BAB II KAJIAN PUSTAKA
ypr i nus ca car pi o L.) 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Mas ( C ypr Ikan mas (Cyprinus (Cyprinus carpio L.) pada saat ini merupakan ikan air tawar yang paling tinggi produksinya dan sudah dibudidayakan di seluruh propinsi di Indonesia. Ikan mas
mempunyai banyak nama daerah, salah satunya yaitu ikan tombro dan dalam bahasa inggris disebut common common crap. Klasifikasi ikan mas menurut klasifikasi ikan mas menurut Saanin (1984), adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Morfologi Ikan Mas Sumber: Dok. Pribadi
Filum
: Chordata
Sub Filum
: Vertebrata
Kelas
: Actinopterygii
Sub Kelas
: Neopterygii
Ordo
: Cypriniformes
Sub Ordo
: Cyprinoidea
Famili
: Cyprinidae
Genus
: Cyprinus
Spesies
: Cyprinus carpio Linnaeus
Ikan mas memiliki beberapa karakteristik yang meliputi: bagian badan memanjang, sedikit pipih ke samping (compresed ( compresed ), ), mulutnya terletak di tengahtengah ujung depan (terminal ( terminal ) dan dilengkapi dengan gigi kerongkongan. Gigi kerongkongan ( pharyngeal teeth) teeth) terdiri atas tiga baris yang berbentuk geraha. Mulit ikan juga dapat disembulkan (protektil). Ikan mas memiliki sungut 2 pasang yang terletak di bibir bagian atas (Hardjamulia, (Hardjamulia, 1995). Menurut (Narantaka) Ikan mas pada umumnya memiliki tubuh memanjang dan sedikit pipih ( compresed ), ), mulut ikan mas terletak di ujung kepala (terminal ( terminal ). ). Sirip punggung ikan mas berbentuk memanjang yang bagian permukaannya berseberangan dengan sirip 2.1. perut (ventral). Morfologi ikan mas dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Firdaus (2002) menjelaskan bahwa antara induk jantan dan betina mempunyai ciri-ciri yang berbeda-beda. Pada induk jantan sirip depan relatif panjang dan jari-jari luar tebal dengan d engan lapisan dalam yang kasar. Badan tipis ti pis dan ramping. Gerakan lincah dan gesit. Lubang genital terletak tidak menonjol di
belakang genital papila. Apabila perut ditekan akan mengeluarkan sperma berwarna putih. Sedangkan pada induk betina sirip dada relatif pendek, lunak dan jari-jari luar tipis dengan lapisan dalam yang licin. Tubuhnya lebih tebal daripada induk jantan pada umur yang sama dengan bagian perut yang melebar dan lunak. Gerakan lambat, pada malam hari biasanya loncat-loncat. Lubang genital terletak dibagian depan genital papila. Jika gonad matang, perut membulat dan lunak. Genital papila mengembang dan berwarna kemerahan, lubang anus melebar, menonjol, dan apabila perut ditekan akan mengeluarkan sel telur (Mustami, 1997). Secara umum ukuran tubuh ikan mas dewasa betina lebih besar dibandingkan dengan tubuh ikan dewasa jantan (Bachtiar, 2004) Huet (1971) menyatakan habitat ikan mas hidup pada kolam-kolam air tawar dan danau-danau serta perairan umum lainnya. Dalam perkembangannya ikan ini sangat peka terhadap perubahan kualitas lingkungan. Ikan mas merupakan salah satu ikan yang hidup di perairan tawar yang tidak terlalu dalam dan aliran air tidak terlalu deras. Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150-600 meter di atas permukaan air laut dan pada suhu 25-30°C. Meskipun tergolong ikan air tawar, ikan mas kadang-kadang ditemukan di perairan payau atau muara sungai yang bersalinitas 25-30 ppt.
2.2 Nukleolus dan Nucleolus Organizer R egi on (NOR)
Menurut Mukti (2001), nukleolus adalah sebuah struktur terikat tanpa membran yang terdiri dari protein dan asam nukleat dalam inti sel (nukleus). Sedangkan Hernandez (2006) menyatakan bahwa nucleolus merupakan struktur besar dan padat yang terdapat dalam nucleus. Nukleolus memiliki badan bulat dalam inti sel eukariotik. Nukleolus secara struktural terdiri dari tiga daerah, yaitu Fibrillar Centers (FCs), Dense Fibrillar Component (DFC) dan Granular Component (GC) (Shaw, 2005). Nukleolus merupakan tempat disintesisnya RNA ribosom, diproses, dan dirakit dengan protein ribosom dalam nukleolus, dan subunit ribosom kemudian diangkut ke. Di setiap NOR ban yak salinan gen rRNA (Comai, 1999). Selama siklus sel, nukleoli berkembang dari daerah kromosom, yaitu NOR. Nukleolus bukan organel yang stabil, dikarenakan struktur, ukuran dan pengorganisasian nukleolus bergantung pada biogenesis ribosom. Selain itu
aktivitas nukleolus bergantung pada proses siklus sel, nukleolus dirakit pada akhir mitosis, aktif selama interphase, dan dibongkar pada profase (Hernandez dan Verdun, 2004). Nukleolus dapat memiliki fungsi utama menghasilkan subunit ribosom dari suatu protein dan RNA ribosomal (rRNA) yang dapat dikirimkan ke seluruh sel di mana mereka akan bergabung menjadi ribosom yang lengkap (Purdom, 1983). Thai (2005) menyatakan jika NOR (Nuclear Organizer Region) merupakan bagian kromosom khusus yang aktif membentuk nukleolus selama fase interfase. Phillips (1986) menambahkan jika jumlah nukleolus bervariasi atau tetap tergantung pada spesies dan jumlah kromosom yang memiliki NOR. NOR mengandung kelompok rDNA yang berupa 18S, 5.8 S dan 28 S sehingga memungkinkan untuk melakukan pengaturan pada inti, diamana organel tersebut mensintesis rRNA untuk sub unit ribosomal dan sangat dibutuhkan oleh semua jenis sintesis protein (Reeder, 1990). Nucleolus Organizer Region (NOR) bertanggung jawab untuk menyusun dan mengatur nukleolus yang merupakan organel yang mensintesis rRNA untuk subunit ribosom. NOR berisi banyak salinan dari 18S, 5.8S dan 28S RNA ribosom, (Reeder 1990). NOR merupakan daerah dimana terdapat gen-gen yang mengatur rRNA dan memberikan bentuk pada nukleolus. Daerah ini terletak pada daerah penyempitan kedua ( secondary contriction) yang mengandung gen kode 18 S dan 28 S rRNA (Zwarzacher dan Wachtler, 1983). NOR dapat dideteksi dengan teknik pewarnaan perak nitrat (Ag-NOR) (Howell dan Black 1980). Perak nitrat akan memvisualisasi nukleolus berwarna hitam dalam nukleus yang berwarna kuning, karena perak akan diikat oleh protein dalam NOR seperti subunit RNA Polimerase I yang berkonjugasi dengan rRNA (18S dan 28S) sehingga NOR beserta nukleolus akan dapat tervisualisasi (Jankun., Kuzminski., & Selezniow, 2007). Aktivitas transkripsi NOR berhubungan dengan protein acidic non histon, meliputi RNA polimerase I, nukleolin, dan nukleofosmin. Protein ini bersifat argyrophilic dan dengan mudah terwarnai oleh pewarna nitrat sehingga terlihat sebagai titik hitam atau coklat yang disebut Ag-NOR (Syed, et al, 2014).
Pewarnaan perak merupakan metode yang biasa digunakan untuk mempelajari jumlah, ukuran, dan distribusi NOR yang terwarnai oleh Ag pada saat metafase atau saat nukleolus pada saat interfase. Selama metafase, atom perak bergabung dengan protein argyrophilic yang berasosiasi dengan NOR dan terlibat dalam produksi gen rRNA (Hubbel, 1985). Sedangkan selama interfase atom perak menempel pada fibrillar center dan komponen fibrillar nukleolus yang mengandung protein acidic (Howell dan Black, 1980). NOR dapat dengan jelas divisualisasikan dibawah mikroskop cahaya dengan menggunakan reaksi perak yang mewarnai protein acidic dari NOR (RNA Polimerase I upstream binding factor , Topoisomerase I, nucleolin, fibrilin, protein C23, dan protein B23) (Gulia, et al, 2011). Berikut merupakan gambar nukleolus dan NOR di kromosom yang terlihat jelas ditandai dengan adanya titik coklat kehitaman dalam nukleus yang berwarna kuning (Gambar 2.3).
a)
b)
c)
Gambar 2.2 Pewarnaan perak nitrat pada nukleolus (titik hitam) dalam sel sirip
ikan. (Sumber: Jankun., Kuzminski., & Selezniow, 2007)
Phillips et al (1986) dalam beberapa spesies ikan, jumlah nukleolus di sel interfase mencerminkan tingkatan ploidi organisme. Hubbel (1985) menjelaskan ukuran dan intensitas pewarnaan dari Ag-NOR berlokasi dalam secondary contriction dari satelit kromosom yang berkorelasi dengan aktivitas gen rRNA yang ditranskrip selama interfase sebelumnya. Menurut Sehingga terlihatnya NOR digunakan sebagai penanda untuk menunjukkan kromosom polimorfisme dalam banyak kelompok ikan (Ra'b et al., 2008). Ikan diploid memiliki 1 dan atau maksimum 2 nukleoli dalam setiap selnya ( Gambar 2.3 a), triploid memiliki 1, 2 dan atau maksimal 3 nukleoli per sel ( Gambar 2.3 b) dan tetraploid memiliki 1, 2,
3 dan atau 4 nukleoli per sel ( Gambar 2.3 c) (Jankun., Kuzminski., & Selezniow, 2007). Polimorfisme tersebut terkait dengan inaktivasi traskripsi oleh NOR (Castro, et al , 1996). Hal ini menunjukkan bahwa beberapa NOR bisa jadi t idak aktif selama transkripsi sehingga tidak terlihat setelah diberi pewarnaan perak. NOR yang tidak aktif tidak membentuk nukleolus, sehingga jumlah nukleolus bervariasi tiap sel (Ueda, et al , 1988). Variasi jumlah nukleoli yang ditemukan ada hubungannya dengan kemampuan pewarna AgNO 3 yang hanya mewarnai nukleoli (dalam hal ini NOR, nucleoli organizer regions) yang sedang aktif melakukan sintesis ribosom dan atau protein sesaat sebelum dilakukan fiksasi (Hubbel, 1985). Carman et al . (1992) juga mengatakan bahwa variasi yang terjadi pada jumlah maksimum kemungkinan disebabkan fusi dan fisi, karena beberapa proses fisiologis yang terjadi selama siklus sel. Dua kromosom nonhomolog yang berfusi akan menghasilkan satu kromosom, atau dua kromosom yang dihasilkan dari fis i sentrik.
2.3 Poliploidi Pada Ikan
Setiap spesies memiliki jumlah kromosom yang khas. Sebagian besar organisme memiliki jumlah kromosom yang bersifat diploid. Variasi jumlah set kromosom (ploidi) sering ditemukan di alam, adanya pengaruh luar atau dari dalam sel itu sendiri yang menyebabkan terjadinya perubahan materi genetik (Pai, 1992). Poliploidi merupakan salah satu bentuk mutasi dimana makhluk hidup tertentu memiliki genom yang terdiri atas lebih dari dua perangkat kromosom (Madlung, 2012). Keadaan ini terjadi akibat adanya induksi poliploidisasi. Poliploidi secara alami umumnya banyak terjadi pada tumbuhan, sedangkan pada hewan poliploidi sangat jarang terjadi kecuali pada ikan dan katak (Kadi, 2007). Pada ikan yang melakukan fertilisasi eksternal, proses buatan (artificial ) dapat dilakukan untuk salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur terfertilisasi pada beberapa periode selama formasi pada zigot (Purdom, 1983). Thorgaard (1983) menyatakan poliploidisasi secara buatan dapat dilakukan dengan memberi perlakuan kejut temperatur, pemberian bahan kimia maupun pemberian tekanan hidrostatik sesaat setelah fertilisasi telur guna mencegah peloncatan polar body II saat meiosis II (triploidisasi) ataupun pembelahan sel
pertama (mitosis I) pada telur terfertilisasi (tetraploidisasi). Poliploidisasi menyebabkan kasus nondisjungsi pada kromosom. Nondisjungsi adalah kondisi dimana pasangan kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana mestinya pada waktu fase pembelahan meiosis I atau dimana sister chromatid gagal berpisah selama fase meiosis II (Campbell et al ., 2000). Untuk lebih jelas mekanisme poliploidisasi dapat dilihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Ilustrasi triploidisasi dan tetraploidisasi ikan (Sumber: Penman, 1993)
2.4 Pembentukan Ikan Diploid, Triploid, dan Tetraploid dengan Teknik Kejutan Suhu Panas 2.4.1 Pembentukan ikan diploid
Mustami (2002) menjelaskan bahwa proses pembentukan ikan normal adalah dengan terjadinya fertilisasi telur ikan normal yang mempunyai 2N kromosom oleh sperma 1N kromosom akan mempunyai 3N kromosom, kemudian telur akan mengalami peloncatan polar bodi II, yaitu 1N kromosom dari telur akan meloncat keluar sehingga di dalam telur tinggal 2N kromosom yang masing-masing berasal dari kedua induknya (jantan dan betina). Proses selanjutnya adalah terjadi pembelahan sel tubuh (mitosis) kemudian embrio berkembang dan menetas menjadi ikan normal yang hanya mempunyai 2N kromosom.
2.4.2 Pembentukan ikan triploid Secara alami, ikan triploid dapat terbentuk apabila terjadi perkawinan antara ikan tetraploid (4n) dengan ikan diploid (2n). Induk yang memiliki 4n kromosom akan menghasilkan gamet yang diploid (2n), sedangkan induk yang memiliki 2n kromosom akan menghasilkan gamet yang haploid (1n). Apabila kedua gamet ini melakukan fertilisasi maka akan terbentuk individu yang triploid (Firdaus, 2002). Selain itu ikan triploid dapat dibentuk dengan cara induksi polipoliploidisasi, misalnya dengan kejutan panas. Kejutan panas pada dasarnya dimaksudkan untuk mencegah terjadinya peloncatan polar bodi II selama pembelahan meiosis II setelah terjadi fertilisasi tepatnya antara metafase dan anafase, dengan demikian, ovum tetap mempunyai dua set perangkat kromosom yang ditambah satu perangkat kromosom dari pronukleus jantan sehingga terbentuklah zigot dengan tiga set kromosom (triploid) (Carman dkk. , 1991). Proses pembentukan ikan triploid menggunakan kejut suhu dapat dilihat pada gambar 2.4.1. Hal tersebut diperkuat oleh beberapa penelitian sebelumnya terutama pada ikan mas (Cyprinus carpio L.). Menurut Firdaus (2002), pembentukan ikan triploid dilakukan dengan cara memberikan kejutan panas dengan suhu 40°C pada waktu 3 menit setelah fertilisasi selama 2 menit
mempunyai efektivitas yang tinggi menghasilkan ikan t riploid. Triploidi merupakan salah satu program pemuliaan ikan melalui manipulasi kromosom. Tujuannya adalah untuk menghasilkkan sebagian atau sepenuhnya ikan steril yaitu ikan yang memiliki tiga set kromosom (Thorgaard and Gall, 1979). Perkembangan gonad ikan dapat menghambat atau menjadi saingan dari pertumbuhan somatik karena sebagian dari nutrien atau energi dipakai untuk pematangan kelamin (Purdom, 1983). Karena itu sterilisasi pada ikan dapat mengatasi pengaruh dari pematangan gonad dan dialihkan untuk pertumbuhan ikan. Tave (1985) menambahkan jika dalam penelitiannya ditemukan adalanya nukleus berisi 33 persen lebih allel untuk pertumbuhan dan energi untuk pertumbuhan produksi gamet berkurang atau terhambat. Ikan triploid mempunyai gonadosomatic index yang lebih rendah bila dibandingkan dengan diploid (Rustidja, 1991). Keuntungan triploid adalah dapat mengontrol over populate, membuat populasi monosex, memacu pertumbuhan dan kelulus
hidupan serta memiliki pertumbuhan lebih cepat dari diploid, karena energi yang dipergunakan untuk perkembangan gonad pada diploid dipergunakan untuk pertumbuhan somatik pada triploid (Thorgaard and Gall, 1979). 2.4.2. Pembentukan ikan tetraploid Pembentukan ikan tetraploid pada dasarnya mempunyai prinsip yang sama dengan pembentukan ikan triploid. Kesamaan ini terletak pada dasar pemberian kejutan panas yaitu untuk merusak terbentuknya benang spindel (mikrotubul) (Firdaus, 2002). Namun Tave (1985), menyatakan bahwa pemberian kejutan panas dalam pembentukan ikan tetraploid dilakukan pada waktu yang berbeda dengan pembentukan ikan triploid yaitu 20 – 40 menit setelah terjadinya fertilisasi. Pada waktu tersebut zigot hasil fertilisasi sudah melakukan replikasi kromosom dan akan melakukan pembelahan mitosis. Setelah diberi kejutan panas maka pembelahan sel secara mitosis pada zigot diploid setelah terjadi penggandaan kromosom dapat dicegah sehingga terbentuk sel tetraploid (Mantau, 2004). Proses pembentukan ikan tetraploid menggunakan kejut suhu dapat dilihat pada gambar 2.4.1.
Secara teori ikan poliploid (3n dan 4n) akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan ikan normal diploid (2n). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan produksi ikan tetraploid lebih rendah dibandingkan dengan jenis triploid karena larva yang baru menetas kebanyakan abnormal dan mati. Abnormalitas yang terjadi pada larva adalah akibat tidak sempurna duplikasi pasangan kromosom yang diharapkan (Pandian dan Varadaraj, 1988). 2.5 Analisis Perhitungan Jumlah Nukleolus
Pada dasarnya terdapat dua metode analisis poliploidi, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Pada metode analisis langsung, kuantitas materi genetik diukur secara langsung yaitu dengan menentukan jumlah DNA atau kromosom pada setiap sel dari suatu organisme. Metode ini jauh lebih akurat untuk menentukan poliploidi dibandingkan dengan teknik tidak langsung. Pada teknik tidak langsung, kuantitas materi genetik diukur dengan cara mengukur
kuantitas karakter lain, seperti NOR. Prinsip penggunaannya adalah bahwa kuantitas materi genetik tersebut, berhubungan dengan kuantitas karakter yang diukur (Firdaus, 2002). Analisis poliploidi yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah melalui penghitungan jumlah NOR dengan menggunakan pewarnaan perak nitrat ( silvers staining ) (Howell dan Black, 1980). Jaringan yang digunakan adalah sebagian potongan sirip kaudal. Metode penghitungan jumlah nukleolus merupakan metode yang mudah dan relatif murah serta mempunyai peluang yang besar untuk diterapkan pada berbagai spesies ikan. Metode ini hanya memerlukan sedikit jaringan dan semua sumber jaringan dapat dipergunakan (Philips et al., 1986). Penentuan ploidi beberapa sampel ikan dapat dibuat hanya dalam waktu singkat dan sampel dapat diamati tanpa membunuh ikan (Carman dkk., 1991). Banyak metode perhitungan jumlah nukleolus pada ikan yang menggunakan jaringan sirip ekor. Hal ini dikarenakan daya regenerasi yang tinggi pada jaringan tersebut. Menurut Tenzer, dkk. (2001) sirip ikan memiliki daya regenerasi yang tinggi karena ekor ikan merupakan bagian tubuh yang sangat rawan terhadap kerusakan. Menurut Mukti et al (2011) analisis poliploidi dapat dilakukan melalui penghitungan jumlah nukleolus ikan mas (Cyprinus carpio L.) hasil perlakuan poliploidisasi yang mempergunakan pewarnaan perak nitrat. Jaringan yang digunakan pada perlakuan ini yaitu ekor ikan mas yang normal dan ekor ikan mas hasil poliploidisasi. Pewarnaan perak nitrat akan memperlihatkan nukleolus berwarna hitam dalam nukleus yang berwarna kuning (Phillips et al ., 1986). Pada metode ini sel yang ingin diamati bisa diperoleh dari berbagai jaringan dan tanpa membunuh ikan yang diteliti (Firdaus, 2002).
2.6 Kerangka Konseptual
Poliploidi pada ikan ikan mas (Cyprinus carpio L.) terjadi secara alami namun dapat juga terjadi secara buatan, yaitu dengan poliploidisasi. Poliploidisasi adalah suatu metode manipulasi kromosom untuk menghasilkan ikan dengan jumlah kromosom yang lebih banyak dari jumlah kromosom normal atau diploid
(2n), yaitu triploid (3n), tetraploid (4n), pentaploid (5n) dan seterusnya. Salah satu cara poliploidi yaitu dengan tanpan kejutan untuk ikan diploid, kejutan suhu panas untuk pembentukan ikan triploid dan tetraploid. Dari hasil perlakuan, ploidi pada tiap tingkat ploidi ikan mas (Cyprinus carpio L.) dilakukan penghitungan jumlah nukleolus, sehingga diperoleh variasi jumlah nukleolus. Berikut ini adalah bentuk dari kerangka konseptual.
Poliploidi
Ikan Mas (Cyprinus carpio L)
Poliploidisasi Buatan
Poliplodisasi Alami
Tanpa Metode Kejut Suhu
Metode Kejut Suhu
Diploid (setelah terfertilisasi dimasukkan bak penetasan telur)
Triploid (3 menit setelah fertilisasi diberi perlakuan kejut panas 40OC 1,5 menit)
Menghitung Jumlah NOR
Mengetahui Variasi Jumlah Ploidi
Tetraploid (29 menit setelah fertilisasi diberi perlakuan kejut panas 40OC 1,5 menit)
2.7 Hipotesis Penelitian
2.7.1. Ada perbedaan frekuensi ploidi pada ikan mas ( Cyprinus carpio L.) hasil poliploidisasi dengan induksi kejutan panas melalui metode penghitungan jumlah nukleolus yaitu pada ikan mas (Cyprinus carpio) diploid adalah 2n, sedangkan pada pada ikan mas (Cyprinus carpio) triploid sebanyak 3n, dan pada pada ikan mas (Cyprinus carpio) tetraploid sebesar 4n. 2.7.2. Ada pengaruh kejutan suhu terhadap perbedaan frekuensi ploidi pada ikan mas
(Cyprinus carpio L.) hasil poliploidisasi induksi kejutan panas
berdasarkan metode perhitungan jumlah nukleolus. 2.7.3. Ada perbedaan jumlah maksimum nukleolus ikan mas ( Cyprinus carpio L.) hasil poliploidisasi induksi kejutan panas berdasarkan metode perhitungan jumlah nukleolus. 2.7.4. Ada pengaruh suhu pada metode penghitungan jumlah maksimum nukleolus
ikan
mas
induksi kejutan panas.
(Cyprinus
carpio
L.)
hasil
poliploidisasi
Daftar Pustaka
Campbell, N.A., J.B. Recee dan L.G. Mitchell. 2000. Biology, Edisi V (Terjemahan). Erlangga : Jakarta. Carman, O., T. Oshiro and F. Takashima. 1991. Estimation of Effective Condition for Induction of Triploidy in Gold Fish ( Carrasius auratus L.). Journal Tokyo University of Fisheries 78(2): 127-135. Carman, O., Oshiro, T. dan Takashima, F. 1992. Variation in The Maximum Number of Nucleoli in Diploid and Triploid Common Carp. Nippon Suisan Gakkaishi, 58 (12) Formerly Bull. Japan. Soc. Sci. Fish. pp. 2303-2309. Carman, O., H.
Alimuddin, Sastrawibawa, S. dan 1997.
Arfah,
Determinasi Kromosom dan Nukleoli Kelamin pada Ikan Nila Aerah (Or eochronis sp.). Zuriat, 8 (2). Hal 83-89. Cavalier-Smith T. 1978. Nuclear volume control by nucleoskeletal DNA, selection for cell volume and cell growth rate, and the solution of the DNA C-value paradox. J. Cell Sci.34:247 – 78 Corebima, A.D. 2000. Genetika Mutasi dan Rekombinasi. Malang: UM Press. Derenzini, M., Ploton, D., 1991. Interphase nucleolar organizer regions in cancer cells. Int. Rev. Exp. Pathol. 32, 150 – 192. Derenzini, M., Trere `, D., 1991. Standardization of interphase AgNOR measurement by means of an automated image analysis system using lymphocytes as an internal control. J. Pathol. 165, 337 – 342. Don, J. and R.R. Avtalion. 1986. The Induction of Triploidy in Oreochromis aureus by Heat Shock. Theoritical and Applied Genetic 72: 186-192.
Effendie, M. I. (1997) Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
163 hal. Firdaus, Syarifin. 2002. Studi Tentang Jumlah Nukleolus sebagai Metode Analisis Ploidi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Ras Punten hasil Poliploidi Kejutan Panas. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: Biologi FMIPA UM. Fitria,Syawalina. Sistina,Yulia. Sulistyo,Isdy.t.t. Poliploidisasi Ikan Nilem 0 (Osteochilus hasselti Valenciennes, 1842) Dengan Kejut Dingin 4 C Polyploidization On Shark Minnow (Osteochilus hasselti Valenciennes, 0 1842) By Cold Shock 4 C . Jurnal disajikan dalam Seninar Nasional X Pendidikan Biologi FKIP UNS. Furuichi M. 1988. Fish Nutrition. Pp. 1-78.In. Watanabe T.Editor. Fish Nutrition and Marineculture. JICA textbook .The General Aquaculture Course. Tokyo. Kanagawa Internasional Fisheries Traning Center. Gardner, E.J., and D.P. Snustad. 1984. Principles of genetics. John Wiley anSons. New York, USA. Gulia, S. P., Sitaraman, E., Reddy, K. P. 2011. The Role of Silver Staining Nucleolar Organiser Regions (AgNORs) in L esions of the Oral Cavity . Journal of Clinical and Diagnostic Research. 5 (15): 1011-1015.
Hammed, A.M., H.A.F. Bombata and A.O. Osinake. 2010. The Use of Cold Shock in Inducing Triploidy in African Mud Catfish (Clarias gariepinus) . African Journal of Biotechnology 9(12): 1844-1847.
Hardjamulia, A. 1995. Sistem Pengadaan Stok Induk Ikan Mas Unggul. Makalah disampaikan pada pelatihan Pengelolaan Induk Ikan Mas di Balai Budidaya Air Tawar, tanggal 10-24 Desember 1995. 13p. Howell, W.M., D.A. Black. 1980. Controlled silver staining of nucleolus organizer regions with a protective colloidal developer: a1-stepmethod. Experientia36: 1014-1015.
Jankun, Malgorzata. Kuzminski, Henryk. Grazyna. 2007.
Furgala-Selezniow,
Cytologic ploidy determination in fish – an example of two salmonid species. Environmental
Biotechnology, (Online),
3(2).
(https://www.researchgate.net). diakses 14 Maret 2017 Kardi, A. 2007. Manipulasi Poliploidi Untuk Memperoleh Jenis Baru Yang Unggul.
Oseana 22(4): 1-11. Kemenristek. 2000. Budidaya Ikan Mas (Cyprinus carpio L). Proyek Pembangunan Masyarakat Ekonomi Pedesaan, BAPENAS. Jakarta. 16 Hal. Dalam : http://www.warintek.ristek.go.id/perikanan/air%20tawar/mas.pdfdiunduh pada tanggal 27 Februari 2017.
Khairuman dan Amri. 2008. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi . Depok: PT Agromedia Pustaka. 358 hlm. Kim, Sumin. Lee, Dokyung. Rayburn, A., L., 2015. Analysis of Active Nucleolus Organizing Regions in Polyploidi Prairie Cordgrass (Spartina pectinata Link) by Silver Staining . Jurnal Cytology 80(2): 249-258. Kimball, J. W. 1994. Biologi Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Liu,Shaojun. Qin,Qinbo. Xiao,Jun. Lu,Wenting. Shen,Jiamin. Li,Wei. Liu,Jifang. Duan,Wei. Zhang,Chun. Tao,Min. Zhao,Rurong. Yan,Jinpeng dan Liu,Yun. 2007. The Formation of the Polyploid Hybrids From Different Subfamily Fish Crossings and Its Evolutionary Significance. Genetics Society of America. 1 (1). (Online), (http://ecrp.uiuc.edu/v3n1/demarie.html), diakses tanggal 14 Maret 2017 Mantau, zulkifli dkk. 2004. Pembenihan Ikan Mas yang Efektif dan Efisien. (Online), (http:// http://pustaka.litbang.deptan.go.id, diakses tanggal 14 Maret 2017). Mukti, A.T., Rustidja., S.B. Sumitro dan M.S. Djati. 2001. Poliploidisasi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Biosain 1(1):111-123.
Mukti, Akhmad Taufiq, Rustidja, Sutiman Bambang Sumitro, dan Mohammad Sasmito Djati. 2001. POLIPLOIDISASI IKAN MAS (Cyprinus carpio L.) Polyploidyzation of Common Carp (Cyprinus carpioL.). BIOSAIN, VOL. 1 NO. 1, April 2001 Mukti, dkk. 2001. Poliploidisasi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Malang: BIOSAIN VOL. 1 Brawijaya Press. Mustami, Khalifah. 1997. Studi PembentukanPoliploid pada Mas (Cyprinus carpio L.) Ras Punten dengan Kejutan Suhu Panas. Tesis (tidak diterbitkan). Malang: Pasca Sarjana UM. Pandian, T. J. dan Varadaraj, K. (1988) Techniques for Producing All Male and All Triploid Oreochromis mossambicus. In The Second International Symposium on Tilapia in Aquaculture (Eds. R. S. V. Pullin, T. Bhukaswan, K. Tongthai dan J. Maclean), pp. 243-249. ICLARM, Conference Proceedings, 15: 623 p. Departement of Fisheries, Bangkok, Thailand and International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines.
Phillips, R. B., Zajicek, K. D., Ihssen, P. E. dan Johnson, O. 1986. Application of Silver Staining to The Identification of Triploid Fish Cells. Aquaculture, 54: 313-319. Pifferer, F., dkk. 2009. Polyploid fish and shellfish : Production, biology and applications to aquaqulture for performance improvement and genetic containment . Agustus 2009. Volume 293. Issues 3-4 Page 125-156. Pudjirahaju, Asri, Rustidja, dan Sutiman B. Sumitro. 2008. Penelusuran Genotipe Ikan Mas (Cyprinus Carpiol.) Strain Punten Gynogenetik 1 (Gynotype Investigation of Common Carp (Cyprinus carpioL.) Punten Gynogenetic Strain. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Juni 2008, Jilid 15, Nomor 1: 13-19. Ru ¨schoff, J., Plate, K.H., Contractor, H., Kern, S., Zimmermann, R., Thomas, C., 1990. Evaluation of nucleolus organizer regions (N ORs) by automatic image analysis: a contribution to the standardization. J. Pathol. 161, 113 – 118.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Vol. 1 & 2.Bina Cipta. Jakarta. 508p. Santoso, B. 1993. Petunjuk Praktis Budidaya: Ikan Mas. Yogyakarta: Kanisius. 77p.
Shofiana, Rila. 2008. Teknik Poliploidisasi pada Ikan Mas (Cyperinus carpio L. ). (Online), (http://www. http://sidika.wordpress.com, diakses tanggal 17 April 2017). Thorgaard, G. H. 1983. Chromosome Set Manipulation and Sex Control in Fish . In Fish Physiology, Volume IX, Part B (Eds. W. S. Hoar, D. J. Randall dan E. M. Donaldson), pp. 405-434. Academic Press Inc., New York, USA. Venkatachalam, U., R. Venkatachalam., K. Ganesh and K. Aathi. 2012. Induction of Triploidy Catfish Through Cold Shock and Heat Shock in Clarias Yamazaki, F. 1983. Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture, 33: 329-354.