49
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang berfungsi untuk perawatan pasien kritis, dilengkapi dengan staf dan menggunakan peralatan canggih yang asing untuk keluarga atau pasien, khusus untuk merawat dan mengobati pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk dengan intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab, 2009). Selain itu peraturan di ICU (intensive Care Unit) sangat ketat karena keluarga tidak boleh menunggu secara terus- menerus sehingga hal ini menimbulkan kecemasan tersendiri bagi keluarga ( bagaimana kondisi perkembangan keluarganya saat ini) bahkan trauma bagi anggota keluarganya yang dirawat di ICU(intensive Care Unit) menurut Mc Adam dan Puntillo dalam Bailey (2010).
Faktor-faktor yang dapat memicu stres pada keluarga sebagi respon ada anggota keluarga yang dirawat di ruang ICU meliputi : perubahan lingkungan, aturan ruangan perawatan, perubahan peran keluarga, status emosi keluarga dan aktivitas pada kehidupan sehari-hari keluarga, kemampuan pembiyaan (Finasial) keluarga, serta sikap petugas kesehatan dalam pemberian informasi tentang kondisi kesehatan pasien diruang ICU (Intersive Care Unit) (Friedman,2010).
Lingkungan ICU telah ditemukan untuk meningkatkan baik kecemasan situasional dan sifat di anggota keluarga dari ICU pasien (Rukholm et al. 1991 dalam stuart 2014). juga menemukan bahwa penilaian hati-hati dari situasi dan sifat kecemasan oleh staf perawat penting untuk mengurangi kecemasan dari anggota keluarga pasien ICU itu. kecemasan cenderung untuk bertahan saat pasien dirawat di rumah sakit. Tracy et al. (2009) menemukan kecemasan situasional untuk bertahan di antara ICU pasien anggota keluarga 72 jam setelah masuk. Di situasional kecemasan diidentifikasi oleh subyek dilaporkan muncul terutama dari khawatir tentang penderitaan pasien dan kematian yang akan datang. Daerah lain yang memberikan kontribusi untuk keluarga ini kecemasan termasuk kekhawatiran tentang prosedur, kemungkinan komplikasi-komplikasi dan peralatan yang digunakan dalam perawatan pasien. Bahkan sembilan hari setelah masuk, Pochard dkk. (2005) menemukan bahwa 73% dari 544 anggota keluarga yang diwawancarai terus melaporkan gejala kegelisahan.
Kondisi sakit tidak dapat dipisahkan dari peristiwa kehidupan, pasien dan keluarganya harus menghadapi berbagai perubahan yang terjadi akibat kondisi sakit dan pengobatan yang dilaksanakan. Keluarga umumnya akan mengalami perubahan perilaku dan emosional, orang mempunyai reaksi yang berbeda-beda terhadap kondisi yang dialami. Penyakit yang berat, terutama yang dapat mengancam kehidupan,dapat menimbulkan perubahan perilaku yang lebih luas, ansietas, syok penolakan, marah. Hal tersebut merupakan respon umum yang disebabkan oleh stres (Hawari,2013).
Kebutuhan anggota keluarga Beberapa studi telah meneliti kebutuhan anggota keluarga Pasien ICU menggunakan Critical Care Keluarga Persediaan Kebutuhan (CCFNI) (Rukholm et al. 1991, Kosco & Warren tahun 2000, Lee & Lau 2003, Chiu et al. 2004, Auerbach dkk. 2005). Lee dan Lau (2003) menemukan kebutuhan untuk jaminan sebagai yang tertinggi kebutuhan kategori antara anggota keluarga pasien ICU 24-72 jam setelah masuk pasien. Para penulis menyimpulkan bahwa memenuhi kebutuhan keluarga dapat ditingkatkan jika Perawat ICU ditujukan keprihatinan keluarga tentang kebutuhan untuk menjadi dekat dengan anggota keluarga mereka, menjadi advokat untuk peningkatan jam mengunjungi dan memberikan laporan kemajuan setiap hari kepada keluarga. Anggota keluarga pasien ICU melaporkan kebutuhan terbesar adalah informasi tentang status keluarga mereka anggota dan tentang peralatan yang digunakan (Auerbach et al. 2009). Para penulis direkomendasikan intervensi keperawatan yang termasuk konferensi penjadwalan dengan keluarga dan dokter dan keterlibatan anggota keluarga menggembirakan dengan hati-hati orang yang dicintai mereka. Ketika pasien habis anggota keluarga menyatakan optimisme tentang masa depan ketika kebutuhan mereka telah terpenuhi.
Hasil penelitian menunjukkan jaminan menjadi kategori kebutuhan yang paling penting. Fry dan Warren (2007) mewawancarai anggota keluarga pasien ICU dan menemukan bahwa informasi tentang prognosis dan menerima hasilnya, mempercayai profesional kesehatan, yang berpartisipasi dalam perawatan anggota keluarga mereka dan menjaga positif prospek yang penting untuk anggota keluarga. Hughes et al.(2010) mewawancarai profesional ICU kesehatan selain kepada anggota keluarga pasien. Kedua perawat dan anggota keluarga diidentifikasi komunikasi yang baik dan informasi yang akurat sebagai faktor penting dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarga '. Studi juga telah memeriksa kepuasan anggota keluarga pasien ICU yang meninggal selama mereka tinggal ICU untuk menentukan jika kebutuhan anggota keluarga 'bertemu (Heyland et al. 2003, Dinding dkk. 2007). Heyland dkk. (2003) yang disurvei 256 keluarga anggota pasien ICU terminal untuk menentukan apakah mereka.
Keluarga pasien yang anggota keluarganya dalam keadaan kritis, mengalami kecemasan yang tinggi. Jika keluarga cemas maka keluarga sebagai sumber daya untuk perawatan pasien tidak berfungsi dengan baik. Selain itu kecemasan keluarga dapat dikomunikasikan atau ditransfer kepada pasien sehingga berakibat memperparah penyakit dan menghambat proses penyembuhan. Menurut penelitian (Stuart & Sunden,2008), Model perawatan dipusatkan pada keluarga (family centered model) adalah konsep yang memperlakukan pasien dan keluarga sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Suatu pendekatan holistik dalam perawatan kritis mensyaratkan agar keluarga dimasukkan dalam rencana keperawatan. Dalam hal ini perawat harus memperhatikan kebutuhan keluarga, yang menurut (Hawari, 2013), terdiri dari jaminan mendapatkan pelayananan yang baik, kedekatan keluarga dengan pasien, memperoleh informasi, kenyamanan saat menunggu, dan dukungan dari lingkungan.
Faktor resiko yang berhubungan dengan kecemasan anggota keluarga diruang perawatan intensif adalah jenis kekerabatan dengan pasien, tingkat pendidikan, tipe perawatan pasien, kondisi medis pasien, pertemuan keluarga dengan perawatan, cara penanggulangan, dan kebutuhan keluarga (Stuart, 2014). Kedua stres dan kecemasan mempengaruhi anggota keluarga ICU pasien. Menurut Bourne (2008), kecemasan dapat mencakup kedua faktor fisiologis dan perilaku. Fisiologis Perubahan mungkin termasuk mulut kering, detak jantung yang cepat dan respirasi. 'Deskripsi Perilaku mungkin termasuk ketidakmampuan untuk bertindak, mengekspresikan diri dan kesulitan berurusan dengan peristiwa kehidupan '(hal. 5). Auerbach dkk. (2009) mempelajari keluarga pasien ICU untuk indikasi gangguan stres akut dan menemukan bahwa ketika pasien dirawat di ICU, banyak anggota keluarga gejala yang dialami gangguan stres akut.
Kecemasan adalah sensasi yang membingungkan dari kejadian yang akan datang yang muncul tanpa alasan. Kecemasan dicetuskan oleh sesuatu yang tidak diketahui dan muncul sebelum ada pengalaman baru, yang mengancam identitas dan harga diri seseorang (Nursalam, 2009). Kecemasan akan muncul pada keluarga yang salah satu anggota keluarganya sedang sakit dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Bila salah satu anggota keluarga kelurga sakit maka hal tersebut akan menyebabkan krisis pada keluarga.
Kecemasan yang terjadi pada keluarga disebabkan pasien berada dalam ancaman sakit pada rentang hidup atau mati akan mengancam dan mengubah homeostasis keluarga untuk beberapa alasan. Kecemasan pada pasien dan keluarga yang menjalani perawatan di unit perawatan kritis terjadi karena adanya ancaman ketidakberdayaan kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi dan harga diri, kegagalan membentuk pertahanan, perasaaan terisolasi dan takut mati. Kecemasan tersebut berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya(Hudak & Gallo, 2008).
Dengan kondisi ruangan dimana keluarga pasien tidak boleh mendampingi pasien setiap saat dan tidak bias melihat perkembangan pasien secara langsung akan menyebabkan keluarga pasien khawatir dan cemas. Dampak langsung dari kecemasan ini dialami oleh keluarga pasien. Kecemasan pada keluarga pasien di ruang ICU akan menimbulkan masalah baru, keluarga pasien yang cemas akan mengalami berbagi macam gangguan diantaranya adalah gangguan system gastrointestinal : diare, kembung, lambung terasa perih, perasaan sebah, banyak angin di dalam perut (Carpenito,2000). Gangguan psikologis dari kecemasan yang dialami keluarga dapat menimbulkan ketidakmampuan keluarga dalam mengambil keputusan sehingga dapat menghambat pemberian asuhan keperawatan kepada pasien (Simamora, 2012).
Dukungan spiritual ini dapat mengurangi kecemasan yang dialami keluarga pasien. Keterlibatan spiritual dan keagamaan tersebut berkontribusi dalam hal mengurangi gejala depresi dan kecemasan (Koenig, 2011). Orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan akan memperoleh kenyamanan dan dapat mengatasi stres (Young, 2012). Kedekatan dengan Tuhan akan memberi kekuatan lebih, kepercayaan diri serta kenyamanan. Sehingga memberi manfaat terhadap kesehatan termasuk mengurangi depresi, kesepian, meningkatkan kematangan dalam berhubungan , kompetensi social dan penilaian psikososial yang lebih baik dalam menghadapi stres ( Hill dan Pargament, 2008).
Dalam sebuah studi tentang kebutuhan keluarga pasien menunggu keluarganya dengan perawatan ICU ada beberapa hal penting yang dibutuhkan yaitu kebutuhan untuk dihubungi kerumah bila terjadi perubahan pada kondisi pasien, kebutuhan untuk mengetahui prognosa penyakit, kebutuhan untuk mendapat jawaban yang jujur atas pertanyaan keluarga, kebutuhan untuk menerima informasi tentang pasien sekali sehari, kebutuhan untuk mendapat penjelasan terhadap sesuatu yang tidak dimengerti, dan kebutuhan untuk mendapat jaminan bahwa pasien mendapat kenyamanan (Campbell, 2009). Meskipun kebutuhan keluarga pasien yang menunggu keluarganya dengan perawatan ICU tampak mudah, namun adalah kesalahan bila menganggap bahwa semua staf yang bekerja di unit ICU mengetahui dan mencoba memenuhi apa yang menjadi kebutuhan mereka (Henneman and Cardin, 2002).
Proses intreaktif antara pasien (keluarga pasien) dan keluarga perawat yang membantu pasien yang mengatasi stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang lain, menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat di ubah, dan mengatasi hambatan psikologis yang menghalangi realisasi ini disebut komunikasi trapeutik. Komunikasi terapeutik berbeda dengan komunikasi sisal, yaiutu pada komunikasi trapeutik selalu terdapat tujuan atau arah yang spesifik untuk, komunikasi : komunikasi trapeutik adalah komunikasi yang terencana. Berlangsung ketika pasien dan perawat menunjukan sikap format akan vidualtas dan harga diri. Perawat di tuntut untuk dilakukan komunkasi trapeutik dalam melakukan tindakan perawatan agar pasien atau keluarganya tahun tindakan apa yang akan kita lakukanpada pasien dengan cara bahwa perawat harus memperkenalkan diri, menjelaskan tindakan yang akan dilakukan, membuat kontra waktu untuk melakuikan tindakan perawatan selanjutnya (Suryani, 2009).
Menurut penelitian dari Titin S, (2013) menunjukkan bahwa respons psikososial keluarga berupa kecemasan yaitu : kecemasan ringan 25%, kecemasan sedang 35%,dan kecemasan berat 40%. Namun sejauh ini pengaruh penyuluhan terhadap respons psikososial keluarga belum terungkap. Dalam kondisi psikologis tidak stabil sulit bagi keluarga untuk dapat mengambil keputusan yang terbaik dan bijaksana bagi segala tindakan yang akan dilakukan pada pasien sakit (Thomas, 1991 dalam Bailey, 2009).
Menurut Keltar (1995) dalam Sibuea (2010), Cemas merupakan perasaan internal yang sumbernya sering kali tidak spesifik dalam mengancam keamanan seseorang dan kelompok. Cemas disebabkan oleh karena krisis situasi, tidak terpenuhi kebutuhan, perasaan tidak berdaya dan kurang kontrol pada situasi kehidupan. Kecemasaan keluarga akan bertambah bila mengetahui salah satu anggota keluarganya dirawat di Ruang ICU. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasaan keluarga akibat perawatan salah satu anggota keluarga di rumah sakit diantaranya adalah keluarga takut pasien akan mengalami kecacatan, takut akan kehilangan, masalah sosial ekonomi, kurang pemberian informasi dari tenaga kesehatan (Geraw,1998 dalam Kumala sari,2010).
Berdasarkan studi pendahuluan di Ruang ICU (Intensive Care Unit) RSUD Arifin Achmad Pekan Baru pada bulan Februari tanggal 29 dan 30 tahun 2016 dengan cara observasi terhadap 10 keluarga pasien kecemasaan yang terjadi pada keluarga pasien yang di Ruang ICU. Di tunjukan dengan perilaku keluarga yang selalu bertanya tentang kondisi anggota keluarganya yang dirawat, bertanya dengan pertanyaan yang di ulang-ulang, berkunjung diluar jam kunjungan, keluarga takut kehilangan (meninggal dunia) keluarga mengatakan susah tidur, takut anggota keluarga sembuh tapi mengalami kecacatan, takut tidak bisa membayar biaya perawatan di ICU (Intensive Care Unit) takut akan kondisi pasien yang lain, takut melihat alat-alat yang terpasang di tubuh pasien.
Berdasarkan data yang telah diperoleh jumlah pasien yang dirawat di Ruang ICU RSUD Arifin Achmad Pekanbaru pada tahun 2015 sebanyak 345 pasien. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 respon didapatkan 17% keluarga berpengetahuan baik ICU, 83% berpengetahuan buruk tentang ICU dan tingkat Kecemasan yang dialami keluarga, 33% kecemasan berat, 67% kecemasan ringan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan psikologi pada keluarga pasien yang dirawat diruang ICU sebenarnya adalah kurangnya pengetahuan keluarga seputar perawat di ICU. Hal ini termasudkan agar keluarga mengerti sehingga tingkat kecemasan dapat dikurangi.
Berdasarkan latar belakang di atas dan fenomena yang terjadi di Rumah Sakit Arifin Achmad peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut dengan judul : " FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECEMASAAN PADA KELUARGA PASIEN DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT ( ICU ) DI RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU" . apbila kecemasan tidak diatasi akan menjadi maladaptive dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga bisa mengalami gangguan fisik, perilaku maupun gangguan kognitif dan kecemasan teratasi artinya individu bisa beradaptasi dengan cemas yang muncul.
Rumusan Masalah
Kecemasan keluarga dapat dikomunikasikan atau ditransfer kepada pasien sehingga berakibat memperparah penyakit dan menghambat proses penyembuhan. Menurut penelitian (Stuart & Sunden,2008), Model perawatan dipusatkan pada keluarga (family centered model) adalah konsep yang memperlakukan pasien dan keluarga sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Suatu pendekatan holistik dalam perawatan kritis mensyaratkan agar keluarga dimasukkan dalam rencana keperawatan. Dukungan spiritual ini dapat mengurangi kecemasan yang dialami keluarga pasien. Keterlibatan spiritual dan keagamaan tersebut berkontribusi dalam hal mengurangi gejala depresi dan kecemasan (Koenig, 2011).
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut "Apakah ada Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasaan Pada keluarga Pasien Di Ruang Intensive Care Unit Di RSUD Pekanbaru ? "
Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasaan Pada keluarga Pasien Di Ruang Intensive Care Unit Di RSUD Pekanbaru.
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui distribusi frekuensi tingkat kecemasan keluarga
Untuk mengetahui distribusi frekuensi sikap keluarga dengan keperawatan ICU
Untuk mengetahui distribusi frekuensi dukungan keluarga dengan keperawatan ICU
Untuk mengetahui distribusi frekuensi Ketakutan keluarga di ruang ICU
Untuk menganalisis Faktor yang mempengaruhi kecemasan keluarga di ruang ICU
Manfaat Penelitian
Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan dalam rangka peningkatan program pelayanan tenaga kesehatan Rumah sakit bukan saja kepada pasien yang di rawat di ICU tetapi juga pelayanan kepada keluarga pasien yang mengalami kecemasaan sehingga rumah sakit bisa menyediakan petugas khusus untuk konseling bagi keluarga yang mengalami kecemasan, serta memberikan tambahan informasi dalam melakukan upaya untuk mengurangi kecemasaan pada keluarga.
Bagi Responden
Peneliti ini bermamfaat dalam menambah pengetahuan dan pemahaman keluarga tentang kesehatan dalam upaya mengurangi kecemasaan, kesehatan sehingga upaya yang dilakukan untuk meningkatkan dukungan secara baik
Bagi Peneliti
Penelitian ini bermamfaat dalam menambah pengetahuan dan pemahaman responden terhadap kebutuhan keluaraga sehingga dapat bisa mengetahui tingkat kecemasan keluarga yang dirawat di ICU berupaya meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan komunitas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Konsep kecemasan
Pengertian
Cemas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman atau takut mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi (Murwani,2013). Sedangkan menurut Struat (2014) cemas adalah kekhawtiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berbahaya. Tidak ada objek yang dapat didentifikasi sebagai stimulus cemas.
Kecemasan adalah terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup (Nevid,at al 2010). Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologi dan psikologis (Kholil L R, 2011).
Namora Lumongga Lubis (2012) menjelaskan bahwa kecemasan adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal. Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang. Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan terjadi. Sedangkan Siti Sundari (2013) memahami kecemasan sebagai suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Penyebab Kecemasan
Beberapa teori penyebab kecemasan pada individu antara lain (Sturat,2014)
Teori Psikoanalitik
Menurut pandangan psikoanalitik kecemasan terjadi karena adanya konflik yang terjadi antara emosional elemen kepribadian, yaitu id dan super ego. Id adalah satu-satunya komponen yang ada sejak lahir, id merupakan komponen kepribadian. Id didorong oleh prinsip kesenangan atau kepuasaan, jika kesenangan tidak terpenuhi akan menimbulkan kecemasan. Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung jawab untuk menangani dengan realita. Super ego adalah aspek kepribadian yang menampung semua setandar internalisasi moral memberikan pedoman penilaian.
Teori Interpersonal
Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan takut terhadap adanya penolakan dan tidak adanya penerimaan interpersonal. Cemas juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan fisik.
Teori Perilaku (Behavior)
Teori biharvior adalah teori tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Pandangan teori perilaku terhadap kecemasan adalah sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai tujuan yang diingginkan.
Teori Prespektif Keluarga
Kajian keluarga menunjukan pola interaksi yang terjadi dalam keluarga. Kecemasan menunjukan adanya pola interaksi yang mal adaptif dalam system keluarga. Keluarga bisa menjadi penyebab kecemasan yang nyata bila keadaan keluarga dengan kondisi yang penuh dengan pertengkaran serta adanya ketidakpedulian orang tua terhadap anggota keluarga.
Teori Perspektif Biologis
Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor khususnya yang mengatur ansietas, antara lain : benzodiazepines, penghambat asma amino butirik-gamma neroregulator serta endofirin. Kesehatan umum seseorang sebagai predisposisi terhadap ansietas.
Tanda dan Gejala Kecemasan di ICU
Tanda dan gejala kecemasan yang di tunjukkan atau dikemukakan oleh seseorang bervariasi yaitu : perilaku keluarga yang sering bertanya tentang kondisi anggota keluarganya, bertanya dengan pertanyaan yang di ulang-ulang, berkunjung diluar jam kunjung, keluarga takut kehilangan, tergantung dari bertanya atau tingkatan yang dirasakan oleh individu tersebut. Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum menurut Hawari (2013), antara lain adalah sebagai berikut:
Gejala psikologis : pertanyaan cemas/khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
Gangguan pola tidur (pemenuhan akan kebutuhan istirahat terganggu karena dampak dari cemas) mimpi-mimpi yang menegangkan, tidur tidak nyenyak, terbanggun pada malam hari, sukar tidur.
Gangguan konsentrasi daya ingat.
Gejala somatik : rasa sakit pada otot dan tulang, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, sakit kepala, gangguan perkemihan, tangan terasa dingin dan lembab, dan lain sebagainya.
Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart (2014), ada empat tingkat kecemasaan yang dialami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.
Kecemasan Ringan
Dihubungan dengan ketegangan yang dialami sehari-hari, individu masih waspada serta lapang presepsinya meluas, menajamkan indra. Dapat memotivasi individu untuk belajar dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan menghasilkan pertumbuhan.
Kecemasan Sedang
Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain. Asietas ini mempersempit lapang individu mengalami tidak perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.
Kecemasan Berat
Lapangan prese[si individu sangat sempit. Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berfikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
Panik
Berhubungan dengan ketakutan dan teror. Hal yang rinci terpecah dari proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu walapun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional. Tingkat ansietas ini tidak sejalan dengan kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian.
Pengukuran Kecemasan
Untuk mengetahui sejauh mana tingkat kecemasan baik kecemasan ringan, sedang, berat dan panik di gunakan alat ukur kecemasan. Menurut Hawari (2013), tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan alat ukur (instrument) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale For Axiety (HRS-A), yang terdiri dari 14 kelompok gejala, antara lain adalah sebagai berikut:
Perasaan cemas : cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri dan mudah tersinggung.
Ketegangan : merasa tegang, lesu, tidak dapat beristirahat dengan tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar dan gelisah.
Ketakutan : pada gelap, pada orang asing, di tinggal sendiri, pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas dan pada kerumunan orang banyak.
Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi buruk buruk dan mimpi yang menakutkan.
Gangguan kecerdasan : sukar berkonsentrasi, daya ingat menurun dan daya ingat buruk.
Perasaan depresri (murung): hilangnya minat, berkurangnya kessenangan pada hobi, sedih, terbangun pada saat dini hari dan perasaan berubah-ubah sepanjang hari.
Gejala somatik/fisik (otot) : sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil.
Gejala somatik/ fisik (sensorik): tinnitus (telinga berdenging), penglihatan kabur, muka merah atau pucat, merasa lemas dan perasaan ditusuk-tusuk.
Gejala Kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah): takikardi (denyut jantung cepat), berdebar-debar, nyeri di dada, denyutnadi mengeras, rasa lesu/lemas seperti mau pingsan dan detak jantung menghilang/ berhenti sekejap
Gejela respiratori (pernafasan): rasa tertekan atau sempit di dada, rasa tercekik, sering menarik nafas pendek/ sesak.
Gejala gastrointestinal (pencernaan) : sulit menelan, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, BAB konsistensinya lembek, sukar BAB (konstipasi) dan kehilangan berat badan.
Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) : sering buang air kecil, tidak dapat menahan BAK, tidak datang bulan (tidak dapat haid), darah haid berlebihan, darah haid sangat sedikit, masa haid berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, menjadi dingin, ejakulasi dini, ereksi melemah, ereksi hilang dan impotensi.
Gejala autonom : mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit dan bulu-bulu berdiri.
Tingkah laku/sikap : gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kering/ dahi berkerut, wajah tegang/mengeras, nafas pendek dan cepat serta wajah merah.
Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0-4, dengan penilaian sebagai berikut:
Gambar 2.1
No
Nilai
Respon
1
Nilai 0
Tidak ada gejala (keluhan)
2
Nilai 1
Gejala ringan
3
Nilai 2
Gejala sedang
4
Nilai 3
Gejala berat
5
Nilai 4
Gejala panik
Masing-masing nilai dari 14 kelompok gejala tersebut di jumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat dapat diketahui tingkat kecemasan yaitu kurang dari 14 = tidak ada kecemasan, 14-20= kecemasan ringan, 21-27= kecemasan sedang, 28-41= kecemasan berat,42-52= kecemasan berat sekali/panik.
Rentang Respon Kecemasan
Menurut Stuart (2014), rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptive. Rentang respon yang paling adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptive adalah panik dimana individu sudah tidak mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi sehingga mengalami gangguan fisik, perilaku maupun kognitif.
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Antisipasi Ringan Sedang Berat Berat Sekali
Gambar 1. Skema Rentang Respon Kecemasan
Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan.
Faktor Predisposisi
Beberapa faktor dapat mempengaruhi terjadinya kecemasan (stuart,2014). Faktor –faktor tersebut antara lain:
Teori Psikoanalitik
Menurut teori psikoanalitik sigmund Freud, kecemasan timbul karena konflik antara konflik antara elemen kepribadian yaitu id (insting) dan super ego (nurani). Id mewakili dorongan insting dan imlus primitive seseorang dan dikendalikan norma budayanya. Ego berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi kecemasan adalah meningkatkan ego bahwa ada bahaya.
Teori Interpersonal
Menurut teori ini kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap tidak adanya penerima dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kelemahan spesifik.
Teori Behavior
Kecemasan merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Teori Perspektif Keluarga
Kecemasan dapat timbul karena pola interaksi yang tidak adaptif dalam keluarga.
Teori Perpektif Biologi
Fungsi biologis menujukan bahwa otak mengandung reseptor khusus Benzodiapine. Reseptor ini mungkin membantu mengatur kecemasan.
Faktor Prespitasi
Adalah faktor- faktor yang dapat menjadi pencetus kecemasan (Stuart,2014). Faktor pencetus tersebut adalah :
Ancaman terhadap intergritas seseorang yang meliputi ketidakmampuan fisiologi atau menurunnya kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi dari seseorang.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Keluarga
Umur
Menurut Lukman (2013), umur usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Umur berkorelasi dengan pengalaman, pengalaman berkorelasi dengan pengetahun, dan pemahaman terhadap suatu penyakit atau kejadian sehinggan akan membentuk persepsi dan sikap. Kematangan dalam proses berfikir pada individu yang berumur dewasa lebih memungkinkan dalam menggunakan mekanisme koping yang baik dibanding kelompok umur anak-anak. Umur dipandang sebagai suatu keadaan yang menjadi dasar kematangan dan perkembangan seseorang.
Jenis Kelamin
Berkaitan kecemasan pada pria dan wanita, bahwa perempuan lebih cemas akan ketidakmampuanya dibanding dengan laki-laki, laki-laki lebih aktif, ekloratif, sedangkan perempuan lebih sensitif. Penelitian lain menunjukan bahwa laki-laki lebih rileks dibanding perempuan (power dan Myers,1983 dalam Creasof, 2013).
Sunaryo (2014), menulis dalam bukunya bahwa pada umumnya seorang laki-laki dewasa mempunyai mental yang kuat terhadap sesuatu hal yang dianggap mengancam dirinya dibanding perempuan. Laki-laki lebih mempunyai pengetahuan dan wawasan lebih luas dibanding perempuan, karena laki-laki lebih banyak berinterkasi dengan lingkungan luar, sedangkan sebagian besar perempuan hanya tinggal dirumah menjalani aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, sehingga tingkat pengetahuan ilmu atau tranfer informasi yang didapatkan terbatas tentang pencegahan penyakit.
Pendidikan
Pendidikan tinggi lebih mampu dalam menggunakan pemahaman mereka dalam merespon kejadian cemas secara adaptif di banding dengan responden yang berpendidikan rendah ( Lukman,2013). Kondisi ini menunjukan respon cemas berat cenderung dapat ditemukan pada responden yang berpendidikan rendah karena rendahnya mereka dalam pemahaman tentang penyakit sehingga membentuk persepsi yang menakutkan bagi mereka dalam merespon kejadian suatu penyakit.
Pengalaman
Roby (2014) pengalaman masa lalu terhadap penyakit baik yang positif atau negatif dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan menggunakan koping. Keberhasilan seseorang dapat membantu individu untuk mengembangkan kekuatan coping, sebaliknya kegagalan atau reaksi emosional menyebabkan seseorang menggunakan coping yang maladaptif terhadap stresor tertentu.
Pekerjaan
Pekerjaan adalah kesibukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Pekarjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi merupakan cara mencari nafkah yang banyak tantangan (Nursalam,2009).
Informasi
Informasi adalah pemberitahuan yang dibutuhkan keluarga dari staf ICU mengenai semua hal yang berhubungan dengan pasien yang di rawat di ruang ICU. Kebutuhan akan informasi meliputi informasi tentang perkembangan penyakit pasien, penyebeb atau alasan suatu tindakan tertentu dilakukan pada pasien, kondisi sesunguhnya mengenaio perkembangan penyakit pasien, kondisi pasien setelah dilakukan tindakan/pengobatan, pekembangan kondisi pasien dapat di proleh keluarga paling sedikit sehari sekali, rencana pindah atau keluar dari ruangan, dan informasi mengenai peraturan diruangan ICU.
Konsep Keluarga
Pengertian
Istilah keluarga akan menghadirkan gambaran adanya individu dewasa dan anak yang hidup bersama secara harmonis dan memuaskan. Bagi lainnya, istilah ini memiliki arti yang berlawanan. Keluarga bukan sekedar gabungan dari beberapa individu (Astedt Kurki, et al.,2010). Keluarga memiliki keragaman seperti anggota individunya dan seorang pasien memiliki nilai-nilai tersendiri mengenai keluarganya (Potter & Perry, 2014).
Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adobsi, atau perkawinan (Who,1969 dalam Setiadi,2013). Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibuk dan anaknya (BKKBN,1992 dalam Murwani dan Setyowati,2010).
Banyak ahli mendefenisikan tentang keluarga sesuai dengan perkembangan sosial di masyarakat. Hal ini bergantung pada orientasi yang digunakan dan orang yang mendefenisikannya. Friedman (1998) mendefenisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga. Pakar konseling keluarga dari Yogyakarta, Sayekti (2015) menulis bahwa keluarga adalah suatu ikatan/persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau anak adopsi, dan tingggal dalam sebuah rumah tangga.
Menurut UU No. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Ketiga pengertian tersebut mempunyai persamaan bahwa dalam keluarga terdapat ikatan perkawinan dan hubungan darah yang tinggal bersama dalam satu atap (serumah) dengan peran masing-masing serta keterikatan emosional (suprajitno, 2014).
Keluarga menurut Bailon dan Maglaya yang dikutip oleh Nasrul Efendi (2015), keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan (Indriyani & Asmuji, 2014).
Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut (Fridmman,1986 dalam Jhonson L & Leny R, 2010)
Fungsi afektif
Fugsi afektif berhubungan erat dengan fungsi internal keluarga yang merupakan basis kekuatan krluarga.fungsi aktif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial.
Fungsi Pendidikan
Dilihat dari bagaimana keluarga mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak.
Fungsi sosialisasi
Sosialisasi dimulai sejak lahir, keberhasilan perkembangan individu dan keluarga di capai melalui interaksi atau hubungan antara anggota. Anggota keluarga belajar disiplin, belajar norma, budaya dan perilaku melalui hubungan interaksi dalam keluarga dan keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi merupakan fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota seperti memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, dan tempat tinggal, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan keluarga.
Fungsi perasaan
Yaitu keluarga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dan berkomunikasi dan berinteraksi antara sesama anggota keluarga.
Fungsi agama
Keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanmkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini.
Fungsi rekreatif
Yaitu bagaimana menciptakan susana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti acara nonton TV bersama keluarga, bercerita tentang pengalaman masing-masing.
Fungsi reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan dan menambah sumber daya manusia sebagai generasi selanjutnya. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan rasa aman diantara keluarga, serta membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.
Struktur Keluarga
Menurut Friedman (1988), dalam buku keperawatan keluarga (2010) menggambarkan struktur keluarga terdiri dari:
Struktur Komunikasi
Komunikasi dalam keluarga ada yang berfungsi apabila: jujur, terbuka, melibatkan emosi, konflik selesai dan ada hirarki kekuatan, dan ada yang tidak. Komunikasi keluarga bagi pengirim: mengemukan pesan, jelas dan berkualitas, meminta dan menerima umpan balik. Penerima: mendengarkan pesan memberikan umpan balik dan valid. hal ini bisa dsebabkan oleh beberapa factor yang dalam komponen komunikasi sender, chanel-media, massege, environment dan receiver.
Struktur peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan. Yang dimaksud dengan posisi atau status adalah posisi individu dalam masyarakat, misalnya status sebagai istri/suami atau anak. Jadi pada struktur peran biasa bersifat formal atau informal.
Struktur kekuatan
Adalaha kemampuan dari individu untuk mengontrol atau memepengaruhi atau merubah perilakuorang lain.
Sktruktur nilai dan normal
Nilai adalah sistem ide-ide, sikap keyakinan yang mengikat anggota keluarga dalam budaya tertentu, sedangkan norma adalah pola perilaku yang diterima pada lingkungan sosial tertentu berarti disini adalah lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar keluarga ( Suprajitno,2014).
Konsep ICU
Pengertian
ICU (Intensive Care Unit) adalah ruang rawat di rumah sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian. Tiap pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan intensif oleh karena memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring serta dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau akibat dari penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab,2014).
Ruang perawatan intensif (ICU) adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cedara dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus (Depkes RI, 2011).
Menurut Keputusan Kesehatan RI Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang pedoman penyelenggaraan Pelayanan ICU diRumah Sakit, ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi dibawah direktur pelayanan), deengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang di tunjukan untuk obseervasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyuli-penyuli yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia.
Pembagian ICU berdasarkan kelengkapan
Berdasarkan kelengkapan penyelenggaraan maka ICU dapat dibagi atas tiga tingkatan. Yang pertama ICU tingkat I yang terdapat di rumah sakit kecil yang dilengkapi dengan perawat, ruangan observasi, monitor, resusitasi dan ventilator jangka Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utarajangka pendek yang tidak lebih dari 24 jam. ICU ini sangat bergantung kepada ICU yang lebih besar. Kedua, ICU tingkat II yang terdapat pada rumah sakit umum yang lebih besar di mana dapat dilakukan ventilator yang lebih lama yang dilengkapi dengan dokter tetap, alat diagnosa yang lebih lengkap, laboratorium patologi dan fisioterapi. Yang ketiga, ICU tingkat III yang merupakan ICU yang terdapat di rumah sakit rujukan dimana terdapat alat yang lebih lengkap antara lain hemofiltrasi, monitor invasif termasuk kateterisasi dan monitor intrakranial. ICU ini dilengkapi oleh dokter spesialis dan perawat yang lebih terlatih dan konsultan dengan berbagai latar belakang keahlian ( Rab, 2014).
Terdapat tiga kategori pasien yang termasuk pasien kritis yaitu : kategori pertama, pasien yang di rawat oleh karena penyakit kritis meliputi penyakit jantung koroner, respirasi akut, kegagalan ginjal, infeksi, koma non traumatik dan kegagalan multi organ. Kategori kedua, pasien yang di rawat yang memerlukan propilaksi monitoring oleh karena perubahan patofisiologi yang cepat seperti koma. Kategori ketiga, pasien post operasi mayor.
Apapun kategori dan penyakit yang mendasarinya, tanda-tanda klinis penyakit kritis biasanya serupa karena tanda-tanda ini mencerminkan gangguan pada fungsi pernafasan, kardiovaskular, dan neurologi (Nolan et al. 2015). Tanda-tanda klinis ini umumnya adalah takipnea, takikardia, hipotensi, gangguan kesadaran (misalnya letargi, konfusi / bingung, agitasi atau penurunan tingkat kesadaran) (Jevons dan Ewens, 2013).
Klasifikasi pelayanan ICU
Pelayanan ICU dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
ICU Primer
Ruang perawatan Intensif Primer memberi pelayanan pada pasien yang memerlukan perawatan ketat(high care). Ruang perawatan Intensif mampu melakukan resusitasi jantung paru dan memberi ventilasi bantu 24-28 jam.
ICU Sekunder
Pelayanan ICU sekunder pelayanan yang khusus dan mampu ventilasi bantu lebih lama, mampu melakukan bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu komplek.
ICU Tersier
Ruang perawatan ini mampu melaksanakan semua aspek perawatan intensif, mampu memberi pelayanan yang tertinggi termasuk dukungan bantuan hidup multi sistem yang kompleks dalam jangka waktu yang tidak terbatas serta mampu melakukan bantuan renal ekstrkoporal dan pemantauan kardiovasculer invasif dalam jangka waktu yang terbatas.
Kriteria pasien masuk dan keluar ICU
Suatu ICU mampu menggabungkan teknologi tinggi dan keahlian khusus dalam bidang kedokteran dan keperawatan gawat darurat yang dibutuhkan untuk merawat pasien sakit kritis. Keadaan ini memaksa diperlukannya mekanisme untuk membuat prioritas pada sarana yang terbatas ini apabila kebutuhan ternyata melebihi jumlah tempat tidur yang tersedia di ICU (Standar Pelayanan ICU, 2011).
Prioritas masuk ICU sebagai berikut:
Pasien Prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang memerlukan perawatan intensif dengan bantuan alat-alat ventilasi, monitoring dan obat-obatan vasoaktif kontinyu dan lain-lain misal pasien bedah kardiotoraksik, atau pasien shock septic.
Pasien Prioritas 2
Pasien memerlukan pelayanan pemantuan canggah dari ICU. Jenis pasien ini berisiko sehingga memerlukan terapi intensif segera, karenanya pemantauan intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter sangat menolong, misalnya pada penyakit dasar jantung paru atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan mayor. Pasien prioritas 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang di terimanya, menginggat kondisi medisnya senantiasa berubah.
Pasien Prioritas 3
Pasien jenis ini pasien sakit kritis dan tidak stabil dimana status kesehatan sebelumnya penyakit yang mendasarinya atau penyakit akutnya, baik masing- masing atau kombinasinnya, sangat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh-contoh pasien ini antara lain pasien dengan keganasan metatastik di serta penyulit infeksi perikardial tamponade, atau sumbatan jalan nafas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai komplikasi akut penyakit berat, pasien prioritas 3 mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi penyakit akut, tetapi usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi dan resusitasi kardiopulmuner.
Sistem pelayanan ruang ICU
Penyelenggaraan pelayanan ICU di rumah sakit harus berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan ICU di rumah sakit. Pelayanan ICU di rumah sakit meliputi beberapa hal, yang pertama etika kedokteran dimana etika pelayanan di ruang ICU harus berdasarkan falsafah dasar "saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dan berorientasi untuk dapat secara optimal, memperbaiki kondisi kesehatan pasien. Kedua, indikasi yang benar dimana pasien yang di rawat di ICU harus pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care, pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan yang konstan dan metode terapi titrasi, dan pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis. Ketiga, kerjasama multidisipliner dalam masalah medis kompleks dimana dasar pengelolaan pasien ICU adalah pendekatan multidisiplin tenaga kesehatan dari beberapa disiplin ilmu terkait yang memberikan kontribusinya sesuai dengan bidang keahliannya dan bekerja sama di dalam tim yang di pimpin oleh seorang dokter intensivis sebagai ketua tim. Keempat, kebutuhan pelayanan kesehatan pasien dimana kebutuhan pasien ICU adalah tindakan resusitasi yang meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti Airway (fungsi jalan napas), Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak) dan fungsi organ lain, dilanjutkan dengan diagnosis dan terapi definitif. Kelima, peran koordinasi dan integrasi dalam kerja sama tim dimana setiap tim multidisiplin harus bekerja dengan melihat kondisi pasien misalnya sebelum masuk ICU, dokter yang merawat pasien melakukan evaluasi pasien sesuai bidangnya dan memberi pandangan atau usulan terapi kemudian kepala ICU melakukan evaluasi menyeluruh, mengambil kesimpulan, memberi instruksi terapi dan tindakan secara tertulis dengan mempertimbangkan usulan anggota tim lainnya serta berkonsultasi dengan konsultan lain dan mempertimbangkan usulan-usulan anggota tim. Keenam, asas prioritas yang mengharuskan setiap pasien yang dimasukkan ke ruang ICU harus dengan indikasi masuk ke ruang ICU yang benar. Karena keterbatasan jumlah tempat tidur ICU, maka berlaku asas prioritas dan indikasi masuk. Ketujuh, sistem manajemen peningkatan mutu terpadu demi tercapainya koordinasi dan peningkatan mutu pelayanan di ruang ICU yang memerlukan tim kendali mutu yang anggotanya terdiri dari beberapa disiplin ilmu, dengan tugas utamanya memberi masukan dan bekerja sama dengan staf struktural ICU untuk selalu meningkatkan mutu pelayanan ICU. Kedelapan, kemitraan profesi dimana kegiatan pelayanan pasien di ruang ICU di samping multi disiplin juga antar profesi seperti profesi medik, profesi perawat dan profesi lain. Agar dicapai hasil optimal maka perlu peningkatan mutu SDM (Sumber Daya Manusia) secara berkelanjutan, menyeluruh dan mencakup semua profesi. Kesembilan, efektifitas, keselamatan dan ekonomis dimana unit pelayanan di ruang ICU mempunyai biaya dan teknologi yang tinggi, multi disiplin dan multi profesi, jadi harus berdasarkan asas efektifitas, keselamatan dan ekonomis. Kesepuluh, kontuinitas pelayanan yang ditujukan untuk efektifitas, keselamatan dan ekonomisnya pelayanan ICU. Untuk itu perlu di kembangkan unit pelayanan tingkat tinggi (High Care Unit =HCU). Fungsi utama. HCU adalah menjadi unit perawatan antara dari bangsal rawat dan ruang ICU. Di HCU, tidak diperlukan peralatan canggih seperti ICU tetapi yang diperlukan adalah kewaspadaan dan pemantauan yang lebih tinggi.
Unit perawatan kritis atau unit perawatan intensif (ICU) merupakan unit rumah sakit di mana klien menerima perawatan medis intensif dan mendapat monitoring yang ketat. ICU memilki teknologi yang canggih seperti monitor jantung terkomputerisasi dan ventilator mekanis. Walaupun peralatan tersebut juga tersedia pada unit perawatan biasa, klien pada ICU dimonitor dan dipertahankan dengan menggunakan peralatan lebih dari satu. Staf keperawatan dan medis pada ICU memiliki pengetahuan khusus tentang prinsip dan teknik perawatan kritis. ICU merupakan tempat pelayanan medis yang paling mahal karena setiap perawat hanya melayani satu atau dua orang klien dalam satu waktu dan dikarenakan banyaknya terapi dan prosedur yang dibutuhkan seorang klien dalam ICU ( Potter & Perry, 2014).
Pada permulaannya perawatan di ICU diperuntukkan untuk pasien post operatif. Akan tetapi setelah ditemukannya berbagai alat perekam (monitor) dan penggunaan ventilator untuk mengatasi pernafasan maka ICU dilengkap pula dengan monitor dan ventilator. Disamping itu dengan metoda dialisa pemisahan racun pada serum termasuk kadar ureum yang tinggi maka ICU dilengkapi pula dengan hemodialisa.
Pada prinsipnya alat dalam perawatan intensif dapat di bagi atas dua yaitu alat-alat pemantau dan alat-alat pembantu termasuk alat ventilator, hemodialisa dan berbagai alat lainnya termasuk defebrilator. Alat-alat monitor meliputi bedside dan monitor sentral, ECG, monitor tekanan intravaskuler dan intrakranial, komputer cardiac output, oksimeter nadi, monitor faal paru, analiser karbondioksida, fungsi serebral/monitor EEG, monitor temperatur, analisa kimia darah, analisa gas dan elektrolit, radiologi (X-ray viewers, portable X-ray machine, Image intensifier), alat-alat respirasi (ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat intubasi (airway control equipment), resusitator otomatik, fiberoptik bronkoskop, dan mesin anastesi ( Rab, 2014).
Instrumentasi yang begitu beragam dan kompleks serta ketergantungan pasien yang tinggi terhadap perawat dan dokter (karena setiap perubahan yang terjadi pada pasien harus di analisa secara cermat untuk mendapat tindakan yang cepat dan tepat) membuat adanya keterbatasan ruang gerak pelayanan dan kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga biasanya dibatasi dalam hal waktu kunjungan (biasanya dua kali sehari), lama kunjungan (berbeda-beda pada setiap rumah sakit) dan jumlah pengunjung (biasanya dua orang secara bergantian).
ICU sering merupakan tempat yang kuat dan besar untuk pasien dan keluarga mereka. Dengan memperhatikan kebutuhan baik pasien maupun keluarga, rumah sakit dapat menciptakan lingkungan yang saling percaya dan mendukung dimana keluarga diakui sebagai bagian integral dari perawatan pasien dan pemulihan (Kvale, 2011).
Indikasi Pasien Keluar ICU
Kriteria pasien keluar dari ICU mempunyai 3 prioritas:
Pasien Prioritas 1
Pasien dipindah apabila pasien tersebut tidak membutuhkan lagi perawatan intensif, atau jika terapi mengalami kegalami kegagalan, prognose jangka pendek buruk, sedikit kemungkinan bila perawatan intensif diteruskan. Contoh: pasien dengan tiga atau lebih gagal sistem organ yang tidak beberapa terhadap pengelolaan agresif.
Pasien prioritas 2
Pasien dipindahkan apabila hasil pemantauan intensif menujukan bahwa perawatan intensif tidak dibutuhkan dan pemantauan intensif selanjutnya tidak diperlukan lagi.
Pasien prioritas 3
Pasien dikeluarkan dari ICU bila kebutuhan untuk terapi intensif telah tidak ada lagi, tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan kesembuhannya atau manfaat dari terapi intensif kontinyu diketahui kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil, keuntungan dari terapi selanjutnya sangat sedikit. Contoh pasien dengan penyakit lanjut (penyakit paru kronis, penyakit jantung atau liver terminal, kersinoma yang telah menyebar luas dan lain-lainnya) yang tidak berespon dengan terapi ICU untuk penyakit akut lainnya.
Perawat ICU
Seorang perawat yang bertugas di ICU melaksanakan 3 tugas utama yaitu, life support, memonitor keadaan pasien dan perubahan keadaan akibat pengobatan dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Oleh karena itu diperlukan satu perawast untuk setiap pasien dengna pipa endotrakeal baik dengan mengunakan ventilator maupun yang tidak. Di Australia di aplikasikan 4 kriteria perawat ICU yaitu, Perawat ICU yang telah mendapat pelatihan lebih dari 12 bulan ditambah dengan pengalaman, perawat yang telah mendapat latihan 12 bulan, perawat yang telah mendapatkan sertifikat pengobatan kritis (critical care certificate), dan perawat sebagai pelatih (trainer) (rab,2009).
Di Indonesia, ketenagaan perawat di ruang ICU diatur dalam Keputusan Mentri Republik Indonesia Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang penomena penyelengaraan ICU di Rumah Sakit yaitu, untuk ICU level I maka perawatnya adalah perawat terlatih yang bersertifikat bantuan hidup dasar dan bantuasn lanjut, untuk ICU level II di perlukan minimal 50% dari jumlah seluruh perawat di ICU merupakan perawat terlatih dan bersertifikat ICU, dan untuk ICU level III diperlukan 75% dari jumlah seluruh perawat di ICU merupakan perawat teraltih dan bersertifikat ICU.
Penelitian Terkait
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joko Rharjo (2015) Tentang tingkat kecemasan keluarga pasien struk yang di rawat di ruang ICU rumah sakit panti Waluyo Surakarta. Hasil menunjukan terdapat 30 sampel keluarga pasien struk yang di rawat di ICU terdiri 14 kelompok gejala variabel yang di teliti adalah tingkat kecemasan keluarga bahwa tingkat kecemasan keluarga pasien struk yang di rawat di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo mengalami tingkat kecemasan berat dengan hasil 73,3%. Terdapat tingkat kecemasan keluarga pasien struk yang dirawat di ruang ICU dapat memberikan dukungan mental.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Abim Chandra Kusuma (2007) tentang hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga tentang ICU dengan tingkat kecemasan keluarga terhadap perawatan ICU di RSUD dr. Sayidiman Magetan. Hasil menunjukan didapatkan responden yang mempunyai pengetahuan baik tentang ICU sebanyak 16,67% dan yang mempunyai pengetahuan buruk sebanyak 83,33% responden yang mengalami kecemasan ringan sebanyak 46,67% dan kecemasan berat sebanyak 53,3% sedangkan hubungan antara keduanya didapatkan pengetahuan baik mengalami cemas ringan 16,67% pengetahuan buruk mengalami cemas ringan 30% dan pengetahuan buruk mengalami cemas berat 53,3% sedangakan di uji dengan chi-square didapatkan hasil X2 di hitung 6,87% dan S2 tabel 3,84 sehingga ada hubungan antara pengetahuan keluarga tengtang ICU dengan tingkat kecemasan menghadapi perawatan ICU di RSUD dr Sayidiman Magetan.
Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan formulasi atau simplifikasi dari kerangka teori atau teori-teori yang mendukung penelitian tersebut. Oleh sebab itu, kerangka konsep ini terdiri dari variabel-variabel serta hubungan variabel yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kerangka konsep akan mengarahkan kita untuk menganalisis penelitian (Notoaatmodjo, 2012).
Skema 2.2
kerangka Konsep
Variabel Independent (X) Variabel Dependent(Y)
Faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan
Faktor umur
Faktor jenis kelamin
Faktor pendidikan
Faktor pengalaman
Tingkat Kecemasan
Ringan
Sedang
Berat
Berat sekali/panik
Hipotesis
Secara umum pengertian Hipotesis berasal dari kata hipo (lemah) dan tesis (pernyatan), adalah suatu jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan dalam perencanaan penelitian. Untuk mengarahkan kepada hasil penelitian ini maka dalam perencanaan penelitian perlu dirumuskan jawaban sementara dari penelitian ini. Jawaban sementara dari suatu penelitian ini biasanya disebut hipotesis. Jadi, hipotesis di dalam suatu penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian maka hipotesis ini dapat benar atau salah, dapat di terima atau ditolak. Bila diterima atau terbukti maka hipotesis tersebut menjadi tesis ( Notoamodjo, 2012).
Biasanya hipotesis terdiri atas pernyataan terhadap adanya atau tidak adanya hubungan antara dua variabel. Jadi hipotesis itu merupakan suatu kesimpulan sementara dari rumusan masalah atau pernyataan penelitian (Nursalam,2008 ).
Dalam penelitian terdapat beberapa jenis hipotesis, diantaranya :
Hipotesis Nol, disinngkat (Ho)
Ho : Tidak ada hubungan antara faktor umur dengan tingkat kecemasan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Ho : Tidak ada hubungan antara faktor jenis kelamin dengan tingkat kecemasan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Ho : Tidak ada hubungan antara faktor pendidikan dengan tingkat kecemasan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Ho : Tidak ada hubungan antara faktor pengalaman dengan tingkat kecemasan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Hipotesis Kerja atau disebut dengan Hipotesis alternatif (Ha)
Ha : Ada hubungan antara faktor umur dengan tingkat kecemasan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Ha : Ada hubungan antara faktor jenis kelamin dengan tingkat kecemasan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Ha : Ada hubungan antara faktor pendidikan dengan tingkat kecemasan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Ha : Ada hubungan antara faktor pengalaman dengan tingkat kecemasan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif dengan desain penelitian yang digunakan adalah desain kolerasional dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional. Pada studi Cross Sctional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat. Artinya, tiap subjek hanya diobservasi satu kali saja melalui pengukuran atau pengamatan pada saat yang bersamaan dengan tujuan untuk melihat variabel bebas (Resiko) dan variabel terikat(Efek) yang dilakukan pada saat pemeriksaan(Notoamodjo, 2012).
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Adapun alasan peneliti memilih lokasi ini dikarena rata-rata penjengung pasien di Ruang ICU RSUD Arifin Achmad semua keluarga cemas, berdasarkan survai pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 29 januari 2016 pada 10 keluarga pasien di Ruang ICU RSUD Arifin Achmad di dapatkan hasil 20% keluarga pasien.
Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian persiapan riset sampai dengan persentasi hasil skripsi. Dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1
Jadwal Kegiatan
No
Uraian
Kegiatan
Bulan/tahun
2015 2016
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Juni
1
Pengajuan judul proposal
2
Pembuatan proposal
3
Seminar proposal
4
Pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data
5
Penyusanan laporan skrpsi
6
Seminar hasil skripsi
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti (Notoadmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga pasien yang di rawat di Ruang ICU RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Sampel penelitian
Sampel merupakan sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Notoadmodjo, 2012). Pengambilan sampel untuk keluarga pasien yang dirawat di Ruang ICU RSUD Arifin Achmad dengan pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil responden yang ada dan bersedia sebagai responden di tempat penilitian kurang lebih selama penelitian dilakukan. seluruh anggota keluarga pasien populasi sebagai responden atau sampel (Setiadi, 2013). pada penelitian ini di dapatkan 30 sampel.
Instrumen Penelitian
Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan observasi dan pengambilan data. Observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi partisipasi dan non-partisipan. Observasi partisipasi dilakukan apabila peneliti ikut terlibat secara langsung, sehingga menjadi bagian dari kelompok yang diteliti. Sedangkan observasi non partisipan adalah observasi yang dilakukan dimana peneliti tidak menyatu dengan yang diteliti, peneliti hanya sekedar sebagai pengamat (Saryono, 2013).
Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefenisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Nursalam, 2009).
Tabel 3.2
Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi operasional
Alat ukur
Parameter
Skala ukur
Hasil ukur
1
Tingkat kecemasan
Tingkat kecemasan keluarga pasien adalah suatu perasaan takut atau cemas yang dirasakan oleh keluarga yang disebabkab oleh proses keperawatan
Kuisioner
Cemas ringan, cemas sedang, cemas berat, sekali/panik
Ordinal
<14 tidak ada kecemasan. 14-20 kecemasan ringan. 21-27 kecemasan sedang.
28-41 kecemasan berat.
42-56 kecemasan sekali/panik
2
Umur
Menunjukkan ukuran waktu pertumbuhan dan perkembangan seorang individu
Kuesioner
Minimal 20-30 th 31-40 th 41-50 th 51-60 th
Ordinal
20-60 th
3
Jenis kelamin
Pada umumnya seorang laki-laki dewasa mempunyai mental yang kuat terhadap sesuatu hal yang dianggap mengancam dirinya dibanding perempuan.
Kueisioner
1.laki-laki
2.perempuan
Nominal
Laki& perempuan
4
Pendidikan
Jenjang pendidikan terakhir yang telah diselesaikan keluarga pasien dalam sekolah formal yakni sekolah umum atau sekolah yang disamakan.
kuisioner
Pendidikan SD-PT/S1
Nominal
SD
SMP
SMA
PT/S1
Prosedur pengambilan data
Pengumpulan data dilakukan ditempat penelitian dengan prosedur sebagai berikut:
Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan penilitian ini, penulis terlebih dahulu menentukan masalah penelitian, dilanjutkan dengan mencari studi kepustakaan dan studi pendahuluan. Selanjutnya penulis menyusun proposal untuk mendapatkan persetujuan dari pembimbing dan izin penelitian dari pihak RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.
Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan di mulai setelah penulis menyelesaikan urusan dari pihak RSUD Arifin Achmad. Penulis menjelaskan maksud dari penelitian, tujuan penelitian, dan dampak yang akan di peroleh buku medical record kunjungan keluarga pasien.
Tahap Akhir
Setelah proses pengumpulan data selesai, penulis melakukan analisis dengan menggunakan uji statistik yang sesuai dengan data. Selanjutnya di akhiri dengan menyusun laporan hasil dan penyajian hasil penelitian.
Teknik Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dalam pengumpulan data perlu terlebih dahulu diolah, dimana tujuannya untuk menyederhanakan seluruh data yang dikumpulkan kemudian menyajikannya dalam bentuk tabel dan diagram yang baik, kemudian dianalisa. Dalam penelitian ini, peneliti menyatukan pengolahan data dengan langkah sebagai berikut:
Proses Pengeditan (Editing)
Setelah kuesioner selesai diisi kemudian dikumpulkan langsung oleh peneliti selanjutnya dipeirksa kelengkapan data apakah data dapat dibaca atau tidak, dan kelengkapan isinya. Jika isinya belum lengkap responden diminta melengkapi kembali lembar kuesioner pada saat itu juga.
Proses Memberikan Kode (Coding)
Untuk mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data, peneliti memberi kode berupa angka pada lembar kanan atas pada kuesioner.
Entry Data
Setelah data dikumpulkan kemudian data dimasukkan untuk selanjutnya diolah dalam analisa data.
Pengecakan Data (Cleaning)
Data yang sudah ada diperiksa kembali kelengkapanya, jika data yang sudah dimasukkan tenyata tidak lengkap, maka sampel dianggap gugur dan diambil sampel baru.
Memproses (Procesing)
Data selanjutnya di proses dengan mengelompokan data kedalam variabel yang sesuai
Tabulasi Data (Tabulating)
Memasukkan data pada tabel-tabel tertentu dan mengatur angka-angka serta menghitungnya (Hidayat, 2010).
Analisa Data
Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Analisa Univariate
Analisa univariate adalah analisa yang digunakan untuk mendeskripsikan variabel penelitian, guna memperoleh gambaran atau karateristik sebelum dilakukan analisa bivariat. Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi.
Analisa Bivariat
Data hasil penelitian dianalisa secara bivariat yaitu data digunakan untuk melihat hubungan antara variabel indepeden dan variabel dependen dengan menggunakan rumus "Chi Square".Uji signifikan terhadap hasil dengan membandingkan hasil perhitungan signifikan (P) untuk "lever of sinificance" (a) = 0,05. Hipotesis penelitian akan diterima jika nilai p yang diperoleh dari hasil perhitungan lebih kecil dari nilai a.
Tabel 3.3
Analisa Data
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasaan Pada keluarga Pasien Di Ruang Intensive Care Unit Di RSUD Pekanbaru
Tingkat kecemasan
Jenis kelamin
Di lakukan
Tidak Dilakukan
N
Tinggi
A
B
a+b
Rendah
C
D
c+d
N
a+c
b+d
a+b+c+d
Keterangan :
a = Jenis kelamin tinggi dengan tingkat kecemasan dilakukan
b = Jenis kelamin tinggi dengan tingkat kecemasan tidak dilakukan
c = Jenis kelamin rendah dengan tingkat kecemasan dilakukan
d = Jenis kelamin rendah dengan tingkat kecemasan tidak dilakukan
Tabel 3.4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasaan Pada keluarga Pasien Di Ruang Intensive Care Unit Di RSUD Pekanbaru
Tingkat kecemasan
Umur
Dilakukan
Tidak dilakukan
N
Positif
A
B
a+b
Negatif
C
D
c+d
N
a+c
b+d
a+b+c+d
Keterangan :
a =Umur positif dengan tingkat kecemasan dilakukan
b = Umur positif dengan tingkat kecemasan tidak dilakukan
c = Umur negatif dengan tingkat kecemasan dilakukan
d = Umur negatif dengan tingkat kecemasan tidak dilakukan
Tabel 3.5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasaan Pada keluarga Pasien Di Ruang Intensive Care Unit Di RSUD Pekanbaru
Tingkat kecemasan
Pendidikan
Dilakukan
Tidakdilakukan
N
Lengkap
A
B
a+b
Tidak lengkap
C
D
c+d
N
a+c
b+d
a+b+c+d
Keterangan :
a = Ada pendidikan dengan tingkat kecemasan dilakukan
b = Adapendidikan dengan tingkat kecemasan tidak dilakukan
c = Tidak ada pendidikan dengan tingkat kecemasan dilakukan
d = Tidak ada pendidikandengan tingkat kecemasan tidak dilakukan
Tabel 3.6
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasaan Pada keluarga Pasien Di Ruang Intensive Care Unit Di RSUD Pekanbaru
Tingkat kecemasan
Pengalaman
Dilakukan
Tidakdilakukan
N
Pengalaman
A
B
a+b
Tidak pengalaman
C
D
c+d
N
a+c
b+d
a+b+c+d
Keterangan :
a = Ada pengalaman dengan tingkat kecemasan dilakukan
b= Ada pengalaman dengan tingkat kecemasan tidak dilakukan
c = Tidak ada pengalaman dengan tingkat kecemasan dilakukan
d= Tidak ada pengalaman dengan tingkat kecemasan tidak dilakukan
Etika Penelitian
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka masalah etika yang harus diperhatikan (Hidayat, 2010). Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut:
Lembar Persetujuan menjadi responden (Informed Concent)
Sebelum penelitian dilakukan, peneliti memberikan lembar persetujuan (Informed Concent) pada responden. Informed Concent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden. Tujuan informed concent adalah agar responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta mengetahui dampak yang akan diteliti.
Tanpa Nama (Anonymity)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, tetapi cukup memberikan kode pada masing-masing lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan (Hidayat, 2010).
Kerahasiaan (Confidentiality)
Peneliti memberikan jaminan kerahasiaanhasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada pada hasil riset (Hidayat, 2010).