1
PENDAHULUAN Seiring dengan pesatnya perkembangan industri, limbah-limbah industri menjadi semakin bertambah, baik volume maupun jenisnya. Akibatnya beban pencemaran lingkungan semakin berat, sedangkan kemampuan alam untuk menerima beban limbah terbatas. Jenis limbah industri banyak macamnya, tergantung bahan baku dan proses yang digunakan masing-masing industri. Masing-masing limbah memerlukan penanganan tersendiri agar dapat mencapai baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Industri tekstil merupakan salah satu jenis industri di Indonesia. Industri tekstil menghasilkan limbah cair berwarna yang dapat berpengaruh terhadap estetika, kekeruhan, dan toksisitas pada biota air (ganggang dan ikan). Selain itu, sebagian zat warna tersebut kemungkinan bersifat karsinogenik. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Perlakuan mikrobiologis banyak dikembangkan untuk biodekolorisasi limbah cair industri tekstil, misalnya menggunakan mikrofungi (Dewi 2005) dan jamur pelapuk putih ( white rot fungi) (Awaludin et al. 2001) atau seperti pada penelitian ini digunakan Omphalina sp. Jamur pelapuk putih (JPP) mampu menghasilkan enzim lakase, lignin peroksidase (Li-P) serta Manganperoksidase (Mn-P) dengan aktivitas yang tinggi. Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) diketahui dapat dimanfaatkan secara luas untuk berbagai kegunaan seperti proses degradasi lignin, bioremediasi dan biodegradasi polutan organik (klorofenol dan polisiklik aromatik hidrokarbon), dekolorisasi dan detoksifikasi limbah tekstil, serta biobleaching dan biopulping kertas. Hal tersebut disebabkan lakase memiliki aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis substrat. Lakase berperan dalam pigmentasi, pembentukan badan buah, sporulasi, dan patogenisitas (Thurston 1994). Lakase yang dihasilkan oleh masingmasing JPP memiliki perbedaan yang sangat nyata pada substrat spesifik, berat molekul, dan pH optimumnya seperti yang dihasilkan oleh beberapa jamur yakni Panaeolus sphinctrinus, P. papilionaceus, Trametes versicolor, dan Coriolopsis gallica (Pickard et al. 1999). Indonesia memiliki keanekaragaman genetik jamur yang tinggi. Primack et al.
(1998) mencatat bahwa dari 47.000 spesies jamur dunia, sekitar 12.000 spesies diantaranya terdapat di Indonesia. Salah satu strategi untuk konservasi keanekaragaman hayati jamur adalah melalui pembudidayaan dan pemanfaatannya. Omphalina sp. (A-1) yang merupakan JPP lokal hasil isolasi dari limbah lignoselulosa pabrik kelapa sawit, Kebun Kerta Jaya PTPN VIII, Banten perlu diuji kemampuannya untuk proses dekolorisasi limbah pabrik tekstil. Penelitian bertujuan mendapatkan metode biodekolorisasi limbah cair industri tekstil dengan menggunakan Omphalina sp. yang dipersiapkan dalam berbagai kondisi media. Pada penentuan kondisi optimal digunakan zat warna tekstil terlebih dahulu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan metode biodekolorisasi yang lebih sederhana untuk meminimalisasi pencemaran lingkungan oleh limbah cair industri tekstil. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juni 2007. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Jalan Taman Kencana No.1 Bogor.
TINJAUAN PUSTAKA Limbah Cair Industri Tekstil
Proses industri tekstil menghasilkan limbah padat dan cair. Limbah padat berasal dari proses pembuatan kain, benang, serat-serat kain, dan sampah dari kegiatan lain yang menunjang produksi, sedangkan limbah cair berasal dari proses pengkanjian benang, proses penghilangan zat pelumas dari serat sintetis sebelum proses penenunan, dan dari proses pencelupan (Nemerow dan Dasgupta 1991). Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas. Hal ini disebabkan karakteristik fisik maupun kimianya yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Menurut Hoo dan Suryo (1982), zat pencemar dalam buangan cair industri dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu zat pencemar yang mengapung ( floating ), floating pollutant ), zat pencemar yang melayang ( suspended ), zat pencemar yang larut ( dissolved pollutant ), ), dan zat pencemar yang terendap pollutant ), (settleable pollutant ). ). Pada industri tekstil dilakukan proses basah yang memerlukan bermacam zat warna, bahan kimia, dan pembantu penyempurnaan bahan tekstil. Sebagian zat-zat tersebut teradsorpsi oleh bahan
2
tekstil dan tetap akan berada dalam tekstil sampai proses selesai, sedangkan sisanya berada dalam larutan dan akan terbuang bersama air bekas proses basah. Zat-zat dalam air buangan tersebut berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Air limbah industri tekstil dapat dengan mudah dikenal karena warnanya. Cemaran zat warna ini bervariasi baik jenis maupun jumlahnya. Warna selalu jadi kontaminan pertama pada limbah cair. Limbah industri yang berwarna tidak hanya menimbulkan polusi secara visual, tetapi dapat meningkatkan resiko kerusakan lingkungan dan kesehatan (Cascio 1994). Pada industri tekstil pewarna yang biasa digunakan adalah pewarna sintetik. Pewarna sintetik banyak digunakan dalam industri tekstil karena memiliki sifat yang lebih baik dibandingkan dengan senyawa pewarna alami. Keunggulan dari senyawa sintetik adalah mudah diperoleh dengan komposisi yang tetap, mempunyai aneka warna, lebih tahan lama, mudah cara pemakaiannya, dan harganya relatif murah (Awaluddin et al. 2001). Dekolorisasi
Dekolorisasi atau penghilangan warna merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengurangi kepekatan warna. Menurut Awaluddin et al. (2001), bahan pewarna dapat didekolorisasi dengan metoda fisika dan kimia, ultrasonifikasi merupakan contoh dekolorisasi secara fisika, sedangkan contoh dekolorisasi secara kimia ialah dengan koagulasi menggunakan ferosulfat. Metode ini lebih efektif, namun memerlukan biaya tinggi, dapat menghasilkan senyawa berbahaya, masalah operasional, dan membutuhkan perlengkapan khusus, maka perlu digunakan metoda alternatif. Metode biologi merupakan metode alternatif yang lebih menguntungkan karena lebih sederhana, murah, ramah lingkungan, dan tidak menghasilkan limbah sekunder berupa sedimentasi lumpur dalam jumlah besar. Salah satu perlakuan secara biologi adalah dengan menggunakan teknik biodekolorisasi. Jamur dipilih sebagai salah satu organisme biodekolorisasi yang mampu mendegradasi komponen warna yang bersifat toksik karena jamur mempunyai kemampuan untuk transformasi, yaitu merubah dari bahan kimia berbahaya pada limbah menjadi bentuk yang kurang atau
tidak berbahaya (Awaluddin et al. 2001). Salah satu metode alternatif untuk dekolorisasi ialah dengan menggunakan jamur pelapuk putih. Dalam penelitian ini digunakan Omphalina sp. yang merupakan salah satu jamur pelapuk putih. Jamur Pelapuk Putih (White Rot Fungi)
Jamur pelapuk putih (Gambar 1) termasuk dalam kelas Basidiomycetes yang dapat mendegradasi selulosa, hemiselulosa, dan lignin menjadi CO2, air, dan mineral penyubur tanah. Seperti halnya tumbuhan, jamur juga membutuhkan sumber makanan, pasokan air yang cukup, suhu, pH, oksigen, dan kondisi lingkungan yang cocok seperti ada atau tidaknya cahaya (Nicholas 1973). Sumber karbon dan nitrogen sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur, terutama terhadap konversi biomassa. Menurut Rayner dan Boody (1988) hanya ada beberapa jamur pelapuk putih kelas Basidiomycetes yang tumbuh pada suhu minimum, optimum, dan maksimum pada kisaran 10 °C, 40 °C, dan 50 °C. Kelembaban yang dibutuhkan oleh jamur berbeda-beda, tetapi hampir semua jenis jamur ini dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air yang umum untuk pertumbuhan jamur ialah 3550%. Jamur dapat mengambil oksigen secara bebas dari udara untuk keperluan respirasi agar pertumbuhannya optimum. Kekurangan oksigen dapat menyebabkan terjadinya penimbunan CO2 yang dapat menghambat pertumbuhannya. Kisaran pH optimum untuk sebagian jamur pelapuk kayu ialah 4,5-5,5 (Nicholas 1973). Menurut Rayner dan Boody (1988), beberapa jamur memiliki toleransi pada pH antara 4-9. Jamur pelapuk putih merupakan jamur yang dapat menyerang komponen penyusun kayu, namun dengan pilihan utamanya ialah lignin. Jamur ini meninggalkan warna putih pada kayu. Penyerangan oleh JPP menyebabkan penurunan kekuatan fisik kayu dan terjadinya pembengkakkan jaringan kayu.
Gambar 1 Jamur Pelapuk Putih Omphalina sp. (www.ne.jp) Beberapa penelitian tentang biodelignifikasi menunjukkan bahwa hanya jamur dari kelas Basidiomycetes, seperti Omphalina sp. dan
3
sp., yang efisien dalam Pholiota mendegradasi lignin secara aerobik. JPP juga dapat digunakan dalam proses dekolorisasi, hal tersebut disebabkan JPP memiliki enzim lakase yang mempunyai aktivitas katalitik terhadap berbagai jenis substrat. Lakase berperan dalam pigmentasi, pembentukan badan buah, sporulasi dan patogenisitas (Thurston 1994). Ada banyak jenis JPP yang telah diteliti, diantaranya ialah Agraylie sp., Pholiota sp., Ganoderma lucidium, dan Omphalina sp. Jamur Omphalina sp.
Jamur Omphalina sp. merupakan salah satu jenis dari Divisi Basidiomycetes. Dari divisi Basidiomycetes sudah diketahui sebanyak 15.000 spesies. Seluruh Basidiomycetes memproduksi basidia. Basidia merupakan organ homolog dan derivat dari ascus. Seperti halnya ascus, basidium asli biasanya memiliki dua struktur inti (Moore dan Landecker 1996). Beberapa Basidiomycetes juga merupakan lichens, seperti Omphalina sp. (Moore dan Landecker 1996). Pada awalnya lichens digolongkan pada tanaman. Pada tahun 1866 Debary menemukan bahwa lichens terbentuk dari kerja sama antara jamur parasit dan alga. Sekitar 98% dari seluruh Ascomycetes merupakan lichens, kelas Deuteromycetes merupakan kelompok lichens terbesar berikutnya. Omphalina sp. (A1) yang digunakan pada penelitian ini merupakan jamur asli dari Indonesia. Jamur ini hasil isolasi pabrik kelapa sawit, Kebun Kerta Jaya PTPN VIII, Banten dari limbah lignoselulosa. Telah diketahui bahwa jamur ini memiliki beberapa kemampuan, seperti dalam proses degradasi lignin dan dekolorisasi limbah cair. Fenol Oksidase (lakase)
Lakase (EC 1.10.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) sebagian besar merupakan glikoprotein ekstraseluler yang mengandung atom tembaga dengan bobot molekul 60-80 kDa dan juga merupakan salah satu grup terkecil yang dinamakan oksidase tembaga biru (Thurston 1994). Lakase merupakan enzim multi-copper (mengandung banyak ion tembaga) yang membantu katalisis reaksi oksidasi beberapa substrat seperti polifenol, substituen fenol, dan diamin. Enzim ini pertama kali ditemukan dalam getah pohon pernis Jepang
(Rhus vernicifera) tahun 1988 (Thurston 1994). Mekanisme reaksi enzimatis oleh lakase adalah reaksi oksidasi satu elektron. Oksigen dibutuhkan sebagai penerima elektron dan kemudian membentuk air. Ketika reaksi oksidasi berlangsung, substrat kehilangan satu elektronnya dan terbentuk radikal fenoksi bebas yang berperan sebagai senyawa perantara. Radikal bebas tersebut dapat melangsungkan reaksi oksidatif enzimatik selanjutnya atau reaksi non enzimatik seperti hidrasi dan polimerisasi (Thurston 1994). Lakase telah banyak diteliti karena sifat spesifitas terhadap substratnya rendah. Hidrokuinon, guaiakol, 2,6-dimetoksifenol, dan para-fenildiamin merupakan substrat-substrat yang sering digunakan. Substrat seperti 2,2azinobis-3-etilbenzethiazolin-6sulfonat (ABTS) berperan sebagai mediator yang memungkinkan oksidasi komponen non fenolik pada lignin yang tidak dapat dioksidasi oleh lakase sendiri. Pada jamur, lakase berperan dalam proses degradasi lignin dan beberapa fungsi lain diantaranya adalah pigmentasi, pembentukan badan buah, pembentukan spora, dan pertahanan (Thurston 1994). Pemanfaatan lakase sangat luas diterapkan dalam berbagai bidang, antara lain proses bioremediasi dan biodegradasi polutan organik pada tanah seperti klorofenol serta sebagai pemutih alami pada biodelignifikasi pulp industri kertas. Pemanfaatan lakase dalam proses dekolorisasi menggunakan jamur (Awaluddin et al. 2001), secara umum merupakan penghilangan warna karena peristiwa adsorpsi oleh miselium sebagai tingkat awal perubahan warna dalam proses dekolorisasi warna. Proses selanjutnya diteruskan oleh fungi dengan memproduksi metabolit, misalnya berupa enzim ekstraselular. Menurut Dewi (2005), terjadinya proses dekolorisasi diduga karena adanya proses adsorpsi sebagai sistem non-enzimatik dilanjutkan dengan adanya kemampuan degradasi oleh isolat karena terjadinya aktifitas metabolisme dengan sistem enzimatik. Bagas Tebu
Bagas tebu (ampas) adalah suatu residu dari proses penggilingan tanaman tebu (Saccharum officinarum) setelah diambil niranya dan merupakan sisa dari pengolahan tebu pada industri gula pasir yang banyak terdapat di Indonesia. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) tahun 2005, bagas tebu yang dihasilkan sebanyak 32% dari bobot tebu giling. Sebanyak 60% dari bagas tebu tersebut dimanfaatkan oleh
4
pabrik gula sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk kertas, sehingga diperkirakan sebanyak 40% dari bagas tebu tersebut belum dimanfaatkan. Menurut Dewan Gula Indonesia pada tahun 1990 jumlah tebu yang dipanen sebesar 27.681.418 ton, maka jumlah bagas tebu yang dihasilkan seluruh Indonesia ialah 8,67 ton. Bagas tebu mengandung air 48-52%, gula 3,3%, dan serat 47,7%. Serat bagas tebu tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri atas selulosa, pentosan, dan lignin. Secara fisik bagas dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian yang halus disebut dengan pith dan bagian yang kasar disebut dengan coarse bagasse (Puturau 1982). Bagas tebu terdiri atas berbagai komponen antara lain selulosa, hemiselulosa, lignin, silika, dan pektin. Komposisinya sangat bervariasi tergantung pada varietas tebu, tingkat kematangan, cara panen, dan efisiensi proses pengambilan nira. Gambut
Gambut adalah suatu tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 65% dengan kedalaman lebih dari satu meter dan bila sudah digunakan sebagai tanah pertanian kedalamannya mencapai 0,5 meter (Soepardi 1983). Bahan organik tersebut dibagi menjadi humus dan jasad hewan yang belum melapuk sempurna. Tanah gambut memiliki karakteristik fisik antara lain berwarna coklat sampai kehitaman, memiliki massa jenis yang -3 rendah yaitu 0,10-0,25 g cm dan mempunyai kapasitas yang tinggi dalam menahan air. Bahan organik yang telah melapuk sebagian besar bersifat koloidal dan mempunyai kemampuan jerap yang tinggi, sedangkan kohesi dan plastisitasnya agak rendah sehingga mudah dilalui air, terbuka, dan mudah diolah (Soepardi 1983). Ciri khas kimia tanah gambut antara lain tingkat kemasaman yang tinggi (pH rendah), ketersediaan hara yang rendah, dan kapasitas tukar kation yang tinggi (Tisdale et al. 1990). Ketersediaan unsur mikro pada tanah gambut sangat rendah. Hal ini disebabkan karena adanya pengkelatan atau pembentukan senyawa kompleks dengan senyawa organik. Kandungan unsur mikro pada lapisan bawah jauh lebih rendah daripada kadungan unsur mikro pada 25 cm lapisan teratas (Zuraida 1999).
Metode Spektrofotometri
Metode yang digunakan untuk mengukur nilai absorban dekolorisasi warna pada percobaan ini ialah metode spektrofotometri. Adapun prinsip kerja dari metode ini ialah pengukuran absorban yang diakibatkan adanya penyerapan sinar oleh bahan yang dianalisis pada panjang gelombang maksimal tertentu. Jika suatu radiasi elektromagnetik menimpa suatu materi dan pada materi tersebut terjadi absorpsi selektif, materi akan menyerap komponen radiasi pada panjang gelombang yang berbeda dan dalam jumlah yang berbeda pula (Sastrohamidjojo 2001). Berdasarkan panjang gelombang untuk pengukuran, spektrofotometri absorpsi dibedakan menjadi spektrofotometri ultraviolet (UV), tampak (Vis), dan inframerah (IR). Spektrofotometer UV-Vis memiliki spektrum di daerah UV sama dengan panjang gelombang cahaya 200-400 nm dan di daerah sinar tampak sama dengan panjang gelombang cahaya 400800 nm (Sastrohamidjojo 2001). Penelitian ini menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang masing-masing zat warna ialah hitam (486 nm), biru (576 nm), hijau (550 nm), dan merah (482 nm) sedangkan untuk limbah cair industri yang berwarna ungu dan biru muda dicari terlebih dahulu panjang gelombangnya.
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan ialah neraca analitik, autoklaf, laminar air flow cabinet , oven, spektrofotometer UV-Vis, neraca kasar, sentrifuse 5415C, cawan petri, labu Erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi, alumunium foil, baki, sudip, botol selai, plastik, bunsen, jarum ose, paralon, stoples, korek api, karet, dan alat-alat gelas lainnya. Bahan-bahan yang digunakan ialah Omphalina sp. yang berasal dari koleksi Laboratorium Mikroba dan Bioproses, bagas tebu, kentang, gula pasir, bubuk agar, ijuk, nasi pera, gambut, akuades, Rhodamin B (merah), pewarna sintetik hijau, biru , hitam, dan limbah cair yang diperoleh dari industri tekstil di Bogor. Metode Percobaan Pembuatan Potatoes Dextrose Agar (PDA)
Sebanyak 200 gram kentang yang telah dikupas dan dibersihkan dimasukkan ke dalam