suhu udara di sekitar daun. Pengaruh angin terhadap PETadalah melalui mekanisme dipindahkannya uap air yang keluar dari pori-pori daun. Semakin besar kecepatan angin, semakin besar pula laju evapotranspirasinya. Dibandingkan dengan pengaruh radiasi panas matahari, pengaruh angin terhadap lajuET adalah lebih kecil (de Vries and van Duin dalam Ward, 1967).
Kelembaban tanah juga ikut mempengaruhi terjadinya evapotranspirasi. Evapotranspirasi berlangsung ketika vegetasi yang bersangkutan sedang tidak kekurangan suplai air (Penman, 1956 dalam Ward, 1967). Dengan kata lain evapotranspirasi (potensial) berlangsung ketika kondisi kelembaban tanah berkisar antara titik wilting point dan field capacity. Karena ketersediaan air dalam tanah tersebut ditentukan oleh tipe tanah, dengan demikian, secara tidak langsung, peristiwaPET juga dipengaruhi oleh faktor potensial.
Pengukuran Evapotranspirasi
Ada berapa metode dalam penetapan nilai/besarnya evapotranspirasi, antara lain:
1. Metode Thornthwaite
Thornthwaite telah mengembangkan suatu metode untuk memperkirakan besarnya evapotranspirasi potensial dari data klimatologi. Evapotranspirasi potensial (PET) tersebut berdasarkan suhu udara rerata bulanan dengan standar 1 bulan 30 hari, dan lama penyinaran matahari 12 jam sehari. Metode ini memanfaatkan suhu udara sebagai indeks ketersediaan energi panas untuk berlangsungnya proses ET dengan asumsi suhu udara tersebut berkorelasi dengan efek radiasi matahari dan unsur lain yang mengendalikan proses ET.
Rumus dasar:
keterangan:
PET = evapotranspirasi potensial bulanan (cm/bulan)
T = temperatur udara bulan ke-n (OC)
I = indeks panas tahunan
a = koefisien yang tergantung dari tempat
Harga a dapat ditetapkan dengan menggunakan rumus:
a = 675 ´ 10-9 ( I3 ) – 771 ´ 10-7 ( I2 ) + 1792 ´ 10-5 ( I ) + 0,49239
Jika rumus tersebut diganti dengan harga yang diukur, maka:
PET = evapotranspirasi potensial bulanan standart (belum disesuaikan dalam cm).
Karena banyaknya hari dalam sebulan tidak sama, sedangkan jam penyinaran matahari yang diterima adalah berbeda menurut musim dan jaraknya dari katulistiwa, maka PET harus disesuaikan menjadi:
Keterangan:
s = jumlah hari dalam bulan
Tz = jumlah jam penyinaran rerata per hari
2. Metode Blaney-Criddle
Metode ini digunakan untuk menentukan besarnya evapotranspirasi dari tumbuhan (consumtive use) yang pengembangannya didasarkan pada kenyataan bahwa evapotranspirasi bervariasi sesuai dengan keadaan temperatur, lamanya penyinaran matahari/siang hari, kelembaban udara dan kebutuhan tanaman.
keterangan:
U = consumtive use (inch) selama pertumbuhan tanaman
K = koefisisen empiris yang tergantung pada tipe dan lokasi tanaman
P = persentase jumlah jam penyinaran matahari per bulan dalam 1 (satu) tahun (%)
T = temperatur bulan ke-n (OF)
3. Metode Blaney-Criddle yang dimodifikasi
keterangan:
U = transpirasi bulanan (mm/bulan)
T = suhu udara bulan ke-n (OC)
P = persentase jam siang bulanan dalam setahun
dimana:
K = Kt ´ Kc
Kt = 0,0311(t) + 0,24
Kc = koefisien tanaman bulanan dalam setahun = 0,94
Harga-harga Kc padi di Indonesia telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga terkait.
4. Metode Turc-Lungbein
Turc telah mengenbangkan sebuah metode penentuan evapotranspirasi potensial yang didasarkan pada penggunaan faktor-faktor klimatologi yang paling sering diukur, yaitu kelembaban relatif dan temperatur udara.
Nilai Eo dapat dicari dengan:
Eo = 325 + 21 T + 0,9 T2
Keterangan:
P = curah hujan tahunan
E = evapotranspirasi (mm/th)
Eo = evaporasi (mm/th)
T = rerata temperatur tahunan
5. Metode Penman
Rumus dasar perhitungan evaporasi dari muka air bebas adalah:
keterangan:
E = evaporasi dari permukaan air bebas (mm/hari, 1 hari = 24 jam)
Ho = net radiation (cal/cm2/hari) = kemiringan kurva hubungan tekanan uap yang diselidiki (mmHg/oC) konstanta Psychrometri (=0,485 mmHg/oC)
L = panas latent dari evaporasi sebesar 0,1 cm3 (= 59 cal)
Nilai Ex dapat dicari dengan:
Ex = 0,35 (0,5 + 0,5 U2) ( e Sat –e2)
Dengan:
V2 = kecepatan angin ketinggian 2 m (m/det)
e sat = tekanan uap jenuh (mmHg)
e2 = tekanan uap aktual ketinggian 2 m (mmHg)
Persamaan Penman tersebut dapat dijabarkan agar menjadi mudah perhitungannya, yaitu:
merupakan nilai D sebagai fungsi temperatur
II. merupakan nilai (a + bn/N)
a dan b = konstanta
n = lamanya sinar matahari
N = panjang hari 9 jam
III. nilai H yang merupakan fungsi garis lintang
IV. nilai dari 118.10-19 (273 + Tz)4, merupakan fungsi suhu
V. nilai dari
merupakan fungsi tekanan uap aktual pada ketinggian 2 m
VI. nilai dari 0.2+0.8 n/N
VII. nilai dari 0.485x0.35 (0.5+0.54u)
VIII. nilai dari tekanan uap (esat)
Dalam menghitung evapotranspirasi, metode yang digunakan adalah Blaney Criddle. Dengan data yang diketahui suhu, Lintang Utara dari peta Rekayasa Hidrologi dan rumus menghitung f = p (0,46T + 8)
BAB III
CURAH HUJAN EFEKTIF
III.1 Analisis Hidrologi
Hidrologi merupakan bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari kejadian-kejadian serta penyebaran/ distribusi air secara alami di bumi. Unsur hidrologi yang dominan disuatu wilayah adalah curah hujan, oleh sebab itu data curah hujan suatu daerah merupakan data utama dalam menentukan besarnya debit banjir rencana maupun debit andalan yang terjadi pada daerah tersebut.
III.1.1 Perhitungan Curah Hujan Rata-Rata DTA
Perhitungan curah hujan rata-rata DTA dimaksudkan untuk mendapatkan nilai curah hujan rata-rata DTA, yang merupakan hasil penggabungan nilai curah hujan yang diperoleh dari stasiun-stasiun pengamatan curah hujan dengan metode tertentu. Beberapa metode perhitungan yang biasa digunakan yaitu :
Metode Rata-Rata Aljabar (Metode Arithmatic)
Metode metode rata-rata aljabar dapat menghasilkan data yang baik bila daerah pengamatannya datar, penempatan alat ukur tersebar merata, dan besarnya curah hujan tidak bervariasi. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana, yaitu dengan menjumlahkan curah hujan dari semua tempat pengukuran selama satu periode tertentu dan membaginya dengan banyaknya stasiun pengukuran curah hujan. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut :
Di mana :
R = Curah hujan rata-rata (mm)
R1....Rn = Besarnya curah hujan pada masing-masing stasiun (mm)
n = Banyaknya stasiun hujan
(Sumber : Hidrologi untuk Pengairan. Ir.Suyono Sosrodarsono & Kensaku Takeda)
Metode Poligon Thiessen
Metode Poligon Thiessen memiliki ketelitian yang cukup, sehingga sangat baik jika digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata DTA yang masing-masing dipengaruhi oleh lokasi stasiun pengamatan curah hujan berdasarkan peta jaringan sungai dan lokasi stasiun pengamatan. Syarat-syarat penggunaan Metode Thiessen, yaitu :
Stasiun hujan minimal 3 buah dan letak stasiun dapat tidak merata
Daerah yang terlibat dibagi menjadi poligon-poligon, dengan stasiun pengamat hujan sebagai pusatnya.
Cara perhitungan :
Hubungkan titik-titik stasiun yang terdapat pada lokasi pengamatan sehingga terbentuk poligon, lalu tarik garis sumbu tegak lurus tepat di tengah-tengah garis-garis yang menghubungkan stasiun tersebut, sehingga diperoleh segmen-segmen yang merupakan daerah pengaruh bagi stasiun terdekat. Setelah luas tiap-tiap daerah pengaruh untuk masing-masing stasiun didapat, koefisien Thiessen dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
di mana :
C = Koefisien Thiessen
Ai = Luas pengaruh dari stasiun pengamatan i (km2)
A = Luas total dari DTA (km2)
R= Curah hujan rata-rata (mm)
R1, R2,..,Rn = Curah hujan pada setiap titik pengukuran (mm)
(Hidrologi untuk Pengairan. Ir.Suyono Sosrodarsono & Kensaku Takeda)
Metode Isohyet
Prinsip dari metode ini yaitu curah hujan pada suatu wilayah di antara dua Isohyet sama dengan rata-rata curah hujan dari garis-garis Isohyet tersebut.
Syarat-syarat penggunaan Metode Isohyet, yaitu :
Digunakan di daerah datar/ pegunungan.
Stasiun hujan harus banyak dan tersebar merata
Perlu ketelitian tinggi dan diperlukan analis yang berpengalaman
Cara perhitungan :
Peta Isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan (interval) 10 sampai 20 mm berdasarkan data curah hujan pada titik-titik pengamatan didalam dan di sekitar daerah yang dimaksud. Untuk memperkirakan curah hujan daerah, titik-titik yang curah hujannya sama dihubungkan agar membentuk Isohyet dari berbagai harga. Luas bidang diantara 2 Isohyet yang berurutan diukur dengan planimeter dan rata-rata curah hujan pada wilayah di antara 2 Isohyet tersebut dianggap terjadi pada wilayah tertutup.
Sehubungan dengan itu, apabila R12 adalah rata-rata curah hujan yang diwakili oleh daerah Isohyet berurutan dengan harga R1 dan R2, luas antara dua Isohyet ialah A1, dan seterusnya maka curah hujan daerahnya dapat dihitung dengan persamaan berikut:
di mana :
R = Curah hujan rata-rata (mm)
R1, R2, ......., Rn = Curah hujan stasiun 1, 2,....., n (mm)
A1, A2, ….. , An = Luas bagian yang dibatasi oleh Isohyet-Isohyet (Km2)
(Hidrologi Teknik, Ir.CD.Soemarto,B.I.E.Dipl.H,)
Analisis Data Curah Hujan Yang Hilang
Untuk melengkapi data yang hilang atau rusak diperlukan data dari stasiun lain yang memiliki data yang lengkap dan diusahakan letak stasiunnya paling dekat dengan stasiun yang hilang datanya. Untuk perhitungan data yang hilang dapat digunakan diantaranya dengan Metode Ratio Normal, Metode Reciprocal (kebalikan kuadrat jarak) dan dengan Metode Rata-Rata Aljabar Pada metode ratio normal, syarat untuk menggunakan metode ini adalah rata-rata curah hujan tahunan stasiun yang datanya hilang harus diketahui, disamping dibantu dengan data curah hujan rata-rata tahunan dan data pada stasiun pengamatan sekitarnya.
di mana :
Rx = Curah hujan stasiun yang datanya dicari (mm)
RA, RB,........dan Rn = Curah hujan stasiun A, stasiun B,....dan stasiun n (mm)
R = Rata-rata curah hujan tahunan stasiun yang datanya dicari (mm)
A R , B R dan n R = Rata-rata curah hujan tahunan stasiun A, stasiun B dan stasiun n (mm)
Pada metode Reciprocal, persamaan ini menggunakan data curah hujan referensi dengan mempertimbangkan jarak stasiun yang dilengkapi datanya dengan referensi tersebut atau dengan persamaan sebagai berikut:
Di mana,
Hh = Hujan di stasiun yang akan dilengkapi (mm)
H1 …. Hn = Hujan di stasiun referensi (mm)
L1 …. Ln = Jarak referensi dengan data stasiun yang dimaksud (km)
Pada metode rata-rata aljabar, persamaan ini digunakan apabila perbedaan curah hujan tahunan normal di stasiun pengamat terdekat <10% dari stasiun yang kehilangan data tersebut
Di mana :
Px = curah hujan stasiun x (yang hilang)
PA,PB,PC = curah hujan tahunan normal pada stasiun A,B,C (yaitu
hujan pada saat yang sama dengan hujan yang hilang)
n = jumlah stasiun hujan yang diamati
(Diktat Mata Kuliah Hidrologi, Ir.Hj. Sri Ekowahyuni, MS.)
III.1.2 Penentuan Jenis Distribusi Data
Adapun parameter statistik yang digunakan untuk menentukan jenis distribusi data ialah sebagai berikut :
1. Harga rata – rata (X )
Rumus :
Di mana :
X = Curah hujan rata – rata (mm)
Xi = Curah hujan di stasiun hujan ke i (mm)
n = Jumlah data
2. Standar deviasi (Sx)
Rumus :
Di mana :
Sx = Deviasi standar
X = Curah hujan rata – rata (mm)
Xi = Curah hujan di stasiun hujan ke i (mm)
n = Jumlah data
3. Koefisien Skewness (Cs)
Kemencengan (Skewness) adalah suatu nilai yang menunjukan derajat ketidaksimetrisan dari suatu bentuk distribusi.
Rumus :
Di mana :
Cs = Koefisien Skewness
S = Deviasi standar
X = Curah hujan rata – rata (mm)
Xi = Curah hujan di stasiun hujan ke i (mm)
n = Jumlah data
4. Koefisien Kurtosis (Ck)
Pengukuran kurtosis dimaksud untuk mengukur keruncingan dari bentuk kurva distribusi, yang umumnya dibandingkan dengan distribusi normal.
Rumus :
Di mana :
Ck = Koefisien Kurtosis
S = Deviasi standar
X = Curah hujan rata – rata (mm)
Xi = Curah hujan di stasiun hujan ke i (mm)
n = Jumlah data
5. Koefisien variasi (Cv)
Koefisien Variasi adalah nilai perbandingan antara deviasi standar dengan nilai rata-rata hitung suatu distribusi.
Rumus :
Di mana :
Cv = Koefisien Variasi
Sx = Deviasi standar
X = Curah hujan rata – rata (mm)
(Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data Jilid 1, Soewarno)
III.1.3 Perhitungan Parameter Statistik
Untuk menentukan jenis distribusi data, digunakan beberapa pendekatan yang bertujuan agar jenis distribusi data yang dipilih sesuai dengan keadaan data yang ada. Adapun beberapa pendekatan yang dilakukan yaitu :
Berdasarkan hasil perhitungan parameter statistic
b. Berdasarkan plotting terhadap kertas probabilitas Gumbel dan Pearson
Jenis distribusi data dapat diamati dari garis yang terbentuk oleh titik-titik hasil plotting data pada kertas probabilitas. Apabila plotting titik-titik pada kertas probabilitas tersebut mendekati garis lurus, berarti pemilihan distribusinya semakin mendekati benar.
c. Berdasarkan hasil Uji Keselarasan
Uji keselarasan dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi statistic sampel data yang dianalisis. Ada dua jenis keselarasan (Goodness of Fit Test), yaitu uji keselarasan Chi Square dan Smirnov Kolmogorof. Pada tes ini biasanya yang diamati adalah nilai hasil perhitungan yang diharapkan.
Uji keselarasan Chi Square
Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah
pengamatan yang diharapkan pada pembagian kelas dan ditentukan terhadap jumlah data pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut atau dengan membandingkan nilai chi square(X2) dengan nilai Chi Square kritis (X2Cr)
Di mana :
X2 = Harga Chi Square
Efi = Banyaknya frekuensi yang diharapkan pada data ke-i
Ofi = Frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama pada data ke-i
n = Jumlah data
Prosedur perhitungan uji Chi Square adalah sebagai berikut :
1. Urutkan data pengamatan dari besar ke kecil
2. Hitunglah jumlah kelas yang ada (K) = 1 + 3,322 log n. Dalam pembagian kelas disarankan agar setiap kelas terdapat minimal tiga buah pengamatan.
3. Hitung nilai
4. Hitunglah banyaknya Of untuk masing – masing kelas.
5. Hitung nilai X2 untuk setiap kelas kemudian hitung nilai total X2, dari tabel untuk derajat nyata tertentu yang sering diambil sebesar 5% dengan parameter derajat kebebasan (lihat Tabel II-2) akan didapat X2Cr.
Rumus derajat kebebasan adalah :
Di mana :
DK = Derajat kebebasan
K = Banyaknya kelas
R = Banyaknya keterikatan (biasanya diambil R=2 untuk distribusi normal dan binomial dan R=1 untuk distribusi Poisson dan Gumbel)
(Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data, Soewarno)
Jika nilai chi square(X2) < nilai Chi Square kritis (X2Cr), analisis data dapat menggunakan persamaan distribusi data sesuai dengan yang diasumsikan pada uji Chi Square.
Uji keselarasan Smirnov Kolmogorof
Pengujian kecocokan sebaran dengan metode ini dilakukan dengan membandingkan probabilitas untuk tiap variabel dari distribusi empiris dan teoritis sehingga didapat perbedaan (Δ) tertentu. Perbedaan maksimum yang dihitung (Δmaks) dibandingkan dengan perbedaan kritis (Δcr) untuk suatu derajat nyata dan banyaknya varian tertentu, maka sebaran sesuai jika (Δmaks) < (Δcr).
III.1.4 Perhitungan Curah Hujan Rencana Perida Ulang
Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk memperkirakan besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana. Untuk memperkirakan curah hujan rencana dilakukan dengan analisa
frekuensi data hujan. Ada beberapa metode yang dapat digunakan yaitu:
1. Metode Normal (Cara Analitis)
Adapun persamaan-persamaan yang digunakan pada perhitungan dengan Metode Normal atau disebut pula distribusi Gauss ialah sebagai berikut:
Di mana
XT = Curah hujan dengan periode ulang T tahun (mm)
X = Harga rata-rata curah hujan (mm)
S = Standar Deviasi (simpangan baku)
k = Nilai variabel reduksi Gauss periode ulang T tahun (Tabel II-4.)
2. Metode Gumbel Tipe I
Untuk menghitung curah hujan rencana dengan metode distribusi Gumble Tipe I digunakan persamaan distribusi frekuensi empiris sebagai berikut (Soewarno, 1995):
di mana :
XT = Curah hujan dengan periode ulang T tahun (mm)
X = Harga rata-rata curah hujan (mm)
S = Standar Deviasi (simpangan baku)
YT = Nilai reduksi variat dari variabel yang diharapkan terjadi pada periode ulang tertentu, hubungan antara periode ulang T dengan YT dapat dilihat pada Tabel II-7 atau dapat dihitung dengan rumus :
YT =
Yn = Nilai rata-rata dari reduksi variat (mean of reduce variate) nilainya tergantung dari jumlah data (n) dan dapat dilihat pada Tabel II-5
Sn = Deviasi standar dari reduksi variat (mean of reduced variate) nilainya tergantung dari jumlah data (n) dan dapat dilihat pada Tabel II-6
3. Metode Distribusi Log Pearson tipe III
Metode Log Pearson tipe III apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dangan persamaan sebagai berikut (Soewarno, 1995):
di mana :
X = Curah hujan (mm)
YT= Nilai logaritmik dari X atau log X dengan periode ulang tertentu
Y = Rata-rata hitung (lebih baik rata-rata geometrik) nilai Y
S = Deviasi standar nilai Y
k = Karakteristik distribusi peluang log-pearson tipe III (dapat dilihat pada Tabel II-8)
Langkah-langkah perhitungan kurva distribusi Log Pearson Tipe
III adalah :
Tentukan logaritma dari semua nilai X
Hitung nilai rata-ratanya :
Hitung nilai deviasi standarnya dari log X :
Hitung nilai koefisien kemencengan (CS) :
sehingga persamaannya dapat ditulis :
Tentukan anti log dari log XT, untuk mendapatkan nilai XT yang diharapkan terjadi pada tingkat peluang atau periode ulang tertentu sesuai dengan nilai CS-nya. Nilai k dapat dilihat pada Tabel II-8.
4. Metode Log Normal
Metode Log Normal apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan sebagai berikut (Soewarno, 1995) :
di mana :
X = Besarnya curah hujan yang diharapkan terjadi pada periode ulang tertentu.
X = curah hujan rata-rata
S = Deviasi standar.
k = Karakteristik distribusi peluang log-normal 3 parameter yang merupakan ungsi dari koefisien kemencengan CS (lihat Tabel II-9.)
Untuk menentukan Curah Hujan Efektif (Re) di setiap masing-masing bulan awal dan akhir, haruslah di teliti satu-satu dengan berbagai metode di atas, karna dilihat dari hasil Hujan Rerata, Standar Deviasi, Cs, Ck dan Cv. Tabel hasil curah hujan yang sudah dihitung :
Ditinjau dari hasil uji coba syarat distribusi. Tabel untuk menentukan metode Curah Hujan Efektif, ditinjau dari Ck dan Cs tiap bulan awal dan akhir:
Tabel hasil perhitungan Curah Hujan Efektif (Re) 5 tahunan :
BAB IV
POLA TANAM
Pengaturan pola tata tanam adalah kegiatan mengatur awal masa tanam, jenis tanaman dan varitas tanaman dalam suatu tabel perhitungan. Tujuan utama dari penyusunan pola tanam adalah untuk mendapatkan besaran kebutuhan air irigasi pada musim kemarau sekecil mungkin. Di dalam penyusunan pola tata tanam dilakukan simulasi penentuan awal tanam.
Misalnya alternatif pertama, jika awal tanam padi pada awal bulan Oktober, alternative kedua, jika awal tanam padi pada awal bulan Nopember begitu seterusnya hingga alternatif ke duabelas yang awal tanam padi dimulai pada awal September. Dari keduabelas alternative tadi dipilih alternatif yang "kebutuhan air irigasi" nya paling rendah.
Tabel penyusunan pola tata tanam biasanya seperti berikut : lihat tabel.
Keterangan tabel :
Penyusunan pola tata tanam didasarkan pada tengah bulanan atau tiap 15 harian, artinya besaran-besaran yang ikut di dalam perhitungan ( seperti besaran Eto, Pd, P&I) dihitung selama 15 harian (bukan bulanan atau bukan harian) yaitu ditandai dengan adanya angka 1 dan 2.
Baris ke 1 : Pola Tanam.
Penyusunan pola tata tanam dilakukan selama 1 tahun dengan disisipi 1 musim untuk tanaman palawija (tanaman jagung, kacang, kedele, singkong atau ubi), misalnya pola tata tanam : padi pertama, sesudah padi pertama maka dilanjutkan dengan pengolahan tanah untuk persiapan tanam padi kedua, sesudah padi kedua panen, maka lahan ditanami dengan palawija, tidak dengan padi lagi.
Hal ini dimaksudkan untuk memutus rantai serangan hama pada tanaman padi serta memberi kesempatan tanah untuk memulihkan unsur-unsur haranya setelah berturut-turut ditanami padi.
Notasi pola tanam dibuat miring-miring, dimaksudkan bahwa penanaman untuk seluruh areal persawahan tidak dilakukan serentak tetapi bertahap, berperiode setengah bulanan (15 harian) dan ada waktu kosong (time lag) selama 15 hari (1 kali setengah bulanan) sebelum pengolahan/penyiapan lahan (Land Preparation). Total waktu penyiapan lahan adalah 2 bulan.
Baris ke 2 : Koefisien tanaman c.
Koefisien tanaman c sangat erat hubungannya dengan awal masa tanam, jenis tanaman dan varietas tanaman.
Pada contoh tersebut, jenis tanaman yang ditanam adalah padi dengan tabel koefisien tanaman seperti berikut : harga C1 adalah koefisien tanaman bagi kelompok penanaman awal, C2 adalah koefissien tanaman bagi penanaman gelombang kedua, C3 adalah koefisien tanaman bagi gelombang terakhir, koefisien rata-rata adalah harga rata-rata dari C1, C2 dan C3.
Tabel 2. Koefisien Tanaman
Sumber : : Standar Perencanaan Irigasi, KP-01, Departemen Pekerjaan Umum
Baris ke 3 :
Koefisien tanaman k rata-rata adalah : harga rata-rata dari k1, k2 dan k3.
Baris ke 4 :
Evapotranspirasi potensial (ETo) adalah hasil perhitungan dari tabel sebelumnya (tabel evapotranspirasi metode Penman Modifikasi) yaitu hasil perkalian antara faktor koreksi c dengan evapotranspirasi sebenarnya ETo*.
Baris ke 5 :
Kebutuhan Air tanaman ET adalah hasil perkalian antara koefisien tanaman rata-rata k pada baris ke 3 dengan Evapotranspirtasi potensial Eto pada baris ke 4.
Baris ke 6 :
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan (Pd) adalah hasil perhitungan harga Pd berdasarkan rumus vd. Goor – Zijlstra.
Baris ke 7 :
Ratio penyiapan lahan adalah perbandingan antara total penyiapan lahan (2 bulan) dengan angka 4 (yang merupakan periode 15 harian).
Baris ke 8 :
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan dengan ratio merupakan perkalian antara kebutuhan air untuk penyiapan lahan (baris ke 6) dengan ratio penyiapan lahan (baris ke 7).
Baris ke 9 :
Perkolasi adalah air yang hilang akibat proses perkolasi, besarnya 1.5 mm/hari.
Baris ke 10 :
Penggantian lapisan air WLR1, WLR2 dan WLR3 adalah sejumlah air yang diperlukan untuk mengganti lapisan air di sawah sesudah 1.5 bulan dan 2 bulan dari penyiapan lahan, besarannya adalah 50 mm per 15 hari atau 3.3 mm per hari. Sedangkan harga rata-rata WLR adalah rata-rata dari WLR1, WLR2 dan WLR3.
Baris ke 11 :
Ratio luas tanaman adalah perbandingan antara luas lahan yang sudah ditanami dengan luas total. Untuk warna hijau yang penuh, nilainya adalah 1, yang tidak penuh mungkin 0.75, atau 0.25.
Baris ke 12 :
Kebutuhan air untuk ET + P + WLR, merupakan perkalian antara ratio luas tanaman (baris ke 11) dengan penjumlahan baris ke 5, baris ke 9 dan baris ke 10.
Baris ke 13 :
Curah Hujan Efektif adalah curah hujan yang dimanfaatkan oleh tanaman untuk memenuhi kebutuhannya. Dihitung dengan rumus .
Baris ke 14 :
Total ratio adalah penjumlahan antara ratio penyiapan lahan (baris ke 7) dengan ratio luas tanaman (baris ke 11).
Baris ke 15 :
Curah hujan efektif dengan ratio adalah perkalian antara ratio total (baris ke 14) dengan curah hujan efektif (baris ke 13).
Baris ke 16 :
Kebutuhan air di sawah netto NFR (net field requirement) adalah :
Jika besar curah hujan efektif dengan ratio (baris ke 15) lebih besar dari penjumlahan kebutuhan air untuk pengolahan lahan dengan ratio (baris ke 8) dengan kebutuhan air untuk (ET+P+WLR) pada baris ke 12, maka hasilnya = 0. Artinya curah hujan efektif masih mampu memenuhi kebutuhan untuk ET +P+WLR dan Pd.
Jika besar curah hujan efektif dengan ratio (baris ke 15) lebih kecil dari penjumlahan kebutuhan air untuk pengolahan lahan dengan ratio (baris ke 8) dengan kebutuhan air untuk (ET+P+WLR) pada baris ke 12, maka hasilnya = (ET+P+WLR) pada baris ke 12 dikurangi besar curah hujan efektif dengan ratio (baris ke 15).
Baris ke 17 :
Kebutuhan air di sawah netto (ltr/dt per ha) adalah Kebutuhan air di sawah netto (baris 16) dikalikan 0.1157.
Baris ke 18 :
Effisiensi irigasi adalah total efisiensi mulai dari saluran primer, sekunder dan tersier. Besarnya adalah 0.65.
Baris ke 19 :
Kebutuhan air di intake (DR) adalah kebutuhan air netto di sawah (baris ke 17) dibagi efisiensi irigais (baris ke 18).
IV.1 Kebutuhan Air
Hubungan Kebutuhan Air Irigasi dengan Kebutuhan Air Tanaman
Tanaman membutuhkan air agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik. Air tersebut dapat berasal dari air hujan maupun air irigasi. Air irigasi adalah sejumlah air yang umumnya diambil dari sungai atau waduk dan dialirkan melalui system jaringan irigasi, guna menjaga keseimbangan jumlah air di sawah. Keseimbangan air yang masuk dan keluar dari suatu lahan digambarkan seperti :
Air Irigasi(IR)Air Hujan (R)Air Bagi Pengolahan Tanah (Pd)Air Merembes (Perkolasi dan Infiltrasi P & I)Air Bagi Tanaman (ET)
Air Irigasi
(IR)
Air Hujan (R)
Air Bagi Pengolahan Tanah (Pd)
Air Merembes (Perkolasi dan Infiltrasi P & I)
Air Bagi Tanaman (ET)
Agar terjadi keseimbangan air di suatu lahan pertanian maka :
Kebutuhan Air Irigasi (IR)Jumlah Air Hujan (R)Air Bagi Kebutuhan Tanaman (ET)Air Untuk Mengolah Tanah (Pd)Air Yang Merembes (P & I )
Kebutuhan Air Irigasi (IR)
Jumlah Air Hujan (R)
Air Bagi Kebutuhan Tanaman (ET)
Air Untuk Mengolah Tanah (Pd)
Air Yang Merembes (P & I )
Dirumuskan sebagai : IR = (ET + Pd + P&I) – R
Jika tidak ada hujan (R = 0), maka jumlah air irigasi IR = (ET + Pd + P&I)
Jika hujan deras (R lebih besar dari ET + PD + P&I ), pada saat ini air irigasi tidak dibutuhkan, bahkan diperlukan pembuangan air (drainase) agar lahan tidak tergenang air secara berlebihan.
Kelebihan maupun kekurangan air pada lahan pertanian berakibat buruk terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.\
IV.2 Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan. Penguapan bisa terjadi melalui permukaan air (evaporasi) maupun daun-daun tanaman (transpirasi). Bila kedua proses penguapan tersebut terjadi bersama-sama terjadilah EVAPOTRANSPIRASI. Dengan demikian besar kebutuhan air tanaman adalah sebesar jumlah air yang hilang akibat proses EVAPOTRANSPIRASI.
Evapotranspirasi (ET)transpirasievaporasiTerjadi pada saat yang sama
Evapotranspirasi (ET)
transpirasi
evaporasi
Terjadi pada saat yang sama
Besar evaporasi sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim, meliputi temperatur udara, kecepatan angin, kelembaban udara dan kecerahan penyinaran matahari. Besar transpirasi dipengaruhi oleh : keadaan iklim, jenis tanaman, varietas tanaman dan umur tanaman, biasa disebut faktor tanaman. Rumus Kebutuhan Air Tanaman adalah :
ET = k . ETo
k = koefisien tanaman, besarnya tergantung dari jenis, varitas dan umur tanaman.
Eto = Evapotranspirasi potensial, besarnya dapat dihitung melalui berbagai rumus.
Bagan hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan air tanaman adalah :
Faktor Iklim Temperatur udara. Kecepatan angin. Kelembaban udara. Kecerahan matahari Didapat EtoFaktor Tanaman Jenis tanaman. Varitas tanaman. Umur tanaman k didapatKebutuhan Air TanamanET = k . ETo
Faktor Iklim
Temperatur udara.
Kecepatan angin.
Kelembaban udara.
Kecerahan matahari
Didapat Eto
Faktor Tanaman
Jenis tanaman.
Varitas tanaman.
Umur tanaman
k didapat
Kebutuhan Air Tanaman
ET = k . ETo
Dirancang dengan pola tanam tertentuDihitung dengan rumus-rumus
Dirancang dengan pola tanam tertentu
Dihitung dengan rumus-rumus
IV.3. Koefisien Tanaman (k)
Notasi k menyatakan koefisien tanaman (sering disebut koefisien evapotranspirasi tanaman), merupakan angka pengali untuk menjadikan evapotranspirasi potensial (Eto) menjadi Evapotranspirasi yang sebenarnya (ET). Besarnya koefisien tanaman (k) erat berhubungan dengan :
Jenis tanaman (padi, jagung, tebu).
Varitas tanaman (Padi IR2, Padi PB5)
Umur tanaman.
Beberapa data koefisien tanaman padi seperti berikut: (Suyono dan Takeda,hlm 62)
Bulan
Jan
Feb
mar
Apr
Mei
Eto (mm/hari)
4.42
4.45
3.21
3.86
3.68
Lokasi
Koefisien tanaman bulanan
Catatan
1
2
3
4
5
6
Ciujung, Cisadane, Rentang, Glapan, Sedadi, Pekalen Sampean
0.90
1.10
1.35
1.20
0.90
0.80
Masa tumbuh 160 hari
Gambarsari, Pesanggrahan
0.55
0.90
1.12
1.27
1.20
0.80
160 hari
Solo
0.55
0.90
1.17
1.25
0.82
140 hari
Cisadane
0.60
0.80
0.85
0.85
0.85
0.85
Musim basah
Cisadane
0.60
0.80
0.85
0.85
0.85
Musim kering
Salah satu tujuan irigasi adalah membagi sejumlah air yang sama pada lahan yang seluas mungkin. Untuk itu dilakukan berbagai macam cara. Salah satunya adalah memperkecil kebutuhan air irigasi (IR). Upaya memperkecil IR bisa dilakukan dengan memperkecil kebutuhan air tanaman (ET). Upaya memperkecil kebutuhan air tanaman (ET) hanya dapat dilakukan dengan memperkecil koefisien tanaman (k), karena besaran evapotranspirasi potensial (Eto) sukar dimanipulasi karena sangat berhubungan dengan keadaan iklim. Mengubah factor koefisien tanaman (k) berarti mengubah jenis, varitas dan umur tanaman. Yaitu dengan memilih tebu sebagai pengganti padi, mengubah waktu tanam pada bulan tertentu. Kegiatan mengatur jenis tanaman, varitas tanaman dan masa pertumbuhan tanaman biasanya disebut pengaturan POLA TATA TANAM. Dengan demikian usaha mengatur pola tata tanam dimaksudkan untuk mengubah besar koefisien tanaman (k) agar didapat besaran ET tertentu.
Contoh : Berdasarkan perhitungan nilai Eto didapatkan hasil seperti berikut :
Diketahui nilai rata-rata bulanan koefisien tanaman (k) jagung jenis tertentu seperti berikut :
Umur pertumbuhan (bulan)
1
2
3
(k)
0.45
0.70
0.40
Jika penanaman jagung dimulai pada awal Januari, maka kebutuhan air tanaman (ET) dapat diketahui seperti :
Bulan
Jan
Feb
mar
Apr
Mei
Eto (mm/hari)
4.42
4.45
3.21
3.86
3.68
(k)
0.45
0.70
0.40
ET = k . ETo
1.91
3.11
1.28
Jika awal penanaman diganti menjadi awal Februari maka :
Bulan
Jan
Feb
mar
Apr
Mei
Eto (mm/hari)
4.42
4.45
3.21
3.86
3.68
(k)
0.45
0.70
0.40
ET = k . ETo
2.00
2.25
1.54
Dari tabel di atas tampak bahwa jika awal tanam dimulai pada awal Januari, maka besar ET bulan Februari sebesar 3.11 mm/hari. Dengan mengubah awal tanam menjadi awal Februari, maka terjadi perubahan ET, pada bulan Februari menjadi 2.00 mm/hari.
Tabel Perhitungan Pola Tanam :
Tabel perhitungan untuk Januari Awal :
Tabel perhitungan untuk Januari Akhir :
Tabel perhitungan untuk Februari Awal :
Tabel perhitungan untuk Februari Akhir :
Tabel perhitungan untuk Maret Awal :
Tabel perhitungan untuk Maret Akhir :
Tabel perhitungan untuk April Awal :
Tabel perhitungan untuk April Akhir :
Tabel perhitungan untuk Mei Awal :
Tabel perhitungan untuk Mei Akhir :
Tabel perhitungan untuk Juni Awal :
Tabel perhitungan untuk Juni Akhir :
Tabel perhitungan untuk Juli Awal :
Tabel perhitungan untuk Juli Akhir :
Tabel perhitungan untuk Agustus Awal :
Tabel perhitungan untuk Agustus Akhir :
Tabel perhitungan untuk September Awal :
Tabel perhitungan untuk September Akhir :
Tabel perhitungan untuk Oktober Awal :
Tabel perhitungan untuk Oktober Akhir :
Tabel perhitungan untuk November Awal :
Tabel perhitungan untuk November Akhir :
Tabel perhitungan untuk Desember Awal :
Tabel perhitungan untuk Desember Akhir :
Tabel Kebutuhan Air Normal :
Debit Air dengan curah hujan 5 tahunan pun, cukup untuk mengairi seluruh petak-petak sawah yang akan ditanami.
BAB V
PERENCANAAN SISTEM JARINGAN IRIGASI
V.1 Efisiensi Irigasi
Efisiensi irigasi adalah perbandingan antara jumlah air yang digunakan dengan jumlah air yang digunakan untuk pertumbuhan tanaman dengan jumlah air yang dikeluarkan dari pintu pengambilan yang dinyatakan dalam persen (%). Supaya air yang sampai pada tanaman tepat pada jumlahnya, maka air yang dikeluarkan dari pintu pengambilan harus lebih besar dari kebutuhan, untuk itu diperlukan faktor efisiensi irigasi.
Besarnya efisiensi irigasi dipengaruhi olch jumlah air yang hilang selama diperjalanan. Kehilangan air yang dimaksud adalah :
1. Kehilangan air di tingkat primer.
Meliputi kehilangan air di saluran primer dan bangunan-bangunannya.
2. Kehilangan air di tingkat sekunder
Meliputi kehilangan air di saluran sekunder dan bangunan-bangunannya.
3. Kehilangan air di tingkat tersier
Meliputi kehilangan air di sawah, di saluran kuarter dan saluran tersier serta di bangunan- bangunannya.
Pada dacrah irigasi Bandar Sidoras kehilangan air di tingkat saluran diasumsikan sebagai berikut:
1. Kehilangan air di tingkat primer : 10%
2. Kehilangan air di tingkat sekunder : 10%
3. Kehilangan air di tingkat tersier : 20%
Berdasarkan besamya kehilangan air tersebut, maka besarnya efisiensi di masing-masing tingkat saluran dapat ditentukan sebagai berikut :
1. Efisiensi ditingkat primer = 100% - 10% = 90%
2. Efisiensi ditingkat sekunder = 100% - 10% = 90%
3. Efisiensi ditingkat tersier = 100% - 20% = 80%
Sehingga besamya efisiensi irigasi total (E) : 90% x 90% x 80% = 65%
Tabel Hasil Perhitungan Efisiensi Irigasi :
V.2 Kebutuhan Air di Pintu Pengambilan
Besamya kebutuhan air di pintu pengambilan adalah banyaknya kebutuhan air bersih di sawah dibagi dengan efisiensi proyek. Rumus yang digunakan adalah:
Dimana :
DR = Kebutuhan air di pintu pengambilan (l/dt/ha)
NFR = Kebutuhan air di sawah (mm/hari)
E = Efisiensi irigasi (%)
1/8,64 = Angka konversi satuan dari mm/hari ke lt/dt/ha
V.3 Tata Letak Saluran
Saluran terdiri dari saluran primer, sekunder dan tersier. Saluran tersebut dapat menjadi sebagai saluran garis tinggi (trances) dan dapat juga sebagai saluran punggung Standar Perencanaan Irigasi KP-01 Direktorat Irigasi (1986). Menurut Reksokusumo, 1977, saluran primer pada umumnya selalu mengikuti titik yang tertinggi dari daerah yang akan diairi, sehingga seluruh daerah yang akan direncanakan dapat diairi, maka saluran induknya akan mengikuti garis yang menghubungkan titik-titik yang sama tinggi dari daerah yang bersangkutan, sedangkan saluran sekunder akan mengikuti punggung medan. Apabila daerah yang akan diairi diapit oleh dua buah sungai atau parit, maka saluran induk akan mengikuti garis pemisah air (garis pembagi tangkapan air).
V.4 Penentuan Petak-Petak Persawahan
Dalam penentuan petak-petak persawahan topografi sangat diperlukan untuk membagi batas-batas daerah seperti : batas kampung, jalan raya, sungai, saluran pembuang dan lain sebagainya untuk memudahkan penentuan ukuran-ukuran luas bagian petak persawahan yang diperlukan untuk pembagian daerah-daerah persawahan kedalam kategori yang lebih kecil. Pembagian ini dilakukan dari pembagian yang lebih besar, petak primer atau sekunder ke pembagian yang lebih kecil,petak tersier (Reksokusumo,1977).
Menurut Standar Perencanaan Irigasi KP-01 Dierektorat Irigasi (1986), beda garis tinggi untuk daerah datar dengan kemiringan tanahnya lebih kecil dari 2 %, maka interval garis tinggi diambil 0,50 meter dan untuk daerah landai dengan kemiringan tanahnya antara (2–5)%, maka diambil interval garis tinggi 1 meter, selanjutnya untuk daerah berbukit-bukit dengan kemiringan tanahnya antara (5-20)%, maka diambil interval garis tinggi 2 meter danuntuk daerah dan untuk daerah pegunungan dengan kemiringan tanahnya diatas 20%, maka diambil interval garis tinggi 5 meter.
Menurut Soetodjo, 1974, pembagian petak-petak persawahan didasari kepada kriteria-kriteria sebagai berikut :
a. Luas petak tersier maksimum 160 Ha pada daerah datar dan pada daerah berbukit-bukit maksimum luasnya adalah 80 Ha. Luas tersebut sedapat mungkin sama untuk setiap petak tersier, agar memudahkan pengawasan atas banyaknya air yang diperlukan dan juga sangat berguna bagi daerah penanam padi yang menggunakan sistem pemberian air secara bergiliran.
b. Luas petak tersier diberi batas yang nyata, misalnya jalan raya, jalan desa, jalan kereta api, sungai, saluran pembuang, pemukiman penduduk dan lain-lain. Hal ini perlu bagi si pemakai air itu sendiri agar tidak timbul keraguan dari saluran mana ia mesti mengalirkan air kesawahnya.
c. Letak Tersier diusahakan sedekat mungkin dengan pintu pengambilan agar pengukuran atau pengambilan air dipetak tersebut mudah dilakukan.
d. Petak tersier hanya mendapatkan air dari satu bangunan sadap tersier atau dari satu saluran tersier.
e. Bentuk petak sedapat mungkin sama panjang dengan lebar untuk menghindari terlalupanjangnya saluran tersier.
Menurut Reksokusumo,1977, petak tersier sedapat mungkin kelihatan bebas (survey able) dan jaraknya dari petak tersier dengan bangunan sadap tidak melebihi 3 km, sehingga pembagian air tidak terlalu sukar. Pembagian daerah persawahan kedalam petak-petak sekunder atau primer dapat berpedoman pada Standar Perencanaan Irigasi KP-01 Direktorat Irigasi (1986). Petak sekunder terdiri dari beberapa petak tersier yang airnya dibagikan oleh satusaluran pembagi sekunder dan menerima air langsung dari bangunan bagi yang terletak di saluran primer atau di saluran sekunder. Sebagai batas-batas petak sekunder pada umumnya digunakan tanda-tanda topografi yang jelas seperti saluran pembuang, jalan raya, jalan desa, jalan kereta api, dan lain-lain. Luas petak sekunder tergantung dari pada medan yang dapat diairi oleh satu saluran sekunder. Petak primer terdiri dari beberapa petak sekunder yang airnya dibagikan oleh satu saluran pembagi sekunder dan mengalirkan air langsung dari sumbernya (Bendung atau waduk)
V.5 Perhitungan Debit
Banyaknya air yang keluar dari suatu bendungan untuk memenuhi kebutuhan air irigasi. tentunya perlu diimbangi dengan banyaknya air yang masuk ke bendungan tersebut. Air yang masuk mengisi suatu bendungan biasanya merupakan debit air yang mengalir dari suatu cathment area. Dari data debit yang diperoleh pada studi ini, maka diketahui pengisian bendungan berlangsung tiap bulannya selama setahun. Data ini nantinya akan dipakai dalam perhitungan debit yang masuk ke bendungan.
Perhitungan debit untuk mengetahui banyaknya air yang masuk suatu bendungan ialah dihitung dengan mencari debit rata-rata tiap bulannya selama setahun. Rumus yang digunakan untuk menghitung debit rata-rata adalah
Dimana :
n = Banyaknya data
Q = Data debit
V.6 Besar Bebit yang di Distribusikan
Besar debit yang didistribusikan disetiap saluran tergantung dari jumlah kebutuhan air pada petak sawah dan diperbesar atau ditambah untuk menutupi kehilanga air pada setiap tingkat saluran didaerah irigasi yang bersangkutan hingga ke pengambilan pada waduk atau sungai Standar Perencanaan Irigasi KP-01 Direktorat Irigasi (1986).
Menurut Soetodjo, 1974, untuk menghitung besarnya debit air yang akan di distribusikan pada setiap saluranjika system pemberian airnya secara giliran bebas, tidak beraturan golongan, maka digunakan rumus sebagai berikut:
Qo = t . a . A
Q = 1,1 . Qo
Q = 1,2 . Qo
Dimana :
Qo = debit di saluran (ltr/dtk)
Q = debit di saluran primer atau sekunder (ltr/dtk)
Q = debit di saluran tersier (ltr/dtk)
t = koefisien tegal
a = Kebutuhan air normal (ltr/dtk/Ha)
A = Luas yang diairi (Ha)
Kebutuhan air normal adalah kebutuhan air dengan koefisien reduksi sama dengan 1 untuk daerah pengairan seluas 140 Ha, dimana dapat terjadi giliran bebas. Kebutuhan dasar adalah kebutuhan air pada waktu rendaman penuh untuk daerahyang kecil dan dapat dikerjakan dalam waktu 14 hari. Besarnya kebutuhan normal sebagai pendekatan adalah 90% dari kebutuhan dasar. Jadi kebutuhan air normal adlah sebagai berikut :
a = 0,90 k
Dimana :
k = kebutuhan dasar (ltr/dtk/Ha)
Tabel Desain untuk Saluran yang berbentuk Trapesium :
Tabel Dimensi keseluruhan :
SKEMA JARINGAN
Setelah di desain sedemikian rupa penampang saluran yang berbentuk trapesium ini. Semuanya sangat aman terhadap koefisien tegangan izin yang digunakan, tahan terhadap longsor dan debit aliran yang dirancang tidak akan melebihi dimensi yang telah disediakan.
LAMPIRAN
Unsur-Unsur Geometris Penampang Saluran
DAFTAR PUSTAKA
Chow, Van The. 1985. Hidrolika Saluran-Terbuka. Jakarta : Penerbit Erlangga
Priyambodo, Ir. - . Irigasi dan Bangunan Air I. Pontianak : Politeknik Negeri Pontianak
Priyambodo, Ir. - . Kebutuhan Air untuk Tanaman. Pontianak : Politeknik Negeri Pontianak
Hadisusanto, Dr.Ir Nugroho, Dipl. H. 2010. Aplikasi Hidrologi. Malang : Jogja Mediautama
Sosrodarsono, Ir. Suyono. 1976. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta : Pradnya Paramita
http://pepradewa.blogspot.com/2012/03/evapotranspirasi.html